chapter i
DESCRIPTION
chapter 1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau
ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian
tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para
pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk
kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan)
melalui proses tawar menawar.1
Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba
dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir
dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak.
Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan
tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui
mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.2
Kebebasan berkontrak yang merupakan inti dari sebuah perjanjian, secara
implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak para pihak diasumsikan
mempunyai kedudukan yang seimbang.3 Dengan demikian diharapkan akan muncul
perjanjian yang adil dan seimbang bagi para pihak. Urgensi pengaturan perjanjian
1Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 1. 2 Ibid 3 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 2
1
Universitas Sumatera Utara
dalam praktek bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan
kewajiban) berlangsung secara seimbang bagi para pihak, sehingga dengan demikian
terjalin hubungan yang adil dan saling menguntungkan. 4
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
mestinya, maka pihak tersebut dapat dituntut untuk dimintakan ganti rugi. Dengan
demikian pertanggungjawaban atas ganti rugi yang diajukan salah satu pihak
memberikan konsekuensi kepada pihak lain untuk memenuhi prestasi yang dibuat
para pihak dalam suatu perjanjian.
Perjanjian menurut namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang dikenal di dalam KUH Pedata. Contoh yang termasuk dalam perjanjian bernama adalah jual beli. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. Contoh dari perjanjian tidak bernama adalah perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.5 Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dalam
mengelola apotek yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dapat mengikat kedua
belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi para pihak yang
melakukan suatu perjanjian, karena telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana dimaksud oleh pasal 1320 KUH Perdata.6
Mengenai bentuk dan isi perjanjian diserahkan kepada kesepakatan para pihak
yang melakukan perjanjian tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan mengenai perikatan
4 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 6 5 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, 2000, h. 42. 6 Perjanjian kerjasama, http://www.indoskripsi.com/ diakses 23 Pebruari 2010.
Universitas Sumatera Utara
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya dalam
Buku III KUH Perdata yang mempunyai sifat terbuka dan adanya asas kebebasan
berkontrak.7 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dalam perspektif KUHPerdata, daya mengikat suatu perjanjian dapat
dicermati dari rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Pengertian isi dari pasal tersebut
menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para
pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang. 8
Kebebasan berkontrak pada intinya mengandung pengertian bahwa para pihak
bebas memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Lebih jauh lagi para pihak yang membuat perjanjian
mempunyai posisi yang setara dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya,
sehingga menjadi seimbang hak dan kewajiban diantara para pihak. Mengenai sebab
dari suatu perjanjian haruslah halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata
yang berbunyi suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan apotek, apotek yang dikelola harus
telah mendapatkan izin usaha apotek. Tata cara pemberian izin apotek diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 922/Men.Kes/Per/X/1993 yang telah diubah
7 Ibid. 8 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, h.110.
Universitas Sumatera Utara
oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/Kep/X/2002 tentang
ketentuan dan tata cara penberian izin apotek.9
Adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak lain yang bersedia
menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang terjadi adalah adanya
hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai pemilik apotek, dimana
pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu juga sebaliknya. Dalam
hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang
berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang juga menyangkut hak dan
kewajiban para pihak.
Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek
adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan
hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari
tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak
ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan
pemilik sarana apotek.
Keterikatan antara apoteker dengan konsumen telah diatur dalam undang-
undang sebagai tanggung jawab apoteker dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya walaupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Jadi, perjanjian kerjasama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang dibuat dengan dua pihak saja,
juga memberikan akibat hukum kepada pihak ketiga (konsumen).
9 Muhammad Umar, Manajemen Apotik Praktis, CV. Ar-Rahman, Solo, 2005, h. 60.
Universitas Sumatera Utara
Kaitannya dengan pengelolaan apotek terhadap konsumen tidak terlepas dari
pelayanan kefarmasian kepada konsumen itu sendiri. Pelayanan kefarmasian
dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi
dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan konsumen, juga untuk
melindungi konsumen dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi
yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.
Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan
kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu
kehidupan manusia.
Perkembangan dunia kesehatan yang semakin baik, memberikan dampak
positif bagi dunia usaha dibidang kesehatan. Apoteker sebagai sarjana kefarmasian
yang membutuhkan tempat untuk menerapkan keahliannya, sementara itu pengusaha
dibidang kesehatan yang membutuhkan tenaga ahli dalam mengelola usahanya,
menjadikan apoteker dan pengusaha mempunyai tujuan untuk melaksanakan suatu
bentuk kerjasama yang dapat dibuat dalam suatu perjanjian.
Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian
utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktek pelayanan
kefarmasian di apotek. Disamping itu, apotek juga bukan saja merupakan tempat jual
beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh
apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan.10
10 Soerjono Seto, Manajemen Apoteker, Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h. 8.
Universitas Sumatera Utara
Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi
obat yang aman dan benar.
Peningkatan pengadaan dan pengelolan tenaga kesehatan, khususnya apoteker
dan pemilik sarana apotek, diharapkan dapat menunjang peningkatan upaya
kesehatan konsumen. Penyebaran tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
yang nyata guna mengembangkan program-program kesehatan.
Apotek merupakan suatu tempat, tertentu tempat dilakukan pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada konsumen. Sebagai tenaga
kesehatan kesarjanaan, apoteker dapat berperan sebagai pengusaha, tenaga kesehatan
di rumah sakit dan pengelolaan apotek.11 Akan tetapi pada hakekatnya apoteker
adalah seorang profesional yang terikat oleh sumpah dan kode etik apoteker.12
Kedudukan konsumen yang memerlukan bantuan jasa profesional, rata-rata
lebih lemah. Di samping itu juga perlu dicatat, bahwa peranan profesional secara
umum bersifat rahasia dan didasarkan pada kepercayaan, yang justru oleh karena
kedudukannya yang lebih kuat. Oleh karenanya diharapkan kejujuran dari tenaga ahli
yang berkompeten dibidang kesehatan.
Mengenai kesehatan konsumen, situasi dan perkembangan perekonomian
global melalui dibukanya pasar bebas menimbulkan dampak yang nyata atas
perekonomian nasional, termasuk sektor kefarmasiaan dalam berbagai kegiatan,
11 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Apotik dan Apoteker, Mandar Maju, Bandung, 1998, h.
8. 12
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mulai dari sektor kegiatan produksi, pengawasan produksi, distribusi dan
perdagangan obat-obatan.
Pembangunan kesehatan diarahkan mempertinggi derajat kesehatan termasuk
keadaan gizi konsumen dalam rangka peningkatan kualitas dan taraf hidup serta
kecerdasan kesejahteraan konsumen pada umumnya. Pembangunan kesehatan
dilakukan dengan memberikan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan.
Sehubungan dengan itu, perlu ditingkatkan upaya untuk memperluas dan
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih baik.
Untuk memperoleh pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih
baik, perlu terus ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit, lembaga-lembaga
pemulihan kesehatan, serta lembaga-lembaga kesehatan lainnya termasuk antara
perusahaan kefarmasian dengan pengelola apotek. Kemudian ditingkatkan pula
penyediaan dan pemerataan tenaga medis, paramedis dan tenaga kesehatan lainnya,
serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh rakyat.
Dalam bidang kesehatan, apotek mempunyai peran yang sangat besar dalam
hal pendistribusian perbekalan kesehatan kepada konsumen. Pendistribusian
perbekalan kesehatan dalam hal obat-obatan tersebut meliputi pengadaan,
penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi, selain itu apotek juga
memberikan pelayanan informasi tentang obat-obatan kepada konsumen secara
umum.
Satu, dalam hal pengadaan di bidang farmasi, apotek menyediakan obat-obatan untuk masyarakat dan juga melayani resep dokter, dokter gigi, dan
Universitas Sumatera Utara
dokter hewan. Dalam pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Kedua, penyimpanan dibidang farmasi, dalam hal ini apotek dapat menyimpan segala obat-obatan yang merupakan kebutuhan masyarakat dan juga kebutuhahn obat-obatan guna melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan. Ketiga, penyaluran dan penyerahan di bidang farmasi, dalam hal ini apotek sebagai penyalur atau pendistribusi obat-obatan untuk masyarakat, dimana masyarakat dapat membeli obat-obatan sesuai dengan kebutuhan dan resep dokter. 13
Pengelolaannya, pemilik sarana apotek dibantu oleh tenaga medis profesional
yang memiliki ijasah dan surat izin kerja yang disebut sebagai apoteker pengelola
apotek. Apoteker tersebut bertindak sebagai penanggung jawab operasional dan
seluruh kegiatan apotek tersebut merupakan tanggung jawab sepenuhnya apoteker.
Dengan adanya tanggung jawab apoteker tersebut, maka dapat dilihat bahwa
adanya kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, juga mengikat
konsumen secara tidak langsung dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat para
pihak. Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek
tersebut haruslah dicermati pula apakah perjanjian yang dibuat sudah sesuai dengan
baik.
Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dilakukan
dalam bentuk tertulis, agar mempunyai bukti yang sah bagi para pihak. Perjanjian
tersebut dapat dibuat dengan akta otentik, yaitu suatu perjanjian tertulis yang dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah notaris, dan dapat juga
13 Muhammad Umar, Op. Cit, h. 65.
Universitas Sumatera Utara
dibuat dengan akta dibawah tangan, yaitu perjanjian tertulis yang tidak dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang.
Dengan demikian dengan adanya pejanjian secara tertulis, maka pihak
apoteker dengan pemilik sarana apotek masing-masing dilindungi haknya. Para pihak
yang mengadakan kerja sama (apoteker dan pemilik modal) menghadap Notaris tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun juga. Keduanya secara sukarela dan penuh
keyakinan, dengan cara itu masing-masing memperoleh kepastian hukum.
Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek,
terlebih dahulu menyatakan bahwa Apoteker melakukan tugas pengabdian profesi
dengan mengelola sebuah apotek yang mempergunakan sarana pemilik sarana apotek.
Apabila dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan
pemilik sarana apotek tersebut timbul sengketa, maka dapat disepakati
penyelesaiannya melalui musyawarah atau mediasi dan bilamana tidak membawa
hasil penyelesian berikutnya melalui jalur hukum melalui pengadilan.14
Mengingat semakin berkembangnya berbagai perjanjian diluar KUH Perdata,
khususnya hukum perikatan dibidang kesehatan, menjadi wacana yang banyak
diperbincangkan baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi, maka menjadi
14 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata Buku I, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, h. 73.
Universitas Sumatera Utara
keinginan penulis untuk meneliti suatu permasalahan yang dapat memberikan
sumbangsih terhadap persoalan hukum perikatan dibidang kesehatan.15
Tidak banyaknya referensi-referensi yang dapat dicari oleh setiap kalangan,
baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi dalam mempelajari ataupun
menelaah hukum perikatan khusus bidang kesehatan, maka dalam hal ini saya
melakukan penelitian yang memfokuskan diri pada judul tesis, yaitu ASPEK
HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN
PEMILIK SARANA APOTEK DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, perumusan
masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antara
apoteker dengan pemilik sarana apotek?
2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian bagi
konsumen?
3. Bagaimana upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam perjanjian
kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek?
15 Budi Harry Prima, Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Skripsi, Universitas Islam Sumatera Utara, 2008, h. 3.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari
penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian
kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian
bagi konsumen.
3. Untuk mengetahui upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam
perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada
tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagi berikut:
1. Secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu
hukum dan juga masukan bsgi penyempurnaan pranata hukum, khususnya dalam
lapangan hukum perikatan dan hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia yaitu
mengenai perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek
2. Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum dan
pembuat peraturan perundang-undangan untuk menyempurnakan kembali
Universitas Sumatera Utara
peraturan-peraturan dibidang hukum perikatan dan hukum kesehatan, agar
tercipta suatu unifikasi hukum di dalam masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdsarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang `Aspek Hukum
Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari
Hukum Perikatan` belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas
sebelumnya. Salah satu perbandingan judul tesis yang dimaksud kepunyaan Donny
Parhimpunan Harahap adalah “PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA EVENT ORGANIZER DENGAN MANAJEMEN BAND”. Dengan
demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis.16 Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori
keadilan berbasis perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai
harus dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih
16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.
Universitas Sumatera Utara
bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama, bebas, rasional dan
sederajat.17
Melalui pendekatan perjanjian sebuah teori keadilan mampu menjamin
pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua
orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,
konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus
dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.
Definisi perjanjian menurut pendapat Subekti, “Perjanjian adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain
berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.18
Menurut Van Dunne, ada tiga tahap teori perjanjian modern, yaitu :
a. Tahap Pra Perjanjian;
b. Tahap Perjanjian, adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;
c. Tahap Setelah Perjanjian, adanya pelaksanaan perjanjian.19
Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan pendapatnya bahwa “suatu
perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
17 Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. h. 43 18 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, h. 1. 19 http://www.plnsidoarjo.com/”Aspek Hukum Perdata Dalam Kontrak”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.20
Buku III KUHPerdata, tentang perikatan, tidak mengatur mengenai perjanjian
kerjasama. Mengenai perikatan bisa dilahirkan karena perjanjian dan bisa dilahirkan
karena undang-undang (pasal 1233 KUHPerdata). Hukum perjanjian mempunyai
cakupan yang lebih sempit dari istilah hukum perikatan. “Hukum perikatan mencakup
semua bentuk perikatan dalam buku III KUHPerdata, jadi termasuk ikatan hukum
yang terbit dari undang-undang, sedangkan hukum perjanjian hanya dimaksudkan
mengatur tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian”.21
Buku III KUHPerdata bersifat terbuka, maksudnya para pihak yang ingin
membuat perikatan atau perjanjian bebas menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam buku III KUHPerdata asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Berdasarkan hal di atas, suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dari peristiwa ini timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
20 Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas hukum perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, h.
46. 21 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, h. 2.
Universitas Sumatera Utara
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya.
Apabila di antara salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan
bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam Pasal 1338
KUH Perdata tentang akibat suatu perjanjian disebutkan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena selain alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam
perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemlik sarana apotek, di mana kedua
pihak ini saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yaitu dalam hal mengelola
suatu apotek. Melalui perjanjian ini, ditentukan hak dan kewajiban para pihak.
Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang
wujud dari perjanjiannya didasarkan atas asas kebebasan berkontrak dari buku III
KUH Perdata, mengenai perikatan tidak saja memberikan hak dan kewajiban serta
tanggung jawab diantara kedua pihak, akan tetapi memberikan hak dan kewajiban
serta tanggung jawab kepada konsumen yaitu hak dan kewajiban serta tanggung
jawab antara apoteker dengan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Hak, kewajiban dan tanggung jawab antara apoteker dengan konsumen diatur
oleh undang-undang, yang tidak begitu saja dapat dikesampingkan dengan adanya
perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, karena salah satu
pasal dari isi perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek,
secara umum mewajibkan apoteker tunduk kepada undang-undang dan kode etik
apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola apotek.
2. Konsepsi
Dalam konsepsi diungkapkan beberapa pengertian yang akan dipergunakan
sebagai dasar penelitian hukum. “Konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali
abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit
dalam proses penelitian.22
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda
tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan
pengertian konsepsi yang dipakai.
a. Apotek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan
22 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta,
1986, h. 122.
Universitas Sumatera Utara
apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian
penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, meliputi pembuatan,
pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan
penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan
penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan informasi mengenai
perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat
tradisional), bahan obat asli Indonesia (simplisia), alat kesehatan dan kosmetika.
b. Pemilik Sarana Apotek
Dalam membahas pengertian tentang pemilik sarana apotek atau disebut juga
sebagai pemilik modal penulis akan mengemukakan terlebih dahulu pengertian
modal. Menurut pendapat Ahmat Ihsan, dalam bukunya hukum dagang,
mengemukakan dimaksud pengertian modal adalah suatu perwujudan kesatuan benda
yang dapat berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan suatu badan usaha
untuk mendapatkan keuntungan.
Pemilik sarana apotek atau pemilik modal adalah orang yang mempunyai
uang pokok yang dipakai sebagai induk untuk berniaga, melepas uang dan
sebagainya, atau harta benda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu
yang dapat menambah kekayaan atau dengan kata lain pihak yang memberikan sarana
dan prasarana untuk berdiri dan berjalannya pengelolaan apotek. Pihak yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menjadi pemilik sarana apotek adalah pengusaha, apoteker, rumah sakit, instansi
pemerintah dan swasta yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
c. Apoteker
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan
apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.
Apoteker sebagai seorang sarjana yang mengemban profesi, memiliki
keahlian dan keterampilan dalam ilmu kefarmasian yang secara mandiri mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya, mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan, berpegang teguh pada sumpah yang diucapkannya
dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apoteker dalam
menjalankan profesinya harus memenuhi hak dan kewajibannya. Apoteker juga
bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.
Di atas telah dikatakan bahwa adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak
lain yang bersedia menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang
terjadi adalah adanya hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai
pemilik apotek, dimana pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu
juga sebaliknya. Dalam hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan
Universitas Sumatera Utara
pemilik sarana apotek yang berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang
juga menyangkut hak dan kewajiban para pihak.
Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek
adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan
hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari
tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak
ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan
pemilik sarana apotek.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis
penelitian yang digunakan untuk mengkaji penulisan ini adalah penelitian yuridis
normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap permasalahan
penulisan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta
konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perjanjian. Beranjak dari jenis
penelitian tersebut diharapkan dapat memperoleh bentuk perjanjian kerjasama yang
memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling
menguntungkan antara keduanya.
2. Sumber data penelitian
Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah
menggunakan data sekunder, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan dalam
hal ini buku III KUH Perdata tentang perikatan, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1332/Men/Kes/Kep/X/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin
Apotek, Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Apotek serta peraturan lainnya yang ada
kaitannya dengan materi yang dibahas.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer yaitu buku-buku ilmu hukum, tesis, disertasi, jurnal
hukum, laporan hukum, makalah dan media cetak atau elektronik.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan
untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, kamus
hukum, majalah dan internet serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan
guna melengkapi data.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan
adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research). Dalam penelitian ini, penelitian kepustakaan bertujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan,
jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
Beranjak dari pengumpulan data penelitian kepustakaan diharapkan dapat
memperoleh suatu bentuk perjanjian kerjasama yang memberikan kepastian hukum
bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara
keduanya. Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data yang dilakukan
di Apotek Navisa dan Apotek Budi melalui wawancara langsung dan melakukan
pengamatan di beberapa apotek guna memperoleh data yang lebih akurat dalam
praktek sehari-hari.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari serta menganalisa bahan
pustaka (data sekunder).
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan,
pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui realibiltitas data
tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban
kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat memberikan
kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta
dapat dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.
Universitas Sumatera Utara