buletin_pn_14_1_2008_19-25_sosiawan

Upload: imron-rosyadi

Post on 06-Jan-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 19

    Analisis Stabilitas Hasil Ubi 27 Genotipe Bengkuang (Pachyrhizus erosus L. Urban) di Jatinangor Jawa Barat Berdasarkan Model AMMI

    Sosiawan Nusifera1 dan Agung Karuniawan2 1Fakultas Pertanian, Universitas Jambi

    2Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung

    ABSTRACT

    Research aimed at estimating yield stability of 27 yam bean (Pachyrhizus erosus L. Urban) genotypes in Jatinangor was conducted at dry and rain seasons at the experimental station of Faculty of Agriculture Unpad, Jatinangor. Field trials at dry season was started from February to August 2006 and at rain season started from November 2006 to May 2007. Field plot consisted of four sets arranged in Randomized Block Design with 27 genotypes collected from various Indonesia regions and its ancestor from Central and South America as treatment and replicated twice. The four field trial sets were differed based on season and reproductive pruning treatment and considered as four different environment. Character observed was tuber weight per plant (g). Data was analysed with AMMI (additive main effect and multiplicative interaction). Result indicated that B-23/EC040 was highest yielding genotype, but less stable. In contrast, B-33/J, B-26/NS, B-10/EC550, and B-94/ENT were moderate yielded but had higher level of stability. Environment IV (rain season; pruning) was good environment where genotypic variation seemed more consist-ent with B-23/EC040 as best genotype. Best genotype in dis-criminating environment (I) was B-55/CJ, and in environment II was B-80/ENT. Whereas in Less discriminating environ-ment III, B-15/EC104 was the best genotype.

    Key words: Yam bean, tuber, stability, AMMI.

    ABSTRAK

    Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui stabilitas hasil da-ri 27 genotipe bengkuang (Pachyrhizus erosus L. Urban) telah dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad, Jatinangor. Percobaan pada musim kemarau berlangsung sejak Februari-Agustus 2006 dan percobaan pada musim hujan berlangsung sejak November 2006-Mei 2007. Percobaan terdiri atas empat set, masing-masing disusun dalam rancangan acak kelompok de-ngan 27 genotipe bengkuang yang dikoleksi dari berbagai wi-layah Indonesia dan genotipe leluhurnya dari Amerika Tengah dan Selatan sebagai perlakuan dan diulang dua kali. Empat set percobaan tersebut dibedakan berdasarkan kombinasi musim dan perlakuan pemangkasan sink reproduktif, atau representasi dari empat lingkungan yang berbeda. Karakter yang diamati

    adalah bobot ubi per tanaman. Data dianalisis dengan model AMMI (additive main effect and multiplicative interaction). Hasil penelitian menunjukkan B-23/EC040 adalah genotipe berdaya hasil tertinggi, namun kurang stabil. Sebaliknya, B-33/J, B-26/NS, B-10/EC550, dan B-94/ENT adalah genotipe dengan hasil di atas rata-rata namun memiliki stabilitas yang lebih tinggi. Lingkungan IV (musim hujan dengan pemang-kasan) adalah lingkungan baik di mana variasi genotipe terlihat lebih konsisten dengan B-23/EC040 sebagai genotipe terbaik. Genotipe terbaik pada lingkungan I adalah B-55/CJ, pada ling-kungan II B-80/ENT, dan pada lingkungan III B-15/EC104.

    Kata kunci: Bengkuang, ubi, stabilitas, AMMI.

    PENDAHULUAN

    Bengkuang (Pachyrhizus erosus L. Urban) merupakan tanaman legum yang kurang populer dan dianggap tidak memiliki nilai komersial yang tinggi. Namun komoditas ini telah lama dimanfaat-kan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, ter-utama untuk konsumsi segar. Selain sebagai makan-an, ubi bengkuang juga memiliki potensi farmako-logis sebagai obat dan kosmetika (Sorensen 1996). Berdasarkan fakta etnobotanis tersebut, pengem-bangan bengkuang memiliki prospek yang cukup baik.

    Bengkuang telah dibudidayakan di berbagai belahan dunia dengan potensi hasil yang cukup ber-variasi. Di Meksiko, hasil bengkuang yang ditanam pada lahan beririgasi mencapai 60-80 t/ha, sedang-kan pada lahan kering berkisar antara 35-60 t/ha. Pada skala percobaan, hasil bengkuang pada lahan beririgasi di Meksiko, lahan kering di Costa Rica, dan lahan kering di Tonga, mencapai 100-145 t/ha (Sorensen 1996). Di Indonesia, hasil bengkuang berkisar antara 25-35 t/ha (Karuniawan 2004). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan di Malaysia yang berkisar antar 7-10 t/ha (Sorensen 1996), dan di Thailand 18-24 t/ha (Ratanadilok et al. 1998). Di

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 20

    Brazil, hasil ubi bengkuang mencapai 50 t/ha (de Melo et al. 1994).

    Genotipe-genotipe yang ditanam di berbagai kondisi lingkungan bervariasi seringkali menunjuk-kan perbedaan hasil. Hal ini terutama terlihat pada karakter kuantitatif yang dikendalikan secara poli-genik. Hasil merupakan karakter kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Perbedaan res-pon genotipe tersebut merupakan indikator adanya interaksi genotipe x lingkungan (Fehr 1987, Kearsey dan Pooni 1996). Dampak langsung dari interaksi genotipe x lingkungan adalah rendahnya stabilitas hasil suatu genotipe.

    Stabilitas hasil merupakan salah satu syarat pelepasan suatu varietas (Baihaki 2000). Istilah stabilitas merujuk kepada perilaku tanaman pada lingkungan yang bervariasi di mana variasi ling-kungan mencakup lokasi, musim, ataupun kombina-si keduanya (Piepho 1996). Kultivar yang memper-lihatkan konsistensi hasil menjadi pilihan petani, di-bandingkan dengan kultivar yang tidak stabil (Tara-kanovas dan Ruzgas 2006). Oleh karena itu, kepen-tingan para pemulia berkaitan dengan pengembang-an kultivar yang stabil pada lingkungan yang ber-variasi.

    Dalam mengkaji stabilitas hasil terdapat dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan yang mengacu pada konsep statis dan konsep dinamis (Becker dan Leon 1988). Menurut konsep statis, stabilitas maksimum terjadi bila hasil suatu geno-tipe konstan terhadap lingkungan dan disebut ho-meostasis. Menurut konsep dinamis, suatu genotipe dianggap stabil jika penampilannya pada lingkung-an yang berbeda mendekati apa yang diharapkan dari potensi suatu lingkungan. Stabilitas maksimum terjadi jika perbedaan antara hasil genotipe dan indeks lingkungan (rata-rata genotipe yang diuji) konstan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, mengacu kepada konsep dinamis, tujuan pemuliaan genotipe yang stabil dapat diartikan minimisasi interaksi genotipe x lingkungan (Piepho 1996).

    Untuk mengetahui pemahaman tentang pe-nyebab terjadinya interaksi perlu digunakan metode yang tepat. Secara umum metode tersebut dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu multivariat dan univariat (Lin et al. 1986 dalam Adugna dan Labuschagne 2002). Metode regresi gabungan (joint regression) paling populer di antara metode-metode

    univariat karena menggunakan perhitungan dan aplikasi yang sederhana. Additif main effect and multiplicative interaction (AMMI) adalah metode yang populer dan merupakan alternatif utama untuk pendekatan multivariat dalam program pemuliaan (Adugna dan Labuschagne 2002).

    AMMI adalah metode analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama ber-sifat aditif dan pengaruh interaksi bersifat multipli-katif. Pada prakteknya, AMMI menggabungkan analisis varians sebagai model aditif dan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) sebagai model multiplikatif (Gauch dan Zobel 1996). Akhir-akhir ini, model AMMI menjadi pilih-an utama dalam mengkaji data percobaan multilo-kasi (Gauch 1992). Menurut Crossa (1990) dan Sumertajaya (1998), pendekatan AMMI jauh lebih baik dibandingkan dengan metode regresi bersama (joint regression) dalam mengkaji interaksi geno-tipe x lingkungan.

    Dalam pengembangan suatu kultivar, pemulia berkepentingan dengan genotipe-genotipe yang sta-bil dibandingkan dengan genotipe-genotipe berdaya hasil tinggi namun tidak stabil. Penelitian ini ber-tujuan untuk mengevaluasi 27 genotipe bengkuang sehingga mendapatkan genotipe yang berdaya hasil tinggi dan stabil pada lingkungan yang bervariasi.

    BAHAN DAN METODE

    Bahan tanaman yang digunakan dalam perco-baan ini adalah 27 genotipe bengkuang koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang merupakan duplikat koleksi bengkuang the yam bean project (Karuniawan 2004). Dua puluh tujuh genotipe ter-sebut berasal dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Meksiko, dan Guatemala.

    Percobaan dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan di Kebun Percobaan Fakultas Per-tanian Unpad, Jatinangor, dengan ordo tanah incep-tisols. Penanaman pada musim kemarau dilakukan pada Februari-Agustus 2006, tanpa pengairan tam-bahan dan percobaan musim hujan pada bulan November 2006-Mei 2007. Percobaan terdiri atas empat set yang merupakan lingkungan yang terdiri atas kombinasi musim dan perlakuan pemangkasan

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 21

    sink reproduktif. Lingkungan I adalah musim ke-marau tanpa pemangkasan, lingkungan II adalah musim hujan tanpa pemangkasan, lingkungan III adalah musim kemarau dengan pemangkasan, dan lingkungan IV adalah musim hujan dengan pe-mangkasan. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri atas 27 genotipe beng-kuang dengan dua ulangan. Genotipe-genotipe ter-sebut ditanam pada tiga petak yang masing-masing terdiri atas sembilan genotipe. Setiap genotipe dita-nam empat baris sehingga dalam satu petak terdapat 36 baris genotipe. Jarak antarbaris adalah 100 cm dan jarak antar tanaman dalam baris adalah 30 cm. Percobaan dengan pemangkasan dan tanpa pemang-kasan dikondisikan sama. Percobaan pada musim hujan sama dengan musim kemarau. Pupuk yang di-berikan mengacu kepada rekomendasi pemupukan ubi jalar pada lahan kering.

    Karakter yang diamati adalah bobot ubi per tanaman. Data dianalisis menggunakan metode AMMI. Analisis AMMI adalah integrasi antara ana-lisis varians untuk mengetahui efek aditif dan anali-sis komponen utama (PCA) untuk mengetahui efek multiplikatif dari interaksi. Hasil analisis AMMI di-tampilkan dalam bentuk biplot hubungan antara rata-rata bobot ubi dengan skor IPCA (interaction principal component axis). Parameter stabilitas yang digunakan adalah parameter AMMI, yaitu ber-dasarkan skor IPCA. Genotipe dengan skor mutlak IPCA yang lebih kecil menunjukkan bahwa geno-tipe tersebut lebih stabil.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil analisis varians data gabungan dari em-pat set percobaan memperlihatkan bahwa terdapat interaksi genotipe x lingkungan pada bobot ubi per tanaman (Tabel 1). Dalam percobaan ini, lingkung-an dideterminasi oleh faktor musim dan pemang-kasan. Secara ekstrim, pengaruh musim muncul aki-bat adanya perbedaan curah hujan yang berimpli-kasi pada perbedaan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Perlakuan pemangkasan dimaksudkan un-tuk mengubah distribusi asimilat ke bagian ubi se-hingga ukuran ubi diharapkan meningkat. Fenome-na interaksi yang muncul dapat diinterpretasikan sebagai perbedaan respon genotipe pada tiap-tiap lingkungan. Meskipun pada musim hujan kondisi air diasumsikan cukup, beberapa genotipe tidak memperlihatkan peningkatan bobot ubi yang signi-fikan. Hal ini disebabkan oleh berbedanya pola par-tisi asimilat dari tiap genotipe. Genotipe-genotipe tersebut cenderung memperlihatkan pertumbuhan pupus yang sangat subur, sedangkan asimilat yang didistribusikan ke bagian ubi cenderung lebih se-dikit sehingga bobot ubi relatif lebih kecil diban-dingkan dengan genotipe lainnya.

    Analisis AMMI untuk bobot ubi dari 27 ge-notipe bengkuang pada empat lingkungan percoba-an memperlihatkan bahwa 65,3% dari total jumlah kuadrat merupakan kontribusi dari faktor lingkung-an, 4,2% merupakan pengaruh genotipe, dan 16,2% disebabkan oleh interaksi genotipe x lingkungan

    Tabel 1. Hasil analisis varians gabungan pada bobot ubi per tanaman. Bobot ubi per tanaman1 (g)

    Sumber variasi DB JK F hitung Probabilitas

    Lingkungan 3 0,3530 39,81 0,003** Musim 1 0,0466 15,78 0,018* Pemangkasan 1 0,2717 91,92 0,001** Musim x Pemangkasan 1 0,0346 11,72 0,028* Rep. dalam lingkungan 4 0,0118 4,66 0,002** Genotipe 26 0,0224 1,36 0,141 Genotipe x Lingkungan 78 0,0874 1,76 0,003** Genotipe x Musim 26 0,0338 2,05 0,006** Genotipe x Pemangkasan 26 0,0223 1,35 0,146 Genotipe x Pemangkasan x Musim 26 0,0313 1,9 0,012* Galat 104 0,0660

    Total 215 0,5407 1data hasil transformasi 1/Log X, *signifikan pada taraf 0,05, **signifikan pada taraf 0,01, DB = derajat bebas, JK = jumlah kuadrat.

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 22

    (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa ling-kungan percobaan sangat berbeda dan merupakan penyebab terbesar dari variasi bobot ubi, sedangkan jumlah kuadrat interaksi G x E yang 3,9 kali lebih besar dari genotipe menentukan perbedaan respon genotipe terhadap lingkungan (Tarakanovas dan Ruzgas 2006).

    Jumlah kuadrat interaksi G x E dapat dijelas-kan dengan nilai interaksi bilinier pertama (IPCA-1) sebesar 62,4%, 23,5% di antaranya oleh komponen IPCA-2, dan 14,2% oleh IPCA-3. Nilai komponen interaksi yang memperlihatkan signifikansi adalah

    IPCA 1. Hal ini menunjukkan bahwa model AMMI yang berlaku adalah AMMI 1 (Gauch 1992). De-ngan demikian, konstruksi biplot antara nilai skor IPCA (ordinat) dan nilai rata-rata bobot ubi (absis) dapat digunakan untuk mengeksplorasi interaksi G x E melalui model AMMI 1 (Gauch dan Zobel 1996, Kaya et al. 2002). Berdasarkan biplot tersebut dapat diketahui besarnya kontribusi tiap genotipe dan lingkungan terhadap interaksi.

    Gambar 1 memperlihatkan asosiasi antara ge-notipe dan lingkungan pada kuadran yang sama. Gambar biplot dibagi menjadi empat kuadran, dua

    Tabel 2. Analisis AMMI terhadap bobot ubi 27 genotipe bengkuang.

    Sumber variasi DB JK KT F hitung Persentase yang dijelaskan (%)

    Genotipe 26 0,022426 0,000863 0,141 4,15 Lingkungan 3 0,353016 0,117672 39,81** 65,29 Blok (Lingkungan) 4 0,011824 0,002956 4,66** 2,19 Genotipe x Lingkungan 78 0,087381 0,0011203 1,76** 16,16 IPCA 1 28 0,054489 0,001946 3,07** 62,36 IPCA 2 26 0,020491 0,000788 1,24 23,45 IPCA 3 24 0,012401 0,000517 0,81 14,19 Galat 104 0,066011

    Total 215 0,540658

    ** Signifikan pada taraf 0,01, DB = derajat bebas, JK = jumlah kuadrat, KT = kuadrat tengah.

    1 = B-137/AC, 2 = B-138/AC, 3 = B-33/J, 4 = B-31/WS, 5 = B-26/NS, 6 = B-29/WS, 7 = B-39/WJ, 8 = B-55/CJ, 9 = B-56/CJ, 10 = B-58/EJ, 11 = B-42/WJ, 12 = B-61/EJ, 13 = B-1/EC033, 14 = B-15/EC104, 15 = B-23/EC040, 16 = B-10/EC550, 17 = B-12/EC Kew, 18 = B-6/EC533, 19 = B-7/EC041, 20 = B-19/EC557, 21 = B-74/ENT, 22 = B-77/ENT, 23 = B-80/ENT, 24 = B-89/ENT, 25 = B-86/ENT, 26 = B-90/ENT, 27 = B-94/ENT, I = musim kemarau, tanpa dipangkas, II = musim hujan, tanpa di-pangkas, III = musim kemarau, dipangkas, IV = musim hujan, dipangkas, K I-K IV = kuadran I-IV.

    Gambar 1. Biplot model AMMI 1 untuk bobot ubi per tanaman.

    1

    2

    3 4

    5

    6

    7

    8 9

    10

    11

    1213

    14

    15

    16

    17

    18 19

    20

    21 22

    23

    242526 27

    I

    II

    III

    IV

    -0,25

    -0,15

    -0,05

    0,05

    0,15

    0,25

    0,35

    0 200 400 600 800 1000 1200 Rata-rata (g)

    Skor

    IPC

    A-1

    Genotipe

    Mean = 510,47 g

    K II K I

    K III K IV

    Lingkungan

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 23

    kuadran mewakili lingkungan dengan hasil yang rendah (low yielding), I dan IV, dan dua kuadran mewakili hasil tinggi (high yielding), II dan III. Selain itu, biplot memberikan informasi efek utama dan interaksi, baik dari lingkungan maupun geno-tipe (Gauch 1992). Genotipe dengan posisi yang menjauhi titik nol skor IPCA-1 seperti B-15/EC104 (14), B-58/EJ (10), B-19/EC557 (20), dan B-80/ ENT (23) berkontribusi sangat besar terhadap mun-culnya fenomena interaksi. Begitu juga halnya ling-kungan I dan II yang memperlihatkan skor mutlak IPCA-1 yang relatif jauh lebih tinggi.

    Genotipe bengkuang dengan skor IPCA-1>0 memperlihatkan respon positif dengan lingkungan yang memiliki skor IPCA-10 (Samonte et al. 2005). Genotipe B-33/J (3), B-10/EC550 (16), B-137/AC (1), dan B-19/EC557 (20) pada kuadran III memperlihatkan kemampuan adaptasi yang lebih spesifik. Genotipe yang berada

    dekat titik nol skor IPCA-1 kurang responsif di-bandingkan dengan genotipe yang lebih jauh. Oleh karena itu B-94/ENT (27) merupakan genotipe yang paling stabil pada empat lingkungan percobaan (Tabel 3). Genotipe B-23/EC040 (15), B-26/NS (5), B-56/CJ (9), B-58/EJ (10) pada kuadran II memiliki adaptasi yang cukup baik pada kisaran lingkungan yang luas (I, III, IV). Dalam hal lokasi pengujian, lingkungan II dan I adalah lingkungan yang paling berkontribusi (discriminating) terhadap perbedaan bobot ubi karena memiliki jarak yang paling jauh dari titik nol (origin). Lingkungan IV merupakan lingkungan terbaik dan bukan lingkungan yang discriminating karena memiliki nilai lingkungan di atas rata-rata umum dan berada dekat dengan titik nol skor IPCA-1. Oleh karena itu, perbedaan-per-bedaan genotipe pada lingkungan ini akan sangat konsisten dengan rata-rata lingkungan lainnya.

    Lingkungan I dan II berbeda dilihat dari ke-tersediaan air bagi tanaman. Dalam percobaan ini,

    Tabel 3. Nilai bobot ubi dan stabilitas beberapa genotipe bengkuang. Bobot ubi (g) Stabilitas

    Genotipe Rata-rata Peringkat Skor IPCA 1 Peringkat

    B-23/EC040 710,75 1 0,03233 12 B-10/EC550 696 2 -0,01838 6 B-33/J 692,75 3 -0,01918 7 B-19/EC557 616,375 4 -0,17633 27 B-56/CJ 602 5 0,06393 18 B-58/EJ 591 6 0,13273 23 B-137/AC 588 7 -0,13796 25 B-26/NS 588 8 0,01571 4 B-94/ENT 560,75 9 -0,00514 1 B-138/AC 536,5 10 0,05542 17 B-1/EC033 526,625 11 0,05403 16 B-31/WS 513,875 12 -0,04629 14 B-42/WJ 510,625 13 -0,00764 2 B-39/WJ 499,375 14 -0,02712 11 B-77/ENT 498 15 -0,02135 8 B-15/EC104 481,625 16 0,13564 24 B-61/EJ 475,375 17 0,07618 20 B-29/WS 468 18 0,08161 21 B-80/ENT 456 19 -0,16396 26 B-12/EC Kew 447,5 20 -0,12181 22 B-86/ENT 433,5 21 -0,01773 5 B-55/CJ 415,125 22 0,06465 19 B-74/ENT 400 23 0,02441 10 B-89/ENT 392,25 24 -0,03275 13 B-7/EC041 377 25 0,04956 15 B-90/ENT 373,5 26 -0,0122 3 B-6/EC533 330,625 27 0,02147 9

    Rata-rata 510,4722

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 24

    lingkungan I (musim kemarau, tanpa pemangkasan) didefinisikan sebagai lingkungan yang kurang baik (poor). Menurut Tarakanovas dan Ruzgas (2006), jarak genotipe dengan sumbu nol IPCA-1 merupa-kan cerminan besaran interaksi untuk genotipe ter-sebut. Sebagian besar interaksi genotipe x lingkung-an pada bobot ubi bengkuang disebabkan oleh genotipe B-15/EC104 (14) yang memiliki hasil di bawah rata-rata dan nilai skor IPCA1 yang besar (kuadran I). Oleh karena itu, genotipe ini paling cocok untuk lingkungan yang kurang baik.

    Petani umumnya lebih tertarik mengembang-kan kultivar yang memperlihatkan konsistensi daya hasil (Tarakanovas dan Ruzgas 2006). Oleh karena itu, genotipe yang sebaiknya diseleksi oleh pemulia adalah yang berdaya hasil tinggi dan stabil pada ki-saran lingkungan yang luas (Samonte et al. 2005). Genotipe B-23/EC040 berdaya hasil tertinggi, na-mun kurang stabil. Sebaliknya, genotipe B-33/J, B-26/NS, B-10/EC550, dan B-94/ENT berdaya hasil di atas rata-rata namun memiliki stabilitas yang le-bih tinggi.

    Fenomena interaksi genotipe x lingkungan se-benarnya memiliki implikasi yang baik dalam usaha meningkatkan produksi pertanian. Dengan diketa-huinya potensi hasil suatu genotipe pada lingkungan tertentu, pengembangan kultivar dapat diarahkan untuk mendapatkan kultivar spesifik lingkungan. Pengembangan kultivar spesifik lingkungan memi-liki peluang yang besar dalam meningkatkan pro-duksi ubi bengkuang. Pada penelitian ini, genotipe terbaik pada lingkungan IV adalah B-23/EC040. Genotipe terbaik pada lingkungan I adalah B-55/CJ, pada lingkungan II B-80/ENT, dan pada lingkungan III B-15/EC104.

    KESIMPULAN

    Genotipe B-23/EC040 berdaya hasil tertinggi, namun kurang stabil. Genotipe-genotipe B-33/J, B-26/NS, B-10/EC550, dan B-94/ENT memberikan hasil di atas rata-rata namun memiliki stabilitas yang lebih tinggi. Lingkungan IV (musim hujan de-ngan pemangkasan) adalah lingkungan yang baik di mana variasi genotipe terlihat lebih konsisten. Pada lingkungan ini, B-23/EC040 merupakan genotipe terbaik. Genotipe terbaik pada lingkungan ekstrim I

    adalah B-55/CJ, pada lingkungan II B-80/ENT, dan dan pada lingkungan III B-15/EC104.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Terima kasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian Unpad atas bantuan biaya percobaan pada musim kemarau dan kepada I-MHERE Unpad atas bantuan biaya penelitian pada musim hujan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adugna, W. and M.T. Labuschagne. 2002. Genotype-envir-onment interactions and phenotypic stability analy-ses of linseed in Ethiopia. Plant Breeding 121:66-71.

    Baihaki, A. 2000. Teknik Analisis Rancangan Pemuliaan. Kumpulan Materi Latihan Teknik Pemuliaan dan Hibrida. Universitas Padjadjaran Bandung.

    Becker, H.C. and J. Leon. 1988. Stability analysis in plant breeding. Plant Breeding 101:1-23.

    Crossa, J. 1990. Statistical analysis of multilocation trials. Advances in Agronomy 44:55-85.

    de Melo, E.P., N. Krieger, and T.L.M. Stamford. 1994. Physchochemical properties of Jacatupe (Pachyrhi-zus erosus L. Urban) starch. Starch 46:245-247.

    Fehr, W.R. 1987. Principles of Cultivar Development, Vol 1, Theory and Technique. Macmillan Publishing Co. New York.

    Gauch, Jr., H.G. 1992. Statistical Analysis of Regional Trials: AMMI Analysis of Factorial Design. Elsevier Science Publisher. Amsterdam.

    Gauch Jr., H.G. and R.W. Zobel. 1996. AMMI analysis of yield trials. In Kang, M.S. and H.G. Gauch, Jr. (Eds.). Genotype-by-Environment Interaction. CRC Press, Boca Raton. New York, United States of America.

    Karuniawan, A. 2004. Cultivation status and genetic diver-sity of yam bean (Pachyrhizus erosus (L). Urban) in Indonesia. Cuvillier Verlag Gottingen. Germany.

    Kaya, Y., C. Palta, and S. Taner. 2002. Additive main effects and multiplicative interactions analysis of yield performances in bread wheat genotypes across environments. Turk J. Agric. For. 26:275-279.

    Kearsey, M.J. and H.S. Pooni. 1996. The Genetical Analy-sis of Quantitative Traits. Chapman & Hall. London.

    Piepho, H.P. 1996. Analysis of genotype-by-environment interaction and phenotipeic stability. In Kang, M.S. and H.G. Gauch, Jr. (Eds.). Genotype-by-Environ-ment Interaction. CRC Press, Boca Raton. New York, United States of America.

  • Buletin Plasma Nutfah Vol.14 No.1 Th.2008 25

    Ratanadilok, N., K. Suriyawan, and S. Thanaisawanrayang-kura. 1998. Yam bean (Pachyrhizus erosus L. Urban) and its economic potential. In Sorensen, M., J.E. Estrella, O.J. Hamann, and S.A. Rios Ruiz (Eds.). Proceedings of the 2nd International Sympo-sium on Tuberous Legumes, Celaya, Guanajuato, Mexico 5-8 August 1996. Copenhagen, Denmark.

    Samonte, S.O.P., L.T. Wilson, A.M. McClung, and J.C. Medley. 2005. Targeting cultivars onto rice growing environments using AMMI and SREG GGE Biplot analysis. Crop Science 45:2414-2424.

    Sorensen, M. 1996. Promoting The Conservation and Use of Neglected Crops 2: Yam Bean Pachyrhizus DC. International Plant Genetic Resources Institute. Italy.

    Sumertajaya, I.M. 1998. Perbandingan model AMMI dan regresi linier untuk menerangkan pengaruh interaksi percobaan lokasi ganda. Tesis Program Pascasar-jana, Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasi).

    Tarakanovas, P. and V. Ruzgas. 2006. Additive main effect and multiplicative interaction analysis of grain yield of wheat varieties in Lithuania. Agronomy Research 4(1):91-98.