cc2846 (translated - hasil terjemahan punya sist ayu)

8
Pemicu transfusi: kapan untuk melakukan transfusi darah? John C Marshall Profesor Ilmu Kedokteran Bedah, Universitas Toronto, Toronto, Ontario, Kanada Korespondensi: John C Marshall, [email protected] Abstrak Keputusan untuk melakukan transfusi darah pada pasien yang dirawat harus mempertimbangkan antara resiko transfusi dengan kebutuhan untuk memberikan oksigenasi jaringan yang cukup dan pemanfaatan darah yang tepat sebagai sumber yang tidak mudah didapatkan. Tingkat hemoglobin minimum yang dapat ditoleransi belumlah memiliki standar yang baku, dan pendapat tentang praktek transfusi darah masih beragam. Pemicu transfusi konvensional darah 100 g/l pun masih diperdebatkan karena menurut penelitian yang lain bahwa metabolisme aerobik dapat didukung oleh tingkat hemoglobin 50 g/l atau bahkan kurang dari tingkat tersebut. Bukti dari beberapa percobaan acak pun mengindikasikan bahwa penangguhan untuk melakukan transfusi akan memberikan dampak positif. Namun, pemicu hemoglobin numerik arbiter tidak bisa menggantikan tindakan intervensi yang didasarkan pada kebutuhan fisiologis individu dan kondisi/ situasi klinis. Kata kunci: transfusi darah, tingkat hemoglobin, oksigenasi jaringan

Upload: priscila-tarigan

Post on 10-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

swdwdd

TRANSCRIPT

Page 1: Cc2846 (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Ayu)

Pemicu transfusi: kapan untuk melakukan transfusi darah?

John C Marshall

Profesor Ilmu Kedokteran Bedah, Universitas Toronto, Toronto, Ontario, Kanada

Korespondensi: John C Marshall, [email protected]

Abstrak

Keputusan untuk melakukan transfusi darah pada pasien yang dirawat harus

mempertimbangkan antara resiko transfusi dengan kebutuhan untuk memberikan oksigenasi

jaringan yang cukup dan pemanfaatan darah yang tepat sebagai sumber yang tidak mudah

didapatkan. Tingkat hemoglobin minimum yang dapat ditoleransi belumlah memiliki standar

yang baku, dan pendapat tentang praktek transfusi darah masih beragam. Pemicu transfusi

konvensional darah 100 g/l pun masih diperdebatkan karena menurut penelitian yang lain

bahwa metabolisme aerobik dapat didukung oleh tingkat hemoglobin 50 g/l atau bahkan

kurang dari tingkat tersebut. Bukti dari beberapa percobaan acak pun mengindikasikan bahwa

penangguhan untuk melakukan transfusi akan memberikan dampak positif. Namun, pemicu

hemoglobin numerik arbiter tidak bisa menggantikan tindakan intervensi yang didasarkan

pada kebutuhan fisiologis individu dan kondisi/ situasi klinis.

Kata kunci: transfusi darah, tingkat hemoglobin, oksigenasi jaringan

Tingkat hemoglobin yang normal pada individu yang sehat adalah lebih tinggi dari

130 g/l. Pada pasien rawat jalan, yang dimana mereka memiliki tingkat hemoglobin yang

berada dibawah 130 g/l dapat dikatakan sebagai pasien yang mengalami anemia dan hal ini

membutuhkan pemeriksaan untuk mengetahui penyebabnya, yang diantaranya termasuk

sumber dari penyebab hilangnya/ berkurangnya darah. Namun, tingkat hemoglobin pada

hampir dari keseluruhan pasien yang dirawat, dan khususnya pada pasien yang dirawat di unit

penanganan intensif (ICU) adalah biasanya berada dibawah rentang tingkat normal ini.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi ini, diantaranya termasuk kehilangan

darah akut, dilusi yang diakibatkan oleh retensi cairan dan hematopoiesis yang rendah. Pada

tingkat anemia tertentu, dokter ahli bedah biasanya akan mempertimbangkan bahwa kapasitas

pentransportasian/ pasokan oksigen yang berkurang akan sangat berpengaruh pada kesehatan

pasien, dan hal inilah yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan tindakan tranfsusi.

Tingkat yang harus memicu/ mendasari keputusan ini sampai sekarang pun belum diketahui

dan belum melahirkan konsensus yang baku.

Page 2: Cc2846 (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Ayu)

Alasan yang mendasari untuk melakukan transfusi darah berakar pada fisiologi

pasokan oksigen. Pasokan oksigen terhadap jaringan tubuh (DO2) tergantung pada

konsentrasi hemoglobin (Hb), saturasi persentase hemoglobin (SaO2), dan output/ output

kardiak (CO):

DO2 = Hb x %SaO2 x CO

Penurunan pada tingkat pasokan oksigen yang berada dibawah tingkat kritis akan

mengurangi kebutuhan oksigen untuk metabolisme oksidatif dan hal ini akan menyebabkan

perubahan pada metabolisme anaerobik. Karena kebutuhan akan oksigen akan meningkat

selama terjadi tekanan akut/ kondisi darurat, maka adalah hal yang bersifat intuitif untuk

menjaga pasokan oksigen yang cukup yang secara tidak langsung akan memberikan efek

klinis yang positif. Memang, konsep yang menyatakan bahwa pasokan oksigen yang baik

(diatas normal) adalah kondisi yang diinginkan akan membuat dokter untuk mencapai kondisi

ini pada pasien sehingga para pasien dengan kondisi kritis dapat mendapatkan tingkat

fisiologis yang baik. Namun, manfaat dari pendekatan ini belumlah didukung oleh

percobaan-percobaan acak terkendali.

Menurut teori, intervensi untuk meningkatkan tingkat hemoglobin, saturasi oksigen,

dan/ atau output kardiak akan dapat meningkatkan pasokan oksigen. Namun, hemoglobin

secara normal akan secara penuh tersaturasi dengan oksigen, dan meningkatkan output

kardiak pada kondisi tekanan pengisian yang cukup yang membutuhkan penggunaan agen

inotropik. Dengan demikian, meningkatkan tingkat hemoglobin dapat menjadi strategi yang

potensial untuk meningkatkan pasokan oksigen. Namun, beberapa penelitian klinis

menunjukkan adanya kekeliruan dalam pendekatan ini; hemodilusi isovolemik dapat

menimbulkan peningkatan refleks pada output kardiak, dan akibatnya penyerapan oksigen

pada tingkat jaringan akan tetap konstan.

Manfaat dari transfusi harus lah dibandingkan dengan resiko yang bisa muncul.

Transfusi merupakan hal yang penting di dalam transplantasi sel-sel alogenik, dan resiko-

reskikonya – walaupun tidak terlalu tinggi – tidak lah boleh diabaikan. Transfusi dapat

beresiko akan penularan virus seperti contohnya HIV dan hepatitis, walaupun dengan

penggunaan metode skrining yang baik dapat menurunkan resiko ini. Potensi atau resiko

untuk penularan virus-virus yang tidak teridentifikasi belumlah diketahui. Transfusi juga

Page 3: Cc2846 (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Ayu)

diketahui dapat menurunkan tingkat imunitas, dan transfusi merupakan suatu faktor resiko

independen terhadap terjadinya infeksi nosokomial atau kekambuhan malignansi/ kanker. Hal

yang paling penting untuk diketahui, darah adalah suatu sumber yang tidak tersedia banyak

yang harus dipergunakan dengan tepat dan semestinya.

Tabel 1: Dampak dari transfusi: percobaan TRICC

Strategi

Parameter/ hasil Restriktif (n = 418) Bebas (n = 420) P

Tingkat hemoglobin rata-rata (g/l) 85 ± 7 107 ± 7 <0,01

Unit yang ditransfusi 2,6 ± 4,1 5,6 ± 5,3 <0,01

Skor MOD 10,7 ± 7,5 11,8 ± 7,7 0,03

Tingkat mortalitas ketika dirawat 22,2 28,1 0,05

MOD (multi disfungsi organ). Data dari percobaan Kebutuhan Transfusi di Penanganan Kritis (TRICC)

Jika tindakan transfusi bagi pasien dengan tingkat yang diatas normal secara intrinsik

tidaklah membantu, maka berapa tingkat hemoglobin minimum yang dapat ditoleransi oleh

individu yang sehat? Dan jawabannya tidaklah diketahui, namun penelitian yang dilakukan

pada manusia telah menunjukkan bahwa hemodilusi isovolemik terhadap tingkat hemoglobin

50 g/l atau kurang tidaklah menghasilkan bukti biokimia metabolisme anaerobik. Sebuah

laporan penelitian menunjukkan bahwa para pasien penganut Saksi Yehovah (mereka yang

mengharamkan transfusi darah) yang telah mengalami pendarahan hebat ternyata mereka

mampu mentoleransi tingkat kekurangan hemoglobin dibawah tingkat toleransi yang

dianggap berbahaya oleh para dokter. Sampai saat ini, para dokter menerima maksim/ kaidah

bahwa pasien harus diberikan transfusi sehingga tingkat hemoglobin mereka lebih dari 100

g/l, dan transfusi tersebut harus diberikan 2 unit dalam satu periode waktu. Alasan

rekomendasi ini lebih menganut pada pada tradisi bukanlah keilmiahan.

Sebuah penelitian pun dilakukan di Kanada untuk mengetahui pola transfusi darah

pada penyakit-penyakit kritis dan untuk mengetahui strategi tranfusi yang optimal pada

pasien yang mengidap penyakit-penyakit kritis. Dengan menggunakan kuesioner berbasis-

skenario, diketahui bahwa pemicu transfusi sangatlah bervariasi dan secara signifikan

dipengaruhi oleh faktor geografis praktek dokter. Secara umum, para dokter akan memilih

pemicu transfusi tertinggi bagi para pasien dengan penyakit jantung atau mereka yang

Page 4: Cc2846 (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Ayu)

memiliki sepsis, yang dimana mereka memiliki ketergantungan suplai darah. Variabilitas

substansial ini terdokumentasikan di dalam sebuah survey retrospektif tentang praktek-

praktek transfusi di empat unit penanganan intensif (ICU) di Kanada. Dan lagi, faktor-faktor

dokter sangat mempengaruhi proporsi akan keberagaman ini.

Percobaan Kebutuhan Transfusi pada Penanganan Kritis (TRICC), merupakan satu

percobaan terkendali acak yang bersifat multi-senter dilakukan antara tahun 1994 sampai

1997. Sejumlah 838 pasien dari 25 pusat perawatan pun secara acak dipilih dan dimasukan

kedalam strategi transfusi bebas (menjaga tingkat hemoglobin untuk tetap > 100 g/l) atau satu

strategi transfusi restriktif (menjaga tingkat hemoglobin untuk tetap > 70 g/l). Para pasien

yang memenuhi syarat adalah mereka yang memiliki tingkat hemoglobin ≤ 90 g/l selama 72

jam perawatan di ICU. Para pasien yang terlibat di dalam dua kelompok penelitian memiliki

fitur demografis awal yang komparabel, dan kesesuaian dengan protokol yang ditentukan

adalah bagus. Para pasien yang berada pada kelompok restriktif mendapatkan setengah

volume dari darah yang ditransfusikan pada pasien di kelompok bebas. Cukup mengejutkan,

ketika data dianalisis, para pasien di kelompok restriktif menunjukan adanya kecenderungan

pemulihan dan keselamatan. Perkembangan disfunsi organ yang baru di ICU pada para

pasien yang berada pada kelompok restriktif adalah lebih kecil (Tabel 1). Terdapat

kecenderungan penurunan tingkat mortalitas 30-hari pada para pasien yang mendapatkan

strategi transfusi restriktif. Perbedaan dalam hal tingkat mortalitas yang signifikan selama

perawatan di rumah sakit, tingkat komplikasi kardiak/ jantung, dan tingkat disfungsi organ,

semuanya menunjukan nilai positif dari strategi restriktif. Suatu peninjauan ulang akan akibat

negatif pada kedua kelompok menunjukan bahwa morbiditas mayor pada kelompok bebas

adalah konsekuensi lanjutan dari penyakit yang diidap yang diakibatkan oleh transfusi –

sindrom gawat pernafasan, gagal jantung kongestif, dan terlalu banyaknya volume darah.

Peninjauan berikutnya pada para pasien pengidap penyakit jantung menunjukkan bahwa;

bahkan pada populasi beresiko tinggi, kebijakan transfusi restriktif pun menghasilkan

pemulihan atau dampak klinis yang positif/ baik, walaupun memang perbedaan tersebut

tidaklah signifikan secara statistik.

Konsekuensi negatif dari transfusi darah muncul dari berbagai sebab dan sumber.

Teknik-teknik skrining yang lebih baik pada donor untuk mengetahui organisme-organisme

penginfeksi dapat menurunkan tingkat resiko infeksi. Walaupuan data yang solid tidaklah

tersedia, namun sepertinya leukodeplesi telah mengurangi frekuensi dampak simtomatik yang

Page 5: Cc2846 (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Ayu)

berkaitan dengan transfusi. Marik dan Sibbald menunjukan bahwa transfusi darah yang sudah

disimpan lama (> 12 hari) memiliki hubungan dengan tingkat pasokan oksigen yang buruk

karena sel darah merah yang telah disimpan lama akan kehilangan defromabilitas nya dan

dengan demikian kemampuannya untuk melalui mikrovaskulatur pun berkurang dan tidak

mampu untuk memasok oksigen yang cukup.

Bukti terbaru menyarankan bahwa transfusi dapat dilakukan dengan aman selama

tingkat hemoglobinnya berada pada tingkat 70 g/l dan pasiennya tidak mengalami

pendarahan aktif. Kebijakan ini muncul bukan hanya demi keamanan namun juga mungkin

lebih baik dari pada strategi transfusi liberal, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung.

Dalam hal apakah pemicu transfusi yang lebih rendah lagi lebih baik atau tidak adalah hal

yang belum diketahui. Namun demikian, keputusan untuk melakukan transfusi harus

didasarkan pada harapan akan manfaat fisiologis pasien bukan pada acuan pemicu transfusi

numerik arbiter.