cairan koloid
DESCRIPTION
hbTRANSCRIPT
Cairan Koloid
Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit
menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler.
Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek
samping lebih banyak, dan lebih mahal.
Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga
cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh
darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena
itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma
yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma.
Terdapat dua jenis koloid yaitu alami (albumin) dan sintetis/buatan (HES, Dekstran,
Gellatin).
1. Albumin
Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa
yang dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).
Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang
dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam
jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan
resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.
Indikasi :
· Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia,
hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass,
hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka
bakar.
· Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan
furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan
berat badan secara bersamaan.
· Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi,
kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi,
dan ekskresi renal berlebih.
· Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan
komplikasi dari sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah
pilihan utama, sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi
resiko renal impairment dan kematian. Adanya bakteri dalam darah dapat
menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma
kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.
Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.
Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.
2. HES (Hydroxyetyl Starches)
Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin.
Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler.
Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan
setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat
(>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF).
Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan.
Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu
penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena :
· Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping
itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi
kenaikan permeabilitas.
· Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin
menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid.
· Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
asidosis refraktori.
· HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat
menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat
adesi molekuler.
Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan
pada sepsis karena :
· Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun
koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
· HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan
dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia.
· HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi,
ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi
iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
· Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.
Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.
Contoh : HAES steril, Expafusin.
3. Dextran
Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri
Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa.
Indikasi :
· Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia
miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer.
· Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan
menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu
penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten
jika dibandingkan dengan gelatin dan HES.
Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia,
hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau
anuria yang parah.
Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering
dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul
dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan
yang signifikan.
Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin.
4. Gelatin
Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.
Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan,
Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin
memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES.
Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus
dihindari pada keadaan hiperkalsemia.
Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan
20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi
bila dibandingkan dengan starches.
Contoh : haemacel, gelofusine.
Reaksi Transfusi
A. Komplikasi imun
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan
sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.
1. Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah
merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis
sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah
merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau
cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau kedua-
duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular.
Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed
( extravascular).
Reaksi Hemolytic Akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah,
atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic
fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa
dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari
suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan,
hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat
berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa
banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat
terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel. Manajemen reaksi
hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut:
Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan
dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan
kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
Reaksi hemolytic lambat
Suatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut hemolysis extravascular
biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody non D antigen Sistem Rh atau ke
asing alleles di system lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu
transfusi ABO dan Rh D-compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan
membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu
Sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa
bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody
menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang
sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan
antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi
hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya
ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak meningkat
setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated
meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane
sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane antibody resipien pada
sel darah merah dengan membrane antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini
memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua
spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi
transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-
tibodies pada seldarah merah.
2. Reaksi Imun Nonhemolitik
Reaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari
resipien ke donor lekosit, platelets, atau protein plasma.
Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh
suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu riwayat
febrile berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat
dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtration, atau teknik freeze-thaw.
Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi
protein plasma. Reaksi Urticaria dapat diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan
mungkin H2 blockers) dan steroids.
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada
IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi
IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum.
Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan
H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed Packed Red Cells,
deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .
Edema Pulmonary Noncardiogenic
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini berkaitan dengan
transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan
menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel
darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah
sama dengan Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh
dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.
Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel
darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit
khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host; iradiasi
(1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif
menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari transfusi.
Purpura Posttransfusi
Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan
dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas,
antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu
setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.
Imun Supresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi.
Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah
preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada
pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada
juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan virus laten
pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi
yang serius setelah pembedahan atau trauma.
B. Komplikasi Infeksi
1. Infeksi virus
Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab
1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya
50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok
yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2
antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu
kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi
1:1.900.000 tranfusi.
Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan
penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari
donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise
(misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ ) peka terhadap infeksi
CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima hanya CMV
negative. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV
dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang
CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi
secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic
I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya
telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan
myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi
tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.
2. Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.
3. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui
transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit
sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar
dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara
relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2
juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-negative
( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan
penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus
berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui
transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan
berbagai macam rickettsia.
C. Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi
satu sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa,
equivalent dengan 10-20 unit.
Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada
pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi
acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.
Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi
penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia
penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal
kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat
terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ).
Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua
produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia
Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C.
Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat
dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.
Keseimbangan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs
(carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik
yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam
basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika
perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis metabolic
progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar.
Konsentrasi Kalium Serum
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan meningkat
dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing
kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan
umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui
sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolism.
KOMPLIKASI SAB (SUB ARACHNOID BLOK)
SubArachnoid Blok merupakan salah satu teknik anestesi regional dengan
cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarahnoid dengan tujuan untuk
mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetric-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolute:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intracranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relative:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter..
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Komplikasi
Komplikasi dini
1. Hipotensi
2. Blokspinaltinggi/total
3. Mual dan muntah penurunan panas tubuh
Komplikasi lanjut
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. nyeri punggung (Backache)
3. cauda equine sindrom
4. meningitis
5. retensi urine
6. spinal hematom
7. kehilangan penglihatan pasca operasi
Hipotensi
Paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual mungkin
akan lebih berta pada pasien dengan hipovolemia biasanya terjadi pada menit ke
20 setelah injeksi obat local anestesi derajat hipotensi berhubungan dengan
kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub arakhnoid dan blok
dan simpatis
Hipovolemia
dapat menyebabkan depresi serius system kardiovaskuler selama spinal anestesi
karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan simpatis
yang menyebabkan vasokonstriksi perifer merupakan kontraindikasi relative
anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian
volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan
Pasien hamil
Sensitive terhadap blockade simpatis dan hipotensi, hal ini karena obstruksi
mekanis venous return sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi
miring lateral segere setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava
Pasien tua
Dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi disbanding
dengan pasien muda
Pencegahan
pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi spinal dapat
menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan elektrolit
atau koloid digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi
Terapi
autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian
preload bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik jika hipotensi tetap
terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung
dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus iv efedrin merupakan
vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan
vasokonstriktor (efek perifer)
Blokade total spinal
total spinal : blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat local
anestesi
faktor pencetus : pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang digunakan,
posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik sesak napas dan sukar
bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi sering disertai
mual,muntah, precordial discomfort dan gelisah apabila blok semakin tinggi
penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan
jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan
Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face
mask jika depresi pernapasan makin beratperlu segera dilakukan intubasi
endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti
jantung pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk
mencegah hipotensi jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang
agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti
adrenalin dan sulfas atropine.
Mual, muntah, terjadi karena hipotensi
Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus adanya empedu dalam
lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris faktor
psikologis.
Penanganan
Untuk menangani hipotensi : loading cairan 10-20 ml?kgBB kristaloid atau
pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi
hipoksia dapat juga diberikan anti emetik
Shivering (penurunan panas tubuh)
Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme
berkurang vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi
terjadinya hipotermi.
Penanganan
Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas
PDPH
Disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan spinal
yang menyebabkan penurunan tekanan LCS akibatnya terjadi
ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi
kecepatan produksi
LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terdapat dalam system ventrikel
sebanyak 20 ml per jam. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur
intracranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuiluh darah, saraf, falk
serebri dan meningen dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar
20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila
berbaring, hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke bawah
dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan
melindungi otak sehingga nyeri berkurang
PDPH ditandai dengan :
- Nyeri kepala yang hebat
- Pandangan kabur dan diplopia
- Mual dan muntah
- Penurunan tekanan darah
- Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi
Pencegahan dan Penanganan :
- Hidrasi dengan cairan yang kuat
-Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum
non cutting pencil point
- Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
- Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
- Mobilisasi seawal mungkin
- Gunakan pendekatan paramedian
- Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian
cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat. Pemberian sedasi atau
analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate
500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID. Hidrasi dan pemberian kafein
membantu menstimulasi pembentukan LCS.
Jika neyri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural
b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml
c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan
d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan
dan mobilisasi
e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan
Nyeri punggung
Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum dapat menyebabkan
nyeri punggung. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi
umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias
menutup nyeri ini. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat
menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit
punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme
otot paraspinosusmenjadi penyebab.
Penanganan
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada
daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine
akan sangat berguna
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan
Tanda-tanda meliputi :
Penyebab adalah traum adan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic
intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS,
bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau
bahan pengawet yang berlebihan
Penanganan
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain,
menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum
spinal
Retensi urin
Blockade sentral menyebbkan atonia vesika urinaria sehinggga volume urine di
vesika urinari jadi banyak. Blockade simpatis eferen (T5-L1)menyebabkan
kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin. Spinal anestesi
menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada
pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan
paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar
Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi
jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni
local yang memadai.
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-
betul steril. Menggunakan jarum spional sekali pakai. Pengobatan dengan
pemberian antibiotika yang spesifik
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi
klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang
membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di
medulla spinali. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan
neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan
paraplegi. Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya
meliputi :
1. mati rasa
2. kelemahan otot
3. kelainan BAB
4. kellainan sfingter kandung kemih
5. sakit pinggang yang berat
Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter
spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang.
Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera
dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf. Banyak perbaikan neurologist pada
pasien spinal hematomyang segera mendapatkan dekompresi pembedahan
(laminektomi) dalam waktu 8-12 jam
Kehilangan penglihatan pasca operasi
Neuropati optic iskemik anterior (NOIA)
Penyebabnya karena proses infark pada watershed zone diantara daerah yang
mendapat distribusi darah dari cabang kecil arteri sailiaris posterior brefis dalam
koric kapiler
Neuropati optic iskemik posterior (NOIP)
Penyebabnya gangguan suplai oksigen pada posterior dari n. optikus diantara
foramen optikumpada apeks orbita dan pada tempat masuknya arteri retina
sentralis dimana n. optikus sangat rentan terhadap iskemi
Buta kortikal
Terjadi karena emboli atau proses obstruksi yang berlangsung lambat, hipotensi
berat, antijantung yang akan berakibat infark pada watershed zone parietal dan
oksipital
Oklusi arteri sentralis (CRAO)
Sering disebabkan oleh emboli yang terbentuk dan plak aterosklerotik yang
berulserasi pada arteri karotis ipsilateral
Obstruksi vena optalmika sentralis (CRVO)
Dapat terjadi pada intraoperatif jika posisi pasien akan menyebabkan penekanan
pada bagian luar mata
Pencegahan
Mencegah penekanan pada bola mata selama intaroperatif. Meminimalkan
terjadinya mikro dan makro emboli selama cardiopulmonary bypass.
Mempertahankan nilai hematokrit pada batas normal. Menjaga tekanan darah
agar stabil.