casechflilnggau
DESCRIPTION
chfTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologik dimana jantung
sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolism
jaringan. Artinya, jantung tidak memompa darah sebagaimana mestinya. Ketika
ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem peredaran darah dan mulai
membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan
memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.1
Pada gagal jantung terjadi ketidakmampuan jantung untuk bekerja sebagai
pompa.respon tubuh berupa respon adaptif sekunder tetap mempertahankan fungsi
sirkulasi jangka pendek, tetapi lama kelamaan akan menjadi maladaptive dan
terjadi gagal jantung kronis. Respon adaptasi pada gagal jantung ini terjadi pada
sirkulasi perifer, ginjal ataupun otot jantung. Perubahan ini menyebabkan
timbulnya sindrom klinis gagal jantung.2
Sekitar 3 – 20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan
prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia
di atas 65 tahun). Prevalensi faktor etiologi tergantung dari populasi yang diteliti,
penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada
masyarakat barat (>90% kasus), sementara penyakit katup jantung dan defisiensi
nutrisi mungkin lebih penting di Negara berkembang. Pada pasien hipertensi
resiko terjadinya gagal jantung dan stroke meningkat tiga kali. Pada pasien
hipertensi dapat terjadi perubahan-perubahan struktrur dan fungsi jantung yaitu
hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik, disfungsi diastolic dan gagal jantung.3
Data kohort dari studi Framingham mengidentifikasi riwayat penyakit hipertensi
pada >75% pasien degan gagal jantung.3
Gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi dikenal pula sebagai
penyakit jantung hipertensi (Hypertension Heart Disease). Penyakit jantung
hipertensi ditandai dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung sebagai akibat
langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh perifer dan beban akhir
ventrikel kiri. Faktor yang mempengaruhi proses terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan tekanan diastolik.2
1
Pada akhir abad 20, penyakit jantung dan pembuluh darah menjadi
penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang. Berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, kematian akibat penyakit
jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%. Sedangkan data
kematian di rumah sakit akibat penyakit jantung hipertensi pada tahun 2005
adalah sebesar 16,7%.1
Dengan masih banyaknya prevalensi gagal jantung kongestif, maka perlu
diberikan perhatian khusus baik secara farmakologi maupun non farmakologi
(gizi) dan para klinisi khususnya dokter umum sehingga harus dapat mendiagnosis
dan melakukan tatalaksana awal masalah ini pada lini pertama (primer).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Zainal
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Lubuk Linggau
MedRec : 0111642
Ruang : Anggrek Kamar 3.9
Tanggal MRS : 18 September 2015
Tanggal Pemeriksaan : 19 September 2015
II. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS): 19 September 2015
Keluhan Utama
Sesak nafas semakin berat sejak 1 hari SMRS
Keluhan Tambahan
Batuk-batuk sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit.
Sejak ±3 bulan SMRS, OS mengeluh sesak nafas, sesak tidak dipengaruhi
cuaca dan emosi. Sesak dirasakan semakin bertambah saat posisi berbaring dan
berkurang bila dalam posisi duduk. OS nyaman tidur dengan 2 bantal. Sesak juga
muncul setelah pasien beraktivitas berat (saat OS bertani). OS juga sering
terbangun saat tidur malam hari karena sesak yang muncul tiba-tiba. OS mengeluh
3
kedua kaki membengkak, hilang timbul (+). Nyeri dada (-), mual (-), muntah (-),
nyeri ulu hati (-), keringat malam hari (-), os belum berobat.
Sejak ±2 minggu SMRS, OS mengeluh batuk yang menyertai sesak dan
tidak pernah sembuh-sembuh (+), batuk berdahak berwarna putih berbusa dan
darah (-).
Sejak ± 1 hari SMRS. OS mengeluh sesak nafas yang semakin berat.
Batuk (+), berdahak berwarna putih berbusa dan darah (-). OS nyaman tidur
dengan 3 bantal. Sesak juga muncul setelah pasien beraktivitas berat (saat berjalan
ke kemar mandi dengan jarak ±15 meter). Os juga sering terbangun tidur malam
hari karena sesak yang muncul tiba-tiba. OS mengeluh kedua kaki membengkak.
Nyeri dada (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), keringat malam hari (-),
BAB dan BAK tidak ada keluhan. OS berobat ke IGD RS Sobirin Linggau.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit darah tinggi sejak 4 tahun yang lalu, tidak rutin minum
obat
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat alkohol disangkal
Riwayat merokok 20 tahun.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Os bekerja sebagai petani
Kesan: sosial ekonomi menengah ke bawah.
4
III. PEMERIKSAAN FISIK (19 September 2015)
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 82 kali per menit, regular, isi dan tekanan cukup
Pernapasan : 26 kali per menit, abdominotorakal
Suhu : 36,5
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 161 cm
IMT : 20,84 (berat badan normal)
Pemeriksaan organ
Kepala
Normocepali, ekspresi biasa, rambut tidak mudah dicabut, alopesia (-), deformitas
(-), wajah sembab (-)
Mata
Eksoftalmus (-/-), konjunctiva palpebral pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, refleks cahaya (+/+), diameter 3mm/3mm
Hidung
Deviasi septum nasal (-), secret (-), epistaksis (-)
Telinga
CAE lapang, selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran baik
Mulut
Faring hiperemis (-), lidah kering (-), atropi papil lidah (-), sianosis (-)
Leher
Perbesaran KGB submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada pada
inspeksi dan palpasi, JVP (5+2) cmH2O.
Dada
bentuk dada simetris, sela iga tidak melebar, retraksi dinding dada (-), spider naevi
(-), barrel chest (+), venektasi (-), angulus costae < 90, nyeri tekan (-).
Pulmo
5
Inspeksi: statis simetris, dinamis tidak ada yang tertinggal
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar ICS V, peranjakan
hepar ICS VI
Auskultasi: vesikuler (+) normal, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Cor
Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat, voussure cardiaque (-)
Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS VI linea aksilaris anterior sinistra, thrill (-)
Perkusi: batas jantung atas ICS II, Batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris
anterior sinistra, batas jantung kanan linea parasternalis dekstra
Auskultasi: HR 82 x/menit, regular, HR=PR, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: cembung
Palpasi: lemas, hepar teraba 2 jari di bawah processus xhypoideus, tepi tumpul,
permukaan rata, nyeri tekan (-), lien tidak teraba
Perkusi: tympani, shifting dullness (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Kulit
Warna coklat, kuling kering (-), pucat (-), turgor < 2 detik
Anogenitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas
Superior: palmar pucat (-), palmar eritem (-), clubbing fingers (-), koilonikia (-),
akral dingin (-)
Inferior: edema pretibial (+/+), akral dingin (-), clubbing fingers (-), koilinikia (-)
6
IV Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin ( September 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 13,9 gr/dL 11 – 16 g/dL
Eritrosit 4.4.1012/L 3,5-5,5.1012/L
Leukosit 11,6.109/L 4.000 – 10.000/L
Trombosit 152.109/L 150 – 450.109/L
Hematokrit 40,8% 40–50 %
LYM% 8,1 % 22 – 44 %
NEU% 86,5 % 45 – 77 %
MXD% 5,4 % 3 – 10 %
MCV 92,1 fl 86 – 100 fl
MCH 31,4 pg 26 – 31 pg
MCHC 34,1 g/dl 31 – 37 g/dl
Kimia Darah
BSS 122,8 mg/dl 0 – 180 mg/dl
Ureum 146,4 mg/dl 20 – 40 mg/dl
Kreatinin 2,44 mg/dl 0,8 – 1,5 mg/dl
Uric Acid 10,5 mg/dl 3,3-7 mg/dl
Kolesterol 94,2 mg/dl 80-250 mg/dl
Trigliserid 76,7 mg/dl 72-172 mg/dl
LDL 48,5 mg/dl 0-55 mg/dl
HDL 76,2 mg/dl 108-188 mg/dl
Gambaran elektrokardiografi ( September 2015)
7
Kesan
Heart rate 95x/ menit
Aksis normal
8
3. Pemeriksaan Rontgen Toraks ( September 2015)
9
10
Kesan : Kardiomegali
Elongatio Aorta
Hipertrofi ventrikel kanan
Hipertrofi ventrikel kiri
V.Diagnosis Sementara
CHF NYHA III ec susp HHD
VI. Diagnosis Banding
CHF NYHA III ec susp ASHD
CHF NYHA III ec susp CAD
VII. Penatalaksanaan
Non farmakologis:
- istirahat
- Diet jantung III
- Edukasi (diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan yang akan dilakukan,
diet yang harus dijalankan dan bentuk pencegahan)
Farmakologis
- IVFD RL gtt x/menit (makro)
- Inj. Furosemid 1x40 mg
- Candesartan 1x1 tab PO
- Captopril 2x12,5 mg PO
- Spironolakton 1x25 mg PO
- Ambroxol 2x1 cth
VIII Rencana pemeriksaan
- pemeriksaan darah rutin
- pemeriksaan urin rutin
- pemeriksaan rontgen toraks AP
- pemeriksaan kolesterol total, HDL, LDL, asam urat, SGOT, SGPT
- pemeriksaan enzim jantung kreatinin fosfokinase (CK/CPK) dan CK-MB
IX. Prognosis
11
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
X. Follow Up ( September – September 2015)
Tanggal 19 September 2015S :Sesak nafas (+),O : KU :tampak sakit beratSens : CM TD : 140/90 mmHg Nadi : 95 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,2oCKeadaan SpesifikKepala : konjungtiva anemis (-/-), edema
palpebral (-/-)Leher: JVP (5+2) cmH2O, pembesaran
KGB (-)Thorax : I: Barrel chest (+) retraksi sela iga (+/+)Cor : I: Ictus terlihat di ICS VI LMC
Sinistra P: Ictus cordis teraba di ICS VI LMC
Sinistra P: Batas jantung atas ICS II, Batas
jantung kanan ICS VI LMC Dextra. Batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
HR: 95 x/m,murmur (-), gallop (-)Pulmo : ronkhi kedua lapangan paru(-/-)
wheezing (-/-)Abdomen : cembung, hepar teraba 2 jari di
bawah processus xiphoideus, /lien ttb,NT(-), BU(+)N
Ekstremitas: Edema pretibial (+/+)A: CHF NYHA III ec Susp HHD
P : Non Farmakologis :- Istirahat- Diet jantung III- EdukasiFarmakologis- IVFD D5:RL gtt XV/menit
(makro)- Inj. Furosemid 2x20 mg- Inj ceftriaxon 2x1gr- Spironolakton 1x25 mg- Ambroxol 2x1 cth- Candesartan 1x1 tab- Captopril 2x12,5 mg
Saran: Echocardiography
Tanggal 21 September 2015S :Sesak nafas (+),O : KU :tampak sakit beratSens : CM
P : Non Farmakologis :- Istirahat- Diet jantung III
12
TD : 140/90 mmHg Nadi : 95 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,2oCKeadaan SpesifikKepala : konjungtiva anemis (-/-), edema
palpebral (-/-)Leher: JVP (5+2) cmH2O, pembesaran
KGB (-)Thorax : I: Barrel chest (+) retraksi sela iga (+/+)Cor : I: Ictus terlihat di ICS VI LMC
Sinistra P: Ictus cordis teraba di ICS VI LMC
Sinistra P: Batas jantung atas ICS II, Batas
jantung kanan ICS VI LMC Dextra. Batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
HR: 95 x/m,murmur (-), gallop (-)Pulmo : ronkhi kedua lapangan paru(-/-)
wheezing (-/-)Abdomen : cembung, hepar teraba 2 jari di
bawah processus xiphoideus, /lien ttb,NT(-), BU(+)N Shifting dullnes (+)
Ekstremitas: Edema pretibial (+/+)A: CHF NYHA III ec Susp HHD
- EdukasiFarmakologis :- IVFD D5:RL gtt XV/menit
(makro)- Inj. Furosemid 2x20 mg- Inj ceftriaxon 2x1gr- Spironolakton 1x25 mg- Ambroxol 2x1 cth- Candesartan 1x1 tab- Captopril 2x12,5 mg
Tanggal 22 September 2015S :Sesak nafas (+),O : KU :tampak sakit beratSens : CM TD : 140/90 mmHg Nadi : 95 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,2oCKeadaan SpesifikKepala : konjungtiva anemis (-/-), edema
palpebral (-/-)Leher: JVP (5+2) cmH2O, pembesaran
KGB (-)Thorax : I: Barrel chest (+) retraksi sela iga
P : Non Farmakologis :- Istirahat- Diet jantung III- EdukasiFarmakologis :- IVFD RL gtt XV/menit
(makro)- Inj. Furosemid 2x20 mg- Inj ceftriaxon 2x1gr- Spironolakton 1x25 mg- Ambroxol 2x1 cth- Candesartan 1x1 tab
13
(+/+)Cor : I: Ictus terlihat di ICS VI LMC
Sinistra P: Ictus cordis teraba di ICS VI LMC
Sinistra P: Batas jantung atas ICS II, Batas
jantung kanan ICS VI LMC Dextra. Batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
HR: 95 x/m,murmur (-), gallop (-)Pulmo : ronkhi kedua lapangan paru(-/-)
wheezing (-/-)Abdomen : cembung, hepar teraba 2 jari di
bawah processus xiphoideus, /lien ttb,NT(-), BU(+)N Shifting dullnes (+)
Ekstremitas: Edema pretibial (+/+)A: CHF NYHA III ec Susp HHD
- Captopril 2x12,5 mg
Saran: Echocardiography
Tanggal 23 September 2015SS :Sesak nafas (+),O : KU :tampak sakit beratSens : CM TD : 140/90 mmHg Nadi : 95 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,2oCKeadaan SpesifikKepala : konjungtiva anemis (-/-), edema
palpebral (-/-)Leher: JVP (5+2) cmH2O, pembesaran
KGB (-)Thorax : I: Barrel chest (+) retraksi sela iga (+/+)Cor : I: Ictus terlihat di ICS VI LMC
Sinistra P: Ictus cordis teraba di ICS VI LMC
Sinistra P: Batas jantung atas ICS II, Batas
jantung kanan ICS VI LMC Dextra. Batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
: Non Farmakologis :- Istirahat- Diet jantung III- EdukasiFarmakologis :- IVFD RL gtt XV/menit
(makro)- Inj. Furosemid 2x20 mg- Inj ceftriaxon 2x1gr- Spironolakton 1x25 mg- Ambroxol 2x1 cth- Candesartan 1x1 tab- Captopril 2x12,5 mg
14
HR: 95 x/m,murmur (-), gallop (-)Pulmo : ronkhi kedua lapangan paru(-/-)
wheezing (-/-)Abdomen : cembung, hepar teraba 2 jari di
bawah processus xiphoideus, /lien ttb,NT(-), BU(+)N Shifting dullnes (+)
Ekstremitas: Edema pretibial (+/+)A: CHF NYHA III ec Susp HHD
Pemeriksaan Echokardiografi ( 22 September 2015)
- LVH
-Global wall motion abnormality
-SEC (-) ventrikel
-Thrombus di Left ventrikel
Kesan: HHD oleh thrombus di Left Ventrikel
15
16
17
18
19
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada anamnesis didapatkan sejak ±3 bulan SMRS, OS mengeluh sesak
nafas, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Sesak dirasakan semakin
bertambah saat posisi berbaring dan berkurang bila dalam posisi duduk. OS
nyaman tidur dengan 2 bantal. Sesak juga muncul setelah pasien beraktivitas berat
(saat OS bertani). OS juga sering terbangun saat tidur malam hari karena sesak
yang muncul tiba-tiba. OS mengeluh kedua kaki membengkak, hilang timbul (+).
Sejak ±2 minggu SMRS, OS mengeluh batuk yang menyertai sesak dan tidak
pernah sembuh-sembuh (+). Sejak ± 1 hari SMRS. OS mengeluh sesak nafas
yang semakin berat. Batuk (+).OS nyaman tidur dengan 3 bantal. Sesak juga
muncul setelah pasien beraktivitas berat (saat berjalan ke kemar mandi dengan
jarak ±15 meter). Os juga sering terbangun tidur malam hari karena sesak yang
muncul tiba-tiba. OS mengeluh kedua kaki membengkak. OS berobat ke IGD RS
Sobirin Linggau.
Pada pemeriksaan fisik dari tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah
140/90 mmHg HR, 82x/menit, dan respiratory rate 26x/ menit. Dari pemeriksaan
organ, pada auskultasi paru didapatkan rhonki basah kasar di basal kedua paru,
pada cor didapatkan batas jantung atas ICS II dan batas jantung kiri ICS VI linea
aksilaris anterior sinistra dan batas jantung kanan linea parasternalis dextra.
Pemerisaan abdomen hepar teraba 2 jari di bawah processus xiphoideus tepi
tumpul permukaan rata dan pada ekstremitas inferior terdapat edema pretibia.
Berdasarkan kriteria Framingham dengan mendapatkan dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor dan satu kriteria minor yaitu:Kriteria mayor berupa
paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki basah paru,
kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3, peninggian tekanan vena jugularis,
Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, batuk
malam hari, dispnea d’effort, hepatomegali, Efusi pleura, penurunan kapasitas
vital, takikardi (>120 x/menit) maka congestive heart failure dapat ditegakkan.
20
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
didapatkan paroxysmal nocturnal dyspneu, peningkatan tekanan vena jugularis,
dan didapatkan kardiomegali serta hepatomegali dan edema tungkai, sehingga
memenuhi 2 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk congestive heart failure.
Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas
(NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas1 tidak ada
keluhan, kelas 2 gejala muncul pada pekerjaan biasa, kelas 3 gejala muncul pada
pekerjaan ringan serta kelas 4 gejala muncul pada saat istirahat .Pasien sudah
merasa sesak dan kelelahan saat berjalan kurang lebih 15 meter, sehingga
memenuhi kriteria kelas 3
Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung
bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung
koroner, penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor
pulmonale serta kehamilan.
Hipertensi merupakan beban pressure overload bagi miokard yang dapat
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
dan akan menyebabkan terjadinya gangguan fungsi diastolik. Hipertrofi ventrikel
kiri merupakan respon terhadap kenaikan wall stress ventrikel kiri akibat
hipertensi dan suatu upaya untuk mengembalikan wall stress ventrikel kiri kepada
nilai normal, mempertahankan fungsi sistolik ventrikel kiri dan mengurangi
kemungkinan terjadinya gangguan perfusi miokard. Respon adaptasi tersebut
terbatas. Seperti pada pasien ini, bila tekanan darah tetap tinggi dimana pasien
sudah mengalami hipertensi selama 4 tahun dan tidak rutin minum obat akan
terjadi remodeling, perubahan struktur miokard dan gangguan fungsi jantung
Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload)
dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan
hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi
kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih
besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan
simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu
terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah
21
jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na)
melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan
adalah mekanisme kompensasi jantung.Bila semua mekanisme ini telah digunakan
namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gagal Jantung Kongestif
3.1.1 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala) ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Ada juga sumber yang
mengatakan bahwa gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan
jantung menjadi kurang kuat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya,
jantung tidak memompa darah sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah
tidak bergerak efisien melalui sistem peredaran darah dan mulai membuat
cadangan, meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan memaksa cairan
dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.3
3.1.2 Epidemiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang
yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit
jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung
rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
22
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.4
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia
50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari
mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus
meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus
meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal
jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih
umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.5
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor
lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan
jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di
rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-
laki.3
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat
dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu,
prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita.
Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah
sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung
kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis mereka.5 Sumber lain
mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam
waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal
jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.3
3.1.3 Patofisiologi
Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya
abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara
maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit
katup degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga
merupakan penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah
23
diuraikan sebelumnya, gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang
memiliki kondisi komorbid, misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit
paru kronis.6
Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi
sehingga terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara
lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon.
Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi
ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf
simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon
adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik
peptida.7
Mekanisme Kompensasi pada Jantung
Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang
berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas. Ketika
terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya
kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal
jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung
menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume
yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat
mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan
berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan
peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas
jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai
stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa
peningkatan volume ventrikel.8
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat
menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi
sistolik, disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik
disebabkan oleh hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark
miokard akut yang menyebabkan hilangnya viabilitas otot jantung untuk
berkontraksi. Hal ini tergantung pada dua faktor, yaitu elastisitas dan
24
distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan fenomena pasif dan suatu proses
relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal diastolik. Hilangnya
distensibilitas atau relaksasi ventrikel kiri karena adanya perubahan struktur
(contohnya hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsi (contohnya iskemia)
dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).8
Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau
volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan
atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume
intravascular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel.
Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output. Jika volume
meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot jantung secara
fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan hukum Frank-
Starling.8
Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung
yang menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi
fraksi. Sesuai dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama
dengan stroke volume yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan
mempertahankan ejeksi fraksi sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan
adanya miokardium yang nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak
ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah
yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri
rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vascular tetapi juga
menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh
miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal jantung kongestif.
Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai
ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan
stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke
volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk
mempertahankan cardiac output.8
Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan
peningkatan tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic
25
menunjukkan berkurangnya kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada
saat diastolik.11Selain itu, adanya intoleransi aktifitas menunjukkan adanya
disfungsi diastolik yang disebabkan oleh adanya gangguan pada pengisian
ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal sehingga
menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output yang tidak adekuat
selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot skeletal, khususnya
pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.8
Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan
hanya meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular
pada perfusi jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi
sistem rennin-angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan
meningkatkan retensi air dan garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan
mempertahankan kontraktilitas otot jantung. Awalnya, respon ini mampu
mempertahankan preload, namun aktivasi yang memanjang mampu menurunkan
miosit dan mengubah matriks maladaptive. Miokardium akan mengalami
remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi paru-paru, ginjal,
otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga dapat
menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya
peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling
otot atrium.7Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada
gagal jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.8
Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan
peptida natriuretik atrium.7 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah
respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini
menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah
sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama,
hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular
sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat
26
meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat menyebabkan
kongesti vena.9
Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung
kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal
dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan
renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus
yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan
menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam
pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk
mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada
sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan vena pulmonal, dan
peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.10
Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi
adalah aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan
renin. Untungnya, digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi
tekanan baroreseptor yang rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin
dapat meningkatkan pelepasan neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin,
vasopressin, dan peptida natriuretik atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan
afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan peningkatan kronotropik dan
inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak. Stimulasi ini
menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan aktifitas
norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan kematian
mendadak. Level norepinephrin plasma dalam sirkulasi dapat berkorelasi negatif
terhadap prognosis dan gejala gagal jantung kongestif.10
Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan
konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer
dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida
natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan
peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya
angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi
yang ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.10
27
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi
(untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan
tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon
neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga
meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan
meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal
ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang dapat
terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin
(keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam
patogenesis gagal jantung.7
Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi
pembuluh darah pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi
sebagai hasil dari penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal. Aktivasi neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme
kompensasi gagal jantung kongestif karena hal ini dapat mempertahankan tekanan
arteri.7
3.1.4 Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa
faktor. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi
gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang mengalami
gagal, gagal jantung kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan
kiri. Sedangkan berdasarkan gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I,
NYHA II, NYHA III, dan NYHA IV.8
Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari gejalanya, gagal jantung kongestif dapat
dibagi menjadi gagal jantung kongestif NYHA I sampai dengan NYHA IV.
Pasien tanpa gejala digolongkan sebagai NYHA I. Sedangkan NYHA II meliputi
pasien dengan gejala pada saat berakfitas berat. Jika dengan beraktifitas ringan
pasien sudah menunjukkan gejala, pasien digolongka sebagai NYHA III. NYHA
IV merupakan klasifikasi gagal jantung kongestif yang berhubungan dengan
gejala yang timbul pada saat istirahat.8
28
3.1.5 Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.11
Kriteria mayor
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
3.1.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan
medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan
gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya,
memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas
29
hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart Association
dan organisasi jantung lainnya.11
1. Konsumsi alkohol
Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung
kongestif. Angka rawat inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang
lebih sedikit pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol
mengandung 8 gram atau 10 mililiter etanol. Jumlah alcohol per unitnya dapat
dihitung dengan mengalikan volume alcohol yang dikonsumsi dan persentase
alcohol.
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kardiomiopati khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah
alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun
konsumsi alcohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi
faktor resiko terjadinya kardiomiopati.
Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk
menghindari konsumsi alkohol.11
2. Merokok
Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok
terhadap gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan
gagal jantung kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan
gagal jantung kongestif harus menghindari rokok.
3. Aktifitas fisik
Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung
kongestif masih kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki
kondisi klinis penderita gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat
ditoleransi dengan baik oleh penderita gagal jantung kongestif yang stabil. Pada
salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal jantung kongestif yang
melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik daripada penderita
gagal jantung kongestif yang hanya ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal
jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat
melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur.11
4. Pengaturan diet
30
a. Membatasi konsumsi garam dan cairan
Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada
penderita gagal jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang
signifikan terhadap berat badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun
percobaan klinis lainnya menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air
pada penderita gagal jantung kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis
yang signifikan dan tidak adanya edema dan fatique pada penderita gagal jantung
kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi NYHA. Pembatasan konsumsi
garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki efek baik terhadap
tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi garam yang
dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari.
b. Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara
monitor berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif.
Namun, monitor terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
perolehan berat badan atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal
jantung kongestif.11
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya
terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan
kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume
darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan
bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak
berubah.
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida
dalam tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide
bekerja di dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara
tiazid, metalosone, dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua
diuretik ini memiliki aksi farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat
mengeluarkan lebih banyak natrium, sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan
pengeluaran air, dan mampu mempertahankan efektifitasnya walaupun terdapat
31
gangguan ginjal. Sementara itu, tiazid lebih sedikit mengeluarkan natrium dan air,
juga dapat kehilangan efektifitasnya pada kondisi gagal ginjal.11
Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi
cairan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat
menurunkan tekanan vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer.
Pengukuran berat badan diperlukan untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap
pemberian diuretik. Pemberian diuretik ini mampu mengurangi gejala dan
memperbaiki fungsi jantung maupun toleransi aktifitas terhadap penderita gagal
jantung. Namun demikian, peran diuretik dalam menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif belum diketahui.11
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis
perlahan-lahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan
menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik
digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat badan.
Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi
natrium.
Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang
membaik dan pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan
obat-obatan ini cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun
beberapa obat seperti diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton
dapat meningkatkan level potassium, sehingga level potassium harus diawasi
dengan ketat.11
Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana
secepat mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan
diuretik selesai, kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap
dilakukan pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang,
selama penderita yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat
asimptomatik.
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid,
bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau
kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya
merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti
32
furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan
dengan ACE inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan
karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan
pembesaran jantung.11
2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal
jantung kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara
abnormal tinggi pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi dengan meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara
langsung dapat menjadi toksik terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang
berlebihan.
ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung
kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun
nefropati diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem
renin-angiotensin, tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi
prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi
gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada penderita
gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit
jantung koroner.11
ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya
dapat mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup
penderita gagal jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas
kerusakan jantung dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot
jantung. Namun demikian, ACE inhibitor juga memiliki beberapa efek samping.
Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin supresif dapat berupa hipotensi,
perburukan fungsi ginjal, dan retensi kalium. Sementara efek samping ACE
inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan angioedema.
3. Inotropik
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan
pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap
pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah
33
digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam
memompakan darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung,
maka obat ini disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin
merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi
tambahan selain ACE inhibitor dan beta bloker.11
Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung
kongestif harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan
beberapa pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah
penggunaan vasodilator dan diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus
menerus. Digoksin merupakan obat lama yang digunakan pada lebih dari 200
tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari tumbuhan foxglove. Obat ini juga
dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi). Kelebihan
digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi aritmia. Resiko
aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak berfungsi
optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara optimal,
atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian
diuretik).11
4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB)
Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek
angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan,
irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-
obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak
dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif,
namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih
banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.11
ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium,
Namun hal ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau
pada orang-orang yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti
triamterene atau spironolakton. Calcium channel blocker merupakan vasodilator
yang jarang digunakan pada pengobatan gagal jantung karena berdasarkan
percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat pemberian calcium channel
blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel blocker digunakan untuk
34
menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal jantung kongestif
adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon terhadap
ACE inhibitor atau ARBs.11
5. Beta blocker
Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf
simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker
terbukti secara klinis dapat mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di
bawah 35% hingga 45%) yang telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan
atau tanpa pemberian digitalis. Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel
kiri yang berat, denyut jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau
tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85 mmHg), atau pada pasien dengan
NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan.
Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan
darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan
beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding
arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai
norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam
waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.11
Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam
otot jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat
norepinefrin yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena
norepinefrin bersifat simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin
kuat. Namun, percobaan klinis telah membuktikan bahwa beta bloker dapat
memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri secara bertahap sehingga dapat
mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.11
6. Hidralazin
Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita
gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus
vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal
tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat
dibuktikan secara klinis.Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat
35
menurunkan angka kematian penderita gagal jantung kongestif.21 Kombinasi obat
ini dapat menurunkan angka mortalitas sebesar 43%, menurunkan angka rawat
inap penderita gagal jantung kongestif sebesar 39%, dan menurunkan gejala gagal
jantung.4 Namun demikian, pemberian kombinasi kedua obat ini dapat
memberikan efek samping berupa sakit kepala dan keluhan gastrointestinal.11
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Indrajaya, Taufik. 2009. Stenosis Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: hal. 1171-1180.
2. Novita, Liza. 2007. Laporan Kasus Stenosis Mitral. Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
3. Mariyono, H. 2007. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3. Hal
85.
4. O'Brien, Terrence. 2006. Congestive Heart Failure.Emedicine health. South
Carolina: Medical University of South Carolina: 2006.
5. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology,
herapy, and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of
Texas Health Science: 2006. p; 403–412.
6. Klabunde, Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2015.
Cardiovascular Physiology Concepts, University of Osteopathic Medicine.
7. Delgado, RM. Pathophysiology of heart failure: a look at the future. Houston:
Texas Heart Institute Journal: 1999. p; 28-33.
8. Chan, Paul D. Cardiovascular Disorders. In: Chan, Paul D. Treatment
Guidelines for Medicine and Primary Care. California: Current Clinical
Strategies Publishing: 2004. p; 2-27.
9. Panggabean, Marular. 2009. Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: hal.1132-1135.
37