chapter i

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar. 1 Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang. 2 Kebebasan berkontrak yang merupakan inti dari sebuah perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak para pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. 3 Dengan demikian diharapkan akan muncul perjanjian yang adil dan seimbang bagi para pihak. Urgensi pengaturan perjanjian 1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 1. 2 Ibid 3 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 2 1 Universitas Sumatera Utara

Upload: astri-arri-febrianti

Post on 06-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

chapter 1

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau

ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian

tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para

pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk

kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan)

melalui proses tawar menawar.1

Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba

dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir

dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak.

Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan

tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui

mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.2

Kebebasan berkontrak yang merupakan inti dari sebuah perjanjian, secara

implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak para pihak diasumsikan

mempunyai kedudukan yang seimbang.3 Dengan demikian diharapkan akan muncul

perjanjian yang adil dan seimbang bagi para pihak. Urgensi pengaturan perjanjian

1Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,

Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 1. 2 Ibid 3 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 2

1

Universitas Sumatera Utara

dalam praktek bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan

kewajiban) berlangsung secara seimbang bagi para pihak, sehingga dengan demikian

terjalin hubungan yang adil dan saling menguntungkan. 4

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana

mestinya, maka pihak tersebut dapat dituntut untuk dimintakan ganti rugi. Dengan

demikian pertanggungjawaban atas ganti rugi yang diajukan salah satu pihak

memberikan konsekuensi kepada pihak lain untuk memenuhi prestasi yang dibuat

para pihak dalam suatu perjanjian.

Perjanjian menurut namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang dikenal di dalam KUH Pedata. Contoh yang termasuk dalam perjanjian bernama adalah jual beli. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. Contoh dari perjanjian tidak bernama adalah perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.5 Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dalam

mengelola apotek yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dapat mengikat kedua

belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi para pihak yang

melakukan suatu perjanjian, karena telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian

sebagaimana dimaksud oleh pasal 1320 KUH Perdata.6

Mengenai bentuk dan isi perjanjian diserahkan kepada kesepakatan para pihak

yang melakukan perjanjian tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan mengenai perikatan

4 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 6 5 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, 2000, h. 42. 6 Perjanjian kerjasama, http://www.indoskripsi.com/ diakses 23 Pebruari 2010.

Universitas Sumatera Utara

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya dalam

Buku III KUH Perdata yang mempunyai sifat terbuka dan adanya asas kebebasan

berkontrak.7 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa semua persetujuan

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

Dalam perspektif KUHPerdata, daya mengikat suatu perjanjian dapat

dicermati dari rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Pengertian isi dari pasal tersebut

menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para

pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang. 8

Kebebasan berkontrak pada intinya mengandung pengertian bahwa para pihak

bebas memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum dan kesusilaan. Lebih jauh lagi para pihak yang membuat perjanjian

mempunyai posisi yang setara dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya,

sehingga menjadi seimbang hak dan kewajiban diantara para pihak. Mengenai sebab

dari suatu perjanjian haruslah halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata

yang berbunyi suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan apotek, apotek yang dikelola harus

telah mendapatkan izin usaha apotek. Tata cara pemberian izin apotek diatur dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 922/Men.Kes/Per/X/1993 yang telah diubah

7 Ibid. 8 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, h.110.

Universitas Sumatera Utara

oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/Kep/X/2002 tentang

ketentuan dan tata cara penberian izin apotek.9

Adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak lain yang bersedia

menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang terjadi adalah adanya

hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai pemilik apotek, dimana

pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu juga sebaliknya. Dalam

hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang

berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang juga menyangkut hak dan

kewajiban para pihak.

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek

adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan

hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari

tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak

ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan

pemilik sarana apotek.

Keterikatan antara apoteker dengan konsumen telah diatur dalam undang-

undang sebagai tanggung jawab apoteker dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya walaupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Jadi, perjanjian kerjasama

antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang dibuat dengan dua pihak saja,

juga memberikan akibat hukum kepada pihak ketiga (konsumen).

9 Muhammad Umar, Manajemen Apotik Praktis, CV. Ar-Rahman, Solo, 2005, h. 60.

Universitas Sumatera Utara

Kaitannya dengan pengelolaan apotek terhadap konsumen tidak terlepas dari

pelayanan kefarmasian kepada konsumen itu sendiri. Pelayanan kefarmasian

dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi

dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan konsumen, juga untuk

melindungi konsumen dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi

yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.

Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan

kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu

kehidupan manusia.

Perkembangan dunia kesehatan yang semakin baik, memberikan dampak

positif bagi dunia usaha dibidang kesehatan. Apoteker sebagai sarjana kefarmasian

yang membutuhkan tempat untuk menerapkan keahliannya, sementara itu pengusaha

dibidang kesehatan yang membutuhkan tenaga ahli dalam mengelola usahanya,

menjadikan apoteker dan pengusaha mempunyai tujuan untuk melaksanakan suatu

bentuk kerjasama yang dapat dibuat dalam suatu perjanjian.

Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian

utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktek pelayanan

kefarmasian di apotek. Disamping itu, apotek juga bukan saja merupakan tempat jual

beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh

apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan.10

10 Soerjono Seto, Manajemen Apoteker, Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h. 8.

Universitas Sumatera Utara

Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi

obat yang aman dan benar.

Peningkatan pengadaan dan pengelolan tenaga kesehatan, khususnya apoteker

dan pemilik sarana apotek, diharapkan dapat menunjang peningkatan upaya

kesehatan konsumen. Penyebaran tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan

yang nyata guna mengembangkan program-program kesehatan.

Apotek merupakan suatu tempat, tertentu tempat dilakukan pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada konsumen. Sebagai tenaga

kesehatan kesarjanaan, apoteker dapat berperan sebagai pengusaha, tenaga kesehatan

di rumah sakit dan pengelolaan apotek.11 Akan tetapi pada hakekatnya apoteker

adalah seorang profesional yang terikat oleh sumpah dan kode etik apoteker.12

Kedudukan konsumen yang memerlukan bantuan jasa profesional, rata-rata

lebih lemah. Di samping itu juga perlu dicatat, bahwa peranan profesional secara

umum bersifat rahasia dan didasarkan pada kepercayaan, yang justru oleh karena

kedudukannya yang lebih kuat. Oleh karenanya diharapkan kejujuran dari tenaga ahli

yang berkompeten dibidang kesehatan.

Mengenai kesehatan konsumen, situasi dan perkembangan perekonomian

global melalui dibukanya pasar bebas menimbulkan dampak yang nyata atas

perekonomian nasional, termasuk sektor kefarmasiaan dalam berbagai kegiatan,

11 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Apotik dan Apoteker, Mandar Maju, Bandung, 1998, h.

8. 12

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

mulai dari sektor kegiatan produksi, pengawasan produksi, distribusi dan

perdagangan obat-obatan.

Pembangunan kesehatan diarahkan mempertinggi derajat kesehatan termasuk

keadaan gizi konsumen dalam rangka peningkatan kualitas dan taraf hidup serta

kecerdasan kesejahteraan konsumen pada umumnya. Pembangunan kesehatan

dilakukan dengan memberikan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan.

Sehubungan dengan itu, perlu ditingkatkan upaya untuk memperluas dan

mendekatkan pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih baik.

Untuk memperoleh pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih

baik, perlu terus ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit, lembaga-lembaga

pemulihan kesehatan, serta lembaga-lembaga kesehatan lainnya termasuk antara

perusahaan kefarmasian dengan pengelola apotek. Kemudian ditingkatkan pula

penyediaan dan pemerataan tenaga medis, paramedis dan tenaga kesehatan lainnya,

serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh rakyat.

Dalam bidang kesehatan, apotek mempunyai peran yang sangat besar dalam

hal pendistribusian perbekalan kesehatan kepada konsumen. Pendistribusian

perbekalan kesehatan dalam hal obat-obatan tersebut meliputi pengadaan,

penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi, selain itu apotek juga

memberikan pelayanan informasi tentang obat-obatan kepada konsumen secara

umum.

Satu, dalam hal pengadaan di bidang farmasi, apotek menyediakan obat-obatan untuk masyarakat dan juga melayani resep dokter, dokter gigi, dan

Universitas Sumatera Utara

dokter hewan. Dalam pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Kedua, penyimpanan dibidang farmasi, dalam hal ini apotek dapat menyimpan segala obat-obatan yang merupakan kebutuhan masyarakat dan juga kebutuhahn obat-obatan guna melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan. Ketiga, penyaluran dan penyerahan di bidang farmasi, dalam hal ini apotek sebagai penyalur atau pendistribusi obat-obatan untuk masyarakat, dimana masyarakat dapat membeli obat-obatan sesuai dengan kebutuhan dan resep dokter. 13

Pengelolaannya, pemilik sarana apotek dibantu oleh tenaga medis profesional

yang memiliki ijasah dan surat izin kerja yang disebut sebagai apoteker pengelola

apotek. Apoteker tersebut bertindak sebagai penanggung jawab operasional dan

seluruh kegiatan apotek tersebut merupakan tanggung jawab sepenuhnya apoteker.

Dengan adanya tanggung jawab apoteker tersebut, maka dapat dilihat bahwa

adanya kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, juga mengikat

konsumen secara tidak langsung dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat para

pihak. Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek

tersebut haruslah dicermati pula apakah perjanjian yang dibuat sudah sesuai dengan

baik.

Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dilakukan

dalam bentuk tertulis, agar mempunyai bukti yang sah bagi para pihak. Perjanjian

tersebut dapat dibuat dengan akta otentik, yaitu suatu perjanjian tertulis yang dibuat

dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah notaris, dan dapat juga

13 Muhammad Umar, Op. Cit, h. 65.

Universitas Sumatera Utara

dibuat dengan akta dibawah tangan, yaitu perjanjian tertulis yang tidak dibuat

dihadapan pejabat yang berwenang.

Dengan demikian dengan adanya pejanjian secara tertulis, maka pihak

apoteker dengan pemilik sarana apotek masing-masing dilindungi haknya. Para pihak

yang mengadakan kerja sama (apoteker dan pemilik modal) menghadap Notaris tanpa

adanya paksaan dari pihak manapun juga. Keduanya secara sukarela dan penuh

keyakinan, dengan cara itu masing-masing memperoleh kepastian hukum.

Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek,

terlebih dahulu menyatakan bahwa Apoteker melakukan tugas pengabdian profesi

dengan mengelola sebuah apotek yang mempergunakan sarana pemilik sarana apotek.

Apabila dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan

pemilik sarana apotek tersebut timbul sengketa, maka dapat disepakati

penyelesaiannya melalui musyawarah atau mediasi dan bilamana tidak membawa

hasil penyelesian berikutnya melalui jalur hukum melalui pengadilan.14

Mengingat semakin berkembangnya berbagai perjanjian diluar KUH Perdata,

khususnya hukum perikatan dibidang kesehatan, menjadi wacana yang banyak

diperbincangkan baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi, maka menjadi

14 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata Buku I, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2006, h. 73.

Universitas Sumatera Utara

keinginan penulis untuk meneliti suatu permasalahan yang dapat memberikan

sumbangsih terhadap persoalan hukum perikatan dibidang kesehatan.15

Tidak banyaknya referensi-referensi yang dapat dicari oleh setiap kalangan,

baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi dalam mempelajari ataupun

menelaah hukum perikatan khusus bidang kesehatan, maka dalam hal ini saya

melakukan penelitian yang memfokuskan diri pada judul tesis, yaitu ASPEK

HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN

PEMILIK SARANA APOTEK DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, perumusan

masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antara

apoteker dengan pemilik sarana apotek?

2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama

antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian bagi

konsumen?

3. Bagaimana upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam perjanjian

kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek?

15 Budi Harry Prima, Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Skripsi, Universitas Islam Sumatera Utara, 2008, h. 3.

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari

penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama

antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian

kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian

bagi konsumen.

3. Untuk mengetahui upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam

perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada

tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagi berikut:

1. Secara teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu

hukum dan juga masukan bsgi penyempurnaan pranata hukum, khususnya dalam

lapangan hukum perikatan dan hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia yaitu

mengenai perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek

2. Secara Praktis

Diharapkan dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum dan

pembuat peraturan perundang-undangan untuk menyempurnakan kembali

Universitas Sumatera Utara

peraturan-peraturan dibidang hukum perikatan dan hukum kesehatan, agar

tercipta suatu unifikasi hukum di dalam masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdsarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang `Aspek Hukum

Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari

Hukum Perikatan` belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas

sebelumnya. Salah satu perbandingan judul tesis yang dimaksud kepunyaan Donny

Parhimpunan Harahap adalah “PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA

ANTARA EVENT ORGANIZER DENGAN MANAJEMEN BAND”. Dengan

demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,

pegangan teoritis.16 Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori

keadilan berbasis perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai

harus dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih

16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.

Universitas Sumatera Utara

bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama, bebas, rasional dan

sederajat.17

Melalui pendekatan perjanjian sebuah teori keadilan mampu menjamin

pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua

orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,

konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus

dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

Definisi perjanjian menurut pendapat Subekti, “Perjanjian adalah suatu

hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang

mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain

berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.18

Menurut Van Dunne, ada tiga tahap teori perjanjian modern, yaitu :

a. Tahap Pra Perjanjian;

b. Tahap Perjanjian, adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

c. Tahap Setelah Perjanjian, adanya pelaksanaan perjanjian.19

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan pendapatnya bahwa “suatu

perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda

antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

17 Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. h. 43 18 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, h. 1. 19 http://www.plnsidoarjo.com/”Aspek Hukum Perdata Dalam Kontrak”, 23 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.20

Buku III KUHPerdata, tentang perikatan, tidak mengatur mengenai perjanjian

kerjasama. Mengenai perikatan bisa dilahirkan karena perjanjian dan bisa dilahirkan

karena undang-undang (pasal 1233 KUHPerdata). Hukum perjanjian mempunyai

cakupan yang lebih sempit dari istilah hukum perikatan. “Hukum perikatan mencakup

semua bentuk perikatan dalam buku III KUHPerdata, jadi termasuk ikatan hukum

yang terbit dari undang-undang, sedangkan hukum perjanjian hanya dimaksudkan

mengatur tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian”.21

Buku III KUHPerdata bersifat terbuka, maksudnya para pihak yang ingin

membuat perikatan atau perjanjian bebas menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam buku III KUHPerdata asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Berdasarkan hal di atas, suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan

perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Dari peristiwa ini timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan

20 Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas hukum perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, h.

46. 21 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999, h. 2.

Universitas Sumatera Utara

perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya.

Apabila di antara salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka

perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan

bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam Pasal 1338

KUH Perdata tentang akibat suatu perjanjian disebutkan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua

belah pihak, atau karena selain alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam

perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemlik sarana apotek, di mana kedua

pihak ini saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yaitu dalam hal mengelola

suatu apotek. Melalui perjanjian ini, ditentukan hak dan kewajiban para pihak.

Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang

wujud dari perjanjiannya didasarkan atas asas kebebasan berkontrak dari buku III

KUH Perdata, mengenai perikatan tidak saja memberikan hak dan kewajiban serta

tanggung jawab diantara kedua pihak, akan tetapi memberikan hak dan kewajiban

serta tanggung jawab kepada konsumen yaitu hak dan kewajiban serta tanggung

jawab antara apoteker dengan konsumen.

Universitas Sumatera Utara

Hak, kewajiban dan tanggung jawab antara apoteker dengan konsumen diatur

oleh undang-undang, yang tidak begitu saja dapat dikesampingkan dengan adanya

perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, karena salah satu

pasal dari isi perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek,

secara umum mewajibkan apoteker tunduk kepada undang-undang dan kode etik

apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola apotek.

2. Konsepsi

Dalam konsepsi diungkapkan beberapa pengertian yang akan dipergunakan

sebagai dasar penelitian hukum. “Konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu

pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali

abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit

dalam proses penelitian.22

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda

tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan

pengertian konsepsi yang dipakai.

a. Apotek.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993

Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan

22 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta,

1986, h. 122.

Universitas Sumatera Utara

apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian

penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, meliputi pembuatan,

pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan

penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan

penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan informasi mengenai

perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat

tradisional), bahan obat asli Indonesia (simplisia), alat kesehatan dan kosmetika.

b. Pemilik Sarana Apotek

Dalam membahas pengertian tentang pemilik sarana apotek atau disebut juga

sebagai pemilik modal penulis akan mengemukakan terlebih dahulu pengertian

modal. Menurut pendapat Ahmat Ihsan, dalam bukunya hukum dagang,

mengemukakan dimaksud pengertian modal adalah suatu perwujudan kesatuan benda

yang dapat berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan suatu badan usaha

untuk mendapatkan keuntungan.

Pemilik sarana apotek atau pemilik modal adalah orang yang mempunyai

uang pokok yang dipakai sebagai induk untuk berniaga, melepas uang dan

sebagainya, atau harta benda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu

yang dapat menambah kekayaan atau dengan kata lain pihak yang memberikan sarana

dan prasarana untuk berdiri dan berjalannya pengelolaan apotek. Pihak yang dapat

Universitas Sumatera Utara

menjadi pemilik sarana apotek adalah pengusaha, apoteker, rumah sakit, instansi

pemerintah dan swasta yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

c. Apoteker

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993

Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan

apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah

jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Apoteker sebagai seorang sarjana yang mengemban profesi, memiliki

keahlian dan keterampilan dalam ilmu kefarmasian yang secara mandiri mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya, mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan, berpegang teguh pada sumpah yang diucapkannya

dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apoteker dalam

menjalankan profesinya harus memenuhi hak dan kewajibannya. Apoteker juga

bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.

Di atas telah dikatakan bahwa adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak

lain yang bersedia menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang

terjadi adalah adanya hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai

pemilik apotek, dimana pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu

juga sebaliknya. Dalam hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan

Universitas Sumatera Utara

pemilik sarana apotek yang berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang

juga menyangkut hak dan kewajiban para pihak.

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek

adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan

hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari

tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak

ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan

pemilik sarana apotek.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis

penelitian yang digunakan untuk mengkaji penulisan ini adalah penelitian yuridis

normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap permasalahan

penulisan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta

konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perjanjian. Beranjak dari jenis

penelitian tersebut diharapkan dapat memperoleh bentuk perjanjian kerjasama yang

memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling

menguntungkan antara keduanya.

2. Sumber data penelitian

Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah

menggunakan data sekunder, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Universitas Sumatera Utara

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi

pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan dalam

hal ini buku III KUH Perdata tentang perikatan, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 1332/Men/Kes/Kep/X/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin

Apotek, Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Apotek serta peraturan lainnya yang ada

kaitannya dengan materi yang dibahas.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer yaitu buku-buku ilmu hukum, tesis, disertasi, jurnal

hukum, laporan hukum, makalah dan media cetak atau elektronik.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan

untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, kamus

hukum, majalah dan internet serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan

guna melengkapi data.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan

adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan

(field research). Dalam penelitian ini, penelitian kepustakaan bertujuan untuk

Universitas Sumatera Utara

menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan,

jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti.

Beranjak dari pengumpulan data penelitian kepustakaan diharapkan dapat

memperoleh suatu bentuk perjanjian kerjasama yang memberikan kepastian hukum

bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara

keduanya. Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data yang dilakukan

di Apotek Navisa dan Apotek Budi melalui wawancara langsung dan melakukan

pengamatan di beberapa apotek guna memperoleh data yang lebih akurat dalam

praktek sehari-hari.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari serta menganalisa bahan

pustaka (data sekunder).

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan,

pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui realibiltitas data

tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban

kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat memberikan

kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta

dapat dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.

Universitas Sumatera Utara