Download - Buku profil Al-Qolam
Buku Profil Al-Qolam 2014
“Progresif”
Copyright © 2014
Penulis: cerita inspirasi ditulis oleh seluruh pengurus UKM
KI Al-Qolam UPI 2014
Penyunting Naskah: Dini Wulandari
Desain sampul dan Tata Letak: Haifa MF
Cetakan Pertama: Desember 2014
Diterbitkan oleh: Al-Qolam UPI Publisher
Gd. Geugeut Windha (PKM) Lt. 2
Jln. Dr. Setiabudhi no. 229, Bandung 40154
Telp. 0857-9493-1621
Pos-el: [email protected]
Website: alqolamupi.com
Twitter: @alqolamupi
Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis
Dicetak oleh Al-Qolam UPI Publisher - Bandung
Bismillahirrahmanirrahim...
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
segala nikmat baik jasmani maupun rohani. Selawat serta
salam semoga tercurahkan pada junjungan nabi besar
Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Terimakasih untuk Orang tua, Bapak-bapak Pembimbing,
dan semua pihak yang turut serta membantu,
berkontribusi, dan memberikan dukungannya hingga
buku PROFIL AL-QOLAM 2014 bisa tersusun.
Buku ini merupakan rangkuman kisah-kasih, karya
terbaik, dan wacana orang-orang yang bersedia
meluangkan waktu dan tenaganya demi jalan dakwah bil-
Qolam. Semoga ketulusan Shohibul Qolam semua tercatat
sebagai ladang amal hingga bisa kita tuai di akhirat nanti.
Mari istiqomah menggoreskan inspirasi-inspirasi terbaik
demi sebuah peradaban gemilang.
Bandung, 17 Desember 2014
TENTANG
UKM KEPENULISAN ISLAMI AL-QOLAM UPI
Unit Kegiatan Mahasiswa Kepenulisan Islami
Al-Qolam Universitas Pendidikan Indonesia (UKM KI
Al-Qolam UPI) merupakan UKM yang bergerak
dalam bidang kepenulisan islami, baik itu penulisan
fiksi maupun nonfiksi yang bernuansa Islami.
Berlandaskan salah satu surat Alquran, yaitu surat
Al-Qolam ayat pertama yang artinya, “Nun. Demi
pena dan apa yang mereka tuliskan”, kami
mempunyai visi membumikan fastabiqul khairat
(berlomba-lomba dalam kebaikan) melalui tulisan.
Selain itu, kami juga memiliki misi yang bertujuan
menguatkan organisasi dan para anggotanya untuk
meningkatkan kualitas ruhiyah pribadi, mutu, serta
kemampuan menulis.
Perjuangan pembentukan UKM KI Al-Qolam
UPI dimulai pada tanggal 24 Maret 2011 dengan
pendeklarasian Komunitas Menulis Al-Qolam,
sebagai wadah berkumpulnya para alumni Binder
(Bina Kader) Program Tutorial UPI yang kemudian
menerbitkan buletin bulanan Al-Qolam. Setelah
beberapa bulan berjalan, Al-Qolam mengajukan diri
sebagai salah satu media buletin resmi kampus UPI
bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan
Kemahasiswaan (Dirmawa) UPI. Terakhir pada
tanggal 27 Juni 2012, UKM KI Al-Qolam UPI
ditetapkan menjadi organisasi resmi universitas
atau UKM.
Setelah resmi menjadi salah satu UKM di
UPI, Al-Qolam mempunyai berbagai kegiatan rutin
untuk membina para anggotanya, diantaranya:
diskusi kepenulisan setiap pekan, mentoring
kepenulisan dan keislaman, ta’lim anggota,
upgrading pengurus, bimbingan konseling
kepenulisan, penerbitan buletin dan majalah, serta
kajian tematik. Selain itu, Al-Qolam juga
mengadakan berbagai kegiatan lain yang
dilaksanakan untuk khalayak umum yaitu: Ta’lim
Kepenulisan Islami, Lomba Untaian Inspirasi Islami
(Uninis), Kunjungan Produksi ke penerbit, Pelatihan
Jurnalistik, serta Seminar dan Workshop
Kepenulisan Al-Qolam Writivation Festival (AWF).
Kami bukan mencari atau mencetak orang
yang alim maupun penulis yang handal, tapi adanya
kami disini untuk mewadahi orang-orang yang
mempunyai keinginan kuat untuk berkarya dan
belajar ilmu keislaman sekaligus kepenulisannya.
Karena pada hakikatnya, UKM KI Al-Qolam UPI
merupakan wadah untuk saling belajar dan berbagi
ilmu.
DOKUMENTASI KEGIATAN
UKM KI AL-QOLAM UPI
Struktur Organisasi dan
Keanggotaan
Majelis Pertimbangan
Organisasi (MPO) (Dewan penasihat UKM KI Al-Qolam UPI)
Eko Apriansyah
Ghita Fasya Azuar
Linah
Taufik R. B
Eko Apriansyah
“Jadi anak baik, ya Al-Qolam...”
Tempat, tanggal
lahir
Pangkalpinang, 14 April 1992
Jurusan / Fak. /
Tahun
P.B.S.Indonesia / FPBS / 2010
Alamat asal Jalan Bukit Tani No. 323,
Pangkalpinang, Prov. Kepulauan
Bangka Belitung
Alamat di Bandung Jalan Gegerkalong Girang
No.35, Kota Bandung
No. kontak 085722755767
Blog sanginspiratorpena.blogspot.com
Cita-cita (profesi) Wartawan dan penulis
Moto hidup “Menulis untuk Peradaban!”
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam
UPI, FKUKM, PAS ITB (masih
sedikit bantu-bantu), dan Penulis
lepas.
Passion Tulisan Jurnalistik dan Fiksi
Ghita F. Azuar
“Membahagiakan dan
Menyenangkan bersama Al-
Qolam, karena Allah Swt. semoga
Al-Qolam menjadi jalan kebaikan
dan keridhoan Allah Swt. bagi
kita semua yang berjuang melalui
pena! :)”
Tempat,
tanggal lahir Jakarta, 6 April 1993
Jurusan / Fak.
/ Tahun Pendidikan IPS/FPIPS/2011
Alamat asal Jalan Dipati Unus No. 213 Tangerang,
Banten
Alamat di
Bandung
Jalan Negla No. 26 Bandung, Jawa
Barat
No. kontak 085718269062
Blog Ghitafasyaaz.blogspot.com
Cita-cita
(profesi) Pendidik dan Penulis
Moto hidup Proses adalah kemenangan dan hasil
hanya sebagian kecil dari ujiannya.
Aktivitas
selain kuliah MPO UKM KI AL-QOLAM dan
Bendahara Umum I BEM HIMA P.IPS
Passion
Tulisan Fiksi dan Non-fiksi
Linah
“Al-Qolam merupakan wadah para aktivis kampus yang ingin berdakwah melalui tulisan serta menambah wawasan keislaman. Melalui beberapa aktivitas yang dimilki, seperti diskusi kepenulisan serta taklim anggota, membuktikan bahwa al-Qolam siap dan mampu menghasilkan penulis islami yang bermanfaat untuk umat. Insya Allah”
Tempat,
tanggal lahir
Bekasi, 04 Juni 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
P. B. Arab / FPBS / 2011
Alamat asal Cikarang - Bekasi
Alamat di
Bandung
Jl. Sersan Surip No. 160B Kel.
Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung
No. kontak 085793650897
Cita-cita
(profesi)
Pendidik
Moto hidup Hidup itu pilihan, pilihlah yang
terbaik menurut Allah dan dirimu!
Aktivitas selain
kuliah
Mentor Halaqoh dan MPO UKM KI
Al-Qolam UPI
Passion Tulisan Nonfiksi
Taufik Ramadhan B. /
Adan Ali
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 24 Maret 1992
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan /
FIP / 2010
Alamat Jl. Kopo Cirangrang Gg. Sekolah No. 5
Kota Bandung
No. kontak 085624194351
Blog Taufikadan.tumblr.com
Cita-cita
(profesi)
Duta Besar RI
Aktivitas
selain kuliah
Nulis Artikel, Naik Gunung, dan
Touring
Passion
Tulisan
Artikel
Ketua Umum (Pemimpin UKM KI Al-Qolam UPI)
M. Ginanjar Eka Arli
Sekretaris umum (Penanggung jawab Sekretariat UKM KI Al-
Qolam UPI dan wakil dari Ketua Umum)
Dini Wulandari
Wulan Sari
Bendahara umum (Bendahara Umum adalah penanggung jawab
keuangan UKM KI Al-Qolam UPI)
Indria Fitri A.
Arifah Putrining A
M Ginanjar Eka Arli
“Al-Qolam UPI tempatku belajar, mengabdi,
dan berkarya. Jayalah selalu Al-Qolam!
Semoga semakin sukses untuk melahirkan
penulis-penulis berprestasi yang kompeten di
bidang kepenulisan dan keislaman. Aamiin.
#GIPH”
Tempat, tanggal lahir
Cianjur, 8 Februari 1993.
Jurusan / Fak. / Tahun
Pendidikan Matematika / FPMIPA /
2011.
Alamat asal Jln. Cengkeh Tengah II No. 61 Way
Halim, Bandarlampung.
Alamat di Bandung
Jln. Gegerkalong Girang Gg. Geger
Suni I No. 83, Bandung.
No. kontak 087822143575 / 085279276337
Blog http://the-sealovers.blogspot.com
Cita-cita (profesi)
Guru.
Moto hidup Hidup untuk berbagi, Ikhlas untuk
memberi.
Aktivitas selain kuliah
Menjadi Ketua Umum UKM KI Al-
Qolam UPI
Passion Tulisan Jurnalistik dan cerpen.
Dini Wulandari
“Al-Qolam itu sekolah kehidupan
bagiku. Aku belajar bagaimana
mengelola emosi dan air mata menjadi
bulir-bulir keikhlasan. Aku belajar
bagaimana mengelola tawa dan
kebahagiaan menjadi bulir-bulir
syukur pada setiap nikmat yang Allah
beri”
Tempat,
tanggal lahir
27 Juni 1993
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Bahasa dan Sastra/FPBS/2011
Alamat asal Desa Tegal Taman No. 86B. Rt/Rw
02/02. Kecamatan Sukra. Kabupaten
Indramayu. 45257
Alamat di
Bandung
Jl. Cipaku Indah 2 No. 27 Rt/Rw
04/02. Lingkar Ledeng. Kecamatan
Cidadap. Bandung. 40143
No. kontak 081947232787
Cita-cita
(profesi)
Peneliti, Editor, atau Fashion
Designer
Moto hidup Manfaatkan waktu dengan sebaik
mungkin adalah cara terbaik untuk
bersyukur atas karunia usia yang
Allah beri.
Passion
Tulisan
Artikel Ilmiah dan Cerpen
Wulan Sari
“Al Qolam adalah keluarga yang
memberikan rasa hangat.”
Tempat, tanggal
lahir
Bandung, 28 April 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pend. Teknik Arsitektur/ FPTK/ 2013
Alamat Jalan Cibangkong No. 274/120 RT 01
RW 06 Kel. Cibangkong Kec.
Batununggal Kota Bandung 40273
No. kontak 089629773370
Blog Onewulan.wordpress.com
Cita-cita (profesi) Dosen, Penulis
Moto hidup Istiqomah dan berusaha memperbaiki
diri
Aktivitas selain
kuliah
Pengajar di Madrasah Miftahul Huda,
Anggota KMA- KRIDAYA, Pengurus
di UKM KI Al- Qolam UPI, Anggota
ROHIS Ketika Cibangkong Bertasbih,
dan Anggota Karang Taruna RW 06
Passion Tulisan Novel dan Cerpen
Indria F Afiyana
“Bismillahirrahmanirrahim,
Teruntuk saudara-saudara seiman
seperjuangan di Al-Qolam, tetaplah
semangat karena Allah jika lelah mulai
terasa, ingat lagi niat awal perjuangan
kita, yaitu Allah semoga ikhtiar
dakwah kita di ridhoi Allah, Aamiin
Uhibukki fillah”
Tempat, tanggal
lahir
Cianjur, 14 Maret 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
Akuntansi/FPEB/2012
Alamat asal Komplek Bumi Serang Baru blok DD 15
no 3 Kota Serang, Provinsi Banten
Alamat di
Bandung
Asrama Cilimus Indah, Jl. Cilimus.
No.11 Rt.07 Rw.06 Kel.Isola.
Kec.Sukasari. Bandung. 40154
No. kontak 082121459120
Blog robot92.tumblr.com
Cita-cita (profesi) Akuntan
Moto hidup “one day the truth will win this game!”
Aktivitas selain
kuliah
Pratikum, Pengurus di UKM Sciemics,
UKM KI Al-Qolam UPI, Assalam, dan
Stuften (student from banten)
Passion Tulisan Sajak, Karya Tulis Ilmiah, dan Jurnalistik
Arifah P. Asma /
Dzakira Aftania
“Cuma di sini tempatnya buat
mahasiswa UPI yang pengen
menginspirasi banyak orang
dengan tulisan Islaminya :D”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 01 Desember 1995
Jurusan /
Fak. / Tahun
Pendidikan Teknologi
Agroindustri/FPTK/2013
Alamat asal Perumnas, Blok A2 No. 14 Cibeber,
Cilegon, Banten
Alamat di
Bandung
Jalan Geger Kalong Girang No. 79
No. kontak 089651084559
Blog Dzakiraaftania.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Dosen
Aktivitas
selain kuliah
Pengurus di Himagrin, UKM KI Al-
Qolam UPI, dan Tutorial Lanjutan
Passion
Tulisan
Essai, Cerpen, dan Artikel
Foto dengan
gaya bebas
(wajah terlihat
jelas)
Divisi Pengembangan
Sumber Daya Organisasi
(PSDO)
(Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi
(PSDO) adalah divisi yang bertanggung jawab
melakukan kaderisasi dan pengembangan
kemampuan berorganisasi dan ruhiyah (spritual)
anggota UKM KI Al-Qolam UPI)
Dea Yolanda
Ahmad Fauzi M
Febriant Musyaqori Ramdani
Lutfiani M
Salma Nur Afifah
Yusuf Nurdiansyah
Dea Yolanda
Untuk Al-Qolam,
Terimakasih atas ilmu dan pengalaman
berharga yang saya dapat selama menjadi
bagian dari Al-Qolam. Suka dan duka ini
kelak akan menjadi kenangan berharga yang
tak terlupakan. Semoga Al-Qolam lebih baik
dan progresif.
Tempat, tanggal lahir
Tasikmalaya, 15 November 1993
Jurusan / Fak. / Tahun
Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012
Alamat asal Kp. Nusawangi 01/02 Ds. Linggalaksana Kec. Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya 46193
Alamat di Bandung
Geger Arum
No. kontak 083820636498/085221853445
Blog deayola.blogspot.com
Cita-cita (profesi)
Pengajar
Moto hidup Do the best because of Allah
Aktivitas selain kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Staff Pengajar di Rainbow Course, dan Englsih Students’ Association.
Passion Tulisan
Cerpen dan puisi
Salma Nur
Afifah
“Mujahid dan mujahidah yang
berperang dengan penanya”
Tempat, tanggal
lahir
Bandung, 12 Oktober 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pend. Teknik
Arsitektur/FPTK/2013
Alamat Jalan kawali 7 no. 5 antapani
Bandung 40291
No. kontak 089670262834
Blog Salmanur.blogspot.com
Cita-cita (profesi) Penulis, guru, arsitek
Moto hidup Dimana ada kesulitan pasti ada
kemudahan
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam
dan KMA Kridaya
Passion Tulisan Fiksi dan Opini
Foto dengan
gaya bebas
(wajah terlihat
jelas)
Lutfiani Masyaridilah
om)
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Purwakarta, 04 Januari 1995
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Pendidikan Ilmu Pendidikan Agama
Islam / FPIPS / 2013
Alamat asal Purwakarta
Alamat di
Bandung
Gerlong Girang No.45 Bandung
No. kontak 085723422775
Blog lmasya.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Fasilitator Pendidikan
Moto hidup Bergerak dengan Hati
Aktivitas
selain kuliah
Fasilitator DTI, Sekbid PSDO Hima
IPAI, Staf Lab. Baitul Hikmah
Passion
Tulisan
Puisi
Ahmad F Mulyana
“Saatnya berkarya lewat Tulisan Islam”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 11 September 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pend. Biologi/ FPMIPA
Alamat asal Jl. Abdi negara II no. 302 Sumber,
Kab. cirebon
Alamat di
Bandung
Jl. Sederhana II no.29 Sukajadi,
Bandung
No. kontak 085724647488
Cita-cita
(profesi)
Penulis, Dosen
Moto hidup Berkarya dan Berdedikasi
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di BFUB Biologi, DPM
HMBF, BAQI UPI, Al-Qolam, dan
LEPPIM UPI.
Passion Tulisan Tentang Biologi, tentang Al-Qur’an,
dan tentang keislaman (motivasi,
kisah2, kiat sukses, dll)
Febriant M
Ramdani ([email protected])
“Subhanalloh Luar Biasa #Goresan Inspirasi Penggugah Hati.. Allohuakbar!!!”
Tempat, tanggal
lahir
Bandung, 26-Februari-1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013
Alamat asal Kp.Loji RT02 RW02 Desa Cipada
Kecamatan Cisarua Kabupaten
Bandung Barat 40551
Alamat di
Bandung
Jln. Sari Asih II RT06 RW10
Kelurahan Sarijadi Kecamatan
Sukasari – Kota Bandung
No. kontak 089657389433
Blog Febriantmusyaqoriramdani.blogsp
ot.com
Cita-cita (profesi) Guru, Penulis, Pengusaha
Moto hidup Bahagia Setelah Sulit
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di Himpunan Mahasiswa
Pendidikan Sosiologi, UKM KI
Al-Qolam UPI, dan Lingkar
BidikMisi
Passion Tulisan Cerpen, Puisi, Novel, dan Artikel
Yusuf
Nurdiansyah
“Harmoni Berkarya, Berjuang,
Beramal”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 04-10-1990
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Pend. Bahasa dan sastra
Indonesia/FPBS/2010
Alamat Jl.Cikampek 4 no 3
No. kontak 085795388715
Blog Kubus-fantasi.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Masuk syurga
Moto hidup Tidak ada yang mustahil!
Aktivitas
selain kuliah
Guru di Mts Al-Mursyid, Pengurus
Bidang Kaderisasi JPRMI
kec.Antapani, Anggota UKM KI Al-
Qolam UPI, dan Anggota Majelis
Syuro RISMA Al-Mukhlishin
Passion
Tulisan
Fiksi islami
Divisi Produksi
(Divisi Produksi adalah divisi yang bertanggung
jawab mengelola karya kepenulisan di UKM KI
Al-Qolam UPI)
Haifa Afifah Sholihah
Afiyah
Dini Siti Rufaidah
Ika Nurjanah
Melinda Gultom
Muhammad Abdullah
Wahyu Eka Jayanti
Haifa Afifah
Sholihah/ HMf “Semoga Al-Qolam dapat menjadi salah satu media yang dapat pusat opini mahasiswa, khususnya UPI, umumnya yang membacanya. Tingkatkan kualitas produk, lebih tenggang rasa, dan mengoptimalkan kinerja serta saling bahu-membahu menuju puncak harapan bersama”
Tempat, Tanggal
lahir
Bandung, 4 November 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2011
Alamat asal Jln. Eyang Tirta Praja no. 40 Perum BTN Raya
Pamanukan blok: 7 No.26
Alamat di
Bandung
Jln. Soekarno Hatta, blkg LP. Rt/RW: 02/02 no. 3
Kec. Bojongloa kidul Kel. Mekarwangi.
No. kontak 085794931621
Blog Safarholic.tumblr.com, haifa-afifah.blogspot.com
Cita-cita (profesi) Pendidik, Manager, Ibu Rumah Tangga Profesional
Moto hidup Apa yang bisa kamu lakukan hari ini. maka
lakukanlah! Keberanian menyirat keajaiban
didalamnya.
Aktivitas selain
kuliah
Mengelola Penerbitan, Menulis, menggambar,
membaca, mengelola perpustakaan pribadi Muflih
Home Library, belajar kerajinan tangan (pop up,
rajut, origami dll), penelitian remaja di LP2K, dan
Mengelola Blog dakwah
Passion Tulisan Artikel, puisi, infografis, cerpen.
Ika Nurjanah
“Di sini saya mengenal arti ukhuwah, di sini saya mengenal arti sebuah keihklasan, dan di sini saya banyak belajar melalui berbagai hambatan serta tantangan yang di hadapi”
Tempat,
tanggal lahir
Subang,15 Januari
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013
Alamat asal Subang
Alamat di
Bandung
Jl.sersan bajuri
No. kontak 087778679517
Cita-cita
(profesi)
Dosen Bahasa Arab dan penulis
Moto hidup Not easy but nothing impossible
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI
dan Himpunan Mahasiswa Bahasa
Arab.
Passion
Tulisan
Novel dan cerpen
Dini Siti Rufaidah
“Sumber inspirasi dan sahabat menuju
impian saya menjadi penulis, guru dan
sumber ilmu”
Tempat, tanggal
lahir
Bandung, 27 November 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa
Arab/FPBS/2013
Alamat asal Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa
Margahayu selatan kec.
Margahayu kab. Bandung
Alamat di
Bandung
Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa
Margahayu selatan kec.
Margahayu kab. Bandung
No. Kontak 08972655814
Cita-cita (profesi) Guru
Moto hidup Berusahalah terus istiqamah
mendari ilmu
Aktivitas selain
kuliah
Mengajar di Madrasah Diniyah,
Pengurus di UKM KI Al-Qolam
dan KQ UPI
Passion Tulisan Puisi
Afiyah
“Al-Qolam, kau tempat paling tepat
untuk mimpiku yang terhebat. Menjadi
penulis masa mendatang yang berani
menantang karang”
Tempat, tanggal
lahir
Tangerang, 10 Maret 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2012
Alamat asal Jl. Palem Raya blok II No.2 rt.02/23
perumnas I, Cibodas, Cibodasari,
Tangerang.
Alamat di
Bandung
Jl. Cilimus No.11 rt.07/06, Asrama
Cilimus Indah, R.5R4, Bandung, 40154
No. kontak 083820250200/085720018856
Blog lintangdsalamah.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Guru, penulis, script writter, sutradara
Moto hidup Hidup cuma SEKALI, hiduplah yang
BERARTI
Aktivitas selain
kuliah
Staf pengajar Madrasah Dinniyah Al-
Huda, Cilimus, Pengurus BEM
KEMABA, dan UKM KI Al-Qolam UPI.
Passion Tulisan Puisi, Naskah drama, dan Komik.
Muhammad
Abdullah
“Senang sekali bisa bergabung dengan Al-Qolam. Al-Qolam itu sudah seperti keluarga sendiri, sekrenya sudah seperti rumah sendiri. Nyaman sekali pokoknya. Senang bisa mengenal kalian. Uhibukum Fillah”
Tempat,
tanggal lahir
Lamongan, 5 April 1995
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Ilmu Komunikasi/FPIS,2013
Alamat asal Lamongan
Alamat di
Bandung
Geger Suni 1, Geger Kalong Girang
No. kontak 089620763880
Blog Esclavodios
Cita-cita
(profesi)
Sutradara, penyiar dan penulis
Moto hidup With Allah, All is Possible
Aktivitas
selain kuliah
Ngajar Privat dan rapat Himpunan
Passion
Tulisan
Cerpen, skripwriter
Melinda
Gultom
“Serius Jalani semua kegiatan
di sini dengan serius ya, insya
Allah kalian dilatih untuk
jadi penulis hebat di sini”
Tempat, tanggal lahir
Pandeglang, 27 Oktober1991
Jurusan / Fak. / Tahun
Pend. Bahasa Jepang/ FPBS/ 2011
Alamat asal
Pandeglang, Banten 42262
Alamat di Bandung
Gang Geger Bhakti no. 6A
No. kontak 083813235079
Blog Milinmelin.tumblr.com
Cita-cita (profesi)
Ilmuwan yang penulis dan hafidzah.
Moto hidup Tidak ada kata terlambat untuk berubah
dan belajar.
Aktivitas selain kuliah
Menulis
Passion Tulisan Cerpen dan artikel
Wahyu Eka Jayanti
“Semoga Al-Qolam bisa mengukir nama seindah
pelangi. Melahirkan karya-karya hebat yang akan
menjadi sejarah perjuangan dakwah dengan pena.
Semakin kreatif dan inovatif. Terus berkarya menuju
Al-Qolam jaya!
Meski tidak bisa berkontribusi banyak. Sangat
menyenangkan bisa menjalin silaturahim dengan Al-
Qolam ”
Tempat,
tanggal lahir
Bengkulu, 5 Maret 1989
Jurusan /
Fak. / Tahun
Biologi/Pascasarjana/2013
Alamat asal Jl. Semarak Rt. 7 – Rw. 2 – No. 9 kel
Bentiring permai Kec. Muara Bangkulu
Kota Bengkulu.
Alamat di
Bandung
Jl Geger asih gg cempaka No. 105. Rt.
2 – Rw. 6 kel Isola Kec. Sukasari Kota
Bandung.
No. Kontak 085273529601
Cita-cita
(profesi)
Guru/dosen
Moto hidup Tiada hari tanpa belajar
Aktivitas
selain kuliah
Menjadi pengurus di UKM KI Al-
Qolam UPI.
Passion
Tulisan
Puisi, novel, dan cerpen
Divisi Humas
(Divisi Humas adalah divisi yang bertanggung
jawab mengenai hubungan masyarakat UKM KI
Al-Qolam UPI, baik dengan pihak intern
maupun ekstern)
M. Zainal Arifin
Ajeng Ayu Milanti
Dian Diana
Elsa Mulyani
Fathia Uqimul Haq
Lia Liawati
M Zainal Arifin
(muhamadzainal66@y
ahoo.com)
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Garut, 10 April 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
P.B.S. Indonesia/FPBS / 2012
Alamat asal Garut
Alamat di
Bandung
Sukajadi Jl. Cilandak
No. kontak 087824588848
Cita-cita
(profesi)
Pengajar Profesional Berakhlaqul
Qarimah
Moto hidup Selamat hidup di dunia dan akhirat
Aktivitas selain
kuliah
Menjadi santri di Ponpes dan
Pengurus di LDK UKDM UPI,
Himasatrasia, dan UKM KI Al-
Qolam UPI
Passion Tulisan Non-Fiksi (KTI atau Artikel)
Lia Liawati
“Di sini kutemukan jati diri tuk wujudkan
mimpi menjadi penulis sejati hingga akhir
hayat nanti ”
Tempat,
tanggal lahir
Kuningan, 31 Agustus 1994
Jurusan /
Fak. / Tahun
Pendidikan Teknologi Agroinsustri
/FPTK /2013
Alamat asal Dsn. Manis RT. 15 RW.05 Ds.
Pamulihan kec.Cipicung Kab,Kuningan
Alamat di
Bandung
Jl. Gerlong Girang Gang Cempaka 2 No
17 RT.02 RW.06
No. kontak 085759721613
Blog http://lialiawati14.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Dosen sekaligus penulis
Moto hidup Selalu ada jalan jika ada kemauan dan
usaha
Aktivitas
selain kuliah
Belajar Kelompok, menjadi pengurus di
UKM KI Al-Qolam UPI, IMTEK
(Ikatan Muslim Teknologi dan
Kejuruan), Fosmaku, dan
MPK(Mahasiswa Peduli Kuningan).
Passion
Tulisan
Cerpen, novel, esai.
Fathia U. Haq
“AL-QOLAM, wadah kamu memperbanyak relasi, wawasan berorganisasi, kekeluargaan, dan kepenulisan jika memang kamu benar-benar menjalankannya dengan baik. Al-Qolam wadah bagi kamu berekspresi dan menunjukkan
eksistensi. Al-Qolam akan memberikan apresiasi kepadamu jika kamu bisa memberikan sumbangsih apapun yang lebih kepada Al-Qolam sendiri”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 14 Februari 1995
Jurusan /
Fak. / Tahun
Ilmu Komunikasi/FPIPS/2013
Alamat Jalan Bintang No.28 Kopo Elok.
Bandung
No. kontak 089650728571
Blog Fathiauqim.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Profesor bidang Komunikasi, Author,
dan Scriptwriter
Moto hidup Just Think I can, Allah with me
Aktivitas
selain kuliah
Pengurus di Himpunan Ilmu
Komunikasi, UKM KI Al-Qolam UPI,
Kesatuan Aktivitas Pelajar Muslim
Indonesia, dan Forum Remaja
Mahasiswa Islam Bandung.
Passion
Tulisan
Artikel /feature, Esai , dan Fiksi
Dian Diana
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Kuningan, 29 Oktober 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013
Alamat asal Desa Sidamulya RT.01 RW.01 Kec.
Jalaksana Kab. Kuningan 45554
Alamat di
Bandung
Jalan Geger Kalong Girang No. 27C
No. kontak 08987381182
Cita-cita
(profesi)
Pengusaha, Guru
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di Himpunan dan UKM KI
Al-Qolam UPI
Passion Tulisan Fiksi dan Non fiksi
Elsa Mulyani /
Shaman Al-Rasym
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 04 Desember 1993
Jurusan / Fak.
/ Tahun
Pend.IPS/FPIPS/2011
Alamat asal Kp.Cibulakan Rt/Rw.01/08 Des.
Mekarsari Kec.Pacet-Bandung
Alamat di
Bandung
Jl. Negla 26
No. kontak 085759710087
Moto hidup Kesuksesan adalah proses
Aktivitas
selain kuliah
Belajar, Pengurus di UKM KI Al-
Qolam UPI dan HIMA PIPS
Passion
Tulisan
Fiksi Islami
Foto dengan
gaya bebas
(wajah terlihat
jelas)
Ajeng Ayu
Milanti “Allahu Akbar”
Tempat,
tanggal lahir
Cirebon, 14 Januari 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
PKn/ FPIPS/ 2011
Alamat asal Cirebon
Alamat di
Bandung
Jl. Negla
No. kontak 08977851014
Cita-cita
(profesi)
Dosen, Pemilik Yayasan
Moto hidup Memudahkan orang lain =
memuliakan diri
Aktivitas selain
kuliah
Belajar, pengurus di Al-Qolam dan
Himpunan
Passion Tulisan Cerpen dan Novel
Divisi Pelatihan dan
Bimbingan
(Divisi Pelatihan dan Bimbingan adalah divisi
yang bertanggung jawab melakukan pelatihan
dan bimbingan kepenulisan di UKM KI Al-
Qolam UPI)
Nurul Lutfia
Ahmad Yudiar
Iis Titi
Nadya Mufida Ulfa
Rahma Nur Amalia
Siti Rohmahyati
Yani Fitriyani
Nurul Luthfia
“Al-Qolam itu tempat belajar,
bertumbuh dan bermanfaat! =D”
Tempat,
tanggal lahir
Cirebon, 16 Maret 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia/FPBS/2011
Alamat asal Jalan Arif Rahman Hakin No. 31
Cirebon
Alamat di
Bandung
Gegersuni
No. kontak 087829563229
Blog http://www.ulviaaa.com/
Cita-cita
(profesi)
Pendidik dan Penulis
Moto hidup Be a Great Muslimah!
Aktivitas selain
kuliah
Menjadi pengurus di UKM KI Al-
Qolam UPI, PAS ITB dan Internet
Marketing
Passion Tulisan Fiksi dan Jurnalistik
Siti Rohmahyati /
Sarah Zaidan
“Al-Qolam… uhibbuki fillah”
Tempat, tanggal lahir Bandung, 19 Agustus 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Bahasa dan Sastra
Indonesia/FPBS/2011
Alamat Jl. Sari Wates Indah IV No.6 Rt.03
Rw.13 Kel. Antapani Kec. Antapani
Kidul. Kodepos. 40291
No. Kontak 087822002465
Pos-el / FB / Twitter Fb: Siti Rohmahyati/ Twitter: Siti
Rohmahyati
Cita-cita (profesi) Editor, Penulis, Pakar sastra
anak/Parenting
Aktivitas selain kuliah Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI
Passion Tulisan Kritik Sastra, Parenting, dan Cerita
Anak
Yani Fitriani
“Di sinilah aku belajar lebih dalam
tentang hakikat pencapain sebuah
mimpi. Adanya aku di sini, kusadari
inilah jalan Tuhan yang dibukakan-Nya
untukku menggapai mimpi.”
Tempat, tanggal lahir
Sumedang, 27 Juni 1995
Jurusan / Fak. / Tahun
Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013
Alamat asal Dsn.Kebonkopi RT.14/RW.04. Desa
Pakualam
Darmaraja- Sumedang
Alamat di Bandung
Jln. Sersan Bajuri, No.7
Negla RT.04/RW.02 Gang Al-Ikhlas
No. kontak 085794341636
Cita-cita (profesi) Penulis
Moto hidup Setiap kata harus Bermakna, setiap
langkah harus bernilai Ibadah karena
Hidupku adalah Amanah
Aktivitas selain kuliah
Menjadi pengurus di UKM KI l-
Qolam UPI
Passion Tulisan Novel, Selfhelp-book
Rahma Nur
Amalia "Hidup di dunia cuma sekali, jadilah
penulis supaya hidup selamanya "
*konotasi wkwkwk. tetap jadi inspirasi
untuk Dunia yaa Sohibul Qolam.
Tempat, tanggal lahir
Cirebon, 23 Desember 1994
Jurusan / Fak. / Thn Pendidikan Ekonomi/FPEB/2013
Alamat asal Jl. Cibangkong No 263/120 B
RT08/RW06 kelurahan Cibangkong,
Kec.Batununggal, Kota Bandung
Alamat di Bandung Jl. Sersan Bajuri No 14, Kota Bandung
No. Kontak 085795859809/089575320676
Blog www.Rahmasivers.blogspot.com
Cita-cita (profesi) Penulis dan Pendidik
Moto hidup Pendidik yang berpikir Ekonom,
Ekonom yang berprilaku Pendidik,
Pendidik Ekonom yang berkualitas
Sastrawan.
Aktivitas selain kuliah
Menjadi Pengurus di Dewan Kerja
Ranting Gerakan Pramuka kec.
Coblong, UKM KI Al-Qolam UPI, dan
UKM Koperasi Mahasiswa Bumi
Siliwangi
Passion Tulisan Puisi dan Novel
Iis Titi
“Saya baru menemukan organisasi
yang “betul-betul” menerima saya, di
Al-Qolam ini. Berbagai masalah yang
muncul di Al-Qolam justru menjadi
tempat bagi saya untuk belajar
bersabar dan bersyukur”
Tempat, tanggal
lahir
Cimahi, 07-07-1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia/FPBS/2011
Alamat Jalan Karya Bakti Kampung Lebak Saat
RT 02/RW 18 No. 41 Kelurahan
Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara,
Kota Cimahi
Kode Pos 40511
No. kontak 081809932997
Cita-cita
(profesi)
Pengajar, Pencari dan pengajak pada
jalan kebenaran (agama, filsafat, ilmu,
sastra)
Moto hidup Sibukkan diri dengan kegiatan yang
dapat meningkatkan kualitas diri yang
diridhoi Allah Swt.
Aktivitas selain
kuliah
Kursus bahasa Inggris dan menjadi
Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI.
Passion Tulisan Esai/Artikel, Puisi, dan Cerpen
Nadya Mufida
Ulfa / Mufida
Hambali ([email protected])
“AL-QOLAM
A growing innocent and annoying
baby”
Tempat, tanggal
lahir Bandung, 18 Mei 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun Bahasa dan Sastra Inggris/ FPBS/ 2013
Alamat asal
Jl. Terusan 11 April No. 22, Dsn.
Cinungku RT 03/03 Ds. Cikoneng Kulon
Kec. Ganeas Kab. Sumedang 45356
Alamat di
Bandung
Jl. Gegerkalong Girang
Gg. Gegersuni III No. 59 RT 07/03
Bandung
No. kontak 082115165064
Cita-cita (profesi) Chef
Moto hidup Keep moving forward!
Aktivitas selain
kuliah
Mencari Ridha Allah, Pengurus di UKM
BAQI, Tutorial, Himpunan/ Jurusan, dan
UKM KI Al-Qolam UPI
Passion Tulisan Esai, Cerpen, dan Novel
Ahmad Yudiar
“Semoga setiap goresan pena yang
tertoreh, dan setiap tinta yang melekat
di lembaran kertas putih memberikan
sejuta manfaat bagi penulis dan
pembacanya. Suksses selalu untuk Al-
Qolam. Allahuakbar”
Tempat,
tanggal lahir
Payabenua, 17 Januari 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
PPB / FIP / 2013
Alamat asal Bangka Belitung
Alamat di
Bandung
Panorama
No. kontak 087797296272
Cita-cita
(profesi)
Konselor dan Guru BK (Dosen)
Moto hidup Life is Meaningfull
Aktivitas selain
kuliah
Aktif di Himpunan, BAQI, dan AL
QOLAM
Passion Tulisan Cerpen dan Puisi
Divisi Teknologi dan
Informasi
(Divisi Teknologi dan Informasi adalah divisi
yang bertanggung jawab mengelola media
daring UKM KI Al-Qolam UPI)
Windi Nugraha F.
Andreansyah Dwi Wibowo
Invea Nur Mukti Lestari
Laela N. Nursaibah
Mendayu Amarta Fitri
Muldan Cahya R
Windi Nugraha
Fadilah
“Al-Qolam adalah UKM keislaman yang
pergerakan dakwahnya bisa dikatakan pesat
dengan berbagai acara kepenulisan Islami,
khususnya di kampus UPI.
Al-Qolam memberikan kontribusi nyata untuk
dakwah Islam dengan tulisan yang bertujuan
menyentuh hati pembaca sehingga bisa lebih
menaati Allah di dalam setiap kehidupannya”
Tempat, tanggal lahir
Bandung, 19 November 1992
Jurusan / Fak. / Tahun
Pendidikan Teknik Elektro/FPTK/2011
Alamat
Kp. Andir Kidul No. 57 RT 05 RW 03 Kel. Pakemitan Kec. Cinambo Bandung 40612
No. kontak 0896 2736 3919
Blog www.umatmuhammad.com kolomfadil.blogspot.com
Cita-cita (profesi) Guru, penulis dan webmaster
Moto hidup Laa ilaaha illallaah, muhammad rasuulullaah
Aktivitas selain kuliah
Tim Dakwah Umat Muhammad, Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Rohis HME FPTK UPI, Bisnis, dan Menulis buku.
Passion Tulisan Non-fiksi
Laila Nursaibah
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Sumedang, 19 April 1994
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Luar Sekolah / FIP /
2012
Alamat asal Sumedang
Alamat di
Bandung
Panorama
No. kontak 082317595371
Cita-cita
(profesi)
Pendidik
Passion Tulisan Fiksi
Andreansyah
Dwiwibowo
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Bandung, 17-11-1990
Jurusan /
Fak. / Tahun
Pendidikan Olahraga / 2013
Alamat asal Kp. Desakolot Kec. Cilawu Garut
Alamat di
Bandung
Jl. Tubagus Ismail Dalam 1. No. 159 –
27A. Kec. Coblong
No. kontak 085795450601
Blog andreatauladan.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Dosen – pendidik
Moto hidup Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun
Aktivitas
selain kuliah
FKM, Al Qolam, usaha, dan nulis di
blog
Passion
Tulisan
Artikel islami, Artikel ilmiah, dan
Artikel motivasi
Mendayu
Amarta Fitri
“ UKM KI Al-Qolam : Goresan
Inspirasi Menggugah Hati!
ALLAHUAKBAR :D”
Tempat,
tanggal lahir
Padang Aro, 2 Maret 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia / FPBS / 2013
Alamat asal Jalan Lintas Padang-Sungai Penuh
No. 143 Jorong Sungai Padi,
Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok
Selatan, Sumatera Barat
Alamat di
Bandung
Asrama Putri Minang Surau Awak
Jalan Sersan Bajuri Dalam No. 8
Ledeng Kelurahan Isola, Kecamatan
Sukasari, Bandung
No. kontak 087895383206
Cita-cita
(profesi)
Guru
Moto hidup Yang kau tuai, yang kau tanam
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di Program Tutorial dan
UKM KI Al Qolam UPI
Passion Tulisan Cerpen, Puisi, dan Artikel
Foto dengan
gaya bebas
(wajah terlihat
jelas)
Invea Nur Mukti
Lestari / Ummu
Syauqi [email protected]
“Satu tulisan akan mampu mengubah
dunia ini menjadi lebih baik”
Tempat,
tanggal
lahir
Bandung, 21 Oktober 1995
Jurusan /
Fak. /
Tahun
Pendidikan Fisika/FPMIPA/2013
Alamat Jalan Haji Ghopur, Perumahan Graha
Bukit Raya 3 Blok E-1 No. 11, Cilame,
Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
No. kontak 089656465969
Blog syauqifamily.wordpress.com/syauqi-
family.tumblr.com
Cita-cita
(profesi)
Ibu Rumah Tangga yang mampu
mencetak generasi Qur’ani, generasi
mujahid penegak Islam di Bumi Allah
Moto hidup Hidup mulia dan Mati syahid
Aktivitas
selain
kuliah
Pengurus di Bintang Cimahi, LDK
UKDM UPI, IJMA Nurul Ihsan SMAN 1
Cimahi, dan UKM KI Al-Qolam UPI
Passion
Tulisan
Catatan penggugah inspirasi, muhasabah
dan motivasi dan Fiksi
Foto dengan
gaya bebas
(wajah terlihat
jelas)
Muldan C. Robi
“Membaca dan menulis”
Tempat, tanggal
lahir
Bandung, 20 september
Jurusan / Fak. /
Tahun
Tekpend/FIP/2012
Alamat asal Nagreg
Alamat di
Bandung
Gerlong
No. kontak 085722306695
Blog Muldancahyarobi.blog.com
Cita-cita
(profesi)
Pengusaha, Penulis, Pengembang
Kurikulum
Moto hidup Tidak berusaha menjadi sukses, tapi
berusaha berguna bagi orang lain.
Itu lebih dari sukses.
Aktivitas selain
kuliah
Ketua Umum di HIMA Tekpend,
Pengurus di Keluarga Mahasiswa
Garut (Pendidikan) dan UKM KI
Al-Qolam UPI
Passion Tulisan Esai
Divisi Dana dan Usaha
(Divisi Dana dan Usaha adalah divisi yang
bertanggung jawab membantu pengadaan
keuangan UKM KI Al-Qolam UPI bersama
Bendahara Umum)
Asep Syahbudi
Elis Setiawati
Elsa Nur Vriatnika
Nenden Maesaroh
Qory Gustri Pratama
Salati Asmahasanah
Asep Syahbudi
“Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat,
tanggal lahir
Cirebon, 30 April 1994
Jurusan / Fak.
/ Tahun
P.T.Elektro / FPTK / 2012
Alamat asal Jl. Raya Karangtengah No.2 Dusun 2
Rt/Rw 1/5. Desa Karang Tengah No.2
Kecamatan Karangsembung –
Cirebon.
Alamat di
Bandung
Jl. Cipaku 1
No. kontak 08987306449
Cita-cita
(profesi)
Dosen – pendidik
Moto hidup Berkah dan Bermanfaat
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI,
Perguruan Silat Tadjimalela, dan
Program Tutorial UPI
Passion
Tulisan
Fiksi dan Non-fiksi
Elsa Nurvariantika
“Alhamdulillah, jadi anggota Al-Qolam
itu sesuatu bangeet. Al-Qolam adalah
rumah di mana saya dapat termotivasi
untuk berkarya tanpa melupakan
islam.”
Tempat, tanggal
lahir
15 November 1993
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012
Alamat asal BTN Kasturi Perdana Jl. Pandu No.59 B
RT 20/04 Kel. Kasturi, Kec. Kuningan,
Kab. Kuningan.
Alamat di
Bandung
Jl. Geger Kalong Girang No.43 RT 06.03
Kel. Geger Kalong, Kec. Sukasari,
Bandung.
No. kontak 085797453443
Blog www.elsacifer.wordpress.com
Cita-cita (profesi) Novelis atau Produser
Moto hidup Naseba Naru—apa yang bisa dilakukan,
lakukan hingga akhir.
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di HIMAGRIN FPTK UPI,
UKM KI Al-Qolam UPI, Hikmatul Iman,
dan Menuliiis :D
Passion Tulisan Fiksi fantasi – islami dan artikel teknologi
Nenden
Maesaroh
“Goresan Inspirasi, Penggugah Hati”
Tempat, tanggal lahir
Garut,05 Agustus 1995
Jurusan / Fak. / Tahun
Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013
Alamat asal Kp.Sipon rt/rw 02/10 Desa.Bayongbong
Kec.Bayongbong Kab.Garut.
Alamat di Bandung
Jln.Geger Arum no.17 Desa.Isola
Kec.Sukasari Bandung
No. kontak 089686374171
Blog Nendenmaesaroh.blogspot.com
Cita-cita (profesi)
Dosen sosiologi, Wirausahawan, dan
Penulis
Moto hidup Allah dulu, Allah lagi, Allah terussss
Aktivitas selain kuliah
Menjadi pengurus di Himpunan Jurusan
(JMPS) dan UKM KI Al-Qolam UPI.
Passion Tulisan
Novel, artikel, dan cerpen.
Qory G. Pratama ([email protected]) Al-Qolam, Sebuah organisasi yang masih sangat muda, namun dengan punggawa-punggawa yang berpengalaman membuat UKM ini tidak terkesan baru muncul. UKM ini punya mimpi besar dan semoga usahanya pun besar untuk mewujudkan mimpi itu.
Tempat, tanggal
lahir
Banyumas, 10 Agustus 1995
Jurusan / Fak. /
Tahun
Pendidikan Matematika / FPMIPA
/ 2013
Alamat asal Kelurahan Sibalung, RT 01/RW
05, Kecamatan Kmranjen,
Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah
Alamat di
Bandung
Jalan Cilimus no. 13, RT 01/RW
04, Kelurahan Sukasari,
Kecamatan Isola, Bandung
No. kontak 085747784767
Cita-cita (profesi) Guru
Moto hidup Harus ada persiapan untuk bisa
tampil tanpa beban.
Aktivitas selain
kuliah
Pengurus di Himpunan Mahasiswa
Matematika dan UKM KI Al-
Qolam UPI
Elis Setiawati
(elissetiawati28@gmail
.com)
“Goresan Insipirasi
Penggugah Hati”
Tempat,
tanggal lahir
Kuningan, 28 Maret 1995
Jurusan /
Fak. / Tahun
Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013
Alamat asal Jl. Raya Bunigeulis No. 415
Rt 17/ Rw 04 Kec. Hantara Kab.
Kuningan
Alamat di
Bandung
Jl. Gegerkalong Girang no. 30
No. kontak 085724826308
Blog Elissetiyawaty.blogspot.com
Cita-cita
(profesi)
Guru/Dosen
Moto hidup Man Jadda Wajada
Aktivitas
selain kuliah
Pengurus di Himpunan dan UKM KI
Al-Qolam UPI
Passion
Tulisan
Artikel dan Cerpen
Salati
Asmahasanah
(salatiasmahasanah@gmail.
com)
“Al Qolam ibarat air mengalir yang
menyejukkan dan cahaya pelita
kehidupan yang mengasah dunia “
Tempat,
tanggal lahir
Bengkulu, 15 Agustus 1989
Jurusan /
Fak. / Tahun
Pendidikan Dasar/ SPs/2012
Alamat asal Desa Padang Bendar Kab.Bengkulu
Utara Provinsi Bengkulu
Alamat di
Bandung
Paviliun Ibu Hj. Sukarti Geger Arum
nomor 14 RT 04 RW 06 Kel. Isola Kec.
Sukasari Kota Bandung
No. kontak 087821735158/085273650336
Blog Inga salati
Cita-cita
(profesi)
Menjadi pendidik profesional
Moto hidup Lakukan yang terbaik karena Allah
Passion
Tulisan
Fiksi dan Non-Fiksi
Cerita Inspirasi
Titik Hidup
Oleh: Eko Apriansyah / Yansa El-Qarni
Kukenalnya sebagai tanda baca dalam kehidupan
Di mana semuanya berhenti ataukah akan kulanjutkan
lagi
Untuk menyusun rerangkai cerita
Yang akan kubukukan sebagai sejarah
“Ian, setelah wisuda ini kamu mau apa? Pasti
menikah, ya?” ujar Ahmad kepadaku sembari merangkul
diriku yang masih memakai toga.
“Nggak. Aku belum akan menikah. Aku masih
ingin berpetualang keliling dunia, Mad.”
“Lha, bukannya kamu sedang dekat dengan
seorang perempuan?”
“Siapa bilang? Nggak ada kok!”
Aku pura-pura tak tahu, walaupun sebenarnya
aku paham bahwa perempuan yang dimaksudkan Ahmad
itu adalah Zahra. Sosok perempuan muslimah yang
sering digosipkan dekat denganku. Ya..., kami
sebenarnya memang sempat dekat. Tetapi itu dahulu,
bukan sekarang.
Bagiku, aku bukanlah orang yang pantas untuk
memiliki Zahra. Dia terlalu lurus. Berbanding terbalik
denganku yang masih liar dan ingin bebas. Seorang
aktivis keislaman sepertinya apabila disandingkan
denganku yang pencinta sastra ini sangatlah tidak
berimbang. Ia sangat paham akan agama sedangkan aku
masih tertinggal jauh darinya. Namun, benar kata orang,
apabila sudah terkait dengan hati, alasan-alasan logis
seakan tak berguna. Begitupun bagi Zahra, jeratan
perasaan telah membuatnya seolah tak sadar siapa diriku
sesungguhnya. Ia hanya melihatku sebagai sosok ideal
seperti tokoh pemuda muslim yang kuceritakan dalam
novel pertamaku yang dibacanya.
Pernah suatu kali, Zahra meminta padaku agar
segera melamarnya. Aku kaget karena aku merasa kami
tidak punya hubungan lebih dari sekadar teman
walaupun dapat dikatakan kami berdua cukup akrab.
Gadis bermata jeli itu sesekalinya menatap mataku
dengan penuh harap, padahal dari dulu hingga saat itu,
dia hampir tak pernah berani menatap mataku. Entah ada
kekuatan apa yang membuatnya sanggup melakukan hal
tersebut. Aku jadi salah tingkah karena jauh di dasar
hatiku juga memendam rasa padanya. Lelaki mana yang
tak gemetaran bila di hadapkan dengan sosok perempuan
salehah nan rupawan yang bersedia menjadi pedamping
hidupnya?
“Zahra, menikah adalah sebuah titik dalam
paragraf hidupku. Di mana aku harus membuat kalimat
baru untuk melanjutkan titik itu. Aku masih belum ingin
membuat titik ketika kalimat sebelumnya belum aku
selesaikan. Kamu tahukan kalau aku ingin menjadi
musafir dan berkeliling untuk melihat dunia ini?”
jawabku padanya.
“Kamu bisa mengganggapku sebagai koma, biar
kamu bisa sejenak berhenti untuk meneruskan
kalimatmu itu nanti, Ian. Kamu bisa melakukan
perjalanmu bersamaku,” balas Zahra dengan bola mata
yanga berkaca-kaca.
“Aku mungkin bisa menuliskanmu sebagai koma,
tapi bagimu aku tetaplah akan menjadi titik yang
membuatmu menuliskan kalimat baru dalam paragraf
hidupmu. Sebaiknya kaupilih orang lain yang juga
bersedia menjadikan dirimu sebagai titik dalam
hidupnya, sehingga kau tak perlu mengubah kisahmu
menjadi kisah yang tak sesuai dengan citamu. Aku
mengenalmu, Ra. Kamu takkan sanggup bertahan
bersamaku.”
Setelah kejadian itu, hubungan pertemananku
dengan Zahra menjadi renggang. Kami selalu saling
menghindar ketika berjumpa. Adapun interaksi yang
kami lakukan hanyalah saling sapa tanpa melihat wajah.
Tampaknya Zahra kecewa dengan jawabanku kepadanya
saat itu.
Tak selang berapa minggu lamanya, kudengar
kabar bahwa Zahra akan melangsungkan pernikahannya
dengan seorang lelaki lulusan salah satu universitas
terkemuka di Bandung. Lelaki yang sungguh berbeda
dariku. Lelaki itu jelas mempunyai masa depan cerah
karena bekerja di sebuah perusahaan besar dan ia juga
dari kalangan keluarga yang agamis. Tak seperti diriku
yang masih senang bergelut dengan dunia tulis-menulis
tanpa ada kejelasan materi dan hampir tak pernah
bersinggungan dengan kegiatan keislaman. Adapun
kegiatan keislaman yang kulakukan hanyalah membaca
buku-buku keislaman yang dijadikan referensiku dalam
menulis novel.
Zahra kini sudah menemukan titik untuk
membuat kalimat baru dalam paragraf hidupnya. Aku
sendiri masih meneruskan kalimat tentang impianku
yang belum mencapai titiknya. Kalimat yang masih bisa
kuhapus ataupun kutulis ulang beberapa katanya agar
mencapai kalimat efektif yang ingin kurangkaikan
sebelum membubuhkan titik di depannya. Sebuah
petualangan yang telah kunantikan sedari kecil, yaitu
membaca dan menuliskan semesta-Nya untuk kupelajari.
Seharusnya penantian itu terwujud dalam waktu
dekat ini. Tepatnya setelah aku menyelesaikan novel
kelima yang sudah mencapai penulisan bab terakhirnya.
Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada hari ini
kutemukan titik hidupku yang lain. Di jalanan yang licin
karena hujan. Ketika motor yang kukendarai menuju
tempat resepsi pernikahan Zahra berhadapan dengan
sebuah truk yang tiba-tiba oleng di tengah jalan.
Bandung, 24 November 2014
Sajadah untuk Mami
oleh Ghita Fasya Azuar
Terbalut karunia Allah. Mengalun bersama hati nan
tulus. Teriring ucap lirih hati. Meminta dalam dekapan
kuasa Allah. Maha pemilik cinta dan menguasai cinta
seisinya.
***
Ku lihat arah jam di pergelangan tangan kiri.
Angka sudah menunjukkan pukul 22.00 khawatir dalam
hati segera menyeruak. Terlihat dari wajah senduku.
Ditambah pula oleh dinginnya suasana malam yang
anginnya sudah menusuk tulang. Sudah hampir 30 menit
aku duduk gelisah di kursi terminal di kota pahlawan ini.
Menunggu bus mini yang akan segera membawa ku ke
dalam kehangatan rumah. Memang berat menjalani
pekerjaan sebagai seorang SPG di salah satu pusat
perbelanjaan terkemuka di kota sejuk ini. Tapi, aku harus
bertahan demi Ibu dan adikku. Mereka membutuhkan
upahku di pekerjaan ini.
“Hanum ya?”
Mobil berwarna hitam mengkilap seketika
berhenti di hadapanku. Dengan membuka kaca sopir,
pengemudi di dalam menyebut namaku.
“Hemm. Saya, Mbak?” ucapku.
“Kamu Hanum, kan?” tanya perempuan ini lagi
untuk meyakinkan.
“Iya” jawabku.
Setelah memutar memori otak, aku baru ingat dia
adalah Juwita sahabatku ketika SMA dulu. Juwita pun
mengajakku masuk ke dalam mobilnya dan akan
mengantarku pulang. Sudah hampir delapan tahun aku
tak berjumpa dengan Juwita, selain memang kita berbeda
sekolah ada pula masalah pribadi lainnya antara aku dan
Juwita. Tapi, sepertinya Juwita sudah mengusir jauh
masalah itu. Terlihat dari mimik dan gerak tubuhnya
lepas tanpa beban dan terlihat tulus menolongku di
kegelapan malam.
Sungguh aku pangling melihat kecantikan Juwita
saat ini. Dengan hijab dan pakaian menjuntai tertutup ke
seluruh tubuhnya semakin membuatnya terlihat sebagai
wanita yang bijaksana dan matang.
“Kau cantik sekali Ju. Mas Yusuf tidak salah
memilihmu sebagai istrinya.”
Nama Yusuf membuat Juwita menginjak rem
mobilnya. Mobil ini terhenti di jalanan lenganng.
“Kau tahu mengenai nama itu, Num?” tanya
Juwita dengan mimik terkaget.
***
Pertemuanku dengan Juwita tadi malam begitu
mengesankan. Aku, Juwita, dan Ferly alias Yusuf.
Bukan lagi berkecamuk menjadi sebuah masalah. Tapi,
kini masalah itu muncul antara Juwita, Ferly, dan Mami
Susi. Juwita dan Ferly sudah menikah tiga tahun lalu.
Hatiku tersayat ketika mendengar kabar itu yang juga
membuatku tak ingin menyentuh cinta dengan lelaki
lain. Dalam benakku kebahagiaan melingkari kehidupan
Juwita, terlebih Ferly berpindah keyakinan mengikuti
keyakinan Juwita sebagai seorang muslim. Tapi, ternyata
tidak seperti bayanganku. Juwita menceritakkan sedikit
banyak mengenai pernikahannya.
Keluarga Ferly yang notabenenya adalah seorang
kristen taat dengan budaya batak yang kental membuat
perjuangan cinta Juwita semakin terjal. Sampai usia
pernikahan mereka tiga tahun Juwita masih
memperjuangkan restu dari ibu mertuanya yang kini
tinggal satu atap dengan Juwita dan Ferly.
***
Hari ini seperti biasa aku dan Mas Ferly pergi
bertiga bersama mami untuk melakukan ibadah. Khusus
aku dan Mas Ferly kami mengarah ke masjid pusat kota
untuk mengaji dengan salah seorang ustad yang dengan
sabar membimbing Mas Ferly yang seorang mualaf.
Sementara, sebelum meluncur menuju Masjid, kami
terlebih dahulu menyambangi gereja besar di kota ini
untuk mengantar mami kebaktian.
“Mami tidak mau ya dijemputnya terlambat”
ucap mami.
“Oke Mami” ujar Mas Ferly.
“Iya mami percaya pada janjimu. Tapi, biasanya
kan istrimu yang lebih senang kau di Masjid daripada
menjemput mami di gereja” ucap mami dengan melirik
sinis ke wajahku yang terlihat dari kaca spion di depan
setir.
Tangan Mas Ferly menggenggam erat tanganku
seolah memberikan sinyal untuk mengasah kesabaranku
menghadapi mami. Senyum simpulnya menyiratkan
untuk selalu ingat bahwa dia akan selalu ada di
sampingku dalam kondisi terburuk sekalipun.
Sudah tiga tahun pernikahanku dengan Mas
Ferly. Berbagai perjuangan membangun mahligai
pernikahan ini pun telah berhasil kami lewati. Perbedaan
keyakinan, menaklukan keluarga dari kedua belah pihak
yang awalnya menentang hubungan kami maupun
pengorbanan lainnya terkait budaya dan agama. Tapi,
perjuangan itu tidak lantas membuatku lega. Masih ada
mami yang hatinya masih keras terhadapku.
Menganggap aku perempuan yang mengambil perhatian
anaknya. Sudah setahun terakhir mami hijrah ke
Surabaya dari Medan untuk tinggal bersama kami. Aku
bahagia dengan adanya mami, dengan begitu aku bisa
lebih intensif mengambil hati mami. Ucapan dan
perangai mami memang keras sekali pada ku. Tapi, aku
berusaha untuk ikhlas terutama ada suamiku yang selalu
memberi kekuatan untuk tabah.
***
“Ferly kau pindah agama mengatakan bahwa
Tuhan mu yang sekarang kau sembah ini Maha baik, tapi
mana kau dan istri mu hingga kini tak kunjung di berikan
keturunan. Padahal, istri mu rajin beribadah dan
berdo’a” singgung mami tiba-tiba semakin sinis dengan
nada bicaranya.
Aku mulai menyeka air mata yang sudah luluh
dari sudut mata ku. Hatiku hancur, pedih, sakit, dan
bercampur perasaan lainnya. Rasanya ucapan mami
bukan saja meruntuhkan pertahanan pribadiku, tapi
sudah pula menyinggung mengenai agamaku. Apa yang
kurasakan ini ku bungkus dalam atas nama keikhlasan.
Aku yakin Allah mengulurkan tangan-Nya untuk
menolong setiap hambanya yang membutuhkan.
***
Seusai belajar agama dan mengaji, ku sempatkan
dengan suamiku duduk santai di pelataran Masjid. Mami
masih mengikuti kebaktian. Suami ku membeli ice
cream untuk meluluhkan hatiku yang panas terbakar api
oleh ucapan mami.
“Mas semalam aku bertemu dengan...”
“Dengan siapa? Mengapa kamu bicaranya ragu
sayang?” balas suamiku dengan mengelus kerudung
coklat ku.
“Bertemu Hanum” jawabku singkat.
Mas Ferly berhenti mengelus kepala ku dan
berhenti pula menelan ice cream di genggamannya.
Seolah ada yang menghambatnya untuk meneruskan
setiap gerak dan ucapannya.
“Dia bertambah cantik dan sepertinya Mami
masih menyukainya, Mas” ucapku dengan menatap bola
mata suamiku. Seolah meyakinkan terhadap apa yang
baru aku katakan.
“Tiada yang lebih cantik dari kamu sayang.”
Balas Mas Ferly dengan mendekat dan mengelus pipiku.
Ku halangi tangan Mas Ferly menyentuh pipiku.
“Apa yang dikatakan Mami benar Mas. Aku
tidak bisa membahagiakanmu. Selalu membuatmu
dilematis antara aku dan ibumu. Dan aku man..dul, Mas”
nada bicaraku meninggi.
Mas Ferly merengkuhku dalam pelukannya.
Hangat – sangat hangat. Air mataku membeku seolah tak
ingin dikeluarkan. Serasa dunia berpihak padaku dengan
pelukan Mas Ferly. “Aku mencintai mu, karena Allah
bukan karena Mami. Biarkan cinta ini tumbuh dengan
kehendak kuasa Allah Swt.” ucap Mas Ferly.
***
Hari ini aku sedang bersiap. Pekerjaanku sebagai
seorang Asisten Manager di salah satu Bank Syariah
ternyata mampu menghantarkanku ke Baitullah. Aku
terpilih sebagai karyawan terbaik dan diberikan reward
berupa umroh. Walaupun perasaanku sedih tidak bisa
didampingi oleh suamiku.
“Aku nitip air zam-zam ya sayang.” pinta
suamiku sebagai pengganti waktunya yang hilang,
karena tidak bersamaku.
“Iya Insya Allah. Eeem. Mami mau oleh-oleh
apa?”.
“Momongan alias anak alias keturunan!” Mami
pergi meninggalkanku dan Mas Ferly. Kali ini aku
sedang tidak melankolis, jadi tidak ku masukkan ke
dalam hati semakin hari aku sudah terbiasa. Tapi, kulihat
ada selebaran kertas jatuh dari buku yang dibaca mami
sebelum meninggalkanku dan Mas Ferly. Terlihat foto-
foto sajadah, alat shalat, serta terselip pula buku kecil
panduan salat.
“Mami.. Apakah mungkin Mas, Mami tertarik
pada Islam” gumamku.
***
Perjalanan umrohku telah selesai setelah 10 hari
berada di rumah Allah. Segar fikiran dan hati tentunya.
Banyak doa yang aku panjatkan di tanah suci, tapi dua
inti doaku yang pertama mengenai keturunan dan yang
kedua mengenai luluhnya hati mami, terlebih teka-teki
dari peristiwa di temukannya foto-foto alat salat dan
buku panduan salat sesaat sebelum keberangkatanku ke
tanah suci.
“Maaf sayang aku jemput terlambat. Baru saja
mengantar Mami ke dokter”.
“Mami sakit apa?” jawab ku tersentak.
“Jantungnya kambuh. Ayo kita menuju rumah
sakit sekarang!”
***
Mami masih berada dalam perawatan dokter.
Tidur Mami dalam sakitnya begitu teduh dan tenang.
Aku menangis tersedu melihat kondisi mami, walaupun
mami adalah ibu mertua yang lebih banyak tidak
sukanya padaku. Tapi, aku mencintai mami. Bagi ku
mami adalah guru. Guru kesabaran, guru keikhlasan dan
mami adalah malaikat yang melahirkan manusia
sebijaksana Mas Ferly suamiku.
“Ferly... Juwita.” ucap mami dengan menahan
sesak dalam dadanya.
“Mami... Panggil dokter, Mas!” perintahku pada
Mas Ferly.
“Tidak... Tidak. Kau sudah tiba di tanah air ya Ju.
Terima kasih Tuhan kau masih izinkan aku bertemu
dengan menantuku ini.” ucap mami dengan terbata.
“Iya mi. Alhamdulillah”
“Adakah yang ingin kau berikan atau sampaikan
ke Mami, Ju?”
Segera ku berlari ke arah tas besar ku dan ku raih
plastik warna putih yang sudah aku persiapkan untuk
mami. “Maaf, Mi apabila Mami tidak menyukai hadiah
ini. Sungguh Mi Juwita tidak memiliki maksud apapun.”
Mami menangis seketika melihat hadiah yang
aku berikan. “Bimbing aku dengan lafad Tuhanmu dan
selimuti aku dengan sajadah hijau ini.” ujar Mami
dengan terbatuk.
“Subhanallah, Mami. Ampuni Juwita, Mi”
ucapku dengan tersedu.
“Terima kasih kau arahkan anakku ke dalam
jalan lurus. Aku titip Ferly dan calon cucuku.” Mami
berucap dengan terbata dan mengelus perut ku.
‘Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu
anna Muhammadan rasuulullaah’
Mami pun mengikuti dengan terbata dan diujung
kalimat syahadat Mami menutup mata. Dan sesuai
permintaan mami aku menyelimuti Mami dengan
sajadah hijau ini. Semoga Mami tenang di alam kubur
dengan Islam sebagai agama akhir hidupnya.
***
Daun jatuh pun seizin-Nya. Gerak hati mengarah pada
Lillah. Keikhlasan berbalut kesabaran menjadi benteng
kekuatan cinta. Cinta yang berlandas Allah dan untuk
Allah. Allahu Akbar!!
***
Ayat demi Ayat Kupelajari
Firman-Nya
oleh Linah
Saat itu aku dan teman-temanku menempati kelas
baru kami. Ya, kami baru saja naik ke kelas dua jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA). Haru dan bangga yang
kami rasakan. “Rasanya baru kemarin aku mengikuti
Masa Orientasi Siswa (MOS), tapi sekarang sudah di
kelas dua aja,” gumamku dalam hati. Ternyata yang lain
pun merasakan hal yang sama, mereka juga tidak
menyangka telah melewatkan satu tahun pelajaran di
sekolah kami tercinta. “Hey, Amirah kau juga di kelas
ini?” Dewanti menyapaku.
Karena tahun itu tahun ajaran baru, sekolah pun
mengeluarkan beberapa kebijakan baru, di antaranya:
siswa yang beragama Islam diwajibkan mengenakan
kerudung serta seragam busana muslim bagi perempuan
dan celana panjang bagi laki-laki. Bagi yang beragama
non-muslim pun sekolah mengatur kebijakan yang sama,
hanya saja untuk siswa perempuan mereka tidak
mengenakan kerudung. Hal ini guna mendukung
program pemerintah daerah kabupaten Bekasi.
Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku untuk
siswa tahun ajaran baru, siswa kelas XI dan XII pun
diwajibkan untuk mengikuti aturan tersebut. Saat itu aku
langsung berpikir, berarti aku harus merubah cara
berseragamku. Aku memang tidak berkerudung, pakaian
yang kugunakan masih serba pendek, termasuk seragam
sekolah yang kupakai selama ini. Alhasil, dalam sekejap
penampilanku pun berubah. Saat pergi ke sekolah aku
mengenakan rok panjang dan kemeja lengan panjang
ditambah kerudung yang menutupi kepalaku. Aku
merasa tidak nyaman, karena harus berjalan kaki dari
rumah ke sekolah. Setiap pulang sekolah aku merasa
kepanasan dengan penampilanku yang sekarang.
Makanya kerudung hanya kugunakan saat di sekolah,
ketika di rumah atau bepergian aku masih menggenakan
pakaian serba pendek.
Seperti biasa, setiap hari jumat siang sekolahku
mengadakan keputrian bagi siswa perempuan. Aku dan
teman-temanku, Ine dan Ratna memilih untuk pulang
lebih awal karena kita berpikir itu lebih mengasyikan
dari pada duduk diam sambil mendengarkan pematerian.
“Yuk ah Mir, Rat, kita pulang atau kita mau
nongkrong dulu di kantin bu Susi?” kata Ine.
“Kita nongkrong di kantin dulu aja ya, baru jam
sebelas nih,” sahut Ine yang menjawab pertanyaan
Ratna.
Sejak awal masuk sekolah aku memang tidak
terlalu tertarik untuk mengikuti kegiatan keislaman.
Makanya seni tari adalah ekstrakurikuler yang aku pilih
sejak kelas satu. Beberapa bulan kujalani seperti itu. Aku
mulai merasa malu dengan orang-orang di sekelilingku,
terutama dengan diriku sendiri. “Kalau tidak siap untuk
jadi orang baik jangan terlalu memaksakan, kerudung
itu bukan mainan, jadi jangan buka pakai sesukamu!”
aku memaki diri sendiri. Sampai akhirnya aku
memutuskan untuk merubah diriku, mengubah tingkah
laku yang jauh dari kata baik.
Hari jumat itu terasa berbeda untukku. Aku
memutuskan untuk mengikuti kegiatan keputrian, pulang
sekolah nanti. Kusampaikan keinginanku itu kepada Ine
dan Ratna. Mereka tidak meresponku dengan baik,
karena tidak melarang atau mendukung keputusanku.
“Tetapi, ah sudahlah ini tentang diriku sendiri bukan
mereka.” Aku berusaha meneguhkan pendirian. Setelah
bel tanda pelajaran berakhir dibunyikan, aku langsung
bergegas menuju ruang kelas yang digunakan untuk
berkumpul. Aku mendapati beberapa orang yang sudah
berada di dalam ruangan dan langsung masuk untuk
menjadi bagian dari mereka. Alhamdulillah, mereka
menyambutku dengan baik. Keputrian memang hanya
untuk mereka yang memiliki waktu luang atau mereka
yang memang ingin benar-benar mempelajari tentang
sisi perempuan dari sudut pandang agama.
Pembahasan hari itu ternyata tentang berhijab,
pembahasan yang tidak aku ketahui sebelumnya.
Pematerinya adalah ibu Rosa, guru bimbingan konseling
(BK), yang aku tahu dulunya beliau pernah bergabung di
Lembaga Dakwah Kampus tempatnya kuliah. Sebagai
pembuka, dia membahas sebuah ayat dipertemuan itu,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung
kedadanya...” [Q.S An-Nuur: 31]
Dalam perjalanan pulang, aku berpikir untuk
tidak melepaskan kerudung ketika di luar rumah selain
untuk ke sekolah, mulai hari ini dan selanjutnya.
Ternyata hal itu tidaklah mudah. Sesekali aku membaca
surat An-Nuur ayat 34, ayat yang disampaikan ketika
pertama kali aku mengikuti keputrian di sekolah. Kubaca
ia berulang-ulang dan kupelajari maknanya. Aku masih
belum terlalu siap, keluhan terkait panasnya terik
matahari yang membuat diriku berkeringat saat pulang
sekolah masih keluar dari mulutku. Ditambah lagi respon
dari orang-orang terdekat termasuk sahabatku Ine dan
Ratna yang belum bisa menerima.
“Wah, Amirah sudah jadi anak keputrian ya
makanya sekarang jarang datang ke ekskul tari.” Ine
menyapaku.
“Iya, sudah sadar sepertinya Ne, kita kapan ya?
Hehe.” Ratna menimpali perkataan Ine sambil tertawa.
Aku memang kecewa, tapi hal itu kujadikan
penguat agar diriku tetap teguh pendirian. Dalam
perjalanan pulang kupanjatkan doa pada Dia yang Maha
Pemurah, “Ya Raab, jika kali ini aku berada di jalan
kebaikan, maka bersamailah aku dalam keistikamahan.
Aamiin...”
Sejak saat itu, meski hanya menggunakan
kerudung pendek ditambah dengan kaos lengan panjang
dan celana jeans, tetapi aku mulai istikamah dengan
penampilanku. Perlahan-lahan aku mencoba untuk
memakai kerudung yang sesuai dengan perintah-Nya,
“Hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya”. Dan kali ini, aku membuka surat Al-Ahzab
pada ayat 59. Ayat yang membuat aku berpikir untuk
tidak hanya memperbaiki cara berkerungku, tetapi
pakaianku pun harus diperbaiki.
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Hari dan bulan berlalu, aku merasakan
kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Aku merasa senang dengan penampilanku yang
sekarang, identitasku sebagai muslimah nampak jelas,
lebih dari itu penampilanku melindungiku, baik dari
sinar matahari maupun dari pandangan mata yang tidak
bertanggungjawab. Sedikit demi sediki aku mulai
mengurangi kegiatan ekskul seni tari, sampai akhirnya
aku memutuskan untuk keluar dan berganti
ektrakurikuler. Aku mengikuti ekskul ROHIS dengan
tidak meninggalkan kegiatan keputrian. Dan yang tidak
kalah pentingnya, sikap Ine dan Ratna perlahan-lahan
bisa menerimaku. Kita memulai kembali persahabatan
yang sempat merenggang.
Selanjutnya aku memutuskan untuk menutup
auratku yang lain. Ya, telapak kaki. Aku mencoba
mengenakan kaos kaki ketika hendak keluar rumah.
Ibuku merasa heran,
“Kenapa pake kaos kaki, apa nggak terlalu
berlebihan, nanti bagaimana kalau dilihat orang?”
ungkapnya.
Aku mengambil Al-Quran, kubuka surat Al-
Ahzab ayat 59, kusampaikan bahwa dengan menutup
seluruh aurat yang Allah tentukan, maka seorang wanita
akan mudah dikenali dan mereka tidak akan diganggu.
Ibuku memang lembut hatinya, dia menerima penjelasan
yang kusampaikan. Alhamdulillah, aku semakin
berbahagia. Allah mempermudahku untuk berada di
jalan-Nya dengan mengirimkan orang-orang yang
menyayangi dan mendukungkku dalam kebaikan. Maha
Suci Engkau ya Allah, maka nikmat mana lagi yang bisa
kudustakan.
“Hijab bukan benda tak hidup yang selalu diam tanpa
bergerak, berhijab adalah urusan hati, ia harus terus
dipupuk dan diperbaharui agar tidak mati.”
***
Rumah Kedua
oleh M. Ginanjar Eka Arli
Plakk!
Sebuah tamparan keras mendarat mulus di
pipiku. Sontak aku pun terdiam membisu. Wajahnya
menampakkan gurat kekecewaan. Matanya berkaca-kaca
seakan hendak pecah beberapa saat lagi. Tiba-tiba ia
membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkanku.
Sendiri, dalam kehampaan.
***
Dering handphone berbunyi menandakan
waktunya untuk bangun. Mataku mengerjap, mencoba
menarik kembali kesadaranku yang sempat hilang. Pagi
ini merupakan jadwal praktikum fisika, merangkai bel
listrik. Kulirik barang-barang yang kemarin kubeli.
Aman, pikirku dalam hati.
Tiga puluh menit kemudian aku sudah rapih.
Baju seragam putih abu-abu lengkap dengan sweater
merah membungkus badanku hari ini. Kucium punggung
tangan ibuku seraya berkata, “Pergi dulu ya, Mah!” ia
mengangguk pelan dan melepas keberangkatanku
dengan lambaian tangannya. Seperti biasa, aku pun
segera menuju jalan raya untuk mencari angkutan umum
ke sekolah.
Semilir angin menerpa wajahku. Menambah
gundah hati kecilku. Seketika itu, sebuah pesan singkat
datang menyentil jiwaku. “Jadi ketemu di Squid, kan?”
aku terdiam beberapa saat sebelum membalasnya.
Akankah kulakukan itu lagi hari ini? pikirku kemudian.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba muncul satu
pesan tambahan. “Gue tunggu ya! Yang lain juga udah
pada dateng. Tinggal lu doang yang belum.” Kalut diriku
membacanya. Memang, aku sudah melakukan hal ini
berkali-kali. Tapi hari ini beda! Tanpaku, bagaimanakah
nasib kelompokku di sekolah? Nilai lima orang berada di
tanganku saat ini. Setan dan malaikat pun membisikiku
satu per satu.
“Sudahlah bos, praktikum itu masih bisa besok-
besok. Tapi kalo ketemu teman cuma bisa sekarang.
Kapan lagi kalian main bareng, ya enggak?” bujuknya
mantap.
“Tapi bos, coba pikirkan barang-barang yang
kamu bawa. Tanpamu, kelompok praktikummu di
sekolah akan seperti ayam kehilangan induknya.
Bingung mau ngapain!” timpal malaikat hatiku.
“Bos.. Bos.. Liat geh, kondisi bos lagi pusing
kayak gitu. Daripada tambah pusing sama praktikum di
sekolah, mendingan dihilangkan penatnya dengan main
di warnet. Ya kan, bos?” tambah setan tak mau kalah.
“Iya juga ya,” pikirku. Beban ujian semester
yang baru kulalui. Kondisi badan yang kurang fit. Dan
waktu yang menunjukkan pukul 7.30. Semuanya
mengarahkanku untuk mengambil satu keputusan.
Malaikatku pun hanya bisa mengeluskan dada dengan
sabar. “Semoga Allah memberikan hidayah padamu
bos,” bisiknya sebelum pergi.
***
Ruko bertingkat empat itu masih sama seperti
sebelumnya. Lantai keramik beserta deretan komputer
menghiasi setiap ruangan di sana. Plang lusuh
bertuliskan “Squid Net” masih bertengger angkuh di
halamannya. Sayup – sayup terdengar teriakan dan
genderang perang bertabuh dari lantai dua.
Unstoppable. “Yes! Gue menang.. Hahaha!”
teriak Vicky keras di telingaku.
“Hush! Baru satu kali itu. Tunggu aja, setelah ini
giliran gue!” balasku singkat.
Tak terasa itu adalah game kelima yang kami
mainkan. Matahari sudah sepenggal naik. Burung-
burung semakin riang berkicau mencari makan di luar
sana. Getar handphone saja tak kuhiraukan, apalagi
kicauan burung. Nomor tak dikenal, paling orang iseng.
Pikirku malas.
Detik berganti dengan menit. Menit pun lalu
menyerahkan estafet waktu kepada jam. Azan zuhur kini
mulai berkumandang. Bersahut-sahutan seantero jalan
Raden Intan. Perlahan, remaja berseragam putih abu-abu
mulai berdatangan. Tanda waktu pulang sekolah sudah
tiba.
Kulirik billing-ku sejenak, “Lima menit lagi.”
Saatnya bagiku untuk pulang. Hatiku senang bercampur
gelisah. Tiga kali aku menang membuatku bahagia. Tiga
kali misscall dari nomor tak dikenal, membuatku curiga.
“Teman – temanku kah? Gimana nanti aja deh..”
Tangkisku kemudian.
***
Kurebahkan diriku di atas kasur empuk nan
hangat. Aliran darah segar segera menuju otakku yang
panas. Panas karena pikiran dan panas karena cuaca.
Kutarik napas dalam – dalam, seraya menenangkan
hatiku yang carut marut. Hari ini hampir berlalu, yang
sudah terjadi biarlah terjadi. Tenangku dalam
kesendirian.
Pintu gerbang perlahan terbuka. Saatnya ibuku
pulang. Pikirku masih dalam keadaan terpejam.
Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. Derap
langkah berpacu dengan suara. Plakk! Sebuah tamparan
keras mendarat mulus di pipi kiriku. Sontak aku
langsung bangun dan melihat wajah yang letih karena
bekerja itu berkaca-kaca di depanku. Dahinya berkerut.
Bibirnya bergetar seakan hendak keluar sumpah serapah
sedetik kemudian. Hujan itu pun tak terbendung lagi,
keluar dari sisi matanya dan mulai membasahi pipi
tirusnya.
“Mamah enggak nyangka Ardi tega ngelakuin hal
ini sama mamah.” Ucapnya kemudian. “Ardi tau? Tadi
pagi temen Ardi nelpon mamah nyariin kamu karena gak
sekolah. Padahal yang mamah tau kamu pagi-pagi udah
berangkat. Jadi, sebenarnya kamu tadi pagi berangkat
kemana Di? Kemana?!” ledaknya sambil menangis.
“Ar.. Ardi.. tadi Ardi..”
“Sudahlah! Mamah tau kamu pasti tadi ke
warnet! Mamah salah apa sih, Di, sampai kamu
menganggap rumah keduamu itu lebih berharga
dibandingkan sekolah. Padahal mamah cuma pengen
kamu jadi anak yang pinter dan saleh, itu aja...” lirihnya.
Sesaat kemudian dia membalikkan badan sambil
menyeka wajahnya yang basah. Meninggalkanku sendiri
dalam kebingungan. Merenungkan kejadian yang baru
saja terjadi di depan mataku. Tentang diriku dan ibuku.
***
Malam itu tidak ada suara di antara kami berdua.
Hanya sebuah kecanggungan dan kebisuan. Denting
sendok beradu dengan piring memecah keheningan.
Makanan yang dimakan serasa hambar di tengah suasana
yang melanda kami saat ini.
Ia beranjak pergi setelah santapannya habis.
Meninggalkanku sendiri, tanpa mengatakan sepatah kata
pun. Rasanya aku benar-benar menyesal telah
membuatnya menangis. Wanita yang rela mengorbankan
nyawanya untukku, malah kubalas dengan kekecewaan
tak bertepi. Apakah ini balasan setimpal dariku?
Menjadi pengeruk hartanya dengan warnet sebagai
pelampiasan? betapa dangkal dan hinanya diriku saat
ini, gumamku.
Dengan takut-takut aku coba mendatangi
kamarnya. Kuketuk pelan seraya membuka pintunya.
Matanya melirik kepadaku dan sejenak kemudian
langsung membuang muka ke arah lain. Sungguh, aku
sama sekali tidak menginginkan hal ini sebelumnya.
Perlahan aku coba mendekatinya. Kuraih
tangannya dan kucium lembut dan berkata, “Maafin Ardi
ya Mah.. Ardi mengaku salah. Ardi tahu kalo kelakuan
Ardi enggak bener. Kali ini Ardi benar-benar menyesal.
Ardi janji enggak akan mengulanginya lagi.” Tetes air
tak dapat kubendung lagi. Kali ini hujan membasahi
pipiku.
Ibu menghembuskan napas perlahan. Dengan
berat ia berkata, “Ardi tau kan perjuangan mamah
selama ini? Kamu tahu kalo papahmu udah enggak ada
dan sekarang mamah seorang diri membesarkan kalian
bertiga. Mamah cuma mau kalian sekolah dengan baik.
Jadi anak yang pinter, rajin, dan saleh. Mamah paling
enggak suka dibohongin. Mendingan Ardi jujur dan
enggak sekolah buat istirahat di rumah. Daripada
kemudian Ardi bohong dan bolos ke warnet. Mamah
sayang sama Ardi. Mamah kecewa kalo ngeliat Ardi
malah jadi anak yang suka berbohong gini.”
Deg. Kata-kata itu bagaikan sembilu yang
menusuk hatiku. Sakit dan tak tertahankan. Aku lebih
baik ditampar seribu kali daripada mendengar
kekecewaan dari bibir ibu. Ya Allah, maafkanlah
hambamu ini telah tega menyakiti makhluk yang sangat
menyayangiku. Hamba menyesal. Remuk rasanya hati ini
melihat dirinya seperti itu.
“Maafin Ardi sekali lagi ya mah. Ardi enggak tau
harus gimana lagi. Ardi benar-benar menyesal. Ardi
sayang sama Mamah. Mamah jangan marah lagi ya sama
Ardi.” Isakku sambil memeluknya. Erat, seakan tak ingin
ia pergi dari sisiku.
“Ya sudah enggak apa-apa, yang berlalu biarlah
berlalu. Sekarang Ardi telepon temen-temen Ardi ya.
Minta maaflah kepada mereka. Besok temenin mamah
untuk menghadap guru Ardi. Kita silaturahmi sekaligus
minta maaf.” Balas ibu sambil tersenyum.
Seketika itu kelegaan datang menghampiri diriku.
“Makasih ya Mah. Ardi janji enggak bakal bolos lagi.
Ardi mau berubah. Jadi anak yang bisa dibanggain sama
kedua orang tua.” Ucapku dengan bersemangat.
“Insya Allah. Sekarang Ardi doain papah ya,
Nak. Beliau juga pasti bangga punya anak kayak Ardi.”
Ujarnya sambil mengelus kepalaku.
“Siap, Mah!” tutupku di akhir pembicaraan.
***
Lembayung jingga berganti dengan awan putih
tanda dimulainya hari baru. Kali ini kumantapkan hati
untuk bertemu dengan teman-temanku. Setiap perbuatan
pasti harus dipertanggungjawabkan, hari ini aku harus
meminta maaf kepada mereka. Bismillah. Doaku dalam
hati. Semoga semuanya dimudahkan. Aamiin.
Pagi itu kelas masih ramai seperti biasa. Aku
rada kikuk ingin masuk ke dalam. Sikapku seperti
maling yang hendak masuk ke toko yang akan aku curi.
Namun dengan tekad dan keberanian, aku pun
melangkahkan kakiku ke sana. Ku cari empat orang
temanku, namun naas tak terlihat satu pun batang
hidungnya. Kutanya teman sebangkuku, “Eh lihat Jenfa,
enggak?”
“Enggak, Di.. Katanya sih sakit.”
Innalillahi.. Batinku dalam hati. Aku jadi merasa
bersalah sendiri dengan sikapku kemarin. Semoga saja
temanku tidak apa-apa.
“Hmm... Kemarin ada tugas Sof?” tanyaku
kembali.
“Enggak, Di. Praktikumnya enggak jadi. Diundur
minggu depan.” Jawabnya singkat.
Alhamdulillah. Inikah berkah dari langit yang
sengaja diatur oleh-Nya? Tak henti-hentinya aku berucap
syukur akan kemudahan yang diberikan-Nya kepadaku.
Kini dengan tenang aku menatap papan tulis hitam di
depanku. Seraya melihat temanku membersihkannya,
begitupun aku yang sedang membersihkan hatiku untuk
kembali pada fitrah yang seharusnya.
Waktu tak terasa kembali berlalu. Bel pulang kini
berbunyi kembali. Serentak seluruh pelajar putih abu-
abu keluar dari ruangan menuju rumah singgah masing-
masing. Vicky dan Sofyan tiba-tiba mendatangiku, “Di,
ke Squid yuk!” ajak mereka.
Aku tersenyum kepada mereka. Kutepuk pundak
Vicky seraya berkata, “Besok-besok lagi aja ya. Gue
mau pulang dulu sekarang. Daah...” Kulambaikan
tangan kepada mereka tanda perpisahan. Pandangan
mereka nanar, melihatku yang semakin menjauh. Hari
ini, kuputuskan untuk berubah. Detik itu juga,
kuputuskan untuk berpisah dengan rumah keduaku.
Rumah yang selama ini mendampingiku dan menjadi
tempat pelarianku dari-Nya. Insya Allah, kali ini Allah-
lah yang akan memudahkan jalanku selanjutnya.
Bismillah.
***
Dzikir Terakhir
Oleh Dini Wulandari
Ada hal lain tentang tasbih milik ibu. Tasbih yang
kubeli di sebuah toko yang hampir bangkrut karena sepi
pembeli. Aku merasa iba ketika pemiliknya tengah
memasukan barang-barang dagangannya ke dalam
kardus. Ku putuskan membeli salah satu tasbih berwarna
merah berjumlah 99. Aku hanya ingin ibu kenal dengan
Rabb-nya, karena sejak kecil ibu dilarang pergi ke surau.
Ia tahu bahwa dirinya Islam. Tapi tak diperkenankan
mengenal Islam itu seperti apa. Allah memperkenankan
ibu merasakan nikmatnya melisankan dzikir, walau
hanya ribuan menit. Dzikir yang membuat otak dan
tubuh ibu pada akhirnya merasa candu. Dan Allah tak
memberi kesempatan lebih dari itu.
Selama ini, aku tak pernah merasakan yang namanya
begadang. Seberapapun menumpuknya tugas kuliah.
Seberapapun menumpuknya pekerjaanku di kantor. Aku
selalu punya siasat agar semua tugas itu tak ku kerjakan
malam hari, karena aku menyadari baha aku tipe orang
yang tidak pernah bisa begadang. Tapi dua malam
sebelum ibu benar-benar menghembuskan nafas
terakhirnya. Entah apa yang membuatku pada akhirnya
kuat tidak tidur dua malam berturut-turut. Mataku tetap
terjaga menjaga tubuhnya yang kian melemah. Ibu sakit.
Tapi dokter dan tim medis terhebat di desa kami tak
mampu memprediksi, apa kiranya penyakit yang
bersarang di tubuh ibu itu. Bahwa kami putus asa,
memang benar. Tapi, sungguh jika Allah
memperkenankan segala penyakit ibu dipindahkan ke
tubuhku, aku sangat ikhlas. Tapi Allah tak perkenankan
itu.
***
Ibu kecil adalah putri yang harus menerima takdirnya
hidup di tengah-tengah keluarga yang tak
menginginkannya hadir. Orangtuanya tak mengharapkan
kehadiran ibu. Hingga satu hal yang pada akhirnya
membuat ibu sakit adalah tindakan orangtuanya yang
tega menaruh ibu kecil di sebuah kampung terkecil yang
juga menjadi desa kelahiranku. Ibu berada di tengah
keluarga Sam yang menjadikannya babu sejak usia 6
tahun hingga usianya benar-benar matang untuk
menikah.
Pada zamannya, keluarga Sam adalah keluarga
paling kaya di desaku. Orangtua ibu menjual ibu sejak
usianya menginjak angka 5 tahun pada keluarga Sam
karena kebetulan keluarga Sam tidak memiliki
pembantu. Ibu kecil adalah sosok yang patuh. Tak ada
penolakan ketika orangtuanya pergi begitu saja tanpa ada
kecupan sayang sedikitpun. Ibu bercerita bahwa matanya
benar-benar telah berkaca-kaca. Ia ingin ikut dengan
orangtuanya. Tapi nyonya Sam meremas tangan ibu dan
membawanya masuk rumah. Berawal dari itu, kehidupan
ibu benar-benar membuat dadaku sesak mendengarnya.
Ibu tidak diperkenankan bersekolah dan pergi ke
surau oleh keluarga Sam. Hidupnya dikungkung oleh
pekerjaan bertubi-tubi yang dilimpahkan pada ibu kecil.
Ibu kecil adalah satu-satunya pembantu yang ada di
rumah mewah keluarga Sam. Setiap hari ibu harus
mencuci pakaian dan peralatan makan sembilan kepala,
keluarga Sam (baca; Tuan-Nyonya dan tujuh anaknya).
Ibu juga harus memasak untuk delapan puluh buruh tani
milik keluarga Sam. Tak jarang pula, ibu berperan aktif
menanam dan memanen padi di sawah jika pekerjaan di
ratusan hektar sawah tidak ter-handle oleh delapan puluh
buruh tani itu.
Ibu remaja masih tetap menjadi sosok yang pendiam
dan patuh. Suatu ketika, keluarga Sam berencana
menjualnya pada seorang kiai di desaku yang gemar
berpoligami dengan dalil “menghindari zina”. Jelas ibu
sangat menolak. Namun, kekuasaan keluarga Sam
membuat akad dan resepsi pernikahan ibu dan kiai itu
terencana bahkan hampir terlaksana. Bagi ibu, lelaki
manapun teramat menakutkan di matanya, termasuk
sosok pemuka agama sekalipun.
Beberapa detik sebelum ijab qobul dilaksanakan, ibu
pingsan kemudian tersadar dan mendapati dirinya dalam
keadaan dipasung oleh keluarga Sam. Keluarga Sam
geram karena kiai yang akan membayar tubuh ibu
tersinggung dan membatalkan rencana pernikahan itu.
Ibu saat itu berada pada kondisi psikis yang teramat
memprihatinkan. Ia sering menjerit ketakutan terhadap
setiap laki-laki yang merubung ruangan tempat ia
dipasung. Tatapannya kosong bahkan kekosongan itu
mendominasi isi kepalanya. Ia tak mampu berpikir
apapun. Kosong. Bahkan sangat kosong.
***
Satu-satunya lelaki yang pada akhirnya membuat ibu
mampu melepaskan traumanya adalah ayah. Entah
kismat kutuk apa yang belum juga membiarkan ibu
bahagia setelah ia dikeluarkan dari rumah keluarga Sam
dengan berbagai kutukan dan tak dibekali sepeser pun
pesangon, ibu dinikahi lelaki yang jauh dari tanggung
jawab. Ibulah yang menafkahi ayah dan kelima anaknya.
Aku dilahirkan ketika ibu berperan sebagai tukang es
batu keliling. Tepatnya, ketika ia mengantarkan es batu
ke sebuah warung yang cukup jauh, ketubannya pecah.
Keringat membasahi tubuh ibu yang sangat berusaha
menahan rasa sakit. Ia ingin segera pulang dan meminta
ayah memanggilkan orang yang bisa membantunya
meelahirkanku. Ibu tahu, ia tak punya banyak uang
untuk memanggil seorang bidan. Ibu hanya
mengandalkan belas kasih dari tetangga atau siapapun.
Tapi, nyatanya Allah berkehendak lain. Aku dilahirkan
di bawah sepeda yang kedua sisinya diberi semacam
karung beras berisi es batu yang terus mencair. Sepeda
yang menjadi satu-satunya harapan ibu meraup rizki
untuk bertahan hidup dengan menjual es batu. Aku jadi
tontonan orang yang berlalu lalang di pinggiran jalan
dekat warung itu. Dan ketika aku mendengar cerita ibu
tentang ini, aku benar-benar merasa ibu adalah wanita
terhebat yang pernah aku kenal di dunia ini.
Allah mempertahankan nyawa ibu dan memberinya
kesempatan merawat aku dan keempat adikku. Ayah
bukan lelaki yang berkebiasaan pulang pagi, suka main
perempuan, berjudi, atau peminum. Ayah lelaki biasa
yang memiliki kepribadian sangat biasa pula. Tak pernah
ayah memberikan sepeser pun hasil keringatnya pada
ibu, karena memang ia tak pernah bekerja. Aku dan
adik-adikku berhasil menyelesaikan studi kami pun
berkat keringat, air mata, dan doa tulus ibu.
Suatu ketika, saat adikku yang kedua sangat
membutuhkan uang untuk membayar ujian, saat adikku
yang ketiga sangat membutuhkan uang untuk menebus
ijazah, dan saat adikku yang keempat sangat
membutuhkan uang untuk membayar tunggakan SPP.
Ibu benar-benar ikhlas memposisikan dirinya sebagai
manusia “hina” yang duduk di depan ruang operasi
sebuah rumah sakit terbesar di kota kami dan berharap
ada pasien yang membutuhkan salah satu organ
tubuhnya untuk kemudian diganti dengan sejumlah uang
sekolah anak-anaknya.
Aku tak mampu berkata apapun tentang perilaku
nekat ibu ini. Aku menangis di sudut rumah sakit melihat
tubuh ibu yang begitu ikhlas, meringkuk, menunggu
keluarga pasien manapun yang membutuhkan organ
tubuhnya. Di menit ke 540, aku benar-benar tak kuat
melihat orang yang melahirkanku berbuat demiikian. Ku
tarik tubuh ibu dan memaksanya pulang, tapi ibu
membentak dan menyuruhku pulang sendirian.
Aku biarkan ibu melakukan apa yang menurutnya
baik. Alhasil, sebuah keluarga membutuhkan ginjal
untuk keluarga mereka. Tanpa ragu, ibu menjual satu
ginjalnya pada keluarga itu. Ibu pulang dengan
kebahagiaan yang tak mampu kulukiskan, demikian
halnya dengan rasa sakit yang ia bawa, tak mampu juga
aku lukiskan dengan apapun. Ia berusaha kuat dan tak
pernah memberitahu adik-adikku bahwa uang itu hasil
dari penjualan ginjalnya.
Sejak kejadian itu, ibu jadi sering sakit-sakitan. Ibu
semakin memforsir tubuhnya ketika ayah berulangkali
meminta uang untuk membeli rokok. Siang malam ibu
berusaha mengabdi pada suami dan anak-anaknya.
Walau aku tahu, bentuk pengabdian ibu itu tak bisa
kufahami dari sudut pandang “suami mana yang masih
pantas diabdi dan tidak pantas diabdi”. Berulangkali
kuyakinkan ibu untuk menghentikan perilakunya
mendzalimi tubuhnya sendiri. Tapi, lagi-lagi aku
dibentak dan ia mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik
saja.
Aku tahu ibu sakit, tapi ia selalu menyembunyikan
‘obat-obatan warung’ di bawah kasurnya. Dalam satu
hari, ia bisa menghabiskan 3-5 obat-obatan tidak sehat
itu. Ibu tak pernah benar-benar mengerti fungsi
sebenarnya obat-obatan itu. Ia hanya tahu bahwa obat-
obatan itu bisa membuat tubuh dan kepalanya merasa
sehat (baca; ketika itu saja). Ia tak pernah tahu, bahwa
obat-obatan itu pada akhirnya memunculkan beragam
penyakit baru yang bersarang di tubuhnya kekinian.
***
Setelah konflik batin yang membelitku di
perantauan. Bosku mengancam jika aku tetap pulang,
gaji enam bulan terkhir yang belum diberikannya, benar-
benar akan ditahan bahkan hangus karena satu proyek
yang kutinggalkan begitu saja. Adik-adikku merengek di
ujung gagang telepon, minta agar aku segera pulang
karena ibu tidak ingin dirawat selain olehku. Akhirnya
aku memilih pulang dan menyaksikan tubuh tambun ibu
terkulai lemas di pembaringan. Ia tak lagi mampu
bergerak. Aku sangat berusaha menahan air mataku agar
tidak jatuh di hadapan ibu. Tapi, ibuku yang teramat kuat
kali ini tak benar-benar kuat menahan air matanya ketika
tanganku menyentuh pipinya. Ku genggamkan tasbih
merah yang sengaja kubelikan untuk ibu, karena aku
tahu ibu sangat suka warna merah. Sejak aku tiba di
hadapan ibu, ku bimbing lisannya mengucap dzikir. Ibu
tampak ikhlas jika Izrail benar-benar mencabut
nyawanya. Dan benar saja, kukecup kening ibu ketika
dzikir terakhir yang ia lisankan terhenti pada kata
laillaha ilallah. ***
Di Tokyo Salman Kembali
Indria Fitri Afiyana
Salman, masih duduk di pinggiran stasiun, bukan
sedang menunggu. Salman yang berprinsip ‘time is
money’ tidak mungkin mau menunggu, apalagi di
stasiun. Salman sedang asyik dengan rumus-rumus
elektronikanya. Suatu proyek sedang menunggu untuk
diwujudkan. Salman, si pemilik ide tersebut sangat
berambisius untuk segera mewujudkannya sebelum ia
lulus dari Tokyo University.
Sebuah robot yang mutakhir di era Heisei, begitu
kata hatinya. Sebuah robot yang memiliki fungsi
layaknya manusia digabung dengan tank perang, dengan
carbondioxide energy, Super Robot WS-092 bisa
dipastikan akan menjadi penemuan termutakhir abad
kini. Salman selalu tersenyum bila mengingat itu, pasti
ibu dan bapaknya di Cimahi akan bangga memiliki anak
seperti dirinya.
“Kriing…” ponselnya berdering, sebuah e-mail
dari Yana, kawan satu tanah airnya yang sekarang
mengambil jurusan fisika murni di Tokyo University.
“Man, ada di mana sekarang?” Salman terdiam
menatap layar ponselnya. Ingatannya mengulang
percakapan ia dengan Yana tadi pagi.
“Kamu harus segera menghentikan proyek ini,
Man!” kata Yana.
“Kenapa? Dan apa urusanmu hah!” kata Salman.
“Proyek robotmu ini sedang menjadi incaran
CIA! Karyamu ini akan dicuri dan dijadikan senjata
pembunuh masal di Palestina sana!” ujar Yana dengan
nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Tidak mungkin, aku akan segera mempatenkan
robotku! Lagipula, memangnya kenapa kalau robotku
dijadikan senjata pembunuh masal di Palestina hah?”
jawab Salman tak kalah tinggi.
“Astagfirullah, nyebut, Man. Mereka itu orang-
orang muslim, sesama muslim itu kan saudara!” kata
Yana.
“Ya... Ya... Ya.... Terserahlah, yang pasti
alasanmu untuk menghentikan proyek ini tidak valid!
Tau dari mana kamu kalau robotku diincar?
Memangnya ini film action yang hidupnya tidak jauh-
jauh dari CIA, FBI, dan kawan-kawannya itu?!” ujar
Salman geram.
“Kawanku di Interpol yang memberitahukannya”
jawab Salman.
“Bagus, setelah membual tentang robotku yang
akan dicuri CIA, sekarang kamu membual bahwa kamu
punya teman di Interpol?!” ujar Salman. Yana terdiam,
lalu segera menjawab dengan jawaban singkat.
“Ya, kami pernah bertemu di pertemuan fisika
internasional tahun lalu, dia seorang penggemar fisika,
sama sepertiku” ujar Yana dengan nada yang rendah.
Salman terdiam mengingat kejadian itu. Salman
tahu bahwa Yana bukan orang yang dusta, tak pernah ia
menemukan kejadian yang menyatakan bahwa Yana
seorang pendusta. Pernah suatu waktu, ketika dirinya
dan Yana sedang pergi berbelanja di Shibuya, mereka
bertemu dangan segerombolan anak muda yang
berpenampilan bengal, dan benar saja, mereka memang
bengal. Segera saja anak-anak muda itu memaksa
Salman dan Yana untuk memberikan uang yang mereka
punya. Sedangkan Yana tetap tenang sambil berujar
bahwa uangnya ada di tas ranselnya. Mirip dengan
kisahnya Syekh Abdul Qodir Jaelani. Tapi memang
benar, Yana sungguh-sungguh terinspirasi dengan
keshalehan Syekh tersebut. Kisah-kisah teladan saat
dirinya mengenyam pendidikan di pesantren ternyata
tidak dijadikannya sebagai dongeng pengantar tidur, tapi
benar-benar dijadikan teladan kehidupan.
Anak-anak muda itu terdiam, lalu sedetik
kemudian terlihat kode dari ketua genk tersebut untuk
segera meninggalkan TKP tanpa mengambil sepeser yen
pun. Mungkin mereka mengira bahwa Yana memang
benar-benar terkena gangguan jiwa, tapi tidak dengan
Salman. Salman tersenyum melihat kejujuran sahabatnya
itu.
Memorinya di masa lalu memaksanya untuk
berhenti berkutat dengan rumus-rumusnya. Jam
menunjuk ke angka tiga. Stasiun mulai benar-benar
sunyi. Salman menengok ke kereta di depannya, jurusan
Toshima. Seakan-akan ada yang menggerakan kakinya,
Salman berdiri dan masuk ke kereta itu.
Kereta melaju ke daerah Toshima-ku. Salman
membiarkannya, biarlah pagi ini Salman melepaskan
penat yang selama ini ia pendam. Melarikan diri sejenak
dari beban-bebannya. Salman terdiam, terpaku
memandang ke luar jendela. Salman menyadari hatinya
sangat kering saat ini. Salman ingin hatinya diisi oleh
sesuatu yang dapat menyegarkan hatinya kembali. Bagai
dapat hidayah, tangannya langsung meraba kantong
jaketnya, ia mengambil ponselnya, bukan untuk
mendengarkan lagu atau mengirim e-mail pada Yamada
Riko, mahasiswi satu fakultasnya yang sedang ia
gandrungi, tapi membuka program Al-Quran yang dulu
ia masukan ketika pertama kali ia membeli ponsel di
Jepang. Ia teringat alasan ketika ia memasukan program
itu, agar aku selalu bisa murojaah kapanpun dan di
manapun, katanya dalam hati. Ia meringis, betapa
hidupnya kini berubah 180°. Jangankan untuk mengingat
Allah, mengucapkan ayat-ayat suci saja tak pernah.
Kini Salman benar-benar menangis, tak ada rasa
gengsi yang menghambat dirinya untuk kembali pada
Allah. Ditemani surat An-Najm, Salman kembali
menyelami kedamaian yang selama ini ia lupakan,
kembali kepada kebenaran yang selama ini ia tampik.
“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.
Sesungguhnya, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia
mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu
dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut
ibumu. Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci.
Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Qs. An-
Najm: 32)
Kereta berhenti di stasiun Toshima. Jam
menunjukan ke angka empat. Salman melihat ke
sekeliling. Sepi, tapi Salman tahu ke mana ia harus
melangkah, Masjid Minami Otsuka, “jadi ini alasan
Allah mengapa menyuruh kakinya beranjak ke kereta
jurusan Toshima?”. Gumamnya. Salman tersenyum,
sungguh kasih sayang Allah meliputi seluruh makhluk.
Masih saja Allah mengurusi dirinya, padahal sudah lama
ia tidak mengurusi perihal agama.
Jarak Stasiun Toshima dengan Masjid Minami
Otsuka tak terlalu jauh. Salman berjalan kaki untuk
menuju ke masjid itu. Salman ingin segera tiba di masjid
itu. Salman ingin melakukan salat, lalu bertaubat nasuha.
Setibanya di Masjid Minami Otsuka. Salman melihat ke
sekeliling masjid, ternyata sudah banyak jamaah yang
datang. Salman teringat, bahwa ini memang waktunya
salat subuh. Salman beristighfar, mengapa ia sampai
lupa waktu-waktu salat?
Salman melaksanakan salat dengan nikmat. Ini
salatnya yang pertama setelah sekian lama ia pergi dari
Allah. Salman kembali menangis dalam salatnya. Sudah
lama ia pergi dari Allah, tapi tak pernah sekalipun Allah
meninggalkannya, buktinya sampai sekarang ia masih
hidup, masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Salman
menyadari kekhilafannya. Dalam sujudnya ia kembali
beristighfar.
***
Salman terbangun dari tidurnya. Ternyata setelah
salat tadi Salman langsung tertidur. Dilihatnya matahari
sudah meninggi. Salman melirik ke arah jamnya,
ternyata sudah jam sembilan. Untung saja hari ini
Salman tidak ada jadwal kuliah, jadi Salman tak perlu
terburu-buru pergi ke tempat kuliahnya. Hari ini Salman
bisa menyediakan waktunya untuk Allah. Merenungkan
perjalanan hidupnya yang banyak dosa dan bisa
langsung memohon ampun.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Hikaru, adik kelas
sekaligus teman satu regunya dalam mewujudkan Super
Robot WS-092 nya menelepon. Salman mengangkatnya,
terdengar suara Hikaru di seberang sana, suaranya
seperti orang panik.
“Moshi-moshi Salman-senpai, ini aku Hikaru”
kata suara di seberang sana.
“Ya Hikaru, ada apa? Tenanglah tak usah panik
begitu!” jawab Salman.
“Ro..robot kita Salman-senpai, dicuri! Semuanya,
termasuk rancangan desainnya! Bagaimana ini Salman-
senpai?” jawab Hikaru seperti orang dikejar hutang.
Salman terdiam, shock, “Ba..bagaimana bisa
Hikaru? Kau sudah mengunci ruangan itu kan?” jawab
Salman, pasrah.
“Tentu saja Salman-senpai. Penyelidikan terakhir
polisi mengatakan bahwa tersangka pencurian itu adalah
dosen kita, Doktor Minamoto Hiro. Sudah kuduga dia
memang mengincar proyek kita!” jawab Hikaru sinis.
“Be…benarkah?” Salman teringat kata-kata
Yana kemarin bahwa robotnya jadi incaran CIA, siapa
tahu bukan Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA.
“Benar senpai, sampai saat ini memang tuduhan
mengarah pada Doktor Minamoto” . Salman kaget
sekaligus khawatir. Ia khawatir kalau benar bukan
Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA, ia takut kalau
robotnya akan dijadikan senjata pembunuh massal di
Palestina sana, Salman ingat satu firman Allah yang ia
baca tadi subuh “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara….” Salman hanya bisa pasrah. Salman
menutup ponselnya. Ia ingin segera salat, memohon
petunjuk pada Allah, semoga Allah membawanya lagi
pada kebenaran.
Pagi itu Salman kembali berkeluh kesah pada
Allah, segalanya ia serahkan pada Allah. Allah lah
penentu skenario hidupnya. Apakah Allah akan
mengembalikan robotnya atau tidak, Salman yakin itulah
jawaban yang terbaik.
Setelah salat, sayup-sayup terdengar suara orang
melantunankan suatu ayat lalu melanjutkan membacakan
artinya, “(Allah) mengetahui semua yang gaib dan yang
nyata; Yang Mahabesar, Mahatinggi” (Qs. Ar-Ra’d: 9).
Salman menengok mencari arah suara tersebut. Ternyata
Yana. Salman tersenyum, tau saja dirinya sedang ada di
Toshima.
“Apa kabar, Man?” ujar Yana.
“Alhamdulillah baik” jawab Salman singkat.
“Eh... Salman, kau sudah tahu kasus di kampus
kita kemarin tadi malam?” tanya Yana hati-hati.
“Ya, kasus pencurian robotku, Super Robot WS-
092” jawab Salman pasrah.
“Pasrahkan pada Allah, Man” ujar Yana ikut
prihatin.
“Ya, aku sudah memasrahkannya. Aku yakin ini
rencana Allah yang paling baik” jawab Salman yakin.
Percakapan terhenti lagi. Kali ini Yana lagi-lagi
ambil suara yang pertama.
“Eh... Salman, sebenarnya kata-kataku yang
kemarin bahwa CIA akan mencuri robotmu itu
sebenanrnya bohong…” ujar Yana dengan nada pasrah.
“Apa? Aku tidak mengerti. Kenapa kau harus
sampai berbohong Yana?” tanya Salman.
“Ini bertujuan agar kamu kembali lagi ke jalan
Allah. Setelah kau mempunyai ambisi untuk
mewujudkan robotmu itu kau selalu saja disibukkan
olehnya, aku jarang melihatmu salat lagi, Salman” ujar
Yana.
Salman terdiam. Ya! Yana benar, selama ini ia
terlalu disibukan oleh proyek robotnya. “Lalu pencurian
ini, apa kau juga yang merencanakannya?” tanya
Salman.
“Bukan, bukan aku tapi Doktor Minamoto. Dari
awal aku sudah tahu rencananya untuk mencuri
proyekmu” jawab Yana singkat.
Salman terdiam, tidak percaya ia mengalami
kejadian yang fantastis seperti ini. Tak pernah ia
bayangkan bahwa ia harus kehilangan proyek
ambisiusnya, tak pernah sekalipun. Tapi di sudut hatinya
ia bersyukur, kalau ia tak mengalami kejadian ini,
mungkin sampai sekarang ia belum juga bertaubat pada
Allah. Salman tersenyum lalu menepuk pundak Yana.
Salman lalu berbalik ke arah kiblat lalu
mengambil mushafnya, ia baca surat Al- A’raf
“…pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.
Hanya kepada Allah kami bertawakal. Ya Tuhan kami,
berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan
hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik” (Qs.
Al-A’raf: 89).
***
Suratan Maha Cinta
oleh Dea Yolanda
Fajar terbit di ufuk timur bersamaan dengan kokok
ayam, pertanda bahwa pagi telah menjelang. Mala
mengibaskan tirai yang menutup kaca dan membuka jendela
kamarnya. Suasana pagi ini begitu indah dan damai. Tak ada
suara bising yang membuat telinga memekik. Inilah yang
membuat Mala nyaman berada di desa ini. Desa tempat
kelahirannya dua puluh tahun yang lalu. Hal yang
menakjubkan adalah desa ini dalam kondisi yang hampir
sama ketika dia masih berumur tujuh tahun. Tidak banyak
perubahan, hal yang berubah saat ini adalah dirinya sendiri.
Satu bulan yang lalu Mala memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya seorang diri. Dia pulang ke rumah
peninggalan orang tuanya. Tak ada sanak keluarga yang
menyambut. Semua keluarga dekat telah merantau ke luar
kota, dia pun telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak
berumur lima belas tahun.
Sungguh, keputusan untuk kembali ke kampung
halamannya bukanlah perkara yang mudah. Delapan tahun
lalu suatu kejadian menguras emosi terjadi di keluarganya.
Dahulu ayah dan ibunya adalah panutan di desa ini. Ayah
Mala bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan disantuni
warga. Sedangkan ibu Mala adalah seorang ibu rumah tangga
yang berdedikasi tinggi dengan tugasnya sebagai istri dan
ibu. Tidak pernah ada gonjang-ganjing rumah tangga yang
terjadi selama pernikahan mereka. Namun, kebahagiaan
tidaklah kekal. Saat Mala berusia dua belas tahun, ayahnya
meninggal. Hal itu membuat Mala dan ibunya terpukul.
Mereka tahu bahwa ayah Mala sebelumnya tidak
mempunyai riwayat penyakit apapun. Desas-desus
berkembang di tengah warga. Ada beberapa isu yang
menyebutkan bahwa ayah Mala di guna-guna oleh seseorang
yang iri padanya. Namun Mala dan ibunya tidak
mempercayai isu itu. Mereka ber-husnudzon bahwa ayah
Mala kelelahan. Selain itu Mala tahu bahwa ayahnya tidak
bisa tidur hampir setiap malam selama satu minggu karena
harus mengerjakan laporan-laporan.
Mala yang saat itu sangat belia masih harus diuji oleh
Sang Maha Kuasa, satu bulan kemudian ibunya meninggal
karena penyakit diabetes yang dideritanya. Mala benar-benar
terpukul. Mala kecil yang masih belum mengerti kerasnya
kehidupan harus menanggung derita yang bertubi-tubi.
Sejak peristiwa itu, warga desa menjadi antipati
terhadapnya, mereka menganggap bahwa Mala adalah
pembawa sial. Tidak ada warga yang berbaik hati untuk
menolongnya. Jika ada, mereka yang berempati terhadapnya
hanya bisa mengelus dada mengingat saat itu sikap antipati
beberapa warga benar-benar mendominasi.
Kini Mala telah berusia dua puluh tahun. Setelah
berhasil bertahan dan bekerja di luar kota, Mala
memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Dia
ingin memperbaiki dirinya yang saat ini kacau. Selama di
kota, hidupnya sangat jauh dari Allah. Salat lima waktu pun
tak pernah dia lakukan. Bahkan dia sempat merasa ragu
ketika pada akhirnya memutuskan untuk salat di surau dekat
rumahnya, beruntung ternyata dia masih mengingat gerakan
dan bacaan salat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah
dia lakukan.
***
Suara azan berkumandang ketika senja hendak
berganti malam. Surau yang dibangun lima belas tahun lalu
terlihat rapuh dan tak terawat. Meski tidak ramai oleh
jemaah, azan yang berkumandang melalui mikrofon menjadi
salah satu tanda bahwa Surau itu masih disambangi
beberapa warga yang bermukim di sekitarnya. Surau itu tidak
seperti surau pada umumnya yang selalu ramai saat waktu
salat tiba. Saat azan dikumandangkan, hanya ada beberapa
orang bapak-bapak yang bersedia melangkahkan kakinya
untuk melaksanakan salat berjamaah. Tidak ada aktivitas
pengajian apapun selepas magrib layaknya di surau lain.
Surau itu lapuk termakan usia.
Mala memakai mukena berwarna coklat tua. Dua
minggu telah berlalu sejak dia memutuskan untuk rutin salat
magrib sekaligus iktikaf di surau. Dia tidak pernah absen
untuk salat di surau tersebut. Tekadnya yang ingin
memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada pencipta-Nya
membuat langkah kaki menuju surau semakin terasa ringan.
Petang itu dia memanjatkan doa yang tak pernah letih
diucapkan olehnya.
“Ya Allah, aku memohon ampun atas segala dosa
yang telah aku perbuat, aku memohon ampun atas segala
khilaf dan salah yag telah aku lakukan. Aku ingin
memperbaiki diri, aku ingin bertaubat kepadamu ya Allah. “
Kehadirannya di surau menjadi suatu fenomena unik
di tengah warga. Tak ayal pujian dan gunjingan ditujukan
kepadanya di saat yang sama. Bukankah aneh melihat
seorang gadis muda menghabiskan waktunya di surau saat
petang menjelang? Hal itulah yang menjadi pertanyaan di
benak beberapa warga. Lazimnya surau tersebut hanya
disambangi oleh bapak-bapak lanjut usia saja. Gunjingan
muncul ketika kehadirannya membuat beberapa pemuda
mengalihkan tempat tongkrongan mereka ke surau. Para
pemuda tersebut ingin melihat kecantikan Mala yang jelita.
Semua warga tahu bahwa Mala tidak kalah cantik dengan
penyanyi terkenal yang sering muncul di televisi. Tidak heran
gunjingan datang kepada Mala yang dianggap sebagai gadis
penggoda.
“Hai Mala, kamu tahu apa yang telah kamu
perbuat?” tanya ibu berperawakan tambun di depan Surau.
“Apa maksud Ibu?” Mala mengernyitkan keningnya,
mencoba memikirkan apa kesalahan yang telah dia perbuat
kepada ibu dihadapannya itu.
“Gara-gara kau, anak laki-lakiku jadi sering
nongkrong di surau ini dan enggan membantu aku
berdagang.”
“Saya tidak mengerti apa yang Ibu maksud. Saya juga
tidak tahu siapa anak Ibu.”
“Ah, sudahlah. Pokoknya kau jangan pernah lagi
berada di surau ini. Kau telah mengganggu ketentraman
warga di sini.” Ibu berperawakan tambun itu pergi dengan
meninggalkan ancaman untuk Mala.
***
Sore hari hujan turun rintik-rintik. Mala sedang
memasak tumis kangkung dan tempe goreng. Mala sangat
rindu makanan ini, makanan yang dulu sering dimasak oleh
ibunya. Dari jendela yang berada di dapur dia melihat
beberapa orang anak sedang bermain petak umpet.
“Hai adik-adik...” sapa Mala dari balik jendela. Ketiga
anak yang berada di halaman belakang rumah Mala menoleh
serempak.
“Kalian sudah makan siang? Ayo sini makan sama
kakak. Kakak sedang memasak tumis kangkung dan tempe
goreng.”
“...”
Ketiga anak itu saling menatap satu sama lain. Tak
lama mereka perlahan berjalan mendekati jendela dapur
Mala.
“Kakak siapa?”
“Saya Mala, panggil saja Kak Mala. Ini Kakak baru
selesai masak dan bosan makan sendirian. Bagaimana kalau
kalian bertiga menemani Kakak makan?”
Ketiga anak itu menoleh ke arah meja makan. Aroma
tumis kangkung yang baru disajikan menusuk indra
penciuman mereka. Akhirnya mereka bertiga mengangguk
pertanda setuju. Mala menyunggingkan senyum senang.
***
Langit tiba-tiba mendung seolah mengerti situasi
yang terjadi siang ini. Mala baru saja pulang dari pasar. Saat
dia sampai di rumahnya, dia mendapati rumah peninggalan
ayah dan ibunya telah kacau-balau, tak beraturan. Pintu
rumah jebol, kaca-kaca pecah, dan dari luar tampak
perabotan rumah tangga yang hancur dan tercecer.
Mala masuk ke rumah dan memeriksa barang
pribadinya. Saat itu dia menyadari bahwa perhiasan
peninggalan ibunya dan beberapa barang berharga lenyap.
Apa yang terjadi? Tanya memenuhi pikiran. Air mata keluar
dari sudut matanya. Padahal hari ini Mala telah berjanji
untuk mengajak Roni, Asep, dan Ujang untuk makan siang di
rumahnya. Sejak bertemu dengan ketiga anak kecil itu, Mala
memutuskan untuk salat dan mengaji di rumah. Dia mencoba
menghindari fitnah dari warga. Dia juga berinisiatif untuk
mengajak Roni, Asep, dan Ujang mengaji bersama. Mala
merasa perlu untuk membagi sedikit ilmu yang pernah dia
pelajari ketika masih remaja. Namun sungguh malang, kini
Mala tidak bisa mengajak ketiga anak itu untuk mengaji
bersama lagi. Dia tidak punya pilihan lain selain pergi dari
desa itu.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam. Eh, Neng Mala, ada apa ya?”
“Saya mau memberikan ini untuk Roni, Asep dan
Ujang. Tolong disampaikan kepada mereka bahwa saya tidak
bisa lagi mengajarkan iqra kepada mereka. Saya harus
kembali ke kota. Saya mohon pamit, Bu.” Mala menyerahkan
satu bungkusan berukuran sedang.
“Oh, iya nanti saya berikan bungkusan ini untuk
mereka. Terima kasih banyak Neng Mala sudah
menyempatkan diri mengajarkan anak-anak saya belajar iqra.
Saya kira Neng Mala akan menetap di sini. Hati-hati di jalan
ya, Neng. Semoga selamat sampai tujuan.”
“Iya terimakasih, Ibu. Saya juga senang sudah
mengenal ketiga anak Ibu yang saleh.”
Mala pamit dengan membawa sebuah koper besar.
Entah siapa yang membuat rumah peninggalan orang tuanya
hancur, namun Mala merasa dia harus mencari kota lain
sebagai tempat dirinya memperbaiki diri dan mengabdikan
diri untuk kebaikan umat, meski Mala tak tahu berapa
banyak kebaikan yang bisa dia perbuat. Mala pergi ke kota
lain untuk mencari makna hidup di bawah cinta-Nya.
***
Karya
Oleh Salma Nur Afifah
“Jahiiid… ih… kamu ngapain sih? Mbak… liat
adenya nakal!”
“Kenapa Ta, ribut pagi-pagi?”
“Coba liat… masa karya Nita diancurin sama ade.
Ih, sini kamu… nakal!”
“Eh eh eh… jangan dijewer adenya. Mana? karya
apa sih? Loh ngga tuh ini masih baik-baik aja karya
kamunya.”
“Ih, itu ada miringnya. Terus ada coretan ade
lagi, pake spidol.”
“Sedikit kok miringnya. Sini Mbak perbaiki. Tuh,
gampang kan udah gak miring lagi.”
“Coretan spidolnya?”
“Hm… ya udah… gimana kalo kita cat aja
sekalian semua. Gimana?”
“Wah… bener Mbak, bener. Asik… diwarnain
kapalnya.”
Lucunya punya adik banyak. Setiap hari ada saja
keramaian di rumah, seperti hari ini. Pagi-pagi ketika
semua masih santai belum beraktivitas sibuk, adikku
yang pertama mengadu karena si kecil. Kriya kapal-
kapalan dari stik es krim buatannya dirusak dengan tinta
spidol. Adikku yang perempuan ini—Nita, memang
kreatif sekali. Senang membuat kerajinan tangan,
sehingga ia jadi murid kesayangan Pak Ari—guru
keseniannya.
Sedangkan si bungsu—Jahid kecil yang sedang
lucu-lucunya, di usianya yang beranjak 3 tahun ia senang
sekali memainkan sesuatu. Mulai dari mainan mobilnya,
bedak Mama, sampai penggaris aku jadi incarannya,
bahkan hasil karya Nita tak ketinggalan. Tapi,
alhamdulillah… permasalahan tadi pagi terselesaikan
juga.
“Mbaak…
“Aduh… apa lagi ini? Batinku. ”Kenapa lagi
Ta?”
“Mbak mau ditato ga? Kalo mau, Nita yang
gambar ya. Mbak mau gambar apa? Kupu-kupu?”
“Mbak gak mau ditato ah. Ntar gak bisa sholat
Ta.”
“Loh kok ga bisa sholat? Ditato emang gak boleh
ya Mbak?”
Aku tersenyum tipis.
“Nita, Nita tadi marah ya sama Ade?” Dia
mengangguk cepat.
“Kenapa marahnya?”
“Iya lah Mbak! Itu karya Nita dirusak sama dia.
Itu kan udah dibentuk bagus-bagus… eh, malah dicorat-
coret.”
“Nah, Nita tahu? Tubuh ini, kulit ini, kan ada
penciptanya. Udah sempurna banget lo bentuknya.
Kalau dicorat-coret nanti yang Menciptakan marah
dong.”
“Ya… ngga dicorat-coret kok Mbak, malah dihias-
hias. Sedikit… aja.”
“Ya udah atuh, sini kapal-kapalan Nita Mbak
gambarin bunga, sedikit… aja.”
“Ih ga mau Mbak! Aneh atuh, masa di kapal ada
gambar bunga. Nanti jadi jelek.”
“Nah, sama kan? Kamu aja gak mau karya kamu
dirusak, apalagi Pencipta kita, Ta. Allah Swt. itu Al-
Mushawwir loh—Maha Memberi Bentuk. Lihat, kita
diberi bentuk sempurna gini. Alhamdulillaah kita punya
anggota tubuh lengkap, panca indera lengkap, masa
mau dirusak. Justru sebaliknya, patut kita syukuri.”
“Hehe… iya ya Mbak. Oke… Nita ngegambarnya
di buku gambar aja.”
Langit Cica
oleh Haifa Afifah Sholihah/ Haifa Muflih
Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya. Kami,
aku dan temanku menelusuri jalan setapak penuh
bebatuan, jarak dari tempat tinggal sementara kami
dan tempat anak-anak itu mengaji cukup jauh tapi
kami tak mengeluh, karena anak-anak itu akan tiba
sebelum kami sampai.
“Ibu...!” teriak salah satu dari mereka.
Begitulah anak-anak, tak sabar menanti kami
datang. Mereka sudah menyambut kami dalam
perjalanan. Sungguh mereka itu sedang kesepian
dan kami hanya bisa menemani sementara saja.
“Ibu, punten ieu cica teu masuk kelas. Nuju
hareeng.1” Cerita seorang ibu kepada kami seusai
pembelajaran di kelas usai. Ibu itu terlalu tua bila
aku menganggap ibu tersebut adalah ibu dari anak
di sampingnya.
“Iya Ibu enggak apa-apa.” Kata temanku
Nana. Ia tak bisa membalas dialog dengan bahasa
yang sama.
“Cica... Cepat sembuh ya, biar bisa ngaji lagi
sama Ibu.” Nana menundukan muka sampai sejajar
dengan anak itu, memberikan sebagian energi
positifnya untuk anak itu. Dia tersenyum.
Esok harinya, kegiatan yang kami jalani
seperti hari kemarin dan kemarin, kemarinnya lagi,
tidak ada yang berubah. Cukup membosankan.
Tapi setiap sore, ketika terik meredup
mengindahkan langit, anak-anak itu turut pula
bersuka cita mengindahkan hati untuk berbagi.
“Andai aku bisa disini selamanya, bersama teman-
temanku, bersama anak-anak itu” Gumamku. Aku
menatap langit, begitu luas, tak terbatas. Begitulah
anak-anak, hati mereka begitu luas dan bebas tak
ada beban, berbeda denganku. Teman-temanku
yang sudah tak pandai lagi bersyukur dan
memusingkan hal-hal yang tak pantas.
Aku berada di kelas besar, anak-anak yang
belum cukup besar. Kami lebih cepat
menyelesaikan pembelajaran dibandingkan anak-
anak di kelas kecil.
Sambil menunggu Nana, aku duduk di
bangku belakang kelas kecil, mataku menjelajahi
seluruh kelas, seakan mencari seseorang yang ingin
temui. Bingo! Anak itu duduk di bangku kedua
baris ke tiga. Anak yang sakit kemarin, meminta
maaf untuk ketidakhadirannya. Anak itu sudah
membebaskan dirinya lagi, tampak di wajahnya
yang hangat. Ya wajahnya hangat, dan sedikit
bercahaya dibandingkan anak-anak yang lain. Aku
merasa seperti itu, mungkin Nana punya pendapat
berbeda atau memang kurang memedulikan anak-
anak itu satu persatu. Dia cukup populer
dikalangan anak-anak, sehingga membuat dirinya
sedikit kacau.
***
Aku baru merasa, ketika aku jauh dari rumah dan
jauh dari orang-orang terdekat yang biasa menjadi
menumpu harapan hidup, perasaan ku meminta diri
untuk mengambil alih posisi, di mana biasanya aku
menjadi seseorang yang harus dimengerti, sekarang aku
harus mampu menjadi seseorang yang mengerti. I have
to be a real mam. Aku menjadi tumpuan teman-temanku.
Hari ini akan sedikit berbeda. Anak-anak kecil
sudah aktif masuk sekolah. Mereka tak akan
mengganggu jadwal harian kami di sini, di rumah
pengabdian. Tap.. tap.. tap.. hey, aku mendengar orang
berlarian.
“Ibu Nanaaa....” Anak-anak memanggil nama
salah satu dari kami.
“Na, ada anak-anak,” aku tak minta Nana untuk
menghampiri anak-anak itu, tapi Nana sudah memiliki
kesadaran penuh bila ada anak-anak datang ke rumah,
dia harus melayani mereka, apapun yang mereka minta.
Ketika anak-anak itu melihat Nana, berlarianlah
mereka masuk ke rumah. Nana menyiapkan karpet,
anak-anak ikut membantu membentangkannya.
“Ibu... liat, Cica geubis, getihan!2” anak kecil
lainnya.
Aku tak ingat dia siapa menunjukan telunjuknya ke
arah lutut yang mengalirkan darah segar. Aku terhentak!
“Na, cari di kotak P3K, barang kali ada antiseptik
dan plester yang bisa bantu menutupi lukannya. Aku
coba menghangatkan air untuk membersihkan lukanya.”
“Oh, Iya... Iya... Mana ya... Hemmm” Dia selalu
banyak bicara.
Air hangat siap, aku bawakan tisu juga, Nana pun
membawa apa yang dibutuhkan.
“Sini Cicanya. Ibu bersihkan ya. Tahan selama
satuhun. Ha!” aku hanya tersenyum mendengar
celotehannya. Anak-anak tak menghiraukannya. Mereka
terlalu panik dan nampak serius.
“Cica, mana ayahmu?” sambil mengelus-ngelus
luka dengan lembut, Nana memang tak bisa kalau tidak
bersuara.
“Ayahna Cica nikah lagi, teu teurang kamana,
ayeuna3” itu temannya yang menjawab. Cica hanya
diam saja. Anak itu membendung banyak masalah.
Awalnya mungkin hanya rasa sakit di lutut, tapi
sekarang mungkin bertambah, di bagian dalam tubuh
yang orang lain selalu salah mendeskripsikannya. (baca;
hati dan perasaan).
“Oh.. kenapa tidak menemui ibumu, trus bilang
‘Ibu aku jatuh’ gitu!” aku yakin, sebenarnya Nana sudah
kalap dengan jawaban yang sedikit mengecewakan
dirinya maupun Cica. Akhirnya Nana membuat
pertanyaan lain yang harapannya bisa melegakan.
“Ibunya pergi, teu teurang kamana tah?4” jawab
anak itu lagi, sekali lagi itu bukan Cica yang menjawab.
Nana tambah kacau, suasana semakin rumit.
Cica tampak lebih tenang. Lukanya sudah dibalut
antiseptik dan plester. Tapi, perasaannya kini berubah.
Aku tak bisa membayangan bagaimana gejolak
perasaannya kini. Tak ada sedikitpun kemiripan Cica
dengan seorang ibu yang mengantarkannya di tempo hari
itu.
Sungguh, dia telalu kecil untuk merasakan hal ini.
Langit masih saja luas dan memanjakan mata,
malangnya anak itu, tak seharusnya ia menerima beban
berat sedini ini. Ke mana orang tuanya. Ke mana masa
lapangnya. Ke mana masa depannya. Semua itu hilang
tanpa dipinta.
1 “Ibu, maaf ini cica tidak masuk kelas. Lagi
sakit”
2 “Ibu.. lihat, cica jatuh, berdarah”
3 “Ayahnya Cica nikah lagi, gak tau kemana,
sekarang”
4 “Ibunya pergi, gak tau kemana tah (logat orang
sunda)?”
Cintamu dalam Diammu
oleh Ika Nurjanah
Matahari bersinar terik memancarkan panasnya,
Mira berjalan menyusuri terminal bus yang ia tumpangi
untuk pulang ke kampung halamannya. Mira mencoba
menengok ke kiri dan kanan mencari ibunya. Tak lama,
pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya itu
duduk di deretan toko, Mira pun berlari menuju ibunya.
“Ibu!” panggil Mira
Ibunya pun lantas menoleh, terlihat senyumnya
begitu mengembang melihat anak yang dirindukan itu
akhirnya pulang.
“Nak, kamu kurus sekali,” ucap sang ibu saat
melepaskan pelukan
“Akh, Ibu tidak ada pertanyaan lainkah, selain
itu? Setiap Mira pulang ibu selalu saja berkata kalau
Mira kurusan.”
Ibu dan anak itu berbincang sambil berjalan
bergandengan keluar dari terminal bus, di sana terlihat
ayah Mira tengah menunggu Mira dan ibunya. Ayahnya
pun tersenyum seraya mengambil tas yang dibawa Mira
dan Ibunya. Mira mencium tangan ayahanya.
“Kamu sehat, Nak?” tanya ayah Mira
“Iya, Mira sehat Yah, Ayah sendiri?” jawab Mira
dengan senyum mengembang.
“Ya ayah sehat, ayo masuk, biar kita bisa
langsung berangkat.” ucap ayah Mira sembari
memasukkan barang-barang Mira ke mobil angkotnya.
Ayah Mira memang seorang sopir angkot, setiap hari
ayah Mira berkeliling menelusuri kota Bandung untuk
menafkahi keluarganya. Beruntung Mira mendapatkan
beasiswa untuk kuliahnya di Jogja sehingga dapat
mengurangi beban sang ayah, akan tetapi tetap saja ayah
Mira tak pernah lelah mencari uang. Meski Mira bisa
kuliah dengan uang beasiswa ayahnya selalu saja ingin
mengirimi Mira uang karena khawatir jika anaknya tidak
bisa makan.
Sepanjang perjalanan menuju pulang Mira
bercerita panjang lebar pada ibunya tentang apa saja
yang ia alami selama di Jogja. Ibu Mira pun dengan
serius mendengarkan anaknya bercerita, Mira bergitu
bersemangat menceritakan pengalammnya hingga
terkadang cerita itu pun diselingi dengan tawa renyah
mereka berdua. Sementara ayah Mira terus
berkonsentrasi menyetir mobilnya. Tak lama tibalah
mereka di rumah. Mira dan ibunya turun, sedangkan
sang ayah menurunkan barang-barang Mira dan ia pun
pamit untuk kembali menarik angkot.
“Pak, Mira kan baru pulang, jadi Bapak jangan
kerja dulu, Ibu akan masak nanti, kita makan sama-sama
ya Pak?” ucap ibu Mira
“Hari ini sangat cerah, sayang kalau Bapak hanya
duduk bersantai di rumah yang pentingkan Mira sudah
sampai. Ibu temani saja Mira bapak berangkat dulu.”
Jawab Ayahnya sembari berlalu bersama angkotnya.
“Bu kok ayah malah pergi kerja, apa dia gak
rindu sama Mira?”
“Tentu rindu Mir, tiap hari ayahmu gak pernah
berhenti memikirkanmu, bahkan ia sampai lupa waktu
karena semangatnya mencari uang buat kamu. Sementara
ibu, hanya di sini mendoakan kamu dan ayahmu agar
kalian selalu sehat dan sukses.”
“Tapi kenapa ayah selalu dingin sama Mira?”
“Akh itu perasaanmu saja, Nak. Ayahmu begitu
menyayangimu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana
mengungkapkannya.”
“Tapi ayah tidak perlu mengungkapkannya, toh
ibu juga tidak pernah mengungkapkan kalau ibu
menyayangi Mira, tapi setidaknya ibu selalu ada di sisi
Mira.”
“Nak, ayah itu orangnya memang seperti itu kaku
namun di balik kekakuannya, tersimpan rasa sayang
yang luar biasa terhadap keluarganya. Setiap ia pulang
menarik angkot, ia memberikan uang hasil menarik
angkotnya pada ibu. Ibu selalu bertanya apakah
penumpangnya sepi sampai-sampai uang yang diberikan
sangat sedikit, ayahmu hanya diam dan berlalu. Diam-
diam ibu mengikutinya, ayahmu masuk kekamarmu dan
menaruh uang di celenganmu, ibu hanya menatapnya
tanpa bertanya tapi ibu tahu itu semua ayahmu lakukan
sebagai bentuk kasih sayangnya. Nak, meski kadang kita
selalu berpikir yang kita butuhkan adalah kasih sayang
bukan materi tapi kita tidak pernah tahu bentuk
seseorang menyayangi kita seperti apa. Mungkin, yang
ayahmu bisa adalah menyisihkan uangnya untuk
bekalmu kelak. Kamu harus bisa menghargainya, itulah
bentuk kasih sayangnya.”
Mira kemudian pamit pada Ibunya. Ia pun masuk
ke kamarnya membuka lemari dan menemukan sebuah
celengan yang ia beli sebelum pergi kuliah ke Jogja.
Celengan itu akan di bawanya ke Jogja namun ia lupa
dan meninggalkannya begitu saja. Mira mengangkatnya,
karena terasa berat kemudian Mira pun memecahkannya.
Terlihat banyak sekali uang recehan, Mira tahu ini pasti
uang hasil ayahnya menarik angkot. Ia pun menghitung
jumlahnya sudah banyak mencapai Rp.2.000.000,-. Mira
bertanya untuk apakah uang ini. Mira kemudian berdiri
mencari plastik untuk mengantongi uangnya terlebih
dahulu sebelum akhirnya ia bertanya pada ayahnya.
Tiba-tiba ia menjatuhkan sebuah album dan di sana ia
temukan selipan kertas, Mira membacanya dan itu
adalah tulisan ayahnya:
Mira sedang apa kamu di sana, Nak? Ayah
rindu sekali, rindu melihat tawamu, Nak. Maafkan
ayah karena untuk menyekolahkan kamu saja ayah
tidak bisa sampai-sampai kamu harus bersusah
payah untuk mendapatkan beasiswa. Saat kamu
sudah berhasil, ayah bahkan tidak mampu untuk
mengantarkanmu ke Jogja mencarikan tempat
tinggal seperti orangtua lainnya. Ayah hanya
mengantarmu dengan angkot dan hanya sampai
terminal. Ayah melepaskanmu dengan hati yang
begitu sesak, Nak. Ayah khawatir terhadapmu
yang baru pertama kali jauh dari ayah, bahkan
ibumu tak mampu menahan sedihnya hingga ia pun
menangis. Namun, ayah berusaha sekuat tenaga
untuk bisa menahannya dan membawa ibumu
pulang ke rumah, yang terasa kosong setelah
kamu pergi. Mulai saat itu ayah bertekad untuk
bersemangat mencari uang. Ayah ingin berarti
buatmu. Ayah mengumpulkan uang ini untukmu,
Nak, untuk kamu bisa memakai toga, dan
menjadikanmu seorang dokter seperti cita-
citamu yang selalu kamu katakan saat kamu kecil
saat kamu selalu tertawa dalam pangkuan ayah.
Meski ayah sering ditertawakan oleh tetangga
atau bahkan teman-teman ayah sesama sopir
karena ayah bermimpi terlalu tinggi tapi ayah
yakin ayah bisa, Nak. Meski hanya sekedar
recehan yang mampu ayah kumpulkan, tapi
bersamaan dengan itu pula ayah kumpulkan
kekuatan ayah buat kamu. Ayah tidak mau kamu
dihina seperti Ayah. Ayah ingin kamu bahagia dan
lebih baik dari ayah dan ibu.
Air mata Mira pun menetes ia tak tahu bahwa
sedalam ini ayahnya mencintainya. Kemudian, ia
membuka album foto yang berada dalam genggamannya.
Mira melihat betapa ayahnya dengan riang
menggendongnya dan mengajarkannya berjalan.
Terlintas bayangan bagaimana saat itu ayahnya sangat
bersemangat mengantarnnya masuk sekolah dasar
dengan kayuhan sepeda. Di sepanjang perjalanan, ia
tertawa riang bersama Ayahnya. Mira tersadar saat
samar-samar suara mobil angkot ayahnya tiba, ia pun
keluar dari kamarnya.
“Mira mana, Bu?” tanya ayahnya
“Di dalam, bawa apa, Pak?”
“Ini ayam goreng kasihan Mira pasti makannya
tempe tahu aja.” Sambil memberikan kantong plastik
yang berisikan ayam goreng.
“Iya tadi juga kita makan sama tempe, ikan peda,
dan sambal terasi tapi dia lahap kok Pak makannya.”
“Iya, dia makan lahap karena dia capek terus
lapar. Mira itu kan calon dokter makanannya juga harus
bergizi biar dia sehat dan pintar. Ini uang buat besok
belanja, ibu beli sayuran dan ikan yang enak buat dia.”
“Iya.” jawab ibu Mira sembari membuka kantong
pelastik “kok ayamnya satu, Pak?”
“Hari ini angkotnya lagi sepi Bu, jadi Bapak beli
satu, biar kita makan sama kerupuk dan sambal saja tapi
jangan di depan Mira, biar dia bisa menikmati sendiri
makanannya kalau dia tanya bilang saja kita sudah
makan sama ayam juga.”
Mira yang mendengar di balik dinding pun
menangis betapa pengorbanan itu begitu besar betapa
cinta itu teramat dalam, meski tak terungkap dengan
kata. Meski cinta itu dalam diam namun ia begitu
merasakan kasih sayang sosok ayah yang dianggapnya
dingin dan hanya mementingkan kesibukan pekerjaanya.
Ia justru tengah membuktikan cintanya dengan setiap
peluh keringat yang ia keluarkan untuknya dan sosok
wanita yang lemah lembut itu pun tengah membuktikan
cinta kasih yang tiada terputus serta doa yang selalu
mengiringi langkahnya. Mira pun terisak tak mampu lagi
berbicara ia berlari memeluk orangtuanya.
Beginilah cinta tumpah dengan airmata ketulusan
bukan dengan kata-kata rayuan atau sanjungan, dan
beginilah cinta sejati orangtua, takkan terputus dan
takkan berubah sepanjang masa. Mira kemudian berjanji
akan memberikan yang terbaik untuk kedua
orangtuanya. Ia akan mewujudkan mimpinya, meski jasa
dan peluh pengorbanan orangtuanya itu tak akan pernah
terbayarkan. Mira hanya ingin selalu menatap
orangtuanya tersenyum bahagia.
***
Ilmu dalam Pesan Ibunda
Oleh: Dini Siti Rufaidah
Minggu ini adalah pekan ulangan tengah semester
bagi siswa SMP Al-Hidayah. Sebagian besar siswa
sangat rajin belajar untuk meraih nilai terbaik di
kelasnya. Tapi, keadaan serupa tak nampak pada seorang
siswi bernama Rita. Ia tampak santai. Tak ada rasa
cemas ataupun takut jika nanti mendapat nilai buruk
dalam hasil ulangannya. Esok adalah hari ketiga UTS
dan pelajaran yang diujikan adalah pelajaran
matematika. Pelajaran yang dianggap cukup sulit dan
menakutkan bagi kebanyakan siswa. Tak heran, banyak
siswa yang pulang terlambat karena belajar bersama
teman-temannya.
Siang itu Rita langsung pulang ke rumah dengan
keadaan lelah.
“Assalamualaikum, Bu!” ujar Rita yang langsung
duduk di kursi depan.
“Waalaikumussalam,… bagaimana tadi di
sekolah, Nak?” Kata ibu.
“Rita lelah sekali, Bu… setelah ulangan langsung
latihan voli sama teman-teman”, jawab Rita.
“Ulangannya bagaimana?” Tanya ibu.
“Ya… begitulah, Bu. Seperti biasa saja”,
jawabnya.
“Mudah-mudahan nilaimu bagus, Nak. Kalau
tidak salah besok ulangan matematika ya?” Tanya ibu.
“Iya, Bu.” Ujarnya.
“Kalau begitu, istirahatlah dulu. Nanti, siap-siap
belajar.” Kata ibu.
Rita pun segera mengganti pakaiannya dan
beristirahat.
Sore harinya, ia sudah kembali bugar. Ibu duduk di
sampingnya dan berkata.
“Nak, minggu lalu kamu tidak hadir saat pelajaran
matematika. Coba pinjam buku ke temanmu untuk
belajar supaya kamu tidak ketinggalan pelajaran”.
“Tidak usahlah, Bu. Pasti pelajarannya hanya
mengulang yang sebelumnya,” jawab Rita.
“Ya sudah… kamu pelajari dengan benar, ya!
Ingat, hasil yang baik itu akan diraih oleh usaha yang
sungguh-sungguh.” Ucap ibu dengan lembut, kemudian
melangkahkan kaki ke dapur.
“Iya, Bu.” Jawab Rita.
“Kalau aku tidak bisa mengerjaan soal nanti, aku
tinggal tanyakan saja ke Sani. Dia kan jago matematika.
Aku akan duduk di sebelahnya”. Ujarnya dalam hati.
Keesokan harinya, Rita datang lebih pagi. Ia
menunggu Sani. Namun ternyata Sani tidak hadir karena
sakit. Rita mulai cemas. Tak lama kemudian, ulangan
pun dimulai. Rita semakin gelisah karena soal ujiannya
banyak yang belum ia mengerti dan ternyata soal itu
yang minggu lalu dipelajari.
“Aduh... bagaimana ini? Nilaiku bisa hancur!”
Ucap Rita dalam hati.
Wajahnya yang bingung dipenuhi keringat yang
terus menetes. Rasa penyesalannya amat besar. Matanya
hampir berkaca-kaca. Hingga waktu untuk mengerjakan
soal pun habis, ia belum tuntas mengisi semua soal.
Akhirnya, ia memilih jawaban dengan asal-asalan
berdasarkan hasil hitung kancing kemejanya.
Ia bergegas pulang dengan rasa penyesalannya.
Setibanya di rumah, ia langsung menghampiri ibu dan
memeluknya.
“Ibu… maafkan Rita. Nilai Rita pasti buruk
karena tidak melaksanakan nasihat ibu. Rita terlalu
menyepelekan ilmu.” Ucap Rita sambil menangis.
Ibupun tersenyum dan segera mengusap air mata Rita.
“Syukurlah… kalu kamu sudah mengerti. Tidak
baik menyepelekan ilmu. Ilmu adalah hal yang penting
dalam hidup kita dan bukan untuk diabaikan”. Ujar ibu
dengan lembut.
“Ilmu bagaikan tongkat yang kamu bawa ketika di
gunung. Ia akan membantumu menentukan jalan mana
yang berlubang dan yang aman, menjadi tumpuanmu
ketika lelah bahkan menjadi penguat untuk bangkit
ketika kamu terjatuh. Tak ada kerugian jika kamu
bersama ilmu, malah yang ada yaitu kesyukuran. Contoh
kecil tadi sudah membuktikan bahwa manusia akan
senantiasa membutuhkan ilmu dan untuk
mendapatkannya kita tidak bisa hanya berleha-leha. Di
dalamnya harus ada ikhtiar, dan ingat… ilmu itu akan
lebih bermanfaat ketika orang yang memiliki ilmu
tersebut juga memiliki hati yang mulia. Dengan
demikian, Sang Pemilik Ilmu akan memudahkanmu.
Allah akan selalu menuntunmu,” kata ibu dengan bijak.
Senyumpun tergambar di wajah ibu melihat
putrinya kini sudah mulai mengerti makna ilmu bagi
seorang manusia.
***
Siapa Kamu
oleh Lintang Dwi Salamah a.ka Afiyah
“Mami gue tuh bawel banget, sih.” Ucapku
sambil menghempaskan tubuh ke atas sofa di studio.
Riani yang sejak tadi duduk di sana menungguku tampak
sedikit terkejut. Aku mematikan ponselku yang beberapa
kali berdering, tertera nomor mami di layarnya.
“Kenapa mami loe? Ngomong apa lagi beliau?”
tanya Riani sambil merapihkan barang-barangku dan
memasukkannya ke dalam tas besar di samping sofa.
“Kayak biasa Ni, mami gue nyuruh gue berhijab,
nanya kapan gue berhijab, maksa gue segera berhijab,
pokoknya ngomongnya serba hijab, deh.” Di benakku
terbayang wajah mami yang setiap hari menyuruhku
berhijab. Riani hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia
sendiri sudah mulai berhijab sejak keluar SMA, berbeda
denganku yang mengabaikan hal itu.
“Kenapa loe enggak menuruti kata beliau saja?
Berhijab itu bagus, lho.”
“Ni, mending gue hijabin hati dulu deh, banyak
kan, wanita yang berhijab perilakunya malah lebih buruk
dari yang tidak berhijab, enggak mau, ah, gue kayak
begitu,”
Riani menghela nafas. Aku malah memasang
wajah serius, teguh memegang prinsipku untuk menunda
berhijab karena ingin memperbaiki sikap dahulu.
Apalagi pekerjaanku sebagai seorang aktris membuatku
khawatir. Jika aku berhijab, tawaran pekerjaan yang
datang semakin sedikit. Maklum, jarang ada film atau
sinetron stripping yang memakai aktris yang berhijab,
kecuali untuk film-film religi. Lain dengan Riani, dia
sebagai manajerku, tidak akan membebaninya jika ia
berhijab. Apalagi kalau nantinya aku berhijab, lalu
melepasnya lagi, pasti jadi pembicaraan media.
Pokoknya, di pikiranku berhijab itu menyusahkan.
“Coba dulu Key, kalau sudah berhijab pasti kita
akan terbiasa menjaga hati dan perilaku kita juga, kok.”
Riani memandangku dengan tatapan meyakinkan. Inilah
yang tidak aku suka. Mami dan Riani itu modelnya
sama.
“Nanti, lah, gue pikir-pikir lagi, belum siap gue.”
Ucapku ketus dan segera beranjak meninggalkan Riani
yang dengan segera mengucapkan selamat tinggal
dengan para kru film.
Innova putih milikku mulai berjalan
meninggalkan studio sebuah stasiun televisi. Aku duduk
di bangku belakang pengemudi sambil memasang wajah
kesal. Riani yang duduk di sebelah supirku sesekali
memerhatikanku dari kaca depan.
Hari ini benar-benar melelahkan. Aku merasa
perutku jadi lapar gara-gara kelelahan. Aku menatap
keluar jendela. Kayaknya enak kalau mampir ke restoran
lebih dahulu. Di tepi jalan berjajar banyak restoran.
Sebuah restoran menarik minatku, sepertinya makanan
di sana enak. Aku segera menyuruh supirku
menghentikan mobil di depan restoran itu dan meminta
supirku dan Riani menunggu di dalam mobil selama aku
membeli makanan di restoran tersebut.
“Tunggu gue sebentar ya, gue mau beli buat take
away, kok.” Ucapku sambil turun dari mobil. Riani
memesan makanan untuknya dan mengucapkan hati-hati
sebelum aku pergi.
Aku memasuki restoran bernama “Beef and Steak
Western Resto” itu. Di dalamnya beberapa pelanggan
tengah menikmati makanannya. Para pramusaji
mendatangi meja mereka satu persatu untuk mencatat
pesanan mereka.
Aku duduk di sebuah kursi yang sengaja
disediakan untuk pemesanan take away. Seorang
pramusaji menghampiriku sambil membawa sebuah
buku kecil untuk mencatat pesanan dan sebuah buku
menu.
“Mau pesan apa, Mbak?” tanya pramusaji
tersebut setelah memberikan buku menu kepadaku.
Aku menunjuk beberapa menu. Pramusaji
tersebut segera mencatatnya lalu mengulangi pesananku
sebelum pergi.
Beberapa orang masuk dan keluar dari restoran
tersebut selagi aku menunggu. Gaya barat yang menjadi
setting tempat restoran tersebut terasa sangat kental
sekali, membuat para pelanggan merasa nyaman di
tempat itu.
Setelah sepuluh menit berlalu, pramusaji yang
tadi datang padaku kembali sambil membawa beberapa
bungkus plastik berisi pesananku.
“Oh ya Mbak, di sini sedang ada promosi menu
baru, bagaimana jika Mbak mencobanya dulu sebelum
pergi.” Ucapnya sambil menyerahkan bill kepadaku.
Pramusaji lain datang mengampiri kami sambil
membawa sepiring makanan, sepertinya itu menu yang
dimaksud.
“Ini Mbak, menunya, silahkan dicoba.”
Aku memperhatikan makanan itu seksama.
Terlihat seperti steak daging sapi, tapi kenapa persaanku
tidak enak.
“Nama menunya apa, Mas?”
“Pork steak pepper, Mbak.”
Seketika aku terkejut mendengar ucapan
pramusaji tersebut. Untung saja aku belum memakannya.
Aku benar-benar merasa kesal kepada pramusaji itu.
“Maaf ya Mas, saya tidak makan daging babi! Itu
haram di agama saya! Untung saja, saya belum
memakannya, coba kalau sudah, mas mau nanggung
dosa saya?!”
Ucapku kepada pramusaji itu dengan emosi meluap-
luap.
“Maaf-maaf Mbak, saya kira Mbak bukan
muslim, maaf ya, Mbak”
Jantungku berdegup tiba-tiba saat mendengar
alasan pramusaji tersebut. Ada rasa kesal sekaligus
bersalah dan berdosa dalam waktu bersamaan. Ya Allah,
apa aku benar-benar tak terlihat seperti hambaMu?
“Ya Mas, tidak apa-apa, lain kali harus tahu dulu
agama pelanggan kalau mau menawarkan menu ya Mas”
“Iya Mbak, sekali lagi maaf, terimakasih sudah
mengunjungi restoran kami.” Ucap kedua pramusaji
sambil membungkukkan badan, sedangkan aku pergi
keluar restoran itu dengan terburu-buru. Jantungku
masih berdegup kencang. Seperti orang yang hampir
melakukan dosa besar.
Sesampainya di mobil, aku tidak mengatakan
apapun pada Riani. Aku hanya terdiam dan memakan
makananku tanpa banyak bicara. Sekilas aku melihat
Riani tengah memperhatikanku dengan heran, seakan
tahu ada sesuatu yang terjadi saat aku di dalam restoran.
Sesampainya di rumah, aku segera turun dari
mobil dan masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru.
Ingin segera rasanya membasuh wajahku dengan air
wudhu. Usai berwudhu, aku mengambil mukena dan
melaksanakan salat ashar. Dalam salat, aku terus
menerus berpikir tentang kejadian tadi. Ya, Allah,
kenapa aku tidak terlihat seperti hamba-Mu, apa aku ini
memiliki banyak dosa dan kesalahan pada-Mu?
Tetes demi tetes air mataku mulai mengalir
selama aku mengerjakan salat. Akalku terus berpikir hal
apa yang menyebabkanku tak terlihat sebagai seorang
muslim. Tiba-tiba ucapan mami tentang hijab terngiang
di telingaku. Air mataku semakin mengalir deras, hingga
aku mengucapkan salam, air mataku belum juga berhenti
mengalir.
Tiba-tiba aku merasa ada yang mengusap
pundakku. Aku menoleh dan menemukan Riani yang
tengah menatapku heran.
“Kenapa, loe, Key? Kok nangis?”
Seketika aku memeluk Riani. Sambil menangis
tersedu-sedu, aku menceritakan semua yang terjadi di
restoran tadi. Riani mengusap-usap punggungku sambil
menenangkanku.
“Gue harus gimana, Ni? Aku mau terlihat seperti
seorang muslim,” keluhku pada Riani.
“Keyla, satu-satunya solusi, loe harus berhijab,
turutin kata-kata mami loe, patuhi perintah Allah, Key.
Hijab itu bukan cuma menutup diri loe, tapi juga akan
memperindah diri loe, apalagi hijab itu bukan sekedar
pakaian Key, tapi juga identitas loe sebagai seorang
muslim, mau kan, loe mulai berhijab?”
Tangisku tak mereda, malah semakin deras
mengalir. Kusadari semua kesalahanku dan pikiran
dangkalku tentang hijab. Aku mengangguk perlahan,
menyetujui semua perkataan Riani. Aku mau berubah,
Ya Allah. Aku ingin terlihat bahwa aku adalah hamba-
Mu.
Esoknya, Riani membelikanku beberapa helai
kerudung dan baju gamis. Hadiah katanya. Aku mencoba
memakainya dengan senyum merekah. Semua dugaan
dan pikiranku tentang hijab salah. Nyatanya aku merasa
lebih cantik dan percaya diri dengan berhijab. Riani
memuji penampilanku berkali-kali.
Awalnya publik terkejut mendengar bahwa Keyla
Ariastiya Fitri mulai berhijab. Berita tentang diriku yang
berhijab pun disiarkan di infotainment-infotainment. Aku
kira tawaran kerja yang datang kepadaku juga akan
berkurang seperti dugaanku, tapi ternyata malah
sebaliknya. Beberapa produsen baju muslimah
menawariku sebagai modelnya, sutradara film religi
layar lebar juga menawariku peran utama, bagitu juga
sutradara-sutradara sinetron religi, produsen iklan
produk-produk halal juga ikut menawariku menjadi
model iklannya. Subhanallah, aku benar-benar merasa
menjadi diriku yang sebenarnya. Menjadi hamba Allah.
Setelah setahun berhijab, kini aku merasakan
betapa menyesalnya diriku dahulu. Kini aku merasakan
indahnya berhijab. Menemukan jati diriku.
“Siapa kamu?” ucap seseorang dalam sebuah
take iklan baju muslimah.
“Aku seorang muslimah.” Aku menatap kamera dengan
senyum merekah sambil menyentuh kain jilbab merah
mudaku.
Sandiwara Kelabu
oleh Muhammad Abdullah
“Hai, bagaimana kabarmu? Akhirnya kita
bertemu heh.” Pria berjaket bulu coklat itu menyapa pria
berjaket kulit panjang di sebelahnya dengan kaku.
Kikuk. Seperti seorang pria yang ingin melamar anak
singa. Selanjutnya, hanya hening. Hanya ada desir angin
musim dingin yang sungguh sudah kelewat batas. Tokyo
kini menjelma menjadi kota putih. Putih yang menusuk.
“Kenapa sejak pernikahanku kau menghilang,
Ahlam?” pria berjaket bulu coklat itu kembali bertanya.
Kini nadanya sedikit lebih santai. Namun, pria berjaket
kulit hitam panjang di sampingnya masih mematung.
Memandangi lautan manusia yang sibuk memerangi
musim dingin dari atas jembatan layang tempat mereka
kini berdiri.
“Kau tahu Faris, pertanyaanmu adalah retoris
yang menusuk. Kau sendiri sudah tahu alasannya,
bukan?” jawab pria berjaket kulit hitam dengan penuh
sinis. Campuran antara marah dan kecewa. Drama cinta
memang tak selalu saja indah.
***
Beberapa tahun yang lalu, Ahlam dan Faris
dipertemukan dalam satu pesantren kecil di kampung.
Ketika itu umur mereka 10 tahun. Faris yang anak orang
kaya kurang terbiasa dengan segala kesederhanaan yang
ditawarkan pesantren untuk para tholibul ilmi-nya. Faris
tak pernah mau makan makanan yang dimasak
pesantren, di kelas Faris hanya terdiam dan sibuk
menggambar ketika ustadz sedang menjelaskan. Dan
pada malam harinya, Faris tak pernah tidur. Dia terus
saja menangisi perutnya yang lapar karena tak pernah
terisi makanan. Bagaimana tidak?, dia tak pernah mau
makan makanan pesantren, barang sesuap pun.
Ahlam, yang kebetulan satu asrama dengan Faris.
Demi mendengar rengekan dan tangisan Faris langsung
sigap bangun dan mendekati ranjang Faris. Duduklah
Ahlam di samping Faris sambil mencoba menghiburnya.
“Hai, anak orang kaya. Siapa namamu?” tanya
Ahlam polos sambil terus memandangi Faris yang masih
sibuk dengan tangisnya.
“Apa kau lapar?” demi mendengar pertanyaan
itu, Faris mengangguk sambil terus menangis.
Sebenarnya mudah saja menebak penyebab munculnya
tangis di wajah Faris. Lihatlah, sejak tadi dia terus
memegangi perut mungilnya.
“Ayo ikut aku!” ajak Ahlam setengah berbisik.
Dua anak mungil itupun menyeret langkah mereka
pelan-pelan keluar asrama. Kemudian dengan sigap
Ahlam membantu Faris menaiki tangga menuju atap
asrama. Ya, di sinilah akhir tujuan mereka berdua. Atap
asrama. Apa yang mereka lakukan di sini? Mudah saja.
Pertama Ahlam akan menurunkan ember yang diikat
dengan katrol ke arah abang-abang nasi goreng yang
persis berada di balik pagar asrama. Jadi, atap adalah
satu-satunya jalan untuk bertransaksi dengan penjual
nasi goreng tersebut. Tak beberapa lama, penjual nasi
goreng tersebut pun menaruh sebungkus nasi goreng di
ember yg terikat katrol dan Ahlam dengan sigap
menariknya ke atas.
“Ini, makanlah anak orang kaya.” Ucap Ahlam
sambil menyerahkan sebungkus nasi goreng. Tanpa
diperintah, dengan gesit nasi goreng itu dilahap habis
oleh Faris. Rupanya anak ini benar-benar sangat
kelaparan.
Dari atap asrama itulah, Ahlam dan Faris
menjalin persahabatan. Tak ada waktu yang mereka
habiskan kecuali berdua. Dan persahabatan itu
berlangsung hingga masuk ke jenjang kuliah. Mereka
pun mengambil jurusan yang sama di universitas
ternama di Depok. Waktu terus bergulir bagai batu yang
dilepas dari Gunung Himalaya. Batu itu akan terus
melesat, hingga dia berhenti, kembali ke titik akhir.
Tanah. Kini, dua bersahabat itu menginjak semester
akhir. Berkat kerja keras mereka berdua, sidang skripsi
mereka lancar. Tinggal menunggu waktu wisuda saja.
Bagi seorang mahasiswa, masa ini adalah waktu yang
tepat untuk mencari kerja atau seorang pendamping
sehidup semati.
“Kau yakin ingin melamarnya, Lam?”
mendengar pertanyaan Faris, Ahlam hanya termenung
sambil menatap kosong rembulan dari jendela kamar
kosnya.
“Kau yakin ingin menikah muda? Kau yakin
pekerjaanmu sebagai guru privat dan pengajar tetap di
TPA itu bisa mencukupi kebuthannya kelak? Apa kamu
yakin wanita yang kau pilih ini sudah baik agamanya,
nasab, jamal, dan maal-nya?” Ahlam tetap terdiam.
“Entahlah, Ris. Aku hanya yakin bahwa dengan
menikah Allah akan melimpahkan rizki kepada hamba-
Nya. Bukankah indah hidup susah sederhana di samping
seorang istri tercinta? Kadang untuk bahagia itu tak perlu
kaya, Ris. Aku juga yakin, wanita itu juga sholihah.”
Faris terdiam, kemudian dia tersenyum tipis sambil
mengacak rambut sahabatnya yang sedang dirundu cinta
itu.
“Besok kamu temani aku ya?”
“Melamar dia maksudmu?” Faris yang ditanya
malah kembali bertanya. Demi mendengar itu muka
Ahlam sempurna merah. Semerah udang rebus. Faris
yang semakin tak tahan melihat tingkah kasmaran
sahabatnya yang menggelikan itu semakin tertawa
terbahak sambil menimpuk sahabatnya itu dengan
bantal. Yang ditimpuk tak terima dan terjadilah perang
dunia bantal kesekian di kamar kos itu. Malam harinya,
Ahlam benar-benar tak kuasa memejamkan matanya.
Pikirannya melayang. Tak berhenti dia panjatkan doa
dan mendirikan sholat agar Sang Ilahi mencerahkan
jalan baginya besok. Saat lamaran.
Pagi telah datang, merayakan cahaya matahari
yang berhasil memenangkan peperangan dengan langit
hitam malam. Saat yang mendebarkan dalam hidup
Ahlam pun tiba. Lihatlah, kini pria berambut keriting
dan berkulit hitam itu sudah terlihat tampan dengan
setelan jas yang dipinjamkan Faris kepadanya.
Sesampainya di rumah wanita yang akan dilamar
tersebut. Dunia seakan menyempit dan menjelma
menjadi biji sawi bagi Ahlam. Lihatlah, tubuhnya
diguyur oleh keringat dingin. Wajahnya pucat. Bila tidak
sedang lamaran dan sedang berhadapan dengan wali
yang akan dilamar, mungkin sejak tadi Faris akan
menimpuk sahabat terbaiknya itu dengan tas yang
dibawanya sambil tertawa keras. Tapi apa daya, kini
Faris pun ikut-ikutan tegang. Bahkan lebih tegang.
Seperti ada sesuatu yang disembunyikan Faris rapat-
rapat dari sahabat terbaiknya, Ahlam.
“Jadi, apa tujuan adek-adek bertandang ke rumah
bapak?” tanya bapak dari calon yang akan dilamar. Demi
mendengar itu jantung Ahlam berdetak semakin
kencang. Keringatnya semakin deras mengalir, wajahnya
kini benar-benar menyerupai zombie. Pucat.
“Sa, saya, saya ingin...ingin melamar anak bapak.
Aqilah.” Demi mendengar itu Faris langsung
mengalihkan pandangan ke arah lukisan di dinding,
ayah Aqilah memejamkan mata. Sesekali dia mengelus
jenggotnya yang panjang itu. Seulas senyum tersembul
di paras tuanya. Menyenangkan sekali melihat bentukan
senyum dari orang tua itu.
“Anakku, cinta memang mendorong kita untuk
memiliki orang yang kita cintai. Dan sebaik-baik cara
untuk memiliki cinta yang kita cintai adalah seperti yang
anakku lakukan saat ini. Yaitu melamar. Tanpa pacaran.
Tapi, agama juga telah membuat aturan tentang cinta
anakku. Bahwa tidak boleh kita melamar seseorang yang
sudah dilamar oleh orang lain. Anakku, Aqilah Shaffiyah
Abada sudah dilamar oleh orang lain. Yaitu sahabat
anakku sendiri, Faris Ahmadi Fadhla, dan putriku telah
menerimanya.” Faris langsung memeluk Ahlam erat.
Yang dipeluk hanya bisa merunduk menangis. Langit
seperti sudah runtuh. Lautan sudah melahap habis semua
benua. Hancur. Kiamat. Itulah apa yang ada dalam
balikan dada seorang Ahlam saat itu. Air matanya
mengalir deras, lebih deras dari keringat dinginnya tadi.
“Kenapa kau tak bilang dari awal bahwa kau
sudah melamarnya, heh? Tega sekali kau melakukan ini
padaku, Faris. Kau seolah-olah mendukungku. Rapi
sekali sandiwaramu. Apa maksudmu melakukan ini
semua kepadaku?” hujan di luar menggelegar. Kini
kamar kos itu tak lagi menjadi saksi ketengilan mereka.
Mala sebaliknya. Faris hanya bisa menangis, meminta
maaf.
“Kau tahu, Ahlam? aku sungguh tak tega
mengatakannya padamu. Aku tahu betul kau sangat
mencintai Aqilah, kau tak pernah berhenti
menceritakannya padaku. Tak sampai hati aku
mengatakan bahwa aku sudah melamarnya. Ayahku
yang mengantarkanku saat itu ke rumah Aqilah.
Sungguh aku tak tahu gadis yang kulamar saat itulah
yang kau ceritakan. Aku tak tahu.” Hening. Hanya
tangis.
Esok datang, tak ada yang bisa menjamin bahwa
waktu bisa menyembuhkan luka cinta, Bukan? Sejak
pernikahan Faris dan Aqilah, Ahlam menghilang. Tak
pamit. Hanya meninggalkan secarik kertas yang
bertuliskan “Aku pergi”. Tak ada yang tahu ke mana
Ahlam pergi. Tidak teman-temannya, tidak juga
keluarganya.
***
“Kau masih mengingatnya, Bukan? Seluruh
cerita cinta menyedihkanku itu?” pria berjaket bulu
coklat itu hanya termenung. Mengangguk.
“Ahlam, maafkan aku.”
“Sudahlah, Faris. Aku sudah memaafkanmu.
Meski kini luka itu belum juga sembuh.” Hening. Hanya
ada angin musim dingin Tokyo yang menusuk. Kawan,
cerita cinta ini telah berakhir.
***
Putri Anggrek
Oleh Melinda Gultom
“Gila, gerah bangettt!” jerit Nuki sambil ngelepas
jilbabnya. Gak biasanya gadis cantik mirip Sara Bareilles
yang nyanyi Brave itu mengenakan jilbab ke kampus.
Kalo bukan karena tadi ada matkul PAI, dia paling males
banget ngeribetin diri ngampus dengan jilbab.
“Wah, Mbak...kenapa kok buru-buru dilepas gitu.
Padahal kan Isa masih pengen liat Mbak yang cantik ini
pake jilbab lebih lama. Tampak lebih cantik lo, mbak”
Puji Isa tulus. Anak kosan yang baru aja pindahan ini
emang satu-satnya jilbaber di kosan tersebut. Empat dari
lima wanita penghuni lainnya, ada yang berjilbab tapi
masih biasa. Ada juga yang belum sama sekali. Salah
satunya Nuki Anastasia tadi. Gadis berdarah Indo-
Jerman ini emang nganggep jilbab itu “Aksesoris” yang
bikin ribet. Setiap kali ada mata kuliah PAI pun dia
cuma pake sekenanya saja. Bikin hati Isa meringis pilu.
“Iya lo Nik, benar kata Isa, kamu cantik pake
banget deh kalo pake kerudung.” Sambung Kokom.
Mahasiswi Pendidikan Akutansi yang demen banget
makan cokelat ama ngemil itu. Efek ngemilnya udah
keliatan banget kok dari bentuk tubuhnya yang sangat
berisi. Hehe.
“Hemmm. Kalian mencoba memprovokasi aku,
kan? Ya, kan? Hayo ngaku!” Nuki curiga. Soalnya
bukan sekali dua kali lontaran itu ia denger. Rasanya
telinga dia udah kebal sama kata-kata yang diucapin Isa
sama Kokom dan tahu bahwa pasti ada udang di balik
kayu eh batu maksudnya. Pasti ujung-ujungnya nyuruh
dia pake jilbab. Nuki ngedengus kesel sedikit.
“Aku dapet apa toh Mbak kalo emang iya
memprovokasi dengan ucapanku ini. Keliatan lebih rapi
aja gitu lo Mbak. Soalnya rambutnya dikandangin.
Hehe.” Isa coba masuk sedikit demi sedikit ke hati Nuki.
“Masuk gak ya?” Isa berbicara dengan hatinya sendiri.
“Emang bener si pujian tadi ada udang-udangannya
dikit, Mbake. Tapi emang beneran cantik kok. Hihi.” Isa
sibuk sendiri berdialog dengan pikirannya.
“Ahhh. Dasar ya kalian. Aku dah kebal toh ama
celotehan kalian yang begituan.” Padahal ada sih yang
ngejendol di hati Nuki atas ucapan Isa tadi. Apalagi
tentang rambutnya itu. Aduh. “Ada benernya juga ya.
Rambut gue mending dikandangin. Enak. Gue berasa
aman. Dan. Nyaman. Tau ah gelap. Lupain” Nuki
ngebatin kayak Isa.
“Wah, Nik, kamu udah ketularan logat Jowonya
Isa tuh. Haha.” Lagi-lagi, Kokom Komariah
Nurmalasari binti Abah Dedi Surdedi itu ngeledek Nuki
sambil ngebenerin tempat duduknya. Rasanya dari tadi
kagak diem-diem itu anak nonton dramanya. Dah berapa
kali dia obah gaya duduknya. Dari mulai duduk emok,
tengkurep, topang dagu, ampe tiduran dia cobain. Cuman
gaya telentang aja yang belom dicobain kayaknya. Eh.
Emang bisa? He. Itu efek kekenyangan nampaknya. Gak
enak ngapa-ngapain. Hehe.
“Baru beberapa hari dirimu di sini tapi aku sudah
tertular beragam hal darimu, cantik.” Ledek Nuki sambil
tersenyum genit ke Isa.
Emang sih, Isa baru semingguan gabung di kosan
dengan nama Kosan Putri Anggrek ini. Tapi anak-anak
penghuni lama berasa udah lama kenal ama itu anak.
Sikapnya yang ramah, murah senyum, dan baik mungkin
salah satu alasannya. Kebiasaan-kebiasaan baiknya juga
suka bikin malu penghuni lama yang rata-rata tingkatnya
lebih atas darinya. Kayak kerapihan dia dalam masalah
pakaian dan piring-piring kotor. Tata letak sepatu bekas
makenya. Waduh. Malu banget deh kalo disamain.
Penghuni lama biasa pake konsep PLCIB (Pake,
Lempar, Cari, Ilang, Beli) gitu dan gitu. Di setiap sudut
ruangan, pasti ada sesuatu. Baik itu kaos kaki sebelah
yang udah jamuran, ditambah juga ngeluarin bau yang
aneh. Entah bau apek, entah bau terasi, yang jelas bukan
dua-duanya. Asing banget.
Entahlah bau apaan. Yang jelas suka bikin mual
yang nemuinnya. Isa langganan. Juga ada pula bekas
tisu, bekas lipstick, dll. Sudut-sudut ini rumah udah
kayak mini gudang aja, pikir Isa kalo lagi beres-beres.
Awal masuk ke ini kosan Isa emang sempet ragu. Ini
bener kosan cewek???
Isa lagi nyetrika ketika mbak Hyrca pulang.
Mbak yang satu ini bagi Isa adalah mbak yang tepat buat
dimintai ngajarin masak. Soalnya doi anak jurusan Tata
Boga. Tapi emang kudu pake jurus dan sedikit mantra
sih buat mintanya, kalo saran dari Kokom Komariah
Nurmalasari mah sih gitu. Biar luluh kayak cokelat
katanya.
Tak lama, makhluk terakhir penghuni kosan Putri
Anggrek ini yakni mbak Salma, datang. Dia anak bahasa
dan sastra Indonesia. Paling doyan baca. Satu hobi yang
juga paling Isa sukai. Pokoknya, kalo ngobrol sama
mbak yang satu ini, awas kesamber syair atau gak
pantunnya deh. Emang wajar sih, anak sastra gitu loh.
Pengaplikasian ilmunya dalem banget. Keren. Sampe
tiap waktu apa-apa sambil berpantun. Isa pernah liat
kertas yang ditempel di dinding kamarnya, “Tiada hari
tanpa nyastra” katanya. Semua penghuni itu kosan
akhirnya pada ngemaklum juga dengan tingkah
temennya yang satu ini.
Malam ini dinginnya serius banget. Karena di
luar lagi ujan deras, plus anginnya kenceng kayak lagi
lomba lari estafet aja dari semenjak sore. Empat gadis
penghuni kosan itu tampak lagi pada asik melototin
televisi yang lagi nayangin acara Hitam Hitam di Trans
8. Tumben banget mereka pada tertarik. Ternyata karena
tadi siang, si ratu nonton alias si Kokom ngeliat iklan
acara itu kalo malam ini bintang tamunya adalah salah
satu aktris pemain di film KCB. (Siapa hayo...?)
Mereka emang suka banget sama wanita itu.
Cantik, shalihah, pintar, juga baik. Beuh auranya paten,
ampe keluar studio juga kerasa. Hehe. Dia ditemenin
sama adiknya yang juga gak kalah cantiknya. Semuanya
pada melongo. Sekilas ada yang mandangin Isa,
mungkin nyamain ukuran kerudung dia sama Isa. Sama-
sama lebar dan gede. Kameranya di zoom ke muka
muslimah itu. Makin nambah melotot dan kagum aja deh
itu empat gadis. Si pembawa acara ngedatangin bintang
tamu lain yakni seorang aktris yang belum berjilbab tapi
dia seorang muslim.
Di sana perbincangan seputar jilbab ditayangkan.
Ada yang masih tidak tahu kalau menutup aurat itu
adalah kewajiban setiap muslimah. Ada juga yang takut
gak dapet jodoh kalo pake jilbab gede. Ada juga yang
pengen ngejilbabin hatinya dulu katanya saat penonton
ditanya satu persatu. Eeeeh berbarengan dengan itu,
Nuki keluar. Kata-kata yang dilontarkan salah satu
muslimah di tv tadi dia denger dan langsung nembus ke
hati dia. Bukan apa-apa, karena dia juga alasannya
begitu. Jilbabin hati dulu nanti baru jilbabin kepala. Pipi
Nuki tiba-tiba aja jadi mateng. Dia diem-diem dan
dengan mengendap-endap ngedeketin mereka yang lagi
pada serius nonton.
Wanita muslimah tadi bilang, kalo yang memakai
jilbab sih banyak tapi yang sesuai dengan ketentuan
masih belum semuanya. Katanya memakai jilbab yang
baik itu yang menutupi dada dan gak tembus pandang.
Kokom, Hyrca, dan Salma pada nunduk. Ngerasa diri
kali yeee. Nuki terus melototin dan masang
pendengarannya dengan baik. Menyimak setiap kata
yang diucapkan muslimah cantik itu.
Tayangan teve tadi beres. Dengan kata-kata
terakhirnya yang membekas di hati Kokom, Nuki,
Hyrca, dan Salma. Bahwa, “Tidak ada kata terlambat
untuk berbenah diri. Sesungguhnya Allah selalu
menunggu kita untuk berubah menjadi lebih baik.” Pesan
wanita itu.
Isa keikutan syahdu. Mukanya yang imut jadi
ikutan sendu ngeliat mbak-mbaknya pada merunduk dan
tersedu. Seketika mereka mengerang, “Isaaa...bantu kita
buat berubaaah” rengek mereka manja. Mereka
berpelukan. Nangis sesegukan. Padahal ujan gede
banget, tapi suara tangis mereka kerasa ngalahin suara
hujan. Isa terharu. “Sungguh hidayah itu datangnya dari
Allah. Lewat tv sekalipun hidayah itu ada. Allah
memang baik. Terimakasih ya Allah. Kau kabulkan
salah satu doaku” Isa bahagia banget sambil berdialog
lagi bareng pikirannya. Dan melebur dalam tangis
berjamaah malam itu bareng mbak-mbaknya.
Besok hari libur. Isa dkk. janjian mau pada
dateng ke pengajian. Udah pada rapi tinggal cus. Eh
Kokom baru keingetan kalo dia, Hyrca, Nuki, dan Salma
udah pada beli tiket nonton konser boyband Korea yang
mau manggung gak jauh dari tempat mereka. Dengan
berat hati mereka pada minta ijin sama Isa. Katanya
sayang udah beli tiket. Gara-gara beli tiket itu mereka
rela gak jajan selama dua minggu. Maklum itu tiket
mahal banget. Padahal cuman tiket buat penonton yang
berdiri. Tapi demi idola, apa sih yang enggak? He.
Alhasil, Isa jalan sendirian. Mereka berempat
dengan Nuki yang pake jilbab soalnya tadinya mau pergi
bareng Isa, akhirnya ikut cus juga deh ke konser itu. Isa
juga cuman jalan selama sepuluh menitan akhirnya
nyampe juga di tempat pengajian. Di tempat pengajian
itu rame banget. Isa seneng plus bingung. Ini ada apaan
ya? Apa emang kayak gini tiap minggunya? “Widih
keren banget” pikir Isa terharu. “Diliat-liat kok
kebanyakan para mahasiswa ya? Pada cantik-cantik
banget lagi pakaiannya. Udah kayak mau ke pesta atau
ketemu seseorang yang spesial aja.” Isa lagi-lagi
ngebatin gak jelas. Ampe dia nabrak tembok yang ada di
depannya. Jedug! “Aww...” Isa sadar, dia dari tadi
meleng. Abis ini mesjid udah kayak stadion. Dipenuhi
lautan manusia. Bagus banget tapi bikin keblinger.
Isa kebagian tempat duduk di belakang. Maklum
space-nya udah pada keisi sama jemaah yang lebih awal
datang. Isa sesekali ngedongkakin kepalanya biar bisa
liat MC ngomong. Rasa penasaran Isa udah gak bisa
ketahan lagi. Ketika MC nyebutin satu nama yang bikin
jemaah cewek-cewek pada rame tapi gak sampe ngejerit-
jerit. Dengan muka melas, Isa nanya cewek di
sampingnya yang dari tadi riweuh kayak cacing
kepanasan. Eh. Maaf.
“Euu..maaf, Mbak. Emang ini ada apa ya? Kok
pada rame gini...”
“Eheu. Itu lo, Mbak... kemarinkan mereka
ngadain konsernya, sekarang mereka mau berbagi
pengalamannya tentang Islam di sini. Kyaaa...”
Uwaduuuh. Isa celingukan. Masih gak ngerti bin
gak faham apa yang si mbak bilang. Mereka yang
dimaksud si mbak di sampingnya itu siapa ya?
“Emm...maaf, Mbak. Emang yang ngadain konser
kemarin tuh siapa ya, Mbak?”
“Itu lo Boyband asal Korea, Suzu.”
Isa kaget setengah idup. “Loh! Bukannya hari ini
Mbak mereka konsernya?”
“Bukan. Kemarin kok. Saya saksinya Mbak.
Kalo sekarang mah emang udah rencananya mau ke
sini.”
Sambil meringis Isa ngebatin untuk kesekian
kalinya, “Gimana ya, kabar mbak-mbakku itu? Ckck.”
Isa geleng-geleng kepala.
Indahnya Kebersamaan
oleh Wahyu Eka Jayanti
Aku berencana keluar kosan sore ini, berjalan
melewati lorong kamar-kamar yang tampak sepi di sana-
sini. Sama sekali tidak terlihat ada orang. Mena dan Dian
teman sebelah kamarku kemarin sudah mudik pulang
kampung. Aku sendiri di sini, tidak bisa mudik lantaran
jauh dan tidak ada libur kuliah. Alasan kenapa aku tidak
mudik sebenarnya berat di ongkos, harus menyebrang
lautan. Kota Bengkulu itulah kota tempat aku berasal
dan sekarang aku tinggal di kota Bandung.
Krek.. Ku tutup pintu rumah perlahan, aku akan
pergi berbelanja menyiapkan bekal untuk esok. Esok
adalah hari raya Idul Adha, dapat diperkirakan esok pagi
semua kantin akan tutup. Bisa-bisa aku tidak dapat
makan kalau tidak berbelanja. Aku berjalan menuju toko
pandan wangi, sembari memilih-milih kue mataku
tertuju pada brownies cokelat. Kuintip uang di dalam
dompetku, huft… tidak cukup untuk membeli brownies,
nanti kan masih mau beli keperluan yang lain. Harus
dihemat jangan sampai minta kiriman uang ke ibu.
Yasudahlah akhirnya aku memilih kue bolu kukus yang
gak kalah enaknya dengan brownies, kelihatannya sih
begitu hihi. Lagi pula bolu kukusnya juga tinggal satu-
satunya atau itu memang disisakan untukku ‘terimakasih
ya Allah,’ gumamku dalam hati. Tanganku meraih
sebungkus sus cokelat kesukaan Evy adikku, karena aku
merindukannya jadi menyantap makanan kesukaannya
akan menjadi pengobat rindu. Kue bolu ini akan aku
bawa besok untuk acara pemotongan hewan kurban,
semoga mereka suka.
Saat berjalan menuju kosan, aku bertemu ibu-ibu
yang meminta-minta. Ibu-ibu itu mendekati aku, dan
kuambil uang seribu di dompet lalu kuberikan kepada
ibu itu sembari berkata dalam hati ‘ya Allah
mudahkanlah segala urusanku dan rezekiku’. Ibu-ibu
tadi berlalu, aku sudah sampai di depan kos perlahan
masuk kedalam rumah. Aku berjalan perlahan ketika
melewati lorong-lorong kamar terdapat satu kamar yang
terbuka pintunya. Itu adalah kamar teh Rini.
“Assalamualaikum teh Rini kemana aja kok baru
kelihatan?” sapaku sambil tersenyum senang karena
ternyata aku tidak sendiri dikosan ini.
“Waalaikumussalam teh, ini teh lagi beres-beres
aku mau mudik sebentar lagi.” Oh... aku tersenyum
kecut, teh Rini akan meninggalkanku.
“Teh wahyu gak mudik?” kata teh Rini.
“Gak teh,” ucapku datar.
“Kalau begitu saya ke kamar dulu ya teh, selamat
mudik teh Rini salam untuk keluarga,” aku lempar
senyum termanisku.
“Eh.. teh wahyu tunggu sambil melambaikan
tangannya, ini ada brownies untuk teh wahyu aja. Baru
aku makan sedikit,” kata teh Rini sambil melempar
senyum padaku.
“Terimakasih ya teh Rini kuenya.” Alhamdulillah
diberi brownies yang tadinya aku inginkan, rezeki yang
Allah berikan lewat teh Rini. Apakah ini balasan karena
tadi aku bersedekah ya Allah, ternyata saat kita memberi
sebenarnya kita tidak kekurangan sedikitpun malahan
Allah tambahkan nikmat lewat orang lain. Bukan karena
mengharapkan balasan tapi ikhlas memberi karena Allah
dan inilah hikmah yang dapat diambil.
Aku bangun lebih awal, kulihat jarum jam
menunjukkan pukul 04.00 WIB. Takbir dis ana-sini
terdengar begitu merdu di telingaku. Alhamdulillah, ini
hari raya Idul Adha ingatanku mulai kembali kedunia
nyata. ‘ayo bangun lebih cantik Wahyu,’ menyemangati
diri sendiri.
Suasananya sedikit berbeda tahun ini, menjadi
seorang mahasiswi di Universitas Pendidikan Indonesia
sehingga aku jauh dari keluarga dan sanak keluarga.
Sedih sekali rasanya. Andai aku ada di rumah. Pasti
sekarang sedang membantu ibu menyiapkan makanan
dan kue untuk esok pagi. Di manapun dan kapanpun
mereka tetap sayang padaku dan selalu mendoakan
kesuksesanku, aku rindu kalian bisikku dalam hati.
Mataku mulai berkaca-kaca, hampir saja basah disana
tapi kutahan agar nanti ketemu teman-teman aku nampak
ceria dan bahagia. Cepat-cepat aku bangun membereskan
tempat tidur dan segera pergi mandi bersiap-siap untuk
salat Idul Adha di masjid.
Setelah solat Id aku bergegas kumpul ke kosan
teh Alin. Kami menjadi panitia kurban FKM untuk
pascasarjana tahun ini, lokasinya agak jauh didekat
bandara. Pukul 09.00 kami berangkat ke lokasi. Ada tiga
ekor kambing yang disembelih, tak lupa aku membawa
roti dan kue bolu yang aku beli kemarin.
Seusai pemotongan aku pulang ke rumah. Jarum
jam menunjukkan pukul 12.30, aku baru saja selesai
sholat zuhur. Wah makan apa ya…. Kantin udah buka
belum ya, aku bertanya dalam hati. Tiba-tiba ada
message masuk, kuambil dengan cepat HP di dalam tas
dan kubaca pesan singkat, ‘Ass, wahyu main ke rumah
ummi Lenni ya, ummi udah masak rendang, pempek, dan
lontong. Makan di tempat umi, di tunggu. Aku
tersenyum.’ Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.
Aku segera bersiap dan melangkah menuju
rumah umi Leni. Ternyata teman-teman halaqoh sudah
pada kumpul. Di atas meja sudah terhidang beragam
macam lauk pauk, kue dan buah-buahan. ‘Ini baru yang
namanya lebaran,’ bisikku dalam hati. Walaupun jauh
dari orang tua dan sanak keluarga aku tetap bersyukur
dan bahagia memiliki umi dan teman-teman di sini.
Benar-benar terasa kekeluargaannya, merasakan
kebersamaan sesama anak rantau yang jauh dari keluarga
karena sedang berjihad yaitu menuntut ilmu karena
Allah. Sungguh terimakasih untuk cinta, kasih sayang,
serta kebersamaan yang mengikat ukhuwah di antara kita
yang menjadikan tali silaturahmi ini semakin kokoh
karena Allah.
Tiba-tiba HP berdering, aku sangat kenal nada
panggil itu, itu adalah Ibu, ya Ibu menelponku. Aku
sangat bahagia bisa mendengar suara ibu. Ibu bercerita
sedang memasak daging dapat bagian kurban. Aku pun
bercerita dengan nada bahagia sedang makan bersama
teman-teman. Jadi Ibu tidak perlu sedih kalau purtinya
ini tidak dapat makan di hari raya.
Menjemput Cahaya di Isra’ Mi’raj
oleh Lia Liawati
“Nabi Muhammad menyaksikan sekelompok
wanita yang digantung rambutnya di atas api neraka
sehingga mendidih otak di kepalanya. Ini adalah
gambaran balasan kerana mereka tidak mahu menutup
aurat di kepala dari di pandang lelaki yang bukan
mahramnya.”
Aku merinding mendengar ceramah yang kuputar
dalam radio, teringat masa-masa dulu sebelum hati
nuraniku terketuk untuk menjalankan yang seharusnya
aku jalankan. Meninggalkan dunia yang gelap, menuju
pada dunia yang begitu indah. Dulu mataku buta untuk
melihat kebenaran, telingaku tidak mendengar kebaikan-
kebaikan ayat suci Alquran, mulut yang tidak aku pakai
untuk berdzikir kepada-Mu. Ya Allah kepadamu aku
berserah.
Aku mengenal agamaku begitu dangkal, sebatas
tahu dan tidak diamalkan. Berjilbab adalah hal yang
begitu sulit aku lakukan.
“Berjilbab itu tidak modis, gitu-gitu aja.” Jelas
Rita teman sekelas masa SMA ketika aku mengatakan
akan menggunakan jilbab.
“Mending jilbabin dulu hatinya, percuma dong
kalau hati kita belum bersih tapi udah pake jilbab.”
Timbal Sinta yang sedang sibuk mengurusi poni
rambutnya sambil terus menatap kaca kecil yang selalu
ia bawa.
Hati nuraniku tertutupi oleh gumpalan gelap
hingga aku tidak mendapatkan cahaya yang hampir
menyala. Aku urungkan niatku untuk berjilbab. Tetapi,
aku berusaha melenyapkan gumpalan gelap itu.
Aku mulai mencoba menjalani amalan wajib
dengan baik. Salat dzuhur di masjid sekolah membuat
hatiku lebih tenang hampir tidak pernah aku lewatkan
saat-saat itu. Aku sering mengobrol dengan anak rohis
yang berjilbab lebar, namun mau berbicara denganku
yang sangat jauh berbeda dari mereka. Suatu ketika salah
satu dari mereka pernah menjelaskan “Rambut wanita
adalah mahkota yang harus dijaga, tidak sembarang
orang bisa melihatnya.”
Aku semakin berpikir keras tentang hal itu,
hingga masuk ke dalam alam bawah sadar hingga
bermimpi. Aku mengenakan jilbab, terlihat begitu
anggun. Kemudian berlari di jalanan, entah apa yang aku
kejar. Tiba-tiba terlihat mobil bus besar yang melaju
dengan kencang. Sempat aku melihat kilatan cahaya
lampu depan yang mengenai wajahku. Sebelum tahu apa
yang terjadi, beberapa saat aku langsung terbangun
dengan panik. “Astagfirullah... Ya Allah, inikah petunjuk
dari-Mu?”
***
Langit cerah dengan awan putih bersih, seperti
ada senyuman yang menyapa di sana. Aku putuskan
untuk memakai jilbab, biarkan mereka yang tidak suka,
biarkan mereka tertawa, kenginanku selalu berada pada
jalan-Mu.
Perlahan, Rita dan Sinta menjauhiku. Semakin
jauh, tapi tidak akan ada penyesalan sedikitpun pada hati
tentang jalan yang aku pilih. Bila saja mereka tahu, aku
ingin bersama mereka di jalan yang sama.
Bertepatan dengan 27 Rajab, sekolah
mengadakan acara untuk memperingat Isra’ Mi’raj.
Semua siswa harus mengikuti acara tersebut. Dengan
penggambaran yang begitu baik, penceramah
menjelasakan perjalanan Rasullah termasuk melihat
wanita yang digantung rambutnya.
“Arin,” terdengar seseorang memanggilku dari
belakang ketika acara sudah selesai. “Apa?” aku segera
menengok, tiba-tiba ia memelukku dengan erat.
“Maafkan, aku ya.” Tetesan air mata kemudian
terjatuh membasahi pipi perempuan itu.
“Dua hari yang lalu ayah meninggal. Aku ingin
menjadi anak yang solehah agar bisa mendoakan ayah.”
Rita teman yang dulu sangat dekat denganku, kini ia
kembali. Namun, membawa berita yang begitu
memilukan. Aku tahu Om Yudi, ayah Rita yang begitu
baik dan sehat. Tetapi jika Allah sudah menghendaki
segalanya akan terjadi.
“Inalilahi wa inailaihi raji’un, kamu yang sabar
ya, Ta”
Kejadian itu mengingatkanku kembali pada
mimpi setengah tahun yang lalu. Bahwa usia seseorang
tidak pernah ada yang tahu hingga malaikat menjemput.
Sebagai manusia yang lemah, hanya bisa berusaha
memperbaiki diri hingga aku mendapatkan cahaya yang
abadi.
Jawaban dalam Lingkaran Api
oleh Fathia Uqimul Haq
Namanya Sarinah. Sabtu malam ini ia tengah
memasang rok mini merah muda dipadu dengan kaos
putih dan vest merah bata. Sampai menunjukkan buah
dadanya. Ia menaruh hairclip di rambut yang sudah ia
cat berwarna coklat siang tadi di salon mpok Narsih.
Ujung-ujungnya bercabang, dan jangan sampai ia
memakai baju hitam, karena bisa saja angin meniup
rambutnya lalu ketombenya berjatuhan. Pasalnya ia
sering sekali gonta-ganti warna rambut. Maka rambutnya
rusaklah sudah.
Setelah rapi ia lalu memakai high heels lima
sentinya. Tergopoh-gopoh menuju kasur dan mencium
seorang lelaki berumur empat tahun. Di kening lelaki itu
membekas gincu berbentuk bibir. Sarinah segera berlari
ke ambang pintu dan menutup pintu berbahan tripleknya
perlahan. Mercinya sudah datang.
“Ke mana sekarang, Pak?” ucap Sarinah agak
bimbang apakah ia harus memanggilnya mas atau bapak.
“Tak usahlah kau memanggil saya bapak, Jumali saja
lah.” Kata bapak itu seraya mengambil tangan Sarinah
dengan perlahan. Sarinah sebenarnya ingin sekali
melepaskan genggaman Jumali. Apa daya, ia baru saja
masuk ke masalah yang baru. Masih ada masalah-
masalah lain yang belum ia selesaikan sebelumnya.
“Saya hendak membeli minum dulu di
supermarket, kau tunggu saja di mobil.” Jumali keluar
dan menatap Sarinah seperti singa kelaparan.
“Fiuh…” Sarinah menghembuskan nafas dan
memegang perutnya yang sebentar lagi membesar.
“Hueeeeeek...” bekas makan tadi siang keluar semua dari
perutnya, segera ia keluar tetapi mobil terkunci. Ia
mengambil tissue di dashboard mobil dan menahan
mualnya.
(suara ponsel berbunyi)
“Astaga, hp si Jumali ketinggalan di mobil.”
Sarinah bergumam dalam hati. Ia mengambil hp yang
Jumali letakkan di joknya, dan melihat nama yang tertera
di layar ponselnya. ‘Mariana’. Sarinah melempar ponsel
itu kembali ke jok dan membiarkan hp itu berbunyi.
“Jumali lama sekali.” gumamnya.
***
Ita, tetangga Sarinah mendengar suara anak kecil
menangis di rumahnya. Hendak ia masuk, tetapi
terkunci. Ita segera menelpon Sarinah. “Sar, lu di mana?
Anak lu nangis. Gua mau masuk tapi rumah lu dikunci.
Kenapa lu tinggalin anak lu?”
“Duuuh, Ta. Di pot bunga ada kunci cadangan.
Buka ya. Kasih susu ya. Asi gue ga keluar nih. Lagi
kerja gue.” Jawab Sarinah. “Udah ya.”
Sarinah menutup teleponnya. Ia masih di hotel
tempat Jumali bekerja. Duduk di kursi empuk depan lobi
hotel bintang lima. Jumali adalah pemilik salah satu
hotel yang terletak di Jakarta Pusat. Memiliki cabang
hotel di mana-mana termasuk Malaysia dan Singapura.
Bagaimana bisa Sarinah meninggalkan Jumali yang kaya
raya, sedangkan ia selalu mendapatkan uang darinya.
Agar ia bisa tetap makan bersama lelaki empat tahun
yang sedang menangis di rumahnya.
“Sini, Sar.” Ucap Jumali dari kejauhan. “Ayo
sini.”
Sarinah bangun dari tempat duduknya dan
menghampiri Jumali. “Ini lelaki yang mau saya
kenalkan, Anton.”
“Oh, saya Sar….Sasha.” Sarinah mengulurkan
tangannya ke bapak tersebut sembari mengulum senyum.
“Anton.” Ia menggenggam tangan Sarinah kuat. Sasha,
nama malam yang ia pakai. Agar terlihat lebih elegan
dan gak kampungan, katanya.
“Saya pergi dulu, mari Pak Anton.” Jumali pergi.
***
Malam itu, setengah warga berlari terbirit-birit.
Terbangun dari mimpi indah dan dihujani asap dan
panas. Sebuah rumah terlalap. Kobarannya
menghangatkan seluruh desa. Bapak-bapak membawa
ember berisi air penuh dan Pak RT menelepon pemadam
kebakaran.
Ada suara yang terengah-engah, dan terdengar
tangisan. Seorang anak, meraung tak bisa berkata.
Berharap ada orang yang menjeratkan diri di tengah
lilitan api dan berusaha menolong. Tindakan sang anak
membuat salah satu pria masuk tanpa pelindung. Seluruh
warga menjerit.
Dua menit kemudian, baju yang terbakar api dan
kulit mengelupas. Hitam di wajah, abu dan debu menjadi
satu. Darah mengalir. Ia tersenyum. “Anaknya tidak apa-
apa.”
Sarinah yang turun dari mobil menahan sesak di
dada saat rumahnya telah basah kuyup dibanjur air.
Tinggalah kenangan. “Andi. Mana Andi... Andi!!!”
Sarinah berteriak dan baru sadar saat ia tahu di dalam
rumah hanya Andi, anaknya seorang.
“Astaghfirullah.. Ya Allah...” Sarinah memeluk
erat Andi di pangkuan. Legam hitam terbakar lilitan api
dan kulit mengelupas di bagian kaki. “Maafin ibu, Nak”.
“Andi tidak apa-apa, Bu.” Ucap pria yang
menolong Andi.
“Terima kasih, Pak. Terima Ka....” Ucapan
Sarinah terpotong saat ia hendak menengadahkan
mukanya dan ingin memberikan salam hangat.
Seakan bumi sejenak berhenti, aliran darah
membeku, angin entah kemana sepersekian detik. Andi
terdiam di pangkuan Sarinah yang masih berpoles gincu
dan bulu mata palsunya. Rok mini yang membentuk
pahanya berkata “Dialah yang menjadikanku seperti ini.”
Seketika seluruh memori merasuk meminta paksa
mendorong pintu kebebasan untuk menari dan
menertawakan kisah Sarinah dengan pria tersebut. Saat
muka tak berpoles rindu, dan hati tak digores pilu.
Dialah awal kebencian dari sukma yang mendesak. Pria
itu, semua jawaban atas seonggok Andi yang seketika
tak terdengar lagi.
***
Raja Thalut
Oleeh: Elsa Mulyani
Tahu gak sobat bahwa tak seorangpun manusia di
dunia ini yang bisa merubah takdir Allah selain atas
izinnya, walaupun sekeras apapun seoseorang itu
berusaha untuk merubah takdirnya yang ada usahanya
hanya akan sia-sia. Akan tetapi dengan kepasrahan akan
takdir yang allah berikan, maka dengan dengan
kepasrahannya itu allah akan menganugrahkan takdir
yang tak seorangpun dapat mengelaknya. Seperti kisah
yang satu ini, yuk kita simak bersama-sama check it
out...
Alkisah, pada suatu ketika dimasa kenabian nabi
Daud, ada dua orang raja yang mempunyai kepribadian
yang sangat berbeda, yaitu Raja Thalut dan Jalut, dimana
Jalut merupakan raja yang mempunyai kerajaan yang
besar dan merupakan seorang raja yang terkenal kuat
akan kesombongannya dan tak ada seorangpun yang
dapat menandinginya. Akan tetapi berbeda halnya
dengan Raja Talut yang merupakan seorang raja yang
dermawan dan terkenal akan ketaatnya dalam beribadah
kepada Allah swt. Berita akan raja Talut yang terkenal
dengan segala kebaikannya itu akhirnya sampai
ketelinga raja Jalut. Mendengar hal itu maka raja jalut
pun menantang raja Talut untuk berhadapan langsung
dengan dirinnya.
Tatkala raja Talut keluar dari kerajaanya untuk
memenuhi tantangan dari raja jalut dengan membawa
tentara, dan ia pun berkata kepada tentaranya:”Allah
akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa
diantara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku,
kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah
pengikutku.” Maka sampailah raja Talut dan tentaranya
di sungai yang dimaksud, dan tahu gak sobat apa yang
terjadi? Ekh, ternyata sebagian dari tentaranya meminum
air sungai tersebut, seraya berkata:” Tak ada
kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan
tentaranya.” Dan sebagian lagi dari tentara yang
meyakini bahwa mereka akan menemui allah
berkata:”ada banyak golongan yang sedikit mampu
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin allah,
dan beserta orang-orang yang sabar.” Dan akhirnyapun
dengan tentara yang tak seberapa jumlahnya raja Talut
melanjutkan perjalannya, dan sesampainnya dikerajaan
yang begitu besar dan mewah tampak dari jauh raja Jalut
dan tentaranya menghampiri raja Talut, dengan
kesombongannya raja Jalutpun menertawakan raja Talut
seraya berkata” Apakah kou tidak salah, wahai Talut
ingin menantangku dengan tentara yang berjumlah
sedikit?” mendengar kesombongan raja Jalut, akhirnya
raja Talut dan tentaranya berdoa memohon petunjuk
kepada allah:” Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran
kepada kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan
tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” dan atas
doanya itu, allah menurunkan petunjuk dengan
memerintahkan raja Talut untuk menemui seorang anak
yang selalu membawa ketepel dan tinggal di pohon yang
ada disawah, akhirnya raja Talut menemui anak tersebut
dan meminta bantuan kepadanya untuk mengalahkan
raja Jalut yang terkenal akan kesombongannya itu, dan
tanpa berpikir panjang akhirnya anak tersebutpun
bersedia untuk membantu raja Talut. Sesampainya raja
Talut dengan membawa anak yang membawa ketepel
kehadapan raja Jalut, dan Jalutpun terengah keheranan
seraya berkata:”wahai Talut, apakah kou ini sudah tak
waras? Kou membawa anak itu kehadapanku untuk
mengalahkanku?”sembari tertawa dengan keras Jalutpun
terus mengagung-agungkan kesombongannya
bahwasanya tidak mungkin anak sekecil itu akan
mengalahkannya.
tanpa banyak kata anak itupun segera mempersiapkan
ketepelnya dengan mengambil batu sebagai umpannya,
dan segera mengarahkan ketepel tersebut kearah raja
Jalut seraya berkata:”rasakanlah tembakanku ini, wahai
raja yang sombong.” Dag,dig,dug,,,jeleger batu yang
ditembak itu mengenai dada raja Jalut dan pas dibagian
jantungnya sehingga detak yang mengenai pembuluh
darahnya berhenti seketika dan apa yang
terjadi...akhirnya raja yang Jalutpun terbunuh dan
meninggal dengan kesombongannya. tahu gak sobat
siapa anak yang telah mengalahkan raja Jalut hingga ia
meninggal...? tahu gak??? Tak lain dan tak bukan yaitu
nabi Daud as yang dikirimkan allah kepada Talut untuk
mengalahkan raja Jalut yang merasa dirinya tak
tertandingi. Nah , dengan begitu Talut dan kerjaan yang
diperintahnya hidup makmur, dan setelah Talut
meninggal dan sebagai penggantinya adalah nabi daud.
Demikianlah allah memberikan pemerintahan dan
hikmah kepadanya dengan mengajarkan apa yang telah
dikehendakinya merupakan takdir yang tidak bisa di
tolak, selain atas izinnya.
Nah, sobat mudah-mudahan dengan kisah diatas bisa
mengispirasi kita bahwasannya takdir yang ada di dunia
ini merupakan ketetapan allah yang telah tertulis, sekuat
apapun kita, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki,
tetap hanya allah yang dapat berbuat apa yang
dikehendakinya...
Tawa Kecil Rania
oleh Nurul Lutfia
“Sebentar, Rania, setelah ini ibu akan ke rumah
sakit, kamu baik-baik ya sama kakak,” ucap ibu lantas
terburu-buru merespon telepon dari nomor yang sama.
Ibu tidak pernah sadar dengan air muka Rania yang
seketika berubah.
“Kenapa hari minggu tetep kerja, Bu?” tanya
Rania sedikit merajuk.
Ibu yang masih menerima telepon merasa direcoki
dengan rajukan Rania. “Ada pasien, Rania. Ibu harus ke
sana membantu bu dokter menangani pasien itu. Jangan
bandel, kamu pulang bareng kakak!”
Ih! Rania hanya bisa menyimpan kekesalannya
sendirian. Selama ini ia sudah cukup legowo ditinggal
ayah dan ibunya yang sibuk. Setiap hari mereka bekerja.
Rumah selalu sepi. Bagaimana tidak? ayah dan ibunya
bekerja setiap hari, dari pagi sampai malam. Kakaknya
selalu pulang menjelang magrib, sibuk dengan kegiatan
kampus. Ia hanya punya akhir pekan untuk bermanja-
manja pada ayah dan ibunya. Nyatanya minggu ini sama
saja.
Pagi-pagi, ayahnya ditelepon client, ada pertemuan
penting. Rania tidak mengerti apa yang ayahnya
bicarakan. Ia hanya menangkap satu hal: ayahnya tidak
bisa menemaninya jalan-jalan.
“Kamu masih bisa tetap pergi dengan ibu kan,
sayang?”
Ayah bisa membaca kekecewaan di wajah Rania.
Dengan segera, diusapnya kepala putri kecilnya yang
sudah berusia sepuluh tahun ini.
“Rania nggak boleh cemberut gitu. Nanti ayah
bawakan macaron kesukaan Rania deh!”
Rania masih bergeming. Bosan dibujuk dengan hal
yang itu-itu lagi.
“Yang aku mau kan main bareng ayah ibu!”
pekiknya kesal. Ia berbalik badan dan meninggalkan
ayah yang masih menatap punggungya dari belakang.
Ayah melirik ke arah ibu, meminta ibu untuk
mengurusi Rania selama ia pergi. “Biar aku yang
mengurusi Rania, ayah pergi saja. Nanti malam juga dia
pasti lupa kalau sedang ngambek.”
Jadilah minggu ini ia jalan-jalan bersama ibu dan
kakaknya. Tempat pertama yang mereka kunjungi yaitu
taman es krim. Rania suka sekali es krim. Sudah lama ia
ingin pergi ke taman es krim dengan ayah dan ibunya.
Mencicipi berbagai rasa es krim sambil duduk-duduk di
taman yang teduh.
Rania jadi bisa bercerita banyak hal pada ibu.
Tentang sekolahnya, teman-temannya, club yang ia ikuti.
Semua cerita yang selama ini ia simpan sendirian, karena
setiap hari tidak ada teman bercerita selain kakaknya. Itu
pun kalau kakaknya masih bisa makan malam di rumah.
Cerita Rania terhenti ketika ibu menerima telepon.
Jangan bilang ada panggilan tugas lagi...
“Sebentar, Nak, setelah ini ibu akan ke rumah
sakit—“ nah kan. Rania membatin. Mood baiknya hilang
seketika. Es krim di tangannya ia biarkan meleleh. Sudah
tidak napsu makan!
***
Sepanjang perjalanan pulang Rania hanya diam.
Wajahnya ditekuk. Ia selalu menghindari tatapan
kakaknya. Takutnya, ia malah menangis karena tidak
kuat menahan kesal. Selalu begini. Pekerjaan. Client.
Pasien. Ia selalu ditinggal hanya karena alasan-alasan
itu. Seolah semua itu lebih penting daripada dirinya.
Rania ingat, sejak kecil ia selalu ditemani
babysitter. Itu pun selalu ganti karena ia yang bandel.
Ada saja yang ia lakukan untuk membuat babysitter-nya
jera dan akhirnya berhenti. Dengan begitu, ia bisa
bermain dengan ayah dan ibunya selain di hari libur.
Tapi ternyata ibu malah mengganti babysitter itu berkali-
kali sampai ia menemukan babysitter yang bisa
membuatnya nyaman.
“Rania, udah dong, masa kakak jadi ikut kamu
cuekin begini? Setelah ini kita mau ke mana? Ayo kita
lanjutkan main-main hari ini!”
“Kita pulang aja, Kak.”
“Loh, kok, pulang? Ayo kakak temani. Kamu mau
ke mana?”
“Aku nggak mau kalau nggak sama ayah ibu!”
“Raniaaa, jangan gitu. Kan ada kakak. Kamu mau
ke mana? Nonton? Ada film disney baru loh.”
“AKU MAU PULANG!”
Kak Dewo langsung diam. Dihentikannya mobil di
sembarang tempat. Tatapannya lurus tertuju pada
adiknya yang menangis tertahan.
“Rania kesepian ya?” tanya Kak Dewo pelan.
Diusapnya kepala Rania dengan penuh kasih sayang.
“Maafin kakak ya sering ninggalin Rania sama si
mbak...”
Tangis Rania makin pecah. Segala kesal yang ia
tahan tumpah begitu saja. Ia kesal pada dirinya yang
cengeng. Kesal pada orang tuanya yang tidak mau
peduli. Kesal pada kesendiriannya. Kesal pada teman-
temannya yang suka pamer cerita tentang orang tua
mereka. Kesal pada semuanya! Tapi toh semua
kekesalan itu hanya bisa ia keluarkan melalui tangis. Ia
tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
“Rania harus paham, apa yang ayah dan ibu
kerjakan juga untuk kepentingan Rania. Sesibuk apa
pun, ayah sama ibu masih meluangkan waktu untuk
Rania kan? Setiap akhir pekan kita selalu punya waktu
bareng kan? Walaupun nggak utuh, tapi ibu udah
berusaha meluangkan waktu untuk Rania.”
Di tengah sesenggukan Rania menyela. “Tapi ayah
sama ibu kan udah janji, sabtu-minggu itu waktu penuh
untuk Rania. Tapi sekarang ayah ibu ingkar janji. Rania
nggak suka!”
“Kan panggilan pekerjaan nggak bisa diduga
waktunya. Iya, ayah ibu emang salah karena ingkar janji.
Tapi Rania nggak bisa memaksa ayah sama ibu untuk
mengabaikan panggilan itu kan?”
Rania hanya diam. Sekali lagi, ia kecewa. Tapi ia
tidak bisa menyalahkan orang tuanya. Ucapan Kak
Dewo benar.
“Kita pulang aja ya, Kak. Rania capek,” ucap
Rania pelan sekali. Ia sedang berusaha menghentikan
sisa-sisa tangisnya.
“Ya, udah, kita pulang ya,” jawab Kak Dewo
seraya mengusap kepala Rania pelan. “Udah, nangisnya
udah dulu. Nanti boleh dilanjutkan di rumah, kalau
mau,” ledek Kak Dewo sambil terkekeh. Spontan Rania
berdecak sebal.
***
Ketika makan malam, tidak seperti biasanya, meja
penuh dengan makanan kesukaan Rania. Ayah dan ibu
duduk di hadapannya. Tersenyum tanggung. Takut-takut
ia masih ngambek karena kejadian tadi siang.
“Ibu ambilkan makanannya ya. Rania makan yang
banyak,” kata ibu seraya mengisi piring Rania dengan
nasi dan lauk kesukaannya.
“Makasih, Bu,” jawab Rania pendek ketika
menerima piring dari ibu.
“Coba lihat, ayah bawa apa?” tutur ayah
bersemangat. Kedua tangannya disembunyikan di
belakang. Ayah mencoba bermain tebak-tebakan agar
Rania tidak banyak diam.
“Macaron?”
“Salah! Tebak lagi!”
“Es krim?”
“Bukan! Ayo lagi!”
“Jeli?”
“Bukan! Ah! Nyerah?” tanya ayah dengan senyum
puas.
“Iya deh.”
“Tadaaa!” pekik ayah lantang sembari
mengeluarkan secarik kertas kecil bergambar hello kitty.
Rania mengernyitkan dahi. Ia memang suka hello
kitty. Tapi apalah arti secarik kertas bergambar hello
kitty? Dibukanya pita pengait kertas itu. Di dalamnya, ia
menemukan sederet kalimat yang membuatnya tertawa
kecil.
Ayah ibu janji nggak akan ingkar janji lagi.
Minggu depan kita ke Jungleland, yuk?
Seketika ayah dan ibu tertawa lega. Hadiah
permohonan maaf mereka diterima dengan tawa kecil di
sudut bibir Rania. Setelah ini mereka berjanji akan ada di
rumah lebih cepat dari biasanya. Dan setiap akhir pekan
mereka akan menjadi orang tua Rania sepenuhnya. Tidak
bisa diganggu gugat.
Merangkai Asa dibingkai
Senja
oleh Yani Fitriyani /Kejora Khairunnisa Azzahra
“Firdaus sabar.... Sebentar lagi bapak pasti
pulang membawa makanan buat kita, lebih baik sekarang
Firdaus tidur.” Sambil mendekap Firdaus, berharap ia
tertidur agar bisa menahan rasa laparnya.
Hidup di lingkungan kumuh bukan kemauan
bahkan bukan pilihan bagi bu Minah dan keluarganya.
Tidak dapat dipungkiri, inilah kenyataan hidup yang
harus mereka jalani. Pak Jojo hanya bekerja di terminal
sebagai tukang sapu, sedangkan bu Minah tidak
mempunyai pekerjaan tetap, kadang mencucikan piring
di warteg atau sesekali dia ikut menjajakan dagangan
orang dengan harapan mempunyai bagian dari
keuntungan yang tidak seberapa. Selama 10 tahun
pernikahannya dengan pak Jojo, dengan setia bu Minah
ikut menanggung beban hidup yang serba tak
berkecukupan.
“Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan
penghidupan yang layak untukmu. Seandainya kamu
tidak terlahir dari rahim wanita tua miskin dan tidak
berpendidikan seperti Ibu, mungkin kamu tidak akan
merasakan pahitnya hidup yang kini Ibu dan Bapak
jalani.” Suaranya kian memberat. Tanpa bu Minah
sadari, pak Jojo ada di belakangnya. Dengan berlinang
air mata pula, pak Jojo merangkul bahu sang istri.
“Jangan sampai Firdaus mendengar perkataan ibu tadi.
Tidak baik Ibu menyesali keadaan kita sekarang. Firdaus
adalah Anugrah Gusti Allah yang harus kita syukuri. Dia
tidak salah terlahir di keluarga ini.” Pak Jojo dengan
sangat bijak menasehati bu Minah. Pak Jojo pun
menyodorkan keresek hitam yang berisi 3 nasi bungkus
dan sebotol air mineral.
Malam harinya mereka sangat bersyukur karena
bisa makan walaupun seadanya, hanya sebatas nasi dan
sepotong tempe. Kehangatan keluarga begitu tercermin
malam itu.
“Bapak, besok Firdaus boleh ikut Bapak ke
kantor? Firdaus ingin membantu Bapak di kantor.”
Celetuk Firdaus dengan polosnya sambil menikmati
hidangan malam itu. Mendengar pernyataan itu, sentak
pak Jojo terdiam terlebih bu Minah yang tak kuasa
menahan air matanya mendengar keinginan Firdaur ikut
ke ‘kantor’.
“Sayang, bapak bukan bekerja di kantor. Tapi...”
pa Jojo pun terdiam dan memandang istrinya.
“Firdaus tau kok Pak, Bapak itu kerja di terminal
sebagai tukang sapu. Tapi, bagi Firdaus itu adalah kantor
Bapak. Bapak harusnya bangga karena dari sana, Bapak
mendapat uang dan bisa membelikan makanan ini buat
aku dan Ibu.”
“Tapi mau apa Firdaus ikut ke terminal? Lebih
baik ikut sama Ibu saja, agar Firdaus bisa menjaga Ibu.”
Bujuk pak Jojo. Firdaus hanya tersenyum. Entah apa
maksud dari senyumnya itu.
***
Hiruk-pikuk suasana terminal tampak seperti
biasanya, sesekali terdengar beberapa anak-anak kecil
yang bernyanyi. Firdaus menatapnya ke arah itu. Dalam
pikirnya ia bertanya, apa yang sedang mereka lakukan?
Dengan bernyanyi mereka diberi uang, bisa dipakai
untuk makan. Aku harus mencobanya! Gumam Firdaus.
Kepolosannya membuat dia tak berpikir panjang.
“Maaf kak, apa yang kakak lakukan di mobil
itu? Kok dapat uang?”
Kedua pemuda itu saling bertatapan. Entah apa
yang mereka pikirkan, namun seakan keduanya
mempunyai pemikiran yang sama. Keduanya tersenyum
sinis dan kembali menatap Firdaus. Salah seorang dari
mereka kemudian merangkul Firdaurs dan
mengajaknnya duduk di pinggir jalan diikuti pemuda
yang kedua.
“Kenalin brow nama gue Robet, ini temen gue
namanya Uyun. Loe tadi nanya, apa yang gue lakuin di
dalam bus?” dengan tersenyum manis.
“Firdaus ingin membantu ibu dan bapak, tapi
tidak tahu harus bagaimana untuk mendapatkan
uangnya.” Keluhnya pada pengamen yang baru
dikenalnya di pingggiran jalan tak jauh dari terminal.
Akhirnya, semenjak perkenalan itu Firdaus sering
bertemu dengan pemuda yang bernama Robet dan Uyun
itu. Mereka berdua ,mengajarkan Firdaus cara-cara
mengamen bahkan sesekali sering disinggung jika sehari
tidak dapat uang sedikitpun tiada cara lain kecuali
mencopet. Itulah prinsip yang ditanamkan pada Firdaus
oleh kedua pemuda itu. Sampai suatu hari, Firdaus
merasa jenuh dengan apa yang dia lakukan selama ini.
***
Firdaus berjalan tanpa tujuan. Dia hanya
mengikuti langkah kakinya. Suatu ketika, ia melihat
segerombolan anak berseragam sekolah. Besar
keinginannya untuk bersekolah layaknya anak-anak itu.
Di tengah kesibukanya berangan-angan, matanya tertuju
melihat seorang lelaki yang sedang membaca di kursi
taman kota. Firdaus menghampirinya.
“Nama saya Firdaus, Kak. Saya mau bertanya,
Kakak anak sekolah bukan?”
“Nama Kakak Ikhsan. Kakak Mahasiswa, De.”
“Kenapa kita harus sekolah, Kak?”
“Karena dengan sekolah kita bisa mendapat ilmu,
menjadi anak yang pintar dan bisa sukses. Pendidikan itu
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Jawaban yang sederhana bagi seorang mahasiswa,
namun itu sebuah pernyaatan baru bagi Firdaus.
“Tapi, kata Robet teman Firdaus di terminal, buat
apa kita sekolah, banyak kok anak sekolah gak mandiri
buktinya mereka sekolah uangnya dari orang tua dan
selesai sekolah kehidupannya gak sukses tidak ada
bedanya dengan anak yang tidak sekolah. Selain itu
katanya buat apa kita peduli sama negara, pemerintahnya
juga gak peduli sama anak-anak jalanan seperti kami.”
“Ade... itu adalah pemikiran yang sempit. Nah, di
sinilah fungsinya kita sekolah. Kita bisa memandang
setiap masalah dengan cara pandang yang lebih bijak.
Dengan ilmu maka kita akan merasakan bagaimana
indahnya hidup kita, bisa berguna untuk orang lain, tidak
hanya memikirkan diri sendiri. Dari mana ade
menyimpulkan kalau pemerintah tidak peduli dengan
pendidikan anak bangsanya?”
“Buktinya pemerintah tidak menyuruh Firdaus
untuk belajar. Kan, orang tua Firdaus tidak punya uang
untuk menyekolahkan Firdaus , kenapa tidak dikasih
uangnya buat Firdaus sekolah?”
“Ade... pemerintah gak mungkin mendatangi
anak-anak semuanya di negeri ini untuk menyuruh
sekolah, nanti bapak presidennya kecapean. He…he...
Tapi, cukup melalui programnya yang mewajibkan anak
usia 6 tahun untuk sekolah dan banyak program-program
lain yang membuat sekolah itu menjadi mudah.
Termasuk masalah biaya ade gak usah sedih. Sekarang
sekolah gratis, De. Kita harus mampu memanfaatkan
kesempatan ini”.
“Kakak mau bimbing aku belajar?”
“Emmm… Baiklah temui Kakak setiap sore di
taman ini. Bagaimana?”
“Iya Kak, Iya.. Firdaus mau...”
“Insya Allah nanti kita buat jadwalnya yah.
Jangan khawatir, De... Kakak tidak sedikit pun menuntut
bayaran dari kamu. Justru ini adalah bentuk pengabdian
Kakak pada negara. Kakak udah dipercaya untuk ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa dan salah satunya
adalah dengan berbagi ilmu yang kakak punya pada
anak-anak negeri yang lain.”
“Terimakasih ya, Kak,” dengan wajah gembira
Firdaus kembali ke Terminal.
Detik berlalu, dan inilah waktu yang tak dapat
kembali. Firdaus memanfaatkannya dengan sebaik
mungkin kesempatan belajar dengan kak Ikhsan.
Semangat Firdaus begitu terlihat dan dia tunjukan
keseriusan belajarnya pada kak Ikhsan. Dengan cepat
Firdaus bisa membaca, menulis bahkan dalam waktu
seminggu, Firdaus telah pandai menghitung
penjumlahan dan pengurangan. Walaupun pelajaran
yang diberikan masih sangat sederhana, tapi bagi
Firdaus, itu adalah langkah awal menggapai cita-citanya.
Sore itu, langit biru bersih tanpa awan. Setelah
belajar dengan kak Ikhsan, Firdaus bermaksud ingin
memberikan kejutan pada sang ibu, dia berlari-lari
dengan membawa buku di genggamannya. Langkahnya
terhenti, dia melihat Robet dan Uyun di depannya,
dengan perlahan dia mundur dengan maksud menghindar
dari kedua pengamen yang terkesan preman itu. Namun,
sayang kedua pemuda itu melihat Firdaus. Dengan cepat
keduanya menghampiri Firdaus.
“Selamat bertemu anak manis. Kemana saja
selama ini?” dengan gelagat yang mencurigakan Robet
merangkul Firdaus. Wajah Firdaus tampak pucat,
tangannya gemetar menghadapi kedua pemuda ini.
“Santai saja, jangan ketakutan seperti itu.”
“Maaf, Kak. Firdaus harus segera pulang. Sudah
ditunggu ibu.”
“Apa ini? Sepertinya buku.” Uyun merebut buku
dari genggaman Firdaus.
“Jangan ambil buku Firadus, Kak. Itu buku
Firdaus satu-satunya.”
“Oh, rupanya loe sudah sekolah sekarang?”
Robet tersenyum sinis pada Firdaus.
“Enggak Kak, itu buku peberian kak Ikhsan. Itu
Cuma buku catatan saya. Buat belajar menulis dan
menghitung.”
“Wow... Brow loe baca cita-cita anak ini. Dia
kepengen jadi Dokter. MIMPI!!!”
“Yun, enaknya diapain yah buku ini? Disobek
atau dibakar?”
“Mending disobek, biar lucu” dengan enaknya
Uyun berkata seperti itu.
“Jangan Kak, itu buku Firdaus satu-satunya.”
Wajah memelas Firdaus pada keduanya. Namun, semua
itu tak dihirukan oleh Uyun dan Robet, lantas Robet dan
Uyun menyobek-nyobek buku Firdaus. Firdaus mencoba
menghentikan keduanya. Namun, buku itu telah terlanjur
disobek. Air mata tak terbendung. Firdaus
mengumpulkan sobekan kertas. Disusun kembali
sobekan-sobekan itu namun sia-sia saja yang tersisa kini
di gengggamannya hanya selembar kertas yang
bertuliskan “Ihksan Firdaus, Mahasiswa Kedokteran.”
Entahlah ada apa dengan tulisan itu, namun Firdaus
seakan tak mau kehilangan selembar kertas itu, lebih dari
sekedar kenangan dari kak Ikhsan. Tanpa merasa
bersalah Robet dan Uyun meninggalkan Firdaus masih
dengan tangisnya.
Akhirnya dengan lemah dia menuju
kediamannya. Harapannya untuk menunjukan hasil
belajar kepada ibu bersama kak Ikhsan kini tingggal
harapan. Lembaran mimpinya mendapat pujian dari sang
ibu seakan musnah sudah bersama sobeknya lembaran
buku itu.
***
“Ibu... Bapak... Besok Firdaus akan diwisuda,
kalian akan melihat anak kalian ini lulus dari Fakultas
Kedokteran ternama di Indonesia”.
Ibu Minah dan Pak Jojo tersenyum bangga pada
Firdaus.
“Bu... Akhirnya Firdaus bisa memenuhi janji
Firdaus untuk sekolah. Waktu telah membawa Firdaus
hingga akhirnya Firdaus bisa membuat Bapak dan Ibu
bangga mempunyai anak seorang dokter muda.”
“Teruskan perjuanganmu, Nak. Jangan pernak
letih untuk menghadapi tantangan hidup. Maafkan Ibu.
Ibu tidak bisa hadir di acara wisudamu. Tapi percayalah
doa Ibu selalu menyertaimu. Karena cinta seorang Ibu
tak lekang oleh waktu”.
“Firdaus…”
Firdaus membuka mata, dilihat sekelilingnya
ramai orang-orang yang sibuk mengerjakan berbagai
aktivitas. Kini tersadarlan Firdaus bahwa apa yang
dialaminya hanya mimpi dan kenyataan bahwa ibunya
kini terkujur kaku di samping dirinya. Sang ayah berada
di sisinya.
“Yang tabah ya, Nak... Kamu tadi pingsan. Dan
sebentar lagi kita akan berangkat ke TPU untuk
memakamkan ibu.”
Akhirnya rombongan mengiringi jenazah
Almarhumah bu Minah berangkat menuju TPU. Air
mata Firdaus meleleh, tanpa berkata apapun Firdaus
hanya menatap batu nisan yang ada di hadapannya.
Sebelum meniggalkan pemakaman, Firdaus
mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Dia
tersenyum dan berkata “Bu… Disaksikan senja ini, aku
katakan dihadapan nisan Ibu bahwa suatu hari nanti,
namaku Muhammad Firman Firdaus akan menjadi
seorang Mahasiswa Kedokteran. Karena kekurangan tak
harus menjadi alasan bagi kita untuk cerdas menggapai
mimpi terindah kita.” Senja menyaksikan senyuman
seorang anak negeri. Digaris depan Pendidikan
Indonesia bukalah mata kita kepada mimpi anak-anak
diperbatasan negeri.
Cinta dalam AsmaNya
oleh Rahma Nur Amalia
Allahu akbar! Allahu akbar! Seruan para pejuang
dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak
percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup
dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” Tanyaku
pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang
kau lamunkan?”. Aku terhentak lalu menggeleng. Aku
masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa
yang sesak dalam dada.
***
Sorot mentari pagi terpancar dari jendela kamar.
Ya! ini kosan baruku. Tak besar tapi aku tetap
mensyukurinya. Kau bisa lihat kamarku penuh dengan
poster band-band rock sepanjang zaman. Sejak SMP aku
bercita-cita menjadi vokalis band rock and roll seperti
John Lennon The Beatles, vokalis The Doors, The
Pixies, Rolling Stones, dan band rock zaman 60 sampai
80’an. Gitar akustik yang kuberi nama Gigi adalah
kekasih sejatiku, ia menemaniku setiap pagi dan malam
hari. Ia ku simpan di pojok kamar.
Hari ini, hari ketiga masa orientasi kampus, aku
melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas
keguruan di kota Bandung. Berjalan ditemani
bayanganku sendiri mengenakan seragam putih dengan
celana hitam yang ujar mahasiswa baru lainnya mirip
pegawai toko yang sedang magang dan seutas tali yang
menggantungkan nametag di leherku. Udara di
Bandung sangat berbeda dengan Jakarta. Ya Tuhan!
Rasanya darah ini mulai membeku, dan kau tahu? Aku
tak nyaman dengan seragam seperti ini, saat SMA
akulah satu-satunya murid yang paling banyak catatan
hitamnya.
Rombongan mahasiswa dengan beragam yel-
yelnya mulai memasuki gedung aula yang mampu
menampung hampir tiga ribu orang. “Hey, nama kamu
siapa?” sapa seorang lelaki berambut hitam legam dan
berkulit sawo matang. Aku mengernyitkan dahi “Gue?”
tanyaku. “Iya kamu” sapanya lembut, ternyata ada lelaki
selembut dia juga ya atau mungkin akulah yang hidup
dengan orang-orang keras? Aku tersenyum dan
mengulurkan tangan “Renza Adriansyah, Loe siapa? Eh,
maksudnya nama kamu?” “Iqbal Mutaqqin”. Semenjak
saat itu ia menjadi teman pertamaku.
Hari ini akan ada penampilan dari klub-klub
kampus, aku harap ada klub yang sesuai denganku.
“Klub band kampus mungkin?” aku membatin. Satu
persatu klub maju mempresentasikan komunitasnya.
Mulai dari teater, grup vokal, Pramuka, klub olahraga,
dan terakhir klub keagamaan. Ada lima klub keagamaan
di sini, katanya mereka beda misi tapi satu visi “dakwah”
itu yang disampaikan temanku Iqbal. Padahal, di SMA
saja hanya ada satu rohis. Iqbal terobsesi sekali ingin
bergabung dengan klub itu. Sementara aku? Aku duduk
tanpa memperhatikan. Aku bahkan mulai bosan dengan
suasana ini. Suasana di mana kita seakan dijajah. Ospek,
ya ospek.
“Renza!” seseorang dari seberang sana
memanggil, terlihat lambaian tangannya. Aku pun
membalas. Ia berlari kecil menghampiriku.“Kamu ikut
klub apa?” aku tersenyum seakan malas menjawab.
Berpikir sejenak lalu mengangkat bahu memberikan
tanda bahwa aku tak memiliki jawaban. “Ikut klub
jurnalistik aja yuk?” ajaknya. “Jurusan kita kan memang
sudah menyoal jurnalistik, untuk apa masuk klub itu?”
Deandra terdiam sadar bahwa ajakannya akan ditolak. Ia
masih mematung di sana sementara aku berlalu. Sejak
SMA sudah hampir puluhan orang yang ku buat seperti
itu. Aku terus melaju mengenakan celana jeans hitam,
kaos lengan pendek bergambar the Beatles dan jaket
kulit.
Mentari tenggelam bersama senja, meringkuk
tercuri malam. Aku duduk di serambi rumah kos, rumah
kos putra yang tak begitu rapi, bersama Gigi, gitarku.
Aku mendendangkan beberapa lagu ditemani secangkir
kopi dan rokok. Sudah seminggu kejadian di koridor
Fakultas Bahasa itu, tetap saja aku tidak pernah bisa
tidur dengan nyenyak.
***
Ku beranikan diri duduk di taman itu, di bangku
kosong di sampingnya. Entah apa yang menggelapkan
pikiranku hingga aku seberani ini. Padahal ketika SMA
aku benar-benar orang yang dingin dan ahli dalam
memainkan perasaan wanita.
Aku tersenyum padanya, ia mengernyitkan dahi
sambil tersenyum kecil seperti merasa risih ada seorang
pria yang duduk di sampingnya. Tidak bukan di
sampingnya jarak kita sekitar satu meter.
“Jreng….” nada pertama yang dikeluarkan Gigi.
Aku membawakan sebuah lagu dari Ari Lasso dengan
percaya diri sambil menghadapkan posisiku ke arahnya.
Ia hanya mematung memandang ke depan sambil
memegang sebuah buku.
“Kau cantik hari ini… jreng” “ ... dan aku suka”
lanjutku.
Ya, dia melirik, dia tersenyum dan…. pergi?
“Hey, Assalamualaikum, aku sudah lama nunggu.
Jadi pergi ke mentoring kali ini?” Ucapnya sambil
menjabat tangan temannya yang berada di belakangku.
Ya, Tuhan! Padahal senyumnya indah sekali, tapi
sayangnya bukan untukku, dan sayangnya lagi temannya
tak menyebutkan namanya, lalu siapa dia? Tadinya hari
ini aku ingin bertanya siapa namanya, jurusan apa atau
sekedar berkenalan.
***
Hari berlalu, entah apa yang terjadi karenanya
aku bisa meninggalkan sedikit demi sedikit masa laluku.
Bersama Iqbal, seorang aktivis dakwah sekaligus teman
sejatiku. Ku pikir ia tak akan peduli, tapi setelah itu
“Bal, ajarin gue Islam dong” Ia dan teman-teman lainnya
menuntunku, kau tahu untuk mengubah sikap ini aku
memerlukan waktu hampir lima semester. Saat Iqbal
bilang “Cinta dalam diam itu lebih keren bro. Kamu
cintai Tuhanmu dan dia cintai Tuhannya tanpa ada yang
tahu. Biar Dia yang membolak balikan hati, karena
wanita yang baik untuk pria yang baik, dan sebaliknya.”
Aku tak pernah lagi menatapnya. Poster di kamarku kini
ku hilangkan, pakaianku pun mulai berubah seiring
berjalannya waktu.
Aku kini mengikuti komunitas kepenulisan
Islami, kau tahu ajakan Deandra dulu ada benarnya juga
ia mengajakku ke klub jurnalistik dan aku mengatakan
untuk apa masuk klub jurnalistik toh jurusan kita pun
menyoal tentang itu. Tapi itu hanya alasanku agar tak
bersama Deandra, tapi penolakanku itu, membuatku
berada di tempat ini. Aku mulai sering meliput berita
atau membuat syair-syair Islami, aku pun sudah mulai
membuat sebuah buku Islam. “Karena lelaki nakal
sekalipun pasti menginginkan wanita yang baik untuk
menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak.” Entah niatku ini
salah atau benar aku hanya ingin tuhanku mengampuni
segala kesalahan yang ku perbuat, kesalahan di saat aku
acuh ketika melihat orangtuaku menangis karena
kenakalanku. Kesalahan dimana aku tak pernah
menyebut namaNya, merasakan kedekatanNya, dan
mensyukuri nikmat yang Ia berikan untukku.
***
Allahu akbar! Allahu akbar! seruan para pejuang
dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak
percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup
dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” tanyaku
pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang
kau lamunkan?” aku terhentak lalu menggeleng. Aku
masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa sesak
dalam dada. Dia, wanita itu... Sudah lama aku tak
melihatnya. Senyumnya masih seperti dulu ia melangkah
bergandengan dengan lelaki di sampingnya.
“Cie kepengen kayak gitu ya?” tanya Doni.
“Haha bisa saja, aku masih harus menyelesaikan
proposal skripsiku dulu. Kau tahu siapa dia?”
“Oh itu, namanya kak Zahra Amarilia dia Jurusan
Bahasa Arab, dia lebih tua satu tahun dari kita. Sebentar
lagi kabarnya dia akan sidang skripsi”
“Lalu lelaki di sampingnya?”
“Itu suaminya, mas Angga alumni kampus kita
juga ko, Subhanallah mereka pasangan yang cocok.
Selalu menjaga pandangannya.”
Aku tersenyum, entah apa yang kurasa. Aku tak
terlalu mengenalnya, dan mungkin inilah takdir Allah.
Zahra Amarilia, wanita yang kutemui hampir tiga tahun
lalu. Wanita yang duduk di koridor Fakultas Bahasa,
matanya terpejam, saat itu aku tak tahu apa yang ia
lakukan. Tapi aku merasa dia sedang dalam damai. Ada
suara kecil dari bibirnya, lantunan ayat Al-Qur’an. Ya,
aku baru menyadarinya saat ini.
“Kamu kenapa?” Tanya Doni. “Enggak, enggak
apa-apa.” Aku memberikan senyum tulus kepada sahabat
seperjuanganku ini, selain Iqbal. Lalu pertanyannya, apa
aku akan berubah lagi seperti dulu karena kak Zahra
menikah dengan orang lain? Jawabannya adalah tidak.
Karena cinta sejati itu suci, ia akan hadir pada hati yang
selalu menyebut asmaNya.
Selepas Lebaran
oleh Iis Titi
Selepas lebaran tahun ini, Pak Rahmat betul-
betul baru merasakan hidayah yang begitu nikmat.
Betapa ia sangat bersyukur dan menyadari bahwa Allah
masih menyayanginya dan keluarganya. Di dalam masjid
kecil ini selepas salat Duha, ia tak henti-hentinya
berdzikir, memanjatkan syukur pada Illahi. Ketenangan
dan kedamaian suasana masjid ini, membuatnya berada
dalam kondisi yang bisa merasakan tangan Tuhan
mengelus lembut dirinya. Inilah kedekatan antara hamba
dan Tuhannya. Setelah berdzikir, Pak Rahmat masih
duduk bersila di tempat salatnya. Ia menerawang langit-
langit masjid. Masjid ini meski kecil, tapi sering dipakai
untuk salat Tarawih hingga jamaah tumpah ke teras
masjid bahkan jamaah beralas tikar di halaman masjid
untuk mengikuti salat Tarawih di masjid ini. Ia masih
ingat. Ketika Ramadan kemarin, ia hanya melintas
melihat jamaah salat Tarawih di waktu bada Isya. Setiap
bada Isya memang Pak Rahmat baru pulang. Pak
Rahmat jatuh lebih dalam pikirannya, memori kemarin
membukanya untuk sejenak berpikir tentang hidayah itu
nyata datangnya dan Allah telah memberikan padanya.
Pak Rahmat masih ingat baru tiga hari ia
melaksanakan ibadah lima waktu. Memang bertahun-
tahun lalu Pak Rahmat tak pernah melakukan salat
apalagi puasa wajib. Setiap Ramadan, ia tak pernah ikut
berpuasa dan salat Tarawih. Ketika masih kecil, Pak
Rahmat selalu rajin ibadah termasuk amalan salat sunah.
Tetapi, karena kenyataan bahwa ayahnya menikah lagi
dengan ibu tirinya dan meninggalkan ibu kandungnya
menjadi masalah dalam hidupnya. Kenyataan bahwa ibu
tirinya membedakan perlakuan antara Pak Rahmat kecil
dengan anak kandungnya. Perlakuan itu membuat Pak
Rahmat sakit hati dan membuat acuh pada ayah dan ibu
tirinya bahkan mengacuhkan Tuhan. Tuhan begitu tidak
adil padanya, pikirnya. Semenjak itu ia tak pernah lagi
salat apalagi puasa wajib dan lebih fokus mencari uang.
Karena pengaruh lingkungan dan teman, Pak
Rahmat remaja -hingga sudah menikah- terbawa
meminum minuman beralkohol. Ketika di kampung-
kampung masih ada acara dangdutan, Pak Rahmat dan
kawan-kawannya sering minum alkohol dan berjoget di
panggung dangdut kampung. Minuman beralkohol itu
diminum agar tidak malu saat berjoget di atas panggung.
Karena pengaruh alkohol yang bisa membuat orang tak
sadar, Pak Rahmat pernah memarahi anak-anak muda
yang nongkrong di depan rumahnya. Karena dianggap
merusak tanaman di halaman rumahnya. Alhasil, hal itu
membuat gambaran Pak Rahmat yang tak baik di depan
tetangganya. Tak hanya meminum minuman alkohol,
Pak Rahmat juga gemar main sabung ayam dan berjudi
walaupun kecil-kecilan.
Jika ia melihat masa lalu yang baru
ditinggalkannya, ia merasa sangat malu dan menyesal.
Ramadan yang baru beberapa hari berlalu dan Lebaran
yang baru saja usai membuat ia berpikir ‘kenapa baru
sekarang ia menyadari?’. ia merasa sangat berdosa
karena tak melakukan puasa wajib Ramadan, salat wajib,
dan salat Tarawih, jauh dari Allah.
***
Cerita bagaimana Pak Rahmat ditegur dan
disadarkan oleh Allah melalui anak pertama Pak
Rahmat. Pak Rahmat yang sudah menikah dan
mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya bisa
dibilang punya ‘kelainan’ dan anak keduanya normal
bahkan lebih aktif bersosialisasi dengan teman-teman
sebayanya dibandingkan kakak pertamanya. Anak
pertama Pak Rahmat adalah seorang laki-laki, wajahnya
tampan dan badannya tinggi. Namun, setelah lulus
menempuh sekolah menengah pertama, anak pertama
Pak rahmat itu memutuskan untuk tidak meneruskan
sekolah. Alasannya adalah capek untuk berpikir.
Walaupun nilainya rata-rata bagus.
Anak pertama Pak Rahmat hanya diam di rumah
dan cenderung berdiam diri di dalam kamar. Hal ini
tidak membuat Pak Rahmat dan istrinya tak merasa aneh
dengan kelakukan anaknya. Karena memang hal itu
sering dilakukan saat masih bersekolah. Hal aneh
muncul ketika anak perrtama tersebut sudah tidak mau
lagi dipinta orang tuanya membelikan sesuatu ke warung
atau dipinta untuk membantu membereskan pekerjaan
rumah. Ia lebih suka berdiam diri dalam kamar dan
ketika ada temannya yang mengajaknya bermain, ia
memilih untuk menolaknya. Sebenarnya apa yang
dilakukan di dalam kamar, Pak Rahmat sama sekali tidak
tahu. Memang di kamarnya ada televisi, mungkin saja itu
menyebabkan anak pertamanya betah di dalam kamar.
Keluarga Pak Rahmat bisa dibilang kurang
agamis sehingga tak heran bila istri dan anak-anaknya
sama seperti Pak Rahmat, tidak beribadah. Termasuk
anak pertamanya. Di hari lebaran, seperti keluarga
lainnya, Pak Rahmat dan keluarganya memang pergi ke
tempat untuk salat Idul Fitri di tempat tinggalnya.
Memakai pakaian baru dan membawa sajadah.
Percayalah keluarga Pak Rahmat hanya setahun sekali
melaksanakan salat, salat Idul Fitri. Itupun dilakukan
karena malu kalau dicap tidak salat Idul Fitri oleh warga
sekampung.
Sehari setelah lebaran, kejadian tak disangka-
sangka terjadi. Anak pertama Pak Rahmat terbatuk-batuk
dan merasa sesak. Pak Rahmat pun sontak terkejut dan
panik. Anak pertamanya itu terus berteriak-teriak “saya
takut mati, takut mati”. Menangis dan marah dalam
waktu bersamaan. Anak pertamanya itu mengatakan
bahwa ada yang suara-suara yang ingin membawanya
pergi dan ia takut. Tetangga-tetangga pun berdatangan,
penasaran apa yang terjadi. Salah seorang tetangga
menyarankan agar memanggil seorang kiai. Pak Rahmat
pun mengikuti saran tetangga tersebut. Setelah kiai
datang dan menenangkan anak pertama Pak Rahmat.
Kiai tersebut mengatakan bahwa tidak ada makhluk apa
pun yang mengganggu anak tersebut. Namun, anak
pertama Pak rahmat itu terus mengatakan bahwa ada
‘makhluk’ yang mengganggunya dan membuat ia takut.
Setelah kejadian itu, esok harinya kejadian yang
sama terulang. Kali ini Pak Rahmat disarankan
membawa anaknya ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa
keadaan jiwa anak pertamanya setelah beberapa orang
‘pintar’ dan kiai didatangi. Mungkin karena Pak Rahmat
merasa bingung dan bersalah pada anaknya. Akhirnya, ia
mengikuti saran tersebut. Tanpa sepengetahuan anak
pertama, Pak Rahmat dan anak pertamanya serta
beberapa tetangganya pergi ke rumah sakit jiwa. Betapa
terkejutnya sang anak pertama tersebut mengetahui
bahwa bapaknya telah berbohong. Anak pertama itu
hanya mengetahui bahwa ia akan dibawa ke tempat
alternatif lain bukan rumah sakit itu. Dengan perasaan
marah, anak pertama itu turun dari mobil dan mengikuti
perintah bapaknya.
Anak pertama Pak Rahmat diperiksa seperti
orang yang benar-benar gila. Petugas rumah sakit itu
menyarankan agar disuntik, entah obat apa. Pak Rahmat
yang saat itu hanya berpikir untuk keselamatan anaknya
maka ia setuju peyuntikan itu. Anak pertama Pak
Rahmat meronta-ronta tidak mau disuntik dan menangis
meminta bapaknya agar menolongnya untuk tidak
disuntik. Hal tersebut membuat Pak Rahmat tidak kuasa
menahan tangis dan pergi keluar ruangan, membiarkan
anaknya dipaksa disuntik. Tubuh anak pertama Pak
Rahmat lemas akibat suntikan itu. Sehingga tak punya
daya lagi untuk marah. Obat pun diterima Pak Rahmat
dari rumah sakit itu dan biaya yang harus dibayar oleh
Pak Rahmat juga tidak kecil. Di sepanjang perjalanan
pulang, sudut mata Pak Rahmat tak pernah kering.
Istri Pak Rahmat marah saat mengetahui tindakan
Pak Rahmat yang membiarkan anak pertamanya seperti
pasien orang gila. Istrinya mengetahui bahwa rumah
sakit jiwa itu memang suka sewenang-wenang
menyuntikkan obat ke pasien yang baru datang tanpa
pemeriksaan lebih lanjut terlebih dahulu. Menyadari
kesalahannya yang ia buat telah merusak masa depan
anaknya. Pak Rahmat amat menyesal dan dalam keadaan
putus asa. Kakinya bergerak ke arah masjid sekitar
rumahnya. Di teras masjid itu, ia bertemu dengan
seorang lelaki berpakaian putih, bersih, dan wajahnya
bercahaya. Entah dari mana lelaki itu muncul, wajahnya
bukan warga kampung yang dikenalinya. Sepertinya
seseorang luar kampung, duga Pak Rahmat.
Dengan lembut, lelaki itu berkata, “Kejadian
yang terjadi saat ini pada Pak Rahmat adalah ujian dari
Allah Swt.”
Pak Rahmat kaget lelaki itu mengetahui
namanya. Pak Rahmat tidak menanyakan dari mana ia
mengetahui namanya kepada lelaki itu. Hanya diam dan
menunggu kelanjutan perkataannya.
Lelaki itu meneruskan perkataannya, “Tidak ada
kata terlambat untuk kembali pada-Nya. Allah sangat
menyayangi-Mu. Anak keduamu selalu mendoakan agar
kau sekeluarga mendapat hidayah. Allah mendengar
semua doa yang dipanjatkan pada-Nya. Hanya tinggal
menunggu waktu untuk Allah menjawab semua doa
hambanya. Kembalilah, kerjakan lagi ibadahmu.
Bersabar dan bersyukurlah, karena itu adalah tingkatan
iman paling tinggi. Ajaklah istri dan anak-anakmu untuk
kembali dekat dengan-Nya.”
Setiap kata yang diucapkan lelaki itu meresap
dalam hati Pak Rahmat. Pak Rahmat menunduk dalam
dan menangis. Dalam hatinya, ia begitu merasa terharu
karena meskipun ia telah melupakan Tuhan, tapi Tuhan
tak pernah melupakannya.
***
Lamunan Pak Rahmat bertempiar ketika anak
pertamanya memanggilnya.
“Pak... Pak...”
“Iya, Nak?”
“Ada kakek datang, jauh-jauh dari kampung
seberang.”
“Iya, Nak, mari kita temui kakekmu.” Pak
Rahmat berjalan ke arah anak pertamanya.
Pak Rahmat bersyukur anaknya sudah baik
kembali dan mulai bersosialisasi dengan warga sekitar.
Rasa syukur yang nikmat dirasakan Pak Rahmat kini
menjadikan ia lebih tenang dan tentunya lebih dekat
dengan Allah Swt. Dalam benaknya kini, ia harus
berbaikan dengan ayahnya.
***
Khasirin dan Rahmah oleh Windi Nugraha Fadilah / Fadil Ibnu Ahmad
Hitam. Warna itulah yang hanya bisa dilihat oleh
matanya. Semenjak sakit berbulan-bulan beberapa tahun
yang lalu, Khasirin kehilangan pandangannya. Dia tak
bisa lagi melihat indahnya pelangi, hijaunya rerumputan,
kuningnya sawah yang siap dipanen, dan pemandangan
yang semacamnya.
Brukkkk! Suara jatuh terdengar di lantai kayu.
Lelaki tu mengaduh kesakitan sambil memegangi
lututnya.
“Aduuuhhh!” erang Khasirin. Tak ada seorangpun
yang menolongnya karena lantai kayu di pelataran
masjid itu sepi, belum masuk waktu salat. Dia
memejamkan mata dan memperlihatkan giginya, dia
bangkit ditopang dengan tongkat yang selalu menjadi
teman setianya.
Kriing... Kriing.... Suara ponsel Khasirin
berdering. Dia meraba saku kanannya. Setelah
ditemukan, jempolnya meraba-raba mencari di mana
tombol untuk menerima panggilan telepon.
“Halo, siapa ini?” tanya Khasirin.
“Assalamualaikum. Kamu baik-baik aja kan, Rin?
Ini aku, Rahmah.” tanya Rahmah, wanita sebaya dengan
Khasirin.
“Waalaikumsalam. Oh Rahmah, aku baik,
kenapa?” Khasirin balas bertanya.
“Enggak, aku tadi lihat kamu jatuh. Aku khawatir,
makanya aku menghubungi kamu.”
“Kamu baik sekali, Rahmah. Maaf aku nggak bisa
membalas lebih” kata Khasirin dengan nada sedikit
sedih.
“Hmmmmmmm, Rin, boleh aku tanya sesuatu?”
nada Rahmah sedikit gerogi.
“Tanya apa, Rahmah?”
“Ka.... Kamu besok ada acara nggak?” suara
Rahmah masih terdengar terbata-bata.
“Enggak ada kayaknya, ada apa?”
“Ehmm, aku ingin ketemu kamu, bisa?” Rahmah
memberanikan diri.
“Aku nggak bisa melihat, kamu tahu kan? Aku
malu. Dan kamu pun mungkin akan malu jika bersama
denganku.”
“Ya udah kalau enggak mau, mungkin di lain
waktu kamu bisa. Semoga kamu baik-baik aja, Rin.
Assalamualaikum.” dengan nada melemah, Rahmah
menutup percakapan itu.
“Waalaikmsalam. Maafkan aku, Rahmah.” jawab
Khasirin.
Percakapan hari itu mengundang tanda tanya bagi
Khasirin. Apa alasan Rahmah ingin bertemu dengannya?
Apa ada sesuatu yang sangat penting sehingga dia
mengajak bertemu? Pikiran-pikiran itu dibuang jauh-
jauh oleh Khasirin. Lantas, dia pulang ke rumahnya
dengan lutut yang masih sakit akibat terjatuh tadi.
***
Di suatu malam, Khasirin merenung di dalam
kamarnya. Mengingat semua memori-memori ketika dia
masih bisa melihat dulu. Tubuhnya tertelungkup miring
ke arah kanan ranjang. Lama-lama air matanya tumpah,
meratapi takdirnya yang sudah tak bisa melihat lagi.
“Kenapa harus aku, Ya Allah?” rintih Khasirin di
dalam kamarnya.. Dia seakan menahan rasa sakit yang
tak tertahankan. Dia putus harapan, seolah tak ada alasan
lagi baginya untuk hidup. Tapi, Khasirin bukanlah orang
yang berpikiran pendek. Dia harus bangkit dari
keterpurukan yang dia anggap berasal dari matanya yang
sudah tak bisa melihat lagi.
***
“Permisi...” suara tukang pos setengah berteriak.
Khasirin yang masih berada di dalam kamar dengan
mata yang membengkak terbangun dari tidurnya.
“Permisi... sepada...” tukang pos masih berada di
depan pintu rumah Khasirin. Khasirin mulai bangkit, lalu
membawa tongkatnya dan berjalan sempoyongan
membuka pintu.
“Permisi, apa benar di sini alamat rumah Bapak
Khasirin?” tanya tukang pos, ramah.
“Iya benar, saya sendiri. Anda siapa? Maaf
penglihatan saya sedang terganggu.”
“Saya petugas pengantar surat, Mas. Ini ada surat
untuk Mas, mohon diterima.” Tukang pos memberikan
surat itu ke Khasirin dengan sopan.
“Kalau boleh tahu, dari siapa ya, Pak?” tanya
Khasirin.
“Kalau dilihat dari amplopnya, surat itu dari
Rahmah, Mas. Kalau begitu saya pergi dulu, masih
banyak surat yang harus diantarkan, permisi Mas.” kata
tukang pos berpamitan.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
Khasirin kaget, kenapa Rahmah mengirim surat
kepadanya? Tidak biasanya dia begitu, biasanya dia
langsung menelepon. Ini pertama kalinya Rahmah
mengirim surat kepada Khasirin. Dengan cepat, Khasirin
menghampiri tetangganya yang berjarak hanya satu
meter dari rumahnya.
“Sep, boleh minta tolong bacain surat ini, Sep.
Boleh?”
“Oh, boleh. Coba sini mana suratnya?”, kata asep
sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Nih, Sep.” Khasirin menyodorkan suratnya
kepada Asep.
Asep membaca surat itu dengan saksama. “Wah,
alhamdulillah. Surat ini bilang kalau ada orang yang mau
mendonorkan matanya buat kamu, Rin. Kamu diminta
ke rumah sakit Islam besok pagi jam delapan.” ujar
Asep.
Sontak Khasirin turun dari sofa kecil itu dan
menempatkan kepalanya di atas tanah sambil mengucap
syukur. “Alhamdulillah ya Allah. Engkau Maha Baik,
akhirnya aku bisa melihat lagi.” Seketika itu pula
melelehlah air mata Khasirin yang dibarengi oleh
kalimat-kalimat doa.
“Mau saya anterin?” Asep menawarkan.
“Iya boleh, Sep. Makasih banyak, kamu terlalu
banyak membantuku.” Kata Khasirin dengan nada masih
terisak-isak.
***
Singkat cerita, Khasirin telah menjalani operasi
mata. Dia mengucapkan terima kasih yang terhingga
kepada Rahmah karena telah mencarikan orang yang
mau mendonorkan matanya. Khasirin merasa senang
karena punya teman yang baik dan perhatian seperti
Rahmah, meskipun mereka belum pernah bertemu.
Satu bulan telah berlalu semenjak Khasirin
melakukan operasi mata. Akhirnya dia bisa pergi ke-
mana-mana tanpa hambatan dan tongkat penunuk jalan.
Dia bisa melihat indahnya taman kota, kendaraan yang
berseliweran di jalan, anak-anak yang bermain di
halaman rumahnya, juga tak ketinggalan langit biru yang
selalu menjadi atap bagi dunia.
Kriiiing... Kriiiing... “Halo, Assalamualaikum, ini
dengan siapa?” ucap Khasirin.
“Ini aku, Rahmah. Kamu enggak ada acara siang
ini? Aku mau ketemu, boleh?”
“Iya Rahmah, sangat boleh. Kalau begitu kita
janjian jam dua di taman, gimana?”
“Baiklah, sampai ketemu. Assalamualaikum.”
Rahmah menutup teleponnya.
Khasirin, tak sabar ingin bertemu dengan orang
yang selama ini begitu perhatian kepadanya.
***
Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat.
Rahmah dengan wajah putihnya yang ditutup dengan
kerudung merah marun menambah kesan anggun bagi
siapa saja yang melihatnya. Rahmah duduk di bangku
yang dinaungi sebuah pohon rindang, sehingga dirinya
terlindungi dari sinar matahari.
Khasirin pun tiba di taman. Dia kemudian duduk di
bangku yang berada di sebelah kanan Rahmah. Khasirin
duduk di samping orang yang sepertinya sedang
menikmati taman, tapi anehnya dia membawa tongkat
penuntun jalan. “Sepertinya orang ini tak bisa melihat,
seperti saya dulu.” Pikir Khasirin.
Kriiiing... Kring... “Assalamualaikum. Kamu di
mana, Rahmah?” tanya Khasirin.
“Aku duduk di bangku yang ada di bawah pohon.”
Khasirin lantas melihat ke arah kanan tubuhnya.
Ditutupnya sambungan telepon. “Kamu Rahmah?” tanya
Khasirin kepada orang yang duduk satu bangku
dengannya.
“Iya, kamu Khasirin, kan?” Rahmah bertanya
balik.
“Iya betul.”
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu juga.
Aku sangat menanti pertemuan ini, Rin.” ujar Rahmah
dengan nada sumringah.
Khasirin berpikir keras untuk mengeluarkan kata-
kata selanjutnya. Ternyata kenyataan bertemu Rahmah
tak sesuai dengan harapan. Dia merasa kecewa karena
Rahmah buta seperti dirinya dahulu. “Maaf Rahmah,
sepertinya kita hanya bisa bertemu saat ini saja.”
“Kamu kenapa, Rin? Ada yang salah denganku?”
“Tidak ada. Maaf Rahmah, aku harus pergi.” Kata
Khasirin sambil melangkah pergi.
“Kamu mau ke mana, Rin? Khasirin...?” Khasirin
meninggalkan Rahmah begitu saja.
Tetesan air mata mulai jatuh dari pelupuk mata
Rahmah. Hatinya sakit, hancur diperlakukan seperti itu
oleh Khasirin. Sapu tangan biru muda dikeluarkannya
untuk mengelap pipinya putihnya yang basah. Dengan
cepat dia meraih tongkatnya lalu pergi sambil menutupi
mulutnya.
***
“Ah, aku kira dia orang normal. Tak tahunya tak
bisa melihat sepertiku dulu.” Ujar Khasirin dengan nada
kecewa. Dia duduk di pinggir jalan dan asyik sendiri
dengan rasa kecewanya saat itu.
Terlihat seorang wanita muda tergeletak bersimbah
darah dengan posisi terlentang dengan mata terpejam.
“Rahmah!!!” kata Khasirin setengah teriak.
Dengan sigap Khasirin menggendong Rahmah
yang tak sadarkan diri tanpa mempedulikan orang-orang
sekitar. Dia melarikan Rahmah ke rumah sakit yang
arahnya tak jauh dari taman. Khasirin setengah berlari
dan memasuki gerbang rumah sakit. Ada seorang
perawat yang sigap menghampiri Khasirin, kemudian
membantunya.
“Darurat, Sus! Di mana ruang IGD? Teman saya
ini korban tabrak lari, butuh pertolongan cepat!” ujar
Khasirin dengan nada khawatir.
Suster lalu mengantar Khasirin yang sedang
menggendong Rahmah ke ruang IGD, sementara suster
yang lain segera memanggil dokter untuk melakukan
penanganan cepat. Secepat kilat Khasirin memosisikan
tubuh Rahmah di ranjang IGD. Dokter dengan timnya
sudah tiba dan meminta Khasirin untuk menunggu di
luar.
Di luar ruang IGD, ia membuka tas Rahmah,
kemudian mencari telepon genggamnya untuk
menghubungi pihak keluarga. Namun, ia justru
menemukan sepucuk surat bertuliskan “Untuk Khasirin”.
Dengan jantung berdebar, dia membacanya perlahan.
Assalamualaikum.
Untuk Khasirin,
Memang kita tak pernah berjumpa, tapi harus
kuakui bahwa aku selalu mengkhawatirkanmu. Ketika
dirimu terjatuh atau dirimu sedang kesulitan, aku segera
meneleponmu untuk memastikan bahwa dirimu baik-baik
saja. Aku merasa sudah mengenalmu, meski aku baru
mengenalmu sekitar delapan bulan yang lalu. Kamu
laki-laki yang hebat, Khasirin.
Aku mengagumimu, Khasirin. Aku suka dengan
ketabahanmu selama beberapa bulan kemarin. Aku
selalu memerhatikanmu dari jauh, karena rasa
khawatirku yang mungkin dianggap berlebihan. Aku
hanya ingin memastikan bahwa dirimu baik-baik saja.
Harus kamu tahu, Khasirin. Aku menulis surat ini
sebelum dirimu melakukan operasi mata. Kamu tahu?
Kedua bola mata yang ada padamu itu adalah bola
mataku, jika sekarang kamu membaca surat ini. Aku
memberikan kedua bola mataku kepadamu karena aku
mencintaimu. Ya, aku mencintaimu, Khasirin. Tak peduli
jika sekarang aku sudah tak bisa melihat lagi. Aku hanya
ingin dirimu bisa kembali melihat indahnya dunia.
Mungkin aku tak tahu malu dengan menulis surat
ini. Tapi pada akhirnya aku sudah lega, setidaknya
beban di dalam hatiku sudah berkurang. Pergunakan
mataku dengan baik, dan jangan sia-siakan hidupmu.
Salam,
Rahmah Mustika.
“Ya Allah, jangan Engkau cabut dulu nyawa
Rahmah, hamba mohon....” Khasirin memelas dengan air
mata yang terus mengalir. Apakah Rahmah akan selamat
dari peristiwa tabrakan? Bagaimana perasaan Khasirin
setelah mengetahui bahwa Rahmah begitu mencintainya
sehingga rela memberikan kedua matanya? Apa yang
akan dikatakan dokter setelah keluar dari ruang IGD?
Nesya Vs Rafka
Oleh: Layla Nusaibah
“Kamu ya... benar-benar sama sekali gak ada
sopan santunnya sama sekali sama kakak!” Nesya
menyerungut kesal sambil melempar bantal angry bird
kesayangannya ke arah Rafka yang sedang asyik
menjulurkan lidahnya dengan ekspresi wajah mengejek.
“Wwwekk-Wekk!”
“Sana pergi jauh-jauh deh dari hidup aku! Dasar
pengacau...” gerutu Nesya.
Begitulah jika Nesya bertemu dengan Rafka.
Selalu terlihat seperti sepasang Tom and Garry yang
tidak pernah akur. Ada saja hal yang membuat mereka
berseteru. Ya, contohnya saja seperti malam ini ketika
Nesya hendak belajar. Tiba-tiba Rafka yang usil sengaja
mengganggunya dengan tembakan air yang baru
dibelikan Ibu tadi pagi di pasar.
Nesya, si gadis imut yang sedang duduk di kelas
tiga SMP itu mungkin sangat kewalahan dengan adiknya
Rafka yang super usil. Setiap kali mereka bertemu, maka
setiap kali itu pula mereka bertengkar. Barangkali inilah
yang dikatakan orang serunya punya saudara. Hehe…
Seru?? Ya bisa dibilang seperti itu. Bukankah
perseteruan itu diciptakan sebagai pemberi warna bagi
kehidupan? Tapi jangan kelamaan yah, karena bisa
berakibat jauh dari kasih sayang Allah Swt.
***
Walaupun hari itu cuaca sangat panas, namun
tidak mengurangi semangat Nesya untuk terus berlatih
PBB di eskul PASKIBRA di sekolahnya. Nesya memang
termasuk gadis yang selalu gigih dan pantang menyerah.
Semangatnya dalam berorganisasi terlihat dari
kekonsistensiannya dalam belajar dan berkarya.
Makanya jangan heran kalau prestasinya membludak.
Selain itu, prestasi di kelasnya pun patut diacungi
sepuluh jempol.
Setelah latihannya selesai, Nesya kemudian
berjalan menuju pohon mangga yang berada di sudut
lapangan upacara. Ia berencana pulang bersama
temannya, Zaky. Tiba-tiba ingatan Nesya melayang pada
perlakuan adiknya yang seringkali membuatnya jengkel.
Ingatan itu membuatnya benar-benar merasa kesal
berkali-kali lipat. Wajahnya memerah saat ia sibuk
memutar ingatannya.
Sebesar apapun kekesalan Nesya terhadap
adiknya, tetap saja ia adalah seorang kakak. Meski
pertengkarannya masih tergolong dalam taraf wajar.
Namun terbesit keinginan untuk berdamai dengan
adiknya. Ia tidak ingin ada pertengkaran lagi dengan
adiknya yang baru menginjak sembilan tahun itu.
“Tapi.. Apa bisa?” Gumam Nesya kemudian.
Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Nesya, Zaky
datang dan mengagetkannya.
“Nes! Ngapain sih? Wajahnya merah tuh.
Melamun ya? Sore-sore begini melamun. Pamali tahu!
Apalagi melamunnya di bawah pohon mangga. Enggak
serem apa?” Celoteh Zaky sambil menenteng dua
kantong plastik putih besar sebesar tong sampah.
Perhatian Nesya tertumpah pada kantong yang dibawa
Zaky.
“Ky, itu apa?” Tanya Nesya penasaran.
“Ini seragam kita buat lomba PBB besok” Jawab
Zaky sambil memperlihatkan isi kantong yang tidak
begitu ringan.
“Kenapa dibawa? Enggak berat?” Tanya Nesya
penasaran.
“Kelihatannya?” Zaky malah berbalik bertanya.
“Oke. Sini aku bantu bawakan satu” Pinta Nesya
sambil menggait salahsatu kantong tersebut. Mereka
kemudian berjalan beriringan.
Warna jingga pada ornamen cakrawala di ufuk
barat menampilkan selaksa senja yang begitu indah.
Burung-burung terbang hilir mudik meramaikan langit
yang begitu sangat luas tiada batas. Nesya dan Zaky
takjub atas kuasa Allah yang tiada tandingannya. Mereka
pun mengucap tahmid sebanyak-banyaknya.
“Oya. Tadi kenapa kamu melamun?” Zaky
mencoba membuka pembicaraan. “Karena nunggu aku
kelamaan ya? Maaf ya. Kalau tidak karena dipanggil
kakak pelatih tadi…”
Nesya yang diajak bicara malah diam seribu
bahasa. Pikirannya kembali melayang pada adik semata
wayangnya yang berada di rumah kini. Ah, seandainya
Nesya bisa melupakan perilaku adiknya yang masih
kecil itu, mungkin persoalannya tidak akan memanjang
dan mengganggunya seperti ini.
“Nes. Nes!” Lamunan Nesya dihancurkan lagi
oleh Zaky. Ia kemudian menoleh ke arah teman
sekelasnya itu. Badannya yang semampai membuat
dirinya tidak perlu bersusah payah untuk menemukan
wajahnya yang hitam legam terbakar matahari akibat
latihan PBB di siang bolong tadi. Matanya yang bulat
teduh dengan alisnya yang hitam serupa ulat bulu
menggambarkan keteguhan hatinya. Kemudian terlintas
dalam benak Nesya untuk bercerita pada Zaky tentang
adiknya.
“Ky, kamu punya adik?” Tanya Nesya.
“Ya punya. Ada apa?” Jawab Zaky. Tanpa basa-
basi, Nesya langsung memulai bercerita tentang ia dan
adiknya.
“Jadi, menurut kamu bagaimana? Aku harus
bagaimana?” Tanya Nesya penasaran.
“Nes, kamu tahu enggak kalau setiap manusia itu
terlahir sebagai seorang pemimpin?” tanya Zaky.
“Ya tahu. Aku pernah denger itu dari tayangan
pildacil dulu” jawab Nesya sambil cengar-cengir.
“Nah, itu kamu tahu”
“Oke. Terus hubungannya sama masalah aku?”
Tanya Nesya yang jidatnya mulai membentuk kerutan.
“Sebelum kamu marah dengan tingkah Rafka
yang membuatmu jengkel, sebaiknya kamu memarahi
diri kamu sendiri. Apakah kamu sudah berlaku layaknya
seorang kakak bagi Rafka?” Penjelasan Zaky yang
panjang lebar semakin mempertebal kerutan di jidat
Nesya.
“Maksudnya begini, semua manusia yang terlahir
di muka bumi secara otomatis telah menjadi seorang
pemimpin. Bisa pemimpin bagi negerinya, pemimpin
bagi keluarganya, dan yang pasti pemimpin bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, minimalnya kamu harus
mampu memimpin emosi diri kamu terhadap adikmu
yang berlaku menjengkelkan bagimu. Dengan begitu,
kamu akan paham bagaimana kamu harus bersikap pada
adikmu. Sebagai seorang kakak kita patut menjadi
contoh dan teladan yang baik untuk adik kita. Mulailah
segala sesuatu hal dengan memahami diri kamu sendiri,
maka kamu akan dapat memahami orang lain dan
mulailah kamu memimpin diri kamu sendiri sebelum
memimpin orang lain termasuk adik kamu.” Tutur Zaky
panjang lebar. Nesya yang mendengarkan hanya
manggut-manggut mengiyakan. Kini Ia sadar. Sebagai
seorang kakak, Ia gagal untuk menjadi panutan bagi
adiknya.
“Oya, satu lagi semuanya harus dilakukan
dengan hati maka Allah akan bersamamu.” Kata Zaky
menutup pidato sorenya. Hati Nesya semakin mantap
dan ingin segera sampai ke rumah untuk bertemu adik
semata wayangnya itu. Dalam hatinya kini Ia berjanji
untuk selalu menjadi pemimpin yan terbaik bagi adiknya
dan tidak akan marah saat adiknya bertindak usil lagi.
Matahari semakin tenggelam. Warna jingga
keemasan yang tadi sempat menggantung di langit,
sudah hilang entah kemana. Malam semakin nyata dan
temaram. Zaky dan Nesya segera mempercepat langkah
agar segera tiba di rumah mereka masing-masing.
***
Yang hilang dalam hujan
Oleh: Mendayu Amarta Fitri
Matanya tertuju pada langit di atas sana,
mata yang berbinar memancarkan keindahan. Lalu
sesekali gadis itu menutup mata nya pertanda
bahwa apa yang terjadi disana, membuatnya
terkagum dan menikmatinya. Ia berdiri ditengah
keramaian. Tak peduli dengan puluhan tatapan
mata yang ada di sekitarnya. Mata-mata itu
menyelidik. Ada hal yang aneh tentangku dalam
pikiran mereka. Gadis itu terus saja berdiri tegak,
menengadahkan wajah eloknya ke langit, berputar-
putar dan sesekali ia berteriak, teriakan yang
menggambarkan perasaan entah perasaan apa itu.
Perasaan yang tak dapat dirasakan oleh orang
normal di sekitarnya.
Waktu labih cepat berlalu. Sangat cepat.
hingga apa yang ditunggu tetapi sebenarnya tak di
harapkan itu tiba. Tepat di hadapannya bus yang
setiap hari mengantarkan tubuh basah kuyupnya
untuk kembali ke dunia nyata nya. Dan untuk ke
sekian kalinya bus itu membawa kesialan baginya,
air yang tergenang menyiprat dan membasahi
bajunya ketika bus itu melintas.
“Aish…”Mengusap seragamnya yang
setengah basah, dan di pastikan bahwa usapan
tangannya itu hanyalah perbuatan yang sia-sia
karena tetap saja seragam yang ia kenakan telah
kotor. Gadis itu pun segera lari menuju bus dan
masuk. Selalu seperti itu, tatapan orang di
sekitarnya selalu tak terelakkan, baju seragam
putih abu yang agak berubah mejadi putih coklat,
kaos kaki sebetis yang telah banyak terkena lumpur
hasil cipratan air hujan yang bercampur tanah, serta
rambut panjang yang terikat dan tidak lagi
mencerminkan keelokan dari rambut itu, yang
paling kontras adalah wajah putihnya, wajah itu
semakin terlihat putih saat keadaan dingin
menyelimutinya, bibirnya membiru seakan
kehabisan darah dan tentu saja tatapan-tatapan
orang asing selalu tertuju pada tubuh itu, mungkin
mereka ingin sekali mendekap tubuh itu untuk
sedikit saja memberikan rasa hangat atau mungkin
saja tatapan itu adalah tatapan orang yang ingin
sekali mengusir tubuh yang basah itu agar tidak
mengotori bagian dari bus.
Jam sudah menunjukan pukul 3 sore tepat,
setiap hari itu adalah waktunya dia kembali ke
dunia nyatanya dirumah, kehidupan yang tak
pernah memberikan arti padanya, bahkan untuk
sekedar tersenyum atau bahkan mengeluarkan satu
patah kata dari mulutnya yang mungil itu ia enggan
***
Bel pertanda berakhirnya kegiatan di
sekolah telah berbunyi, meneriakkan kebahagiaan
yang tersirat jelas di wajah hampir semua siswa
lewat senyum kemenangan mereka, tetapi tidak
begitu halnya dengan Okty. Gadis yang di
anugerahi dengan paras wajah yang cantik,
hidungnya mancung dengan mata bulat dan bibir
merahnya merupakan perpaduan yang cantik,
tubuhnya mungil dengan kulit yang putih serta
mulus, rambutnya hitam panjang dan selalu terikat
ke belakang dengan tambahan poni yang
menambah kesan imut padanya sungguh anugerah
yang sangat indah. Tapi satu hal yang sangat di
sayangkan, gadis itu tidak pernah menerima satu
orang pun untuk menjadi temannya bahkan untuk
dapat berkenalan sangat susah. Ia melangkah
gontai, menapaki ruang kelas yang baginya seakan
neraka dan tidak berbeda dengan tempat-tempat
lainnya di dunia ini. ia terusuri koridor-koridor
sekolah hingga tibalah ia di tepi jalan.
“Bulan ini adalah musim hujan, mungkin
kini saatnya aku mendapatkan kebahagiaan”
gumamnya dalam hati sambil duduk sendiri di sisi
sebuah bangku tua yang menjadi tempat untuk
orang-orang menunggu bus nya datang. Gadis itu
lebih memilih duduk sendiri. Beralaskan tanah
yang penuh dengan rumput mungkin itu
dirasakannya lebih nyaman. Menatap langit di
seling melihat jam yang melekat di tangannya. Ia
menunggu sesuatu. Sebuah keajaiban yang
berasaldari langit yang mendung. Sebentar lagi, ia
akan datang.
Dan benarlah, sesuatu yang menurutnya
adalah keajaiban itu telah datang, hujan turun tiba-
tiba dengan derasny. Ketika orang lain berlarian
mencari tempat yang aman dari hantaman ribuan
tetesan air di atasnya, gadis itu malah riang seperti
kesetanan ia kemudian berlari ke tengah dimana
tidak ada lagi penghalang antara dirinya dan hujan.
Ia berdiri tegak, menyunggingkan senyum
manisnya. Senyum yang tidak pernah ia
perlihatkan kepada siapapun di dunia ini kecuali
pada sang hujan. Tangan mungilnya ia
tengadahkan ke atas, ia sangat bahagia menyambut
datangnya air dari langit itu, langit yang selalu
memberinya kebahagiaan. Tatapan aneh dari
puluhan mata itu ia dapatkan kembali, teriakan
untuk berteduh dan dorongan untuk bertepi dan
menghindar dari kerumunan air pun selalu ia
dapatkan.
“Kalian terlalu mencampuri hidupku ! Aku
adalah pemilik hujan ini…!” Teriak gadis itu
sambil menari-nari ditengah beribu-ribu rintikan
air di tubuhnya. Begitu riangnya ia menikmati
hujan hingga tak terasa bus yang akan
mengantarkan nya kembali ke rumah telah tiba, ia
berlari menuju pintu bus itu kemudian masuk.
Lagi, tatapan itu menghatamnya. Gadis itu tidak
pernah sekalipun menghiraukannnya. Di dalam
bus sering sekali ada tempat duduk yang kosong,
tetapi gadis itu tidak pernah sekalipun duduk
disana. Ia hanya berdiri dekat pintu dengan sebelah
tangannya menggantung di pegangan bus untuk
menahan beban tubuhnya. Seorang lelaki yang
sedang duduk tepat di pojok kanan bus tersebut
mengalihkan perhatian gadis itu, sosoknya tidak
asing baginya, sangat tidak asing hingga saat
matanya menuju lekuk wajah lelaki itu jantungnya
terasa berdegup kencang, ia bingung entah apa
yang ia rasakan. Bukan bahagia seperti saat ia
merasakan hujan, bukan pula kekesalan seperti saat
ia menjalani hidupnya di sekoah. Hatinya agak
tenang, tak karuan dan kebingunganlah yang
menyelimut hatinya saat ini
***
Hari baru tiba, aroma pagi yang menyengat
wangi nan berseri ditambah cuaca hari itu yang
sangat cerah membuat siapa saja yang bangun
tergugah hatinya untuk tersenyum menikmati
indahnya alam, namun lagi-lagi keadaan ini
berbeda untuk Okty, ia berjalan menggunakan
jaket tebal serta masker yang ia kenakan di
mulutnya menjelaskan bahwa si pemilik tubuh itu
sedang merasakan hal yang tidak enak.
“Bruuuuk…” tubuh gadis itu terbentur oleh
sesuatu dari arah belakang, Okty hanya pasrah
baginya tidak ada gunanya mempermasalahkan hal
seperti itu. Tidak ada perlawanan, di benarkan nya
seragam yang ia kenakan kemudian ia berjalan
kembali tanpa memperdulikan apa yang terjadi
barusan. Dan tiba-tiba suara seorang lelaki
membuyarkan lamunan nya.
“Ma.. Maaf” sambil setengah berteriak
lelaki itu memanggil yang si pemilik nama namun
Okty tidak menjawab permintaan maaf barusan.
“Maafkan aku Okty” kata si lelaki untuk
yang kedua kalinya.
“hmm..” Sambil menunduk Okty hanya
mendesah
”Hey.. Kau kenapa? Bisakah kau melihat
wajah orang yang sedang megajakmu berbicara
ini?”
“Kau siapa?”
“Kau tidak mengenaliku?”
“Tidak”
“Kita sudah satu kelas selama 2 tahun ini,
kau Okty? Okty Rainy gadis pemurung yang selalu
sendiri? Gadis cantik yang tidak punya teman?
Dan orang bilang gadis gila yang cinta akan
hujan”
“Oh begitu, andai aku tahu siapa engkau
tapi sayangnya tidak”
“Hey..” Teriak lelaki itu. Okty hanya
berlalu dan tak menghiraukan nya.
Begitulah Okty, dia adalah sosok gadis
yang tidak suka bersosialisasi, dia benci keramaian,
entah sejak kapan ia menjadi sosok gadis seperti itu
tak ada satu orang pun yang tahu.
Jam menunjukan pukul 3 siang, pertanda
waktunya untuk pulang sekolah. Hari ini berbeda
dengan hari-hari sebelumnya, hari ini panas
matahari tampaknya enggan untuk bersembunyi. Ia
malah ingin menampakan keangkuhan dari
sinarnya. Gadis itu tidak suka hari seperti ini, ia
lalu memakai payungnya saat berjalan menuju
halte bus. Saat yang di tunggu nya tidak muncul,
hari ini tidak hujan malah sangat cerah dan panas
membuat semua orang yang menunggu bus gerah,
dan tidak jarang berteduh untuk sekedar
melindungi kulit mereka dari sengatan matahari
dan tak terkecuali lelaki itu. Ya, lelaki itu yang
membuat hati Okty tak karuan dan sekarang
perasaan itu muncul kembali pada diri Okty, ia
melihat kembali sosok itu dan tak tahu apa yang
mesti dia lakukan dengan hatinya yang tiba-tiba
terasa sakit.
“Oh tuhan.. Apa ini? Dia siapa?” Gumam
Okty dalam hati sambil memperhatikan sosok
lelaki itu dibalik payung nya. Namun, sekejap saat
Okty menaiki bus yang baru saja datang sosok itu
kembali menghilang
***
Hari ini Okty sangat bahagia, ya.. Hujan
turun di pagi hari tanpa payung ataupun jas hujan
Okty berjalan menyusuri menyusuri jalanan kota ia
amat menikmati datangnya kiriman hujan dari
langit itu. Saat bus yang ia tunggu telah tiba pun ia
mengurungkan niatnya untuk naik. Pikirnya “Aku
ingin menikmati kebahagiaan ini sampai selesai”
lalu kembali berjalan, dan entah kemana tujuan nya
ia hanya terus berjalan menikmati hujan turun.
Senyumnya menghias lagi di wajahnya, tubuhnya
meloncat-loncat kegirangan, sambil memutar dan
hampir setiap mata yang melihat gadis itu
menampakan wajah herannya, tapi Okty sudah
terbiasa dengan tatapan seperti itu ia tak
menghiraukan tatapan-tatapan aneh tersebut ia
hanya terus saja menikmati sang hujan.
“Hujan ini milikku….!” Teriak gadis itu
“Milikku juga….” Teriak seorang lelaki
menimpali, lelaki itu berdiri tegak di belakang
tubuh basah Okty dan membawa payung di
tangannya.
“Kau siapa?” Teriak Okty kepada lelaki itu
sambil membalikan badannya, dan betapa
terkejutnya dia melihat sosok yang sekarang
sedang berdiri di hadapan nya itu, sosok yang
selama ini membuat hatinya terasa sakit.
Dengan senyuman manis dan sedikit
berteriak lelaki itu menjawab “Aku pemilik hujan
ini” namun Okty diam, tertegun seakan beku entah
karena dingin air hujan yang membuatnya beku
atau karena hatinya kini sedang beku. Kemudian
dengan tergesa Okty berlari menjauh dari sosok
lelaki itu, menghindar dari perasaan hati yang
selama ini menyiksanya ketika ia melihat wajah
lelaki itu. Namun usaha Okty untuk menghindar
sia-sia tangannya dipegang erat oleh lelaki itu,
dengan sekejap kemudian tubuh mereka menyatu
dalam hujan, menyatu dalam dekapan kehangatan
yang membuat keduanya terdiam; entah apa yang
sekarang ada di pikiran Okty, ia hanya pasrah
terdiam bahkan mulai merasakan kenyamanan
dekapan itu. Cukup lama mereka terdiam dalam
keadaan seperti itu menyatu bersama hujan dan
dinginnya air yang mengguyur keduanya hingga
tiba-tiba Okty tersadar dan melepaskan dekapan
itu mereka masih membisu.
“Reyhan..” terucap satu nama dari mulut
Okty, namun pemilik nama itu sudah menghilang.
Okty hanya termenung, terduduk di aspal itu
sendiri
***
“Aku lelaaaaah” Okty berteriak
sekencangnya di antara padang rerumputan yang di
pastikan bahwa padang tersebut jarang sekali
terjamah manusia.
“Setiap hari aku seperti ini, menunggu
hujan menanti datangnya keajaiban yang dapat
membawa sosok dirimu ke hadapanku.. Walaupun
aku tahu itu semua hanya akan terjadi di alam
mimpiku. Aku lelah !! Dimanakah engkau?”
“Aku disini” ucap sesosok lelaki itu, lelaki
yang selama ini selalu Okty tunggu dan sekarang ia
berada tepat di samping tubuhnya. Dengan segera
Okty mencoba memeluk tubuh itu, mencoba
merasakan hal selama ini biasanya hanya terjadi di
alam mimpinya. Namun sayang usaha itu tidak
berhasil.
“Maafkan aku, kau tidak akan bisa
menyentuh tubuh ini” ucap lelaki itu
“Kenapa?” Parau ucap Okty
“Sekarang tidak ada hujan, aku adalah
bagian dari hujan, aku ini hanya bayangan
maafkan aku”
“Apa yang kau katakan?”
“Cobalah lupakan aku, hadirku hanya akan
membuat harimu sedih. Lupakanlah masa lalu mu
itu”
“Kau pergi setelah memberikan luka
padaku, bagaimana mungkin aku bisa
melupakanmu? Lihatlah sekarang aku hidup
bersama dengan air mata ini”
“Cukup Okty.. Ikutlah” ucap lelaki itu
sambil berlalu menjauh dari tubuh gadis itu dan
berjalan semakin menjauh. Okty pun mengikuti
sosok itu dengan langkah gontai nya, dan tibalah
mereka berdua di suatu tempat yang indah.
“Inilah duniaku” ucap lelaki itu kemudian
pergi berlalu meninggalkan Okty semakin jauh dan
menghilang.
Okty semakin bingung, ia mendapatkan
secarik kertas yang tergeletak di tanah kemudian
membacanya
“Ini aku yang sedang menunggu.. Tidak,
tidak apa-apa. Maafkan aku karena perlahan
mendorongmu menjauh. Aku tidak cukup kuat
sehingga aku tidak bisa membiarkanmu pergi, aku
tahu itu keserakahan ku yang bodoh. Tapi aku
menghapus air mataku dan menelan perkataanku,
aku tak bisa melihat diriku lagi. Sebaiknya kau
pergi meninggalkanku.. Aku sendirian, apa yang
harus aku lakukan? Di antara kita berdua, akulah
satu-satunya orang yang tidak bisa hidup
tanpamu.. Oktyrainy”
Secarik kertas itu menjelaskan semuanya,
menjelaskan bahwa Reyhan yang sekarang adalah
bayangan. Bayangan dari masa lalu yang sangat
sulit untuk gadis itu lupakan. Gadis itu termenung,
membaca apa yang tertulis di sebuah batu itu
adalah nama kekasihnya dulu Reyhan Aditya.
Dengan berlinang air mata Okty terduduk dan
memeluk batu itu dengan perasaan hati yang tak
bisa di gambarkan lewat kata
“Meskipun kita jauh satu sama lain, kita
masih menatap langit yang sama. Dan suatu hari
nanti kita akan bersama-sama di suatu tempat”
Si Jenius Kerja Keras
Oleh: Asep Syahbudi
Kemalasan adalah temanku saat ini. Sepertinya
aku harus segera menjauh darinya. Gara-gara dia, IP ku
saat ini sangat kecil. Tapi bagaimana caranya? Entahlah.
Sebaiknya aku berangkat kuliah lebih pagi. Barangkali
mungkin saja bertemu dengan hidayah.
Belum ada yang hadir selain Ibro dikampus.
Julukannya “Si jenius kerja keras”. Tak pernah kulihat
dia datang terlambat. Sulit mendahuluinya tiba di
kampus. Membuka kantin kejujuranlah rutinitasnya.
Gorengan, martabak, dan produk makanan lainnya dia
gelar. Jika laku dia dapat uang. Jika ada yang tidak bayar
berarti dia bersedekah. Jika bersisa dia bisa kenyang.
Dan yang paling menguntungkan kuliah tidak terganggu
karena tidak perlu berjaga. Menarik, aku pun mencoba
menirunya dengan berjualan donat.
Kuliahnya tidak terganggu terbukti dengan
prestasi akademiknya yang sangat baik. IP yang bagus,
ya diatas rata-rata kelas. Menurutku, belajar dengannya
lebih menyenangkan dibandingkan dengan dosen.
Yang membuatku selalu kagum kepadanya
adalah sikapnya yang bersungguh-sungguh dalam
mencapai tujuan. Kerja kerasnya dapat kulihat dalam
kegiatannya sehari-hari. Mungkin bukan aku saja yang
merasakan hal tersebut.
Ibro menghampiriku dan berkata
“Assalamualaikum. Bud. Tolong download-kan ceramah
Aa Gym dong. Sekalian kamu sedang internetankan?”
Tangan kasar pun mengahampiri. “Walaikumsalam.
kebetulan saya sudah ada. Dapat meng-copy dari teman.”
Ibro pun memberikan flashdisk-nya.
“Rajin amat si Bro, kajian di DT masih kurang?”
tanyaku penasaran. “Iya Bud, aku merasa sangat kurang,
semakin sering megikuti kajian semakin merasa bahwa
aku ini sangat bodoh. Aku ingin cepat-cepat lebih
mengerti Islam.” Jawab Ibro dengan tenang.
Aku bertanya kembali. “Kenapa terburu-buru
Bro? Waktu kita kan masih panjang.” Sambil tersenyum
Ibro pun memberi pertanyaan kepadaku. “Bud, apa
Kamu tahu berapa lama bus berhenti sementara saat di
halte?”
”Entahlah. Barangkali tergantung kebutuhan
penumpang.” Jawabku singkat. “Itulah perbandingan
dunia dan akherat. Maka dari itu aku harus bersungguh-
sungguh memanfaatkan waktuku yang sangat singkat
ini.” .
Mungkin ini adalah alasan Ibro terus bekerja
keras. Sering aku menyesal kenapa waktu SD selalu
bolos pergi ke madrasah. Wah, tidak salah aku berangkat
pagi. Mulai detik ini aku harus lebih baik dari
sebelumnya, aku tak mau ketika dewasa menyesal
seperti ini. Aku jadi ingat pepatah Arab “Man jaddda wa
jadda” Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka
akan tercapai.
Pertemuan Sesaat
oleh Elsa Nur Vriatnika
Waktu beranjak gelap. Aku membawa diriku yang
setengah lelah melangkah menyusuri bumi yang beku dan
sunyi. Aku melangkah lagi. Terus melangkah. Bersama
segenap harapan yang selalu kugenggam, sama seperti di hari-
hari sebelumnya. Tujuanku adalah ke sebuah tempat yang
sunyi dan tenang, di mana aku bisa bertemu seseorang yang
belakangan ini telah menjadi teman dekatku—teman
curhatku.
Pertemuan pertama kami berlangsung ketika aku
sedang berurai air mata lantaran pertengkaran kedua
orangtuaku. Tanpa mempertanyakan sebab, dia muncul.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia meminjamkan sapu
tangan untukku. Menungguiku menangis, sampai air mataku
benar-benar berhenti. Entah kenapa, sejak itu, rasanya selalu
ada alasan bagiku untuk menemuinya. Selalu ada alasan bagi
pertemuan kecil kami. Tanpa kehadiran orang lain selain
kami. Di tempat yang sama, dan di waktu yang sama.
***
Di sebuah taman kecil samping Rumah Sakit Cigugur,
pukul tujuh malam.
“Kak Dika!” panggilku dengan nada kekanakan.
Aku tersenyum ketika pemuda setinggi seratus tujuh
puluh tiga sentimeter dan berambut cokelat tua itu menoleh ke
arahku.Seorang pemuda yang tampan. Dengan kulit putih dan
wajah khas orang Asia dan permata biru yang mengisi rongga
matanya. Tampak bukan seperti warga asli negara Indonesia,
kan? Dia selalu di sana, memakai celana panjang putih strip
biru tua berbahan katun dengan jaket coklat yang tampak
hangat.
“Kakak menungguku ya?” tanyaku antusias.
“Aku memang selalu ada di sini,” jawabnya datar.
“Eh, i-iya juga sih.” Aku tertawa sambil menggaruk-
garuk kepala saking malunya. Tapi sayang sekali, keceriaanku
itu tak mengundang tawa dari pemuda berpenampilan Asia
itu. Dia malah kembali memutar kepala dan mengabaikan
keberadaan diriku.
“Hei, Kak! Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Hmmm.”
“Kenapa kakak suka menatap langit di tempat ini?”
“Lebih luas.”
“Eh?”
“Langit tampak lebih luas dari sini.”
“Ohh, begitu ya.” Aku mengangguk-angguk. “Lalu
kenapa kakak kemari hanya di malam hari?”
“Aku benci keramaian.” Sebuah jawaban singkat
yang terdengar aneh namun mampu mengunci semua suara.
Sekian detik berlalu dalam keheningan. Kami berdua
menatap langit. Di tempat berwarna hitam yang jauhnya
bermilyar-milyar kilo dari bumi itu. Ratusan bintang berlomba
untuk memancarkan sinar paling terang. Sementara bulan
sabit menggantung di antara mereka. Langit malam ini tidak
berubah dari hari-hari sebelumnya.
“Bagaimana latihanmu?” tanya Dika yang
memecahkan keheningan.
“Wah, tumben sekali kakak bertanya padaku!” aku
kaget.
“Jawab saja!”
“Latihankuu...” aku menghirup oksigen seperti orang
gugup saja. “Tebak! Tadi saat latihan aku terpilih untuk
memerankan Bawang Putih lhoo!”
Seperti biasa, pemuda bermata safir itu tidak
tersenyum, tertawa atau memberikan tepukan selamat
untukku. Wajahnya selalu sepi tanpa ekspresi. Benar-benar
pemuda misterius.
“Syukurlah kalau begitu,” ujarnya datar.
Apaan itu? Ekspresi yang mengesalkan. “Kakak gak
suka ya?” tanyaku cemberut.
“Tidak kok, aku suka. Selamat ya!” katanya dengan
intonasi yang tetap datar.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah cool-nya yang
menggemaskan. Berteman dengannya benar-benar tidak
buruk.
***
Bawang Putih. Dongeng seorang gadis cantik yang
hidup bersama ibu tiri dan kakak tirinya. Ia yang seharusnya
menjadi tuan rumah malah diperlakukan menjadi pembantu.
Dan aku mendapatkan peran itu. Sebuah posisi yang diincar
oleh teman-temanku. Memerankan Cinderella yang terluka,
berarti aku harus menghayatinya. Menjadi seorang gadis yang
tidak meraih kebebasan.
Pelatihku terus mengomel memberi saran dan kritik.
Namun aku tidak mendapatkan keanggunan yang ia tuntut.
Berkali-kali kucoba, aktingku tetap hampa.
“Aku menginginkan pergolakan batin dalam diri si
tokoh. Bukan kebingungan. Kau harus dewasa! Kedewasaan
yang kau tunjukkan akan membuat peran ini sempurna.
Rasakanlah hal itu baik-baik! Pertunjukkan ini bergantung
padamu!” kata pelatihku.
“Terima kasih atas nasihatnya, kak Mira. Aku pulang
dulu.”
***
Di tempat yang sama, di waktu yang sama, di
hadapan orang yang sama, aku tidak bisa menahan kesedihan
yang aku pendam.
“Aku tidak bisa, kak! Aku sudah berusaha
semampuku, ta-tapi aku tetap tidak bisa mencapai kedewasaan
yang dimaksud kak Mira, hiks...” Suasana hening. Hanya isak
kecil yang terdengar.
“Aku takut peranku tidak akan sempurna. Aku takut
pelatihku kecewa. Apa yang harus aku lakukan?” Angin
malam berhembus perlahan dan menggoyangkan rumput di
permukaan tanah. Tiba-tiba,
“Kau terlalu mengejar kesempurnaan,” kata kak Dika
yang berhasil menghentikan isakan tangisku.
Sepasang mata hitamku yang memerah menatap tak
mengerti pada permata safir yang menyorot datar. “A-
apa maksud kakak?”
“Jadilah dirimu sendiri! Dewasa adalah mampu
melepaskan diri dari beban yang menimpamu.” Angin malam
berhembus samar. Menyibak rambut hitam dan coklat
bersamaan.
“Jangan menukar kebebasan dengan apapaun,
termasuk kesempurnaan. Itu hanya akan menambah
bebanmu.”
Aku terperangah mendengar jawabannya. Tak pernah
kupikir bahwa kalimat bernada monoton yang diucapkan
pemuda tanpa ekspresi itu mampu memberikan jawaban atas
keputusasaanku.
“Dik,” panggilnya kali ini dengan nada lembut.
Kepalaku yang tertunduk kembali terangkat.
Sepasang mata kami saling bertatapan.
“Lain kali jangan panggil aku dengan sebutan
‘kakak’!”
“Eh, ke-kenapa?”
“Panggil aku ‘Dika’ saja! Kamu mengerti?”
Aku mengangguk pelan sambil memancarkan wajah
penuh kepolosan, namun diam-diam ada gejolak perasaan
yang aneh di dalam diriku. Pertama kalinya, aku melihat
tatapan pemuda itu menyorotkan sebersit kelembutan.
***
Keesokan harinya adalah tanggal main pentasku.
Awalnya aku gugup. Namun karena kalimat yang dilontarkan
kak Dika kemarin, aku menjadi siap. Aku telah bangkit di
tengah persiapan pertunjukan. Setelah pertunjukkan selesai,
penonton memberikan tepuk tangan meriah.
“Selamat! Kamu berhasil! Peranmu tadi itu
sempurna!” puji kak Mira.
Aku tersenyum gembira. Tak kusangka, aku mampu.
Tiba-tiba ada satu hal yang terlintas di benakku. Aku
ingin menemui seseorang. Seseorang yang telah membantuku
disaat kritis. Tak pernah sebelumnya aku merasakan
keinginan untuk bertemu seseorang dengan begitu kuatnya.
Aku ingin berterima kasih.
***
Di tempat yang sama dan di waktu yang sama. Aku
kaget karena orang yang sama tidak kutemukan di sana.
Kemana dia?
Tiba-tiba, seorang pemuda berwajah Asia
mendatangiku.
“Kau Hana kan?” tanya pemuda bermata hazel itu.
“Y-ya,” jawabku ragu. “Anda siapa?”
“Perkenalkan, namaku Junno. Aku dokter pribadi
yang menangani Dika Ardiana.”
“Dokter pribadi?” tersentakku.
“Eh, kau tidak tahu kalau Dika dirawat di Rumah
Sakit?” dokter bernama Junno itu kaget.
“Memangnya Kak Dika sakit apa?”
“Penyakitnya aneh dan langka. Kulitnya akan
bereaksi terbakar bila terkena sinar matahari. Jadi ia hanya
bisa keluar malam hari saja.”
“Eh, benarkah?”
“Ya. Dan, kau tahu? Semenjak dia mengenalmu, dia
jadi berubah. Dia jadi sering bicara dan tidak bersikap cuek
terhadapku. Walaupun beberapa perkataannya masih tajam.
Dan yang membuatku senang, kehadiranmu membangkitkan
semangatnya untuk sembuh.”
“Oh, syukurlah.”
“Tapi...” tiba-tiba raut wajah dokter itu menjadi
murung. “Kau tidak akan bertemu dengannya lagi.”
“Kenapa?” tanyaku heran. Tentu saja muncul
perasaan tidak enak dalam hatiku ini.
Dokter itu menatap dengan tatapan sendu. Seolah
berat untuk mengatakan sesuatu. “Sebab, tadi sore... Dika
telah meninggal dunia.”
Aku terbelalak kaget. Terasa sesuatu dari dalam diriku
bergejolak, meledak, dan mengamuk. Air mataku kini keluar
lagi. Aku terisak. Tangisanku pun tumpah.
***
Sore hari, Aku dan dokter Junno mengunjungi
pemakaman umum. Kami berdiri di depan makam yang masih
baru bertuliskan ‘Dika Ardiana’. Kami mendoakan semoga
arwah Dika diterima di sisi Allah Swt.
Sesak di hatiku masih membekas. Sebutir bulir bening
kembali menetes.
“Jangan salah sangka! Air mata ini bukan karena aku
menyesali kepergianmu. Melainkan bukti bahwa aku sangat
bahagia karena bisa mengenalmu. Aku memang sangat sedih
kalau pertemuan kita sangat singkat. Namun lebih dari itu,
aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Sekarang kakak
telah mendapatkan kebebasan di sana. Tak perlu lagi
terkurung di dalam kamar di siang hari dan keluar di malam
hari. Kuharap, suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi.”
Aku menoleh ke arah dokter Junno yang masih
tampak muda itu. “Dokter, bolehkah dokter menceritakan
segalanya tentang kak Dika?” pintaku dengan lemah lembut.
Sebuah Perjalanan
oleh Nenden Maesaroh
Setiap kali membuka mata di pagi hari ingin
sekali rasanya setiap hari ku temui hal yg sama, dinding
kamar bercat biru dengan tempelan kertas lipat yg
berwarna-warni memenuhi setiap sisi ruangan. Beberapa
tempelan gambar anime yg sempat menjadi favoritku
dulu. Kulihat kedamaian dari sisi dinding dgn tmpelan
gambar tokoh inuyasha dan kagome yg tengah duduk
berdua di atas dahan pohon bunga sakura yg disibak
angin hingga berguguran bunga cantik itu.
Aku berhenti menatap ruangan yg selama 18
tahun ku tempati. Tempatku melepas lelah, tangisan ,
dan luapan bahagia. Ruangan kecil yang ku sebut 'privat
blue' ini tau lebih banyak hal tentangku, melihat lebih
banyak hal tentangku daripada mereka di luar sana.
Mendengar lebih banyak cerita tentangku yang
kusampaikan lewat nyanyian atau tangisan. Kulirik satu
sisi dinding ruangan yang dulu sengaja kubuatkan alas
untukku bisa menulis.
Di dinding itu kini dapat kulihat tulisan-tulisanku
dulu. Ada deretan nama sahabat-sahabat, kata-kata
motivasi yangg kuharap dapat kuserap energinya setiap
kali aku melihatnya. Ada beberapa tanggal penting yang
kutulis dengan sedikit clue peristiwa penting yang
terjadi, dan yang paling akan ku kenang adalah deretan
kegiatan tes yang pernah ku ikuti demi terwujudnya
mimpi yg terlanjur ku rajut saat itu. Ya, kuliah.
Ketika aku kembali melihat deretan tes itu aku
tersenyum. Aku berkata pada diriku sendiri, “Lihatlah
betapa dulu perjuangan kita tidak sia-sia. Tes-tes itu
mungkin gagal membawa kita pada UNPAD ataupun
UNSOED. Tapi, deretan tes yg gagal itu berhasil
mengantarkan kita pada jalur bernama SBMPTN, yg kini
menempatkan kita di Bumi Siliwangi.