chandra purna irawan.,m.h. | ahmad khozinudin,...
TRANSCRIPT
2
Chandra Purna Irawan.,M.H. | Ahmad Khozinudin, S.H.
INDONESIA DIAMBANG
NEGARA KEKUASAAN?
ISBN: 978-602-73802-6-4
PEMUDA INDONESIA BANGKIT
3
PERPUSTAKAAN NASIONAL RI: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
Purna Irawan, Chandra. Indonesia Diambang Negara Kekuasaan/ Chandra Purna Irawan.; penyunting, Adi Kusuma.—Jakarta : Pemuda Indonesia Bangit, 2017.
...., .... hlm. ; ... cm. ISBN: 978-602-73802-6-4
1. Hukum I. Judul II. Kusuma, Adi III.Penyunting
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak sesuatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah). UU RI No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
Judul Asli : Indonesia Diambang Negara Kekuasaan
Penulis :
Chandra Purna Irawan.,M.H. & Ahmad Khozinudin, S.H.
Penyunting Adi Kusuma; Perwajahan isi Rahmad Kurnia; Desain Sampul Guslin Al-Fikrah
Penerbit :
Pemuda Indonesia Bangkit Jakarta 2017
Dilarang memperbanyak isi buku ini tanpa seizing tertulis dari penerbit
All Rights Reserved
4
Pengantar Penerbit
Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah menciptakan
semua kenikmatan dan keindahan di alam semesta ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada
kekasih dan panutan kehidupan kita, Rasulullah Muhammad
saw.. Atas jasa beliau, segala berita langit di dalam Al-Qur`an
telah sampai kepada kita. Beliau adalah rahmat bagi alam
raya ini, penutup semua nabi dan rasul, dan pembawa
risalah yang komprehensip dan paripurna.
Buku ini kami sajikan kepada khalayak pembaca. Dari
hasil kajian ini, kita akan sama-sama menemukan mutiara
hikmah yang belum pernah kita temukan.
Jakarta, Desember 2017
Penerbit
5
Pengantar Penulis
Bahwa kondisi negara sedang dalam keadaan darurat
hukum. Perlu untuk segera dan serta merta diambil
tindakan kongkrit menyelamatkan negara dari upaya
oknum dan sekelompok individu yang hendak
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk
merealisir tujuan politik dan kepentingannya.
Bahwa keadaan ini telah secara nyata merongrong
kedaulatan hukum berada dibawah kendali kekuasaan.
Negara telah bergeser dari rechtstaat (negara hukum)
menjadi machtstaat (negara kekuasaan).
Buku ini akan membahas Sebuah Upaya Membungkam
Gerakan Dakwah Melalui Peraturan Perundang-Undangan”
Selamat Membaca…!
Jakarta, Desember 2017
Penulis
6
Daftar Isi
Pengantar Penerbit - 4
Pengantar Penulis – 5
Daftar Isi - 6
INDONESIA DIAMBANG NEGARA KEKUASAAN - 7
KEKUASAAN DAN TAFSIR PEMERINTAH-36
HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI) KORBAN PERTAMA
KEDIKTATORAN KONSTITUSIONAL-45
REFLEKSI AKHIR TAHUN 2017; QUO VADIS POLITIK
HUKUM DI INDONESIA-51
Profil Penulis-74
7
INDONESIA DIAMBANG NEGARA KEKUASAAN? (Is Indonesia moving from a rechtstaat into a
machtstaat?)
Penulis, Chandra Purna Irawan.,MH.
emerintah memainkan peran antisipatif
untuk meredam segala bentuk kritik.
Sehingga kita melihat upaya pemerintah P
8
menggunakan jimat suci “NKRI Harga Mati” yang sering
berputar dalam retorika disintegrasi dan anti-Pancasila.
Namun, apakah benar demikian?
Saya sebagai praktisi hukum dalam mengupas tulisan
ini berdasarkan pada peristiwa politik dan hukum yang
terjadi, sehingga atas dasar peristiwa politik dan hukum
inilah kemudian saya mengkaji dan menyesuaikan dalam
teori hukum dalam hal ini yaitu rechstaat atau yang sering
dikenal negara hukum.
Kritik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
memiliki peran penting untuk saling mengkoreksi karena
secara fitrah manusia secara pribadi akan kesulitan
menemukan kelemahan dirinya sehingga membutuhkan
orang lain. Namun kritik jangan dimaknai sebagai
permusuhan yang harus diberangus, seperti pepatah lama
mengatakan muka buruk cermin dibelah.
Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang
menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”.
9
Negara hukum dalam arti sempit yaitu negara hukum
formil, negara hukum merupakan terjemahan dari istilah
Rule of Law atau Rechtsstaat. Istilah Rechtsstaat diberikan
oleh para ahli hukum Eropa Kontinental sedang istilah Rule
of Law atau pemerintahan oleh hukum atau government of
judiciary, diberikan oleh para ahli hukum Anglo Saxon.
Konsep rechtsstaat menginginkan adanya
perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan
peradilan yang independen. Pada konsep rechtsstaat
terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan
lingkungan peradilan yang berdiri sendiri.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, berpendapat bahwa
ada dua belas ciri penting dari negara hukum, yaitu sebagai
berikut:
1. Supremasi hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law)
3. Asas legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan.
5. Organ-organ Penunjang yang Independen.
10
6. Peradilan bebas dan tidak memihak.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis (Democratishe Rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana Mewujudkan Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtsstaat)
12. Transparansi dan Kontrol Sosial.
Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum
apabila telah memenuhi unsur-unsur negara hukum
sebagaimana yang diutarakan diatas. Jika unsure-unsur
negara hukum tidak dilaksanakan, maka ada pergeseran dan
jika diingkari secara berkesinambungan maka ada
pergerakan menuju negara yang menyalahgunakan
kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan-kepetingan
oknum Pemerintah.
Negara Kekuasaan (machtstaat)
Penulis mendefenisikan negara kekuasaan atau
machtstaat yaitu state based on power and authority.
11
Power sering diartikan sebagai kekuasaan. Sering
juga diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu
pihak yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain, untuk
mencapai apa yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan.
kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu
hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun
mengalami perlawanan. Kekuasaan adalah suatu hubungan
dimana seseorang atau kelompok dapat menentukan
tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak
pertama.
Kewenangan (authority) adalah hak untuk
melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai
tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan
kekuasaan.
Kewenangan digunakan untuk mencapai tujuan
pihak yang berwenang. Karena itu, kewenangan biasanya
dikaitkan dengan kekuasaan. Kewenangan merupakan
kekuasaan yang dilembagakan.
Mengamati dinamika hukum dinegara tercinta,
kondisi negara sedang dalam keadaan darurat hukum. Perlu
12
untuk segera dan serta merta diambil tindakan kongkrit
menyelamatkan negara dari upaya oknum dan sekelompok
individu yang hendak menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaan untuk merealisir tujuan politik dan
kepentingannya.
Bahwa keadaan ini bisa merongrong kedaulatan
hukum berada dibawah kendali kekuasaan. Negara telah
bergeser dari recht staat (negara hukum) menjadi macht
staat (negara kekuasaan).
Indonesia sebagai negara hukum (recht staat) harus
dijaga. Fondasi-fondasi Negara Hukum yang berlaku
merupakan fondasi utama yang menyangga berdiri tegaknya
suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum
yang konkrit.
Pilar pertama, Supremasi Hukum (Supremacy of
Law); Bahwa semua permasalahan atau memutuskan suatu
perkara atau mengadili subyek hukum diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman, pemimpin tertinggi negara yang
sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum baik secara normative dan empirik.
Supremasi hukum merupakan suatu upaya untuk
13
memberikan jaminan terciptanya keadilan.Keadilan yang
dimaksud adalah keadilan yang netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama tanpa
terkecuali.
Saya miris dengan praktek penegakan hukum rezim
pemerintahan saat ini. Kekuasaan begitu mudah mengaduk-
aduk hukum. Kebijakan, baik sengaja atau tidak, dibiarkan
menabrak aturan atau produk hukum.
Misalnya beberapa tahun kebelakang ramai “kisruh”
partai, diduga keberpihakan Pemerintah tampak pada salah
satunya. Bukankah kewenangan pemerintah sebagaimana
diatur dalam UU Parpol bersifat atributif? Jika demikian
mengapa seakan-akan pemerintah menjadi penentu hidup-
mati parpol? Dimana letak independensi maupun fungsi
strategis parpol? Bidang penegakan hukum sudah bukan
menjadi rahasia luas lagi. Melalui akses dan kedekatan
dengan istana proses hukum bisa dihentikan. Bahkan
dilakukan dengan cara menabrak proses peradilan maupun
azas hukum sekalipun.
14
Lain lagi dalam bidang perekonomian atau proyek
infrastruktur. Pemerintah pusat diduga mendukung proyek
reklamasi yang dinilai menabrak berbagai aturan.
Izin reklamasi yang dikeluarkan, melanggar Undang-
undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun
2014 sebagai dasar. Seperti diketahui, UU Nomor 27 Tahun
2007 berisi tentang aturan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Sementara UU Nomor 1 Tahun 2014 merupakan
perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tersebut. Dalam
hal pelaksanaan pembangunan reklamasi jelas melanggar
hukum terkait zonasi seperti yang diamanatkan UU Nomor
27 Tahun 2007.
Selain itu, diduga proses penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal tidak melibatkan
nelayan sebagai masyarakat yang paling terdampak proyek
reklamasi. Reklamasi juga dianggap tidak sesuai dengan
prinsip UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
15
Tak hanya itu, rezim pemerintahan ini juga dengan
mudahnya menabrak UU dalam proses pembubaran ormas,
yang sudah ditentukan didalam UU RI No.17 tahun 2013.
Namun karena UU ini memberikan kewenangan pada
peradilan tidak ditangan Pemerintah, akhirnya ketentuan
UU RI No.17 tahun 2013 “disimpangi” dengan menerbitkan
Perppu No.2 Tahun 2017 yaitu dengan mengalihkan
kewenangan peradilan ketangan pemerintah.
Saya tidak ingin rezim penguasa yang memerintah
sekarang ini dikenal sebagai tukang menabrak konstitusi.
Saya tidak ingin ada rezim pemerintahan yang sah namun
dijalankan secara “ugal-ugalan” tak mengindahkan aturan
atau UU yang ada.
Saya memahami perlunya terobosan hukum. Saya
memahami pemerintah tidak ingin terbelenggu oleh aturan
yang ada dalam menjalankan roda pemerintahan. Saya
memahami pelik dan tidak mudahnya tantangan yang
dihadapi penguasa.
Namun, negara ini tetaplah negara hukum. Baik
diatur dalam konstitusi maupun sudah menjadi keinginan
para bapak bangsa, negara ini bukanlah negara kekuasaan.
16
Negara ini menempatkan supremasi hukum diatas
kekuasaan.
Karena para pendiri bangsa ini paham betul bahwa
kekuasaan itu mudah sekali disalahgunakan. Hukum yang
menjaganya.
Pilar kedua, Persamaan dalam Hukum (Equality
before the Law): Adanya persamaan kedudukan setiap
orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara
normative dan dilaksanakan secara empirik. Berpegang
pada asas equality before the law (sama kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan) seharusnya tidak ada yang
mendapat perlakukan istimewa antara satu dengan yang
lainnya. Namun penerapan asas equality before the law
dalam penegakan hukum saat ini belum terlaksana
sebagaimana yang menjadi semangat yang telah digariskan
dalam negara hukum.
Hal ini nampak nyata pada kasus Ahok, jutaan rakyat
turun kejalan meminta agar penegak hukum memproses
atas dugaan delik penistaan agama. Bahkan aksi
demonstrasi terjadi berjilid-jilid dengan jumlah massa
sekitar 7 (tujuh) juta. Seharusnya ini tidak perlu terjadi, jika
17
penegak hukum melakukan hal yang sama pada Ahok,
seperti yang pernah mereka lakukan kepada para penista
agama. Tapi sayang, berbagai alasan dicari dan
dipertontonkan dengan senyata-nyatanya tanpa keraguan
sedikitpun akan pembelaanya pada Ahok.
Bahaya bukan berasal dari demontrasi rakyat yang
meminta penegakan hukum atas ahok pada saat itu,
melainkan pergeseran dari negara hukum menjadi negara
kekuasaan. Hal ini bisa terlihat dugaan pembelaan
pemerintah pada Ahok terkait status gubernur saat itu
apakah harus di nonaktifkan sementara atau tetap berlanjut.
Selain itu Pemerintah melalui menkumham
mengusulkan mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama mendapat remisi Natal sebanyak 15 hari. Saat ini,
tervonis kasus penistaan agama tersebut mendekam di
Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok
(Republika.co.id/20-12-2017). Sebenarnya jika ditahan di
Markas Komando Brimob, tidak ada istilah pemberian
remisi tahanan, pembebasan bersyarat (PB), cuti bersyarat
(CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB).
18
Pemberian remisi tahanan atau PB, CB dan CMB
hanya diberikan jika menjadi warga binaan Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS), bukan rumah tahanan (Rutan).
Jika tetap diberikan tidak ada landasan hukumnya.
Berbeda antara lembaga Pemasyarakaratan (LAPAS)
dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN). Landasan hukum
RUTAN yaitu Pasal 1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
disebutkan bahwa: “Rumah Tahanan Negara selanjutnya
disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa
ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang Pengadilan”.
Landasan hukum LAPAS yaitu Pasal 1 angka 3 UU No.
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi:
“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana
dan Anak Didik Pemasyarakatan”.
RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau
terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
19
Sementara, LAPAS merupakan tempat untuk melaksanakan
pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Pemindahan tahanan ke RUTAN, bolehkah? Merujuk
pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
No.: M.01-PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan
Narapidana Anak Didik dan Tahanan disebutkan:
Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dilakukan:
a. Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman, atau b. antar wilayah hukum
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.
Berdasarkan pasal di atas, maka seorang Narapidana
yang sudah berada di LAPAS tidak dapat dipindahkan ke
RUTAN, karena sesuai dengan fungsinya LAPAS yaitu
tempat untuk melakukan pembinaan narapidana. Kalaupun
narapidana harus dipindahkan, maka narapidana tersebut
hanya dapat dipindahkan ke LAPAS wilayah lain dan bukan
ke RUTAN, sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01-PK.02.01 Tahun
1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan
Tahanan. Fungsi RUTAN bukanlah untuk membina
20
narapidana, tetapi untuk menahan sementara seorang
tersangka atau terdakwa.
Tentu patut dipertanyakan pemberian remisi
terhadap BTP. Saya berpendapat BTP tidak bisa
mendapatkan hal itu, karena tidak ada landasan hukumnya.
Seharusnya Pemerintah melalui alat negara, menegakan
hukum secara adil dengan cara menerapkan asas equality
before the law (kesamaan dihadapan hukum). Semua warga
negara sama tidak ada yang boleh diistimewakan.
Bagaimana dengan BTP?!.
Begitu pula pada kasus Viktor Bungtilu Laiskodat.
Diduga Viktor menghasut masyarakat untuk melakukan
kekerasan dan menebarkan kebencian. Soal bagaimana
Viktor memprovokasi rakyat untuk saling membunuh.
Viktor menyatakan, kalau (kelompok ekstremis) datang ke
kita, daripada kita yang dibunuh, kita bunuh duluan. Hingga
saat ini belum jelas kedudukan perkaranya.
Betul DPR memiliki Imunitas (hak kekebalan hukum)
sebagaimana Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 224
UUMD3.
21
Dengan catatan, Hak kekebalan hukum (Imunitas)
diperoleh yang dilakukannya yang berkaitan dengan fungsi
serta wewenang dan tugas DPR. Serta tidak melakukan
tindak pidana. Bukan berarti dengan hak imunitas (hak
kekebalan hukum) lantas dengan mudahnya melakukan
pelanggaran-pelanggaran hukum yang berlaku (Ius
Constitutum) yang memandang seluruh rakyat adalah sama
(equality before the law).
Sementara kepada para aktivis Islam begitu cepatnya,
menangkap dan menahan mereka dengan UU ITE.
Terkadang didalam hati saya sering bertanya ketika
rakyat menulis dimedia sosial ataupun website, ketika ada
dugaan pelanggaran hukum, mereka segera diproses
menggunakaan UU ITE. Sementara jika media mainstream
diduga melakukan pelanggaran hukum misalnya menyebar
berita hoax atau provokasi, media tidak ditindak melalui UU
ITE melainkan UU Pers dan harus izin terlebih dahulu dari
Dewan Pers.
Pengkhususan jenis dan bentuk profesi dalam suatu
peristiwa hukum yang membedakannya dengan hal yang
setara derajatnya secara hukum sehingga hukum formal
22
menganut azas " lex specialis derrogat legi generalis " ( yang
khusus mengkesampingkan yangg umum ) seperti yang
tercantum pada Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Menurut penulis sebenarnya lex specialis derrogat
legi generalis berbenturan dengan azas hukum yang lain
yaitu equality before the law ( kesetaraan didepan hukum ) ,
sehingga pada konteks ini terjadi sengketa antara teori dan
penafsiran spesifikasi bentuk dan peristiwa hukum dengan
nilai-nilai.
Padahal sudah jelas pada UUD 1945 pasal 1 ayat 3
yaitu Indonesia adalah negara hukum ( rechstaat ) bukan
negara kekuasaan ( maachstaat ) sehingga prinsip Equality
Before The Law adalah bagian dari rule of law suatu
konstitusi negara.
Sedangkan pengkhususan baik itu berupa perlakuan
dalam proses penyelidikan, penyidikan, sampai gelar
perkara dan juga komposisi undang-undang yang mengatur
23
secara khusus entitas peristiwa hukum yang sederajat
dengan peristiwa hukum yang umum merupakan
pengingkaran terhadap apa yang disebut sebagai negara
hukum dengan rule of law nya dengan prinsip Equality
Before The Law.
Bahwa semua warga akan mendapat perlakuan yang
sama dengan seorang pengusaha, pejabat, ketika berada di
area hukum sehingga kepastian dari rule of law yaitu
Indonesia adalah negara hukum telah terjamin, sehingga
setiap warga negaranya dipandang sederajat tanpa adanya
diskriminasi ketika berada pada area yang bersentuhan
dengan hukum nasional. Hal tersebut sudah cukup dengan
adanya prinsip Equality Before The Law yang pada
praksisnya malah diinjak-injak begitu saja.
Sementara itu dugaan adanya partai yang
bekerjasama dengan partai komunis dari negara luar, tentu
jika memiliki kesamaan dihadapan hukum. Maka partai yang
diduga melakukan kerjasama tersebut harus dibubarkan.
Pasal 107 e UU No.27/Tahun 2009 dengan menjalin
hubungan dengan organinasi yang berasas ajaran
komunisme/Marxisme. Dalam pasal tersebut diatur bahwa
24
seluruh entitas “dilarang mengadakan hubungan dengan
atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara
atau menggulingkan Pemerintah yang sah.”.
Selain itu dikenakan sanksi Pidana bagi penyebar
Ideologi Komunis, sebagaimana termaktub didalam Pasal
107 a UU tersebut berbunyi, “Barangsiapa yang melawan
hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui
media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk,
dipidana penjara paling lama 12 tahun.” (Pasal 107 a UU No.
27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara.
Sementara yang terbaru, para dai/ustadz mengalami
banyak kekhawatiran dalam menggelar pengajian-pengajian.
Mereka kerap mendapat persekusi berupa pembubaran
pengajian dari oknum ormas yang mengklaim dirinya
sebagai paling pancasilais, paling cinta NKRI sambil
25
melakukan tudingan kepada dai/ustadz dengan anti
kebhinekaan, intoleran, garis keras, tidak pancasilais dan
seterusnya.
Membubarkan pengajian adalah tindakan melanggar
hukum karena setiap orang dijamin oleh konstitusi secara
langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk
berserikat atau berorganisasi (freedom of association),
kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan
menyatakan pendapat (freedom of expression). Sebagaimana
diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Ormas yang mengambil peran penegak hukum dalam
melakukan penertiban, tentu layak dibubarkan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dilain pihak
tindakan seperti itu adalah tindakan yang bisa memecah
belah bangsa dan negara.
Seyogyanya Aparat Penegak Hukum bertindak
memberikan perlindungan dan pengayoman serta
memberikan rasa aman dengan memberikan pelayanan
26
terhadap siapapun warga negara yang menjalankan hak
menyampaikan pendapat dimuka umum.
Polri tidak boleh melarang ataupun membubarkan
dalam bentuk apapun, misalnya jika ada segelintir oknum
LSM/Ormas tertentu yang tidak setuju. Yang harus
dilakukan adlah tetap melindungi warganya untuk
menyuarakan aspirasi, sementara bagi oknum LSM/ormas
yang menolak dilakukan jalur mediasi. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Serta pasal 18 ayat 1 dan 2 UU No.9 Tahun 1998 Tentang
menyampaikan kemerdekaan pendapat dimuka umum.
Pilar ketiga, Asas Legalitas (Due Process of Law):
Setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu
segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan
berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan atau tindakan
administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and
procedures’ (regels).
27
Ada yang menyatakan bahwa tindakan Pemerintah
membubarkan ormas adalah tindakan yang memiliki
landasan peraturan perundang-undangan yaitu perppu. Hal
ini sesuai dengan asas legalitas artinya bahwa hukum harus
mendahului dari tindakan.
Pertama, Perlu digaris bawahi bahwa memaknai asas
legalitas hanya sebatas landasan hukum namun tidak
memperhatikan hak asasi yang telah dijamin konstitusi
adalah kesalahan besar. Karena dalam menyusun UU harus
memperhatikan kaedah-kaedah penyusunan. Menerapkan
asas-asas pembuatan peraturan sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011 yang Pasal 5 menyatakan: ”Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat diiaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
28
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan”.
Demikian juga ketentuan Pasal 6 UU 12/2011
menyatakan, "Materi muatan Peraturan Perundang-
undangan mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum dan/atau;
j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan”.
Kedua, dalam pembubaran ormas, sudah ada
peraturan perundangan yang berlaku sebelumnya yaitu
lebih mengedepankan hak asasi manusia serta ada ruang
29
pembelaan. Namun karena dianggap panjang prosesnya
maka dikeluarkanlah perppu, maka tidakkan seperti ini
adalah tindakan negara kekuasaan karena lebih
mengedepankan kekuasaan dan kewenangan dalam
bertindak. Hukum hanya dijadikan alat sebagai legitimasi
atas perbuatannya, saya sering menyebutnya ini adalah
kediktatoran konstitusional.
Pemerintah cenderung menerbitkan banyak produk
hukum Undang-Undang (terutama Keppres dan Perppu)
yang dalam implementasinya memberikan banyak delegasi
kepada Pemerintah atau presiden untuk kemudian
mengatur dan membuat aturan delegasi dari Undang-
Undang yang sesuai kehendak Pemerintah. Merupakan
karakteristik pemerintahan Presidensial Diktator.
Misalnya pada masa orde baru terdapat 1295
Keppres yang terdiri 380 Keppres yang bersifat penetapan
dan 925 Keppres yang bersifat peraturan. Mengutip tulisan
Dr.Fitra Arsil bahwa di Negara Brazil muncul Perppu dalam
jumlah banyak yang kemudian lebih berfungsi untuk
menggantikan Undang-Undang guna menggerakan roda
30
Pemerintahan adalah kateristik pemerintah Presidensial
Diktator.
Dalam kurun waktu 5 Oktober 1988 hingga bulan
Mei tahun 1995, tercatat empat Presiden Brazil telah
mengeluarkan 1004 Perppu. Bahkan menariknya, Presiden
Brazil mengeluarkan kembali berkali-kali Perppu yang telah
ditolak parlemen. Dapat disebutkan data bahwa Presiden
Sarney mengeluarkan 147 Perppu, De Mello 160 Perppu,
Franco 505 Perppu dan Presiden Cardoso mengeluarkan
192 Perppu (Mainwaring, 1997).
Senada dengan Pemerintah sekarang, dinilai oleh
rakyat sebagai Pemerintah diktator semenjak menerbitkan
Perppu 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Karena
Perppu 2/2017 telah memindahkan kewenangan Yudikatif
ke tangan ekskutif. Maka dalam hal ini Perppu telah
menyalahi dan melanggar prinsip negara hukum.
Pemerintah telah menghilangkan bagian penting dari
Negara hukum yaitu pemerintah secara sepihak mencabut
status badan hukum ormas tanpa didahului proses
pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting
untuk menjamin prinsip due process of law yang
31
memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan
memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar
argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme
ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pemerintah dalam membubarkan ormas.
Lord Acton menyatakan: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Sesuai dengan hukum
besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-
wenang.
Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
tidak dapat dibiarkan membuat interprestasi sendiri untuk
menghindari absolutisme kekuasaan.
Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan
cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang
yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu
sama lain.
32
Perppu juga menghilangkan asas due process of
law yang mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus
dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya
terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental
rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib.
Konsep due process of law pada dasarnya didasari
atas konsep hukum tentang “keadilan yang
fundamental” (fundamental fairness). due process of law yang
prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal
yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang
berwenang, misalnya memberikan pemberitahuan yang
pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri. Namun
fondasi ini telah dilanggar, hal ini terlihat jelas pada upaya
pemerintah membubarkan badan hukum secara sepihak
melalui perppu, seharusnya menempuh upaya hukum di
pengadilan agar terbukti dugaan pelanggaran Ormas
sebagai bentuk penghargaan atas asas due process of law
dan asas presumption of innocent.
Bukan malah sebaliknya mendiamkan dan
sekonyong-konyong menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2017 Tentang
33
Perubahan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara
sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa
didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Padahal,
proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of
law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela
diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk
mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil.
Mekanisme ini juga mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan
ormas. Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dilakukan
secara sewenang-wenang oleh Presiden yang membuat
Presiden menghapus kewenangan pengadilan menjadi
kewenangan pemerintah hanya dengan surat pencabutan
SKT dan Status BHP Ormas.
Pilar Keempat, Pembatasan Kekuasaan: Lord
Acton menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely”. Sesuai dengan hukum besi
kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan
untuk berkembang menjadi sewenang-wenang.
34
Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan
cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang
yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu
sama lain. Sementara Perppu 2/2017 memindahkan
kewenangan Yudikatif ke tangan ekskutif. Maka dalam hal
ini Perppu telah menyalahi dan melanggar fondasi negara
hukum.
Sementara ‘checks and balances’ secara vertikal
dengan rakyat yaitu rakyat diberikan hak untuk melakukan
koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Agar
pemerintah benar dalam mengambil kebijakan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Jika pemerintah anti terhadap kritik dari rakyatnya
sebagai bentuk ‘checks and balances’ maka pemerintah
dikategorikan diktator, agar tindakan tangan besi tidak
terlihat kemudian dibuat peraturan sebagai bentuk
legitimasi. Hal ini nampak pada penerbitan perppu 2/2017,
hak asasi rakyat diambil secara sepihak dengan landasan
perppu 2/2017. Dalam beberapa tulisan, saya menyebutnya
sebagai bentuk kediktatoran konstitusional yaitu upaya
35
membungkam hak berserikat melalui mekanisme peraturan
perundangan-undangan. [ ]
36
KEKUASAAN DAN TAFSIR
PEMERINTAH
Penulis, Chandra Purna Irawan.,MH.
eberlangsungan Indonesia sebagai negara
hukum saat ini terancam lumpuh. Setelah
DPR menyetujui Peraturan Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Ormas menjadi Undang-Undang (UU). UU ini meski
tujuannya tampak “patriotik”, yakni menjaga ideologi
K
37
Pancasila, namun sangat rentan menjadi alat represi dan
kesewenang-wenangan Pemerintah.
Sebab, isi UU itu berpotensi mengancam kebebasan
berpendapat dan berserikat. Sekarang, pemerintah sudah
bisa menafsirkan, memvonis, dan membubarkan Ormas
yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila, tanpa
melalui proses pengadilan. Sebuah sikap yang subjektif
otoriter. Ini mengingatkan kita pada masa Orde baru
(Orba).
Ada 2 (dual) hal yang menjadikan Pemerintah
berpotensi menjadi subversive yaitu, kewenangan tafsir atas
Pancasila dan pasal pidana yang bersifat multi tafsir (pasal
karet).
Kewenangan Tafsir Pancasila
Pasal 59 ayat (4) huruf C UU Ormas Nomor 16 Tahun
2017, yang berbunyi “menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila”.
38
“……paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
Siapa yang berhak memutuskan faham tertentu
bertentangan dengan Pancasila, apakah Pemerintah? Jika
yang dimaksud adalah Pemerintah, maka itu adalah
subyektif. Lantas siapa yang layak? HARUS PENGADILAN,
Pengadilan lah yang berhak memutuskan, nah sementara
kewenangan Pengadilan untuk mengadili ormas yang
diduga melanggar Pancasila, kewenangan pengadilan malah
dihapus oleh UU Ormas Nomor 16 Tahun 2017.
Harus melalui proses pengadilan. Negara kita adalah
negara hukum (Rechstaat). Bukan negara kekuasaan
(Machstaat). Agar kita tidak ikut serta membuka peluang
hadirnya diktator baru.
Rezim orde baru sering mengangkat isu atau opini
kembali pada Pancasila, menguasai kebenaran tafsir atas
Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai alat
pembungkam berbagai kekuatan yang berseberangan
dengan rezim. Tindakan seperti itu justru menjadi
boomerang dan penerimaan masyarakat jauh dari harapan
rezim, kepercayaan masyarakat kala itu terhadap Pancasila
justru menurun. Apakah ini yang mau diulangi pemerintah
39
sekarang? Seperti apa ormas yang anti-Pancasila itu?
Jawaban pemerintah tentu merupakan tafsirannya sendiri
atas Pancasila. Seolah hanya pemerintah yang paham
Pancasila.
Pasal Karet
Bahwa ancaman pidana yang terdapat di dalam
Ketentuan Pidana Pasal 82A UU Nomor 16 Tahun 2017 tidak
sesuai dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian
hukum sebagaimana Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945,
menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Bahwa ancaman pidana yang terdapat di dalam
Ketentuan Pidana Pasal 82A UU Nomor 16 Tahun 2017 tidak
sesuai dengan kaidah hukum pidana dan pemidanaan.
Hukum pidana merupakan lingkup hukum yang
paling ketat dalam menerapkan aturan perundang-
undangan. Suatu perbuatan tidak akan dianggap sebagai
40
perbuatan hukum tanpa ada sistem aturan yang
mengaturnya (asas legalitas).
Diantara makna asas legalitas diantaranya:
1. NULLUM CRIMEN NULLA POENA SINE LEGE CERTA /
LEX CERTA ; RUMUSAN KETENTUAN PIDANA HARUS
JELAS.
2. NULLUM CRIMEN POENA SINE LEGE STRICTA/ LEX
STRICTA ; KETENTUAN PIDANA HARUS DITAFSIRKAN
SECARA KETAT DAN LARANGAN ANALOGI.
Asas leglitas yang saya sebutkan menjadi dasar dalam
menganggap, kemudian membuktikan sejelas-jelasnya, dari
setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana,
sehingga patut mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Pasal 59 ayat (4) huruf C UU Nomor 16 Tahun 2017,
yang berbunyi “ Ormas dilarang; MENGANUT,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila”.
Hukum Pidana menentukan PERBUATAN-PERBUATAN
mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang.
Sementara “MENGANUT” adalah ranahnya keyakinan atau
41
pemikiran yang bersifat abstrak dan bukan merupakan
perbuatan-perbuatan. Sebagaimana kaedah hukum pidana
“Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa
perbuatan pidana)”
“…..ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila”. Pasal ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan
paham yang bertentangan dengan Pancasila. Sementara
dalam hukum pidana suatu perbuatan tidak akan dianggap
sebagai perbuatan hukum tanpa ada sistem aturan yang
mengaturnya. Sementara didalam UU Ormas yang
sebelumnya itu diyatakan Yang dimaksud dengan ‟ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila‟ adalah
ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme.
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf C “…….Paham lain
yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Penjelasan ini tidak sesuai dengan “Nullum Crimen
Poena Sine Lege Stricta/ Lex Stricta ; Ketentuan Pidana
Harus Ditafsirkan Secara Ketat Dan Larangan Analogi”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf C Jika
mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
42
Indonesia Tahun 1945 dilarang, MAKA PEMERINTAH DAN
DPR YANG TELAH MERUBAH ATAU AMANDEMEN UUD
1945 MEREKA HARUS TERKENA SANKSI PIDANA
berdasarkan ketentuan pasal 82A UU Nomor 16 Tahun 2017.
Sementara ormas tidak mungkin bisa merubah atau
amandemen karena mereka tidak duduk di eksekutif
maupun legislative.
Pasal 82 A UU Nomor 16 Tahun 2017, yang berbunyi ;
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus
Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak
langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam PASAL 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan AYAT (4)
DIPIDANA DENGAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP ATAU
PIDANA PENJARA PALING SINGKAT 5 (LIMA) TAHUN DAN
PALING LAMA 20 (DUA PULUH) TAHUN.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus
Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak
langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam PASAL 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan AYAT (4)
DIPIDANA DENGAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP ATAU
43
PIDANA PENJARA PALING SINGKAT 5 (LIMA) TAHUN DAN
PALING LAMA 20 (DUA PULUH) TAHUN.
Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal yang
tidak jelas dapat berpotensi disalahgunakan secara
sewenang-wenang dan merupakan bentuk pelanggaran atas
konsep negara hukum (rule of law) dimana dapat dimaknai
“a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and
fairly enforced”.
Peraturan perundang-undangan tidak boleh multi
interpretative dan dapat ditafsirkan menurut kehendak
pihak yang kuat, pemerintah dan aparat penegak hukum.
Ketentuan seperti ini dapat melegitimasi praktik
kriminalisasi.
Dalam pengaturan tindak pidana harus juga
diperhatikan beberapa hal diantaranya; 1) keseimbangan
antara kepastian hukum, kelenturan dan keadilan, 2)
keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan universal, dan
3) aspirasi universal masyarakat beradab.
Pemerintah adalah diantaranya orang-orang dari partai
politik yang menduduki tempat-tempat yang penting di
44
dalam negara, sehingga mereka dapat menentukan haluan
negara termasuk yang berpotensi menguntungkan bagi
kedudukan mereka.
Penggunaan kekuasaan dalam pemerintahan bukanlah
tanpa penyakit, Lord Acton, mengetengahkan suatu dalil
yang amat populer yaitu "power tends to corrupt, but
absolute power corrupt absolutely", yang artinya "kekuasaan
cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak
pasti disalahgunakan.
Karena hal-hal tersebut di atas itu, maka timbul
beberapa gagasan untuk membatasi kekuasaan
pemerintahan. Cara yang paling efektif adalah melalui
hukum yaitu konstitusi, undang-undang, dan peraturan
pelaksanaan lainnya.
Selain itu kita sebagai masyarakat perlu melakukan
kontrol terhadap pemegang kekuasaan agar terhindar dari
oknum-oknum Pemerintah yang berpotensi
menyelahgunakan kewenangan dan kekuasaannya. [ ]
45
HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI)
KORBAN PERTAMA
KEDIKTATORAN KONSTITUSIONAL
Penulis, Chandra Purna Irawan.,MH.
46
ediktatoran Konstitusional yaitu upaya
tindakan yang bersifat represif melalui
mekanisme peraturan perundang-
undangan agar sesuai asas legalitas, sehingga tindakan ini
terkesan mendapat dukungan atau perintah dari peraturan
perundang-undangan.
Tuduhan anti-Pancasila yang diarahkan pemerintah
adalah tudingan atau bahasa politik bukan bahasa
hukum. Seharusnya Pemerintah mengedepankan bahasa
hukum atau tindakan hukum yaitu dengan cara
membubarkan melalui pengadilan agar prinsip negara
hukum sebagaimana yang termaktub didalam UUD 1945
dapat berdiri tegak karena setiap orang atau badan hukum
yang akan dibubarkan dapat melakukan pembelaan.
Namun sayang, upaya itu tidak dilakukan tetapi
memilih menerbitkan Perppu yang kini menjadi UU, dan
hingga saat ini Pemerintah diduga tidak mampu
menghadirkan bukti dimana letak kesalahan HTI.
Tuduhan berikutnya bahwa HTI mengembangkan
ideologi Khilafah, lagi Pemerintah menggunakan bahasa
politik bukan bahasa hukum.
K
47
Padahal Khilafah adalah ajaran Islam telah
dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang dikenal
dengan nama KHILAFATUR RASYIDHIN, sebagaimana kita
telah mendengar nama Khalifah Abu bakar ashidiq r.a.,
Khalifah/amirul mukminin Umar ibn khatab r.a., Khalifah
Utsman bin Affan r.a., dan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. dan
generasi setelahnya yaitu Khilafah Abbasiyah, Khilafah
Umayyah dan Khilafah Ustmaniah Turki.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh
warga Islam di dunia untuk menerapkan Islam secara kafah
dan pengembangan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Substansinya adalah ukhwah, syariah, dan dakwah. Itu
semua ajaran Islam dan seluruh ajaran Islam itu baik.
Bahkan khilafah menjadi bagian sejarah
ketatanegaraan di nusantara. Bahkan khilafah yang
melahirkan benih-benih dan semangat kemerdekaan
membara.
Hal ini bisa kita lihat saat pelaksanaan Kongres Umat
Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta (12/2/2015).
Acara yang dihadiri berbagai tokoh Islam tersebut dibuka
Wapres Jusuf Kalla dan ditutup Presiden Jokowi. Namun,
48
ada momen menarik dalam KUII kali ini. Itu tidak lain adalah
pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang
hubungan Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan
Utsmani di Turki. Sekadar diketahui, Kekhalifahan Utsmani
adalah Khilafah Islam yang membawahi seluruh sulthan
umat Islam di dunia runtuh pada 1924.
Uniknya, Sri Sultan Hamengkubuwono X
mengatakana bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut,
Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan
Islam di Jawa. Keraton Yogyakarta adalah kelanjutan dari
Kesultanan Demak.
Isi pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X pada
Pembukaan KUII-VI, pada pokoknya sebagai berikut;
“……………………..Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R.
Patah (sultan Demak pertama) sebagai khalifatullah ing
tanah jawa, perwakilan kekhalifahan islam (turki)
untuk tanah jawa, dengan penyerahan bendera laa ilaah
illa allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain
kiswah ka'bah, dan bendera bertuliskan
muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya
tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda
49
keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil
Kekhalifahan Turki……………..di tahun 1903, saat
diselenggarakan kongres khilafah di jakarta oleh
Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim
utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa,
haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa
Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan
minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari
kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan
membara.”. (http://m.republika.co.id/…/njmq2o-pidato-
sri-sultan-tentang…)
Khilafah dalam ketatanegaraan di nusantara
dipraktekan oleh kerajaan-kerajan Islam di Nusantara
pernah menggunakan gelar “khalifatullah”. Misalnya Pendiri
Kasultanan Ngayogyakarta adalah Gusti Pangeran Haryo
Mangkubumi atau yang lebih dikenal dengan “Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin
Panotogomo Khalîfatullah Ingkang Jumeneng Kaping Pisan”
(Sultan Hamengku Buwono I).
Sementara gelar lengkap yang diberikan bagi raja-
raja Yogyakarta adalah “Senopati Ing Alaga Abdurrahman
50
Sayyidin Panatagama Khalîfatullah”. Makna gelar ‘Khalîfat
Allâh’ adalah cermin bahwa raja/sultan adalah penguasa
yang mendapat cahaya ketuhanan yang memerintah sebagai
walî Allâh. (Rujukan (M. Jandra, “Pergulatan Islam dengan
Budaya Jawa yang Tercermin dalam Naskah Serat Puji I”
dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta, ed. Tashadi,
Mifedwil J. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bekerjasama dengan Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia,
2001), 15-16.)
Berdasarkan penjelasan diatas, tuduhan tersebut
tidak lah tepat. Adalah perbuatan memalukan jika
Pemerintah hanya bermain tuduhan atau propaganda.
Justru masyarakat akan menilai bahwa Pemerintah tidak
taat hukum, dengan tidak menjalankan UU Ni.17 tahun 2013
tenntang ormas. Bahkan yang lebih parah adalah
masyarakat menilai bahwa Pemerintah telah diktator,
merenggut hak asasi yang telah ada sejak manusia itu ada
atau hak fitrah terlebih lagi telah dijamin oleh konstitusi. [ ]
51
REFLEKSI AKHIR TAHUN 2017: QUO VADIS POLITIK HUKUM INDONESIA ?
Penulis, Ahmad Khozinudin, S.H.
Politik hukum adalah serangkaian kebijakan politik di
bidang hukum, baik dalam tataran produksi peraturan
perundangan, arah kebijakan teknis pengeksekusian
termasuk kontrol kebijakan hukum, yang dilakukan untuk
mencapai arah, sasaran dan target tertentu. Politik hukum
52
terkait erat dengan kebijakan politik negara. Negara
memiliki arah dan sasaran kebijakan strategis dan prioritas,
yang diantaranya dilakukan melalui mekanisme hukum.
Hukum berlaku sebagai "social control" dan "social
engineering", hukum menjadi sarana untuk menghadirkan
dan menjaga ketertiban masyarakat.
Satjipto Rahardjo menyebut Politik Hukum sebagai
aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan
hukum dalam masyarakat. Adapun Padmo Wahjono
mendefinisikan Politik Hukum sebagai kebijaksanaan
penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu
sebagaiHukum).
Politik hukum bertujuanmenghadirkan dan menjaga
ketertiban masyarakat berjalan seiring dan berdampingan
dengan politik negara yang bertujuan menyejahterakan
rakyat. Seluruh kebijakan yang ditetapkan dan
diimplementasikan negara, baik melalui politik hukum
maupun sarana kebijakan dibidang ekonomi, politik, sosial,
pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, kesemuanya
53
hadir dan diadakan penguasa untuk menyejahterakan
rakyatnya.
Politik hukum sebuah pemerintahan bisa diuji melalui
3(tiga) parameter. Pertama, kebijakan pengundangan yang
diterapkan. Kedua, kebijakan implementasi hukum dalam
tataran praktis. Ketiga, kebijakan kontrol hukum melalui
lembaga peradilan (yustisia).
Pemerintah wajib menerapkan kebijakan politik dan
politik hukum yang seyogyanya merealisir dua tujuan : 1.
menyejahterakan rakyat, 2. menghadirkan dan menjaga
ketertiban masyarakat. Pada tujuan politik hukum inilah,
penulis akan mencoba menyoroti politik hukum Jokowi -
JKSepanjang akhir tahun 2016 hingga 2017. Dari sana kita
dapat menarik kesimpulan kemana arah kebijakan politik
hukum bangsa ini dibawah kendali Jokowi.
Kebijakan Pengundangan
Untuk membaca arah kebijakan pengundangan
memang tidak dapat diukur melalui satu dua atau beberapa
produk peraturan perundang-undangan. Hanya saja,
54
pengaruh politik yang masif dan meluas atas
dikeluarkannya sebuah produk kebijakan pengundangan
menjadi titik fokus yang dapat menggambarkan arah
kebijakan politik hukum, setelah dikaitkan dengan kebijakan
implementasi hukum dan kontrol Pelaksananya.
Pada tanggal 10 Juli 2017 Pemerintah mengeluarkan
peraturan Pemerintah pengganti undang undang nomor 2
tahun 2017 tentang perubahan undang undang nomor 17
tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan ("Perppu
Ormas"). Kebijakan Perppu Ormas menuai kritik yang tajam
dan meluas. Banyak tokoh dan kalangan yang mengkritik
Perppu Ormas baik dari sisi proses pembentukannya
sampai substansi pengaturan.
Ormas Islam berbondong-bondong melakukan uji
materi Perppu Ormas ke MK. Secara formil, Perppu Ormas
tidak memenuhi prasarat "ihwal Kegentingan yang
memaksa" sebagaimana diatur daldm konstitusi pasal 22
ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang undangan, dan secara
spesifik sebagaimana diatur dalam putusan MK nomor
55
138/PUU-IX/2009, yang pada pokoknya menyatakan 3
(tiga) syarat terbitnya Perppu :
1. Ada persoalan hukum yang harus diselesaikan pada
tingkat UU; 2. UU yang dibutuhkan belum ada atau jika
sudah ada tidak memadai; 3. Jika ditempuh prosedur normal
pengundangan maka akan membutuhkan waktu yang lama.
Ketiga syarat ini tidak dipenuhi oleh Pemerintah. Kebutuhan
mendesak dan ihwal Kegentingan memaksa, tidak terdapat
dalam dasar dan alasan terbitnya Perppu.
Secara materil, Perppu Ormas telah menggusur peran
yudikatif dan meletakkan wewenang pencabutan status
badan hukum dan pembubaran ormas sepihak oleh
eksekutif. Memuat norma pasal pidana yang menebar teror
dengan ancaman minimal lima tahun penjara, maksimal 20
tahun bahkan hingga penjara seumur hidup bagi pengurus
dan anggota ormas yang dibubarkan. Menggeser peran dan
fungsi Pemerintah sebagai pembina, pengayom dan
pelindung ormas menjadi pembinasa, penebar teror dan
ancaman. Menimbulkan legacy dendam politik kekuasaan,
dimana penguasa atas dalih apapun bisa membubarkan
56
ormas dan hal ini bisa terjadi secara berulang dari rezim ke
rezim.
Celakanya, belum sempat MK mengadili dan
memutus pokok perkara permohonan judisial review
Perppu Ormas, pada tanggal 24 Oktober 2017 DPR melalui
voting dalam sidang paripurna mengesahkan Perppu ormas
menjadi undang undang. Akhirnya, Pada tanggal 12
Desember 2017 MK memutus perkara pengujian Perppu
ormas dengan menyatakan para pemohon uji Perppu ormas
kehilangan objek permohonan.
Namun seperti antiklimaks, pasca penerbitan Perppu
Ormas dan bahkan setelah Perppu disahkan menjadi undang
undang, tidak tampak Kegentingan yang dialami Pemerintah
dimana Pemerintah segera dan serta merta membuat satu
langkah teknis hukum untuk menindaklanjuti pengesahan
Perppu ormas. Hanya saja, sembilan hari pasca Perppu
dikeluarkan, pemerintah membubarkan Ormas Islam HTI.
Langkah pemerintah membubarkan HTI menuai
banyak kecaman, apalagi selama ini HTI dikenal luas sebagai
organisasi masyarakat yang bergerak dalam aktivitas
dakwah yang mengedepankan pemikiran dan dakwah
57
intelektual, tanpa kekerasan dan tanpa fisik. Dari latar
belakang terbitnya Perppu hingga pembubaran HTI pasca
terbitnya Perppu, seolah menguatkan praduga publik yang
menilai Pemerintah tidak serius dengan alasan Kegentingan
yang diutarakan.
Pemerintah hanya mencari dalih untuk
membubarkan ormas Islam tanpa proses pengadilan,
setelah secara hukum Pemerintah tidak dapat memperoleh
keyakinan dan dasar hukum untuk membubarkan HTI
melalui pengadilan.
Kebijakan pengundangan -khususnya kebijakan
terbitnya Perppu- yang seyogyanya hanya terbit pada
kondisi yang benar-benar genting, sebagai sarana ultimum
remidium agar tidak terjadi kekosongan hukum, faktanya
terbit hanya dijadikan sebagai dalih untuk membubarkan
ormas Islam HTI. Langkah Pemerintah ini, menggambarkan
betapa politik hukum Pemerintah mengarah pada politik
kekuasaan. Artinya, Pemerintah menggunakan sarana
hukum untuk mempertahankan dan meraih kekuasaan
politik, dengan jalan memberangus setiap elemen dan organ
sosial masyarakat yang kontra kekuasaan.
58
Sebagaimana diketahui, HTI adalah ormas Islam yang
paling lantang mengecam dan mengkritik kebijakan
Pemerintah yang tidak pro rakyat dan melanggar syariah
Islam. HTI diyakini menjadi salah satu faktor penting
tumbangnya Ahok saat mencalonkan gubernur DKI Jakarta,
yang sudah dipahami dan menjadi rahasia umum bahwa
Ahok didukung istana.
Kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta menjadi
dasar kekhawatiran ekspektasi kekuasaan Jokowi jika tetap
membiarkan ormas HTI terus eksis berdakwah
mengingatkan umat akan penyelewengan dan
pengkhianatan penguasa. Rezim Jokowi tidak menempatkan
kebijakan politik hukum dibidang pengundangan untuk
merealisir cita ketertiban masyarakat. Politik hukum Jokowi
dibangun diatas dasar dendam politik dan syahwat
kekuasaan di 2019.
Rezim Paham betul jika ormas Islam khususnya HTI
terus eksis, bisa membuat mimpi rezim untuk berkuasa lagi
di tahun 2019 terkubur dan kandas. Oleh karenanya, rezim
perlu membuat norma dan Pranata hukum melalui terbitnya
59
Perppu Ormas sebagai dasar pembubaran HTI tanpa melalui
pengadilan.
Dalam hal kebijakan pengundangan terbatas, baik
dalam bentuk pembatalan ketentuan tafsir UU terhadap
konstitusi maupun perluasan tafsir berdasarkan konstitusi,
MK sepanjang tahun 2017 telah mengeluarkan dua putusan
kontroversi. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan
soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dengan
menyatakantidak memiliki kewenangan untuk merumuskan
tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di
tangan presiden dan DPR. MK menyebut tidak boleh masuk
ke dalam wilayah politik hukum pidana.
Selbelumnya MKsecara implisit telah memperluas
tafsir agama dengan membatalkan ketentuan pasal 61 ayat
1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan.
Dengan bermodal putusan MK ini para penganut aliran
kepercayaan merasa memiliki legalitas untuk eksis dan bisa
mengaktualisasikan identitas keyakinannya pada kolom
Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dua putusan inimemiliki landas konstitusional yang
berbeda dengan moda penalaran yang kontradiktif. Pada
60
putusan soal LGBT, MK menolak masuk pada ruang adopsi
norma dan menyerahkan kewenangan politik hukum pada
kewenangan eksekutif dan legislatif. Namun, pada kasus
aliran kepercayaan yang dituliskan pada kolom KTP, MK
telah menyelinap, menelisik dan masuk dalam ranah
membuat dan merumuskan norma baru -yang sebelumnya
tidak diakui oleh konstitusi sebagai agama, meskipun
konstitusi telah memuat Pranata sebuah keyakinan untuk
diyakini dan dipercayai- dengan melakukan pengaturan
norma baru berdalih pada argumen tafsir konstitusi.
MK telah mereduksi makna "agama" dengan "aliran
kepercayaan" pada satu bingkai "kesetaraan hak" dalam
ruang administrasi kependudukan, sehingga aturan dalam
UU administrasi kependudukan yang memuat kolom agama
dinyatakan batal demi hukum dan karenanya tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum.
Jika MK konsisten dengan nalar Konsideran dan "cara
istimbath" untuk mengadopsi tafsir sejalan atau tidaknya
suatu norma pasal dengan konstitusi pada berbagai kasus
yang diajukan ke MK, maka MK dapat melepaskan dirinya
61
dari kewenangan absolut legislatif yang ada pada
Pemerintah dan DPR, dan dengan kewenangan legislatif
terbatas MK dapat membuat terobosan hukum
(rechtvinding) untuk membuat tafsir penalaran logika yang
sampai pada satu kesimpulan tafsir LBGT termasuk yang
dilarang dan diberi sanksi ancaman pidana sebagaimana
tafsir kejahatan perzinahan yang diatur dalam pasal 284,
285 dan 292 KUHP. Ini jika MK hendak konsisten dengan
logika dan Nalar tafsir Konstitusi sebagaimana diadopsi
dalam mengadili kasus kolom agama para penganut aliran
kepercayaan.
Sebaliknya, jika MK konsisten dengan nalar tafsir
yang menjadi dasar "istimbath" dalam kasus LGBT,
seharusnya tidak ada putusan terkait eksistensi para
penganut aliran kepercayaan sebagaimana MK
membatalkan ketentuan pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1
UU Administrasi Kependudukan.
MK dapat dengan sederhana dan ringan menolak
perkara pengajuan uji materi yang diajukan para penganut
aliran kepercayaan dengan menyatakan MK bukanlah
lembaga politik, bukan pula lembaga legislatif sehingga
62
tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan kepercayaan
tertentu sebagai sebuah agama dan diakui eksistensinya
dalam administrasi kependudukan.
MK juga dapat menegaskan UU pasal 61 ayat 1 dan
pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan adalah lex
spesialis, karena asalnya setiap warga negara menganut
suatu agama tertentu yang telah diakui oleh negara. Bagi
para penganut kepercayaan, meskipun hak konstitusinya
diakui UUD, tetapi administrasinya tidak dapat disejajarkan
dengan para penganut agama tertentu yang diakui negara.
Secara administrasi, Pemerintah dapat mengatur dalam
ketentuan lain, yang dapat mengakomodirnya dan
menegaskan ketentuan pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1
UU Administrasi Kependudukan adalah sesuai konstitusi
oleh karenanya permohonan para pemohon harus ditolak
secara keseluruhan.
Praktisnya MK dapat menolak perkara para penganut
aliran kepercayaan dengan menyatakan MK tidak memiliki
wewenang politik dan mengatur norma baru, dan
sepenuhnya menyerahkan teknis administrasi
kependudukan kepada pihak Pemerintah. MK hanya
63
memiliki wewenang menafsirkan norma UU dan bukannya
membuat norma baru untuk membatalkan pengaturan
administrasi yang telah diadopsi Pemerintah
Kebijaksanaan pengundangan terbatas melalui
putusan MK yang bersifat final dan mengikat bagi publik,
mereduksi nilai dan ajaran Islam dan semakin meneguhkan
ruh Sekulerisme yang diadopsi negara. Kebijakan ini
melengkapi kebijakan politik hukum Jokowi yang cenderung
anti terhadap syariat Islam.
Kebijakan Implementasi Hukum
Politik hukum dalam tataran implementasi praktis
seharusnya dibangun diatas asas dan prosedur hukum yang
diterapkan secara egaliter, menyeluruh, tidak tebang pilih
dan tidak pilih tebang, tidak menyimpang dari norma dan
asas-asas hukum serta tidak menjadikan hukum sebagai
dalih dan legitimasi untuk melakukan kebijakan politik
kekuasaan.
Dalam konteks menerapkan asas dan prosedur
hukum secara konsisten, selama kurun akhir tahun 2016
64
hingga tahun 2017 publik disuguhi berbagai dagelan hukum
yang tidak lucu. Proses penegakan hukum sudah tidak
mengindahkan asas dan prosedur hukum yang berlaku.
Ibarat pepatah lama, hukum dijalankan dengan adagium
"tangkap dulu bukti belakangan".
Kasus-kasus hukum yang menyita perhatian publik
seperti kasus tuduhan penyerangan aparat dan perusakan
fasilitas publik yang dialami adik-adik HMI pada aksi 411,
kasus tuduhan pencemaran dan fitnah, termasuk
penyebaran informasi dengan konten kebencian melalui
sarana ITE yang dituduhkan kepada Muhammad Hidayat,
Kasus Penghinaan dan penodaan Agama oleh Ahok, Kasus
tuduhan makar kepada Hatta Taliwang dkk, kasus tuduhan
makar kepada Muhammad Al Khatat, hingga kasus Chat HRS
adalah contoh paling kontras dimana kebijakan praktis
implementasi hukum diterapkan dengan tidak
mengindahkan asas dan norma hukum yang berlaku.
Adik-adik HMI seketika ditetapkan sebagai tersangka
pasca aksi 411 dan diburu polisi di Markas HMI, selanjutnya
langsung ditahan di Polda Metro Djaya tanpa proses dan
prosedur yang transparan. Anehnya, entah karena target
65
politik telah terpenuhi atau memang tidak kuasa melawan
tekanan publik, adik-adik uHMI kemudian dilepaskan tanpa
status hukum yang jelas. Tidak ada SP3 yang menjadi dasar
pelepasan status tahanan atau dihentikannya proses
penyidikan.
Asas praduga tidak bersalah, asas due proses of law,
asas equal before the law, asas manfaat dan kepastian
hukum, asas keadilan, asas transparansi dan akuntabilitas
seolah tidak ada dan tidak pernah ada sehingga selalu
dikesampingkan. Hukum seperti milik penguasa, King Do
Not Wrong, hukum seolah hanya milik aparat kepolisian.
Dengan kewenangan sepihak dan otoritas yang melekat,
polisi bisa setiap saat menetapkan seseorang menjadi
tersangka, menangkap dan menahannya lantas
melepaskannya tanpa kejelasan prosedur dan status hukum.
Apa yang dialami adik-adik HMI juga dialami oleh
Hatta Taliwang, Rahmawati, Adityawarman, Kivlan Zein dkk
yang dituduh makar, Juga dialami Muhammad Al Khatat.
Mereka semua dituduh makar, ditetapkan sebagai tersangka
dan dilepaskan tanpa status hukum. Mereka seperti
digantung secara hukum, status tersangka tidak diketahui
66
karena tidak ada status hukum yang mencabutnya, sehingga
setiap saat status tersangka ini bisa diangkat dan digoreng
lagi untuk meredam kritik dan penentangan para tokoh ini
terhadap rezim.
Apa yang dialami Muhammad Hidayat
mengkonfirmasi adanya pengabaian prosedur dan asas
hukum yang dijalankan rezim. Hidayat setelah dilepaskan
Polda dari status tahanan, tiba-tiba statusnya digoreng dan
dinaikan ke pengadilan, Hidayat di tangkap dan ditahan lagi,
setelah Hidayat memperkarakan video putra Presiden, sang
Kolektor kecebong. Sebelumnya, Hidayat memang telah
keluar dari tahanan Polda dan menghirup udara bebas,
namun tanpa status hukum. Artinya, status tersangka
karena kasus video Kapolda metro Jaya belum dicabut polisi
(tidak ada SP3).
Setelah Hidayat melakukan penentangan pada rezim
dengan memperkarakan video putra Presiden sang Kolektor
Kecebong, Hidayat ditangkap dan proses penyidikan kasus
video ujaran adu domba FPI-HMI oleh Kapolda M. Iriawan
yang diunggah Hidayat kembali diteruskan. Kasus ini
menjadi bukti bahwa pelepasan status tahanan tanpa diikuti
67
status dihentikannya penyidikan, bisa dijadikan semacam
"Burguining Politik Melalui Sarana Hukum" untuk
mengkerdilkan, menekan dan menutup mulut-mulut aktivis
yang kontra penguasa.
Kasus penodaan agama oleh Ahok adalah yang paling
kontras. Bayangkan, meskipun bukti telah lebih dari cukup,
seluruh keterangan dan alat bukti telah mampu disimpulkan
untuk meningkatkan status Ahok sebagai tersangka,
nyatanya status tersangka Ahok baru disematkan setelah
jutaan umat Islam melakukan aksi akbar 212. Padahal,
berdasarkan asas dan prosedur hukum yang berlaku Ahok
bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka. Hanya karena
kasus Ahok, bareskrim Mabes Polri sampai melakukan gelar
perkara terbuka untuk menetapkan status tersangka.
Padahal, pada kasus yang lain penyidik tidak melakukannya.
Sampai Ahok menjadi terdakwa pun, rezim tidak
berlaku egaliter menerapkan asas dan prosedur hukum.
Ahok tidak dipenjara, Ahok tidak dicopot dari jabatannya
sebagai gubernur, bahkan Ahok ikut Pilkada DKI Jakarta dan
mendapat dukungan penuh rezim.
68
Apa yang dialami Ahok sangat kontradiksi dengan
apa yang dituduhkan polisi kepada Habib Riziq Shihab
(HRS). HRS lasngsung ditetapkan sebagai tersangka dengan
dasar bukti yang sumir. Tanpa gelar perkara terbuka, tanpa
uji bukti dihadapan publik, tanpa mengindahkan asas
praduga tidak bersalah, mengesampingkan asas kepastian
hukum dan keadilan, bahkan polisi sampai menggunakan
wewenang negara untuk memanggil paksa HRS melalui
Interpol.
Kasus HRS belum tuntas menyusul kemudian kasus
Alfian Tanjung, kasus Asma Dewi, Kasus Tamim Pardede,
kasus rush money, kasus bendera tauhid Muhammad fiqri,
semua mengkonfirmasi bahwa Implementasi pelaksanaan
teknis hukum mengarah pada kriminalisasi ulama, aktivis
bahkan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam.
Dengan dalih Perppu ormas, aparat penyelenggara negara
diarahkan untuk mrndeskreditkan ajaran Islam tentang
Khilafah. Khilafah dituding memecah belah, dituding
memicu disintegrasi, dituding merusak harmoni bahkan
dituding sebagai ajaran teroris.
69
Ditambah lagi, maraknya persekusi dan pembubaran
oleh ormas dengan sepengetahuan dan atas kehadiran
aparat penegak hukum menunjukan bahwa negara berada
dibalik semua tindakan eiqenrichting (main hakim sendiri)
dan maraknya persekusi. Pembubaran pengajian ust Felix
Shiau, Ust Khalid Basalamah, Penolakan UBN, penolakan Gus
Nur, dan Pembiaran ujaran penistaan agama oleh ahoker
dan jokower, menegaskan posisi negara telah memihak
pada penelantaran hukum dan keadilan dan abai menjamin
hak konstitusional warga negara untuk mengamalkan ajaran
agamanya.
Kebijakan Kontrol Yustisia
Untuk melihat bagaimana arah dan cita politik
hukum dalam tataran kontrol lembaga yustisia, kasus
korupsi e KTP menjadi contoh paling nyata dimana rezim
menerapkan kebijakan tebang pilih dan pilih tebang
berdasarkan kepentingan politik kekuasaan yang hendak
direalisasikan. Rezim telah mendorong proses penegakan
hukum pada satu arah tertentu dan menjauhkannya dari
arah yang lain.
70
Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka
sementara anggota DPR RI dari partai PDIP dan partai
lainnya tidak ditarik sebagai pesakitan KPK, meskipun telah
terbukti melalui fakta pengadilan menerima sejumlah uang.
Nampak sekali Novanto dijerat bukan semata karena dasar
penegakan hukum tetapi juga tendensi politik.
Benar bahwa Novanto memang sulit untuk
menghindar dari tudingan terlibat korupsi e KTP,
sebagaimana publik juga tidak mungkin melihat Novanto
sebagai pribadi bersih yang mendapat fitnah dari KPK.
Hanya persoalannya, diantara banyak pihak yang disebut
menerimanya duit e KTP, KPK tidak menindaknya secara
egaliter dan adil, agar terjamin kepastian hukum.Ada kesan
proses pengungkapan mafia hukum, korupsi dan
penyimpangan lainnya dibangun atas asas kebijakan politik
rezim dan bukan atas dasar komitmen penegakan hukum.
Kasus Novanto ini -semakin memperparah deretan
kasus hukum yang banyak menggelayuti negeri ini- dimana
hukum tidak lagi menjadi panglima, politik-lah yang
memiliki otoritas dan kendali terhadap proses penegakan
hukum.
71
Kasus-kasus pidana korupsi banyak diarahkan pada
lawan-lawan politik, partai penguasa menjadi bunker politik
agar terhindar dari jeratan hukum, konsensus politik
acapkali berbuntut kasus hukum di pengadilan manakala
komitmen politik sulit mendapat kata sepakat. Pengadilan
tidak lagi menjadi sarana bagi masyarakat untuk mencari
keadilan. Pengadilan, sebagiannya disinyalir acap kali
menjadi ajang politik balas dendam untuk mengubur lawan
politik.
Khatimah
Arah dan kebijakan politik hukum Jokowi dibangun
berdasarkan asas kepentingan politik, baik dengan
mempersiapkan bunker politik untuk mitra dan pendukung
kekuasaan, dijadikan sebagai sarana balas dendam rival
politik, mengunci mulut pengkritik kekuasaan dan menekan
kelompok Islam dengan berbagai kriminalisasi untuk
merealisir tujuan kekuasaan. Tujuan kekuasaan dimaksud
adalah melindungi kekuaaaan eksisting dan untuk
merealisir ekspektasi kekuasaan di tahun 2019.
72
Politik hukum rezim dalam kebijakan hukum dalam
proses pengundangan, implementasi dan kontrol yustisia
mengarah pada gaya dan model negara otoriter. Negara
telah dibawa oleh rezim menuju negara kekuasaan
(matchstast). Semua pihak dan kalangan wajib urun rembug
dan turut serta menyelamatkan kondisi negeri dari jurang
kehencuran. Tekanan politik rezim yang kuat menggunakan
Pranata dan sarana hukum terhadap aktivis dan kelompok
Islam, menjadikan rezim sah menyandang gelar rezim
represif anti Islam.
Terakhir sebagai penutup, kekacauan hukum dan
rusaknya tatanan dan norma ini sudah begitu akut, tidak
bisa diselesaikan dengan cara biasa. Nampaknya, seluruh
ahli dan praktisi hukum perlu memikirkan "jalan lain" diluar
jalan hukum untuk menghadirkan negara yang benar-benar
taat hukum, negara yang benar-benar menjadikan hukum
sebagai panglima, negara yang benar-benar adil, mengayomi,
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sudah
waktunya seluruh advokat dan praktisi hukum untuk
mendalami dan mempelajari lebih jauh sistem hukum Islam
sebagai alternatif solusi tuntas, termasuk mempelajari
73
sistem politik Khilafah sebagai Pranata Politik untuk
mengimplementasikan hukum Islam. [].
74
PROFILE PENULIS
Ahmad Khazinudin.,SH. Dan Chandra Purna Irawan.,MH.
Tergabung dalam Koalisi Advokat Penjaga Islam. dengan
tujuan memberikan pembelaan terhadap Islam, symbol-
simbol Islam, Ormas Islam dan pegemban dakwah (habaib,
ulama, ustadz dan aktivis dakwah) melalui instrument
hukum. Diantaranya berjuang melakukan judicial review
terkait perppu 2/2017 di Mahkamah Konstitusi.