buku trocaire changing lives - cerita-cerita dari indonesia

32
Perubahan untuk Kehidupan Berkelanjutan Cerita-cerita dari Indonesia

Upload: infid

Post on 24-Jun-2015

360 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

Perubahan untuk Kehidupan BerkelanjutanCerita-cerita dari Indonesia

Page 2: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia
Page 3: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

Kata Pengantar

Millennium Development Goals (MDGs) mencerminkan sebuah upaya penting guna menciptakan

perubahan berarti dalam kehidupan jutaan orang di penjuru dunia. Yang paling penting ketika kita membahas MDGs adalah mewujudkan konsep ini menjadi kenyataan melalui pengalaman hidup setiap individu. Kita harus mengenali berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan dan kesenjangan—dan juga berbagai sumber daya yang ada dalam individu dan masyarakat guna mengatasi dan memerangi kemiskinan dan kesenjangan.

Trócaire (Caritas Ireland) telah bekerja intensif di Indonesia selama 5 tahun menyusul bencana Tsunami di Aceh tahun 2004. Selama ini, Trócaire bersama mitra kerja telah mendukung berbagai masyarakat guna mengembangkan penghidupan yang berkelanjutan, mengurangi ancaman akibat bencana dan persiapan yang lebih baik untuk bencana yang akan terjadi. Kami merasa bahwa mendokumentasikan kisah-kisah individu di beberapa komunitas adalah penting. Kisah-kisah tersebut menunjukkan adanya peningkatan perhatian terhadap pengurangan risiko bencana (risk disaster reduction) dan berbagai isu terkait. Tetapi kita juga harus berhati-hati untuk tidak memisahkan isu-isu tersebut dari berbagai isu-isu pembangunan yang lain. Berbagai kominitas bisa menjadi semakin terancam terhadap bencana disebabkan

Page 4: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

2

oleh kebijakan dan proses pembangunan yang mengabaikan isu-isu lingkungan, risiko bencana, atau pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal. Guna merespon berbagai bencana, dukungan kita harus ditujukan untuk pembangunan masyarakat jangka panjang. Meskipun Trócaire beroperasi di Indonesia guna merespon bencana, kita berharap bahwa kita bisa memberi berbagai kontribusi pada pembangunan jangka panjang bangsa ini.

Mandat organisasi Trócaire mengatakan bahwa, ”Trócaire mendambakan sebuah dunia yang adil dan damai dimana martabat manusia dijamin dan hak-haknya dihormati; dimana kebutuhan pokok terpenuhi dan sumber daya terbagi secara adil dan secara berkelanjutan; dimana orang-orang punya kontrol atas kehidupan mereka dan mereka yang berkuasa bertindak untuk kebaikan bersama.” Kami ingin mengenali kekuatan dan keuletan yang ada di masyarakat dan individu, dan agar mereka bisa melakukan perubahan meski dalam kondisi yang sulit. Kita juga ingin mendorong agar mereka yang bertanggung jawab atas kebijakan tahu akan pengalaman hidup nyata orang-orang terpinggirkan dan sadar atas kebijakan yang telah mereka buat di masyarakat.

Kita berharap kisah-kisah ini dapat menjadi sebuah sumbangan guna mewujudkan agenda MDG, khususnya di Indonesia.

Kathryn Robertson

Country Representative for Indonesia and Timor-Leste

August 20�0

Page 5: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

Daftar Isi

0�

05

09

��

�5

�6

�9

22

2�

24

25

27

HalamanKata Pengantar

Oleh: Kathryn Robertson

Menuai 10.950 Hari yang Pernah Hilang

oleh Anwar Jimpe Rahman

Ada Pelajaran Menghadapi Bencana Alam Di Sekolah

oleh Anwar Jimpe Rahman

Riwayat Sebuah Jalan

oleh Anwar Jimpe Rahman

Pengorganisasian menghadapi bencana

oleh ELSPPAT

Ibu Titin Mendorong Petani Mengatasi Kekeringan di Sawah

oleh ELSPPAT

Habis Jati, Tumbuhlah Jagung

oleh EM Ali

Penanganan Tanggap Darurat yang Dikelola Masyarakat

oleh Natalis

Apotik Hidup – Alternatif untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat

oleh Natalis

Pembudidayaan Ikan Lele di Sawo

oleh Alex and Fedi

Anak-anak belajar dan mengajar di Pasar Beringin

oleh Aperius and Elvina

Jembatan Sederhana, Hasil dari Kegiatan Swadaya Masyarakat

oleh Aperius and Elvina

Page 6: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

4

Panenan padi para petani di desa Trieng Cudo Tunong, Aceh.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 7: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

5

Trieng Cudo Tunong, salah satu desa atau gampong di Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh. Desa ini

berada kira-kira �20 kilometer sebelah timur Banda Aceh. Pada masa ketika Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), banyak pemuda yang memilih keluar dari gampong mereka. Konflik telah membumihanguskan kebun dan sawah mereka. Ketidakamanan membuat mereka harus membiarkan ladang dan lahan merimbun oleh rumput dan belukar. Merantau merupakan satu-satunya harapan bagi mereka yang tidak ikut dalam gerakan kemerdekaan Aceh. Salah seorang dari mereka adalah Husin Tursina.

Husin lahir �4 Agustus �970 dari pasangan Ahmad Ismail (60) dan Nurhayati Saleh (55). Kartu tanda penduduknya beralamat Banda Aceh, bukan Trieng Cudo Tunong, kampung kelahirannya. Alamat KTP itu merupakan tanda sisa-sisa pelarian Husin dari konflik. Tatkala masyarakat Trieng Cudo Tunong begitu susah keluar kampung semasa DOM, lelaki pendiam ini justru sudah lolos keluar Tiro dua kali. Ia juga memiliki KTP Medan.

Di Medan, ia bertemu salah seorang pimpinan di lingkungan Pertamina. Di perusahaan minyak ini, pimpinan perusahaan negara tersebut menjanjikan pekerjaan baginya; kendati gaji Husin bakal dihitung sebagai pekerja harian. Tapi untuk pekerjaan itu, Husin butuh lembar ijazah terakhirnya, ijazah SMP. Celakanya, surat tanda tamat belajarnya masih ada di Trieng Cudo Tunong. Tak mau menyia-siakan kesempatan besar ini, Husin putuskan pulang kampung menjemput ijazah.

Sesampai di Trieng Cudo Tunong, malangnya, Husin tertangkap. Operasi “Jaring Merah” sedang dijalankan di Tiro. KTP Medannya yang justru menyeretnya ke masalah. Ia

dianggap orang luar. Beruntung berkas surat pindahnya di kantor kecamatan membuktikan kalau ia orang setempat. “Padahal kalau tertangkap jarang ada yang bisa lolos. Istilahnya, kalau ditangkap, kalau memang tidak ada surat pindah dari kecamatan, atau ber-KTP daerah lain sudah jadi sasaran besar,” kata Husin.

Meski demikian, Husin tidak diizinkan keluar ke mana pun. Peluang di Medan pun ia lupakan. Setahun lebih, ia menjadi ‘rakyat terlatih’ (Ratih). Salah satu kegiatan ‘Ratih’ adalah latihan baris berbaris persiapan tujuhbelasan. Menurut Husin, di masa ini satu peleton tentara menjaga satu desa. Semua anak muda ‘dikawal’ agar jangan sampai masuk GAM.

“Saya merasa tidak bisa hidup dengan cara seperti itu karena butuh uang untuk hidup. Jadi saya buat pendekatan dengan Babinsa yang bertugas di desa kami. Saya minta pamit untuk pigi dua tiga hari ke Banda Aceh. Yang penting saya harus angkat kaki dari kampung. Mau berkebun tidak bisa. Sebentar ada waktu luang untuk berkebun, tahu-tahu ada kontak tembak”.

Atas jasa baik seorang kawannya, ia berhasil masuk sebuah kantor konsultan. Untuk selembar surat pemanggilan, Husin bekerja memotong kertas sampai menjilid buku, kendati belum resmi diterima. Sambil bekerja, bujangan ini meminta surat

Menuai 10.950 Hari yang Pernah HilangAnwar Jimpe Rachman

Page 8: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

6

pemanggilan kerja dari kantor itu agar punya alasan pindah dari kampung. Ia memutuskan untuk pindah ke Tiro.

Setiba di Tiro, Husin tak buang waktu. Ia langsung membawa surat ke Kantor Camat sebagai syarat pindah karena sudah kerja. Kurang lebih delapan belas bulan di kantor kontraktor, Husin mencari cara untuk kembali ke Medan. Rencananya, dari Medan ia hendak berangkat ke Malaysia. Akhirnya, ia pun berhasil pergi ke negeri Jiran. Karena hanya tamatan SMP, di Malaysia, ia pun hanya bekerja serabutan. Hingga kemudian ia memutuskan untuk pulang lagi. Kali ini, ia tinggal di Banda Aceh.

Tanggal 26 Desember 2004, Aceh digegar gempa 9,2 skala ritcher. Gelombang tsunami menyusul. Khadijah, adik Husein, hanyut terbawa air. Namun nasib baik masih berpihak pada perempuan tersebut, ia tersangkut di pohon kedondong. Hanya saja, empat keponakan Husein hilang akibat bencana alam itu. Ketika bencana sudah mereda, Husein memutuskan untuk pulang ke Desa Trieng Cudo Tunong.

Tetapi karena gempa dan tsunami itulah yang mendorong RI dan GAM merintis proses perundingan baru. Tanggal 27-29 Januari

2005, kedua belah pihak berunding dengan difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) dari Finlandia. Hingga kemudian wakil RI-GAM menandatangani perjanjian damai pada �5 Agustus 2005.

Seusai bencana, ada banyak lembaga yang bekerja di daerah Aceh, termasuk di desa tempat Husein Tinggal. Suatu saat, Husein diajak pertemuan bersama warga desa lain bersama salah satu lembaga untuk mencoba mencari jalan bagaimana warga setempat menghadapi kehidupan seusai bencana dan dalam situasi yang sudah damai. Di forum tersebut, bersama warga desa lain, Husein menelorkan keinginannya untuk kembali menjadi petani.

Lembaga tersebut memahami keinginan warga, dan bersedia memberi bantuan dengan cara menyediakan bibit dan alat kerja pertanian. Selain itu, diadakan pula pelatihan bagi petani dengan sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, dan pengendalian hama.

Warga antusias. Tampak sekali bahwa mereka ingin segera hidup normal. Mereka segera bekerja membersihkan lahan, dan kebanyakan dari mereka menanam coklat. Mereka pun bekerjasama membuat

Potret seorang petani coklat yang menjadi korban GAM sekaligus korban tsunami, Husein Tursina, bersama ibu dan keponakannya, Isah dan Muhammad.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 9: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

7

jalan rintisan sepanjang empat kilometer. Tampaknya mereka sadar betul, selain menggarap lahan, petani juga butuh akses transportasi untuk mempermudah mereka menjual hasil pertanian.

Upaya petani untuk bangkit semakin terlihat kuat. Pada Maret 20�0, para petani Trieng Cudo Tunong membentuk kelompok seuneubok. Dalam bahasa setempat, seuneubok berarti kebun. Tiap seuneubok beranggotakan 20 petani. Beberapa seuneubok kemudian bergabung berjenjang. Kelompok seuneubok Trieng Cudo Tunong, atau disebut juga ‘seuneubok pusat’ terdiri empat seuneubok yang diketuai oleh Tengku Iskandar, seorang mantan kombatan GAM. Tengku Is, panggilan karibnya, juga pengurus Partai Aceh.

Kelompok seuneubok ini pun melibatkan orang-orang di luar Trieng Cudo Tunong dan dari luar Kecamatan Tiro yang berkebun di sana. Husin yang juga sekretaris Kelompok seuneubok Trieng Cudo Tunong mengatakan, tujuan penjenjangan seuneubok untuk mempermudah koordinasi antara seuneubok satu dengan lainnya. Juga bisa menampung aspirasi petani di seuneubok masing-masing.

“Misal di seuneubok A ada cekcok batas kebun yang tidak bisa diselesaikan, bisa dimusyawarahkan dulu di seuneubok masing-masing. Nanti baru ke tingkat seuneubok pusat. Terus ada permasalahan di situ tidak bisa dipecahkan baru kita limpahkan ke Muspika,” kata Husin.

Mereka bukan hanya sekadar bertani, tetapi juga membuat analisa dan keputusan yang dianggap penting bagi keberlangsungan kehidupan pertanian mereka. Misalnya, ada satu kasus, salah satu kelompok seuneubok menghitung ada sekitar �00 hektare lahan masih tidur. Padahal lahan yang tidak digarap akan menjadi sarang hama penyerang kebun terdekat yang sudah ditanami. Tidak kurang dari �0� petani bermufakat dan mengeluarkan undang-undang perkebunan tingkat desa. Beberapa kesepakatan pentingnya antara lain: [a] untuk lahan yang belum digarap harus dibersihkan dari bulan Maret sampai bulan Oktober 20�0; [b] apabila sampai dengan bulan Oktober lahan kebun belum dibersihkan maka diberi waktu sampai bulan Desember 20�0 untuk pertimbangan dialihkan atau mengalihkan hak milik lahannya atau menjualnya ke pihak lain.

Menurut Husin, tujuan maklumat bersama itu supaya kebun mereka bisa berhasil. “Waktu kita buat keputusan seuneubok ada daftar hadir dan strukturnya. Ada juga Camat, Polsek, dan Koramil yang mengetahui supaya lebih kuat. Jadi kami buat sekalian memancing agar model ini diterapkan untuk satu kecamatan,” ujar Husin sambil tersenyum yakin.

Salah satu anggota seuneubok bernama Fakhrudin atau acap dipanggil Udin. Ia tinggal di gampong Pulo Mesjid, tidak jauh dari Trieng Cudo Tunong. Usia Udin masuk

Buah coklat yang bagus dan akan siap dipanen beberapa

bulan lagi.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 10: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�0 tahun. Ia pernah masuk GAM di tahun 2000, ketika masih berumur 20 tahun. Dan selama bergabung dengan GAM, sebutir peluru pernah merobek bagian belakang paha kanannya.

Tapi kini, setelah situasi damai, ia bertani sebagaimana Husein, dan juga bergabung di dalam seuneubok. Kebunnya berjarak sekitar dua kilometer di sekitar jalan rintisan warga. Seperti kebanyakan warga Trieng Cudo Tunong dan Pulo Mesjid, Udin baru mulai berkebun dua tahun lalu. Bujangan dari Pulo Mesjid ini setiap hari menginap di dangau berdinding papan dan beratap seng mengilap di kebun. Batas kebunnya

dipagari dengan lembaran besi bekas drum aspal. “Kalau tidak begitu,” tutur Udin, “babi leluasa masuk merusak tanaman coklat.”

Sekalipun masih ada bekas luka di paha kanannya, juga ingatan buruk di masa lalunya, kini Udin sudah bisa tersenyum. Memang, ada �0.950 hari yang mencekam dalam ingatan kolektif warga Aceh. Namun mereka berhak untuk menyongsong masa depan. Mereka berhak untuk mempunyai harapan dan kehidupan yang lebih baik. Ketika bencana telah usai, perang telah rampung, sebuah kehidupan baru sedang dimulai.

Pak Husein Tursina sedang memeriksa bibit cokelat yang akan segera ditanam di kebunnya. Bibit yang bagus akan terlihat dengan tidak adanya kerusakan pada daun bibit cokelat.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Kebun yang semakin produktif di desa Trieng Cudo Tunong, Aceh. Karena bantuan Troicare, mereka dapat menanam kembali cokelat dan kacang hijau.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 11: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

9

Ketika gempa dengan skala 7,9 mengguncang Padang pada pukul �7.�5 WIB, �0 September 2009, Nur

Ismi (42) sedang bermain bulu tangkis di lapangan masjid kompleks Perumahan Denai Pamulang. Saat itu, Ismi tidak memakai sepatu karena khawatir hujan. Maklum, cuaca saat itu sedang mendung. Tiba-tiba, Ismi merasa seperti ada batu yang meledak di bawah telapak kakinya. Tanah berayun setelah itu. Ismi dan teman-temannya berjongkok. Begitu reda ia segera lari ke rumahnya.

Segera Ismi menyelamatkan anak-anaknya. Amelia, anak keempatnya yang kini duduk di bangku kelas V SD, sedang mandi di sumur tetangga. Sementara Aldi, si bungsu, sedang bermain bola di sebuah lapangan di pinggir kompleks perumahan. Ketika Aldi tiba, Nur Ismi segera mengungsikan kedua anaknya ke Gedung SAR. Sementara itu, Amel Amanie, si bapak, masih berada di sebuah kolam langganan memancingnya.

“Saya cuma berpegangan di sebatang pohon waktu gempa datang. Begitu selesai tanah bergetar, saya lari ke rumah. Alat pancing saya tinggalkan begitu saja,” kenang Amel

yang bekerja sebagai staf Pidana Umum Kejaksaan Negeri Sumatera Barat. Ia memang mempunyai hobi bermain tenis dan memancing ikan.

Amel segera ke Gedung SAR untuk memastikan anak-anak dan istrinya sudah berada di sana dalam kondisi selamat. Setelah itu, barulah lelaki berkulit coklat itu kembali ke tempat memancing tadi mengambil alat pancingnya. “Namanya juga hobi mancing,” ujar Amel seraya tertawa lebar.

Kota Padang memiliki luas 694,96 kilometer persegi. Enam puluh persen lebih merupakan daerah perbukitan yang berada di bagian timur wilayah kota ini. Lereng-lereng berbukit inilah yang dijadikan warga sebagai tempat mengungsi bila gempa atau tsunami mengguncang dan menyapu kota. Kantor SAR adalah salah satu tempat yang dipilih untuk evakuasi jika bencana terjadi karena lokasinya sudah berada di zona aman, berjarak lebih dari 5 km dari bibir pantai dan akses jalan ke lokasi tersebut cukup bagus.

Hari Rabu pertengahan Mei 20�0, Amelia bersama dua puluh teman sekelasnya mempraktikkan penyelamatan diri ketika gempa terjadi pada jam belajar. Praktik itu dilakukan di SD Negeri 2� Padang Sarai,

Anwar Jimpe Rachman

Ada Pelajaran Menghadapi Bencana Alam Di Sekolah

Amelia adalah salah seorang anak yang terkena dampak gempa di padang. Tetapi karena amel sudah pernah mengikuti kurikulum lokal di sekolahnya tentang siap siaga menghadapi gempa, Amel sudah tidak takut lagi kalau terjadi gempa.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 12: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�0

Kecamatan Koto Tangah, Padang. Tempat dimana Amelia bersekolah.

Mereka memasukkan alat tulis dan buku pelajaran ke dalam tas. Seketika mereka lekas berlindung di bawah meja. Setengah menit kemudian anak-anak itu menghambur ke halaman sekolah dengan tas di atas kepala mereka sebagai pelindung. Mereka kemudian berjongkok melingkar sambil mulut meteka melantunkan doa Asmaul Husna.

Kegiatan itu berakhir ketika ada teriakan: stop! Mereka menoleh ke arah suara. Teriakan itu meluncur dari Elivia Murni, wali kelas V. Bu El, begitu nama akrab Elivia, selain wali kelas V juga didapuk sebagai Ketua Kelompok Siaga Bencana (KSBS) SDN 2� Padang Sarai. Sekolah ini merupakan salah satu dari �2 sekolah binaan model program kebencanaan dan mitigasi yang dijalankan oleh Komunitas Siaga Tsunami (Kogami).

Siaga Bencana sudah masuk dalam kurikulum sebagai muatan lokal. Pelajaran tentang kebencanaan berdampingan dengan tiga pelajaran muatan lokal yakni Bahasa Inggris, Baca Tulis Al-Quran, dan Budaya Alam Minangkabau. “Kalau sekolah lain biasa mengajarkan Siaga Bencana satu semester saja, di sini kami mengajarkannya setahun penuh,” papar Bu El.

Bu El mengajar di SDN 2� sejak 200�. Ia mengenang bagaimana keadaan sekolah itu ketika bekal pengetahuan kesiagaan bencana belum ada sama sekali. Setelah gempa melanda Padang, tak lama setelah gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004, nilai ujian pertengahan murid Kelas VI anjlok. Trauma masih menghantui para murid. Para murid bisa sampai pucat atau menangis kalau ada getaran atau guncangan gempa. Orang tua murid pun kalau ada gempa langsung ke sekolah menjemput anak mereka.

“Jangankan murid, kita aja gak tau mau ngapain kalau ada gempa,” kata Bu El.

SDN 2� memiliki �7 ruang belajar dan 562 siswa. Jumlah murid itu menurut Bu El, adalah tanggung jawab besar baginya dan 27 pengajar di sekolah itu. “Bayangkan kalau ada gempa, kita tidak punya pengetahuan menghadapi bencana, dengan jumlah murid sebanyak itu,” Elviana memberi penjelasan sekaligus menekankan.

Sejak adanya bimbingan kebencanaan, yang belakangan masuk sebagai pelajaran muatan lokal, para murid mampu mengendalikan diri mereka menghadapi ancaman gempa di Padang. Mereka segera masuk ke bawah meja, menunjung tas, berkumpul di halaman sekolah membaca doa-doa penenang hati dan meminta perlindungan Tuhan.

Perlahan, perilaku murid pun berubah seiring masuknya bimbingan kebencanaan yang mulai diajarkan pada April 2005. Bu El memberi pengakuan, “Nilai ujian murid-murid bagus dan ‘normal’ lagi. Itu karena mereka bisa belajar dengan lebih tenang.”

Muhammad Fauzan, salah satu murid kelas IV bahkan mampu menjelaskan dengan lancar bagaimana jika gempa terjadi di saat mereka sedang belajar di kelas, “Dari sini (halaman sekolah), lewat situ (menunjuk jalan di depan sekolah) terus ke sana (arah gedung SAR).”

Amelia bahkan sudah bisa berpesan kepada Nur Ismi agar jika gempa terjadi, si ibu tak perlu panik dan menjemputnya ke sekolah. Cukup bertemu di titik yang mereka sepakati, sebagaimana juga warga lainnya tahu yakni di Gedung SAR Padang.

Setelah berkumpul di halaman sekolah, mereka diminta untuk berlari keluar

sekolah menuju tempat di mana mereka sudah sepakat bertemu orangtua mereka.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 13: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

��

Kaki Fainasöhi Telaumbanua (42) bertumpu dengan akas di bibir jurang di sekitaran Dusun Tuhendraowi,

Hilimbaruzö, Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Jari coklatnya yang kurus berurat menunjuk ke sebatang sungai besar berkelok di lembah yang berpagar gunung dan bukit. “Sebelum ada jalan ini, kita harus lewat sana berjam-jam,” tunjuk Fainasöhi tersenyum. Ia adalah mantan penjaga base camp salah satu lembaga keagamaan yang berada di kampung, Desa Sifaoro’asi, Gomo. Ia mulai bekerja di lembaga tersebut mulai tahun 2007 hingga 2009. Lembaga tersebut masuk ke desanya ketika mengerjakan Proyek Hilimbaruzö I. Hilimbaruzö adalah sebuah nama desa yang jaraknya �4 kilometer dari base camp Fainasöhi bekerja.

Setelah proyek ini berhenti, Fainasöhi pun mencurahkan perhatian lagi menggarap petak lahan kebunnya. Sesekali ia masuk Hilimbaruzö untuk sekadar mengantar staf lembaga tempatnya bekerja dulu yang mau masuk ke desa tersebut.

Secara umum, salah satu kendala di Nias adalah masalah bahasa. Keterampilan warga dalam berbahasa Indonesia tidak merata. Hanya segelintir orang yang bisa berbahasa Indonesia aktif, selebihnya pasif, dan selebihnya lagi tidak tahu sama sekali. Sehingga mereka, orang-orang di luar Nias yang bekerja di sana, membutuhkan jasa seorang penerjemah lokal, seperti apa yang dilakukan oleh Fainasöhi.

Jalan yang dimaksud oleh Fainasöhi adalah jalan rintisan sebagai bagian dari proyek Hilimbaruzö I yang dibangun beberapa lama setelah tsunami melanda Nias pada 26 Desember 2004 dan gempa berskala �,7 pada 2� Maret 2005. Berdasarkan sejumlah

catatan, gempa yang disebut terakhir tadi menelan korban tidak kurang 2.000 jiwa.

Hilimbaruzö adalah desa terpencil di jantung pegunungan Pulau Nias. Desa yang terletak �00 meter di permukaan laut ini masuk dalam lingkup Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan—kabupaten yang mendapat status otonom pada 25 Februari 200�.

Jarak antara Hilimbaruzö dan Lahusa (ibukota Kecamatan Gomo) berkisar �4 kilometer. Sementara jarak Lahusa dan Gunung Sitoli (ibukota Kabupaten Nias) sekitar 97 kilometer. Hingga kini, jalan sepanjang �4 kilometer itu baru sebagian yang beraspal kasar. Itu pun di beberapa titik pinggang gunung sudah longsor. Sehingga bagian yang sudah dikeraskan dan dilapis aspal rusak kembali karena timbunan tanah dan batu yang runtuh. Ini tampaknya, langsung atau tidak, diperparah lagi dengan pola pertanian ladang berpindah masyarakat Gomo.

Lereng-lereng curam itu, menurut Fainasöhi, biasanya dibakar penduduk sekitar April atau Mei menjelang musim kemarau. Begitu musim kemarau tiba di bulan Juni, bekas hutan itu lalu ditanami tumbuhan paruh musim seperti ubi kayu dan ubi jalar. Di bagian longsor atau dipisahkan oleh aliran sungai masih menggunakan jembatan darurat batang-batang kelapa. Selebihnya itu, masih berlapis tanah atau oleh warga dilapisi dengan batu. Berkisar empat kilometer menuju Hilimbaruzö, kendaraan belum dapat melintas.

Warga yang berangkat menuju atau pulang dari Hilimbaruzö, mau tak mau, harus berjalan kaki. Jalan itu, menurut George J. Aditjondro, salah satu peneliti senior dan aktivis gerakan sosial di Indonesia, adalah jalan tertua yang melintasi Pulau Nias, yang

Anwar Jimpe Rachman

Riwayat Sebuah Jalan

Page 14: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�2

dibangun oleh Belanda. Sayang, jalan ini diterlantarkan oleh pemerintah Indonesia, yang lebih mementingkan membangun pelabuhan untuk meng-antar-pulau-kan komoditi-komoditi Nias, serta membuka kawasan-kawasan wisata di pesisir, seperti Teluk Dalam, ibukota Kabupaten Nias Selatan, dan pantai Sorake yang sangat diminati turis-turis asing untuk berselancar (surfing).

Kontur tanah labil inilah menyebabkan Proyek Hilimbaruzö I yang menelan biaya Rp�,4 miliar ini dihentikan. Lembaga tempat Fainasöhi dulu bekerja, memutuskan untuk melakukan kajian ulang atas proyek tersebut. Di tengah penelitian dan persiapan, Pemerintah Kabupaten Nias Selatan berinisiatif mengambilalih. Pada Desember 2007, proses pembangunan resmi berpindah dari lembaga keagamaan itu ke Pemerintah Nias Selatan.

Proyek lembaga keagamaan itu kemudian berlanjut menjadi proyek yang disebut Hilimbaruzö II. Proyek ini adalah proyek peningkatan taraf hidup masyarakat. Proyek besar ini mengerjakan �2� rumah warga Hilimbaruzö yang runtuh oleh gempa 2� Maret 2005. Proyek rekonstruksi ini juga membangun sarana air bersih di empat dusun di Hilimbaruzö. Total material yang hendak diangkut ke Hilimbaruzö tidak kurang �24 ton. Sementara, jalan rintisan di proyek pertama, ternyata juga belum

rampung; padahal jalan itu diproyeksikan bisa memudahkan pendistribusian material �20-an ton tersebut.

Satu-satunya pilihan tersedia hanya tenaga manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian, “Bisakah menggerakkan masyarakat setempat mengusung material?” Keadaan ini kemudian memunculkan plesetan kalau proyek ini adalah Proyek Mission Impossible—Misi yang Mustahil, sebuah judul film serial produksi Hollywood yang diangkat menjadi film layar lebar.

Untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan tadi, salah seorang pekerja sosial bernama Florentino Sarmento bergerak. Ia bolak-balik mengunjungi Hilimbaruzö dan berdialog dengan warga setempat kala itu. Gayung bersambut; masyarakat setuju. Upah yang diberikan kepada masyarakat pada waktu itu sesuai dengan kilogram yang diangkut. Setiap kilogram dibayar Rp�.000, kecuali semen. Semen dihitung berdasarkan jumlah sak yang diangkat—Rp�0.000/sak.

Maka bergeraklah 6.000 orang gotong royong mengusung material pada Agustus 200�. Di awal Agustus itu, tiga puluh satu unit rumah dalam fase pembangunan proyek Hilimbaruzö II tahap pertama berdiri dari material itu. Sisa 92 unit rumah berdiri pada Hilimbaruzö II tahap kedua yang dimulai pada � Oktober 200� hingga �� Februari 2009.

Keluarga Yusni yang menjadi korban gempa bumi di Desa Tuhendraowi, Hilimbaruzö,

Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Caritas Sibolga membangun rumah tahan gempa

untuk keluarga Yusni.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 15: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

��

Perkembangan pembangunan rumah warga yang terkena gempa sangat cepat. Setelah fondasi rampung, rumah sudah berdiri hanya seminggu kemudian. Sekadar catatan, rumah bantuan itu didesain dengan konsep baja ringan. Penyusunan rangka rumah itu relatif mudah. Tinggal dicocokkan dengan bagian-bagian sambungannya dan dirangkai menggunakan mur dan baut. Berdasarkan analisa, rumah jenis itu selain aman dan tahan gempa, juga karena termurah di antara pilihan yang ada (yakni beton dan kayu) serta paling ringan bila diangkut dari Gomo ke Hilimbaruzö. Partisipasi masyarakat memang begitu terasa dalam proyek rumah tadi. Sampai-sampai proyek itu selesai Februari 2009, empat bulan lebih cepat dari rencana awal proyek tersebut.

Tak bisa dimungkiri, Proyek Hilimbaruzö I dan Hilimbaruzö II membantu masyarakat setempat. Terutama dalam menggerakkan ekonomi warga setempat. Bagaimana tidak, dalam hitungan sistem distribusi perekonomian, tampaknya tidak ada keseimbangan antara Hilimbaruzö dengan daerah lainnya dalam hal belanja barang kebutuhan. Yusni, salah seorang penduduk setempat, mempunya gambaran sederhana mengenai ini. Setiap barang jualan di kedai perempuan kelahiran 5 Maret �9�5 ini dinaikkan untuk mendapatkan keuntungan dalam kisaran 20 persen sampai 50 persen. Sementara ayahnya yang seorang pedagang pengumpul untuk komoditas seperti cokelat, hanya mengambil untung yang kecil, “Bapak saya ambil cokelat dari petani di sini Rp. �5.000 per kilo. Kemudian Bapak bawa ke Pekan setiap Jumat dan dijual Rp. �6.000 per kilo. Ya, istilahnya, seribu itu cuma untuk ‘biaya angkut’.” Pekan yang dimaksud adalah hari pasar di Lahusa yang berlangsung setiap Jumat.

Di pasar yang berlangsung sepekan sekali itu seluruh komoditas Gomo seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam ditransaksikan. Hasil ternak seperti ayam dan babi juga diperdagangkan di sana. Babi sendiri merupakan hewan ternakan utama warga. Para peternak biasanya memberi pakan utama seperti daun ubi jalar. Karena itu, nyaris tak ada lahan yang dibiarkan kosong oleh warga; semua ditumbuhi tanaman rambat ini.

Pembangunan jalan itu juga berguna dalam kehidupan pendidikan dan kesehatan masyarakat setempat. Yusni menganggap, pembangunan itu penting bagi dusunnya. Akses warga ke fasilitas primer, seperti pendidikan dan kesehatan, tentu akan lebih cepat. Yusni ingat persis bagaimana dulu ia harus berangkat ke sekolah dengan berjalan

Sebelum menanam bibit kacang hijau di kebunnya, Ibu Yusni merapalkan doa kepada yang kuasa agar semua proses bercocok tanamnya baik dan menghasilkan panen yang berlimpah.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 16: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�4

kaki sejauh enam kilometer ke SMP Negeri Sifalagösusuna. Betapa ia harus bangun pagi dan kerap mengabaikan beberapa tugasnya sebagai anak untuk mengejar jam masuk sekolah.

Perempuan berpostur kecil ini juga ingat benar bagaimana ketika ayahnya sakit. Betapa susahnya menandu ayahnya untuk dibawa ke puskesmas terdekat di sekitar kantor Kecamatan Gomo. “Semua saudara ayah terpaksa bergantian mengusungnya seperti Jenderal Sudirman,” ujar Yusni, seraya tersenyum. Yusni menyamakan adegan pengusungan itu dengan peristiwa sejarah Indonesia yang didapatnya dari buku-buku pelajaran sekolahnya dulu.

Demikian pula ketika Yusni bersekolah di Gunung Sitoli. Biaya sekolahnya harus dititip ke sopir tujuan kotamadya itu. Betapa lambat perjalanan uang keperluan pendidikannya untuk sampai ke tangannya. Rutenya seperti ini: ayahnya harus berjalan kaki ke Lahusa, ibukota Kecamatan Gomo di hari pasar (Pekan) dan menitipkan ke sopir yang memiliki trayek ke Gunung Sitoli. Yusni secara rutin mengecek di terminal Gunung Sitoli mencari tahu adakah kiriman untuknya. Begitu juga sebaliknya, Yusni akan berkirim surat untuk meminta biaya sekolah

ke dusunnya, Hiliadulo. Surat itu dititipkan ke sopir bertrayek Gomo dan menyampaikan surat itu langsung ke ayahnya, atau setidaknya menitipkan ke tetangga atau salah seorang warga yang hendak melintas di dusunnya. Yusni kini tetap melakukan hal serupa pada dua adiknya, Aristina Hulu dan Asmira Hulu, yang bersekolah di Gunung Sitoli. Aristina menempuh kuliah di Akper YPDR; sementara Asmira di Akper YBD.

Kendati fasilitas jalan itu belum rampung, setidaknya arah jangkauan pembangunan jalan itu tampaknya bakal kian memanjang. Menjelang masuk Dusun Hiliadulo, berkisar �,5 kilometer dari pusat kecamatan, sebuah sebatang sungai besar harus dilewati. Di pinggir sungai berbatu besar itu sudah dibangun fondasi kaki jembatan.

Yusni berharap, dengan jalan itu nanti, akses masyarakat sekampungnya bisa lebih cepat ke fasilitas pendidikan dan pusat pelayanan kesehatan. Harapan Yusni mungkin sederhana. Namun untuk mewujudkan itu butuh tenaga dan biaya yang tak sedikit. Betapa meretas jalan menuju dan dari Hilimbaruzö penuh kelok, tanjakan, juga turunan.

Yusni sedang mengambil daun bayam untuk di buat masakan. Sehari-hari Yusni mengambil hasil sayuran dari kebun miliknya sendiri.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 17: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�5

Berbagi pengalaman dari Ibu Tuti Komala, desa Cipicung, kecamatan Cijeruk, kabupaten Bogor.

Ibu Tuti (49 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif di dalam kegiatan di desanya sebagai kader

Posyandu. Dia tinggal bersama suaminya, seorang ketua RT, dan 2 orang anaknya di kampung Genteng RT � RW 6, Desa Cipicung. Bu Tuti pernah mengikuti pelatihan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang dilakukan oleh ELSPPAT. Dia merasa mendapat pengetahuan/ilmu baru, teman baru dan suasana baru. Hanya saja waktu ada pelatihan Community Organiser (CO), Bu Tuti tidak bisa ikut karena kegiatan tersebut berbarengan dengan diadakannya sensus penduduk Indonesia, dimana dia berperan sebagai staf lapang/pencacah. Namun Bu Tuti menyanggupi akan selalu membantu dan terlibat dalam kegiatan Penangulangan resiko bencana di wilayahnya bersama ELSPPAT.

Di daerah Bu Tuti tinggal sebenarnya ada lokasi rawan bencana, yaitu berupa penggalian pasir ilegal yang dikuasai oleh beberapa “orang kuat/preman” yang juga warga desa setempat. Banyak terjadi pro-kontra di masyarakat terkait adanya kegiatan tersebut. Arah kegiatan PRB pada awalnya adalah mengatasi kekeringan lahan pertanian akibat rusaknya selokan/saluran air yang disebabkan oleh kegiatan penggalian pasir ilegal tersebut. Namun untuk menghindari terjadinya konflik di masyarakat, arah kegiatan PRB sedikit digeser menjadi kegiatan mengatasi kekeringan lahan pertanian tapi bukan yang disebabkan oleh galian, tapi oleh hal lain.

Menurut Ibu Tuti, program ELSPPAT ternyata tidak berhenti setelah pelatihan saja, akan tetapi ada kelanjutannya. Bersama pendamping lapang dari ELSPPAT, Ibu Tuti mengadakan musyawarah bersama masyakakat untuk mencoba mengatasi permasalahan air tersebut, karena air tersebut dipergunakan untuk sawah, kolam, rumah tangga dan bahkan tempat ibadah.

Kegiatan PRB di kampung Genteng, Desa Cipicung bertujuan untuk mengatasi ancaman bencana kekeringan air sawah dan kolam. Sebelum masuk program/kegiatan ELSPPAT, petani dihadapkan pada kenyataan berkurangnya debit air, sehingga ada kolam ikan yang tidak lagi bisa untuk memelihara ikan, debit air yang menuju ke musholla juga kecil. Selama ini menurut Ibu Tuti, sebenarnya masyarakat sudah sering mengusulkan kepada pihak desa agar memperbaiki saluran air tersebut melalui dana APBD, tapi sampai sekarang belum ada perhatian dari perangkat desa.

Ibu Tuti juga memberi kesaksian, setelah masuknya kegiatan/program ELSPPAT, mulai terjadi perubahan di tingkat masyarakat khususnya petani. Muncul kemauan dalam diri masyarakat di kampung Genteng untuk mengatasi masalah kekurangan air irigasi ini. Petani mulai bersemangat untuk berkumpul dalam forum pertemuan tingkat kampung. Dalam pertemuan tersebut kesadaran petani mulai bangkit. Para petani pun semangat bermusyawarah untuk merencanakan bagaimana agar air dapat mengalir kembali ke lahan persawahan mereka. Salah satu sebabnya adalah karena ada kebocoran di jalur irigasi. Mereka bersedia iuran (sampai saat ini masih jalan) untuk menambal kebocoran tersebut. Masyarakat bersama-sama menentukan titik bocornya saluran, menghitung biaya yang dibutuhkan dan mencari sumber dana kegiatan.

Lampiran 1.

Cerita Studi Kasus �.

Pengorganisasian menghadapi bencana

Page 18: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�6

Berbagi pengalaman dari Ibu Titin Suheni warga kampung Babakan, Desa Cisalada.

Ibu Titin Suheni (�5 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga yang juga aktif terlibat beberapa kegiatan di desanya seperti

Posyandu, proyek PNPM Mandiri dan desa Siaga. Dia tinggal bersama suami dan 5 orang anaknya di kampung Babakan, RT 2

RW �, desa Cisalada, kecamatan Cigombong, kabupaten Bogor.

Menurut Ibu Titin, keikusertaannya dalam program LSM seperti ELSPPAT merupakan sesuatu hal yang baru. Lewat program ELSPPAT di desanya, Ibu Titin berkesempatan mengikuti 2 pelatihan yang diadakan ELSPPAT yaitu Pelatihan Fasilitator Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dan Pelatihan Pengorganisasian Komunitas. Lewat kedua pelatihan tersebut, Ibu Titin

Cerita Studi Kasus 2

Ibu Titin Mendorong Petani Mengatasi Kekeringan di Sawah

Dari iuran dana yang telah terkumpul, mereka mulai mengerjakan kegiatan penambalan saluran air tersebut. Ada 4 titik kebocoran yang dirasa paling parah. Dan sekarang ke-4 titik tersebut bisa ditutup dengan usaha masyarakat bersama ELSPPAT.

Perubahan penting lain yang terjadi akibat masuknya kegiatan ELSPPAT menurut Ibu Tuti adalah mulai tumbuhnya semangat gotong royong yang telah lama menghilang. Masyarakat mulai aktif melakukan kerja bakti (gorol) untuk memperbaiki saluran air yang telah rusak. Pada akhirnya, air mulai mengalir ke kampung Genteng. Para petani dan pemilik kolam cukup senang karena usaha dan kerja keras mereka tidak sia-sia. Masalah kekeringan sawah akhirnya mulai dapat teratasi berkat kekompakan para petani. Sekarang debit air dirasa stabil, tidak sekecil dulu sehingga memungkinkan warga

yang mempunyai kolam dapat memelihara ikan kembali.

Di balik keberhasilan di atas, Ibu Tuti merasa senang dan bangga karena telah ikut terlibat dalam membantu memfasilitasi warganya yang mengalami kesulitan. Walau tidak ada imbalan yang bersifat materi, Ibu Tuti mengakui dengan keberadaan ELSPPAT di kampungnya, persoalan berkurangnya debit air yang terjadi selama ini di kampungnya dapat terselesaikan secara tuntas. Dan untuk ke depan, Ibu Tuti tetap berkomitmen untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang telah dia dapat selama berkegiatan dengan ELSPPAT agar bisa bermanfaat untuk warga di kampungnya.

(Ditulis ulang dari tulisan tangan Ibu Tuti dengan beberapa penyuntingan seperlunya)

Page 19: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�7

merasa bisa belajar banyak hal yang sebelumnya tidak pernah dipelajarinya. Di kedua pelatihan yang diikutinya tersebut dia mengaku selain mendapatkan banyak teman, dia juga bisa belajar banyak hal dari teman-teman sesama peserta pelatihan.

Dalam pelatihan Fasilitator PRB, Ibu Titin merasa banyak belajar bagaimana cara menangani dan menanggulangi bencana. Sedangkan dalam pelatihan pengorganisasian komunitas, Ibu Titin merasa mendapatkan banyak pelajaran tentang bagaimana cara berkomunikasi dan melakukan pendekatan kepada masyarakat yang akan dia bantu.

Menurut Ibu Titin, program ELSPPAT ternyata tidak berhenti hanya pada 2 pelatihan tadi semata, akan tetapi ada kelanjutannya. Bersama pendamping lapang dari ELSPPAT yang bernama Dwi, Ibu Titin ikut membantu memperlancar fasilitasi salah satu kegiatan ELSPPAT yang sedang berjalan di kampungnya yaitu kegiatan Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Kegiatan PRB di kampung Babakan, desa Cisalada bertujuan untuk mengatasi ancaman bencana kekeringan sawah di blok Lumbung (�0 ha) dan blok Arsiun (�0 ha). Sebelum masuknya program/kegiatan ELSPPAT, petani dihadapkan pada kenyataan tidak bisa bertanam padi karena lahan sawah di kedua blok ini umumnya tidak terairi (kering). Selama ini menurut Ibu Titin, belum ada upaya dari komunitas petani untuk mengatasi masalah ini. Sebelum masuknya kegiatan ELSPPAT, komunitas petani belum menemukan cara yang tepat untuk menangani masalah ini.

Menurut Ibu Titin, setelah masuknya kegiatan/program ELSPPAT, mulai terjadi perubahan di tingkat masyarakat khususnya petani. Muncul kemauan dalam diri komunitas petani di kampung Babakan untuk mengatasi masalah kekurangan air irigasi ini. Petani mulai bersemangat untuk

berkumpul dalam forum pertemuan tingkat kampung. Dalam pertemuan tersebut kesadaran petani mulai bangkit. Petani sadar bahwa air adalah kebutuhan mereka yang paling utama dalam budidaya padi. Para petani pun semangat bermusyawarah untuk merencanakan bagaimana agar air dapat mengalir kembali ke lahan persawahan mereka.

Menurut Ibu Titin, perubahan penting lain yang terjadi akibat masuknya kegiatan ELSPPAT adalah mulai tumbuhnya semangat gotong royong yang telah lama menghilang. Para petani seminggu sekali mulai aktif melakukan kerja bakti (gorol) untuk memperbaiki saluran air yang telah rusak dan bahkan telah mati (tidak berfungsi). Pada akhirnya, air mulai mengalir ke areal persawahan di kampung Babakan. Para petani cukup senang karena usaha dan kerja keras mereka tidak sia-sia. Masalah kekeringan sawah akhirnya mulai dapat teratasi berkat kekompakan para petani.

Dibalik keberhasilan di atas, Ibu Titin merasa senang dan bangga karena telah ikut terlibat dalam membantu memfasilitasi warganya yang mengalami kesulitan. Walau tidak ada imbalan yang bersifat materi, Ibu Titin tetap puas dengan keberhasilan yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan bersama ELSPPAT.

Ibu Titin berharap dengan keberadaan ELSPPAT di kampungnya, persoalan ketiadaan air sawah yang terjadi selama ini di kampungnya dapat terselesaikan secara tuntas. Dan untuk ke depan, Ibu Titin tetap berkomitmen untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang telah dia dapat selama berkegiatan dengan ELSPPAT agar bisa bermanfaat untuk warga di kampungnya. (sdm)

Page 20: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

��

Ibu Sri Jayamo sedang mencari pakan untuk kambing bergulir dari LPUBTN. Ia mencari daun gembilina setiap sore. Peralatan yang digunakan adalah galah bambu dan arit.

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 21: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

�9

Nama asli perempuan berusia �9 tahun itu adalah Sri Gunarti. Tetapi karena ia enikah dengan seoang laki-

laki bernama Jayamo, maka nama panggilan perempuan itu berubah menjadi Sri Jayamo. Sejak muda, berbagai pekerjaan telah dilakoninya. Ia pernah pergi merantau ke kota dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga sampai menjadi tukang masak bagi para buruh bangunan. Ia juga pernah menjadi buruh pengangkut pasir di daerah lain.

Dukuh Bantengan, Penadaran, secara administratif berada di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Dukuh kecil ini dikelilingi hutan Perhutani atau hutan negara. Hampir seluruh hutan di wilayah tersebut ditanami pohon jati, sebuah produk kayu hutan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tetapi warga sekitar tidak bisa ikut menikmatinya. Paling-paling yang bisa mereka nikmati hanyalah mencari daun jati dan kayu bakar dari reranting pohon. Itupun masih harus sering berhadapan dengan petugas kehutanan. Pencurian kayu, satu dua kali memang pernah terjadi. Dan cap pencuri, jamak distempelkan di dahi para penduduk di sekitar hutan. Era itu adalah era di mana Orde baru sangat berkuasa. Sebuah masa ketika kemakmuran sumberdaya ekonomi di satu tempat, hanya bisa dilihat dari jauh oleh penduduk sekitar.

Kemudian tiba suatu ketika, di saat rezim otoriter itu ambruk. Rasa tertekan secara politis, diskriminasi dan sekaligus kemiskinan, terpilin menjadi satu dan berujung pada sebuah tindakan. Wilayah hutan yang semula menakutkan karena selalu dijaga para jagawana berseragam dan bersenjata, mendadak menjadi sebuah ’tambang ekonomi’ yang siap diambil oleh siapa saja.

Maka pencurian kayu atau dalam bahasa lokal disebut mblandong, menjadi pilihan kegiatan bagi hampir semua penduduk di tepi hutan. Keruntuhan rezim Suharto yang secara geografis jauh yakni di ibukota, merembes ke berbagai wilayah, direspons dengan cara yang khas: pencurian kayu jati massal. Tidak bisa dimungkiri, pencurian itu juga melibatkan oleh aparat keamanan setempat. Hampir semua penduduk Penadaran ikut mblandong, termasuk di antara mereka adalah Sri Jayamo.

Salah satu penduduk mengingat bagaimana ‘kejayaan’ para penduduk di sekitar hutan ketika pencurian kayu begitu marak, “Saat mblandong, nyari duit 200 ribu rupiah adalah hal yang kecil. Kasarannya dengan bekerja sebulan, kami bisa bikin rumah kayu yang bagus. Tapi ya begitu, duitnya nggak ada yang terkumpul. Begitu mendapatkan duit, kami pakai ke pasar, mabuk dan judi. Pokoknya dapat hari ini ya dihabiskan hari ini.”

Seperti sebuah musim, segala sesuatu ada pergantiannya, ada masa pasang dan surutnya. Terhitung sejak akhir tahun �99� sampai tahun 200� hutan jati seluas 902.200 hektar habis dijarah penduduk. Hanya tonggak-tonggak pohon jati yang tersisa. Saat kayu habis, pekerjaan pun juga habis.

Sri Jayamo mengalami satu persoalan lagi selain habisnya tanaman jati yang menghidupinya selama ini: Jayamo, suaminya, terkena musibah saat mengotong kayu curian. Ada syaraf di tulang punggungnya yang terjepit, dan laki-laki itu mendadak lumpuh. Sri menuturkan, “Saya sampai menjual rumah untuk biaya berobat suami saya ke berbagai tempat. Tetapi tidak ada hasilnya. Akhirnya saya hanya pasrah.” Semenjak itu, Sri menjadi kepala rumah tangga.

EM Ali

Habis Jati, Tumbuhlah Jagung

Page 22: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

20

Setelah hutan habis dan tanah gundul, pihak Perhutani kemudian membuat sebuah kebijakan bahwa warga sekitar boleh menanami lahan gundul tersebut, dengan catatan mereka harus menjaga tanaman gembilina, yakni tanaman baru pengganti tanaman jati. Dan kelak jika pohon gambilina itu di panen—usia rata-rata pohon gembilina adalah 5 tahun—maka petani yang bertani di lahan tersebut mendapatkan bagi hasil sebanyak �5% sampai 20%. Rata-rata setiap keluarga di kampung tersebut menggarap tanah seluas 2 hektar. Sri juga ikut bertani di lahan gundul tersebut. Namun sesuai dengan kemampuannya, karena suaminya tergolek sakit, ia hanya mengerjakan lahan seluas satu hektar.

Hampir semua penduduk menanami lahan tersebut dengan tanaman jagung. Selain mudah cara menanamnya, perawatannya pun tidak susah, juga masa panen jagung tidak begitu lama, sekitar � bulan. Padahal tanaman jagung hanya bisa tumbuh di saat musim penghujan. Artinya, di musim kemarau, tanah pertanian diterlantarkan begitu saja.

Namun ada persoalan lain selain hal di atas. Penduduk di sana yang rata-rata miskin, harus berhadapan dengan para tengkulak. Beginilah Sri mengungkapkan cara kerja para tengkulak, “Kita hutang bibit, hutang urea, hutang pestisida, dan lain-lain pada tengkulak. Kalau harga pasaran satu karung urea 50 ribu rupiah, di tengkulak bisa sampai ��0 ribu rupiah. Tinggal berapa karung yang kita butuhkan selama masa tanam jagung, tengkulak akan menyediakan semua. Nanti saat panen, hasil panen dipotong hutang, sisanya dibeli dengan harga suka-suka oleh tengkulak.”

Di satu sisi, tengkulak merugikan, tapi di sisi lain, dibutuhkan warga untuk tetap bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Untuk mengakses bank juga tidak mungkin dilakukan petani, bahkan sebagian besar mereka takut berhubungan dengan bank.

Mereka tidak mempunyai pilihan lain selain datang ke tengkulak.

Sri tergolong orang yang senantiasa berpikir dan mau melakukan uji coba. Ia pernah menanam mentimun, tetapi sayang, saat hampir panen, mentimunnya ludes dicuri. Ia juga pernah mencoba menanam tembakau. Pernah sekali ia merasakan keuntungan menanam tembakau. Tapi saat gagal panen karena cuaca, Sri pun menderita kerugian yang cukup besar.

Akhirnya, di saat tanaman jagung sudah usai dipanen, Sri memilih untuk menanami lagi tanamannya dengan kacang hijau. Nalarnya sederhana saja, ia mengungkapkan pilihannya itu,

“Memang bibitnya lebih mahal dari jagung. Tapi jagung butuh waktu tiga bulan lebih untuk panen, kacang hijau dua bulan bisa di panen. Awalnya, saya diejek banyak orang. Mereka bilang, kacang hijau tidak akan tumbuh di sini. Tapi saya tidak peduli dengan omongan mereka. Saya jalan terus.”

Saat panen kacang hijau, Sri tertawa senang. Hasil panen kacang hijaunya melimpah dan harga pasar kacang hijau sedang bagus. Warga Penadaran mulai melirik menanam kacang hijau seperti yang Sri lakukan. ”Ada satu dua orang yang ikut menanam kacang hijau setelah itu, tapi tidak banyak,” ucap Sri.

Selain bertani, Sri juga memelihara kambing. Kandang kambing yang terletak di belakang rumahnya yang sederhana karena rumah lamanya dia jual, terdapat empat ekor kambing jenis PE yang tampak gemuk dan terawat. Kambing-kambing ini pinjaman

Page 23: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

2�

dari sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di kampungnya. Model program itu adalah penggemukan kambing. Nanti kalau kambing dijual, 70% hasilnya untuk yang memelihara, �0% untuk lembaga nirlaba tersebut dan untuk kelompok tani dimana Sri menjadi salah satu anggotanya.

Selain itu, Sri dan para petani di kampung tersebut juga mulai mengganti sebagian pupuk pabrikan dengan pupuk organik dari kotoran ayam yang disebut sebagai belek. Rupanya eksperimen tersebut cukup

manjur. Selain menekan ongkos produksi, hasil pertanian dengan menggunakan belek pun lebih bagus lagi. Dalam satu hektar tanah, jika hanya menggunakan pupuk pabrikan menghasilkan jagung sebanyak �,5 sampai 4,5 ton. Maka setelah sebagian pupuk pabrikan diganti dengan belek, bisa mencapai 6 sampa 6,5 ton.

Bergabungnya para petani ke dalam kelompok-kelompok tani juga membantu kehidupan mereka. Jika awalnya para penduduk sangat tergantung dengan para tengkulak, ketika sudah ada kelompok tani, mereka bisa meminjam modal untuk bertani ke kelompok tani tersebut. Di dalam kelompok tani, mereka juga membuat

program-program yang produktif. Misalnya saja ’lumbung hidup’. Para perempuan diberi lahan lagi oleh Perhutani dengan luas seperempat hektar. Lahan tersebut ditanami kacang, bayam, lombok, kangkung dan sayuran lain. Hasil pertanian tersebut masuk ke kas kelompok yang terdiri dari para perempuan.

Selain itu, para penduduk juga mulai sadar untuk memiliki ketahanan pangan dan sadar akan pentingnya menekan konsumsi harian. Selama kebutuhan itu masih bisa mereka

kerjakan, mereka tidak perlu membeli. “Kami juga menanam sayur-sayuran di sekitar rumah. Ternyata enak kalau punya sayuran sendiri, tidak perlu membeli. Kami juga menanam tanaman seperti kencur, jahe, kunyit, lengkuas yang bisa digunakan sebagai tanaman obat dan bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bumbu dapur. Kini tanaman-tanaman itu juga kami kembangkan menjadi unit usaha sederhana di tingkat

keluarga.” papar Sri panjang lebar tentang apa yang dilakukan bersama kelompok taninya.

Warga kampung tempat dimana Sri tinggal semakin produktif dan kreatif. Ada kegiatan merangkai bunga, yang biasanya jika hari raya Natal tiba harus mereka beli, sekarang sudah tidak lagi. Kemudian ada semacam beasiswa untuk anak petani yang diberikan dalam bentuk kambing. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk produktif.

Kini, selalu ada senyum di bibir Sri menandakan ada harapan besar di dadanya. Apalagi sekalipun tidak pulih benar, kesehatan Jayamo semakin membaik.

Pak Jayamo dan Bu Sri Jayamo memanen hasil jagung mereka. Satu kilogram jagung seharga Rp 3500,-

(Photographer: Idealita Ismanto, 2010)

Page 24: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

22

Lampiran 2. Beberapa Kisah Pengalaman di Lapangan

Kisah �

Penanganan Tanggap Darurat yang Dikelola Masyarakat

Hujan deras yang mengguyur selama dua hari berturut-turut (�4-�5 Mei 20�0) telah menyebabkan banjir

bandang di 6 masyarakat dampingan CKS untuk upaya Pengurangan Resiko Bencana (PRB): Siefaewali, Sohoya, Luahamoi, Lolomboli, Hambawa, dan Pasar Beringin.

Tim Pengurangan Resiko Bencana yang Dikelola Masyarakat (PRBDM) bersama pihak fasilitator paroki mendatangi masyarakat yang menjadi korban banjir dan melakukan penilaian secara cepat. Rapat singkat telah dilakukan untuk menentukan pembagian tugas terkait upaya tanggap darurat. Anggota masyarakat bahu-membahu mengevakuasi anak-anak, lansia, perempuan serta harta benda dan hewan ternak mereka. Warga perempuan saling membantu dan bekerjasama untuk menyediakan makanan (Siefaewali, Sohoya), sementara anak-anak dievakuasi dengan menggunakan peralatan yang tersedia (Pasar Beringin).

Pada kegiatan tanggap darurat ini, tim PRBDM CKS berupaya untuk secara konsisten menerapkan prinsip “pengelolaan masyarakat”. Sejak awal, tim telah memberitahu OM bahwa OM harus memperlakukan kegiatan ini sebagai

kegiatan mereka sendiri. OM dan warga setempat bukan hanya sekedar penerima bantuan tapi juga merupakan pihak yang mengelola dan mengkoordinasi seluruh proses tanggap darurat. Dengan dukungan dari Karina KWI, CKS menyediakan bantuan darurat seperti bahan makanan kepada korban banjir untuk kemudian disalurkan kepada Siefaewali (�75 KK), Sohoya (�0� KK) dan Luahamoi (44 KK).

Selama kegiatan tersebut, seluruh OM-PRB di ketiga masyarakat telah bekerja secara aktif dalam mengorganisir warga setempat agar mendata dengan akurat rumahtangga yang terkena dampak banjir dan juga menyiapkan paket bantuan serta menyalurkannya bersama umat paroki dan fasilitator CKS. Semua pihak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik dan bantuan darurat dapat disalurkan secara merata. Kejadian ini telah membuktikan bahwa OM-PRB dapat berfungsi dengan baik untuk melayani kebutuhan masyarakat. Pada rapat evaluasi yang diadakan setelah kegiatan tanggap darurat tersebut, warga desa dan OM memberikan umpan balik bahwa mereka sangat puas dengan pengalaman tersebut. Ini merupakan pengalaman pertama

Para anggota OM sedang mempersiapkan paket beras dan mi instan untuk disalurkan kepada warga korban banjir

Page 25: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

2�

mereka dalam menerima bentuk penyaluran bantuan yang sedemikian rupa. Sebelumnya distribusi bantuan dilakukan oleh kepala desa dan seringkali tidak merata. Namun karena pada kesempatan ini mereka mengelolanya sendiri melalui organisasi mereka sendiri maka setiap warga desa mendapatkan bantuan yang diharapkan. Selain itu, khususnya di Siefaewali bantuan yang disalurkan bersama oleh OM dan CKS hanya menjangkau 2 dusun, sedangkan terdapat � dusun lain yang juga dilanda banjir. Kedua dusun tersebut lewat inisiatif mereka sendiri telah membagikan bagian

bantuan makanan mereka kepada � dusun yang lain meskipun hanya mi instan dengan jumlah yang sedikit sebagai tanda solidaritas mereka. Sementara itu, kepala desa Siefaewali kurang begitu senang dengan keadaan dimana penyaluran bantuan darurat tersebut tidak berada dibawah koordinasinya tetapi dilakukan oleh pihak OM. Padahal kades tersebut sebenarnya ikut dilibatkan oleh OM dalam proses distribusi bantuan sebagai pemimpim setempat yang dihormati dan sebagai penasehat untuk OM (Lena/Fedy/Aktivitas).

Seorang perempuan menandatangani surat tanda terima bantuan yang disaksikan oleh seluruh anggota OM dari Luahamoi

Kisah 2

Apotik Hidup – Alternatif untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Desa Baringin yang merupakan salah satu dari �7 desa dampingan di bawah proyek DRR CKS

terletak di Kecamatan Sosor Gadong, KabupatenTapanuli Tengah. Jumlah penduduk desa tersebut mencapai sekitar 40 KK atau 250 jiwa. Desa ini berada tepat di lereng Bukit Barisan yang rawan tanah longsor.

Tidak tersedianya pusat layanan kesehatan di desa tersebut serta jauhnya pusat kesehatan dari desa membuat warga Desa Baringin sulit untuk mengakses layanan kesehatan. Karena dihadapkan pada kondisi ini, penduduk setempat yang terhimpun dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) memandang perlunya untuk membuat

suatu kebun apotik hidup. Apotik hidup ini ditanami dengan berbagai jenis tanaman obat tradisional seperti jahe, kunyit rosela dan kencur. Pemanfaatan tanaman obat ini berdasarkan pengalaman warga setempat dan kearifan lokal serta penjelasan dari

Page 26: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

24

Kisah �

Sebagaimana yang telah mereka putuskan dalam rencana aksi masyarakat mereka, warga Desa Sawo

akan membudidayakan ikan lele dengan menggunakan kolam ikan di halaman rumah mereka sendiri. Budidaya ikan lele dianggap sebagai peluang untuk menghasilkan pendapatan tambahan sebagai bagian dari upaya pengurangan kerentanan mereka dalam konteks membangun ketahanan terhadap bencana. Coremap di bawah naungan dinas di lingkungan pemerintah daerah bekerjasama secara erat dengan Sawo untuk mendorong budidaya perikanan termasuk ikan lele. CKS memfasilitasi terjalinnya hubungan antara warga setempat dengan Coremap agar mendukung OM Sawo dalam menjalankan pembudidayaan ikan lele. Namun sayangnya, Coremap meminta dana yang cukup besar untuk pembayaran

bibit lele yang tentunya tidak terjangkau oleh OM yang baru didirikan tersebut. CKS telah membantu OM Sawo untuk mencari organisasi perikanan yang lain dan kemudian berhasil menemukan Balai Benih Ikan (BBI) yang dapat menyediakan bibit lele sebanyak yang diperlukan dengan harga yang terjangkau. CKS juga mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung OM Sawo dalam membudidayakan ikan lele. CKS hanya menyediakan dana untuk pembelian bibit lele sementara kolam dan perlengkapan lain merupakan tanggungjawab masyarakat Sawo sebagaimana yang telah disepakati dalam aturan main pemberian dana CKS.

Saat ini, OM Sawo mengorganisir anggota masyarakat setempat untuk membudiyakan ikan lele. Sekitar 20.000 bibit lele telah didistribusikan kepada 40 KK. Selain penyediaan bibit lele, BBI juga melatih warga Desa Sawo untuk membudidayakan ikan lele sehingga dimasa mendatang mereka dapat menyediakan sendiri bibit lele tersebut. BBI juga mempunyai komitmen untuk memantau kemajuan dari usaha perikanan Sawo. Ikan lele hanya memerlukan waktu � bulan hingga masa panen, dan diperkirakan akan berlangsung pada bulan Agustus 20�0. (Alex/Fedi)

Pembudidayaan Ikan Lele di Sawo

fasilitator paroki dan fasilitator CKS tentang fungsi dari setiap tanaman.

Apotik hidup ini diharapkan dapat menjadi alternatif pelayanan kesehatan masyarakat di Desa Baringin. 5 KSM yang berada di bawah koordinasi Organisasi Masyarakat untuk Pengurangan Resiko Bencana (OM-PRB) Saroha diharapkan menjadi motor penggerak bagi desa agar dapat mengelola apotik hidup dan memaksimalkan pemanfaatan tanaman obat bagi kesehatan masyarakat Desa Baringin (Natalis).

Page 27: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

25

Kisah 4

Anak-anak belajar dan mengajar di Pasar Beringin

Ketika Orudua Zato kehilangan arah dan anggota organisasi tersebut mengalami stagnasi, anak-anak telah

menunjukkan semangat yang luarbiasa. Dimulai dari gagasan untuk membangun suatu perpustakaan mini, suatu kelompok belajar untuk anak-anak di Pasar Beringin telah dibentuk. Gagasan ini telah mendapat dukungan dari salah satu anggota gugus tugas Orudua Zato, Ama Faris, yang menyediakan rumahnya sebagai tempat belajar anak-anak.

Malam ini – Selasa, � Juni 20�0 – merupakan hari belajar yang keenam. Jika pada hari-hari sebelumnya anak-anak belajar dalam kelompok besar, maka sesuai dengan kesepakatan rapat yang diadakan pada sore harinya, anak-anak kini dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar murid sekolah dasar kelas empat, lima dan enam dapat mengajari adik-adik kelasnya dari usia TK hingga kelas � SD. Satu orang mengajarkan � hingga 4 adik kelas. Mereka mempelajari matematika, membaca dan bercerita. Seorang fasilitator mendampingi anak-anak ini untuk setiap sesi belajar.

Ruang belajar anak-anak berukuran kecil dan sempit. Meskipun mereka harus duduk berdesakan, anak-anak tetap antusias dan bersemangat. Kakak kelas terlihat mengajari adik-adik kelas mereka dengan bersungguh-sungguh. Dari raut wajah anak-anak tersebut tampak berbagai bentuk ekspresi. Ada yang serius, bingung, tertawa dan bahkan ada yang bermain. Sejumlah besar dari anak-

anak tersebut belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Masa belajar hanya � jam pada sore itu karena banyak dari anak-anak tersebut terlihat lelah dan mengantuk.

Setelah selesai belajar, kakak kelas berkumpul untuk menyampaikan kesan-kesan mereka dan memperbaiki teknik mengajar mereka. Dengan kata lain, mereka diajak untuk melakukan refleksi pengalaman mereka dengan menggunakan panduan pertanyaan. Secara umum, kakak kelas bangga dengan apa yang mereka lakukan karena banyak adik kelas mereka bersikap serius, tenang dan bersemangat untuk belajar. Namun ada dua kakak kelas yang tidak merasa demikian. Mereka kurang puas karena beberapa adik kelas tidak serius dan hanya bermain. Kedua kakak kelas ini mencoba untuk merenungi kembali tentang pengalaman mereka. Mereka akhirnya menyadari sulitnya mengajarkan materi

yang ditujukan kepada anak usia pra-sekolah. Menurut kakak kelas tersebut, adik kelas mereka lebih bersemangat ketika mengikuti sesi bercerita dan berhitung.

Hasil dari kegiatan refleksi adalah adanya perbaikan dalam teknik mengajar. Dalam hal cara bercerita, kakak kelas akan lebih efektif jika menggunakan gambar dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada adik kelas agar mereka lebih aktif dalam sesi tersebut.

Page 28: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

26

Dalam sesi berhitung, tidak perlu memberi pelajaran yang sulit terutama bagi murid yang masih pra-sekolah. Cukup dengan memberi pengenalan angka. Untuk pelajaran matematika, penting untuk menyampaikan materi sederhana dengan menggunakan alat bantu seperti kalender dan batang peraga. Setelah kegiatan refleksi, kakak kelas terlihat bersemangat untuk menerapkan pembelajaran yang telah mereka dapatkan. Hal ini jelas ternampak dari semangat mereka untuk mempraktekkannya.

Diharapkan bahwa kelompok belajar yang dibentuk dari aspirasi anak-anak ini dapat memperoleh dukungan penuh dan perhatian dari masyarakat Pasar Beringin terutama para anggota organisasi masyarakat Orudua Zato. Orudua Zato paling tidak mempunyai secercah harapan karena adanya semangat anak-anak yang dapat mengobarkan semangat orang dewasa yang terhimpun dalam Orudua Zato. (Royn)

Kakak kelas mengajari adik kelasnya membaca

Page 29: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

27

Kisah 5

Jembatan Sederhana, Hasil dari Kegiatan Swadaya Masyarakat

Sebelum memiliki Organisasi Masyarakat untuk Pengurangan Resiko Bencana (OM-PRB), Lolomboli

merupakan desa sederhana yang berada di Pulau Nias seperti desa lainnya. Pada umumnya, kondisi masyarakatnya miskin, kurang rasa solidaritas dan jarang ada kerjasama antar warga untuk melakukan sesuatu di masyarakat. Namun, setelah dibentuknya OM-PRB Soroi Badodo (yang berasal dari lubuk hati) serta nilai-nilai swadaya dan pengorganisasian masyarakat diperkenalkan oleh proses PRBDM, masyarakat setempat mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah dan kebutuhan mendasar mereka yaitu dengan membangun jembatan sederhana yang dibuat dari batang pohon kelapa.

Masyarakat Lolomboli tinggal berdekatan dengan Sungai Sinuwu dan merupakan daerah yang rawan banjir. Satu-satunya akses ke desa tersebut adalah dengan menyeberangi sungai namun karena tidak tersedianya jembatan maka warga setempat terpaksa menyeberang dengan berjalan menyusuri sungai tersebut. Pada bulan April 20�0, OM telah memobilisasi dan mengorganisir warga Lolomboli untuk menyelesaikan masalah ini seperti yang telah mereka jabarkan dalam rencana aksi masyarakat mereka. OM telah mendorong diselenggarakannya kegiatan gotong royong dan memperkirakan bahan yang diperlukan untuk membangun jembatan. Mereka juga menghitung biaya yang dibutuhkan dan berapa banyak yang harus mereka sumbangkan dari sumberdaya mereka sendiri. Mereka bersedia menyumbangkan tenaga, batang pohon kelapa dan peralatan. Proyek membangun jembatan kemudian dimulai. Dalam proses pembangunan

jembatan tersebut, mereka kemudian menyadari bahwa mereka memerlukan alat katrol untuk mengangkat batang pohon kelapa yang berat tersebut karena tenaga manusia ternyata tidak mampu melakukannya. CKS ikut terlibat dengan memberi dukungan melalui bantuan dana untuk membeli alat katrol tersebut.

Jembatan hampir selesai namun sayangnya pada pertengahan bulan Mei 20�0, banjir yang menerpa daerah tersebut menghancurkan jembatan tersebut. Peristiwa ini telah mengecewakan warga Lolomboli. Banjir telah menghanyutkan hasil jerih payah mereka. Kami sebagai fasilitator juga turut merasa kecewa. Melalui Karina KWI yang banyak mendukung Caritas Sibolga dalam kegiatan tanggap daruratnya, warga Lolomboli mengusulkan agar mereka tidak diberi bantuan makanan namun lebih memilih tersedianya dana untuk mendukung pembangunan jembatan. Jembatan tersebut membutuhkan dinding penyangga beton agar tetap kukuh menahan terpaan banjir. Karina KWI akhirnya menyetujui usulan ini karena jembatan juga dapat berfungsi sebagai pembuka akses untuk evakuasi ketika banjir melanda.

Masyarakat Lolomboli merintis kembali proyek pembangunan jembatan tersebut. Warga mengumpulkan kembali sejumlah batang pohon kelapa yang hanyut terbawa banjir dan mencoba untuk memanfaatkannya kembali. OM Lolomboli dan warga setempat masih dalam tahap membangun jembatan mereka yang lebih kuat dari sebelumnya. Mudah-mudahan semangat dan solidaritas di kalangan mereka juga tumbuh semakin kuat… (Aperius/Elvina)

Page 30: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

2�

Page 31: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

Respon terhadap bencana Tsunami merupakan suatu hal paling berarti yang pernah dilakukan oleh Trócaire. Saat bencana Tsunami melanda pada tahun 2004, Trócaire belum memiliki kantor dan staff sama sekali di Indonesia, hanya beberapa bentuk kecil kerjasama untuk

advokasi. Setelah lima tahun berlalu, kami telah membangun layaknya sebuah keluarga yang beranggotakan 40 rekan kerja yang berasal dari Aceh sampai Bali. Ribuan penduduk Aceh telah mendapatkan kembali kehidupan dan rumah mereka, juga bantuan untuk menyembuhkan luka batin akibat Tsunami. Kelompok di Aceh dan di daerah lain di Indonesia saat ini menjadi lebih peduli mengenai resiko bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan mengetahui apa yang perlu mereka lakukan sebagai persiapan dalam menghadapi bencana. Penduduk di Irlandia tergerak dan terinspirasi oleh kekuatan penduduk Indonesia yang telah mampu membangun kembali hidup mereka setelah bencana yang sangat dahsyat itu. Trócaire bangga dengan komitmen, energi, dan ketekunan yang diberikan oleh rekan kerja kami untuk mendampingi kelompok dan individu dalam persiapan dan respon menghadapi bencana.

Trócaire sebagai sebuah organisasi telah mendapatkan suatu pelajaran berharga dari hasil kerja kami di Indonesia. Kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia, Gereja Katolik Indonesia, semua rekan kerja, dan yang terpenting adalah kelompok lokal atas kesediaan mereka memperbolehkan Trócaire berperan serta dalam proses penyembuhan, pembangunan kembali, dan penguatan yang telah berlangsung sejak Tsunami.

Ucapan Terima Kasih

Trócaire memiliki staff yang terdiri dari pekerja Indonesia dan pekerja asing sebagai satu tim dengan penuh semangat. Biasanya kami mempunyai satu tim yang beranggotakan 4-6 orang yang bekerja dalam satu negara dalam satu waktu. Kami sangat menghargai keterlibatan orang-orang di bawah ini selama beberapa tahun terakhir :

Managers: Kathryn Robertson, Noel Molony, Suzanne Keatinge (Ireland), Mary Healy (Ireland)

Programme Officers: Terry Russell, Widya Setiabudi, Naomi Baird, Nur Vivinia

Programme Assistant: Mia Mochtar

Regional Humanitarian Officer: Georgina Jordan

Finance and Administration: Eva Sitorus, Benny Asmara

Communications: Orla Fagan, Bengawanty Tambunan

Interns: Kim Wallis, Conor O’Loughlin

Humanitarian Staff in Ireland: Vicky Tindal, Sarah McCann

Staff

Page 32: Buku Trocaire Changing Lives - Cerita-Cerita Dari Indonesia

Kontak Kantor Pusat dan Kantor Regional Trócaire

Head OfficeMaynooth, Co. Kildare

Dublin Office12 Cathedral Street, Dublin ITel: +353 1 8743875

Cork Office9 Cook Street, CorkTel: +353 21 4275622

Northern Ireland Office50 King Street, Belfast, BTI 6ADTel: +44 28 90808030

Trocaire – Asia Regional Office3rd Floor Building BIPhnom Penh CentreSothearos BlvdCambodiaTel: +855 23 213 020Fax: +855 23 213 421