bab ii profil hasan al-banna - abstrak.uns.ac.id · hasan al-banna dimulai dari sekolah tingkat...

60
20 BAB II PROFIL HASAN AL-BANNA Pembaharuan dalam Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari pengaruh dunia lainnya, terutama Barat. Hal ini ditandai dengan krisisnya kepemimpinan di dunia Islam bersamaan dengan melemahnya institusi Khilafah Islamiyyah Turki Utsmani pada tahun 1920-an. Sementara di sisi lain, kemajuan yang terjadi di Barat kemudian selanjutnya membawa pengaruh atas dunia Islam dengan adanya fenomena rasionalisme, nasionalisme, liberalisasi-modernisasi budaya, westernisasi-sekulerisasi institusi termasuk institusi agama dan paham- paham lainnya. Sebagaimana di Barat, pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam juga timbul dengan perkembangan baru yang ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan modernisasi (Rusli, 2014: 185). Khususnya di Mesir, beriringan dengan jatuhnya institusi Khilafah Turki Utsmani, gelombang modernisasi melanda wilayah Mesir. Buku-buku dan jurnal-jurnal barat diterjemahkan, pemikiran-pemikiran Barat mulai disoroti dan dikaji, bahkan untuk beberapa kasus sosial-politik, fenomena budaya, dan trend kebiasaan Barat menggantikan budaya dan kebiasaan Timur (Ashori, 2008: 11). Di bawah bayang-bayang “liberalisasi, modernisasi, westernisasi, dan sekulerisasi”. Hasan Al-Banna muncul dengan pemikiran revivalis (kebangkitan agama) dan puritanis (pemurnian agama) yang menghendaki kembalinya kejayaan Khilafah Islamiyyah di masa lalu ( 2008: 11). Tampilan Hasan Al-Banna sebagai salah satu tokoh pembaharu ini juga tidak terlepas dari gerakan pembaharu sebelumnya. Meskipun para tokoh pendahulunya tidak meninggalkan progam-

Upload: others

Post on 05-Sep-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

20

BAB II

PROFIL HASAN AL-BANNA

Pembaharuan dalam Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari

pengaruh dunia lainnya, terutama Barat. Hal ini ditandai dengan krisisnya

kepemimpinan di dunia Islam bersamaan dengan melemahnya institusi Khilafah

Islamiyyah Turki Utsmani pada tahun 1920-an. Sementara di sisi lain, kemajuan

yang terjadi di Barat kemudian selanjutnya membawa pengaruh atas dunia Islam

dengan adanya fenomena rasionalisme, nasionalisme, liberalisasi-modernisasi

budaya, westernisasi-sekulerisasi institusi termasuk institusi agama dan paham-

paham lainnya.

Sebagaimana di Barat, pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan

paham-paham keagamaan Islam juga timbul dengan perkembangan baru yang

ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan modernisasi (Rusli,

2014: 185). Khususnya di Mesir, beriringan dengan jatuhnya institusi Khilafah

Turki Utsmani, gelombang modernisasi melanda wilayah Mesir. Buku-buku dan

jurnal-jurnal barat diterjemahkan, pemikiran-pemikiran Barat mulai disoroti dan

dikaji, bahkan untuk beberapa kasus sosial-politik, fenomena budaya, dan trend

kebiasaan Barat menggantikan budaya dan kebiasaan Timur (Ashori, 2008: 11).

Di bawah bayang-bayang “liberalisasi, modernisasi, westernisasi, dan

sekulerisasi”. Hasan Al-Banna muncul dengan pemikiran revivalis (kebangkitan

agama) dan puritanis (pemurnian agama) yang menghendaki kembalinya kejayaan

Khilafah Islamiyyah di masa lalu ( 2008: 11). Tampilan Hasan Al-Banna sebagai

salah satu tokoh pembaharu ini juga tidak terlepas dari gerakan pembaharu

sebelumnya. Meskipun para tokoh pendahulunya tidak meninggalkan progam-

21

progam secara tertulis yang jelas dan bentuk gerakan atau institusi yang kongkret,

tetapi melalui ide-ide para pendahulunya telah mengilhami Hasan Al-Banna untuk

berjuang melalui Ikhwanul Muslimin di Mesir (Rusli, 2014: 185).

Dalam rangka mengkaji pemikiran tokoh lebih dalam, pada bab ini

dipaparkan deskripsi latar belakang tokoh yaitu Hasan Al-Banna, meliputi

berbagai aspek seperti biografi hidupnya, ideologi pemikirannya, dan gerakan

yang dibina olehnya.

A. Biografi Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna lahir pada 17 Oktober tahun 1906 M, di daerah

Mahmodin (Mahmudiyah) kota kecil dekat Iskandariyah, Provinsi Buhairah 90

ml sebelah Barat-Laut Kairo (Al-Jundi, 2003:10. Rusli, 2014: 186. Mitchell,

2005: 3). Nama lengkapnya Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna, ia

merupakan anak tertua dari lima bersaudara laki-laki (dakwatuna.com, 2008: 10.

Mitchell, 2005: 3).

Ayahnya bernama Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna,

merupakan seorang ulama yang ahli dalam ilmu hadits, aqidah, fiqh, dan nahwu,

sehingga ia menjadi guru dan imam di masjid Ma‟zoon sekaligus sebagai muadzin

di sana (Anshori, 2008: 12. Mitchell, 2005: 1). Ia juga memiliki sebuah

perpustakaan yang cukup besar (Al-Jundi, 2003:11). Selain sebagai imam dan

ulama besar, ayah Hasan Al-Banna berprofesi sebagai sebagai tukang reparasi jam

dan penjilidan buku sehingga ayahnya dikenal dengan julukan Asy-Syaikh As-

Sa‟ati (Al-Jundi, 2003:11. dakwatuna.com, 2008: 10). Ayahnya juga hidup

semasa dengan Muhammad Abduh ketika belajar di Al-Ahzar (Rusli, 2014: 186),

dan pernah mensyarahkan kitab hadits Musnad Ahmad bin Hambal, yang

22

dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul Terbesar (Al-Jundi, 2003:24).

Sebagai seorang ayah, ia mencita-citakan Hasan Al-Banna menjadi seorang

mujahid di samping menjadi seorang mujtahid (Kholid, 1999: 252).

Masa kehidupan ayahnya tersebut, telah banyak dikembangkan konsep

dakwah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridla

melalui majalah Al-Manar. Setelah menetapnya muhammad Abduh di kota

Mahmudiyah Buhairah pada tahun 1906 M, kota Mahmudiyah menjadi pusat

kajian hukum hingga Hasan Al-Banna dilahirkan, yang beberapa tahun kemudian

ia juga ikut bergabung dalam kajian tersebut, dan menghasilkan konsep-konsep

general dengan mengkolaborasikan konsep fikih dan tasawuf. Hal ini

mempengaruhi Hasan Al-Banna dalam konsep dakwahnya yang bersifat global

dan universal. Konsep semacam inilah yang dianggap sebagai pembaharuan

pemikiran Islam (Al-Jundi, 2003:25).

Saat kanak-kanak, Hasan Al-Banna dibesarkan ditengah-tengah keluarga

yang taat beribadah, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Meskipun begitu, ia di

masa kecil membiasakan diri dengan pola hidup zuhud, rajin bertahajud, berpuasa

senin-kamis, dan amalan-amalan yang wajib maupun yang sunnah. Ia didik oleh

langsung ayahnya secara disiplin karena pada logikanya sang ayah yang

merupakan seorang tukang arloji semestinya sangat menghargai waktu dan

kedisiplinan. Hal ini terbukti sejak kecil ia dituntut untuk menghafalkan Al-

Qur‟an.

Ayahnya memberikan pelajaran mengenai Al-Qur‟an, hadits, fiqh, bahasa,

dan tasawuf. Terlebih lagi ayahnya tersebut memiliki perpustakaan untuk

menanamkan motivasi belajar dan membaca kepada Hasan Al-Banna. Bahkan

23

tidak jarang ayahnya tersebut memberi beberapa hadiah buku. Buku-buku tersebut

memberinya pengaruh yang sangat berarti diantaranya seperti Al-Anwar Al-

Muhammadiyah karya An-Nabhani, Mukhtasar Al-Mawahib Al-Ladunniyyah

karya Qasthalani, dan Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursyalin karya Syaikh Al-

Khudri. Buku-buku yang dikoleksi menuntut untuk dibuatnya perpustakaan

khusus yang berisikan majalah-majalah dan buku-buku yang beraneka ragam

(2003: 41).

Keilmuan ayahnya dalam bidang hadits ini sangat mempengaruhi

perkembangan keagamaan Hasan Al-Banna. Melalui dominasi tradisi hadits

tersebut, Hasan Al-Banna menempa mental dan pemahamannya tentang Islam,

sehingga ketika dewasa ia berprinsip bahwa untuk membebaskan umat Islam dari

kemunduran akibat kolonial barat dan sekulerisme, umat Islam harus meneladani

dan meniru Nabi Muhammad dalam berbagai aspek kehidupan (Anshori, 2008:

12). Maka dari itu Hasan Al-Banna dikenal sebagai tarekat dan penganut mazhab

Hambali. Setelah anak-anak Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna

besar dan mulai mengeyam pendidikan, mereka pindah dari Mahmudiyah ke

Kairo, dan menetap di suatu daerah dekat Universitas Al-Azhar (2003:12).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan

keluarga dan didikan dari orang tua sangat berpengaruh dalam ideologi Hasan Al-

Banna. Melalui faktor inilah, Hasan Al-Banna memiliki pondasi ilmu yang kuat

terutama dalam ilmu agama. Hal tersebut secara tidak langsung membentuk

struktur kognitif dalam diri Hasan Al-Banna sebagai manusia yang religius dalam

berurusan dengan realitas sosial.

24

Saat menginjak umur 12 tahun, Hasan Al-Banna masuk sekolah dasar.

Semenjak itu, untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengikuti sebuah

organisasi-organisasi keagamaan. Diantara yang membentuk karakternya adalah

organisasi ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛ (Perhimpunan Akhlak Mulia) yang

bertujuan menghukum anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran (Mitchell,

2005: 4).

Hasan Al-Banna pada masa Remaja aktif dalam organisasi dan aktif

belajar dalam pengkaderan organisasi, sewaktu sekolah keguruan di Madrasah Al-

Mu’alimin Al-Awaliyah, ia bersama teman-temannya mendirikan organisasi

Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi Pemberantasan Kemungkaran) dan ia

menjadi komandannya. Kegundahannya terhadap kemaksiatan menyebabkan ia

bersama teman-temannya membuat organisasi Menolak Keharaman tersebut.

Aktivitas terpenting mereka adalah menulis dan mengirim surat-surat rahasia dan

bernada mengancam kepada orang-orang yang dipandang hidupnya melanggar

ajaran Islam (2005: 4). Aktivitas nyatanya seperti, mengingatkan umat Islam yang

melakukan dosa dan meninggalkan kewajiban Islam seperti shalat, puasa, dan

lain-lain. Hasan Al-Banna juga punya kegiatan yang dilakukannya ketika masih

kecil, yaitu membangun-bangunkan orang tidur dari rumah ke rumah untuk shalat

Subuh berjamaah di masjid (dakwatuna.com, 2008: 10). Organisasi ini ikut

menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh terkemuka

(Ahshori, 2008: 13).

Lingkungan pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk suasana kota turut

membantu perkembangan Hasan Al Banna. Sehingga dalam usia yang masih

muda beliau sudah berhasil menghafal Al-Qur‟an pada saat usia 14 tahun. Beliau

25

di samping berguru pada ayahnya juga berguru pada ulama lain, sampai akhirnya

mengantarkan beliau belajar di Da>rul-‘Ulum Kairo.

Selama belajar di Da>rul-‘Ulum, Hasan Al-Bana merupakan mahasiswa

yang berprestasi. Ia juga telah menyusun tugas akhir sehingga meraih gelar

sarjana dengan predikat yang terbaik kelima dari seluruh pelajar Mesir (Al-Banna,

2006: 1). Setelah menyelesaikan studinya, ia ditugaskan oleh pemerintah sebagai

guru Madrasah di Provinsi Ismailiyyah. Ia memilih profesi guru karena ia melihat

bahwa para pendidik sumber cahaya yang menerangi masyarakat (Rusli, 2014:

186) .Pada saat itu, kondisi kota Ismailiyyah telah dikuasai dan terpengaruh oleh

Inggris (Anshori, 2008: 14). Saat itu bersamaan dengan kondisi Mesir khususnya

dan bangsa Arab pada umumnya mengalami berbagai peristiwa denotatis,

diantaranya runtuhnya institusi Khilafah Islamiyyah di Turki pada awal abad 20

M, dan peristiwa penjajahan kolonial Barat di daerah Timur Tengah, khusunya

kedudukan Inggris di Mesir, dan hijrahnya bangsa Zionisme di tanah Palestina.

Peristiwa tersebut menggugah rasa nasionalisme yang tinggi dalam benak Hasan

Al-Banna (Al-Jundi, 2003: 40).

Tiga pertentangan yang dihadapi Hasan Al-Banna menuntutnya untuk

mengambil jalan yang telah ia persiapkan sendiri. Tiga pertentangan yang

dimaksud adalah jatuhnya khilafah yang menjadi sistem pemerintahan Islam di

Turki, carut-marutnya ikatan persatuan Islam yang telah memberi peluang bagi

missionaris dan melipatgandakan ekpedisi, serta pengambil-alihan gerakan

nasionalisme yang berpihak pada hukum positif dan undang-undang liberal

sebagai akibat sikap latah pada Barat (2003: 65).

26

Hasan Al-Banna tidak bisa berdiam diri dengan kemerosotan bangsa Arab

saat itu. Ia mengadakan pertemuan pada Maret 1928 M, dengan keempat

temannya, Abdurrahman, Ahmad Al-Khudri, Zakki Al-Maghrib, dan Hafidz

„Abdul Hamid di kediamanya Ismailiyyah (2003: 48). Dalam pertemuan itu

membahas permasalahan bangsa Arab. Mereka melihat bahwa kebudayaan Mesir

telah merosot dan orang Islam tidak memiliki kedudukan dan kemuliaan.

Mereka berbaiat dan menyatakan diri sebagai “tentara (junu>d) dakwah

Islam”. Seorang diantara mereka mengusulkan sebuah nama resmi gerakan,

namun ditolak oleh Hasan Al-Banna dan ia berkata “Tidak perlu nama resmi,

yang terpenting adalah gagasan dan pemaknaanya” (Anshori, 2008: 16). Akhirnya

mereka memutuskan dan berikrar” kami bersaudara berdedikasi untuk

kepentingan Islam. Oleh karena itu, kami adalah Ikhwanul Muslimin (Rusli,

2014: 195).

Sejak baiat itu, seruan dakwah telah dikibarkan oleh Hasan Al-Banna dan

teman-temannya, mereka memulai dakwah tersebut di berbagai kedai-kedai

minuman. Mereka membidik orang-orang awan luar masjid. Meskipun begitu

dakwah tersebut mendapat respon yang baik dari masyarakat Mesir (Al-Jundi,

2003: 48). Pengikut Hasan Al-Banna semakin hari semakin bertambah banyak,

rasa simpati dan fanatik berdatangan mendukungnya. Sehingga ia memiliki

pengaruh yang cukup kuat di berbagai wilayah, terutama Ismailiyyah.

Ikhwanul Muslimin pada tahun 1933 M, berpindah dari Ismailiyyah

menuju Kairo. Saat itu gerakan Ikhwanul Muslimin mulai menerbitkan tabloid

atau buletin pada tiap mingguan Ikhwanul Muslimin, dengan Muhibuddin M.

Khathib sebagai pemimpin redaksinya. Lalu menyusul Al-Nadzir yang untuk

27

pertama kalinya terbit pada 1938 M, dan kemudian menyusul al-Syihab pada

tahun 1947 M. Melalui media-media tersebut, pemikiran Hasan Al-Banna dan

sepak terjang Ikhwanul Muslimin menjadi lebih dikenal tidak hanya oleh

masyarakat Mesir dan negeri Arab saja tetapi juga oleh dunia Islam secara luas

(Al-Anshori, 2008: 17).

Ikhwanul Muslim dalam perjalanan perjuangannya di Mesir pada akhirnya

mengalami beberapa hambatan dari pemerintahan Mesir sendiri, setelah

kekhawatiran pemerintah atas keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam agitasi dan

kekerasan, tepatnya pada tahun 1948, ketika pecah perang Palestina dan peran

Mesir yang mengecewakan. Klimaknya pada tanggal 8 Desember 1948, dengan

keluar perintah militer yang berisi pembubaran Ikhwanul Muslimin dan

cabangnya di mana saja, menutup pusat-pusat kegiatannya, dan berbagai dokumen

dan aset Ikhwanul Muslimin. Selain pembubaran, pemerintah juga melakukan

penangkapan dan penghalauan para pejuang dan tokoh-tokoh Ikhwan ke kamp-

kamp konsentrasi dan penjara (Kholid, 1999: 254-255).

Tahun 1941 M, sebenarnya Ikhwanul Muslimin membentuk tim formatur

untuk merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang pertama

bagi Ikhwanul Muslimin untuk menopang cita-cita Hasan Al-Banna menuju

terwujudnya Khilafah Islamiyyah (Al-Anshori, 2008: 17). Namun, perjuangan

Hasan Al-Banna berakhir pada 12 Februari 1949 M, ketika ia ditembak mati oleh

Kolonel Mahmud Abd Al-Majid atas perintah raja Faruq di sebuah jalan raya

Kairo (Rusli, 2014: 188).

28

1. Riwayat Pendidikan Hasan Al-Banna

Pendidikan yang dimaksud dalam sub bab ini adalah pendidikan formal

yang telah ditempuh oleh Hasan Al-Banna. Pendidikan semasa perjalanan hidup

Hasan Al-Banna dimulai dari sekolah tingkat dasar Al-Rasyad Al-Dinniyah

sekaligus sekolah persiapan di Mahmudiyah, kemudian ke tingkat yang lebih

tinggi yaitu di Madrasah Al-Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di

Damanhur, dan terakhir tingkat perguruan tinggi di Da>rul-’Ulum Kairo Mesir.

a. Madrasah Al-Rasyad Al-Dinniyah

Pendidikan formal yang ditempuh Hasan Al-Banna pertama kalinya di

sekolah Al-Rasyad Al-Dinniyah kemudian melanjutkan sekolah persiapan

yang berada di kota Mahmudiyah (Al-Jundi, 2003:13). Dalam masa ini,

kehidupan Hasan Al-Banna sangat dipengaruhi lingkungan rumah, sekolah,

dan masjid. Kehidupan tersebut dimulai dengan didikan langsung dari orang

tuanya yang menanamkan kedisiplinan dalam berilmu, beribadah, juga

beramal.

Selama di Mahmudiyah Hasan Al-Banna memiliki seorang guru

sekaligus sebagai figur sahabat yang bernama Syaikh Muhammad Zuhran,

pemilik sekolah Ar-Rasyad Ad-Dinniyah yang banyak disebut oleh Hasan

Al-Banna dalam buku catatan harianya, Mudzakarah. Melalui gurunya

inilah, Hasan Al-Banna sangat mencintai ilmu dan semangat belajar, ia juga

pandai dalam berkomunikasi, berorasi, dan mempengaruhi audien. Dari

dialah pula, Hasan Al-Banna memperoleh pemahaman atas hubungan

solidaritas yang kuat antara da’i dan orang-orang yang sejalan denganya

(2003:28).

29

Muhammad Abu Syausah, salah seorang guru lainya, yang telah

memberikan kesan dan pengaruh terhadapnya selama kehidupan di

Mahmudiyah. Karena Muhammad Abu Syausah sangat menaruh perhatian

yang dalam terhadap persoalan pendidikan dan pembentukan kader

pendakwah. Selain itu, gurunya tersebut juga mengedepankan toleransi antar

muslim terhadap berbagai khilafiyyah (perbedaan) dan menghindari

perpecahan kaum musim, sehingga dapat tercapainya persatuan. Dari situlah

Hasan Al-Banna, terinspirasi untuk berdakwah secara lemah-lembut tanpa

kekerasan dan tidak mudah untuk menjustifikasi suatu tarekat tertentu

(2003:30).

Masa ini untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengenal dan

mengikuti organisasi. Organisasi yang paling menonjol dalam memberikan

pengaruh terhadap pemikirannya adalah ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛

(Perhimpunan Akhlak Mulia) yang diketuai langsung olehnya (Mitchell,

2005: 4).

b. Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah

Sekitar tahun 1920, ia meneruskan pendidikanya ke Madrasah Al-

Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di Damanhur dan menetap

disana (Al-Jundi, 2003:13). Ketika itu, ia telah hafal Al-Qur‟an 30 juz

sebelum berumur 14 tahun (Rusli, 2014:186). Di lingkungan Madrasah ini

ia bertemu dengan berbagai guru-guru besar, sehingga semakin membuka

wawasan dan paradigmanya dalam berfikir (Al-Jundi, 2003:13).

Abdul Fattah Abu A‟llam merupakan salah seorang guru Hasan Al-

Banna saat itu, yang selalu ia ingat dari gurunya tersebut adalah wasiat yang

30

diberikannya kepada Hasan Al-Banna. Wasiatnya tersebut menganjurkan

Hasan Al-Banna untuk selalu melakukan kajian yang mendalam, dan untuk

selalu memikirkan rahasia perundang-undangan Islam maupun sejarah

perkembangannya, juga sejarah madzhab dan terbentuknya kelompok-

kelompok (firqoh) serta thaifah merupakan kelompok yang lebih kecil lagi

(2003:32). Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran Hasan Al-Banna,

sekaligus menumbuhkan ambisi untuk membangun sebuah komunitas

ataupun gerakan yang pada akhirnya terwujud melalui Ikhwanul Muslimin.

Selain itu dalam fase ini, Hasan Al-Banna untuk pertama kalinya

menyaksikan majelis dzikir, karena begitu terkesan ia bergabung menjadi

anggota tarekat Al-Hishafiyah yang didirikan di oleh Abdul Wahhab Al-

Hasafy, melalui tarekat ini ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh sufi

tarekat tersebut. Ia bahkan menghabiskan waktunya di siang hari berada di

toko jam, sedangkan malam harinya berkumpul di tarekat Al-Hisyafiyah itu

(2003:13). Hasan Al-Banna mengikuti tarekat ini selama dua puluh tahun. Ia

tetap memegang teguh ajaran sufisme hingga menjadi pengikut majelis

dzikir yang taat dan menjadi kepercayaan para gurunya (Mitchell, 2005: 4).

Hasan Al-Banna sangat terkagum-kagum dengan majelis-majelis zikir

dan lantunan nasyid yang dilantukan secara berjamaah. Terlebih lagi, ia

bertemu dengan guru lamanya Syaikh Zuhran sehingga ia aktif melakukan

zikir di pagi dan petang hari. Jamaah Tarekat ini kemudian mendirikan

organisasi Al-Jama’iyyah Al-Hasyfiyyah Al-Khairiyah, dan Hasan Al-Banna

menjabat sebagai sekretarisnya. Organisasi ini kemudian diganti oleh Hasan

Al-Banna menjadi Ikhwanul Muslimin (Qomar Z.A. dalam Istadiyantha,

31

2006: 66. Al-Jundi, 2003: 13). Asosiasi ini bertujuan untuk berjuang

melindungi moralitas Islam, dan membendung kegiatan misionaris

Kristenisasi di kotanya (Mitchell, 2005: 5).

Ia juga sangat tekun mempelajari dunia tasawuf dan ibadah, ia banyak

mempelajari kitab-kitab besar seperti Ihya’ Ullumuddin milik Imam Ghazali,

Ushul Al-Awliya’, Al-Yaqut, Al-Jawahir, dan lain sebagainya. Ia juga

meneladani intisari keimanan, dzikir, dan ibadah. Meskipun begitu tidak

memepelajari tasawuf secara membabi buta, ia berusaha memehami tasawuf

sebagai wahana manajemen kepribadian dan sebuah metode pendidikan (Al-

Jundi, 2003:31).

Ia menjadikan Majalah-Majalah besar sebagai wahana diskusi, belajar,

dan mengkaji kitab-kitab besar, juga persoalan-persoalan yang dilematis dan

kontroversial. Diskusi seputar masalah thariqat, kewalian, dunia sufi, bid‟ah-

bid‟ah, dan permasalahan lainya yang menghangat. Kemudian, ia bersama

teman-temanya mendirikan organisasi Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi

Pemberantasan Kemungkaran) dan ia menjadi komandannya. Organisasi ini

ikut menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh

terkemuka (Ahshori, 2008: 13). Dalam pandangan Anshori tersebut ia

menilai bahwa melalui nama organisasi tersebut menampakan watak Hasan

Al-Banna yang radikal dalam merespon kebobrokan sosial yang ada.

Selama proses pembelajaranya di Madrasah Al-Mu’alimin ini, dia

merasa mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Karena pada masa ini dia

dapat menghafal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan

semuanya itu ia lakukan di luar kurikulum pelajaran. Ia menghafal Milhah

32

Al-I’rab karya Al-Hariri, Alfiah li Ibnu Malik, Al-Bayquniyyah di bidang

hadits, Al-Jawaharah di bidang tauhid, Ar-Rahbiyyah di bidang pembagian

warisan, sebagian matan As-sullam di bidang mantiq, sebagian besar matan

Al-Quduryy di bidang fikih abu hanifah, matan Al-Ghayah wa At-Taqrib

karya Abu Syuja‟ di bidang fikih Syafi‟i, juga sebagian Mandzumah ibn

‘Asyir di bidang fikih Malik. Hal ini dilakukan Hasan Al-Banna sesuai

dengan arahan dari orang tuanya. Orang tuanya pernah berpesan bahwa:

“Barangsiapa menghafal banyak matan, ia akan menguasai banyak teknik.”

Pesan tersebut sangat diresapi oleh Hasan Al-Banna hingga dia berusaha

menghafal matan As-Syathibiyyah fiy Al-Qira’at, meskipun ia kesulitan

untuk memahaminya, akan tetapi dia benar-benar menghafal pengantar dan

sebagian isinya (Al-Jundi, 2003:42).

c. Da>rul-’Ulum

Selepas dari sekolah keguruan dalam umur 16 tahun, Hasan Al-Banna

melanjutkan studi di Da>rul-’Ulum Kairo. Ketika disitu, ia berkenalan dengan

Rasyid Ridla dan mulai belajar Tafsir Al-Manarnya Ridla, ia juga belajar

tentang slogan-slogan Muhammad Abduh seperti A’r-Ruju, ilai > Qur’an wal

Sunnah (Anshori, 2008: 13). Pada masa kuliah ini, perangkat-perangkat

intelektual dan kepedulian emosional Hasan Al-Banna mulai terbentuk dua

hal yang mempengaruhi pendidikannya selama ini adalah ilmu-ilmu Islam

klasik dan kedisiplinan emosional sufisme (Mitchell, 2005: 6).

Hasan Al-Banna merupakan mahasiswa berprestasi ketika ujian akhir,

ia telah melengkapi hafalan Al-Qur‟an 30 juz dan hafalan 18.000 bait syair

hikmah Arab dan juga prosa sebagai persyaratan kelulusannya (Ansori, 2008:

33

13. Al-Banna, 2006: 1), dan menyusun karya tulis ilmiah hingga mendapat

gelar kesarjanaan dengan gelar terbaik dengan peringkat kelima dari seluruh

pelajar Mesir (Al-Banna, 2006: 1). Di dalam karya tulis itulah Hasan Al-

Banna memaparkan dengan jelas bahwa ia mempersiapkan diri dan beberapa

pemuda yang bergabung bersamanya untuk melindungi dan menjaga agama

Islam (Al-Jundi, 2003:31).

Hal tersebut diungkapkan Hasan Al-Banna karena pada masa itu

banyak peristiwa denotatis, diantaranya terjadinya revolusi tahun 1919 M, ia

telah menyaksikan penjajahan masyarakat Mesir oleh ekspansi militer

kolonial Barat. Sebagai mahasiswa ia ikut berpartisipasi dalam demontrasi

yang meletus di dalam lingkungan kampus maupun luar kampus (Mitchell,

2005: 5).

Berbagai peristiwa itu membuat jiwa nasionalisme Hasan Al-Banna

timbul dalam benaknya. Walaupun demikian, menurutnya persoalan tersebut

tidak sekedar masalah invansi Inggris terhadap Mesir akan tetapi merupakan

upaya Barat untuk merebut kekuasaan atas dunia Arab (red: Islam).

Menurutnya, apa yang terjadi bukan semata penjajahan fisik, melainkan

upaya penguasaan umat Islam agar jauh dari nilai-nilai ajaran syariat Islam

dan terpengaruh pemikiran-pemikiran kolonial Barat (Al-Jundi, 2003:39).

Sehingga, jiwa nasionalisme yang tumbuh pada Hasan Al-Banna tidak hanya

semata cinta tanah air, namun juga cinta terhadap agamanya (red: Islam) yang

sudah membudaya di negeri Mesir.

Melihat fenomena tersebut, Hasan Al-Banna beranggapan bahwa umat

Islam tidak akan mungkin berada di bawah cengkraman imperialisme dan

34

kolonialisme maupun ekspansi militer Barat, jika mereka tetap berpegang

teguh kepada pedoman Islam. Dengung nasionalisme umumnya pada saat itu

menurut pandangan Hasan Al-Banna bergerak dalam bingkai pemikiran

kebarat-baratan yang mencari kemerdekaan dan kebebasan dengan cara-cara

demokrasi ala Barat. Menurutnya, dengan begitu tanpa disadari telah menjadi

pendukung terbesar tertanamnya invasi Barat.

Ketika kolonialisme berhasil menumbangkan khilafah Islam tahun 1926

M, Hasan Al-Banna merasa rencana-rencana penjajahan telah jauh memasuki

kedalam umat Islam Timur Tengah. Ia juga mengetahui akan terjadinya

konflik di Palestina seiring hijrahnya Zionisme di sana dan mengintai Baitul

Maqdis. Kolonial Inggris berhasil menjajah Mesir, Sudan, dan Irak.

Sedangkan Perancis menguasai Suria, Lebanon, Maroko, dan daerah sekitar,

termasuk Tunisia, Al-Jazair, dan Marakisy. Dalam keyakinan Hasan Al-

Banna bahwa apa yang mereka sebut dengan gerakan nasionalisme bukanlah

cara yang tepat. Partai-partai yang ada merespon baik bahwa setiap yang

langkah dan tindakan yang akan diambil harus dijustifikasi dan mendapat

legitimasi pihak Kolonial Barat. Orang-orang partai saat itu menurutnya

bergerak di bawah bayang-bayang Barat. Pengaruh tersebut telah tersebar ke

beberapa sekolah, perbankan, perundang-undangan, dan masyarakat.

Peraturan yang diklaim demokratis ala Barat diterapkan dengan sistem yang

berlaku di Barat, baik dalam politik maupun hukum. Pada saat bersamaan

juga menghalangi umat Islam dan masyarakat Mesir khususnya, untuk

kembali kepada sistem agama dan budaya mereka (2003: 40).

35

Terlebih lagi posisi Al-Azhar dan para ulama dalam hal tersebut sangat

lemah. Kekuatan Islam baru bisa digalang dan disatukan dalam wadah

bernama Asy-syubban Al-Muslimin (jamaah-jamaah lain). Akan tetapi Hasan

Al-Banna bermaksud menghadapi masalah tersebut dengan sistem yang

berbeda. Ia memulainya dengan wacana persatuan umat Islam yang disebut

Al-Jam’iyyat Al-Islammiyyah, tetapi untuk tahap pertama ia kosentrasikan

pada bidang sejarah gerakan kebangkitan Islam melalui dimesi pendidikan

Islam, juga pembangunan pemuda dan penggalangan kekuatan. Semua itu

menjadi gagasan universal yang diharapkan bisa merealisasikam misi dan

tujuan Islam sesuai cara-cara yang di benarkan agama (red: cara yang

diyakini). Adapun dari sisi peradaban dan pemikiran yang dapat

menkonsolidasikan pemikiran ini, Hasan Al-Banna memperbanyak membaca

dan berupaya menuntut ilmu dan belajar di luar batas-batas kurikulum

sekolah (2003: 41).

Setelah menyelesaikan studinya di usia 21 tahun, Hasan Al-Banna di

tugaskan oleh pemerintah untuk menjadi guru Madrasah di daerah

Ismailiyyah. Di wilayah ini pengaruh dari Inggris tampak sangat dominan,

sehingga gaya kehidupan di wilayah Ismailiyah hampir semuanya bercorak

Barat layaknya Eropa (Anshori, 2008: 14). Mulai dari makanan, fashion,

pergaulan bebas, dekandesi moral, bahkan mata pencaharian masyarakat

Ismailiyyah sebagai pekerja Terusan Suez milik koloni Inggris. Sehingga

wilayah Ismailiyyah disebut-sebut sebagai kota yang Eropa di Mesir (2008:

7).

36

Koloni Inggris di Suez, dalam pandangan Hasan Al-Banna telah

merenggut kebebasan pribumi Arab dan memandang hina masyarakatnya. Ia

menyaksikan para pekerja Arab berubah tampak berwajah merah, berambut

pirang meniru budaya Eropa dan melupakan identitas budaya Timur (red:

Islam, Arab). Ia beranggapan bahwa Inggris dan juga Barat berusaha secara

sistematis melemahkan kekuatan Islam dengan menyebarkan faham

sekulerisme dan kristenisasi atas dunia Islam, termasuk Mesir dan negeri-

negeri Islam lainnya. Maka dalam rangka merespon kondisi tersebut, Hasan

Al-Banna melakukan konsolidasi baik melalui media maupun mendatangi

berbagai tempat seperti masjid dan warung-warung untuk menyerukan

melawan kolonial Barat sehingga terbetuklah Ikhwanul Muslimin pada tahun

1347 H/ 1928 M.

Menurut hemat penulis, jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh

Hasan Al-Banna menjadi modal dalam memperkaya pola pikirnya. Hal tersebut

dapat diliat dari didikan awal orang tuanya yang sangat dominan dengan ajaran

salafi yang menolak ajaran tasawuf, akan tetapi setelah Hasan Al-Banna

menempuh pendidikan formal di tingkat Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah

menjadikan ia sebagai pribadi yang objektif karena menurutnya tidak semua

ajaran tasawuf itu sesat. Terlebih lagi setelah ia menempuh pendidikan di tingkat

Da>rul-’Ulum menjadikan ia sebagai sosok modern dalam menghadapi realitas

sosial, ia juga tidak menolak modernisasi yang dibawa oleh Barat. Akan tetapi ia

tidak melepas sepenuhnya ajaran salafi dalam pemikirannya, sehingga para ahli

menyebutnya dengan neo-salafi.

37

2. Perjalanan Hasan Al-Banna Bersama Ikhwanul Muslimin

Hasan Al-Banna telah menyelesaikan studinya dengan prestasi yang

sangat baik. Ia kemudian ditugaskan sebagai guru Madrasah oleh pemerintah di

daerah Ismailiyyah. Dimana di provinsi itu, pengaruh Inggris sangat dominan

terlebih lagi dengan adanya markas besar perusahaan Suez dan dikelilingi kamp

dan instalasi militer tentara koloni Inggris. Berbagai gaya hidup, budaya dan

tradisi Barat sangat nampak di sana, sehingga kota Ismailiyyah ini menjadi kota

yang paling berpenampilan seperti Eropa dibandingkan kota-kota lainnya di Mesir

(Anshori, 2008: 7).

Peristiwa tersebut, membuat Hasan Al-Banna merasa Barat telah

menghancurkan peradaban Arab dan umat Islam di Timur. Barat telah menyebar

virus-virus pemikiran liberal dan sekuler di kalangan umat Islam membuat mereka

jauh dari nilai dan budaya Islam. Hal ini menggerakan rasa nasionalime yang

tinggi dalam jiwa Hasan Al-Banna. Namun, ia mengklaim bahwa rasa

nasonalismenya tersebut berdasarkan keyakinan terhadap agamanya (red: Islam).

Ia juga tidak membenarkan nasionalisme dari kalangan partai-partai sekuler yang

memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan di Mesir. Menurut pandanganya

dengan pemikiran nasionalisme secara demokratis Barat sama saja bangsa Mesir

masih terjajah oleh ideologi Barat. Apalagi sistem dan peraturan partai-partai di

Mesir saat itu harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi Barat.

Ia merespon kondisi Mesir dan bangsa Arab pada saat itu dengan

melakukan seruan dengan gerakan dakwah di pelbagai tempat. Ia meyakini bahwa

tidak ada peraturan dan ajaran yang menjamin kebahagiaan manusia dan

memberikan arahan kepada mereka akan jalan praktis untuk mencapai

38

kebahagiaan yang dimaksud, melebihi ajaran Islam. Maka, ia telah menentukan

tujuan hidupnya untuk menunjukan Islam kepada berbagai kalangan masyarakat

Mesir dan umat manusia menurut konsep yang sebenar-benarnya (red: syariat

Islam) dan bersifat amaliyah (tindakan nyata). Oleh karena itu pusat pemikiran

Ikhwanul Muslimin terkait dengan Islam (Al-Jundi, 2003: 48).

Ide dan gagasan itu selalu berkecambuk dalam jiwa Al-Banna terkadang ia

juga mengutarakannya kepada beberapa orang di sekitarnya. Jika ada kesempatan

ia selalu berdakwah untuk mengoptimalkan upaya dan semangat menyelamatkan

umat manusia dengan mengajak mereka kepada islam. Berbagai peristiwa di

Mesir dan beberapa negara Islam Timur Tengah, membuat hati Hasan Al-Banna

terusik untuk melakukan tindakan dalam melakukan perbaikan. Namun ia merasa

belum mendapatkan atensi yang diperlukan untuk mengatur upaya-upaya praktis.

Beruntung gagasan Hasan Al-Banna disambut dan direspon oleh Ahmad Basya

Taimour. Menurutnya Ahmad Basya memiliki semangat yang tinggi dan yang

terutama cara berfikir yang matang, pengertian yang penuh, dan kehati-hatian

dalam berbuat (2003: 48).

Respon untuk segera mengambil tindakan juga didapatkan Hasan Al-

Banna dari kawan-kawannya yaitu, As-Sukari, „Askariyyah, Muhammad Abdul

Hamid, dan lainnya. Semuanya sepakat untuk berbuat sesuai dengan tujuan dan

misi yang diinginkan bersama, yaitu merubah tradisi, budaya, dan kebiasaan umat

secara umum untuk kembali kepada syariat dan hukum Islam yang benar sesuai

keyakinan mereka (2003: 48).

Sekitar bulan Maret 1928 M/ 1347 H, akhirnya ide dan pemikiran Hasan

al-Banna terealisasikan dengan beridirinya “Ikhwanul Muslimin” disaat usianya

39

masih 22 tahun. Gerakan tersebut merupakan hasil dari pertemuan Hasan Al-

Banna bersama empat temannya yaitu, Abdurrahman yang berprofesi sebagai

sopir, Ahmad Al-Khudri sebagai tukang cukur, Zakki Al-Maghribi sebagai

penjahit, dan Hafidz „Abdul Hamid sebagai tukang kayu (2003: 48). Mereka

berkumpul untuk membahas kemajuan umat Islam, mereka melihat bahwa

kebudayaan Mesir telah merosot dan orang Islam tidak mempunyai kedudukan

serta kemuliaan. Akhirnya mereka memutuskan untuk berikrar “kami bersaudara

berdedikasi untuk kepentingan Islam oleh karena itu, kami adalah Al-Ikhwan Al-

Muslimin” (Rusli, 2014: 195)

Pembahasan mengenai perjalanan Hasan Al-Banna dalam

memperjuangkan Ikhwanul Muslimin, akan dipaparkan berdasarkan beberapa

periode, diantaranya;

a. Periode Pembentukan (1928-1936 M)

Ketika periode pembentukan ini, baik ketika masih di Ismailiyyah

maupun kepindahanya di Kairo pada 1993 M, aktivitas gerakan ini masih

berupa dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Ikhwan dengan dipimpin

oleh Hasan Al-Banna tidak kenal lelah membangun dan membina kehidupan

agama masyarakat (2014: 197).

Metodologi dakwah yang digunakan Hasan Al-Banna terbilang sangat

unik. Karena dakwah tersebut tidak dimulai dari masjid ke masjid maupun

majelis ilmu, akan tetapi ia membidik masyarakat awam sehingga ia

memulai dari satu kedai kopi satu ke kedai kopi yang lainnya. Semula

pemilik kedai menanggapi dengan sinis perjuangan Hasan Al-Banna dan

40

kawan-kawanya, namun dengan berjalannya waktu dakwah tersebut

direspon dengan sangat baik (Al-Jundi, 2003: 50-51).

Di Ismailiyyah, Ikhwanul Muslimin mengambil rumah tua sebagai

kantor seketariat. Kemudian diiringi dengan pembangunan masjid, sekolah

khusus putra dan putri, klub, dan berbagai industri rumah tangga yang

bertujuan sebagai pusat kegiatan masyarakat (Mitchell, 2005: 14).

Konflik internal Ikhwanul Muslimin yang tercatat dalam periode

kepemimpinan Hasan Al-Banna adalah ketika tuntutan untuk memilih wakil

penggati Hasan Al-Banna di Ismailiyyah. Sebelumnya Hasan Al-Banna

telah diminta memilih calon kandidat penggantinya, setelah dimufakati

pihak oposisi menentang keputusan. Sehingga diadakan penilihan ulang

meskipun hasilnya jatuh kepada kandidat yang dicalonkan Hasan Al-Banna

tersebut (Mitchell, 2005: 15).

Setelah dua tahun, perjuangan Ikhwanul Muslimin sudah menampakkan

hasilnya, di mana terbentuknya cabang di Abu Shuwair, Port Said, dan Al-

Balaah. Setelah tiga tahun perjalanan terbentuk cabang lain di Suez. Ketika

memasuki tahun keempat, sepuluh cabang lainnya dapat terbentuk. Saat

memasuki tahun kelima Hasan Al-Banna menerima surat mutasi ke Kairo,

dengan otomatis markas Ikhwanul Muslimin dari Ismailiyyah berpindah ke

Kairo tahun1933 M. Waktu itu, Ikhwanul Muslimin menjalin hubungan

dengan Asosiasi kebudayaan Islam yang kemudian melebur menjadi satu

dengan Ikhwanul Muslimin dan membentuk cabang pertama di Kairo.

Kemudian dakwah Ikhwanul Muslimin juga tersebar di lima puluh kota di

Mesir diakhir tahun.(Mitchell, 2005: 15. Syamakh, 2011: xiii-xiv).

41

Ikhwan berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam bidang

sosial kemasyarakatan seperti memperbaiki lahan pertanian, menolong fakir-

miskin, menangani penerangan pedesaan bahkan mengelola hasil-hasil

zakat. Ikhwan masjid-masjid, klinik-klinik kesehatan, mengikutsertakan

kaum wanita dalam berbagai kegiatan organisasi. Ikhwan juga ikut ambil

dalam kegiatan ekonomi Mesir, mereka mendirikan perusahaan dagang dan

bangunan. Dari kegiatan ekonomi inilah menjadi sumber finansial bagi

organisasi Ikhwanul Muslimin.

Berawal dari perpindahan markas Ikhwanul Muslimin ke Kairo. Hasan

Al-Banna mengambangkan gerakan dakwahnya dengan memanfaatkan pers

dan jurnalistik, baik berupa pamflet, surat kabar, maupun majalah. Melalui

media tersebut mereka menjalankan tujuan gerakan, yaitu sebagai berikut:

1) Penjelasan ajaran-ajaran Islam, kehadiran Islam yang universal serasi

dengan zaman modern dan agama Islam merupakan sistem paling

terpilih dalam masyarakat.

2) Klarifikasi atas berbagai tuduhan yang dilayangkan kepada Ikhwanul

Muslimin.

3) Menggalang persatuan di kalangan Islam.

4) Mendemostrasikan kepada masyarakat bahwa Islam tidak mempunyai

perselisihan dengan agama manapun.

5) Menunjukan jalan menuju Islam.

Aktivitas Ikhwanul Muslimin dalam berbagai bidang ini sangat menarik

perhatian masyarakat luas. Sehingga di akhir tahun 40-an cabang Ikhwanul

42

Muslimin di Mesir telah mencapai 3000 cabang, tiap cabang memiliki

anggota yang cukup banyak (Rusli, 2014: 199).

b. Periode Aktivitas Politik (1936-1948 M)

Perkembangan Ikhwanul Muslimin yang cukup pesat dengan anggota

yang sangat banyak dan juga kondisi Mesir tidak mengguntungkan berada di

bawah koloni Inggris, melatarbelakangi Ikhwanul Muslimin untuk memasuki

ranah politik pada tahun ke 30-an.

Ikhwanul Muslimin dalam kurun waktu 1932-1938 M telah

mengadakan muktamar nasional secara berskala untuk membahas berbagai

progam. Munas I (1933 M), membahas problem kristenisasi dengan

mengirim sepucuk surat kepada Raja Faruq agar mengontrol missionaris

asing. Munas II (1934 M), membahas propaganda penyebarluasaan dan

pengajaran Ikhwanul Muslimin. Munas III (1935 M), diselenggarakan

sebagai respon bertambahnya jumlah anggota Ikhwanul Muslimin. Munas ke

IV (1937 M), diadakan untuk memperingati penobatan Raja Faruq. Dan

Munas V (1939 M), diadakan untuk memperingati dies natalis yang ke

sepuluh. Munas V inilah mengahasilkan fondasi ideologi Ikhwanul

Muslimin. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa Ikhwanul Muslimin

mencakup semua kategori reformasi sebagai pembawa pesan Salafiyyah,

Sunni, Sufi, organisasi politik, kelompok olahraga, persatuan kebudayaan-

pendidikan, perusahaan ekonomi dan ide-ide sosial (Mitchell, 2005: 19-21).

Juga melalui Munas V inilah mendefinisikan gerakan Ikhwanul Muslimin

sebagai organisasi politik. Gerakan ke arah aktivisme politik tidak saja

43

kesadaran yang meningkat akan kekuatan Ikhwanul Muslimin secara

Organisasi, tetapi juga dengan tren-tren situasi politik di Mesir (2005: 23).

Langkah awal yang ditempuh Hasan Al-Banna dalam menuju ranah

politik adalah dengan cara berkirim surat, pidato, ceramah atau menulis

berbagai artikel di surat kabar maupun majalah. Isi surat-surat tersebut adalah

seruan untuk melakukan perbaikan internal atas dasar sistem Islam, yang

dikayakini Hasan Al-Banna mampu menjamin keselamatan dunia dari

berbagai bentuk kebodohan, penyakit, dan dekadensi (Syamakh, 2011: xiv).

Misalnya pada tahun 1936 M, Hasan Al-Banna mengalamatkan

pidatonya pada Raja Faruq dan Mustafa An-Nahas (Perdana Menteri) berserta

raja-raja negeri Islam lainya. Ia menyeru untuk mengikuti jalan Islam,

menaati hukum, tata tertib, dan peradabannya. Hasan Al-Banna juga

mengirimkan 50 pasal untuk proyek pembaharuan menyeluruh dari berbagai

aspek kehidupan. Akan tetapi para penguasa tersebut tidak tergerak dengan

seruan Al-Banna tersebut (Rusli, 2014: 199-200).

Situasi politik Mesir telah didominasi oleh Raja Faruq. Ia dinobatkan

menjadi raja pada tahun 1937 M. Dalam penobatan tersebut Ikhwanul

Muslimin memliki peran penting sebagai pasukan pemandu dan pengaman.

Raja Faruq sangat dekat dan dipengaruhi oleh Mustafa Al-Maraghi (rektor

Al-Ahzar) dan Ali Mahir Pasha yang keduanya merupakan musuh bebuyutan

partai Wafd. Kombinasi mereka dengan pan-Arab bahkan Islam

memenangkan dukungan dari Ikhwanul Muslimin dalam menyeimbangi

partai Wafd. Di samping itu aktivitas Ikwhwanul Muslimin atas palestina

membuat Maraghi dan Mahir terkesan. Hubungan mereka terjalin akrab, hal

44

tersebut terlihat ketika massa Ikhwanul Muslimin menyambut kembalinya

Mahir ke Mesir setelah menjadi delegasi perundingan Meja Bundar London

tentang Palestina tahun1939 M.

Hubungan Mahir dengan Ikhwanul Muslimin semakin bertambah

penting pada tahun-tahun pertama Perang Dunia II. Namun, ada beberapa

pembelot dalam internal Ikhwanul Muslimin yang tidak puas demgam

hubungan tersebut yang akhirnya membentuk Jam’iya>h Syaba>b Syayyidina

Muhammad pada tahun 1939 M. Penyebrangan para pembelot ini meragukan

dana untuk palestina yang dikembangkan untuk kepentingan Ikhwanul

Muslimin, keterlibatatan Hasan Al-Banna dengan Al-Mahir dalam segala

bentuk aliansi politik kekuasaan Mesir, dan langkah Ikhwanul Muslimin yang

mencampurkan misi penyelamatan moral Mesir dengan pertimbangan politik.

Meskipun cukup merepotkan Hasan Al-Bana, pembelotan tersebut tidak

menghalangi kemajuan gerakan Ikhwanul Muslimin (Mitchell, 2005: 24-27).

Sejak awal Perang Dunia II, tepatnya pada Agustus 1939 M, Perdana

Menteri Muhammad Mahmud Pasya mengundurkan diri karena alasan

kesehatan sehingga Ali Mahir diangkat Raja untuk membentuk kabinet.

Pemerintah pada saat itu menyatakan loyalitas pada pemerintah Inggris dan

memutuskan diplomasi pada Jerman (2005: 27).

Menanggapi hal itu, Ikhwanul Muslimin mengirim surat kepada Ali

Mahir pada saat pecahnya perang. mereka menyampaikan dukungannya

terhadap netralitas Mesir dalam Perang dan pembatasan bantuan Mesir

kepada Inggris. Selain itu dalam tampilan luarnya Ikhwanul Muslimin

melanjutkan penerbitan pemikiran-pemikirannya, ia juga mengambil bagian-

45

bagian aktif dalam perlawanan nasional melawan Inggris dan penolakan

untuk terlibat perang (2005: 31).

Ali Mahir mengundurkan diri sebagai perdana Menteri karena konflik

dengan otoritas Inggris dan digantikan oleh Ahmad Hasanain Pasha yang

memulai pemerintahannya pada 27 Juni 1940, namun berakhir saat ia

meninggal pada bulan November (2005: 29). Kemudian pemerintahan

dipegang oleh Husain Sirri Pasha. Di bawah rezim ini intimidasi dan tekanan

Inggris sangat kuat. Ikhwanul Muslimin terus berupaya menyabarkan

pemikiran nasionalisme anti Inggris. Sehingga, Inggris menanggapi serius

perlawan Hasan Al-Banna dengan memblokir seluruh akses penerbitan

Ikhwanul Muslimin dan ancaman membahayakan kedudukannya. Pemerintah

saat itu melakukan operasi menggelandang para pemimpin Ikhwanul

Muslimin, yang menyebabkan kepindahan Hasan Al-Banna ke Mesir Selatan

(Al-Jundi, 2003: 178). Husain Sirri memberikan kebijakan dengan

menyetujui kepindahan Hasan Al-Banna tersebut dengan dasar Hasan Al-

Banna adalah pegawai negeri Kementrian Pendidikan. Hal tersebut

dimanfaatkan oleh partai Wafd untuk mempermalukan pemerintahan

(Mitchell, 2005: 32). Dengan kata lain, Hasan Al-Banna dibiarkan dibawah

kencaman parlemen. Namun setelah diketahui adanya sebuah pertemuan

untuk mengutuk Inggris, Hasan Al-Banna ditahan di penjara Az-Zaitun,

kemudian dibebaskan lagi karena menghidari kemarahan kader Ikhwanul

Muslimin (Al-Jundi, 2003: 178).

Hingga pada masa pemerintahan tersebut, Inggris mengeluh pada raja

Faruq dan menyuruhnya untuk memanggil Mustafa An-Nahas Pasya, ketua

46

partai Wafd, untuk membentuk pemerintahan. Saat raja mencoba melakukan

perlawanan, istana kerajaan dikempung tentara Inggris sehingga ia menyerah

dan kabinet Nahas Pasha dibentuk. Akhirnya pemerintahan partai Wafd

memegang kekuasaan sampai hampir berakhirnya perang dan berhasil

melaksanakan harapan Inggris (Mitchell, 2005: 29-31). Pemerintah mengajak

seluruh elemen untuk mengadakan dewan yang baru dengan pemilu Dalam

kabinet ini. Ketika Munas VI Ikhwanul Muslimin (1941 M), juga telah

memutuskan untuk mencalonkan Hasan Al-Banna menjadi kandidat distrik

Ismailiyyah. Namun Mustafa An-Nahas meminta Hasan Al-Banna untuk

mengundurkan diri. Tanpa banyak berdebat Hasan Al-Banna menerima

permintaan tersebut dengan syarat pembebasan Ikhwanul Muslimin dan

pelarangan minuman keras (2005: 38).

Korupsi dan konflik internal dalam kabinet ini menyebabkan

berakhirnya kekuasaan kabinet Nahas pada Oktober 1944. Sehingga pada

tanggal 9 Oktober 1944 pemerintahan istana memilih Ahmad Mahir ketua

partai Sa‟di untuk membentuk pemerintahan baru. Sejak itu hingga tahun

hingga pemilu 1950, Mesir diperintah oleh kalangan independen dan partai

Sa‟di. Yang merefleksikan kembalinya istana kekancah politik domestik dan

kesuksesan istana mengelauarkan Wafd dari kekuasaan. Situasi ini juga

menjanjikan Mesir pasca-Perang Dunia II, menghadapi problem internal dan

eksternal yang kritis (2005: 46).

Ahmad Mahir segera persiapan untuk pemilu, di mana orang-orang

Ikhwanul Muslimin juga bersiap-siap ikut ambil bagian. Hasan Al-Banna

kembali memilih Ismailiyyah dan kelima rekannya memilih distrik-distrik

47

lain di Mesir, mereka bermaksud berkampanye atas dasar progam Islam. Pada

Januari 1945, pemilu telah berlangsung, Hasan Al-Banna dan rekan-rekannya

kalah di daerah-daerah yang mereka yakini akan menang. Ketika Ahmad

Mahir menyatakan secara terbuka keinginannya mendeklarasikan perang

melawan negara Poros (Italia dan Jerman), Ikhwanul muslimin bersama

aktivis nasionalis termasuk Wafd melakukan protes, akan tetapi karena

dipaksa untuk mengamankan tempat bagi Mesir Ahmad Mahir tetap bertahan

dengan keinginannya. Ikhawanul Muslimin menyurati Ahmad Mahir dan

menasehatinya agar membatalkan pernyataan itu. Perbedaan itu kemudian

menambah menukik sehingga tekanan pun dilakukan pemerintah terhadap

Ikhwanul Muslimindan tidak lama sejumlah anggotanya ditangkap (Rusli,

2014: 202).

Ketika Ahmad Mahir membacakan deklarasi perang di depan Dewan

Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Februari, ia dibunuh. Hasan Al-Banna,

Assukari, dan Abidin ditangkap. Namun, kemudian dibebaskan karena

menyusul investigasi dan pengakuan bahwa pembunuh berasal dari partai

Nasionalis (Mitchell, 2005: 47). Hasan Al-Banna kemudian mengunjungi

Perdana Menteri yang baru, Mahmud Fahmi An-Nuqrasyi Pasha menjabat

selama 25 Februari 1945 sampai 14 Februari 1949. Teman dekat Amad Mahir

dan penerus ketua parat Sa‟di. Untuk menyampaikan rasa bela sungkawanya

dan menjelaskan misi Ikhwanul Muslimin. Nuqrasyi menanggapinya dengan

mengeluarkan perintah untuk mengawasi dengan ketat aktivitas Ikhwanul

Muslimin. Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan tingkat kekerasan yang

bervariasi (2005: 48).

48

Sikap Nuqrasyi melarang mahasiswa yang menjadi anggota Ikhwanul

Muslimin untuk masuk ke kancah politik. Pemerintahan Nuqrasyi juga

mengundang untuk melakukan perundingan dan negosisasi. Akan tetapi

mahasiswa menolak dan melakukan demonstrasi. Pemerintah pun mengutus

mata-mata dan intelegen Kubra Abbas, yang menyebabkan kematian terhadap

pendemostran. Pemerintahan Nuqrasyi yang pertama akhirnya berakhir

setelah tuntutan dari mahasiswa, dan diganti oleh Shidiqi Pasya. Hari terus

bergulir, akhirnya Nuqrasyi kembali kepanggung pemerintahan. Dalam

pemerintahan yang baru ia masi memakai cara-cara lama untuk

memanfaatkan dan mengekplotasi Ikhwanul Muslimin. Kemudian perang

Palestina terjadi. Hal tersebut menjadi pemicu konflik keras antara Nuqrasyi

dengan Ikhwanul Muslimin. Pertikaian berakhir dengan tragedi berdarah yang

dialami anggota Ikhwan (Al-Jundi, 2003: 228-229).

c. Periode Kematian Hasan Al-Banna (1948-1949 M)

Tepat tanggal 12 Desember 1948, pimpinan militer mengeluarkan

keputusan pendudukan markas Ikhwanul Muslimin. Sealian itu juga seluruh

harta dan hak miliknya disita. Kegiatan dibekukan dan para pemimpin

maupun anggota digelandang. Semua hal tersebut dilakukan berdasarkan

instruksi Wakil Menteri Dalam Negeri, Andurrahman Ammar yang diajukan

kepada perdana menteri Nuqrasyi. Tuduhan yang terjadi pada waktu itu

disebutkan jika mobil Jeep milik anggota Ikhwanul Muslimn ditangkap dan

ditemukan dengan berisi bahan peledak, beberapa nama, dan peta. Sejak itu,

semua peristiwa pemberontakan dituduhkan kepada Ikhwanul Muslimin (Al-

Jundi, 2003: 317).

49

Keberanian Nuqrasyi dalam menjalankan keputusannya menyusul

dikeluarkannya dekrit yang hanya diimbangi dengan ketegangan yang

melanda seluruh Mesir. Hasan Al-Banna masih tetap bebas meskipun tetap

berada dibawah pengawasan yang ketat (Mitchell, 2005: 92). Hanya dia saja

yang dibiarkan bebas, sedangkan para anggota lainnya digiring dan ditahan ke

Haikstib hingga menjelang awal tahun 1950 M (Al-Jundi, 2003: 318).

Akibat dari dekrit tersebut, Hasan Al-Banna lebih memahami kondisi

itu dari siapapun karena yang ditangkap pada 15 November 1948 setelah

ditemukan mobil Jeep adalah para pemimpin dan sebagiannya adalah anggota

biro rahasia Ikhwan. Apapun yang ditimbulkan akibat pembubaran tersebut

telah benar-benar memutus komunikasi maupun alat-alat kontrol dalam

organisasi. Pada tanggal 28 Desember 1948, kekhawatiran itupun terjadi. Saat

Nuqrasyi memasuki gedung Kementrian Dalam Negeri, ia disambut oleh

seorang pemuda yang mengenakan seragam tentara. Kemudian melepaskan

tembakan ke Nuqrasyi, setelah beberapa menit Nuqrasyi meninggal dunia. Si

pembunuh adalah Abdul Majid Ahmad Hasan 20 tahun, yang merupakan

anggota Ikhwanul Muslimin sejak 1944 M, mahasiswa tingkat III yang masih

aktif mengikuti kuliah sebelum sehari terjadinya pembunuhan tersebut.

Suasana berkabung saat penguburan Nuqrasyi disertai dengan teriakan-

teriakan pendukung Nuqrasyi yang menuntut kematian Hasan Al-Banna

(Mitchell, 2005: 92).

Pemerintah baru segera dibentuk oleh Ibrahim Abdul Hadi yang

merupakan teman dekat Nuqrasyi. Juga merupakan Kepala Kabinet Kerajaan

dan ketua partai Sa‟di. Pemerintahan Abdul Hadi dalam enam bulan

50

berikutnya menjadi pemerintahan teror bagi semua warga Mesir dan

mendapat kencaman dari setiap segmen opini publik, terutama kelompok

pemuda dalam angkatan bersenjata yang diam-diam mengadakan revolusi.

Abdul Hadi merupakan pemimpin pertama yang diajukan ke pengadilan

Revolusioner yang dibentuk oleh militer karena perbuatannya sendiri.

Hasan Al-Banna tidak pernah putus asa dan mencoba sekali lagi

melakukan negosiasi perdamaian dengan Abdul Hadi. Ia menawarkan kerja

sama dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi umat dengan syarat

pencabutan larangan aktivitas Ikhwanul Muslimin, pengembalian aset-

asetnya, dan pembebasan para anggotanya yang ditawan pemerintah. Komite

mediator telah dibentuk dengan melibatkan orang-orang yang dekat dengan

kedua belah pihak. Hasan Al-Banna berupaya mendekati pemerintah dengan

menulis pamflet Bayan Li>n Na>s, berisi pembenaran tindakan pemerintah dan

penyesalan atas pembunuhan Nuqrasyi (2005: 92-93).

Perdana Menteri Abdul Hadi tidak percaya dengan alasan Hasan Al-

Banna dan tidak melepaskan seorangpun anggotanya. Negoisasi gagal setelah

adanya upaya pengeboman pada gedung pengadilan tempat tersimpanya hasil

penyelidikan mobil Jeep pada tanggal 13 Januari 1949. Kemudian Syafiq

Ibrahim Anas yang merupakan seorang anggota lama biro rahasia Ikhwan

ditangkap, karena ia telah menyerahkan paket kiriman yang berisi bom dan

meledak diluar gedung. Hasan Al-Banna segera menyangkal perbuatan

tersebut dengan surat terbuka kepada Menteri Dalam Negeri (2005: 94).

Akhir Januari, komunikasi Hasan Al-Banna dengan pemerintahan

terputus. Pemerintahan mengeluarkan dekrit hukuman mati bagi siapa saja

51

yang tertangkap basah membawa bom dan bahan peledak. Bagi Abdul Hadi

dekrit ini ditujukan untuk menghancurkan biro rahasia Ikhwanul Muslimin. Ia

mengerahkan seluruh aparat pemerintah yang resmi maupun tidak resmi dan

melakukan penyiksaan, baik fisik dan mental. Untuk mempermalukan

tahanan Ikhwan, mereka digantung di sel tahanan mereka.

Setelah merasa putus asa melakukan perundingan dengan pemerintah

Hasan Al-Banna menulis pamflet Qaul Fashl yang disebarkan secara

sembunyi-sembunyi. Dalam pamflet itu, ia mengecam dekrit pembubaran

Ikhwanul Muslimin oleh pemerintah, klarifikasi atas peristiwa-peristiwa yang

telah dialami Ikhwanul Muslimin menurut versinya, dan menggambarkan

penyiksaan-penyiksaan yang dialami oleh anggota Ikhwanul Muslimin yang

telah ditahan. Yang paling penting dalam pamflet tersebut ia menyangkal

bahwa Ikhwanul Muslimin berubah menjadi partai politik dan merencanakan

penggulingan kekuasaan politik yang sah. Pamflet kecil tersebut merupakan

risalah terakhir Hasan Al-Banna. Hari Sabtu sore hari tanggal 12

Februari1949, setelah diundang secara misterius ke kantor Jami’iyyah As-

Syu’bban Al-Muslimun. Ia ditembak di halaman gedung tersebut setalah

masuk ke dalam taksi dan ia meninggal beberapa menit setelah dibawa ke

rumah sakit terdekat (2005: 95-97).

Berdasarkan pemaparan mengenai perjalanan Hasan Al-Banna bersama

Ikhwanul Muslimin tersebut, dapat dilihat bahwa Hasan Al-Banna merupakan

tokoh yang sadar akan realitas dan keadaan sosial pada masa kehidupannya. Ia

melihat persoalan umat yang dihadapi saat itu dengan objektif. Ia menggunakan

solusi-solusi modern tanpa mengabaikan persoalan agama dan budaya. Maka

52

tidak heran pada saat itu Ikhwanul Muslimin dapat diterima masyarakat Mesir dan

sukses berkembang dengan pesat.

3. Karya-Karya Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna tak hanya di kenal sebagai orator dan juru bicara yang

handal saja, namun ia juga dikenal sebagai seorang penulis dan redaktur beberapa

buku, majalah, dan tabloid. Di balik semua itu ia juga memabaca banyak hal. Ia

juga menguasai warisan intelektual Islam yang ia dapatkan dari pendidikan orang

tua maupun pendidikan formal secara baik.

Melalui gerakannya ia membangun akhlak dan kerohanian kepada setiap

anggota Ikhwanul Muslimin. Ia juga pernah ditanya,”mengapa engkau tidak

mengarang buku?”, Hasan Al-Banna menjawab, “Saya menulis manusia”. Hal ini

bermakna beliau membangun manusia dari segi akhlak dan ilmu untuk berjuang

(Ridhwan, 2009).

Meskipun demikian Hasan Al-Banna tetap menulis beberapa buku dan

berbagai artikel dalam tabloidnya, diantaranya adalah:

a. Mudzakkirat A’d-Da’wah wa Da’iyyah

Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul

‚Memoar Hasan Al-Banna; untuk Dakwah dan Para Da’inya‛ . Mudzakkirat

A’d-Da’wah wa Da’iyyah merupakan karya yang terulung, berisi semacam

buku harian Hasan Al-Banna, berawal saat ia belajar di Madrasah Ar-Rasyad

hingga perjuangannya untuk Palestina. Buku ini terbagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama meliputi kehidupan pribadinya dan bagian kedua mengenai

kegiatan Ikhwanul Muslimin.

b. Majmu’ah Rasa’il Imam A’s-Syahid Hasan Al-Banna

53

Buku ini merupakan himpunan yang disusun pada waktu tertentu

semasa hidupnya. Buku ini terbagi dalam beberapa sub bab:

1) Risalah A’t-Ta’li >m

Dalam bab ini berisi nasehat-nasehat kepada mereka telah yang menjadi

anggota ikhwanul Muslimin. Di dalamnya dijelaskan sepuluh dasar baiat.

Hasan Al-Banna juga menjelaskan berbagai kewajiban sebagai Ikhwan

dalam berbagai kehidupan setelah berikrar dalam baiat. Ia juga

menjelaskan dalam Risalah ini tentang peraturan-peraturan yang berlaku

sebagai Ikhwan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan Ikhwan.

2) Risalah Jihad

Risalah ini menerangkan kewajiban, kepentingan, dan kelebihan Jihad.

Imam Hasan Al-Banna menulis artikel ini, ketika para sukarelawan

Ikhwanul Muslimin melancarkan Jihad terhadap Yahudi di Palestina.

Manakala ini merupakan panduan untuk para mujahidin Islam.

3) Da’watuna Fi > Ta>uri Jadi>d

Artikel ini ditulis ketika gerakan Ikhwanul Muslimin sedang

berkembang pesat dan pada masa kejayaan. Para penentang juga

menyatakan keraguan mereka terhadapnya. Hasan Al-Banna juga

menjelaskan, setiap kecaman yang ditunjukkan kepada Ikhwan oleh para

penentangnya. Beliau menerangkan bahawa gerakan Ikhwan ini tidak

codong pada satu sekte tertentu tetapi sebenarnya merangkumi seluruh

umat manusia. Artikel ini juga menerangkan pendapat Ikhwan mengenai

pemahaman kebangsaan Mesir, pemahaman kebangsaan Arab, pemahamn

Orientalisme, dan pemahaman Universalisme.

54

Berhubung dengan perkara ini, Ikhwan berpendapat bahwa:

“Kami ingin menegakkan sebuah negara Islam di Mesir. Negara Islam ini

akan menerabkan dasar-dasar Islam, menyatukan orang-orang Arab dan

memelihara kebaikan mereka dan menyelamatkan umat Islam di seluruh

dunia terhadap penindasan dan kekejaman. Di samping itu, negara Islam

ini akan menyebarkan Islam dan menguatkan undang-undang

Allah.”Bagian akhir artikel ini, Hasan Al-Banna menyatakan hasratnya

untuk membina sebuah masyarakat yang terdiri dari perseorangan dan

keluarga-keluarga yang berpegang teguh kepada Islam.

4) A’r-Rasail A’ts-Tsala>tsah

Karya ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah “Apakah tugas

kita?”, yang kedua adalah “Ke arah mana kita menyeru manusia?”, yang

ketiga pula ialah “Risalah Cahaya”. Sebenarnya bagian yang ketiga itu

merupakan surat Hasan Al-Banna kepada Raja Mesir Shah Faruq, Perdana

Menteri Mesir Nihas Pasya dan para pemimpin Negara-negara Muslim

yang lain. Surat tersebut ditulis tahun 1936 M. Isi surat tersebut

menerangkan dengan panjang dasar-dasar Islam, kebudayaan dan hukum

Islam. Ia mengungkapkan kemarahannya kerana orang-orang Islam telah

meniru pola hidup Barat sedangkan mereka mempunyai dasar ideologi

mereka sendiri (red: Islam) yang lebih hebat. Ia juga membuat

perbandingan antara cara hidup Islam dengan cara hidup Barat.

Sebagai kesimpulan, ia menegaskan bahwa hanya Islam sajalah yang

merupakan solusi dari semua permasalahan dan dengan Islam akan

menjamin kemajuan dan kebahagian sebuah negara.

55

5) Baina Amsi wal Yaum

Risalah ini yang pertama kali ditulis oleh Hasan Al-Banna. Karya ini

ditulis sebelum terjadi Perang Dunia Pertama. Dalam makalah ini, beliau

menerangkan dasar-dasar Islam dan ciri-ciri pembaharuan ummah. Pada

peringkat awal, beliau membincangkan negara Islam pertama yang

berlandaskan Al-Quran di bawah pimpinan baginda Rasulullah SAW

sendiri. Berikutnya, ia membahas sebab-sebab jatuhnya umat Islam.

Terakhir, ia mengatakan bahawa Ikhwanul Muslimin mengajak manusia

kepada kesejahteraan yang berkekalan.

6) Risalatul Mu’tamarul Khamis

Risalah ini merupakan ceramah-ceramah Hasan Al-Banna dalam

Muktamar Kelima Ikhwanul Muslimin. Dalam ceramah ini, ia menimbang

kembali pencapaian Ikhwanul Muslimin sepanjang sepuluh tahun yang

lalu. Tiga permasalahan yang dibahas adalah Matlamat Ikhwanul

Muslimin dan corak (uslub) dakwahnya, dasar dasar dan cara-cara

Ikhwanul Muslimin, dan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap berbagai

pertubuhan dan dasar-dasar fahaman lain di Mesir.

7) Ikhwanul Muslimin di bawah panji-panji Al-Qur‟an

Tulisan ini merupakan ceramah Imam Hasan Al-Banna pada 4 April

1939 M pada perhimpunan Ikhwanul Muslimin yang diadakan di Kaherah.

Dalam ceramah ini, maqlamat dan tujuan Ikhwan telah dijelaskan. Ia juga

membicarakan tugas serta kewajiban para anggota dan mengemukakan

saran supaya melakukan pemberontakan terhadap kuasa-kuasa penjajah

yang sedang menghancurkan masyarakat Mesir.

56

8) Persoalan-persoalan negara dari segi kaca mata Islam

Hasan Al-Banna menulis makalah ini setelah jatuhnya negara Pakistan.

Ia membicarakan permasalahan politik negara Mesir dan negara-negara

Islam yang lain. Begitu juga negara baru Pakistan yang sedang diancam

oleh India dengan bantuan pihak Komunis. Beliau membagi masalah yang

dihadapi oleh Mesir kepada dua bagian. Di samping itu, beliau juga

membentangkan cara-cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Bagian pertama, beliau membincangkan segala keburukan corak

kerajaan waktu itu, kemudian ia memberi solusi terhadap masalah tersebut

menurut dasar dasar Islam. Dalam bagian kedua membahas dasar

ekonomi. Kemudian memaparkan sistem ekonomi Islam dan penyelesaian

terhadap masalah ekonomi Barat.

9) Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna

Karya ini merupakan sebuah khazanah keilmuan, yang mengadung

ceramah-ceramah dan kuliah-kuliah Hasan Al-Banna.

10) Maqalat Hasan Al-Banna

Karya ini berupa himpunan nasihat-nasihat dan arahan-arahan Hasan

Al-Banna kepada sahabat-sahabatnya dan para anggota Ikhwanul

Muslimin

11) Al-Ma’tsurat

Karya ini berupa karangan Hasan Al-Banna yang berisi kumpulan-

kumpulan doa-doa dan dzikr pada pagi dan sore hari. Karangan tersebut

selalu menjadi rujukan para anggota Ikhwanul Muslimin di pagi hari dan

57

sebelum Shalat Magrib. Al-Ma‟tsurat merupakan pembaharuan ikrar

mereka dalam menjalankan dakwah Islam (Ridhwan, 2009).

c. Surat Kabar dan Majalah

Hasan Al-Banna belajar dari Barat yang telah melakukan propaganda

melalui pers. Maka ia segera berfikir untuk mendirikan penerbitan pers, baik

untuk menyebarluaskan dakwahnya maupun menangkis lawan-lawan

politiknya. Pers menjadi proyek terbesar yang dilaksanakan Ikhwanul

Muslimin (Mitchell, 2005: 249).

1) Qanun Asasi Ikhwanul Muslimin

Qanun Asasi Ikhwanul Muslimin merupakan risalah awal yang

diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin dibawah kendali Hasan Al-Banna.

Risalah ini terbit berbarengan dengan progam internal jamaah (Al-Banna,

2006: 234).

2) Risa>lahul Mursyid ‘A>m

Risalah ini hanya terbit dua kali saja. Risalah pertama terbit pada

tanggal 19 Desember 1932 M dan risalah kedua terbit pada tanggal 2

Januari 1934 M (Al-Banna, 2006: 234).

3) Majalah Al-Ikhwan Al-Muslimin

Setelah Risa>lah Al-Mursyid ‘A>m, beberapa bulan kemudian Hasan Al-

Banna berhasil menerbitkan jurnal pertama Ikhwanul Muslimin yaitu

Majalah Al-Ihkwan Al-Muslimin. Majalah mingguan ini merupakan

penerbitan pertama berita Ikhwanul Muslimin. Majalah ini dipimpin oleh

Muhibbudin Al-Khatib. Hasan Al-Banna dengan modal 2 Pound mengajak

58

Khatib untuk bekerja sama mendirikan majalah ini pada bulan Mei 1938

M, dan terbit selama empat tahun kemudian (Mitchell, 2005: 249).

4) A’n-Nadzi>r

Majalah A’n-Nadzi>r merupakan majalah mingguan yang topiknya

membahas tentang politik. Majalah ini terbit tahun 1938 M, setelah

Majalah Ikhwanul Muslimin tidak diterbitkan lagi. Di dalam majalah ini,

Hasan Al-Banna telah menulis sekitar delapan puluh artikel yang

menyoroti masalah sosial dan politik yang sedang berkembang pada

masanya. Majalah ini sebagai pintu masuk pertama Ikhwanul Muslimin

dalam panggung perpolitikan, baik internal maupun eksternal. Namun,

setelah terjadi perselisihan yang menyebabkan terbentuknya gerakan

tandingan Syaba>b Muhammad, pada tahun 1938 M, sang editor bergabung

dengan gerakan tersebut dan mengambil alih penerbitan yang pada

akhirnya mengalami kebangkrutan karena kurang diminati (2005: 250).

5) Majalah Al-Manar

Setelah perselisihan pada penerbitan A’n-Nadzir, Hasan Al-Banna

segera menerbitkan kembali majalah lama berisikan pemikiran Salafiyah

yang dipelopori Rasyid Ridla. Setelah wafatnya Rasyid Ridla tahun 1935

M, majalah ini hanya tiga nomor yang terbit sampai bulan Juli 1939 M.

Saat Hasan Al-Banna mendorong terbitnya satu nomor lagi dengan

Bantuan Ikhwanul Muslimin enam nomor berikutnya dapat diterbitkan

(2005: 250).

59

6) Majalah A’t-Ta’aruf

Ikhwanul Muslimin menyewa majalah At-Ta’aruf dengan perpaduan

konsep antara tabloid Ikhwanul Muslimin dan majalah A’t-Ta’aruf. Isi

politik yang cenderung memihak Ikhwanul Muslimin. Dalam rangka

menjatuhkan Ikhwanul Muslimin, pemerintah pada tahun 1941 M,

mencabut SIUPP majalah Al-Manar dan mengambil alih majalah

mingguan At-Ta‟rif ini(2005: 250).

7) Koran Al-Ikhwanul Muslimin

Sebagai bagian dari kerja sama pemerintah dengan partai Wafd yang

meraih kekuasaan pada tahun1942 M, Ikhwanul Muslimin diizikan untuk

memulai aktivitas jurnalistik lagi. Majalah Ikhwanul Muslimin mulai

diterbitkan kembali pada bulan Agustus 1942 M. Kemudian setelah empat

tahun, majalah tersebut diganti menjadi koran Jari>dah Al-Ikhwanul

Muslimin, yang terus terbit sampai pembubaran Ikhwanul Muslimin pada

Desember 1948 M. Koran ini menjadi perwujudan salah satu impian

Hasan Al-Banna dan menjadi tanda bahwa Ikhwanul Muslimin sudah

sampai pada puncak kejayaan (2005: 250).

8) Majalah Asy-Syiha>b

Majalah ini diterbitkan bulan November 1947 M. Majalah ini berupa

jurnal pemikiran dan penelitian Islam yang meniru model Al-Manar.

Sebagian orang menganggap jurnal ini sebagai organ pribadi Hasan Al-

Banna majalah ini berhenti terbit saat Ikhwanul Muslimin dibubarkan

(2005: 251).

60

Karya-karya yang ditulis oleh Hasan Al-Banna tersebut pada umumnya

berbentuk artikel-artikel bukan dalam bentuk buku. Secara umum, ia menulis

artikel tersebut sebagai respon terhadap kondisi sosial pada saat itu sehingga

setiap risalah memliki tema-tema tertentu. Meskipun karya tersebut ditujukan

pada kondisi sosial pada masa itu, akan tetapi karyanya tersebut merupakan hasil

pemikirannya yang inspiratif yang hingga saat ini masih dikaji dan dipelajari oleh

para peneliti seiring dengan berkembangannya Ikhwanul Muslimin di berbagai

negara-negara baik Timur maupun Barat.

B. Pemikiran Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna merupakan sosok pemikir yang luas, ia tidak membenci

kebebasan berfikir sebagaimana ia tidak merasa tertekan bila menjumpai pendapat

yang kontradiktif. Ia mampu membawa pemikiran baru kepada khalayak tanpa

memaksa untuk diterima. Hasan Al-Banna mampu mengubah stigma masyarakat

terhadap agama (Al-Jundi, 2003: 481). Juga kemampuannya dalam menjelaskan

sisi-sisi kontradiktif maupun titik temu dengan Islam berdasarkan keyakinan

dalam dirinya bahwa Islam jauh lebih benar dan lebih memiliki kapabilitas

menuju terbentuknya tuntunan masyarakat yang benar.

Hasan Al-Banna dalam pemikirannnya berseberangan dengan demokrasi

Barat dan Markisme. Ia selalu berusaha menyingkap kekurangan madzhab

tersebut. Ia berpandangan bahwa madzhab-madzhab itu tidak akan bertahan di

tengah negara-negara Timur (red: Islam), karena negara-negara Timur memiliki

hubungan yang mendalam dengan agama, moral, dan tatanan hidup.

Pandangan Hasan Al-Banna mengenai hukum dan ajaran islam bersifat

universal dalam mengatur seluruh kehidupan manusia baik dunia maupun akhirat.

61

Ia juga menyangkal kepada orang-orang yang menafsirkan bahwa agama hanyalah

perihal spiritual yang menyangkut aspek ibadah saja dan tidak menyetuh perihal

duniawi. Sebab Islam menurutnya adalah akidah dan ibadah, pemerintah dan

umat, agama dan negara, spiritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang. Ia

menyakini Islam dengan pemahaman yang komperhensif dan intregal. Apabila

umat manusia ingin menjadi umat dengan kualitas keislaman yang benar, maka

Islam harus merefleksi dalam seluruh aspek kehidupan, menjadi warna kehidupan,

dipahami hikmah-hikmahnya, terealisir kaidah-kaidah, ajarannya, serta menjadi

pijakan dalam kehidupan (Syamakh, 2011: 15). Berikut beberapa pemikiran

Hasan Al-Banna yang mempresentasikan keuniversalan Islam:

1. Bidang Agama

Ide hasan Al-Banna dalam bidang agama ini di batasi pada tiga cabang,

diantaranya masalah fiqih, aqidah, dan tasawuf.

a. Bidang Fiqih

Sejak berlalunya masa Rasulullah dan para sahabatnya, telah terjadi

berbagai perbedaan pendapat (khilafiyyah) yang terjadi dalam permasalahan

fiqih. Terkadang dengan berbagai khilafiyyah ini, membuat umat muslim

berpecah belah dan hilang rasa toleransi diantara mereka. Menurut Hasan

Al-Banna hendaknya khilafiyyah dalam bidang fiqih tidak menjadi sebab

terjadinya perpecahan antar umat Islam, juga tidak menimbulkan permusuhan

dan rasa saling membenci (Rusli, 2014: 188).

Ia telah mengemukakan permasalan mengenai khilafiyyah didalam

mudzakkirahnya (karya perjalanan dakwahnya). Saat itu iya diberi pertanyaan

mengenai pendapatnya tentang tawassul (berdoa melalui perantara).

62

Kemudian ia memberikan pendapat bahwa menurutnya setiap mujtahid akan

mendapatkan pahalanya, tidak akan ada yang bisa menghalangi khilafiyyah

berdasarkan penelitian secara ilmiah. Jika permasalahan khilafiyyah ini

ditempatkan di bawah rasa cinta kepada Allah dan saling tolong-menolong

untuk sampai kepada hakikat kebenaran. Maka khilafiyyah tidak akan

membawa kepada sifat fanatik dan perdebatan (Al-Jundi, 2003: 502).

Ia juga menjelaskan bahwa para sahabat Nabi berbeda pendapat dalam

masalah furu’ fiqhiyyah atau cabang fiqih tetapi mereka tidak terpecah

jamaahnya dan tidak terjadi permusuhan diantara mereka. Para sahabat Nabi

dalam memberikan fatwa terdapat beberapa perbedaan, akan tetapi tidak

menjadikan perselisihan diantara meraka. Para sahabat yang berbeda

pendapat merupakan orang-orang yang paling dekat masanya dengan

kenabian dan paling mengetahui terhadap qarinah-qarinah hukum. Demikian

juga para mujtahid, mereka adalah orang-orang yang mengetahui Al-Qur‟an

dan Sunnah Rasul, mereka telah berbeda pendapat antara satu dengan yang

lainnya dan masing-masing berlapang dada dengan menjahui permusuhan

(Rusli, 2014: 189).

Jika terjadi khilafiyyah diantara umat muslim, Hasan Al-Banna

berpesan untuk kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul, menghindari

sifat riya‟ dan fanatisme yang hanya akan membuka pintu pertikaian yang

menyesatkan. Namun, jika mengutamakan rasa cinta dan persaudaraan pasti

akan terwujud persatuan umat islam (Al-Jundi: 2003:503). Terlebih lagi,

Khilafah Islamiyyah tidak akan mungkin terwujud tanpa persatuan dari umat

Islam itu sendiri.

63

b. Bidang Aqidah

Dasar aqidah Islam dan seluruh hukum Islam dalam berbagai aspek

kehidupan menurut pandangan Hasan Al-Banna adalah Al-Qur‟an dan

Sunnah Rasulullah SAW. Selain kedua sumber itu, aqidah juga dikuatakan

oleh akal dan ditetapkan oleh pandangan yang benar. Secara amalan Hasan

Al-Banna merujuk pada pola pikir kaum Salaf Al-Sha>lih. Maka jika ada

beberapa permasalahan Khilafiyyah dalam bidang Aqidah yang dimunculkan

oleh kaum , dilihatnya sebagai masalah furu’ (cabang), bukan sebagai

Ushu>lu’d-Din (pokok agama) (Anshori: 2008, 19).

Mengenai hal aqidah, Hasan Al-Banna berusaha keras untuk

memurnikannya dari aspek kesyirikan dan ia bermaksud untuk memberantas

kemungkaran ini. Tindakan tersebut terbukti organisasi yang ia dirikan

bersama teman-temannya yaitu Muhara>bah Al-Munkara>t yang bertujuan

memberantas kemungkaran dan kemaksiatan. Ia menjelaskan bahwa usaha

ini untuk mengembalikan kembali tauhid yang murni sesuai ajaran

Muhammad SAW dan sahabatnya tanpa mempercampurkan dengan

keyakinan-keyakina lain kepada selain Allah SWT. Kemudian ia menjelaskan

bahwa permintaan pertolongan hanyalah semata kepada Allah SWT. Setiap

aspek ibadah seharusnya hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh

dibelokkan kepada selain Dia.

Salah satu rukun baiatnya, Hasan Al-Banna menyatakan bahwa ziarah

kubur dalam keadaan bagaimanapun merupakan suatu amalan sunnah. Akan

64

tetapi meminta pertolongan kepada kuburan, minta dikabulkannnya baik dari

dekat maupun dari jauh, bernadzar kepada kuburan, mendirikan bangunan di

atas kuburan, menemboknya memberikan sinar lampu, minta berkah kepada

kuburan , bersumpah kepada selain Allah, dan perbuatan apa saja yang

berhubungan dengan bid’ah yang menurut keyakinanya adalah dosa besar

(Rusli, 2014: 201).

c. Bidang Tasawuf

Mengenai tasawuf, dalam pandangan Hasan Al-Banna terdapat dua

macam sifat tasawuf yaitu, tasawuf yang dilakukan dengan tepat dan tasawuf

yang dilakukan dengan tidak tepat. Tolak ukur dalam ketepatan dalam

tasawuf ini adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.

Hasan Al-Banna telah mendapati praktik tasawuf yang diselewengkan

dan jauh dari ajaran Islam. Praktek tasawuf seperti ini menurutnya dapat

merusak kehidupan manusia sehingga banyak orang menjadi lemah, fakir,

terbelakang, dungu, bodoh, dan banyak bertakhayul. Maka Hasan Al-Banna

menganjurkan untuk segera meninggalkan tasawuf yang sesat dan kembali

kepada tasawuf yang benar. Ia juga menjelaskan bukan berarti semua tasawuf

bersifat batil. Ia juga mengatakan jimat, kuburan, melumuri darah, pekerjaan

tukang ramal, perdukungan, dan perbuatan yang semisal adalah suatu

perbuatan yang mungkar dan harus diperangi. Terkecuali, terdapat dalilnya

dalam Al-Qur‟an dan Sunnah (2014: 189).

2. Bidang Politik

Hasan Al-Banna melalui gerakannya Ikhwanul Muslimim berupaya untuk

menegakan syariat Islam dalam sistem politik Mesir. Hal tersebut dibuktikan

65

dalam visi ajaran Ikhwanul Muslimin bahwa Islam merupakan pengalam dalam

aspek kehidupan yang menyeluruh tanpa terkecuali. Islam adalah jalan hidup yang

menyangkut urusan individu, masyarakat, negara, dan hubungan internasional.

Islam adalah sikap moral, kekuatan, kasih sayang dan keadilan. Islam adalah

pengetahuan, hukum, ilmu, dan pengadilan. Islam merupakan jalan jihad, dakwah,

dan gagasan. Ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang betul, ibarat satu koin

dua wajah (Istadiyantha, 2009: 66). Berdasarkan Hal tersebut Hasan Al-Banna

sering disebut sebagai tokoh fundamentalis.

Adapun teori penyebab munculnya fundamentalis Islam menurut Beinin

dan Joe Stork, yaitu pemimpin negara yang cenderung sekuler, Islam tidak

dijadikan Ideologi negara dan legitimasi politik oleh pemerintah, deskriminasi

pimpinan terhadap kelompok Islam, kristenisasi dan konsep politik Islam yang

bertentangan dengan Barat (2014: 190). Jika dianalis dari segi historis, kelahiran

Ikhwanul Muslimim sesuai dengan teori tersebut. Berawal dari hilangnya khilafah

(pemerintahan Islam) di Turki, ekspansi Inggris di Mesir yang menyebarkan virus

liberal dan sekulernya, juga partai-partai di Mesir meninggalkan politik Islam dan

lebih memilih demokrasi dengan sistem Barat dalam mendapatkan kemerdekaan.

Pengkategorian Hasan Al-Banna sebagai tokoh fundamentalis Islam

diperkuat dengan analisis Azumardi Azra. Ia menyebut Hasan Al-Banna sebagai

tokoh neo-salafi> dengan tiga pandangan dasanya yaitu, Islam merupakan sebuah

sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri, Islam memancar dari dua

sumber fundamental (Al-Qur‟an dan Hadits), Islam berlaku untuk segala waktu

dan tempat (Dewi, 2015: 78).

66

Pemikiran Hasan Al-Banna yang berkaitan dengan politik terbagi dalam

tiga kelompok, yaitu:

a. Reformasi Sosial dengan Asas Aqidah

Reformasi yang ditawarkan Hasan Al-Banna bertujuan untuk

membimbing umat menuju kebangkitan rohani. Ia menyakini benar, bahwa

sesungguhnya perubahan sosial dan perbaikannya harus dimulai dalam diri

sendiri. Perubahan pada fase awal terpusat dalam diri pribadi, selanjutnya

keluarga, dan selanjutnya menuju pada masyarakat secara menyeluruh demi

terbentuknya masyarakat yang memegang kebudayaan Islam. Perubahan

dengan asas aqidah ternyata memberika implikasi yang luas, setidaknya

dalam mempertahankan keimanan dan akhlak dalam kondisi negara yang

dalam perubahan apapun. Asas ini dibuktikan dengan ketahanan Mesir dalam

menghadapi modernisasi Barat pada masa hidupnya.

b. Tidak Adanya Pemisahan Agama dan Negara

Merujuk kembali terhadap pemikiran Hasan Al-Banna bahwa Islam

merupakan agama yang universal berlaku dalam masa, tempat, dan konteks

apapun. Seorang pemimpin harus berkolaborasi dengan ulama dalam

menjalankan kepemimpinannya. Kuatnya suatu pemerintah apabila peran

ulama diposisikan pada kedudukan yang sesuai. Ulama menjadi tempat untuk

mempertimbangkan semua kebijakan yang berkenaan dengan kemaslahatan

umat. Kehancuran sebuah pemerintahan menurutnya disebabkan peran ulama

dimarjinalkan dalam posisi lemah dan hanya sebagai sebuah tameng dalam

sebuah mengambil keputusan.

c. Syariat Islam sebagai Hukum Tertinggi dalam Pemerintahan Islam

67

Islam sebagai agama sempurna, mempunyai tataran nilai hukum yang

wajib diikuti semua umat Islam. Oleh karenya kedudukan syariat Islam

sebagai dustur al-a’la dalam pemerintahan Islam mutlak. Ide-ide cemerlang

menjadi wacana dasar Ikhwanul Muslimin, dan dengan gerakan Ikhwanul

Muslimin dilakukan melalui ceramah rutin, menerbitkan majalah dan brosur

atas eksistensi Islam dan pembaharuan, dan secara bertahap melakukan

rekonstruksi organisasi tersebut. Oleh karenanya untuk sebagian analisis al-

Husaini dan Yakan menilai bahwa gerakan awal al-Banna dan Ikhwanul

Muslimin mulai membangkitkan kesadaran beragama bangsa Mesir saat itu;

kesadaran kembali pada ajaran murni Islam; dan menumbuhkan spirit juang

untuk satu pembebasan terutama dari ekspansi kerajaan Inggris (2015: 79-

80).

3. Bidang Ekonomi

Berangkat dari pemikiran Hasan Al-Banna bahwa Islam merupakan

universal, maka ekonomi Islam menurutnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut:

a. Harta yang baik merupakan sumber penghasilan yang harus dijaga dan

dikelola serta dikembangkan dengan cara yang baik.

b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kewajiban bekerja, serta berusaha

bagi orang yang mampu.

c. Membuka sumber-sumber kekayaan alam dan memanfaatkan semua populasi

alam.

d. Sumber usaha yang kotor adalah haram.

e. Memperkecil jurang perbedaan sosial antara si kaya dan si miskin.

68

f. Jaminan sosial bagi seluruh penduduk dalam kebaikan dan takwa kepada

Allah.

g. Menghormati harta milik pribadi selama tidak bertentangan dengan

kemaslahatan umum.

h. Negara harus menetapkan dan memikul tanggung jawab untuk memelihara

peraturan- peraturan yang ada (Rusli, 2014: 193).

i. Mengatur pengeloaan zakat, baik penggalangan maupun pendistribusian

sesuai hukum Islam dan memanfaatkanya untuk kemaslahatan sosial.

j. Mengharamkan riba dan mengatur sistem perbankan Islami.

k. Mendorong kegiatan perekonomian untuk membuka lapangan pekerjaan

dengan melepaskan ketergantungan kepada asing.

l. Melindungi Masyarakat umum dari penindasan praktik monopoli pasar.

m. Mendahulukan pembuatan dan pengolahan berbagai proyek yang mendesak

kegunaanya dari pada yang bersifat sekunder (Istadiyantha, 2009: 73)

Menurut Hasan Al-Banna, seseorang yang ingin mendalami ajaran Islam

tentang ekonomi harus banyak mempelajari Al-Qur‟an, Sunnah Rasul, dan

buku-buku fiqh yang membahas tentang perekonomian Islam. Islam

mengharamkan sumber usaha yang kotor seperti riba, lotre, undian, dan

semacamnya. Islam juga melarang berspekulasi, mencuri, menipu, korupsi, dan

sebagainya. Jual beli barang haram juga dilarang dalam Islam seperti arak,

narkotika, babi, dan barang haram lainnya (Rusli, 2014: 193).

4. Bidang Pendidikan

Pendidikan yang dikehendaki oleh Hasan Al-Banna adalah pendidikan

yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip Islam. Hal tersebut merujuk kembali

69

bahwa Islam itu universal meliputi segala aspek baik secara universal waktu,

geografi, dan kemanusiaan.

Tujuan pendidikan melalui Madrasah menurut Hasan Al-Banna

merupakan suatu perwujudan dari nilai-nilai yang terbentuk dalam pribadi

manusia yang dikehendaki, yang mempengaruhi dan menggejala dalam prilaku.

Berorientasi untuk merealisasikan identitas islami. Metode pendidikan harus

sesuai dengan konsep dan martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi,

artinya harus mencontoh hukum Islam (Al-Banna, 2014: 51).

Usaha yang dilakukan dalam bidang pendidikan ini berkenaan dengan

sistem pendidikan yang seimbang. Dalam berbagai kesempatan Hasan Al-Banna

selalu menghimbau pemerintah agar menciptakan kurikulum pendidikan yang

seimbang. Ia menginginkan agar pelajaran agama dimasukan ke dalam kurikulum

sekolah pemerintahan, begitu pula dalam sekolah agama dimasukan berbagai

materi pembelajaran umum.

Selain memperhatikan pendidikan formal, ia juga mementingkan

pendidikan yang di bangun melalui lingkungan keluarga. Ia berpendapat bahwa

ajaran Islam membina pembentukan rumah tangga dan mengarahkan pada nilai-

nilai yang baik. Oleh sebab itu, ia selalu menekankan agar pribadi masing-masing

menjaga kehidupan keluarga Islam agar menjadi unsur yang membina persatuan

Islam (Rusli, 2014: 195). Berawal dari pembinaan lingkungan keluarga tersebut,

maka nilai Islam akan membudaya sehingga akan memungkinkan tercapainya

Khilafah Islamiyyah.

Berdasarkan berbagai pemikiran Hasan Al-Banna di atas baik dari segi

agama maupun politik, ekonomi, dan pendidikan menunjukkan Hasan Al-Banna

70

ingin mempresentasikan bahwa Islam itu sebagai rumusan yang tepat dalam

menghadapi kondisi Mesir saat itu. Ia juga ingin menunjukkan bahwa untuk

mengadapi pengaruh buruk Barat ataupun dengan modernisasi, agama (baca:

Islam) harus dijadikan barometer yang dijadikan filter karena tidak semua

modernisasi itu berdampak negatif.

C. Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan yang didirikan Hasan Al-Banna

yang juga merupakan hasil representasi pemikiran Hasan Al-Banna. Ikhwanul

Muslimin menjadi sebuah gerakan Islam yang terbesar dan sukses tersebar di

berbagai penjuru dunia terutama Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin dalam bahasa

Inggris disebut Moslem Brotherhood dan Moslem Brethren (en.wikipedia.org.,

10/05/2016. Istadiyantha, 2009: 63). Hasan Al-Banna mengatakan bahwa

Ikhwanul Muslimin bukanlah sebuah partai politik meskipun politik adalah salah

satu pilar Islam yang juga menjadi prinsip Ikhwanul Muslimin (Syamakh, 2011:

2). Meski demikian pada realitasnya Hasan Al-Banna dan gerakan Ikhwanul

Muslimin sering bersentuhan dengan politik praktis.

Para Ikhwan mengatakan bahwa mereka merupakan pemikiran, akidah,

sistem dan manhaj, yang tidak dibatasi oleh tempat, tidak diikat oleh

kewarganegaraan, dan tidak disekat oleh batas geografis. Mereka menganggap

mereka adalah orang ghuroba‟ yang melakukan perbaikan di tengah kerusakan

umat manusia. Ikhwan memahami Islam dari segala dimensinya, baik aqidah dan

ibadah, negara dan bangsa, moral dan materi, toleransi dan kekuatan, maupun

tsaqofah dan undang-undang. Sebagaimana mereka menyakini hakikat Islam

sebagai negara, pemerintahan dan umat, mushaf dan pedang. Ikhwan meyakini

71

bahwa khilafah dikaruniakan oleh Allah untuk mengatur umat manusia di bumi

(2011:2-5).

Gagasan Ikhwanul Muslimin mencakup semua kategori reformis. Hasan

Al-Banna mendefinisikan gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai pembawa pesan

salafiyah karena mengajak kembali kepada Islam yang murni, jalan sunniyah,

kebenaran sufiyyah, organisasi politik dengan hani’ah siyasah, olahraga dengan

jama’ah riyadhah, keilmuaan dan kebudayaan, perusahaan ekonomi, dan ide

sosial (Mitchell, 2005: 20. Syamakh, 2011: ix).

Motto utama gerakan Ikhwanul Muslimin secara umum adalah Rubba>n fi>l-

Lail wa Fursan fi>’n-Naha>r, “pendeta di malam hari dan ksatria di siang hari”.

Itulah ibarat yang diidealkan kepada setiap anggota Ikhwanul Muslimin. Untuk

melaksanakan ibarat tersebut harus berlandaskan aqidah yang lurus berdasarkan

Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulnya tanpa perlu melirik teori-teori filsafat atau

analogi-analogi mantiq.

Lambang organisasi Ikhwanul Muslimin adalah dua pedang melintang dan

menyangga Al-Qur‟an dan disertai potongan-potongan lafadz Al-Qur‟an yang

berbunyi وأعّدوا waa’iddu >>>>> yang bermakna bersiaplah kalian, serta tiga lafadz

lainnya yaitu; حق haq bermakna kebenaran, حرية churiyyah bermakna kebebasan,

,quwwah bermakna kekuatan. Simbol dua pedang mengelilingi Al-Qur‟an قوة

berarti gerakan ini siap mengangkat senjata dalam rangka jihad kapan saja dan

dimana saja demi tegaknya ajaran Islam di muka bumi (Anshori, 2008: 18).

Adapun dalam hal keanggotaan setiap anggota Ikhwan bisa dipanggil

dengan sebutan al-akh yang beretimologi bersaudara. Terdapat empat tingkatan

al-akh, dari tingkatan yang paling bawah menuju tingkatan yang paling tinggi,

72

yaitu; al-akh almusa>’id, al-akh al-muntasib, al-akh al-’amil, al-akh al-mijahid.

Diantara tingkatan keanggotaan tersebut ada pula yang dapat diduduki oleh

seorang al-akh secara langsung tanpa melalui jenjang keanggotaan dibawahnya,

meskipun seharusnya melalui jenjang keanggotaan normal. Hal tersebut, berkaitan

dengan tingkat kemampuan dalam kedudukan administratif, seperti kedudukan

ketua atau wakil departemen dan lainnya. Dan sebaliknya setiap al-akh juga bisa

turun tingkatannya karena berbagai faktor seperti kurang disiplin dalam

keanggotaan.

Tahap pergerakan disetiap tingkatan al-akh, dikenal unit terkecil dari

gerakan Ikhwan Muslimin yaitu al-usrah (keluarga). Usrah membangun sebuah

ikatakan aktif di antara anggota Ikhwanul Muslimin pelaksana (ikhwan al-

’a>milin). Usrah juga memungkinkan para ikhwan untuk bekerjasama dan saling

memberi informasi dalam urusan-urusan peting sehingga tidak mengalami

kebocoran informasi. Sedangkan untuk Ikhwan pejuang (ikhwan al-mujahidin)

juga memiliki unit usroh sendiri (Anshori, 2008: 20).

Di era sekarang, setelah peristiwa kudeta terhadap Muhammad Mursi

oleh militer pada tahun 2013, gerakan Ikhwanul Muslimin dianggap oleh otoritas

Mesir sebagai kelompok radikal dan teroris. Keputusan yang dikeluarkan pada

Senin, 23 September 2013 oleh Pengadilan Kairo melarang Ikhwanul Muslimin,

dan institusi lain yang memiliki keterkaitan atau menerima dukungan finansial.

Bentuk pelarangan tersebut disertai dengan penyitaan aset kekayaanya dan bentuk

kekerasan kepada pendukung Muhammad Mursi yang sebagian besar adalah

anggota Ikhwanul Muslimin (NU Online, 16/07/ 2016).

73

Setelah resmi dilarang dan dibubarkan oleh rezim Abdel Fattah As-Sisi,

seluruh kegiatan Ikhwanul Muslimin dibekukan oleh pemerintahan Mesir. Akan

tetapi, konsep-konsep gerakan Ikhwanul Muslimin dan berbagai pemikiran Hasan

Al-Banna, pada hakikatnya tidak mati dan masih eksis diberbagai gerakan

afiliasinya diberbgai negara-negara Muslim. Seperti di Turki terdapat partai

Keadilan Bangsa, di Malaysia terdapat Partai Keadilan Rakyat, di Palestina

terdapat partai Hamas (Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah), dan di Indonesia

terdapat Ikhwanul Muslimin Indonesia , Partai Bulan Bintang, dan Partai keadilan

Sejahtera. (Deviciptyasari, 2014. Id.wikipedia.org, 10/05/2016)

1. Karakter Dakwah Ikhwanul Muslimin

Mereka menyebut dakwah yang mereka lakukan berdasarkan asas

Rabbaniyyah, ‘Alamiyyah,dan Mumtamayyizah.

a. Rabbaniyyah

Disebut rabbaniyyah karena asa yang menjadi seluruh sasaran dakwah

adalah bagaimana agar manusia dapat mengenal tuhannya. Dari ikatan yang

kokoh tersebut maka dapat membentuk spiritual yang mulia, yang

menghantarkan jiwa-jiwa manusia membumbung tinggi, bebas dari kebekuan

dan kegersangan materi yang pekak menuju kesucian, keutamaan, dan

keindahan hakikat manusia.

b. ‘Alamiyyah

Dakwah Ikhwanul Muslimin disebut alamiyah karena dakwah kami ini

ditujukan kepada seluruh umat manusia karena pada dasarnya manusia adalah

bersaudara, dari mana asal mereka adalah satu, moyang mereka satu, dan

nasab mereka juga satu. Tidak ada yang superior diantara mereka kecuali

74

dengan takwa dan kebaikan. Oleh karena itu Ikhwanul Muslimin tidak

meyakini prinsip rasialisme kebangsaan dan fanatisme kesukuan, ras, atau

warna kulit. Ikhwanul Muslimin menyeru pada persaudaraan.

c. Mumtamayyizah

Disebut mumtamayyizah karena pemikiran mereka meliputi seluruh

aspek perbaikan masyarakat dan mempresentasikan ide-ide gerakan dakwah

yang lain. Setiap reformis yang semangat untuk melakukan perubahan maka

akan menemukan harapan-harapannya dalam Jamaah Ikhwanul Muslimin

(Syamakh, 2011:12-13).

Pelaksanaan dakwah Ikhwanul Muslimin mengedepankan persatuan umat

dan menghindari khilafiah (perbedaan) agar tercapainya persaudaraan antar umat

muslim. Ikhwanul Muslimin juga menjauhkan diri dari campur tangan para

pejabat dan pembesar negara, partai politik dan badan politik umat. Mereka juga

menekan sistem pengkaderan dan sistem tahapan dalam fase-fase gerakan.

Mendahulukan sisi keilmuan produktif dari pada sekedar propaganda, promosi,

dan agitasi. Memberikan perhatian besar pada kader muda dan hal-hal yang

diminati oleh mereka. Mengembangkan organisasi dengan sangat cepat ke

pelosok-pelosok negeri (Anshori, 2008: 23. Syamakh, 2011:34).

2. Ideologi Ikhwanul Muslimin

Ideologi Ikhwanul Muslimin ditetapkan oleh hasan Al-Banna setelah

Munas V, ide-ide itu meliputi definisi Islam menurut Ikhwanul Muslimin;

penegasan bahwa Islam adalah sistem menyeluruh sempurna serta wasiat terakahir

dalam semua kategori kehidupan, Islam diformulasikan dari dan didasarkan

75

kepada dua sumber utamanya (Al-Qur‟an dan Sunnah), dan Islam diterapkan pada

semua zaman dan tempat (Mitchell, 2005: 20).

Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa hukum dan ajaran islam itu

universal dalam mengatur seluruh kehidupan manusia baik dunia maupun akhirat.

Ikhwanul Muslimin juga menyangkal kepada orang-orang yang menafsirkan

bahwa agama hanyalah perihal spiritual yang menyangkut aspek ibadah saja dan

tidak menyetuh perihal duniawi. Sebab Islam dalam pandangan Ikhwanul

Muslimin adalah akidah dan ibadah, pemerintah dan umat, agama dan negara,

spiritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang. Ikhwanul Muslimin menyakini

Islam dengan pemahaman yang komperhensif dan intregal. Apabila umat manusia

ingin menjadi umat dengan kualitas keislaman yang benar, maka Islam harus

merefleksi dalam seluruh aspek kehidupan, menjadi warna kehidupan, dipahami

hikmah-hikmahnya, terealisir kaidah-kaidah, ajarannya, serta menjadi pijakan

dalam kehidupan. Ikhwanul Muslimin berpendapat jika berekor kepada Barat dan

non-muslim dalam berbagai aspek kehidupan, maka umat ini akan menjadi umat

yang tidak sempurna keislamannya.

Di samping itu, Ikhwanul Muslimin juga meyakini bahwa pedoman Islam

adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW. Manusia tidak akan tersesat jika

berpegang teguh pada keduanya. Oleh karena itu sistem yang harus menyertai

umat manusia harus bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Keuniversalan Islam

berlaku bagi setiap bangsa, umat, wilayah, dan setiap zaman. Menurut Ikhwanul

Muslimin Islam datang dengan sesuatu yang lebih sempurna dan lebih tinggi dari

kehidupan parsial ini, khususnya dalam urusan-urusan keduniaan dunia murni.

Islam meletakkan kaidah-kaidah universal dalam seluruh aspek kehidupan, lalu

76

membimbing manusia pada tataran pelaksaan dan meniti langkah kehidupan pada

batas-batasnya (Syamakh, 2011:15-17).

3. Tujuan Ikhwanul Muslimin

a. Jangka pendek

Tunjuan jangka pendek dapat dilihat sejak seseorang bergabung

menjadi anggota baru atau ketika Ikhwanul Muslimin tampil dalam aksi-aksi

di medan umum.

b. Jangka panjang

Dalam tujuan panjang ini Ikhwanul Muslimin memerlukan kejelian

melihat momentum, mengunggu peluang zaman, persiapan yang mantang,

dan didahului dengan takwin (pembentukan).

Tujuan jangka panjang Ikhwanul Muslimin, antara lain:

1) Tujuan pertama berkontribusi dalam kebaikan dengan bentuk apapun,

serta melakukan pelayanan sosial di setiap kondisi yang memungkinkan.

2) Tujuan pokok Ikhwanul Muslimin yang dianggap terluhur dan perbaikan

yang diinginkan oleh Ikhwanul Muslimin yang untuk itu mereka

mempersiapkan diri adalah melakukan perubahan secara total dan

integral, melibatkan seluruh unsur kekuatan umat, bagi mereka berpadu

bahu-membahu untuk mengadakan perubahan dan perbaikan secara

menyeluruh.

3) Ikhwanul Muslimin menghendaki kebangkitan umat yang ideal, yang

tunduk pada Islam, hingga Islam menjadi petunjuk dan pemimpin berada

77

dikedudukan teratas; yaitu umat yang dikenal di tengah-tengah manusia

sebagai daulah yang berhukum dan memperjuangkan Islam (negara

Islam).

4) Ikhwanul Muslimin juga berjuang dan membentuk dan menghidupkan

kembali negara Islam agar di tengah masyarakat tegak berdirinya

pemerintahan muslim dan hukum Islam digunakan untuk mengatur

seluruh aspek kehidupan manusia (2011: 18-19).

4. Tugas dan Harapan Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin menilai kondisi umat sangat memprihatikan setelah

Islam mengalami kemunduran. Secara global umat sedang berhadapan dengan

gelombang materialisme dan peradaban hedonis yang merosotkan moral bangsa-

bangsa Islam, menghambat perkembangan bangsa Islam, hingga banyak

membiarkan masyarakat dalam kemunduran. Sehingga Ikhwanul Muslimin

merasa memiliki tanggung jawab, tugas, dan juga harapan dalam upaya

membangkitkan umat.

a. Tugas Ikhwanul Muslimin

Adapun secara rinci tugas Ikhwanul Muslimin dalam upaya memajukan

umat Islam adalah sebagai berikut:

1) Islah Al-Chukumah: Menegakan sistem hukum (red: syariat Islam) dalam

negeri.

2) Iqamah Al-Khila>fah Al-‘Ammah: Menegakkan sistem hubungan

internasional dengan mengembalikan kekusaan Internasional ke tangan

umat Islam.

3) Tahrir Al-Wathon: membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah.

78

4) Menegakkan sistem kerja pada hukum peradilan.

5) Menegakan sistem pertahanan dan kemiliteran yang mewujudkan

pertahanan umum.

6) Menegakkan sistem ekonomi mandiri untuk kekayaan alam dan harta

benda, di mana negara dan setiap individu menjadi asasnya.

7) Menegakan sistem pengajaran dan pendidikan untuk memberantas

kebodohan dan kemunduran.

8) Islah Al-Bait Al-Muslimi>n: Menegakkan sistem keluarga dan

kerumahtanggaan untuk mencentak generasi muslim yang berkualitas.

9) Islah A’n-Nafs: Menata aturan yang mengatur perilaku pribadi.

10) Islah Al-Mujtama’: Menciptakan spirit umum mulai dari individu dan

masyarakat umum.

b. Harapan Ikhwanul Muslimin

Harapan dan keinginan Ikhwanul Muslimin yang ingin dicapai setelah

melakukan perbaikan, antara lain sebagai berikut:

1) Ikhwanul Muslimim menginginkan pribadi sesuai karakter muslim dalam

pola pikir dan akidahnya, dalam moral dan perasaannya, dan dalam kerja

serta tindakannya.

2) Ikhwanul Muslimin menginginkan terbangunnya rumah tangga yang

islami, sehingga Ikhwanul Muslimin juga sangat memperhatikan kepada

para wanita seperti halnya laki-laki, dan memperhatikan anak-anak seperti

halnya pemuda.

3) Ikhwanul Muslimin menginginkan terwujudnya bangsa muslim.

79

4) Ikhwanul Muslimin juga menginginkan sebuah pemerintahan Islam

sebagaimana yang pernah terjadi pada masa para Sahabat Nabi yang telah

berhasil membawa umat dalam kejayaan. Ikhwan Muslimin menolak

pemerintahan konservatif yang dipaksakan oleh orang-orang kafir.

5) Ikhwanul Muslimin menginginkan negara Islam merdeka dari dominasi

asing dan negara yang bebas tersebut berdiri Daulah Islamiyahyang

berlandaskan hukum Islam. Menurut Ikhwanul Muslimin selama Daulah

Islamiyyah belum tegak maka seluruh kaum muslimin menanggung dosa

(2011:21-26).

Organisasi Ikhwanul Muslimin ini merupakan prestasi terbersar Hasan Al-

Banna sepanjang hayatnya. Pasalnya ia berhasil merumuskan gerakan

kebangkitan umat Islam. Sebelumnya, memang ada beberapa tokoh Islam yang

sudah melakukan berbagai pembaharuan seperti Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha dan lainya, akan tetapi mereka tidak membentuk institusi seperti halnya

Hasan Al-Banna yang telah membentuk Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin

sendiri merupakan gerakan yang berkonsentrasi dalam membangun akhlak umat

manusia. Akan tetapi yang menarik dalam Ikhwanul Muslimin sendiri adalah

membidik semua bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, dan menerima

modernisasi selama sesuai dengan hukum Islam.