characteristics of epilepsy in neurology clinic at ... · vii faculty of medicine and health...
TRANSCRIPT
i
CHARACTERISTICS OF EPILEPSY IN NEUROLOGY CLINIC
AT PELAMONIA HOSPITAL MAKASSAR
KARAKTERISTIK PENYANDANG EPILEPSI DI POLIKLINIK
SARAF RUMAH SAKIT PELAMONIA MAKASSAR
MULIANA HIJRAH
105421102816
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar untuk memenuhi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Muliana Hijrah
Ayah : Hidjrah H. Masalle
Ibu : Hj. Ria
Tempat, Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 06 Oktober 1997
Agama : Islam
Alamat : Jl. Dg. Tata Raya, Perumahan Puri Tata Indah
Palace Blok A/35
Nomor Telepon/HP : 085342670986
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Iki Utari (2002-2003)
SD Negeri Ujung Tanah 1 (2003-2009)
SMP Negeri 5 Makassar (2009-2010)
SMP Negeri 2 Parigi (2010-2012)
SMA Negeri 1 Parigi (2012-2015)
Universitas Muhammadiyah Makassar (2016-2020)
vi
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Skripsi, 26 Februari 2020
1Muliana Hijrah,
2dr. Andi Weri Sompa, M.Kes, Sp.S
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar Angkatan 2016/ email
[email protected] 2Pembimbing
“KARAKTERISTIK PENYANDANG EPILEPSI DI POLIKLINIK SARAF
RUMAH SAKIT PELAMONIA MAKASSAR”
ABSTRAK
Latar Belakang: Epilepsi adalah kelainan kronik pada otak yang memberikan
dampak pada populasi di seluruh dunia. Sekitar 50 juta populasi di dunia
menderita epilepsi. Tiga per empat penyandang epilepsi yang hidup di negara
dengan pendapatan perkapita rendah tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Risiko kematian pada penyandang epilepsi 3 kali lebih besar daripada populasi
umum. Diperkirakan hingga 70% penyandang epilepsi dapat hidup tanpa kejang
jika didiagnosis dan ditangani dengan tepat. Saat ini, penyandang epilepsi masih
mendapatkan stigma negatif dan diskriminasi di masyarakat. Di Indonesia, belum
ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi epilepsi, namun diperkirakan
sekitar 1,8 juta orang dengan epilepsi masih mengalami bangkitan atau
membutuhkan pengobatan.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui karakteristik penyandang epilepsi di
Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar
Metode Penelitian: Deskriptif cross sectional dengan menggunakan data
penderita epilepsi rawat jalan yang mengisi kuisioner di Polikliklinik Saraf
Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode Oktober hingga Desember 2019
Hasil: Penyandang epilepsi perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-
laki, terbanyak pada golongan usia remaja hingga dewasa muda, tingkat
pendidikan SMP-SMA. Kebanyakan penyandang tidak bekerja. Durasi konsumsi
obat baik kurang dari 2 tahun maupun lebih dari 2 tahun sama banyaknya. Jenis
terapi tersering yang diberikan terhadap penyandang epilepsi ialah monoterapi.
Bangkitan pertama paling banyak pada usia anak-remaja. Jenis bangkitan
terbanyak ialah bangkitan umum. Penyandang epilepsi lebih banyak yang tidak
pernah mengalami putus obat. Penyandang epilepsi lebih banyak yang telah bebas
kejang. Faktor pemicu bangkitan tersering ialah stres. Berdasarkan caregiver,
lebih banyak dirawat oleh orangtua.
Kata Kunci: epilepsi, karakteristik
vii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
MUHAMMADIYAH UNIVERSITY OF MAKASSAR
Thesis, 26 February 2020
1Muliana Hijrah,
2dr. Andi Weri Sompa, M.Kes, Sp.S
1Students of the Faculty of Medicine and Health Sciences at the University of
Muhammadiyah Makassar in 2016/ email [email protected] 2Mentor
“CHARACTERISTICS OF EPILEPSY IN NEUROLOGY CLINIC AT
PELAMONIA HOSPITAL MAKASSAR”
ABSTRACT
Background: Epilepsy is a chronic disorder in the brain that has an impact on
populations around the world. Around 50 million people in the world suffer from
epilepsy. Three-fourths of people with epilepsy living in countries with low per
capita income do not get proper treatment. The risk of death in people with
epilepsy is 3 times greater than the general population. It is estimated that up to
70% of people with epilepsy can live without seizures if diagnosed and treated
appropriately. Nowadays, people with epilepsy still get negative stigma and
discrimination in society. In Indonesia, there is no exact data on the prevalence or
incidence of epilepsy, but it is estimated that around 1.8 million people with
epilepsy still have a seizure or need treatment.
Objective: To determine the characteristics of people with epilepsy in neurology
clinic at Pelamonia hospital Makassar.
Methods: Descriptive cross-sectional study using data from outpatient epilepsy
patients who filled out questionnaires in the neurology clinic at Pelamonia
hospital Makassar from October to December 2019
Result: There were more women with epilepsy than men, most in the group of
teens to young adults, the level of education from junior-high school. Most people
with epilepsy do not work. The duration of drug consumption both less than 2
years and more than 2 years has the same amount. The most common type of
therapy given to people with epilepsy is monotherapy. The first seizures are most
common in children-teenagers. Most types of seizures are general seizures. People
with epilepsy are more who have never experienced a drug withdrawal. People
with epilepsy more who have been free of seizures. The most common triggering
factor is stress. Based on caregiver, people with epilepsy are more often treated by
parents.
Keyword: epilepsy, characteristic
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa tercurahkan atas segala
limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW, karena beliaulah sebagai suri tauladan
yang membimbing manusia menuju surga. Alhamdulillah berkat hidayah dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Karakteristik Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia
Makassar”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua penulis, bapak Hidjrah H. Masalle dan mamah Hj. Ria
yang senantiasa menjadi orang tua terhebat sejagad raya. Terima kasih karena
selalu ada. Terima kasih atas segala motivasi, nasehat, cinta, perhatian, dan kasih
sayang serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas.
Untuk kedua kakak dan kedua adik penulis, Rosnawati, Lukman Al
Hakim, Bripda Muh. Yusran Hidjrah, dan Syawalia Hidjrah, terima kasih atas
segala perhatian, kasih sayang, dan motivasi serta doanya. Terima kasih banyak
telah menjadi bagian dari motivasi yang luar biasa sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih untuk om dan tante penulis, dr. Wahyudi Sp.BS dan dr.
Sumarni Sp.JP-FIHA, terima kasih karena selalu menjadi motivator, inspirator
penulis dalam menyelesaikan masa pre-klinik. Untuk nenek dan adik-adik penulis,
ix
Hj. Cora Dg. Tamera, Aam, Ilman, Angga, Raisa, Uwais, dan Ibro, terima kasih
telah mewarnai masa pre-klinik penulis. Terima kasih juga untuk orang tua kedua
penulis, H. Haris dan Hj. Nurjaya atas segala doa dan dukungan baik materi
maupun non materi.
Secara khusus penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang sebanyak-banyaknya kepada dr. Andi Weri Sompa, M.Kes, Sp.S selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan
koreksi selama proses penyusunan skripsi ini hingga selesai. Selanjutnya penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk memperoleh ilmu pengetahuan di
Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar, Ayahanda dr.H.Machmud Gaznawi, Sp.PA(K)
yang telah memberikan sarana dan prasarana sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.
3. Seluruh dosen dan staf di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. dr. Muh. Ihsan Kitta, M.Kes, Sp.OT selaku pembimbing akademik saya
yang telah memberikan semangat dan motivasi agar penulis dapat
menyelesaikan pre-klinik tepat waktu.
5. dr. Yasser Ahmad Fananie, MHA selaku penguji yang telah meluangkan
waktu untuk menguji dan memberikan koreksi hingga skripsi ini selesai.
x
6. Teman-teman bimbingan dan ujian skripsi, Nirmawana, Egah Auviah
Ambri Mas‟ud, A. Pratiwi Riski Awalia, Faisal Efendi, dan Muh. Aril Afif
yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan penelitian
ini.
7. Teman-teman sejawat angkatan 2016 Rauvolfia yang selalu mendukung,
memberi semangat, dan mewarnai kehidupan pre-klinik.
8. Sahabat-sahabatku sejak menjadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran
sampai sekarang, Qadri, Yanti, Ulin, dan Wulangg yang selalu membantu
memberikan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
9. My Rangers Pink, Ida, Andev, dan Ilmi yang selalu memberi semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Tante-tanteku, Tante Dahe dan Tante Jum yang selalu memberi motivasi
belajar untuk tidak cepat menyerah dan selalu memberikan semangat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari yang diharapkan oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan senang dalam menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Namun penulis
berharap semoga tetap dapat memberikan manfaat pada pembaca, masyarakat dan
penulis lain. Akhir kata, saya berharap Allah SWT membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu.
Makassar, Februari 2020
Penulis
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI
PERNYATAAN PENGESAHAN
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
RIWAYAT HIDUP
ABSTRAK...............................................................................................................i
ABSTRACK...........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................vi
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................4
1. Tujuan Umum........................................................................................4
2. Tujuan Khusus.......................................................................................4
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................5
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
A. Definisi Epilepsi...........................................................................................7
B. Klasifikasi Epilepsi......................................................................................8
C. Faktor Pemicu Bangkitan...........................................................................11
D. Patofisiologi Epilepsi.................................................................................14
E. Diagnosis Epilepsi......................................................................................16
F. Diagnosa Banding Epilepsi........................................................................21
G. Penatalaksanaan Epilepsi...........................................................................23
H. Prognosis Epilepsi......................................................................................26
I. Peran Caregiver dalam Perawatan Pasien Epilepsi....................................26
J. Tinjauan Keislaman...................................................................................27
K. Kerangka Teori...........................................................................................33
BAB III KERANGKA KONSEP........................................................................34
A. Konsep Pemikiran......................................................................................30
B. Variabel Penelitian.....................................................................................35
C. Definisi Operasional...................................................................................35
BAB IV METODE PENELITIAN.....................................................................39
A. Desain Penelitian.......................................................................................39
B. Populasi dan Sampel Penelitian.................................................................39
C. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................40
D. Metode Analisis Data.................................................................................40
E. Alur Penelitian...........................................................................................41
F. Etika Penelitian..........................................................................................42
xiv
BAB V HASIL......................................................................................................43
A. Gambaran Umum Populasi/Sampel.....................................................43
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian....................................................43
C. Deskripsi Karakteristik Sampel............................................................44
BAB VI PEMBAHASAN.....................................................................................53
BAB VII PENUTUP...........................................................................................64
A. Kesimpulan................................................................................................64
B. Saran..........................................................................................................65
C. Keterbatasan Penelitian..............................................................................65
Daftar Pustaka.....................................................................................................66
LAMPIRAN
xv
DAFTAR SINGKATAN
BBB : blood brain barrier
BHS : Breath Holding Spells
CT-scan : Computed tomography scan
DNET : dysembryoplastic neuroepithelial tumor
EEG : elektroensefalografi
ILAE : International League Against Epilepsy
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy
OAE : obat anti epilepsi
PDS : paroxymal depolaritation shift
PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
PET : Positron Emission Tomography
Pokdi : kelompok studi
SDO : sawar darah otak
SGOT : serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT : serum glutamic pyruvic transaminase
SMA : Sekolah Menengah Atas
SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography
SSP : sistem saraf pusat
WHO : World Health Organization
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori...................................................................................33
Gambar 3.1 Konsep Pemikiran..............................................................................34
Gambar 4.1 Alur Penelitian....................................................................................41
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pemilihan OAE berdasarkan jenis epilepsi............................................25
Tabel 5.1 Distribusi sampel berdasarkan umur......................................................44
Tabel 5.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin.........................................45
Tabel 5.3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan................................45
Tabel 5.4 Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan......................................46
Tabel 5.5 Distribusi sampel berdasarkan durasi konsumsi OAE...........................47
Tabel 5.6 Distribusi sampel berdasarkan jenis terapi.............................................47
Tabel 5.7 Distribusi sampel berdasarkan usia saat bangkitan pertama..................48
Tabel 5.8 Distribusi sampel berdasarkan jenis bangkitan......................................49
Tabel 5.9 Distribusi sampel berdasarkan status putus obat....................................50
Tabel 5.10 Distribusi sampel berdasarkan status bebas kejang.............................50
Tabel 5.11 Distribusi sampel berdasarkan faktor pemicu bangkitan.....................51
Tabel 5.12 Distribusi sampel berdasarkan caregiver.............................................52
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner pengumpulan data
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKIK Unismuh
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal
Pemprov Sul-Sel
Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Komkordik RS Pelamonia
Makassar
Lampiran 5 Surat Keterangan Telah Meneliti dari Komkordik RS Pelamonia
Makassar
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi adalah kelainan kronik pada otak yang memberikan dampak pada
populasi di seluruh dunia. Epilepsi ditandai oleh kejang rekuren, yang mana
terdapat episode singkat dari pergerakan involunter yang melibatkan sebagian
dari tubuh (parsial) maupun seluruh tubuh (menyeluruh), dan terkadang
disertai dengan kehilangan kesadaran dan kontrol fungsi pencernaan dan
kandung kemih.(1)
Menurut WHO, sekitar 50 juta populasi di dunia menderita
epilepsi. Hampir 80% penyandang epilepsi ditemukan di negara dengan
pendapatan perkapita menengah dan rendah. Tiga per empat penyandang
epilepsi yang hidup di negara dengan pendapatan perkapita rendah tidak
mendapatkan penanganan yang tepat. Risiko kematian pada penyandang
epilepsi 3 kali lebih besar daripada populasi umum. Diperkirakan hingga 70%
penyandang epilepsi dapat hidup tanpa kejang jika didiagnosis dan ditangani
dengan tepat. Di beberapa bagian di dunia, penyandang epilepsi dan
keluarganya mendapatkan stigma negatif dan diskriminasi.(2)
Dari hasil penelitian Ullah S dkk di provinsi Khyber Pakhtunkhwa di
Pakistan pada tahun 2018, menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada pria
lebih tinggi daripada wanita yaitu sekitar 64,39% di mana 60,1% dari daerah
perkotaan. Prevalensi epilepsi tertinggi ditemukan pada penyandang dengan
2
usia mulai 11 – 20 tahun. Kepatuhan minum obat dan jenis kejang sangat
mempengaruhi hasil dari terapi obat anti-epilepsi.(3)
Di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi,
tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta,
maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami
bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta. Banyak
masyarakat masih mempunyai pandangan yang keliru (stigma) dan
beranggapan bahwa epilepsi bukanlah penyakit tapi karena masuknya roh
jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu kutukan. Hal ini terjadi karena saat
serangan epilepsi terjadi di tempat umum, membuat masyarakat yang melihat
menyimpulkan berbagai persepsi yang keliru. Mereka juga takut memberi
pertolongan karena beranggapan epilepsi dapat menular melalui air liur.
Adanya stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat orang
dengan epilepsi di kucilkan oleh lingkungan, di keluarkan dari sekolah,
menghambat karir dan kehidupan berumahtangga, sehingga membuat mereka
merasa tertekan dan depresi.(13)
Menurut hasil penelitian Pokdi Epilepsi PERDOSSI (Kelompok Studi
Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) di beberapa rumah
sakit di 5 pulau besar di Indonesia pada tahun 2013 mendapatkan 2.288
penyandang epilepsi dengan 21,3% merupakan penyandang baru. Rerata usia
penyandang adalah usia produktif. Sebanyak 77,9% penyandang berobat
pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum,
sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.(5)
3
Hasil penelitian Hasibuan HM dkk di Poliklinik Saraf RSUP Prof. DR. R.
D. Kandou Manado periode Juli 2015-Juni 2016, menunjukkan bahwa jumlah
penyandang epilepsi jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan. Penyandang epilepsi terbanyak pada golongan usia dewasa muda,
tingkat pendidikan terakhir SMA, belum bekerja dan masih berstatus sebagai
pelajar, serta mengalami kejang yang tidak terkontrol dengan jenis bangkitan
parsial (fokal).(4)
Seperti kita ketahui penyakit merupakan salah satu musibah dan cobaan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Anbiyaa‟ ayat 35:
بانشر وانخير فحىة وإنيىا كم وفس رائقة انمىت ووبهىكم
جرجعىن
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul Karakteristik Penyandang Epilepsi
di Poliknik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan
masalah sebagai berikut:
4
Bagaimana karakteristik penyandang epilepsi di poliklinik saraf Rumah
Sakit Pelamonia Makassar?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan umum:
Untuk mengetahui karakteristik pada penyandang epilepsi di poliklinik
saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
2. Tujuan khusus:
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui rentang usia penyandang epilepsi di poliklinik saraf
Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
b. Untuk mengetahui sebaran jenis kelamin penyandang epilepsi di
poliklinik saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar
c. Untuk mengetahui tingkat pendidikan pasien epilepsi di poliklinik saraf
Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
d. Untuk mengetahui jenis pekerjaan penyandang epilepsi di poliklinik
saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
e. Untuk mengetahui durasi konsumsi obat oleh penyandang epilepsi di
poliklinik saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
f. Untuk mengetahui jenis terapi obat anti-epilepsi (OAE) yang digunakan
oleh penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
g. Untuk mengetahui usia saat bangkitan pertama penyandang epilepsi di
poliklinik saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
5
h. Untuk mengetahui jenis bangkitan yang dialami penyandang epilepsi di
poliklinik saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
i. Untuk mengetahui status putus obat penyandang epilepsi di poliklinik
saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
j. Untuk mengetahui status bebas kejang penyandang epilepsi di poliklinik
saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
k. Untuk mengetahui faktor-faktor pemicu bangkitan pada penyandang
epilepsi di poliklinik saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
l. Untuk mengetahui caregiver penyandang epilepsi di poliklinik saraf
Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat penelitian bagi peneliti:
a. Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
karakteristik penyandang epilepsi.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis tentang
epilepsi.
2. Manfaat penelitian bagi masyarakat:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai
karakteristik penyandang epilepsi dan menambah pengetahuan
masyarakat tentang epilepsi.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
yang benar tentang epilepsi.
6
3. Manfaat penelitian bagi institusi:
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat dan menambah
perbendaharaan bacaan bagi mahasiswa/mahasiswi FKIK Universitas
Muhammadiyah Makassar untuk penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
tanpa provokasi atau bangkitan refleks berulang berselang lebih dari 24 jam.(5)
Menurut World Health Organization (WHO), epilepsi merupakan penyakit kronis
yang tidak menular di otak yang ditandai dengan kejang berulang secara spontan
yang disebabkan lepasnya muatan listik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi.(2)
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2014
definisi epilepsi dibagi menjadi definisi konseptual dan definisi operasional
(klinis). Secara konseptual, epilepsi adalah tanda atau gejala mendadak (transient)
akibat peningkatan aktivitas kumpulan neuron yang abnormal dan sinkron di otak.
Gangguan otak ini ditandai dengan predisposisi untuk menghasilkan serangan
epilepsi, dan memiliki konsekuensi neurobiologic, kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi epilepsi ini memerlukan terjadinya setidaknya satu kali kejang epilepsi.
Secara operasional atau klinis epilepsi didefinisikan sebagai gangguan sistem
saraf pusat yang memiliki karakteristik berikut(7)
:
1. Setidaknya terjadi dua kali kejang terpisah yang tidak diprovokasi
yang terjadi lebih dari 24 jam.
8
2. Satu kali kejang dan kemungkinan untuk kejang selanjutnya mirip
dengan risiko kekambuhan umum (minimal 60%) setelah dua kejang
tak beralasan, terjadi selama 10 tahun ke depan
3. Diagnosis sindrom epilepsi
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi bangkitan epileptik menurut ILAE 1981:
1. KEJANG PARSIAL/FOKAL
Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika
menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik
klonik. 60% penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang
resisten terhadap terapi antiepileptik.(8)
a. Kejang parsial sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan
kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.(8)
b. Kejang parsial kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan
kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung.
Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang
orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum termasuk
mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat
9
berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering
bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.(8)
c. Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan
kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot
bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan kejang
umum. Hal ini karena kejang parsialdengan generalisata sekunder mempunyai
onset fokal yang seringkali tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui
analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat.(6)
2. KEJANG UMUM
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal kejadian
kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau
kejang parsial kompleks.(8)
a. Kejang absence (petit mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian.
Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai
dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghentikan aktifitas
yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera
kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa
ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan
10
yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan
pubertas.(8)
b. Kejang tonik-klonik (grand mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang
(tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu
terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat
terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar
dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi
dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.(8)
c. Kejang atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye-babkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada
kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi
cedera.(8)
d. Kejang mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi
pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh-kan
dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat
merasa kebingun-gan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode
singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.(8)
11
e. Kejang tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik
dapat terjadi pula saat tertidur.(8)
c. KEJANG YANG TIDAK TERKLASIFIKASIKAN
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh
data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering
terjadi pada neonatus.Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi
dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan dewasa.(6)
C. FAKTOR PEMICU BANGKITAN
Terdapat banyak faktor -faktor pencetus yang menyebabkan seseorang terkena
serangan sindroma epilepsi. Faktor –faktor pencetusnya dapat berupa :
1. CAHAYA
Pada beberapa orang, bangkitan dapat dipicu oleh cahaya yang berkedip-
kedip, atau oleh bentuk atau pola geometris tertentu. Epilepsi demikian ini disebut
sebagai epilepsi fotosensitif atau fotogenik. Epilepsi jenis ini berkaitan dengan
epilepsi umum idiopatik. Sementara itu fotosensitivitas terdapat 30% dari kasus
juvenile myoclonic epilepsy. Pada golongan remaja, 18% di antaranya bersifat
fotosensitif. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya bangkitan adalah cahaya
yang berkedip-kedip dan/atau yang menyilaukan. Keadaan demikian ini terjadi
12
pada anak berumur 6-12 tahun. Sebagai contoh adalah sinar yang menerobos di
antara dedaunan dan sementara itu penderita bergerak secara cepat (misalnya naik
mobil); dalam keadaan demikian ini penderita terkena sinar tidak kontinyu yang
sama kualitasnya dengan sinar yang berkedip-kedip. Contoh lain adalah pantulan
sinar matahari yang mengenai mata penderita. Cahaya dari pesawat televisi dapat
pula merangsang terjadinya bangkitan. Prinsip fotosensitif dipakai untuk
pemeriksaan elektro-ensefalografi ialah dengan memberi rangsangan cahaya
berkedip-kedip (photic stimulation). (9)
2. STRES
Stres dapat mempengaruhi fungsi otak melalui berbagai cara. Stres
berkaitan dengan berbagai jenis emosi yang tidak mengenakkan perasaan
misalnya kawatir, takut, depresi, frustrasi, dan marah. Stres dapat mengganggu
pola tidur. Stres dan cemas dapat memicu terjadinya hiperventilasi. Pada penderita
tertentu hiperventilasi merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan. Penderita
epilepsi dapat lupa minum obat karena sedang dilanda stress. Stress juga dapat
mengubah konsentrasi hormon misalnya meningkatkan kadar kortisol;
peningkatan ini berpengaruh terhadap ambang bangkitan. (9)
3. DRUG ABUSE
Kokain, dengan berbagai bentuk konsumsi, dapat menimbulkan bangkitan
dalam waktu beberapa detik, menit, atau jam sesudah konsumsinya. Bangkitan
sebagai akibat kokain ini disertai dengan bangkitan jantung. Amfetamin dan
metilfenidat sering diberikan pada penderita attention deficit and hyperactivity
disorder (ADHD) dan narkolepsi. Apabila kedua jenis obat ini diminum tanpa
13
pengawasan dokter maka dapat menimbulkan gangguan tidur, bingung, dan
gangguan psikiatrik. Keadaan demikian ini apabila terjadi pada penderita epilepsi
maka akan mudah terjadi bangkitan karena lupa untuk minum obat. Di samping
itu, secara primer epilepsi merupakan salah satu kontra-indikasi untuk pemberian
metilfenidat.(9)
Narkotika tidak berkaitan secara langsung dengan munculnya bangkitan
pada epilepsi. Yang menjadi masalah adalah bahwa narkotika menyebabkan
penderita epilepsi lupa untuk minum obat. Selain itu, apabila narkotika
dikonsumsi dalam dosis besar dapat mengurangi penyedian oksigen ke otak; hal
demikian ini dapat menimbulkan bangkitan. Sementara itu, hipoksia dapat
menimbulkan status epileptikus.(9)
4. MENSTRUASI
Hampir setengah dari perempuan yang menderita epilepsi melaporkan
adanya peningkatan bangkitan pada saat menjelang, selama, dan/atau sesudah
menstruasi. Sebagian besar dari mereka mengalami peningkatan (kuantitas dan
kualitas) bangkitan pada periode perimenstrual dan fase folikular. Hal ini
berkaitan dengan kadar estrogen yang tinggi dan rendahnya kadar progesterone.
Gambaran seperti ini merupakan refleks excitatory effects dari estrogen dan
inhibitory effects dari progesterone terhadap ambang penyakit. (9)
Hormon steroid dapat menembus blood-brain barrier dengan mudah. Sel-
sel otak dapat dipengaruhi estrogen dan progesteron secara langsung. Pada
penelitian terhadap binatang dapat dibuktikan bahwa estrogen dapat memudahkan
terjadinya bangkitan dengan cara menurunkan ambang bangkitan; sementara itu
14
progesteron bertindak sebagaimana halnya obat anti epilepsi dengan cara
menaikkan ambang bangkitan. Estrogen mampu mempengaruhi aksis stres dan
juga berpengaruh secara langsung terhadap hipokampus dan amigdala. Dengan
demikian estrogen memiliki dua jalur yang berbeda untuk memudahkan terjadinya
bangkitan.(9)
5. SUARA
Suara tertentu dapat merangsang terjadinya bangkitan. Epilepsi jenis ini
disebut epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi
atau berkualitas keras dapat menimbulkan bangkitan. Pada penderita tertentu
sangat sensitif terhadap gemuruh suara mesin jet, musik dengan irama rock, atau
derit pintu. Begitu mendengar suara yang mengejutkan maka penderita langsung
mengalami bangkitan yang sangat mendadak sehingga mengejutkan orang lain.(9)
D. PATOFISIOLOGI
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal elektrolit
sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal Na+
, Ca2+
, dan
K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na
+ dan Ca
2+ ke dalam sel secara terus-
menerus sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift (PDS). PDS diinisiasi oleh
reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na+
yang masuk ke dalam sel, pada
mutasi kanal Na+, dan dapat diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya
15
Na+
sehingga semakin banyak Na+
di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+
, PDS terjadi
karena depolarisasi lambat semakin lama akibat peningkatan Ca2+
di dalam sel.
Sementara mutasi pada kanal K+
akan menghambat keluarnya K+
ke ektrasel yang
justru akan menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang depolarisasi, dan
akhirnya menyebabkan PDS. (10)
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah sinaps,
sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+
di dalam sel. Jumlah Ca2+
yang berlebihan
ini akan mengakibatkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini
merangsang keluarnya berbagai faktor inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan sawar
darah otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB), dan sebagainya.(10)
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun
sistemik. Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia,
dan SDO. Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+
dan glutamat di celah
sinaps karena tidak terhisap, sehingga sel neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan
tersebut juga akan mengaktivasi faktor-faktor inflamasi, kemudian merangsang
peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran yang berkepanjangan.
Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron, dan ekspresi gen.(10)
Hipereksitabilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di sekitarnya.
Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan disebut
sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi maka sel-sel neuron di
sekitarnya juga akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada
16
waktu yang bersamaan, maka akan terbentuk suatu potensial eksitasi yang besar dan
menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS hipersinkroni ke seluruh hemisfer saat
iktal maupun interiktal tergantung pada aktivitas interneuron di thalamus yang
sebagian besar bersifat inhibisi. (10)
E. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.(5)
Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan kunci penting dalam penegakkan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara terperinci, dan menyeluruh
karena kita sebagai pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Dengan anamnesis, banyak informasi tentang keluhan penderita
dapat muncul. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.(6)
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait
di bawah ini(5)
:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
1) Sebelum bangkitan/ gejala prodromal:
17
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.
2) Selama bangkitan/ iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video
saat bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
Aktivitas penyandang pada saat bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain
3) Pasca bangkitan/ post- iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd‟s
paresis
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
18
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
Jenis obat antiepilepsi
Dosis OAE
Jadwal minumOAE
Kepatuhan minum OAE
Kadar OAE dalam plasma
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan congenital
Kecanduan alcohol atau napza
19
Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
Tanda-tanda keganasan
b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
Paresis Todd
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk(5)
:
Membantu menunjang diagnosis
Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi
Membantu menentukanmenentukan prognosis
Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE
20
a. Pemeriksaan pencitraan otak (neuroimaging)
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi
(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam
lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,
malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor),
tuberous sclerosiss.
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada
kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk
mencari adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih
ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih
cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau
dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari
segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif
dibandingkan CT scan kepala.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematotologi
21
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping
OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.
F. DIAGNOSA BANDING
1. Sinkop
Manifestasi klinis sinkop sangat mirip dengan epilepsi. Masalah utama
yang mendasari sinkop adalah hipoksia serebral dengan berbagai macam penyebab.
Sinkop vasovagal atau vasopressor dapat bersifat psikogenik, neurogenik, atau
dapat diinduksi oleh gangguan sinus karotikus, miksi (micturition syncope), batuk
(tussive syncope) dan manuver Valsava. Gangguan jantung misalnya aritmia,
takikardi artial, dan ventricular paroksismal, serta asistolik dapat menimbulkan
22
sinkop. Ciri-ciri sinkop meliputi bangkitan berulang yang stereotipik: gangguan
kesadaran disertai oleh hilangnya tonus motorik. Pada sinkop yang didasari oleh
hipoksia serebral dengan proses yang lambat maka akan didahului gejala malaise
atau nyeri kepala ringan. Status prasinkop ini dapat dilengkapi dengan gangguan
sensorik, antara lain pandangan kabur, vertigo, tinitis atau gangguan pendengaran
lainnya dan halusinasi yang jarang terjadi. Proses berlanjut maka penderita
kehilangan kesadarannya, kemudian tubuh merosot ke lantai dan dapat terjadi
spasmus tonik dan gerakan klonik. Seluruh kejadian berlangsung selama beberapa
detik kemudian penderita sadar kembali dan kadang-kadang dia mengeluh mual.(6)
2. Breath Holding Spells (BHS)
BHS merupakan respon refleks involunter. BHS paling sering terjadi pada
anak usia prasekolah dan biasanya meningkat pada usia sekolah. Sering kali ada
riwayat keluarga dengan BHS. BHS terdiri dari 2 jenis yaitu BHS sianotik
(cyanotic infantile syncope) dan BHS pallid (pallid infantile syncope atau kejang
refleks anoksik).(11)
BHS sianotik dipicu oleh kemarahan atau frustrasi. Ciri khasnya yaitu
menangis, selama menangis anak akan berhenti bernapas (fase ekspirasi), menjadi
sianotik, dan kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, anak mungkin menjadi
kaku, lemas, atau bahkan berguncang menimbulkan kekhawatiran kejang.
Patogenesis terjadinya BHS sianotik rumit, mungkin melibatkan suatu interaksi
antara hiperventilasi, manuver Valsava, apneu ekspiratori, dan mekanisme paru
intrinsik.(11)
23
BHS pallid cenderung dipicu oleh ketakutan atau stimulus yang tidak
menyenangkan (seperti trauma ringan). Ditandai oleh hilangnya kesadaran, pucat,
bradikardi, diaforesis, dan parese. BHS pallid merupakan hasil dari inhibisi
kardiak melalui saraf vagus, menyebabkan pengurangan aliran darah otak.(11)
Kedua jenis BHS dikaitkan dengan peningkatan kecenderungan epilepsi,
meskipun kejang dapat terjadi pada akhir BHS. Kejang ini bermanifestasi sebagai
kekakuan tonik ekstremitas, kadang-kadang dengan klonik menyentak singkat,
dan bukan epilepsi. Sebaliknya, kedua tipe BHS ini menggambarkan respon otak
terhadap hipoksia akut. Kejang ini berhenti secara spontan dan tidak
membutuhkan terapi antikonvulsan. Evaluasi dengan EEG biasanya tidak
diperlukan. Elektrokardiogram dilakukan untuk mengesampingkan adanya
sindrom QT memanjang.(11)
3. Narkolepsi
Narkolepsi menunjuk pada keadaan mudah sekali jatuh tertidur, tidak
semestinya, pada siang hari (hipersomnia), sering berhubungan dengan katapleks,
paralisis tidur, dan hypnagogic atau hypnopompic hallucinations. Bangkitan tidur
bersifat mendadak, tak tertahankan dan kemudian tampak segar kembali.
Gambaran katapleksi adalah sebagai berikut: drop attacks karena paralisis otot-
otot volunter dan hilangnya tonus otot, sering dipicu oleh rasa terkejut, atau oleh
reaksi emosional yang mendadak misalnya tertawa (Lachschlag). Kesadaran tetap
baik, kekuatan otot-otot segera pulih kembali,atau penderita tetap mengalami
paralisis flaksid selama beberapa menit. Hypnagogic dan hypnopompic
24
hallucinations sangat mirip dengan fenomena mimpi yang terjadi saat tidur atau
jaga.(6)
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental
yang dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping
yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi pada epilepsi dapat
berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.(5)
1. terapi farmakologi
OAE diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, faktor
penyebab diobati (misalnya : neoplasma serebral), memastikan faktor pencetus
bangkitan dapat dihindari (misalnya : alkohol,kurang tidur, stres), variasi alami
harus diantisipasi (misalnya terjadi khususnya di sekitar perode pada wanita),
terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun penyandang dan atau keluarganya
sudah menerima penjelasan tentang penyakit, tujuan pengobatan, durasi
pengobatan, kemungkinan efek samping obat dan perlunya kepatuhan minum
obat. Terapi dimulai dengan monoterapi, penggunaan OAE pilihan sesuai dengan
jenia bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
25
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan. Penambahan
OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Tabel 2.1: Pemilihan OAE berdasarkan jenis epilepsi
Jenis Kejang Lini Pertama Lini Kedua
Parsial sederhana Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Gabapentin
Parsial kompleks Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Gabapentin
Tonik-klonik Karbamazepin
Fenitoin
Asam valproat
fenobarbital
Absence Etosuksimid
Asam valproat
Klomazepam
Acetozolamide
Mixed seizure Fenitoin
Fenobarbital-
Etosuksimid atau Asam
Valproat
Primidone
Karbamazepin-
Klonazepam
Acetozolamide
26
Mioklonik, Atonik Klonazepam Fenobarbital
benzodiazepin
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian
yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak
fokus infeksi:
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c.Hemisferektomi
d. Callostomi
H. PROGNOSIS
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Pada
umumnya, prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita
epilepsi dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu
waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau absence mempunyai prognosis
terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau
yang disertai kelainan neurologik dan retardasimental mempunyai prognosis
relative jelek.(2)
27
I. PERAN CAREGIVER DALAM PERAWATAN PASIEN EPILEPSI
Dalam banyak hal, epilepsi ini dianggap sebagai beban bagi penderita dan
keluarga karena bagi orang awam hal ini dianggap sebagai penyakit yang
memalukan, penyakit menular dan penyakit jiwa. Anggapan masyarakat yang
demikian membuat penderita epilepsi sulit hidup dalam kehidupan yang normal.
Penderita epilepsi sering mengalami diskriminasi, baik dalam hal mendapatkan
pelajaran, pekerjaan, maupun dalam hal berumah tangga. Bahkan masih banyak
anggapan bahwa, penyakit epilepsi dapat diturunkan juga dari orang tua ke anak.
Hal ini membuat beban bagi penderita yang ingin menikah dan memiliki
keturunan.(13)
Dukungan keluarga baik dari segi financial, emosional maupun dari segi
spiritual sangat dibutuhkan bagi pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka
waktu yang panjang. Dengan meningkatnya dukungan keluarga ini maka pasien ini
akan mempunyai motivasi untuk sembuh. Dengan adanya motivasi untuk sembuh
ini maka individu tersebut akan mengikuti prosedur pengobatannya dengan baik
dan lancar. Dukungan keluarga yang baik akan mempengaruhi pelaksanaan
program pengobatan yang dijalani oleh pasien.(14)
Dukungan dari keluarga diperlukan untuk mengingatkan pasien supaya rutin
dan disiplin dalam mengkonsumsi obat anti epilepsi. Dengan rutin meminum obat
epilepsi ini akan mengurangi frekuensi kejang pada pasien epilepsi. Apabila tidak
ada dukungan dari keluarga, maka dapat mengakibatkan frekuensi kejang muncul
lebih sering dari biasanya. Dengan munculnya frekuensi kejang yang lebih sering
28
ini maka akan terjadi perubahan atau peningkatan dosis dan kombinasi obat – obat
anti epilepsi, yang sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi apabila pasien patuh atau
disiplin dalam mengkonsumsi obat anti epilepsi.(15)
J. TINJAUAN KEISLAMAN
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
sehat merupakan nikmat Allah SWT yang paling berharga dalam kehidupan ini.
Setiap orang mendambakan kesehatan baik sehat secara jasmani maupun rohani,
karena apabila manusia sedang sakit akan sangat berpengaruh pada
kehidupannya.(12)
Pada dasarnya manusia menginginkan dirinya sehat, baik sehat jasmani
maupun rohani, sehingga diantara hikmah Allah SWT menurunkan Al-Quran
yang didalamnya ada petunjuk dapat menjadi obat bagi penyakit yang terjangkit
pada manusia baik fisik maupun psikis. Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra
ayat 82:
ل مه انقرآن ما هى شفاء ورحمة نهمؤمىيه ول يزيذ نظانميه ووىز
إل خسارا
Artinya: Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Sehat dan sakit adalah dua hal yang tak lepas dari kehidupan manusia,
dan itu adalah bagian dari cobaan. Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian,
29
bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan
diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa
pula pada perkara yang menyenangkannya.(38)
Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Anbiyaa‟ ayat 35:
كم وفس رائقة انمىت ووبهىكم بانشر وانخير فحىة وإنيىا
جرجعىن
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.
Sahabat Ibnu Abbas yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir Al-Qur‟an-
menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan
kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram,
ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.” (Tafsir Ibnu Jarir). Dari
ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari
cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.(38)
Salah satu penyakit yang
diberikan Allah SWT sebagai cobaan ialah epilepsi.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, pernah ada seorang wanita yang menderita
penyakit ayan (epilepsi). Wanita tersebut bernama Su‟airah al-Asadiyyah berasal
dari Habasyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita
yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh
ketulusan. Kisah wanita ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab
shahihnya dengan sanadnya dari „Atha‟ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas
30
berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni
surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.” Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini
(orangnya). Ia telah datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu
berkata:“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka
tanpa disadari auratku terbuka. Do‟akanlah supaya aku sembuh.” Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Jika engkau kuat bersabar, engkau akan
memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian
ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku)
terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka .” Maka
Beliau Nabi Muhammad SAW pun mendo‟akannya. (HR Al-Bukhari 5652).(39)
Dari hadist ini, kita bisa melihat betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia
berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu
agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan
bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah
sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun
yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi
timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.(39)
Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia,
sebenarnya terdapat banyak hikmah yang agung di dalamnya. Pertama, penyakit
sebagai penebus dosa yang pernah dilakukan manusia akibat kelalaian dan
pelanggarannya terhadap perintah Allah SWT. MakaAllah memberikan ganjaran
31
di dunia secara kontan dan spontan. Hal ini mungkin sebagai tanda kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya sehingga si hamba bisa keluar dari dunia ini dalam
keadaan bersih.(38)
Kedua, penyakit sebagai pengingat dan penguji kualitas kesabaran
seseorang. Hal ini merupakan takdir Allah kepada hamba-Nya dan kelak diakhirat
akan diganti dengan rahmat dan ridha-Nya. Apabila seorang seorang hamba
menghadapi cobaan dan penderitaan itu dengan ridha, ikhlas, dan terus menerus
berikhtiar mencari jalan keluar dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan
tuntunan syara‟, tidak mengeluh, mengaduh, apalagi meratap dan merintih, maka
Allah akan menjanjikan akan memepermudah urusan hisabnya dihari kiamat,
maka Allah menjanjikan akan menyegerakan pahalanya, memberkati
kehidupannya sehingga timbangan amalnya berat kearah ketetapan dan pahala,
dan berkesudahan dengan jannatun-na’im.(38)
Ketiga, penyakit sebagai tangga untuk mencapai kualiatas derajat lebih
tinggi di sisi Allah.(38)
Kita tentu masih ingat bagaimana musibah yang ditimpakan
kepada Nabiyullah Ayyub as yang dikisahkan dalam surah Al-Anbiyaa‟ ayat 83-
84:
حميه ف ر وأوث أرحم ٱنر ىي ٱنض ٲسحجبىا نهۥ وأيىب إر وادي ربهۥ أوي مس
ه عىذوا وركري عهم رحمة م ه أهههۥ ومثههم م فكشفىا ما بهۦ مه ضر وءاجيى
بذيه نهع
Artinya : “Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya
Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan
yang Maha penyayang diantara semua penyayang”. Maka Kami pun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami kembalikan keluarganjya kepadanya,
32
dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami
dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.
Ayat di atas mengisahkan Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit, kehilangan
harta dan anak-anaknya,. Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang
tiidak tertimpa sakit, karena dua organ inilah yang dibiarkan Allah SWT tetap
baik dan digunakan oleh Nabi Ayyub untuk berdzikir dan memohon keridhoan
Allah SWT dan Allah SWT pun mengabuklan doanya, hingga akhirnya Nabi
Ayyub sembuh dan di kembalikan harta dan keluarganya. Dari sini dapat diambil
pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada Allah SWT, tidak
berputus asa akan rahmat Allah SWT serta bersabar dalam menerima takdir Allah
SWT.(40)
Dalam menghadapi cobaan tersebut haruslah dengan sikap jiwa yang telah
digariskan oleh Al-Quran. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah 155.
ونىبهىوكم بشيء مه انخىف وانجىع ووقص مه المىال والوفس
ابريه ر انص وانثمرات وبش
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.
Karena kita sebagai manusia perlu meyakini bahwa apapun bahwa apabila
Allah menakdirkan sakit maka kita akan sakit, begitu pula apabila Allah
33
menakdirkan kesembuhan tiada daya upaya kecuali dengan izin-Nya kita akan
sembuh.
K. KERANGKA TEORI
Klasifikasi:
Kejang parsial
Kejang umum
Kejang yang tidak
terklasifikasi
Faktor resiko:
Cahaya
Stres
Drug abuse
Menstruasi
suara
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang ditandai oleh bangkitan tanpa provokasi
atau bangkitan refleks berulang berselang
lebih dari 24 jam.
Penatalaksanaan Diagnosa
34
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. KONSEP PEMIKIRAN
Konsep pemikiran dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang
gambaran karakteristik penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar
adalah :
Farmakologi Pembedahan
Obat lini
pertama
Obat lini
pertama
anamnesis
Pemeriksaan
fisik dan
neurologis
Pemeriksaan
penunjang
Penyandang
epilepsi
Karakteristik pasien:
Usia
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Jenis pekerjaan
Durasi konsumsi obat
Jenis terapi
Usia saat bangkitan pertama
Jenis bangkitan
Status putus obat
35
B. VARIABEL PENELITIAN
Variabel independen : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan saat ini, jenis
pekerjaan, durasi konsumsi obat, obat anti-epilepsi (OAE)
yang digunakan, usia saat bangkitan pertama, jenis
bangkitan, status putus obat, status bebas kejang, faktor-
faktor pemicu bangkitan, caregiver penyandang
Variabel dependen : penyandang epilepsi
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dari penelitian perlu untuk menghindari perbedaan
dan menyamakan persepsi dalam menginterpretasikan masing –masing variable
penelitian.
1. penyandang epilepsi: penyandang yang telah mengalami gejala dan tanda
epilepsi yang didiagnosis epilepsi oleh dokter, serta
36
disertai hasil elektro-ensefalografi
2. Usia : Usia penyandang yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : tahun
Skala ukur : ordinal
3. Jenis kelamin : jenis kelamin penyandang yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan
Skala ukur : Nominal
4. tingkat pendidikan : tingkat pendidikan penyandang yang tercatat pada
kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : tidak sekolah, SD, SMP-SMA, sarjana
Skala ukur : nominal
5. Jenis pekerjaan : pekerjaan penyandang yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : pekerjaan penyandang
Skala ukur : Nominal
6. Durasi konsumsi obat : lama pemakaian obat anti-epilepsi (OAE) oleh
37
penyandang yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : kurang dari 2 tahun atau lebih dari 2 tahun
Skala ukur : Ordinal
7. jenis terapi : jenis terapi obat anti-epilepsi (OAE) yang digunakan oleh
penyandang yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : monoterapi, politerapi
Skala ukur : Nominal
8. usia saat bangkitan pertama : usia penyandang saat bangkitan pertama
yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : balita, anak-remaja, dewasa, lanjut usia
Skala ukur : ordinal
9. jenis bangkitan : jenis bangkitan yang dialami oleh penyandang yang
tercatat
pada kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : umum, parsial
38
Skala ukur : nominal
10. status putus obat : penyandang pernah berhenti mengonsumsi OAE atau
tidak
yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : ya, tidak
Skala ukur : nominal
11. status bebas kejang : penyandang pernah bebas kejang atau tidak yang
tercatat pada kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : ya, tidak
Skala ukur : nominal
12. faktor pemicu bangkitan : apa saja yang bisa memicu terjadinya bangkitan
yang tercatat pada kuisioner
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
Hasil ukur : faktor pemicu bangkitan
Skala ukur : nominal
13. caregiver : orang yang merawat penyandang
Cara ukur : observasi
Alat ukur : kuisioner
39
Hasil ukur : orangtua, saudara, suami/istri, anak
Skala ukur : nominal
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
deskriptif untuk melihat karakteristik pasien epilepsi dengan rancangan
penelitian cross sectional (total sampling).
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia,
Makassar. Pemilihan tempat ini dimaksudkan karena Rumah Sakit Pelamonia
merupakan pusat pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu tempat pendidikan
40
klinik bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.
3. Waktu penelitan
Waktu pengambilan dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober
2019 hingga Desember 2019.
B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien yang didiagnosa dengan epilepsi
yang rawat jalan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia, dari bulan Oktober
2019 hingga Desember 2019.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien epilepsi yang datang ke poliklinik
saraf Rumah Sakit Pelamonia di Makassar. Teknik pengambilan sampel adalah
dengan menggunakan total sampling dimana peneliti mengambil semua populasi
terjangkau sebagai sampel, maka setiap objek penelitian diteliti.
3. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dari penelitian:
pasien epilepsi rawat jalan yang berobat di Poliklnik Saraf Rumah Sakit
Pelamonia Makassar
Bersedia menjadi peserta/responden penelitian ini
4. Kriteria eksklusi
41
Kriteria eksklusi dari penelitian:
Tidak bersedia menjadi peserta/responden penelitian ini
Kuisioner tidak terisi lengkap
C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer yang
diperoleh dengan mengisi kuisioner pengambilan data penderita epilepsi di
Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar, dari bulan Oktober 2019 hingga
Desember 2019.
D. METODE ANALISIS DATA
Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan program
komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) secara deskriptif dan
hasil ditampilkan dalam tabel bentuk distribusi.Pengolahan data hasil penelitian ini
diformasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut :
1. Editing : untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara
kriteria
yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
2. Coding : untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka
karakter.
Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka
pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan
komputer.
3. Entry : memasukkan data ke dalam program komputer program SPSS (Statistical
42
Product and Service Solution)
4. Cleaning : pemeriksaan data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer
untuk menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.
E. ALUR PENELITIAN
Pengambilan data awal
Pengumpulan data menggunakan kuisioner
Pengolahan data
Hasil dan pembahasan
Kesimpulan dan saran
F. ETIKA PENELITIAN
1. menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada Rumah Sakit Pelamonia
Makassar.
2. menjaga kerahasiaan data penderita yang terdapat pada kuisioner, sehingga
diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
43
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. GAMBARAN UMUM POPULASI/SAMPEL
Telah dilakukan penelitian tentang gambaran karakteristik penyandang
epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar pada bulan
Oktober sampai Desember 2019. Pengambilan data untuk penelitian ini telah
dilakukan pada tanggal 1 Oktober- 31 Desember 2019 di Poliklinik Saraf
44
Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Penelitian ini dilakukan melalui observasi
yaitu dengan membagikan kuesioner kepada penyandang epilepsi rawat jalan
yang berobat di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 26 pasien. Dari keseluruhan sampel yang diteliti
adalah mengenai karakteristik mencakup umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, durasi konsumsi OAE, jenis terapi OAE, usia saat
bangkitan pertama, jenis bangkitan, status putus obat, status bebas kejang,
faktor pemicu bangkitan, dan caregiver.
Data yang telah terkumpul selanjutnya disusun dalam suatu table induk
(master table) dengan menggunakan program komputerisasi. Dari tabel induk
tersebutlah kemudian data dipindahkan dan diolah menggunakan program
statistik di perangkat komputer kemudian disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi.
B. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
Secara demografi gambaran lokasi Rumah Sakit Pelamonia Makassar terletak di
Jl. Jend. Sudirman No.27, Pisang Utara, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan 90157. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas tipe B.
C. DESKRIPSI KARAKTERISTIK SAMPEL
1. Usia
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
45
gambaran mengenai rentang usia penyandang epilepsi di Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi (n) Persentase (%)
<15 3 11,5
15-30 14 53,9
>30 9 34,6
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 1 diketahui sampel dengan umur <15 tahun berjumlah 3
orang (11,5%), umur 15-30 tahun berjumlah 14 orang (53,9%), dan umur >30
tahun berjumlah 9 orang (34,6%).
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai sebaran jenis kelamin penyandang epilepsi di Rumah
Sakit Pelamonia Makassar.
Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 7 26,9
Perempuan 19 73,1
Jumlah 26 100
46
Berdasarkan tabel 2 diketahui sampel dengan jenis kelamin laki-laki
berjumlah 7 orang (26,9%), sedangkan jenis kelamin perempuan berjumlah 19
orang (73,1%).
3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai tingkat pendidikan penyandang epilepsi di Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak sekolah 5 19,2
SD 5 19,2
SMP-SMA 15 57,7
Sarjana 1 3,8
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 3 diketahui sampel dengan tingkat pendidikan tidak
sekolah berjumlah 5 orang (19,2%), tingkat pendidikan SD berjumlah 5 orang
(19,2%), tingkat pendidikan SMP-SMA berjumlah 15 orang (57,7%), dan
tingkat pendidikan sarjana berjumlah 1 orang (3,8%).
4. Jenis Pekerjaan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
47
gambaran mengenai jenis pekerjaan penyandang epilepsi di Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak bekerja 12 46,2
IRT 6 23,1
Pelajar 5 19,2
Wiraswasta 3 11,5
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 4 diketahui sampel ditemukan pada golongan yang tidak
bekerja yaitu sebanyak 12 orang (46,2%), golongan IRT sebanyak 6 orang
(23,1%), golongan pelajar sebanyak 5 orang (19,2%), dan golongan wiraswasta
sebanyak 3 orang (11,5%).
5. Durasi Konsumsi OAE
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai durasi konsumsi obat anti epilepsi pada penyandang
epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
Tabel 5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Durasi Konsumsi OAE
Durasi Konsumsi OAE Frekuensi (n) Persentase (%)
<2 tahun 13 50
>2 tahun 13 50
Jumlah 26 100
48
Berdasarkan hasil penelitian tabel 5 di atas menunjukkan distribusi durasi
konsumsi OAE pada penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar
dengan jumlah total sampel 26 orang. Sebanyak 13 penyandang (50%)
mengkonsumsi obat anti epilepsi dengan durasi konsumsi kurang dari 2 tahun,
sedangkan pasien yang mengkonsumsi obat anti epilepsi dengan durasi
konsumsi lebih dari 2 tahun adalah sebanyak 13 penyandang (50%).
6. Jenis Terapi
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai jenis terapi pada penyandang epilepsi Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Terapi OAE
Jenis Terapi Frekuensi (n) Persentase (%)
Monoterapi 17 65,4
Politerapi 9 34,6
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 6 di atas menunjukkan distribusi jenis terapi pada
pasien epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan jumlah total
sampel 26 orang. Sebanyak 17 penyandang (65,4%) mendapatkan jenis
pengobatan monoterapi, sedangkan penyandang yang mendapatkan jenis
pengobatan politerapi sebanyak 9 penyandang (34,6%).
7. Usia Saat Bangkitan Pertama
49
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai usia saat bangkitan pertama penyandang epilepsi Rumah
Sakit Pelamonia Makassar.
Tabel 5.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia Saat Bangkitan
Pertama
Usia Saat Bangkitan
Pertama
Frekuensi (n) Persentase (%)
Balita 8 30,8
Anak-remaja 14 53,9
Dewasa 3 11,5
Lanjut usia 1 3,8
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan distribusi usia saat bangkitan
pertama penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan
jumlah total sampel 26 orang. Sebanyak 14 orang (53,9%) mengalami
bangkitan pertama kali pada usia anak-remaja, 8 orang (30,8%) pada usia
balita, 3 orang (11,5%) pada usia dewasa, dan sebanyak 1 orang (3,8%) pada
usia lanjut usia.
8. Jenis Bangkitan
50
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai jenis bangkitan yang dialami penyandang epilepsi di
Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
Tabel 5.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Bangkitan
Jenis Bangkitan Frekuensi (n) Persentase (%)
Parsial 7 26,9
Umum 19 73,1
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 8 di atas menunjukkan distribusi jenis bangkitan
penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan jumlah total
sampel 26 orang. Sebanyak 7 penyandang (26,9%) mengalami jenis bangkitan
epilepsi parsial, sedangkan penyandang yang mengalami jenis bangkitan
epilepsi umum sebanyak 19 orang (73,1%).
9. Status Putus Obat
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai status putus obat penyandang epilepsi Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Status Putus Obat
51
Status Putus Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
Ya 9 34,6
Tidak 17 65,4
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 9 di atas menunjukkan distribusi status putus obat
penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan jumlah total
sampel 26 orang. Sebanyak 9 penyandang (34,6%) pernah berhenti
mengonsumsi obat anti epilepsi, sedangkan penyandang yang tidak pernah
berhenti mengonsumsi obat anti epilepsi sebanyak 17 orang (65,4%).
10. Status Bebas Kejang
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai status bebas kejang penyandang epilepsi Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Tabel 5.10 Distribusi Sampel Berdasarkan Status Bebas Kejang
Status Bebas Kejang Frekuensi (n) Persentase (%)
Ya 15 57,7
Tidak 11 42,3
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 10 di atas menunjukkan distribusi status bebas
kejang penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan
jumlah total sampel 26 orang. Sebanyak 15 penyandang (57,7%) pernah
52
mengalami bebas kejang, sedangkan penyandang yang tidak pernah
mengalami bebas kejang sebanyak 11 orang (42,3%).
11. Faktor Pemicu
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai faktor pemicu bangkitan pada penyandang epilepsi
Rumah Sakit Pelamonia Makassar.
Tabel 5.11 Distribusi Sampel Berdasarkan Faktor Pemicu Bangkitan
Faktor Pemicu Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak diketahui 4 15,4
Stress 12 46,1
Kelelahan 10 38,5
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 11 di atas menunjukkan distribusi faktor pemicu
bangkitan pada penyandang epilepsi di Rumah Sakit Pelamonia Makassar
dengan jumlah total sampel 26 orang. Tabel 11 menunjukkan stress menjadi
faktor pemicu bangkitan pada 12 penyandang (46,1%), kelelahan pada 10
penyandang (38,5%), dan tidak diketahui sebanyak 4 penyandang (15,4%).
12. Caregiver
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 26 orang penyandang yang
dikumpulkan dengan kuisioner pengambilan data, maka peneliti memperoleh
gambaran mengenai caregiver penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia
Makassar.
53
Tabel 5.12 Distribusi Sampel Berdasarkan Caregiver
Caregiver Frekuensi (n) Persentase (%)
Orangtua 14 53,8
Saudara 5 19,2
Suami/istri 5 19,2
Anak 2 7,7
Jumlah 26 100
Berdasarkan tabel 12 di atas menunjukkan distribusi caregiver
penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar dengan jumlah total
sampel 26 orang. Sebanyak 14 orang (53,8%) dirawat atau tinggal bersama
dengan orangtua, 5 orang (19,2%) dengan saudara, 5 orang (19,2%) dengan
suami/istri, dan 2 orang (7,7%) dengan anak.
54
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengolahan data yang telah dilakukan
pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar, maka berikut
merupakan pembahasan tentang hasil penelitian yang didapatkan.
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.1, dapat diketahui bahwa golongan usia 15-30 tahun yang terbanyak
menyandang epilepsi yaitu 14 orang (53,9%), sedangkan golongan usia <15 tahun
merupakan yang paling sedikit yaitu 3 orang (11,5%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Rhiza Khasanah (2014) dan Mughni
H.Hasibuan (2016) yang dilakukan pada penyandang epilepsi di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado, yang menemukan usia remaja hingga dewasa muda lebih
banyak dengan persentase 33,7% dan 24%.(4,16 )
Menurut WHO (2006), prevalensi
epilepsi di negara berkembang, terbanyak ditemukan pada usia dekade dua dan
tiga.(26)
Menurut penelitian yang di lakukan di Amerika dan beberapa negara Asia
dan Eropa, insiden tertinggi epilepsi terjadi pada kelompok umur anak-anak dan
dewasa muda.(27,28)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.2, dapat diketahui bahwa jenis kelamin yang paling banyak menderita
55
epilepsi adalah golongan perempuan dengan sampel 19 orang (73,1%), sedangkan
jenis kelamin yang paling sedikit menderita epilepsi adalah golongan laki-laki
yaitu 7 orang (26,9%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Mahmood Vakili (2016) yang dilakukan
pada penyandang epilepsi di Yazd-Iran, yang menemukan jenis kelamin
perempuan lebih banyak dengan persentase 57% berbanding jenis kelamin laki-
laki dengan persentase 43%.(17)
Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Rhiza Khasanah (2014) dan Mughni H.Hasibuan (2016) yang dilakukan
pada penyandang epilepsi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yang
menemukan penyandang laki-laki lebih banyak daripada perempuan.(4,16)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.3, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak
menyandang epilepsi adalah golongan SMP-SMA dengan sampel 15 orang
(57,7%), sedangkan golongan sarjana merupakan yang paling sedikit yaitu 1
orang (3,8%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Rhiza Khasanah (2014) dan Mughni
H.Hasibuan (2016) yang dilakukan pada penyandang epilepsi di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado, yang menemukan tingkat pendidikan SMP-SMA lebih
banyak dengan persentase 74,3% dan 55,1%, sedangkan tingkat pendidikan yang
paling sedikit yaitu sarjana dengan presentasi 12,9% dan 10,1%.(4,16)
Namun, hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian Mahmood Vakili (2016) yang dilakukan
56
pada penyandang epilepsi di Yazd-Iran, yang menemukan tingkat pendidikan
yang paling banyak yaitu di bawah usia pendidikan formal dengan persentase
46,3%.
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.4, dapat dilihat distribusi penyandang epilepsi berdasarkan jenis pekerjaan
paling banyak ditemukan pada golongan yang tidak bekerja sejumlah 12 orang
(46,2%), diikuti IRT 6 orang (23,1%), pelajar 5 orang (19,2%), dan wiraswasta 3
orang (11,5%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Indah Irawati (2015) yang dilakukan pada
penyandang epilepsi di RSJD Dr. Arif Zainudin Surakarta, yang menemukan jenis
pekerjaan yang paling banyak menderita epilepsi adalah golongan yang tidak
bekerja dengan persentase 52,6%.(18)
Diperkirakan hal ini terjadi karena pada
beberapa sampel masih ada yang belum masuk usia kerja. Menurut Rizaldi Pinzon
(2007), penyandang epilepsi memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada
populasi normal. Penyandang epilepsi akan mengalami kesulitan dalam
menjalankan pekerjaan karena serangan kejang yang sering terjadi, sehingga
karena alasan serangan inilah maka mereka sulit dalam diterima bekerja.(19)
Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rhiza Khasanah (2014) dan
Mughni H.Hasibuan (2016) yang dilakukan pada penyandang epilepsi di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yang menemukan jenis pekerjaan terbanyak
yaitu pelajar dengan persentase 43,6% dan 32,3%.(4,16)
57
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.5, hasil penelitian menunjukkan durasi konsumsi obat anti epilepsi oleh
penyandang epilepsi di poliklinik saraf kurang dari 2 tahun berjumlah 13 orang
(50%) dan penyandang yang mengonsumsi obat anti epilepsi dengan durasi
konsumsi lebih dari 2 tahun juga berjumlah 13 orang (50%). Hal ini disebabkan
karena sebagian pasien merupakan pasien baru, sedangkan sebagian lagi
merupakan pasien lama dengan kejang yang tidak terkontrol dan bangkitan yang
masih sering terjadi.
Menurut penelitian yang dilakukan Mydheli Rajandran (2016) pada
penyandang epilepsi di RSUP Haji Adam Malik Medan, durasi konsumsi obat <2
tahun paling banyak dengan persentase 71,9%. Menurut Harsono (2008), teori
menunjukkan pasien seharusnya minum obat sekurang-kurangnya 2 tahun dan
sebagian lagi menunggu selama 5 tahun untuk berhenti konsumsi obat anti
epilepsi.(9)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.6, jenis terapi pada penyandang epilepsi yang paling sering adalah
monoterapi sebanyak 17 orang (65,4%) dengan karbamazepin sebagai OAE yang
paling banyak digunakan yaitu sebanyak 8 orang (30,9%), kemudian diikuti oleh
fenitoin sebanyak 5 orang (19,2%), dan asam valproat sebanyak 4 orang (15,4%)
58
Hal ini sesuai dengan penelitian Mydheli Rajandran (2016) dan Izzati
Shoba Maryam (2016), yang menemukan jenis terapi monoterapi lebih banyak
dengan persentase 66,3% dan 77,1%. Namun, pada kedua penelitian tersebut OAE
yang paling sering digunakan yaitu fenitoin. Menurut penelitian Mac TL dkk
(2006), karbamazepin dan fenitoin merupakan OAE yang paling banyak
digunakan di Hongkong dan India.(29)
Berbeda dengan beberapa negara Asia lain
seperti Pakistan, Oman, Bangladesh, Taiwan, Sri Lanka, Thailand kebanyakan
menggunakan karbamazepin dan asam valproate.(29-33)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.7, dapat dilihat distribusi penyandang epilepsi berdasarkan usia saat
bangkitan pertama paling banyak ditemukan pada golongan usia anak-remaja
sebanyak 14 orang (53,9%), diikuti golongan usia balita sebanyak 8 orang
(30,8%), golongan usia dewasa sebanyak 3 orang (11,5%), dan golongan usia
lanjut usia sebanyak 1 orang (3,8%).
Hal ini sejalan dengan penelitian Gunawan dan Stephanie pada tahun 2013
di Rumah Sakit Siloam Tangerang yang menyatakan bahwa awitan bangkitan
terbanyak terjadi pada masa anak-anak, kurang dari 18 tahun.(34)
Namun, hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian epidemiologi yang telah dilakukan
di negara–negara berkembang. Terdapat distribusi umur yang spesifik berupa
komposisi yang tinggi pada awal kehidupan, penurunan pada usia remaja, dan
peningkatan progresif pada usia di atas 55 tahun. Peningkatan tertinggi terjadi
pada usia diatas 75 tahun.(27-29,35)
Menurut Tri Budi Raharjo (2007), faktor
59
penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya :
usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor ialah trauma perinatal, kejang demam,
radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik,
penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan lain-lain.(24)
Menurut Rugg-Gunn
FJ (2015) dan Bryniarska D (2001), faktor penyebab pada usia dewasa ialah
cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksin (alkohol dan obat), gangguan metabolik,
dan kelainan neurodegeneratif.(25,36)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.8, jenis bangkitan pada penyandang epilepsi yang paling sering adalah
jenis bangkitan umum sebanyak 19 orang (73,1%), sedangkan jenis bangkitan
parsial sebanyak 7 orang (26,9%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Izzati Shoba Maryam (2016), yang
dilakukan pada penyandang epilepsi di RSUP Sanglah Denpasar, yang
menemukan jenis bangkitan umum lebih banyak dengan persentase 47,1%
berbanding jenis bangkitan parsial dengan persentase 28,6%.(20)
Namun, hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian Rhiza Khasanah (2014) dan Mughni
H.Hasibuan (2016) yang dilakukan pada penyandang epilepsi rawat jalan di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yang menemukan jenis bangkitan parsial
(fokal) lebih banyak dengan persentase 54,5% dan 75,3%.
60
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.9, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 17 sampel (65,4%)
penyandang epilepsi tidak pernah mengalami putus obat, sedangkan 9 sampel
(34,6%) pernah mengalami putus obat. Diperkirakan putus obat ini disebabkan
karena ketidaktahuan, jarak ke fasilitas kesehatan yang jauh, dan penyandang
merasa sudah sembuh.
Menurut Asmamaw Getnet dkk (2016), faktor-faktor yang dapat
menyebabkan status putus obat pada penyandang epilepsi yaitu faktor
sosioekonomi, kurangnya dukungan sosial, edukasi kesehatan yang kurang,
stigma, tidak nyaman dengan efek samping obat, dan durasi pengobatan yang
lama.(21)
Menurut Geraldine O‟ Rourke (2016), putus obat dikaitkan dengan
kepercayaan terhadap pengobatan, depresi atau cemas, manajemen penggunaan
obat yang buruk, bangkitan yang tidak terkendali, dosis obat yang terlalu sering,
hubungan dokter-pasien yang buruk, dan dukungan sosial yang buruk.(37)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.10, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 15 sampel (57,7%)
pasien epilepsi rawat jalan pernah mengalami bebas kejang dengan durasi bebas
kejang paling lama yaitu selama 5 tahun.
Menurut PERDOSSI (2014), penghentian OAE secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. Namun, masing-masing
61
mempunyai alasan yang pada hakikatnya bergantung pada keadaan pasien itu
sendiri.(5)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.11, faktor pencetus bangkitan penyandang epilepsi yang paling sering
adalah stres sebanyak 12 orang (46,1%), diikuti kelelahan sebanyak 10 orang
(38,5%), dan tidak diketahui sebanyak 4 orang (15,4%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Balamurugan dkk (2013) yang dilakukan
di klinik epilepsi seluruh institusi ilmu kedokteran di India , yang menemukan
bahwa stres menjadi faktor pemicu bangkitan pada 181 orang (44,69%) dari 405
orang pasien epilepsi.(22)
Menurut Harsono (2008), stres merupakan salah satu
faktor pemicu bangkitan epilepsi karena stres dapat memicu terjadinya
hiperventilasi. Pada penderita tertentu, hiperventilasi merupakan faktor pencetus
terjadinya bangkitan. Penderita epilepsi juga dapat lupa minum obat karena
sedang dilanda stres. Selain itu, stres juga dapat mengubah konsentrasi hormon
misalnya meningkatkan kadar kortisol; peningkatan ini berpengaruh terhadap
ambang bangkitan.(9)
Pada penyandang epilepsi Rumah Sakit Pelamonia Makassar periode
Oktober-Desember 2019 didapatkan hasil dengan jumlah total 26 sampel. Pada
tabel 5.12, dapat dilihat distribusi penyandang epilepsi berdasarkan caregiver,
yang paling banyak adalah orangtua sebanyak 14 orang (53,8%), kemudian diikuti
oleh 2 caregiver lain yang jumlahnya sama yaitu saudara dan suami/istri sebanyak
5 orang (19,2%), dan yang paling sedikit yaitu anak sebanyak 2 orang (7,7%).
62
Berdasarkan hasil penelitian Ika T dan Hidayati E (2019) yang dilakukan
di Rumah Sakit Kariadi Semarang, yang menjelaskan bahwa dukungan keluarga
yang diberikan dalam bentuk peran serta keluarga dalam memberikan penjelasan
tentang penyakit epilepsi, mendukung dalam hal memberikan pengobatan dan
pembiayaan serta memberikan kasih sayang dan kepercayaan penuh kepada
penderita. Dengan adanya dukungan-dukungan tersebut, membuat pasien menjadi
termotivasi untuk berusah sembuh dan rutin dalam menjalani pengobatan,
sehingga akan mengurangi kejadian frekuensi bangkitan yang muncul dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.(15)
Epilepsi merupakan salah satu penyakit yang diberikan Allah SWT
sebagai cobaan atau musibah kepada hamba-Nya. Allah SWT berfirman dalam
surah Al-Anbiyaa‟ ayat 35:
كم وفس رائقة انمىت ووبهىكم بانشر وانخير فحىة وإنيىا
جرجعىن
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.
Sahabat Ibnu Abbas yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir Al-Qur‟an-
menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan
kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram,
ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.” Dari ayat ini, kita tahu
63
bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang
diberikan kepada hamba-Nya.(38)
Di zaman Nabi Muhammad SAW, pernah ada seorang wanita yang menderita
penyakit ayan (epilepsi). Wanita tersebut bernama Su‟airah al-Asadiyyah berasal
dari Habasyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita
yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh
ketulusan. Kisah wanita ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab
shahihnya dengan sanadnya dari „Atha‟ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas
berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni
surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.” Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini
(orangnya). Ia telah datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu
berkata:“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka
tanpa disadari auratku terbuka. Do‟akanlah supaya aku sembuh.” Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Jika engkau kuat bersabar, engkau akan
memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian
ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku)
terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka .” Maka
Beliau Nabi Muhammad SAW pun mendo‟akannya. (HR Al-Bukhari 5652).(39)
Dari hadist ini, kita bisa melihat betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia
berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu
agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan
bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah
64
sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun
yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi
timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.(39)
Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia,
sebenarnya terdapat banyak hikmah yang agung di dalamnya. Pertama, penyakit
sebagai penebus dosa yang pernah dilakukan manusia akibat kelalaian dan
pelanggarannya terhadap perintah Allah SWT. Kedua, penyakit sebagai pengingat
dan penguji kualitas kesabaran seseorang. Ketiga, penyakit sebagai tangga untuk
mencapai kualiatas derajat lebih tinggi di sisi Allah.(38)
65
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada
bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Usia penyandang epilepsi yang paling banyak adalah 15-30 tahun (53,9%).
2. Jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan (73,1%).
3. Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SMP-SMA (57,7%).
4. Jenis pekerjaan yang paling banyak adalah tidak bekerja (46,2%).
5. Durasi konsumsi OAE baik <2 tahun maupun >2 tahun jumlahnya sama (50%).
6. Jenis terapi yang paling sering adalah monoterapi (65,4%).
7. Usia saat bangkitan pertama paling sering ditemukan pada golongan usia anak-
remaja (53,9%).
8. Jenis bangkitan yang paling sering ditemukan adalah bangkitan umum (73,1%).
9. Sebanyak 34,6% penyandang epilepsi pernah mengalami putus obat.
10. Sebanyak 57,7% penyandang epilepsi pernah mengalami bebas kejang.
11. Faktor pemicu bangkitan tersering adalah stres (46,1%).
66
12. Caregiver yang paling banyak adalah orangtua (53,8%).
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas dan
waktu
yang lebih lama.
2. Diharapkan adanya penelitian lain yang membahas mengenai karakteristik-
karakteristik lain penyandang epilepsi.
C. KETERBATASAN PENELITIAN
Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Keterbatasan penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuesioner yaitu terkadang
jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukkan keadaan
sesungguhnya.
2. Penelitian ini hanya menilai karakteristik penyandang epilepsi berdasarkan
jawaban pada kuisioner.
3. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuisioner yaitu terkadang
kuisioner tidak diisi secara lengkap.
67
DAFTAR PUSTAKA
1. Gupta A, Sharma A, Dhiman N, Mallikarjun BP. Synthetic and
computational sulfonamide derivatives as antiepileptics: recent
developments. World J Pharm Sci. 2016;5(8):328-38.
2. World Health Organization. Epilepsy [Internet]. 2019. Available
from:https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy.
3. Ullah S, Ali N, Khan A, Ali S, Nazish HR. The epidemiological
characteristics of epilepsy in the province of Khyber Pakhtunkhwa,
Pakistan. Front Neurol. 2018;9(NOV):6-11.
4. Hasibuan MH. Profil Penyandang Epilepsi di Poloklinik Saraf RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2015-Juni 2016. 2016;4.
5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 5th ed. Surabaya: Airlangga
University Press; 2014.
6. Rajandran M. Gambaran Karakteristik pada Pasien Epilepsi di RSUP Haji
Adam Malik pada Tahun 2016. Universitas Sumatera Utara; 2017.
7. International League Against Epilepsy. Definition of Epilepsy [Internet].
2014. Available from: https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-
classification/definition-of-epilepsy-2014/definition-of-epilepsy-2014.
8. Kristanto A. Epilepsi Bangkitan Umum Tonik-Klonik di UGD RSUP
Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis. 2017;8(1):69-73.
68
9. Harsono. Epilepsy. 2nd ed. Yogyakarta: Gadjah Mada Press University:
2008.
10. Anindhita T, editor. Buku Ajar Neurologi. 1st ed. Jakarta: Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2017. 78 p.
11. Stafstrom, C. E. and Carmant, L. (2015) „Seizures and Epilepsy : An
Overview for Neuroscientists‟, pp. 1–18.
12. Salabi MR. Mengatasi Kegoncangan Jiwa Perspektif Al-Qur‟an dan Sains.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; 2002. 13 p.
13. Hawari, I. (2010) Epilepsi di Indonesi, Yayasan Epilepsi Indonesia.
Available at: http://www.ina-epsy.org/2010/08/epilepsi-di-indonesia.html
(Accessed: 8 February 2020).
14. Saragih, R.(2010). Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien
dengan Penyakit Kanker terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010,pp. 1-10.
15. Ika, T. and Hidayati, E. (2019) „Family Support On Severe Frequency In
Epilepsy Patients In RSUP . Dr . Kariadi Semarang‟, 2(18), pp. 21–28.
doi: 10.26714/mki.2.1.2019.21-28.
16. Khazanah, R. Profil Penyandang Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2013-Mei 2014. 2015;3.
17. Vakili, M., Rahimdel, A. and Bahrami, S. (2016) „Epidemiological study
of epilepsy in Yazd-Iran‟, 5(1), pp. 162–165. doi: 10.15562/bmjv5i1.324.
18. Irawati, I. Analisis Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi di Instalasi Rawat
Inap RSJD Dr. Arif Zainudin Surakarta Tahun 2015. Universitas Setia
69
Budi; 2016.
19. Pinzon, R., 2006, Karakteristik Epidemiologi Onset Anak-Anak, 131-133,
Telaah Pustaka Terkini, Dexa Media.
20. Maryam IS, Ayu I, Wijayanti S, Tini K. Karakteristik Pasien Epilepsi di
Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Periode Januari –
Desember 2016. 2018;1:89–94.
21. Getnet A, Woldeyohannes SM, Belete H. Antiepileptic Drug
Nonadherence and Its Predictors among People with Epilepsy 4 . Clinical
and Patient Related Factors 5 . Prevalence and Associated Factors of
Antiepileptic Drug Nonadherence. 2016;1–5.
22. Balamurugan E, Aggarwal M, Lamba A, Dang N, Tripathi M. Perceived
trigger factors of seizures in persons with epilepsy. Seizure Eur J Epilepsy
[Internet]. 2013;22(9):743–7. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.seizure.2013.05.018
23. Tate SK, Depondt C, Sisodiya SM, Cavalleri GL, Schorge S, Soranzo N,
et al. Genetic predictors of the maximum doses patients receive during
clinical use of the anti-epileptic drugs carbamazepine and phenytoin.
2005;102(15).
24. Raharjo Tri Budi. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak di Bawah
Usia 6 Tahun. Universitas Diponegoro; 2007.
25. Rugg-gunn FJ. Adult onset epilepsies. ILAE Br Chapter.2015
26. World Health Organization. Neurological disorders: public health
challenges. [Internet]. 2006. p. 56–67. Available from:
70
https://www.who.int/mental_health/neurology/chapter_3_a_neuro_disorde
rs_public_h_challenges.pdf?ua=1
27. Goldenberg MM. Overview of Drugs Used For Epilepsy and Seizures
Etiology , Diagnosis , and Treatment. 2010;35(7).
28. Mchugh JC, Delanty N. Epidemiology And Classification Of Epilepsy :
Gender Comparisons. Int Rev Neurobiol. 2008;83(08):11–26.
29. Mac TL, Tran D, Quet F, Odermatt P, Preux P, Tan CT. Epidemiology ,
aetiology , and clinical management of epilepsy in Asia : a systematic
review. Lancet. 2007;6:533–43.
30. Hanssens Y, Deleu D, Al Balushi K, Al Hashar a., Al-Zakwani I. Drug
utilization pattern of anti-epileptic drugs: A pharmacoepidemiologic study
in Oman. J Clin Pharm Ther. 2002;27(5):357–64.
31. Johannessen Landmark C, Fossmark H, Larsson PG, Rytter E,
Johannessen SI. Prescription patterns of antiepileptic drugs in patients with
epilepsy in a nation-wide population. Epilepsy Res [Internet]. 2011 Jan
1;95(1):51–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.eplepsyres.2011.02.012
32. Habib M, Khan SU, Hoque MA, Mondal MB, Hasan AH, Chowdhury RN,
dkk. Antiepileptic drug utilization in Bangladesh: experience from Dhaka
Medical College Hospital. BMC Res Notes. 2013;6:473.
33. Mazhar F, Shamim S, Malhi SM. Drug utilization evaluation of
antiepileptics in three selected multidisciplinary teaching hospitals of
Pakistan. Int J Pharm Pharm Sci. 2014;6(5):59–66.
71
34. Gunawan PY, Stephanie ED. Karakteristik Pasien Epilepsi di Rumah Sakit
Siloam Lippo Village, Tangerang, Tahun 2013. Medicinus. 2014;4:2–5.
35. Kaplan PW. Epidemiology and etiology: an overview. Adv Stud Med.
2005;5(January):57–62.
36. Bryniarska D, Zakrzewska E. Etiological Spectrum of Symptomatic
Epilepsy in Adults. Eur PMC. 2001;58(9):839–42.
37. Rourke GO, Jordan J, Brien O. Identifying the barriers to antiepileptic
drug adherence among adults with epilepsy. Seizure Eur J Epilepsy
[Internet]. 2017;45:160–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.seizure.2016.12.006
38. Putra AH. Rahasia di Balik Sakit. 2009.
39. Sa‟id U. Su‟airah: Wanita Penghuni Surga. 2010.
40. Rokayah Y, Khofiyah N, Diana S, Pujiati. Konsep Sehat dan Sakit dalam
Islam.
72
73
74
75
76