buku profil al-qolam

315

Upload: progresif

Post on 07-Apr-2016

394 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Buku tahunan UKM KI Al-Qolam di tahun 2014. mengusung keras #progresif. agar menjadi do'a untuk kemajuan yang lebih baik

TRANSCRIPT

Page 1: Buku profil Al-Qolam
Page 2: Buku profil Al-Qolam

Buku Profil Al-Qolam 2014

“Progresif”

Copyright © 2014

Penulis: cerita inspirasi ditulis oleh seluruh pengurus UKM

KI Al-Qolam UPI 2014

Penyunting Naskah: Dini Wulandari

Desain sampul dan Tata Letak: Haifa MF

Cetakan Pertama: Desember 2014

Diterbitkan oleh: Al-Qolam UPI Publisher

Gd. Geugeut Windha (PKM) Lt. 2

Jln. Dr. Setiabudhi no. 229, Bandung 40154

Telp. 0857-9493-1621

Pos-el: [email protected]

Website: alqolamupi.com

Twitter: @alqolamupi

Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis

Dicetak oleh Al-Qolam UPI Publisher - Bandung

Page 3: Buku profil Al-Qolam

Bismillahirrahmanirrahim...

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan

segala nikmat baik jasmani maupun rohani. Selawat serta

salam semoga tercurahkan pada junjungan nabi besar

Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan pengikutnya

hingga akhir zaman.

Terimakasih untuk Orang tua, Bapak-bapak Pembimbing,

dan semua pihak yang turut serta membantu,

berkontribusi, dan memberikan dukungannya hingga

buku PROFIL AL-QOLAM 2014 bisa tersusun.

Buku ini merupakan rangkuman kisah-kasih, karya

terbaik, dan wacana orang-orang yang bersedia

meluangkan waktu dan tenaganya demi jalan dakwah bil-

Qolam. Semoga ketulusan Shohibul Qolam semua tercatat

sebagai ladang amal hingga bisa kita tuai di akhirat nanti.

Mari istiqomah menggoreskan inspirasi-inspirasi terbaik

demi sebuah peradaban gemilang.

Bandung, 17 Desember 2014

Page 4: Buku profil Al-Qolam

TENTANG

UKM KEPENULISAN ISLAMI AL-QOLAM UPI

Unit Kegiatan Mahasiswa Kepenulisan Islami

Al-Qolam Universitas Pendidikan Indonesia (UKM KI

Al-Qolam UPI) merupakan UKM yang bergerak

dalam bidang kepenulisan islami, baik itu penulisan

fiksi maupun nonfiksi yang bernuansa Islami.

Berlandaskan salah satu surat Alquran, yaitu surat

Al-Qolam ayat pertama yang artinya, “Nun. Demi

pena dan apa yang mereka tuliskan”, kami

mempunyai visi membumikan fastabiqul khairat

(berlomba-lomba dalam kebaikan) melalui tulisan.

Selain itu, kami juga memiliki misi yang bertujuan

menguatkan organisasi dan para anggotanya untuk

meningkatkan kualitas ruhiyah pribadi, mutu, serta

kemampuan menulis.

Perjuangan pembentukan UKM KI Al-Qolam

UPI dimulai pada tanggal 24 Maret 2011 dengan

pendeklarasian Komunitas Menulis Al-Qolam,

sebagai wadah berkumpulnya para alumni Binder

Page 5: Buku profil Al-Qolam

(Bina Kader) Program Tutorial UPI yang kemudian

menerbitkan buletin bulanan Al-Qolam. Setelah

beberapa bulan berjalan, Al-Qolam mengajukan diri

sebagai salah satu media buletin resmi kampus UPI

bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan

Kemahasiswaan (Dirmawa) UPI. Terakhir pada

tanggal 27 Juni 2012, UKM KI Al-Qolam UPI

ditetapkan menjadi organisasi resmi universitas

atau UKM.

Setelah resmi menjadi salah satu UKM di

UPI, Al-Qolam mempunyai berbagai kegiatan rutin

untuk membina para anggotanya, diantaranya:

diskusi kepenulisan setiap pekan, mentoring

kepenulisan dan keislaman, ta’lim anggota,

upgrading pengurus, bimbingan konseling

kepenulisan, penerbitan buletin dan majalah, serta

kajian tematik. Selain itu, Al-Qolam juga

mengadakan berbagai kegiatan lain yang

dilaksanakan untuk khalayak umum yaitu: Ta’lim

Kepenulisan Islami, Lomba Untaian Inspirasi Islami

(Uninis), Kunjungan Produksi ke penerbit, Pelatihan

Jurnalistik, serta Seminar dan Workshop

Kepenulisan Al-Qolam Writivation Festival (AWF).

Page 6: Buku profil Al-Qolam

Kami bukan mencari atau mencetak orang

yang alim maupun penulis yang handal, tapi adanya

kami disini untuk mewadahi orang-orang yang

mempunyai keinginan kuat untuk berkarya dan

belajar ilmu keislaman sekaligus kepenulisannya.

Karena pada hakikatnya, UKM KI Al-Qolam UPI

merupakan wadah untuk saling belajar dan berbagi

ilmu.

Page 7: Buku profil Al-Qolam

DOKUMENTASI KEGIATAN

UKM KI AL-QOLAM UPI

Page 8: Buku profil Al-Qolam
Page 9: Buku profil Al-Qolam
Page 10: Buku profil Al-Qolam
Page 11: Buku profil Al-Qolam
Page 12: Buku profil Al-Qolam
Page 13: Buku profil Al-Qolam
Page 14: Buku profil Al-Qolam
Page 15: Buku profil Al-Qolam
Page 16: Buku profil Al-Qolam
Page 17: Buku profil Al-Qolam
Page 18: Buku profil Al-Qolam
Page 19: Buku profil Al-Qolam

Struktur Organisasi dan

Keanggotaan

Page 20: Buku profil Al-Qolam

Majelis Pertimbangan

Organisasi (MPO) (Dewan penasihat UKM KI Al-Qolam UPI)

Eko Apriansyah

Ghita Fasya Azuar

Linah

Taufik R. B

Page 21: Buku profil Al-Qolam

Eko Apriansyah

“Jadi anak baik, ya Al-Qolam...”

Tempat, tanggal

lahir

Pangkalpinang, 14 April 1992

Jurusan / Fak. /

Tahun

P.B.S.Indonesia / FPBS / 2010

Alamat asal Jalan Bukit Tani No. 323,

Pangkalpinang, Prov. Kepulauan

Bangka Belitung

Alamat di Bandung Jalan Gegerkalong Girang

No.35, Kota Bandung

No. kontak 085722755767

Blog sanginspiratorpena.blogspot.com

Cita-cita (profesi) Wartawan dan penulis

Moto hidup “Menulis untuk Peradaban!”

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di UKM KI Al-Qolam

UPI, FKUKM, PAS ITB (masih

sedikit bantu-bantu), dan Penulis

lepas.

Passion Tulisan Jurnalistik dan Fiksi

Page 22: Buku profil Al-Qolam

Ghita F. Azuar

“Membahagiakan dan

Menyenangkan bersama Al-

Qolam, karena Allah Swt. semoga

Al-Qolam menjadi jalan kebaikan

dan keridhoan Allah Swt. bagi

kita semua yang berjuang melalui

pena! :)”

Tempat,

tanggal lahir Jakarta, 6 April 1993

Jurusan / Fak.

/ Tahun Pendidikan IPS/FPIPS/2011

Alamat asal Jalan Dipati Unus No. 213 Tangerang,

Banten

Alamat di

Bandung

Jalan Negla No. 26 Bandung, Jawa

Barat

No. kontak 085718269062

Blog Ghitafasyaaz.blogspot.com

Cita-cita

(profesi) Pendidik dan Penulis

Moto hidup Proses adalah kemenangan dan hasil

hanya sebagian kecil dari ujiannya.

Aktivitas

selain kuliah MPO UKM KI AL-QOLAM dan

Bendahara Umum I BEM HIMA P.IPS

Passion

Tulisan Fiksi dan Non-fiksi

Page 23: Buku profil Al-Qolam

Linah

“Al-Qolam merupakan wadah para aktivis kampus yang ingin berdakwah melalui tulisan serta menambah wawasan keislaman. Melalui beberapa aktivitas yang dimilki, seperti diskusi kepenulisan serta taklim anggota, membuktikan bahwa al-Qolam siap dan mampu menghasilkan penulis islami yang bermanfaat untuk umat. Insya Allah”

Tempat,

tanggal lahir

Bekasi, 04 Juni 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

P. B. Arab / FPBS / 2011

Alamat asal Cikarang - Bekasi

Alamat di

Bandung

Jl. Sersan Surip No. 160B Kel.

Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung

No. kontak 085793650897

Cita-cita

(profesi)

Pendidik

Moto hidup Hidup itu pilihan, pilihlah yang

terbaik menurut Allah dan dirimu!

Aktivitas selain

kuliah

Mentor Halaqoh dan MPO UKM KI

Al-Qolam UPI

Passion Tulisan Nonfiksi

Page 24: Buku profil Al-Qolam

Taufik Ramadhan B. /

Adan Ali

([email protected])

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 24 Maret 1992

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Psikologi Pendidikan dan Bimbingan /

FIP / 2010

Alamat Jl. Kopo Cirangrang Gg. Sekolah No. 5

Kota Bandung

No. kontak 085624194351

Blog Taufikadan.tumblr.com

Cita-cita

(profesi)

Duta Besar RI

Aktivitas

selain kuliah

Nulis Artikel, Naik Gunung, dan

Touring

Passion

Tulisan

Artikel

Page 25: Buku profil Al-Qolam

Ketua Umum (Pemimpin UKM KI Al-Qolam UPI)

M. Ginanjar Eka Arli

Sekretaris umum (Penanggung jawab Sekretariat UKM KI Al-

Qolam UPI dan wakil dari Ketua Umum)

Dini Wulandari

Wulan Sari

Bendahara umum (Bendahara Umum adalah penanggung jawab

keuangan UKM KI Al-Qolam UPI)

Indria Fitri A.

Arifah Putrining A

Page 26: Buku profil Al-Qolam

M Ginanjar Eka Arli

“Al-Qolam UPI tempatku belajar, mengabdi,

dan berkarya. Jayalah selalu Al-Qolam!

Semoga semakin sukses untuk melahirkan

penulis-penulis berprestasi yang kompeten di

bidang kepenulisan dan keislaman. Aamiin.

#GIPH”

Tempat, tanggal lahir

Cianjur, 8 Februari 1993.

Jurusan / Fak. / Tahun

Pendidikan Matematika / FPMIPA /

2011.

Alamat asal Jln. Cengkeh Tengah II No. 61 Way

Halim, Bandarlampung.

Alamat di Bandung

Jln. Gegerkalong Girang Gg. Geger

Suni I No. 83, Bandung.

No. kontak 087822143575 / 085279276337

Blog http://the-sealovers.blogspot.com

Cita-cita (profesi)

Guru.

Moto hidup Hidup untuk berbagi, Ikhlas untuk

memberi.

Aktivitas selain kuliah

Menjadi Ketua Umum UKM KI Al-

Qolam UPI

Passion Tulisan Jurnalistik dan cerpen.

Page 27: Buku profil Al-Qolam

Dini Wulandari

“Al-Qolam itu sekolah kehidupan

bagiku. Aku belajar bagaimana

mengelola emosi dan air mata menjadi

bulir-bulir keikhlasan. Aku belajar

bagaimana mengelola tawa dan

kebahagiaan menjadi bulir-bulir

syukur pada setiap nikmat yang Allah

beri”

Tempat,

tanggal lahir

27 Juni 1993

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Bahasa dan Sastra/FPBS/2011

Alamat asal Desa Tegal Taman No. 86B. Rt/Rw

02/02. Kecamatan Sukra. Kabupaten

Indramayu. 45257

Alamat di

Bandung

Jl. Cipaku Indah 2 No. 27 Rt/Rw

04/02. Lingkar Ledeng. Kecamatan

Cidadap. Bandung. 40143

No. kontak 081947232787

Cita-cita

(profesi)

Peneliti, Editor, atau Fashion

Designer

Moto hidup Manfaatkan waktu dengan sebaik

mungkin adalah cara terbaik untuk

bersyukur atas karunia usia yang

Allah beri.

Passion

Tulisan

Artikel Ilmiah dan Cerpen

Page 28: Buku profil Al-Qolam

Wulan Sari

“Al Qolam adalah keluarga yang

memberikan rasa hangat.”

Tempat, tanggal

lahir

Bandung, 28 April 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pend. Teknik Arsitektur/ FPTK/ 2013

Alamat Jalan Cibangkong No. 274/120 RT 01

RW 06 Kel. Cibangkong Kec.

Batununggal Kota Bandung 40273

No. kontak 089629773370

Blog Onewulan.wordpress.com

Cita-cita (profesi) Dosen, Penulis

Moto hidup Istiqomah dan berusaha memperbaiki

diri

Aktivitas selain

kuliah

Pengajar di Madrasah Miftahul Huda,

Anggota KMA- KRIDAYA, Pengurus

di UKM KI Al- Qolam UPI, Anggota

ROHIS Ketika Cibangkong Bertasbih,

dan Anggota Karang Taruna RW 06

Passion Tulisan Novel dan Cerpen

Page 29: Buku profil Al-Qolam

Indria F Afiyana

“Bismillahirrahmanirrahim,

Teruntuk saudara-saudara seiman

seperjuangan di Al-Qolam, tetaplah

semangat karena Allah jika lelah mulai

terasa, ingat lagi niat awal perjuangan

kita, yaitu Allah semoga ikhtiar

dakwah kita di ridhoi Allah, Aamiin

Uhibukki fillah”

Tempat, tanggal

lahir

Cianjur, 14 Maret 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

Akuntansi/FPEB/2012

Alamat asal Komplek Bumi Serang Baru blok DD 15

no 3 Kota Serang, Provinsi Banten

Alamat di

Bandung

Asrama Cilimus Indah, Jl. Cilimus.

No.11 Rt.07 Rw.06 Kel.Isola.

Kec.Sukasari. Bandung. 40154

No. kontak 082121459120

Blog robot92.tumblr.com

Cita-cita (profesi) Akuntan

Moto hidup “one day the truth will win this game!”

Aktivitas selain

kuliah

Pratikum, Pengurus di UKM Sciemics,

UKM KI Al-Qolam UPI, Assalam, dan

Stuften (student from banten)

Passion Tulisan Sajak, Karya Tulis Ilmiah, dan Jurnalistik

Page 30: Buku profil Al-Qolam

Arifah P. Asma /

Dzakira Aftania

“Cuma di sini tempatnya buat

mahasiswa UPI yang pengen

menginspirasi banyak orang

dengan tulisan Islaminya :D”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 01 Desember 1995

Jurusan /

Fak. / Tahun

Pendidikan Teknologi

Agroindustri/FPTK/2013

Alamat asal Perumnas, Blok A2 No. 14 Cibeber,

Cilegon, Banten

Alamat di

Bandung

Jalan Geger Kalong Girang No. 79

No. kontak 089651084559

Blog Dzakiraaftania.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Dosen

Aktivitas

selain kuliah

Pengurus di Himagrin, UKM KI Al-

Qolam UPI, dan Tutorial Lanjutan

Passion

Tulisan

Essai, Cerpen, dan Artikel

Foto dengan

gaya bebas

(wajah terlihat

jelas)

Page 31: Buku profil Al-Qolam

Divisi Pengembangan

Sumber Daya Organisasi

(PSDO)

(Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi

(PSDO) adalah divisi yang bertanggung jawab

melakukan kaderisasi dan pengembangan

kemampuan berorganisasi dan ruhiyah (spritual)

anggota UKM KI Al-Qolam UPI)

Dea Yolanda

Ahmad Fauzi M

Febriant Musyaqori Ramdani

Lutfiani M

Salma Nur Afifah

Yusuf Nurdiansyah

Page 32: Buku profil Al-Qolam

Dea Yolanda

Untuk Al-Qolam,

Terimakasih atas ilmu dan pengalaman

berharga yang saya dapat selama menjadi

bagian dari Al-Qolam. Suka dan duka ini

kelak akan menjadi kenangan berharga yang

tak terlupakan. Semoga Al-Qolam lebih baik

dan progresif.

Tempat, tanggal lahir

Tasikmalaya, 15 November 1993

Jurusan / Fak. / Tahun

Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012

Alamat asal Kp. Nusawangi 01/02 Ds. Linggalaksana Kec. Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya 46193

Alamat di Bandung

Geger Arum

No. kontak 083820636498/085221853445

Blog deayola.blogspot.com

Cita-cita (profesi)

Pengajar

Moto hidup Do the best because of Allah

Aktivitas selain kuliah

Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Staff Pengajar di Rainbow Course, dan Englsih Students’ Association.

Passion Tulisan

Cerpen dan puisi

Page 33: Buku profil Al-Qolam

Salma Nur

Afifah

“Mujahid dan mujahidah yang

berperang dengan penanya”

Tempat, tanggal

lahir

Bandung, 12 Oktober 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pend. Teknik

Arsitektur/FPTK/2013

Alamat Jalan kawali 7 no. 5 antapani

Bandung 40291

No. kontak 089670262834

Blog Salmanur.blogspot.com

Cita-cita (profesi) Penulis, guru, arsitek

Moto hidup Dimana ada kesulitan pasti ada

kemudahan

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di UKM KI Al-Qolam

dan KMA Kridaya

Passion Tulisan Fiksi dan Opini

Foto dengan

gaya bebas

(wajah terlihat

jelas)

Page 34: Buku profil Al-Qolam

Lutfiani Masyaridilah

([email protected]

om)

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Purwakarta, 04 Januari 1995

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Pendidikan Ilmu Pendidikan Agama

Islam / FPIPS / 2013

Alamat asal Purwakarta

Alamat di

Bandung

Gerlong Girang No.45 Bandung

No. kontak 085723422775

Blog lmasya.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Fasilitator Pendidikan

Moto hidup Bergerak dengan Hati

Aktivitas

selain kuliah

Fasilitator DTI, Sekbid PSDO Hima

IPAI, Staf Lab. Baitul Hikmah

Passion

Tulisan

Puisi

Page 35: Buku profil Al-Qolam

Ahmad F Mulyana

([email protected])

“Saatnya berkarya lewat Tulisan Islam”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 11 September 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pend. Biologi/ FPMIPA

Alamat asal Jl. Abdi negara II no. 302 Sumber,

Kab. cirebon

Alamat di

Bandung

Jl. Sederhana II no.29 Sukajadi,

Bandung

No. kontak 085724647488

Cita-cita

(profesi)

Penulis, Dosen

Moto hidup Berkarya dan Berdedikasi

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di BFUB Biologi, DPM

HMBF, BAQI UPI, Al-Qolam, dan

LEPPIM UPI.

Passion Tulisan Tentang Biologi, tentang Al-Qur’an,

dan tentang keislaman (motivasi,

kisah2, kiat sukses, dll)

Page 36: Buku profil Al-Qolam

Febriant M

Ramdani ([email protected])

“Subhanalloh Luar Biasa #Goresan Inspirasi Penggugah Hati.. Allohuakbar!!!”

Tempat, tanggal

lahir

Bandung, 26-Februari-1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013

Alamat asal Kp.Loji RT02 RW02 Desa Cipada

Kecamatan Cisarua Kabupaten

Bandung Barat 40551

Alamat di

Bandung

Jln. Sari Asih II RT06 RW10

Kelurahan Sarijadi Kecamatan

Sukasari – Kota Bandung

No. kontak 089657389433

Blog Febriantmusyaqoriramdani.blogsp

ot.com

Cita-cita (profesi) Guru, Penulis, Pengusaha

Moto hidup Bahagia Setelah Sulit

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di Himpunan Mahasiswa

Pendidikan Sosiologi, UKM KI

Al-Qolam UPI, dan Lingkar

BidikMisi

Passion Tulisan Cerpen, Puisi, Novel, dan Artikel

Page 37: Buku profil Al-Qolam

Yusuf

Nurdiansyah

([email protected])

“Harmoni Berkarya, Berjuang,

Beramal”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 04-10-1990

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Pend. Bahasa dan sastra

Indonesia/FPBS/2010

Alamat Jl.Cikampek 4 no 3

No. kontak 085795388715

Blog Kubus-fantasi.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Masuk syurga

Moto hidup Tidak ada yang mustahil!

Aktivitas

selain kuliah

Guru di Mts Al-Mursyid, Pengurus

Bidang Kaderisasi JPRMI

kec.Antapani, Anggota UKM KI Al-

Qolam UPI, dan Anggota Majelis

Syuro RISMA Al-Mukhlishin

Passion

Tulisan

Fiksi islami

Page 38: Buku profil Al-Qolam

Divisi Produksi

(Divisi Produksi adalah divisi yang bertanggung

jawab mengelola karya kepenulisan di UKM KI

Al-Qolam UPI)

Haifa Afifah Sholihah

Afiyah

Dini Siti Rufaidah

Ika Nurjanah

Melinda Gultom

Muhammad Abdullah

Wahyu Eka Jayanti

Page 39: Buku profil Al-Qolam

Haifa Afifah

Sholihah/ HMf “Semoga Al-Qolam dapat menjadi salah satu media yang dapat pusat opini mahasiswa, khususnya UPI, umumnya yang membacanya. Tingkatkan kualitas produk, lebih tenggang rasa, dan mengoptimalkan kinerja serta saling bahu-membahu menuju puncak harapan bersama”

Tempat, Tanggal

lahir

Bandung, 4 November 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2011

Alamat asal Jln. Eyang Tirta Praja no. 40 Perum BTN Raya

Pamanukan blok: 7 No.26

Alamat di

Bandung

Jln. Soekarno Hatta, blkg LP. Rt/RW: 02/02 no. 3

Kec. Bojongloa kidul Kel. Mekarwangi.

No. kontak 085794931621

Blog Safarholic.tumblr.com, haifa-afifah.blogspot.com

Cita-cita (profesi) Pendidik, Manager, Ibu Rumah Tangga Profesional

Moto hidup Apa yang bisa kamu lakukan hari ini. maka

lakukanlah! Keberanian menyirat keajaiban

didalamnya.

Aktivitas selain

kuliah

Mengelola Penerbitan, Menulis, menggambar,

membaca, mengelola perpustakaan pribadi Muflih

Home Library, belajar kerajinan tangan (pop up,

rajut, origami dll), penelitian remaja di LP2K, dan

Mengelola Blog dakwah

Passion Tulisan Artikel, puisi, infografis, cerpen.

Page 40: Buku profil Al-Qolam

Ika Nurjanah

“Di sini saya mengenal arti ukhuwah, di sini saya mengenal arti sebuah keihklasan, dan di sini saya banyak belajar melalui berbagai hambatan serta tantangan yang di hadapi”

Tempat,

tanggal lahir

Subang,15 Januari

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013

Alamat asal Subang

Alamat di

Bandung

Jl.sersan bajuri

No. kontak 087778679517

Cita-cita

(profesi)

Dosen Bahasa Arab dan penulis

Moto hidup Not easy but nothing impossible

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI

dan Himpunan Mahasiswa Bahasa

Arab.

Passion

Tulisan

Novel dan cerpen

Page 41: Buku profil Al-Qolam

Dini Siti Rufaidah

“Sumber inspirasi dan sahabat menuju

impian saya menjadi penulis, guru dan

sumber ilmu”

Tempat, tanggal

lahir

Bandung, 27 November 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa

Arab/FPBS/2013

Alamat asal Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa

Margahayu selatan kec.

Margahayu kab. Bandung

Alamat di

Bandung

Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa

Margahayu selatan kec.

Margahayu kab. Bandung

No. Kontak 08972655814

Cita-cita (profesi) Guru

Moto hidup Berusahalah terus istiqamah

mendari ilmu

Aktivitas selain

kuliah

Mengajar di Madrasah Diniyah,

Pengurus di UKM KI Al-Qolam

dan KQ UPI

Passion Tulisan Puisi

Page 42: Buku profil Al-Qolam

Afiyah

“Al-Qolam, kau tempat paling tepat

untuk mimpiku yang terhebat. Menjadi

penulis masa mendatang yang berani

menantang karang”

Tempat, tanggal

lahir

Tangerang, 10 Maret 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2012

Alamat asal Jl. Palem Raya blok II No.2 rt.02/23

perumnas I, Cibodas, Cibodasari,

Tangerang.

Alamat di

Bandung

Jl. Cilimus No.11 rt.07/06, Asrama

Cilimus Indah, R.5R4, Bandung, 40154

No. kontak 083820250200/085720018856

Blog lintangdsalamah.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Guru, penulis, script writter, sutradara

Moto hidup Hidup cuma SEKALI, hiduplah yang

BERARTI

Aktivitas selain

kuliah

Staf pengajar Madrasah Dinniyah Al-

Huda, Cilimus, Pengurus BEM

KEMABA, dan UKM KI Al-Qolam UPI.

Passion Tulisan Puisi, Naskah drama, dan Komik.

Page 43: Buku profil Al-Qolam

Muhammad

Abdullah

“Senang sekali bisa bergabung dengan Al-Qolam. Al-Qolam itu sudah seperti keluarga sendiri, sekrenya sudah seperti rumah sendiri. Nyaman sekali pokoknya. Senang bisa mengenal kalian. Uhibukum Fillah”

Tempat,

tanggal lahir

Lamongan, 5 April 1995

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Ilmu Komunikasi/FPIS,2013

Alamat asal Lamongan

Alamat di

Bandung

Geger Suni 1, Geger Kalong Girang

No. kontak 089620763880

Blog Esclavodios

Cita-cita

(profesi)

Sutradara, penyiar dan penulis

Moto hidup With Allah, All is Possible

Aktivitas

selain kuliah

Ngajar Privat dan rapat Himpunan

Passion

Tulisan

Cerpen, skripwriter

Page 44: Buku profil Al-Qolam

Melinda

Gultom

“Serius Jalani semua kegiatan

di sini dengan serius ya, insya

Allah kalian dilatih untuk

jadi penulis hebat di sini”

Tempat, tanggal lahir

Pandeglang, 27 Oktober1991

Jurusan / Fak. / Tahun

Pend. Bahasa Jepang/ FPBS/ 2011

Alamat asal

Pandeglang, Banten 42262

Alamat di Bandung

Gang Geger Bhakti no. 6A

No. kontak 083813235079

Blog Milinmelin.tumblr.com

Cita-cita (profesi)

Ilmuwan yang penulis dan hafidzah.

Moto hidup Tidak ada kata terlambat untuk berubah

dan belajar.

Aktivitas selain kuliah

Menulis

Passion Tulisan Cerpen dan artikel

Page 45: Buku profil Al-Qolam

Wahyu Eka Jayanti

“Semoga Al-Qolam bisa mengukir nama seindah

pelangi. Melahirkan karya-karya hebat yang akan

menjadi sejarah perjuangan dakwah dengan pena.

Semakin kreatif dan inovatif. Terus berkarya menuju

Al-Qolam jaya!

Meski tidak bisa berkontribusi banyak. Sangat

menyenangkan bisa menjalin silaturahim dengan Al-

Qolam ”

Tempat,

tanggal lahir

Bengkulu, 5 Maret 1989

Jurusan /

Fak. / Tahun

Biologi/Pascasarjana/2013

Alamat asal Jl. Semarak Rt. 7 – Rw. 2 – No. 9 kel

Bentiring permai Kec. Muara Bangkulu

Kota Bengkulu.

Alamat di

Bandung

Jl Geger asih gg cempaka No. 105. Rt.

2 – Rw. 6 kel Isola Kec. Sukasari Kota

Bandung.

No. Kontak 085273529601

Cita-cita

(profesi)

Guru/dosen

Moto hidup Tiada hari tanpa belajar

Aktivitas

selain kuliah

Menjadi pengurus di UKM KI Al-

Qolam UPI.

Passion

Tulisan

Puisi, novel, dan cerpen

Page 46: Buku profil Al-Qolam

Divisi Humas

(Divisi Humas adalah divisi yang bertanggung

jawab mengenai hubungan masyarakat UKM KI

Al-Qolam UPI, baik dengan pihak intern

maupun ekstern)

M. Zainal Arifin

Ajeng Ayu Milanti

Dian Diana

Elsa Mulyani

Fathia Uqimul Haq

Lia Liawati

Page 47: Buku profil Al-Qolam

M Zainal Arifin

(muhamadzainal66@y

ahoo.com)

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Garut, 10 April 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

P.B.S. Indonesia/FPBS / 2012

Alamat asal Garut

Alamat di

Bandung

Sukajadi Jl. Cilandak

No. kontak 087824588848

Cita-cita

(profesi)

Pengajar Profesional Berakhlaqul

Qarimah

Moto hidup Selamat hidup di dunia dan akhirat

Aktivitas selain

kuliah

Menjadi santri di Ponpes dan

Pengurus di LDK UKDM UPI,

Himasatrasia, dan UKM KI Al-

Qolam UPI

Passion Tulisan Non-Fiksi (KTI atau Artikel)

Page 48: Buku profil Al-Qolam

Lia Liawati

“Di sini kutemukan jati diri tuk wujudkan

mimpi menjadi penulis sejati hingga akhir

hayat nanti ”

Tempat,

tanggal lahir

Kuningan, 31 Agustus 1994

Jurusan /

Fak. / Tahun

Pendidikan Teknologi Agroinsustri

/FPTK /2013

Alamat asal Dsn. Manis RT. 15 RW.05 Ds.

Pamulihan kec.Cipicung Kab,Kuningan

Alamat di

Bandung

Jl. Gerlong Girang Gang Cempaka 2 No

17 RT.02 RW.06

No. kontak 085759721613

Blog http://lialiawati14.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Dosen sekaligus penulis

Moto hidup Selalu ada jalan jika ada kemauan dan

usaha

Aktivitas

selain kuliah

Belajar Kelompok, menjadi pengurus di

UKM KI Al-Qolam UPI, IMTEK

(Ikatan Muslim Teknologi dan

Kejuruan), Fosmaku, dan

MPK(Mahasiswa Peduli Kuningan).

Passion

Tulisan

Cerpen, novel, esai.

Page 49: Buku profil Al-Qolam

Fathia U. Haq

“AL-QOLAM, wadah kamu memperbanyak relasi, wawasan berorganisasi, kekeluargaan, dan kepenulisan jika memang kamu benar-benar menjalankannya dengan baik. Al-Qolam wadah bagi kamu berekspresi dan menunjukkan

eksistensi. Al-Qolam akan memberikan apresiasi kepadamu jika kamu bisa memberikan sumbangsih apapun yang lebih kepada Al-Qolam sendiri”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 14 Februari 1995

Jurusan /

Fak. / Tahun

Ilmu Komunikasi/FPIPS/2013

Alamat Jalan Bintang No.28 Kopo Elok.

Bandung

No. kontak 089650728571

Blog Fathiauqim.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Profesor bidang Komunikasi, Author,

dan Scriptwriter

Moto hidup Just Think I can, Allah with me

Aktivitas

selain kuliah

Pengurus di Himpunan Ilmu

Komunikasi, UKM KI Al-Qolam UPI,

Kesatuan Aktivitas Pelajar Muslim

Indonesia, dan Forum Remaja

Mahasiswa Islam Bandung.

Passion

Tulisan

Artikel /feature, Esai , dan Fiksi

Page 50: Buku profil Al-Qolam

Dian Diana

([email protected])

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Kuningan, 29 Oktober 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013

Alamat asal Desa Sidamulya RT.01 RW.01 Kec.

Jalaksana Kab. Kuningan 45554

Alamat di

Bandung

Jalan Geger Kalong Girang No. 27C

No. kontak 08987381182

Cita-cita

(profesi)

Pengusaha, Guru

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di Himpunan dan UKM KI

Al-Qolam UPI

Passion Tulisan Fiksi dan Non fiksi

Page 51: Buku profil Al-Qolam

Elsa Mulyani /

Shaman Al-Rasym

([email protected])

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 04 Desember 1993

Jurusan / Fak.

/ Tahun

Pend.IPS/FPIPS/2011

Alamat asal Kp.Cibulakan Rt/Rw.01/08 Des.

Mekarsari Kec.Pacet-Bandung

Alamat di

Bandung

Jl. Negla 26

No. kontak 085759710087

Moto hidup Kesuksesan adalah proses

Aktivitas

selain kuliah

Belajar, Pengurus di UKM KI Al-

Qolam UPI dan HIMA PIPS

Passion

Tulisan

Fiksi Islami

Foto dengan

gaya bebas

(wajah terlihat

jelas)

Page 52: Buku profil Al-Qolam

Ajeng Ayu

Milanti “Allahu Akbar”

Tempat,

tanggal lahir

Cirebon, 14 Januari 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

PKn/ FPIPS/ 2011

Alamat asal Cirebon

Alamat di

Bandung

Jl. Negla

No. kontak 08977851014

Cita-cita

(profesi)

Dosen, Pemilik Yayasan

Moto hidup Memudahkan orang lain =

memuliakan diri

Aktivitas selain

kuliah

Belajar, pengurus di Al-Qolam dan

Himpunan

Passion Tulisan Cerpen dan Novel

Page 53: Buku profil Al-Qolam

Divisi Pelatihan dan

Bimbingan

(Divisi Pelatihan dan Bimbingan adalah divisi

yang bertanggung jawab melakukan pelatihan

dan bimbingan kepenulisan di UKM KI Al-

Qolam UPI)

Nurul Lutfia

Ahmad Yudiar

Iis Titi

Nadya Mufida Ulfa

Rahma Nur Amalia

Siti Rohmahyati

Yani Fitriyani

Page 54: Buku profil Al-Qolam

Nurul Luthfia

“Al-Qolam itu tempat belajar,

bertumbuh dan bermanfaat! =D”

Tempat,

tanggal lahir

Cirebon, 16 Maret 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia/FPBS/2011

Alamat asal Jalan Arif Rahman Hakin No. 31

Cirebon

Alamat di

Bandung

Gegersuni

No. kontak 087829563229

Blog http://www.ulviaaa.com/

Cita-cita

(profesi)

Pendidik dan Penulis

Moto hidup Be a Great Muslimah!

Aktivitas selain

kuliah

Menjadi pengurus di UKM KI Al-

Qolam UPI, PAS ITB dan Internet

Marketing

Passion Tulisan Fiksi dan Jurnalistik

Page 55: Buku profil Al-Qolam

Siti Rohmahyati /

Sarah Zaidan

“Al-Qolam… uhibbuki fillah”

Tempat, tanggal lahir Bandung, 19 Agustus 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Bahasa dan Sastra

Indonesia/FPBS/2011

Alamat Jl. Sari Wates Indah IV No.6 Rt.03

Rw.13 Kel. Antapani Kec. Antapani

Kidul. Kodepos. 40291

No. Kontak 087822002465

Pos-el / FB / Twitter Fb: Siti Rohmahyati/ Twitter: Siti

Rohmahyati

Cita-cita (profesi) Editor, Penulis, Pakar sastra

anak/Parenting

Aktivitas selain kuliah Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI

Passion Tulisan Kritik Sastra, Parenting, dan Cerita

Anak

Page 56: Buku profil Al-Qolam

Yani Fitriani

“Di sinilah aku belajar lebih dalam

tentang hakikat pencapain sebuah

mimpi. Adanya aku di sini, kusadari

inilah jalan Tuhan yang dibukakan-Nya

untukku menggapai mimpi.”

Tempat, tanggal lahir

Sumedang, 27 Juni 1995

Jurusan / Fak. / Tahun

Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013

Alamat asal Dsn.Kebonkopi RT.14/RW.04. Desa

Pakualam

Darmaraja- Sumedang

Alamat di Bandung

Jln. Sersan Bajuri, No.7

Negla RT.04/RW.02 Gang Al-Ikhlas

No. kontak 085794341636

Cita-cita (profesi) Penulis

Moto hidup Setiap kata harus Bermakna, setiap

langkah harus bernilai Ibadah karena

Hidupku adalah Amanah

Aktivitas selain kuliah

Menjadi pengurus di UKM KI l-

Qolam UPI

Passion Tulisan Novel, Selfhelp-book

Page 57: Buku profil Al-Qolam

Rahma Nur

Amalia "Hidup di dunia cuma sekali, jadilah

penulis supaya hidup selamanya "

*konotasi wkwkwk. tetap jadi inspirasi

untuk Dunia yaa Sohibul Qolam.

Tempat, tanggal lahir

Cirebon, 23 Desember 1994

Jurusan / Fak. / Thn Pendidikan Ekonomi/FPEB/2013

Alamat asal Jl. Cibangkong No 263/120 B

RT08/RW06 kelurahan Cibangkong,

Kec.Batununggal, Kota Bandung

Alamat di Bandung Jl. Sersan Bajuri No 14, Kota Bandung

No. Kontak 085795859809/089575320676

Blog www.Rahmasivers.blogspot.com

Cita-cita (profesi) Penulis dan Pendidik

Moto hidup Pendidik yang berpikir Ekonom,

Ekonom yang berprilaku Pendidik,

Pendidik Ekonom yang berkualitas

Sastrawan.

Aktivitas selain kuliah

Menjadi Pengurus di Dewan Kerja

Ranting Gerakan Pramuka kec.

Coblong, UKM KI Al-Qolam UPI, dan

UKM Koperasi Mahasiswa Bumi

Siliwangi

Passion Tulisan Puisi dan Novel

Page 58: Buku profil Al-Qolam

Iis Titi

“Saya baru menemukan organisasi

yang “betul-betul” menerima saya, di

Al-Qolam ini. Berbagai masalah yang

muncul di Al-Qolam justru menjadi

tempat bagi saya untuk belajar

bersabar dan bersyukur”

Tempat, tanggal

lahir

Cimahi, 07-07-1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia/FPBS/2011

Alamat Jalan Karya Bakti Kampung Lebak Saat

RT 02/RW 18 No. 41 Kelurahan

Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara,

Kota Cimahi

Kode Pos 40511

No. kontak 081809932997

Cita-cita

(profesi)

Pengajar, Pencari dan pengajak pada

jalan kebenaran (agama, filsafat, ilmu,

sastra)

Moto hidup Sibukkan diri dengan kegiatan yang

dapat meningkatkan kualitas diri yang

diridhoi Allah Swt.

Aktivitas selain

kuliah

Kursus bahasa Inggris dan menjadi

Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI.

Passion Tulisan Esai/Artikel, Puisi, dan Cerpen

Page 59: Buku profil Al-Qolam

Nadya Mufida

Ulfa / Mufida

Hambali ([email protected])

“AL-QOLAM

A growing innocent and annoying

baby”

Tempat, tanggal

lahir Bandung, 18 Mei 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun Bahasa dan Sastra Inggris/ FPBS/ 2013

Alamat asal

Jl. Terusan 11 April No. 22, Dsn.

Cinungku RT 03/03 Ds. Cikoneng Kulon

Kec. Ganeas Kab. Sumedang 45356

Alamat di

Bandung

Jl. Gegerkalong Girang

Gg. Gegersuni III No. 59 RT 07/03

Bandung

No. kontak 082115165064

Cita-cita (profesi) Chef

Moto hidup Keep moving forward!

Aktivitas selain

kuliah

Mencari Ridha Allah, Pengurus di UKM

BAQI, Tutorial, Himpunan/ Jurusan, dan

UKM KI Al-Qolam UPI

Passion Tulisan Esai, Cerpen, dan Novel

Page 60: Buku profil Al-Qolam

Ahmad Yudiar

“Semoga setiap goresan pena yang

tertoreh, dan setiap tinta yang melekat

di lembaran kertas putih memberikan

sejuta manfaat bagi penulis dan

pembacanya. Suksses selalu untuk Al-

Qolam. Allahuakbar”

Tempat,

tanggal lahir

Payabenua, 17 Januari 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

PPB / FIP / 2013

Alamat asal Bangka Belitung

Alamat di

Bandung

Panorama

No. kontak 087797296272

Cita-cita

(profesi)

Konselor dan Guru BK (Dosen)

Moto hidup Life is Meaningfull

Aktivitas selain

kuliah

Aktif di Himpunan, BAQI, dan AL

QOLAM

Passion Tulisan Cerpen dan Puisi

Page 61: Buku profil Al-Qolam

Divisi Teknologi dan

Informasi

(Divisi Teknologi dan Informasi adalah divisi

yang bertanggung jawab mengelola media

daring UKM KI Al-Qolam UPI)

Windi Nugraha F.

Andreansyah Dwi Wibowo

Invea Nur Mukti Lestari

Laela N. Nursaibah

Mendayu Amarta Fitri

Muldan Cahya R

Page 62: Buku profil Al-Qolam

Windi Nugraha

Fadilah

“Al-Qolam adalah UKM keislaman yang

pergerakan dakwahnya bisa dikatakan pesat

dengan berbagai acara kepenulisan Islami,

khususnya di kampus UPI.

Al-Qolam memberikan kontribusi nyata untuk

dakwah Islam dengan tulisan yang bertujuan

menyentuh hati pembaca sehingga bisa lebih

menaati Allah di dalam setiap kehidupannya”

Tempat, tanggal lahir

Bandung, 19 November 1992

Jurusan / Fak. / Tahun

Pendidikan Teknik Elektro/FPTK/2011

Alamat

Kp. Andir Kidul No. 57 RT 05 RW 03 Kel. Pakemitan Kec. Cinambo Bandung 40612

No. kontak 0896 2736 3919

Blog www.umatmuhammad.com kolomfadil.blogspot.com

Cita-cita (profesi) Guru, penulis dan webmaster

Moto hidup Laa ilaaha illallaah, muhammad rasuulullaah

Aktivitas selain kuliah

Tim Dakwah Umat Muhammad, Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Rohis HME FPTK UPI, Bisnis, dan Menulis buku.

Passion Tulisan Non-fiksi

Page 63: Buku profil Al-Qolam

Laila Nursaibah

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Sumedang, 19 April 1994

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Luar Sekolah / FIP /

2012

Alamat asal Sumedang

Alamat di

Bandung

Panorama

No. kontak 082317595371

Cita-cita

(profesi)

Pendidik

Passion Tulisan Fiksi

Page 64: Buku profil Al-Qolam

Andreansyah

Dwiwibowo

([email protected])

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Bandung, 17-11-1990

Jurusan /

Fak. / Tahun

Pendidikan Olahraga / 2013

Alamat asal Kp. Desakolot Kec. Cilawu Garut

Alamat di

Bandung

Jl. Tubagus Ismail Dalam 1. No. 159 –

27A. Kec. Coblong

No. kontak 085795450601

Blog andreatauladan.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Dosen – pendidik

Moto hidup Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun

Aktivitas

selain kuliah

FKM, Al Qolam, usaha, dan nulis di

blog

Passion

Tulisan

Artikel islami, Artikel ilmiah, dan

Artikel motivasi

Page 65: Buku profil Al-Qolam

Mendayu

Amarta Fitri

“ UKM KI Al-Qolam : Goresan

Inspirasi Menggugah Hati!

ALLAHUAKBAR :D”

Tempat,

tanggal lahir

Padang Aro, 2 Maret 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia / FPBS / 2013

Alamat asal Jalan Lintas Padang-Sungai Penuh

No. 143 Jorong Sungai Padi,

Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok

Selatan, Sumatera Barat

Alamat di

Bandung

Asrama Putri Minang Surau Awak

Jalan Sersan Bajuri Dalam No. 8

Ledeng Kelurahan Isola, Kecamatan

Sukasari, Bandung

No. kontak 087895383206

Cita-cita

(profesi)

Guru

Moto hidup Yang kau tuai, yang kau tanam

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di Program Tutorial dan

UKM KI Al Qolam UPI

Passion Tulisan Cerpen, Puisi, dan Artikel

Foto dengan

gaya bebas

(wajah terlihat

jelas)

Page 66: Buku profil Al-Qolam

Invea Nur Mukti

Lestari / Ummu

Syauqi [email protected]

“Satu tulisan akan mampu mengubah

dunia ini menjadi lebih baik”

Tempat,

tanggal

lahir

Bandung, 21 Oktober 1995

Jurusan /

Fak. /

Tahun

Pendidikan Fisika/FPMIPA/2013

Alamat Jalan Haji Ghopur, Perumahan Graha

Bukit Raya 3 Blok E-1 No. 11, Cilame,

Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat

No. kontak 089656465969

Blog syauqifamily.wordpress.com/syauqi-

family.tumblr.com

Cita-cita

(profesi)

Ibu Rumah Tangga yang mampu

mencetak generasi Qur’ani, generasi

mujahid penegak Islam di Bumi Allah

Moto hidup Hidup mulia dan Mati syahid

Aktivitas

selain

kuliah

Pengurus di Bintang Cimahi, LDK

UKDM UPI, IJMA Nurul Ihsan SMAN 1

Cimahi, dan UKM KI Al-Qolam UPI

Passion

Tulisan

Catatan penggugah inspirasi, muhasabah

dan motivasi dan Fiksi

Foto dengan

gaya bebas

(wajah terlihat

jelas)

Page 67: Buku profil Al-Qolam

Muldan C. Robi

([email protected])

“Membaca dan menulis”

Tempat, tanggal

lahir

Bandung, 20 september

Jurusan / Fak. /

Tahun

Tekpend/FIP/2012

Alamat asal Nagreg

Alamat di

Bandung

Gerlong

No. kontak 085722306695

Blog Muldancahyarobi.blog.com

Cita-cita

(profesi)

Pengusaha, Penulis, Pengembang

Kurikulum

Moto hidup Tidak berusaha menjadi sukses, tapi

berusaha berguna bagi orang lain.

Itu lebih dari sukses.

Aktivitas selain

kuliah

Ketua Umum di HIMA Tekpend,

Pengurus di Keluarga Mahasiswa

Garut (Pendidikan) dan UKM KI

Al-Qolam UPI

Passion Tulisan Esai

Page 68: Buku profil Al-Qolam

Divisi Dana dan Usaha

(Divisi Dana dan Usaha adalah divisi yang

bertanggung jawab membantu pengadaan

keuangan UKM KI Al-Qolam UPI bersama

Bendahara Umum)

Asep Syahbudi

Elis Setiawati

Elsa Nur Vriatnika

Nenden Maesaroh

Qory Gustri Pratama

Salati Asmahasanah

Page 69: Buku profil Al-Qolam

Asep Syahbudi

“Goresan inspirasi penggugah hati”

Tempat,

tanggal lahir

Cirebon, 30 April 1994

Jurusan / Fak.

/ Tahun

P.T.Elektro / FPTK / 2012

Alamat asal Jl. Raya Karangtengah No.2 Dusun 2

Rt/Rw 1/5. Desa Karang Tengah No.2

Kecamatan Karangsembung –

Cirebon.

Alamat di

Bandung

Jl. Cipaku 1

No. kontak 08987306449

Cita-cita

(profesi)

Dosen – pendidik

Moto hidup Berkah dan Bermanfaat

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI,

Perguruan Silat Tadjimalela, dan

Program Tutorial UPI

Passion

Tulisan

Fiksi dan Non-fiksi

Page 70: Buku profil Al-Qolam

Elsa Nurvariantika

“Alhamdulillah, jadi anggota Al-Qolam

itu sesuatu bangeet. Al-Qolam adalah

rumah di mana saya dapat termotivasi

untuk berkarya tanpa melupakan

islam.”

Tempat, tanggal

lahir

15 November 1993

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012

Alamat asal BTN Kasturi Perdana Jl. Pandu No.59 B

RT 20/04 Kel. Kasturi, Kec. Kuningan,

Kab. Kuningan.

Alamat di

Bandung

Jl. Geger Kalong Girang No.43 RT 06.03

Kel. Geger Kalong, Kec. Sukasari,

Bandung.

No. kontak 085797453443

Blog www.elsacifer.wordpress.com

Cita-cita (profesi) Novelis atau Produser

Moto hidup Naseba Naru—apa yang bisa dilakukan,

lakukan hingga akhir.

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di HIMAGRIN FPTK UPI,

UKM KI Al-Qolam UPI, Hikmatul Iman,

dan Menuliiis :D

Passion Tulisan Fiksi fantasi – islami dan artikel teknologi

Page 71: Buku profil Al-Qolam

Nenden

Maesaroh

“Goresan Inspirasi, Penggugah Hati”

Tempat, tanggal lahir

Garut,05 Agustus 1995

Jurusan / Fak. / Tahun

Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013

Alamat asal Kp.Sipon rt/rw 02/10 Desa.Bayongbong

Kec.Bayongbong Kab.Garut.

Alamat di Bandung

Jln.Geger Arum no.17 Desa.Isola

Kec.Sukasari Bandung

No. kontak 089686374171

Blog Nendenmaesaroh.blogspot.com

Cita-cita (profesi)

Dosen sosiologi, Wirausahawan, dan

Penulis

Moto hidup Allah dulu, Allah lagi, Allah terussss

Aktivitas selain kuliah

Menjadi pengurus di Himpunan Jurusan

(JMPS) dan UKM KI Al-Qolam UPI.

Passion Tulisan

Novel, artikel, dan cerpen.

Page 72: Buku profil Al-Qolam

Qory G. Pratama ([email protected]) Al-Qolam, Sebuah organisasi yang masih sangat muda, namun dengan punggawa-punggawa yang berpengalaman membuat UKM ini tidak terkesan baru muncul. UKM ini punya mimpi besar dan semoga usahanya pun besar untuk mewujudkan mimpi itu.

Tempat, tanggal

lahir

Banyumas, 10 Agustus 1995

Jurusan / Fak. /

Tahun

Pendidikan Matematika / FPMIPA

/ 2013

Alamat asal Kelurahan Sibalung, RT 01/RW

05, Kecamatan Kmranjen,

Kabupaten Banyumas, Jawa

Tengah

Alamat di

Bandung

Jalan Cilimus no. 13, RT 01/RW

04, Kelurahan Sukasari,

Kecamatan Isola, Bandung

No. kontak 085747784767

Cita-cita (profesi) Guru

Moto hidup Harus ada persiapan untuk bisa

tampil tanpa beban.

Aktivitas selain

kuliah

Pengurus di Himpunan Mahasiswa

Matematika dan UKM KI Al-

Qolam UPI

Page 73: Buku profil Al-Qolam

Elis Setiawati

(elissetiawati28@gmail

.com)

“Goresan Insipirasi

Penggugah Hati”

Tempat,

tanggal lahir

Kuningan, 28 Maret 1995

Jurusan /

Fak. / Tahun

Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013

Alamat asal Jl. Raya Bunigeulis No. 415

Rt 17/ Rw 04 Kec. Hantara Kab.

Kuningan

Alamat di

Bandung

Jl. Gegerkalong Girang no. 30

No. kontak 085724826308

Blog Elissetiyawaty.blogspot.com

Cita-cita

(profesi)

Guru/Dosen

Moto hidup Man Jadda Wajada

Aktivitas

selain kuliah

Pengurus di Himpunan dan UKM KI

Al-Qolam UPI

Passion

Tulisan

Artikel dan Cerpen

Page 74: Buku profil Al-Qolam

Salati

Asmahasanah

(salatiasmahasanah@gmail.

com)

“Al Qolam ibarat air mengalir yang

menyejukkan dan cahaya pelita

kehidupan yang mengasah dunia “

Tempat,

tanggal lahir

Bengkulu, 15 Agustus 1989

Jurusan /

Fak. / Tahun

Pendidikan Dasar/ SPs/2012

Alamat asal Desa Padang Bendar Kab.Bengkulu

Utara Provinsi Bengkulu

Alamat di

Bandung

Paviliun Ibu Hj. Sukarti Geger Arum

nomor 14 RT 04 RW 06 Kel. Isola Kec.

Sukasari Kota Bandung

No. kontak 087821735158/085273650336

Blog Inga salati

Cita-cita

(profesi)

Menjadi pendidik profesional

Moto hidup Lakukan yang terbaik karena Allah

Passion

Tulisan

Fiksi dan Non-Fiksi

Page 75: Buku profil Al-Qolam

Cerita Inspirasi

Page 76: Buku profil Al-Qolam

Titik Hidup

Oleh: Eko Apriansyah / Yansa El-Qarni

([email protected])

Kukenalnya sebagai tanda baca dalam kehidupan

Di mana semuanya berhenti ataukah akan kulanjutkan

lagi

Untuk menyusun rerangkai cerita

Yang akan kubukukan sebagai sejarah

“Ian, setelah wisuda ini kamu mau apa? Pasti

menikah, ya?” ujar Ahmad kepadaku sembari merangkul

diriku yang masih memakai toga.

“Nggak. Aku belum akan menikah. Aku masih

ingin berpetualang keliling dunia, Mad.”

“Lha, bukannya kamu sedang dekat dengan

seorang perempuan?”

“Siapa bilang? Nggak ada kok!”

Aku pura-pura tak tahu, walaupun sebenarnya

aku paham bahwa perempuan yang dimaksudkan Ahmad

itu adalah Zahra. Sosok perempuan muslimah yang

Page 77: Buku profil Al-Qolam

sering digosipkan dekat denganku. Ya..., kami

sebenarnya memang sempat dekat. Tetapi itu dahulu,

bukan sekarang.

Bagiku, aku bukanlah orang yang pantas untuk

memiliki Zahra. Dia terlalu lurus. Berbanding terbalik

denganku yang masih liar dan ingin bebas. Seorang

aktivis keislaman sepertinya apabila disandingkan

denganku yang pencinta sastra ini sangatlah tidak

berimbang. Ia sangat paham akan agama sedangkan aku

masih tertinggal jauh darinya. Namun, benar kata orang,

apabila sudah terkait dengan hati, alasan-alasan logis

seakan tak berguna. Begitupun bagi Zahra, jeratan

perasaan telah membuatnya seolah tak sadar siapa diriku

sesungguhnya. Ia hanya melihatku sebagai sosok ideal

seperti tokoh pemuda muslim yang kuceritakan dalam

novel pertamaku yang dibacanya.

Pernah suatu kali, Zahra meminta padaku agar

segera melamarnya. Aku kaget karena aku merasa kami

tidak punya hubungan lebih dari sekadar teman

walaupun dapat dikatakan kami berdua cukup akrab.

Gadis bermata jeli itu sesekalinya menatap mataku

dengan penuh harap, padahal dari dulu hingga saat itu,

Page 78: Buku profil Al-Qolam

dia hampir tak pernah berani menatap mataku. Entah ada

kekuatan apa yang membuatnya sanggup melakukan hal

tersebut. Aku jadi salah tingkah karena jauh di dasar

hatiku juga memendam rasa padanya. Lelaki mana yang

tak gemetaran bila di hadapkan dengan sosok perempuan

salehah nan rupawan yang bersedia menjadi pedamping

hidupnya?

“Zahra, menikah adalah sebuah titik dalam

paragraf hidupku. Di mana aku harus membuat kalimat

baru untuk melanjutkan titik itu. Aku masih belum ingin

membuat titik ketika kalimat sebelumnya belum aku

selesaikan. Kamu tahukan kalau aku ingin menjadi

musafir dan berkeliling untuk melihat dunia ini?”

jawabku padanya.

“Kamu bisa mengganggapku sebagai koma, biar

kamu bisa sejenak berhenti untuk meneruskan

kalimatmu itu nanti, Ian. Kamu bisa melakukan

perjalanmu bersamaku,” balas Zahra dengan bola mata

yanga berkaca-kaca.

“Aku mungkin bisa menuliskanmu sebagai koma,

tapi bagimu aku tetaplah akan menjadi titik yang

membuatmu menuliskan kalimat baru dalam paragraf

Page 79: Buku profil Al-Qolam

hidupmu. Sebaiknya kaupilih orang lain yang juga

bersedia menjadikan dirimu sebagai titik dalam

hidupnya, sehingga kau tak perlu mengubah kisahmu

menjadi kisah yang tak sesuai dengan citamu. Aku

mengenalmu, Ra. Kamu takkan sanggup bertahan

bersamaku.”

Setelah kejadian itu, hubungan pertemananku

dengan Zahra menjadi renggang. Kami selalu saling

menghindar ketika berjumpa. Adapun interaksi yang

kami lakukan hanyalah saling sapa tanpa melihat wajah.

Tampaknya Zahra kecewa dengan jawabanku kepadanya

saat itu.

Tak selang berapa minggu lamanya, kudengar

kabar bahwa Zahra akan melangsungkan pernikahannya

dengan seorang lelaki lulusan salah satu universitas

terkemuka di Bandung. Lelaki yang sungguh berbeda

dariku. Lelaki itu jelas mempunyai masa depan cerah

karena bekerja di sebuah perusahaan besar dan ia juga

dari kalangan keluarga yang agamis. Tak seperti diriku

yang masih senang bergelut dengan dunia tulis-menulis

tanpa ada kejelasan materi dan hampir tak pernah

bersinggungan dengan kegiatan keislaman. Adapun

Page 80: Buku profil Al-Qolam

kegiatan keislaman yang kulakukan hanyalah membaca

buku-buku keislaman yang dijadikan referensiku dalam

menulis novel.

Zahra kini sudah menemukan titik untuk

membuat kalimat baru dalam paragraf hidupnya. Aku

sendiri masih meneruskan kalimat tentang impianku

yang belum mencapai titiknya. Kalimat yang masih bisa

kuhapus ataupun kutulis ulang beberapa katanya agar

mencapai kalimat efektif yang ingin kurangkaikan

sebelum membubuhkan titik di depannya. Sebuah

petualangan yang telah kunantikan sedari kecil, yaitu

membaca dan menuliskan semesta-Nya untuk kupelajari.

Seharusnya penantian itu terwujud dalam waktu

dekat ini. Tepatnya setelah aku menyelesaikan novel

kelima yang sudah mencapai penulisan bab terakhirnya.

Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada hari ini

kutemukan titik hidupku yang lain. Di jalanan yang licin

karena hujan. Ketika motor yang kukendarai menuju

tempat resepsi pernikahan Zahra berhadapan dengan

sebuah truk yang tiba-tiba oleng di tengah jalan.

Bandung, 24 November 2014

Page 81: Buku profil Al-Qolam

Sajadah untuk Mami

oleh Ghita Fasya Azuar

([email protected])

Terbalut karunia Allah. Mengalun bersama hati nan

tulus. Teriring ucap lirih hati. Meminta dalam dekapan

kuasa Allah. Maha pemilik cinta dan menguasai cinta

seisinya.

***

Ku lihat arah jam di pergelangan tangan kiri.

Angka sudah menunjukkan pukul 22.00 khawatir dalam

hati segera menyeruak. Terlihat dari wajah senduku.

Ditambah pula oleh dinginnya suasana malam yang

anginnya sudah menusuk tulang. Sudah hampir 30 menit

aku duduk gelisah di kursi terminal di kota pahlawan ini.

Menunggu bus mini yang akan segera membawa ku ke

dalam kehangatan rumah. Memang berat menjalani

pekerjaan sebagai seorang SPG di salah satu pusat

perbelanjaan terkemuka di kota sejuk ini. Tapi, aku harus

Page 82: Buku profil Al-Qolam

bertahan demi Ibu dan adikku. Mereka membutuhkan

upahku di pekerjaan ini.

“Hanum ya?”

Mobil berwarna hitam mengkilap seketika

berhenti di hadapanku. Dengan membuka kaca sopir,

pengemudi di dalam menyebut namaku.

“Hemm. Saya, Mbak?” ucapku.

“Kamu Hanum, kan?” tanya perempuan ini lagi

untuk meyakinkan.

“Iya” jawabku.

Setelah memutar memori otak, aku baru ingat dia

adalah Juwita sahabatku ketika SMA dulu. Juwita pun

mengajakku masuk ke dalam mobilnya dan akan

mengantarku pulang. Sudah hampir delapan tahun aku

tak berjumpa dengan Juwita, selain memang kita berbeda

sekolah ada pula masalah pribadi lainnya antara aku dan

Juwita. Tapi, sepertinya Juwita sudah mengusir jauh

masalah itu. Terlihat dari mimik dan gerak tubuhnya

Page 83: Buku profil Al-Qolam

lepas tanpa beban dan terlihat tulus menolongku di

kegelapan malam.

Sungguh aku pangling melihat kecantikan Juwita

saat ini. Dengan hijab dan pakaian menjuntai tertutup ke

seluruh tubuhnya semakin membuatnya terlihat sebagai

wanita yang bijaksana dan matang.

“Kau cantik sekali Ju. Mas Yusuf tidak salah

memilihmu sebagai istrinya.”

Nama Yusuf membuat Juwita menginjak rem

mobilnya. Mobil ini terhenti di jalanan lenganng.

“Kau tahu mengenai nama itu, Num?” tanya

Juwita dengan mimik terkaget.

***

Pertemuanku dengan Juwita tadi malam begitu

mengesankan. Aku, Juwita, dan Ferly alias Yusuf.

Bukan lagi berkecamuk menjadi sebuah masalah. Tapi,

kini masalah itu muncul antara Juwita, Ferly, dan Mami

Susi. Juwita dan Ferly sudah menikah tiga tahun lalu.

Hatiku tersayat ketika mendengar kabar itu yang juga

Page 84: Buku profil Al-Qolam

membuatku tak ingin menyentuh cinta dengan lelaki

lain. Dalam benakku kebahagiaan melingkari kehidupan

Juwita, terlebih Ferly berpindah keyakinan mengikuti

keyakinan Juwita sebagai seorang muslim. Tapi, ternyata

tidak seperti bayanganku. Juwita menceritakkan sedikit

banyak mengenai pernikahannya.

Keluarga Ferly yang notabenenya adalah seorang

kristen taat dengan budaya batak yang kental membuat

perjuangan cinta Juwita semakin terjal. Sampai usia

pernikahan mereka tiga tahun Juwita masih

memperjuangkan restu dari ibu mertuanya yang kini

tinggal satu atap dengan Juwita dan Ferly.

***

Hari ini seperti biasa aku dan Mas Ferly pergi

bertiga bersama mami untuk melakukan ibadah. Khusus

aku dan Mas Ferly kami mengarah ke masjid pusat kota

untuk mengaji dengan salah seorang ustad yang dengan

sabar membimbing Mas Ferly yang seorang mualaf.

Sementara, sebelum meluncur menuju Masjid, kami

Page 85: Buku profil Al-Qolam

terlebih dahulu menyambangi gereja besar di kota ini

untuk mengantar mami kebaktian.

“Mami tidak mau ya dijemputnya terlambat”

ucap mami.

“Oke Mami” ujar Mas Ferly.

“Iya mami percaya pada janjimu. Tapi, biasanya

kan istrimu yang lebih senang kau di Masjid daripada

menjemput mami di gereja” ucap mami dengan melirik

sinis ke wajahku yang terlihat dari kaca spion di depan

setir.

Tangan Mas Ferly menggenggam erat tanganku

seolah memberikan sinyal untuk mengasah kesabaranku

menghadapi mami. Senyum simpulnya menyiratkan

untuk selalu ingat bahwa dia akan selalu ada di

sampingku dalam kondisi terburuk sekalipun.

Sudah tiga tahun pernikahanku dengan Mas

Ferly. Berbagai perjuangan membangun mahligai

pernikahan ini pun telah berhasil kami lewati. Perbedaan

keyakinan, menaklukan keluarga dari kedua belah pihak

Page 86: Buku profil Al-Qolam

yang awalnya menentang hubungan kami maupun

pengorbanan lainnya terkait budaya dan agama. Tapi,

perjuangan itu tidak lantas membuatku lega. Masih ada

mami yang hatinya masih keras terhadapku.

Menganggap aku perempuan yang mengambil perhatian

anaknya. Sudah setahun terakhir mami hijrah ke

Surabaya dari Medan untuk tinggal bersama kami. Aku

bahagia dengan adanya mami, dengan begitu aku bisa

lebih intensif mengambil hati mami. Ucapan dan

perangai mami memang keras sekali pada ku. Tapi, aku

berusaha untuk ikhlas terutama ada suamiku yang selalu

memberi kekuatan untuk tabah.

***

“Ferly kau pindah agama mengatakan bahwa

Tuhan mu yang sekarang kau sembah ini Maha baik, tapi

mana kau dan istri mu hingga kini tak kunjung di berikan

keturunan. Padahal, istri mu rajin beribadah dan

berdo’a” singgung mami tiba-tiba semakin sinis dengan

nada bicaranya.

Page 87: Buku profil Al-Qolam

Aku mulai menyeka air mata yang sudah luluh

dari sudut mata ku. Hatiku hancur, pedih, sakit, dan

bercampur perasaan lainnya. Rasanya ucapan mami

bukan saja meruntuhkan pertahanan pribadiku, tapi

sudah pula menyinggung mengenai agamaku. Apa yang

kurasakan ini ku bungkus dalam atas nama keikhlasan.

Aku yakin Allah mengulurkan tangan-Nya untuk

menolong setiap hambanya yang membutuhkan.

***

Seusai belajar agama dan mengaji, ku sempatkan

dengan suamiku duduk santai di pelataran Masjid. Mami

masih mengikuti kebaktian. Suami ku membeli ice

cream untuk meluluhkan hatiku yang panas terbakar api

oleh ucapan mami.

“Mas semalam aku bertemu dengan...”

“Dengan siapa? Mengapa kamu bicaranya ragu

sayang?” balas suamiku dengan mengelus kerudung

coklat ku.

“Bertemu Hanum” jawabku singkat.

Page 88: Buku profil Al-Qolam

Mas Ferly berhenti mengelus kepala ku dan

berhenti pula menelan ice cream di genggamannya.

Seolah ada yang menghambatnya untuk meneruskan

setiap gerak dan ucapannya.

“Dia bertambah cantik dan sepertinya Mami

masih menyukainya, Mas” ucapku dengan menatap bola

mata suamiku. Seolah meyakinkan terhadap apa yang

baru aku katakan.

“Tiada yang lebih cantik dari kamu sayang.”

Balas Mas Ferly dengan mendekat dan mengelus pipiku.

Ku halangi tangan Mas Ferly menyentuh pipiku.

“Apa yang dikatakan Mami benar Mas. Aku

tidak bisa membahagiakanmu. Selalu membuatmu

dilematis antara aku dan ibumu. Dan aku man..dul, Mas”

nada bicaraku meninggi.

Mas Ferly merengkuhku dalam pelukannya.

Hangat – sangat hangat. Air mataku membeku seolah tak

ingin dikeluarkan. Serasa dunia berpihak padaku dengan

pelukan Mas Ferly. “Aku mencintai mu, karena Allah

Page 89: Buku profil Al-Qolam

bukan karena Mami. Biarkan cinta ini tumbuh dengan

kehendak kuasa Allah Swt.” ucap Mas Ferly.

***

Hari ini aku sedang bersiap. Pekerjaanku sebagai

seorang Asisten Manager di salah satu Bank Syariah

ternyata mampu menghantarkanku ke Baitullah. Aku

terpilih sebagai karyawan terbaik dan diberikan reward

berupa umroh. Walaupun perasaanku sedih tidak bisa

didampingi oleh suamiku.

“Aku nitip air zam-zam ya sayang.” pinta

suamiku sebagai pengganti waktunya yang hilang,

karena tidak bersamaku.

“Iya Insya Allah. Eeem. Mami mau oleh-oleh

apa?”.

“Momongan alias anak alias keturunan!” Mami

pergi meninggalkanku dan Mas Ferly. Kali ini aku

sedang tidak melankolis, jadi tidak ku masukkan ke

dalam hati semakin hari aku sudah terbiasa. Tapi, kulihat

ada selebaran kertas jatuh dari buku yang dibaca mami

Page 90: Buku profil Al-Qolam

sebelum meninggalkanku dan Mas Ferly. Terlihat foto-

foto sajadah, alat shalat, serta terselip pula buku kecil

panduan salat.

“Mami.. Apakah mungkin Mas, Mami tertarik

pada Islam” gumamku.

***

Perjalanan umrohku telah selesai setelah 10 hari

berada di rumah Allah. Segar fikiran dan hati tentunya.

Banyak doa yang aku panjatkan di tanah suci, tapi dua

inti doaku yang pertama mengenai keturunan dan yang

kedua mengenai luluhnya hati mami, terlebih teka-teki

dari peristiwa di temukannya foto-foto alat salat dan

buku panduan salat sesaat sebelum keberangkatanku ke

tanah suci.

“Maaf sayang aku jemput terlambat. Baru saja

mengantar Mami ke dokter”.

“Mami sakit apa?” jawab ku tersentak.

“Jantungnya kambuh. Ayo kita menuju rumah

sakit sekarang!”

Page 91: Buku profil Al-Qolam

***

Mami masih berada dalam perawatan dokter.

Tidur Mami dalam sakitnya begitu teduh dan tenang.

Aku menangis tersedu melihat kondisi mami, walaupun

mami adalah ibu mertua yang lebih banyak tidak

sukanya padaku. Tapi, aku mencintai mami. Bagi ku

mami adalah guru. Guru kesabaran, guru keikhlasan dan

mami adalah malaikat yang melahirkan manusia

sebijaksana Mas Ferly suamiku.

“Ferly... Juwita.” ucap mami dengan menahan

sesak dalam dadanya.

“Mami... Panggil dokter, Mas!” perintahku pada

Mas Ferly.

“Tidak... Tidak. Kau sudah tiba di tanah air ya Ju.

Terima kasih Tuhan kau masih izinkan aku bertemu

dengan menantuku ini.” ucap mami dengan terbata.

“Iya mi. Alhamdulillah”

“Adakah yang ingin kau berikan atau sampaikan

ke Mami, Ju?”

Page 92: Buku profil Al-Qolam

Segera ku berlari ke arah tas besar ku dan ku raih

plastik warna putih yang sudah aku persiapkan untuk

mami. “Maaf, Mi apabila Mami tidak menyukai hadiah

ini. Sungguh Mi Juwita tidak memiliki maksud apapun.”

Mami menangis seketika melihat hadiah yang

aku berikan. “Bimbing aku dengan lafad Tuhanmu dan

selimuti aku dengan sajadah hijau ini.” ujar Mami

dengan terbatuk.

“Subhanallah, Mami. Ampuni Juwita, Mi”

ucapku dengan tersedu.

“Terima kasih kau arahkan anakku ke dalam

jalan lurus. Aku titip Ferly dan calon cucuku.” Mami

berucap dengan terbata dan mengelus perut ku.

‘Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu

anna Muhammadan rasuulullaah’

Mami pun mengikuti dengan terbata dan diujung

kalimat syahadat Mami menutup mata. Dan sesuai

permintaan mami aku menyelimuti Mami dengan

Page 93: Buku profil Al-Qolam

sajadah hijau ini. Semoga Mami tenang di alam kubur

dengan Islam sebagai agama akhir hidupnya.

***

Daun jatuh pun seizin-Nya. Gerak hati mengarah pada

Lillah. Keikhlasan berbalut kesabaran menjadi benteng

kekuatan cinta. Cinta yang berlandas Allah dan untuk

Allah. Allahu Akbar!!

***

Page 94: Buku profil Al-Qolam

Ayat demi Ayat Kupelajari

Firman-Nya

oleh Linah

([email protected])

Saat itu aku dan teman-temanku menempati kelas

baru kami. Ya, kami baru saja naik ke kelas dua jenjang

Sekolah Menengah Atas (SMA). Haru dan bangga yang

kami rasakan. “Rasanya baru kemarin aku mengikuti

Masa Orientasi Siswa (MOS), tapi sekarang sudah di

kelas dua aja,” gumamku dalam hati. Ternyata yang lain

pun merasakan hal yang sama, mereka juga tidak

menyangka telah melewatkan satu tahun pelajaran di

sekolah kami tercinta. “Hey, Amirah kau juga di kelas

ini?” Dewanti menyapaku.

Karena tahun itu tahun ajaran baru, sekolah pun

mengeluarkan beberapa kebijakan baru, di antaranya:

siswa yang beragama Islam diwajibkan mengenakan

kerudung serta seragam busana muslim bagi perempuan

dan celana panjang bagi laki-laki. Bagi yang beragama

Page 95: Buku profil Al-Qolam

non-muslim pun sekolah mengatur kebijakan yang sama,

hanya saja untuk siswa perempuan mereka tidak

mengenakan kerudung. Hal ini guna mendukung

program pemerintah daerah kabupaten Bekasi.

Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku untuk

siswa tahun ajaran baru, siswa kelas XI dan XII pun

diwajibkan untuk mengikuti aturan tersebut. Saat itu aku

langsung berpikir, berarti aku harus merubah cara

berseragamku. Aku memang tidak berkerudung, pakaian

yang kugunakan masih serba pendek, termasuk seragam

sekolah yang kupakai selama ini. Alhasil, dalam sekejap

penampilanku pun berubah. Saat pergi ke sekolah aku

mengenakan rok panjang dan kemeja lengan panjang

ditambah kerudung yang menutupi kepalaku. Aku

merasa tidak nyaman, karena harus berjalan kaki dari

rumah ke sekolah. Setiap pulang sekolah aku merasa

kepanasan dengan penampilanku yang sekarang.

Makanya kerudung hanya kugunakan saat di sekolah,

ketika di rumah atau bepergian aku masih menggenakan

pakaian serba pendek.

Page 96: Buku profil Al-Qolam

Seperti biasa, setiap hari jumat siang sekolahku

mengadakan keputrian bagi siswa perempuan. Aku dan

teman-temanku, Ine dan Ratna memilih untuk pulang

lebih awal karena kita berpikir itu lebih mengasyikan

dari pada duduk diam sambil mendengarkan pematerian.

“Yuk ah Mir, Rat, kita pulang atau kita mau

nongkrong dulu di kantin bu Susi?” kata Ine.

“Kita nongkrong di kantin dulu aja ya, baru jam

sebelas nih,” sahut Ine yang menjawab pertanyaan

Ratna.

Sejak awal masuk sekolah aku memang tidak

terlalu tertarik untuk mengikuti kegiatan keislaman.

Makanya seni tari adalah ekstrakurikuler yang aku pilih

sejak kelas satu. Beberapa bulan kujalani seperti itu. Aku

mulai merasa malu dengan orang-orang di sekelilingku,

terutama dengan diriku sendiri. “Kalau tidak siap untuk

jadi orang baik jangan terlalu memaksakan, kerudung

itu bukan mainan, jadi jangan buka pakai sesukamu!”

aku memaki diri sendiri. Sampai akhirnya aku

Page 97: Buku profil Al-Qolam

memutuskan untuk merubah diriku, mengubah tingkah

laku yang jauh dari kata baik.

Hari jumat itu terasa berbeda untukku. Aku

memutuskan untuk mengikuti kegiatan keputrian, pulang

sekolah nanti. Kusampaikan keinginanku itu kepada Ine

dan Ratna. Mereka tidak meresponku dengan baik,

karena tidak melarang atau mendukung keputusanku.

“Tetapi, ah sudahlah ini tentang diriku sendiri bukan

mereka.” Aku berusaha meneguhkan pendirian. Setelah

bel tanda pelajaran berakhir dibunyikan, aku langsung

bergegas menuju ruang kelas yang digunakan untuk

berkumpul. Aku mendapati beberapa orang yang sudah

berada di dalam ruangan dan langsung masuk untuk

menjadi bagian dari mereka. Alhamdulillah, mereka

menyambutku dengan baik. Keputrian memang hanya

untuk mereka yang memiliki waktu luang atau mereka

yang memang ingin benar-benar mempelajari tentang

sisi perempuan dari sudut pandang agama.

Pembahasan hari itu ternyata tentang berhijab,

pembahasan yang tidak aku ketahui sebelumnya.

Pematerinya adalah ibu Rosa, guru bimbingan konseling

Page 98: Buku profil Al-Qolam

(BK), yang aku tahu dulunya beliau pernah bergabung di

Lembaga Dakwah Kampus tempatnya kuliah. Sebagai

pembuka, dia membahas sebuah ayat dipertemuan itu,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman:

"Hendaklah mereka menahan pandangannya,

dan kemaluannya, dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya, kecuali yang

(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah

mereka menutupkan kain kudung

kedadanya...” [Q.S An-Nuur: 31]

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir untuk

tidak melepaskan kerudung ketika di luar rumah selain

untuk ke sekolah, mulai hari ini dan selanjutnya.

Ternyata hal itu tidaklah mudah. Sesekali aku membaca

surat An-Nuur ayat 34, ayat yang disampaikan ketika

pertama kali aku mengikuti keputrian di sekolah. Kubaca

ia berulang-ulang dan kupelajari maknanya. Aku masih

belum terlalu siap, keluhan terkait panasnya terik

matahari yang membuat diriku berkeringat saat pulang

sekolah masih keluar dari mulutku. Ditambah lagi respon

Page 99: Buku profil Al-Qolam

dari orang-orang terdekat termasuk sahabatku Ine dan

Ratna yang belum bisa menerima.

“Wah, Amirah sudah jadi anak keputrian ya

makanya sekarang jarang datang ke ekskul tari.” Ine

menyapaku.

“Iya, sudah sadar sepertinya Ne, kita kapan ya?

Hehe.” Ratna menimpali perkataan Ine sambil tertawa.

Aku memang kecewa, tapi hal itu kujadikan

penguat agar diriku tetap teguh pendirian. Dalam

perjalanan pulang kupanjatkan doa pada Dia yang Maha

Pemurah, “Ya Raab, jika kali ini aku berada di jalan

kebaikan, maka bersamailah aku dalam keistikamahan.

Aamiin...”

Sejak saat itu, meski hanya menggunakan

kerudung pendek ditambah dengan kaos lengan panjang

dan celana jeans, tetapi aku mulai istikamah dengan

penampilanku. Perlahan-lahan aku mencoba untuk

memakai kerudung yang sesuai dengan perintah-Nya,

“Hendaklah mereka menutupkan kain kudung

kedadanya”. Dan kali ini, aku membuka surat Al-Ahzab

Page 100: Buku profil Al-Qolam

pada ayat 59. Ayat yang membuat aku berpikir untuk

tidak hanya memperbaiki cara berkerungku, tetapi

pakaianku pun harus diperbaiki.

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu,

anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang

mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan

jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang

demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk

dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan

Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.

Hari dan bulan berlalu, aku merasakan

kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Aku merasa senang dengan penampilanku yang

sekarang, identitasku sebagai muslimah nampak jelas,

lebih dari itu penampilanku melindungiku, baik dari

sinar matahari maupun dari pandangan mata yang tidak

bertanggungjawab. Sedikit demi sediki aku mulai

mengurangi kegiatan ekskul seni tari, sampai akhirnya

aku memutuskan untuk keluar dan berganti

ektrakurikuler. Aku mengikuti ekskul ROHIS dengan

Page 101: Buku profil Al-Qolam

tidak meninggalkan kegiatan keputrian. Dan yang tidak

kalah pentingnya, sikap Ine dan Ratna perlahan-lahan

bisa menerimaku. Kita memulai kembali persahabatan

yang sempat merenggang.

Selanjutnya aku memutuskan untuk menutup

auratku yang lain. Ya, telapak kaki. Aku mencoba

mengenakan kaos kaki ketika hendak keluar rumah.

Ibuku merasa heran,

“Kenapa pake kaos kaki, apa nggak terlalu

berlebihan, nanti bagaimana kalau dilihat orang?”

ungkapnya.

Aku mengambil Al-Quran, kubuka surat Al-

Ahzab ayat 59, kusampaikan bahwa dengan menutup

seluruh aurat yang Allah tentukan, maka seorang wanita

akan mudah dikenali dan mereka tidak akan diganggu.

Ibuku memang lembut hatinya, dia menerima penjelasan

yang kusampaikan. Alhamdulillah, aku semakin

berbahagia. Allah mempermudahku untuk berada di

jalan-Nya dengan mengirimkan orang-orang yang

menyayangi dan mendukungkku dalam kebaikan. Maha

Page 102: Buku profil Al-Qolam

Suci Engkau ya Allah, maka nikmat mana lagi yang bisa

kudustakan.

“Hijab bukan benda tak hidup yang selalu diam tanpa

bergerak, berhijab adalah urusan hati, ia harus terus

dipupuk dan diperbaharui agar tidak mati.”

***

Page 103: Buku profil Al-Qolam

Rumah Kedua

oleh M. Ginanjar Eka Arli

([email protected])

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di

pipiku. Sontak aku pun terdiam membisu. Wajahnya

menampakkan gurat kekecewaan. Matanya berkaca-kaca

seakan hendak pecah beberapa saat lagi. Tiba-tiba ia

membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkanku.

Sendiri, dalam kehampaan.

***

Dering handphone berbunyi menandakan

waktunya untuk bangun. Mataku mengerjap, mencoba

menarik kembali kesadaranku yang sempat hilang. Pagi

ini merupakan jadwal praktikum fisika, merangkai bel

listrik. Kulirik barang-barang yang kemarin kubeli.

Aman, pikirku dalam hati.

Page 104: Buku profil Al-Qolam

Tiga puluh menit kemudian aku sudah rapih.

Baju seragam putih abu-abu lengkap dengan sweater

merah membungkus badanku hari ini. Kucium punggung

tangan ibuku seraya berkata, “Pergi dulu ya, Mah!” ia

mengangguk pelan dan melepas keberangkatanku

dengan lambaian tangannya. Seperti biasa, aku pun

segera menuju jalan raya untuk mencari angkutan umum

ke sekolah.

Semilir angin menerpa wajahku. Menambah

gundah hati kecilku. Seketika itu, sebuah pesan singkat

datang menyentil jiwaku. “Jadi ketemu di Squid, kan?”

aku terdiam beberapa saat sebelum membalasnya.

Akankah kulakukan itu lagi hari ini? pikirku kemudian.

Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba muncul satu

pesan tambahan. “Gue tunggu ya! Yang lain juga udah

pada dateng. Tinggal lu doang yang belum.” Kalut diriku

membacanya. Memang, aku sudah melakukan hal ini

berkali-kali. Tapi hari ini beda! Tanpaku, bagaimanakah

nasib kelompokku di sekolah? Nilai lima orang berada di

tanganku saat ini. Setan dan malaikat pun membisikiku

satu per satu.

Page 105: Buku profil Al-Qolam

“Sudahlah bos, praktikum itu masih bisa besok-

besok. Tapi kalo ketemu teman cuma bisa sekarang.

Kapan lagi kalian main bareng, ya enggak?” bujuknya

mantap.

“Tapi bos, coba pikirkan barang-barang yang

kamu bawa. Tanpamu, kelompok praktikummu di

sekolah akan seperti ayam kehilangan induknya.

Bingung mau ngapain!” timpal malaikat hatiku.

“Bos.. Bos.. Liat geh, kondisi bos lagi pusing

kayak gitu. Daripada tambah pusing sama praktikum di

sekolah, mendingan dihilangkan penatnya dengan main

di warnet. Ya kan, bos?” tambah setan tak mau kalah.

“Iya juga ya,” pikirku. Beban ujian semester

yang baru kulalui. Kondisi badan yang kurang fit. Dan

waktu yang menunjukkan pukul 7.30. Semuanya

mengarahkanku untuk mengambil satu keputusan.

Malaikatku pun hanya bisa mengeluskan dada dengan

sabar. “Semoga Allah memberikan hidayah padamu

bos,” bisiknya sebelum pergi.

***

Page 106: Buku profil Al-Qolam

Ruko bertingkat empat itu masih sama seperti

sebelumnya. Lantai keramik beserta deretan komputer

menghiasi setiap ruangan di sana. Plang lusuh

bertuliskan “Squid Net” masih bertengger angkuh di

halamannya. Sayup – sayup terdengar teriakan dan

genderang perang bertabuh dari lantai dua.

Unstoppable. “Yes! Gue menang.. Hahaha!”

teriak Vicky keras di telingaku.

“Hush! Baru satu kali itu. Tunggu aja, setelah ini

giliran gue!” balasku singkat.

Tak terasa itu adalah game kelima yang kami

mainkan. Matahari sudah sepenggal naik. Burung-

burung semakin riang berkicau mencari makan di luar

sana. Getar handphone saja tak kuhiraukan, apalagi

kicauan burung. Nomor tak dikenal, paling orang iseng.

Pikirku malas.

Detik berganti dengan menit. Menit pun lalu

menyerahkan estafet waktu kepada jam. Azan zuhur kini

mulai berkumandang. Bersahut-sahutan seantero jalan

Raden Intan. Perlahan, remaja berseragam putih abu-abu

Page 107: Buku profil Al-Qolam

mulai berdatangan. Tanda waktu pulang sekolah sudah

tiba.

Kulirik billing-ku sejenak, “Lima menit lagi.”

Saatnya bagiku untuk pulang. Hatiku senang bercampur

gelisah. Tiga kali aku menang membuatku bahagia. Tiga

kali misscall dari nomor tak dikenal, membuatku curiga.

“Teman – temanku kah? Gimana nanti aja deh..”

Tangkisku kemudian.

***

Kurebahkan diriku di atas kasur empuk nan

hangat. Aliran darah segar segera menuju otakku yang

panas. Panas karena pikiran dan panas karena cuaca.

Kutarik napas dalam – dalam, seraya menenangkan

hatiku yang carut marut. Hari ini hampir berlalu, yang

sudah terjadi biarlah terjadi. Tenangku dalam

kesendirian.

Pintu gerbang perlahan terbuka. Saatnya ibuku

pulang. Pikirku masih dalam keadaan terpejam.

Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. Derap

langkah berpacu dengan suara. Plakk! Sebuah tamparan

Page 108: Buku profil Al-Qolam

keras mendarat mulus di pipi kiriku. Sontak aku

langsung bangun dan melihat wajah yang letih karena

bekerja itu berkaca-kaca di depanku. Dahinya berkerut.

Bibirnya bergetar seakan hendak keluar sumpah serapah

sedetik kemudian. Hujan itu pun tak terbendung lagi,

keluar dari sisi matanya dan mulai membasahi pipi

tirusnya.

“Mamah enggak nyangka Ardi tega ngelakuin hal

ini sama mamah.” Ucapnya kemudian. “Ardi tau? Tadi

pagi temen Ardi nelpon mamah nyariin kamu karena gak

sekolah. Padahal yang mamah tau kamu pagi-pagi udah

berangkat. Jadi, sebenarnya kamu tadi pagi berangkat

kemana Di? Kemana?!” ledaknya sambil menangis.

“Ar.. Ardi.. tadi Ardi..”

“Sudahlah! Mamah tau kamu pasti tadi ke

warnet! Mamah salah apa sih, Di, sampai kamu

menganggap rumah keduamu itu lebih berharga

dibandingkan sekolah. Padahal mamah cuma pengen

kamu jadi anak yang pinter dan saleh, itu aja...” lirihnya.

Page 109: Buku profil Al-Qolam

Sesaat kemudian dia membalikkan badan sambil

menyeka wajahnya yang basah. Meninggalkanku sendiri

dalam kebingungan. Merenungkan kejadian yang baru

saja terjadi di depan mataku. Tentang diriku dan ibuku.

***

Malam itu tidak ada suara di antara kami berdua.

Hanya sebuah kecanggungan dan kebisuan. Denting

sendok beradu dengan piring memecah keheningan.

Makanan yang dimakan serasa hambar di tengah suasana

yang melanda kami saat ini.

Ia beranjak pergi setelah santapannya habis.

Meninggalkanku sendiri, tanpa mengatakan sepatah kata

pun. Rasanya aku benar-benar menyesal telah

membuatnya menangis. Wanita yang rela mengorbankan

nyawanya untukku, malah kubalas dengan kekecewaan

tak bertepi. Apakah ini balasan setimpal dariku?

Menjadi pengeruk hartanya dengan warnet sebagai

pelampiasan? betapa dangkal dan hinanya diriku saat

ini, gumamku.

Page 110: Buku profil Al-Qolam

Dengan takut-takut aku coba mendatangi

kamarnya. Kuketuk pelan seraya membuka pintunya.

Matanya melirik kepadaku dan sejenak kemudian

langsung membuang muka ke arah lain. Sungguh, aku

sama sekali tidak menginginkan hal ini sebelumnya.

Perlahan aku coba mendekatinya. Kuraih

tangannya dan kucium lembut dan berkata, “Maafin Ardi

ya Mah.. Ardi mengaku salah. Ardi tahu kalo kelakuan

Ardi enggak bener. Kali ini Ardi benar-benar menyesal.

Ardi janji enggak akan mengulanginya lagi.” Tetes air

tak dapat kubendung lagi. Kali ini hujan membasahi

pipiku.

Ibu menghembuskan napas perlahan. Dengan

berat ia berkata, “Ardi tau kan perjuangan mamah

selama ini? Kamu tahu kalo papahmu udah enggak ada

dan sekarang mamah seorang diri membesarkan kalian

bertiga. Mamah cuma mau kalian sekolah dengan baik.

Jadi anak yang pinter, rajin, dan saleh. Mamah paling

enggak suka dibohongin. Mendingan Ardi jujur dan

enggak sekolah buat istirahat di rumah. Daripada

kemudian Ardi bohong dan bolos ke warnet. Mamah

Page 111: Buku profil Al-Qolam

sayang sama Ardi. Mamah kecewa kalo ngeliat Ardi

malah jadi anak yang suka berbohong gini.”

Deg. Kata-kata itu bagaikan sembilu yang

menusuk hatiku. Sakit dan tak tertahankan. Aku lebih

baik ditampar seribu kali daripada mendengar

kekecewaan dari bibir ibu. Ya Allah, maafkanlah

hambamu ini telah tega menyakiti makhluk yang sangat

menyayangiku. Hamba menyesal. Remuk rasanya hati ini

melihat dirinya seperti itu.

“Maafin Ardi sekali lagi ya mah. Ardi enggak tau

harus gimana lagi. Ardi benar-benar menyesal. Ardi

sayang sama Mamah. Mamah jangan marah lagi ya sama

Ardi.” Isakku sambil memeluknya. Erat, seakan tak ingin

ia pergi dari sisiku.

“Ya sudah enggak apa-apa, yang berlalu biarlah

berlalu. Sekarang Ardi telepon temen-temen Ardi ya.

Minta maaflah kepada mereka. Besok temenin mamah

untuk menghadap guru Ardi. Kita silaturahmi sekaligus

minta maaf.” Balas ibu sambil tersenyum.

Page 112: Buku profil Al-Qolam

Seketika itu kelegaan datang menghampiri diriku.

“Makasih ya Mah. Ardi janji enggak bakal bolos lagi.

Ardi mau berubah. Jadi anak yang bisa dibanggain sama

kedua orang tua.” Ucapku dengan bersemangat.

“Insya Allah. Sekarang Ardi doain papah ya,

Nak. Beliau juga pasti bangga punya anak kayak Ardi.”

Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

“Siap, Mah!” tutupku di akhir pembicaraan.

***

Lembayung jingga berganti dengan awan putih

tanda dimulainya hari baru. Kali ini kumantapkan hati

untuk bertemu dengan teman-temanku. Setiap perbuatan

pasti harus dipertanggungjawabkan, hari ini aku harus

meminta maaf kepada mereka. Bismillah. Doaku dalam

hati. Semoga semuanya dimudahkan. Aamiin.

Pagi itu kelas masih ramai seperti biasa. Aku

rada kikuk ingin masuk ke dalam. Sikapku seperti

maling yang hendak masuk ke toko yang akan aku curi.

Namun dengan tekad dan keberanian, aku pun

Page 113: Buku profil Al-Qolam

melangkahkan kakiku ke sana. Ku cari empat orang

temanku, namun naas tak terlihat satu pun batang

hidungnya. Kutanya teman sebangkuku, “Eh lihat Jenfa,

enggak?”

“Enggak, Di.. Katanya sih sakit.”

Innalillahi.. Batinku dalam hati. Aku jadi merasa

bersalah sendiri dengan sikapku kemarin. Semoga saja

temanku tidak apa-apa.

“Hmm... Kemarin ada tugas Sof?” tanyaku

kembali.

“Enggak, Di. Praktikumnya enggak jadi. Diundur

minggu depan.” Jawabnya singkat.

Alhamdulillah. Inikah berkah dari langit yang

sengaja diatur oleh-Nya? Tak henti-hentinya aku berucap

syukur akan kemudahan yang diberikan-Nya kepadaku.

Kini dengan tenang aku menatap papan tulis hitam di

depanku. Seraya melihat temanku membersihkannya,

begitupun aku yang sedang membersihkan hatiku untuk

kembali pada fitrah yang seharusnya.

Page 114: Buku profil Al-Qolam

Waktu tak terasa kembali berlalu. Bel pulang kini

berbunyi kembali. Serentak seluruh pelajar putih abu-

abu keluar dari ruangan menuju rumah singgah masing-

masing. Vicky dan Sofyan tiba-tiba mendatangiku, “Di,

ke Squid yuk!” ajak mereka.

Aku tersenyum kepada mereka. Kutepuk pundak

Vicky seraya berkata, “Besok-besok lagi aja ya. Gue

mau pulang dulu sekarang. Daah...” Kulambaikan

tangan kepada mereka tanda perpisahan. Pandangan

mereka nanar, melihatku yang semakin menjauh. Hari

ini, kuputuskan untuk berubah. Detik itu juga,

kuputuskan untuk berpisah dengan rumah keduaku.

Rumah yang selama ini mendampingiku dan menjadi

tempat pelarianku dari-Nya. Insya Allah, kali ini Allah-

lah yang akan memudahkan jalanku selanjutnya.

Bismillah.

***

Page 115: Buku profil Al-Qolam

Dzikir Terakhir

Oleh Dini Wulandari

([email protected])

Ada hal lain tentang tasbih milik ibu. Tasbih yang

kubeli di sebuah toko yang hampir bangkrut karena sepi

pembeli. Aku merasa iba ketika pemiliknya tengah

memasukan barang-barang dagangannya ke dalam

kardus. Ku putuskan membeli salah satu tasbih berwarna

merah berjumlah 99. Aku hanya ingin ibu kenal dengan

Rabb-nya, karena sejak kecil ibu dilarang pergi ke surau.

Ia tahu bahwa dirinya Islam. Tapi tak diperkenankan

mengenal Islam itu seperti apa. Allah memperkenankan

ibu merasakan nikmatnya melisankan dzikir, walau

hanya ribuan menit. Dzikir yang membuat otak dan

tubuh ibu pada akhirnya merasa candu. Dan Allah tak

memberi kesempatan lebih dari itu.

Selama ini, aku tak pernah merasakan yang namanya

begadang. Seberapapun menumpuknya tugas kuliah.

Seberapapun menumpuknya pekerjaanku di kantor. Aku

Page 116: Buku profil Al-Qolam

selalu punya siasat agar semua tugas itu tak ku kerjakan

malam hari, karena aku menyadari baha aku tipe orang

yang tidak pernah bisa begadang. Tapi dua malam

sebelum ibu benar-benar menghembuskan nafas

terakhirnya. Entah apa yang membuatku pada akhirnya

kuat tidak tidur dua malam berturut-turut. Mataku tetap

terjaga menjaga tubuhnya yang kian melemah. Ibu sakit.

Tapi dokter dan tim medis terhebat di desa kami tak

mampu memprediksi, apa kiranya penyakit yang

bersarang di tubuh ibu itu. Bahwa kami putus asa,

memang benar. Tapi, sungguh jika Allah

memperkenankan segala penyakit ibu dipindahkan ke

tubuhku, aku sangat ikhlas. Tapi Allah tak perkenankan

itu.

***

Ibu kecil adalah putri yang harus menerima takdirnya

hidup di tengah-tengah keluarga yang tak

menginginkannya hadir. Orangtuanya tak mengharapkan

kehadiran ibu. Hingga satu hal yang pada akhirnya

membuat ibu sakit adalah tindakan orangtuanya yang

tega menaruh ibu kecil di sebuah kampung terkecil yang

Page 117: Buku profil Al-Qolam

juga menjadi desa kelahiranku. Ibu berada di tengah

keluarga Sam yang menjadikannya babu sejak usia 6

tahun hingga usianya benar-benar matang untuk

menikah.

Pada zamannya, keluarga Sam adalah keluarga

paling kaya di desaku. Orangtua ibu menjual ibu sejak

usianya menginjak angka 5 tahun pada keluarga Sam

karena kebetulan keluarga Sam tidak memiliki

pembantu. Ibu kecil adalah sosok yang patuh. Tak ada

penolakan ketika orangtuanya pergi begitu saja tanpa ada

kecupan sayang sedikitpun. Ibu bercerita bahwa matanya

benar-benar telah berkaca-kaca. Ia ingin ikut dengan

orangtuanya. Tapi nyonya Sam meremas tangan ibu dan

membawanya masuk rumah. Berawal dari itu, kehidupan

ibu benar-benar membuat dadaku sesak mendengarnya.

Ibu tidak diperkenankan bersekolah dan pergi ke

surau oleh keluarga Sam. Hidupnya dikungkung oleh

pekerjaan bertubi-tubi yang dilimpahkan pada ibu kecil.

Ibu kecil adalah satu-satunya pembantu yang ada di

rumah mewah keluarga Sam. Setiap hari ibu harus

mencuci pakaian dan peralatan makan sembilan kepala,

Page 118: Buku profil Al-Qolam

keluarga Sam (baca; Tuan-Nyonya dan tujuh anaknya).

Ibu juga harus memasak untuk delapan puluh buruh tani

milik keluarga Sam. Tak jarang pula, ibu berperan aktif

menanam dan memanen padi di sawah jika pekerjaan di

ratusan hektar sawah tidak ter-handle oleh delapan puluh

buruh tani itu.

Ibu remaja masih tetap menjadi sosok yang pendiam

dan patuh. Suatu ketika, keluarga Sam berencana

menjualnya pada seorang kiai di desaku yang gemar

berpoligami dengan dalil “menghindari zina”. Jelas ibu

sangat menolak. Namun, kekuasaan keluarga Sam

membuat akad dan resepsi pernikahan ibu dan kiai itu

terencana bahkan hampir terlaksana. Bagi ibu, lelaki

manapun teramat menakutkan di matanya, termasuk

sosok pemuka agama sekalipun.

Beberapa detik sebelum ijab qobul dilaksanakan, ibu

pingsan kemudian tersadar dan mendapati dirinya dalam

keadaan dipasung oleh keluarga Sam. Keluarga Sam

geram karena kiai yang akan membayar tubuh ibu

tersinggung dan membatalkan rencana pernikahan itu.

Ibu saat itu berada pada kondisi psikis yang teramat

Page 119: Buku profil Al-Qolam

memprihatinkan. Ia sering menjerit ketakutan terhadap

setiap laki-laki yang merubung ruangan tempat ia

dipasung. Tatapannya kosong bahkan kekosongan itu

mendominasi isi kepalanya. Ia tak mampu berpikir

apapun. Kosong. Bahkan sangat kosong.

***

Satu-satunya lelaki yang pada akhirnya membuat ibu

mampu melepaskan traumanya adalah ayah. Entah

kismat kutuk apa yang belum juga membiarkan ibu

bahagia setelah ia dikeluarkan dari rumah keluarga Sam

dengan berbagai kutukan dan tak dibekali sepeser pun

pesangon, ibu dinikahi lelaki yang jauh dari tanggung

jawab. Ibulah yang menafkahi ayah dan kelima anaknya.

Aku dilahirkan ketika ibu berperan sebagai tukang es

batu keliling. Tepatnya, ketika ia mengantarkan es batu

ke sebuah warung yang cukup jauh, ketubannya pecah.

Keringat membasahi tubuh ibu yang sangat berusaha

menahan rasa sakit. Ia ingin segera pulang dan meminta

ayah memanggilkan orang yang bisa membantunya

meelahirkanku. Ibu tahu, ia tak punya banyak uang

Page 120: Buku profil Al-Qolam

untuk memanggil seorang bidan. Ibu hanya

mengandalkan belas kasih dari tetangga atau siapapun.

Tapi, nyatanya Allah berkehendak lain. Aku dilahirkan

di bawah sepeda yang kedua sisinya diberi semacam

karung beras berisi es batu yang terus mencair. Sepeda

yang menjadi satu-satunya harapan ibu meraup rizki

untuk bertahan hidup dengan menjual es batu. Aku jadi

tontonan orang yang berlalu lalang di pinggiran jalan

dekat warung itu. Dan ketika aku mendengar cerita ibu

tentang ini, aku benar-benar merasa ibu adalah wanita

terhebat yang pernah aku kenal di dunia ini.

Allah mempertahankan nyawa ibu dan memberinya

kesempatan merawat aku dan keempat adikku. Ayah

bukan lelaki yang berkebiasaan pulang pagi, suka main

perempuan, berjudi, atau peminum. Ayah lelaki biasa

yang memiliki kepribadian sangat biasa pula. Tak pernah

ayah memberikan sepeser pun hasil keringatnya pada

ibu, karena memang ia tak pernah bekerja. Aku dan

adik-adikku berhasil menyelesaikan studi kami pun

berkat keringat, air mata, dan doa tulus ibu.

Page 121: Buku profil Al-Qolam

Suatu ketika, saat adikku yang kedua sangat

membutuhkan uang untuk membayar ujian, saat adikku

yang ketiga sangat membutuhkan uang untuk menebus

ijazah, dan saat adikku yang keempat sangat

membutuhkan uang untuk membayar tunggakan SPP.

Ibu benar-benar ikhlas memposisikan dirinya sebagai

manusia “hina” yang duduk di depan ruang operasi

sebuah rumah sakit terbesar di kota kami dan berharap

ada pasien yang membutuhkan salah satu organ

tubuhnya untuk kemudian diganti dengan sejumlah uang

sekolah anak-anaknya.

Aku tak mampu berkata apapun tentang perilaku

nekat ibu ini. Aku menangis di sudut rumah sakit melihat

tubuh ibu yang begitu ikhlas, meringkuk, menunggu

keluarga pasien manapun yang membutuhkan organ

tubuhnya. Di menit ke 540, aku benar-benar tak kuat

melihat orang yang melahirkanku berbuat demiikian. Ku

tarik tubuh ibu dan memaksanya pulang, tapi ibu

membentak dan menyuruhku pulang sendirian.

Aku biarkan ibu melakukan apa yang menurutnya

baik. Alhasil, sebuah keluarga membutuhkan ginjal

Page 122: Buku profil Al-Qolam

untuk keluarga mereka. Tanpa ragu, ibu menjual satu

ginjalnya pada keluarga itu. Ibu pulang dengan

kebahagiaan yang tak mampu kulukiskan, demikian

halnya dengan rasa sakit yang ia bawa, tak mampu juga

aku lukiskan dengan apapun. Ia berusaha kuat dan tak

pernah memberitahu adik-adikku bahwa uang itu hasil

dari penjualan ginjalnya.

Sejak kejadian itu, ibu jadi sering sakit-sakitan. Ibu

semakin memforsir tubuhnya ketika ayah berulangkali

meminta uang untuk membeli rokok. Siang malam ibu

berusaha mengabdi pada suami dan anak-anaknya.

Walau aku tahu, bentuk pengabdian ibu itu tak bisa

kufahami dari sudut pandang “suami mana yang masih

pantas diabdi dan tidak pantas diabdi”. Berulangkali

kuyakinkan ibu untuk menghentikan perilakunya

mendzalimi tubuhnya sendiri. Tapi, lagi-lagi aku

dibentak dan ia mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik

saja.

Aku tahu ibu sakit, tapi ia selalu menyembunyikan

‘obat-obatan warung’ di bawah kasurnya. Dalam satu

hari, ia bisa menghabiskan 3-5 obat-obatan tidak sehat

Page 123: Buku profil Al-Qolam

itu. Ibu tak pernah benar-benar mengerti fungsi

sebenarnya obat-obatan itu. Ia hanya tahu bahwa obat-

obatan itu bisa membuat tubuh dan kepalanya merasa

sehat (baca; ketika itu saja). Ia tak pernah tahu, bahwa

obat-obatan itu pada akhirnya memunculkan beragam

penyakit baru yang bersarang di tubuhnya kekinian.

***

Setelah konflik batin yang membelitku di

perantauan. Bosku mengancam jika aku tetap pulang,

gaji enam bulan terkhir yang belum diberikannya, benar-

benar akan ditahan bahkan hangus karena satu proyek

yang kutinggalkan begitu saja. Adik-adikku merengek di

ujung gagang telepon, minta agar aku segera pulang

karena ibu tidak ingin dirawat selain olehku. Akhirnya

aku memilih pulang dan menyaksikan tubuh tambun ibu

terkulai lemas di pembaringan. Ia tak lagi mampu

bergerak. Aku sangat berusaha menahan air mataku agar

tidak jatuh di hadapan ibu. Tapi, ibuku yang teramat kuat

kali ini tak benar-benar kuat menahan air matanya ketika

tanganku menyentuh pipinya. Ku genggamkan tasbih

merah yang sengaja kubelikan untuk ibu, karena aku

Page 124: Buku profil Al-Qolam

tahu ibu sangat suka warna merah. Sejak aku tiba di

hadapan ibu, ku bimbing lisannya mengucap dzikir. Ibu

tampak ikhlas jika Izrail benar-benar mencabut

nyawanya. Dan benar saja, kukecup kening ibu ketika

dzikir terakhir yang ia lisankan terhenti pada kata

laillaha ilallah. ***

Page 125: Buku profil Al-Qolam

Di Tokyo Salman Kembali

Indria Fitri Afiyana

([email protected])

Salman, masih duduk di pinggiran stasiun, bukan

sedang menunggu. Salman yang berprinsip ‘time is

money’ tidak mungkin mau menunggu, apalagi di

stasiun. Salman sedang asyik dengan rumus-rumus

elektronikanya. Suatu proyek sedang menunggu untuk

diwujudkan. Salman, si pemilik ide tersebut sangat

berambisius untuk segera mewujudkannya sebelum ia

lulus dari Tokyo University.

Sebuah robot yang mutakhir di era Heisei, begitu

kata hatinya. Sebuah robot yang memiliki fungsi

layaknya manusia digabung dengan tank perang, dengan

carbondioxide energy, Super Robot WS-092 bisa

dipastikan akan menjadi penemuan termutakhir abad

kini. Salman selalu tersenyum bila mengingat itu, pasti

ibu dan bapaknya di Cimahi akan bangga memiliki anak

seperti dirinya.

Page 126: Buku profil Al-Qolam

“Kriing…” ponselnya berdering, sebuah e-mail

dari Yana, kawan satu tanah airnya yang sekarang

mengambil jurusan fisika murni di Tokyo University.

“Man, ada di mana sekarang?” Salman terdiam

menatap layar ponselnya. Ingatannya mengulang

percakapan ia dengan Yana tadi pagi.

“Kamu harus segera menghentikan proyek ini,

Man!” kata Yana.

“Kenapa? Dan apa urusanmu hah!” kata Salman.

“Proyek robotmu ini sedang menjadi incaran

CIA! Karyamu ini akan dicuri dan dijadikan senjata

pembunuh masal di Palestina sana!” ujar Yana dengan

nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Tidak mungkin, aku akan segera mempatenkan

robotku! Lagipula, memangnya kenapa kalau robotku

dijadikan senjata pembunuh masal di Palestina hah?”

jawab Salman tak kalah tinggi.

Page 127: Buku profil Al-Qolam

“Astagfirullah, nyebut, Man. Mereka itu orang-

orang muslim, sesama muslim itu kan saudara!” kata

Yana.

“Ya... Ya... Ya.... Terserahlah, yang pasti

alasanmu untuk menghentikan proyek ini tidak valid!

Tau dari mana kamu kalau robotku diincar?

Memangnya ini film action yang hidupnya tidak jauh-

jauh dari CIA, FBI, dan kawan-kawannya itu?!” ujar

Salman geram.

“Kawanku di Interpol yang memberitahukannya”

jawab Salman.

“Bagus, setelah membual tentang robotku yang

akan dicuri CIA, sekarang kamu membual bahwa kamu

punya teman di Interpol?!” ujar Salman. Yana terdiam,

lalu segera menjawab dengan jawaban singkat.

“Ya, kami pernah bertemu di pertemuan fisika

internasional tahun lalu, dia seorang penggemar fisika,

sama sepertiku” ujar Yana dengan nada yang rendah.

Page 128: Buku profil Al-Qolam

Salman terdiam mengingat kejadian itu. Salman

tahu bahwa Yana bukan orang yang dusta, tak pernah ia

menemukan kejadian yang menyatakan bahwa Yana

seorang pendusta. Pernah suatu waktu, ketika dirinya

dan Yana sedang pergi berbelanja di Shibuya, mereka

bertemu dangan segerombolan anak muda yang

berpenampilan bengal, dan benar saja, mereka memang

bengal. Segera saja anak-anak muda itu memaksa

Salman dan Yana untuk memberikan uang yang mereka

punya. Sedangkan Yana tetap tenang sambil berujar

bahwa uangnya ada di tas ranselnya. Mirip dengan

kisahnya Syekh Abdul Qodir Jaelani. Tapi memang

benar, Yana sungguh-sungguh terinspirasi dengan

keshalehan Syekh tersebut. Kisah-kisah teladan saat

dirinya mengenyam pendidikan di pesantren ternyata

tidak dijadikannya sebagai dongeng pengantar tidur, tapi

benar-benar dijadikan teladan kehidupan.

Anak-anak muda itu terdiam, lalu sedetik

kemudian terlihat kode dari ketua genk tersebut untuk

segera meninggalkan TKP tanpa mengambil sepeser yen

pun. Mungkin mereka mengira bahwa Yana memang

Page 129: Buku profil Al-Qolam

benar-benar terkena gangguan jiwa, tapi tidak dengan

Salman. Salman tersenyum melihat kejujuran sahabatnya

itu.

Memorinya di masa lalu memaksanya untuk

berhenti berkutat dengan rumus-rumusnya. Jam

menunjuk ke angka tiga. Stasiun mulai benar-benar

sunyi. Salman menengok ke kereta di depannya, jurusan

Toshima. Seakan-akan ada yang menggerakan kakinya,

Salman berdiri dan masuk ke kereta itu.

Kereta melaju ke daerah Toshima-ku. Salman

membiarkannya, biarlah pagi ini Salman melepaskan

penat yang selama ini ia pendam. Melarikan diri sejenak

dari beban-bebannya. Salman terdiam, terpaku

memandang ke luar jendela. Salman menyadari hatinya

sangat kering saat ini. Salman ingin hatinya diisi oleh

sesuatu yang dapat menyegarkan hatinya kembali. Bagai

dapat hidayah, tangannya langsung meraba kantong

jaketnya, ia mengambil ponselnya, bukan untuk

mendengarkan lagu atau mengirim e-mail pada Yamada

Riko, mahasiswi satu fakultasnya yang sedang ia

gandrungi, tapi membuka program Al-Quran yang dulu

Page 130: Buku profil Al-Qolam

ia masukan ketika pertama kali ia membeli ponsel di

Jepang. Ia teringat alasan ketika ia memasukan program

itu, agar aku selalu bisa murojaah kapanpun dan di

manapun, katanya dalam hati. Ia meringis, betapa

hidupnya kini berubah 180°. Jangankan untuk mengingat

Allah, mengucapkan ayat-ayat suci saja tak pernah.

Kini Salman benar-benar menangis, tak ada rasa

gengsi yang menghambat dirinya untuk kembali pada

Allah. Ditemani surat An-Najm, Salman kembali

menyelami kedamaian yang selama ini ia lupakan,

kembali kepada kebenaran yang selama ini ia tampik.

“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan

perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.

Sesungguhnya, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia

mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu

dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut

ibumu. Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci.

Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Qs. An-

Najm: 32)

Kereta berhenti di stasiun Toshima. Jam

menunjukan ke angka empat. Salman melihat ke

Page 131: Buku profil Al-Qolam

sekeliling. Sepi, tapi Salman tahu ke mana ia harus

melangkah, Masjid Minami Otsuka, “jadi ini alasan

Allah mengapa menyuruh kakinya beranjak ke kereta

jurusan Toshima?”. Gumamnya. Salman tersenyum,

sungguh kasih sayang Allah meliputi seluruh makhluk.

Masih saja Allah mengurusi dirinya, padahal sudah lama

ia tidak mengurusi perihal agama.

Jarak Stasiun Toshima dengan Masjid Minami

Otsuka tak terlalu jauh. Salman berjalan kaki untuk

menuju ke masjid itu. Salman ingin segera tiba di masjid

itu. Salman ingin melakukan salat, lalu bertaubat nasuha.

Setibanya di Masjid Minami Otsuka. Salman melihat ke

sekeliling masjid, ternyata sudah banyak jamaah yang

datang. Salman teringat, bahwa ini memang waktunya

salat subuh. Salman beristighfar, mengapa ia sampai

lupa waktu-waktu salat?

Salman melaksanakan salat dengan nikmat. Ini

salatnya yang pertama setelah sekian lama ia pergi dari

Allah. Salman kembali menangis dalam salatnya. Sudah

lama ia pergi dari Allah, tapi tak pernah sekalipun Allah

meninggalkannya, buktinya sampai sekarang ia masih

Page 132: Buku profil Al-Qolam

hidup, masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Salman

menyadari kekhilafannya. Dalam sujudnya ia kembali

beristighfar.

***

Salman terbangun dari tidurnya. Ternyata setelah

salat tadi Salman langsung tertidur. Dilihatnya matahari

sudah meninggi. Salman melirik ke arah jamnya,

ternyata sudah jam sembilan. Untung saja hari ini

Salman tidak ada jadwal kuliah, jadi Salman tak perlu

terburu-buru pergi ke tempat kuliahnya. Hari ini Salman

bisa menyediakan waktunya untuk Allah. Merenungkan

perjalanan hidupnya yang banyak dosa dan bisa

langsung memohon ampun.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Hikaru, adik kelas

sekaligus teman satu regunya dalam mewujudkan Super

Robot WS-092 nya menelepon. Salman mengangkatnya,

terdengar suara Hikaru di seberang sana, suaranya

seperti orang panik.

“Moshi-moshi Salman-senpai, ini aku Hikaru”

kata suara di seberang sana.

Page 133: Buku profil Al-Qolam

“Ya Hikaru, ada apa? Tenanglah tak usah panik

begitu!” jawab Salman.

“Ro..robot kita Salman-senpai, dicuri! Semuanya,

termasuk rancangan desainnya! Bagaimana ini Salman-

senpai?” jawab Hikaru seperti orang dikejar hutang.

Salman terdiam, shock, “Ba..bagaimana bisa

Hikaru? Kau sudah mengunci ruangan itu kan?” jawab

Salman, pasrah.

“Tentu saja Salman-senpai. Penyelidikan terakhir

polisi mengatakan bahwa tersangka pencurian itu adalah

dosen kita, Doktor Minamoto Hiro. Sudah kuduga dia

memang mengincar proyek kita!” jawab Hikaru sinis.

“Be…benarkah?” Salman teringat kata-kata

Yana kemarin bahwa robotnya jadi incaran CIA, siapa

tahu bukan Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA.

“Benar senpai, sampai saat ini memang tuduhan

mengarah pada Doktor Minamoto” . Salman kaget

sekaligus khawatir. Ia khawatir kalau benar bukan

Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA, ia takut kalau

Page 134: Buku profil Al-Qolam

robotnya akan dijadikan senjata pembunuh massal di

Palestina sana, Salman ingat satu firman Allah yang ia

baca tadi subuh “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu

bersaudara….” Salman hanya bisa pasrah. Salman

menutup ponselnya. Ia ingin segera salat, memohon

petunjuk pada Allah, semoga Allah membawanya lagi

pada kebenaran.

Pagi itu Salman kembali berkeluh kesah pada

Allah, segalanya ia serahkan pada Allah. Allah lah

penentu skenario hidupnya. Apakah Allah akan

mengembalikan robotnya atau tidak, Salman yakin itulah

jawaban yang terbaik.

Setelah salat, sayup-sayup terdengar suara orang

melantunankan suatu ayat lalu melanjutkan membacakan

artinya, “(Allah) mengetahui semua yang gaib dan yang

nyata; Yang Mahabesar, Mahatinggi” (Qs. Ar-Ra’d: 9).

Salman menengok mencari arah suara tersebut. Ternyata

Yana. Salman tersenyum, tau saja dirinya sedang ada di

Toshima.

“Apa kabar, Man?” ujar Yana.

Page 135: Buku profil Al-Qolam

“Alhamdulillah baik” jawab Salman singkat.

“Eh... Salman, kau sudah tahu kasus di kampus

kita kemarin tadi malam?” tanya Yana hati-hati.

“Ya, kasus pencurian robotku, Super Robot WS-

092” jawab Salman pasrah.

“Pasrahkan pada Allah, Man” ujar Yana ikut

prihatin.

“Ya, aku sudah memasrahkannya. Aku yakin ini

rencana Allah yang paling baik” jawab Salman yakin.

Percakapan terhenti lagi. Kali ini Yana lagi-lagi

ambil suara yang pertama.

“Eh... Salman, sebenarnya kata-kataku yang

kemarin bahwa CIA akan mencuri robotmu itu

sebenanrnya bohong…” ujar Yana dengan nada pasrah.

“Apa? Aku tidak mengerti. Kenapa kau harus

sampai berbohong Yana?” tanya Salman.

“Ini bertujuan agar kamu kembali lagi ke jalan

Allah. Setelah kau mempunyai ambisi untuk

Page 136: Buku profil Al-Qolam

mewujudkan robotmu itu kau selalu saja disibukkan

olehnya, aku jarang melihatmu salat lagi, Salman” ujar

Yana.

Salman terdiam. Ya! Yana benar, selama ini ia

terlalu disibukan oleh proyek robotnya. “Lalu pencurian

ini, apa kau juga yang merencanakannya?” tanya

Salman.

“Bukan, bukan aku tapi Doktor Minamoto. Dari

awal aku sudah tahu rencananya untuk mencuri

proyekmu” jawab Yana singkat.

Salman terdiam, tidak percaya ia mengalami

kejadian yang fantastis seperti ini. Tak pernah ia

bayangkan bahwa ia harus kehilangan proyek

ambisiusnya, tak pernah sekalipun. Tapi di sudut hatinya

ia bersyukur, kalau ia tak mengalami kejadian ini,

mungkin sampai sekarang ia belum juga bertaubat pada

Allah. Salman tersenyum lalu menepuk pundak Yana.

Salman lalu berbalik ke arah kiblat lalu

mengambil mushafnya, ia baca surat Al- A’raf

“…pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.

Page 137: Buku profil Al-Qolam

Hanya kepada Allah kami bertawakal. Ya Tuhan kami,

berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan

hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik” (Qs.

Al-A’raf: 89).

***

Page 138: Buku profil Al-Qolam

Suratan Maha Cinta

oleh Dea Yolanda

([email protected])

Fajar terbit di ufuk timur bersamaan dengan kokok

ayam, pertanda bahwa pagi telah menjelang. Mala

mengibaskan tirai yang menutup kaca dan membuka jendela

kamarnya. Suasana pagi ini begitu indah dan damai. Tak ada

suara bising yang membuat telinga memekik. Inilah yang

membuat Mala nyaman berada di desa ini. Desa tempat

kelahirannya dua puluh tahun yang lalu. Hal yang

menakjubkan adalah desa ini dalam kondisi yang hampir

sama ketika dia masih berumur tujuh tahun. Tidak banyak

perubahan, hal yang berubah saat ini adalah dirinya sendiri.

Satu bulan yang lalu Mala memutuskan untuk kembali ke

kampung halamannya seorang diri. Dia pulang ke rumah

peninggalan orang tuanya. Tak ada sanak keluarga yang

menyambut. Semua keluarga dekat telah merantau ke luar

kota, dia pun telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak

berumur lima belas tahun.

Page 139: Buku profil Al-Qolam

Sungguh, keputusan untuk kembali ke kampung

halamannya bukanlah perkara yang mudah. Delapan tahun

lalu suatu kejadian menguras emosi terjadi di keluarganya.

Dahulu ayah dan ibunya adalah panutan di desa ini. Ayah

Mala bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan disantuni

warga. Sedangkan ibu Mala adalah seorang ibu rumah tangga

yang berdedikasi tinggi dengan tugasnya sebagai istri dan

ibu. Tidak pernah ada gonjang-ganjing rumah tangga yang

terjadi selama pernikahan mereka. Namun, kebahagiaan

tidaklah kekal. Saat Mala berusia dua belas tahun, ayahnya

meninggal. Hal itu membuat Mala dan ibunya terpukul.

Mereka tahu bahwa ayah Mala sebelumnya tidak

mempunyai riwayat penyakit apapun. Desas-desus

berkembang di tengah warga. Ada beberapa isu yang

menyebutkan bahwa ayah Mala di guna-guna oleh seseorang

yang iri padanya. Namun Mala dan ibunya tidak

mempercayai isu itu. Mereka ber-husnudzon bahwa ayah

Mala kelelahan. Selain itu Mala tahu bahwa ayahnya tidak

bisa tidur hampir setiap malam selama satu minggu karena

harus mengerjakan laporan-laporan.

Mala yang saat itu sangat belia masih harus diuji oleh

Sang Maha Kuasa, satu bulan kemudian ibunya meninggal

Page 140: Buku profil Al-Qolam

karena penyakit diabetes yang dideritanya. Mala benar-benar

terpukul. Mala kecil yang masih belum mengerti kerasnya

kehidupan harus menanggung derita yang bertubi-tubi.

Sejak peristiwa itu, warga desa menjadi antipati

terhadapnya, mereka menganggap bahwa Mala adalah

pembawa sial. Tidak ada warga yang berbaik hati untuk

menolongnya. Jika ada, mereka yang berempati terhadapnya

hanya bisa mengelus dada mengingat saat itu sikap antipati

beberapa warga benar-benar mendominasi.

Kini Mala telah berusia dua puluh tahun. Setelah

berhasil bertahan dan bekerja di luar kota, Mala

memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Dia

ingin memperbaiki dirinya yang saat ini kacau. Selama di

kota, hidupnya sangat jauh dari Allah. Salat lima waktu pun

tak pernah dia lakukan. Bahkan dia sempat merasa ragu

ketika pada akhirnya memutuskan untuk salat di surau dekat

rumahnya, beruntung ternyata dia masih mengingat gerakan

dan bacaan salat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah

dia lakukan.

***

Page 141: Buku profil Al-Qolam

Suara azan berkumandang ketika senja hendak

berganti malam. Surau yang dibangun lima belas tahun lalu

terlihat rapuh dan tak terawat. Meski tidak ramai oleh

jemaah, azan yang berkumandang melalui mikrofon menjadi

salah satu tanda bahwa Surau itu masih disambangi

beberapa warga yang bermukim di sekitarnya. Surau itu tidak

seperti surau pada umumnya yang selalu ramai saat waktu

salat tiba. Saat azan dikumandangkan, hanya ada beberapa

orang bapak-bapak yang bersedia melangkahkan kakinya

untuk melaksanakan salat berjamaah. Tidak ada aktivitas

pengajian apapun selepas magrib layaknya di surau lain.

Surau itu lapuk termakan usia.

Mala memakai mukena berwarna coklat tua. Dua

minggu telah berlalu sejak dia memutuskan untuk rutin salat

magrib sekaligus iktikaf di surau. Dia tidak pernah absen

untuk salat di surau tersebut. Tekadnya yang ingin

memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada pencipta-Nya

membuat langkah kaki menuju surau semakin terasa ringan.

Petang itu dia memanjatkan doa yang tak pernah letih

diucapkan olehnya.

Page 142: Buku profil Al-Qolam

“Ya Allah, aku memohon ampun atas segala dosa

yang telah aku perbuat, aku memohon ampun atas segala

khilaf dan salah yag telah aku lakukan. Aku ingin

memperbaiki diri, aku ingin bertaubat kepadamu ya Allah. “

Kehadirannya di surau menjadi suatu fenomena unik

di tengah warga. Tak ayal pujian dan gunjingan ditujukan

kepadanya di saat yang sama. Bukankah aneh melihat

seorang gadis muda menghabiskan waktunya di surau saat

petang menjelang? Hal itulah yang menjadi pertanyaan di

benak beberapa warga. Lazimnya surau tersebut hanya

disambangi oleh bapak-bapak lanjut usia saja. Gunjingan

muncul ketika kehadirannya membuat beberapa pemuda

mengalihkan tempat tongkrongan mereka ke surau. Para

pemuda tersebut ingin melihat kecantikan Mala yang jelita.

Semua warga tahu bahwa Mala tidak kalah cantik dengan

penyanyi terkenal yang sering muncul di televisi. Tidak heran

gunjingan datang kepada Mala yang dianggap sebagai gadis

penggoda.

“Hai Mala, kamu tahu apa yang telah kamu

perbuat?” tanya ibu berperawakan tambun di depan Surau.

Page 143: Buku profil Al-Qolam

“Apa maksud Ibu?” Mala mengernyitkan keningnya,

mencoba memikirkan apa kesalahan yang telah dia perbuat

kepada ibu dihadapannya itu.

“Gara-gara kau, anak laki-lakiku jadi sering

nongkrong di surau ini dan enggan membantu aku

berdagang.”

“Saya tidak mengerti apa yang Ibu maksud. Saya juga

tidak tahu siapa anak Ibu.”

“Ah, sudahlah. Pokoknya kau jangan pernah lagi

berada di surau ini. Kau telah mengganggu ketentraman

warga di sini.” Ibu berperawakan tambun itu pergi dengan

meninggalkan ancaman untuk Mala.

***

Sore hari hujan turun rintik-rintik. Mala sedang

memasak tumis kangkung dan tempe goreng. Mala sangat

rindu makanan ini, makanan yang dulu sering dimasak oleh

ibunya. Dari jendela yang berada di dapur dia melihat

beberapa orang anak sedang bermain petak umpet.

Page 144: Buku profil Al-Qolam

“Hai adik-adik...” sapa Mala dari balik jendela. Ketiga

anak yang berada di halaman belakang rumah Mala menoleh

serempak.

“Kalian sudah makan siang? Ayo sini makan sama

kakak. Kakak sedang memasak tumis kangkung dan tempe

goreng.”

“...”

Ketiga anak itu saling menatap satu sama lain. Tak

lama mereka perlahan berjalan mendekati jendela dapur

Mala.

“Kakak siapa?”

“Saya Mala, panggil saja Kak Mala. Ini Kakak baru

selesai masak dan bosan makan sendirian. Bagaimana kalau

kalian bertiga menemani Kakak makan?”

Ketiga anak itu menoleh ke arah meja makan. Aroma

tumis kangkung yang baru disajikan menusuk indra

penciuman mereka. Akhirnya mereka bertiga mengangguk

pertanda setuju. Mala menyunggingkan senyum senang.

***

Page 145: Buku profil Al-Qolam

Langit tiba-tiba mendung seolah mengerti situasi

yang terjadi siang ini. Mala baru saja pulang dari pasar. Saat

dia sampai di rumahnya, dia mendapati rumah peninggalan

ayah dan ibunya telah kacau-balau, tak beraturan. Pintu

rumah jebol, kaca-kaca pecah, dan dari luar tampak

perabotan rumah tangga yang hancur dan tercecer.

Mala masuk ke rumah dan memeriksa barang

pribadinya. Saat itu dia menyadari bahwa perhiasan

peninggalan ibunya dan beberapa barang berharga lenyap.

Apa yang terjadi? Tanya memenuhi pikiran. Air mata keluar

dari sudut matanya. Padahal hari ini Mala telah berjanji

untuk mengajak Roni, Asep, dan Ujang untuk makan siang di

rumahnya. Sejak bertemu dengan ketiga anak kecil itu, Mala

memutuskan untuk salat dan mengaji di rumah. Dia mencoba

menghindari fitnah dari warga. Dia juga berinisiatif untuk

mengajak Roni, Asep, dan Ujang mengaji bersama. Mala

merasa perlu untuk membagi sedikit ilmu yang pernah dia

pelajari ketika masih remaja. Namun sungguh malang, kini

Mala tidak bisa mengajak ketiga anak itu untuk mengaji

bersama lagi. Dia tidak punya pilihan lain selain pergi dari

desa itu.

Page 146: Buku profil Al-Qolam

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam. Eh, Neng Mala, ada apa ya?”

“Saya mau memberikan ini untuk Roni, Asep dan

Ujang. Tolong disampaikan kepada mereka bahwa saya tidak

bisa lagi mengajarkan iqra kepada mereka. Saya harus

kembali ke kota. Saya mohon pamit, Bu.” Mala menyerahkan

satu bungkusan berukuran sedang.

“Oh, iya nanti saya berikan bungkusan ini untuk

mereka. Terima kasih banyak Neng Mala sudah

menyempatkan diri mengajarkan anak-anak saya belajar iqra.

Saya kira Neng Mala akan menetap di sini. Hati-hati di jalan

ya, Neng. Semoga selamat sampai tujuan.”

“Iya terimakasih, Ibu. Saya juga senang sudah

mengenal ketiga anak Ibu yang saleh.”

Mala pamit dengan membawa sebuah koper besar.

Entah siapa yang membuat rumah peninggalan orang tuanya

hancur, namun Mala merasa dia harus mencari kota lain

sebagai tempat dirinya memperbaiki diri dan mengabdikan

diri untuk kebaikan umat, meski Mala tak tahu berapa

Page 147: Buku profil Al-Qolam

banyak kebaikan yang bisa dia perbuat. Mala pergi ke kota

lain untuk mencari makna hidup di bawah cinta-Nya.

***

Page 148: Buku profil Al-Qolam

Karya

Oleh Salma Nur Afifah

([email protected])

“Jahiiid… ih… kamu ngapain sih? Mbak… liat

adenya nakal!”

“Kenapa Ta, ribut pagi-pagi?”

“Coba liat… masa karya Nita diancurin sama ade.

Ih, sini kamu… nakal!”

“Eh eh eh… jangan dijewer adenya. Mana? karya

apa sih? Loh ngga tuh ini masih baik-baik aja karya

kamunya.”

“Ih, itu ada miringnya. Terus ada coretan ade

lagi, pake spidol.”

“Sedikit kok miringnya. Sini Mbak perbaiki. Tuh,

gampang kan udah gak miring lagi.”

“Coretan spidolnya?”

Page 149: Buku profil Al-Qolam

“Hm… ya udah… gimana kalo kita cat aja

sekalian semua. Gimana?”

“Wah… bener Mbak, bener. Asik… diwarnain

kapalnya.”

Lucunya punya adik banyak. Setiap hari ada saja

keramaian di rumah, seperti hari ini. Pagi-pagi ketika

semua masih santai belum beraktivitas sibuk, adikku

yang pertama mengadu karena si kecil. Kriya kapal-

kapalan dari stik es krim buatannya dirusak dengan tinta

spidol. Adikku yang perempuan ini—Nita, memang

kreatif sekali. Senang membuat kerajinan tangan,

sehingga ia jadi murid kesayangan Pak Ari—guru

keseniannya.

Sedangkan si bungsu—Jahid kecil yang sedang

lucu-lucunya, di usianya yang beranjak 3 tahun ia senang

sekali memainkan sesuatu. Mulai dari mainan mobilnya,

bedak Mama, sampai penggaris aku jadi incarannya,

bahkan hasil karya Nita tak ketinggalan. Tapi,

alhamdulillah… permasalahan tadi pagi terselesaikan

juga.

Page 150: Buku profil Al-Qolam

“Mbaak…

“Aduh… apa lagi ini? Batinku. ”Kenapa lagi

Ta?”

“Mbak mau ditato ga? Kalo mau, Nita yang

gambar ya. Mbak mau gambar apa? Kupu-kupu?”

“Mbak gak mau ditato ah. Ntar gak bisa sholat

Ta.”

“Loh kok ga bisa sholat? Ditato emang gak boleh

ya Mbak?”

Aku tersenyum tipis.

“Nita, Nita tadi marah ya sama Ade?” Dia

mengangguk cepat.

“Kenapa marahnya?”

“Iya lah Mbak! Itu karya Nita dirusak sama dia.

Itu kan udah dibentuk bagus-bagus… eh, malah dicorat-

coret.”

Page 151: Buku profil Al-Qolam

“Nah, Nita tahu? Tubuh ini, kulit ini, kan ada

penciptanya. Udah sempurna banget lo bentuknya.

Kalau dicorat-coret nanti yang Menciptakan marah

dong.”

“Ya… ngga dicorat-coret kok Mbak, malah dihias-

hias. Sedikit… aja.”

“Ya udah atuh, sini kapal-kapalan Nita Mbak

gambarin bunga, sedikit… aja.”

“Ih ga mau Mbak! Aneh atuh, masa di kapal ada

gambar bunga. Nanti jadi jelek.”

“Nah, sama kan? Kamu aja gak mau karya kamu

dirusak, apalagi Pencipta kita, Ta. Allah Swt. itu Al-

Mushawwir loh—Maha Memberi Bentuk. Lihat, kita

diberi bentuk sempurna gini. Alhamdulillaah kita punya

anggota tubuh lengkap, panca indera lengkap, masa

mau dirusak. Justru sebaliknya, patut kita syukuri.”

“Hehe… iya ya Mbak. Oke… Nita ngegambarnya

di buku gambar aja.”

Page 152: Buku profil Al-Qolam

Langit Cica

oleh Haifa Afifah Sholihah/ Haifa Muflih

([email protected])

Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya. Kami,

aku dan temanku menelusuri jalan setapak penuh

bebatuan, jarak dari tempat tinggal sementara kami

dan tempat anak-anak itu mengaji cukup jauh tapi

kami tak mengeluh, karena anak-anak itu akan tiba

sebelum kami sampai.

“Ibu...!” teriak salah satu dari mereka.

Begitulah anak-anak, tak sabar menanti kami

datang. Mereka sudah menyambut kami dalam

perjalanan. Sungguh mereka itu sedang kesepian

dan kami hanya bisa menemani sementara saja.

“Ibu, punten ieu cica teu masuk kelas. Nuju

hareeng.1” Cerita seorang ibu kepada kami seusai

pembelajaran di kelas usai. Ibu itu terlalu tua bila

aku menganggap ibu tersebut adalah ibu dari anak

di sampingnya.

Page 153: Buku profil Al-Qolam

“Iya Ibu enggak apa-apa.” Kata temanku

Nana. Ia tak bisa membalas dialog dengan bahasa

yang sama.

“Cica... Cepat sembuh ya, biar bisa ngaji lagi

sama Ibu.” Nana menundukan muka sampai sejajar

dengan anak itu, memberikan sebagian energi

positifnya untuk anak itu. Dia tersenyum.

Esok harinya, kegiatan yang kami jalani

seperti hari kemarin dan kemarin, kemarinnya lagi,

tidak ada yang berubah. Cukup membosankan.

Tapi setiap sore, ketika terik meredup

mengindahkan langit, anak-anak itu turut pula

bersuka cita mengindahkan hati untuk berbagi.

“Andai aku bisa disini selamanya, bersama teman-

temanku, bersama anak-anak itu” Gumamku. Aku

menatap langit, begitu luas, tak terbatas. Begitulah

anak-anak, hati mereka begitu luas dan bebas tak

ada beban, berbeda denganku. Teman-temanku

yang sudah tak pandai lagi bersyukur dan

memusingkan hal-hal yang tak pantas.

Page 154: Buku profil Al-Qolam

Aku berada di kelas besar, anak-anak yang

belum cukup besar. Kami lebih cepat

menyelesaikan pembelajaran dibandingkan anak-

anak di kelas kecil.

Sambil menunggu Nana, aku duduk di

bangku belakang kelas kecil, mataku menjelajahi

seluruh kelas, seakan mencari seseorang yang ingin

temui. Bingo! Anak itu duduk di bangku kedua

baris ke tiga. Anak yang sakit kemarin, meminta

maaf untuk ketidakhadirannya. Anak itu sudah

membebaskan dirinya lagi, tampak di wajahnya

yang hangat. Ya wajahnya hangat, dan sedikit

bercahaya dibandingkan anak-anak yang lain. Aku

merasa seperti itu, mungkin Nana punya pendapat

berbeda atau memang kurang memedulikan anak-

anak itu satu persatu. Dia cukup populer

dikalangan anak-anak, sehingga membuat dirinya

sedikit kacau.

***

Page 155: Buku profil Al-Qolam

Aku baru merasa, ketika aku jauh dari rumah dan

jauh dari orang-orang terdekat yang biasa menjadi

menumpu harapan hidup, perasaan ku meminta diri

untuk mengambil alih posisi, di mana biasanya aku

menjadi seseorang yang harus dimengerti, sekarang aku

harus mampu menjadi seseorang yang mengerti. I have

to be a real mam. Aku menjadi tumpuan teman-temanku.

Hari ini akan sedikit berbeda. Anak-anak kecil

sudah aktif masuk sekolah. Mereka tak akan

mengganggu jadwal harian kami di sini, di rumah

pengabdian. Tap.. tap.. tap.. hey, aku mendengar orang

berlarian.

“Ibu Nanaaa....” Anak-anak memanggil nama

salah satu dari kami.

“Na, ada anak-anak,” aku tak minta Nana untuk

menghampiri anak-anak itu, tapi Nana sudah memiliki

kesadaran penuh bila ada anak-anak datang ke rumah,

dia harus melayani mereka, apapun yang mereka minta.

Page 156: Buku profil Al-Qolam

Ketika anak-anak itu melihat Nana, berlarianlah

mereka masuk ke rumah. Nana menyiapkan karpet,

anak-anak ikut membantu membentangkannya.

“Ibu... liat, Cica geubis, getihan!2” anak kecil

lainnya.

Aku tak ingat dia siapa menunjukan telunjuknya ke

arah lutut yang mengalirkan darah segar. Aku terhentak!

“Na, cari di kotak P3K, barang kali ada antiseptik

dan plester yang bisa bantu menutupi lukannya. Aku

coba menghangatkan air untuk membersihkan lukanya.”

“Oh, Iya... Iya... Mana ya... Hemmm” Dia selalu

banyak bicara.

Air hangat siap, aku bawakan tisu juga, Nana pun

membawa apa yang dibutuhkan.

“Sini Cicanya. Ibu bersihkan ya. Tahan selama

satuhun. Ha!” aku hanya tersenyum mendengar

celotehannya. Anak-anak tak menghiraukannya. Mereka

terlalu panik dan nampak serius.

Page 157: Buku profil Al-Qolam

“Cica, mana ayahmu?” sambil mengelus-ngelus

luka dengan lembut, Nana memang tak bisa kalau tidak

bersuara.

“Ayahna Cica nikah lagi, teu teurang kamana,

ayeuna3” itu temannya yang menjawab. Cica hanya

diam saja. Anak itu membendung banyak masalah.

Awalnya mungkin hanya rasa sakit di lutut, tapi

sekarang mungkin bertambah, di bagian dalam tubuh

yang orang lain selalu salah mendeskripsikannya. (baca;

hati dan perasaan).

“Oh.. kenapa tidak menemui ibumu, trus bilang

‘Ibu aku jatuh’ gitu!” aku yakin, sebenarnya Nana sudah

kalap dengan jawaban yang sedikit mengecewakan

dirinya maupun Cica. Akhirnya Nana membuat

pertanyaan lain yang harapannya bisa melegakan.

“Ibunya pergi, teu teurang kamana tah?4” jawab

anak itu lagi, sekali lagi itu bukan Cica yang menjawab.

Nana tambah kacau, suasana semakin rumit.

Cica tampak lebih tenang. Lukanya sudah dibalut

antiseptik dan plester. Tapi, perasaannya kini berubah.

Page 158: Buku profil Al-Qolam

Aku tak bisa membayangan bagaimana gejolak

perasaannya kini. Tak ada sedikitpun kemiripan Cica

dengan seorang ibu yang mengantarkannya di tempo hari

itu.

Sungguh, dia telalu kecil untuk merasakan hal ini.

Langit masih saja luas dan memanjakan mata,

malangnya anak itu, tak seharusnya ia menerima beban

berat sedini ini. Ke mana orang tuanya. Ke mana masa

lapangnya. Ke mana masa depannya. Semua itu hilang

tanpa dipinta.

1 “Ibu, maaf ini cica tidak masuk kelas. Lagi

sakit”

2 “Ibu.. lihat, cica jatuh, berdarah”

3 “Ayahnya Cica nikah lagi, gak tau kemana,

sekarang”

4 “Ibunya pergi, gak tau kemana tah (logat orang

sunda)?”

Cintamu dalam Diammu

Page 159: Buku profil Al-Qolam

oleh Ika Nurjanah

Matahari bersinar terik memancarkan panasnya,

Mira berjalan menyusuri terminal bus yang ia tumpangi

untuk pulang ke kampung halamannya. Mira mencoba

menengok ke kiri dan kanan mencari ibunya. Tak lama,

pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya itu

duduk di deretan toko, Mira pun berlari menuju ibunya.

“Ibu!” panggil Mira

Ibunya pun lantas menoleh, terlihat senyumnya

begitu mengembang melihat anak yang dirindukan itu

akhirnya pulang.

“Nak, kamu kurus sekali,” ucap sang ibu saat

melepaskan pelukan

“Akh, Ibu tidak ada pertanyaan lainkah, selain

itu? Setiap Mira pulang ibu selalu saja berkata kalau

Mira kurusan.”

Ibu dan anak itu berbincang sambil berjalan

bergandengan keluar dari terminal bus, di sana terlihat

Page 160: Buku profil Al-Qolam

ayah Mira tengah menunggu Mira dan ibunya. Ayahnya

pun tersenyum seraya mengambil tas yang dibawa Mira

dan Ibunya. Mira mencium tangan ayahanya.

“Kamu sehat, Nak?” tanya ayah Mira

“Iya, Mira sehat Yah, Ayah sendiri?” jawab Mira

dengan senyum mengembang.

“Ya ayah sehat, ayo masuk, biar kita bisa

langsung berangkat.” ucap ayah Mira sembari

memasukkan barang-barang Mira ke mobil angkotnya.

Ayah Mira memang seorang sopir angkot, setiap hari

ayah Mira berkeliling menelusuri kota Bandung untuk

menafkahi keluarganya. Beruntung Mira mendapatkan

beasiswa untuk kuliahnya di Jogja sehingga dapat

mengurangi beban sang ayah, akan tetapi tetap saja ayah

Mira tak pernah lelah mencari uang. Meski Mira bisa

kuliah dengan uang beasiswa ayahnya selalu saja ingin

mengirimi Mira uang karena khawatir jika anaknya tidak

bisa makan.

Sepanjang perjalanan menuju pulang Mira

bercerita panjang lebar pada ibunya tentang apa saja

Page 161: Buku profil Al-Qolam

yang ia alami selama di Jogja. Ibu Mira pun dengan

serius mendengarkan anaknya bercerita, Mira bergitu

bersemangat menceritakan pengalammnya hingga

terkadang cerita itu pun diselingi dengan tawa renyah

mereka berdua. Sementara ayah Mira terus

berkonsentrasi menyetir mobilnya. Tak lama tibalah

mereka di rumah. Mira dan ibunya turun, sedangkan

sang ayah menurunkan barang-barang Mira dan ia pun

pamit untuk kembali menarik angkot.

“Pak, Mira kan baru pulang, jadi Bapak jangan

kerja dulu, Ibu akan masak nanti, kita makan sama-sama

ya Pak?” ucap ibu Mira

“Hari ini sangat cerah, sayang kalau Bapak hanya

duduk bersantai di rumah yang pentingkan Mira sudah

sampai. Ibu temani saja Mira bapak berangkat dulu.”

Jawab Ayahnya sembari berlalu bersama angkotnya.

“Bu kok ayah malah pergi kerja, apa dia gak

rindu sama Mira?”

“Tentu rindu Mir, tiap hari ayahmu gak pernah

berhenti memikirkanmu, bahkan ia sampai lupa waktu

Page 162: Buku profil Al-Qolam

karena semangatnya mencari uang buat kamu. Sementara

ibu, hanya di sini mendoakan kamu dan ayahmu agar

kalian selalu sehat dan sukses.”

“Tapi kenapa ayah selalu dingin sama Mira?”

“Akh itu perasaanmu saja, Nak. Ayahmu begitu

menyayangimu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana

mengungkapkannya.”

“Tapi ayah tidak perlu mengungkapkannya, toh

ibu juga tidak pernah mengungkapkan kalau ibu

menyayangi Mira, tapi setidaknya ibu selalu ada di sisi

Mira.”

“Nak, ayah itu orangnya memang seperti itu kaku

namun di balik kekakuannya, tersimpan rasa sayang

yang luar biasa terhadap keluarganya. Setiap ia pulang

menarik angkot, ia memberikan uang hasil menarik

angkotnya pada ibu. Ibu selalu bertanya apakah

penumpangnya sepi sampai-sampai uang yang diberikan

sangat sedikit, ayahmu hanya diam dan berlalu. Diam-

diam ibu mengikutinya, ayahmu masuk kekamarmu dan

menaruh uang di celenganmu, ibu hanya menatapnya

Page 163: Buku profil Al-Qolam

tanpa bertanya tapi ibu tahu itu semua ayahmu lakukan

sebagai bentuk kasih sayangnya. Nak, meski kadang kita

selalu berpikir yang kita butuhkan adalah kasih sayang

bukan materi tapi kita tidak pernah tahu bentuk

seseorang menyayangi kita seperti apa. Mungkin, yang

ayahmu bisa adalah menyisihkan uangnya untuk

bekalmu kelak. Kamu harus bisa menghargainya, itulah

bentuk kasih sayangnya.”

Mira kemudian pamit pada Ibunya. Ia pun masuk

ke kamarnya membuka lemari dan menemukan sebuah

celengan yang ia beli sebelum pergi kuliah ke Jogja.

Celengan itu akan di bawanya ke Jogja namun ia lupa

dan meninggalkannya begitu saja. Mira mengangkatnya,

karena terasa berat kemudian Mira pun memecahkannya.

Terlihat banyak sekali uang recehan, Mira tahu ini pasti

uang hasil ayahnya menarik angkot. Ia pun menghitung

jumlahnya sudah banyak mencapai Rp.2.000.000,-. Mira

bertanya untuk apakah uang ini. Mira kemudian berdiri

mencari plastik untuk mengantongi uangnya terlebih

dahulu sebelum akhirnya ia bertanya pada ayahnya.

Tiba-tiba ia menjatuhkan sebuah album dan di sana ia

Page 164: Buku profil Al-Qolam

temukan selipan kertas, Mira membacanya dan itu

adalah tulisan ayahnya:

Mira sedang apa kamu di sana, Nak? Ayah

rindu sekali, rindu melihat tawamu, Nak. Maafkan

ayah karena untuk menyekolahkan kamu saja ayah

tidak bisa sampai-sampai kamu harus bersusah

payah untuk mendapatkan beasiswa. Saat kamu

sudah berhasil, ayah bahkan tidak mampu untuk

mengantarkanmu ke Jogja mencarikan tempat

tinggal seperti orangtua lainnya. Ayah hanya

mengantarmu dengan angkot dan hanya sampai

terminal. Ayah melepaskanmu dengan hati yang

begitu sesak, Nak. Ayah khawatir terhadapmu

yang baru pertama kali jauh dari ayah, bahkan

ibumu tak mampu menahan sedihnya hingga ia pun

menangis. Namun, ayah berusaha sekuat tenaga

untuk bisa menahannya dan membawa ibumu

pulang ke rumah, yang terasa kosong setelah

Page 165: Buku profil Al-Qolam

kamu pergi. Mulai saat itu ayah bertekad untuk

bersemangat mencari uang. Ayah ingin berarti

buatmu. Ayah mengumpulkan uang ini untukmu,

Nak, untuk kamu bisa memakai toga, dan

menjadikanmu seorang dokter seperti cita-

citamu yang selalu kamu katakan saat kamu kecil

saat kamu selalu tertawa dalam pangkuan ayah.

Meski ayah sering ditertawakan oleh tetangga

atau bahkan teman-teman ayah sesama sopir

karena ayah bermimpi terlalu tinggi tapi ayah

yakin ayah bisa, Nak. Meski hanya sekedar

recehan yang mampu ayah kumpulkan, tapi

bersamaan dengan itu pula ayah kumpulkan

kekuatan ayah buat kamu. Ayah tidak mau kamu

dihina seperti Ayah. Ayah ingin kamu bahagia dan

lebih baik dari ayah dan ibu.

Air mata Mira pun menetes ia tak tahu bahwa

sedalam ini ayahnya mencintainya. Kemudian, ia

Page 166: Buku profil Al-Qolam

membuka album foto yang berada dalam genggamannya.

Mira melihat betapa ayahnya dengan riang

menggendongnya dan mengajarkannya berjalan.

Terlintas bayangan bagaimana saat itu ayahnya sangat

bersemangat mengantarnnya masuk sekolah dasar

dengan kayuhan sepeda. Di sepanjang perjalanan, ia

tertawa riang bersama Ayahnya. Mira tersadar saat

samar-samar suara mobil angkot ayahnya tiba, ia pun

keluar dari kamarnya.

“Mira mana, Bu?” tanya ayahnya

“Di dalam, bawa apa, Pak?”

“Ini ayam goreng kasihan Mira pasti makannya

tempe tahu aja.” Sambil memberikan kantong plastik

yang berisikan ayam goreng.

“Iya tadi juga kita makan sama tempe, ikan peda,

dan sambal terasi tapi dia lahap kok Pak makannya.”

“Iya, dia makan lahap karena dia capek terus

lapar. Mira itu kan calon dokter makanannya juga harus

Page 167: Buku profil Al-Qolam

bergizi biar dia sehat dan pintar. Ini uang buat besok

belanja, ibu beli sayuran dan ikan yang enak buat dia.”

“Iya.” jawab ibu Mira sembari membuka kantong

pelastik “kok ayamnya satu, Pak?”

“Hari ini angkotnya lagi sepi Bu, jadi Bapak beli

satu, biar kita makan sama kerupuk dan sambal saja tapi

jangan di depan Mira, biar dia bisa menikmati sendiri

makanannya kalau dia tanya bilang saja kita sudah

makan sama ayam juga.”

Mira yang mendengar di balik dinding pun

menangis betapa pengorbanan itu begitu besar betapa

cinta itu teramat dalam, meski tak terungkap dengan

kata. Meski cinta itu dalam diam namun ia begitu

merasakan kasih sayang sosok ayah yang dianggapnya

dingin dan hanya mementingkan kesibukan pekerjaanya.

Ia justru tengah membuktikan cintanya dengan setiap

peluh keringat yang ia keluarkan untuknya dan sosok

wanita yang lemah lembut itu pun tengah membuktikan

cinta kasih yang tiada terputus serta doa yang selalu

Page 168: Buku profil Al-Qolam

mengiringi langkahnya. Mira pun terisak tak mampu lagi

berbicara ia berlari memeluk orangtuanya.

Beginilah cinta tumpah dengan airmata ketulusan

bukan dengan kata-kata rayuan atau sanjungan, dan

beginilah cinta sejati orangtua, takkan terputus dan

takkan berubah sepanjang masa. Mira kemudian berjanji

akan memberikan yang terbaik untuk kedua

orangtuanya. Ia akan mewujudkan mimpinya, meski jasa

dan peluh pengorbanan orangtuanya itu tak akan pernah

terbayarkan. Mira hanya ingin selalu menatap

orangtuanya tersenyum bahagia.

***

Page 169: Buku profil Al-Qolam

Ilmu dalam Pesan Ibunda

Oleh: Dini Siti Rufaidah

([email protected])

Minggu ini adalah pekan ulangan tengah semester

bagi siswa SMP Al-Hidayah. Sebagian besar siswa

sangat rajin belajar untuk meraih nilai terbaik di

kelasnya. Tapi, keadaan serupa tak nampak pada seorang

siswi bernama Rita. Ia tampak santai. Tak ada rasa

cemas ataupun takut jika nanti mendapat nilai buruk

dalam hasil ulangannya. Esok adalah hari ketiga UTS

dan pelajaran yang diujikan adalah pelajaran

matematika. Pelajaran yang dianggap cukup sulit dan

menakutkan bagi kebanyakan siswa. Tak heran, banyak

siswa yang pulang terlambat karena belajar bersama

teman-temannya.

Siang itu Rita langsung pulang ke rumah dengan

keadaan lelah.

“Assalamualaikum, Bu!” ujar Rita yang langsung

duduk di kursi depan.

Page 170: Buku profil Al-Qolam

“Waalaikumussalam,… bagaimana tadi di

sekolah, Nak?” Kata ibu.

“Rita lelah sekali, Bu… setelah ulangan langsung

latihan voli sama teman-teman”, jawab Rita.

“Ulangannya bagaimana?” Tanya ibu.

“Ya… begitulah, Bu. Seperti biasa saja”,

jawabnya.

“Mudah-mudahan nilaimu bagus, Nak. Kalau

tidak salah besok ulangan matematika ya?” Tanya ibu.

“Iya, Bu.” Ujarnya.

“Kalau begitu, istirahatlah dulu. Nanti, siap-siap

belajar.” Kata ibu.

Rita pun segera mengganti pakaiannya dan

beristirahat.

Sore harinya, ia sudah kembali bugar. Ibu duduk di

sampingnya dan berkata.

“Nak, minggu lalu kamu tidak hadir saat pelajaran

matematika. Coba pinjam buku ke temanmu untuk

belajar supaya kamu tidak ketinggalan pelajaran”.

“Tidak usahlah, Bu. Pasti pelajarannya hanya

mengulang yang sebelumnya,” jawab Rita.

Page 171: Buku profil Al-Qolam

“Ya sudah… kamu pelajari dengan benar, ya!

Ingat, hasil yang baik itu akan diraih oleh usaha yang

sungguh-sungguh.” Ucap ibu dengan lembut, kemudian

melangkahkan kaki ke dapur.

“Iya, Bu.” Jawab Rita.

“Kalau aku tidak bisa mengerjaan soal nanti, aku

tinggal tanyakan saja ke Sani. Dia kan jago matematika.

Aku akan duduk di sebelahnya”. Ujarnya dalam hati.

Keesokan harinya, Rita datang lebih pagi. Ia

menunggu Sani. Namun ternyata Sani tidak hadir karena

sakit. Rita mulai cemas. Tak lama kemudian, ulangan

pun dimulai. Rita semakin gelisah karena soal ujiannya

banyak yang belum ia mengerti dan ternyata soal itu

yang minggu lalu dipelajari.

“Aduh... bagaimana ini? Nilaiku bisa hancur!”

Ucap Rita dalam hati.

Wajahnya yang bingung dipenuhi keringat yang

terus menetes. Rasa penyesalannya amat besar. Matanya

hampir berkaca-kaca. Hingga waktu untuk mengerjakan

soal pun habis, ia belum tuntas mengisi semua soal.

Akhirnya, ia memilih jawaban dengan asal-asalan

berdasarkan hasil hitung kancing kemejanya.

Page 172: Buku profil Al-Qolam

Ia bergegas pulang dengan rasa penyesalannya.

Setibanya di rumah, ia langsung menghampiri ibu dan

memeluknya.

“Ibu… maafkan Rita. Nilai Rita pasti buruk

karena tidak melaksanakan nasihat ibu. Rita terlalu

menyepelekan ilmu.” Ucap Rita sambil menangis.

Ibupun tersenyum dan segera mengusap air mata Rita.

“Syukurlah… kalu kamu sudah mengerti. Tidak

baik menyepelekan ilmu. Ilmu adalah hal yang penting

dalam hidup kita dan bukan untuk diabaikan”. Ujar ibu

dengan lembut.

“Ilmu bagaikan tongkat yang kamu bawa ketika di

gunung. Ia akan membantumu menentukan jalan mana

yang berlubang dan yang aman, menjadi tumpuanmu

ketika lelah bahkan menjadi penguat untuk bangkit

ketika kamu terjatuh. Tak ada kerugian jika kamu

bersama ilmu, malah yang ada yaitu kesyukuran. Contoh

kecil tadi sudah membuktikan bahwa manusia akan

senantiasa membutuhkan ilmu dan untuk

mendapatkannya kita tidak bisa hanya berleha-leha. Di

dalamnya harus ada ikhtiar, dan ingat… ilmu itu akan

lebih bermanfaat ketika orang yang memiliki ilmu

Page 173: Buku profil Al-Qolam

tersebut juga memiliki hati yang mulia. Dengan

demikian, Sang Pemilik Ilmu akan memudahkanmu.

Allah akan selalu menuntunmu,” kata ibu dengan bijak.

Senyumpun tergambar di wajah ibu melihat

putrinya kini sudah mulai mengerti makna ilmu bagi

seorang manusia.

***

Page 174: Buku profil Al-Qolam

Siapa Kamu

oleh Lintang Dwi Salamah a.ka Afiyah

([email protected])

“Mami gue tuh bawel banget, sih.” Ucapku

sambil menghempaskan tubuh ke atas sofa di studio.

Riani yang sejak tadi duduk di sana menungguku tampak

sedikit terkejut. Aku mematikan ponselku yang beberapa

kali berdering, tertera nomor mami di layarnya.

“Kenapa mami loe? Ngomong apa lagi beliau?”

tanya Riani sambil merapihkan barang-barangku dan

memasukkannya ke dalam tas besar di samping sofa.

“Kayak biasa Ni, mami gue nyuruh gue berhijab,

nanya kapan gue berhijab, maksa gue segera berhijab,

pokoknya ngomongnya serba hijab, deh.” Di benakku

terbayang wajah mami yang setiap hari menyuruhku

berhijab. Riani hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia

sendiri sudah mulai berhijab sejak keluar SMA, berbeda

denganku yang mengabaikan hal itu.

Page 175: Buku profil Al-Qolam

“Kenapa loe enggak menuruti kata beliau saja?

Berhijab itu bagus, lho.”

“Ni, mending gue hijabin hati dulu deh, banyak

kan, wanita yang berhijab perilakunya malah lebih buruk

dari yang tidak berhijab, enggak mau, ah, gue kayak

begitu,”

Riani menghela nafas. Aku malah memasang

wajah serius, teguh memegang prinsipku untuk menunda

berhijab karena ingin memperbaiki sikap dahulu.

Apalagi pekerjaanku sebagai seorang aktris membuatku

khawatir. Jika aku berhijab, tawaran pekerjaan yang

datang semakin sedikit. Maklum, jarang ada film atau

sinetron stripping yang memakai aktris yang berhijab,

kecuali untuk film-film religi. Lain dengan Riani, dia

sebagai manajerku, tidak akan membebaninya jika ia

berhijab. Apalagi kalau nantinya aku berhijab, lalu

melepasnya lagi, pasti jadi pembicaraan media.

Pokoknya, di pikiranku berhijab itu menyusahkan.

“Coba dulu Key, kalau sudah berhijab pasti kita

akan terbiasa menjaga hati dan perilaku kita juga, kok.”

Page 176: Buku profil Al-Qolam

Riani memandangku dengan tatapan meyakinkan. Inilah

yang tidak aku suka. Mami dan Riani itu modelnya

sama.

“Nanti, lah, gue pikir-pikir lagi, belum siap gue.”

Ucapku ketus dan segera beranjak meninggalkan Riani

yang dengan segera mengucapkan selamat tinggal

dengan para kru film.

Innova putih milikku mulai berjalan

meninggalkan studio sebuah stasiun televisi. Aku duduk

di bangku belakang pengemudi sambil memasang wajah

kesal. Riani yang duduk di sebelah supirku sesekali

memerhatikanku dari kaca depan.

Hari ini benar-benar melelahkan. Aku merasa

perutku jadi lapar gara-gara kelelahan. Aku menatap

keluar jendela. Kayaknya enak kalau mampir ke restoran

lebih dahulu. Di tepi jalan berjajar banyak restoran.

Sebuah restoran menarik minatku, sepertinya makanan

di sana enak. Aku segera menyuruh supirku

menghentikan mobil di depan restoran itu dan meminta

Page 177: Buku profil Al-Qolam

supirku dan Riani menunggu di dalam mobil selama aku

membeli makanan di restoran tersebut.

“Tunggu gue sebentar ya, gue mau beli buat take

away, kok.” Ucapku sambil turun dari mobil. Riani

memesan makanan untuknya dan mengucapkan hati-hati

sebelum aku pergi.

Aku memasuki restoran bernama “Beef and Steak

Western Resto” itu. Di dalamnya beberapa pelanggan

tengah menikmati makanannya. Para pramusaji

mendatangi meja mereka satu persatu untuk mencatat

pesanan mereka.

Aku duduk di sebuah kursi yang sengaja

disediakan untuk pemesanan take away. Seorang

pramusaji menghampiriku sambil membawa sebuah

buku kecil untuk mencatat pesanan dan sebuah buku

menu.

“Mau pesan apa, Mbak?” tanya pramusaji

tersebut setelah memberikan buku menu kepadaku.

Page 178: Buku profil Al-Qolam

Aku menunjuk beberapa menu. Pramusaji

tersebut segera mencatatnya lalu mengulangi pesananku

sebelum pergi.

Beberapa orang masuk dan keluar dari restoran

tersebut selagi aku menunggu. Gaya barat yang menjadi

setting tempat restoran tersebut terasa sangat kental

sekali, membuat para pelanggan merasa nyaman di

tempat itu.

Setelah sepuluh menit berlalu, pramusaji yang

tadi datang padaku kembali sambil membawa beberapa

bungkus plastik berisi pesananku.

“Oh ya Mbak, di sini sedang ada promosi menu

baru, bagaimana jika Mbak mencobanya dulu sebelum

pergi.” Ucapnya sambil menyerahkan bill kepadaku.

Pramusaji lain datang mengampiri kami sambil

membawa sepiring makanan, sepertinya itu menu yang

dimaksud.

“Ini Mbak, menunya, silahkan dicoba.”

Page 179: Buku profil Al-Qolam

Aku memperhatikan makanan itu seksama.

Terlihat seperti steak daging sapi, tapi kenapa persaanku

tidak enak.

“Nama menunya apa, Mas?”

“Pork steak pepper, Mbak.”

Seketika aku terkejut mendengar ucapan

pramusaji tersebut. Untung saja aku belum memakannya.

Aku benar-benar merasa kesal kepada pramusaji itu.

“Maaf ya Mas, saya tidak makan daging babi! Itu

haram di agama saya! Untung saja, saya belum

memakannya, coba kalau sudah, mas mau nanggung

dosa saya?!”

Ucapku kepada pramusaji itu dengan emosi meluap-

luap.

“Maaf-maaf Mbak, saya kira Mbak bukan

muslim, maaf ya, Mbak”

Jantungku berdegup tiba-tiba saat mendengar

alasan pramusaji tersebut. Ada rasa kesal sekaligus

Page 180: Buku profil Al-Qolam

bersalah dan berdosa dalam waktu bersamaan. Ya Allah,

apa aku benar-benar tak terlihat seperti hambaMu?

“Ya Mas, tidak apa-apa, lain kali harus tahu dulu

agama pelanggan kalau mau menawarkan menu ya Mas”

“Iya Mbak, sekali lagi maaf, terimakasih sudah

mengunjungi restoran kami.” Ucap kedua pramusaji

sambil membungkukkan badan, sedangkan aku pergi

keluar restoran itu dengan terburu-buru. Jantungku

masih berdegup kencang. Seperti orang yang hampir

melakukan dosa besar.

Sesampainya di mobil, aku tidak mengatakan

apapun pada Riani. Aku hanya terdiam dan memakan

makananku tanpa banyak bicara. Sekilas aku melihat

Riani tengah memperhatikanku dengan heran, seakan

tahu ada sesuatu yang terjadi saat aku di dalam restoran.

Sesampainya di rumah, aku segera turun dari

mobil dan masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru.

Ingin segera rasanya membasuh wajahku dengan air

wudhu. Usai berwudhu, aku mengambil mukena dan

melaksanakan salat ashar. Dalam salat, aku terus

Page 181: Buku profil Al-Qolam

menerus berpikir tentang kejadian tadi. Ya, Allah,

kenapa aku tidak terlihat seperti hamba-Mu, apa aku ini

memiliki banyak dosa dan kesalahan pada-Mu?

Tetes demi tetes air mataku mulai mengalir

selama aku mengerjakan salat. Akalku terus berpikir hal

apa yang menyebabkanku tak terlihat sebagai seorang

muslim. Tiba-tiba ucapan mami tentang hijab terngiang

di telingaku. Air mataku semakin mengalir deras, hingga

aku mengucapkan salam, air mataku belum juga berhenti

mengalir.

Tiba-tiba aku merasa ada yang mengusap

pundakku. Aku menoleh dan menemukan Riani yang

tengah menatapku heran.

“Kenapa, loe, Key? Kok nangis?”

Seketika aku memeluk Riani. Sambil menangis

tersedu-sedu, aku menceritakan semua yang terjadi di

restoran tadi. Riani mengusap-usap punggungku sambil

menenangkanku.

Page 182: Buku profil Al-Qolam

“Gue harus gimana, Ni? Aku mau terlihat seperti

seorang muslim,” keluhku pada Riani.

“Keyla, satu-satunya solusi, loe harus berhijab,

turutin kata-kata mami loe, patuhi perintah Allah, Key.

Hijab itu bukan cuma menutup diri loe, tapi juga akan

memperindah diri loe, apalagi hijab itu bukan sekedar

pakaian Key, tapi juga identitas loe sebagai seorang

muslim, mau kan, loe mulai berhijab?”

Tangisku tak mereda, malah semakin deras

mengalir. Kusadari semua kesalahanku dan pikiran

dangkalku tentang hijab. Aku mengangguk perlahan,

menyetujui semua perkataan Riani. Aku mau berubah,

Ya Allah. Aku ingin terlihat bahwa aku adalah hamba-

Mu.

Esoknya, Riani membelikanku beberapa helai

kerudung dan baju gamis. Hadiah katanya. Aku mencoba

memakainya dengan senyum merekah. Semua dugaan

dan pikiranku tentang hijab salah. Nyatanya aku merasa

lebih cantik dan percaya diri dengan berhijab. Riani

memuji penampilanku berkali-kali.

Page 183: Buku profil Al-Qolam

Awalnya publik terkejut mendengar bahwa Keyla

Ariastiya Fitri mulai berhijab. Berita tentang diriku yang

berhijab pun disiarkan di infotainment-infotainment. Aku

kira tawaran kerja yang datang kepadaku juga akan

berkurang seperti dugaanku, tapi ternyata malah

sebaliknya. Beberapa produsen baju muslimah

menawariku sebagai modelnya, sutradara film religi

layar lebar juga menawariku peran utama, bagitu juga

sutradara-sutradara sinetron religi, produsen iklan

produk-produk halal juga ikut menawariku menjadi

model iklannya. Subhanallah, aku benar-benar merasa

menjadi diriku yang sebenarnya. Menjadi hamba Allah.

Setelah setahun berhijab, kini aku merasakan

betapa menyesalnya diriku dahulu. Kini aku merasakan

indahnya berhijab. Menemukan jati diriku.

“Siapa kamu?” ucap seseorang dalam sebuah

take iklan baju muslimah.

“Aku seorang muslimah.” Aku menatap kamera dengan

senyum merekah sambil menyentuh kain jilbab merah

mudaku.

Page 184: Buku profil Al-Qolam

Sandiwara Kelabu

oleh Muhammad Abdullah

“Hai, bagaimana kabarmu? Akhirnya kita

bertemu heh.” Pria berjaket bulu coklat itu menyapa pria

berjaket kulit panjang di sebelahnya dengan kaku.

Kikuk. Seperti seorang pria yang ingin melamar anak

singa. Selanjutnya, hanya hening. Hanya ada desir angin

musim dingin yang sungguh sudah kelewat batas. Tokyo

kini menjelma menjadi kota putih. Putih yang menusuk.

“Kenapa sejak pernikahanku kau menghilang,

Ahlam?” pria berjaket bulu coklat itu kembali bertanya.

Kini nadanya sedikit lebih santai. Namun, pria berjaket

kulit hitam panjang di sampingnya masih mematung.

Memandangi lautan manusia yang sibuk memerangi

musim dingin dari atas jembatan layang tempat mereka

kini berdiri.

“Kau tahu Faris, pertanyaanmu adalah retoris

yang menusuk. Kau sendiri sudah tahu alasannya,

bukan?” jawab pria berjaket kulit hitam dengan penuh

Page 185: Buku profil Al-Qolam

sinis. Campuran antara marah dan kecewa. Drama cinta

memang tak selalu saja indah.

***

Beberapa tahun yang lalu, Ahlam dan Faris

dipertemukan dalam satu pesantren kecil di kampung.

Ketika itu umur mereka 10 tahun. Faris yang anak orang

kaya kurang terbiasa dengan segala kesederhanaan yang

ditawarkan pesantren untuk para tholibul ilmi-nya. Faris

tak pernah mau makan makanan yang dimasak

pesantren, di kelas Faris hanya terdiam dan sibuk

menggambar ketika ustadz sedang menjelaskan. Dan

pada malam harinya, Faris tak pernah tidur. Dia terus

saja menangisi perutnya yang lapar karena tak pernah

terisi makanan. Bagaimana tidak?, dia tak pernah mau

makan makanan pesantren, barang sesuap pun.

Ahlam, yang kebetulan satu asrama dengan Faris.

Demi mendengar rengekan dan tangisan Faris langsung

sigap bangun dan mendekati ranjang Faris. Duduklah

Ahlam di samping Faris sambil mencoba menghiburnya.

Page 186: Buku profil Al-Qolam

“Hai, anak orang kaya. Siapa namamu?” tanya

Ahlam polos sambil terus memandangi Faris yang masih

sibuk dengan tangisnya.

“Apa kau lapar?” demi mendengar pertanyaan

itu, Faris mengangguk sambil terus menangis.

Sebenarnya mudah saja menebak penyebab munculnya

tangis di wajah Faris. Lihatlah, sejak tadi dia terus

memegangi perut mungilnya.

“Ayo ikut aku!” ajak Ahlam setengah berbisik.

Dua anak mungil itupun menyeret langkah mereka

pelan-pelan keluar asrama. Kemudian dengan sigap

Ahlam membantu Faris menaiki tangga menuju atap

asrama. Ya, di sinilah akhir tujuan mereka berdua. Atap

asrama. Apa yang mereka lakukan di sini? Mudah saja.

Pertama Ahlam akan menurunkan ember yang diikat

dengan katrol ke arah abang-abang nasi goreng yang

persis berada di balik pagar asrama. Jadi, atap adalah

satu-satunya jalan untuk bertransaksi dengan penjual

nasi goreng tersebut. Tak beberapa lama, penjual nasi

goreng tersebut pun menaruh sebungkus nasi goreng di

Page 187: Buku profil Al-Qolam

ember yg terikat katrol dan Ahlam dengan sigap

menariknya ke atas.

“Ini, makanlah anak orang kaya.” Ucap Ahlam

sambil menyerahkan sebungkus nasi goreng. Tanpa

diperintah, dengan gesit nasi goreng itu dilahap habis

oleh Faris. Rupanya anak ini benar-benar sangat

kelaparan.

Dari atap asrama itulah, Ahlam dan Faris

menjalin persahabatan. Tak ada waktu yang mereka

habiskan kecuali berdua. Dan persahabatan itu

berlangsung hingga masuk ke jenjang kuliah. Mereka

pun mengambil jurusan yang sama di universitas

ternama di Depok. Waktu terus bergulir bagai batu yang

dilepas dari Gunung Himalaya. Batu itu akan terus

melesat, hingga dia berhenti, kembali ke titik akhir.

Tanah. Kini, dua bersahabat itu menginjak semester

akhir. Berkat kerja keras mereka berdua, sidang skripsi

mereka lancar. Tinggal menunggu waktu wisuda saja.

Bagi seorang mahasiswa, masa ini adalah waktu yang

tepat untuk mencari kerja atau seorang pendamping

sehidup semati.

Page 188: Buku profil Al-Qolam

“Kau yakin ingin melamarnya, Lam?”

mendengar pertanyaan Faris, Ahlam hanya termenung

sambil menatap kosong rembulan dari jendela kamar

kosnya.

“Kau yakin ingin menikah muda? Kau yakin

pekerjaanmu sebagai guru privat dan pengajar tetap di

TPA itu bisa mencukupi kebuthannya kelak? Apa kamu

yakin wanita yang kau pilih ini sudah baik agamanya,

nasab, jamal, dan maal-nya?” Ahlam tetap terdiam.

“Entahlah, Ris. Aku hanya yakin bahwa dengan

menikah Allah akan melimpahkan rizki kepada hamba-

Nya. Bukankah indah hidup susah sederhana di samping

seorang istri tercinta? Kadang untuk bahagia itu tak perlu

kaya, Ris. Aku juga yakin, wanita itu juga sholihah.”

Faris terdiam, kemudian dia tersenyum tipis sambil

mengacak rambut sahabatnya yang sedang dirundu cinta

itu.

“Besok kamu temani aku ya?”

“Melamar dia maksudmu?” Faris yang ditanya

malah kembali bertanya. Demi mendengar itu muka

Page 189: Buku profil Al-Qolam

Ahlam sempurna merah. Semerah udang rebus. Faris

yang semakin tak tahan melihat tingkah kasmaran

sahabatnya yang menggelikan itu semakin tertawa

terbahak sambil menimpuk sahabatnya itu dengan

bantal. Yang ditimpuk tak terima dan terjadilah perang

dunia bantal kesekian di kamar kos itu. Malam harinya,

Ahlam benar-benar tak kuasa memejamkan matanya.

Pikirannya melayang. Tak berhenti dia panjatkan doa

dan mendirikan sholat agar Sang Ilahi mencerahkan

jalan baginya besok. Saat lamaran.

Pagi telah datang, merayakan cahaya matahari

yang berhasil memenangkan peperangan dengan langit

hitam malam. Saat yang mendebarkan dalam hidup

Ahlam pun tiba. Lihatlah, kini pria berambut keriting

dan berkulit hitam itu sudah terlihat tampan dengan

setelan jas yang dipinjamkan Faris kepadanya.

Sesampainya di rumah wanita yang akan dilamar

tersebut. Dunia seakan menyempit dan menjelma

menjadi biji sawi bagi Ahlam. Lihatlah, tubuhnya

diguyur oleh keringat dingin. Wajahnya pucat. Bila tidak

sedang lamaran dan sedang berhadapan dengan wali

Page 190: Buku profil Al-Qolam

yang akan dilamar, mungkin sejak tadi Faris akan

menimpuk sahabat terbaiknya itu dengan tas yang

dibawanya sambil tertawa keras. Tapi apa daya, kini

Faris pun ikut-ikutan tegang. Bahkan lebih tegang.

Seperti ada sesuatu yang disembunyikan Faris rapat-

rapat dari sahabat terbaiknya, Ahlam.

“Jadi, apa tujuan adek-adek bertandang ke rumah

bapak?” tanya bapak dari calon yang akan dilamar. Demi

mendengar itu jantung Ahlam berdetak semakin

kencang. Keringatnya semakin deras mengalir, wajahnya

kini benar-benar menyerupai zombie. Pucat.

“Sa, saya, saya ingin...ingin melamar anak bapak.

Aqilah.” Demi mendengar itu Faris langsung

mengalihkan pandangan ke arah lukisan di dinding,

ayah Aqilah memejamkan mata. Sesekali dia mengelus

jenggotnya yang panjang itu. Seulas senyum tersembul

di paras tuanya. Menyenangkan sekali melihat bentukan

senyum dari orang tua itu.

“Anakku, cinta memang mendorong kita untuk

memiliki orang yang kita cintai. Dan sebaik-baik cara

Page 191: Buku profil Al-Qolam

untuk memiliki cinta yang kita cintai adalah seperti yang

anakku lakukan saat ini. Yaitu melamar. Tanpa pacaran.

Tapi, agama juga telah membuat aturan tentang cinta

anakku. Bahwa tidak boleh kita melamar seseorang yang

sudah dilamar oleh orang lain. Anakku, Aqilah Shaffiyah

Abada sudah dilamar oleh orang lain. Yaitu sahabat

anakku sendiri, Faris Ahmadi Fadhla, dan putriku telah

menerimanya.” Faris langsung memeluk Ahlam erat.

Yang dipeluk hanya bisa merunduk menangis. Langit

seperti sudah runtuh. Lautan sudah melahap habis semua

benua. Hancur. Kiamat. Itulah apa yang ada dalam

balikan dada seorang Ahlam saat itu. Air matanya

mengalir deras, lebih deras dari keringat dinginnya tadi.

“Kenapa kau tak bilang dari awal bahwa kau

sudah melamarnya, heh? Tega sekali kau melakukan ini

padaku, Faris. Kau seolah-olah mendukungku. Rapi

sekali sandiwaramu. Apa maksudmu melakukan ini

semua kepadaku?” hujan di luar menggelegar. Kini

kamar kos itu tak lagi menjadi saksi ketengilan mereka.

Mala sebaliknya. Faris hanya bisa menangis, meminta

maaf.

Page 192: Buku profil Al-Qolam

“Kau tahu, Ahlam? aku sungguh tak tega

mengatakannya padamu. Aku tahu betul kau sangat

mencintai Aqilah, kau tak pernah berhenti

menceritakannya padaku. Tak sampai hati aku

mengatakan bahwa aku sudah melamarnya. Ayahku

yang mengantarkanku saat itu ke rumah Aqilah.

Sungguh aku tak tahu gadis yang kulamar saat itulah

yang kau ceritakan. Aku tak tahu.” Hening. Hanya

tangis.

Esok datang, tak ada yang bisa menjamin bahwa

waktu bisa menyembuhkan luka cinta, Bukan? Sejak

pernikahan Faris dan Aqilah, Ahlam menghilang. Tak

pamit. Hanya meninggalkan secarik kertas yang

bertuliskan “Aku pergi”. Tak ada yang tahu ke mana

Ahlam pergi. Tidak teman-temannya, tidak juga

keluarganya.

***

“Kau masih mengingatnya, Bukan? Seluruh

cerita cinta menyedihkanku itu?” pria berjaket bulu

coklat itu hanya termenung. Mengangguk.

Page 193: Buku profil Al-Qolam

“Ahlam, maafkan aku.”

“Sudahlah, Faris. Aku sudah memaafkanmu.

Meski kini luka itu belum juga sembuh.” Hening. Hanya

ada angin musim dingin Tokyo yang menusuk. Kawan,

cerita cinta ini telah berakhir.

***

Page 194: Buku profil Al-Qolam

Putri Anggrek

Oleh Melinda Gultom

“Gila, gerah bangettt!” jerit Nuki sambil ngelepas

jilbabnya. Gak biasanya gadis cantik mirip Sara Bareilles

yang nyanyi Brave itu mengenakan jilbab ke kampus.

Kalo bukan karena tadi ada matkul PAI, dia paling males

banget ngeribetin diri ngampus dengan jilbab.

“Wah, Mbak...kenapa kok buru-buru dilepas gitu.

Padahal kan Isa masih pengen liat Mbak yang cantik ini

pake jilbab lebih lama. Tampak lebih cantik lo, mbak”

Puji Isa tulus. Anak kosan yang baru aja pindahan ini

emang satu-satnya jilbaber di kosan tersebut. Empat dari

lima wanita penghuni lainnya, ada yang berjilbab tapi

masih biasa. Ada juga yang belum sama sekali. Salah

satunya Nuki Anastasia tadi. Gadis berdarah Indo-

Jerman ini emang nganggep jilbab itu “Aksesoris” yang

bikin ribet. Setiap kali ada mata kuliah PAI pun dia

cuma pake sekenanya saja. Bikin hati Isa meringis pilu.

Page 195: Buku profil Al-Qolam

“Iya lo Nik, benar kata Isa, kamu cantik pake

banget deh kalo pake kerudung.” Sambung Kokom.

Mahasiswi Pendidikan Akutansi yang demen banget

makan cokelat ama ngemil itu. Efek ngemilnya udah

keliatan banget kok dari bentuk tubuhnya yang sangat

berisi. Hehe.

“Hemmm. Kalian mencoba memprovokasi aku,

kan? Ya, kan? Hayo ngaku!” Nuki curiga. Soalnya

bukan sekali dua kali lontaran itu ia denger. Rasanya

telinga dia udah kebal sama kata-kata yang diucapin Isa

sama Kokom dan tahu bahwa pasti ada udang di balik

kayu eh batu maksudnya. Pasti ujung-ujungnya nyuruh

dia pake jilbab. Nuki ngedengus kesel sedikit.

“Aku dapet apa toh Mbak kalo emang iya

memprovokasi dengan ucapanku ini. Keliatan lebih rapi

aja gitu lo Mbak. Soalnya rambutnya dikandangin.

Hehe.” Isa coba masuk sedikit demi sedikit ke hati Nuki.

“Masuk gak ya?” Isa berbicara dengan hatinya sendiri.

“Emang bener si pujian tadi ada udang-udangannya

dikit, Mbake. Tapi emang beneran cantik kok. Hihi.” Isa

sibuk sendiri berdialog dengan pikirannya.

Page 196: Buku profil Al-Qolam

“Ahhh. Dasar ya kalian. Aku dah kebal toh ama

celotehan kalian yang begituan.” Padahal ada sih yang

ngejendol di hati Nuki atas ucapan Isa tadi. Apalagi

tentang rambutnya itu. Aduh. “Ada benernya juga ya.

Rambut gue mending dikandangin. Enak. Gue berasa

aman. Dan. Nyaman. Tau ah gelap. Lupain” Nuki

ngebatin kayak Isa.

“Wah, Nik, kamu udah ketularan logat Jowonya

Isa tuh. Haha.” Lagi-lagi, Kokom Komariah

Nurmalasari binti Abah Dedi Surdedi itu ngeledek Nuki

sambil ngebenerin tempat duduknya. Rasanya dari tadi

kagak diem-diem itu anak nonton dramanya. Dah berapa

kali dia obah gaya duduknya. Dari mulai duduk emok,

tengkurep, topang dagu, ampe tiduran dia cobain. Cuman

gaya telentang aja yang belom dicobain kayaknya. Eh.

Emang bisa? He. Itu efek kekenyangan nampaknya. Gak

enak ngapa-ngapain. Hehe.

“Baru beberapa hari dirimu di sini tapi aku sudah

tertular beragam hal darimu, cantik.” Ledek Nuki sambil

tersenyum genit ke Isa.

Page 197: Buku profil Al-Qolam

Emang sih, Isa baru semingguan gabung di kosan

dengan nama Kosan Putri Anggrek ini. Tapi anak-anak

penghuni lama berasa udah lama kenal ama itu anak.

Sikapnya yang ramah, murah senyum, dan baik mungkin

salah satu alasannya. Kebiasaan-kebiasaan baiknya juga

suka bikin malu penghuni lama yang rata-rata tingkatnya

lebih atas darinya. Kayak kerapihan dia dalam masalah

pakaian dan piring-piring kotor. Tata letak sepatu bekas

makenya. Waduh. Malu banget deh kalo disamain.

Penghuni lama biasa pake konsep PLCIB (Pake,

Lempar, Cari, Ilang, Beli) gitu dan gitu. Di setiap sudut

ruangan, pasti ada sesuatu. Baik itu kaos kaki sebelah

yang udah jamuran, ditambah juga ngeluarin bau yang

aneh. Entah bau apek, entah bau terasi, yang jelas bukan

dua-duanya. Asing banget.

Entahlah bau apaan. Yang jelas suka bikin mual

yang nemuinnya. Isa langganan. Juga ada pula bekas

tisu, bekas lipstick, dll. Sudut-sudut ini rumah udah

kayak mini gudang aja, pikir Isa kalo lagi beres-beres.

Awal masuk ke ini kosan Isa emang sempet ragu. Ini

bener kosan cewek???

Page 198: Buku profil Al-Qolam

Isa lagi nyetrika ketika mbak Hyrca pulang.

Mbak yang satu ini bagi Isa adalah mbak yang tepat buat

dimintai ngajarin masak. Soalnya doi anak jurusan Tata

Boga. Tapi emang kudu pake jurus dan sedikit mantra

sih buat mintanya, kalo saran dari Kokom Komariah

Nurmalasari mah sih gitu. Biar luluh kayak cokelat

katanya.

Tak lama, makhluk terakhir penghuni kosan Putri

Anggrek ini yakni mbak Salma, datang. Dia anak bahasa

dan sastra Indonesia. Paling doyan baca. Satu hobi yang

juga paling Isa sukai. Pokoknya, kalo ngobrol sama

mbak yang satu ini, awas kesamber syair atau gak

pantunnya deh. Emang wajar sih, anak sastra gitu loh.

Pengaplikasian ilmunya dalem banget. Keren. Sampe

tiap waktu apa-apa sambil berpantun. Isa pernah liat

kertas yang ditempel di dinding kamarnya, “Tiada hari

tanpa nyastra” katanya. Semua penghuni itu kosan

akhirnya pada ngemaklum juga dengan tingkah

temennya yang satu ini.

Malam ini dinginnya serius banget. Karena di

luar lagi ujan deras, plus anginnya kenceng kayak lagi

Page 199: Buku profil Al-Qolam

lomba lari estafet aja dari semenjak sore. Empat gadis

penghuni kosan itu tampak lagi pada asik melototin

televisi yang lagi nayangin acara Hitam Hitam di Trans

8. Tumben banget mereka pada tertarik. Ternyata karena

tadi siang, si ratu nonton alias si Kokom ngeliat iklan

acara itu kalo malam ini bintang tamunya adalah salah

satu aktris pemain di film KCB. (Siapa hayo...?)

Mereka emang suka banget sama wanita itu.

Cantik, shalihah, pintar, juga baik. Beuh auranya paten,

ampe keluar studio juga kerasa. Hehe. Dia ditemenin

sama adiknya yang juga gak kalah cantiknya. Semuanya

pada melongo. Sekilas ada yang mandangin Isa,

mungkin nyamain ukuran kerudung dia sama Isa. Sama-

sama lebar dan gede. Kameranya di zoom ke muka

muslimah itu. Makin nambah melotot dan kagum aja deh

itu empat gadis. Si pembawa acara ngedatangin bintang

tamu lain yakni seorang aktris yang belum berjilbab tapi

dia seorang muslim.

Di sana perbincangan seputar jilbab ditayangkan.

Ada yang masih tidak tahu kalau menutup aurat itu

adalah kewajiban setiap muslimah. Ada juga yang takut

Page 200: Buku profil Al-Qolam

gak dapet jodoh kalo pake jilbab gede. Ada juga yang

pengen ngejilbabin hatinya dulu katanya saat penonton

ditanya satu persatu. Eeeeh berbarengan dengan itu,

Nuki keluar. Kata-kata yang dilontarkan salah satu

muslimah di tv tadi dia denger dan langsung nembus ke

hati dia. Bukan apa-apa, karena dia juga alasannya

begitu. Jilbabin hati dulu nanti baru jilbabin kepala. Pipi

Nuki tiba-tiba aja jadi mateng. Dia diem-diem dan

dengan mengendap-endap ngedeketin mereka yang lagi

pada serius nonton.

Wanita muslimah tadi bilang, kalo yang memakai

jilbab sih banyak tapi yang sesuai dengan ketentuan

masih belum semuanya. Katanya memakai jilbab yang

baik itu yang menutupi dada dan gak tembus pandang.

Kokom, Hyrca, dan Salma pada nunduk. Ngerasa diri

kali yeee. Nuki terus melototin dan masang

pendengarannya dengan baik. Menyimak setiap kata

yang diucapkan muslimah cantik itu.

Tayangan teve tadi beres. Dengan kata-kata

terakhirnya yang membekas di hati Kokom, Nuki,

Hyrca, dan Salma. Bahwa, “Tidak ada kata terlambat

Page 201: Buku profil Al-Qolam

untuk berbenah diri. Sesungguhnya Allah selalu

menunggu kita untuk berubah menjadi lebih baik.” Pesan

wanita itu.

Isa keikutan syahdu. Mukanya yang imut jadi

ikutan sendu ngeliat mbak-mbaknya pada merunduk dan

tersedu. Seketika mereka mengerang, “Isaaa...bantu kita

buat berubaaah” rengek mereka manja. Mereka

berpelukan. Nangis sesegukan. Padahal ujan gede

banget, tapi suara tangis mereka kerasa ngalahin suara

hujan. Isa terharu. “Sungguh hidayah itu datangnya dari

Allah. Lewat tv sekalipun hidayah itu ada. Allah

memang baik. Terimakasih ya Allah. Kau kabulkan

salah satu doaku” Isa bahagia banget sambil berdialog

lagi bareng pikirannya. Dan melebur dalam tangis

berjamaah malam itu bareng mbak-mbaknya.

Besok hari libur. Isa dkk. janjian mau pada

dateng ke pengajian. Udah pada rapi tinggal cus. Eh

Kokom baru keingetan kalo dia, Hyrca, Nuki, dan Salma

udah pada beli tiket nonton konser boyband Korea yang

mau manggung gak jauh dari tempat mereka. Dengan

berat hati mereka pada minta ijin sama Isa. Katanya

Page 202: Buku profil Al-Qolam

sayang udah beli tiket. Gara-gara beli tiket itu mereka

rela gak jajan selama dua minggu. Maklum itu tiket

mahal banget. Padahal cuman tiket buat penonton yang

berdiri. Tapi demi idola, apa sih yang enggak? He.

Alhasil, Isa jalan sendirian. Mereka berempat

dengan Nuki yang pake jilbab soalnya tadinya mau pergi

bareng Isa, akhirnya ikut cus juga deh ke konser itu. Isa

juga cuman jalan selama sepuluh menitan akhirnya

nyampe juga di tempat pengajian. Di tempat pengajian

itu rame banget. Isa seneng plus bingung. Ini ada apaan

ya? Apa emang kayak gini tiap minggunya? “Widih

keren banget” pikir Isa terharu. “Diliat-liat kok

kebanyakan para mahasiswa ya? Pada cantik-cantik

banget lagi pakaiannya. Udah kayak mau ke pesta atau

ketemu seseorang yang spesial aja.” Isa lagi-lagi

ngebatin gak jelas. Ampe dia nabrak tembok yang ada di

depannya. Jedug! “Aww...” Isa sadar, dia dari tadi

meleng. Abis ini mesjid udah kayak stadion. Dipenuhi

lautan manusia. Bagus banget tapi bikin keblinger.

Isa kebagian tempat duduk di belakang. Maklum

space-nya udah pada keisi sama jemaah yang lebih awal

Page 203: Buku profil Al-Qolam

datang. Isa sesekali ngedongkakin kepalanya biar bisa

liat MC ngomong. Rasa penasaran Isa udah gak bisa

ketahan lagi. Ketika MC nyebutin satu nama yang bikin

jemaah cewek-cewek pada rame tapi gak sampe ngejerit-

jerit. Dengan muka melas, Isa nanya cewek di

sampingnya yang dari tadi riweuh kayak cacing

kepanasan. Eh. Maaf.

“Euu..maaf, Mbak. Emang ini ada apa ya? Kok

pada rame gini...”

“Eheu. Itu lo, Mbak... kemarinkan mereka

ngadain konsernya, sekarang mereka mau berbagi

pengalamannya tentang Islam di sini. Kyaaa...”

Uwaduuuh. Isa celingukan. Masih gak ngerti bin

gak faham apa yang si mbak bilang. Mereka yang

dimaksud si mbak di sampingnya itu siapa ya?

“Emm...maaf, Mbak. Emang yang ngadain konser

kemarin tuh siapa ya, Mbak?”

“Itu lo Boyband asal Korea, Suzu.”

Page 204: Buku profil Al-Qolam

Isa kaget setengah idup. “Loh! Bukannya hari ini

Mbak mereka konsernya?”

“Bukan. Kemarin kok. Saya saksinya Mbak.

Kalo sekarang mah emang udah rencananya mau ke

sini.”

Sambil meringis Isa ngebatin untuk kesekian

kalinya, “Gimana ya, kabar mbak-mbakku itu? Ckck.”

Isa geleng-geleng kepala.

Page 205: Buku profil Al-Qolam

Indahnya Kebersamaan

oleh Wahyu Eka Jayanti

([email protected])

Aku berencana keluar kosan sore ini, berjalan

melewati lorong kamar-kamar yang tampak sepi di sana-

sini. Sama sekali tidak terlihat ada orang. Mena dan Dian

teman sebelah kamarku kemarin sudah mudik pulang

kampung. Aku sendiri di sini, tidak bisa mudik lantaran

jauh dan tidak ada libur kuliah. Alasan kenapa aku tidak

mudik sebenarnya berat di ongkos, harus menyebrang

lautan. Kota Bengkulu itulah kota tempat aku berasal

dan sekarang aku tinggal di kota Bandung.

Krek.. Ku tutup pintu rumah perlahan, aku akan

pergi berbelanja menyiapkan bekal untuk esok. Esok

adalah hari raya Idul Adha, dapat diperkirakan esok pagi

semua kantin akan tutup. Bisa-bisa aku tidak dapat

makan kalau tidak berbelanja. Aku berjalan menuju toko

pandan wangi, sembari memilih-milih kue mataku

tertuju pada brownies cokelat. Kuintip uang di dalam

Page 206: Buku profil Al-Qolam

dompetku, huft… tidak cukup untuk membeli brownies,

nanti kan masih mau beli keperluan yang lain. Harus

dihemat jangan sampai minta kiriman uang ke ibu.

Yasudahlah akhirnya aku memilih kue bolu kukus yang

gak kalah enaknya dengan brownies, kelihatannya sih

begitu hihi. Lagi pula bolu kukusnya juga tinggal satu-

satunya atau itu memang disisakan untukku ‘terimakasih

ya Allah,’ gumamku dalam hati. Tanganku meraih

sebungkus sus cokelat kesukaan Evy adikku, karena aku

merindukannya jadi menyantap makanan kesukaannya

akan menjadi pengobat rindu. Kue bolu ini akan aku

bawa besok untuk acara pemotongan hewan kurban,

semoga mereka suka.

Saat berjalan menuju kosan, aku bertemu ibu-ibu

yang meminta-minta. Ibu-ibu itu mendekati aku, dan

kuambil uang seribu di dompet lalu kuberikan kepada

ibu itu sembari berkata dalam hati ‘ya Allah

mudahkanlah segala urusanku dan rezekiku’. Ibu-ibu

tadi berlalu, aku sudah sampai di depan kos perlahan

masuk kedalam rumah. Aku berjalan perlahan ketika

Page 207: Buku profil Al-Qolam

melewati lorong-lorong kamar terdapat satu kamar yang

terbuka pintunya. Itu adalah kamar teh Rini.

“Assalamualaikum teh Rini kemana aja kok baru

kelihatan?” sapaku sambil tersenyum senang karena

ternyata aku tidak sendiri dikosan ini.

“Waalaikumussalam teh, ini teh lagi beres-beres

aku mau mudik sebentar lagi.” Oh... aku tersenyum

kecut, teh Rini akan meninggalkanku.

“Teh wahyu gak mudik?” kata teh Rini.

“Gak teh,” ucapku datar.

“Kalau begitu saya ke kamar dulu ya teh, selamat

mudik teh Rini salam untuk keluarga,” aku lempar

senyum termanisku.

“Eh.. teh wahyu tunggu sambil melambaikan

tangannya, ini ada brownies untuk teh wahyu aja. Baru

aku makan sedikit,” kata teh Rini sambil melempar

senyum padaku.

Page 208: Buku profil Al-Qolam

“Terimakasih ya teh Rini kuenya.” Alhamdulillah

diberi brownies yang tadinya aku inginkan, rezeki yang

Allah berikan lewat teh Rini. Apakah ini balasan karena

tadi aku bersedekah ya Allah, ternyata saat kita memberi

sebenarnya kita tidak kekurangan sedikitpun malahan

Allah tambahkan nikmat lewat orang lain. Bukan karena

mengharapkan balasan tapi ikhlas memberi karena Allah

dan inilah hikmah yang dapat diambil.

Aku bangun lebih awal, kulihat jarum jam

menunjukkan pukul 04.00 WIB. Takbir dis ana-sini

terdengar begitu merdu di telingaku. Alhamdulillah, ini

hari raya Idul Adha ingatanku mulai kembali kedunia

nyata. ‘ayo bangun lebih cantik Wahyu,’ menyemangati

diri sendiri.

Suasananya sedikit berbeda tahun ini, menjadi

seorang mahasiswi di Universitas Pendidikan Indonesia

sehingga aku jauh dari keluarga dan sanak keluarga.

Sedih sekali rasanya. Andai aku ada di rumah. Pasti

sekarang sedang membantu ibu menyiapkan makanan

dan kue untuk esok pagi. Di manapun dan kapanpun

mereka tetap sayang padaku dan selalu mendoakan

Page 209: Buku profil Al-Qolam

kesuksesanku, aku rindu kalian bisikku dalam hati.

Mataku mulai berkaca-kaca, hampir saja basah disana

tapi kutahan agar nanti ketemu teman-teman aku nampak

ceria dan bahagia. Cepat-cepat aku bangun membereskan

tempat tidur dan segera pergi mandi bersiap-siap untuk

salat Idul Adha di masjid.

Setelah solat Id aku bergegas kumpul ke kosan

teh Alin. Kami menjadi panitia kurban FKM untuk

pascasarjana tahun ini, lokasinya agak jauh didekat

bandara. Pukul 09.00 kami berangkat ke lokasi. Ada tiga

ekor kambing yang disembelih, tak lupa aku membawa

roti dan kue bolu yang aku beli kemarin.

Seusai pemotongan aku pulang ke rumah. Jarum

jam menunjukkan pukul 12.30, aku baru saja selesai

sholat zuhur. Wah makan apa ya…. Kantin udah buka

belum ya, aku bertanya dalam hati. Tiba-tiba ada

message masuk, kuambil dengan cepat HP di dalam tas

dan kubaca pesan singkat, ‘Ass, wahyu main ke rumah

ummi Lenni ya, ummi udah masak rendang, pempek, dan

lontong. Makan di tempat umi, di tunggu. Aku

tersenyum.’ Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.

Page 210: Buku profil Al-Qolam

Aku segera bersiap dan melangkah menuju

rumah umi Leni. Ternyata teman-teman halaqoh sudah

pada kumpul. Di atas meja sudah terhidang beragam

macam lauk pauk, kue dan buah-buahan. ‘Ini baru yang

namanya lebaran,’ bisikku dalam hati. Walaupun jauh

dari orang tua dan sanak keluarga aku tetap bersyukur

dan bahagia memiliki umi dan teman-teman di sini.

Benar-benar terasa kekeluargaannya, merasakan

kebersamaan sesama anak rantau yang jauh dari keluarga

karena sedang berjihad yaitu menuntut ilmu karena

Allah. Sungguh terimakasih untuk cinta, kasih sayang,

serta kebersamaan yang mengikat ukhuwah di antara kita

yang menjadikan tali silaturahmi ini semakin kokoh

karena Allah.

Tiba-tiba HP berdering, aku sangat kenal nada

panggil itu, itu adalah Ibu, ya Ibu menelponku. Aku

sangat bahagia bisa mendengar suara ibu. Ibu bercerita

sedang memasak daging dapat bagian kurban. Aku pun

bercerita dengan nada bahagia sedang makan bersama

teman-teman. Jadi Ibu tidak perlu sedih kalau purtinya

ini tidak dapat makan di hari raya.

Page 211: Buku profil Al-Qolam

Menjemput Cahaya di Isra’ Mi’raj

oleh Lia Liawati

“Nabi Muhammad menyaksikan sekelompok

wanita yang digantung rambutnya di atas api neraka

sehingga mendidih otak di kepalanya. Ini adalah

gambaran balasan kerana mereka tidak mahu menutup

aurat di kepala dari di pandang lelaki yang bukan

mahramnya.”

Aku merinding mendengar ceramah yang kuputar

dalam radio, teringat masa-masa dulu sebelum hati

nuraniku terketuk untuk menjalankan yang seharusnya

aku jalankan. Meninggalkan dunia yang gelap, menuju

pada dunia yang begitu indah. Dulu mataku buta untuk

melihat kebenaran, telingaku tidak mendengar kebaikan-

kebaikan ayat suci Alquran, mulut yang tidak aku pakai

untuk berdzikir kepada-Mu. Ya Allah kepadamu aku

berserah.

Page 212: Buku profil Al-Qolam

Aku mengenal agamaku begitu dangkal, sebatas

tahu dan tidak diamalkan. Berjilbab adalah hal yang

begitu sulit aku lakukan.

“Berjilbab itu tidak modis, gitu-gitu aja.” Jelas

Rita teman sekelas masa SMA ketika aku mengatakan

akan menggunakan jilbab.

“Mending jilbabin dulu hatinya, percuma dong

kalau hati kita belum bersih tapi udah pake jilbab.”

Timbal Sinta yang sedang sibuk mengurusi poni

rambutnya sambil terus menatap kaca kecil yang selalu

ia bawa.

Hati nuraniku tertutupi oleh gumpalan gelap

hingga aku tidak mendapatkan cahaya yang hampir

menyala. Aku urungkan niatku untuk berjilbab. Tetapi,

aku berusaha melenyapkan gumpalan gelap itu.

Aku mulai mencoba menjalani amalan wajib

dengan baik. Salat dzuhur di masjid sekolah membuat

hatiku lebih tenang hampir tidak pernah aku lewatkan

saat-saat itu. Aku sering mengobrol dengan anak rohis

yang berjilbab lebar, namun mau berbicara denganku

Page 213: Buku profil Al-Qolam

yang sangat jauh berbeda dari mereka. Suatu ketika salah

satu dari mereka pernah menjelaskan “Rambut wanita

adalah mahkota yang harus dijaga, tidak sembarang

orang bisa melihatnya.”

Aku semakin berpikir keras tentang hal itu,

hingga masuk ke dalam alam bawah sadar hingga

bermimpi. Aku mengenakan jilbab, terlihat begitu

anggun. Kemudian berlari di jalanan, entah apa yang aku

kejar. Tiba-tiba terlihat mobil bus besar yang melaju

dengan kencang. Sempat aku melihat kilatan cahaya

lampu depan yang mengenai wajahku. Sebelum tahu apa

yang terjadi, beberapa saat aku langsung terbangun

dengan panik. “Astagfirullah... Ya Allah, inikah petunjuk

dari-Mu?”

***

Langit cerah dengan awan putih bersih, seperti

ada senyuman yang menyapa di sana. Aku putuskan

untuk memakai jilbab, biarkan mereka yang tidak suka,

biarkan mereka tertawa, kenginanku selalu berada pada

jalan-Mu.

Page 214: Buku profil Al-Qolam

Perlahan, Rita dan Sinta menjauhiku. Semakin

jauh, tapi tidak akan ada penyesalan sedikitpun pada hati

tentang jalan yang aku pilih. Bila saja mereka tahu, aku

ingin bersama mereka di jalan yang sama.

Bertepatan dengan 27 Rajab, sekolah

mengadakan acara untuk memperingat Isra’ Mi’raj.

Semua siswa harus mengikuti acara tersebut. Dengan

penggambaran yang begitu baik, penceramah

menjelasakan perjalanan Rasullah termasuk melihat

wanita yang digantung rambutnya.

“Arin,” terdengar seseorang memanggilku dari

belakang ketika acara sudah selesai. “Apa?” aku segera

menengok, tiba-tiba ia memelukku dengan erat.

“Maafkan, aku ya.” Tetesan air mata kemudian

terjatuh membasahi pipi perempuan itu.

“Dua hari yang lalu ayah meninggal. Aku ingin

menjadi anak yang solehah agar bisa mendoakan ayah.”

Rita teman yang dulu sangat dekat denganku, kini ia

kembali. Namun, membawa berita yang begitu

memilukan. Aku tahu Om Yudi, ayah Rita yang begitu

Page 215: Buku profil Al-Qolam

baik dan sehat. Tetapi jika Allah sudah menghendaki

segalanya akan terjadi.

“Inalilahi wa inailaihi raji’un, kamu yang sabar

ya, Ta”

Kejadian itu mengingatkanku kembali pada

mimpi setengah tahun yang lalu. Bahwa usia seseorang

tidak pernah ada yang tahu hingga malaikat menjemput.

Sebagai manusia yang lemah, hanya bisa berusaha

memperbaiki diri hingga aku mendapatkan cahaya yang

abadi.

Page 216: Buku profil Al-Qolam

Jawaban dalam Lingkaran Api

oleh Fathia Uqimul Haq

([email protected])

Namanya Sarinah. Sabtu malam ini ia tengah

memasang rok mini merah muda dipadu dengan kaos

putih dan vest merah bata. Sampai menunjukkan buah

dadanya. Ia menaruh hairclip di rambut yang sudah ia

cat berwarna coklat siang tadi di salon mpok Narsih.

Ujung-ujungnya bercabang, dan jangan sampai ia

memakai baju hitam, karena bisa saja angin meniup

rambutnya lalu ketombenya berjatuhan. Pasalnya ia

sering sekali gonta-ganti warna rambut. Maka rambutnya

rusaklah sudah.

Setelah rapi ia lalu memakai high heels lima

sentinya. Tergopoh-gopoh menuju kasur dan mencium

seorang lelaki berumur empat tahun. Di kening lelaki itu

membekas gincu berbentuk bibir. Sarinah segera berlari

ke ambang pintu dan menutup pintu berbahan tripleknya

perlahan. Mercinya sudah datang.

Page 217: Buku profil Al-Qolam

“Ke mana sekarang, Pak?” ucap Sarinah agak

bimbang apakah ia harus memanggilnya mas atau bapak.

“Tak usahlah kau memanggil saya bapak, Jumali saja

lah.” Kata bapak itu seraya mengambil tangan Sarinah

dengan perlahan. Sarinah sebenarnya ingin sekali

melepaskan genggaman Jumali. Apa daya, ia baru saja

masuk ke masalah yang baru. Masih ada masalah-

masalah lain yang belum ia selesaikan sebelumnya.

“Saya hendak membeli minum dulu di

supermarket, kau tunggu saja di mobil.” Jumali keluar

dan menatap Sarinah seperti singa kelaparan.

“Fiuh…” Sarinah menghembuskan nafas dan

memegang perutnya yang sebentar lagi membesar.

“Hueeeeeek...” bekas makan tadi siang keluar semua dari

perutnya, segera ia keluar tetapi mobil terkunci. Ia

mengambil tissue di dashboard mobil dan menahan

mualnya.

(suara ponsel berbunyi)

“Astaga, hp si Jumali ketinggalan di mobil.”

Sarinah bergumam dalam hati. Ia mengambil hp yang

Page 218: Buku profil Al-Qolam

Jumali letakkan di joknya, dan melihat nama yang tertera

di layar ponselnya. ‘Mariana’. Sarinah melempar ponsel

itu kembali ke jok dan membiarkan hp itu berbunyi.

“Jumali lama sekali.” gumamnya.

***

Ita, tetangga Sarinah mendengar suara anak kecil

menangis di rumahnya. Hendak ia masuk, tetapi

terkunci. Ita segera menelpon Sarinah. “Sar, lu di mana?

Anak lu nangis. Gua mau masuk tapi rumah lu dikunci.

Kenapa lu tinggalin anak lu?”

“Duuuh, Ta. Di pot bunga ada kunci cadangan.

Buka ya. Kasih susu ya. Asi gue ga keluar nih. Lagi

kerja gue.” Jawab Sarinah. “Udah ya.”

Sarinah menutup teleponnya. Ia masih di hotel

tempat Jumali bekerja. Duduk di kursi empuk depan lobi

hotel bintang lima. Jumali adalah pemilik salah satu

hotel yang terletak di Jakarta Pusat. Memiliki cabang

hotel di mana-mana termasuk Malaysia dan Singapura.

Bagaimana bisa Sarinah meninggalkan Jumali yang kaya

raya, sedangkan ia selalu mendapatkan uang darinya.

Page 219: Buku profil Al-Qolam

Agar ia bisa tetap makan bersama lelaki empat tahun

yang sedang menangis di rumahnya.

“Sini, Sar.” Ucap Jumali dari kejauhan. “Ayo

sini.”

Sarinah bangun dari tempat duduknya dan

menghampiri Jumali. “Ini lelaki yang mau saya

kenalkan, Anton.”

“Oh, saya Sar….Sasha.” Sarinah mengulurkan

tangannya ke bapak tersebut sembari mengulum senyum.

“Anton.” Ia menggenggam tangan Sarinah kuat. Sasha,

nama malam yang ia pakai. Agar terlihat lebih elegan

dan gak kampungan, katanya.

“Saya pergi dulu, mari Pak Anton.” Jumali pergi.

***

Malam itu, setengah warga berlari terbirit-birit.

Terbangun dari mimpi indah dan dihujani asap dan

panas. Sebuah rumah terlalap. Kobarannya

menghangatkan seluruh desa. Bapak-bapak membawa

Page 220: Buku profil Al-Qolam

ember berisi air penuh dan Pak RT menelepon pemadam

kebakaran.

Ada suara yang terengah-engah, dan terdengar

tangisan. Seorang anak, meraung tak bisa berkata.

Berharap ada orang yang menjeratkan diri di tengah

lilitan api dan berusaha menolong. Tindakan sang anak

membuat salah satu pria masuk tanpa pelindung. Seluruh

warga menjerit.

Dua menit kemudian, baju yang terbakar api dan

kulit mengelupas. Hitam di wajah, abu dan debu menjadi

satu. Darah mengalir. Ia tersenyum. “Anaknya tidak apa-

apa.”

Sarinah yang turun dari mobil menahan sesak di

dada saat rumahnya telah basah kuyup dibanjur air.

Tinggalah kenangan. “Andi. Mana Andi... Andi!!!”

Sarinah berteriak dan baru sadar saat ia tahu di dalam

rumah hanya Andi, anaknya seorang.

“Astaghfirullah.. Ya Allah...” Sarinah memeluk

erat Andi di pangkuan. Legam hitam terbakar lilitan api

dan kulit mengelupas di bagian kaki. “Maafin ibu, Nak”.

Page 221: Buku profil Al-Qolam

“Andi tidak apa-apa, Bu.” Ucap pria yang

menolong Andi.

“Terima kasih, Pak. Terima Ka....” Ucapan

Sarinah terpotong saat ia hendak menengadahkan

mukanya dan ingin memberikan salam hangat.

Seakan bumi sejenak berhenti, aliran darah

membeku, angin entah kemana sepersekian detik. Andi

terdiam di pangkuan Sarinah yang masih berpoles gincu

dan bulu mata palsunya. Rok mini yang membentuk

pahanya berkata “Dialah yang menjadikanku seperti ini.”

Seketika seluruh memori merasuk meminta paksa

mendorong pintu kebebasan untuk menari dan

menertawakan kisah Sarinah dengan pria tersebut. Saat

muka tak berpoles rindu, dan hati tak digores pilu.

Dialah awal kebencian dari sukma yang mendesak. Pria

itu, semua jawaban atas seonggok Andi yang seketika

tak terdengar lagi.

***

Page 222: Buku profil Al-Qolam

Raja Thalut

Oleeh: Elsa Mulyani

Tahu gak sobat bahwa tak seorangpun manusia di

dunia ini yang bisa merubah takdir Allah selain atas

izinnya, walaupun sekeras apapun seoseorang itu

berusaha untuk merubah takdirnya yang ada usahanya

hanya akan sia-sia. Akan tetapi dengan kepasrahan akan

takdir yang allah berikan, maka dengan dengan

kepasrahannya itu allah akan menganugrahkan takdir

yang tak seorangpun dapat mengelaknya. Seperti kisah

yang satu ini, yuk kita simak bersama-sama check it

out...

Alkisah, pada suatu ketika dimasa kenabian nabi

Daud, ada dua orang raja yang mempunyai kepribadian

yang sangat berbeda, yaitu Raja Thalut dan Jalut, dimana

Jalut merupakan raja yang mempunyai kerajaan yang

besar dan merupakan seorang raja yang terkenal kuat

akan kesombongannya dan tak ada seorangpun yang

Page 223: Buku profil Al-Qolam

dapat menandinginya. Akan tetapi berbeda halnya

dengan Raja Talut yang merupakan seorang raja yang

dermawan dan terkenal akan ketaatnya dalam beribadah

kepada Allah swt. Berita akan raja Talut yang terkenal

dengan segala kebaikannya itu akhirnya sampai

ketelinga raja Jalut. Mendengar hal itu maka raja jalut

pun menantang raja Talut untuk berhadapan langsung

dengan dirinnya.

Tatkala raja Talut keluar dari kerajaanya untuk

memenuhi tantangan dari raja jalut dengan membawa

tentara, dan ia pun berkata kepada tentaranya:”Allah

akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa

diantara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku,

kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah

pengikutku.” Maka sampailah raja Talut dan tentaranya

di sungai yang dimaksud, dan tahu gak sobat apa yang

terjadi? Ekh, ternyata sebagian dari tentaranya meminum

air sungai tersebut, seraya berkata:” Tak ada

kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan

tentaranya.” Dan sebagian lagi dari tentara yang

meyakini bahwa mereka akan menemui allah

Page 224: Buku profil Al-Qolam

berkata:”ada banyak golongan yang sedikit mampu

mengalahkan golongan yang banyak dengan izin allah,

dan beserta orang-orang yang sabar.” Dan akhirnyapun

dengan tentara yang tak seberapa jumlahnya raja Talut

melanjutkan perjalannya, dan sesampainnya dikerajaan

yang begitu besar dan mewah tampak dari jauh raja Jalut

dan tentaranya menghampiri raja Talut, dengan

kesombongannya raja Jalutpun menertawakan raja Talut

seraya berkata” Apakah kou tidak salah, wahai Talut

ingin menantangku dengan tentara yang berjumlah

sedikit?” mendengar kesombongan raja Jalut, akhirnya

raja Talut dan tentaranya berdoa memohon petunjuk

kepada allah:” Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran

kepada kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan

tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” dan atas

doanya itu, allah menurunkan petunjuk dengan

memerintahkan raja Talut untuk menemui seorang anak

yang selalu membawa ketepel dan tinggal di pohon yang

ada disawah, akhirnya raja Talut menemui anak tersebut

dan meminta bantuan kepadanya untuk mengalahkan

raja Jalut yang terkenal akan kesombongannya itu, dan

tanpa berpikir panjang akhirnya anak tersebutpun

Page 225: Buku profil Al-Qolam

bersedia untuk membantu raja Talut. Sesampainya raja

Talut dengan membawa anak yang membawa ketepel

kehadapan raja Jalut, dan Jalutpun terengah keheranan

seraya berkata:”wahai Talut, apakah kou ini sudah tak

waras? Kou membawa anak itu kehadapanku untuk

mengalahkanku?”sembari tertawa dengan keras Jalutpun

terus mengagung-agungkan kesombongannya

bahwasanya tidak mungkin anak sekecil itu akan

mengalahkannya.

tanpa banyak kata anak itupun segera mempersiapkan

ketepelnya dengan mengambil batu sebagai umpannya,

dan segera mengarahkan ketepel tersebut kearah raja

Jalut seraya berkata:”rasakanlah tembakanku ini, wahai

raja yang sombong.” Dag,dig,dug,,,jeleger batu yang

ditembak itu mengenai dada raja Jalut dan pas dibagian

jantungnya sehingga detak yang mengenai pembuluh

darahnya berhenti seketika dan apa yang

terjadi...akhirnya raja yang Jalutpun terbunuh dan

meninggal dengan kesombongannya. tahu gak sobat

siapa anak yang telah mengalahkan raja Jalut hingga ia

meninggal...? tahu gak??? Tak lain dan tak bukan yaitu

Page 226: Buku profil Al-Qolam

nabi Daud as yang dikirimkan allah kepada Talut untuk

mengalahkan raja Jalut yang merasa dirinya tak

tertandingi. Nah , dengan begitu Talut dan kerjaan yang

diperintahnya hidup makmur, dan setelah Talut

meninggal dan sebagai penggantinya adalah nabi daud.

Demikianlah allah memberikan pemerintahan dan

hikmah kepadanya dengan mengajarkan apa yang telah

dikehendakinya merupakan takdir yang tidak bisa di

tolak, selain atas izinnya.

Nah, sobat mudah-mudahan dengan kisah diatas bisa

mengispirasi kita bahwasannya takdir yang ada di dunia

ini merupakan ketetapan allah yang telah tertulis, sekuat

apapun kita, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki,

tetap hanya allah yang dapat berbuat apa yang

dikehendakinya...

Page 227: Buku profil Al-Qolam

Tawa Kecil Rania

oleh Nurul Lutfia

([email protected])

“Sebentar, Rania, setelah ini ibu akan ke rumah

sakit, kamu baik-baik ya sama kakak,” ucap ibu lantas

terburu-buru merespon telepon dari nomor yang sama.

Ibu tidak pernah sadar dengan air muka Rania yang

seketika berubah.

“Kenapa hari minggu tetep kerja, Bu?” tanya

Rania sedikit merajuk.

Ibu yang masih menerima telepon merasa direcoki

dengan rajukan Rania. “Ada pasien, Rania. Ibu harus ke

sana membantu bu dokter menangani pasien itu. Jangan

bandel, kamu pulang bareng kakak!”

Ih! Rania hanya bisa menyimpan kekesalannya

sendirian. Selama ini ia sudah cukup legowo ditinggal

ayah dan ibunya yang sibuk. Setiap hari mereka bekerja.

Rumah selalu sepi. Bagaimana tidak? ayah dan ibunya

Page 228: Buku profil Al-Qolam

bekerja setiap hari, dari pagi sampai malam. Kakaknya

selalu pulang menjelang magrib, sibuk dengan kegiatan

kampus. Ia hanya punya akhir pekan untuk bermanja-

manja pada ayah dan ibunya. Nyatanya minggu ini sama

saja.

Pagi-pagi, ayahnya ditelepon client, ada pertemuan

penting. Rania tidak mengerti apa yang ayahnya

bicarakan. Ia hanya menangkap satu hal: ayahnya tidak

bisa menemaninya jalan-jalan.

“Kamu masih bisa tetap pergi dengan ibu kan,

sayang?”

Ayah bisa membaca kekecewaan di wajah Rania.

Dengan segera, diusapnya kepala putri kecilnya yang

sudah berusia sepuluh tahun ini.

“Rania nggak boleh cemberut gitu. Nanti ayah

bawakan macaron kesukaan Rania deh!”

Rania masih bergeming. Bosan dibujuk dengan hal

yang itu-itu lagi.

Page 229: Buku profil Al-Qolam

“Yang aku mau kan main bareng ayah ibu!”

pekiknya kesal. Ia berbalik badan dan meninggalkan

ayah yang masih menatap punggungya dari belakang.

Ayah melirik ke arah ibu, meminta ibu untuk

mengurusi Rania selama ia pergi. “Biar aku yang

mengurusi Rania, ayah pergi saja. Nanti malam juga dia

pasti lupa kalau sedang ngambek.”

Jadilah minggu ini ia jalan-jalan bersama ibu dan

kakaknya. Tempat pertama yang mereka kunjungi yaitu

taman es krim. Rania suka sekali es krim. Sudah lama ia

ingin pergi ke taman es krim dengan ayah dan ibunya.

Mencicipi berbagai rasa es krim sambil duduk-duduk di

taman yang teduh.

Rania jadi bisa bercerita banyak hal pada ibu.

Tentang sekolahnya, teman-temannya, club yang ia ikuti.

Semua cerita yang selama ini ia simpan sendirian, karena

setiap hari tidak ada teman bercerita selain kakaknya. Itu

pun kalau kakaknya masih bisa makan malam di rumah.

Cerita Rania terhenti ketika ibu menerima telepon.

Jangan bilang ada panggilan tugas lagi...

Page 230: Buku profil Al-Qolam

“Sebentar, Nak, setelah ini ibu akan ke rumah

sakit—“ nah kan. Rania membatin. Mood baiknya hilang

seketika. Es krim di tangannya ia biarkan meleleh. Sudah

tidak napsu makan!

***

Sepanjang perjalanan pulang Rania hanya diam.

Wajahnya ditekuk. Ia selalu menghindari tatapan

kakaknya. Takutnya, ia malah menangis karena tidak

kuat menahan kesal. Selalu begini. Pekerjaan. Client.

Pasien. Ia selalu ditinggal hanya karena alasan-alasan

itu. Seolah semua itu lebih penting daripada dirinya.

Rania ingat, sejak kecil ia selalu ditemani

babysitter. Itu pun selalu ganti karena ia yang bandel.

Ada saja yang ia lakukan untuk membuat babysitter-nya

jera dan akhirnya berhenti. Dengan begitu, ia bisa

bermain dengan ayah dan ibunya selain di hari libur.

Tapi ternyata ibu malah mengganti babysitter itu berkali-

kali sampai ia menemukan babysitter yang bisa

membuatnya nyaman.

Page 231: Buku profil Al-Qolam

“Rania, udah dong, masa kakak jadi ikut kamu

cuekin begini? Setelah ini kita mau ke mana? Ayo kita

lanjutkan main-main hari ini!”

“Kita pulang aja, Kak.”

“Loh, kok, pulang? Ayo kakak temani. Kamu mau

ke mana?”

“Aku nggak mau kalau nggak sama ayah ibu!”

“Raniaaa, jangan gitu. Kan ada kakak. Kamu mau

ke mana? Nonton? Ada film disney baru loh.”

“AKU MAU PULANG!”

Kak Dewo langsung diam. Dihentikannya mobil di

sembarang tempat. Tatapannya lurus tertuju pada

adiknya yang menangis tertahan.

“Rania kesepian ya?” tanya Kak Dewo pelan.

Diusapnya kepala Rania dengan penuh kasih sayang.

“Maafin kakak ya sering ninggalin Rania sama si

mbak...”

Page 232: Buku profil Al-Qolam

Tangis Rania makin pecah. Segala kesal yang ia

tahan tumpah begitu saja. Ia kesal pada dirinya yang

cengeng. Kesal pada orang tuanya yang tidak mau

peduli. Kesal pada kesendiriannya. Kesal pada teman-

temannya yang suka pamer cerita tentang orang tua

mereka. Kesal pada semuanya! Tapi toh semua

kekesalan itu hanya bisa ia keluarkan melalui tangis. Ia

tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

“Rania harus paham, apa yang ayah dan ibu

kerjakan juga untuk kepentingan Rania. Sesibuk apa

pun, ayah sama ibu masih meluangkan waktu untuk

Rania kan? Setiap akhir pekan kita selalu punya waktu

bareng kan? Walaupun nggak utuh, tapi ibu udah

berusaha meluangkan waktu untuk Rania.”

Di tengah sesenggukan Rania menyela. “Tapi ayah

sama ibu kan udah janji, sabtu-minggu itu waktu penuh

untuk Rania. Tapi sekarang ayah ibu ingkar janji. Rania

nggak suka!”

“Kan panggilan pekerjaan nggak bisa diduga

waktunya. Iya, ayah ibu emang salah karena ingkar janji.

Page 233: Buku profil Al-Qolam

Tapi Rania nggak bisa memaksa ayah sama ibu untuk

mengabaikan panggilan itu kan?”

Rania hanya diam. Sekali lagi, ia kecewa. Tapi ia

tidak bisa menyalahkan orang tuanya. Ucapan Kak

Dewo benar.

“Kita pulang aja ya, Kak. Rania capek,” ucap

Rania pelan sekali. Ia sedang berusaha menghentikan

sisa-sisa tangisnya.

“Ya, udah, kita pulang ya,” jawab Kak Dewo

seraya mengusap kepala Rania pelan. “Udah, nangisnya

udah dulu. Nanti boleh dilanjutkan di rumah, kalau

mau,” ledek Kak Dewo sambil terkekeh. Spontan Rania

berdecak sebal.

***

Ketika makan malam, tidak seperti biasanya, meja

penuh dengan makanan kesukaan Rania. Ayah dan ibu

duduk di hadapannya. Tersenyum tanggung. Takut-takut

ia masih ngambek karena kejadian tadi siang.

Page 234: Buku profil Al-Qolam

“Ibu ambilkan makanannya ya. Rania makan yang

banyak,” kata ibu seraya mengisi piring Rania dengan

nasi dan lauk kesukaannya.

“Makasih, Bu,” jawab Rania pendek ketika

menerima piring dari ibu.

“Coba lihat, ayah bawa apa?” tutur ayah

bersemangat. Kedua tangannya disembunyikan di

belakang. Ayah mencoba bermain tebak-tebakan agar

Rania tidak banyak diam.

“Macaron?”

“Salah! Tebak lagi!”

“Es krim?”

“Bukan! Ayo lagi!”

“Jeli?”

“Bukan! Ah! Nyerah?” tanya ayah dengan senyum

puas.

“Iya deh.”

Page 235: Buku profil Al-Qolam

“Tadaaa!” pekik ayah lantang sembari

mengeluarkan secarik kertas kecil bergambar hello kitty.

Rania mengernyitkan dahi. Ia memang suka hello

kitty. Tapi apalah arti secarik kertas bergambar hello

kitty? Dibukanya pita pengait kertas itu. Di dalamnya, ia

menemukan sederet kalimat yang membuatnya tertawa

kecil.

Ayah ibu janji nggak akan ingkar janji lagi.

Minggu depan kita ke Jungleland, yuk?

Seketika ayah dan ibu tertawa lega. Hadiah

permohonan maaf mereka diterima dengan tawa kecil di

sudut bibir Rania. Setelah ini mereka berjanji akan ada di

rumah lebih cepat dari biasanya. Dan setiap akhir pekan

mereka akan menjadi orang tua Rania sepenuhnya. Tidak

bisa diganggu gugat.

Page 236: Buku profil Al-Qolam

Merangkai Asa dibingkai

Senja

oleh Yani Fitriyani /Kejora Khairunnisa Azzahra

“Firdaus sabar.... Sebentar lagi bapak pasti

pulang membawa makanan buat kita, lebih baik sekarang

Firdaus tidur.” Sambil mendekap Firdaus, berharap ia

tertidur agar bisa menahan rasa laparnya.

Hidup di lingkungan kumuh bukan kemauan

bahkan bukan pilihan bagi bu Minah dan keluarganya.

Tidak dapat dipungkiri, inilah kenyataan hidup yang

harus mereka jalani. Pak Jojo hanya bekerja di terminal

sebagai tukang sapu, sedangkan bu Minah tidak

mempunyai pekerjaan tetap, kadang mencucikan piring

di warteg atau sesekali dia ikut menjajakan dagangan

orang dengan harapan mempunyai bagian dari

keuntungan yang tidak seberapa. Selama 10 tahun

pernikahannya dengan pak Jojo, dengan setia bu Minah

ikut menanggung beban hidup yang serba tak

berkecukupan.

Page 237: Buku profil Al-Qolam

“Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan

penghidupan yang layak untukmu. Seandainya kamu

tidak terlahir dari rahim wanita tua miskin dan tidak

berpendidikan seperti Ibu, mungkin kamu tidak akan

merasakan pahitnya hidup yang kini Ibu dan Bapak

jalani.” Suaranya kian memberat. Tanpa bu Minah

sadari, pak Jojo ada di belakangnya. Dengan berlinang

air mata pula, pak Jojo merangkul bahu sang istri.

“Jangan sampai Firdaus mendengar perkataan ibu tadi.

Tidak baik Ibu menyesali keadaan kita sekarang. Firdaus

adalah Anugrah Gusti Allah yang harus kita syukuri. Dia

tidak salah terlahir di keluarga ini.” Pak Jojo dengan

sangat bijak menasehati bu Minah. Pak Jojo pun

menyodorkan keresek hitam yang berisi 3 nasi bungkus

dan sebotol air mineral.

Malam harinya mereka sangat bersyukur karena

bisa makan walaupun seadanya, hanya sebatas nasi dan

sepotong tempe. Kehangatan keluarga begitu tercermin

malam itu.

“Bapak, besok Firdaus boleh ikut Bapak ke

kantor? Firdaus ingin membantu Bapak di kantor.”

Page 238: Buku profil Al-Qolam

Celetuk Firdaus dengan polosnya sambil menikmati

hidangan malam itu. Mendengar pernyataan itu, sentak

pak Jojo terdiam terlebih bu Minah yang tak kuasa

menahan air matanya mendengar keinginan Firdaur ikut

ke ‘kantor’.

“Sayang, bapak bukan bekerja di kantor. Tapi...”

pa Jojo pun terdiam dan memandang istrinya.

“Firdaus tau kok Pak, Bapak itu kerja di terminal

sebagai tukang sapu. Tapi, bagi Firdaus itu adalah kantor

Bapak. Bapak harusnya bangga karena dari sana, Bapak

mendapat uang dan bisa membelikan makanan ini buat

aku dan Ibu.”

“Tapi mau apa Firdaus ikut ke terminal? Lebih

baik ikut sama Ibu saja, agar Firdaus bisa menjaga Ibu.”

Bujuk pak Jojo. Firdaus hanya tersenyum. Entah apa

maksud dari senyumnya itu.

***

Hiruk-pikuk suasana terminal tampak seperti

biasanya, sesekali terdengar beberapa anak-anak kecil

Page 239: Buku profil Al-Qolam

yang bernyanyi. Firdaus menatapnya ke arah itu. Dalam

pikirnya ia bertanya, apa yang sedang mereka lakukan?

Dengan bernyanyi mereka diberi uang, bisa dipakai

untuk makan. Aku harus mencobanya! Gumam Firdaus.

Kepolosannya membuat dia tak berpikir panjang.

“Maaf kak, apa yang kakak lakukan di mobil

itu? Kok dapat uang?”

Kedua pemuda itu saling bertatapan. Entah apa

yang mereka pikirkan, namun seakan keduanya

mempunyai pemikiran yang sama. Keduanya tersenyum

sinis dan kembali menatap Firdaus. Salah seorang dari

mereka kemudian merangkul Firdaurs dan

mengajaknnya duduk di pinggir jalan diikuti pemuda

yang kedua.

“Kenalin brow nama gue Robet, ini temen gue

namanya Uyun. Loe tadi nanya, apa yang gue lakuin di

dalam bus?” dengan tersenyum manis.

“Firdaus ingin membantu ibu dan bapak, tapi

tidak tahu harus bagaimana untuk mendapatkan

Page 240: Buku profil Al-Qolam

uangnya.” Keluhnya pada pengamen yang baru

dikenalnya di pingggiran jalan tak jauh dari terminal.

Akhirnya, semenjak perkenalan itu Firdaus sering

bertemu dengan pemuda yang bernama Robet dan Uyun

itu. Mereka berdua ,mengajarkan Firdaus cara-cara

mengamen bahkan sesekali sering disinggung jika sehari

tidak dapat uang sedikitpun tiada cara lain kecuali

mencopet. Itulah prinsip yang ditanamkan pada Firdaus

oleh kedua pemuda itu. Sampai suatu hari, Firdaus

merasa jenuh dengan apa yang dia lakukan selama ini.

***

Firdaus berjalan tanpa tujuan. Dia hanya

mengikuti langkah kakinya. Suatu ketika, ia melihat

segerombolan anak berseragam sekolah. Besar

keinginannya untuk bersekolah layaknya anak-anak itu.

Di tengah kesibukanya berangan-angan, matanya tertuju

melihat seorang lelaki yang sedang membaca di kursi

taman kota. Firdaus menghampirinya.

“Nama saya Firdaus, Kak. Saya mau bertanya,

Kakak anak sekolah bukan?”

Page 241: Buku profil Al-Qolam

“Nama Kakak Ikhsan. Kakak Mahasiswa, De.”

“Kenapa kita harus sekolah, Kak?”

“Karena dengan sekolah kita bisa mendapat ilmu,

menjadi anak yang pintar dan bisa sukses. Pendidikan itu

bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Jawaban yang sederhana bagi seorang mahasiswa,

namun itu sebuah pernyaatan baru bagi Firdaus.

“Tapi, kata Robet teman Firdaus di terminal, buat

apa kita sekolah, banyak kok anak sekolah gak mandiri

buktinya mereka sekolah uangnya dari orang tua dan

selesai sekolah kehidupannya gak sukses tidak ada

bedanya dengan anak yang tidak sekolah. Selain itu

katanya buat apa kita peduli sama negara, pemerintahnya

juga gak peduli sama anak-anak jalanan seperti kami.”

“Ade... itu adalah pemikiran yang sempit. Nah, di

sinilah fungsinya kita sekolah. Kita bisa memandang

setiap masalah dengan cara pandang yang lebih bijak.

Dengan ilmu maka kita akan merasakan bagaimana

indahnya hidup kita, bisa berguna untuk orang lain, tidak

hanya memikirkan diri sendiri. Dari mana ade

Page 242: Buku profil Al-Qolam

menyimpulkan kalau pemerintah tidak peduli dengan

pendidikan anak bangsanya?”

“Buktinya pemerintah tidak menyuruh Firdaus

untuk belajar. Kan, orang tua Firdaus tidak punya uang

untuk menyekolahkan Firdaus , kenapa tidak dikasih

uangnya buat Firdaus sekolah?”

“Ade... pemerintah gak mungkin mendatangi

anak-anak semuanya di negeri ini untuk menyuruh

sekolah, nanti bapak presidennya kecapean. He…he...

Tapi, cukup melalui programnya yang mewajibkan anak

usia 6 tahun untuk sekolah dan banyak program-program

lain yang membuat sekolah itu menjadi mudah.

Termasuk masalah biaya ade gak usah sedih. Sekarang

sekolah gratis, De. Kita harus mampu memanfaatkan

kesempatan ini”.

“Kakak mau bimbing aku belajar?”

“Emmm… Baiklah temui Kakak setiap sore di

taman ini. Bagaimana?”

“Iya Kak, Iya.. Firdaus mau...”

Page 243: Buku profil Al-Qolam

“Insya Allah nanti kita buat jadwalnya yah.

Jangan khawatir, De... Kakak tidak sedikit pun menuntut

bayaran dari kamu. Justru ini adalah bentuk pengabdian

Kakak pada negara. Kakak udah dipercaya untuk ikut

mencerdaskan kehidupan bangsa dan salah satunya

adalah dengan berbagi ilmu yang kakak punya pada

anak-anak negeri yang lain.”

“Terimakasih ya, Kak,” dengan wajah gembira

Firdaus kembali ke Terminal.

Detik berlalu, dan inilah waktu yang tak dapat

kembali. Firdaus memanfaatkannya dengan sebaik

mungkin kesempatan belajar dengan kak Ikhsan.

Semangat Firdaus begitu terlihat dan dia tunjukan

keseriusan belajarnya pada kak Ikhsan. Dengan cepat

Firdaus bisa membaca, menulis bahkan dalam waktu

seminggu, Firdaus telah pandai menghitung

penjumlahan dan pengurangan. Walaupun pelajaran

yang diberikan masih sangat sederhana, tapi bagi

Firdaus, itu adalah langkah awal menggapai cita-citanya.

Page 244: Buku profil Al-Qolam

Sore itu, langit biru bersih tanpa awan. Setelah

belajar dengan kak Ikhsan, Firdaus bermaksud ingin

memberikan kejutan pada sang ibu, dia berlari-lari

dengan membawa buku di genggamannya. Langkahnya

terhenti, dia melihat Robet dan Uyun di depannya,

dengan perlahan dia mundur dengan maksud menghindar

dari kedua pengamen yang terkesan preman itu. Namun,

sayang kedua pemuda itu melihat Firdaus. Dengan cepat

keduanya menghampiri Firdaus.

“Selamat bertemu anak manis. Kemana saja

selama ini?” dengan gelagat yang mencurigakan Robet

merangkul Firdaus. Wajah Firdaus tampak pucat,

tangannya gemetar menghadapi kedua pemuda ini.

“Santai saja, jangan ketakutan seperti itu.”

“Maaf, Kak. Firdaus harus segera pulang. Sudah

ditunggu ibu.”

“Apa ini? Sepertinya buku.” Uyun merebut buku

dari genggaman Firdaus.

Page 245: Buku profil Al-Qolam

“Jangan ambil buku Firadus, Kak. Itu buku

Firdaus satu-satunya.”

“Oh, rupanya loe sudah sekolah sekarang?”

Robet tersenyum sinis pada Firdaus.

“Enggak Kak, itu buku peberian kak Ikhsan. Itu

Cuma buku catatan saya. Buat belajar menulis dan

menghitung.”

“Wow... Brow loe baca cita-cita anak ini. Dia

kepengen jadi Dokter. MIMPI!!!”

“Yun, enaknya diapain yah buku ini? Disobek

atau dibakar?”

“Mending disobek, biar lucu” dengan enaknya

Uyun berkata seperti itu.

“Jangan Kak, itu buku Firdaus satu-satunya.”

Wajah memelas Firdaus pada keduanya. Namun, semua

itu tak dihirukan oleh Uyun dan Robet, lantas Robet dan

Uyun menyobek-nyobek buku Firdaus. Firdaus mencoba

menghentikan keduanya. Namun, buku itu telah terlanjur

disobek. Air mata tak terbendung. Firdaus

Page 246: Buku profil Al-Qolam

mengumpulkan sobekan kertas. Disusun kembali

sobekan-sobekan itu namun sia-sia saja yang tersisa kini

di gengggamannya hanya selembar kertas yang

bertuliskan “Ihksan Firdaus, Mahasiswa Kedokteran.”

Entahlah ada apa dengan tulisan itu, namun Firdaus

seakan tak mau kehilangan selembar kertas itu, lebih dari

sekedar kenangan dari kak Ikhsan. Tanpa merasa

bersalah Robet dan Uyun meninggalkan Firdaus masih

dengan tangisnya.

Akhirnya dengan lemah dia menuju

kediamannya. Harapannya untuk menunjukan hasil

belajar kepada ibu bersama kak Ikhsan kini tingggal

harapan. Lembaran mimpinya mendapat pujian dari sang

ibu seakan musnah sudah bersama sobeknya lembaran

buku itu.

***

“Ibu... Bapak... Besok Firdaus akan diwisuda,

kalian akan melihat anak kalian ini lulus dari Fakultas

Kedokteran ternama di Indonesia”.

Page 247: Buku profil Al-Qolam

Ibu Minah dan Pak Jojo tersenyum bangga pada

Firdaus.

“Bu... Akhirnya Firdaus bisa memenuhi janji

Firdaus untuk sekolah. Waktu telah membawa Firdaus

hingga akhirnya Firdaus bisa membuat Bapak dan Ibu

bangga mempunyai anak seorang dokter muda.”

“Teruskan perjuanganmu, Nak. Jangan pernak

letih untuk menghadapi tantangan hidup. Maafkan Ibu.

Ibu tidak bisa hadir di acara wisudamu. Tapi percayalah

doa Ibu selalu menyertaimu. Karena cinta seorang Ibu

tak lekang oleh waktu”.

“Firdaus…”

Firdaus membuka mata, dilihat sekelilingnya

ramai orang-orang yang sibuk mengerjakan berbagai

aktivitas. Kini tersadarlan Firdaus bahwa apa yang

dialaminya hanya mimpi dan kenyataan bahwa ibunya

kini terkujur kaku di samping dirinya. Sang ayah berada

di sisinya.

Page 248: Buku profil Al-Qolam

“Yang tabah ya, Nak... Kamu tadi pingsan. Dan

sebentar lagi kita akan berangkat ke TPU untuk

memakamkan ibu.”

Akhirnya rombongan mengiringi jenazah

Almarhumah bu Minah berangkat menuju TPU. Air

mata Firdaus meleleh, tanpa berkata apapun Firdaus

hanya menatap batu nisan yang ada di hadapannya.

Sebelum meniggalkan pemakaman, Firdaus

mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Dia

tersenyum dan berkata “Bu… Disaksikan senja ini, aku

katakan dihadapan nisan Ibu bahwa suatu hari nanti,

namaku Muhammad Firman Firdaus akan menjadi

seorang Mahasiswa Kedokteran. Karena kekurangan tak

harus menjadi alasan bagi kita untuk cerdas menggapai

mimpi terindah kita.” Senja menyaksikan senyuman

seorang anak negeri. Digaris depan Pendidikan

Indonesia bukalah mata kita kepada mimpi anak-anak

diperbatasan negeri.

Page 249: Buku profil Al-Qolam

Cinta dalam AsmaNya

oleh Rahma Nur Amalia

([email protected])

Allahu akbar! Allahu akbar! Seruan para pejuang

dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak

percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup

dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” Tanyaku

pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang

kau lamunkan?”. Aku terhentak lalu menggeleng. Aku

masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa

yang sesak dalam dada.

***

Sorot mentari pagi terpancar dari jendela kamar.

Ya! ini kosan baruku. Tak besar tapi aku tetap

mensyukurinya. Kau bisa lihat kamarku penuh dengan

poster band-band rock sepanjang zaman. Sejak SMP aku

bercita-cita menjadi vokalis band rock and roll seperti

John Lennon The Beatles, vokalis The Doors, The

Pixies, Rolling Stones, dan band rock zaman 60 sampai

Page 250: Buku profil Al-Qolam

80’an. Gitar akustik yang kuberi nama Gigi adalah

kekasih sejatiku, ia menemaniku setiap pagi dan malam

hari. Ia ku simpan di pojok kamar.

Hari ini, hari ketiga masa orientasi kampus, aku

melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas

keguruan di kota Bandung. Berjalan ditemani

bayanganku sendiri mengenakan seragam putih dengan

celana hitam yang ujar mahasiswa baru lainnya mirip

pegawai toko yang sedang magang dan seutas tali yang

menggantungkan nametag di leherku. Udara di

Bandung sangat berbeda dengan Jakarta. Ya Tuhan!

Rasanya darah ini mulai membeku, dan kau tahu? Aku

tak nyaman dengan seragam seperti ini, saat SMA

akulah satu-satunya murid yang paling banyak catatan

hitamnya.

Rombongan mahasiswa dengan beragam yel-

yelnya mulai memasuki gedung aula yang mampu

menampung hampir tiga ribu orang. “Hey, nama kamu

siapa?” sapa seorang lelaki berambut hitam legam dan

berkulit sawo matang. Aku mengernyitkan dahi “Gue?”

tanyaku. “Iya kamu” sapanya lembut, ternyata ada lelaki

Page 251: Buku profil Al-Qolam

selembut dia juga ya atau mungkin akulah yang hidup

dengan orang-orang keras? Aku tersenyum dan

mengulurkan tangan “Renza Adriansyah, Loe siapa? Eh,

maksudnya nama kamu?” “Iqbal Mutaqqin”. Semenjak

saat itu ia menjadi teman pertamaku.

Hari ini akan ada penampilan dari klub-klub

kampus, aku harap ada klub yang sesuai denganku.

“Klub band kampus mungkin?” aku membatin. Satu

persatu klub maju mempresentasikan komunitasnya.

Mulai dari teater, grup vokal, Pramuka, klub olahraga,

dan terakhir klub keagamaan. Ada lima klub keagamaan

di sini, katanya mereka beda misi tapi satu visi “dakwah”

itu yang disampaikan temanku Iqbal. Padahal, di SMA

saja hanya ada satu rohis. Iqbal terobsesi sekali ingin

bergabung dengan klub itu. Sementara aku? Aku duduk

tanpa memperhatikan. Aku bahkan mulai bosan dengan

suasana ini. Suasana di mana kita seakan dijajah. Ospek,

ya ospek.

“Renza!” seseorang dari seberang sana

memanggil, terlihat lambaian tangannya. Aku pun

membalas. Ia berlari kecil menghampiriku.“Kamu ikut

Page 252: Buku profil Al-Qolam

klub apa?” aku tersenyum seakan malas menjawab.

Berpikir sejenak lalu mengangkat bahu memberikan

tanda bahwa aku tak memiliki jawaban. “Ikut klub

jurnalistik aja yuk?” ajaknya. “Jurusan kita kan memang

sudah menyoal jurnalistik, untuk apa masuk klub itu?”

Deandra terdiam sadar bahwa ajakannya akan ditolak. Ia

masih mematung di sana sementara aku berlalu. Sejak

SMA sudah hampir puluhan orang yang ku buat seperti

itu. Aku terus melaju mengenakan celana jeans hitam,

kaos lengan pendek bergambar the Beatles dan jaket

kulit.

Mentari tenggelam bersama senja, meringkuk

tercuri malam. Aku duduk di serambi rumah kos, rumah

kos putra yang tak begitu rapi, bersama Gigi, gitarku.

Aku mendendangkan beberapa lagu ditemani secangkir

kopi dan rokok. Sudah seminggu kejadian di koridor

Fakultas Bahasa itu, tetap saja aku tidak pernah bisa

tidur dengan nyenyak.

***

Page 253: Buku profil Al-Qolam

Ku beranikan diri duduk di taman itu, di bangku

kosong di sampingnya. Entah apa yang menggelapkan

pikiranku hingga aku seberani ini. Padahal ketika SMA

aku benar-benar orang yang dingin dan ahli dalam

memainkan perasaan wanita.

Aku tersenyum padanya, ia mengernyitkan dahi

sambil tersenyum kecil seperti merasa risih ada seorang

pria yang duduk di sampingnya. Tidak bukan di

sampingnya jarak kita sekitar satu meter.

“Jreng….” nada pertama yang dikeluarkan Gigi.

Aku membawakan sebuah lagu dari Ari Lasso dengan

percaya diri sambil menghadapkan posisiku ke arahnya.

Ia hanya mematung memandang ke depan sambil

memegang sebuah buku.

“Kau cantik hari ini… jreng” “ ... dan aku suka”

lanjutku.

Ya, dia melirik, dia tersenyum dan…. pergi?

“Hey, Assalamualaikum, aku sudah lama nunggu.

Jadi pergi ke mentoring kali ini?” Ucapnya sambil

Page 254: Buku profil Al-Qolam

menjabat tangan temannya yang berada di belakangku.

Ya, Tuhan! Padahal senyumnya indah sekali, tapi

sayangnya bukan untukku, dan sayangnya lagi temannya

tak menyebutkan namanya, lalu siapa dia? Tadinya hari

ini aku ingin bertanya siapa namanya, jurusan apa atau

sekedar berkenalan.

***

Hari berlalu, entah apa yang terjadi karenanya

aku bisa meninggalkan sedikit demi sedikit masa laluku.

Bersama Iqbal, seorang aktivis dakwah sekaligus teman

sejatiku. Ku pikir ia tak akan peduli, tapi setelah itu

“Bal, ajarin gue Islam dong” Ia dan teman-teman lainnya

menuntunku, kau tahu untuk mengubah sikap ini aku

memerlukan waktu hampir lima semester. Saat Iqbal

bilang “Cinta dalam diam itu lebih keren bro. Kamu

cintai Tuhanmu dan dia cintai Tuhannya tanpa ada yang

tahu. Biar Dia yang membolak balikan hati, karena

wanita yang baik untuk pria yang baik, dan sebaliknya.”

Aku tak pernah lagi menatapnya. Poster di kamarku kini

ku hilangkan, pakaianku pun mulai berubah seiring

berjalannya waktu.

Page 255: Buku profil Al-Qolam

Aku kini mengikuti komunitas kepenulisan

Islami, kau tahu ajakan Deandra dulu ada benarnya juga

ia mengajakku ke klub jurnalistik dan aku mengatakan

untuk apa masuk klub jurnalistik toh jurusan kita pun

menyoal tentang itu. Tapi itu hanya alasanku agar tak

bersama Deandra, tapi penolakanku itu, membuatku

berada di tempat ini. Aku mulai sering meliput berita

atau membuat syair-syair Islami, aku pun sudah mulai

membuat sebuah buku Islam. “Karena lelaki nakal

sekalipun pasti menginginkan wanita yang baik untuk

menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak.” Entah niatku ini

salah atau benar aku hanya ingin tuhanku mengampuni

segala kesalahan yang ku perbuat, kesalahan di saat aku

acuh ketika melihat orangtuaku menangis karena

kenakalanku. Kesalahan dimana aku tak pernah

menyebut namaNya, merasakan kedekatanNya, dan

mensyukuri nikmat yang Ia berikan untukku.

***

Allahu akbar! Allahu akbar! seruan para pejuang

dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak

percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup

Page 256: Buku profil Al-Qolam

dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” tanyaku

pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang

kau lamunkan?” aku terhentak lalu menggeleng. Aku

masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa sesak

dalam dada. Dia, wanita itu... Sudah lama aku tak

melihatnya. Senyumnya masih seperti dulu ia melangkah

bergandengan dengan lelaki di sampingnya.

“Cie kepengen kayak gitu ya?” tanya Doni.

“Haha bisa saja, aku masih harus menyelesaikan

proposal skripsiku dulu. Kau tahu siapa dia?”

“Oh itu, namanya kak Zahra Amarilia dia Jurusan

Bahasa Arab, dia lebih tua satu tahun dari kita. Sebentar

lagi kabarnya dia akan sidang skripsi”

“Lalu lelaki di sampingnya?”

“Itu suaminya, mas Angga alumni kampus kita

juga ko, Subhanallah mereka pasangan yang cocok.

Selalu menjaga pandangannya.”

Aku tersenyum, entah apa yang kurasa. Aku tak

terlalu mengenalnya, dan mungkin inilah takdir Allah.

Page 257: Buku profil Al-Qolam

Zahra Amarilia, wanita yang kutemui hampir tiga tahun

lalu. Wanita yang duduk di koridor Fakultas Bahasa,

matanya terpejam, saat itu aku tak tahu apa yang ia

lakukan. Tapi aku merasa dia sedang dalam damai. Ada

suara kecil dari bibirnya, lantunan ayat Al-Qur’an. Ya,

aku baru menyadarinya saat ini.

“Kamu kenapa?” Tanya Doni. “Enggak, enggak

apa-apa.” Aku memberikan senyum tulus kepada sahabat

seperjuanganku ini, selain Iqbal. Lalu pertanyannya, apa

aku akan berubah lagi seperti dulu karena kak Zahra

menikah dengan orang lain? Jawabannya adalah tidak.

Karena cinta sejati itu suci, ia akan hadir pada hati yang

selalu menyebut asmaNya.

Page 258: Buku profil Al-Qolam

Selepas Lebaran

oleh Iis Titi

([email protected])

Selepas lebaran tahun ini, Pak Rahmat betul-

betul baru merasakan hidayah yang begitu nikmat.

Betapa ia sangat bersyukur dan menyadari bahwa Allah

masih menyayanginya dan keluarganya. Di dalam masjid

kecil ini selepas salat Duha, ia tak henti-hentinya

berdzikir, memanjatkan syukur pada Illahi. Ketenangan

dan kedamaian suasana masjid ini, membuatnya berada

dalam kondisi yang bisa merasakan tangan Tuhan

mengelus lembut dirinya. Inilah kedekatan antara hamba

dan Tuhannya. Setelah berdzikir, Pak Rahmat masih

duduk bersila di tempat salatnya. Ia menerawang langit-

langit masjid. Masjid ini meski kecil, tapi sering dipakai

untuk salat Tarawih hingga jamaah tumpah ke teras

masjid bahkan jamaah beralas tikar di halaman masjid

untuk mengikuti salat Tarawih di masjid ini. Ia masih

ingat. Ketika Ramadan kemarin, ia hanya melintas

melihat jamaah salat Tarawih di waktu bada Isya. Setiap

Page 259: Buku profil Al-Qolam

bada Isya memang Pak Rahmat baru pulang. Pak

Rahmat jatuh lebih dalam pikirannya, memori kemarin

membukanya untuk sejenak berpikir tentang hidayah itu

nyata datangnya dan Allah telah memberikan padanya.

Pak Rahmat masih ingat baru tiga hari ia

melaksanakan ibadah lima waktu. Memang bertahun-

tahun lalu Pak Rahmat tak pernah melakukan salat

apalagi puasa wajib. Setiap Ramadan, ia tak pernah ikut

berpuasa dan salat Tarawih. Ketika masih kecil, Pak

Rahmat selalu rajin ibadah termasuk amalan salat sunah.

Tetapi, karena kenyataan bahwa ayahnya menikah lagi

dengan ibu tirinya dan meninggalkan ibu kandungnya

menjadi masalah dalam hidupnya. Kenyataan bahwa ibu

tirinya membedakan perlakuan antara Pak Rahmat kecil

dengan anak kandungnya. Perlakuan itu membuat Pak

Rahmat sakit hati dan membuat acuh pada ayah dan ibu

tirinya bahkan mengacuhkan Tuhan. Tuhan begitu tidak

adil padanya, pikirnya. Semenjak itu ia tak pernah lagi

salat apalagi puasa wajib dan lebih fokus mencari uang.

Karena pengaruh lingkungan dan teman, Pak

Rahmat remaja -hingga sudah menikah- terbawa

Page 260: Buku profil Al-Qolam

meminum minuman beralkohol. Ketika di kampung-

kampung masih ada acara dangdutan, Pak Rahmat dan

kawan-kawannya sering minum alkohol dan berjoget di

panggung dangdut kampung. Minuman beralkohol itu

diminum agar tidak malu saat berjoget di atas panggung.

Karena pengaruh alkohol yang bisa membuat orang tak

sadar, Pak Rahmat pernah memarahi anak-anak muda

yang nongkrong di depan rumahnya. Karena dianggap

merusak tanaman di halaman rumahnya. Alhasil, hal itu

membuat gambaran Pak Rahmat yang tak baik di depan

tetangganya. Tak hanya meminum minuman alkohol,

Pak Rahmat juga gemar main sabung ayam dan berjudi

walaupun kecil-kecilan.

Jika ia melihat masa lalu yang baru

ditinggalkannya, ia merasa sangat malu dan menyesal.

Ramadan yang baru beberapa hari berlalu dan Lebaran

yang baru saja usai membuat ia berpikir ‘kenapa baru

sekarang ia menyadari?’. ia merasa sangat berdosa

karena tak melakukan puasa wajib Ramadan, salat wajib,

dan salat Tarawih, jauh dari Allah.

***

Page 261: Buku profil Al-Qolam

Cerita bagaimana Pak Rahmat ditegur dan

disadarkan oleh Allah melalui anak pertama Pak

Rahmat. Pak Rahmat yang sudah menikah dan

mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya bisa

dibilang punya ‘kelainan’ dan anak keduanya normal

bahkan lebih aktif bersosialisasi dengan teman-teman

sebayanya dibandingkan kakak pertamanya. Anak

pertama Pak Rahmat adalah seorang laki-laki, wajahnya

tampan dan badannya tinggi. Namun, setelah lulus

menempuh sekolah menengah pertama, anak pertama

Pak rahmat itu memutuskan untuk tidak meneruskan

sekolah. Alasannya adalah capek untuk berpikir.

Walaupun nilainya rata-rata bagus.

Anak pertama Pak Rahmat hanya diam di rumah

dan cenderung berdiam diri di dalam kamar. Hal ini

tidak membuat Pak Rahmat dan istrinya tak merasa aneh

dengan kelakukan anaknya. Karena memang hal itu

sering dilakukan saat masih bersekolah. Hal aneh

muncul ketika anak perrtama tersebut sudah tidak mau

lagi dipinta orang tuanya membelikan sesuatu ke warung

atau dipinta untuk membantu membereskan pekerjaan

Page 262: Buku profil Al-Qolam

rumah. Ia lebih suka berdiam diri dalam kamar dan

ketika ada temannya yang mengajaknya bermain, ia

memilih untuk menolaknya. Sebenarnya apa yang

dilakukan di dalam kamar, Pak Rahmat sama sekali tidak

tahu. Memang di kamarnya ada televisi, mungkin saja itu

menyebabkan anak pertamanya betah di dalam kamar.

Keluarga Pak Rahmat bisa dibilang kurang

agamis sehingga tak heran bila istri dan anak-anaknya

sama seperti Pak Rahmat, tidak beribadah. Termasuk

anak pertamanya. Di hari lebaran, seperti keluarga

lainnya, Pak Rahmat dan keluarganya memang pergi ke

tempat untuk salat Idul Fitri di tempat tinggalnya.

Memakai pakaian baru dan membawa sajadah.

Percayalah keluarga Pak Rahmat hanya setahun sekali

melaksanakan salat, salat Idul Fitri. Itupun dilakukan

karena malu kalau dicap tidak salat Idul Fitri oleh warga

sekampung.

Sehari setelah lebaran, kejadian tak disangka-

sangka terjadi. Anak pertama Pak Rahmat terbatuk-batuk

dan merasa sesak. Pak Rahmat pun sontak terkejut dan

panik. Anak pertamanya itu terus berteriak-teriak “saya

Page 263: Buku profil Al-Qolam

takut mati, takut mati”. Menangis dan marah dalam

waktu bersamaan. Anak pertamanya itu mengatakan

bahwa ada yang suara-suara yang ingin membawanya

pergi dan ia takut. Tetangga-tetangga pun berdatangan,

penasaran apa yang terjadi. Salah seorang tetangga

menyarankan agar memanggil seorang kiai. Pak Rahmat

pun mengikuti saran tetangga tersebut. Setelah kiai

datang dan menenangkan anak pertama Pak Rahmat.

Kiai tersebut mengatakan bahwa tidak ada makhluk apa

pun yang mengganggu anak tersebut. Namun, anak

pertama Pak rahmat itu terus mengatakan bahwa ada

‘makhluk’ yang mengganggunya dan membuat ia takut.

Setelah kejadian itu, esok harinya kejadian yang

sama terulang. Kali ini Pak Rahmat disarankan

membawa anaknya ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa

keadaan jiwa anak pertamanya setelah beberapa orang

‘pintar’ dan kiai didatangi. Mungkin karena Pak Rahmat

merasa bingung dan bersalah pada anaknya. Akhirnya, ia

mengikuti saran tersebut. Tanpa sepengetahuan anak

pertama, Pak Rahmat dan anak pertamanya serta

beberapa tetangganya pergi ke rumah sakit jiwa. Betapa

Page 264: Buku profil Al-Qolam

terkejutnya sang anak pertama tersebut mengetahui

bahwa bapaknya telah berbohong. Anak pertama itu

hanya mengetahui bahwa ia akan dibawa ke tempat

alternatif lain bukan rumah sakit itu. Dengan perasaan

marah, anak pertama itu turun dari mobil dan mengikuti

perintah bapaknya.

Anak pertama Pak Rahmat diperiksa seperti

orang yang benar-benar gila. Petugas rumah sakit itu

menyarankan agar disuntik, entah obat apa. Pak Rahmat

yang saat itu hanya berpikir untuk keselamatan anaknya

maka ia setuju peyuntikan itu. Anak pertama Pak

Rahmat meronta-ronta tidak mau disuntik dan menangis

meminta bapaknya agar menolongnya untuk tidak

disuntik. Hal tersebut membuat Pak Rahmat tidak kuasa

menahan tangis dan pergi keluar ruangan, membiarkan

anaknya dipaksa disuntik. Tubuh anak pertama Pak

Rahmat lemas akibat suntikan itu. Sehingga tak punya

daya lagi untuk marah. Obat pun diterima Pak Rahmat

dari rumah sakit itu dan biaya yang harus dibayar oleh

Pak Rahmat juga tidak kecil. Di sepanjang perjalanan

pulang, sudut mata Pak Rahmat tak pernah kering.

Page 265: Buku profil Al-Qolam

Istri Pak Rahmat marah saat mengetahui tindakan

Pak Rahmat yang membiarkan anak pertamanya seperti

pasien orang gila. Istrinya mengetahui bahwa rumah

sakit jiwa itu memang suka sewenang-wenang

menyuntikkan obat ke pasien yang baru datang tanpa

pemeriksaan lebih lanjut terlebih dahulu. Menyadari

kesalahannya yang ia buat telah merusak masa depan

anaknya. Pak Rahmat amat menyesal dan dalam keadaan

putus asa. Kakinya bergerak ke arah masjid sekitar

rumahnya. Di teras masjid itu, ia bertemu dengan

seorang lelaki berpakaian putih, bersih, dan wajahnya

bercahaya. Entah dari mana lelaki itu muncul, wajahnya

bukan warga kampung yang dikenalinya. Sepertinya

seseorang luar kampung, duga Pak Rahmat.

Dengan lembut, lelaki itu berkata, “Kejadian

yang terjadi saat ini pada Pak Rahmat adalah ujian dari

Allah Swt.”

Pak Rahmat kaget lelaki itu mengetahui

namanya. Pak Rahmat tidak menanyakan dari mana ia

mengetahui namanya kepada lelaki itu. Hanya diam dan

menunggu kelanjutan perkataannya.

Page 266: Buku profil Al-Qolam

Lelaki itu meneruskan perkataannya, “Tidak ada

kata terlambat untuk kembali pada-Nya. Allah sangat

menyayangi-Mu. Anak keduamu selalu mendoakan agar

kau sekeluarga mendapat hidayah. Allah mendengar

semua doa yang dipanjatkan pada-Nya. Hanya tinggal

menunggu waktu untuk Allah menjawab semua doa

hambanya. Kembalilah, kerjakan lagi ibadahmu.

Bersabar dan bersyukurlah, karena itu adalah tingkatan

iman paling tinggi. Ajaklah istri dan anak-anakmu untuk

kembali dekat dengan-Nya.”

Setiap kata yang diucapkan lelaki itu meresap

dalam hati Pak Rahmat. Pak Rahmat menunduk dalam

dan menangis. Dalam hatinya, ia begitu merasa terharu

karena meskipun ia telah melupakan Tuhan, tapi Tuhan

tak pernah melupakannya.

***

Lamunan Pak Rahmat bertempiar ketika anak

pertamanya memanggilnya.

“Pak... Pak...”

Page 267: Buku profil Al-Qolam

“Iya, Nak?”

“Ada kakek datang, jauh-jauh dari kampung

seberang.”

“Iya, Nak, mari kita temui kakekmu.” Pak

Rahmat berjalan ke arah anak pertamanya.

Pak Rahmat bersyukur anaknya sudah baik

kembali dan mulai bersosialisasi dengan warga sekitar.

Rasa syukur yang nikmat dirasakan Pak Rahmat kini

menjadikan ia lebih tenang dan tentunya lebih dekat

dengan Allah Swt. Dalam benaknya kini, ia harus

berbaikan dengan ayahnya.

***

Page 268: Buku profil Al-Qolam

Khasirin dan Rahmah oleh Windi Nugraha Fadilah / Fadil Ibnu Ahmad

([email protected])

Hitam. Warna itulah yang hanya bisa dilihat oleh

matanya. Semenjak sakit berbulan-bulan beberapa tahun

yang lalu, Khasirin kehilangan pandangannya. Dia tak

bisa lagi melihat indahnya pelangi, hijaunya rerumputan,

kuningnya sawah yang siap dipanen, dan pemandangan

yang semacamnya.

Brukkkk! Suara jatuh terdengar di lantai kayu.

Lelaki tu mengaduh kesakitan sambil memegangi

lututnya.

“Aduuuhhh!” erang Khasirin. Tak ada seorangpun

yang menolongnya karena lantai kayu di pelataran

masjid itu sepi, belum masuk waktu salat. Dia

memejamkan mata dan memperlihatkan giginya, dia

bangkit ditopang dengan tongkat yang selalu menjadi

teman setianya.

Kriing... Kriing.... Suara ponsel Khasirin

berdering. Dia meraba saku kanannya. Setelah

ditemukan, jempolnya meraba-raba mencari di mana

tombol untuk menerima panggilan telepon.

“Halo, siapa ini?” tanya Khasirin.

Page 269: Buku profil Al-Qolam

“Assalamualaikum. Kamu baik-baik aja kan, Rin?

Ini aku, Rahmah.” tanya Rahmah, wanita sebaya dengan

Khasirin.

“Waalaikumsalam. Oh Rahmah, aku baik,

kenapa?” Khasirin balas bertanya.

“Enggak, aku tadi lihat kamu jatuh. Aku khawatir,

makanya aku menghubungi kamu.”

“Kamu baik sekali, Rahmah. Maaf aku nggak bisa

membalas lebih” kata Khasirin dengan nada sedikit

sedih.

“Hmmmmmmm, Rin, boleh aku tanya sesuatu?”

nada Rahmah sedikit gerogi.

“Tanya apa, Rahmah?”

“Ka.... Kamu besok ada acara nggak?” suara

Rahmah masih terdengar terbata-bata.

“Enggak ada kayaknya, ada apa?”

“Ehmm, aku ingin ketemu kamu, bisa?” Rahmah

memberanikan diri.

“Aku nggak bisa melihat, kamu tahu kan? Aku

malu. Dan kamu pun mungkin akan malu jika bersama

denganku.”

Page 270: Buku profil Al-Qolam

“Ya udah kalau enggak mau, mungkin di lain

waktu kamu bisa. Semoga kamu baik-baik aja, Rin.

Assalamualaikum.” dengan nada melemah, Rahmah

menutup percakapan itu.

“Waalaikmsalam. Maafkan aku, Rahmah.” jawab

Khasirin.

Percakapan hari itu mengundang tanda tanya bagi

Khasirin. Apa alasan Rahmah ingin bertemu dengannya?

Apa ada sesuatu yang sangat penting sehingga dia

mengajak bertemu? Pikiran-pikiran itu dibuang jauh-

jauh oleh Khasirin. Lantas, dia pulang ke rumahnya

dengan lutut yang masih sakit akibat terjatuh tadi.

***

Di suatu malam, Khasirin merenung di dalam

kamarnya. Mengingat semua memori-memori ketika dia

masih bisa melihat dulu. Tubuhnya tertelungkup miring

ke arah kanan ranjang. Lama-lama air matanya tumpah,

meratapi takdirnya yang sudah tak bisa melihat lagi.

“Kenapa harus aku, Ya Allah?” rintih Khasirin di

dalam kamarnya.. Dia seakan menahan rasa sakit yang

tak tertahankan. Dia putus harapan, seolah tak ada alasan

lagi baginya untuk hidup. Tapi, Khasirin bukanlah orang

yang berpikiran pendek. Dia harus bangkit dari

keterpurukan yang dia anggap berasal dari matanya yang

sudah tak bisa melihat lagi.

Page 271: Buku profil Al-Qolam

***

“Permisi...” suara tukang pos setengah berteriak.

Khasirin yang masih berada di dalam kamar dengan

mata yang membengkak terbangun dari tidurnya.

“Permisi... sepada...” tukang pos masih berada di

depan pintu rumah Khasirin. Khasirin mulai bangkit, lalu

membawa tongkatnya dan berjalan sempoyongan

membuka pintu.

“Permisi, apa benar di sini alamat rumah Bapak

Khasirin?” tanya tukang pos, ramah.

“Iya benar, saya sendiri. Anda siapa? Maaf

penglihatan saya sedang terganggu.”

“Saya petugas pengantar surat, Mas. Ini ada surat

untuk Mas, mohon diterima.” Tukang pos memberikan

surat itu ke Khasirin dengan sopan.

“Kalau boleh tahu, dari siapa ya, Pak?” tanya

Khasirin.

“Kalau dilihat dari amplopnya, surat itu dari

Rahmah, Mas. Kalau begitu saya pergi dulu, masih

banyak surat yang harus diantarkan, permisi Mas.” kata

tukang pos berpamitan.

“Iya, Pak. Terima kasih.”

Page 272: Buku profil Al-Qolam

Khasirin kaget, kenapa Rahmah mengirim surat

kepadanya? Tidak biasanya dia begitu, biasanya dia

langsung menelepon. Ini pertama kalinya Rahmah

mengirim surat kepada Khasirin. Dengan cepat, Khasirin

menghampiri tetangganya yang berjarak hanya satu

meter dari rumahnya.

“Sep, boleh minta tolong bacain surat ini, Sep.

Boleh?”

“Oh, boleh. Coba sini mana suratnya?”, kata asep

sambil menyodorkan tangan kanannya.

“Nih, Sep.” Khasirin menyodorkan suratnya

kepada Asep.

Asep membaca surat itu dengan saksama. “Wah,

alhamdulillah. Surat ini bilang kalau ada orang yang mau

mendonorkan matanya buat kamu, Rin. Kamu diminta

ke rumah sakit Islam besok pagi jam delapan.” ujar

Asep.

Sontak Khasirin turun dari sofa kecil itu dan

menempatkan kepalanya di atas tanah sambil mengucap

syukur. “Alhamdulillah ya Allah. Engkau Maha Baik,

akhirnya aku bisa melihat lagi.” Seketika itu pula

melelehlah air mata Khasirin yang dibarengi oleh

kalimat-kalimat doa.

“Mau saya anterin?” Asep menawarkan.

Page 273: Buku profil Al-Qolam

“Iya boleh, Sep. Makasih banyak, kamu terlalu

banyak membantuku.” Kata Khasirin dengan nada masih

terisak-isak.

***

Singkat cerita, Khasirin telah menjalani operasi

mata. Dia mengucapkan terima kasih yang terhingga

kepada Rahmah karena telah mencarikan orang yang

mau mendonorkan matanya. Khasirin merasa senang

karena punya teman yang baik dan perhatian seperti

Rahmah, meskipun mereka belum pernah bertemu.

Satu bulan telah berlalu semenjak Khasirin

melakukan operasi mata. Akhirnya dia bisa pergi ke-

mana-mana tanpa hambatan dan tongkat penunuk jalan.

Dia bisa melihat indahnya taman kota, kendaraan yang

berseliweran di jalan, anak-anak yang bermain di

halaman rumahnya, juga tak ketinggalan langit biru yang

selalu menjadi atap bagi dunia.

Kriiiing... Kriiiing... “Halo, Assalamualaikum, ini

dengan siapa?” ucap Khasirin.

“Ini aku, Rahmah. Kamu enggak ada acara siang

ini? Aku mau ketemu, boleh?”

“Iya Rahmah, sangat boleh. Kalau begitu kita

janjian jam dua di taman, gimana?”

Page 274: Buku profil Al-Qolam

“Baiklah, sampai ketemu. Assalamualaikum.”

Rahmah menutup teleponnya.

Khasirin, tak sabar ingin bertemu dengan orang

yang selama ini begitu perhatian kepadanya.

***

Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat.

Rahmah dengan wajah putihnya yang ditutup dengan

kerudung merah marun menambah kesan anggun bagi

siapa saja yang melihatnya. Rahmah duduk di bangku

yang dinaungi sebuah pohon rindang, sehingga dirinya

terlindungi dari sinar matahari.

Khasirin pun tiba di taman. Dia kemudian duduk di

bangku yang berada di sebelah kanan Rahmah. Khasirin

duduk di samping orang yang sepertinya sedang

menikmati taman, tapi anehnya dia membawa tongkat

penuntun jalan. “Sepertinya orang ini tak bisa melihat,

seperti saya dulu.” Pikir Khasirin.

Kriiiing... Kring... “Assalamualaikum. Kamu di

mana, Rahmah?” tanya Khasirin.

“Aku duduk di bangku yang ada di bawah pohon.”

Khasirin lantas melihat ke arah kanan tubuhnya.

Ditutupnya sambungan telepon. “Kamu Rahmah?” tanya

Khasirin kepada orang yang duduk satu bangku

dengannya.

Page 275: Buku profil Al-Qolam

“Iya, kamu Khasirin, kan?” Rahmah bertanya

balik.

“Iya betul.”

“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu juga.

Aku sangat menanti pertemuan ini, Rin.” ujar Rahmah

dengan nada sumringah.

Khasirin berpikir keras untuk mengeluarkan kata-

kata selanjutnya. Ternyata kenyataan bertemu Rahmah

tak sesuai dengan harapan. Dia merasa kecewa karena

Rahmah buta seperti dirinya dahulu. “Maaf Rahmah,

sepertinya kita hanya bisa bertemu saat ini saja.”

“Kamu kenapa, Rin? Ada yang salah denganku?”

“Tidak ada. Maaf Rahmah, aku harus pergi.” Kata

Khasirin sambil melangkah pergi.

“Kamu mau ke mana, Rin? Khasirin...?” Khasirin

meninggalkan Rahmah begitu saja.

Tetesan air mata mulai jatuh dari pelupuk mata

Rahmah. Hatinya sakit, hancur diperlakukan seperti itu

oleh Khasirin. Sapu tangan biru muda dikeluarkannya

untuk mengelap pipinya putihnya yang basah. Dengan

cepat dia meraih tongkatnya lalu pergi sambil menutupi

mulutnya.

***

Page 276: Buku profil Al-Qolam

“Ah, aku kira dia orang normal. Tak tahunya tak

bisa melihat sepertiku dulu.” Ujar Khasirin dengan nada

kecewa. Dia duduk di pinggir jalan dan asyik sendiri

dengan rasa kecewanya saat itu.

Terlihat seorang wanita muda tergeletak bersimbah

darah dengan posisi terlentang dengan mata terpejam.

“Rahmah!!!” kata Khasirin setengah teriak.

Dengan sigap Khasirin menggendong Rahmah

yang tak sadarkan diri tanpa mempedulikan orang-orang

sekitar. Dia melarikan Rahmah ke rumah sakit yang

arahnya tak jauh dari taman. Khasirin setengah berlari

dan memasuki gerbang rumah sakit. Ada seorang

perawat yang sigap menghampiri Khasirin, kemudian

membantunya.

“Darurat, Sus! Di mana ruang IGD? Teman saya

ini korban tabrak lari, butuh pertolongan cepat!” ujar

Khasirin dengan nada khawatir.

Suster lalu mengantar Khasirin yang sedang

menggendong Rahmah ke ruang IGD, sementara suster

yang lain segera memanggil dokter untuk melakukan

penanganan cepat. Secepat kilat Khasirin memosisikan

tubuh Rahmah di ranjang IGD. Dokter dengan timnya

sudah tiba dan meminta Khasirin untuk menunggu di

luar.

Page 277: Buku profil Al-Qolam

Di luar ruang IGD, ia membuka tas Rahmah,

kemudian mencari telepon genggamnya untuk

menghubungi pihak keluarga. Namun, ia justru

menemukan sepucuk surat bertuliskan “Untuk Khasirin”.

Dengan jantung berdebar, dia membacanya perlahan.

Assalamualaikum.

Untuk Khasirin,

Memang kita tak pernah berjumpa, tapi harus

kuakui bahwa aku selalu mengkhawatirkanmu. Ketika

dirimu terjatuh atau dirimu sedang kesulitan, aku segera

meneleponmu untuk memastikan bahwa dirimu baik-baik

saja. Aku merasa sudah mengenalmu, meski aku baru

mengenalmu sekitar delapan bulan yang lalu. Kamu

laki-laki yang hebat, Khasirin.

Aku mengagumimu, Khasirin. Aku suka dengan

ketabahanmu selama beberapa bulan kemarin. Aku

selalu memerhatikanmu dari jauh, karena rasa

khawatirku yang mungkin dianggap berlebihan. Aku

hanya ingin memastikan bahwa dirimu baik-baik saja.

Harus kamu tahu, Khasirin. Aku menulis surat ini

sebelum dirimu melakukan operasi mata. Kamu tahu?

Kedua bola mata yang ada padamu itu adalah bola

mataku, jika sekarang kamu membaca surat ini. Aku

memberikan kedua bola mataku kepadamu karena aku

mencintaimu. Ya, aku mencintaimu, Khasirin. Tak peduli

Page 278: Buku profil Al-Qolam

jika sekarang aku sudah tak bisa melihat lagi. Aku hanya

ingin dirimu bisa kembali melihat indahnya dunia.

Mungkin aku tak tahu malu dengan menulis surat

ini. Tapi pada akhirnya aku sudah lega, setidaknya

beban di dalam hatiku sudah berkurang. Pergunakan

mataku dengan baik, dan jangan sia-siakan hidupmu.

Salam,

Rahmah Mustika.

“Ya Allah, jangan Engkau cabut dulu nyawa

Rahmah, hamba mohon....” Khasirin memelas dengan air

mata yang terus mengalir. Apakah Rahmah akan selamat

dari peristiwa tabrakan? Bagaimana perasaan Khasirin

setelah mengetahui bahwa Rahmah begitu mencintainya

sehingga rela memberikan kedua matanya? Apa yang

akan dikatakan dokter setelah keluar dari ruang IGD?

Page 279: Buku profil Al-Qolam

Nesya Vs Rafka

Oleh: Layla Nusaibah

([email protected])

“Kamu ya... benar-benar sama sekali gak ada

sopan santunnya sama sekali sama kakak!” Nesya

menyerungut kesal sambil melempar bantal angry bird

kesayangannya ke arah Rafka yang sedang asyik

menjulurkan lidahnya dengan ekspresi wajah mengejek.

“Wwwekk-Wekk!”

“Sana pergi jauh-jauh deh dari hidup aku! Dasar

pengacau...” gerutu Nesya.

Begitulah jika Nesya bertemu dengan Rafka.

Selalu terlihat seperti sepasang Tom and Garry yang

tidak pernah akur. Ada saja hal yang membuat mereka

berseteru. Ya, contohnya saja seperti malam ini ketika

Nesya hendak belajar. Tiba-tiba Rafka yang usil sengaja

mengganggunya dengan tembakan air yang baru

dibelikan Ibu tadi pagi di pasar.

Page 280: Buku profil Al-Qolam

Nesya, si gadis imut yang sedang duduk di kelas

tiga SMP itu mungkin sangat kewalahan dengan adiknya

Rafka yang super usil. Setiap kali mereka bertemu, maka

setiap kali itu pula mereka bertengkar. Barangkali inilah

yang dikatakan orang serunya punya saudara. Hehe…

Seru?? Ya bisa dibilang seperti itu. Bukankah

perseteruan itu diciptakan sebagai pemberi warna bagi

kehidupan? Tapi jangan kelamaan yah, karena bisa

berakibat jauh dari kasih sayang Allah Swt.

***

Walaupun hari itu cuaca sangat panas, namun

tidak mengurangi semangat Nesya untuk terus berlatih

PBB di eskul PASKIBRA di sekolahnya. Nesya memang

termasuk gadis yang selalu gigih dan pantang menyerah.

Semangatnya dalam berorganisasi terlihat dari

kekonsistensiannya dalam belajar dan berkarya.

Makanya jangan heran kalau prestasinya membludak.

Selain itu, prestasi di kelasnya pun patut diacungi

sepuluh jempol.

Setelah latihannya selesai, Nesya kemudian

berjalan menuju pohon mangga yang berada di sudut

lapangan upacara. Ia berencana pulang bersama

Page 281: Buku profil Al-Qolam

temannya, Zaky. Tiba-tiba ingatan Nesya melayang pada

perlakuan adiknya yang seringkali membuatnya jengkel.

Ingatan itu membuatnya benar-benar merasa kesal

berkali-kali lipat. Wajahnya memerah saat ia sibuk

memutar ingatannya.

Sebesar apapun kekesalan Nesya terhadap

adiknya, tetap saja ia adalah seorang kakak. Meski

pertengkarannya masih tergolong dalam taraf wajar.

Namun terbesit keinginan untuk berdamai dengan

adiknya. Ia tidak ingin ada pertengkaran lagi dengan

adiknya yang baru menginjak sembilan tahun itu.

“Tapi.. Apa bisa?” Gumam Nesya kemudian.

Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Nesya, Zaky

datang dan mengagetkannya.

“Nes! Ngapain sih? Wajahnya merah tuh.

Melamun ya? Sore-sore begini melamun. Pamali tahu!

Apalagi melamunnya di bawah pohon mangga. Enggak

serem apa?” Celoteh Zaky sambil menenteng dua

kantong plastik putih besar sebesar tong sampah.

Perhatian Nesya tertumpah pada kantong yang dibawa

Zaky.

“Ky, itu apa?” Tanya Nesya penasaran.

Page 282: Buku profil Al-Qolam

“Ini seragam kita buat lomba PBB besok” Jawab

Zaky sambil memperlihatkan isi kantong yang tidak

begitu ringan.

“Kenapa dibawa? Enggak berat?” Tanya Nesya

penasaran.

“Kelihatannya?” Zaky malah berbalik bertanya.

“Oke. Sini aku bantu bawakan satu” Pinta Nesya

sambil menggait salahsatu kantong tersebut. Mereka

kemudian berjalan beriringan.

Warna jingga pada ornamen cakrawala di ufuk

barat menampilkan selaksa senja yang begitu indah.

Burung-burung terbang hilir mudik meramaikan langit

yang begitu sangat luas tiada batas. Nesya dan Zaky

takjub atas kuasa Allah yang tiada tandingannya. Mereka

pun mengucap tahmid sebanyak-banyaknya.

“Oya. Tadi kenapa kamu melamun?” Zaky

mencoba membuka pembicaraan. “Karena nunggu aku

kelamaan ya? Maaf ya. Kalau tidak karena dipanggil

kakak pelatih tadi…”

Nesya yang diajak bicara malah diam seribu

bahasa. Pikirannya kembali melayang pada adik semata

wayangnya yang berada di rumah kini. Ah, seandainya

Page 283: Buku profil Al-Qolam

Nesya bisa melupakan perilaku adiknya yang masih

kecil itu, mungkin persoalannya tidak akan memanjang

dan mengganggunya seperti ini.

“Nes. Nes!” Lamunan Nesya dihancurkan lagi

oleh Zaky. Ia kemudian menoleh ke arah teman

sekelasnya itu. Badannya yang semampai membuat

dirinya tidak perlu bersusah payah untuk menemukan

wajahnya yang hitam legam terbakar matahari akibat

latihan PBB di siang bolong tadi. Matanya yang bulat

teduh dengan alisnya yang hitam serupa ulat bulu

menggambarkan keteguhan hatinya. Kemudian terlintas

dalam benak Nesya untuk bercerita pada Zaky tentang

adiknya.

“Ky, kamu punya adik?” Tanya Nesya.

“Ya punya. Ada apa?” Jawab Zaky. Tanpa basa-

basi, Nesya langsung memulai bercerita tentang ia dan

adiknya.

“Jadi, menurut kamu bagaimana? Aku harus

bagaimana?” Tanya Nesya penasaran.

“Nes, kamu tahu enggak kalau setiap manusia itu

terlahir sebagai seorang pemimpin?” tanya Zaky.

Page 284: Buku profil Al-Qolam

“Ya tahu. Aku pernah denger itu dari tayangan

pildacil dulu” jawab Nesya sambil cengar-cengir.

“Nah, itu kamu tahu”

“Oke. Terus hubungannya sama masalah aku?”

Tanya Nesya yang jidatnya mulai membentuk kerutan.

“Sebelum kamu marah dengan tingkah Rafka

yang membuatmu jengkel, sebaiknya kamu memarahi

diri kamu sendiri. Apakah kamu sudah berlaku layaknya

seorang kakak bagi Rafka?” Penjelasan Zaky yang

panjang lebar semakin mempertebal kerutan di jidat

Nesya.

“Maksudnya begini, semua manusia yang terlahir

di muka bumi secara otomatis telah menjadi seorang

pemimpin. Bisa pemimpin bagi negerinya, pemimpin

bagi keluarganya, dan yang pasti pemimpin bagi dirinya

sendiri. Dengan kata lain, minimalnya kamu harus

mampu memimpin emosi diri kamu terhadap adikmu

yang berlaku menjengkelkan bagimu. Dengan begitu,

kamu akan paham bagaimana kamu harus bersikap pada

adikmu. Sebagai seorang kakak kita patut menjadi

contoh dan teladan yang baik untuk adik kita. Mulailah

segala sesuatu hal dengan memahami diri kamu sendiri,

Page 285: Buku profil Al-Qolam

maka kamu akan dapat memahami orang lain dan

mulailah kamu memimpin diri kamu sendiri sebelum

memimpin orang lain termasuk adik kamu.” Tutur Zaky

panjang lebar. Nesya yang mendengarkan hanya

manggut-manggut mengiyakan. Kini Ia sadar. Sebagai

seorang kakak, Ia gagal untuk menjadi panutan bagi

adiknya.

“Oya, satu lagi semuanya harus dilakukan

dengan hati maka Allah akan bersamamu.” Kata Zaky

menutup pidato sorenya. Hati Nesya semakin mantap

dan ingin segera sampai ke rumah untuk bertemu adik

semata wayangnya itu. Dalam hatinya kini Ia berjanji

untuk selalu menjadi pemimpin yan terbaik bagi adiknya

dan tidak akan marah saat adiknya bertindak usil lagi.

Matahari semakin tenggelam. Warna jingga

keemasan yang tadi sempat menggantung di langit,

sudah hilang entah kemana. Malam semakin nyata dan

temaram. Zaky dan Nesya segera mempercepat langkah

agar segera tiba di rumah mereka masing-masing.

***

Page 286: Buku profil Al-Qolam

Yang hilang dalam hujan

Oleh: Mendayu Amarta Fitri

([email protected])

Matanya tertuju pada langit di atas sana,

mata yang berbinar memancarkan keindahan. Lalu

sesekali gadis itu menutup mata nya pertanda

bahwa apa yang terjadi disana, membuatnya

terkagum dan menikmatinya. Ia berdiri ditengah

keramaian. Tak peduli dengan puluhan tatapan

mata yang ada di sekitarnya. Mata-mata itu

menyelidik. Ada hal yang aneh tentangku dalam

pikiran mereka. Gadis itu terus saja berdiri tegak,

menengadahkan wajah eloknya ke langit, berputar-

putar dan sesekali ia berteriak, teriakan yang

menggambarkan perasaan entah perasaan apa itu.

Perasaan yang tak dapat dirasakan oleh orang

normal di sekitarnya.

Waktu labih cepat berlalu. Sangat cepat.

hingga apa yang ditunggu tetapi sebenarnya tak di

harapkan itu tiba. Tepat di hadapannya bus yang

setiap hari mengantarkan tubuh basah kuyupnya

untuk kembali ke dunia nyata nya. Dan untuk ke

sekian kalinya bus itu membawa kesialan baginya,

Page 287: Buku profil Al-Qolam

air yang tergenang menyiprat dan membasahi

bajunya ketika bus itu melintas.

“Aish…”Mengusap seragamnya yang

setengah basah, dan di pastikan bahwa usapan

tangannya itu hanyalah perbuatan yang sia-sia

karena tetap saja seragam yang ia kenakan telah

kotor. Gadis itu pun segera lari menuju bus dan

masuk. Selalu seperti itu, tatapan orang di

sekitarnya selalu tak terelakkan, baju seragam

putih abu yang agak berubah mejadi putih coklat,

kaos kaki sebetis yang telah banyak terkena lumpur

hasil cipratan air hujan yang bercampur tanah, serta

rambut panjang yang terikat dan tidak lagi

mencerminkan keelokan dari rambut itu, yang

paling kontras adalah wajah putihnya, wajah itu

semakin terlihat putih saat keadaan dingin

menyelimutinya, bibirnya membiru seakan

kehabisan darah dan tentu saja tatapan-tatapan

orang asing selalu tertuju pada tubuh itu, mungkin

mereka ingin sekali mendekap tubuh itu untuk

sedikit saja memberikan rasa hangat atau mungkin

saja tatapan itu adalah tatapan orang yang ingin

sekali mengusir tubuh yang basah itu agar tidak

mengotori bagian dari bus.

Jam sudah menunjukan pukul 3 sore tepat,

setiap hari itu adalah waktunya dia kembali ke

dunia nyatanya dirumah, kehidupan yang tak

Page 288: Buku profil Al-Qolam

pernah memberikan arti padanya, bahkan untuk

sekedar tersenyum atau bahkan mengeluarkan satu

patah kata dari mulutnya yang mungil itu ia enggan

***

Bel pertanda berakhirnya kegiatan di

sekolah telah berbunyi, meneriakkan kebahagiaan

yang tersirat jelas di wajah hampir semua siswa

lewat senyum kemenangan mereka, tetapi tidak

begitu halnya dengan Okty. Gadis yang di

anugerahi dengan paras wajah yang cantik,

hidungnya mancung dengan mata bulat dan bibir

merahnya merupakan perpaduan yang cantik,

tubuhnya mungil dengan kulit yang putih serta

mulus, rambutnya hitam panjang dan selalu terikat

ke belakang dengan tambahan poni yang

menambah kesan imut padanya sungguh anugerah

yang sangat indah. Tapi satu hal yang sangat di

sayangkan, gadis itu tidak pernah menerima satu

orang pun untuk menjadi temannya bahkan untuk

dapat berkenalan sangat susah. Ia melangkah

gontai, menapaki ruang kelas yang baginya seakan

neraka dan tidak berbeda dengan tempat-tempat

lainnya di dunia ini. ia terusuri koridor-koridor

sekolah hingga tibalah ia di tepi jalan.

“Bulan ini adalah musim hujan, mungkin

kini saatnya aku mendapatkan kebahagiaan”

Page 289: Buku profil Al-Qolam

gumamnya dalam hati sambil duduk sendiri di sisi

sebuah bangku tua yang menjadi tempat untuk

orang-orang menunggu bus nya datang. Gadis itu

lebih memilih duduk sendiri. Beralaskan tanah

yang penuh dengan rumput mungkin itu

dirasakannya lebih nyaman. Menatap langit di

seling melihat jam yang melekat di tangannya. Ia

menunggu sesuatu. Sebuah keajaiban yang

berasaldari langit yang mendung. Sebentar lagi, ia

akan datang.

Dan benarlah, sesuatu yang menurutnya

adalah keajaiban itu telah datang, hujan turun tiba-

tiba dengan derasny. Ketika orang lain berlarian

mencari tempat yang aman dari hantaman ribuan

tetesan air di atasnya, gadis itu malah riang seperti

kesetanan ia kemudian berlari ke tengah dimana

tidak ada lagi penghalang antara dirinya dan hujan.

Ia berdiri tegak, menyunggingkan senyum

manisnya. Senyum yang tidak pernah ia

perlihatkan kepada siapapun di dunia ini kecuali

pada sang hujan. Tangan mungilnya ia

tengadahkan ke atas, ia sangat bahagia menyambut

datangnya air dari langit itu, langit yang selalu

memberinya kebahagiaan. Tatapan aneh dari

puluhan mata itu ia dapatkan kembali, teriakan

untuk berteduh dan dorongan untuk bertepi dan

Page 290: Buku profil Al-Qolam

menghindar dari kerumunan air pun selalu ia

dapatkan.

“Kalian terlalu mencampuri hidupku ! Aku

adalah pemilik hujan ini…!” Teriak gadis itu

sambil menari-nari ditengah beribu-ribu rintikan

air di tubuhnya. Begitu riangnya ia menikmati

hujan hingga tak terasa bus yang akan

mengantarkan nya kembali ke rumah telah tiba, ia

berlari menuju pintu bus itu kemudian masuk.

Lagi, tatapan itu menghatamnya. Gadis itu tidak

pernah sekalipun menghiraukannnya. Di dalam

bus sering sekali ada tempat duduk yang kosong,

tetapi gadis itu tidak pernah sekalipun duduk

disana. Ia hanya berdiri dekat pintu dengan sebelah

tangannya menggantung di pegangan bus untuk

menahan beban tubuhnya. Seorang lelaki yang

sedang duduk tepat di pojok kanan bus tersebut

mengalihkan perhatian gadis itu, sosoknya tidak

asing baginya, sangat tidak asing hingga saat

matanya menuju lekuk wajah lelaki itu jantungnya

terasa berdegup kencang, ia bingung entah apa

yang ia rasakan. Bukan bahagia seperti saat ia

merasakan hujan, bukan pula kekesalan seperti saat

ia menjalani hidupnya di sekoah. Hatinya agak

tenang, tak karuan dan kebingunganlah yang

menyelimut hatinya saat ini

***

Page 291: Buku profil Al-Qolam

Hari baru tiba, aroma pagi yang menyengat

wangi nan berseri ditambah cuaca hari itu yang

sangat cerah membuat siapa saja yang bangun

tergugah hatinya untuk tersenyum menikmati

indahnya alam, namun lagi-lagi keadaan ini

berbeda untuk Okty, ia berjalan menggunakan

jaket tebal serta masker yang ia kenakan di

mulutnya menjelaskan bahwa si pemilik tubuh itu

sedang merasakan hal yang tidak enak.

“Bruuuuk…” tubuh gadis itu terbentur oleh

sesuatu dari arah belakang, Okty hanya pasrah

baginya tidak ada gunanya mempermasalahkan hal

seperti itu. Tidak ada perlawanan, di benarkan nya

seragam yang ia kenakan kemudian ia berjalan

kembali tanpa memperdulikan apa yang terjadi

barusan. Dan tiba-tiba suara seorang lelaki

membuyarkan lamunan nya.

“Ma.. Maaf” sambil setengah berteriak

lelaki itu memanggil yang si pemilik nama namun

Okty tidak menjawab permintaan maaf barusan.

“Maafkan aku Okty” kata si lelaki untuk

yang kedua kalinya.

“hmm..” Sambil menunduk Okty hanya

mendesah

Page 292: Buku profil Al-Qolam

”Hey.. Kau kenapa? Bisakah kau melihat

wajah orang yang sedang megajakmu berbicara

ini?”

“Kau siapa?”

“Kau tidak mengenaliku?”

“Tidak”

“Kita sudah satu kelas selama 2 tahun ini,

kau Okty? Okty Rainy gadis pemurung yang selalu

sendiri? Gadis cantik yang tidak punya teman?

Dan orang bilang gadis gila yang cinta akan

hujan”

“Oh begitu, andai aku tahu siapa engkau

tapi sayangnya tidak”

“Hey..” Teriak lelaki itu. Okty hanya

berlalu dan tak menghiraukan nya.

Begitulah Okty, dia adalah sosok gadis

yang tidak suka bersosialisasi, dia benci keramaian,

entah sejak kapan ia menjadi sosok gadis seperti itu

tak ada satu orang pun yang tahu.

Jam menunjukan pukul 3 siang, pertanda

waktunya untuk pulang sekolah. Hari ini berbeda

dengan hari-hari sebelumnya, hari ini panas

matahari tampaknya enggan untuk bersembunyi. Ia

Page 293: Buku profil Al-Qolam

malah ingin menampakan keangkuhan dari

sinarnya. Gadis itu tidak suka hari seperti ini, ia

lalu memakai payungnya saat berjalan menuju

halte bus. Saat yang di tunggu nya tidak muncul,

hari ini tidak hujan malah sangat cerah dan panas

membuat semua orang yang menunggu bus gerah,

dan tidak jarang berteduh untuk sekedar

melindungi kulit mereka dari sengatan matahari

dan tak terkecuali lelaki itu. Ya, lelaki itu yang

membuat hati Okty tak karuan dan sekarang

perasaan itu muncul kembali pada diri Okty, ia

melihat kembali sosok itu dan tak tahu apa yang

mesti dia lakukan dengan hatinya yang tiba-tiba

terasa sakit.

“Oh tuhan.. Apa ini? Dia siapa?” Gumam

Okty dalam hati sambil memperhatikan sosok

lelaki itu dibalik payung nya. Namun, sekejap saat

Okty menaiki bus yang baru saja datang sosok itu

kembali menghilang

***

Hari ini Okty sangat bahagia, ya.. Hujan

turun di pagi hari tanpa payung ataupun jas hujan

Okty berjalan menyusuri menyusuri jalanan kota ia

amat menikmati datangnya kiriman hujan dari

langit itu. Saat bus yang ia tunggu telah tiba pun ia

mengurungkan niatnya untuk naik. Pikirnya “Aku

Page 294: Buku profil Al-Qolam

ingin menikmati kebahagiaan ini sampai selesai”

lalu kembali berjalan, dan entah kemana tujuan nya

ia hanya terus berjalan menikmati hujan turun.

Senyumnya menghias lagi di wajahnya, tubuhnya

meloncat-loncat kegirangan, sambil memutar dan

hampir setiap mata yang melihat gadis itu

menampakan wajah herannya, tapi Okty sudah

terbiasa dengan tatapan seperti itu ia tak

menghiraukan tatapan-tatapan aneh tersebut ia

hanya terus saja menikmati sang hujan.

“Hujan ini milikku….!” Teriak gadis itu

“Milikku juga….” Teriak seorang lelaki

menimpali, lelaki itu berdiri tegak di belakang

tubuh basah Okty dan membawa payung di

tangannya.

“Kau siapa?” Teriak Okty kepada lelaki itu

sambil membalikan badannya, dan betapa

terkejutnya dia melihat sosok yang sekarang

sedang berdiri di hadapan nya itu, sosok yang

selama ini membuat hatinya terasa sakit.

Dengan senyuman manis dan sedikit

berteriak lelaki itu menjawab “Aku pemilik hujan

ini” namun Okty diam, tertegun seakan beku entah

karena dingin air hujan yang membuatnya beku

atau karena hatinya kini sedang beku. Kemudian

dengan tergesa Okty berlari menjauh dari sosok

Page 295: Buku profil Al-Qolam

lelaki itu, menghindar dari perasaan hati yang

selama ini menyiksanya ketika ia melihat wajah

lelaki itu. Namun usaha Okty untuk menghindar

sia-sia tangannya dipegang erat oleh lelaki itu,

dengan sekejap kemudian tubuh mereka menyatu

dalam hujan, menyatu dalam dekapan kehangatan

yang membuat keduanya terdiam; entah apa yang

sekarang ada di pikiran Okty, ia hanya pasrah

terdiam bahkan mulai merasakan kenyamanan

dekapan itu. Cukup lama mereka terdiam dalam

keadaan seperti itu menyatu bersama hujan dan

dinginnya air yang mengguyur keduanya hingga

tiba-tiba Okty tersadar dan melepaskan dekapan

itu mereka masih membisu.

“Reyhan..” terucap satu nama dari mulut

Okty, namun pemilik nama itu sudah menghilang.

Okty hanya termenung, terduduk di aspal itu

sendiri

***

“Aku lelaaaaah” Okty berteriak

sekencangnya di antara padang rerumputan yang di

pastikan bahwa padang tersebut jarang sekali

terjamah manusia.

“Setiap hari aku seperti ini, menunggu

hujan menanti datangnya keajaiban yang dapat

membawa sosok dirimu ke hadapanku.. Walaupun

Page 296: Buku profil Al-Qolam

aku tahu itu semua hanya akan terjadi di alam

mimpiku. Aku lelah !! Dimanakah engkau?”

“Aku disini” ucap sesosok lelaki itu, lelaki

yang selama ini selalu Okty tunggu dan sekarang ia

berada tepat di samping tubuhnya. Dengan segera

Okty mencoba memeluk tubuh itu, mencoba

merasakan hal selama ini biasanya hanya terjadi di

alam mimpinya. Namun sayang usaha itu tidak

berhasil.

“Maafkan aku, kau tidak akan bisa

menyentuh tubuh ini” ucap lelaki itu

“Kenapa?” Parau ucap Okty

“Sekarang tidak ada hujan, aku adalah

bagian dari hujan, aku ini hanya bayangan

maafkan aku”

“Apa yang kau katakan?”

“Cobalah lupakan aku, hadirku hanya akan

membuat harimu sedih. Lupakanlah masa lalu mu

itu”

“Kau pergi setelah memberikan luka

padaku, bagaimana mungkin aku bisa

melupakanmu? Lihatlah sekarang aku hidup

bersama dengan air mata ini”

Page 297: Buku profil Al-Qolam

“Cukup Okty.. Ikutlah” ucap lelaki itu

sambil berlalu menjauh dari tubuh gadis itu dan

berjalan semakin menjauh. Okty pun mengikuti

sosok itu dengan langkah gontai nya, dan tibalah

mereka berdua di suatu tempat yang indah.

“Inilah duniaku” ucap lelaki itu kemudian

pergi berlalu meninggalkan Okty semakin jauh dan

menghilang.

Okty semakin bingung, ia mendapatkan

secarik kertas yang tergeletak di tanah kemudian

membacanya

“Ini aku yang sedang menunggu.. Tidak,

tidak apa-apa. Maafkan aku karena perlahan

mendorongmu menjauh. Aku tidak cukup kuat

sehingga aku tidak bisa membiarkanmu pergi, aku

tahu itu keserakahan ku yang bodoh. Tapi aku

menghapus air mataku dan menelan perkataanku,

aku tak bisa melihat diriku lagi. Sebaiknya kau

pergi meninggalkanku.. Aku sendirian, apa yang

harus aku lakukan? Di antara kita berdua, akulah

satu-satunya orang yang tidak bisa hidup

tanpamu.. Oktyrainy”

Secarik kertas itu menjelaskan semuanya,

menjelaskan bahwa Reyhan yang sekarang adalah

bayangan. Bayangan dari masa lalu yang sangat

sulit untuk gadis itu lupakan. Gadis itu termenung,

membaca apa yang tertulis di sebuah batu itu

Page 298: Buku profil Al-Qolam

adalah nama kekasihnya dulu Reyhan Aditya.

Dengan berlinang air mata Okty terduduk dan

memeluk batu itu dengan perasaan hati yang tak

bisa di gambarkan lewat kata

“Meskipun kita jauh satu sama lain, kita

masih menatap langit yang sama. Dan suatu hari

nanti kita akan bersama-sama di suatu tempat”

Page 299: Buku profil Al-Qolam

Si Jenius Kerja Keras

Oleh: Asep Syahbudi

([email protected])

Kemalasan adalah temanku saat ini. Sepertinya

aku harus segera menjauh darinya. Gara-gara dia, IP ku

saat ini sangat kecil. Tapi bagaimana caranya? Entahlah.

Sebaiknya aku berangkat kuliah lebih pagi. Barangkali

mungkin saja bertemu dengan hidayah.

Belum ada yang hadir selain Ibro dikampus.

Julukannya “Si jenius kerja keras”. Tak pernah kulihat

dia datang terlambat. Sulit mendahuluinya tiba di

kampus. Membuka kantin kejujuranlah rutinitasnya.

Gorengan, martabak, dan produk makanan lainnya dia

gelar. Jika laku dia dapat uang. Jika ada yang tidak bayar

berarti dia bersedekah. Jika bersisa dia bisa kenyang.

Dan yang paling menguntungkan kuliah tidak terganggu

karena tidak perlu berjaga. Menarik, aku pun mencoba

menirunya dengan berjualan donat.

Kuliahnya tidak terganggu terbukti dengan

prestasi akademiknya yang sangat baik. IP yang bagus,

Page 300: Buku profil Al-Qolam

ya diatas rata-rata kelas. Menurutku, belajar dengannya

lebih menyenangkan dibandingkan dengan dosen.

Yang membuatku selalu kagum kepadanya

adalah sikapnya yang bersungguh-sungguh dalam

mencapai tujuan. Kerja kerasnya dapat kulihat dalam

kegiatannya sehari-hari. Mungkin bukan aku saja yang

merasakan hal tersebut.

Ibro menghampiriku dan berkata

“Assalamualaikum. Bud. Tolong download-kan ceramah

Aa Gym dong. Sekalian kamu sedang internetankan?”

Tangan kasar pun mengahampiri. “Walaikumsalam.

kebetulan saya sudah ada. Dapat meng-copy dari teman.”

Ibro pun memberikan flashdisk-nya.

“Rajin amat si Bro, kajian di DT masih kurang?”

tanyaku penasaran. “Iya Bud, aku merasa sangat kurang,

semakin sering megikuti kajian semakin merasa bahwa

aku ini sangat bodoh. Aku ingin cepat-cepat lebih

mengerti Islam.” Jawab Ibro dengan tenang.

Aku bertanya kembali. “Kenapa terburu-buru

Bro? Waktu kita kan masih panjang.” Sambil tersenyum

Ibro pun memberi pertanyaan kepadaku. “Bud, apa

Page 301: Buku profil Al-Qolam

Kamu tahu berapa lama bus berhenti sementara saat di

halte?”

”Entahlah. Barangkali tergantung kebutuhan

penumpang.” Jawabku singkat. “Itulah perbandingan

dunia dan akherat. Maka dari itu aku harus bersungguh-

sungguh memanfaatkan waktuku yang sangat singkat

ini.” .

Mungkin ini adalah alasan Ibro terus bekerja

keras. Sering aku menyesal kenapa waktu SD selalu

bolos pergi ke madrasah. Wah, tidak salah aku berangkat

pagi. Mulai detik ini aku harus lebih baik dari

sebelumnya, aku tak mau ketika dewasa menyesal

seperti ini. Aku jadi ingat pepatah Arab “Man jaddda wa

jadda” Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka

akan tercapai.

Page 302: Buku profil Al-Qolam

Pertemuan Sesaat

oleh Elsa Nur Vriatnika

([email protected])

Waktu beranjak gelap. Aku membawa diriku yang

setengah lelah melangkah menyusuri bumi yang beku dan

sunyi. Aku melangkah lagi. Terus melangkah. Bersama

segenap harapan yang selalu kugenggam, sama seperti di hari-

hari sebelumnya. Tujuanku adalah ke sebuah tempat yang

sunyi dan tenang, di mana aku bisa bertemu seseorang yang

belakangan ini telah menjadi teman dekatku—teman

curhatku.

Pertemuan pertama kami berlangsung ketika aku

sedang berurai air mata lantaran pertengkaran kedua

orangtuaku. Tanpa mempertanyakan sebab, dia muncul.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia meminjamkan sapu

tangan untukku. Menungguiku menangis, sampai air mataku

benar-benar berhenti. Entah kenapa, sejak itu, rasanya selalu

ada alasan bagiku untuk menemuinya. Selalu ada alasan bagi

pertemuan kecil kami. Tanpa kehadiran orang lain selain

kami. Di tempat yang sama, dan di waktu yang sama.

Page 303: Buku profil Al-Qolam

***

Di sebuah taman kecil samping Rumah Sakit Cigugur,

pukul tujuh malam.

“Kak Dika!” panggilku dengan nada kekanakan.

Aku tersenyum ketika pemuda setinggi seratus tujuh

puluh tiga sentimeter dan berambut cokelat tua itu menoleh ke

arahku.Seorang pemuda yang tampan. Dengan kulit putih dan

wajah khas orang Asia dan permata biru yang mengisi rongga

matanya. Tampak bukan seperti warga asli negara Indonesia,

kan? Dia selalu di sana, memakai celana panjang putih strip

biru tua berbahan katun dengan jaket coklat yang tampak

hangat.

“Kakak menungguku ya?” tanyaku antusias.

“Aku memang selalu ada di sini,” jawabnya datar.

“Eh, i-iya juga sih.” Aku tertawa sambil menggaruk-

garuk kepala saking malunya. Tapi sayang sekali, keceriaanku

itu tak mengundang tawa dari pemuda berpenampilan Asia

itu. Dia malah kembali memutar kepala dan mengabaikan

keberadaan diriku.

“Hei, Kak! Boleh aku bertanya sesuatu?”

Page 304: Buku profil Al-Qolam

“Hmmm.”

“Kenapa kakak suka menatap langit di tempat ini?”

“Lebih luas.”

“Eh?”

“Langit tampak lebih luas dari sini.”

“Ohh, begitu ya.” Aku mengangguk-angguk. “Lalu

kenapa kakak kemari hanya di malam hari?”

“Aku benci keramaian.” Sebuah jawaban singkat

yang terdengar aneh namun mampu mengunci semua suara.

Sekian detik berlalu dalam keheningan. Kami berdua

menatap langit. Di tempat berwarna hitam yang jauhnya

bermilyar-milyar kilo dari bumi itu. Ratusan bintang berlomba

untuk memancarkan sinar paling terang. Sementara bulan

sabit menggantung di antara mereka. Langit malam ini tidak

berubah dari hari-hari sebelumnya.

“Bagaimana latihanmu?” tanya Dika yang

memecahkan keheningan.

“Wah, tumben sekali kakak bertanya padaku!” aku

kaget.

Page 305: Buku profil Al-Qolam

“Jawab saja!”

“Latihankuu...” aku menghirup oksigen seperti orang

gugup saja. “Tebak! Tadi saat latihan aku terpilih untuk

memerankan Bawang Putih lhoo!”

Seperti biasa, pemuda bermata safir itu tidak

tersenyum, tertawa atau memberikan tepukan selamat

untukku. Wajahnya selalu sepi tanpa ekspresi. Benar-benar

pemuda misterius.

“Syukurlah kalau begitu,” ujarnya datar.

Apaan itu? Ekspresi yang mengesalkan. “Kakak gak

suka ya?” tanyaku cemberut.

“Tidak kok, aku suka. Selamat ya!” katanya dengan

intonasi yang tetap datar.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah cool-nya yang

menggemaskan. Berteman dengannya benar-benar tidak

buruk.

***

Bawang Putih. Dongeng seorang gadis cantik yang

hidup bersama ibu tiri dan kakak tirinya. Ia yang seharusnya

Page 306: Buku profil Al-Qolam

menjadi tuan rumah malah diperlakukan menjadi pembantu.

Dan aku mendapatkan peran itu. Sebuah posisi yang diincar

oleh teman-temanku. Memerankan Cinderella yang terluka,

berarti aku harus menghayatinya. Menjadi seorang gadis yang

tidak meraih kebebasan.

Pelatihku terus mengomel memberi saran dan kritik.

Namun aku tidak mendapatkan keanggunan yang ia tuntut.

Berkali-kali kucoba, aktingku tetap hampa.

“Aku menginginkan pergolakan batin dalam diri si

tokoh. Bukan kebingungan. Kau harus dewasa! Kedewasaan

yang kau tunjukkan akan membuat peran ini sempurna.

Rasakanlah hal itu baik-baik! Pertunjukkan ini bergantung

padamu!” kata pelatihku.

“Terima kasih atas nasihatnya, kak Mira. Aku pulang

dulu.”

***

Di tempat yang sama, di waktu yang sama, di

hadapan orang yang sama, aku tidak bisa menahan kesedihan

yang aku pendam.

Page 307: Buku profil Al-Qolam

“Aku tidak bisa, kak! Aku sudah berusaha

semampuku, ta-tapi aku tetap tidak bisa mencapai kedewasaan

yang dimaksud kak Mira, hiks...” Suasana hening. Hanya isak

kecil yang terdengar.

“Aku takut peranku tidak akan sempurna. Aku takut

pelatihku kecewa. Apa yang harus aku lakukan?” Angin

malam berhembus perlahan dan menggoyangkan rumput di

permukaan tanah. Tiba-tiba,

“Kau terlalu mengejar kesempurnaan,” kata kak Dika

yang berhasil menghentikan isakan tangisku.

Sepasang mata hitamku yang memerah menatap tak

mengerti pada permata safir yang menyorot datar. “A-

apa maksud kakak?”

“Jadilah dirimu sendiri! Dewasa adalah mampu

melepaskan diri dari beban yang menimpamu.” Angin malam

berhembus samar. Menyibak rambut hitam dan coklat

bersamaan.

“Jangan menukar kebebasan dengan apapaun,

termasuk kesempurnaan. Itu hanya akan menambah

bebanmu.”

Page 308: Buku profil Al-Qolam

Aku terperangah mendengar jawabannya. Tak pernah

kupikir bahwa kalimat bernada monoton yang diucapkan

pemuda tanpa ekspresi itu mampu memberikan jawaban atas

keputusasaanku.

“Dik,” panggilnya kali ini dengan nada lembut.

Kepalaku yang tertunduk kembali terangkat.

Sepasang mata kami saling bertatapan.

“Lain kali jangan panggil aku dengan sebutan

‘kakak’!”

“Eh, ke-kenapa?”

“Panggil aku ‘Dika’ saja! Kamu mengerti?”

Aku mengangguk pelan sambil memancarkan wajah

penuh kepolosan, namun diam-diam ada gejolak perasaan

yang aneh di dalam diriku. Pertama kalinya, aku melihat

tatapan pemuda itu menyorotkan sebersit kelembutan.

***

Keesokan harinya adalah tanggal main pentasku.

Awalnya aku gugup. Namun karena kalimat yang dilontarkan

kak Dika kemarin, aku menjadi siap. Aku telah bangkit di

Page 309: Buku profil Al-Qolam

tengah persiapan pertunjukan. Setelah pertunjukkan selesai,

penonton memberikan tepuk tangan meriah.

“Selamat! Kamu berhasil! Peranmu tadi itu

sempurna!” puji kak Mira.

Aku tersenyum gembira. Tak kusangka, aku mampu.

Tiba-tiba ada satu hal yang terlintas di benakku. Aku

ingin menemui seseorang. Seseorang yang telah membantuku

disaat kritis. Tak pernah sebelumnya aku merasakan

keinginan untuk bertemu seseorang dengan begitu kuatnya.

Aku ingin berterima kasih.

***

Di tempat yang sama dan di waktu yang sama. Aku

kaget karena orang yang sama tidak kutemukan di sana.

Kemana dia?

Tiba-tiba, seorang pemuda berwajah Asia

mendatangiku.

“Kau Hana kan?” tanya pemuda bermata hazel itu.

“Y-ya,” jawabku ragu. “Anda siapa?”

Page 310: Buku profil Al-Qolam

“Perkenalkan, namaku Junno. Aku dokter pribadi

yang menangani Dika Ardiana.”

“Dokter pribadi?” tersentakku.

“Eh, kau tidak tahu kalau Dika dirawat di Rumah

Sakit?” dokter bernama Junno itu kaget.

“Memangnya Kak Dika sakit apa?”

“Penyakitnya aneh dan langka. Kulitnya akan

bereaksi terbakar bila terkena sinar matahari. Jadi ia hanya

bisa keluar malam hari saja.”

“Eh, benarkah?”

“Ya. Dan, kau tahu? Semenjak dia mengenalmu, dia

jadi berubah. Dia jadi sering bicara dan tidak bersikap cuek

terhadapku. Walaupun beberapa perkataannya masih tajam.

Dan yang membuatku senang, kehadiranmu membangkitkan

semangatnya untuk sembuh.”

“Oh, syukurlah.”

“Tapi...” tiba-tiba raut wajah dokter itu menjadi

murung. “Kau tidak akan bertemu dengannya lagi.”

Page 311: Buku profil Al-Qolam

“Kenapa?” tanyaku heran. Tentu saja muncul

perasaan tidak enak dalam hatiku ini.

Dokter itu menatap dengan tatapan sendu. Seolah

berat untuk mengatakan sesuatu. “Sebab, tadi sore... Dika

telah meninggal dunia.”

Aku terbelalak kaget. Terasa sesuatu dari dalam diriku

bergejolak, meledak, dan mengamuk. Air mataku kini keluar

lagi. Aku terisak. Tangisanku pun tumpah.

***

Sore hari, Aku dan dokter Junno mengunjungi

pemakaman umum. Kami berdiri di depan makam yang masih

baru bertuliskan ‘Dika Ardiana’. Kami mendoakan semoga

arwah Dika diterima di sisi Allah Swt.

Sesak di hatiku masih membekas. Sebutir bulir bening

kembali menetes.

“Jangan salah sangka! Air mata ini bukan karena aku

menyesali kepergianmu. Melainkan bukti bahwa aku sangat

bahagia karena bisa mengenalmu. Aku memang sangat sedih

kalau pertemuan kita sangat singkat. Namun lebih dari itu,

aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Sekarang kakak

Page 312: Buku profil Al-Qolam

telah mendapatkan kebebasan di sana. Tak perlu lagi

terkurung di dalam kamar di siang hari dan keluar di malam

hari. Kuharap, suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi.”

Aku menoleh ke arah dokter Junno yang masih

tampak muda itu. “Dokter, bolehkah dokter menceritakan

segalanya tentang kak Dika?” pintaku dengan lemah lembut.

Page 313: Buku profil Al-Qolam

Sebuah Perjalanan

oleh Nenden Maesaroh

Setiap kali membuka mata di pagi hari ingin

sekali rasanya setiap hari ku temui hal yg sama, dinding

kamar bercat biru dengan tempelan kertas lipat yg

berwarna-warni memenuhi setiap sisi ruangan. Beberapa

tempelan gambar anime yg sempat menjadi favoritku

dulu. Kulihat kedamaian dari sisi dinding dgn tmpelan

gambar tokoh inuyasha dan kagome yg tengah duduk

berdua di atas dahan pohon bunga sakura yg disibak

angin hingga berguguran bunga cantik itu.

Aku berhenti menatap ruangan yg selama 18

tahun ku tempati. Tempatku melepas lelah, tangisan ,

dan luapan bahagia. Ruangan kecil yang ku sebut 'privat

blue' ini tau lebih banyak hal tentangku, melihat lebih

banyak hal tentangku daripada mereka di luar sana.

Mendengar lebih banyak cerita tentangku yang

kusampaikan lewat nyanyian atau tangisan. Kulirik satu

Page 314: Buku profil Al-Qolam

sisi dinding ruangan yang dulu sengaja kubuatkan alas

untukku bisa menulis.

Di dinding itu kini dapat kulihat tulisan-tulisanku

dulu. Ada deretan nama sahabat-sahabat, kata-kata

motivasi yangg kuharap dapat kuserap energinya setiap

kali aku melihatnya. Ada beberapa tanggal penting yang

kutulis dengan sedikit clue peristiwa penting yang

terjadi, dan yang paling akan ku kenang adalah deretan

kegiatan tes yang pernah ku ikuti demi terwujudnya

mimpi yg terlanjur ku rajut saat itu. Ya, kuliah.

Ketika aku kembali melihat deretan tes itu aku

tersenyum. Aku berkata pada diriku sendiri, “Lihatlah

betapa dulu perjuangan kita tidak sia-sia. Tes-tes itu

mungkin gagal membawa kita pada UNPAD ataupun

UNSOED. Tapi, deretan tes yg gagal itu berhasil

mengantarkan kita pada jalur bernama SBMPTN, yg kini

menempatkan kita di Bumi Siliwangi.

Page 315: Buku profil Al-Qolam