crp2
DESCRIPTION
crp2TRANSCRIPT
KARDIOPROTEKSI SELAMA OPERASI JANTUNG
Derek J. Hausenloy, Edney Boston-Griffiths, dan Derek M. Yellon
Abstrak
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Untuk sejumlah besar pasien dengan PJK, operasi
coronary artery bypass graft (CABG) tetap merupakan strategi pilihan untuk
revaskularisasi koroner. Selama 10 tahun terakhir, jumlah pasien yang berisiko
tinggi menjalani operasi CABG telah meningkat secara signifikan, sehingga
menghasilkan outcome klinis yang lebih buruk pada kelompok pasien ini. Ini
tampaknya terkait dengan populasi usia tua, peningkatan komorbiditas (seperti
diabetes, obesitas, hipertensi, stroke), penyakit katup yang terjadi bersamaan, dan
kemajuan dalam intervensi koroner perkutan yang telah mengakibatkan banyak
pasien dengan penyakit arteri koroner yang lebih kompleks yang menjalani
operasi. Pasien berisiko tinggi ini lebih rentan terhadap cedera / infark miokard
perioperatif (Peri-operative Myocard Injury and Infark—PMI), suatu penyebab
utama yang mana cedera iskemia / reperfusi global yang akut timbul dari
perlindungan miokard yang tidak memadai selama operasi CABG. Oleh karena
itu, strategi terapi baru diperlukan untuk melindungi jantung pada kelompok
populasi berisiko tinggi ini. Dalam artikel ini, kami meninjau etiologi PMI selama
operasi CABG, diagnosis dan signifikansi klinis, dan strategi terapi endogen dan
farmakologis yang tersedia untuk mencegah hal itu. Dengan meningkatkan
kardioproteksi selama operasi CABG, kami mungkin dapat mengurangi PMI,
mempertahankan fungsi sistolik ventrikel kiri, dan mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada kelompok pasien risiko tinggi ini dengan PJK
Kata kunci: operasi CABG, Kardioproteksi, pre-kondisi iskemik, post-kondisi
iskemik, Peri-operative infark miokard, cedera miokard Peri-operatif, pre-kondisi
iskemik Jauh
1. PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia, menyumbang sekitar 7.300.000 kematian pada
tahun 2008 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Untuk sejumlah besar
pasien dengan PJK, operasi coronary artert bypass graft (CABG) tetap menjadi
strategi pilihan untuk revaskularisasi koroner. Peningkatan besar dalam strategi
pelestarian / pemeliharaan miokard selama 10-20 tahun terakhir berarti bahwa
bagi banyak pasien, risiko operasi bedah CABG masih rendah. Namun, selama
beberapa tahun terakhir, risiko operasi telah meningkat seiring meningkatnya
pasien berisiko tinggi yang menjalani bentuk operasi CABG yang lebih
kompleks.1 ini mungkin disebabkan sejumlah faktor yang berbeda termasuk: (i)
populasi yang menua; (ii) peningkatan prevalensi penyakit penyerta seperti
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer, obesitas, hipertensi, dan sebagainya;
(iii) kompleksitas yang lebih besar dari penyakit arteri koroner dan kebutuhan
untuk dilakukannya operasi kembali karena kemajuan terbaru dalam teknologi
intervensi koroner perkutan (Percutaneous Coronary Intervention—PCI); (iv)
peningkatan jumlah pasien yang menjalani CABG dengan operasi katup yang
bersamaan. Pasien berisiko tinggi ini lebih rentan terhadap cedera dan infark
miokard peri-operatif (Peri-operative Myocardial Injury and Infarck—PMI) dan
karena itu lebih mungkin untuk memerlukan peningkatan dukungan inotropik dan
dukungan ventilasi pasca-operasi, dan lebih rentan terhadap komplikasi operasi
seperti sindrom low-output, cedera ginjal akut (hingga 34% dari pasien),2 dan
stroke (1-3%). 3
Untuk pasien berisiko tinggi ini, strategi pemeliharaan miokard saat ini
tidak memadai untuk melindungi jantung terhadap PMI, yang mengakibatkan
hasil klinis yang lebih buruk pada kelompok pasien ini. Oleh karena itu, strategi
terapi baru diperlukan untuk melindungi miokardium dari PMI dalam rangka
mempertahankan fungsi sistolik ventrikel kiri (Left ventricle—LV) dan
meningkatkan hasil klinis pada pasien yang menjalani operasi CABG. Dalam
artikel ini, kami meninjau etiologi PMI selama operasi CABG, diagnosis dan
signifikansi klinis, dan strategi terapi endogen dan farmakologis yang tersedia
untuk pencegahannya.
2. SEBUAH GAMBARAN SEJARAH PRESERVASI MIOKARD SELAMA
OPERASI BYPASS JANTUNG
Evolusi strategi preservasi miokard selama operasi CABG telah memiliki
sejarah panjang dan penting. Hanya gambaran singkat YANG dapat diberikan di
sini—untuk detail yang lebih rinci, pembaca dapat dirujuk untuk membaca review
artikel berikut.4,5 Pada tahun 1954, John Gibbon melakukan penutupan defek
septum atrium pertama menggunakan cardiopulmonary bypass (CPB), sehingga
menjadi awal era dari operasi bypass jantung.6 Seiring operasi bypass jantung
mulai berkembang dari titik ini, penting untuk menciptakan bidang operasi yang
bebas darah dan bebas bergerak bagi ahli bedah, dalam rangka meningkatkan
visibilitas, memfasilitasi prosedur bedah, dan mencegah emboli udara. Hal ini
dicapai dengan cara cross-clamp aorta (untuk mengisolasi jantung dari sirkulasi
sistemik) dan mendorong henti jantung elektrokimia (untuk menghentikan denyut
jantung), masing-masing. Strategi preservasi miokard diperlukan untuk
melindungi jantung dari cedera iskemik global akut yang disebabkan oleh cross-
clamp aorta untuk mengisolasi sementara jantung dari sirkulasi sistemik selama
operasi intrakardiak, dan untuk melindungi terhadap cedera reperfusi miokard
global akut berikutnya yang disebabkan oleh pelepasan klem aorta ketika
mengembalikan sirkulasi ke jantung.
Pada tahun 1950, ditunjukkan bahwa hipotermia tubuh total mungkin
menjadi pendekatan yang bermanfaat untuk mengurangi konsumsi oksigen
miokard dan mempertahankanfungsi jantung selama operasi jantung.7 Pada tahun
1955, Melrose et al.8 adalah orang pertama untuk memperkenalkan konsep
serangan jantung elektrokimia yang diinduksi menggunakan kalium sitrat, namun
tingkat tinggi kalium dikaitkan dengan nekrosis miokard. Selama 10-20 tahun ke
depan, banyak perkembangan yang dibuat untuk larutan kardioplegik kristaloid
yang menghasilkan perumusan larutan Bretschneider di tahun 19649 dan
kemudian Larutan St Thomas (Nomor 1 tahun 1976 dan Nomor 2 tahun 1981), 10,11 yang keduanya masih digunakan hingga saat ini untuk pemeliharaan miokard.
Pada tahun 1978, Buckberg dan kawan-kawan12 menyempurnakan larutan
kardioplegik dengan mencampurnya dengan darah dan melengkapinya dengan
glutamat dan aspartat dan menemukan bahwa larutan ini menawarkan
perlindungan miokard lebih besar daripada cardioplegia kristaloid saja. Pada
1980-an, Buckberg juga melakukan serangkaian penelitian eksperimental yang
menyelidiki bagaimana perubahan kondisi reperfusi berdampak pada pemulihan
miokard—hal ini meliputi penggunaan reperfusi tegas sebagai strategi
kardioprotektif,13,14 suatu temuan yang mendahului penemuan post-kondisi
iskemik.15 Berdasarkan studi-studi16 sebelumnya di Inggris, cardioplegia darah
dingin telah menjadi strategi pelestarian miokard pilihan untuk sebagian besar
pasien yang menjalani operasi CABG. Namun, tergantung pada kebutuhan bedah
dan preferensi, terdapat sejumlah variasi bagaimana larutan kardioplegik
disampaikan, meliputi perfusi intermiten atau kontinu secara anterograde (melalui
akar aorta) atau retrograde (melalui sinus koroner) dengan menggunakan salah
satu dari larutan kardioplegi darah dingin, sumer, atau hangat (Ulasan oleh
Nicolini et al.5). Cardioplegia darah hangat adalah strategi pelestarian efektif yang
digunakan oleh beberapa ahli bedah.17 Pendekatan alternatif untuk pelestarian
miokard selama operasi CABG, yang tidak memerlukan penggunaan cardioplegia,
adalah fibrilasi cross-clamp intermiten hipotermi, suatu teknik yang masih
digunakan oleh beberapa ahli bedah.18 Selama beberapa tahun terakhir, off-pump
coronary artery bypass (OPCAB) atau operasi 'degup jantung' muncul sebagai
pengobatan bedah pilihan pada pasien tertentu, dan ini menghindari CPB, arrest
kardioplegik, dan ceera reperfusi / iskemua global akut (Ischaemia / reperfusion
injury—IRI) yang terjadi berikutnya.19 Selanjutnya, OPCAB dapat berhubungan
dengan bradikardia, yang dengan sendirinya dapat bersifat kardioprotektif.20
Namun, terlepas dari penggunaan strategi pelestarian miokard paling
efektif yang tersedia, pada pasien berisiko tinggi, jantung masih cenderung
mengalami IRI global akut yang signifikan selama operasi bypass jantung, yang
mengakibatkan peningkatan risiko PMI, gangguan fungsi sistolik LV, dan
perburukan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk
menemukan strategi terapi baru yang meningkatkan perlindungan miokard dalam
setting ini.
3. CEDERA DAN INFARK MIOKARD PERI-OPERATIF
3.1 Penyebab cedera dan infark miokard peri-operatif
Mekanisme yang mendasari PMI adalah multifaktorial dan
meliputi mereka yang mengalami kegagalan graft awal dan termasuk
oklusi graft, pemuntiran (kinking) graft atau peregangan berlebihan
(overstrectch), subtotal stenosis anastomosis, atau spasme graft (yang
dapat dibedakan dengan perluasan pelepasan enzim serum jantung),21 dan
pada mereka-mereka yang karena penyebab non-graft dan meliputi IRI
global akut yang disebabkan oleh cross-clamp dan declamping aorta,
cedera inflamasi sistemik dari CPB, mikro-embolisasi koroner distal,22
manipulasi bedah jantung, partikulat dan faktor larut yang dilepaskan dari
pembedahan pembuluh koroner manipulasi,23 kerentanan genetik terhadap
IRI miokard akut, dan sebagainya.
3.1.1 predisposisi genetik
Kerentanan genetik terhadap efek merugikan dari IRI miokard akut
dapat diharapkan berdampak pada perluasan PMI dan hasil klinis pasca
operasi CABG-. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa perluasan PMI
bisa lebih berat pada pasien yang memiliki varian gen inflamasi tertentu,
mungkin karena respon inflamasi yang dipicu oleh respon kardiopulmoner
yang ditinggikan.24,25 Baru-baru ini, varian genetik pada kromosom 9p21,
yang sebelumnya telah dikaitkan dengan peningkatan risiko infark
miokard (MI) dalam setting non-bedah, juga telah dikaitkan dengan
insiden PMI yang lebih tinggi selama operasi CABG26 dan tingkat
kematian 5 tahun pasca-operasiyang lebih tinggi.27 Mekanisme yang
mendasari peningkatan kerentanan genetik untuk PMI masih tetap tidak
jelas.
3.1.2 IRI global Akut
Dalam rangka menciptakan lapangan operasi yang tidak
melibatkan banyak darah, aorta di-cross clamp untuk mengisolasi jantung
dari sirkulasi sistemik, suatu manuver yang menginduksi cedera iskemi
myokard global akut, yang jika berkepanjangan akan menyebabkan cedera
miokard ireversibel dan kematian kardiomiosit. Dalam rangka untuk
melindungi jantung dari cedera iskemik dan menghentikan jantung secara
elektrokimia, larutan kardioplegik disuntikkan secara anterograde ke
dalam jalur aorta atau secara retrograde melalui sinus koroner. Setelah
insersi graft dengan beda, cross-clamp dilepaskan dari aorta, sebuah
proses yang menyebabkan jantung beresiko untuk cedera reperfusi
myokard global akut, yang terdiri dari bentuk reversibel cedera miokard
seperti stunning dan aritmia, dan bentuk ireversibel cedera miokard dan
kematian kardiomiosit. Terlepas dari pelestarian miokard optimal
menggunakan cardioplegia darah dingin, sejumlah besar IRI miokard
global akut dan disfungsi jantung terjadi saat ini pada pasien berisiko
tinggi. Embolisasi koroner diharapkan untuk mendorong daerah fokal jejas
iskemia myokard akut.28 Peluang untuk mengurangi bentuk cedera
miokard ini ditelaah di Bagian 4.
3.1.3 Respon Inflamasi Sistemik
Pada pasien yang menjalani operasi CABG on-pump, pelaksanaan
CPB memicu respon inflamasi akut lokal dan sistemik, yang dapat
berkontribusi untuk PMI. Komponen respon ini mencakup koagulopati
konsumtif, sitokin, kemokin, zat vasoaktif, sitotoksin, spesies oksigen
reaktif, dan protease koagulasi dan sistem fibrinolitik.29,30 Penyebab utama
dari respon ini adalah dari darah yang datang ke dalam kontak langsung
dengan permukaan asing sirkuit CPB, tapi penyebab lainnya meliputi IRI
akut, aktivasi komplemen, kehilangan darah atau transfusi, hipotermia, dan
trauma bedah langsung (Ditinjau pada studi Raja dan Dreyfus29 dan
Suleiman et al.30).
Sejumlah strategi terapi telah diselidiki dalam setting operasi
CABG dalam upaya untuk memodulasi respon inflamasi ini. Hal ini
meliputi strategi bedah untuk mengurangi respon inflamasi operasi CABG
seperti penggunaan Sistem Minimized Extracorporeal Circulation
(MECC), Operasi CABG off-pump, operasi jantung invasif minimal,
sirkuit CPB berlapis heparin, hemofiltrasi dan deplesi leukosit, dan
sejumlah strategi pengobatan farmakologis meliputi inhibisi komplemen,
anti-oksidan, aprotonin, dan siklooksigenase inhibitor.29,30
3.2 INDIKATOR CEDERA DAN INFARK MIOKARD PERI-OPERATIF
PADA OPERASI JANTUNG
Cedera dan infark miokard peri-operatif dapat dideteksi dengan
mengukur biomarker serum nekrosis miokard seperti serum isoenzim
creatine kinase MB (CK-MB), troponin T (Trop T; standar dan sangat
sensitif), dan Trop I. Adanya ruptur membran sel diperlukan untuk
melepaskan biomarker jantung ini ke dalam aliran darah, dengan sitosol
CK-MB yang dilepaskan awal setelah cedera miokard. Troponin terdiri
dari sitosol bebas dan komponen ikatan protein struktural, dan karena itu
menampilkan pelepasan inisial awal dan diikuti oleh pelepasan yang lebih
lama dan lambat. Dalam meta-analisis ini, telah dilaporkan bahwa untuk
pasien yang menjalani operasi CABG, peningkatan CK-MB atau Trop I
pada 24 jam pertama dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas
menengah (1 tahun) dan jangka panjang (3 tahun).31 Karena variabilitas
yang luas dalam definisi yang digunakan, kejadian MI peri-operatif yang
dilaporkan (enzim serum jantung lima kali batas atas normal) sangat
bervariasi dan tergantung pada penelitian, tetapi biasanya di sekitar area
10-40% (Tabel 1). Namun, pada sebagian besar pasien yang menjalani
operasi CABG, tingkat cedera miokard perioperatif dapat terjadi tanpa
adanya infark klasik.
Untuk menetapkan kriteria standar untuk diagnosis MI perioperatif,
telah disepakati bahwa definisi MI terkait CABG atau MI Tipe V adalah
peningkatan pada nilai biomarker serum '…. yaitu lebih dari lima kali
persentil ke-99 dari berbagai referensi normal selama 72 jam pertama
setelah operasi CABG, dikaitkan dengan munculnya gelombang Q
patologis baru atau LBBB baru, atau adanya graft baru atau oklusi arteri
koroner yang ditangkap pada angiografi, atau adanya bukti pencitraan
berupa hilangnya myocard yang tampak'..32 Oleh karena itu, istilah MI
peri-operatif harus dibatasi dengan definisi di atas, dan istilah cedera
miokard peri-operatif dapat digunakan untuk menunjukkan cedera
miokard signifikan di luar definisi ini. Magnetic resonance imaging (MRI)
Jantung baru-baru ini telah digunakan untuk mendeteksi hilangnay
myokard yang tampak pasca operasi CABG, dan modalitas pencitraan
non-invasif ini oleh karena itu juga dapat digunakan untuk mendeteksi MI
peri-operatif.
3.2.1 Isoenzim Creatine kinase MB
Salah satu studi klinis pertama yang besar untuk menghubungkan
peningkatan serum CK-MB peri-operatif selama operasi CABG dengan
hasil klinis adalah studi Arterial Revascularization Therapies Study
(ARTS) yang diterbitkan pada tahun 2001,33 Dalam 496 pasien yang
menjalani operasi CABG, dilaporkan bahwa elevasi serum CK-MB
sampai lima kali batas atas normal dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas 0,5-7,0% pada 30 hari.33 Sejak publikasi penelitian ini, sejumlah
studi klinis yang lebih besar telah mengkonfirmasi hubungan pelepasan
CK-MB peri-operatif dengan mortalitas di rumah sakit, hasil klinis jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang (lihat Tabel 1 untuk ringkasan uji
utama). Namun, karena kurangnya spesifisitas untuk cedera miokard,
biomarker yang lebih spesifik untuk nekrosis miokard seperti Trop I dan T
lebih sering digunakan untuk menilai PMI.
3.2.2 Troponins T dan I
Trop T dan I (Trop T dan I) Jantung adalah marker spesifik untuk
cedera miokard yang telah digunakan untuk mendeteksi,
mengkarakterisasi, dan mengukur PMI selama operasi CABG. Pada pasien
yang menjalani operasi CABG, Trop T dan I akan selalu terdeteksi dalam
sirkulasi, sebagaimana biomarker cedera jantung ini dilepaskan bahkan
dalam kondisi tanpa adanya IRI akut yang jelas dan dapat menjadi tinggi
bahkan dengan manipulasi bedah jantung dan kanulasi aorta. Studi kinetik
telah mengungkapkan pola biphasic pelepasan troponin selama operasi
CABG dengan puncak kecil troponin pada 8-10 jam pasca-operasi yang
menunjukkan cedera miokard peri-operatif non-spesifik, dan puncak kedua
yang lebih besar pada 20 jam pasca operasi yang menunjukkan PMI
karena nekrosis myokard nyata.34-36 Peran Trop T yang sangat sensitif,
yang dilaporkan telah meningkatkan hasil diagnostik dan prognostik pada
pasien dengan sindrom koroner akut,37 pada setting operasi CABG sebagai
biomarker serum PMI saat ini masih belumdiketahui.
Sejumlah studi klinis telah meneliti hubungan pelepasan Trop T
dan I peri-operatif dan hasil klinis pasca operasi CABG (lihat Tabel 1
untuk ringkasan dari penelitian besar). Namun, banyak dari studi ini
diterbitkan sebelum adanya definisi Universal CABG terkait MI atau MI
Tipe V pada tahun 2007.32 dan menggunakan definisi sewenang-wenang
untuk menunjukkan PMI. Masalah ini diilustrasikan dalam meta-analisis
terbaru yang menemukan bahwa meskipun peningkatan pada Trop T atau I
peri-operatif dikaitkan dengan peningkatan 5,5 kali lipat pada angka
kematian 1 tahun (sensitivitas 0,45, spesifisitas 0,87) dan peningkatan
angka kematian 30 hari sebesar 6,6 kali lipat (sensitivitas 0,59, spesifisitas
0.82),38 estimasi dari ukuran efek yang sebenarnya dan nilai-nilai cut-off
sulit ditentukan mengingat variabilitas pada populasi pasien, waktu sampel
troponin, isoform troponin yang digunakan, dan uji troponin yang
dilakukan,38 Dalam hal ini, studi klinis lebih lanjut diperlukan untuk
menyelidiki dampak CABG-terkait MI atau MI Type V pada hasil klinis
pasca operasi CABG-. Namun, juga harus dihargai bahwa bahkan pada
pasien CABG dengan pelepasan troponin peri-operatif dimana kriteria
untuk MI tipe V tidak terpenuhi, nekrosis miokard signifikan yang timbul
dari operasi CABG masih dapat dideteksi dan dihitung dengan MRI
jantung,39 dan adanya hal ini mungkin masih terkait dengan hasil klinis
yang buruk.
3.2.3 MRI Jantung
Deteksi dan kuantifikasi PMI bisa sangat menantang dengan
menggunakan electrocardiograms (karena perubahan sangat sulit untuk
ditefsirkan setelah operasi kecuali ada penampilan MI gelombang Q baru),
echocardiography (dapat digunakan untuk mendeteksi disfungsi sistolik
LV atau abnormalitas gerakan dinding reginal yang mewakili stunning
myokard daripada PMI), dan scanning inti miokard (yang hanya akan
mendeteksi defek perfusi yang jelas timbul dari graft atau oklusi arteri
koroner asli dan sekali lagi tidak akan mendeteksi PMI difus). Oleh karena
itu, MRI jantung menawarkan modalitas pencitraan non-invasif bebas
radiasi untuk identifikasi, karakterisasi, dan kuantifikasi PMI. Peningkatan
kontras Gadolinum tertunda dengan MRI jantung (DE-CMR) adalah
teknik pencitraan baku emas untuk memvisualisasikan fibrosis miokard
atau infark myokard. Pencucian agen kontras ekstraseluler tertunda,
gadolinium, di area dengan peningkatan volume interstitial miokard dapat
digunakan untuk memvisualisasikan fibrosis miokard atau infark myokard
sebagai daerah dengan peningkatan intensitas sinyal pada CMR. Beberapa
studi klinis telah menggunakan modalitas pencitraan non-invasif bebas
radiasi ini untuk mendeteksi, mengkarakterisasi, dan mengukur hilangnya
viabilitas miokard yang baru terjadi setelah operasi CABG.
Studi klinis pertama yang menggunakan DE-CMR untuk
menggambarkan PMI pada pasien yang menjalani operasi CABG elektif
adalah oleh Selvanayagam et al.40 pada tahun 2004. Para penulis ini
membandingkan efek dari operasi CABG off-pump terhadap operasi
CABG on-pump pada fungsi sistolik LV dan MI peri-operatif (dicitrakan
oleh DE-CMR).40 Meskipun, operasi CABG off-pump dikaitkan dengan
peningkatan fungsi sistolik LV, tidak ada perbedaan dalam kejadian atau
massa median dari MI peri-operatif antara kedua kelompok (44% dan 6,3
g dengan CABG on-pump vs 36% dan 6,8 g dengan CABG off-pump,
untuk masing-masing).40 Kemudian pada tahun yang sama Steuer et al.41
menunjukkan bahwa DE-MRI (dilakukan pada hari 4-9 setelah operasi)
mendeteksi adanya MI pada 18 dari 23 pasien (massa rata-rata 4,4 g sama
dengan 2,5% dari LV), sebuah temuan yang berkorelasi dengan kenaikan
enzim serum jantung (CK-MB, Trop T dan I),41 Keterbatasan utama dari
studi awal ini adalah ketidakmampuan untuk memastikan bahwa adanya
MI pada DE-CMR sebenarnya adalah karena prosedur bedah skarena
scanning pra-CABG CMR belum dilakukan untuk menyingkirkan adanya
MI kronis yang sudah ada sebelumnya. Hal ini mungkin menjelaskan
kejadian kurang umum yaitu tingginya MI ‘perioperatif' (78%) yang
dilaporkan pada studi tersebut.41
Beberapa Studi telah menyelidiki kadar trop I peri-operatif sebagai
marker prediktif peningkatan MRI jantung tertunda. Analisis serum Trop I
pada serial pertama pasien mengungkapkan bahwa kadar puncak Trop I 48
jam sebesar >1.15 µg / L memiliki akurasi terbaik untuk deteksi MI peri-
prosedural pada operasi CABG.42 pada serial alinnya dengan 28 pasien
yang menjalani operasi CABG yang diterbitkan oleh kelompok riset yang
sama menunjukkan bahwa adanya hyperenhancement baru pada CMR
[diamati pada sembilan pasien (32%)] dapat sangat diprediksi dengan
kadar Trop I 1 jam sebesar > 5.0 µg / L.43 Akhirnya, sejumlah 40 pasien
CABG menyatakan bahwa kadar Trop I 24 jamsebesar >6.6 µg / L sangat
merepresentasi adanya MI Type V dan adanya hyperenhancement baru
pada CMR [diamati pada delapan pasien (20%)] dapat diprediksi dengan
sangat baik dengan adanya kadar Trop 1 jam sebesar >0,5 µg / L.39
Hubungan antara trop T serum (konvensional atau sangat sensitif) belum
dibandingkan dengan MI peri-operatif baru yang terdeteksi dengan DE-
CMR.
Munculnya peningkatan tertunda pada CMR juga mungkin dapat
mencirikan MI peri-operatif pada pasien yang menjalani operasi CABG
dan ini dapat memberikan petunjuk etiologi yang mendasari cedera
miokard. Dalam hal ini, tiga pola DE-MRI telah dijelaskan:41,44 (i) MI
transmural (dengan atau tanpa obstruksi mikrovaskuler) di wilayah arteri
koroner, yang dapat mewakili graft awal atau oklusi arteri koroner asli; (ii)
MI subendocardial, yang mungkin merupakan embolisasi koroner distal;
dan (iii) area patchy difus dari nekrosis miokard yang mungkin akibat dari
IRI global akut atau penyebab lainnya.
Apakah adanya MI pada DE-CMR pada pasien yang menjalani
operasi CABG dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih buruk telah
diselidiki oleh Rahimi et al,45 yang menunjukkan bahwa adanya MI baru
peri-operatif dan peri-prosedural setelah CABG atau PCI dikaitkan dengan
peningkatan risiko 3,1 kali lipat dalam kejadian efek samping utama
kardiovaskular (kematian, MI non-fatal, aritmia ventrikel berkelanjutan,
angina tidak stabil, atau gagal jantung yang membutuhkan rawat inap).
Sebuah model mikroembolisasi koroner babi baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa enhancement gadolinium lambat hanya mungkin
dapat mendeteksi kerusakan miokard fokal melebihi 5% dari miokardium
dalam wilayah kepentingan, yang menunjukkan salah satu keterbatasan
potensial menggunakan CMR.46
4. STRATEGI TERAPI ENDOGEN UNTUK KARDIOPROTEKSI
Kardioproteksi yang tidak adekuat selama operasi CABG, terutama pada
pasien yang berisiko tinggi, berkaitan dengan hasil klinis yang lebih buruk. Oleh
karena itu, strategi terapi baru diperlukan untuk mengurangi PMI dan mencegah
komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini, adalah mungkin untuk 'mengkondisikan'
jantung untuk melindungi dirinya sendiri dari efek merugikan IRI akut dengan
mengarahkannya ke episode iskemia dan reperfusi singkat non-lethal.47 Dan
penting, rangsangan ‘pengkondisian’ dapat diterapkan baik sebelumnya
[ischaemic preconditioning (IPC)],48 setelah onset (ischaemic perconditioning),49
atau di akhir kejadian indeks iskemik dan pada saat reperfusi (ischaemic
postconditioning),15 sehingga memungkinkan untuk mengintervensi di beberapa
titik waktu berbeda selama operasi CABG.
4.1 Ischaemic Preconditioning
Pada tahun 1986, Murry et al.48 pertama kali menemukan bahwa
jantung bisa 'dikondisikan' untuk melindungi diri dari MI, menggunakan
siklus iskemia miokard dan reperfusi singkat yang tidak mematikan.
Dalam studi eksperimental seminal mereka, ditunjukkan bahwa
meletakkan jantung anjing untuk empat siklus iskemia dan reperfusi 5
menitan [melalui oklusi Left Anterior Descending (LAD) dan reflow] akan
mengurangi ukuran MI sebesar 75% setelah 40 menit dari oklusi LAD
berkelanjutan dan 72 jam reperfusi. Fenomena ini, yang telah disebut
dengan IPC, telah terbukti menawarkan kardioproteksi luas pada semua
spesies hewan yang diuji dengan menggunakan berbagai eksperimen
model IRI in vivo dan in vitro (Ditinjau pada studi Yellon dan Downey50).
IPC adalah strategi 'pengkondisian' pertama untuk diterapkan
dalam setting klinis operasi CABG. Sebuah studi klinis perintis oleh
kelompok riset kami di tahun 199351 pertama kali menunjukkan bahwa
IPC dapat direproduksi pada pasien yang menjalani operasi CABG dengan
menjepit (klem) aorta selama 2 menit dan melepaskan klemp aorta selama
2 menit untuk menginduksi episode singkat iskemia miokard global dan
reperfusi tidak mematikan sebelum iskemia miokard global berkelanjutan
yang disebabkan oleh cross-clamping aorta yang diperlukan untuk operasi
CABG. Kami menemukan bahwa pasien yang secara acak menerima IPC
pada saat operasi memiliki tingkat ATP yang terpelihara pada biopsi
ventrikel51 dan mengalami lebih sedikit cedera miokard peri-operatif yang
dibuktikan dengan konsentrasi serum Trop-T yang rendah.52 Sejak temuan
asli ini, sejumlah studi klinis telah menyelidiki IPC dalam setting operasi
CABG, hasil yang telah diringkas dan baru-baru ini diterbitkan adalah
meta-analisis dari 22 studi (933 pasien) yang menyimpulkan bahwa IPC
dikaitkan dengan lebih sedikit terjadinya aritmia ventrikel, kebutuhan
inotropik lebih sedikit, dan tingkat perawatan di unit intensif yang lebih
pendek (lihat Tabel 2 untuk ringkasan penelitian besar).53 Karena sifat
invasif protokol IPC dan risiko arteri thrombo-emboli dari melakukan
cross-clamp dan declamping aorta, sulit untuk membenarkan melakukan
studi klinis prospektif besar untuk menentukan secara definitif apakah IPC
dapat meningkatkan hasil klinis pada pasien yang menjalani operasi
CABG. Dalam hal ini, fenomena pengkondisian iskemik jarak jauh
(Remote Ischaemic Preconditioning—RIC) lebih disetujui untuk aplikasi
klinis karena metode ini menyingkirkan kebutuhan untuk intervensi pada
jantung secara langsung.
4.2 Preconditioning iskemik Jauh (Remote Ischaemic Preconditioning)
Kerugian utama dari IPC sebagai strategi kardioprotektif pada
pasien yang menjalani operasi CABG adalah bahwa metode ini
membutuhkan stimulus ‘pengkondisian’ untuk diterapkan secara langsung
ke jantung, yang mungkin tidak praktis dan benar-benar bisa berbahaya.
Penemuan bahwa stimulus ‘pengkondisian’ dapat diterapkan untuk suatu
organ atau jaringan dari jantung (suatu fenomena yang disebut
pengkondisian iskemik jarak jauh—Remote Ischaemic Conditioning
RIC)54 dan pernyataan bahwa stimulus ‘pengkondisian’ bisa diterapkan
secara non-invasif menggunakan manset tekanan darah standar yang
ditempatkan pada angggota gerak atas atau bawah55 telah memfasilitasi
penerjemahan RIC ke dalam setting klinis (Ulasan dilakukan oleh
Hausenloy dan Yellon56). Mekanisme sebenarnya yang mendasari RIC saat
ini masih belum jelas, tetapi telah dikaitkan dengan jalur humoral atau
neurohormonal yang menghubungkan organ atau jaringan yang jauh ke
jantung.56-59
Upaya pertama untuk menyelidiki RIC dalam setting klinis operasi
CABG adalah pada studi klinis kecil baru oleh Gunaydin et al.60 pada
tahun 2000. Delapan pasien secara acak menerima RIC (manset
ditempatkan pada lengan atas dan dipompa sampai 300 mmHg selama 3
menit dan dikempiskan selama 2 menit, suatu siklus yang diulang total tiga
kali) sebelum operasi CABG. Tidak ada perbedaan dalam serum CK-MB
5 menit setelah declamping aorta, meskipun pada titik waktu ini,
dehidrogenase laktat lebih tinggi pada kelompok RIC. Namun, mengingat
ukuran kecil dari penelitian ini, dan kegagalan untuk memeriksa enzim
serum jantung melampaui 5 menit dari declamping aorta, hasilnya menjadi
sulit diinterpretasikan. Aplikasi klinis pertama RIC yang berhasil adalah
pada anak-anak yang menjalani operasi jantung korektif untuk penyakit
jantung bawaan oleh kelompok studi Redington di tahun 2006.61 Dalam
studi kecil konsep pembuktian ini, 37 anak-anak diacak untuk menerima
RIC (tiga kali inflasi / deflasi dari manset tekanan darah yang ditempatkan
pada paha sampai 15 mmHg di atas tekanan darah sistolik dengan durasi 5
menit) atau kontrol (manset tekanan darah yang kempis ditempatkan pada
paha selama 40 menit) pada 5-10 menit sebelum dilakukan bypass jantung.
Anak-anak yang menerima pengobatan RIC memiliki skor inotropik yang
lebih rendah, tekanan jalan nafas lebih rendah, dan cedera miokard peri-
operatif lebih rendah (diukur dengan area di bawah kurva Trop I 24 jam)
jika dibandingkan dengan anak-anak yang diacak pada kelompok kontrol.
Kelompok penelitian kami adalah yang pertama berhasil
menerapkan RIC untuk orang dewasa yang menjalani CABG elektif ±
operasi katup jantung.62 Lima puluh tujuh pasien yang menjalani operasi
CABG elektif ± operasi katup diacak untuk menerima RIC (tiga kali
inflasi / deflasi manset tekanan darah yang ditempatkan pada lengan atas
dengan tekanan 200 mmHg selama-masing-masing 5 menit) atau
kelompok kontrol (manset kempis tekanan darah ditempatkan pada lengan
atas selama 30 menit) setelah induksi anestesi tetapi sebelum operasi.
Cedera miokard peri-operatif yang diukur dengan area dibawah kurva
konsentrasi serum Trop T 72 selama 72 jam berkurang 43% pada pasien
yang diobati dengan RIC sebelum operasi bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selanjutnya, sejumlah studi klinis telah dilakukan oleh
kelompok-kelompok penelitian yang berbeda, meskipun tidak semua studi
telah positif63 - 65 (Tabel 2). Alasan untuk perbedaan ini tidak jelas, tetapi
mungkin berhubungan dengan sejumlah faktor: (i) protokol RIC itu sendiri
—stimulus RIC mungkin submaksimal atau salah diterapkan. Sangat
menarik untuk dicatat bahwa dalam studi negatif oleh Rahman dkk,64
stimulus RIC dimulai setelah insisi kulit, sedangkan di sebagian besar
studi, stimulus RIC diterapkan setelah induksi anestesi dan sebelum
sayatan kulit.; (ii) obat yang diberikan bersamaan—pasien mungkin telah
diberikan anestesi volatile atau nitrat selama operasi, yang dikenal dapat
melindungi jantung terhadap IRI selama operasi bypass jantung.65-67 Dalam
kedua studi negatif RIC CABG, semua pasien menerima anestesi volatil,
sedangkan di sebagian besar penelitian lain, sbagian pasien menerima
anestesi intravena. Selanjutnya, dalam studi negatif oleh Karuppasamy et
al.,65 semua pasien menerima baik isoflurane dan propofol, auatu agen
anestesi yang mungkin memiliki efek kardioprotektif sinergis.68 Akhirnya,
sebuah penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa RIC efektif pada
pasien yang menerima isoflurane tetapi tidak untuk propofol pada saat
operasi CABG67; (iii) pemilihan pasien—apakah pasien berisiko tinggi
lebih atau kurang cocok untuk RIC masih belum jelas; (iv) karakteristik
operasi itu sendiri—apakah durasi cross-clamp aorta atau dampak waktu
bypass jantung yang mempengaruhi efikasid dari RIC masih belum jelas;
dan (v) telah diteorikan bahwa miokard manusia mungkin sudah di pre-
kondisikan sebelumnnya degan terjadinya CPB, meskipun pandangan ini
masih diperdebatkan.69 Sebuah studi klinis terkontrol acak multisenter
besar diperlukan untuk menyelidiki efek kardioprotektif RIC pada operasi
bypass jantung. Dalam hal ini, apakah RIC dapat meningkatkan hasil
klinis pada pasien dewasa yang menjalani operasi CABG masih tidak
diketahui dan saat ini sedang diselidiki dalam dua uji klinis multisenter
yang sedang berlangsung disebut yang ERICCA (The Effect of Remote
Ischaemic Preconditioning in Clinical Outcomes in patients undergoing
Coronary Artery bypass graft surgery: NCT01247545)70 dan studi
RIPHeart (Remote Ischaemic Preconditioning fro heart Surgery:
NCT01067703). Studi klinis lebih lanjut diperlukan untuk
mengkarakterisasi stimulus RIC dan untuk menyelidiki populasi pasien
yang paling mungkin mendapatkan keuntungan dari strategi terapi ini.
4.3 ISCHAEMIC POSTCONDITIONING
Pada tahun 2003, Zhao et al.15 pertama kali menunjukkan bahwa
jantung iskemik anjing bisa 'dikondisikan' pada awal reperfusi miokard,
dengan mengganggu reflow koroner dengan episode singkat oklusi LAD
dan reflow. Jalur mekanistik yang mendasari kardioproteksi post-
pengkondisian iskemi (IPost) cukup kompleks dan beberapa dari mereka
adalah sama dengan yang digunakan pada IPC dan merupakan subyek dari
beberapa ulasan baru-baru ini.71,72 Ischaemic postconditioning baru-baru
ini telah diterapkan dalam setting operasi CABG, di saat pelepasa cross-
clamp aorta, ketika pasien datang dari bypass jantung dan jantung diduga
mengalami periode reperfusi global. Luo et al.73 adalah yang pertama
menunjukkan efek menguntungkan dari IPost dalam setting operasi
jantung. Dua puluh empat anak yang menjalani operasi jantung untuk
Tetralogi Fallot secara acak menerima IPost, yang terdiri melepaskan
jepitan (Unclamping) aorta selama 30 detik dan kemudian kembali
menjepit aorta (reclamping) selama 30 detik, suatu siklus yang diulang
dua kali total, dan menghasilkan kadar CK-MB dan Trop T 2 jam yang
lebih rendah.73 yang jelas, risiko menjepit aorta pada pasien yang lebih
muda dengan aortas yang relatif non-aterosklerotik tidak sama besarnya
bila dibandingkan dengan pasien dewasa yang menjalani operasi CABG ±
operasi katup. Sejumlah studi klinis selanjutnya telah mengkonfirmasi
efek kardioprotektif IPost dalam setting operasi jantung untuk Tetralogi
Fallot74 dan penggantian katup aorta75 dan telah melaporkan efek
menguntungkan pada cedera miokard peri-operatif, kebutuhan akan
inotropik, lama dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dan waktu
ventilasi. Sekali lagi, apakah strategi kardioprotektif invasif ini dapat
berdampak pada hasil klinis pada pasien yang menjalani operasi jantung
masih harus ditentukan.
5. STRATEGI FARMAKOLOGI UNTUK KARDIOPROTEKSI
Peluang untuk mengelola strategi kardioprotektif farmakologis untuk
melindungi IRI global akut meliputi pemberian agen kardioprotektif sebelum
cross-clamp aorta, menambahkan agen farmakologis ke larutan kardioplegik, atau
memberikan agen kardioprotektif pada saat pelepasan cross-clamp aorta atau
kombinasi dari pendekatan yang berbeda ini. Selama bertahun-tahun, sejumlah
besar strategi farmakologis telah diselidiki sebagai agen kardioprotektif yang
potensial tetapi hanya yang utama yang akan ditinjau di sini, termasuk beberapa
yang meniru efek kardioprotektif pengkondisian iskemik.
5.1 ANESTESI DAN KARDIOPROTEKSI
5.1.1 Agen Anestesi Volatile
Agen anestesi volatil menekan fungsi jantung dan mengurangi
konsumsi oksigen miokard selama operasi bypass jantung. Namun, di
samping efek menguntungkan ini, ada bukti eksperimental yang
mendukung peran kardioprotektif langsung untuk agen anestesi volatil
pada model binatang dengan IRI.76 Selanjutnya, sejumlah studi klinis telah
dilakukan, dan menunjukkan efek menguntungkan dengan agen anestesi
volatil pada setting operasi CABG (Ulasan oleh Symons dan Myles77 dan
Yu dan Beattie78).
Salah satu studi pra-klinis pertama untuk menunjukkan efek
kardioprotektif dengan agen anestesi volatil adalah pada tahun 1985 oleh
Freedman et al.79 yang menemukan bahwa pra-pengobatan dengan
enfluran bisa meningkatkan pemulihan fungsional isolat jantung tikus
yang mengalami IRI. Sejumlah penelitian eksperimental telah
mengkonfirmasi efek kardioprotektif dari agen anestesi volatil (terutama
isoflurane, desflurane, enfluran, dan sevofluran) dalam berbagai model
binatang dengan MI in vitro dan in vivo (Ulasan oleh Kato dan Foex76).
Agen-agen anestesi, yang telah dilaporkan dapat meniru efek
kardioprotektif dari IPC dan ischaemic postconditioning, juga telah
ditunjukkan untuk merekrut jalur transduksi sinyal intraseluler yang
dikenal mendasari strategi kardioprotektif endogen ini.80
Salah satu studi klinis pertama yang menyelidiki efek
kardioprotektif anestesi volatil pada pasien yang menjalani operasi CABG
adalah oleh Belhomme et al.81 pada tahun 1999, yang melaporkan
penurunan kadar serum Trop I dan CK-MB pada pasien secara acak untuk
menerima anestesi isoflurane bila dibandingkan dengan anestesi intravena.
Efek kardioprotektif dari agen anestesi volatil dalam setting klinis operasi
CABG telah dinilai dalam beberapa meta-analisis baru-baru ini. Sebuah
meta-analisis dari 27 uji klinis yang terdiri 2.979 pasien oleh Symons dan
Myles77 pada tahun 2006 membandingkan efek dari agen anestesi volatil
dengan agen anestesi intravena non-volatile pada hasil klinis pasca
operasi-jantung. Mereka menemukan bahwa, dibandingkan dengan pasien
yang menerima anestesi intravena, pasien yang menerima agen anestesi
volatil (isoflurane, sevofluran, desflurane dan enfluran) memiliki fungsi
jantung yang lebih baik dan kebutuhan respon inotropik yang lebih rendah,
mengalami cedera miokard peri-operaetif lebih rendah (kadar serum Trop I
lebih rendah), memerlukan durasi ventilasi mekanis yang lebih singkat
(2,7 jam), dan lama waktu dirawat di rumah sakit yang lebih singkat
(selama 1 hari).77 Namun, tidak ada perbedaan dalam kejadian MI, lama
waktu dirawat di unit perawatan intensif, atau mortalitas di rumah sakit.77
Sebuah meta-analisis selanjutnya dari 32 studi (2841 pasien) oleh Yu dan
Beattie78 menemukan bahwa agen anestesi volatile, sevoflurane dan
desflurane, dikaitkan dengan konsentrasi serum Trop I lebih rendah pada
6, 12, 24, dan 48 jam setelah operasi. Meta-analisis lain oleh Landoni et
al.82 dari 22 studi (1922 pasien) menemukan bahwa penggunaan desflurane
dan anestesi sevoflurane dikaitkan dengan kejadian penurunan MI
perioperatif, Trop I pasca-operasi yang lebih rendah, waktu rawat di ICU
dan rumah sakit yang lebih singkat, kurangnya kebutuhan inotropik dan
kebutuhan ventilasi, dan penurunan angka kematian, bila dibandingkan
dengan anestesi intravena.
Meta-analisis ini dibatasi oleh analisis mereka dari sejumlah kecil
studi klinis yang sebenarnya telah menyelidiki hasil klinis pasca operasi
yang bermakna, dan dengan demikian, meskipun penggunaan agen
anestesi volatil (terutama desflurane dan sevoflurane) mungkin tampak
dapat menawarkan perlindungan miokard selama operasi CABG bila
dibandingkan dengan anestesi intravena, kemampuan mereka dalam
mengurangi kematian dalam setting ini masih tetap harus ditentukan dalam
uji klinis prospektif terkontrol acal berkekuatan adekuat.
5.2 INHIBITOR PERTUKARAN NATRIUM-HIDROGEN
Selama iskemia miokard, ketiadaan oksigen mendorong glikolisis
anaerob dan menghasilkan asidosis intraseluler yang pada gilirannya
mendorong ion exchanger natrium hidrogen (Na+ 0— H+) untuk mengusir
proton dari sel dalam pertukaran untuk natrium yang mengakibatkan
peningkatan natrium intraseluler dan peningkatan kalsium intraseluler,
suatu efek yang merugikan bagi kelangsungan hidup kardiomiosit.
Pengobatan dengan inhibitor pertukaran ion Na+ — H+, cariporide,
mencegah akumulasi natrium intraseluler dan kalsium selama iskemia
miokard dan telah dilaporkan dalam studi hewan percobaan untuk
mengurangi ukuran MI jika diberikan sebelum indeks gangguan iskemik.83
suatu uji the GUARd During Ischaemia Against Necrosis (GUARDIAN)
yang diterbitkan pada tahun 2000 menunjukkan pada 1.477 pasien berisiko
tinggi yang menjalani operasi CABG bahwa pra-pengobatan dengan
cariporide (120 mg) yang mengakibatkan kurangnya pelepasan CK-MB
peri-operatif dan pengurangan risiko kematian sebesar 25% dan MI non
fatal bila dibandingkan dengan plasebo pada 36 hari (16,2 vs 12,2%; P
<0,027). Efek menguntungkan dari cariporide dipertahankan pada 6 bulan
pasca operasi (18,6 vs 15,0%; P < 0,033).84 Pada suatu studi berikutnya
yang lebih besar tentang suatu studi klinis Na+ / H+ Exchange inhibition to
Prevent coronary Events in acute cardiac condition (EXPEDITION)
menegaskan pengurangan pada titik akhir kematian dan MI pada hari ke-5
dari 20,3 menjadi 16,6%.85 Namun, kejadian MI saja berkurang dari 18,9%
pada plasebo menjadi 14,4% dengan pengobatan cariporide, sedangkan
mortalitas secara paradoks meningkat dari 1,5% pada kelompok plasebo
menjadi 2,2% dengan cariporide, suatu temuan tak terduga yang dikaitkan
dengan peningkatan kejadian serebrovaskular.85 efek off-target yang tidak
menguntungkan dari cariporide ini terhadap peristiwa serebrovaskular
telah mencegah penerapan lebih lanjut dari strategi kardioprotektif terapi
ini pada pasien CABG.
5.3 Strategi Pre-pengkondisian Farmakologi
Sejumlah agen farmakologis telah diteliti berdasarkan pada kemampuan
mereka untuk meniru efek kardioprotektif IPC. Adenosin menunjukkan dapat
meniru efek infark-terbatas pada IPC pada tahun 1993 dan telah dilaporkan dalam
beberapa penelitian klinis untuk mengurangi cedera miokard peri-operatif dan
meningkatkan indeks jantung dalam setting operasi CABG bila diberikan baik
sebagai terapi intravena atau ketika ditambahkan pada larutan kardioplegik.86-88
Namun, tidak semua studi klinis menunjukkan hasil positif.89,90 dan efek
hemodinamiknya telah menghalangi penyelidikan lebih lanjut dari strategi
kardioprotektif ini.
Acadesine, suatu modulator adenosin endogen yang meningkatkan
ketersediaan adenosine lokal di jaringan iskemik, diselidiki sebagai strategi
pengobatan kardioprotektif pada pasien yang menjalani operasi CABG dan
menunjukkan adanya manfaat awal.91,92 Namun, dalam uji klinis terkontrol acak
multisenter luas (Acadesine 1024), pra-pengobatan dengan acadesine tidak
berpengaruh pada titik akhir utama kematian jantung, MI, atau stroke pada 4
hari.93 Namun, dalam sebuah studi berikutnya, dalam proporsi kecil dari pasien
yang menjalani MI peri-operatif (3,7%), pre-pengobatan dengan Acadesine
dilaporkan dapat mengurangi angka kematian 4,3 kali lipat.93
Mimesis pre-pengkondisian penting lainnya adalah bradikinin yang juga
telah diteliti dalam setting operasi CABG, tetapi hanya menunjukkan efek
kardioprotektif anti-inflamasi yang lemah dengan perluasan kompromi
hemodinamik yang signifikan.94,95 Kelompok riset yang sama juga menunjukkan
bahwa pembukan kanal kalium ATP-dependen mitokondria putatif, yaitu
diazoxide, yang diberikan dalam setting cardioplegia meningkatkan pemulihan
fungsional setelah operasi CABG, meskipun tidak mengurangi cedera miokard
peri-operatif yang diukur dengan pelepasan CK-MB.96,97
Kebanyakan pasien yang menjalani operasi CABG akan mendapatkan
terapi angiotensin converting enzim-inhibitor (ACE-I), tapi apakah pengobatan
ACE-I bermanfaat bila diberikan semata-mata sebagai agen pre-pengkondisian
pada saat operasi CABG masih tidak diketahui. Meskipun, analisis subkelompok
dari percobaan QUO VADIS melaporkan efek menguntungkan dengan memulai
ACE-I sebelum operasi,98 studi terbaru menunjukkan bahwa memulainya lebih
dini setelah operasi CABG mungkin tidak bermanfaat dan bisa berbahaya.99
5.4 STRATEGI TERAPI ANTI-INFLAMASI
Efek pro-inflamasi dari CPB dapat berkontribusi untuk cedera miokard
peri-operatif pada pasien CABG melalui aktivasi komplemen. Produksi produk
aktivasi komplemen terminal pecahan C5, yaitu C5a (suatu anafilatoksin ampuh)
dan C5b-9 (membrane attack complex), dapat menginduksi kematian
kardiomiosit, sehingga berkontribusi untuk komponen pro-inflamasi dari cedera
miokard peri-operatif yang dialami oleh pasien CABG. Studi percobaan hewan
telah menunjukkan bahwa inhibisi komplemen terminal dengan menggunakan
pexelizumab, suatu inhibitor komplemen terminal yang mencegah produksi C5a
dan C5b-9, dapat mengurangi peradangan dan nekrosis miokard pada model
binatang dengan MI dan CPB.100
Suatu studi Pexelizumab for Reduction in Infarction and Mortality in
Coronary Artery Bypass Graft Surgery (PRIMO-CABG I) menunjukkan bahwa
pada 2476 pasien, dengan satu atau lebih faktor risiko yang telah ditetapkan,
menunjukkan bahwa pengobatan dengan pexelizumab mengakibatkan penurunan
tidak signifikan sebesar 18% pada titik akhir kematian 30 hari gabungan primer
dan MI non-fatal pada pasien yang menjalani operasi CABG saja (11,8% dengan
plasebo vs 9,8% dengan pexelizumab; P= 0,07). Berdasarkan temuan klinis ini, uji
PRIMO-CABG II diselenggarakan untuk menyelidiki pexelizumab pada 4.254
pasien dengan dua atau lebih faktor risiko yang telah ditentukan dan tengah
menjalani CABG, tapi hal ini tidak berpengaruh pada titik akhir primer kematian
dan MI.101 Namun, analisis post hoc uji coba kombinasi PRIMO-CABG I dan II
menemukan penurunan yang signifikan dalam mortalitas 30 hari dari 8,1%
dengan plasebo menjadi 5,7% dengan pengobatan pexelizumab.101
5.5 TERAPI STATIN
Manfaat terapi 'statin' untuk pencegahan primer dan sekunder penyakit
kardiovaskular sudah banyak dijelaskan. Namun, di samping efek penurun LDL
kolesterol-nya, statin memiliki efek pleiotropic yang bermanfaat dalam sistem
kardiovaskular yang mencakup perlindungan langsung pada miokardium dari
efek merusak IRI akut. Studi hewan pra-klinis telah menunjukkan bahwa terapi
statin dapat membatasi ukuran MI bila diberikan baik sebelum iskemia atau
bahkan pada awal reperfusi miokard (diulas oleh Ludman et al.102). Analisis
retrospektif dan studi prospektif telah melaporkan efek menguntungkan pada
pasien yang memakai terapi statin sebelum operasi CABG elektif.103,104 Suatu studi
meta-analisis tentang terapi statin pra-operatif dalam operasi CABG yang terdiri
30 000 pasien melaporkan adanya manfaat yang signifikan dengan penggunaan
statin pra-operasi terhadap mortalitas semua penyebab pada pasca-operasi,
fibrilasi atrium, dan stroke tapi mereka tidak bermanfaat pada MI pasca operasi
atau gagal ginjal.105 Mengingat bahwa sebagian besar pasien PJK akan
mendapatkan terapi statin sebelum operasi CAB, maka mungkin akan
menghalangi pendekatan terapi ini sebagai strategi baru untuk kardioproteksi.
Dari studi hewan sebelumnya106 dan studi klinis PCI baru-baru ini,107,108
ditunjukkan bahwa terapi statin dosis tinggi mungkin lebih efektif daripada terapi
statin standar tapi kami tidak dapat menemukan manfaat apapun dalam hal
mengurangi cedera miokard peri-operatif dengan dosis statin yang loebih tinggi
dalam setting operasi CABG.109
5.6 TERAPI ERYTHROPOIETIN
Erythropoietin, sebuah sitokin haematopoietic yang digunakan dalam
pengobatan anemia kronis, telah dilaporkan dalam sejumlah studi hewan praklinis
untuk mengurangi ukuran MI bila diberikan pada dosis tinggi sebelum iskemia
miokard dan pada awal reperfusi miokard (Ulasan oleh Riksen et al.110). Namun,
terjemahan klinis ke dalam setting klinis sebagai terapi kardioprotektif telah
sangat mengecewakan dengan kurangnya manfaat dalam setting MI akut111,112 dan
operasi CABG.113
6. MENINGKATKAN TRASNLASI STRATEGI KARDIOPROTEKTIF
BARU
Tema berulang di bidang kardioproteksi telah tidak sesuai antara jumlah
strategi kardioprotektif potensial yang ditemukan dalam setting hewan pra-klinis
dan jumlah yang sebenarnya sudah diterjemahkan ke dalam setting klinis.
Masalah ini telah dibahas secara luas di tempat lain.114-118 Alasan kegagalan untuk
menerjemahkan strategi kardioprotektif baru ke dalam setting CABG mungkin
disebabkan sejumlah faktor termasuk: (i) subjek: jantung binatang yang masih
muda adalah representasi yang buruk untuk jenis pasien PJK dengan CABG usia
menengah dengan komorbiditas seperti diabetes, hipertensi, dan hiperlipidemia,
yang semuanya dapat mengganggu kardioproteksi.119,120 Adanya kondisi
komorbiditas dapat melemahkan efektivitas kardioproteksi yang diamati pada
jantung normal dengan memodifikasi mediator kunci kardioproteksi seperti fungsi
mitokondria, jalur biokimia, dan jalur sinyal intraseluler.120 Terdapat model hewan
diabetes, hipertensi, dan hiperlipidemia yang tersedia dan dapat digunakan untuk
menguji strategi kardioprotektif baru yang berpotensi dalam setting praklinis; (ii)
tidak memadainya model hewan dengan IRI; banyak dari model hewan yang
menyelidiki strategi kardioprotektif baru dalam setting pra-klinis adalah
didasarkan pada oklusi arteri koroner akut dan reflow, suatu model yang secara
tidak akurat mereproduksi kondisi IRI akut global (dengan adanya cardioplegia)
yang dialami selama operasi CABG . Terdapat model tikus, anjing, dan model
babi dengan CPB yang sangat mensimulasikan operasi CABG 121.122 tetapi mereka
jarang digunakan; (iii) strategi kardioprotektif baru itu sendiri; studi pra-klinis
harus menunjukkan kardioproteksi yang konklusif dalam berbagai model hewan
in vivo di laboratorium yang berbeda. Dalam hal ini, NIH telah menerapkan pusat
penelitian Caesar Cardioprotection Consortium untuk menguji sebuah agen
kardioprotektif baru tertentu pada model hewan kelinci, babi dan anjing dengan
MI pada suatu uji terkontrol acak;118 (iv) obat yang diberikan bersamaan: efek
obat bersamaan pada kardioproteksi jarang diuji pada percobaan pra-klinis model
hewan, meskipun pasien biasanya akan menjalani berbagai obat jantung. Selain
itu, terdapat efek dari obat anestesi pada kardioproteksi yang harus
dipertimbangkan; (v) waktu intervensi: jelas, waktu strategi terapi (sebelum
iskemia, selama iskemia, atau pada awal reperfusi) sedapat mungkin harus sesuai
dengan yang digunakan dalam studi pra-klinis eksperimental; (vi) titik akhir
(endpoint) klinis: titik akhir klinis yang relevan harus digunakan dalam desain
studi klinis. Marker penggantu seperti PMI diukur dengan enzim serum jantung,
dan fungsi sistolik LV dapat digunakan dalam studi klinis pembuktian konsep.
Dalam istilah hasil klinis, suatu agen kardioprotektif potensial diharapkan dapat
berdampak pada PMI, fungsi sistolik LV, timbulnya gagal jantung, dan kematian
kardiovaskular dan cenderung tidak mempengaruhi revaskularisasi koroner dan
MI.
7. RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Pasien berisiko tinggi yang menjalani operasi CABG, menempatkan
mereka pada risiko yang lebih besar dalam mengalami PMI, mengakibatkan
peningkatan risiko operasi dan morbiditas dan mortalitas yang lebih buruk.
Strategi preservasi miokard saat ini mungkin tidak memadai untuk melindungi
miokardium dari IRI global akut yang terjadi pada cross-clamp dan declamping
aorta selama operasi CABG on-pump. Oleh karena itu, strategi terapi baru
diperlukan untuk melindungi jantung terhadap IRI dan mengurangi tingkat PMI
sehingga dapat mempertahankan fungsi sistolik LV dan meningkatkan hasil klinis
pada pasien risiko tinggi yang menjalani operasi CABG. Proses menerjemahkan
strategi kardioprotektif baru yang berpotensi dari studi pra-klinis pada setting
operasi CABG perlu ditingkatkan. Beberapa strategi terapi telah menunjukkan
efek menguntungkan menjanjikan dalam setting operasi CABG, termasuk agen
farmakologis seperti acadesine dan anestesi volatile dan strategi kardioprotektif
endogen seperti remote ischaemic preconditioning dan ischaemic
postconditioning. Uji klinis terkontrol acak prospektif multisenter diperlukan
untuk menyelidiki apakah intervensi terapeutik ini dapat meningkatkan hasil
klinis pada pasien yang menjalani operasi CABG.