cultural product branding, anteseden dan implikasinya · industri batik dan tenun berkontribusi...
TRANSCRIPT
Cultural Product Branding, Anteseden dan Implikasinya:
Studi pada Konteks Batik Indonesia
W. Rofianto
Latar Belakang
Industri fashion memberikan kontribusi sebesar 2% dari Produk
Domesitik Bruto (PDB) Indonesia (Herman, 2014). Industri batik dan
tenun berkontribusi sebesar 20% dari ekspor garmen Indonesia
(Ariyanti, 2014).
Perlunya telaah akan sikap dan perilaku remaja terhadap produk
fashion Batik sebagai generasi penerus yang akan menjaga kelestarian
Batik di masa mendatang.
Sikap positif merupakan aspek yang sangat penting untuk
meningkatkan tingkat adopsi dan penggunaan (Mazodier & Merunka,
2014; Spears & Singh, 2004; Wang, Yu, & Wei, 2012).
Masih terbukanya peluang penelitian pada konteks cultural product.
Masalah Penelitian
1. Aspek-aspek apakah yang secara konseptual berpotensi
membentuk sikap positif remaja terhadap pakaian Batik
sebagai suatu produk budaya?
2. Apakah secara empiris dapat dibuktikan bahwa aspek-aspek
tersebut memang berperan dalam pembentukan sikap positif
terhadap produk pakaian Batik?
3. Apakah sikap tersebut kemudian berimplikasi positif terhadap
intensi untuk menggunakan batik?
4. Langkah kongkrit seperti apakah yang dapat diusulkan guna
meningkatkan sejumlah aspek yang telah diidentifikasi?
Tinjauan Pustaka
Proses konsumsi utilitarian menitikberatkan penggunaan ranah kognitif
konsumen, sementara proses konsumsi hedonis menitikberatkan pada
ranah sensorik dan afektif konsumen (Lim & Ang, 2008).
Sesuai dengan jenis dan kebutuhan yang hendak dipenuhi produk
pakaian dapat mengedepankan aspek estetis atau utilitarian (Holbrook
& Schindler, 1994).
Produk pakaian berikut aksesoris pelengkapnya dapat digunakan
sebagai media penghantar makna bagi penggunanya maupun bagi
orang lain yang melihatnya (Millan & Reynolds, 2014).
Secara umum, pada produk budaya (cultural product) lebih sering
terlihat pemenuhan kebutuhan konsumen pada ranah hedonis dan
estetis (Holbrook & Schindler, 1994).
Pengembangan Hipotesis
Sikap dipandang sebagai aspek pendorong intensi yang pada akhirnya
berimplikasi pada perilaku aktual (Ajzen, 1991).
Pengaruh sikap terhadap intensi berperilaku terutama adopsi atau
pembelian telah banyak diteliti pada berbagai konteks dalam penelitian
pemasaran. Seperti konteks media (Seo, Green, Ko, Lee, & Schenewark,
2007), konteks ritel (Das, 2014) dan konteks adopsi teknologi (Muk &
Chung, 2014).
Hipotesis 1. Attitude toward the brand berpengaruh positif
terhadap intention to use
Pengembangan Hipotesis
Ethnocentrism pada konsumen pada konteks pemasaran merujuk pada
aspek moral atau kepatutan membeli produk asing (Shimp & Sharma,
1987).
Pada kondisi terdapat produk domestik yang memadai untuk dipilih
konsumen dengan tingkat ethnocentrism yang tinggi akan lebih
memilih produk domestik dibandingkan dengan produk asing (Watson
& Wright, 2000). Semakin tinggi tingkat ethnocentrism seseorang, akan
semakin tinggi pula sikap positif individu tersebut terhadap domestik
produk dan akan semakin negatif sikapnya terhadap produk asing
(Shimp & Sharma, 1987). Fenomena tersebut semakin kuat pada
kondisi tidak adanya aspek urgensi akan produk asing pada suatu
kategori produk (Sharma, Shimp, & Shin, 1995).
Hipotesis 2. Ethnocentrism berpengaruh positif terhadap
Attitude toward the brand
Pengembangan Hipotesis
Dewasa ini konsumen semakin menuntut akan adanya authenticity
pada suatu produk atau merek (Liao & Ma, 2009).
Authenticity merupakan suatu konstruk kompleks yang dibangun
melalui serangkaian proses dengan berbagai sumber daya hingga
menghasilkan dimensi keaslian (genuineness), pengalaman (experience)
dan keunikan atau uniqueness (Gundlach & Neville, 2012).
Hipotesis 3. Authenticity berpengaruh positif terhadap Attitude
toward the brand
Konsumen akan lebih memandang positif merek dengan tingkat
authenticity yang tinggi (Gundlach & Neville, 2012).
Pengembangan Hipotesis
Self-image congruence merupakan kecocokan antara konsep diri
konsumen dengan persepsi konsumen akan citra atau personality dari
suatu produk atau merek (Kressmann et al., 2006).
Bagi konsumen, pembelian atau konsumsi merupakan salah satu
wahana ekspresi diri, oleh karenanya seringkali konsumen akan
mempertimbangkan kedekatan antara citra merek dengan konsep
dirinya (Jamal & Goode, 1987).
Hipotesis 4. Self-image congruence berpengaruh positif
terhadap Attitude toward the brand
Self-image congruence yang tinggi akan berdampak pada preferensi
konsumen yang lebih tinggi terhadap suatu produk atau merek (Jamal
& Goode, 1987).
Operasionalisasi Variabel
Variabel & Definisi Measurement
Ethnocentrism
[ETHN]
1. Bangsa Indonesia sepatutnya membeli produk lokal dibanding produk impor
2. Meskipun terkadang lebih mahal, saya lebih memilih untuk mendukung produk
Indonesia
3. Saya hanya akan membeli produk impor jika tidak terdapat produk lokal yang
sejenis
4. Produk impor sepatutnya tidak terlalu banyak beredar di pasaran
(Shimp & Sharma, 1987)
Product Authenticity
[AUTH]
1. Batik merupakan budaya bangsa Indonesia
2. Batik merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia
3. Batik mencerminkan citra bangsa Indonesia
4. Batik merupakan tradisi turun temurun bangsa Indonesia
(Napoli, Dickinson, Beverland & Farrelly, 2014)
Self-Image Congruence
[CONG]1. Memakai pakaian Batik akan selaras dengan bagaimana saya ingin dipandang
oleh orang lain di sekitar saya
2. Orang-orang seperti saya pada umumnya juga gemar menggunakan pakaian
batik
3. Batik biasanya dipakai oleh orang-orang dengan karakteristik yang mirip
dengan saya
4. Pada kehidupan sehari-hari, Batik dapat mencerminkan citra diri saya
(Sirgy, Grewal, Mangleburg et al, 1997)
Operasionalisasi Variabel
Variabel & Definisi Measurement
Attitude toward the
brand
[ATTB]
1. Menurut saya, batik adalah produk yang (Menarik /Tidak menarik)
2. Menurut saya, batik adalah produk yang (Bagus / Jelek)
3. Menurut saya, batik adalah produk yang (Menyenangkan / Tidak
menyenangkan)
4. Menurut saya, batik adalah produk yang Saya (Sukai / Tidak suka)
(spear & Singh, 2004)
Intention to Use
[IUSE]1. Di masa depan saya akan tetap menggunakan batik
2. Saya akan mempertimbangkan untuk lebih sering menggunakan batik
(Kwon, Trail & James, 2007)
3. Saya berniat untuk senantiasa menggunakan batik pada kegiatan-kegiatan
formal
4. Saya tertarik untuk mencoba lebih banyak ragam pakaian batik
(spear & Singh, 2004)
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
VariabelLaten
Indikator SLF Kesimpulan AVE CR Kesimpulan
Ethnocentrism
[ETHN]
ETHN1 0.773 Valid
0.482 0.730Kurang
ReliabelETHN2 0.773 Valid
ETHN3 0.502 Valid
Product
Authenticity
[AUTH]
AUTH1 0.901 Valid
0.815 0.946 ReliabelAUTH2 0.896 Valid
AUTH3 0.905 Valid
AUTH4 0.910 Valid
Self-image
congruency
[CONG]
CONG1 0.773 Valid
0..633 0.873 ReliabelCONG2 0.833 Valid
CONG3 0.789 Valid
CONG4 0.787 Valid
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
VariabelLaten
Indikator SLF Kesimpulan AVE CR Kesimpulan
Attitude
Toward The
Brand
[ATTB]
ATTB1 0.834 Valid
0.702 0.904 ReliabelATTB2 0.844 Valid
ATTB3 0.850 Valid
ATTB4 0.823 Valid
Intention to
Use
[IUSE]
IUSE1 0.819 Valid
0.589 0.854 ReliabelIUSE2 0.588 Valid
IUSE3 0.811 Valid
IUSE4 0.848 Valid
Ethnocentrism
[ETHN]
Attitude Toward
The Brand
[ATTB]
Self-image
congruency
[CONG]
Intention to
Use
[IUSE]
Product
Authenticity
[AUTH]
0.964***
0.298**
0.459***
0.383***
Hasil Uji Hipotesis
Goodness of Fit
Normed Х2 = 2.044 (good fit)
RMSEA = 0.082 (marginal fit)
CFI = 0.929 (good fit)
ẋ = 4.9
ẋ = 6.5
ẋ = 4.0
Implikasi Manajerial
1. Pihak berkepentingan seperti pemerintah, penggiat batik ataupun
sektor usaha terkait batik perlu untuk secara berkesinambungan
mengupayakan pembentukan sikap positif generasi muda terhadap
Batik
2. Upaya komunikasi dan pemasaran Batik perlu menonjolkan aspek
authenticity. Misalnya penekanan pada aspek historis, nilai seni serta
orisinalitas produk.
3. Para penggiat dan pelaku usaha di bidang Batik terus selalu berupaya
untuk mencari inovasi-inovasi baru baik dalam hal desain kain dan
desain aplikasi kain Batik tersebut disesuaikan dengan gaya
berpakaian remaja
4. Aspek Ethnocentrism dapat dijadikan sebagai salah satu tema
pendekatan pada saat melakukan upaya komunikasi pemasaran dalam
membangun citra positif produk batik di mata konsumen Indonesia
Kesimpulan
1. Penelitian ini mencoba memberikan kontribusi pada khasanah
disiplin ilmu pemasaran dengan mengusulkan potensi aspek
ethnocentrism, authenticity dan self-image congruence sebagai
pendorong terbentuknya sikap positif generasi muda di Indonesia
terhadap produk Batik.
2. Penelitian ini membuktikan secara empiris keberadaan peran ketiga
aspek tersebut guna pembentukan sikap positif generasi muda di
Indonesia terhadap produk Batik.
3. Penelitian ini juga mengkonfirmasi secara empiris implikasi positif
sikap pada pakaian Batik terhadap intensi penggunaan produk Batik.
4. Penelitian ini memberikan sejumlah saran manajerial terkait dengan
upaya membudayakan budaya batik di kalangan remaja Indonesia