contoh kasus diskriminasi gender di malaysia
DESCRIPTION
kesproTRANSCRIPT
Pada tanggal 13 November 2012 Harian Umum Kompas menurunkan berita
dengan judul, “Kasus TKI Langgar Hak Asasi”. Tiga polisi di Pulau Penang, Malaysia
memerkosa SM (25), TKI asal Batang, Jawa Tengah, setelah menahan SM karena
tidak memiliki dokumen. Oleh pemerintah Indonesia, pemerkosaan ini justru direduksi
menjadi tindak pidana biasa.
Migrant Care Wahyu Susilo, Ketua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti
Chuzaifah, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz serta anggota Komisi I
DPR Efendi Choirie menggugat sikap pemerintah Indonesia tersebut. Dasar
argumentasi keempat tokoh ini adalah tindakan para pelaku telah melanggar hak asasi.
Pemerintah didesak untuk meninggalkan pereduksian tersebut, selanjutnya sebagai
langkah hukum pemerintah mesti menjadikan UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Ratifikasi Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya sebagai modal perjuangan hak TKI.
Tindakan yang diambil pemerintah dalam kasus ini sebenarnya merupakan
cermin dari sikap masyarakat kita yang kerap kali melihat diskriminasi terhadap
perempuan sebagai hal yang biasa. Walau tidak se-ekstrem kasus pemerkosaan,
namun dalam masyarakat kita terdapat semacam klaim bahwa perempuan mesti
berada di posisi kedua setelah laki-laki.
Sebenarnya, perlu ada pembedaan yang jelas mengenai gender sebagai yang
kodrati di satu pihak, dan sebagai hasil konstruksi pikiran manusia yang tampak jelas
dalam budaya di pihak lain. Yang termasuk dalam hal-hal yang kodrati yaitu perempuan
melahirkan dan menyusui anak, sedangkan laki-laki “tidak”. Dan gender sebagai hasil
konstruksi pikiran yaitu klaim bahwa perempuan bertugas memasak, menjaga anak,
dan membersihkan rumah (tinggal di dalam rumah saja), sedangkan laki-laki dianggap
sebagai pencari nafkah bagi keluarga bahkan bebas keluar rumah kapan saja.
Pembedaan gender dari hasil konstruksi pikiran (kebudayaan) inilah yang patut dikritisi
secara tajam dan kontinu.
Menjawabi persoalan diskriminasi gender, Iris Marion Young, seorang filsuf
feminis kelahiran New York, tampil ke atas pentas politik menawarkan ramuan
pikirannya lewat buku bertajuk Justice and the Politics of Difference (1990). Buah
pikirannya semacam sebagai “resep” untuk mengobati “penyakit masyarakat” tersebut.
Ada beberapa tawaran solusi mengenai realitas diskriminasi terhadap
perempuan dari Iris Young yang dapat kita aplikasikan dalam konteks masyarakat kita.
Pertama, Young menegaskan bahwa orang perlu memperbaiki ketidaksamaan
epistemis (pengetahuan). Alasannya, ada orang-orang tertentu dalam masyarakat yang
mengklaim diri sebagai orang yang tahu menjalankan sistem tertentu. Mereka
menempatkan diri pada posisi superior terhadap yang lain dan mereduksi sistem yang
ada guna mencapai keuntungan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain
dengan klaim demi stabilitas sistem yang ada.
Misalnya, tiga polisi yang melakukan tindakan pemerkosaan atas TKI dengan
alasan si TKI tersebut tidak memiliki dokumen yang lengkap dalam contoh kasus di
atas. Korban biasanya mendiamkan tindak diskriminasi yang terjadi karena tidak tahu
substansi dan proses kerja sistem dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Menanggapi sikap kritis Young akan realitas ini, maka hal yang perlu kita buat
adalah menyebarkan dan mengajarkan keadilan kepada masyarakat sesuai situasi
konkret yang mereka alami. Memang kita sulit untuk menyamakan titik mulai epistemis
yang telah berbeda, namun kita dapat mengurangi jurang epistemis yang ada dalam
masyarakat mengenai keadilan dan kesetaraan gender.
Kedua, persoalan diskriminasi sering sulit dikenal atau dideteksi karena sudah
terkondisi secara struktural (Otto Gusti Madung: 2011). Artinya, cara pandang kelompok
mayoritas yang menganggap diskriminasi kepada kelompok minoritas dalam
masyarakat sebagai hal yang biasa telah turut memengaruhi cara pandang kelompok
minoritas sehingga kelompok minoritas sendiri “bungkam” menghadapi realitas
ketidakadilan yang terjadi.
Kerap kali ketidakadilan yang terjadi dianggap oleh kelompok minoritas sebagai
bagian dari struktur yang sudah ada dan ada anggapan bahwa apa yang ada dalam
struktur mesti dipatuhi demi stabilitas kelompok. Menjawabi persoalan ini, Young
menegaskan bahwa persoalan diskriminasi sosial dan penepian kelompok-kelompok
tertentu tidak cukup diatasi secara formal, misalnya melalui reformasi hukum, tetapi
membutuhkan revolusi kebudayaan yang menukik hingga pada mekanisme-mekanisme
ketidakadilan serta prasangka-prasangka sosial.
Karena itu, pertama-tama orang mesti menyiapkan diri untuk mendengar.
Mendengar dapat membantu orang untuk menemukan akar dari persoalan dan
pandangan “sesat” yang ada dalam masyarakat, kemudian orang dapat menentukan
langkah-langkah konkret untuk meretas realitas ketidakadilan tersebut.
Ketiga, Young menandaskan bahwa mesti ada pengakuan atas eksistensi
perbedaan. Artinya, bahwa korban atau kelompok terdiskriminasi tidak diperlakukan
secara sama dengan satu standar umum, tetapi lebih dari itu, orang mesti
memerhatikan kekhasan setiap orang atau kelompok tertentu. Karena itu, yang mesti
dibuat adalah mengakui perbedaan dan kekhasan masing-masing kelompok, kemudian
memperlakukan mereka sesuai perbedaan dan kekhasan yang dimilikinya.
Persoalan diskriminasi sulit diatasi begitu saja lewat pemberlakuan hukum positif,
karena persoalan itu lebih merujuk pada persoalan hak, kebebasan, martabat, dan
pengakuan yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Menjawabi persoalan-persoalan
kelompok tertindas dan mereka yang terdiskriminasi, pola tindakan yang telah
terkonsep dalam pikiran kita mesti dihindari, sebaliknya dengan mendengarkan dan
melihat kenyataan hidup mereka, kita membangun tawaran solutif. Dengan
mendengarkan dan menyaksikan, kita dapat mengetahui perbedaan dan kekhasan
masing-masing kelompok kemudian menawarkan solusi yang tepat sasar.
Sebagai pihak yang lebih bertanggung jawab atas persoalan diskriminasi,
pemerintah mesti terus mengefektifkan aneka badan yang memperjuangkan
pemberdayaan gender. Bukan hanya kasus pemerkosaan yang telah “dipertontonkan”
oleh pihak keamanan Malaysia tersebut, dalam masyarakat kita terdapat aneka kasus
yang mana perempuan masih terus bergelut dengan situasi “penindasan” baik dalam
kehidupan rumah tangga, tempat kerja, politik, budaya maupun kemasyarakatan
(sosial).
Agak aneh memang, kalau justru pemerintah mereduksi diskriminasi gender
sebagai persoalan biasa, bukan luar biasa. Ingin menjaga kemapanan? Ingin terhindar
dari kesibukan akan persoalan yang “tersistemik” dalam bingkai budaya itu? Kita
hendaknya terus menyoroti diskriminasi terhadap perempuan sebagai masalah “luar
biasa” yang solusinya terus diperjuangkan: dicari untuk ditemukan. (Michael
Kabatana).
*Opini ini pernah diterbitkan dalam kolom opini surat kabar Flores Pos, 8
Desember 2012