chapter i

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Peradilan Agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di Pengadilan Agama. Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah, yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam buku al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara. 1 1 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Darul Falah, Jakarta, 2000, halaman 122-142. 1 Universitas Sumatera Utara

Upload: noer-latif

Post on 10-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

okokok

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Peradilan Agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak

masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan

penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan

Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al

Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan

hukum materiil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia

(muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di Pengadilan Agama.

Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah, yaitu

kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan

manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan

hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu

kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang

mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam buku

al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah merupakan bagian

pemerintah dalam rangka bernegara.1

1 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan NegaraIslam, Darul Falah, Jakarta, 2000, halaman 122-142.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia.

Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata

tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, Peradilan

Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam tertentu saja dan hanya untuk

orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama dapat disebut

sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang pelaksanaannya secara limitatif telah

disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.2

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal maka keberadaan

Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan kekuasaan (wewenang) masih

beragam dan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR serta peraturan-peraturan

yang diambil dari hukum acara Peradilan Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan,

kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian

mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan

perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di lapangan

praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.3

Tugas dan kewenangan Peradilan menurut Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989

yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:

2 Roihan A. Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, halaman 6.3 Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

3

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,

wakaf dan sedekah. Kewenangan Peradilan Agama tersebut berdasar atas asas

personalitas ke-Islaman, yaitu yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan

lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama Islam.4

Saat ini dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah

satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga

Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang meliputi: perkawinan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.

Salah satu sentral dalam Undang-Undang ini adalah asas personalitas

keislaman. Asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi

seluruh golongan rakyat beragama Islam. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi

sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan

mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan Peradilan Agama, bukan ke

lingkungan Peradilan Umum. Jadi, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan

Agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat

yang beragama Islam tanpa terkecuali.5

Sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan dalam perkara waris,

meliputi sengketa hak milik atas tanah. Kebutuhan akan adanya perlindungan hukum

dan jaminan kepastian hukum dalam bidang pertanahan berarti bahwa setiap warga

4 Ibid., halaman 109.5 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun

1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 147-148.

Universitas Sumatera Utara

4

Negara Indonesia dapat menguasai tanah secara aman dan mantap.6 Penguasaan yang

mantap berarti ditinjau dari aspek waktu/lamanya seseorang dapat

mempunyai/menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak atas tanah

tersebut, sedangkan penguasaan secara aman berarti si pemegang hak atas tanah

dilindungi dari gangguan, baik dari sesama warga negara dalam bentuk misalnya

penguasaan illegal ataupun dari penguasa. Pada asasnya apabila pihak lain

memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang

diperlukan harus ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga

tercapai kata sepakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah

pihak.

Hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk

memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu.

Sedangkan tujuan pemakaian tanah pada hakekatnya ada 2 (dua), yaitu : pertama,

untuk diusahakan, misalnya untuk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.

Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun, misalnya bangunan gedung,

lapangan, jalan dan lain-lain.7 Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai

oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta

badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah dimaksud memberi wewenang untuk

mempergunakan tanah yang bersangkutan. Demikian pula tubuh bumi dan air serta

6 Arie Sukanti Hutagalung, Analisa Yuridis Keppres No. 55 Tahun 1993, (Diklat DDN :Jakarta, 2001), halaman 1.

7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria, Isi dan Pelaksanaannya , Jilid i, Djambatan, Jakarta, 2008, halaman 285.

Universitas Sumatera Utara

5

ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut

UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Terhadap banyaknya kasus-kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat maka

sangatlah perlu dicari cara penyelesaiannya yang sangat menguntungkan bagi kedua

belah pihak. Untuk itu penyelesaian sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah

diluar lembaga peradilan menjadi ideal bagi penyelesaian sengketa tanah. Karena bila

ditempuh melalui jalur hukum/lembaga peradilan, sering kali tidak hanya

menyangkut aspek hukum, hak-hak penguasaan, kalkulasi ekonomi, tetapi tidak

sedikit yang menyentuh sisi sosio kultural. Penyelesaian melalui lembaga pengadilan

yang lebih berpola menang kalah seringkali justru memicu konflik-konflik non

hukum yang berkepanjangan. Apalagi jika masalah-masalah hukum yang diangkat

hanya berfokus pada satu sebab saja.

Munculnya ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan yang berakumulasi

dengan berbagai aspek masalah pertanahan yang tidak terselesaikan melalui

pengadilan, ternyata dapat berkembang sampai kepada kekerasan fisik. Persoalan hak

penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam di Indonesia, secara sepintas dapat

digambarkan melalui peta konflik agraria di Indonesia, yang dihasilkan oleh kerja

advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dari data tersebut tampak bahwa

konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Dari tahun 1950-an

sampai akhir dekade 90-an terdapat 1455 kasus yang teridentifikasi oleh KPA; dari

jumlah itu tidak sampai 50 kasus yang terjadi sebelum 1980. Artinya, konsentrasi

Universitas Sumatera Utara

6

kasus terutama dalam duapuluhan tahun terakhir. Dari sekian ribu konflik yang

terjadi, tidak ada satu pun yang berakhir dengan kemenangan pihak masyarakat (adat

dan lokal) dalam berhadapan dengan pihak perusahaan dan negara melalui jalur

hukum. Seluruh masyarakat yang terlibat dalam berbagai kasus tersebut adalah

korban yang kalah dalam pengertian yang paling tragis: tergusur, diusir, tidak

mendapat ganti rugi, ditahan, ditembak dan kehilangan lahan untuk waktu yang tak

dapat diperkirakan dan dengan demikian kehilangan sumber hidup dan putusnya

pertalian dengan sumber budaya mereka. Data KPA tersebut menyebutkan bahwa

jumlah keluarga yang menjadi korban dalam kasus tersebut adalah 242.088 KK dan

jumlah korban individu manusia sebesar 533.866. Berarti dalam setiap kasus rata-rata

timbul korban 367 manusia, baik yang kehilangan nyawa, tanah, terusir dan tergusur,

mengalami kekerasan fisik dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia

(HAM) lainnya.8

Masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak

sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat diperlukan agar terdapat

kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi

pihak-pihak yang meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan

persepsi tersebut, misalnya berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda

8 Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi PetaTenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah dipresentasikan dalamKonferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang SedangBerubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban,” 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika,Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

7

bukti hak atas tanah, berkenaan dengan kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang

mengandung cacat hukum dan cara pembatalan dan atau penyelesaiannya.9

Pengertian pendaftaran menurut Harun Al Rashid, berasal dari kata cadastre

(bahasa Belanda). Kadaster adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman),

menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap

suatu bidang tanah.10 Sedangkan pengertian Pendaftaran Tanah menurut Boedi

Harsono adalah : suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah

secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu

mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan,

penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka menjamin

jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan

pemeliharaannya.11

Pengertian pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik

dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah

9 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Kompas,Jakarta, 2001, halaman 163.

10 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturan), GhaliaIndonesia, Jakarta,1986, halaman 82.

11 Boedi Harsono, Op.Cit, halaman 72.

Universitas Sumatera Utara

8

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.

Sertipikat hak atas tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas

bidang tanah serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap

perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar,

pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban yang ada di

atasnya). Dengan memiliki sertipikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis

hak atas tanahnya, subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata. Bagi pemegang hak

atas tanah, memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab dibandingkan dengan

alat bukti tertulis, sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya harus

dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang

lain.12

Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang

mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c,

Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 UUPA.13 Sistem publikasi negatif bertendensi positif

artinya walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti

hak, namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama

tidak ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya maka data yang disajikan

dalam bukti hak tersebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin

12 Maria S.W. Soemarjono, Ibid, halaman 182.13

Boedi Harsono, Op.Cit, halaman 477.

Universitas Sumatera Utara

9

menurut hukum). Ketentuan tersebut ditambah lagi dengan adanya proses

pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan hak, yakni pengumpulan dan penelitian

data yuridisnya sehingga dengan pemeriksaan tanah tersebut hasilnya diharapkan

dapat mendekati kebenaran materil dari alas hak yang menjadi dasar penetapan

haknya.14

Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data fisik dan

data yuridis bidang tanah dalam sertipikat, sangat tergantung pada alat bukti

kepemilikan tanah yang digunakan dasar bagi pendaftaran tanah. Didalam Peraturan

Pemerintah No. 10 tahun 1960 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No.

24 Tahun 1997 telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk menentukan adanya hak-

hak atas tanah secara jelas dan mudah dilaksanakan serta memberikan kepastian

hukum bagi pemilik hak yang bermaksud mendaftarkan haknya. Alat bukti

pendaftaran tanah dimaksud adalah alat bukti hak baru dan alat bukti hak lama.

Terungkapnya kasus-kasus berkenaan dengan gugatan terhadap pemegang

sertipikat oleh pemegang hak atas tanah semula, telah memunculkan rasa tidak aman

bagi para pemegang sertipikat. Perorangan atau badan hukum yang merasa

kepentingannya dirugikan terhadap hak atas tanah yang terdaftar dan diterbitkan

sertipikatnya, berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hak atas tanah dan/atau

sertipikat dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap, yang berbunyi amar putusannya menyatakan batal atau tidak

14Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, CV.

Mandar Maju, Bandung, 2010, halaman 148.

Universitas Sumatera Utara

10

mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut hanya dapat dijadikan dasar

pembatalan sertipikat hak atas tanah. Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas

tanah mutlak merupakan kewenangan administrasi Menteri Negara/Kepala Badan

Pertanahan Nasional.

Keputusan penerbitan sertipikat hak atas tanah berhak dikeluarkan oleh Badan

Pertanahan Nasional (BPN), dimana BPN merupakan jabatan tata usaha Negara,

sehingga jika ada sengketa terhadap sertipikat hak atas tanah yang berhak memeriksa

dan mengadili adalah Peradilan Tata Usaha Negara (kompetensi/kewenangan

absolut).15

Sengketa tentang sertipikat hak atas tanah sering terjadi disidangkan di

Pengadilan Negeri. Ada Jurisprudensi tetap HR sejak sebelum tahun Perang Dunia II

diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Pasal 2 RO Ind (bunyinya

sama dengan Pasal 2 RO Ned) masih berlaku sampai sekarang walaupun telah ada

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 dan berlakunya Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1970 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. Jurisprudensi pada awalnya diikuti oleh Hakim

Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama keputusan-

keputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau

15 Suriyati Tanjung, Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak Ketigayang Beri’tikad Baik (Studi pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan), Tesis, Sekolah PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara, Medan, 2006, halaman 74.

Universitas Sumatera Utara

11

kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan perbuatan melawan hukum

penguasa (onrechtmatige overheids daadzaken/OOD).16

Jurisprudensi tetap tersebut lama kelamaan menjadi pendapat umum sehingga

sampai sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan

memutus perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga

sengketa tentang sertipikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan

Negeri. Perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (objektum

litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara atau bukan

sertipikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan

masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara

atau keluarnya sertipikat tersebut.17

Dalam hal sengketa hak milik dalam perkara waris Islam, seringkali pihak-

pihak yang berperkara mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim di lingkungan

Peradilan Agama untuk memutus perkara yang salah satu objek gugatannya mengenai

status kepemilikan terhadap tanah waris. Hal ini tentunya menjadi kewenangan

mengadili Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara sengketa hak

milik dalam perkara warisan yang sebelumnya menjadi kewenangan mengadili

Peradilan Umum sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

16 Ibid, halaman 75.17 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

12

Permasalahan semakin kompleks ketika Peradilan Agama memutuskan sertipikat Hak

Milik atas tanah waris tersebut dinyatakan tidak berkekuatan hukum.

Hapusnya hak atas tanah berdasarkan putusan Pengadilan ditentukan dalam

Pasal 52 jo. Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Hapusnya hak

atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun diatur di dalam Pasal 52,

menyatakan bahwa:

(1) Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atassatuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan denganmembubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkansertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan:a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai

hak-hak yang dibatasi masa berlakunya.b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang bahwa hak yang

bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut.c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh

pemegang haknya.(2) Dalam hal sertipikat hak atas tanah yang dihapus tidak diserahkan kepada Kepala

Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah dan surat ukur yangbersangkutan.

Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan

Pengadilan diatur didalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang

menyatakan bahwa:

(1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahanmengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap dan penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahanpada data mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susununtuk dicatat pada buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin padasertipikatnya dan daftar-daftar lainnya.

(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan juga ataspermintaan pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusanPengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapanKetua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada KepalaKantor Pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

13

(3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuanrumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh suratkeputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabatyang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).

Kedua ketentuan di atas, pada pokoknya mengatakan bahwa atas permintaan

yang berkepentingan maka Kepala Kantor Pertanahan segera melaksanakan

pendaftaran hapusnya hak atas tanah dengan membubuhkan catatan pada buku tanah

dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hal

tersebut dilakukan setelah diperoleh Surat Keputusan dari Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan Pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas tanah merupakan kewenangan

administrasi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai

dipertegas Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 3 Nopember 1971 Nomor

383/K/Sip/1971 menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak berwenang membatalkan

sertipikat hak atas tanah, karena hal tersebut termasuk kewenangan administrasi,

dalam hal ini adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.”

Berangkat dari uraian di atas, ada kasus yang terjadi di kabupaten Serdang

Bedagai mengenai sengketa Milik sebidang tanah dalam perkara gugatan waris mal

waris di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dimana putusan Pengadilan Agama No.

52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. 145/Pdt.G/2008/PTA.MDN, dijadikan dasar permohonan

pembatalan sertipikat hak milik atas tanah No. 249/Pematang Ganjang yang semula

atas nama RAHIM (almarhum), kemudian pemegang sertipikat beralih kepada

Universitas Sumatera Utara

14

KADIR berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 368/19/S.R.H/1997 tanggal 7 Juli 1997

yang dibuat dihadapan H. BADAR selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di kabupaten

Deli Serdang.

Dalam sengketa tersebut, yang menjadi obyek perkara adalah sengketa

kepemilikan antara ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR yang merupakan ahli waris

RAHIM (almarhum) dengan KADIR Bin H. TARMAN (keponakan almarhum

RAHIM) atas sebidang tanah yang dilekati oleh Sertipikat Hak Milik Nomor

249/Pematang Ganjang atas nama KADIR seluas 8.501 m2 yang terletak di desa

Pematang Ganjang, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, yang

merupakan harta peninggalan almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH yang

meninggal pada tahun 2005 dan 2002. Bidang tanah tersebut pada awalnya

diterbitkan sertipikat Hak Milik atas nama almarhum RAHIM kemudian diserahkan

dan dikuasai oleh KADIR dengan Akta Jual Beli.

Menurut para ahli waris almarhum RAHIM, KADIR tidak berhak atas tanah

tersebut karena tanah tersebut merupakan harta warisan dari kedua orang tua mereka.

Sedang KADIR bukan ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH. Hal

ini diperkuat dengan Akta Pengakuan No. 42 tanggal 20 Oktober 2006 yang dibuat

dihadapan RALIA, SH, Notaris di kabupaten Serdang Bedagai, KADIR dan istrinya,

yaitu Ramlah Saragih, mengakui Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang

adalah milik ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR (ahli waris almarhum RAHIM dan

almarhumah SARAH) dan menyatakan meminjam sertipikat tersebut selama satu

tahun sejak akta pengakuan tersebut dibuat.

Universitas Sumatera Utara

15

Oleh karena sertipikat dimaksud tidak diserahkan kepada ahli waris

sebagaimana kesepakatan awal, ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah

SARAH mengajukan gugatan secara perdata kepada KADIR Bin H. TARMAN

melalui Pengadilan Agama Tebing Tinggi. Kemudian Pengadilan Agama Tebing

Tinggi memutus perkara tersebut dengan putusan No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD Jo.

No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN, yang amar putusannya mengabulkan gugatan ahli

waris almarhum, yaitu ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR. Salah satu amar putusannya

adalah menyatakan bahwa sertipikat tanah Hak Milik atas nama KADIR No.

249/Pematang Ganjang yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

kabupaten Serdang Bedagai tanggal 10-03-2006 tidak berkekuatan hukum.

Oleh karena petitum putusan tingkat banding tersebut telah disampaikan

kepada para pihak dan kesempatan para pihak untuk kasasi telah habis, maka

berdasarkan Surat Keterangan Nomor W2-A6/221/HK.05/III/2009 tanggal 10 Maret

2009 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tebing Tinggi dijelaskan bahwa

putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal 25

September 2008 jo. putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara Nomor

145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009 tersebut telah memiliki kekuatan

hukum yang tetap (inkracht van gewisjde).

Ahli waris almarhum kemudian menindaklanjuti putusan Pengadilan Agama

tersebut di atas dengan mengajukan surat permohonan pembatalan sertipikat Hak

Milik Nomor 249/Pematang Ganjang atas nama KADIR yang ditujukan kepada

Universitas Sumatera Utara

16

Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana surat tertanggal

6 September 2010.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut

dan mengambil judul tesis : “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang

Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum.

(Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-

TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No.

145/Pdt.G/2008/PTA-MDN).”

B. Perumusan Masalah.

Permasalahan yang timbul dan dapat dirumuskan dalam tesis ini adalah:

1. Apakah Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memutuskan

Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak berkekuatan hukum?

2. Bagaimana status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus perkara

yang bukan kewenangannya?

3. Apakah putusan Pengadilan Agama dapat menjadi dasar permohonan

pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN)?

C. Tujuan Penelitian.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan mengadili Pengadilan Agama yang

menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak berkekuatan hukum.

Universitas Sumatera Utara

17

2. Untuk mengetahui status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus

perkara yang bukan kewenangannya.

3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama yang menjadi dasar

permohonan pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Serdang Bedagai.

D. Manfaat Penelitian.

1. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan sebagai masukan bagi

pengetahuan dan perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agraria dan

pendaftaran tanah, yang berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah

dan hukum waris Islam, yang berkaitan dengan kewenangan mengadili Peradilan

Agama.

2. Manfaat Praktis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi

Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam

menyelesaikan permasalahan tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dan

bagi kalangan Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menjalankan tugas

pokok dan fungsinya memutuskan perkara, khususnya mengenai sengketa hak milik

dalam waris Islam.

Universitas Sumatera Utara

18

E. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan Penulis, khususnya di

lingkungan kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menunjukkan

bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama

Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan

Hukum. (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.

52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara

No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN),” belum ada yang membahasnya. Sehingga tesis

ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

Adapun beberapa penelitian yang mengkaji tentang pembatalan sertipikat hak

atas tanah sudah pernah ada, diantaranya adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Suriyati Tanjung (NIM. 027011060),

mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan

judul penelitian “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak

Ketiga Yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara).” Adapun

yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah:

a. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai

alat bukti yang kuat dapat dibatalkan?

b. Bagaimanakah mekanisme pembatalan sertipikat hak atas tanah?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga yang

beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan

dan konsekwensi hukumnya?

Universitas Sumatera Utara

19

2. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Nursuhadi (NIM. 002111035), mahasiswa

program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul

penelitian “Penyimpangan Pelaksana Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai

Penyimpangan Jual Beli Tanah Bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota

Kisaran Barat, Kabupaten Asahan).” Adapun yang menjadi pokok permasalahan

dalam pembahasan penelitian ini adalah:

a. Mengapa terjadi penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah bersertipikat Hak

Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat.

b. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah

bersertipikat Hak Milik.

c. Solusi apa yang dilakukan terhadap penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah

bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat.

3. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Nurcahaya Batubara (NIM. 002111034),

mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan

judul penelitian “Pelaksanaan Stelsel Negatif Yang Bertendensi Positif Terhadap

Pemberian Sertipikat Hak Milik Atas Tanah (Studi Kota Medan).” Adapun yang

menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah:

a. Apakah Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif dalam pemberian Sertipikat

Hak Milik di Kota Medan telah dilaksanakan?

b. Apakah akibat hukum dari pelaksanaan Stelsel Negatif yang Bertendensi

Positif tersebut?

Universitas Sumatera Utara

20

c. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang Sertipikat Hak Milik dari

Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif tersebut di Kota Medan?

4. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Reno Yanti (NIM. 067011011), mahasiswa

program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul

penelitian “Peralihan Sertipikat Hak Milik Melalui Hibah Kepada Anak Kandung

Yang Belum Dewasa.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi.

1. Kerangka Teori.

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau

petunjuk dan perkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini

merupakan penelitian hukum yang diarahkan secara khas pada ilmu hukum.

Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami jalannya penyelesaian

sengketa waris yang diatur dalam undang-undang.

Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori sistem hukum dari

Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem

18 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, halaman 203.19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, halaman 80.

Universitas Sumatera Utara

21

kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen, yaitu legal substance

(substansi hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal culture (budaya

hukum).

Sistem hukum mempunyai dua pengertian yang penting untuk dikenali,

sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur

begitu saja. Pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai

tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari

bagian-bagian. Kedua, sistem sebagian suatu rencana, metoda, atau prosedur untuk

mengerjakan sesuatu.

Pemahaman yang umum mengenai sistem menurut Shrode dan Voich yang

dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan

yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama

lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari

bagian-bagiannya tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian

tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan

tersebut. Apabila suatu sistem tersebut ditempatkan pada pusat pengamatan yang

demikian itu maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung didalamnya adalah

sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo, 2000 : 48-49)

a. Sistem itu berorientasi kepada tujuan.

b. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya

(wholism).

Universitas Sumatera Utara

22

c. Suatu sistem berinteraksi dengan yang lebih besar, yaitu lingkungannya

(keterbukaan sistem).

d. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga

(transformasi).

e. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).

f. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).

Legal substance (substansi hukum) merupakan aturan-aturan, norma-norma

dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang

dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan

yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Legal substance

(substansi hukum) digunakan untuk melihat kewenangan mengadili Peradilan Agama

dan penerapan hukum materiil yang berlaku didalam memeriksa dan memutus

perkara objek yang diteliti.

Legal structure (struktur hukum) merupakan kerangka, bagian yang tetap

bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap

keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur

dari sistem hukum antara lain: institusi atau penegak hukum, seperti advokat, polisi,

jaksa dan hakim. Legal structure digunakan untuk melihat Peradilan Agama dari

aspek status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

yang memeriksa dan memutus perkara objek yang diteliti.

Legal culture (budaya hukum) merupakan suasana pikiran sistem dan

kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau

Universitas Sumatera Utara

23

disalahgunakan oleh masyarakat. Legal culture (budaya hukum) digunakan untuk

melihat peran dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara objek yang

diteliti.

Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh

bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling

berkait dan saling menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan

(hukum) yaitu kedamaian. Bilamana ketiga komponen hukum tersebut bersinergi

secara positif,

maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan.

Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan tujuan hukum (keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum

bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan

tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.

Hukum, kaidah/norma, perundang-undangan (substansi hukum) yang

merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk

melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia.

Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah

hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum itu sendiri dapat

berlangsung secara damai dan normal, tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran

hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan dan

diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.

Universitas Sumatera Utara

24

2. Konsepsi.

Konsepsi merupakan bagian terpenting dalam teori. Dapat diterjemahkan

sebagai usaha membawa dari abstrak menuju konkrit. Konsepsi berperan untuk

menghubungkan teori dengan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Dengan kata

lain, mengandung arti definisi singkat dari kelompok fakta atau gejala yang perlu

diamati dan menentukan antara variabel-variabel adanya hubungan empiris.20 Pada

hakekatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka

teoritis yang kadangkala masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi

operasional menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Adapun beberapa

konsepsi yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak)

adalah bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan

tetapi sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum bisaa

(banding dan kasasi) dan upaya hukum luar bisaa (peninjauan kembali).21

2. Peradilan Agama menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 50 Tahun

2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

3. Pengadilan menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

20 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman 21.

21 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1986, halaman 438.

Universitas Sumatera Utara

25

Agama adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan

peradilan agama.

4. Pengertian sertipikat menurut UUPA Pasal 19 ayat (2) adalah surat tanda

bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sertipikat sebagai surat bukti tanda hak, diterbitkan untuk kepentingan

pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam

surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.22 Sertipikat,

menurut Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, terdiri atas

salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat

fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul

dokumen. Pengertian sertipikat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997, adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang

memuat data fisik dan data yuridis obyek yang didaftar untuk hak atas tanah,

hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak

tanggungan yang masing-masing dibukukan dalam buku tanah.

5. Pengertian Hak Milik menurut Pasal 570 BW adalah hak untuk menikmati

kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap

kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan

Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan

yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,

kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak

22 Boedi Harsono, Op.Cit., halaman 500.

Universitas Sumatera Utara

26

itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan

dengan pembayaran ganti rugi.

6. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas

tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,

berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.23

7. Pengertian pembatalan hak atas tanah tercantum didalam Pasal 1 angka 14

PMNA/KBPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu : “Pembatalan keputusan mengenai

pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat

hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.” Surat Keputusan pembatalan hak atas tanah

menurut Pasal 104 ayat (2) PMNA/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999,

diterbitkan apabila terdapat :

a. Cacat hukum administratif.

b. Melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

7. Kewenangan mengadili adalah kekuasaan Pengadilan untuk mengadili

berdasarkan materi hukum (hukum materiil). Lebih jelas, dapat ditegaskan

bahwa kewenangan mengadili itu merupakan batasan tentang perkara-perkara

apa saja yang wewenang penyelesaiannya diserahkan kepada suatu

pengadilan.24

23 Ibid, halaman 18.24 M. Hasballah Thaib, Hukum Islam di Indonesia, Tanpa Penerbit, Medan, 2005, halaman 6.

Universitas Sumatera Utara

27

G. Metodologi Penelitian.

1. Sifat Penelitian.

Spesifikasi penelitian dalam penulisan bersifat deskriptif analitis, yaitu data

hasil penelitian, baik yang berupa data hasil studi dokumen yang menggambarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan

praktek pelaksanaan hukum in concreto yang menyangkut permasalahan maupun

penelitian lapangan yang berupa hasil pengamatan dianalisa secara kualitatif.

2. Jenis Penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

penelitian hukum kepustakaan. Menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh

karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah

meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret.

Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum,

taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.25

Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh

data sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum,

sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang

berlaku, literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian

tertuju pada penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji

data sekunder yang diperoleh dari penelitian.

25 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pers, Jakarta, 1990, halaman 70.

Universitas Sumatera Utara

28

Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah:

1. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD

tanggal 25 September 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumut No.

145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009.

2. Surat Keterangan Pengadilan Agama Tebing Tinggi Nomor W2-

A6/221/HK.05/III/2009 yang menerangkan bahwa putusan di atas telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang atas nama KADIR yang

merupakan sertipikat pengganti dari sertipikat Hak Milik Nomor 12/Pematang

Ganjang yang semula atas nama RAHIM (almarhum).

3. Metode Pengumpulan Data.

Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi

kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam

penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan data primer. Data

sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan

pustaka, data resmi pada instansi pemerintah, Undang-Undang, makalah yang ada

kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari :

a). Bahan hukum primer,26 yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : Undang-

Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1988, halaman 55.

Universitas Sumatera Utara

29

Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, putusan Pengadilan Agama

yang telah berkekuatan hukum tetap, surat-surat dan peraturan-peraturan

lainnya yang berkaitan dengan hak atas tanah.

b). Bahan hukum sekunder,27 yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum

primer, yaitu : literatur tentang kewenangan mengadili Pengadilan Agama,

literatur tentang Hukum Agraria, pendaftaran tanah, hak atas tanah dan

pembatalan hak atas tanah, hasil penelitian di bidang Hukum Agraria,

pendaftaran tanah, hak-hak atas tanah dan pembatalan hak atas tanah.

c). Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang

untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet

serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.28

27 Ibid.28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., halaman 14.

Universitas Sumatera Utara

30

Selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu data yang

diambil langsung dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive

interview),29 yaitu pejabat pada Badan Pertanahan Nasional kabupaten Serdang

Bedagai dan Pengacara, yang digunakan sebagai data pembanding.

4. Alat Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini

diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara :

a. Studi dokumen.

Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan

membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder

yang berkaitan dengan materi penelitian.30

b. Wawancara.

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan

percakapan atau tatap muka yang terarah kepada pihak yang berkepentingan guna

memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan.

5. Analisis Data.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian yang berupa data hasil

studi dokumen (data sekunder), data hasil pengamatan dan wawancara dianalisis

29 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., halaman 60.30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,

1986, halaman 21.

Universitas Sumatera Utara

31

dengan metode analisis kualitatif,31 dengan maksud untuk memaparkan apa yang

dianalisis tadi secara sistematis dan menyeluruh untuk menjawab permasalahan yang

diteliti. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode

deduktif.

31 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 58.

Universitas Sumatera Utara