bystander upload

14
Peningkatan Kesiapsiagaan Bystander CPR sebagai Salah Satu Langkah Penanganan Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) Latar Belakang Salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa jika tidak menadapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan adalah cardiac arrest atau henti jantung. Cardiac arrest atau henti jantung merupakan suatu kondisi di mana sirkulasi darah normal tiba-tiba berhenti sebagai akibat dari kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Definisi lain dari cardiac arrest menurut (Cummins et al, 1991) adalah "... penghentian secara tiba-tiba aktivitas mekanis jantung, yang ditandai oleh tidak terdeteksinya nadi (pulse), unresponsiveness dan apnea (agonal, pernafasan gasping)." Korban kolaps ketika jantung menjadi sangat terbatas untuk memberikan aliran darah dan oksigen yang memadai ke otak dan otot. Korban dianggap tidak bernyawa jika tidak ada tanda- tanda vital (responsiveness, nadi atau respirasi) yang terdeteksi. Aktivitas listrik jantung (ventricular fibrillation, ventricular tachycardia atau pulseless electrical activity) yang dapat dilihat pada monitor jantung mungkin satu-satunya tanda aktivitas terpenting. Dengan tidak adanya resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan / atau defibrilasi listrik, seperti tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt & Stiell, 2004). Kasus henti jantung sebagian besar terjadi di luar rumah sakit sehingga membutuhkan bantuan yang cepat dan tepat dalam menanganinya agar tidak terjadi kematian. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention

Upload: putra-agina

Post on 19-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

CPR (nursing emergency)

TRANSCRIPT

Peningkatan Kesiapsiagaan Bystander CPR sebagai Salah Satu Langkah Penanganan Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)Latar Belakang

Salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa jika tidak menadapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan adalah cardiac arrest atau henti jantung. Cardiac arrest atau henti jantung merupakan suatu kondisi di mana sirkulasi darah normal tiba-tiba berhenti sebagai akibat dari kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Definisi lain dari cardiac arrest menurut (Cummins et al, 1991) adalah "... penghentian secara tiba-tiba aktivitas mekanis jantung, yang ditandai oleh tidak terdeteksinya nadi (pulse), unresponsiveness dan apnea (agonal, pernafasan gasping)." Korban kolaps ketika jantung menjadi sangat terbatas untuk memberikan aliran darah dan oksigen yang memadai ke otak dan otot. Korban dianggap tidak bernyawa jika tidak ada tanda-tanda vital (responsiveness, nadi atau respirasi) yang terdeteksi. Aktivitas listrik jantung (ventricular fibrillation, ventricular tachycardia atau pulseless electrical activity) yang dapat dilihat pada monitor jantung mungkin satu-satunya tanda aktivitas terpenting. Dengan tidak adanya resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan / atau defibrilasi listrik, seperti tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt & Stiell, 2004).

Kasus henti jantung sebagian besar terjadi di luar rumah sakit sehingga membutuhkan bantuan yang cepat dan tepat dalam menanganinya agar tidak terjadi kematian. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang melakukan survey terhadap kejadian cardiac arrest di United States selama periode 1 Oktober 200531 December 2010 didapatkan sekitar 31,689 kasus cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit. Dari kejadian tersebut, sejumlah 33, 3% dari kasus cardiac arrest yang memperoleh bantuan CPR dari bystander dan hanya 3,7% yang mendapatkan bantuan automated external defibrillator (AED) sebelum personel EMS datang. Tingkat kelangsungan hidup pasien dengan kejadian cardiac arrest di luar rumah sakit yang berhasil masuk rumah sakit (MRS) sebesar 26, 3%. Dari keseluruhan jumlah pasien cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit, kelompok yang paling mungkin untuk bertahan hidup adalah orang-orang yang dijumpai mengalami serangan cardiac arrest oleh penolong dan ditemukan dalam irama shockable (misalnya, ventrikel fibrilasi atau pulseless takikardi ventrikel) di mana kelangsungan hidup berkisar 30,1% (Bryan et al, 2011).Ada sekitar 360.000 korban Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di Amerika Serikat setiap tahunnya, di mana OHCA merupakan 15% dari penyebab seluruh kematian (Sasson, 2011). Untuk jumlah prevalensi penderita henti jantung di Indonesia tiap tahunnya belum diadapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga, yang berarti 30 orang per hari. Kejadian terbanyak dialami oleh penderita jantung koroner (Depkes, 2006). Menurut data di ruang perawatan koroner intensif RSCM (2006), menunjukkan, terdapat 6,7 % pasien mengalami atrial fibrilasi, yang merupakan kelainan irama jantung yang bisa menyebabkan henti jantung (Rahman, 2009). Dari korban OHCA didapatkan variasi keselamatan yang berbeda, hal ini sebagian disebabkan oleh tingkat yang berbeda dari bystander cardiopulmonary resuscitation (CPR), yang merupakan link penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup bagi korban OHCA. Untuk setiap 30 orang yang menerima CPR dari bystander, kemungkinan tambahan kehidupan dapat bertambah. Saat ini, setelah lima dekade kemajuan medis, bystander CPR menjadi komponen yang paling penting dalam menyelamatkan korban henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit atau out-of-hospital cardiac arrest (OHCA) (Leong, 2011).

Komunitas yang mengalami peningkatan laju bystander CPR telah mengalami perbaikan dalam kelangsungan hidup OHCA. Namun, sebagian besar pasien yang mengalami Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) tidak mendapatkan pertolongan CPR atau intervensi lain yang tepat (misalnya, defibrilasi) untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Hampir setengah kejadian cardiac arrest di Amerika Serikat dapat disaksikan sehingga upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari pasien berfokus pada pemberian penanganan oleh bystander dan personel EMS secara tepat dan efektif (Bryan et al, 2011). Namun penyediaan bystander CPR bervariasi di setiap daerah, dengan kisaran antara 10% sampai 65% di Amerika Serikat. Dan dari jumlah tersebut, rata-rata hanya sekitar seperempat dari semua peristiwa OHCA di Amerika yang ditolong dengan bystander CPR. Secara internasional, jumlah bystander CPR juga bervariasi, dengan tingkat terendah 1% dan tertinggi sekitar 44% (Wissenberg, 2012). Oleh karena itu, penting untuk memahami mengapa masyarakat tertentu memiliki tingkat yang rendah untuk jumlah bystander CPR dan memberikan rekomendasi untuk bagaimana meningkatkan penyediaan bystander CPR dalam masyarakat.

Manfaat

Di Indonesia penyebaran informasi mengenai pemberian CPR sebagai salah satu penaganan pasien henti jantung juga masih belum maksimal. Padahal kasus henti jantung dapat terjadi di mana pun dan kapanpun di sekitar kita. Oleh karena itulah kampanye pendidikan publik mengenai penatalaksanaan CPR terhadap pasien henti jantung harus mulai digalakkan di masyarakat. Selain itu, tidak hanya penyebaran informasi saja tetapi juga perlu ditunjang dengan peningkatan ketrampilan CPR kepada masyarakat untuk dapat melakukan CPR yang efektif. Sasaran masyarakat untuk pendidikan publik dan ketrampilan CPR dapat ditujukan untuk masyarakat di tempat-tempat umum (bandara, stasiun, terminal, pasar), anak sekolah maupun di tempat kerja. Harapannya, dengan penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat,. Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA).

Analisis Literatur

Bystander CPR merupakan CPR yang dilakukan oleh seorang teman, anggota keluarga, atau siapa saja yang dapat membantu jika seseorang dalam keadaan kollaps dan tidak responsif (Pennsylvania Department of Health., American Heart Association., Heart Rescue Project Pennsylvania, 2013). CPR merupakan salah satu pengetahuan mengenai tindakan penyelamatan hidup berupa pemberian kompresi dada, di mana setiap orang perlu tahu dan siapapun bisa melakukannya. Hampir 80% dari serangan jantung mendadak terjadi di rumah dan disaksikan oleh keluarga terdekat. Ketika kita menjumpai seseorang dengan serangan jantung mendadak dan orang tersebut tidak responsif, maka segera mulai lakukan CPR. Hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menentukan keselamatan seseorang. Untuk setiap menit yang berlalu tanpa CPR, kelangsungan hidup pasien henti jantung menurun sebesar 10%. Dengan pemberian bystander CPR oleh penolong dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidup pasien henti jantung dua atau tiga kali lipat..

Pada tahun 1960, the American Heart Association (AHA) menjadi cikal bakal pelatihan CPR untuk umum/publik. Selama bertahun-tahun, CPR telah berkembang dari teknik yang dilakukan hampir secara eksklusif oleh dokter dan profesional kesehatan. Saat ini tindakan penyelamatan hidup seseorang itu telah menjadi keterampilan yang cukup sederhana bagi siapa saja yang mau belajar (AHA CPR & First Aid, 2013). Rekomendasi yang diuraikan dalam the 2010 AHA Guidelines for CPR & ECC (Emergency Cardiovascular Care) terus berusaha menyederhanakan CPR untuk penolong, sehingga lebih banyak orang yang dapat melakukan dan akan bertindak dalam keadaan darurat. Melalui penelitian ilmiah, AHA tidak hanya telah mampu untuk menciptakan pelatihan khusus bagi para profesional, tetapi juga menjadi pelopor dalam perkembangan Hands-Only CPR untuk bystander, sehingga lebih banyak korban memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. Di tahun 2008 AHA pertama kali memperkenalkan Hands-Only CPR , yang terdiri dari dua-langkah teknik yaitu menelepon sistem EMS 9-1-1 dan kemudian menekan dengan keras dan cepat di tengah dada sampai bantuan tiba (AHA CPR & First Aid, 2013).

Semua korban yang mengalami henti jantung minimal harus menerima tindakan kompresi dada yang berkualitas tinggi (yaitu, kompresi dada dengan jumlah yang memadai dan mendalam serta dengan gangguan minimal). Untuk mendukung tujuan itu, AHA ECC Committee merekomendasikan sebagai berikut (Sayre et al, 2008) :

Ketika tiba-tiba melihat seorang korban dewasa kolaps, terlatih atau tidak terlatih bystander minimal harus mengaktifkan sistem emergency medical response komunitas (misalnya, panggilan 911) dan memberikan kompresi dada yang berkualitas tinggi dengan cara mendorong keras dan cepat di tengah dada, serta meminimalkan gangguan (Kelas I). Jika bystander tidak terlatih CPR, dan bystander tersebut harus memberikan hands-only CPR (Kelas IIa), maka bystander harus tetap melakukan hands-only CPR sampai peralatan automated external defibrillator (AED) tiba dan siap untuk digunakan atau penyedia EMS telah mengambil alih perawatan korban. Jika bystander sebelumnya telah dilatih CPR dan percaya diri dalam kemampuannya untuk memberikan napas bantuan dengan gangguan minimal di kompresi dada, maka bystander harus memberikan CPR konvensional dengan menggunakan rasio 30:2 untuk kompresi dan ventilasi (Kelas IIa) atau hands only CPR (Kelas IIa). Bystander harus terus melakukan CPR sampai peralatan automated external defibrillator tiba dan siap untuk digunakan atau penyedia EMS mengambil alih perawatan korban. Jika bystander sebelumnya telah dilatih CPR tetapi tidak percaya diri dalam kemampuannya untuk memberikan CPR konvensional termasuk pemberian kompresi dada yang berkualitas tinggi dan napas bantuan, maka bystander harus memberikan hands-only CPR (Kelas IIa). bystander harus terus melakukan hands-only CPR sampai sampai peralatan automated external defibrillator tiba dan siap untuk digunakan atau penyedia EMS mengambil alih perawatan korban.Menurut Sasson (2013) ada empat langkah penting yang terlibat dalam memberikan bystander CPR sebagai bagian dari respon tanggap darurat masyarakat (Gambar 1). Pertama, penolong harus menyadari bahwa korban membutuhkan bantuan. Early recognition yang dilakukan oleh penolong atau bystander adalah menyadari bahwa korban telah mengalami serangan henti jantung, atau secara sederhananya mengenali bahwa korban membutuhkan bantuan dari Emergency Medical Services (EMS). Kedua, penolong dengan segera harus memanggil 9-1-1 (atau nomor akses EMS setempat). ketiga, panggilan tersebut akan dialihkan ke dispatcher, yang harus mengidentifikasi bahwa serangan henti jantung memamg telah terjadi pada korban dan akan memproses respon EMS yang sesuai. Operator atau dispatcher akan menyediakan instruksi CPR yang memandu penolong untuk melakukan CPR. Untuk selanjutnya, penolong akan memulai dan terus melakukan CPR pada korban OHCA sampai bantuan datang.

Gambar 1. Empat Langkah Penting dalam Melakukan CPR oleh Bystander Namun, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menghalangi bystander atau penolong untuk mengambil tindakan, termasuk mereka takut akan melakukan CPR yang salah, takut tanggung jawab hukum, dan takut infeksi yang didapat saat melakukan bantuan nafas dari mulut ke mulut (Sayre et al, 2008). Hambatan lain yang dirasakan bystander adalah kesulitan dalam mengenali serangan henti jantung, mengharapkan orang lain dalam kelompok untuk melakukan tindakan yang pertama, ketidakpastian tentang bagaimana melakukan CPR, kekhawatiran terhadap kualitas CPR yang diberikan, dan adanya kebutuhan yang dirasakan untuk bernapas ke dalam mulut seseorang (Bradley et al, 2011). Lokasi kejadian juga menjadi penghalang untuk kinerja bystander CPR. Orang-orang yang mengalami serangan jantung di lokasi umum (misalnya, bandara atau kasino) lebih mungkin untuk mendapatkan CPR dibandingkan dengan rumah pribadi (Swor et al, 2003). Hambatan bahasa atau cacat fisik juga dapat menyebabkan penundaan yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif antara pemanggil dan Operator (Meischke, H., Chavez, D., Bradley, S., Rea, T., Eisenberg, M, 2010). Strategi Penerapan/Pembahasan

Komite ECC AHA telah mengakui bahwa semua korban serangan henti jantung akan mendapatkan keuntungan dari pemberian kompresi dada yang berkualitas tinggi, tetapi beberapa korban serangan henti jantung (misalnya, henti jantung pada anak dan korban tenggelam, trauma, obstruksi jalan napas, infeksi saluran pernapasan akut, dan apnea [seperti yang terkait dengan overdosis obat]) akan mendapatkan manfaat dari intervensi tambahan dari konvensional CPR (Sayre et al, 2008). Oleh karena itu, masyarakat harus terus didorong untuk mendapatkan pelatihan CPR sehingga mampu mempelajari keterampilan psikomotorik yang diperlukan dalam merawat berbagai kasus kegawatdaruratan yang terkait jantung dan pernafasan.

Sesuai rekomendasi AHA upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan tingkat bystander CPR dalam penggunaan hands-only CPR antara lain mengubah paradigma kampanye pendidikan (misalnya, video pendidikan singkat, program kesadaran masyarakat), pelaksanaan pelatihan berbasis sekolah, dan meningkatkan dispatcher-assisted CPR yang efektif (Sasson, 2013). Sehingga harapannya, dengan peningkatan pemberian pelatihan dan penyebarluasan informasi mengenai CPR dan tanda-gejala pasien henti jantung melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat kerja, maupun sekolah dapat meningkatkan kesiapsiagaan bystander dalam menangani korban OHCA.

Seiring dengan perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan, pelatihan terhadap CPR tidak hanya bisa dilakukan dengan metode konvensional, akan tetapi juga bisa menggunakan metode computer-based CPR. Pelatihan dengan metode konvensional Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) umumnya dikenal dengan istilah Basic Life Support (BLS). Pelatihan ini umumnya dilaksanakan secara konvensional yaitu proses pembelajaran di kelas. Perkins et al (2012) menjelaskan bahwa pelatihan konvensional BLS dilakukan selama 2 hari (20 jam). Pelatihan ini mengajarkan tentang pengetahuan dan ketrampilan dalam menangani pasien dengan henti jantung dan bagaimana melakukan CPR. Proses pembelajaran dilakukan di dalam ruangan. Ketrampilan CPR menggunakan mannequins. Pelatihan secara konvensional ini dapat dilakukan di tempat kerja, komunitas maupun di tempat-tempat umum (bandara, stasiun atau tempat keramaian).

Alternatif lain yang bisa dilakukan untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas adalah melalui program computer-based cardiopulmonary resuscitation (CPR). Program ini diluncurkan pertama kali oleh National Safety Council (NSC) pada Januari 2000. Program ini berbeda dengan program pelatihan konvensional baik dari metode pelatihan dan pemberian sertifikat. Dengan program computer-based CPR setiap peserta pelatihan dapat mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang mempunyai koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat awam tentang CPR (Perkins et al, 2012).

Computer-based CPR yang sering disebut juga dengan istilah program CPR online atau e-learning CPR mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan metode konvensional. Menurut Rehberg et al (2009) pelatihan e-learning CPR dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun di area yang dapat mengakses jaringan internet, lebih fleksibel dari segi waktu dan biaya, tanpa harus dilakukan pada waktu maupun lokasi tertentu. E-learning CPR juga mampu menjangkau banyak orang atau masyarakat awam untuk mengikuti pelatihan. Selain itu, peserta dengan metode e-learning CPR juga mempunyai respon time yang lebih cepat dibandingkan peserta dengan metode konvensional (Moule, 2008). Akan tetapi program ini juga mempunyai kelemahan dilihat dari aspek psikomotor yaitu kualitas kompresi dan hand placement kurang bila dibandingkan dengan metode konvensional.

Strategi lain yang dapat untuk diterapkan adalah melalui program pelatihan berbasis sekolah. Program tersebut dilakukan dengan menyusun kurikulum pembelajaran CPR di sekolah menengah (SMA). Untuk menyelenggarakan pelatihan tersebut dibutuhkan pengajar/guru yang telah mendapatkan pelatihan penyelamatan dasar CPR pada anak, bayi, dan orang dewasa. Dengan adanya perubahan terbaru dalam kurikulum CPR, yang cenderung untuk menyederhanakan prosedur (misalnya, kurang menekankan pada pernapasan mulut ke mulut), bisa meningkatkan keinginan untuk melakukan CPR keterampilan, khususnya di kalangan peserta yang melaporkan takut melakukan prosedur salah atau takut penularan penyakit menular. Selain itu, melalui pelatihan berbasis sekolah dapat juga memberikan paparan mengenai ketrampilan CPR sedini mungkin sehingga bisa mengurangi rasa tidak percaya diri bystander saat memberikan pertolongan (Winkelman., Fischbach., Spinello, 2009).

Kesimpulan

Henti jantung saat ini masik tetap menjadi salah satu kasus kegawatdaruratan yang mengancam nyawa bila tidak segera diberikan pertolongan. Sebagian besar kasus henti jantung terjadi di luar setting rumah sakit dan dapat disaksikan oleh orang lain. Pemberian bantuan dasar berupa CPR yang dilakukan oleh bystander atau penolong saat menemui adanya serangan henti jantung sangat membantu kemungkinan bertahan hidup korban 2 3 kali lipat. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan sekali peningkatan jumlah dan kesiapsiagaan bystander CPR untuk memberikan pertolongan pada korban OHCA. Beberapa program yang bisa dilakukan antara lain penyebaran informasi melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat kerja, maupun sekolah. Program lainnya adalah dengan peningkatan keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan konvensional, pelatihan e-learning, dan pelatihan berbasis sekolah.

By: Ria Ramadhani Daftar Pustaka

American Heart Association CPR and First Aid. (2013). About cardiopulmonary resuscitation (CPR).

Bradley., Fahrenbruch., Meischke, H., Allen, J., Bloomingdale., & Rea. (2011). Bystander CPR in out-of-hospital cardiac arrest: the role of limited English proficiency. Resuscitation. 82:680684.

Bryan., et al. (2011). Out-of-hospital cardiac arrest surveillance cardiac arrest registry to enhance survival (CARES), united states. Morbidity and Mortality Weekly Report Surveillance Summaries / Vol. 60 / No. 8.

Cummins, et al. (1991). Recommended guidelines for uniform reporting of data from out-of-hospital cardiac arrest: the utstein style. task force of the american heart association, the european resuscitation council, the heart and stroke foundation of canada, and the australian resuscitation council. Ann Emerg Med. 20:861-74.Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien penyakit jantung koroner : Fokus sindrom koroner akut.Leong. (2011). Bystander CPR and survival. Singapore Med J. 52(8): 573-575.

Meischke, H., Chavez, D., Bradley, S., Rea, T., & Eisenberg, M. (2010). Emergency communications with limited-English-proficiency populations. Prehosp Emerg Care. 14:265271.Moule, P. (2008). A non-randomized comparison of e-learning and classroom delivery of basic life support with automated external defibrillator use: A pilot study. International Journal of Nursing Practice. 14. p: 427-434.

Pennsylvania Department of Health., American Heart Association., Heart Rescue Project Pennsylvania. (2013). Lend a hand, save a life CPR challenge. Pennsylvania.

Perkins et al. (2012). Improving the Efficiency of Advanced Life Support Training. Ann Intern Med. 157. p: 19-28.Rahman, Arif Budi. (2009). Prevalensi penderita aritmia di rumah sakit binawaluya tahun 2008-2009. Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Sasson, Comilla et al. (2013). Increasing cardiopulmonary resuscitation provision in communities with low bystander cardiopulmonary resuscitation rates. Circulation.127:1-9. DOI: 10.1161/CIR.0b013e318288b4dd. Sayre, Michael R et al. (2008). Hands-only (compression-only) cardiopulmonary resuscitation : a call to action for bystander response to adults who experience out-of-hospital sudden cardiac arrest. Circulation. 117:21622167. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.107.189380.

Swor, RA et al. (2003). Cardiac arrest in private locations: different strategies are needed to improve outcome. Resuscitation. 58:171176.Vaillancourt, Christian., & Stiell, Ian G. (2004). Cardiac arrest care and emergency medical services in Canada. The Canadian Journal of Cardiology. 20(11):181-197.Winkelman., Fischbach., Spinello. (2009). Assessing cpr training: the willingness of teaching credential candidates to provide cpr in a school setting. Education for Health, Volume 22, issue 3.

Wissenberg, M. (2012). An increase in bystander CPR in Denmark led to marked improvements in survival rates after cardiac arrest. Paper presented at: 61st Annual Scientific Session of the American College of Cardiology; March 28, 2012; Chicago, IL.