cerita gie

3
Judul Buku: Oleh: Laili Ima Fahrian Malam untuk Soe Hok Gie, Herlinatiens, Galangpress, Yogyakarta, I, akhir 2005, 265 halaman NASIB terbaik adalah tidak dilahirkan, kedua, dilahirkan tapi mati muda, berbahagialah mereka yang mati muda. Begitulah sebait puisi yang ditulis Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Puisi yang mengutip penyair Yunani itu seolah merepresentasikan kegundahan Gie tentang kehidupan. Sepanjang hayatnya, lelaki sederhana itu terus-menerus gelisah mempertanyakan makna hidup. Ia membongkar segala-galanya yang berbau kepalsuan dan kemunafikan. Gie adalah sebuah nama tentang wajah Indonesia. Tentang semangat dan sekaligus nasib keluh sebuah perjuangan. Ia adalah aktivis kampus yang terlibat secara langsung dalam merespons berbagai gejolak politik pada zamannya. Dia adalah adik kandung Soe Hok Djien, yang lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, seorang aktivis dan sosiolog kondang. Saat pemerintahan Soekarno masih berjaya, Gie duduk di bangku SMP. Karena pengetahuan luas dan kecerdasan yang cemerlang, dia terus bersikap kritis. Dia tidak ragu berdebat dengan gurunya di kelas. Dia senang membaca buku- buku karya penulis besar dunia. Lulus dari SMA Kanisius, Gie melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI. Perkembangan politik masa itu merambat ke kehidupan kampus. Persaingan ideologi mewarnai aktivitas mahasiswa. Saat melihat kondisi sosial politik yang carut-marut, Gie

Upload: mhmd-suyadi-aryanda

Post on 17-Sep-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

cerita

TRANSCRIPT

Judul Buku:

Judul Buku:

Oleh: Laili Ima Fahrian

Malam untuk Soe Hok Gie, Herlinatiens, Galangpress, Yogyakarta, I, akhir 2005, 265 halaman

NASIB terbaik adalah tidak dilahirkan,

kedua, dilahirkan tapi mati muda,

berbahagialah mereka yang mati muda.Begitulah sebait puisi yang ditulis Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Puisi yang mengutip penyair Yunani itu seolah merepresentasikan kegundahan Gie tentang kehidupan. Sepanjang hayatnya, lelaki sederhana itu terus-menerus gelisah mempertanyakan makna hidup. Ia membongkar segala-galanya yang berbau kepalsuan dan kemunafikan.

Gie adalah sebuah nama tentang wajah Indonesia. Tentang semangat dan sekaligus nasib keluh sebuah perjuangan. Ia adalah aktivis kampus yang terlibat secara langsung dalam merespons berbagai gejolak politik pada zamannya. Dia adalah adik kandung Soe Hok Djien, yang lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, seorang aktivis dan sosiolog kondang.

Saat pemerintahan Soekarno masih berjaya, Gie duduk di bangku SMP. Karena pengetahuan luas dan kecerdasan yang cemerlang, dia terus bersikap kritis. Dia tidak ragu berdebat dengan gurunya di kelas. Dia senang membaca buku-buku karya penulis besar dunia.

Lulus dari SMA Kanisius, Gie melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI. Perkembangan politik masa itu merambat ke kehidupan kampus. Persaingan ideologi mewarnai aktivitas mahasiswa.

Saat melihat kondisi sosial politik yang carut-marut, Gie semakin bergolak. Kondisi bangsa hampir tercerabut karena sistem demokrasi terpimpin ala Presiden Soekarno.

Gie termasuk di antara para aktivis yang lantang menyerukan perlawanan atas ketidakadilan. Dia juga menyerukan sebuah demokrasi.

Kehadiran sosok Gie di tengah-tengah aktivis prodemokrasi dan properubahan memang fenomenal. Sebab, Gie adalah seorang warga keturunan (Tionghoa) yang umumnya lebih banyak berkutat di wilayah bisnis.

Sosok Gie pun menarik kalangan dramawan yang kemudian menggarapnya menjadi sebuah cerita film menarik. Film Gie adalah sebuah karya yang berfokus pada sosok karakter dalam sebuah masa.

Film Gie yang diperankan aktor Nicholas Saputra itu mengambil latar 1960-an. Film tersebut bercerita dengan latar belakang kehidupan sosial politik saat itu.

Bahkan, sosok Gie juga menarik para penulis untuk mengangkat kembali kisah kehidupannya. Salah satunya, novel Malam untuk Soe Hoek Gie karya penulis muda, Herlinatiens. Soe Hok Gie, sebuah nama tentang wajah Indonesia.

Dengan bersumber dari catatan harian Soe Hok Gie, Herlinatiens mencoba melihat Gie dari sudut yang lain. Yakni, sisi cinta dalam kehidupan tokoh ini. Cinta yang tak begitu romantis hingga kematiannya, 'bercinta ala Aristotelian'.

Inilah Soe Hok Gie versi Herlinatiens, sebuah buku yang berbeda dengan Soe Hok Gie dalam Catatan Harian Seorang Demonstran.

Herlinatiens dalam novel itu mengingatkan kembali nama indah itu. Namun, bukan sekadar nama-nama indah seperti pada lembar-lembar buku sejarah.

Penulis buku itu mencoba menempatkan sosok Gie sebagai laki-laki dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. Yakni, sosok pria yang diidamkan banyak perempuan.

Dalam novel ini, Herlinatiens mencoba mengangkat sosok seorang aktivis yang juga bergulat dengan cinta. Cinta yang dirinya sendiri sulit untuk memahami.

Dalam novel ini dikisahkan bahwa Gie merupakan sosok pria yang tampan dan sederhana. Karena ketampanannya itu pula, banyak perempuan menaruh hati. Kalsita, misalnya, salah satu di antara banyak perempuan yang menaruh harapan besar pada Gie. Bahkan banyak perempuan yang mendambakan cinta tokoh ini.

Namun, Gie tetaplah Gie, pria sederhana yang tetap tak mau memahami arti cinta. Dia tetaplah Gie yang menyimpan keluh kesah akan kondisi bangsa saat itu. Ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya ke-27 dalam perjalanan mendaki ke Gunung Semeru.