case okky

33
PRESENTASI KASUS CONTUSIO CEREBRI PEMBIMBING : dr. Julintari Indriyani, Sp.S DISUSUN OLEH : Okky Nafiriana, S. Ked NIM : 030.10.214 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Upload: okkynafiriana

Post on 02-Dec-2015

224 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

tyu

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS

CONTUSIO CEREBRI

PEMBIMBING :

dr. Julintari Indriyani, Sp.S

DISUSUN OLEH :

Okky Nafiriana, S. Ked

NIM : 030.10.214

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 25 MEI – 27 JUNI 2015

LEMBAR

PENGESAHAN

CONTUSIO CEREBRI

Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode 25 Mei – 27 Juni 2015

Oleh:

Nama : Okky Nafiriana

NIM : 030.10.214

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,

Jakarta, Juni 2015

dr. Julintari Indriyani Bidramnanta, Sp.

S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

PENDAHULUAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang menyebabkan ganguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,

fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.1 Statistik Negara-negara yang sudah

maju menunjukkan bahwa trauma kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam

kecelakaan, yang mngakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama

jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut

trauma kapitis. Lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas,

selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh.2

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan

disabilitas yang memberikan persentase mortalitas 30% dari seluruh kematian akibat trauma

atau cedera.3 Angka mortalitas untuk pasien yang belum mencapai rumah sakit atau belum

mendapatkan perawatan sekitar 17 per 100.000 orang, sedangkan mortalitas untk pasien yang

sudah sampai di rumah sakit sekitar 6 per 100.000 orang. Skor GCS digunakan untuk menilai

keparahan suatu cedera kepala dan memprediksi kematian akibat cedera tersebut.4

Prevalensi dari cedera kepala belum didokumentasikan dengan baik karena mayoritas

kasus tidak fatal sehingga pasien tidak harus dirawat di rumah sakit. Adapun insidens cedera

kepala ringan (CKR) yaitu 131 kasus per 100.000 orang, cedera kepala sedang (CKS) sekitar

15 kasus per 100.000 orang dan cedera kepala berat (CKB) sekitar 14 kasus per 100.000

orang.4

Cedera kepala dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder, dimana

kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera sebagai akibat dari

kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal

ataupun difus. Pada kerusakan fokal, melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung

kepada mekanisme cedera yang terjadi. Pada kerusakan difus, terjadi angulasi, rotasi, dan

peregagan yang menyebabkan robekan serabut saraf pada berbagai tempat, yang sifatnya

menyeluruh (difus). Sedangkan kerusakan sekunder merupakan kerusakan otak yang timbul

sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,

pembengkakan otak, TTIK (tekanan tinggi intra kranial), hidrosefalus dan infeksi.5

2

Kerusakan primer pada cedera kepala dapat menimbulkan kontusio serebri maupun

laserasi. Kontusio serebri diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya

piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan

pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena dan arteri), nekrosis otak dan infark. Sedangkan,

laserasi merupakan kerusakan yang disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya

berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid, subdural dan intraserebral. Laserasi

langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau

penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak

langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.5

Perdarahan subarachnoid paling sering ditemukan pada cedera kepala, dimana

perdarahan terletak di antara achnoid dan piamater yaitu mengisi ruang subarachnoid.

Adanya darah pada uang subarachnoid tersebut dapat menimbulkan hidrosefalus.5

Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematoma (SDH).

Diartikan sebagai penumpukan darah di antara dura dan arachnoid. Mortalitas SDH mencapai

60-70%. Terjadi karena laserasi arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi dan

deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan bridging veins yang

menghubungkan permukaan korteks dengan sinus vena.5 Karena perdarahan subdural sering

disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah 100-200 cc saja.

Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari,

hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah

yang diserap meningglkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Disitu bisa timbul

kembali perdarahan-perdarahan kecil yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural

dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan

pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah.2

Perdarahan intraserebral atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH),

diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari

adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 %),

tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis.5 Lobus

frontalis terlibat berkorelasi dengan dampak pada oksiput dan lobus temporalis berasosiasi

dengan tamparan atau benturan dari samping.2 Gejala dan tanda juga ditentukan oleh ukuran

dan lokasi hematoma. Pada CT Scan, akan memberikan gambaran daerah hiperdens yang

homogen dan berbatas tegas. Di sekitar lesi akan disertai dengan edema perifokal. Jika massa

3

hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter lesi, maka keadaan ini disebut

kontusio. Jika ICH ini disertai dengan SDH dan kontusio atau laserasi pada daerah yang

sama, maka disebut ‘burst lobe’.5 Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari

kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan kavitasi. Keadaan ini bisa

menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.2

Gejala akibat cedera kepala dapat terbagi menjadi ringan, sedang dan berat tergantung

luas kerusakan di otak. Cedera kepala yang ringan umunya dapat pulih dengan cepat. Adapun

gejala cedera kepala ringan yaitu gangguan kognitif dan emosi (konsentrasi, memori dan

gelisah), gangguan fisik (sakit kepala, mual, muntah, gangguan keseimbangan, pusing

berputar) dan gangguan tidur. Pada cedera kepala berat, didapatkan gejala-gejala seperti

gangguan pada fungsi kognitif (atensi dan memori), gangguan pada fungsi motorik

(kelemahan ekstremitas, gangguan keseimbangan dan koordinasi), gangguan fungsi sensorik

(pendengaran, penglihatan dan gangguan persepsi) serta gangguan emosi (depresi, gelisah

dan perubahan kepribadian).3

Individu yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit karena cedera kepala, 46%

mengalami disabilitas selama 1 tahun setelah trauma. Sekitar 5,3 juta orang di Amerika

Serikat hidup dengan disabilitas pasca cedera kepala berat dan hal tersebut mempengaruhi

seluruh aspek dalam kehidupannya, termasuk hubungan dengan keluarga dan teman,

kemampuan bekerja, melakukan pekerjaan rumah tangga, menyetir dan beraktivitas sehari-

hari.3

4

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 85 tahun

Alamat : Jl. Pondok karya D/23, Pela Mampang

Agama : Kristen protestan

Pekerjaan : -

Status Pernikahan : Janda

Pendidikan Terakhir : -

Tanggal datang ke RS : 8 Juni 2015

Nomor CM : 975028

II. ANAMNESIS

(Dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien di Bangsal Lantai 9 Barat,

pada hari Selasa, 9 Juni 2015 pukul 14.00, hari ke-2 perawatan)

Keluhan Utama

Sulit berkomunikasi pasca terjatuh

Keluhan Tambahan

Perdarahan di kepala bagian belakang, batuk berdahak

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih pada 8 Juni 2015 pukul 14.00 dengan

keluhan sulit berkomunikasi pasca terjatuh akibat terpeleset pada 8 Juni 2015.

Tidak diketahui secara pasti waktu pasien terjatuh, namun pasien ditemukan

tergeletak terlentang di lantai pukul 11.00 dengan dispenser terjatuh di sebelah

badan pasien. Saat ditemukan, pasien dapat membuka mata namun tidak dapat

berkomunikasi. Di kepala bagian belakang pasien tampak perdarahan akibat

terbentur lantai saat terjatuh. Tidak ada perdarahan yang keluar dari hidung

5

maupun telinga. Mual, muntah dan pingsan juga disangkal. Keluhan seperti

pusing berputar maupun sakit kepala disangkal pernah dialami.

Kejadian terjatuh ini merupakan peristiwa ketiga bagi pasien. Sebelumnya, pasien

terjatuh pertama kali sekitar bulan April 2015 saat sedang menyapu dan kepala

bagian belakang terbentur lantai namun tidak ada luka. Saat itu, tidak ada keluhan

penurunan kesadaran, mual maupun muntah. Terjatuh kedua kali pada bulan Mei

2015 karena terpeleset dan terdapat luka pada kepala bagian belakang sehingga

harus dijahit. Pingsan maupun mual dan muntah juga disangkal pada peristiwa

terjatuh yang kedua tersebut.

Pasien sering mengeluhkan nyeri pada persendiannya, terutama di kaki. Nyeri

dirasakan bertambah saat aktivitas sehingga pasien menjadi sulit berjalan. Selama

1 tahun terakhir, pasien berjalan dengan menyeret terutama kaki kanan. Bicara

pelo disangkal. Selama di rumah, pasien batuk berdahak sudah 2 minggu. Namun

keluhan seperti demam, nyeri dada, kejang dan sesak napas disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat darah tinggi namun tidak berobat secara rutin. Riwayat

stroke, penyakit jantung, kolesterol tinggi dan diabetes mellitus disangkal. Pasien

tidak mempunyai riwayat alergi obat maupun makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.

Riwayat Kebiasaan

Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alcohol dan minum kopi.

III. PEMERIKSAAN FISIK

(dilakukan pada hari Selasa, 9 Juni 2015 pukul 14.00, hari ke-2 perawatan)

Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : E4M5V2 afasia global

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 88x/menit, reguler

Suhu : 36,2oC

6

Pernafasan : 20x/menit

Kepala

Ekspresi wajah : Tampak wajah asimetris

Rambut : Putih bercampur hitam

Bentuk : Normocephali

Mata

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Kedudukan bola mata : Ortoforia

Pupil : Bulat isokor 3mm/3mm

Refleks cahaya langsung +/+

Refleks cahaya tidak langsung +/+

Telinga

Bentuk : normal

Daun telinga : tidak ada kelainan

Mulut

Bibir : Sianosis (-), simetris

Leher

Trakea : terletak di tengah

KGB : tidak teraba membesar

Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar

Thoraks

Bentuk : Simetris

7

Paru-Paru

Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi Kiri Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Kanan Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi Kiri - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (+)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (+)

Kanan - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (+)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (+)

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Tidak dilakukan

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Bunyi Jantung I-II regular, gallop (-), murmur(-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, smiling umbilicus (-)

Palpasi : Dinding perut supel

Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen

Auskultasi : Bising usus (+) normal

8

STATUS NEUROLOGIS

a. Keadaan umum : E4M5V2 afasia global

b. Gerakan abnormal : -

c. Leher : sikap baik, tidak terbatas

d. Tanda rangsal meningeal : -

e. Nervus Kranialis

N.I ( Olfaktorius)

Subjektif Tidak Dilakukan

N. II ( Optikus )

Tajam penglihatan (visus

bedside)

Tidak bisa

dilakukan

Tidak bisa

dilakukan

Lapang penglihatan Tidak bisa

dilakukan

Tidak bisa

dilakukan

Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ukuran Isokor, D 3mm Isokor, D 3mm

Fundus Okuli Tidak dilakukan

N.III, IV, VI ( Okulomotorik, Trochlearis, Abduscen )

Nistagmus - -

Pergerakan bola mata Tidak

bisa

dilakukan

Tidak

bisa

dilakukan

Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung + +

Ptosis - -

9

N.V (Trigeminus)

Membuka mulut + +

Menggerakan Rahang + +

Oftalmikus + +

Maxillaris + +

Mandibularis + +

N. VII ( Fasialis )

Perasaan lidah ( 2/3 anterior ) Tidak Dilakukan

Motorik Oksipitofrontalis Baik Baik

Motorik orbikularis okuli Baik Baik

Motorik orbikularis oris Paresis Baik

N.VIII ( Vestibulokoklearis )

Tes pendengaran Tidak dilakukan

Tes keseimbangan Tidak dilakukan

N. IX,X ( Vagus )

Perasaan Lidah ( 1/3 belakang ) Tidak Dilakukan

Refleks Menelan Baik

Refleks Muntah Tidak Dilakukan

N.XI (Assesorius)

10

Mengangkat bahu Tidak dilakukan

Menoleh Baik

N.XII ( Hipoglosus )

Pergerakan Lidah Tidak bisa dinilai

Disatria Tidak bisa dinilai

A. Sistem Motorik Tubuh

Kanan Kiri

Ekstremitas Atas

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Normal Normal

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Kanan Kiri

Ekstremitas Bawah

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Normal Normal

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot Tidak dapat dinilai

Kesan motorik

hemiparesis dekstra

Tidak dapat dinilai

11

B. Refleks

C. Gerakan Involunter: Tidak ada

D. Tes Sensorik (sentuhan ) sulit dinilai

E. Fungsi Autonom

Miksi : baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

F. Keseimbangan dan koordinasi

12

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Bisep + +

Trisep + +

Patela + +

Achiles + +

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks Patologis

Babinski

Chaddok

-

-

-

-

Oppenheim

Gordon

-

-

-

-

Klonus - -

Hoffman Tromer - -

Hasil

Tes disdiadokinesis Tidak dilakukan

Tes tunjuk hidung dan jari Tidak dilakukan

Tes tunjuk jari kanan dan kiri Tidak dilakukan

Tes romberg Tidak dilakukan

Tes tandem gait Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (8 Juni 2015)

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 8 Juni 2015, didapatkan

peningkatan leukosit (19.7 ribu/uL), penurunan hemoglobin (11,6 g/dL) dan

peningkatan gula darah sewaktu (134 mg/dL). Pada 9 Juni, didapatkan nilai

ureum, kreatinin dan profil lipid dalam batas normal.

EKG

Irama sinus, HR 100x/menit, ST depresi lead V5 dan V6, normoaxis

Kesan : suspected left Ventricular hypertrophy

Foto Thoraks AP (8 Juni 2015)

13

Kesan Foto Thoraks : Cor: normal. Pulmo: pneumonia lobus inferior dextra

Foto Cranium (8 Juni 2015)

Kesan : Calvaria intak. Sela tursica normal.

CT-Scan non kontras (8 Juni 2015)

14

Kesan :

Tampak hygrome temporoparietalis sinistra, perdarahan intracerebral

frontalis kanan dan kiri yang mulai di absorbsi

V. RESUME

15

Seorang pasien perempuan usia 85 tahun datang ke IGD RSUD Budhi Asih

dengan keluhan sulit berkomunikasi pasca terjatuh. Terdapat perdarahan dari

kepala bagian belakang dan batuk berdahak. Peristiwa terjatuh ini sudah ketiga

kali dalam 2 bulan terakhir.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS E4M5V2 afasia global, ronki +/+, kesan

paresis N VII dekstra dan hemiparesis dekstra. Hasil pemeriksaan laboratorium

didapatkan peningkatan leukosit, penurunan hemoglobin dan peningkatan gula

darah sewaktu. Pada hasil foto thorax didapatkan gambaran pneumonia di lobus

inferior dextra. EKG menunjukkan suspected left ventricular hypertrophy. Pada

hasil CT-Scan, tampak hygrome temporoparietalis sinistra, perdarahan

intracerebral frontalis kanan dan kiri yang mulai di absorbs.

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Afasia global, parese N. VII dekstra, hemiparesis dekstra,

pneumonia

Diagnosis topis : Intraparenkim serebri

Diagnosis etiologi : Trauma capitis

Diagnosis patologi : Contusio cerebri, intracerebral hematoma, subdural hygroma

VII. PENATALAKSANAAN

Terapi medika mentosa :

- IVFD Manitol 20% 3x100cc selama 3 hari

- IVFD Asering + Lapibal 1ampul : Pan Amin G/8 jam

- Inj. Citicoline 2 x 1 gr

- Inj. Piracetam 4 x 3 gr

- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr

- Amlodipine 1 x 5 mg

- Nutriflam 3 x 1

- Flumucyl 3 x 1

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungtionam : Dubia ad malam

Ad sanationam : Dubia ad malam

16

Pasien datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan sulit berkomunikasi pasca

terjatuh pada 8 Juni 2015 pukul 11.00. GCS: E4M5V2 Afasia global, TD 170/100 mmHg, nadi

77x/menit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesan hemiparesis kanan dan parese nervus

facialis kanan. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan leukosit, penurunan

hemoglobin dan peningkatan gula darah sewaktu. Dari hasil foto cranium didapatkan calvaria

intak dan sela tursica normal. Kemudian dari hasil foto thorax didapatkan kesan pneumonia

lobus inferior dextra. Diberikan terapi berupa citicolin 2x1gr, ceftriaxone 1x2gr dan flumucyl

3x1.

Pada hari-3 perawatan, yaitu tanggal 10 Juni 2015. GCS: E4M5V2, TD: 140/90 mmHg.

Hasil CT-scan yaitu tampak hygrome temporoparietalis sinistra, perdarahan intracerebral

frontalis kanan dan kiri yang mulai di absorbsi. Diberikan terapi tambahan yaitu manitol

3x100cc, inj. Piracetam 4x3gr dan nutriflam 3x1. Kemudian 10 Juni 2015 siang, perawatan

pasien dipindahkan ke bangsal 8 timur.

Pada hari-5 perawatan yaitu tanggal 12 Juni 2015. Kesadaran pasien compos mentis

dan dapat berkomunikasi lebih baik dari sebelumnya. TD: 140/80 mmHg. Terapi manitol

3x100 cc sudah hari-3 dan selesai pada hari tersebut.

17

ANALISA KASUS

Seseorang yang mengalami kerusakan otak akibat cedera kepala dapat mengalami

afasia. Afasia adalah gangguan linguistic atau tata bahasa yang dijabarkan sebagai penurunan

dan disfungsi dalam isi, bentuk, penggunaan bahasa dan terkait dengan proses kognitif. 6 Pada

sebagian besar individu (sekitar 95%), area terkait bahasa terletak di korteks asosiasi frontalis

dan temporoparietalis hemisfer kiri, yang biasanya kontralateral terhadap tangan yang

dominan (kanan). Pusat bicara utama terdapat di region basalis lobus frontalis kiri (area

Broca, area 44) merupakan area wicara dan di bagian posterior lobus temporalis pada

pertautannya dengan lobus parietalis (area Wernicke, area 22) merupakan area bahasa.6,7

Afasia broca merupakan tipe afasia yang paling sering dijumpai yaitu gejala utamanya

kesulitan dalam bertutur atau gangguan pembentukan bahasa dan biasa disebut dengan afasia

motorik. Sedangkan, gejala utama dari afasia Wernicke adalah gangguan pemahaman bahasa

sehingga orang lain tidak mengerti apa yang dikatakan penderita dan pasien tidak mengerti

yang dikatakan orang lain kepadanya, hal ini disebut afasia sensoris. Lesi yang terjadi pada

area Broca dan Wernicke dapat menimbulkan afasia global yaitu gangguan pada curah verbal

disertai gangguan dalam pemahaman bahasa.6 Pada pasien, melalui anamnesis didapatkan

kesulitan berkomunikasi pasca terjatuh dan dari hasil CT scan terdapat lesi (perdarahan) pada

lobus frontalis kiri dan hygrome pada temporoparietalis kiri sehingga menimbulkan gangguan

fungsi bahasa di area Broca dan area Wernicke yang disebut afasia global.

Pada cedera kepala, terdapat akselerasi dan de-akselerasi kepala. Gerakan cepat yang

terjadi secara mendadak dinamakan akselerasi sedangkan penghentian akselerasi secara

mendadak dinamakan de-akselerasi. Kepala yang jatuh mengalami akselerasi dan de-

akselerasi terjadi pada waktu kepala terbanting pada tanah atau lantai. Akibat dari akselerasi

dan de-akselerasi ini, dapat terjadi lesi kontusio berupa perdarahan pada permukaan otak

yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater.2 Lesi di bawah

tempat benturan disebut kontusio ‘coup’ sedangkan yang jauh dari tempat benturan disebut

kontusio ‘contrecoup’.5 Lesi yang disebutkan diatas biasa terjadi akibat akselerasi kepala dan

penggeseran otak yang bersifat linear. Kepala yang berada di ujung leher, tentu saja tidak

selalu mengalami akselerasi linear pada waktu jatuh. Akselerasi yang seringkali dialami oleh

kepala akibat trauma kapitis ialah akselerasi rotatorik. Akibat akselerasi linear dan rotatorik,

terdapat lesi ‘coup’, ‘contrecoup dan ‘intermediate’. Yang disebut lesi kontusio

18

‘intermediate’ ialah lesi yang berada di antara lesi ‘coup’ dan ‘contrecoup’.2 Pada pasien,

didapatkan melalui anamnesis bahwa mekanisme terjadinya cedera kepala yaitu terjatuh ke

belakang dengan kepala bagian belakang membentur lantai. Hal itu sesuai dengan gambaran

pada CT scan yaitu ditemukan perdarahan intracerebral pada lobus frontal yang merupakan

lesi ‘contrecoup’.

Trauma kapitis pada orang dewasa dapat menyebabkan lesi kontusio sehingga

menimbulkan gejala-gejala defisit neurologis seperti reflex Babinski yang positif dan

kelumpuhan upper motor neuron. Lesi dapat bersifat iritatif atau paralitik, sehingga

manifestasinya dapat berupa hemiparesis atau epilepsi fokal.2 Pada pasien, terdapat lesi di

kortikal kiri sehingga didapatkan gejala defisit neurologis berupa hemiparesis kanan disertai

dengan paresis nervus facialis kanan.

Pada gambaran CT scan, contusio cerebri biasanya terlihat sebagai lesi hemoragik,

walaupun terkadang dapat terlihat normal (isodens) atau hipodens.8 Lesi kontusio sering

berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah perdarahan yang terus

berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya, lesi akan

mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrate

makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara

progresif (mulai dari 48 jam). Gambaran CT scan berupa daerah hiperdens yang dikelilingi

oleh daerah hipodens disebabkan oleh edema dan nekrosis dari jaringan otak.5 Gambaran

tersebut juga terdapat pada hasil CT scan pasien, yaitu di daerah lobus frontalis dimana

terlihat lesi hiperdens yang dikelilingi oleh lesi hipodens, dimana hal tersebut menandakan

terdapat perdarahan intracerebral dengan edema perifokal.

Pada hasil CT scan pasien, didapatkan gambaran higroma pada temporoparietalis kiri.

Higroma subdural adalah akumulasi cairan serebrospinal di ruang subdural. Higroma dapat

terbentuk setelah terjadi robekan pada arachnoid sehingga cairan serebrospinal terkumpul di

ruang subdural. Cedera kepala dapat menyebabkan terjadinya higroma subdural dan

seringkali asimtomatis. Higroma subdural terkadang dapat menimbulkan hematoma subdural

kronik.9

Pengobatan pada pasien yaitu diberikan manitol 20% 3x100cc selama 3 hari berfungsi

untuk mengurangi oedem cerebri. Manitol memiliki sifat osmotic diuretic yang kuat sehingga

mampu menarik molekul air ke dalam pembuluh darah dari jaringan sekitarnya. Sifat tersebut

digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intracranial pada cedera kepala.5

19

Diberikan juga Lapibal yang mengandung mecobalamin dan merupakan golongan

obat nootropik/neurotropik. Diberikan juga suatu nootropik/neurotropik yaitu Piracetam yang

merupakan derivate dari neurotransmitter GABA. Menurut penelitian, piracetam memberikan

efek protektif terhadap hipoksia dan cukup efektif untuk pengobatan cedera kepala paska

trauma.10

Citicoline juga diberikan untuk pasien sebagai neuroprotektor dengan mekanisme

kerja adalah meningkatkan pembentukan fosfatidilkolin dan meningkatkan aliran darah di

otak. Citicoline biasanya digunakan untuk pasien pasca cedera kepala, stroke, dementia, dan

penyakit Parkinson.11

Amlodipine merupakan obat anti hipertensi golongan calcium channel blocker yang

diberikan untuk mengontrol tekanan darah pasien. Ceftriaxone diberikan sebagai antibiotik

pada pasien, terutama untuk mengobati infeksi paru-paru (pneumonia) yang ditandai oleh

peningkatan dari leukosit. Flumucyl juga diberikan untuk mengobati pneumonia yang

diderita pasien.

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dikarenakan pasien sudah

didiagnosa dengan cepat sehingga dapat segera diberikan tatalaksana. Pada pasien ini

didapatkan GCS 11, dimana GCS merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis

dari pasien dengan cedera kepala. Adapun penelitian di Australia yang melibatkan 315 pasien

dengan cedera kepala nyebutkan bahwa pasien dengan GCS 7-13 mempunyai angka

mortalitas sebesar 10-15%.12 Namun untuk ad functionam adalah dubia ad malam, oleh

karena terdapat lesi ‘countrecoup’ yang cukup luas, dimana sumber mengatakan bahwa

adanya lesi ‘contrecoup’ disertai atau tanpa lesi ‘coup’ berhubungan dengan prognosis yang

buruk pada semua usia.13 Sedangkan untuk ad sanationam adalah dubia ad malam, dapat

dilihat dari riwayat pasien yang sudah terjatuh sebanyak 3 kali sehingga hal tersebut

memerlukan perhatian khusus dari keluarga ataupun orang terdekat dengan pasien untuk

mencegah terulangnya cedera kepala pada pasien akibat terjatuh.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penangan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.

Jakarta: FKUI/RSCM. 2006

2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2012.p. 248-

68

3. Traumatic Brain Injury. Center for Disease Control and Prevention.

http://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/get_the_facts.html. Accessed June 14, 2015.

4. Dawodu ST. Traumatic Brain Injury. Medscape.

http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#aw2aab6b3. Accessed June

14, 2015.

5. Japardi I. Patologi dan Patofisiologi Cedera Kepala. Dalam: Cedera Kepala. Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer. 2004.

6. Kusumoputro S, Sidiarto LD. Afasia : Gangguan Berkomunikasi Pasca Stroke Otak.

Jakarta: UI Press. 2009.

7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS: Anatomi, fisiologi, tanda,

dan gejala. Jakarta: EGC. 2010.

8. Kurland D, Hong C, Aarabi B, Gerzanich V, Simard JM. Hemorrhagic Progression of

a Contusion after Traumatic Brain Injury: A Review. Journal of Neurotrauma.

2012;29(1):19-31.

9. Meagher RJ. Subdural hematoma. Medscape.

http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview#a4 Accessed June 14,

2015.

10. Onose G, et al. Traumatic brain injury: Current endeavours and trends for

neuroprotection and related recovery. Romanian Society of Neurosurgery.

2011:43(1):11–30.

11. Fioravanti M, Buckley AE. Citicoline (Cognizin) in the treatment of cognitive

impairment. Clin Interv Aging. 2006;1(3):247-251.

12. Chestnut RM, et al. Early Indicators of Prognosis in Severe Traumatic Brain Injury.

American Association of Neurological Surgeons and World Health Organization.

2000.

13. Bhateja A, Shukla D, Devi BI, Sastry Kolluri VR. Coup and contrecoup head injuries:

Predictors of outcome. The Indian Journal of Neurotrauma. 2009:6(2):115-8.

21