buku pendidikan menuju manusia mandiri
TRANSCRIPT
Kata Pengantar
Tu l i san in i d ibuat sebaga i upaya menyumbangkan
pemik i ran mengena i tu juan pend id ikan d i Indones ia .
Walaupun, penu l i s membaca banyak buku tentang
pend id ikan dan mengena l se luk be luk keh idupan
pend id ik , namun ia t idak merasa d i r inya sebaga i
pakar . Ker induannya hanya lah satu , agar generas i
ber ikutnya, terutama putra bungsunya send i r i
mendapatkan proses pend id ikan yang tepat da lam
konteks bangsa besar yang terus menerus d i rundung
masa lah in i .
Gagasan dasar buku in i had i r ket ika ia mengamat i cara
i s t r inya mendid ik ket iga anak-anak mereka. Kata
kunc i yang se la lu d ikemukakan i s t r inya kepada put ra
put r i mereka ada lah: “Kamu harus beran i mandi r i
da lam menentukan p i l ihanmu ser ta juga menanggung
konsekuens inya . Kata -kata in i te rus memicunya untuk
meref leks ikan s i s tem pend id ikan yang te lah menga lami
berbaga i perubahan se jak ia menjad i guru TK d i Jakar ta
pada tahun 1976.
Kemandi r ian ada lah t i t i k berangkat untuk
menghas i lkan produkt i f i tas dan pemaknaan yang
menda lam. In i lah in t i pemik i ran yang d iharapkan agar
menjad i bahan d iskus i d i antara pend id ik , o rang tua ,
dan pengamat ser ta ah l i -ah l i agama. Semoga, demi
bangsa yang terc in ta in i , dun ia pend id ikan d i ta ta
dengan leb ih tepat .
1
Jakar ta , November
2005
2
MENUJU MANUSIA MANDIRI:
SUMBANGAN PEMIKIRAN
Untuk
MEMBANGUN FALSAFAH PENDIDIKAN
DI TENGAH DUNIA YANG BERUBAH CEPAT
Robby I Chandra
3
PASAL I
A R E N A S A A T I N I :D U N I A Y A N G B E R U B A H C E P A T
Pendahuluan
Hadi sudah menjadi guru SLP di Surabaya sejak tahun 1995.
Mulanya, profesi pendidik bukan merupakan idamannya,
namun semakin lama, ia semakin menyukai keberadaan di
tengah siswa-siswinya. Selain itu, di malam hari ia dapat
memberikan les piano, sehingga penghasilannya cukup besar.
Namun, sejak tahun lalu ia mulai merasakan kerisauan.
Semua ilmu yang dikuasainya untuk proses mendidik seakan
menjadi tumpul. Siswa-siswi lebih suka ber-sms daripada
menyimkan uraiannya. Pekerjaan rumah merekapun
dikerjakan dengan asal jadi. Kemudian, mereka sering
mempertanyakan kebijakannya, serta menentang informasi
yang ia berikan tentang suatu topik. Ketika ia menguping
percakapan mereka, ia mendengar istilah-istilah aneh, “Star
Craft, Ragnarok, dan Warhammer.” Rekan-rekan Hadi juga
mengeluh bahwa, para siswa cuma ingin kenyamanan dan
hal-hal yang mudah. Mereka segan berpikir kritis dan sangat
tidak tekun. Apa yang terjadi disini? Sementara Hadi
dibingungkan juga dengan tuntutan sekolah swastanya agar
pendidik menjadi lebih ramah pada orang tua siswa,
4
mengenal internet, dan mengenal metode ajar-belajar yang
terus menerus berubah.
Di bumi tidak ada satu hal pun yang tetap, kecuali perubahan.
Di dalam dunia pendidikan, murid-murid berubah, orang-
tuanya pun berubah, bahkan guru-guru juga berubah. Hal itu
terjadi karena dunia berubah. Perubahan itu menuntut solusi
baru dan proses pendidik yang baru.
Bukti perubahan tadi ada yang kentara namun ada pula yang
samar. Dua puluh tahun yang lalu, tidak terbayang oleh kita
bahwa di desa-desa sudah ada TV berwarna. Tidak pula
terbayang bahwa, di kota-kota kecilpun, warnet dan wartel
merajalela, walaupun banyak orang sudah membawa hand-
phone. Siapa pula yang membayangkan bahwa, anak-anak
kecilpun mengenal Play Station dan sejenisnya. Apalagi yang
dikenal dengan nama proses demokratisasi. Kita juga tidak
mengenal flu burung atau pemilihan kepala daerah oleh
rakyat.
Ada banyak cara untuk menjelaskan atau memetakan
perubahan tadi. Salah satu cara adalah dengan melihat
bahwa kesadaran manusia modern mengalami perubahan
yang dahsyat. Kalau dimasa lalu manusia menjalani hidupnya
dengan tekun namun tanpa menyadari dirinya secara tajam,
kini manusia modern sangat sadar diri. Bukan saja ia
membedakan dirinya dan dunia dimana dia berada, namun
dunia menjadi arena tempat ia mengungkapkan
pengaruhnya. Ia semakin sadar apa yang ia ingin capai dan
apa yang harus ia dapatkan. Dengan kata lain, manusia
modern melihat hidup bukan saja sebagai hal yang harus ia
5
jalani, namun terutama sebagai sesuatu yang ia harus
gunakan, kuasai, dan bahkan taklukkan.
Kesadaran serupa itu bukanlah hal yang sepenuhnya baru,
Mungkin, kesadaran diri itu dimulai ketika budaya Yunani
Romawi lahir dan filsafat Yunani mulai muncul serta menjadi
cara manusia memandang realitanya. Kita tahu bahwa dalam
filsafat Asia, manusia memandang dirinya sebagai bagian dari
alam semesta. Karena itu dalam keberadaannya, manusia
berupaya menemukan keseimbangan atau harmoni dengan
alam semesta. Bermacam-macam mitologi lahir untuk
menunjang pandangan itu. Sebagai lawannya, dalam filsafat
Yunani manusia dipandang sebagai mahkluk yang memiliki
kuasa untuk mengelola dan mengendalikan semesta alam
dan hidupnya. Jadi tujuan keberadaannya adalah, bukan
mencari harmoni, tetapi mencari kemampuan mengendalikan
semesta. Ketika agama Kristen mengadopsi pola pandang
tadi, maka manusia semakin menyadari kuasa dan dorongan
untuk mengendalikan semesta. Di Eropa kesadaran tadi
menjadi pendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan
yang dahsyat, terutama setelah masa abad pertengahan
yang, dimana sempat terjadi stagnasi.
Di dalam jaman modern kesadaran manusia akan
pengaruhnya itu semakin berkembang karena manusia
modern hidup di kota ciptaannya, dan memiliki teknologi,
terutama teknologi komunikasi yang sangat canggih. Jadi,
manusia modern bukan hanya ingin mengendalikan alam
semesta dan menaklukkannya, namun juga memiliki peranti
dan kemampuan untuk mewujudkan hal itu. Ia menjadi
semakin yakin bahwa, waktu dan ruangpun dapat ia kuasai.
6
Handphone sebagai salah satu teknologi ciptaannya lebih
membuat orang sederhanapun menyadari kuasa tadi.
Kita akan menguraikan bagaimana kehadiran kota dan
teknologi komunikasi telah mengubah dunia sehingga
semakin dikendalikan manusia. Sekaligus sebagai efek
samping, juga kedua hal tadi –kota dan teknologi komunikasi-
mengubah manusia. Sebagai akibat perubahan tadi,
bermacam-macam masalah baru muncul. Solusi-solusi yang
manusia berikan terhadap masalah di abad lalu tidak lagi
menjadi efektif dan relevan di abad ini. Dunia pendidikan
merupakan bagian hidup yang juga mengalami masalah-
masalah baru tadi. Suatu solusi yang baru dalam dunia
pendidikan perlu dilahirkan.
Aku pasti bisa ..
Aku pasti bisa mendapatkan
apa yang kumau ...
Aku pasti mampu mengejar
cita-citaku ...
Ku tahu yang ku mau
Ku tak tahu bahwa aku bisa kena stroke ...
Litani Mr. Stroke, manusia
modern
Memetakan perubahan di Indonesia dan dampaknya
7
Bila dalam dekade yang lalu tulisan-tulisan yang merupakan
kajian-kajian tentang trend perubahan seringkali memberikan
perhatian yang sangat besar pada perkembangan ekonomi
dan teknologi canggih, seperti yang dibuat oleh John Naisbitt.
Namun, ternyata untuk konteks Indonesia, aspek budaya dan
sosial menjadi aspek-aspek yang lebih dominan untuk dikaji,
khususnya dalam masa transisi yang berkepanjangan kini. Di
tengah kenyataan serupa ini banyak orang-orang yang bergerak
di bidang pendidikan bekerja kadangkala dengan tidak
menyadari betapa mendasarnya perubahan yang sedang terjadi
bahkan, mereka tidak mampu memperkirakan arahnya.
Suatu hal adalah pasti, Proses perubahan yang besar tidak bisa
tidak akan terimbas ke dalam dunia pendidikan entah melalui
melalui eksponen-eksponen dalam jajaran pimpinannya atau
para pengelola, para pendidik, bahkan, orang tua siswa dan
para siswa sendiri.
Di bawah ini akan coba dipaparkan apa yang sedang terjadi di
Indonesia, baik di kota besar, menengah, dan kecil . Tentunya
dampak perubahan tadi ada dalam gradasi dan intensitas yang
berbeda, namun dapat berguna untuk memberikan pemetaan
sehingga kita menyadari bahwa kita membutuhkan suatu
sudut pandang yang baru dalam mendidik. Mungkin
kelengkapan analisisnya masih perlu ditambah, namun sejauh
ini prakiraan ini dibuat sebagai kerangka kerja (working
framework) dan platform program (dasar program).
8
Walaupun sudah berkali-kali disampaikan, secara umum dapat
disimpulkan bahwa pada saat ini sekurangnya, ada dua
pengaruh yang besar sedang melanda Indonesia di samping
pergulatan sosial politik. Pengaruh yang pertama datang dari
kehadiran budaya kota di Indonesia. Pengaruh kedua muncul
dari merebaknya teknologi komunikasi dan media massa.
Kedua pengaruh tadi menghasilkan beragam perubahan dan
kombinasinya di dalam hidup masyarakat dan khususnya di
dalam dunia pendidikan.
Pengaruh Budaya kota
Memasuki abad XXI kehidupan umat manusia beranjak ke
dalam suatu arena yang baru. Hidup modern ditandai dengan
menjamurnya kota-kota besar dan budayanya yang terus
menjadi pemberi pengaruh yang dahsyat. Jabotabek, Manila,
Singapore, Tokyo dan berbagai kota Asia yang berada di bibir
samudra Pacific dipadati dengan belasan ribu orang per
Budaya Kota
Teknologi komunikasi
DUNIA MODERN,Termasuk Dunia
Pendidikan
9
kilometer persegi. Kalau kita tinggal di Jakarta, berarti kita
berdesak-desakan mencari sepetak tanah untuk dijadikan
rumah bersama lebih dari 13 ribu orang dalam satu kilometer
persegi.
Surat Kabar Suara Pembaharuan 19 Februari _____ mencatat bahwa jumlah penduduk di perkotaan Indonesia, terus meningkat, menimbulkan semakin banyak masalah sosial. Salah satu masalah serius yang semakin sulit adalah penyediaan rumah, terutama bagi penduduk yang berpenghasilan rendah.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Ir Erna Witoelar menyatakan hal itu dalam sambutan tertulis di depan peserta seminar nasional "Pengembangan Perumahan dan Permukiman dalam Rangka Menunjang Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia", di Bandung, Sabtu (17/2). Sambutan menteri disampaikan Ir Endang Widayati, Direktur Perumahan Wilayah Tengah, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Jakarta.
Dia mengungkapkan, pada tahun 1980, hanya 17,42 persen penduduk Indonesia yang bermukim di kota. Namun tahun 1990 jumlahnya meningkat drastis menjadi 31 persen.
Bahkan, pada tahun 2020 diperkirakan separo penduduk Indonesia akan berdiam di perkotaan. Pada tahun itu akan terdapat 23 wilayah perkotaan dengan penduduk lebih dari satu juta jiwa, empat di antaranya merupakan megacity yang berpenduduk lebih dari lima juta jiwa.
Hal tersebut senada dengan apa yang dituliskan oleh Sarjono
Herry Warsono, dalam makalah yang dimuat dalam website
Depnakertrans
(www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/majalah_balitfo/volume
_2_1) sebagai berikut:
10
Berdasarkan data SP 1980, SP 1990 dan SP 2000, maka dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di Indonesia yang relatif mengalami peningkatan yang berarti. Secara nasional berturut-turut adalah 22,3 persen pada tahun 1980, menjadi 30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi 42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut mendeskripsikan bahwa selama duapuluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000.
Peningkatan proporsi tersebut berdasarkan data per provinsi, dominan terjadi di perkotaan wilayah Jawa yang rata-rata mencapai 8,57 persen dalam waktu duapuluh tahun terakhir, sedangkan wilayah luar jawa relatif kecil, yaitu rata-rata hanya 3,37 persen dalam waktu yang sama.
Dari makalah itu dapat dibuat grafik yang diletakkan di bawah ini:
11
0
10
20
30
40
50
Laju peningkatanPenduduk Perkotaandalam 3 dekade Terakhir
Laju peningkatanPendudukPerkotaan dalam3 dekadeTerakhir
22.3 30.9 40.2
1 2 3
Akibat kehadiran kota, maka suatu budaya yang baru muncul,
kita mengenalnya dengan nama budaya kota. Budaya kota ini
merebak sejalan dengan pertumbuhan dahsyat kota-kota di
Indonesia dan di dunia tadi. Mengapa kota bertumbuh dan
desa ditinggalkan? Mengapa kota-kota besar semakin
bertambah jumlahnya? Salah satu sebabnya ialah orang
berpindah ke kota karena kota merupakan simpul-simpul
ekonomi, kehidupan sosial, politik, ilmu pengetahuan,
perawatan kesehatan, dan rekreasi. Kota-kota menawarkan
hidup yang memiliki banyak pilihan-pilihan, serta hidup yang
senantiasa menawarkan hal-hal baru. Kota juga menawarkan
budaya yang menekankan ekplorasi pilihan-pilihan dan
kebebasan berekspresi yang desa tidak banyak berikan.
12
Manusia kota: Kami punya
banyak pilihan yang dulu
tidak kita miliki…
Namun, hidup di kota juga membuat orang harus membayar
mahal. Untuk menyadari dan memahami setiap pilihan, orang
harus menonton televisi atau membaca surat kabar. Keduanya
bukan merupakan hal yang gratis. Untuk mampu memilih
dengan baik dan mengekspresikan diri melaluinya, orang harus
memiliki keterampilannya. Keterampilan memilih tadi juga
perlu didapatkan dengan membayar. Bahkan sekedar untuk
berada dan hidup di kota besar, orang harus membayar
dengan mahal.
Apakah ciri dari budaya kota? Agar tidak salah memahami,
perlu dicatat disini sebelum memasuki pemaparan bahwa
budaya kota tidak selalu dimonopoli oleh orang kota. Budaya
kota juga seringkali sudah menjadi acuan dari kehidupan di
desa di berbagai lokasi di Indonesia. Misalnya, desa-desa di
kabupaten Klaten, mungkin lebih dipengaruhi oleh budaya kota
daripada kota-kota kecil di tempat lain.
Ciri--ciri budaya kota terlihat dari beberapa hal, baik yang
bersifat kasat mata, yaitu artifak atau benda-benda yang
dipergunakan sehari-hari dan perilaku orang atau interaksinya,
13
serta dari hal yang tidak kasat mata yaitu, nilai-nilai dan
keyakinan yang orang kota miliki.
Dari perilaku dan interaksi orang yang menganut budaya kota,
terlihat beberapa hal yang menonjol,
Hidup dijalani dengan tergesa-gesa
Hidup dianggap sebagai hal yang penuh persaingan
Orang kota bersikap dan bertindak pragmatis dalam
mengatasi masalah-masalah mereka
Hidup dengan mobilitas tinggi
Hidup dijalani dengan interaksi atau hubungan anonim
alias tidak terlalu saling mengenal dengan orang lain.
Akibat keseluruhan hal-hal di atas ialah hidup dalam budaya
kota menjadi hidup yang tidak mendukung upaya refleksi atau
perenungan dan pencarian makna yang mendalam mengenai
keberadaan manusia.
1. Secara umum orang dalam budaya kota
harus mengambil lebih banyak keputusan
setiap harinya, menjumpai lebih banyak orang
baru dalam tiap hari dibandingkan apa yang
dialami orang desa dalam setahun, serta lebih banyak
mengalami keadaan baru. Hal ini membuat orang kota merasa
optimis dengan hidupnya, namun membuatnya harus
mengejar sesuatu, bersaing dengan orang lain, dan selalu
tidak merasa memiliki cukup waktu. Di dalam pengambilan
keputusan karena orang kota juga dipenuhi oleh info dari
berbagai media, maka orang kota cenderung mengambil
keputusan yang cepat, singkat, dapat dipergunakan dan
diaplikasikan, tanpa memusingkan diri dengan penyebab yang
14
terlalu mendasar dan rumit serta solusi yang utuh dan
berjangka panjang.
2. Selanjutnya, karena kota merupakan
masyarakat yang cair atau berubah-ubah, maka
orang perlu merebut kesempatan atau mencipta
kesempatan baru, bila perlu dengan berpindah-
pindah. Perpindahan ini dilakukan secara sosial
dan geografis. Artinya, orang kota yang
terburu-buru juga bergerak kian kemari dalam tempat kerja
dan hidupnya, namun secara kelas sosial juga mengubah-ubah
posisinya, umumnya tentu mereka berupaya naik ke kelas
yang lebih tinggi.
Karena gejala di atas, maka orang kota juga harus membatasi
siapa yang akan menjadi “relasinya.” Ia mengadakan
hubungan dengan orang, terutama bersandar pada fungsi
mereka. Hanya kepada sekelompok kecil manusia, hubungan
mereka dikembangkan sampai pada taraf hubungan antar
pribadi yang mendalam. Maka orang kota cenderung tidak
ambil pusing dengan urusan pribadi orang lain dan cenderung
tidak juga menyukai hubungan antar pribadi yang terlalu
mendalam, kecuali dengan sejumlah kecil manusia lain yang
dianggapnya memiliki fungsi yang bermanfaat bagi hidupnya.
Keseluruhannya menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam
budaya kota menjadi manusia yang berlari, risau, lelah, dan
kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung dengan
mendalam. Bahkan, mungkin hubungannya dengan sang
Pencipta cenderung bersifat fungsionil atau hanya emosionil.
15
Tidak heranlah bahwa di kota-kota, justru kegiatan agama
menjadi marak dan spektakuler, namun terutama yang bersifat
ritual dan simbolis atau tidak mendasar, sekedar untuk
menyenangkan hati dan memberikan ketenangan sesaat.
Orang merasa punya identitas, kesepiannya teratasi
sementara, dan merasa nyaman karena sudah menjadi
manusia saleh beragama, walaupun hal itu terjadi ketika ia
berada di dalam ruang ibadahnya saja.
Tantangan pelayanan pendidikan modern dalam menghadapi
dampak budaya kota ini adalah bagaimana mengajak siswa,
orangtuanya, dan sesama pendidik dengan bersama-sama
mengadakan refleksi atau perenungan secara mendalam atau
secara berkala. Pendidik patut
membuat hal ini menjadi hal yang
dinikmati. Tantangan terbesar
terntunya adalah bagaimana agar
pilihan-pilihan, pengejaran-
pengejaran, dan pembelajaran-pembelajarn yang menjadi
keniscayaan di budaya kota mendapatkan makna secara
spiritual. Selain itu, tantangan pelayanan pendidikan di
dunia perkotaan adalah bagaimana menyiapkan para siswa
untuk mampu menyadari, memahami, dan mengambil
pilihan-pilihan yang tersedia. Hal tersebut tidak merupakan
tantangan yang terlalu besar di masa lalu, karena pilihan
yang tersedia memang tidak terlalu banyak. Lebih dari pada
itu, dimasa lalu sebagian besar warga masyarakat membatasi
atau memasung dirinya sendiri.
16
Jadi, pilihan-pilihan dan memaknainya merupakan tantangan
dasar dunia perkotaan bagi siswa-siswa dan pendidiknya.
Tidak lagi mungkin dalam hal ini siswa “diajari” bagaimana
memilih, karena pilihan-pilihan baru dan situasi memilih yang
baru terus hadir serta tidak dapat diantisipasi oleh pendidik.
Konsekuensinya ialah hanya satu cara untuk mencapai hal itu,
yaitu menyiapkan siswa yang terbiasa mandiri mengenali
pilihan yang ada, memiliki acuan nilai yang tepat untuk
memilih, dan mampu melakukan pilihan secara mandiri.
Kemandirian ini menjadi fitur yang harus dicapai oleh siswa-
siswa sebelum mereka memasuki masa dewasanya.
Pertanyaan yang besar ialah, apakah para pendidik modern
siap untuk melayani mereka untuk mendapatkan fitur serupa
itu? Apakah kurikulum yang ada, dan apakah suasana atau
iklim pendidikan yang ada memungkinkan siswa bertumbuh
menjadi siswa yang mandiri dalam melakukan pilihannya?
Pengaruh teknologi komunikasi dan media massa
17
Pakar komunikasi, Tony Schwartz menyampaikan bahwa media
massa adalah Tuhan yang kedua. Artinya seperti Yang Maha
Kuasa, pengaruh media hadir dimana-mana, kapan saja dan
untuk siapa saja. Sementara itu
Jacques Ellul menyampaikan bahwa
media massa modern mendefiniskan
atau menentukan realita yang
disuguhkan kepada kita. Lebih awal
lagi, begawan ilmu komunikasi yaitu
Marshall McLuhan bahkan
mengatakan, media komunikasi sudah menjadi pesan
tersendiri. Ahli-ahli itu menunjukkan kepada kita bahwa,
teknologi komunikasi dan media massa berubah dengan
dahsyat dalam lima dekade terakhir ini.
Dimasa lalu, media massa adalah media dimana komunikasi
dikirimkan dari satu sumber kepada sejumlah besar penerima
proses komunikasi tadi. Jadi media massa pada waktu itu
harus dipahami mencakup surat kabar, radio dan televisi. Kini
dengan hadirnya internet dan handphone, maka muncullah
proses komunikasi yang memungkinan seorang pengirim
pesan menyampaikan berita kepada beberapa penerima
komunikasi. Namun karena kecanggihan teknologinya,
dimungkinkan juga dalam proses ini, berbagai pihak mengirim
pesan ke berbagai pihak atau ke satu individu. Untuk internet,
proses serupa itu dapat berjalan serempak sedangkan untuk
handphone prosesnya terjadi bergantian. Jadi, handphone dan
internet harus tercakup juga sebagai media massa, karena
mengandung fitur yang serupa dengan fitur media masa di
masa lalu.
18
Peran media massa yang demikian kuat pada massa kini
disebabkan karena media massa modern menjalin berita atau
informasi dengan analisis serta hiburan dalam kombinasi yang
berbeda-beda. Apapun juga bentuknya, baik MTV, TV, SMS,
VCD atau komik menentukan gambaran kita tentang dunia dan
opini masyarakat dimana kita berada. Hampir semua
komunikasi yang disampaikan media massa, terutama televisi
sangat membiasakan kita dengan
kekerasan,
hubungan seksual bebas dan
pola hidup nyaman.
Media massa membuat juga kesadaran global menjadi
semakin kuat. Jumlah informasi yang didapatkan seseorang
menjadi sangat banyak. Hal tadi memungkinkan munculnya
wawasan yang lebih luas.
Format media massa yang semakin beragam terasa memenuhi
tuntutan kemahalan, sehingga orang dibiasakan untuk melihat
segala sesuatu yang tergesa-gesa, tak lengkap, cepat, dan
harus disimpulkan sendiri. Maka, kemampuan orang-orang
terutama anak-anak kecil untuk menyimak untuk waktu yang
panjang semakin berkurang. Semua komunikasi yang rumit
tidak dianggap menarik dan kalau tidak menarik akan tidak
diperhatikan. Tanpa disadari kita menjadi orang yang hiduo
dengan mengutamakan kesan lebih dari pada membahas
pesannya.
Walaupun media massa memperkaya informasi dan wawasan,
secara umum dengan menekankan kesan, maka orang tidak
19
lagi dibiasakan berpikir kritis. Salah satu bentuk
ketidakkritisan adalah munculnya konsumerisme: belilah apa
yang ditawarkan bukan karena kau membutuhkannya tetapi
karena sudah banyak orang yang menggunakannya. Dalam
negara dimana kebenaran dan kejujuran bisa dinegosiasikan,
maka media massa dapat menjadi alat pembentuk opini
terhadap seorang tokoh, segolongan manusia, atau suatu
pendapat tertentu.
Secara sederhana saja dampak bagi pelayanan pendidikan
akibat gaya hidup dimana media massa mempengaruhi orang
dari pagi sampai tengah malam akan besar.
Pertama, cara orang berkomunikasi semakin singkat padat dan
menyentuh kesan. Dalam proses pendidikan, sesuatu yang
berbobot namun tidak dikomunikasikan secara atraktif tidak
akan mendapat perhatian apalagi diterima.
Kedua, banyaknya informasi dan opini yang beredar membuat
seorang pendidik harus terus menerus mengenali apa yang
dibicarakan dan relevan bagi siswanya atau siapa yang
dilayaninya. Ia tidak bisa tertinggal terlalu jauh.
Ketiga, media massa, khususnya internet dan handphone, di
awal milenium baru membuat orang terbiasa dengan informasi
dan opini yang majemuk. Generasi N, yaitu para remaja yang
hidup bersama internet, semakin terbiasa mencari sumber
info, meramunya, menganalisisnya, serta memperdebatkannya
dengan mereka yang sejenis, sementara orang tuanya
membiarkan mereka bertualang di dunia virtual tanpa
pengawasan. Semakin lama semakin handal mereka dan
20
semakin tertinggal orang tuanya atau pendidiknya. Untuk
petama kali di dalam sejarah manusia, para anak dan remaja
memiliki akses dan kehandalan teknologis yang terus
bertambah dibandingkan dengan orang tuanya, dan karenanya
pertama kali di dalam sejarah, sebuah generasi tumbuh dan
hadir tanpa pengawasan yang memadai dari orang tuanya.
Karenanya, sangat dibutuhkan suatu paradigma pendidikan
yang dapat menjawab tantangan ini. Suatu pengkomunikasian
yang tidak dialogis dari pihak pendidik atau pengelola lembaga
pendidikan yang sangat otoriter akan memancing penolakan
dari mereka yang terbiasa dengan pluralitas pandangan.
Simaklah apa yang disampaikan artikel yang dimuat di tahun
2002 di www.coldfusion.web.id yang dikutip di bawah ini:
Pengguna Internet Indonesia Mencapai 4,2 Juta User
posted: 04 Jan 02 [ Sunaryo Hadi ]
Reporter: Sigit Widodo
Pengguna internet di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 4,2
juta user. Angka ini naik lebih dari dua kali lipat dibanding akhir 2000
sebesar 1,9 juta. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Heru Nugroho, kepada
detikcom, Kamis (3/1/2002).
4,2 juta pengguna internet ini menurut Heru berasal dari sekitar 550
ribu pelanggan perumahan, 26 ribu pelanggan corporate, 2.500
lembaga pendidikan dan 2.500 warung internet (warnet).
Untuk pelanggan perumahan, Heru membagi dalam dua kategori:
pelanggan yang hanya menggunakan akses internetnya sendiri dan
pelanggan yang menggunakan bersama keluarganya. Jumlah
pelanggan yang menggunakan akses internetnya sendiri
diperkirakan mencapai angka 100 ribu.
Sedangkan pelanggan yang mempergunakannya bersama
keluarganya mencapai 450 ribu. Dengan asumsi satu account ini
dipergunakan oleh empat orang anggota keluarga, berarti total
21
pengguna internet dari pelanggan perumahan dari dua kategori ini
mencapai 1,9 juta user.
Sedangkan untuk pelanggan corporate, Heru membaginya dalam
tiga kategori: perusahaan besar, sedang dan kecil. Perusahaan besar
dengan jumlah komputer rata-rata sebanyak 50 pc diperkirakan
mencapai seribu pelanggan. Perusahaan sedang dengan jumlah
komputer rata-rata sebanyak dua puluh pc diperkirakan berjumlah 5
ribu.
Sedangkan perusahaan kecil dengan jumlah PC rata-rata sepuluh
buah mencapai 20 ribu perusahaan. Dari sini Heru mengasumsikan
jumlah pengguna internet dari pelanggan corporate mencapai 350
ribu user.
2.500 lembaga pendidikan menurut Heru terbagi menjadi 2 ribu
sekolah dan 500 institusi pendidikan tinggi. Sebuah sekolah rata-rata
memiliki 500 orang siswa dan sebuah institusi pendidikan tinggi rata-
rata memiliki seribu mahasiswa. Karena itu dari 2.500 lembaga
pendidikan ini diperkirakan terdapat 1,5 juta pengguna.
Keempat, karena daya kritis siswa yang menurun, maka
diperlukan suatu sikap pendidik untuk menghadapi hal ini,
karena akan mudah siswa dan orang tuanya yang tidak kritis
terbuai oleh tawaran pendidikan populer dan informasi media
massa yang memberikan pemuasan “psikologis” yang dangkal.
Sulit untuk pendidik menangani siswanya pada masa kini
tanpa kesediaan membimbing mereka melalui jalan
pengetahuan serta sentuhan emosi dan keteladanan sekaligus.
Pendidik ditantang mengemas kekayaan pengetahuan,
kebijaksanaan dan insight spiritualnya dalam bahasa yang
atraktif dan dapat dipahami siswa dan orang tuanya.
Gabungan Pengaruh Keduanya
22
Gabungan pengaruh antara budaya kota dan teknologi media
sangat nyata dalam bentuk proses globalisasi yang juga
mempengaruhi Indonesia, dimana dunia semakin tanpa batas.
Dengan demikian sistem pendidikan yang ada di Indonesia pun
tidak luput dari pengaruh globalisasi. Karena globalisasi yang
terjadi dimotori oleh kekuatan teknologi dan ekonomi, maka
sistem pendidikan mendapat dorongan agar terutama
menghasilkan manusia-manusia yang bermanfaat maksimum
bagi dunia teknologi dan ekonomi. Tidak mengherankan
karenanya, di negara-negara berkembang yang berupaya
mengejar ketertinggalan ekonomi, pendidikan di bidang
humaniora, tergeser.
Tentu dapat dipertanyaan apakah di sebuah negara di Asia
tenggara, arus perubahan dimana budaya kota, globaliasasi,
dan media memang berdampak sebesar itu, terutama dengan
kuatnya budaya pedesaan dan tradisinya. Dari pengamatan,
terlihat bahwa orang-orang desapun menggunakan budaya
kota sebagai rujukan yang bernilai bagi mereka, Anak-anak
desa ingin pindah ke kota, televisi menjadi idaman banyak
keluarga, bahkan sampai pulau yang jauh sekalipun. Demikian
juga dengan telekomunikasi melalui wartelnya. Dengan kata
lain, budaya kota, globalisasi dan media tidak menghadapi
tantangan budaya dan sosial yang berarti.
Kesimpulan
Ada dua tantangan yang dihadapi oleh pendidik di masa kini.
Dunia perkotaan dan budayanya yang merebak dan mulai
dianut bahkan oleh mereka yang tinggal di desa-desa,
23
membuat siswa dan orang tuanya hidup berlari, tidak tenang,
dan tidak mencari makna. Selain itu mereka mengejar
beragam pilihan yang kota tawarkan. Pendidik ditantang
untuk menolong mereka menghadapi hal baru ini.
Tantangan kedua adalah terbiasanya orang tua dan siswa yang
menganut budaya media untuk berpikir tidak kritis, lebih
berdasar kesan, serta gandrung hal-hal yang atraktif. Mereka
yang sudah mengenal internet juga terbiasa untuk kebenaran
atau informasi yang saling bertentangan dan majemuk. Para
pendidik ditantang untuk berkomunikasi dengan bahasa
kalangan ini serta berdialog dengan siswa dan orang tua
mereka.
24
P A S A L 2
D A M P A K :P E T A K O N T E K S P E N D I D I K A N D I
I N D O N E S I A
Mendidik di dunia yang stabil?
Tiga puluh tahun yang lalu, dalam suatu kelas filsafat, dosen
kami yang datang dari Belanda dan menguasai bahasa
Indonesia dengan sangat baik menjelaskan makna istilah “ada
dan keberadaan.” Dengan tenang lalu ia bertanya, “Darimana
kalian tahu bahwa, pohon mangga itu ada,” sambil menunjuk
ke sebuah pohon mangga di halaman tadi. Kami menjawab
dengan tenang, “Pohon itu ada karena jelas terlihat.” Sang
dosen meminta kami menutup mata, lalu ia bertanya,
“Apakah sekarang pohon mangga itu tidak
lagi ada karena kalian tidak dapat
melihatnya?” Kami terdiam sejenak, lalu
menjawab dengan yakin, “Pohon itu masih
ada, walaupun kami tidak melihatnya.” Ia tersenyum dan
berkata lagi, “Jadi, ada atau tidak adanya sebuah benda tidak
tergantung pada pembuktian berdasarkan indera kalian.
Setuju? Kalau begitu, bergantung pada apa?” Seorang
mahasiswa dengan tenang menjawab, “Salah satu jawaban
ialah bahwa sesuatu ada karena memang ia ada.” Sang
dosen agak terperanjat, dan semakin lanjut kuliah berjalan,
25
semakin terperanjat ia karena sang mahasiswa terus menerus
menjawab dengan tepat dan seakan mengantisipasi topik
berikutnya.
Apa yang terjadi disana? Ternyata sang dosen menggunakan
cerita yang sama, metode yang sama dan rangkaian
pertanyaan yang sama untuk tiap pelajarannya dalam 10
tahun terakhir. Mungkin cara untuk mengajarkan ilmu filfasat
pada waktu itu memang tidak membutuhkan perubahan-
perubahan. Namun tanpa ada yang mengetahui, sang
mahasiswa memiliki seorang kakak yang sepuluh tahun
sebelumnya mencatat dengan setia kuliah sang dosen dan
kini adiknya menggunakan catatan kakaknya tersebut untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan sang dosen.
Mendidik di dunia yang berubah cepat
Dalam lingkungan yang statis, maka seorang pendidik
mungkin akan menjalankan tugasnya dengan mudah.
Mungkin proses belajar yang telah diciptakan 15 tahun silam
masih tetap dapat dipergunakan. Gaya mengajar yang
dianggap canggih pada 10 tahun yang lalu mungkin pula
masih dapat diminati siswa-siswinya. Namun dengan adanya
berbagai perubahan yang dipaparkan pada pasal pertama,
jelaslah bahwa para siswa, orang tua mereka, konteks hidup
mereka serta para pendidik sendiri sedang mengalami
perubahan yang mendasar.
26
Jadi, kita harus kembali ke pertanyaan sederhana. Metode
pendidikan yang bagaimana yang cocok untuk jaman
sekarang? Suasana belajar seperti apa yang harus diciptakan
dan dipelihara kini? Karena dalam proses pendidikan, peran
dan diri pengajar sangat berperan di samping peran siswa-
siswi dan peran pengelola lembaga pendidikan, maka kita
dapat menajamkan pertanyaan tadi dengan menyoroti peran
pendidik. Jadi, pertanyaan yang sangat mendasar adalah
apakah peran utama dari seorang pendidik yang baik di
jaman ini?
Dari pengamatan dan percakapan dengan berbagai pendidik
mengenai peran dan tugasnya di lapangan, sekurangnya
terdapat pergeseran pemahaman ke salah satu dari tiga
paradigma yang berbeda tentang peran pendidik sejalan
dengan pemahaman tentang pendidikan yang juga berubah-
ubah.
1. Paradigma pertama menganggap proses
pendidikan adalah proses menolong siswa-siswi agar
potensi terpendam mereka menjadi berkembang
penuh. Jadi metafor yang dapat dipergunakan untuk
menjelaskan paradigma ini adalah dengan
memandang siswa-siswi sebagai bunga
yang belum mekar atau bibit tanaman
yang belum bertumbuh. Jadi tujuan
proses pendidikan adalah menolong
siswa-siswi yang dianggap sebagai
subjek pendidikan untuk mencapai aktualisasi
potensi mereka. Tentunya, dalam pandangan ini
mereka ditolong berkembang demi suatu tujuan
yang lebih luas, yaitu menjadi manusia yang utuh.
27
Dalam paradigma ini, peran pendidik adalah seperti
peran bidan yang memfasilitasi proses belajar,
menstrukturkan pengalaman belajar yang akan
dialami siswa-siswi, menjaid teladan serta inspirasi,
dan melayani siswa-siswi sebagai kelompok dan
secara individual. Teori psikologi perkembangan
menjadi kerangka untuk menyusun kurikulum bagi
proses pendidikan yang berdasar paradigma ini.
2. Dalam paradigma yang kedua, pendidikan
dipandang sebagai proses membekali dan melatih
siswa-siswi dengan kompetensi umum yang dapat
dipergunakan mereka di dalam hidup sehari-hari
atau profesi mereka kelak. Asumsi di balik
paradigma ini adalah bila sekelompok kompetensi
dimiliki, maka situasi yang beragam yang akan
dialami siswa-siswi akan dapat mereka tangani
dengan baik. Peran pendidik adalah pembentuk
kompetensi siswa.
3. Dalam paradigma yang ketiga, pendidikan
dipandang sebagai proses menyiapkan para siswa-
siswi untuk dapat
melakukan suatu
rangkaian tugas-
tugas tertentu.
Semakin jelas
rumusan keluaran atau output dari tugas-tugas tadi,
semakin tajam dan kuat proses pendidikan tersebut
dirancang. Dengan demikian tugas pendidik adalah
28
menolong siswa-siswi menguasai keterampilan dan
sikap yang cocok dalam melaksanakan tugas-tugas
tertentu di dalam dunia kerja kelak.
Paradigma yang mana yang cocok untuk jaman sekarang
untuk konteks Indonesia? Kita perlu menyadari bahwa,
Indonesia sendiri tidak merupakan suatu konteks pendidikan
yang homogen atau sama. Tiap daerah merupakan suatu
konteks yang khas, maka paradigma tentang peran pendidik
yang cocok untuk tiap konteks tadi juga tentu berbeda-beda.
Namun, sekurangnya ada dua variabel dapat dijadikan
penentu dalam memetakan konteks pelayanan yang dihadapi
pendidik. Pertama, kecepatan sang pendidik sendiri dalam
menyerap perubahan dan kedua, para siswa, siswa atau
keluarga mereka dalam menyesuaikan diri terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi.
Secara sederhana, pendidik pada masa kini dapat diklasifikasi
berdasarkan tingkat kecepatan atau keluwesan mereka dalam
menghadapi perubahan yang terjadi. Ada pendidik yang
dengan cepat menyesuaikan diri dengan budaya kota yang
merebak kemana-mana dan dengan teknologi komunikasi
yang tinggi. Sebaliknya ada di antara mereka yang sangat
‘gagap’ dalam menghadapi budaya dan teknologi yang baru.
Di pihak lain, jenis kelompok siswa-siswi yang dididik dapat
juga dimasukkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
mereka yang menyerap perubahan dengan cepat, menyerap
29
perubahan secara bertahap, atau dan mereka yang berubah
dengan lambat.
Kombinasi dari kedua variabel ini (pendidik dan siswa) akan
menentukan konteks pendidikan yang ada sebagaimana
diperlihatkan dari matriks dengan sembilan sel di bawah ini.
TINGGI MENENGAH RENDAH
30
Dampak
perubahan
bagi siswa:
Daya adaptasiPendidik:
CEPAT Konteks I:
Suasana
lapangan bola
basket
Konteks II
Suasana
pemain basket
di lapangan
bola kaki
Konteks III
Main basket di
lapangan
tembak
BERTAHAP Konteks IV
Guru
menentukan
arah dan pilihan
Konteks V
Serupa dalam
tingkat
penengenalan
dan minat
Konteks VI
Guru agak
ditolerir
LAMBAT
Konteks VII
Guru menyeret
Konteks VIII
Stabil tertinggal
Konteks IX
Stabil tertinggal
Rincian kondisi hubungan antar pendidik dan siswa dalam
berbagai konteks di atas adalah sebagai berikut:
Konteks Pertama (I)
Konteks pertama adalah konteks dimana pendidik
menyesuaikan diri dengan cepat perubahan teknologi
komunikasi dan budaya kota. Ciri-ciri pendidik serupa ini
antara lain ialah banyak membaca atau menonton segala
sesuatu yang terkait dengan teknologi baru, gaya hidup baru
atau masalah masa depan. Pendidik serupa ini seringkali
memiliki minat yang luas. Walaupun mungkin mereka tidak
mampu membeli atau memiliki berbagai peralatan teknologi
seperti palm top, hi-speed modem, atau parabola, namun
31
mereka mengikuti perkembangan yang ada dan diam-diam
berfantasi kalau-kalau Yang Mahakuasa memberikan rejeki
tak terduga sehingga mereka dapat mengenyam teknologi
serupa itu.
Ciri-ciri lain dari pendidik serupa ini adalah keluasan hati
mereka untuk berdialog dengan siswa-siswinya. Merekapun
tidak merasa tersinggung bila pendapat mereka
dipertanyakan, serta mereka mengenali berbagai jenis
kecerdasan yang terdapat pada siswa-siswinya. Mereka juga
bersikap pragmatis, tidak terlalu suka menggunakan waktu
untuk percakapan yang tidak perlu, dan memandang
kehidupan dengan optimis, lebih dari orang lain.
Pada konteks ini, para siswa siswi yang dihadapi sang
pendidik juga merupakan mereka yang sangat eksploratif,
mempertanyakan banyak hal, mungkin juga konsumtif, dan
sangat menyesuaikan diri dengan teknologi komunikasi tinggi.
PlayStation, Video Game di Mal, computer game, majalah
game dan animasi, internet, handphone dan sebagainya
merupakan bagian dari gaya hidup mereka. Siswa-siswi juga
menjadi kritis, serta berani berargumentasi, terutama di luar
kelas. Sebaliknya mereka merasa tidak berminat mengikuti
pelajaran yang bersifat doktrinal atau dogmatik. Selain itu,
mereka menceburkan diri ke dalam berbagai aktifitas di luar
sekolah sesuai minat mereka.
Dua pemeran utama dalam proses pendidikan yaitu pendidik
dan siswa sama-sama beradaptasi dengan cepat dan entusias
terhadap perubahan bagaikan para pemain bola basket di
lapangan. Masing-masing memiliki kepekaan yang tinggi
32
pada rekannya dan lingkungannya. Akibatnya adalah sebagai
berikut pada suasana ajar-belajar:
o mereka menikmati kehadiran masing-masing pihak
o mereka bersama-sama belajar sebagai mitra dan
masing-masing pihak merasa entusiasme yang tinggi
o sang pendidik memiliki kepekaan dan toleransi yang
besar untuk keunikan tiap-tiap siswa
o siswa mengagumi pengajarnya dan menjadikannya
(diam-diam) sebagai idolanya.
Konteks Kedua (II)
Konteks kedua merupakan situasi ajar belajar dimana siswa
siswi sangat cepat beradaptasi dengan dunia perkotaan dan
teknologi komunikasi, namun para pendidiknya tertinggal,
walaupun mereka cukup menyadari perubahan yang sedang
terjadi. Sang pendidik hanya membaca sedikit tentang
teknologi, namun tidak cukup memahami dan tidak berminat
mengenal penggunaan alat-alat seperti palm top, kalaupun
kesempatan untuk memilikinya ada.. Mereka menyadari
adanya PlayStation II, namun hanya berpikir bahwa benda itu
adalah benda mahal berteknologi tinggi yang tidak terkait
dengan dirinya. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa alat
itu berpotensi menggantikan komputer dalam mengakses
internet atau VCD player di rumahnya. Internetpun dianggap
sebagai barang mewah dan yang menyebabkan pembuangan
waktu saja.
Terhadap budaya kota, mereka menyukai mal, film, beragam
jenis makanan, pakaian, dan rekreasi, namun mereka tidak
menggunakan keragamanan buku di perpustakaan-
33
perpustakaan canggih, gallery, atau pameran-pameran
sebagai sumber ilmu dan metode belajar. Mereka masih
cenderung untuk berbicara dengan panjang lebar dan sesekali
bergossip. Untuk mengambil keputusan mereka cenderung
meneliti dengan seksama berbagai hal sehingga pengambilan
keputusannya merupakan suatu proses yang panjang.
Dengan konteks serupa itu, maka siswa merasakan bahwa
pendidik bukanlah mitra mereka dalam proses belajar. Bila
siswa bergerak secepat pemain basket, pendidik bergerak
seperti pemain sepak bola. Pendidik tidaklah menjadi sumber
utama mereka dalam menelusuri minat belajar mereka.
Walaupun pendidik masih diterima baik dan dihormati, namun
bukan menjadi sumber utama. Akibatnya, berbagai
kebutuhan belajar siswa tidak terpenuhi. Karenanya,
seringkali, mereka mencari sumber-sumber pengetahuan dan
rujukan gaya hidup serta idola dari kalangan teman mereka,
tetangga, atau lingkungan lain. Maka ada potensi dimana
siswa mendapatkan pengaruh yang tidak terkendali dari pihak
yang tidak diketahui.
Dalam suasana itu, bila sang pendidik tidak memiliki daya
toleransi yang besar dan tertekan oleh beban-beban kurikuler
dan administratif, maka siswa diharapkan mematuhi apa yang
diberikan sekolah. Pengembangan minat dan kemampuan
siswa yang lain dan yang juga berharga bagi hidup di dunia
modern dan budaya kota malah terabaikan. Dialog antara
siswa dan pendidik terjadi hanya terbatas pada tingkat yang
semu. Siswa lebih suka bergaul dengan sesama teman-
temannya daripada dengan pendidiknya, walaupun mereka
masih bersedia memenuhi tuntutan sekolah. Jadi, mereka
yang sangat cepat beradaptasi dengan teknologi dan budaya
34
kota cenderung melihat sekolah hanya sebagai salah kegiatan
belajar, bukan sebagai satu-satunya sumber atau pusat
kegiatan dan perhatian mereka.
Konteks ketiga (III)
Konteks ketiga merupakan situasi ajar belajar dimana siswa
siswi sangat cepat beradaptasi dengan dunia perkotaan dan
teknologi komunikasi, namun para pendidiknya amat
tertinggal karena mereka masih hidup di masa lalu sehingga
tidak menyadari perubahan yang sedang terjadi. Sang
pendidik tidak memahami dan tidak berminat mengenal
penggunaan alat-alat seperti palm top, kalaupun kesempatan
untuk memilikinya ada. Mereka cenderung mencurigai
PlayStation II, Internet, atau handphone.
Terhadap budaya kota, mereka tidak merasa nyaman dengan
mal, film, beragam jenis makanan, pakaian, dan rekreasi.
Mereka masih cenderung untuk berbicara dengan panjang
lebar dan sesekali bergossip serta mengeluh tentang dunia
yang terlalu modern dan dekaden..
Dengan konteks serupa itu, maka siswa merasakan bahwa
pendidik sama sekali bukanlah mitra mereka dalam proses
belajar. Bila siswa bergerak secepat pemain basket, pendidik
bergerak perlahan seperti seorang atlet di lapangan tembak.
Walaupun pendidik dihormati secara terbatas, umumnya
mereka masih ditoleransi karena para siswa tidak memiliki
pilihan lainnya. Akibatnya, berbagai kebutuhan belajar siswa
tidak terpenuhi dan ras frustrasi mereka pada suasana belajar
menjadi tinggi. Karenanya, seringkali, merekapun berhenti
mencari sumber-sumber pengetahuan dan rujukan gaya
35
hidup serta idola. Maka dalam konteks ini ada suatu
kemungkinan dimana siswa mengembangkan sikap apatis
atau memberontak.
Dalam suasana itu, sang pendidik cenderung mengendalikan
proses belajar dengan cara otoriter dan komunikasi satu arah.
Siswa dituntut menyimak dan menghafal dengan tekuntidak
memiliki daya toleransi yang besar dan tertekan oleh beban-
beban kurikuler dan administratif, maka siswa diharapkan
mematuhi apa yang diberikan sekolah.
Konteks ke empat (IV)
Konteks ke empat merupakan situasi belajar dimana pendidik
lebih maju selangkah daripada siswa-siswinya. Biasanya hal
serupa ini terjadi di sekolah-sekolah milik perusahaan di
pedalaman atau di kota kecil. Misalnya, di Pangkalan Kerinci,
terdapat sekolah Patricia yang didirikan oleh perusahaan Riau
Andalan Pulp and Paper. Para pendidik didatangkan dari kota
besar dan diberikan jaminan hidup yang memadai.
Merekapun memiliki akses ke peralatan dan suasana kerja
yang profesional di perusahaan yang menjadi induk sekolah
itu. Para siswa datang dari anak-anak karyawan dan staf,
seringkali mengikuti budaya kota dan teknologi media
walaupun tidak secepat pendidiknya.
Dalam situasi serupa itu maka tugas pendidik adalah
menentukan pilihan-pilihan dalam hal yang akan disampaikan
pada siswa-siswinya, membangun minat mereka, serta
melatih mereka agar memiliki skil yang memadai untuk dunia
modern.
36
Konteks ke lima (V)
Dalam konteks kelima, pendidik dan siswa-siswinya serupa
dalam tingkat pengenalan, minat, dan penguasaan skil untuk
menyesuaikan diri terhadap arus budaya kota dan pengaruh
teknologi media. Mereka menyadari adanya hal baru, namun
belum membangun komitmen yang mendalam untuk
mendalami hal tadi. Disini, peran pengurus sekolah atau
seorang kepala sekolah akan menentukan ke arah mana
proses pendidikan akan ditujukan.
Konteks ke enam (VI)
Dalam konteks ke enam, siswa-siswi lebih mengenal budaya
kota dan pengaruh media, walaupun kedua hal tadi tidak
digandrungi. Namun, para pendidik tertinggal di dalam
mengenali dan memahami hal ini. Mereka cenderung menilai
negatif kedua hal tadi.
Secara umum dampak kesenjangan adaptasi terhadap
pengaruh tadi tidak sebesar seperti pada konteks ke tiga atau
ke dua, karena pengaruhnya bagi siswa-siswi tidak terlalu
kuat.
Konteks ke tujuh (VII)
Dalam konteks ke tujuh, situasinya serupa dengan konteks ke
empat, namun pada umumnya siswa-siswi sangat tertinggal,
sehingga guru harus agak menyeret mereka. Siswa-siswi
dapat terpesona karena penguasaan pendidiknya akan hal
37
baru, dan mengikuti teladan mereka. Sebaliknya mereka juga
dapat hanya memilih menjadi pemirsa.
Konteks ke delapan (VIII)
Dalam konteks ke delapan, situasinya mirip dengan konteks
ke empat, namun, karena pendidik maupun muridnya tidak
mengalami imbas yang kuat dari ke dua pengaruh yang ada,
maka diperkirakan tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi.
Namun, secara umum, pendidik dan siswa-siswinya akan jauh
tertinggal masyarakat modern.
Konteks Kesembilan (IX)
Merupakan konteks yang tenang dan stabil, namun membuat
baik pendidik maupun siswa merasa tidak perlu berubah.
Kedua belah pihak cocok, namun mungkin mereka merasa
tertinggal dan tidak berdaya mengejar ketertinggalan
menonton TV. Namun dari sudut hubungan, maka keakraban
masih terjadi secara tradisional.
Dengan peta di atas, maka dapat dibuat berbagai prakiraan-
prakiraan lainnya. Siswa dapat menjadi siswa yang entusias
atau hanya mentolerir gurunya tergantung pada daya
adaptasi guru. Namun dalam kasus dimana sang pendidik
merupakan pihak yang sangat “maju” dapat terjadi siswa
terbawa maju, namun bila sang siswa sangat tertinggal, maka
yang terjadi adalah siswa malah menolak kehadiran gurunya.
Dengan demikian, profil pendidik yang baik dalam dunia
modern ditentukan oleh strategi penempatan pendidik yang
38
harus memperhitungkan kesenjangan atau kecocokan antara
“budaya pendidik” dan “budaya siswa” serta daya adaptasi
masing-masing.
Kesimpulan
Dengan adanya berbagai konteks di atas, maka suatu upaya
peningkatan proses pendidikan membutuhkan kesadaran
bahwa upaya tadi tidak dimulai di titik nol. Kegagalan banyak
upaya, perubahan kurikulum dan sistem belajar diduga terjadi
karena kegagalan memperhitungkan perbedaan konteks yang
ada seperti di atas. Akibatnya, semua yang ditawarkan hanya
memuaskan kebutuhan tiap-tiap konteks secara terbatas.
39
P A S A L 3
S E J A R A H :U P A Y A M E M B A N G U N
B E R B A G A I S I S T E M P E N D I D I K A N
Guru yang ditakuti
Kelas yang tadi ribut tanpa guru, kini menjadi sunyi. Guru Bahasa Indonesia yang paling ditakuti dan disegani oleh semua murid, telah masuk ke dalam ruang kelas. Wajahnya garang seperti harimau kelaparan.
Murid-murid : Selamat pagi, Bu Guru!
Bu Guru (dengan suara melengking) : Mengapa bilang selamat pagi saja? Kalau siang say a datang tidak pernah mengatakan apa-apa. Kalau begitu setiap siang, sore dan malam kalian mendoakan saya tidak selamat ya?
Murid-murid : Selamat pagi, siang dan sore Bu Guru.....
Bu guru : Kenapa panjang sekali? Tidak pernah orang mengucapkan selamat seperti itu! Katakan saja selamat sejahtera, bukankah lebih bagus didengar dan penuh makna? Lagipula ucapan ini meliputi semua masa dan keadaan.
Murid-murid : Selamat sejahtera Bu Guru!
Bu guru : Sama-sama, duduk! Kini dengar sini baik-baik. Hari ini Bu Guru mau menguji kalian semua tentang lawan kata atau antonim kata. Kalau Bu Guru sebutkan perkataannya, kamu semua harus cepat menjawab dengan lawan katanya, mengerti?
Murid-murid : Mengerti Bu Guru...
Guru: Baiklah, kita mulai!
Murid-murid: Jeleklah, mereka akhiri!
Guru: Bodoh benar kalian!
Murid-murid: Pandai benar ibu!
Guru: Berhenti!
40
Murid-murid: Lanjut!
Guru: Kalian mengejekku?!
Murid-murid \ Mereka memujimu?
Guru: Salah itu!
Murid-murid: Betul ini!
Guru (geram): Bodoh!
Murid-murid: Pandai!
Guru: Bukan!
Murid-murid: Ya!
Guru (mulai pusing): Ya, Tuhan!
Murid-murid: Tidak, Iblis.
Guru: Dengar dulu .
Murid-murid: Bicara nanti.
Guru: Diam!!!!!
Murid-murid: Ribut!!!!!
Guru: Itu bukan pertanyaan, bodoh!!!
Murid-murid: Ini adalah jawaban, pandai!!!
Guru: Mati aku!
Murid-murid: Hidup kami!
Guru: Saya tampar baru tau rasa!!
Murid-murid: Kita belai lama tak tau rasa!!
Guru: Malas aku ngajar kalian!
Murid-murid: Rajin kami belajar,bu guru...
Guru: Kalian gila semua!!!
Murid-murid: Kami waras sebagian!!!
Guru: Cukup! Cukup!
Murid-murid: Kurang! Kurang!
Guru: Sudah! Sudah!
41
Murid-murid: Belum! Belum!
Guru: Mengapa kamu semua bodoh sekali?
Murid-murid: Sebab saya seorang pandai!
Guru: Oh! Melawan, ya??!!
Murid-murid: Oh! Mengalah, tidak??!!
Guru: Kurang ajar!
Murid-murid: Cukup mengajar!
Guru: Mati aku..ketemu murid seperti ini
Murid-murid: Kekal kamu berpisah dengan guru seperti itu..
Guru (putus asa): O.K. Pelajaran sudah habis!
Murid-murid: K.O. Pelajaran belum mulai!
Guru: Sudah, bodoh!
Murid-murid: Belum, pandai!
Guru: Berdiri!
Murid-murid: Duduk!
Guru: Bego kalian ini!
Murid-murid: Cerdik kami itu!
Guru (stres) : Kamu semua ditahan siang hari ini!!!
Murid-murid : Dilepaskan tengah malam itu!!!
Bu Guru mukanya merah padam dan tanpa bicara lagi mengambil buku-bukunya dan keluar ruangan. Sebentar kemudian, loceng pun berdering. Murid-murid merasa lega karena guru yang paling ditakuti oleh mereka telah keluar. Walau bagaimanapun, mereka merasa bangga karena telah dapat menjawab semua pertanyaan tadi setelah beberapa hari saling membantu untuk belajar. Tetapi masih ada hari esok. Guru itu pasti akan datang lagi.. Hanya ketika orang tua mereka bertanya apa yang mereka dapatkan dari pelajaran, mereka tersenyum dan berkata “Pokoknya, sudah lolos …kami berhasil menjawab semua pertanyaannya.” Orang tua mereka tersenyum dan berkata dalam hati “Tidak sia-sia pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk biaya pendidikan nasional. Anakku mendapatkan sistem pendidikan yang baik.”
42
Kalau ada orang yang bertanya apakah ciri-ciri sistem pendidikan
yang terbaik, maka mungkin sulit untuk menjawab pertanyaan
serupa itu. Mengapa? Sejak dulu, sudah ada berbagai-bagai sistem
pendidikan yang telah dikembangkan umat manusia di masa lalu.
Bahkan masih ada bagian-bagian dari sistem kuno yang terus
dipergunakan sejak dulu sampai kini dengan perubahan-perubahan
yang terbatas. Dalam bagian ini akan dipaparkan perbedaan
sistem-sistem tadi. Terutama akan dipertajam hasil akhir yang
ingin dicapai oleh tiap-tiap sistem serta asumsi dasar tentang
manusia yang mereka miliki.
Metode Pendidikan dari Timur
1. India
Sebagai bangsa, India memiliki sejarah yang panjang dalam
pendidikan yang terorganisir baik. Sistem yang dikenal dan
merupakan salah satu sistem yang tertua di dunia adalah sistem
Gurukul, Sistem ini dibentuk untuk menghasillan pendidikan
manusia seutuhnya yaitu mencakup aspek jasmani, mental, dan
spiritual. Di dalam sistem tradisional ini, umumnya siswa tinggal
bersama gurunya di dalam rumah sang guru atau di biara. Sistem
pendidikan ini tidak memungut bayaran dari siswa-siswi, namun
setelah seseorang lulus dan ia datang dari keluarga yang mampu,
maka ia wajib membayar gurudaksina atau sumbangan untuk
kemajuan endidikan.
Dengan sistem yang terarah pada pendidikan manusia seutuhnya,
maka siswa-siswi belajar agama, kitab-kitab suci, filsafat, sastra,
ilmu perang, ilmu kenegaraan, pengobatan dan astrologi. Karena
India pada waktu sistem gurukul lahir sangat menekankan hidup
sebagai siklus, maka pembelajaran tentang sejarah tidak masuk ke
dalam kurikulum gurukul. Sistem tradisional ini kemudian
43
dihapuskan dan digantikan oleh pemerintah kolonial Inggris yang
menjajah India dengan pendidikan barat.
2. Cina
Pendidikan di Cina merupakan hal yang sangat dihargai. Karena
sejarah Cina merupakan suatu proses yang panjang dan di tiap
dinasti kerajaan terjadi perubahan-perubahan, agak sulit untuk
menggambarkan sistem pendidikan di Cina.
Namun di masa awalnya, pendidikan diarahkan agar orang
memahami naskah-naskah klasik Cina yang ditulis oleh para
pemikir-pemikir. Pemerintah-pemerintah pada dinasti-dinasti Cina
mengadakan pendidikan dan seleksi yang ketat para lulusan untuk
mereka dapat menjadi pejabat pemerintah. Pada jaman dinasti
Han, yaitu sekitar dua abad sebelum Masehi, Cina berhasil
menciptakan suatu sistem ujian kekaisaran untuk mengevaluasi
dan memilih pejabat pemerintah. Dengan demikian, pemegang
jabatan dipilih berdasarkan kompetensi dan bukan koneksi.
Sekaligus juga di dalam sistem pendidikan Cina, tekanan pada
kompetisi sangat kuat.
Sistem ini membuat muncullah berbagai aliran sekolah yang
mengajarkan pengetahuan klasik dan bertahan selama dua ribu
tahun. Di tahun 1911, Cina memutuskan untuk mengadopsi dan
menggunakan pendidikan barat sehingga terhapuslah sistem
pendidikan lama walaupun sampai saat ini bangsa Cina merupakan
satu-satunya bangsa di dunia yang memelihara naskah-naskah dan
urutan pengetahuan serta pustakanya selama lebih dari 2000
tahun.
Metode Pendidikan di Barat
44
Bila kita meneliti metode dan muatan pendidikan di budaya Junani
dan Romawi yang menjadi landasan pendidikan barat, ada
beberapa hal yang kentara dan berbeda dari metode pendidikan di
Asia Timur. Tekanan pada individu lebih terasa di Barat, termasuk
perasaan individual dan keunikannya.
1. Europa
Di Barat, pendidikan terkait erat dengan agama. Para biarawan
dan iman-iman sangat menyadari pentingnya menolong orang-
orang muda memahami kebajikan, sehingga mereka menciptakan
sistem pendidika. Di Eropa, sekolah-sekolah yang terorganisir baik
berakar pada gereja Roma Katholik. Setelah masa reformasi di
awal abad XVI, salah satu gereja reformasi, yaitu gereja di
Skotlandia menyiapkan guru-guru untuk setiap gereja dan juga
pendidikan yang tidak memungut bayaran bagi orang miskin. Pada
tahun 1633 dewan perwakilan rakyat setempat bahkan
menentukan penggunaan dana yang diperoleh dari pajak untuk
program pendidikan. Sebagai hasilnya pada akhir abad XVII,
hampir seluruh rakyat terbebas dari buta huruf.
Setelah abad XVIII, hubungan antara pendidikan dan agama
merenggang. Di dalam jaman itu Jean-Jacques Rousseau
menawarkan konsep pendidikan alternatif. Pemikirannya
menghasilkan situasi dimana orang semakin menyadari tahap-
tahap dan proses pengembangan manusia yang harus disadari
dalam penyusunan metode pendidikan. Di Polandia pada tahun
1773 dibentuk Komisja Edikacji Narodowej atau Komisi Pendidikan
alias kementerian pendidikan pertama di dunia barat.
Dengan munculnya revolusi industri di barat, dunia mulai melihat
pabrik-pabrik dan masyarakat perkotaan sebagai pemandangan
yang dominan. Kondisi ini mendorong standardisasi pendidikan
dan kompetensi minimum para pekerja. Pemerintah-pemerintah
45
mulai mengharuskan orang menghadiri dan memasuki sistem
pendidikan. Semakin lama masa kehadiran di dalam proses
pendidikan semakin bertambah. Pendidikan menjadi bagian dari
sistem industri dan ekonomi.
2. Konsep pendidikan modern yang dikembangkan
Kominsky, (1592-1670)
Sementara itu, muncullah suatu pemahaman tentang manusia dan
perkembangannya dari seorang Eropa Timur, yaitu Kominsky
(Comenius). Kominsky hidup sebagai seorang pendeta gereja
Kristen di wilayah Moravia (Cekoslovakia kini). Pendeta ini belajar di
berbagai tempat, baik di Ceko, Jerman, juga sempat di Belanda.
Pada masa hidupnya, Kominsky dan bangsanya menjadi korban
dari percaturan politik pada abad 17 di Eropa. Corak iman Protestan
yang dianut orang Moravia tidak diakui oleh pihak yang berkuasa di
wilayah mereka. Akibatnya, mereka dianiaya dan ditindas.
Kominsky sendiri mengalami bagaimana berbagai tulisan yang
dibuatnya dengan susah payah, dibakar. Beberapa kali pendeta ini
hidup dalam pengungsian. Sempat pada suatu saat ia berada lama
di pengungsian dan terus menerus menulis surat kepada istrinya,
padahal istri yang ditinggalkan di tanah kelahirannya tadi sudah
beberapa lama meninggal tanpa ia ketahui.
Keadaan hidup yang terus menerus didera kesusahan dan
malapetaka tidak membuat iman dan kerajinan Kominsky
berkurang. Ia terus menulis, mempraktekkan metode ajar belajar
yang baru, serta memenuhi undangan di berbagai negara. Salah
46
satu tulisannya yang hebat adalah kumpulan Karya Didaktika yang
terdiri dari 4 jilid.
Menurut Kominsky, teologi adalah dasar utama untuk membangun
pendidikan agama Kristen. Dasar kedua adalah pengalaman
pribadi. Kemudian, dasar ketiga adalah gaya berpikir yang bersifat
analogis atau mencari persamaan. Menurut Kominsky, pendidikan
merupakan kehendak Allah. Ia menyatakan bahwa: “.. agar mereka
tidak kehilangan kemuliaan Allah, maka semua orang harus diajar
agar tidak berbuat dosa..”
Sumbangsih pemikiran dan praktek dari Kominsky begitu besar
sehingga PBB menamakannya sebagai bapak pendidikan modern
(bukan cuma pendidikan agama). Beberapa cuplikan pemikiran
Kominsky agaknya masih perlu diperhatikan dalam konteks
pendidikan modern, dalam dunia perkotaan, dan dalam derasnya
perubahan teknologi yang melanda masyarakat.
Beberapa Metode Dasar yang Dikembangkan Kominsky
1. Orang harus belajar dengan menggunakan pengalaman nyata
selain memahami teori-teori
2. Siswa harus diberi bimbingan terarah untuk mengambil
pertimbangan dan keputusan secara kritis melalui pengamatan
dan pengalaman
3. Mereka juga harus dididik untuk menjadi orang yang murah hati
dan berbudi luhur secara bertahap
47
4. Sangat penting untuk menentukan saat yang tepat bagi
seseorang untuk mempelajari suatu hal.
Kominsky juga lebih menekankan overview dan pemahaman serta
praktek penerapan daripada sekedar memprekuat hafalan. Pada
jaman itu, ketika pendidikan seringkali merupakan monolog dari
guru kepada murid dimana mereka hanya perlu mendengarkan
dan menyalin, gagasan Kominsky sangat radikal. Bukan saja
pemikiran dan praktek ajar belajarnya sangat berbeda tapi juga
merupakan terobosan yang mewarnai dunia pendidikan, baik
pendidikan umum dan pendidikan agama Kristen. Kini, ternyata
dalam budaya modern metode yang dikembangkan Kominsky
justru sangat digemari oleh siswa yang lebih menyukai dialog,
diskusi, dan proses komunikasi yang tidak melulu bersifat satu arah
dari pihak guru.
Analisis dan Perbandingan
Jelaslah bila kita menggunakan India dan Cina sebagai titik
berangkat memahami pendidikan di Asia, maka di bandingkan
dengan dunia barat,
1. manusia di Asia timur dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat. Masyarakat komunal timur
menekankan pentingnya seorang manusia untuk menempatkan
diri secara tepat di dalam tatanan masyarakatnya. Tanpa hal
itu, manusia dianggap cenderung akan hidup tersesat.
Pandangan ini memang cenderung melihat manusia secara
pesimis.
2. Dengan demikian seorang akan dianggap sebagai manusia yang
baik dan terdidik bila ia dapat menempatkan diri dengan pas di
masyarakatnya. Artinya, sebagai anggota komunitas
masyarakatnya, ia tidak menonjolkan individualitas melebihi
48
kebersamaannya. Kalaupun ada konflik biasanya ia akan
menanganinya secara tidak langsung dan sejauh mungkin ia
berupaya tidak mempermalukan orang lain atau menjaga muka
orang.
3. Dengan pandangan tentang manusia serupa itu, maka
pendidikan sangat menekankan proses mendisiplinkan diri
dalam aspek fisik dan mental, menghafalkan pengetahuan yang
diturunkan turun menurun, serta proses mengendalikan
perasaan dan ekspresi diri. Namun, tekanan pada spiritualitas
juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan.
Manusia yang dianggap terdidik adalah manusia yang memiliki
pengetahuan, pemahaman, kebijaksanaan dan mampu
menempatkan diri di masyarakat atau di tatanan semesta.
4. Di Cina, sengaja atau tidak, metode pendidikan serupa itu
cenderung mengabaikan pertumbuhan perasaan karena
pertumbuhan muatan pengetahuan dan pemahaman dianggap
sebagai hal yang lebih penting. Peneladanan juga dianggap
sebagai proses yang vital di dalam metode pendidikan ini.
Selanjutnya, kepatuhan pada tatanan ditekankan, sedangkan
kreatifitas pribadi diletakkan di bawah kepatuhan tersebut.
5. Di Barat, ada saat-saat dimana pendidikan terkait dengan
agama dan ada saat dimana pendidikan terkait dengan konsep
manusia yang lebih romantik. Pandangan barat tentang
manusia semakin lama semakin optimis dan tidak sepesimis di
Timur. Karenanya, tekanan pada kreatifitas dan individualitas
juga lebih besar daripada di Timur.
6. Dalam pemikiran modern, proses pendidikan semakin di
arahkan pada berpikir kritis, kemampuan mengambil keputusan
dan menyelesaikan masalah, serta pada pengenalan diri,
termasuk pengenalan perasaan individual.
49
Kesimpulan
Upaya membangun berbagai sistem pendidikan dipengaruhi
oleh konteks dimana sistem tadi dilahirkan. Di balik setiap
sistem terdapat pandangan tentang hidup dan peran manusia
serta hakekat manusia. Bila di Barat, dilahirkan pandangan
yang optimis tentang manusia, di Timur, manusia dilihat
secara pesimistis. Karena, itu pengkajian tentang pandangan
yang sudah ada tentang hakekat manusia di tengah dunia
yang berubah cepat merupakan titik berangkat dalam
membangun sistem pendidikan yang tepat untuk suatu
konteks.
50
Pasal 4
TUJUAN PENDID IKAN:M E N U J U M A N U S I A M A N D I R I
Kemandirian
Sekelompok peneliti memasukkan enam ekor kera ke dalam
sebuah ruang percobaan. Di langit-langit ruang itu tergantung
setandan pisang. Sebuah tangga lipat didirikan dan
memungkinkan para kera memanjatnya sehingga dapat
meraih pisang tadi. Namun, di langit-langit itu dipasang 20
keran yang dapat memancurkan air dingin ke ruang tadi.
Setelah memasuki ruangan, seekor kera melihat
suasana yang ada dan segera menujukan
perhatiannya pada pisang yang
tergantung. Otaknya bekerja dan
iapun mengenali adanya tangga yang memungkinkan ia
mencapai pisang tadi. Segera sang kera beringsut mendekati
tangga. Setelah anak tangga kedua diinjaknya, ke duapuluh
keran memancurkan air sehingga seluruh ruangan menjadi
basah. Memang secara otomatis para ilmuwan yang
merancang percobaan itu membuat sebuah pegas
tersembunyi di anak tangga kedua membuat air mancur bila
anak tangga tadi diinjak.
51
Bagaimana respon para kera? Mereka berlari kian kemari
karena memang pada dasarnya kera tidak menyukai air
dingin. Namun, sesaat kemudian seekor kera lainnya
mencoba kembali menaiki tangga tadi. Peristiwa yang sama
terjadi. Setengah jam berlalu, lambat laun para kera belajar
setelah mereka diguyur air dan menjadi basah kuyup bahwa
menginkak anak tangga akan menimbulkan air
mancur. Maka kera manapun yang mendekati
tangga akan disergap bersama, digigit dan
diseret pergi. Dalam waktu satu jam, suasana
stabil tercapai. Tidak ada seekor kerapun berani mendekati
tangga yang ada. Pisang tetap tergantung di atas, namun
tidak ada seekor kerapun yang menemukan jalan mengatasi
masalah mereka. Tidak ada seekorpun kera yang mencari
jalan terobosan. Mereka menuruti intuisi bersama dan
peraturan tak tertulis: “Yang mencoba mendekati tangga
akan kita sergap dan gigit.”
Tak lama kemudian salah satu
kera yang basah tadi diambil,
dan digantikan oleh seekor
kera yang baru.
Sang kera baru ini segera mendekati tangga dan mulai
memanjatnya. Ia terkejut karena tiba-tiba kera-kera
yang lain menjerit, menyergap dan
menggigitnya. Berulang kali ia mencoba
dan berulang kali ia mengalami keadaan
yang tidak enak tadi. Dalam waktu pendek ia belajar untuk
52
mengikuti peraturan yang tak tertulis: Jangan dekat-dekat
tangga.
Bila sejam kemudian, seekor kera baru
dimasukkan ke tengah ruang tadi untuk
menggantikan seekor kera yang sudah
basah, maka peristiwa serupa akan muncul
lagi. Namun akan sangat mengherankan
bahwa kera yang masih kering dan baru
mendahuluinya, juga akan berpartisipasi untuk mencegahnya.
Budaya kelompok kera tadi sudah terbentuk. Akhirnya, bila
satu persatu semua kera yang basah digantikan dengan kera-
kera baru yang masih kering, kebiasaan untuk mencegah
seekor kera mendatangi tangga akan tetap
terpelihara, walaupun tidak jelas alasannya. Tidak
akan ada seekor kerapun akan mencoba
secara mandiri mengatasi keadaan tadi. Mengapa? Pertama,
mungkin, mereka hanya mengikuti naluri untuk mencegah hal
yang tidak menyenangkan terjadi dengan mereka. Kedua,
tidak ada seekor kerapun mampu berefleksi tentang
kebiasaan yang sudah terpelihara. Demikian juga terjadi
dengan banyak manusia dalam proses pendidikan walaupun
dunia sudah berubah.
Dunia kini yang dipengaruhi budaya kota dan media serta
diperkokoh oleh arus globalisasi membuat manusia modern
harus memiliki suatu fitur yang berbeda dengan manusia di
jaman yang lalu. Untuk hidup layak, dimasa lalu, seorang
manusia modern harus terus menerus mengambil berbagai
pilihan di dalam hidup sehari-harinya. Dari memilih trayek
bus, menentukan makan siang, membeli surat kabar,
53
membalas sms, atau bertemu dengan siapa dan dimana,
manusia kota modern harus menentukan pilihan-pilihan.
Ada pilihan-pilihan yang berdampak untuk jangka pendek,
namun ada pilihan-pilihan yang berdampak panjang bahkan
bersifat fatal. Sebagai contoh, sekali seseorang memilih
untuk menjadi pecandu obat bius, besar sekali
kemungkinannya bahwa ia akan merusak banyak hal di dalam
hidupnya di masa kini dan masa depan. Demikian juga, sekali
seseorang memilih karir yang keliru bagi dirinya, sulit untuk ia
keluar dari alur yang ada dan memasuki jalur karir yang lain.
Kini di dalam dunia modern, pilihan-pilihan ini hadir lebih
beragam dan hadir lebih cepat serta menuntut perhatian
terus menerus.
Untuk menghadapi pilihan-pilihan yang beragam, maka
manusia modern lebih mungkin bertahan hidup dan
berkontribusi maksimum bagi masyarakatnya bila ia
memperoleh kemampuan dan sikap yang tepat untuk
membuat pilihan-pilihan yang jitu sejak dini dalam proses
pendidikannya. Bagaimana cara agar siswa-siswi memiliki
kemampuan memilih dan sikap berani memilih dengan tepat?
Kita harus lebih dulu memahami apakah yang dimaksud
dengan memilih. Membuat pilihan dapat kita pahami sebagai
proses
o mengenali apa yang akan dicapai,
o menyadari kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-
pilihan yang tersedia,
54
o memiliki tolok ukur untuk menentukan pilihan, atau
mengetahui apa yang dianggap bernilai dan apa yang
harus ditinggalkan,
o memahami apa yang menjadi resiko di dalam
mengadakan pilihan,
o memperhitungkan hasil pilihan dengan resiko yang
akan diambil
o dan mampu melaku evaluasi dari pilihan yang diambil
tadi.
Milih nich, ye
Jadi ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi agar
seseorang mampu mengambil pilihan-pilihan. Seseorang
tidak akan dapat memilih bila ia tidak mengenali kemana ia
akan pergi atau apa yang menjadi tujuannya. Kemudian,
seseorang juga tidak akan mampu memilih bila ia tidak
memahami apa yang menjadi nilai-nilai acuannya. Nilai
adalah hal-hal berharga yang ia ingin hadir atau dicapai di
dalam hidupnya. Kemudian, tidak mungkin seseorang berani
mengambil pilihan bila ia tidak memiliki gambar diri yang
sehat dan kokoh serta gambaran dunia yang realistis. Tanpa
gambaran yang sehat dan realistis tadi, seorang juga tidak
55
akan mampu melakukan pengamatan terhadap dunia
sekitarnya dengan seksama.
Kemampuan memilih
Kejelasan tujuan yang ingin dicapai
Memiliki nilai-nilai yang jadi acuan
Gambaran diri yang sehat
Gambaran realistis tentang dunia
Bagaimana menghasilkan orang yang dapat mengenali
adanya pilihan-pilihan dan berani mengambil pilihan dengan
cara yang tepat? Bukankah di Asia, pada umumnya orang
lebih terbiasa menerima pilihan-pilihan yang diambilkan oleh
orang tuanya, gurunya, atau pemerintah? Bukankah orang
56
juga takut memilih karena takut mengambil keputusan
memilih yang keliru?
Pemikiran sementara adalah, pendidikan yang cocok untuk
menghasilkan manusia yang hidup di dunia modern adalah
pendidikan yang diarahkan untuk menghasilkan manusia-
manusia yang mandiri. Apa artinya? Mandiri artinya memiliki
kebebasan batin di dalam mengenali pilihan-pilihan,
mengambil pilihan-pilihan yang ada dan menanggung
akibatnya, baik yang menyenangkan maupun yang
menyakitkan.
Mandiri berarti orang modern harus berani, siap dan mampu
menentukan pilihan-pilihan. Sekali lagi, tanpa kemandirian, ia
hanya dapat patuh pada pilihan yang dibuat orang lain,
kemudian mempersalahkan orang lain bila pilihan tadi
membawa konsekuensi buruk. Disisi lain, tanpa kemandirian,
ia juga hanya memilih apa yang secara intuitif dirasanya akan
menguntungkan dirinya tanpa acuan nilai-nilai yang lebih
luhur, tepat seperti kera yang dipaparkan di awal bagian ini.
Aku mahluk mandiri, dapat memilih. Yang merah, ungu, hijau, atau biru muda mau kuapakan, ya?
Sayang, buku ini tidak berwarna...
57
Apakah seorang yang mandiri menjadi seorang yang egois
dan tidak perduli orang lain? Seorang yang mandiri bukan
berarti tidak mau tunduk kepada otoritas siapapun. Seorang
yang mandiri bukanlah seorang pemberontak, anarkis, atau
seorang yang asosial. Justru karena kemandiriannya, ia dapat
memilih secara sadar dan sengaja untuk menjalani hidup
dengan disiplin tinggi, untuk mengalah, untuk hidup
sederhana, atau hidup mengabdikan diri atau patuh kepada
pihak yang dipilihnya serta menjadi bagian dari suatu
komunitas. Seorang yang mandiri bahkan dapat memilih
untuk mengabdikan diri bagi Sang Pencipta semesta, atau
mengabdikan diri bagi suatu pekerjaan bagi orang lain.
Tanpa kemandirian, seseorang tidak ada dapat mencapai
keputusan serupa itu dan mempertahankan kesetiaan
komitmennya pada pilihan tadi.
Mengapa demikian? Seorang yang mandiri dapat
mempertahankan komitmennya karena, ia telah menyadari
pilihan-pilihan yang ada dan menentukan pilihannya sendiri
secara bebas serta, kemudian ia berani memikul tanggung
jawab untuk akibat dari keputusannya. Ia tidak selalu berhasil
mengambil pilihan yang tepat, namun ia selalu dapat belajar
dari kesalahannya. Menjadi mandiri berarti membuka
peluang seluas-luasnya untuk ia menemukan pengenalan
yang lengkap dan utuh atas aspek-aspek dirinya dan dunia
dimana ia hidup.
Tidaklah mengherankan bahwa di dunia ada orang-orang
yang mandiri bagaikan Martin Luther King Jr yang rela
mengurbankan diri untuk tujuan yang dipilihnya demi
menghasilkan kesamaan hak. Seorang yang mandiri seperti
58
KH Dewantara berani untuk berbeda dengan banyak orang
lain. Demikian juga dengan RA Kartini, Multatuli, Ho Chi Min,
U Than, Mathatir, Sukarno dan sebagainya. Kita juga dapat
menyoroti hidup Bunda Teresa yang rela meninggalkan
kenyamanan dan kestabilan hidup membiara agar secara
mandiri berada di tengah kaum yang terabaikan.
Sebaliknya seorang yang mandiri juga
dapat memilih untuk meletakkan
dirinya sebagai pusat pengabdiannya.
Jenghis Khan yang menguasai kerajaan
yang sangat luas dan membuat
puluhan ribu orang tewas adalah seorang yang sangat
mandiri. Demikian juga sang pembunuh bayaran, the Jackal.
Masih ada juga nama-nama lain, seperti Hittler, Pol Pot, atau
Westerling. Karena hal itu kemandirian bagaikan sebilah pisau
yang dapat dipergunakan untuk membedah atau menikam.
Kemandirian menghasilkan tokoh-tokoh yang luhur, seperti
Edmund Hillary yang membangun desa-desa di Himalaya,
namun juga menghasilkan tokoh-tokoh seperti, Mengele dan
Stalin.
Jadi, hal yang terutama membedakan seorang yang mandiri
daripada seorang yang bergantung pada orang lain, aturan,
kebiasaan, tingkat kenyamanan tertentu dan sebagainya
terletak pada keberanian orang-orang yang mandiri untuk
memikul tanggung jawab dari pilihannya, baik ketika ia
memilih dengan tepat maupun ketika ia keliru memilih.
Untuk itu biasanya memiliki gambar diri yang kokoh.
59
Agar mencegah munculnya Pol Pot, Stalin, dan Idi Amin, serta
menghasilkan manusia mandiri yang berguna bagi umat
manusia, maka pendidikan manusia mandiri harus
menekankan penularan nilai-nilai yang luhur pada proses ajar
belajarnya, peneladanan tentang percaya diri yang sehat,
serta penceburan siswa pada keragaman aspek dunia secara
nyata sehingga mereka dapat berinteraksi dengan dunia itu
dengan nyata.
Jadi, pendidikan modern memerlukan suatu falsafah dan
desain proses yang mungkin sangat berbeda dari yang ada
sebelumnya agar menghasilkan orang-orang yang berani
memilih dan bertanggung jawab untuk pilihannya. Seluruh
proses dan isi pelajaran harus dijalin untuk menghasilkan
kemandirian serupa itu. Peran pengajar terutama akan
menjadi sahabat yang menyiapkan rancangan proses dan
pilihan-pilihan yang disediakan bagi siswa. Hal ini harus
dilaksanakan secara konsisten dari tingkat pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi. Hal ini tidak mudah karena siswa-
siswa membutuhkan proses adopsi nilai yang luhur setelah
kemandirian menjadi kebiasaannya, dan sebelum proses itu
tercapai dengan memadai akan ada banyak saat dimana
kemandirian digunakan secara salah. Peran pendidik adalah
menjadi pembimbing yang memahi dan bersahabat pada
masa-masa itu. Mereka sangat membutuhkan kesabaran dan
ketenangan dalam berkarya.
Kemandirian dan Penyelesaian masalah
60
Dengan semakin kompleksnya hidup modern, maka bukan
saja dibutuhkan orang-orang yang mampu memilih, namun
juga agar pilihan yang diambil tidak hanya demi penciptaan
atau pengembangan wacana utuh. Pilihan-pilihan yang
menyangkut nalar dan emosi, harus senantiasa dikaitkan
dengan tindakan penyelesaian masalah yang nyata dan yang
dapat diterapkan.
Tanpa persepektif serupa itu, maka pendidikan yang
menghasilkan manusia mandiri akan menghasilkan manusia-
manusia yang mampu mengenali masalah, menganalisisnya,
namun tidak mampu memberikan solusi nyata pada masalah
tadi.
Jadi, semakin rumitnya hidup modern, semakin banyak
masalah yang timbul di dalam konteks hidup pribadi,
keluarga, kerja dan masyarakat, karenanya pendidikan juga
harus menghasilkan orang-orang yang bukan hanya mampu
mengenali namun juga dapat menjawab masalah-masalah
yang ada secara produktif tanpa bertele-tele.
61
Masih ada satu aspek lain dalam orientasi pada pemecahan
masalah. Bila pada sifat
mandiri, seseorang terlihat
dari ciri kesediaannya
memikul tanggung jawab,
pada orientasi pada
penyelesaian masalah, salah
satu ciri utamanya adalah ia memahami keseluruhan aspek
masalah yang dihadapinya secara sistemik serta memahami
tujuan yang ia ingin capai. Semakin jelas ia merumuskan apa
yang akan ia capai, semakin jelas masalah-masalah yang
akan dihadapinya dan yang harus diabaikan atau
dihindarinya. Selanjutnya, untu memberikan solusi pada
masalah yang ada, diperlukan kemampuan menganalisis
secara keseluruhan atau sistemik, sehingga pemecahan
masalah yang diberikan tidak bersifat parsial atau pragmatis
saja.
Aspek yang lain yang tidak kalah penting dalam penyelesaian
masalah adalah konsistensi diri. Hal ini akan tercapai bila
seseorang terbiasa untuk menggali makna dari masalah-
masalah yang dihadapi sebelum menyelesaikannya. Kera
dapat menyelesaikan masalah dengan alat-alat yang tersedia,
namun kera tidak akan pernah mampu menggali makna
tentang kehadiran masalah tadi dan keberadaannya. Manusia
merupakan mahluk yang mampu berabstraksi sampai
menggali makna kehadirannya di bumi ini serta makna
kehadiran masalah-masalah bagi dirinya. Hanya dengan cara
itu maka konsistensi penyelesaian masalahnya terjaga.
62
Kemandirian dan Tindakan nyata
Manusia memerlukan kemampuan menghasilkan tindakan
nyata setelah ia merumuskan apa yang ia ingin capai dan
membuat rancangan penyelesaian masalah. Pemahaman
orang terhadap apa yang ingin ia capai dapat berupa
rumusan umum atau abstrak. Dapat juga hal tadi berbentuk
konkrit dan jelas. Pendidikan modern perlu untuk
membiasakan siswa agar mampu membuat rumusan tujuan
yang jelas dan konkrit. Konkrit dan jelas, berarti tujuan yang
ingin dicapai dapat dievaluasi atau bahkan diukur.
Bila suatu tujuan tidak dapat dirumuskan dengan konkrit,
maka dapat dicari aspek-aspek konkritnya untuk dijadikan
petunjuk atau tonggak pengukuran keberhasilan
pencapaiannya. Misalnya, untuk mencapai manusia yang
bertanggung jawab sebagai suatu tujuan pendidikan, dapat
dibuat rumusan bahwa manusia yang bertanggung jawab tadi
dapat teramati dari caranya menggunakan waktu, alat,
pemeliharaan kesehatan, dan uangnya.
Pada aspek selanjutnya, tujuan yang ingin dicapai harus
terkait dengan tenggang waktu, entah tujuan tadi berupa
tujuan jangka panjang atau jangka pendek. Manusia modern
perlu memahami perbedaan di antara keduanya. Selain itu,
diperlukan juga keterampilan untuk memperkirakan tahap-
tahap untuk mencapai tujuan jangka panjang. Selanjutnya,
bila tujuan tadi terlalu besar, manusia modern perlu belajar
untuk mampu memilah atau memecah-mecah tujuan yang
besar tadi ke dalam tujuan-tujuan yang lebih kecil.
63
Kemampuan serupa itu tidak dapat diperoleh dengan cepat,
namun harus dibiasakan sejak dini.
Akhirnya, untuk mampu menghasilkan karya nyata, manusia
modern harus mampu merincikan agar tujuan yang mau
dicapai juga harus memiliki kejelasan biaya, waktu, tenaga,
cara dan dana yang diperlukan untuk mencapai hal tadi.
KEMANDIRIAN
Berani keluar dari ruang nyaman
Bagaimana dengan kebiasaan lain seorang manusia mandiri?
Seorang mandiri tidak akan berhenti belajar seumur hidupnya
karena ia menyadari bahwa solusi-solusi yang ia berikan pada
suatu masalah di saat tertentu tidak lagi merupakan solusi
yang memadai untuk masa depan. Ia terus menerus
memeriksa diri dan meninggalkan hal-hal usang yang tidak
lagi bermanfaat sehingga ia memiliki ruang untuk
mendapatkan hal-hal yang baru.
Sebagai konsekuensinya seorang manusia mandiri rela
kehilangan ketenangan. Dengan kata lain, seorang yang
mandiri juga tidak takut untuk memaksa dirinya keluar dari
64
Berani Keluar dariRuang Nyaman
Tindakan Nyata
PenyelesaianMasalah
ruang-ruang kenyamanan yang dibuatnya sendiri. Artinya ia
tidak akan menikmati hidup saja, memegang suatu kebiasaan
saja, atau memegang suatu paradigma saja.
Keragaman pengalaman dan hubungan merupakan suatu ciri
seorang mandiri karena melalui hal-hal tadi ia membuka diri
untuk menerima masukan-masukan baru untuk
perkembangan dirinya. Inilah yang sangat membedakan
manusia mandiri dari manusia yang hidupnya hanya berada di
dalam lingkaran kecil dimana ia mengulang-ulang ingatan
akan sukses yang pernah ia dapatkan di masa lalu dan
merasa nyaman dengan hal tadi.
Rintangan bagi kemandirian
Ada banyak rintangan yang dapat hadir di dalam hidup
seseorang yang berupaya menjadi mandiri. Pertama,
rintangan dapat datang dari budaya dimana ia hidup. Salah
satu komponen budaya yang terkuat adalah sistem nilai. Di
Asia, nilai-nilai yang paling dijadikan acuan adalah nilai
keseimbangan atau harmoni, pemeliharaan pada tradisi-
tradisi, serta nilai yang menekankan pencegahan kesalahan.
Nilai-nilai tadi terwujud di Asia dalam bentuk sikap feodal,
paternalistik, dan sikap kompromistis. Dengan demikian di
dalam sistem pendidikan Asia, hampir semua pendidik dan
subjek didik secara sengaja atau tidak mulai dengan nilai dan
sikap-sikap seperti di atas.
65
Pendidik lebih suka bila siswa-siswinya tampil tertib,
menyimak dengan baik, patuh, dan berpikir secara runtut
serta berkomunikasi secara santun. Pendidik lebih suka bila
siswa-siswinya tidak banyak menentang pandangannya atau
mempertanyakan sumber informasi yang ia ketengahkan,
bahkan memberikan pandangan tandingan. Pendidik lebih
suka bila siswa-siswi menahan diri dalam mengekspresikan
perasaan mereka dan tidak menampilkan individualitas
mereka. Istilah kunci yang sering didengung-dengungkan
adalah “murid yang sopan, tekun, patuh dan tahu diri.”
Nilai-nilai dan sikap-sikap tadi hanya memberi ruang yang
kecil pada kemandirian. Kemandirian justru dilihat sebagai
pemberontakan pada tatanan yang ada, adat istiadat,
kewajaran, dan keluhuran. Bila sikap feodalis bergabung
dengan agama, maka kemandirian bahkan dinilai sebagai
pemberontakan manusia terhadap sang Pencipta. Dengan
kata lain, nilai-nilai dalam budaya Asia yang menyebut dirinya
sebagai budaya yang komunal memang cenderung
bertentangan dengan kemandirian.
Kedua, rintangan kedua dari kemandirian datang dari potret
diri sendiri yang berkembang di Asia. Seorang yang tumbuh
dengan rasa percaya diri yang lemah dan rapuh, akan sulit
berani mengambil resiko dan menjadi mandiri. Secara umum,
dalam budaya yang menekankan kompromistis, hidup dimulai
dengan asumsi atau potret diri bahwa “manusia adalah
lemah.” Kalimat yang akan sering didengung-dengungkan
adalah “Kita tidak memiliki daya..”, “Kita tidak bisa berbuat
apa-apa..”, “Sulit sekali...” dan sebagainya. Potret diri yang
lemah ini berakar pada potret yang keliru tentang dunia
66
dimana kita hidup. Umumnya mereka memandang dunia
sebagai hutan rimba yang berbahaya dan mengancam.
Karena itu, manusia harus berhati-hati dan membatasi diri
dalam berinteraksi di dalam rimba ini. Pandangan yang
terakhir ini membuat manusia semakin memiliki gambar diri
yang pesimis. Semakin pesimis potret diri tadi, semakin sulit
baginya untuk mandiri karena ia merasa bahwa resiko dalam
berhadapan dengan dunia ini jadi harus ditanggungnya
sendiri.
Dapat kita catat bahwa, sebenarnya, ada pilihan lain dalam manusia
memandang dirinya dan dunianya. Pertama, manusia dapat
memandang dunia sebagai suatu mal besar dimana manusia dapat
menelusuri berbagai-bagai hal. Secara mandiri manusia dapat
mempelajari pilihan-pilihan yang ada serta mengenali konsekuensi-
konsekuensinya. Tujuan penelusuran adalah peningkatan kompetensi
dan kearifan diri. Jadi dunia dilihat sebagai kesempatan-kesempatan
dimana manusia lain dapat dipandang sebagai kesempatan untuk
sinergi dalam mengambil peluang yang ada. Kesulitan dapat
dipandang sebagai kesempatan belajar dan mengasah diri sehingga
seseorang dapat mencapai kemampuan dan sikap yang lebih tepat
untuk dunia yang terus berubah. Kemandirian merupakan suatu
bagian dari dunia seperti itu, khususnya kemandirian di dalam
mengenali atau membuat peluang-peluang kesempatan.
Selanjutnya, manusia dapat pula memandang dunia sebagai arena
dimana ia berburu, bertani, atau mendirikan bangunan secara
berbeda. Dunia dapat dipandang sebagai suatu kesempatan yang
harus direbut. Di dalam pandangan ini, manusia lain dapat dipandang
sebagai suatu sumber-sumber yang memungkinkannya mengelola
hidup dengan lebih utuh dan efektif atau sebagai saingan yang harus
dikalahkan. Kemandirian adalah bagian di dalam hidup ini terutama
dalam aspek pemupukan keunggulan diri.
67
Jadi, masyarakat Asia memang merupakan masyarakat yang
mengembangkan gambaran yang pesimis tentang hidup,
manusia lain, dan diri sendiri. Akibatnya, dorongan untuk
memilih pendidikan yang menekankan kepatuhan dan tahu
diri serta harmoni merintangi tumbuhnya kemandirian.
Ketiga, rintangan dalam memupuk kemandirian terletak pada
praktek pendidikan. Pendidik di Indonesia pada umumnya
hidup dalam tingkat kesejahteraan yang terbatas, kecuali bila
mereka bekerja di sekolah unggulan atau sekolah
internasional. Tidak heran banyak pendidik mengambil beban
tambahan untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka,
seperti memberi les, atau mengajar di berbagai tempat.
Sementara itu jumlah rasio antara pendidik dan siswa serta
jumlah kelas sangat tidak memungkinkan pengajar
mengamati perkembangan kemandirian tiap siswa dan
menolongnya secara pribadi seperti terbaca dalam statistik
DepDiknas pada tahun 1994-1995. Dua lajur yang paling kiri
menunjukkan bahwa jumlah kelas dibandingkan murid adalah
rata-rata 39,45 murid per kelas. Di DKI Jakarta sendiri
rasionya adalah sekitar 44 murid per kelas. Pernahkah kita
bayangkan bagaimana menangani setiap hari 44 individu
yang sedang berkembang dengan kecepatan dan gaya yang
berbeda-beda?
JUMLAH KELAS DAN MURID SLTP MENURUT TINGKAT TIAP PROVINSI
TAHUN AJARAN: 1994/1995
No.P r o v i n s i
Kelas I Kelas. II Kelas III Jumlah
Kelas Murid Kelas Murid Kelas Murid Kelas Murid
1 DKI Jakarta 3,701 160,940 3,603 153,249 3,365 139,912 10,669 454,101
2 Jawa Barat 9,413 368,796 8,891 344,625 7,540 273,820 25,844 987,241
68
3 Jawa Tengah 8,712 385,361 7,799 334,431 7,143 288,554 23,654 1,008,346
4 DI Yogyakarta 1,348 52,778 1,288 48,919 1,205 44,697 3,841 146,394
5 Jawa Timur 8,445 367,919 7,753 326,276 7,176 285,506 23,374 979,701
6 DI Aceh 1,282 48,680 1,166 41,576 1,025 35,216 3,473 125,472
7 Sumatera Utara 4,677 200,345 4,367 179,125 3,915 153,918 12,959 533,388
8 Sumatera Barat 1,678 64,337 1,532 53,551 1,383 48,259 4,593 166,147
9 R i a u 1,199 47,551 1,076 40,464 948 33,584 3,223 121,599
10 J a m b i 740 27,876 653 23,620 586 19,890 1,979 71,386
11 Sumatera Selatan 2,116 87,061 1,989 77,612 1,819 68,544 5,924 233,217
26 Bengkulu 559 21,855 493 18,169 438 14,738 1,490 54,762
12 Lampung 2,115 86,370 1,919 74,648 1,757 65,829 5,791 226,847
13 Kalimantan Barat 888 39,384 797 35,156 745 32,091 2,430 106,631
14 Kalimantan Tengah 491 19,786 439 17,627 402 13,078 1,332 50,491
15 Kalimantan Selatan 715 26,705 638 21,861 587 19,120 1,940 67,686
16 Kalimantan Timur 797 32,500 741 29,212 713 27,153 2,251 88,865
17 Sulawesi Utara 1,150 37,385 1,084 32,135 1,009 28,119 3,243 97,639
18 Sulawesi Tengah 649 23,049 548 18,432 531 17,283 1,728 58,764
19 Sulawesi Selatan 2,427 93,286 2,230 81,437 2,119 71,885 6,776 246,608
20 Sulawesi Tenggara 631 23,883 598 19,203 567 16,478 1,796 59,564
21 Maluku 982 35,269 893 30,161 823 25,739 2,698 91,169
22 B a l i 1,122 44,076 1,077 42,407 1,028 37,820 3,227 124,303
23Nusa Tenggara Barat
954 35,079 826 29,834 709 25,096 2,489 90,009
24Nusa Tenggara Timur
1,102 42,038 982 37,435 820 27,953 2,904 107,426
25 Irian Jaya 641 26,720 610 25,611 513 19,756 1,764 72,087
27 Timor Timur 231 8,575 215 7,405 197 6,594 643 22,574
I n d o n e s i a 58,765 2,407,604 54,207 2,144,181 49,063 1,840,632 162,035 6,392,417
Catatan / Notes:Hanya Kelas dan Murid di Lingkungan Departemen Pendidikan dan KebudayaanClasses and Pupils under Ministry of Education and Culture only
Situasi itu membuat pengajar tidak memiliki cukup enerji
untuk mengembangkan proses ajar belajar rumit, canggih dan
yang memakan tenaga. Mereka lebih menyukai komunikasi
satu arah dalam proses belajar.
Keempat, rintangan untuk menghasilkan pendidikan yang
mandiri terletak pada kenyataan sulitnya proses dalam
menghasilkan anak-anak yang mandiri secara dewasa. Siapa
yang berupaya menghasilkan siswa-siswi yang mandiri, tentu
69
akan menghadapi kenyataan bahwa, kemandirian dalam
kecerdasan, tata krama, nilai yang dianut, dan tujuan hidup
tidak berjalan secara paraleldan sinkron. Seringkali anak-
anak yang telah menunjukkan kemandirian dalam mengenali
masalah belum memiliki kemandirian untuk berkomunikasi
dengan tepat di masyarakatnya. Seringkali mereka yang
telah mandiri dalam kecerdasan masih belum mandiri dalam
menganut nilai-nilai yang luhur, sehingga tampil seakan
siswa-siswi yang tidak sopan, pemberontak dan egois. Selain
itu, setiap individu memiliki kecepatan yang berbeda-beda
dalam berkembang.
Siklus pengembangan kemandirian di dalam gambar diri,
gambar dunia, nilai, tujuan hidup, dan perilaku tidak hadir
dengan kecepatan dan keteraturan yang sama. Umumnya,
proses pengembangan nilai dan gambar diri merupakan hal
yang paling lambat, sedangkan pengembangan pengenalan
masalah dan berpikir kritis mungkin muncul lebih mencolok
dan terlebih dulu.
70
Kemandirian dalam mengenali masalah
Kemandirian dalam menentukan solusi masalah
Kemandirian di dalam memilih cara melakukankomunikasi
Kemandirian di dalam menentukan tujuan hidupnya
Kemandirian di dalam menentukan gambar diri dan nilai hidupnya
Kondisi kemandirian pada titik “t” dimana tidak terjadi sinkronisasi perkembangan yang terjadi
Dengan kata lain, siapa yang menjalankan proses pendidikan
untuk menghasilkan kemandirian akan menghadapi
asynkronisasi yang membuat orang dapat menilai secara
negatif proses yang ada. Menghasilkan manusia mandiri
adalah proses panjang serupa dengan pertumbuhan sebatang
pohon jati.
Kemandirian dan Produktifitas serta Spiritualitas
Menjadi mandiri dan senantiasa berani keluar dari ruang
nyaman akan membuat banyak manusia mandiri memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi manusia yang
produktif bagi masyarakat dimana ia berada dan bagi umat
71
manusia pada umumnya. Kemandirian tanpa menghasilkan
perubahan nyata pada tatanan sosial, pada teknologi yang
manusia kembangkan dan pada kedalaman makna yang
didapatkan akan menjadi kemandirian yang semata-mata
memenuhi kebutuhan pribadi saja. Tujuan menghasilkan
manusia mandiri adalah agar mereka dapat mengevaluasi,
mengoreksi dan mengembangan secara terus menerus, baik
biosfer atau dunia ciptaan Yang mahakuasa dimana manusia
hidup serta teknofer, yaitu dunia teknologi, perkotaan, ilmu
pengetahuan, dan apa yang peradaban manusia hasilkan.
Dengan kata lain, manusia mandiri harus menjadi manusia
produktif alias menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan
manusia lain dan dunianya. Menjadi mandiri dan produktif
adalah merupakan aspek yang penting dari tujuan proses
pendidikan.
Pendidikan yang menghasilkan manusia yang mandiri dan
produktif dapat menjadi suatu proses yang berjalan terus
menerus demi kepentingan manusia saja dan berakibat
mengurbankan bahkan merusak berbagai mahluk lainnya.
Tidak mustahil juga manusia-manusia yang memiliki
kemandirian dan produktifitas mengeksplorasi dunia dan alam
dimana ia hidup sampai rusak. Planet bumi dimana ia tinggal
dirusak binasakan tanpa ia sadari karena sudut pandang
berjangka pendek dan materialistis saja. Adanya polusi
besar-besaran di laut dan darat, adanya pencemaran air
tanah karena bakteri colii, dan banjir musiman di Jakarta
merupakan ilustrasi dari kemandirian dan produktifitas
semata.
72
Karenanya, pendidikan modern membutuhkan proses yang
tidak hanya menghasilkan kemandirian dan produktifitas
namun juga menghasilkan manusia yang memiliki kepekaan
diri, hati yang bijak dan penuh welas asih, serta pribadi yang
mensyukuri serta menyayangi bumi, sesama mahluk, sesama
manusia, dan terutama hati yang memuja sang PenciptaNya.
Inilah dimensi spiritual dari tujuan suatu proses pendidikan.
Dengan kata lain pendidikan akan menghasilkan manusia
yang mempertanyakan dengan kritis makna keberadaannya,
manusia yang mengevaluasi diri terus menerus mengenai
sumbangsihnya bagi kehidupan, dan manusia yang
menghargai sesama mahluk serta semesta. Dengan kata lain,
secara terus menerus ia mengolah mata bathinnya sehingga
tidak hanya mengejar keberhasilan material saja. Secara
terus menerus, ia mencerahkan kesadarannya agar ia tidak
didorong oleh persepsi-persepsinya yang keliru tentang
kehidupan. Akhirnya, secara terus menerus ia juga
mengingat pada proses jangka panjang dari kehidupan ini
yang pada akhirnya tiba pada titik puncaknya.
Dengan kata lain, kemandirian tanpa diiiringi dengan
produktifitas hanyalah menjadi kemandirian pada tahap
wacana saja. Produktifitas tanpa kemandirian akan membuat
manusia menjadi alat bagi manusia lainnya dan menjadi
pelaksana teknis saja. Kemandirian dan produktifitas tanpa
spiritualitas yang mendalam membuat manusia menjadi
materialistis saja dan akan menghancurkan diri dan semesta
alam.
73
Sebaliknya, kemandirian, produktifitas dan spiritualitas yang
berjalan bersama akan membuat manusia menjadi mahkluk
yang memberi sumbangsih bermakna bagi kehidupan.
Pendidikan harus menghasilkan manusia serupa itu. Dengan
kata lain pendidikan ditujukan agar menghasilkan manusia
yang secara pribadi berani dan mampu memilih, yang secara
sendiri dan bersama dapat mengubah dan mengembangkan
dunia, serta manusia yang secara sendiri atau bersama dapat
menemukan makna dari seluruh keberadaan dan
tindakannya. Semakin kedua hal tadi tercapai, yaitu
spiritualitas dan produktifitas, maka semakin mandiri dirinya,
karena percaya dirinya kian meningkat dan ia memiliki
gambar diri yang sehat.
Kesimpulan
Setiap manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi
manusia mandiri. Pola asuh yang keliru menghasilkan suatu
gambaran tentang dunia, gambar diri, dan persepsi-persepsi
Kemandirian
ProduktifitasSpiritualitas
74
yang keliru sehingga orang dipengaruhi habis-habisan oleh
ketiga hal tadi. Akibatnya ia tidak mengenal pilihan-pilihan
yang tersedia baginya. Selanjutnya ia meragukan
kemampuan dirinya mengambil pilihan yang ada. Karena itu
secara emosional ia terikat pada suatu sumber pengaruh
tertentu. Tugas mendidik adalah menolong seorang manusia
untuk memiliki pemahaman yang sehat mengenai hidup,
gambar diri yang sehat, serta persepsi-persepsi yang akurat
tentang lingkungannya sehingga ia mengenali pilihan-pilihan
yang ada dan mampu mengambil pilihan yang tepat.
Seiring dengan proses tadi, sang manusia juga mendapatkan
keterampilan atau skil untuk menjadi produktif atau
mengubah serta mengembangkan berbagai hal yang
peradaban manusia sudah capai. Akhirnya, manusia juga
harus mandiri dan produktif dengan pengawalan spiritualitas
yang mendalam, artinya memahami makna keberadaannya
dan bagaimana ia berperan memberikan sumbangsih jangka
panjang bagi kehidupan.
75
P A S A L 5
P E M E R A N :P E N G A J A R I D A M A N ,
E N G K A U L A H S A H A B A T K A M I
Fakta NyataTawuran antar siswa bukanlah hal yang langka di negeri ini.
Pada umumnya penyebab tawuran tadi sangat sepele. Di
Jakarta timur, pada tahun 2003, seorang siswa sekolah
kejuruan di daerah Pulo Asem, ditikam dari belakang dalam
suatu tawuran. Anak seorang pegawai kecil itu yang baru
berusia 16 tahun tewas setelah mengalami perdarahan yang
berkepanjangan. Peristiwa itu bukan unik, cermatilah apa
yang dimuat di tulisan di www.serojasatu.com/news/Tawuran yang
di kutip bawah ini
Tawuran Pelajar Tetap Marak. Sebanyak 26 Tewas, 56 Luka Berat, dan 109 Luka Ringan
Media Indonesia - Jabotabek
JAKARTA (Media): Perkelahian antarpelajar di DKI tetap marak dan korban jiwa sudah cukup banyak. Sejak 1999 hingga kini, sedikitnya 26 siswa tewas, 56 luka berat, dan 109 luka ringan akibat terlibat tawuran.
"Pelaku yang terlibat dalam tawuran pelajar itu sebanyak 1.369 orang. Artinya 0,08% dari 1.685.084 orang jumlah siswa di Jakarta," ujar kata Kepala Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data (Kabid Pullahta) Pusdalgangsos DKI Raya Siahaan di Balai Kota DKI, Rabu (8/3).
76
Raya yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta itu mengungkapkan, dari jumlah siswa korban perkelahian pelajar di DKI, terbanyak di Jakarta Timur yakni 10 meninggal, 12 luka berat, dan 30 luka ringan. Sedangkan di wilayah Jakarta Selatan, tujuh meninggal, lima luka berat, dan 35 luka ringan. Di Jakarta Pusat, empat meninggal, 28 luka berat, 33 luka ringan. Di Jakarta Barat, empat meninggal, empat luka berat, dan empat luka ringan. Disusul Jakarta Utara, satu meninggal, luka berat dan luka ringan masing-masing tujuh siswa, jelas Raya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Depdikbud DKI Alwi Nurdin mengutarakan guna mencegah dan menangani perkelahian siswa, pihaknya mengembangkan pola penanganan secara integratif, koordinatif, dan nonaktraktif.
Ketika ditanya tentang strategi penanganannya, menurut Nurdin, ada lima cara. Pertama, Kanwil Depdikbud DKI mengeluarkan kebijakan menyangkut peta kerawanan kelas sekolah. Hasilnya diperoleh data sebanyak 137 sekolah dianggap rawan tawuran yakni di Jakarta Pusat 40 sekolah, Jakarta Utara 9 sekolah, Jakarta Barat 11 sekolah, Jakarta Selatan 35 sekolah, dan Jakarta Timur 42 sekolah.
Kedua, jelas Nurdin, pihaknya melakukan pengidentifikasian simpul rawan perkelahian. Tercatat 253 titik simpul rawan perkelahian di wilayah DKI dengan rincian di Jakarta Pusat 50 simpul, Jakarta Utara 35, Jakarta Barat 50, Jakarta Selatan 58, dan Jakarta Timur 60 simpul.
Di Amerika, suatu negeri yang makmurpun, kekerasan yang
dilakukan oleh siswa-siswi bukanlah hal aneh. Beberapa
tahun yang lalu, dunia digemparkan oleh sebuah berita yang
mengejutkan. Dua orang siswa bernama Eric dan Dylan
membunuh 15 orang siswa di Colorado’s Columbine High
School. Apa yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut
membuat para guru, orang tua bertanya-tanya: “mengapa hal
itu dapat terjadi”; “bagaimana kehidupan keluarga mereka”;
dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit
diungkapkan pada saat itu. Jelaslah, setiap orang ingin tahu
77
apa yang mendorong Eric dan Dylan nekat melakukan
perbuatan keji tersebut.
Stephen Yip, seorang pekerja sosial yang berpengalaman
menangani anak-anak sekolah yang drop-out di Singapore,
mengutip statistik, bahwa jumlah siswa yang drop out tidak
mencapai 5 persen dari jumlah anggota masyarakat, namun
mereka menghasilkan 95 persen dari kekerasan dan
kejahatan yang ada di negara itu.
Beberapa gejala di atas
hanyalah sebagian kecil
dari kekerasan dan kejahatan yang
setiap hari terjadi. Dari pengamatan sekilas,
semakin lama semakin banyak kejahatan dilakukan oleh
orang-orang yang masih berada dalam usia belajar. Apa yang
terjadi?
Apa suara pada siswa-siswi mengenai proses belajar mereka?
Elita Jessamine, siswi sebuah sekolah Kristen di Jakarta
mencatat dalam tahun 2001 “Sekolah membosankan, guru-
guru harus dikasihani dan ditolerir karena umumnya mereka
tidak bahagia dengan hidup mereka.” Gabriel dengan tertawa
menyindir sekolahnya “Aku menjadi anak yang terkenal,
karena tidak naik kelas.”
Selpi, seorang pekerja sosial mencatat “Guru-guru tidak
memahami dunia pelajarnya. Mereka hanya butuh kepatuhan
78
dan memaksakan pendapat serta nilai mereka pada murid-
muridnya. Kasihan, anak-anak itu kesepian.”
Apakah hal-hal itu yang membuat siswa-siswi menjadi tidak
bahagia, pengajar tidak berbahagia dan masyakarat ikut
trenyuh? Salah satu jawaban ialah bahwa banyak di antara
siswa-siswi merasa kesepian karena tidak memiliki sahabat
yang lebih dewasa dari mereka.
Jawaban lainnya ialah bahwa apapun perilaku yang dilakukan
oleh seseorang, entah itu yang mempunyai dampak positif
atau negatif, tidaklah terlepas dari kematangan orang
tersebut dalam mengelola emosinya. Tidak dapat disangkal
lagi, keterampilan mengelola emosi bagi sebagian orang
seringkali dipakai sebagai penilaian karakternya. Bisa saja
orang menilai Eric dan Dylan adalah anak-anak yang
mempunyai watak kasar, emosional, dan sebagainya.
Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi perbuatan
Eric, Dylan, dan yang lainnya tidaklah sulit. Ahli-ahli ilmu jiwa,
dalam upaya untuk mengetahui latar belakangnya,
menapaktilasi kehidupan keluarga anak tersebut. Memang,
hasil dari survey telah membuktikan, bahwa 80% pendidikan
yang diterima oleh seorang anak di dalam keluarga ikut
membentuk karakter dan masa depan si anak. Bila anak
tidak tumbuh dalam keluarga yang bersahabat, maka
akibatnya mereka akan melihat dunia sebagai dunia yang
tidak ramah dan perlu dilawan.
Siswa-siswi yang kemudian terlempar keluar dari sistem
pendidikan tercatat di dalam statistik. Apa penyebabnya tentu
79
bukan hanya karena latar belakang keluarga dan suasana
sekolah. Namun, untuk konteks Indonesia kedua hal tadi tentu
memegang peranan besar, yang sampai saat ini belum
diteliti. Dari data di atas terlihat bahwa, angka drop out di
perguruan tinggi terus berkurang sejak tahun 1983,
sedangkan angka drop out yang menunjukkan kegagalan
siswa-siswi SD memasuki SLP terus meningkat. Selanjutnya,
angka drop out selama SLP dan SLA cenderung turun naik
dengan kecenderung turun bertahap.
TABELPERKEMBANGAN ANGKA BERTAHAN KASAR MENURUT JENIS SEKOLAHTAHUN AJARAN: 1983/1984--1994/1995
Tahun Ajaran SD Tk.6 Ke SLP.kls 1
SLTP Kls.3 Ke SLA Kls.1
SLA kls. 3- Kls 1
Perguruan Tinggi
Thn.ke4/Dari Thn.1
1983/1984 62.27 93.24 91.19 18.23
1984/1985 61.62 92.58 94.23 20.69
1985/1986 67.60 90.77 92.61 24.52
1986/1987 66.52 91.87 94.55 28.29
1987/1988 68.81 93.28 94.76 31.10
1988/1989 67.61 92.82 88.87 43.94
1989/1990 65.88 82.69 86.16 44.14
1990/1991 67.22 80.66 92.35 47.01
1991/1992 66.51 85.05 85.55 49.28
1992/1993 67.37 84.30 86.09 52.23
1993/1994 69.15 86.37 86.40 54.36
1994/1995 71.23 90.94 87.89 69.68
80
Catatan / Notes:1) Hanya murid sekolah di lingkungan Depdikbud 2) Angka Bertahan Kasar dihitung dari - SD Murid tk. VI tahun t dibagi dengan murid tk. I tahun (t-5) - SLTP, SM, dan SMU idem.
Apapun alasan yang dikemukakan, peran keluarga tidak bisa
diabaikan dalam menghasilkan warga masyarakat yang
berkualitas. Keluarga adalah masyarakat pertama yang
dikenal oleh seorang manusia. Ketika seorang manusia masih
dalam kandungan ibunya, sebenarnya ia sudah dapat
merasakan, apakah kehadirannya disambut atau ditolak.
Seorang ibu yang merasa bahagia karena dirinya dikaruniai
janin, akan memberikan respon-respon emosi yang tentu
positip, misalnya: rasa senang/bahagia yang diungkapkan
dengan memberi perhatian terhadap gizi makanan,
mempersiapkan perlengkapan bayi dengan membeli yang
terbaik, dan sebagainya. Emosi-emosi inilah yang juga
81
dirasakan oleh si bayi. Harapan sang ibu kelak “buah hatinya”
akan menjadi anak yang pandai dan berhasil dalam hidupnya.
Tidaklah demikian bila kenyataan sebaliknya. Bila seseorang
hamil dan tidak menghendakinya, tentu respon emosi si ibu
negatif, seperti sikap acuh tak acuh terhadap makanan yang
dimakan, mudah menjadi stres karena terjadi perubahan pada
bentuk fisiknya, dan sebagainya. Hal itupun berdampak pada
janin yang bertumbuh di rahimnya.
Selanjutnya, dalam lima tahun setelah seseorang dilahirkan,
ia belajar dengan sangat aktif. Apa yang didengar, dilihat dan
dirasakannya amat mewarnai bahkan, menentukan caranya
memandang hidup, orang lain dan dirinya sendiri. Seringkali
justru di masyarakat kita, banyak anak-anak pada usia
awalnya telah mengalami luka di bathin mereka karena kata-
kata, sikap, perlakuan, dan keputusan orang tuanya. Tidak
bekelebihan bila diperkirakan bahwa lebih banyak anak-anak
yang setelah tiba di masa remaja, sudah banyak menanggung
beban kesedihan, kemarahan, ketakutan, atau kesepian dan
kebencian pada diri sendiri akibat pola asuh yang keliru.
Karena itu, mereka tidak berani menjadi mandiri karena luka-
luka membuat mereka terintang mengenali pilihan-pilihan
yang tersedia di dalam hidup mereka.
Orang yang terluka dalam batinya, cenderung terus menerus
untuk mengenal dan memandang dunia sebagai lingkungan
yang memusuhi dan mengancam mereka, bukan sebagai
tempat dimana mereka menemukan sahabat. Orang yang
terluka meragukan nilai-nilai yang luhur. Mereka juga
meragukan keberhargaan dirinya.
82
Lingkungan pendidikan di sekolah dapat entah memperparah
luka itu, atau sebaliknya dapat mengatasi atau
menguranginya. Hal tadi akan tergantung pada bagaimana
para pendidik memainkan peran mereka. Bila mereka
berperan sebagai sahabat siswa-siswinya, maka terbuka
peluang agar luka dan gambar tentang dunia yang diperoleh
di keluarga direvisi. Sebagai sahabat, seorang pendidik dapat
menolong siswa-siswinya untuk merasa diterima, dihargai,
dan dianggap penting. Kemudian sebagai sahabat, pendidik
dapat menolong para siswa mengenali pilihan-pilihan yang
tersedia dalam keadaan yang paling sulitpun. Akhirnya
sebagai sahabat, pendidik dapat menolong mereka
mengambil salah satu pilihan sehingga mereka mencapai
kemandirian.
Apakah Seorang Sahabat itu?
“Sahabat” adalah sebuah kata yang tidak asing dalam hidup
manusia. Kata ini mempunyai makna yang sangat mendalam.
Setiap orang pasti membutuhkannya dan senantiasa
berusaha mendapatkan sahabat, bahkan bila orang tersebut
telah memilikinya, ia akan senantiasa memeliharanya.
Menjadi sahabat bagi orang lain dan mempunyai seorang
sahabat adalah sesuatu yang sangat berarti dan berharga
dalam hidup seseorang, karena memang Sang pencipta
menata manusia untuk hidup bersama dengan orang lain.
83
Bagaimana dengan para pendidik, dapatkah mereka menjadi
sahabat bagi siswa-siswinya?
Bagi orang Inggris, arti seorang sahabat diungkapkan dalam
sebuah pepatah: a friend in need is a friend indeed, artinya
sahabat yang sejati ialah sahabat yang selalu siap menolong
ketika seseorang memerlukannya. Seorang pendidik dapat
mengkomunikasikan penerimaan mereka seadanya terhadap
siswa-siswinya. Ia dapat pula mengungkapkan
penghargaannya pada keunikan diri mereka, bahkan ia dapat
menciptakan suasana saling mempercayai sehingga siswa
akan menjadikannya tempat mencurahkan isi hati mereka.
Selanjutnya, ia dapat meneladani sikap pantang menyerah.
Ia dapat menolong siswa-siswi sebagai sahabat, bahwa untuk
berbagai situasi selalu tersedia berbagai pilihan-pilihan dalam
kita berespon terhadapnya. Siswa-siswi dapat belajar untuk
mengenali pilihan tadi dan memiliki kemampuan mengambil
pilihan yang tepat serta menanggung konsekuensinya.
Dengan demikian, siswa-siswi dapat mengembangkan
gambaran tentang dunia sebagai suatu kesempatan, dan
gambaran tentang dirinya sebagai seorang yang dapat
menentukan pilihan-pilihan dalam situasi apapun. Dengan
kata lain, melalui persahabatan dengan seorang yang lebih
dewasa dan yang selalu berada bersama mereka, siswa-siswi
belajar untuk menjadi manusia mandiri.
Kebutuhan akan adanya sahabat yang lebih dewasa ini
merupakan kebutuhan yang tidak terpenuhi di dalam kota-
84
kota besar, sehingga semakin melebar gap antara orang
dewasa dan remaja atau anak-anak. Dimasa lalu, seorang
guru silat menjadi sahabat dan panutan bagi muridnya.
Seorang pengajar menjadi panutan dan orang tua ketiga di
luar rumah. Seorang rohaniwan atau ulama menjadi tempat
berteduh dalam pencarian jari diri. Kini, orang dewasa dan
siswa-siswi sibuk dengan dunia masing-masing dan
mengembangkan budaya serta bahasa yang terpisah.
Lebih dalam lagi, ketiadaan sahabat yang diperlukan serta
justru tidak lagi tersedia berakibat lebih dalam. Mengapa?
Seorang penulis, Adnand Krishna, menyebutkan bahwa
seseorang disebut sahabat adalah jika orang tersebut dapat
mendorong kehidupan spiritual sahabatnya. Kehidupan
spiritual bukanlah berarti kehidupan beragama. Kehidupan
spiritual berarti kehidupan yang dijalani sambil menggali
makna dari berbagai peristiwa yang seseorang alami.
Seorang pendidik justru dapat memainkan peran serupa itu.
Ia dapat mengajukan pertanyaan, mengusik pola pikir siswa-
siswinya, atau menghadirkan masalah-masalah yang saling
bertentangan sehingga mereka diajak menggali sendiri secara
mandiri untuk menemukan makna dari segala yang terjadi
termasuk ambiguitas yang dilihatnya.
Langkah menuju persahabatan
“Mengerti Lebih Dahulu” adalah suatu langkah yang perlu
diambil sebelum persahabatan dimulai. Untuk itu,
persahabatan hanya dapat dimulai bila ada waktu yang dilalui
85
bersama, ada saat saling menyimak, dan ada saat saling
mengamati. Mengapa hal itu menjadi prasyarat? Kita senang
jika orang lain menunjukkan keperdulian pada diri kita. Kita
lebih senang bila ada orang yang dapat memahami siapakah
diri kita atau apa yang terjadi pada kita. Artinya, kita merasa
senang jika ada seseorang yang membuat kita merasa
berharga dan dipahami. Siswa-siswi juga lebih membutuhkan
hal itu karena usia mereka yang masih muda.
Di dalam teori Emotional Quotient, kunci dari kecerdasan
emosi bukannya terletak pada bagaimana orang lain
memahami diri kita, tetapi pada bagaimana kita
memahami orang lain. Memahami orang lain adalah respon
yang kita sebagai pendidik berikan kepada orang lain dengan
menempatkan paradigma orang lain atau paradigma siswa-
siswi pada paradigma orang dewasa. Artinya, ketika seorang
pendidik berbicara dengan seorang siswa atau siswi, ia
berusaha masuk ke dalam kerangka berpikir siswa atau siswi
tersebut, sehingga dapat mengetahui apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh lawan bicaranya. Di dalam kehidupan sehari-
hari istilah untuk menggambarkan proses ini disebut dengan
proses ber empati.
Untuk dapat berempati dengan seseorang tidaklah mudah,
karena bagi kebanyakan orang pada umumnya dan di Asia
pada khususnya, emosi jarang diungkapkan dengan kata-
kata. Untuk itulah memahami emosi diperlukan waktu,
pengalaman, dan kepekaan yang akhirnya membawa kita
lebih terampil membaca emosi seseorang dibalik kata-
katanya. Untuk itu kemampuan untuk mengenali ungkapan
86
melalui gerak gerik, air muka, dan nada suara sangat
menentukan dalam pendidik meningkatkan empatinya.
Didalam kehidupan sehari-hari, emosi biasanya diungkapkan
melalui isyarat, seperti: mata yang melihat ke bawah ketika
sedang berbicara, nada suara tinggi/keras, meremas-remas
tangan, atau ekspresi wajah yang cemberut. Daniel Goleman
menuliskan komunikasi non-verbal mempunyai peranan yang
besar (90%). Jadi, ketika seseorang berkomunikasi dengan
orang lain komunikasi non-verbal sangatlah penting. Dari hasil
penelitian di Amerika dan di negara-negara lain, orang yang
mampu membaca secara non-verbal biasanya lebih pandai
menyesuaikan diri, lebih populer, dan lebih mudah bergaul.
Dalam hal ini empati berhubungan dengan kemampuan orang
memahami orang lain secara non-verbal.
Selanjutnya, selain sang pendidik memulai berempati, iapun
dapat menolong para siswa untuk belajar mengenai dunia
emosi. Di sekolah, pendidik adalah orang yang paling tepat
mengajarkan kepada siswa-siswinya mengenali emosi-
emosinya. Pertama, siswa-siswi belajar mengenali bagaimana
pola ia mengekspresikan emosinya. Kemudian mereka dapat
belajar bagaimana seharusnya mereka mengelola emosinya
ketika sedang merasa jengkel, marah, atau ketika sedang
merasa takut.
Dalam proses belajar mengajar di kelas dan situasi pada
waktu beristirahat, adalah moment yang dapat dipakai
pendidik untuk mengamati atau berdialog dengan siswa-
87
siswinya. Kemudian, mereka dapat mendiskusikan
keberhasilan-keberhasilan siswa-siswi mengelola emosi
mereka dan pengembangan-pengembangan yang dapat
dilakukan mereka dalam praktek.
Konsekuensi bila keterampilan empati dipraktekkan:
o Siswa-siswi dapat diajak bekerjasama, dengan teman
sebaya atau dengan pendidiknya.
o Di antara sesama siswa-siswi, atau antara pendidik dan
mereka timbul saling pengertian dan percaya.
o Bagi pendidik-pendidik sendiri, hubungan di antara mereka
lebih terbuka, mendukung, dan dapat saling menguatkan.
o Pendidik dapat mengekspresikan cerita atau pengajaran
dengan lebih leluasa bahkan untuk menolong siswa
mempelajari berbagai keterampilan dan mendalami
spiritualitas.
o Pendidik menjadi orang yang perlu diteladani, sedangkan
tanpa disadari ia kemudian mengasah pengelolaan
emosinya sendiri untuk menjadi lebih peka.
Jadi dengan kata lain, pendidik dapat menjadi sahabat bagi
anak-anak, demikian sebaliknya siswa-siswi dapat menjadi
sahabat bagi pendidiknya. Wibawa pendidik justru muncul
bukan karena ia bersikap seperti sipir penjara dan ditakuti,
tapi karena ia dihormati dan dicintai oleh siswa-siswinya
sebagai pemandu perjalanan hidup dan sahabat dewasa yang
menjadi tempat mereka berteduh di dalam hidup yang kerap
kali keras dan tak ramah ini.
88
Peran-peran yang patut diperankan oleh pendidik
Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, ada empat peran
yang sering diperankan oleh para pendidik, yaitu:
1. Peran Orang tua yang Mengabaikan. Ciri-ciri peran ini:
o Melepaskan diri atau mengabaikan perasaan si
siswa
o Berharap agar emosi-emosi negatip siswa cepat
hilang
o Mengalihkan perhatian siswa untuk menutupi
emosi-emosi anak
Akibat-akibatnya:
a) Siswa belajar bahwa perasaan-perasaan mereka
itu tidak tepat atau tidak benar
b) Siswa mengalami kesulitan untuk mengatur emosi-
emosinya karena dilatih untuk mengabaikan atau
menekan gejolak emosi mereka dan bukan
mengelola atau menyalurkannya.
2. Peran Orang tua yang Tidak Menyetujui. Ciri-ciri peran
ini:
o Mengecam ungkapan emosi siswa
o Menekankan agar selalu muncul kepatuhan dan
bertingkah laku yang baik dari siswa
o Menghardik, menertibkan atau menghukum siswa
ketika ia mengungkapkan emosi yang spontan
89
Akibat-akibatnya:
Akibat yang terjadi adalah serupa dengan
akibat dari peran orang tua yang mengabaikan.
3. Peran Orang tua yang Laissez-Faire
o Bebas menerima semua ungkapan dari siswa
o Sedikit petunjuk mengenai tingkah laku siswa
o Tidak mengajar tentang dinamika emosi kepada
siswa
Akibatnya:
o Siswa tidak belajar mengenal emosinya
o Siswa tidak belajar mengelola emosinya
o Suasana belajar sulit menimbulkan konsentrasi
dan upaya menjalin persahabatan
4. Peran Orang tua yang Dewasa
o Menghargai emosi-emosi negatif siswa
o Menunjukkan kesabaran dan, bersama siswa
menghadapi rasa marah, takut, dan sedih mereka
o Emosi negatif pada siswa merupakan arena yang
penting untuk dipelajari bersama
o Tidak memaksa siswa untuk merubah perasaan
o Menghargai dan mendiskusikan cara-cara yang
baik ketika siswa menghadapi kemarahan,
ketakutan atau kesedihan mereka seraya
menunjukkan kegagalan-kegagalan dalam
menangani emosi dengan baik.
90
Akibatnya:
a) Siswa belajar untuk mengenali cara mereka
mengungkapkan perasaannya
b) Siswa dapat menerima kegagalan dan
keberhasilan ketika mereka mencoba
mengungkapkan perasaan-perasaannya
c) Siswa belajar mengelola perasaan-perasaannya
dan cara mengungkapkannya dengan lebih efektif
d) Siswa akan memiliki penerimaan diri sendiri yang
tinggi karena mengenali keberhasilan dan
kegagalannya
e) Siswa memiliki harga diri yang tinggi
f) Siswa menjadi lebih bertanggung jawab
g) Siswa menjadi lebih efektif dalam bergaul dan
mempunyai banyak teman
Dengan demikian jelaslah bahwa peran keempat merupakan
peran terbaik yang harus dimiliki pendidik kini dalam konteks
apapun. Namun, apa rincian prasyarat untuk dapat
melakukan hal tadi?
Mengembangkan kemandirian siswa melalui peningkatan kecerdasan emosi pendidik
91
Untuk mencapai hasil yang diinginkan yaitu bahwa pendidik
dapat berperan sebagai sahabat dan mengakibatkan siswa
mampu mengembangkan diri menjadi manusia mandiri, maka
diperlukan beberapa langkah. Secara nalar tidak mungkin
pendidik yang gagal mandiri dan tidak berminat untuk
menjadi sahabat siswa akan mencapai tujuan di atas. Untuk
menjadi mandiri dan menjadi sahabat tadi, seorang pendidik
membutuhkan berbagai prasyarat, salah satunya ialah
kemampuan pengelolaan emosi pribadi yang efektif. Dengan
kata lain, pendidik diharapkan memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi.
Bagi seorang pendidik yang ingin mengembangkan
kecerdasan emosi, ada lima langkah yang perlu diperhatikan.
Lima langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi ialah
1. Pendidik perlu mengenali pola dinamika emosi
diri sendiri.
Pengenalan pendidik akan perasaannya sendiri
sewaktu perasaan itu berkecamuk, merupakan dasar
kecerdasan emosi. Seorang pendidik perlu
menyadari mengapa ia mudah marah, atau mengapa
tiba-tiba merasa takut, dan sebagainya. Satu kata
yang perlu diingat ialah kata “waspada”, kata ini
dapat mengingatkan agar seseorang tidak
dikendalikan oleh emosi.
2. Mengelola dan mengekspresikan emosi.
92
Mengelola emosi bukanlah hal yang mudah,
seringkali seseorang membuat kesalahan fatal
karena tidak dapat mengendalikan diri.
Keterampilan menguasai emosi sering memberi
dampak positif bagi diri sendiri atau orang lain.
Pendidik sebagai orang yang diteladani oleh siswa-
siswinya perlu bijaksana menentukan kapan ia harus
mengendalikan emosinya dan kapan ia harus
mengekspresikan emosinya.
3. Mengenali emosi orang lain
Pendidik juga perlu belajar untuk peka akan emosi
siswa yang ia didik, bahkan ikut merasakan apa yang
dirasakan siswanya. Itulah yang dimaksud dengan
empati.
4. Memotivasi diri
Seseorang memiliki motivasi, karena ia sadar betul
apa yang menjadi tanggungjawabnya dan apa yang
ingin ia capai dalam hidup ini. Pendidik bukan saja
diharapkan dapat menyelesaikan target kurikulum,
tetapi juga memikirkan perubahan perilaku seperti
apa yang diharapkannya terjadi pada anak didiknya.
5. Membina hubungan
Seorang pendidik juga perlu pandai membina
hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu
93
dengan sesama pendidik, siswa, atau orangtua
siswa.
Kesimpulan
Emosi yang merupakan anugerah Sang Pencipta, telah
membentuk sesorang dewasa untuk menjadi orang-orang
yang dapat ikut berperan dalam membimbing siswa-siswinya
dalam menjalani hidup yang mandiri di dunia ini.
Mengelola emosi sama pentingnya dengan mengembangkan
intelektual, karena melalui keduanya seorang pendidik dapat
menjadi sahabat bagi anak didiknya, teman bagi orang lain,
dan bagi keluarganya. Mengelola emosi juga membuat orang
merasakan kemandirian karena ia tidak menjadi wayang yang
dipengaruhi dan ditentukan oleh tarikan dari lingkungannya
saja. Ia tidak juga dipengaruhi oleh persepsinya tentang
dunia, atau dipengaruhi oleh orang lain dan berbagai
kesulitan hidup yang ia alami.
94
PASAL 6
A L A T B A G I P E N D I D I K :P E R T A N Y A A N Y A N G M E N G H A S I L K A N
K E M A N D I R I A N
Dunia modern memacu para pendidik untuk menghasilkan
anak-anak bangsa yang sanggup menempatkan diri di tengah
deru perubahan yang cepat, pilihan-pilihan jamak dan hidup
yang cepat serta penuh tekanan. Lebih dari itu, para pendidik
berkewajiban moril untuk menolong mereka menjadi orang-
orang yang hidupnya mampu menggali makna dan memiliki
akar pada nilai-nilai yang luhur, gambar diri yang kokoh, dan
ambisi-ambisi yang bermanfaat bagi manusia lain selain
dirinya sendiri. Ia harus menghasilkan manusia-manusia yang
mandiri yang artinya, mampu memilih berdasarkan nilai-nilai,
gambar diri yang kokoh dan ambisi yang tepat.
Dalam proses ajar mengajar, salah satu
keterampilan yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan di atas dan memungkinkan
proses komunikasi dua arah antara pendidik
dengan siswa-siswi adalah cara bertanya
yang kreatif. Kreatif adalah karakteristik yang
menunjukkan bahwa seseorang memiliki daya cipta yang
tinggi, tidak mudah puas dengan hasil yang dicapai,
95
menekankan baik proses dan hasil usaha, serta memiliki
keberanian untuk tampil beda atau menempuh terobosan
yang tidak biasa.
Tujuan Pertanyaan
Proses berkomunikasi, khususnya pengajuan pertanyaan-
pertanyaan yang tepat dan kreatif seharusnya menghasilkan
beberapa hal:
1. gambar diri si siswa menjadi lebih kokoh, lebih utuh,
dan lebih kuat karena siswa merasa bahwa pengajarnya
menghargai dirinya dengan pertanyaan yang disajikan
2. siswa terdorong “bertanya dan menggali” lebih jauh
topik yang disajikan atau dipertanyakan, yaitu siswa
menjadi semakin ingin tahu dan berpikir kritis
3. pengajar tidak merampas kemungkinan dan kegairahan
siswa untuk menemukan sendiri jawaban dari
permasalahan yang mereka hadapi, termasuk
kemungkinan siswa mengalami kegagalan memecahkan
masalah, sehingga memperkaya perbendaharaan
pengalaman mereka. Tegasnya, pengajar
memungkinkan siswa menjadi semakin kreatif.
4. siswa memahami adanya kecerdasan jamak/multiple
intelligence dan dalam jenis kecerdasan mana mereka
lebih kuat atau lebih lemah (semakin kenal diri)
5. pengajar dapat mengetahui kedalaman proses nalar
dan afeksi si siswa.
96
Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, maka pengajar perlu
mengenali jenis-jenis pertanyaan yang dapat diajukan serta
kecenderungan pribadinya untuk menggunakan dengan
sering beberapa jenis pertanyaan yang ada.
Klasifikasi PertanyaanMenurut Robert Sun dan Arthur Carin klasifikasi jenis-jenis
pertanyaan dapat dilakukan menurut berbagai cara:
1. berdasarkan tingkat konvergensi atau divergensinya
2. berdasarkan tingkat kedalaman nalar atau afeksinya
3. berdasarkan tingkat kedalaman proses berpikir kritis
1. Berdasarkan Tingkat Konvergensi atau Divergensi
Pertanyaan yang konvergen atau divergen dibedakan
berdasarkan besarnya kemungkinan jawaban yang
disodorkan kepada siswa ketika pertanyaan tadi diajukan. Ada
pertanyaan yang hanya memungkinan jawaban tunggal, ada
yang memungkinan dua jawab, bahkan ada yang mungkin
dijawab dari beberapa sudut pandang. Jenis yang terakhir
disebut sebagai pertanyaan divergen. Pertanyaan divergen
akan memacu siswa untuk mengenali adanya beberapa
kemungkinan jawaban, menelusuri berbagai kemungkinan
tadi, bertanggung jawab untuk menentukan satu atau dua
kemungkinan sebagai pilihannya, serta akhirnya
menyampaikan pendapatnya dengan jernih. Tepatnya,
pertanyaan-pertanyaan yang divergen membuat siswa
97
memiliki berbagai kemungkinan berespon serta pendekatan
yang kritis dan kreatif. Siswa terbiasa untuk memilih dan
bertanggung jawab atas pilihan mereka baik pada saat
prosesnya maupun pada saat hasilnya disampaikan. Bahaya
penggunaan pertanyaan jenis divergen adalah kelas
kehilangan benang merah atau alur topik, hubungan satu
topik dengan topik lain, atau malah keseluruhan alur
pelajaran tidak selesai ditangani pada jam yang tersedia.
Pertanyaan konvergen memaksa siswa menentukan pilihan,
terkadang digunakan untuk memaksa mereka mengklarifikasi
pendapat mereka di antara pilihan-pilihan yang sama
benarnya. Bahaya dari pertanyaan konvergen adalah
membuat siswa terdorong untuk menerka jawaban yang
paling dikehendaki oleh pengajarnya.
Pengajar yang baik akan mampu mengkombinasikan
pertanyaan divergen dan konvergen untuk situasi yang pas
sesuai dengan materi pelajaran dan waktu yang tersedia.
Latihan bagi pendidikKita dapat mengajak siswa-siswi menentukan tingkat
konvergensi dan divergensi pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan memberi rating dari angka 1 (sangat konvergen)
sampai angka 5 (sangat divergen):
o Menurut kalian, apa yang akan saya lakukan dengan
benda ini (memperlihatkan sepotong karton atau
paper clip)?
98
o Apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan lebih
lanjut untuk meningkatkan desain ini?
o Apakah ragi merupakan unsur terpenting dalam
membuat roti?
o Binatang apa yang kamu sukai kalau kamu harus
menjadi dirinya?
o Dari foto ini, apa yang dapat kamu simpulkan
mengenai polusi di Jakarta Barat?
o Apakah kamu rasa bahwa kamu telah memiliki
informasi yang cukup untuk menarik kesimpulan
yang benar?
o Apakah kelembaban merupakan penyebab utama
dari basinya sepiring nasi?
2. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Nalar dan Afeksi
Pada tahun 1948 dihasilkan apa yang kini kita kenal dengan
nama Taxonomi dari Bloom untuk menentukan tujuan-tujuan
pendidikan pada lingkup kognisi/nalar dan lingkup afeksi.
LINGKUP NALAR LINGKUP AFEKSI/
RASA
Evaluasi =
=
= Memberikan
penilaian
Menyimpulkan/
Generalisasi
99
Sintesa =
Analisis =
Aplikasi=
Pengertian=
Pengetahuan
=
=
=
=
Menyatukan
Breakdown
Menerapkan
pada situasi
konkrit
Memadukan
data terpadu,
recall
informasi
yang
dikaitkan
Menilai lebih
mendalam
Mengorganisir/Menata
Menilai
Merespon
Menyerap
Contoh dari pertanyaan-pertanyaan yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan taxonomi Bloom di atas adalah:
Berapa banyak negeri penghasil minyak ? (pengetahuan)
Perkiraan-perkiraan apa yang kau dapat tarik dari masalah
ini? (sintesa)
Mengenal peran panas sebagai enerji, bagaimana kamu
menggunakannya untuk melepaskan tutup botol yang
tidak mudah dibuka dari botolnya? (aplikasi)
Jelaskan bagaimana operasi sebuah air condition ?
(pemahaman)
Apa pandanganmu tentang Megawati? (Menilai)
100
Perlu diingat bahwa Bloom membuat hierarki dari tingkat
kedalaman pertanyaan baik nalar maupun lingkup rasa.
Semakin tinggi tingkatnya, semakin siswa dipaksa bekerja
keras untuk mencari jawab, berkreasi secara mandiri serta
berpikir kritis.
3. Berdasarkan Proses Berpikir Kritis
Berdasarkan proses berpikir kritis, maka terdapat berbagai
jenis pertanyaan sebagai berikut:
Pengamata
n
: Apa yang dapat kau amati
mengenai
ayam itu?
Membuat
hipotesa
: Apa yang terjadi bila jumlah
penduduk Jakarta meningkat 100
persen dalam 3 tahun kedepan?
Merancang
penyelidika
n
: Bagaimana kalian menentukan
dampak polusi air ikan brenyit?
Membuat
skema/
grafik
: Bagaimana membuat grafik
hubungan
antara tinggi orang dengan ukuran
lebar pinggangnya?
Inferensi : Apakah kesimpulanmu dari kedua
data tadi?
101
Mengevalua
si
: Bila kamu adalah seorang dokter
bedah dan hanya memiliki sebuah
jantung untuk dicangkokkan,
sedangkan kamu memiliki 10
pasien
yang menanti cangkok jantung
tersebut, bagaimana kamu
menentukan siapa yang akan
menerima cangkok tadi?
Analisis : Apakah penyebab Perang Dunia ke
dua?
Cara Menyampaikan Pertanyaan
Dalam menghadapi siswa-siswinya, seringkali para pengajar
menemukan situasi yang aneh. Siswa-siswi mengungkapkan
bahwa mereka memahami apa yang diajarkan, namun ketika
pertanyaan diajukan, merekapun tidak menjawab. Apa yang
jadi masalah di sini?
Umumnya, seringkali mereka merasa segan, takut, atau tak
terbiasa bersikap dan berekspresi jujur dan terbuka kepada
pengajarnya. Merekapun takut untuk mengajukan
pertanyaan. Alasan mereka pada umumnya adalah:
o takut membayangkan reaksi negatif yang mungkin
timbul dari pengajarnya
o takut dinilai negatif oleh rekan-rekan sekelasnya
102
o tidak tahu dan tidak biasa mengajukan pertanyaan yang
tepat
o tidak mendapatkan cukup kesempatan
Dengan kata lain, ada budaya yang muncul di kelas tanpa
kita sengaja, yaitu, budaya takut, segan, atau ragu untuk
mengungkapkan diri sehubungan dengan pelajaran.
Bagaimana Kemungkinan Mengatasinya?
Pertama, bangunlah budaya bertanya dan berekspresi (buat
daftar siapa penanya terbaik, siapa penanya terbanyak, dan
sebagainya).
Kedua, ciptakan sistem yang menghargai dan memberikan
imbalan bagi pertanyaan-pertanyaan
Ketiga, berikan teladan/kepemimpinan untuk menanyakan
pada siswa hal-hal yang memang sang pengajar tidak
ketahui.
103
BUDAYA BERTANYABUDAYA BERTANYA
SISTEM DAN PROSEDURBERTANYA
SISTEM DAN PROSEDURBERTANYA
PENELADANANPENELADANAN
Selanjutnya, mengenai pertanyaan, perlu dilakukan beberapa
hal seperti :
1. Beri perhatian khusus mengenai waktu jeda atau menanti
jawaban, pengajar tidak perlu takut menanti agak lama
2. Gunakan air muka, mata, tangan, sikap badan untuk
mengundang jawaban
3. Anggukan kepala akan berguna untuk mengundang
jawaban lebih lanjut
4. Bila jawaban terhadap pertanyaan ternyata salah, jangan
cepat mengoreksi, tapi ulangi jawaban tadi atau
paraphrasing dan tawarkan pada siswa lain ikut menilai
5. Bila siswa menjawab seakan hanya pada Anda, katakanlah
“coba ulangi jawaban tadi agar sekelas bisa mendengar”
6. Jangan menyebut nama salah satu siswa untuk menjawab,
berikan pertanyaan pada seluruh kelas terlebih dulu
7. Layangkan pandang ke seluruh kelas sambil tersenyum.
8. Gunakan pertanyaan yang membuat siswa
mengungkapkan pengalaman, perasaan pribadi,
kegembiraan, keraguan, dan hal-hal yang terkait dengan
gambar diri mereka, bila perlu berilah teladan lebih dulu.
Telitilah mengapa tiap-tiap langkah di atas perlu dilakukan,
jelaskan atau perkirakan alasannya. Kemudian, latihlah diri
dengan menyusun lima pertanyaan untuk tiap jenis
pertanyaan menurut Bloom. Kemudian, bandingkan
pertanyaan yang dihasilkan dengan hasil karya orang lain.
104
Bila pengajar membiasakan diri memberikan pertanyaan yang
beragam pada siswa, maka dapat diharapkan bahwa siswa
akan terpacu untuk berpikir kreatif dan menjadi mandiri. Pada
akhirnya proses belajar adalah proses yang menyenangkan,
baik pengajar maupun siswa sama-sama diajak berpikir keras
untuk memperoleh ilmu seluas-luasnya.
Penutup
Mengajar seringkali harus dimulai dengan pertanyaan-
pertanyaan yang tepat sebelum memberikan berbagai
jawaban. Mungkin para siswa tidak tertarik pada uraian-
uraian, namun bila mereka berhadapan dengan tantangan
pertanyaan-pertanyaan, maka mereka akan lebih siap dan
aktif mendengarkan jawaban-jawaban. Mereka juga akan
belajar mandiri untuk memilih jawaban terhadap berbagai
pertanyaan yang mereka hadapi.
Selanjutnya mereka juga akan belajar untuk mengenali
proses-proses ketika dirinya mendalami penguasaan berbagai
keterampilan agar ia dapat produktif di dalam hidup.
Akhirnya, mereka yang terbiasa mengajukan pertanyaan akan
tiba pada pertanyaan-pertanyaan spiritual yang mengusik
mereka untuk menelusuri makna keberadaan dan karya
mereka di dalam hidup ini. Untuk menghasilkan manusia-
manusia serupa itu sangat dibutuhkan kehadiran sinergis dari
berbagai faktor, antara lain, faktor adanya pengajar yang
terlebih dulu berani bersikap mandiri dan mempertanyaan
105
makna karya serta keberadaannya sebelum mengajarkannya
pada siswa. Semoga, hal itu dapat tercapai.
106
Kepustakaan
BiOGRaFi
Robby Chandra lahir di tahun 1953. Sejak lulus SMA di Jakarta, ia
terus menerus tertarik tentang manusia, baik sebagai individu,
kelompok dan sebagai bagian dari organisasi dan masyarakat.
Selama mendalami dunia konseling muda-mudi pada akhir tahun
1975-1977 di STT, Jakarta, ia sempat mengajar sebagai guru SD, di
SD Lemuel jalan Petamburan, Jakarta. Menurutnya, SD Lemuel
adalah sekolah yang memiliki suasana kekeluargaan dan proses
belajar yang paling utuh pada waktu itu. Kemudian, di tahun 1979
107
ia juga sempat mengajar sebagai guru di SMA Negeri di kompleks
BDN, Pesing. Di tahun 1980-1991, ia menjadi pengajar luar biasa di
Fakultas Sastra dan Antropologi, UI.
Selepas masa itu, ia mendapatkan beasiswa Wheaton Graduate
School, Illinois, USA di bidang Komunikasi. Selama belajar ini ia
mengunjungi berbagai sekolah di Illinois, selain menyerap berbagai
proses belajar di kampusnya. Pengembaraannya di USA
berlangsung sampai tahun 1989, ketika ia menyelesaikan studi
Strata tiga. Selama itu ia mendalami berbagai bidang ilmu, antara
lain, manajemen, komunikasi lintas budaya, dan pendidikan
rekonsiliasi serta sejarah Barat di abad pertengahan, teologi,
khususnya etika, dan memasak. Sekembalinya, minat
akademisnya disalurkan di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya
Mulya yang memperkenalkannya pada dunia konsultasi dan
pendidikan Strata Dua.
Tulisan ini merupakan buku ke 15nya, suatu hasil refleksi yang
datang dari hati seorang ayah, yang tidak khusus mendalami
bidang pendidikan. Harapannya adalah pemikiran ini menghasilkan
diskusi yang menjadi pengembangannya dan berguna bagi para
pendidik.
Kini Chandra terutama menggunakan waktunya dalam bidang
pengembangan manusia, pelatihan, dan konsultasi-konsultasi, bila
ia tidak melakukan tugas utamanya yaitu, menjelajahi alam bebas,
melaut, main musik, menulis, dan berdebat dengan ketiga anak
serta satu istrinya.
Buku-bukunya, antara lain:
Konflik dalam hidup Sehari-hari 1990
Teologi dan Komunikasi 1992
108
Etika dalam dunia bisnis 1995
Kerangka Kepemimpinan 1996
Pemimpin yang komunikatif 1997
Pemimpin dan team work 1998
Menatap Benturan Budaya 1999
Transformasi: dari Kepompong menuju langit biru 2000
Landasan Pacu Kepemimpinan 2005
Bahan Bakar Kepemimpinan 2005
Kepemimpinan dan Perubahan 2005
Kepemimpinan dan Mentoring 2006
Menuju Manusia Mandiri 2006
109