case dm tipe 2 ulkus diabetik

48
CASE REPORT II Seorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra Oleh: Erwin Imawan, S.Ked Pembimbing: dr. Bahrodin, Sp. PD 1

Upload: erwin-imawan

Post on 11-Sep-2015

178 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

case DM tipe 2 ulkus diabetik

TRANSCRIPT

RESPONSI

CASE REPORT IISeorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra

Oleh:Erwin Imawan, S.KedPembimbing:dr. Bahrodin, Sp. PDKEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD DR HARDJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

CASE REPORT IISeorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis SinistraYang Diajukan Oleh:

Erwin Imawan, S. Ked

J510155047

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Harjono Kabupaten Ponorogo

Pada hari tanggal

Pembimbing:

dr. Bahrodin, Sp.PD

(

)

Dipresentasikan dihadapan:

dr. Bahrodin, Sp.PD

(

)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

BAB ISTATUS PASIENI. ANAMNESA

A. IdentitasNama: Tn. WUmur: 48 tahunJenis Kelamin: Laki-lakiAlamat: Sukorejo, PonorogoAgama: IslamSuku: JawaStatus Pernikahan: MenikahMasuk RS: 19 juni 2015Pemeriksaan: 25 Juni 2015B. Keluhan Utama : Kaki kiri bengkak dan luka.C. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada tanggal 19 juni 2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono dalam keadaan baik, namun pasien mengeluhkan bengkak pada kaki kiri. Bengkak pada kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien mengaku bengkak berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya kecil, tetapi lama-lama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan perawatan luka dan tidak berobat kemanapun sebelum di bawa ke IGD saat itu. Melalui alloanamnesis pada keluarga didapatkan keterangan bahwa pasien sudah menderita DM tipe II sudah 3 tahun. Pasien mengaku tidak rutin melakukan pengobatan pada penyakit DM. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang serupa. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015 pasien terlihat baik, dapat berkomunikasi, dan kooperatif. D. Riwayat Penyakit Dahulu :

a. Riwayat Komorbid lain

: Riwayat tekanan darah tinggi (-) Riwayat sakit jantung (-), DM (+) sejak 3 tahun yang lalu, Liver (-)b. Riwayat opname

: disangkalc. Riwayat alergi

: disangkald. Riwayat operasi

: disangkale. Riwayat trauma

: disangkalE. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat Keluarga sakit Serupa: disangkal2. Riwayat Keluarga

: HT(-), DM(-), p.jantung(-), Liver(-)3. Riwayat atopi

: disangkalF. Riwayat Kebiasaan

a. Riwayat Merokok

: disangkalb. Riwayat Minum alkohol

: disangkalc. Makan pedas

: disangkal

d. Minum kopi

: diakui (frekuensi: sering)e. Minum Teh

: diakui (frekuensi: sering)f. Minum Jamu

: disangkalII. PEMERIKSAAN FISIKA. Keadaan Umum

KU

: BaikKesadaran: Compos Mentis ( GCS E4 V5 M6)

Gizi

: Kesan cukup

B. Vital SignTD: 100/60 mmHg

Nadi: 88x/menit.RR: 18x/menit.S: 36,0o C peraxiller.C. Status Generalis

1. Kepala: simetris (+), deformitas (-), konjungtiva anemis (-/-),

sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+)2. Leher: simetris (+), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran limfe (-)3. ThoraksInspeksiStatis : Normo chest, simetris

Dinamis : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri

PalpasiStatis : Dada kanan dan kiri simetris.Dinamis : Pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri, fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri.

PerkusiKanan : Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 5Kiri : Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 7

AuskultasiKanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-), wheezing (-).Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-), wheezing (-).

4. JantungInspeksi : Ictus cordis tidak tampakPalpasi : Ictus cordis kuat angkat Perkusi

Batas jantung : Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiri bawah:SIC VI 2 cm lateral linea medioklavicularis sinistraAuskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler5. AbdomenInspeksi:Dinding perut lebih tinggi dibanding dinding thorak, distended (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusa (-).

Auskultasi:Peristaltik (+) normal

Perkusi:Timpani, pekak beralih (-)

Palpasi:Supel, nyeri tekan (-) Hepar, lien dan ren tidak teraba, balotement ginjal (-)

6. Ekstremitas

Akral dinginUdem

_

_

_

_

----

SianotikJejas atau ulkus

_

_

_

Digiti 2 gangren

_

_

_

+

7. IntegumenKulit kesuluruhan tampak normal. Kecuali digiti 2 pedis sinistra tampak menghitam atau gangrene.III. PEMERIKSAAN PENUNJANGA. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 19 juni 2015PemeriksaanHasilSatuanNilai Normal

Leukosit 16,4L4.0-10.0

Lymph#2,2L0.8-4

Mid#1,1L0.1-0.9

Gran#13,1L2-7

Lymph%13,2%20-40

Mid%6,9%3-9

Gran%79,9%50-70

Hb12,4g/dl11-16

Rbc4,17L3.5-5.5

Hct34,9%37.0-50.0

MCV83,8fL82.0-95.0

MCH29,7Pg27.0-31.0

MCHC35,5g/dl32.0 36.0

PLT503L150-450

Tanggal 20 juni 2015PemeriksaanHasilSatuanNilai Normal

DBIL0,08Mg/dl0-0,35

TBIL0,98Mg/dl0,2-1,2

SGOT24,9UI0 38

SGPT15,4U/I0 40

ALP260U/I98-279

GammaGT17U/I10-54

TP7g/dl6,6-8,3

ALB2,9g/dl3,5-5,5

Glob4,1g/dl2-3,9

UREA24,7Mg/dl10-50

CREAT0,94Mg/dl0,7-1,4

UA2,6Mg/dl3,4-7

CHOL146Mg/dl140-200

TG194Mg/dl36-165

HDL36Mg/dl35-150

LDL71Mg/dl0-190

Perkembangan GDA pasien:Tanggal PemeriksaanGDA

19 Juni 2015328

20 Juni 2015328

21 Juni 2015270

22 Juni 2015359

23 Juni 2015265

24 Juni 2015263

25 Juni 2015258

B. Pemeriksaan EKG

Hasil EKG:

Irama

: SinusHeart rate: 90x/menit

Axis

: Deviasi axis kiriHasil Foto thorak PA

Cor/Pulmo tidak apa-apa

Hasil Foto pedis sinistra

Tak tampak osteomyelitisC. Status Lokalis Pedis sinistra

IV. FOLLOW UP

22 juni 2015S: kaki kiri mengeluh cenut-cenut, nyeri dirasakan kadang-kadang atau hilang timbul, pusing (-), lemas (+), pegal pada punggung (+),

O: TD: 90/60

WBC (19/6): 16,4

GDA: 359

A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic

P: -infus RL 20 tpm

-Cefoferazon 2x 1gr

-Clindamycin 3x300mg

-Aspilet 1x100mg

-drip metronidazole 3x500mg

-Ai RCI 2x4 U i.v

-Ai Maintenance 3x16 U sc

-Rontgen pedis

23 juni 2015

S: Bisa istirahat, nyeri luka pada kaki kiri (+), tetapi nyeri dirasakan semakin berkurang, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), keluhan dan nyeri perut (-), pegal di seluruh badan (+)

O: TD: 100/70

WBC (19/6): 16,4

GDA: 265

A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic

P: -infus RL 20 tpm

-Cefoferazon 2x 1gr

-Clindamycin 3x300mg

-Aspilet 1x100mg

-drip metronidazole 3x500mg

-Ai 3x20 U sc

-Eclid 3x100mg

-Diet DM 2100 kkal 24 juni 2015

S: nyeri luka pada kaki kiri (-), perut terasa mulas (+), nyeri perut (-), BAB terakhir tadi pagi, BAB normal, BAK normal, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-).

O: TD: 100/50

WBC (19/6): 16,4

GDA: 263

A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic

P: -infus RL 20 tpm

-Cefoferazon 2x 1gr

-Clindamycin 3x300mg

-Aspilet 1x100mg

-drip metronidazole 3x500mg

-Ai 3x22 U sc

-Eclid 3x100mg

-Diet DM 2100 kkal 25 juni 2015

S: nyeri luka pada kaki kiri (+), nyeri dirasakan berdenyut dan hilang timbul, BAB normal, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), lemas (+)

O: TD: 100/60

WBC (19/6): 16,4

GDA: 258

A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic

P: -infus RL 20 tpm

-Cefoferazon 2x 1gr

-Clindamycin 3x300mg

-Aspilet 1x100mg

-Allopurinol 1x100mg

-drip metronidazole 3x500mg

-Ai 3x22 U sc

-Eclid 3x100mg

-Diet DM 2100 kkalV. RESUME:

Tn. W adalah seorang laki-laki berusia 48 tahun yang pada tanggal 19 juni 2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono oleh keluarganya dengan keluhan utama berupa bengkak pada kaki kiri dan terdapat luka. Bengkak pada kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien mengaku bengkak berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya kecil, tetapi lama-lama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan perawatan luka dan tidak berobat. Melalui alloanamnesis pada keluarga pasien sudah menderita DM tipe II sudah 3 tahun. Pasien tidak rutin melakukan pengobatan pada penyakit DM. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015 pasien terlihat baik, dapat berkomunikasi, dan kooperatif. Keadaan umum tampak baik, kesadaran kompos mentis. HR: 88x/m, RR: 18x/m, T: 36,0oC. TD: 100/60 mmHg. Pmx fisik: Terdapat ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Dari foto rontgen pedis didapatkan pembacaan tidak tampak osteomyelitis.VI. DIAGNOSIS

DM tipe II dengan kompikasi berupa ulkus diabetic grade IV pedis sinistraVII. PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD (POMR)AbnormalitasProblemAssessmentIP DxIP TxIP Mx

Riwayat penyakit komorbid DM sejak 3 tahun.

GDA saat rawat inap selalu diatas 250

Kompikasi berupa: ulkus dan gangren pedis sinistra. Ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal.DM tipe II dengan komplikasi kronisDM hiperglikemi dengan komplikasi ulkus diabetic stadium IV (kriteria Wagner) pada pedis sinistra-HbA1c-Kultur bakteri ulkus pedis

Infus RL 20 tpm

Cefoperazon 2x 1g Clindamycin 3x300mg

Metronidazole 3x500mg Asam asetilsalisil 1x100mg Ai 3x22 U sc Acarbose 3x100mg d.c Diet DM 2100 kkal Rawat lukaKlinis

GDA per pagi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

I. Definisi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa anggota tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problematika anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.

II. Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik yang biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempatb reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resisten insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.

III. Manifestasi KlinisManifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa alapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.

Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dn timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.

Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap sisekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. IV. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

Bukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)Plasma vena 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.

GlinidKerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid & nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.

Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal.

Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja dilumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus digunakan pada saat makanan utama karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat menurunkan glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl. Sedangkan dengan terapi kombinasi akan menurunkan glukosa postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitorDPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan glucose- mediated insulin secretion dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini : sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.Insulin

Terapi insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan BB yang cepat

Hiperglikemia berat disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )

Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM

Gangguan fungsi hati/ginjal berat

Kontraindikasi/alergi dengan OHO

Kanker

Sirosis hati

TBC paru

Fraktur

Tirotoksikosis VII. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.

1. Komplikasi metabolik akut

Ketoasidosis Diabetik (DKA)

Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria barat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan bebas ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok. Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. DKA ditangani dengan perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan pengobatan keadaan yang mempercepat ketoasidosis (infeksi).

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)

Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum >600 mg/dl. Hiperglikemia mneyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolitdan insulin reguler.

Hipoglikemia

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena.

2. Komplikasi kronik jangka panjang Mikroangiopati : retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.

Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan.

Makroangiopati

Makroangiopati diabetik akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai kaludikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.

B. Ulkus Diabetik

I. Definisi

Ulkus diabetikum, sesuai dengan namanya, adalah ulkus yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Insiden ulkus diabetikum setiap tahunnya adalah 2% diantara semua pasien diabetes dan 5-7,5% diantara pasien diabetes dengan neuropati perifer.

II. Patofisiologi

Ulkus diabetikum terjadi akibat adanya perubahan mikrovaskular dan makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular Diseasse (PVD). Neuropati pada penderita diabetes memiliki prevalensi lebih dari 50%. Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan komplikasi iskemia dan neuropati.

Penyebab terjadinya ulkus bersifat multifaktorial, dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi, deformitas anatomi dan faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekular menyebabkan neuropati perifer, dan penurunan sistem imunitas yang mengakibatkan terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas anatomi pada kaki, yaitu pada neuroatropati charcot, terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan terutama trauma akut dan kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang dapat memulai terjadinya ulkus. Alas kaki yang tidak tepat merupakan sumber trauma yang paling sering.

Akibat dari neuropati yang menganai saraf sensorik perifer dan rusaknya serabut mielin, maka mekanisme proteksi normal akan terganggu sehingga pasien kurang waspadsa terhadap trauma minor pada kaki, bahkan tidak mengetahui telah terdapat luka di kakinya. Terganggunya persepsi propioseptif menyebabkan distribusi berat yang salah, terutama pada saat berjalan sehingga dapat terbentuk kalus atau ulkus.

Adanya neuropati motorik dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, juga menyebabkan abnormalitas pada mekanis otot kaki dan perubahan struktural kaki, misalnya hammer toe, claw toe, prominent metatarsal head, charcot joint, dan mudahnya terbentuk kalus. Gangguan otonom yang ada seperti anhidrosis, gangguan aliran darah superfisial kaki, membuat kulit menjadi kering dan mudah terbentuk retakan/fisura. Buruknya sirkulasi darah dan penyembuhan luka dapat memperbesar luka kecil.

III. Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes tetapi klasifikasi Wagner merupakan klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai.

0 = Kulit intak/utuh

1 = Tukak superfisial

2 = Tukak dalam (sampai tendon, tulang)

3 = Tukak dalam dengan infeksi

4 = Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki

5 = Tukak dengan gangren luas seluruh kaki

Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005) :

Stage 1 : Normal foot

Stage 2 : High risk foot

Stage 3 : Ulcerated foot

Stage 4 : Infected foot

Stage 5 : Necrotic foot

Stage 6 : Unsalvable foot

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun oleh dokter umum/dokter keluarga. Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.

IV. Penatalaksanaan

Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama :

Mechanical control - pressure control

Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar. Wound controlDilakukan debridement untuk mengurangi jaringan yang nekrotik dan mengurangi produksi pus dari ulkus/gangren. Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll. Microbiological control infection controlAntibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dna gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol). Vascular controlPerbaiki kelainan pembuluh darah perifer dengan modifikasi faktor risiko terkait aterosklesrosis seperti hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia. Metabolic controlKeadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah diusahakan senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor yang terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatian dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki. Educational controlDengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diaharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. BAB III

PEMBAHASANDiabetes mellitus pada Tn. W berdasakan autoanamnesa dan alloanamnesa yang menyatakan bahwa Tn. W sudah terdiagnosis DM sejak 3 tahun yang lalu. Pada saat sebelum terdiagnosis DM, pasien mengalami gejala klinis yang khas berupa poliuria, polidipsi, polifagi, sering lemas dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan penunjang GDA perhari didapatkan kadar glukosa darah acak selalu diatas 250 pada tanggal 19-25 juni 2015.

Pada tanggal 25 juni 2015 dilakukan pemeriksaan kepada Tn. W, didapatkan keluhan utama berupa kaki kiri bengkak dan terdapat luka lebih dari 1 minggu yang lalu. Pada pengamatan oleh pemeriksa, terdapat ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara klinis tersebut mengarahkan pada diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi kronik berupa ulkus diabetic derajat 4 pada pedis sinistra. Ulkus diabetik adalah ulkus yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Ulkus diabetikum terjadi akibat adanya perubahan mikrovaskular dan makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular Diseasse (PVD). Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan komplikasi iskemia dan neuropati. Pada pasien ini ulkus diabetik sudah mencapai derajat IV dan sudah harus mendapatkan penanganan pembedahan karena digiti dua pedis sinistra terdapat gangren. Akan tetapi kondisi pasien seperti kadar gula darah harus diperbaiki dan harus dikontrol sesuai target untuk menghindari resiko berat dari pembedahan tersebut. Infeksi diminimalisir dengan penggunaan antibiotika untuk bakteri anareob yang dalam kasus ini menggunakan cefoperazon, clindamycin, dan metronidazole. Daftar Pustaka

1. Tjokroprawiro A., Setiawan P.B., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi pertama. Universitas Airlangga Press: Surabaya.

2. Price, Sylvia A., 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jilid 1.Ed-6. EGC: Jakarta3. Greenstein, B., Wood, D. 2010. At a Glance: SIstem Endokrin. 2nd ed. Erlangga Medical Series: Jakarta.4. Guyton, A. C., Hall, J. E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.5. Sheewood, L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 6th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.6. Edwards, J., Stapley,S. 2010. Debridements of Diabetic Foot Ulcers. Cochrane Database of Systematic Reviews.

23