citra anggraini - referat

21
REFERAT JATUH PADA GERIATRI Pembimbing: dr. I Made Mardika, Sp.PD, MARS,FINASIM Disusun oleh: Citra Anggraini 110.2009.066 DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

Upload: dody-tri-permadi

Post on 02-Feb-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

retre

TRANSCRIPT

Page 1: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

REFERAT

JATUH PADA GERIATRI

Pembimbing:dr. I Made Mardika, Sp.PD, MARS,FINASIM

Disusun oleh:Citra Anggraini 110.2009.066

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 11 AGUSTUS - 18 OKTOBER 2014

Page 2: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan keseimbangan dan jatuh merupakan salah satu masalah yang sering

terjadi pada orang berusia lanjut akibat berbagai perubahan fungsi organ, penyakit,

dan faktor lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh jatuh tidak jarang tidak ringan,

seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang. Jatuh

juga seringkali merupakan pertanda kerapuhan (frailty) dan merupakan faktor

predictor kematian atau penyebab tidak langsung kematian melalui patah tulang.

Bersamaan dengan masalah jatuh, kejadian patah tulang panggul, vertebra, lengan

bawah, pelvis, dan persendian kaki juga meningkat, dengan peningkatan paling

cepat terjadi pada usia 75 tahun. Patah tulang tersebut merupakan penyebab utama,

kesakitan, kematian, dan pengeluaran biaya untuk pelayanan kesehatan dan social

orang usia lanjut yang bersangkutan.

Kematian daan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan

oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya. Beberapa

diantara komplikasi tersebut adalah timbulnya dekubitus akibat tirah baring

berkepanjangan; perdarahan, thrombosis vena dalam, dan emboli paru; infeksi

pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi,

dan sebagainya.2

1

Page 3: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

JATUH PADA GERIATRI

Keseimbangan, kontrol postural, siklus berjalan, dan mobilitas fungsional

Keseimbangan2

Keseimbangan merupakan proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan

integrasi input sensorik serta perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk

mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak; suatu kemampuan untuk

mengontrol pusat gravitasi tetap berada diatas landasan penopang.

Pusat gravitasi adalah suatu titik imajiner dimana jumlah semua gaya adalah nol.

Pada orang dewasa dengan postur normal yang sedang berdiri (posisi anatomis),

pusat gravitasi berada 1 inci di depan tulang belakang setinggi sacrum 2. Jika tubuh

atau bagian tubuh bergerak, lokasi pusat gravitasi akan berubah. Landasan

penopang adalah permukaan tubuh yang mengalami penekanan dari berat badan

dan gravitasi, dalam posisi berdiri adalah kaki sedangkan dalam posisi duduk adalah

paha dan bokong.

Derajat stabilitas tubuh tergantung pada empat faktor yaitu, tinggi pusat gravitasi di

atas landasan penopang, besarnya ukuran landasan penopang, lokasi garis gravitasi

pada landasan penopang, dan berat badan.Stabilitas lebih baik bila pusat gravitasi

lebih rendah, landasan penopang yang lebar, garis gravitasi berada ditengah

landasan, dan berat badan yang besar.

Untuk mempertahankan keseimbangan, tubuh secara konstan mengubah dan

mengoreksi posisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang, yang disebut

sebagai ayunan postural (postural sway). Kontrol ayunan postural berasal dari input

visual, vestibular, proprioseptif, dan organ eksteroseptif.

Kontrol postural

Kontrol postural meliputi kontrol posisi tubuh untuk stabilitas sehingga

keseimbangan tubuh dapat dipertahankan dan untuk orientasi agar hubungan yang

tepat antar segmen tubuh serta antara tubuh dan lingkungan saat melakukan

kegiatan dapat dipertahankan.Terdapat dua komponen keseimbangan yaitu

keseimbangan statis untuk mempertahankan suatu posisi dalam periode tertentu

dan keseimbangan dinamis unutk memelihara keseimbangan pada saat melakukan

2

Page 4: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

gerakan.Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu

interaksi kompleks dari system saraf dan musculoskeletal yang kesemuanya dikenal

sebagai system kontrol postural.

Ada empat strategi gerakan yang paling sering digunakan sebagai reaksi

keseimbangan pada respon postural, yaitu strategi pergelangan kaki, panggul,

suspensori, dan melangkah/ menggapai.

Siklus Berjalan

Dalam berjalan dikenal istilah gait yaitu cara atau gaya berjalan yang umumnya

meliputi pula kecepatan bergerak (meter perdetik) dan jumlah langkah per unit waktu

(langkah permenit = cadence). Durasi satu siklus berjalan dimulai ketika tumit salah

satu kaki menyentuh pijakan (heel strike/heel on) sampai dengan tumit yang sama

kembali menyentuh pijakan. Selama satu siklus berjalan, terdapat fase kaki

bersentuhan dengan pijakan (stance phase) atau fase kaki berada di udara (swing

phase).Stance phase dimulai ketika kaki bersentuhan dengan pijakan dan berakhir

ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan, sedangkan swing phase dimulai ketika

kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kaki kembali bersentuhan

dengan pijakan.Stance phase dapat terjadi dengan hanya satu kaki yang

bersentuhan dengan pijakan sedangkan kaki yang lain dalam swing phase atau

kedua kaki bersentuhan dengan pijakan. Pada kecepatan berjalan yang normal

stance phase mencakup 60% dan swing phase 40% dari durasi satu siklus berjalan.

Mobilitas fungsional

Kemandirian fungsional merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas

sehari-hari tanpa bantuan, termasuk dalam hal mobilitas. Mobilitas fungsional

didefinisikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu posisi ke posisi lain

(duduk, berbaring, berdiri dan sebagainya)tanpa memperhatikan jarak antara titik

awal dan akhir perpindahan. Mobilitas fungsional meliputi mobilitas di tempat tidur,

transfer dan ambulasi, mobilitas dengan kursi roda, dan mengemudikan kendaraan.

Mobilitas ditempat tidur merupakan aktivitas mobilitas yang paling dasar,

membutuhkan kemampuan kontrol kepala yang baik selain kekuatan dan ketahanan

otot ekstremitas atas. Transfer menunjukkan perpindahan dari satu posisi ke posisi

lain dalam jarak dekat, seperti transfer dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi

3

Page 5: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

lain atau dari duduk di kursi roda dan untuk duduk di kursi lain tanpa berdiri, transfer

dengan bantuan sliding board, dan transfer dari kursi roda ke lantai atau sebaliknya.

Transfer membutuhkan keseimbangan duduk yang baik serta kekuatan dan

ketahanan otot ekstremitas atas maupun ekstensi panggul dan lutut yang adekuat.

Ambulasi adalah bergerak dengan berjalan.Tingkat kemandirian fungsional

seseorang dipengaruhi secara bermakna oleh kemampuannya untuk

ambulasi.Untuk dapat berjalan, seseorang harus memiliki kekuatan otot punggung

dan ekstremitas bawah yang baik selain keseimbangan, koordinasi, dan ketrampilan

kognitif. Kompensasi tubuh, ortosis, maupun alat bantu berjalan seperti walker dapat

digunakan untuk membantu ambulasi tersebut. Jika seseorang tidak mampu

ambulasi atau hanya mampu ambulasi dalam jarak dekat, penggunaan kursi roda

ataupun kendaraan yang telah dimodifikasi dapat mempertahankan kemandirian

fungsional.

Selama gerakan ambulasi normal, pusat gravitasi tubuh dipertahankan secara

dinamis terhadap landasan penopang. Ambulasi normal dan stabilitas postural

tergantung pula pada fungsi sensorik, neuromuskular, system musculoskeletal, dan

proses integrasi dari system saraf pusat. Dalam system musculoskeletal, kekuatan

otot rangka dan lingkup gerak sendi yang adekuat, terutama pada ekstremitas

bawah, esensial untuk terjadinya respon yang efektif terhadap gangguan postural

dan untuk mempertahankan kontrol postural.

Jatuh terjadi ketika system kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan

tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat

untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan

oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat dan terjadi tiba-tiba;

gangguan lingkungan; serta faktor intrinsik seperti hilangnya fungsi sensorik yang

esensial untuk mendeteksi gerakan pusat gravitasi tubuh, gangguan kemampuan

system saraf pusat untuk mengorganisasi dan menghantarkan respon postural, dan

respon postural yang tidak efektif akibat terganggunya system neuromuskular, gaya

jalan abnormal, reflex postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan kelemahan

otot. 

Perubahan akibat proses menua yang berkaitan dengan instabilitas dan jatuh

4

Page 6: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

Berbagai faktor yang berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan dan

jatuh.Umumnya merupakan kombinasi beberapa faktor yang saling berinteraksi

dengan masalah lingkungan.

Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol postural yang mungkin

memegang peran penting pada sebagian besar kejadian jatuh. Perubahan

komponen dari kapabilitas biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk

bereaksi, proprioseptif, lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat

pula perubahan pada postur tubuh, gaya berjalan, ayunan postural, system sensorik,

dan mobilitas fungsional. Usia lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang

berkurang, proses degenerative pada system vestibuler, reflex posisi yang melamba,

dan melemahnya kekuatan otot yang amat penting dalam memelihara postur.

Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber

gangguan postural selama gerakan volunter. Keseimbangan dapat pula terganggu

oleh adanya penyakit, obat-obatan dan proses penuaan yang berakibat ketakutan

akan jatuh sehingga mengurangi aktivitas seseorang. Semua perubahan tersebut

dapat berperan untuk mencegah jatuh manakala terpeleset atau menghadapi situasi

lingkungan yang membahayakan.

Latensi mioelektrik atau waktu premotor adalah keterlambatan antara stimulus yang

diberikan hingga timbulnya perubahan pertama dari aktivitas mioelektrik otot yang

dapat diukur. Aktivitas mioelektrik berkaitan dengan sinyal elektrik yang dikirim

melalui saraf untuk memulai atau memodifikasi proses kontraksi otot. Latensi

mioelektrik tersebut pada usia lanjut 10-20 milidetik lebih lama dibandingkan pada

dewasa muda, tanpa ada perbedaan antar jenis kelamin.

Waktu bereaksi berkaitan dengan keterlambatan antara sinyal stimulus yang

membutuhkan reaksi hingga timbulnya kekuatan atau melakukan gerakan.Waktu

bereaksi ini lebih lama dibandingkan dengan latensi mioelektrik karena meliputi baik

latensi mioelektrik maupun waktu yang dibutuhkan oleh otot untuk membangkitkan

atau mengubah besarnya kekuatan setelah aktivitas mioelektrik

dimulai.Pertambahan waktu interval ini disebut waktu motor. Waktu bereaksi akan

meningkat dengan semakin bertambahnya usia, semakin jauhnya perpindahan

tubuh, semakin banyak pilihan aktivitas, dan pada aktivitas yang membutuhkan

akurasi. Tiap dekade umur antara dekade kedua dan kesepuluh, waktu untuk

bereaksi meningkat 2 milidetik.

5

Page 7: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

Proprioseptif berkaitan dengan kesadaran mengenai orientasi dan posisi segmen

tubuh.System proprioseptif yang memberikan informasi ke saraf pusat mengenai

posisi tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligament dan kulit, mengalami gangguan

akibat penuaan sehingga turut berperan pada terjadinya gangguan keseimbangan.

Lingkup gerak sendi menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan lingkup gerak

sendi tersebut akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melaksanakan

aktivitas tertentu yang memang membutuhkan lingkup gerak sendi yang baik. 

Melemahnya kekuatan otot akibat inaktivitas, tdak digunakannya otot, dan

deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara berjalan serta

kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan. Terjadi

penurunan kekuatan otot sejalan dengan proses penuaan, bahkan pada orang usia

lanjut yang sehat dan aktif. Orang usia lanjut cenderung untuk kehilangan puntiran

sendi (torque) pada kecepatan tinggi untuk menghasilkan kekuatan otot yang besar

(kekuatan otot = puntiran x kecepatan sudut) karena hilangnya motor unit secara

ireversibel sejalan dengan bertambahnya usia. Laju pembentukan puntiran tersebut

lebih rendah pada perempuan usia lanjut dibandingkan laki-laki usia lanjut. Dengan

berkurangnya kemampuan membentuk puntiran sendi, kapasitas untuk

mempertahankan keseimbangan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan

presisi waktu dengan kekuatan cukup, seperti menghindari hambatan yang datang

tiba-tiba, akan berkurang pada usia lanjut yang sehat sekalipun. 

Penurunan massa otot merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot.

Perubahan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein,

yang pada usia lanjut proses ini dipengaruhi oleh wasting yaitu proses pemecahan

protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis

protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan

kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang

berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat.

Defisiensi vitamin D ternyata juga berperan penting untuk terjadinya jatuh, diduga

karena perannya pada massa dan kekuatan otot. Metabolit vitamin D dapat

mempengaruhi metabolism sel otot melalui mediasi transkripsi gen, melalui jalur

cepat yang tidak melibatkan sintesis DNA, dan melalui varian alel reseptor vitamin D.

Diperkirakan vitamin D akan mencegah terjadinya fraktur melalui 2 cara, dengan

memperbaiki fungsi musculoskeletal dan dengan meningkatkan homeostasis

6

Page 8: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

kalsium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam

meningkatkan kekuatan otot, fungsi otot, koordinasi neuromuskular, dan vitalitas

secara umum sehingga kecenderungan untuk jatuh menurun.

Postur tubuh usia lanjut saat berdiri ditandai dengan jarak yang lebar antara kedua

kaki pada pijakan, lutut dan panggul sedikit fleksi, punggung membentuk sudut

kearah depan terhadap bidang vertikal, vertebra lumbal mendatar, kifosis vertebra

torakal meningkat, dan kepala maju ke depan. Perubahan tersebut berkaitan dengan

proses penuaan pada system musculoskeletal yang antara lain berupa

berkurangnya densitas massa tulang, degenerasi diskus vertebra, dan hilangnya

kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh menjadi lebih pendek dan kepala lebih

maju ke depan.

Perubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati

perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis, kondisi

perubahan gaya berjalan tersebut dapat menigkatkan kejadian jatuh. Pada

umumnya orang usia lanjut tidak dapat mengangkat atau menarik kakinya cukup

tinggi sehingga cenderung mudah terantuk (trip). Orang usia lanjut laki-laki

cenderung memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-

pendek (wide-based, short stepped gaits); sedangkan perempuan usia lanjut

seringkali berjalan dengan kedua kaki menyempit (narrow-based) dan gaya jalan

bergoyang-goyang (waddling gait). Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih

lambat dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah

langkah per unit waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan, serta terdapat

peningkatan ayunan postural. Pada usia lanjut yang sehat, kecepatan berjalan

menurun 1-2 % tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya panjang langkah

dan jarak satu siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan rotasi

pelvis menurun, serta periode double support meningkat untuk membuat gaya

berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan

berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali risiko untuk jatuh.

Strategi postural yang sering digunakan pada usia lanjut adalah strategi panggul,

oleh karena penggunaan strategi pergelangan kaki membutuhkan informasi

somatosensorik yang adekuat sementara pada usia lanjut mungkin terdapat

kelemahan sendi atau sulit melakukan rotasi pada pergelangan kaki, hilangnya

sensasi somatosensorik perifer, dan kelemahan otot distal. Walaupun demikian,

7

Page 9: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

penggunaan strategi panggul membutuhkan informasi vestibular yang adekuat dan

gerakan pada panggul akan meningkatkan gaya horizontal antara pijakan dan

telapak kaki sehingga risiko untuk terpeleset dan jatuh menjadi lebih besar. Jika

respon ayunan postural tidak dapat mempertahankan keseimbangan saat ada

gangguan dan diperlukan strategi melangkah, usia lanjut cenderung melakukan

beberapa langkah untuk mengembalikan keseimbangannya. 

Gangguan visual terjadi pula sejalan dengan menuanya seseorang. Penurunan

visus akibat proses degenerasi pada berbagai jaringan pada bola mata,

berkurangnya elastisitas lensa, dan berkurangnya sel-sel reseptor mata. Gangguan

keseimbangan akan terjadi bila informasi visual terganggu. Stabilitas orang berusia

lebih dari 60 tahun berkurang 50% pada saat kedua mata ditutup. Tajam penglihatan

yang kurang pada usia lanjut berkorelasi secara bermakna dengan peningkatan

insidens jatuh dan ayunan postural pada pijakan yang lunak.

System vestibuler juga mengalami gangguan seiring dengan penuaan berupa

proses degenerative pada utrikulus dan sakulus sehingga terjadi penurunan

kemampuan bereaksi terhadap gravitasi dan percepatan linier.

Hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih ketika

berubah posisi dari berbaring ke berdiri) terjadi pada 11-30% orang tua usia lanjut.

Walaupun tidak semua hipotensi ortostatik bergejala, respons fisiologis yang

terganggu tersebut dapat berperan dalam gangguan keseimbangan dan memicu

terjadinya jatuh.

Penurunan kemampuan mobilitas fungsional pada usia lanjut yang sehat akan

terlihat pada aktivitas yang membutuhkan kemampuan fisik dan kognitif serta

berkaitan dengan penurunan variable biomekanik. 

Beberapa kondisi patologis yang meningkat prevalensinya sejalan dengan

meningkatnya usia turut berperan terhadap terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit

sendi degenerative (terutama vertebra servikal leher, lumbosacral, dan ekstremitas

bawah) dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi tak stabil, kelemahan otot, dan

gangguan neurologis.

Instabilitasi dan jatuh

Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada

orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi faktor risiko

8

Page 10: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor ekstrinsik (faktor yang

terdapat dilingkungan).

Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal

antara lain adanya osteoarthritis genu ataupun vertebra lumbal, gangguan

pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti

vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat

hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau osteoarthritis servikal. Kelemahan otot kuadrisep

femoris turut berperan untuk terjadinya jatuh karena ketdakmampuan mengangkat

tungkai secara optimal saat berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun dari duduk.

Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang dapat memicu

timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih,

demikian pula gangguan metabolic seperti hiponatremia, hipoglikemia atau

hiperglikemia, maupun hipoksia serta adanya gangguan aliran darah ke otak seperti

pada keadaan hiperkoagulasi, strok, dan transient ischemic attact (TIA).(2)

Prevalensi1

Berdasar survai di masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan sekitar 30% lansia

umur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut

mengalami jatuh berulang.

Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umum lebih

dari 65 tahun berkisar ⅓ populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh

0,6/orang. Insiden di rumah-rumah perawatan(nursing home) 3 kali lebih banyak

(Tinetti, 1992). Lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau

memerlukan perawatan di rumah sakit.

Kane dkk (1994) mendapatkan dari survai masyarakat di AS ⅓ lansia umur lebih dari

65 tahun menderita jatuh setiap tahunnya dan sekitar 1/40 memerlukan perawatan

rumah sakit. Sedangkan di rumah-rumah perawatan sekitar 50% penghuninya

mengalami jatuh dengan akibat antara 10-25%nya memerlukan perawatan di rumah

sakit.

9

Page 11: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

Faktor resiko1,2

Untuk dapat mengetahui faktor resiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas

badan ditentukan atau dibentuk oleh : 

Sistem sensorik  

Yang berperan di dalamnya adalah : visus (penglihatan), pendengaran, fungsi

vestibuler, dan proprioseptif. 

Sistem saraf pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.

Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, sering diderita oleh lansia dan

menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input

sensorik

Kognitif  

Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko

jatuh. Dengan adanya penurunan kemampuan kognitif,maka kewaspadaan, status

mental, dan emosional akan menurun, sehingga akan mempengaruhi kesadaran,

penilaian, gaya berjalan, keseimbangan, dan proses informasi yang diperlukan untuk

berpindah atau mobilisasi secara aman.

Muskuloskeletal

Faktor ini merupakan faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan

besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal menyebabkan

gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar,

yaitu:

1. faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam)

2. faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar) 

Komplikasi1

Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti: (Kane, 1994; Van-

der-Cammen, 1991)

1) Perlukaan (injury)

- Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya

jaringan otot, robeknya arteri / vena

10

Page 12: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

- Patah tulang (fraktur) :

- Pelvis

- Femur (terutama kollum)

- Humerus

- Lengan bawah

- Tungkai bawah

- Kista 

- Hematom subdural

2) Perawatan rumah sakit

- Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)

- Risiko penyakit-penyakit iatrogenic

3) Disabilitas

- Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik

- Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan pembatasan

gerak

4) Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)

5) Mati.(1)

Pencegahan1

Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah

terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.

Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : (Tinetti, 1992; Van-der-

Cammen, 1991; Reuben, 1996) 

Penatalaksanaan2

Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi

komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, mengembalikan

kepercayaan diri penderita.

Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau meneliminasi faktor risiko,

penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu

dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah

ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek dan keluarga

penderita.

11

Page 13: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

Penatalaksanaan bersifatindividual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena

perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab

merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhanma, dan

langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak

pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi

gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan

lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh

ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu

gerak. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan

fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot

sehingga memperbaiki nfungsionalnya. Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi

rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh, padahal

terapi ini diperlukan terus-menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan

status fumgsional. Penelitian yang dilakukan dalam waktu satu tahun di Amerika

Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun, didapatkanpeningkatan

kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah menjalani terapi

rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik

kekuatannya.

Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk

mengatasi/mengeliminasi penyebabnya/faktor yang mendasarinya. Penderita

dimasukkan dalam program gait training, latihan strengthening dan pemberian alat

bantu jalan. Biasanya program rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis. Program ini

sangatmembantu penderita dengan stroke, fraktur kolum femoris, arthritis,

Parkinsonisme.

Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler

yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural

seperti beta bloker, diuretik, anti depresan, dll.

Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/tempat

kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh.

12

Page 14: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

BAB III

KESIMPULAN

Trauma banyak penyebab diantranya karena ada gangguan keseimbangan, jatuh

dan fraktur.Akibat yang ditimbulkan oleh jauh tidak jarang tidak ringan maka perlu

diperhatikan terutama pada orang usia lanjut. Orang usia lanjut rentan terkena

berbagai penyakit dikarenakan terjadinya perubahanfisiologis pada tubuh.

Berkurangnya cadangan fisiologis seiring bertambahnya usiaserimg mempengaruhi

seorang usia lanjut dalam mempertahankan kondisi homeostasis.

Penyakit tulang dan fraktur pada usia lanjut memerlukan pengertian dan

penatalaksanaan khusus geriatri, yang sering kali memerlukan kerjasama dengan

disiplin ilmu lain. Bagaimana upaya pencegahan jauh lebih bermanfaat, sehingga

upaya penyebarluasan mengenai penyakit tulang dan fraktur ini perlu lebih

ditekankan.

13

Page 15: CITRA ANGGRAINI - REFERAT

DAFTAR PUSTAKA

1. Martono, H. Hadi, dkk. 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo “Geriatri” edisi

keempat. FKUI : Jakarta

2. W. Sudoyo, Ari, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi empat.

FKUI : Jakarta

14