catat dan harga diri

9
BAB II TINJAUAN TEORI A. Harga Diri Harga diri termasuk salah satu dari lima komponen konsep diri, yaitu gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ideal diri (Stuart and Sundeen, 1998). 1. Harga diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991). Frekuensi mencapai tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi. Sebaliknya jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali kemampuan orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain serta menghalami ketidakmampuan pada dirinya dan juga sebaliknya (Kelliat, 1992). 2. Pencetus Stressor Pencetus stressor mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal. a. Terutama seperti penyaringan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan.

Upload: inal2008

Post on 24-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN TEORI

    A. Harga Diri

    Harga diri termasuk salah satu dari lima komponen konsep diri, yaitu

    gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ideal diri (Stuart and Sundeen,

    1998).

    1. Harga diri

    Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan

    menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen,

    1991). Frekuensi mencapai tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah

    atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi.

    Sebaliknya jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah.

    Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia

    cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali kemampuan

    orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga diri akan rendah jika

    kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain serta menghalami

    ketidakmampuan pada dirinya dan juga sebaliknya (Kelliat, 1992).

    2. Pencetus Stressor

    Pencetus stressor mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal.

    a. Terutama seperti penyaringan seksual dan psikologis atau menyaksikan

    kejadian yang mengancam kehidupan.

  • 7

    b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan

    dimana individu mengklaimnya sebagai frustrasi. Ada tiga jenis transisi

    peran: transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang

    berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap

    perkembangan dalam kehidupan individu atau kelurga dan norma-norma

    budaya, nilai-nilai dan tekanan untuk penyesuaian diri. Transisi peran

    situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga

    melalui kelahiran atau kematian. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat

    pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin

    dicetuskan oleh: kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk,

    penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan

    keperawatan (Stuart and Sundeen, 1998).

    B. Tingkat kecacatan kusta

    1. Definisi

    Kecacatan adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutu

    terhadap sesuatu hal kurang baik. Tingkat kecacatan kusta adalah keadaan

    abnormal dari fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa struktur dan

    fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta ( Depkes, 2000 ). Penyakit

    kusta adalah suatu infeksi granulomatosa menahun pada manusia, yang

    menyerang jaringan superfisial, khususnya kulit, saraf tepi (Isselbacher, dkk,

    1999). Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman

  • 8

    Micobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, kulit

    mukosa, sistem pernapasan, tulang dan testis (Harahap, 1998).

    2. Tingkat Kecacatan Kusta

    a. Batasan istilah

    Menurut Djuanda, dkk (1997) batasan istilah dalam cacat kusta adalah:

    impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang

    bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik, misalnya leproma,

    madarosis, ulkus dan asorbsi jari, disability: segala keterbatasan atau

    ketidakmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam

    batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Disability ini

    merupakan obyektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu

    termasuk ketidakmampuanya dalam aktivitas sehari-hari, misalnya

    memegang benda atau memakai baju sendiri, handicap: kemunduran

    seorang individu (akibat disability) yang membatasi atau menghalangi

    penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks dan faktor

    sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang

    berdampak sosial, ekonomi dan budaya.

    b. Jenis Cacat Kusta

    Menurut Tjokronegoro (1997), cacat yang timbul pada penyakit kusta

    dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: kelompok cacat primer

    ialah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,

    terutama kerusakan akibat respon jaringhan terhadap kuman Leprae.

  • 9

    Termasuk cacat primer ialah: cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya

    anestesia, fungsi saraf motorik misalnya claw-hand, wist drop, foot drop,

    claw toes dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi

    kering, infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan kulit berkerut

    dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau

    madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit

    keriput dan tidak elastis, cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman

    kusta dapat terjadi pada tendo, ligamen, sendi, tulang rawan, testis dan

    bola mata.

    Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer teutama akibat

    adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan

    memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang

    dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan

    motorik dapat menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan

    gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka.

    Demikian pula akibat agoftalmus dapat menyebabkan kornea kering

    sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan

    kulit kering dan elastisitas kulit berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-

    retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.

  • 10

    c. Derajat cacat kusta

    Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari

    adalah mata, tangan, dan kaki, maka derajat kusta dibagi dalam tiga

    tingkatan:

    Cacat pada tangan dan kaki: Tingkat 0: tidak ada anestesi dan kelainan

    anatomis, tingkat 1: ada anestesi, tidak ada kelainan anatomis, tingkat 2:

    terdapat ke;lainan anatomis. Cacat pada mata: tingkat 0: tidak ada kelainan

    pada mata, tingkat 1: ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit

    berkurang, tingkat 2: ada legoftalmus dan visus sangat terganggu.

    (Depkes, 1997).

    3. Pencegahan Cacat pada Kusta

    Tujuan pencegahan cacat pada kusta:

    a. Mencegah timbulnya cacat (disability atau deformitas) pada saat diagnosis

    kusta ditegakan dan diobati. Untuk tujuan ini diagnosis dini dan terapi

    yang rasional perlu ditegakan dengan cepat dan tepat.

    b. Mencegah agar cacat yang telah terjadi menjadi lebih berat.

    c. Mencegah agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi

    Pencegahan terjadinya transisi dari disability dari handicap dapat

    dilakukan antara lain penyuluhan, adaptasi sosial dan latihan.

    Pencegahan cacat, kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis dari pada

    penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik

    oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan

  • 11

    keluarganya. Disamping ini perlu mengubah pandangan yang salah dari

    masyarakat antara lain bahwa kusta identik dengan deformitas atau

    disability (Tjokronegoro, 1997).

    Upaya pencegahan cacat terdiri atas: upaya pencegahan cacat primer yang

    meliputi: diagnoisi dini, pengobatan secara teratur dan diagnosis dini serta

    penatalaksanaan reaksi. Upaya pencegahan cacat sekunder antara lain:

    perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, latihan fisioterapi pada otot

    yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjainya kontraktur. Bedah

    rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak

    mendapat tekanan yang berlebihan. Perawatan mata, tangan dan kaki yang

    anestesi atau mengalami kelumpuhan.

    C. Tingkat Kecacatan dengan Permasalahan yang ditimbulkan

    Santoso (2004) dalam penelitiannya melaporkan bahwa seseorang yang

    mengalami kecacatan pada salah satu anggota tubuh, biasanya seseorang malu

    berinteraksi dengan orang lain. Salah satu ciri seseorang dengan harga diri rendah

    adalah kurang / malu berinteraksi dengan orang lain.

    Harga diri dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya usia, pekerjaan, sosial

    ekonomi, tingkat pendidikan dan lain-lain.Stressor pada setiap perubahan adalah:

    perubahan ukuran tubuh: berat badan yang turun akibat penyakit, perubahan

    bentuk tubuh: tindakan invansif, seperti operasi, injeksi, infus. Perubahan

    struktur: sama dengan perubahan bentuk tubuh disertai dengan pemasangan alat

  • 12

    dalam tubuh. Perubahan fungsi: berbagai penyakit yang dapat merubah sistem

    tubuh. Keterbatasan: gerak, makan. Makna dan obyek yang sering kontak:

    penampilan berubah, pemasangan alat bantu untuk tubuh klien.

    Seperti telah diketahui sebelumnya, pasien kusta yang mengalami kecacatan

    sampai dengan tingkat 2, maka akan bermanifestasi klinis diantaranya:

    lagoftalmus visus yang sangat mengganggu, ulkus, jari keriting (claw hand), kaki

    semper (drop foot), jari kaki keriting (claw toes), reaksi ENL (Eritema Nodul

    Lepromatosus) dan reaksi muka singa (facies leonima). Dan juga yang harus

    dilakukan tindakan invansif seperti debridement pada ulkus yang memburuk,

    amputasi yang nantinya memakai alat bantu protesa seperti kaki palsu atau kruk

    penyangga.

    Maka pada keadaan tersebut dapat menjadi stressor pada setiap perubahan

    yang merubah harga diri pada pasien kusta. Perubahan tersebut haruslah

    diintervensi oleh para klinis termasuk perawat, agar tidak menjadi masalah

    kejiwaan bagi pasien kusta di kemudian hari.

    Prinsip tindakan yang diberikan adalah pemecahan masalah yang terlihat dari

    kemajuan klien meningkat dari satu tingkat ke tingkat berikutnya (Kelliat,1992).

    Adapun tindakan tersebut dibagi 5 tingkat:

    1. Memperluas keadaan diri (expanded self-awareness) prinsipnya:

    meningkatkan keterbukaan hubungan saling percaya, bekerja dengan klien

    pada tingkat kemampuan yang dimiliki klien, maksimalkan peran serta klien

    dalam hubungan terapeutik.

  • 13

    2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-exploration) prinsipnya: membanmtu

    klien unutk menerima perasaan dan pikiran nyata, menolong klien untuk

    mbaran dirinya dan hubungan dengan orang lain melalui

    ya, memberi respon empati, bukan simpati dan tekankan

    3

    4

    5

    D. K

    K

    menjelasakan ga

    keterbelakangannbahwa kalimat untuk berubah ada pada klien sendiri.

    . Mengevaluasi diri (self-evaluation) prinsipnya: membantu klien untuk

    menetapkan masalahnya secara jelas, teliti koping klien yang adaptif.

    . Perencanaan yang realistis (Realistic planning) prinsipnya: bantu kien

    mengidentifikasi alternatif pemecahannya, bantu klien mengkonseptualisasi

    tujuan yang jelas.

    . Tanggung jawab bertindak (commitment to action) prinsipnya: bantu klien

    melakukan tindakan yang perlu untuk merubah respon maladaptif dan

    mempertahankan yang adaptif.

    erangka Teori

    erangka Teori

    +++++ Harga diri

    Stressor: 1. Ukuran 2. Bentuk 3. Struktur 4. Fungsi 5. Keterbatasan 6. Obyek penampilan

    Penyakit kusta

    Tingkat kecacatan: 1. Impairment 2. Disability 3. Handicap

    Bagan 1: Kerangka teori

    (Djuanda, dkk, 1997 dan Stuart and Sundeen, 1995).

  • 14

    E. Kerangka Konsep

    Harga diri pasien kusta

    Tingkat kecacatan pasien kusta

    Usia Pekerjaan

    Gambar 2: Kerangka Konsep

    : Variabel yang diteliti

    : Variabel yang tidak diteliti

    F. Variabel Penelitian

    Variabel terbagi menjadi dua yaitu:

    1. Variabel independent (bebas)

    Variabel independenya adalah tingkat kecacatan kusta.

    2. Variabel dependent (terikat)

    Variabel dependenya adalah harga diri pasien kusta.

    G. Hipotesa

    Rumusan hipotesa pada penelitian ini adalah:

    Ada hubungan antara tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta.

    Harga DiriTingkat kecacatan kustaTingkat Kecacatan dengan Permasalahan yang ditimbulkanKerangka Teori(Djuanda, dkk, 1997 dan Stuart and Sundeen, 1995).F. Variabel Penelitian