chapter i
TRANSCRIPT
-
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah penting.
Spesies C. Annum berasal dari Meksiko, spesies yang lain seperti
C. frustescens, C. Baccatu, C. Chinense, dan C. Pubescens berasal dari
Amerika Selatan. Oleh pedagang portugis dan Spanyol, cabai
diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas
tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjayaa, dkk, 2002).
Tanaman cabai termasuk tanaman semusim yang tergolong ke
dalam famili Solanaceae, buahnya sangat digemari, karena memiliki rasa
pedas dan merupakan perangsang bagi selera makan. Selain itu buah
cabai memiliki kandungan vitamin-vitamin, protein dan gula fruktosa. Di
Indonesia tanaman ini mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki
tempat kedua setelah sayuran kacang-kacangan (Rusli dkk, 1997).
Secara umum cabai merah dapat di tanam di lahan basah (sawah)
dan lahan kering ( tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan
dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang
mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya
akan bahan organik dengan pH 6 - 7, tekstur tanah remah. Di kawasan
trasmigrasi lahan kering pada umumnya jenis tanah banyak didominasi
oleh tanah pozolik merah kuning. Jenis tanah ini dengan beberapa
keterbatasannya dapat untuk budidaya tanaman cabai merah dengan
beberapa perlakuan tertentu, misalnya pada lubang tanam perlu diberi
Universitas Sumatera Utara
-
pupuk kandang yang bebas dari bakteri dan sumber penyakit
(Sudiono,2006).
Serangga hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang
dapat menghambat kelancaran dalam budidaya cabai. Salah satu jenis
penyakit yang sering menyerang pada tanaman cabai adalah penyakit
antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Coletotrichum sp., yang
pada tingkat serangan tertentu dapat merugikan hasil yang cukup besar
juga dapat menghancurkan seluruh tanaman (Rohmawati, 2002).
Antraknosa disebabkan oleh jamur dari genus Colletotrichum yang
merupakan kelompok yang umum dari patogen tanaman, dan jamur ini
penyebab penyakit pada banyak spesies tanaman di seluruh dunia.
Identifikasi spesies Colletotrichum biasanya lebih dari satu karakteristik,
diantaranya bentuk fisiknya, kepatogenisitasnya pada tanaman inang.
Banyak spesies dari Colletotrichum menginfeksi lebih dari satu tanaman
inang dan untuk memudahkan identifikasi, ada 3 spesies dari
Colletotrichum yaitu C.gloeosporioides, C.capsici dan C.cocodes
yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai di Florida
(Roberts et all, 2006).
Antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang cabai di
Indonesia. Penyakit ini distimulir oleh keadaan lembab dan suhu relatif
tinggi. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari
persemaian sampai tanaman cabai berbuah dan merupakan masalah
utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil
dan penyebaran penyakit. Pada musim hujan kehilangan hasil
Universitas Sumatera Utara
-
pertanaman cabai akibat serangan antraknosa dapat mencapai 50-100%
(Syamsudin, 2002).
Pengendalian penyakit terutama yang disebabkan oleh jamur
selama ini dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan fungisida. Cara
pengendalian penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida
memang lebih praktis bila dibandingkan dengan cara pengendalian lain
(Rohmawati, 2002).
Dewasa ini penggunaan insektisida sangat tinggi untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Diperkirakan 50 % dari biaya
produksi digunakan untuk membeli insektisida. Penggunaan insektisida
oleh para petani bawang dan cabai dilapangan sudah sangat intensif, baik
jenis maupun dosis yang digunakan, serta interval penyemprotan yang
sudah sangat pendek tenggang waktunya. Keadaan ini akan menimbulkan
berbagai permasalahan serius karena insektisida dapat mencemari
lingkungan. Oleh karena itu, pada sistem pertanian sekarang
diperkenalkan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu suatu
sistem yang menggunakan berbagai cara pengendalian diantaranya
pengendalian secara fisik , pengendalian secara mekanis, pengendalian
secara kultur teknis, pengendalian secara biologis dan pengendalian
secara kimiawi agar populasi hama / penyakit tetap berada dalam ambang
toleransi (Sanjayab, 2002).
Pemakaian fungisida salah satu komponen PHT yang penting
dalam pengendalian penyakit. Tetapi petani sebelum menggunakan
fungisida untuk pengendalian penyakit harus lebih dulu mengetahui
Universitas Sumatera Utara
-
teknik budidaya, pengetahuan akan patogen, biologi penyakit dan
resistensi penyakit (Stephen and Chatfield, 2007).
Pengetahuan akan teknik bududaya diantaranya pengaturan jarak
tanam, karena pengaturan jarak tanam termasuk komponen PHT dalam
pengendalian secara kultur teknis. Jarak tanam ditentukan berdasarkan
jenis cabai yang ditanam. Berdasarkan pengamatan dilapangan, jarak
tanam yang lebar akan lebih baik untuk kesehatan tanaman. Bila
menggunakan jarak tanam yang rapat atau sempit, situasi disekitar
tanaman akan menjadi lembab. Situasi yang demikian akan dapat
mengundang datangnya jamur. Selain tanah menjadi lembab, jarak tanam
yang rapat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan cabang dan ranting
tanaman. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi
buah nantinya (Wiratma,1985).
Komponen yang lainnya dalam pengendalian secara kultur teknis
adalah penggunaan pupuk yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemakaian
sangat membantu usaha pengendalian penyakit. Umumnya pengendalian
penyakit dapat dilakukan dengan menekan sumber inokulum awal ( Xo)
atau kecepatan perkembangan penyakit (r). Kemampuan tanaman
menyerap unsur hara dan pengaruhnya terhadap penyakit terutama
tergantung dalam jenis mineral kelarutan dan faktor lingkungan
(Sudir dan Suparyono, 2001).
Universitas Sumatera Utara
-
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Pengaruh Pupuk, Fungisida dan Jarak Tanam
terhadap perkembangan antraknosa (Coletotrichum capsici) pada
tanaman cabai (Capsicum annum. L) di lapangan.
Hipotesa Penelitian
- Diduga ada pengaruh pemberian pupuk terhadap perkembangan
antraknosa ( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.
- Diduga pemberian fungisida sistemik dan nonsistemik mempunyai
pengaruh yang berbeda untuk mengendalikan antraknosa
( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.
- Diduga jarak tanam mempengaruhi perkembangan antraknosa
( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.
Kegunaan Penelitian
- Sebagai salah satu syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di
Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
- Sebagai sumber informasi tambahan bagi pihak yang membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara