case nina

47
BAB I PENDAHULUAN Walaupun kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beraneka ragam, keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan proses kematian yang tenang. 1 WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Prevalensi nyeri yang tinggi pada negara berkembang diakibatkan karena keterlambatan diagnosis dan terhalangnya akses ke penggunaan opioid. 1 Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagian suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. 3,4 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponene objektif ( asfek fisiologis sensorik nyeri) dan komponen subjektif ( aspek emosional dan psikologis). 3 Nyeri sampai saat ini merupakan masalah di dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya berkaitan dengan 1

Upload: eksaka-nata

Post on 11-Jul-2016

219 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

Page 1: case nina

BAB I

PENDAHULUAN

Walaupun kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beraneka ragam,

keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri yang tidak

teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan dalam

menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan proses kematian

yang tenang.1 WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi

nyeri pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Prevalensi nyeri yang tinggi

pada negara berkembang diakibatkan karena keterlambatan diagnosis dan

terhalangnya akses ke penggunaan opioid.1

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri

didefinisikan sebagian suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan

atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.3,4 Berdasarkan

definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponene objektif ( asfek

fisiologis sensorik nyeri) dan komponen subjektif ( aspek emosional dan

psikologis).3

Nyeri sampai saat ini merupakan masalah di dunia kedokteran. Nyeri

bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan

saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses

penghantaran implus saraf. Dilain pikah nyeri juga sangat mempengaruhi

morbiditas, mortalitas, dan muru kehidupan.

1

Page 2: case nina

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan

nyeri sebagian berikut nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman

kerusakan jaringan.

Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponene

objektif ( asfek fisiologis sensorik nyeri) dan komponen subjektif ( aspek

emosional dan psikologis).3

2.2 Epidemiologi

Walaupun kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beraneka ragam,

keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri yang

tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan

dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan

proses kematian yang tenang.1 WHO dan komunitas nyeri internasional sudah

mengidentifikasi nyeri pada kanker sebagai masalah kesehatan global.

Prevalensi nyeri yang tinggi pada negara berkembang diakibatkan karena

keterlambatan diagnosis dan terhalangnya akses ke penggunaan opioid.1

Menurut literatur, prevalensi nyeri berkisar dari 33% pada pasien setelah

pengobatan kuratif sampai 59% pada pasien pengobatan antikanker dan 64%

pada pasien dengan metastasis lanjut atau fase terminal.2 Tidak ditemukan

perbedaan dalam prevalensi nyeri antara pasien yang menjalani pengobatan

antikanker dan pasien stadium lanjut atau stadium terminal.2 Faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya nyeri kronis pada penderita kanker yang

selesai pengobatan seperti neuropati perifer karena kemoterapi, brakialis

plexopathy karena radiasi, nyeri panggul kronis yang disebabkan radiasi dan

2

Page 3: case nina

nyeri pascaoperasi 3. Nyeri memiliki prevalensi tinggi pada jenis kanker

tertentu seperti pankreas (44%) dan kanker kepala dan leher (40%).4

Selain itu, literatur menunjukkan bahwa hampir setengah dari seluruh

pasien kanker dirawat kurang adekuat, dengan variabilitas tinggi di desain

studi dan pengaturan klinis. Studi terbaru yang dilakukan baik di Italia dan

Pan Eropa menegaskan data ini, menunjukkan bahwa berbagai jenis rasa sakit

atau sindrom nyeri muncul dalam semua tahap kanker (awal dan metastasis)

dan tidak diperlakukan secara adekuat dengan persentase yang signifikan,

mulai dari 56% hingga 82,3%. Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan di

pusat-pusat ini, pasien masih diklasifikasikan berpotensi dirawat dengan tidak

adekuat pada 9,8% -55,3% dari kasus.5

2.3 Klasifikasi Nyeri

1) Berdasarkan asalnya:

a) Nyeri Nociceptive.

Nyeri Nociceptive merupakan nyeri yang distimulasi oleh reseptor nyeri.

Nyeri jenis ini biasanya berasal dari respon yang terjadi akibat kerusakan

pada tubuh. Pengobatan Nyeri Nociceptive dapat menggunakan golongan

analgesik biasa atau yang sudah umum seperti parasetamol, NSAID, atau

golongan opioid (Wiffen, et al., 2007).

b) Nyeri Neuropathic.

Nyeri Neuropathic disebabkan karena adanya luka atau disfungsi sistem

saraf. Nyeri jenis ini tidak dapat diobati dengan analgetik yang biasa,

sehingga obat-obat yang sering digunakan seperti antidepresan,

antikonvulsan, dan beberapa golongan obat lain (Wiffen, et al., 2007). Nyeri

Neuropathic juga biasa disebabkan karena tekanan atau infiltrasi saraf oleh

kanker (Sukardja, 2000).

2) Nyeri Berdasarkan Waktu

Nyeri berdasarkan awitan (waktu serangan) menurut Prasetyo (2010)

diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

a. Nyeri Akut

3

Page 4: case nina

Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau intervensi

bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif

( ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut

berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki onset yang tiba-tiba, dan

terlokalisir. Nyeri akut biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau

inflamasi. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis

yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti: peningkatan tekanan darah,

peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi

pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi

dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau

menyeringai serta akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan

berkaitan dengan nyeri yang dirasakan.

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut, intensitasnya

bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik malignan dan nyeri kronik

non-malignan. Nyeri kronik malignan dapat dirasakan oleh klien hampir

setiap harinya dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau bahkan

tahun), akan tetapi juga mempunyai probabilitas yang tinggi untuk berakhir.

Pada kasus tertentu, nyeri berakhir dengan berakhirnya kehidupan klien

seperti pada kasus klien dengan kanker stadium terminal. Nyeri kronik non-

malignan adalah nyeri yang dirasakan selama lebih dari 6 bulan dengan

intensitas ringan sampai berat. Contoh nyeri kronik non-malignan seperti low

back pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom dan

myofascial pain syndrom. Klien yang mengalami nyeri kronis

memperlihatkan keputusasaan, depresi, mudah tersinggung / marah dan

menarik diri, kelesuan, kelemahan, keterbatasan gerak, penurunan libido dan

melaporkan adanya nyeri ketika dikaji / ditanyakan.

4

Page 5: case nina

2.4 Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang

secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara

anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang

tidak bermielin dari syaraf perifer.1

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep

somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,

nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.1

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang

berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu1 :

a. Serabut A delta

5

Nyeri AkutIsyarat dari proses penyakit organikPenyebab biasanya jelasMenghilang bila penyebab diterapiOpioid memiliki indikasi yang khas dan efektif

Biasanya tak memberikan ‘secondary gain’Tujuan penanganan: Menghilangkan nyeri dan mengembalikan penderita ke tingkat fungsional premorbid

Nyeri KronikTak memberikan fungsi yang bermanfaatPenyebab seringkali tak jelasSeringkali tak berespon terhadap berbagai bentuk terapiOpioid jarang memiliki indikasi ataupun keefektifanUmumnya memberikan ‘secondary gain’Tujuan penanganan: Maksimal efektif mengurangi rasa nyeri,Membantu penderita mengatasi rasa nyeri yang masih ada serta meningkatkan kapasitas fungsional penderita

Page 6: case nina

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)

yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul

dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor

nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul

merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.1

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri

yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan

organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.1

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri

dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi

stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut

sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).

Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan

temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum

6

Page 7: case nina

dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik

(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut

saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin

(serabut C).1,2

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu1,2 :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas

listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti

prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,

serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat

berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor

saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut

C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls

tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus

sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls

disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,

dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak

yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi

ini juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau

meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai

dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya

menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi

nyeri.

7

Page 8: case nina

Gambar 1. Proses terjadinya stimulus rangsangan nyeri

Respon fisiologis terhadap nyeri

a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

8

Page 9: case nina

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd

aktivitas menghilangkan nyeri).

2.5 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi

nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan

pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai

sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan

ekspresi nyeri yang dirasakan.4

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai

dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada

pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien

yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal

setempat.4

Gambar 2. Wong Baker Faces Pain Rating Scale4

9

Page 10: case nina

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

limapoin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.4

Gambar 3. Verbal Rating Scale4

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana

pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan

menunjukkanangka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.4

Gambar 4. Numerical Rating Scale4

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948

yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)

penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien

10

Page 11: case nina

diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri

yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih

mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.

Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah

digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik,

dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan

beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson

dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik

kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat

menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap

sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk

tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat

sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic

penyelamat (rescue analgetic).4

Gambar 5. Visual Analogue Scale4

11

Page 12: case nina

2.6 Golongan Obat Analgesik yang digunakan untuk Penatalaksanaan

Nyeri

1) Golongan Opoid

Golongan opioid digunakan untuk pasien kanker yang menderita

nyeri sedang sampai berat. Hal ini dikarenakan tingkat nyeri tinggi

mengakibatkan rasa sakit yang parah. Pengamatan dan evaluasi dosis,

waktu pemberian dan efek samping obat golongan opoid ini perlu

dilakukan. Opioid menghasilkan efek analgesik dengan berikatan ke

reseptor spesifik di dalam dan di luar sistem saraf pusat. Opioid

dikelompokkan menjadi agonis, agonis parsial atau agonis-antagonis

bergantung pada reseptor spesifiknya. Opioid agonis berupa morfin,

codein, hidrocodon, metadon dan fentanyl. Opioid agonis tidak memiliki

“ceiling effect” untuk efektifitas analgesic dan tidak akan bekerja

melawan efek opioid yang lain yang ada di kelas yang sama ini jika

diberikan bersamaan. “Ceiling effect” analgesik merupakan dosis yang

lebih tinggi tidak memiliki efek analgesic yang lebih besar dibandingkan

dengan dosis biasa, tetapi hanya akan menimbulkan efek samping yang

lebih besar. Efek samping berupa konstipasi, mual, retensi urin, bingung,

mengantuk dan depresi nafas.6, 8 

Opioid agonis parsial adalah buprenorphine, di mana memiliki

“ceiling effect” dalam analgesic. Opioid agonis-antagonis adalah

pentazocine, dezocine dan nalbupine. Obat ini memiliki “ceiling effect”

dalam analgesia. Opioid jenis ini menghambat reseptor opioid mu dan

mengaktivasi reseptor opioid kappa. Pasien yang mendapat opioid agonis

tidak boleh diberikan opioid agonis-antagonis karena akan dapat

mempresipitasi with drawal syndrome dan meningkatkan nyeri.6

Toleransi dan ketergantungan fisik terhadap opioid dapat terjadi

pada pemberian opioid jangka panjang dan tidak boleh dikacaukan dengan

dianggap sebagai ketergantungan psikis (adiksi) yang bermanifestasi

sebagai prilaku penyalahgunaan obat. Ketergantungan fisik terhadap

12

Page 13: case nina

opioid muncul jika opioid dihentikan secara tiba-tiba atau jika naloxon

diberikan. Manifestasi klinisnya adalah kecemasan, iritabel, menggigil,

nyeri sendi, lakrimasi, rhinorea, mual, muntah, diare dan kram perut.

Untuk opioid dengan waktu paruh pendek (seperti kodein, morfin),

gejalanya dapat terjadi 6-12 jam dengan puncaknya 24-72 jam sesudah

opioid dihentikan. Untuk opioid waktu paruh jangka panjang (metadon,

fentanyl), gejalanya dapat tertunda 24 jam atau lebih pasca penghentian

obat dan gejala yang ditimbulkan dapat lebih ringan. Pasien dengan kanker

biasanya membutuhkan penghentian opioid jika penyebab nyeri sudah

dihilangkan dengan terapi antineoplasma. Pada keadaan demikian, gejala

ketergantungan opioid dapat dihindari dengan penurunan dosis opioid

bertahap, yaitu 2 hari pertama dosis diturunkan menjadi separuhnya dan

kemudian diturunkan lagi 25% setiap 2 hari sampai total dosis 30 mg/hari

(ekuivalen morfin). Opioid dapat dihentikan sesudah 2 hari dengan dosis

30mg/hari.6

Toleransi terhadap opioid adalah kebutuhan untuk meningkatkan

dosis agar nyeri tetap terhindarkan.Untuk kebanyakan pasien kanker,

gejala pertama dari toleransi adalah berkurangnya durasi analgesic.

Meningkatnya dosis anlagesik konsisten dengan progresivitas penyakit.

Kecuali fentanyl transdermal, tidak ada dosis maksimal yang

direkomendasikan untuk opoid agonis dan bahkan sebenarnya, dosismorfin

yang sangat besar dapat diberikan untuk mengatai nyeri yang berat.6

Opioid oral lebih dianjurkan karena paling mudah digunakan dan

harganya tidak mahal. Tapi jika pasien tidak dapat menggunakan obat oral,

rute yang kurang invasif harus dicoba seperti rectal atau transdermal.

Opioid rectal dapat digunakan jika pasien mual, muntah atau saat sedang

berpuasa untukoperasi. Rute rectal dikontra indikasikan jika ada lesi di

anus/rectum karena penggunaan supositoria akan menyebabkan nyeri.

Rute ini juga kurang berguna jika pasien diare. Sedangkan untuk jalur

transdermal, satu-satunya opioid adalah fentanyl. Terdapat 4 ukuran yaitu

25,50,75 dan 100mg/jam. Dosis maksimal adalah 300 mg/jam. Jika masih

13

Page 14: case nina

membutuhkan dosis yang lebih besar maka harus diubah ke jalur oral atau

subkutan. Tiap patch berisi fentanyl untuk 72 jam. Kadar di darah

meningkat dalam 12-18 jam sesudah pemasangan patch dan memiliki

waktu paruh 21 jam. Karena itulah, fentanyl transdermal tidaklah cocok

untuk titrasi cepat. Sama seperti analgesic jangka panjang lainnya, semua

pasien harus diberikan opioid kerja cepat via oral atau parenteral untuk

mengatasi nyeri.6, 7

Penggunaan opioid intramuskular harus dihindari karena dapat

menyakitkan dan absorbsinya tidak jelas. Penggunaan intravena opioid

dapat diberikan pada pasien dengan mual muntah persisten, gangguan

menelan, penurunan kesadaran, dan untuk pasien yang membutuhkan

titrasi cepat.7, 9

2) Golongan OAINS

OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) digunakan sebagai

terapi awal untuk nyeri ringan karena OAINS efektif dan dapat

dikombinasikan dengan opioid dan adjuvant jika nyeri bertambah

berat. Asetaminofen termasuk dalam grup ini karena memiliki potensi

analgesic yang serupa walau efek anti inflamasinya paling lemah.

Keuntungan dari asetaminofen jika dibanding OAINS lainnya adalah

kurang mengganggu fungsi trombosit, sehingga lebih aman digunakan

pada pasien trombositopeni.6

OAINS menurunkan jumlah mediator inflamasi pada tempat

jaringan yang terganggu dengan menghambat enzim cyclooxygenase,

yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadiprostaglandin

dan leukotrien. Mediator inflamasi ini membuat saraf sensitive

terhadap stimulus nyeri.Penggunaan bersama dai opioid, OAINS dan

asetaminofen sering memberikan efek analgesi yang lebihbaik

daripada jika digunakan sendiri saja.7

Berlawanan dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan toleransi,

ketergantungan fisik/psikis danmemiliki spectrum toksiitas yang

berbeda. Efek samping OAINS yang dapat terjadi adalah gagal

14

Page 15: case nina

ginjal,gangguan hati, perdarahan dan ulkus lambung. Jadi penggunaan

OAINS pada lansia harus diawasi agar tidak terjadi efek samping yang

tidak diinginkan.6

Untuk mengatasi nyeri pada kanker, WHO menerapkan “a three

step ladder” yaitu 3 langkah bertahap sesuai dengan nyeri yang

dialami pasien. WHO juga menerapkan konsep dalam terapi

medikamentosa untuk nyeri yaitu lewat mulut (obat per oral), dan obat

diberikan teratur setiap 3-6jam (untuk menjagakadar obat tetap stabil).

Langkah pertama penanganan nyeri menurut WHO adalah penggunaan

asetaminofen, aspirin atau OAINS lainnya untuk nyeri ringan (VAS 1-

4). Obat adjuvant dapat dipergunakan di setiap langkah. Obat adjuvant

berguna untuk meningkatkan efektivitas analgesic dan memberikan

efek analgesic untuk tipe nyeri yang spesifik.6

Jika nyeri masih ada atau bahkan meningkat (VAS 5-7), opioid

seperti kodein atau hydrocodone harus ditambahkan (bukan sebagai

pengganti) ke OAINS. Pada langkah ini, opioid banyak diberikan

dalampreparat kombinasi dengan asetaminofen atau aspirin. Jika

dibutuhkan dosis opioid yang lebih tinggi,maka langkah ketiga

diperlukan. Pada langkah ketiga, analgesic opioid dan nonopioid harus

dalam preparat yang berbeda untuk menghindari dosis asetaminofen

atau OAINS yang berlebihan.6

Jika nyeri persisten, ataupun muncul dalam taraf berat (VAS 8-10),

maka harus ditangani dengan opioidyang lebih poten atau dengan dosis

yang lebih tinggi. Obat seperti kodein atau hydrocodone digantidengan

opioid yang lebih poten ( biasanya morfin, metadon, fentanyl atau

levorphanol). Obat untuk nyeri yang persisten pada kanker seharusnya

diberikan secara terus menerus, karena dosis obat yang teratur

diberikan akan menjaga kadar obat tetap konstan di tubuh sehingga

mencegah kembalinya nyeri.Analgetik tetap sebaiknya diberikan

dengan jalur oral. Jika diberikan intravena, sebaiknya diberikan dengan

dosis 1/3 dosis oral. Hydromorfon atau oxycodon oral merupakan

15

Page 16: case nina

alternative yang efektif darimorfin oral. Fentanyl transdermal baik

untuk pasien yang kebutuhan opioidnya sudah stabil.6

2.7 Cara Pemilihan Obat untuk Penatalaksanaan Nyeri Kanker

Penatalaksanaan nyeri kanker berdasarkan Guidelines dari National

Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2008 dengan cara menentukan

diagnosis terlebih dahulu untuk nyeri yang dirasakan oleh pasien. Cara melihat

nyeri kanker dengan melihat pengukuran intensitas nyeri, meminta pasien

mendeskripsikan nyeri. Jika tidak ada nyeri pasien tidak mendapat obat analgetika

golongan opioid dan apabila pada keadaan nyeri tidak terkontrol harus segera

dilakukan evaluasi. Apabila pasien mendapatkan analgetika opioid maka

diberikan pada pasien yang mempunyai skala nyeri 1-3 atau 4-10. Hal ini

digunakan untuk mengatisipasi kejadian nyeri dan kecemasannya.

Berdasarkan pemilihan obat golongan opoid untuk penatalaksanaan nyeri

pada pasien kanker berdasarkan National Comprehensive Cancer Network

(NCCN) tahun 2008 adalah untuk nyeri kanker ringan (1-3) diberikan NSAID atau

paracetamol tanpa opioid. Untuk nyeri kanker sedang (4-6) diberikan opioid aksi

cepat dengan peningkatan dosis. Dan untuk nyeri kanker berat (7-10) diberikan

opioid aksi cepat dengan peningkatan dosis. Pada nyeri ringan, sedang dan berat

dilihat respon nyerinya hilang, berkurang atau bertambah pada pemakaian opioid

aksi cepat. Sehingga perlu dilakukan evaluasi kembali selama 24 jam pada pasien

untuk melihat keberhasilan terapi. Pada tiap terapi nyeri juga dibutuhkan

dukungan psikososial, edukasi pasien dan keluarga, serta terapi non farmakologi

(Robert, et al., 2008). Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap,

pasien dengan nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah

ke-3 segera mungkin. Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang

jelas mengenai farmakologi, akibat yang mungkin ditimbulkan, dan efek yang

tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan bagaimana

efek ini  berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Lima konsep penting dari

pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien nyeri kanker :

16

Page 17: case nina

By the mouth.

By the clock.

By the ladder.

For the individual.

With attention to detail.

2.8 Prinsip pengobatan menurut WHO

1) Tahap pertama : tingkat rasa sakit ringan sampai sedang membutuhkan

penggunaaan asetaminophen atau NSAID, atau keduanya secara

bersamaan NSAID sangat bermanfaat khususnya dalam penanggulangan

rasa sakit yang disebabkan oleh metastasis tulang, karena

kemampuannya dalam menghambat produksi prostaglandins. NSAID

menunjukkan efek “langit-langit”. Dengan demikian, saat digunakan

dalam dosis yang melebihi rekomendasi, sifat racun akan meningkat

tanpa peningkatan analgesia. Untuk penanggulangan utama, NSAID

yang aman, paling murah, yang akan digunakan untuk pasien harus

dipilih. Efek samping dari NSAID meliputi gangguan ginjal, asma, dan

perdarahan lambung dan duodenal. Jika pasien menderita dyspepsia,

penggunaanNSAID perlu dipertimbangkan. Sangat dianjurkan untuk

pasien di atas 65 tahun yang membutuhkan terapi NSAID jangka

panjang atau yang memiliki riwayat peptic ulcer untuk menerima terapi

profilaktik. Penggunaan profilaktik seperti antasida atau H2 reseptor

antagonis memiliki manfaat terbatas pada pasien yang menerima

perawatan jangka panjang dengan NSAID, dan bukti level I

mengindikasikan bahwa, setidaknya pada pasien dengan

rheumatoidarthritis, misoprostol akan secara efektif mengurangi

frekuensi komplikasi perencanaan.

2) Tahap 2 : saat rasa sakit lumayan tidak terkontrol, opioid seperti codein

atau oxycodone harus ditambahkan bersama NSAID

17

Page 18: case nina

Codeine tidak lebih manjur daripada morfin sedangkan oxycodone

lebih manjur daripada morfin. Oxycodone tersedia di Kanada dalam

bentuk tablet dan supositoria dan dalam dosis rendah terdapat pada

kombinasi campuran acetaminophen atau asam acetylsalicylic. Jika

fleksibiltas dalam dosis obat individu tidak diperlukan, kombinasi

acetaminophen dan oxycodone menyediakan persiapan yang memadai

untuk pasien yang membutuhkan pereda rasa sakit level 2 sesuai

pendekatan WHO

3) Tahap 3 : Saat rasa sakit sudah parah dan tidak maksimal terhadap

pengobatan tahap 2, yang harus dilakukan adalah secepatnya mengganti

opioid yang manjur dengan atau tanpa NSAID dan analgesik adjuvant.

Pada awalnya, pasien harus diberikan morfin dosis pendek, dengan

konversi pada persiapan dosis panjang saat rasa sakit mulai reda. Jika

efek samping yang tidak terkontrol terjadi karena penggunaan morfin,

hydromorphone adalah obat alternative yang cocok dengan sifat opioid

yang serupa. Oxycodone atau fentanyl adalah alternatif yang berguna

jika pasien memiliki efek samping tak terkontrol saat menggunakan

opioid lain. Methadone adalah perantara yang memuaskan tapi lebih

sulit digunakan karena paruh waktu yang panjang dan sangat bervariasi.

Diamorphine (Heroin) tidak memberi keuntungan sebagai

perantara oral terhadap morfin. Ini adalah “prodrug” yang berubah

secara cepat menjadi morfin setelah masuk ke dalam mulut

Meperidine dan obatan-obatan dalam kelas yang sama atau

campuran obatan-obatan agonis-antagonis seperti pentazocine biasanya

tidak dianjurkan. Meperidine tidak dapat diaplikasikan secara subkutan

dan penggunaan jangka panjangnya diasosiasikan dengan akumulasi

metabolit toksik, normeperidine, yang menyebabkan iritasi berlebihan

pada system saraf pusat, myoclonus dan kejang-kejang.

Pentazocine menyebabkan efek psikotomimetrik pada banyak

pasien dan karena gabungan agonis-antagonis dapat mengendapkan

18

Page 19: case nina

reaksi kemunduran saat pasien pada terapi opioid jangka panjang diganti

dari opioid lain ke pentazocine.5

4) Tahap keempat : Adjuvant analgesik

Adjuvant analgesik adalah obat-obat yang, ketika ditambahkan ke

analgesik primer, akan jauh lebih meningkatkan kontrol nyeri. Mereka

sendiri juga dapat sebagai analgesik primer (seperti, obat-obat trisiklik

antidepresan untuk neuralgia postherpetik). Obat-obat ini dapat

ditambahkan dalam penatalaksanaan nyeri pada setiap langkah anak tangga

terapi nyeri menurut WHO.10, 14, 16, 18

1) Kortikosteroid

Semakin banyak bukti bahwa, di samping untuk meningkatkan

nafsu makan, kortikosteroid mampu mengatasi nyeri pada metastase

tulang dan nyeri hati dan nyeri kompresi saraf. Pasien yang menderita

metastatic cord compression telah dilaporkan menggunakan

deksametason dan prednisolon oral untuk merdakan nyeri, obat tersebut

diketahui memiliki efek analgesik yang signifikan dalam studi

terkontrol pada pasien dengan kanker stadium lanjut.5

2) Antidepresan

Antidepresan trisiklik membantu dalam mengatasi nyeri

neuropatik. Terlepas dari efek yang ditimbulkan yaitu depresi

berkelanjutan, obat tersebut pada dasarnya bertindak sebagai inhibitor

dalam transmisi nociceptive di dalam tanduk dorsal saraf tulang

belakang. Hal tersebut umumnya telah didapatkan hasilnya dengan

menggunakan amitripitilin. Akan tetapi, penggunaannya pada pasien

kanker umumnya sulit dikarenakan oleh efek samping antikolinergik

seperti mulut kering dan sembelit. Untuk sisi positifnya, dosis yang

dibutuhkan untuk menekan rasa sakit pada dasarnya lebih rendah

dibandingkan dengan saat digunakan untuk mengatasi depresi, dan efek

positifnya dapat langsung terlihat sejak awal, seringnya saat di hari

ketiga sampai kelima. Alternatif antidepresan yang lebih aman

19

Page 20: case nina

termasuk desipramin dan nortitriptilin. Paroksetin, sebuah inhibitor

serotonin selektif untuk absorpsi ujung saraf presinaptik yang efektif

dalam penanganan rasa sakit yang dikarenakan oleh diabetes neuropati67

(temuan level III) juga dianggap efektif dalam tipe lain darirasa sakit

neuropatik (temuan level V).5

3) Anticonvulsan

Agen-agen ini sangat membantu dalam mengatasi kompon nyeri

neuropatik, seperti yang ditunjukkan dalam studi-studi kepada pasien

dengan trigeminal neuralgia. Akan tetapi, beberapa studi telah meneliti

penggunaan agen-agen ini dalam mengatasi kanker; hampir seluruh

studi klinis mendeskripsikan kegiatannya di dalam pasien dengan

sindrom nyeri neuropatik nonkanker. Obat-obat yang umumnya

digunakan termasuk carbamazepin, penitoin, baklofen, asam valpoik

atau clonazepam. Carbamazepin umumnya menjadi pilihan pertama,

tapi yang lainnya dapat digunakan jika respon awalnya tidak

memuaskan atau terdapat efek yang merugikan (temuan level V).5

4) Anestetik lokal

Berbagai anestetik lokal yang diberikan secara sistematis seperti

mexitelin, tokainida, atau flekainida umumnya digunakan untuk

penanganan kardiak aritmia. Akan tetapi, semuanya boleh digunakan

untuk penanganan nyeri neuropatik yang jika memungkinan dapat

merespon sesuai dengan pengobatan. Perawatan seharusnya dilatih di

dalam menggabungkan meksitelin dengan antidepresan trisiklik karena

beberapa pasien yang telah menderita efek psikotomik yang merugikan

(temuan level V). Peran yang relatif dari tiap kelas agen dan insidensi

gabungan-gabungan racun dari obat-obatan harus diatasi secepatnya.5

5) Inhibitor substansi P

Kapsaisin, sebuah inhibitor substansi P dan analgesik topikal, telah

dianjurkan untuk mengurangi hiperalgesia yang berhubungan denga

kulit dan rasa sakit neuropatik yang panas tapi masih belum tertemuan.5

20

Page 21: case nina

6) Inhibitor resorpsi tulang

Obat-obatan terkini yang menjadi pilihan pertama untuk

penanganan hiperkalsemia ganas adalah bisfosfonat (contohnya

pamidronat dan clodronat). Obat-obatan ini akan mencegah atau

menekan rasa sakit tulang yang berbahaya atau komplikasi skeletal

pada beberapa wanita dengan tulang metastase (temuan level I). Selain

itu juga, temuan dari salah satu pengujian menyarankan bahwa

penggunaannya bahkan dapat mengurangi frekuensi tulang metastase.

Obat yang lain, kalsitonin, terkadang digunakan untuk menekan rasa

sakit dari tulang metastase.5

21

Page 22: case nina

22

Page 23: case nina

2.9 Terapi nonfarmakologi

Menurut Tamsuri, selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi

nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari

beberapa tindakan penanganan berdasarkan5:

a. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:

1) Stimulasi kulit

Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan

otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut

berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls

nyeri

2) Stimulasi electric (TENS)

23

Page 24: case nina

Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah

cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa

dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan

stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve

stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus

listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

3) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan

untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit,

bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang

dapat memblok transmisi nyeri ke otak.

4) Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa

kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”

seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:

1)Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan

beberapa keuntungan, antara lain:

1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau

stress

2. Menurunkan nyeri otot

3. Menolong individu untuk melupakan nyeri

4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain

6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:

1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru

2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor

dan rasakan betapa nyaman hal tersebut

3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu

24

Page 25: case nina

4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-

lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada

klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan

dan hangat.

5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung

dan kelompok otot-otot lain

6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.

Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

2) Umpan balik biologis

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi

tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap

respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,

dengan cara memasang elektroda pada pelipis.

3) Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

4) Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai

sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio

(mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi

intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.

5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)

Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,

tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi

dari pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.

Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri

akut.

25

Page 26: case nina

1.

1.1.

1.2.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 kasus

Pasien dengan Ca payudara dan metastase menderita nyeri kronik skala nyeri

8. Anda dikonsulkan untuk manajemen nyeri, rencanakan program pemberian

terapi dengna pasien usia 64 tahun dengan berat badan 78 kg.

a) Rencanakan penanganan :

1) Penatalaksanaan nyeri kanker berdasarkan Guidelines dari National

Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2008 dengan cara

menentukan diagnosis terlebih dahulu untuk nyeri yang dirasakan oleh

pasien

2) Pemilihan obat golongan opoid untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien

kanker berdasarkan National Comprehensive Cancer Network (NCCN)

tahun 2008 adalah untuk nyeri kanker berat (7-10) diberikan opioid aksi

cepat dengan peningkatan dosis.

3) Pada awalnya, pasien harus diberikan morfin dosis pendek, dengan

konversi pada persiapan dosis panjang saat rasa sakit mulai reda.

4) Jika nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan dosis

mulai 25% hingga 50%  untuk nyeri ringan hingga sedang,  mulai 50%

hingga 100% untuk nyeri berat sampai nyeri tak terkontrol, atau sejumlah

dengan dosis total  “rescue medication” yang digunakan dalam 24 jam

sebelumnya. Jangan menunggu lama. Penundaan justru memperlama

derita nyeri pasien. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1

atau 2 dosis (seperti pada “crescendo pain”), tingkatkan dosis lebih cepat.

Observasi ketat pasien hingga nyeri menjadi lebih terkontrol. 10, 14, 15

5) Penambahan Adjuvant analgesik seperti kortikosteroid (Deksametason dan

prednisolon oral untuk merdakan nyeri, obat tersebut diketahui memiliki

26

Page 27: case nina

efek analgesik yang signifikan dalam studi terkontrol pada pasien dengan

kanker stadium lanjut).5, antidepresan (desipramin dosis rendah dimulai

pada 10 hingga 25 mg melalui oral sebelum tidur mungkin hanya efektif

untuk beberapa hari. Dosis mungkin ditingkatkan setiap 4 hingga 7 hari

hingga tercapai efek penyembuhan nyeri atau efek samping muncul),

Anticonvulsan (Carbamazepin), dll.

6) Terapi Non-Farmakologi

7) Dukung psikososial

8) Edukasi Pasien dan Keluarga

b) Rencana Terapi

Golongan opoid : Morfin peroral dosis 20-40 mg /kgBB 0,5 mg/

hari

Golongan Adjuvan : Carbamazepin peroral dosis 200 mg/kgBB 3

mg/ hari

27

Page 28: case nina

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien dengan skala nyeri 8 menurut National Comprehensive

Cancer Network (NCCN) tahun 2008 mengindikasikan nyeri berat. Untuk nyeri

berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk

fungsi sosial (7-10/10), dimulai pada langkah ke-3. Untuk penanganan ke tahap 3

yaitu pemberian opoid, harus diberikan morfin dosis pendek, dengan konversi

pada persiapan dosis panjang saat rasa sakit mulai reda.

Jika nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan dosis

mulai 25% hingga 50%  untuk nyeri ringan hingga sedang,  mulai 50% hingga

100% untuk nyeri berat sampai nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan dosis

total  “rescue medication” yang digunakan dalam 24 jam sebelumnya. Jangan

menunggu lama. Penundaan justru memperlama derita nyeri pasien. Jika nyeri

menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis (seperti pada “crescendo

pain”), tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri menjadi

lebih terkontrol.

28

Page 29: case nina

BAB VKESIMPULAN

5.1 Penanganan Nyeri pada Kanker Payudara

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan

nyeri sebagian berikut nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman

kerusakan jaringan.

Penatalaksanaan nyeri kanker berdasarkan Guidelines dari

National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2008 dengan cara

menentukan diagnosis terlebih dahulu untuk nyeri yang dirasakan oleh

pasien. . Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk

menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama

pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.4

Untuk mengatasi nyeri pada kanker, WHO menerapkan “a three step

ladder” yaitu 3 langkah bertahap sesuai dengan nyeri yang dialami pasien.

WHO juga menerapkan konsep dalam terapi medikamentosa untuk nyeri yaitu

lewat mulut (obat per oral), dan obat diberikan teratur setiap 3-6 jam (untuk

menjaga kadar obat tetap stabil). Langkah pertama penanganan nyeri menurut

WHO adalah penggunaan asetaminofen, aspirin atau OAINS lainnya untuk

nyeri ringan (VAS 1-4). Obat adjuvant dapat dipergunakan di setiap langkah.

Obat adjuvant berguna untuk meningkatkan efektivitas analgesic dan

memberikan efek analgesic untuk tipe nyeri yang spesifik.6

Jika nyeri masih ada atau bahkan meningkat (VAS 5-7), opioid seperti

kodein atau hydrocodone harus ditambahkan (bukan sebagai pengganti) ke

OAINS. Pada langkah ini, opioid banyak diberikan dalam preparat kombinasi

dengan asetaminofen atau aspirin. Jika dibutuhkan dosis opioid yang lebih

tinggi,maka langkah ketiga diperlukan. Pada langkah ketiga, analgesic opioid

dan nonopioid harus dalam preparat yang berbeda untuk menghindari dosis

asetaminofen atau OAINS yang berlebihan.6

29

Page 30: case nina

Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan

nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera

mungkin. Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas

mengenai farmakologi, akibat yang mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak

diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan bagaimana efek

ini  berbeda dari satu pasien ke pasien lain. 

Pada awalnya, pasien harus diberikan morfin dosis pendek, dengan

konversi pada persiapan dosis panjang saat rasa sakit mulai reda. Jika efek

samping yang tidak terkontrol terjadi karena penggunaan morfin,

hydromorphone adalah obat alternative yang cocok dengan sifat opioid yang

serupa.

Jika nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan dosis

mulai 25% hingga 50%  untuk nyeri ringan hingga sedang,  mulai 50% hingga

100% untuk nyeri berat sampai nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan

dosis total  “rescue medication” yang digunakan dalam 24 jam sebelumnya.

Jangan menunggu lama. Penundaan justru memperlama derita nyeri pasien.

Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis (seperti pada

“crescendo pain”), tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga

nyeri menjadi lebih terkontrol. 10, 14, 15

Terapi Adjuvant analgesik adalah obat-obat yang, ketika ditambahkan ke

analgesik primer, akan jauh lebih meningkatkan kontrol nyeri. Mereka sendiri

juga dapat sebagai analgesik primer (seperti, obat-obat trisiklik antidepresan

untuk neuralgia postherpetik). Obat-obat ini dapat ditambahkan dalam

penatalaksanaan nyeri pada setiap langkah anak tangga terapi nyeri menurut

WHO.10, 14, 16, 18

30