buku cover rev dec06coremap.or.id/downloads/manual-pengembangan_mma.pdf · intertidal...
TRANSCRIPT
PANDUAN PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA/MMA) DI WILAYAH COREMAP II - INDONESIA BAGIAN BARAT
Penyusun: Budy Wiryawan Agus Dermawan
Editor : Suraji
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM COREMAP II
2006
DAFTAR ISI 1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA) 1 1.1Pengantar 1
1.2 Nomenklatur MMA 2 1.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia 5 1.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA) 10 1.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA 11 1.6 Strategi Pencapain Tujuan MMA 12 1.7 Desain Pengelolaan MMA 14 1.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota 14 2. RENCANA KELEMBAGAAN MMA 19 2.1 Dasar Kelembagaan MMA 19 2.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah
2.3 Perspektif Kelembagaan MMA ke depan 2.4 Mekanisme kerja Kelembagaan MMA 2.5 Lembaga Pengelola MMA 2.6 Sekretariat Pengelola MMA 2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA 2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA 2.9 LPSTK dan Pihak Swasta 2.10 Pendanaan MMA
23 25 25 27 27 28 28 29 30
3. DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT 33 31. Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di Desa 33 3.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL 36 3.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat 37 3.4 Metoda Pengelolaan DPL 39 3.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan 39 3.6 Zonasi Kawasan 41 3.7 Lokasi dan Ukuran 42 3.8 Partisipasi Masyarakat 44 4. PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL 47 4.1 Tahapan dan Pembentukan 47 4.2 Pemilihan Lokasi MMA 50 4.3 Sistem Biaya Masuk 53 4.4 Kelompok Pengelola 53 4.5 Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa 54 4.6 Pengelolaan DPL 57 4.7 Pembuatan Rencana Pengelolaan
4.8 Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan 58 71
4.9 Pendidikan Lingkungan Hidup 72 4.10 MCS dan Penegakan Hukum 73 4.11 Pemantauan dan Evaluasi 73 4.12 Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain (scaling-up) 75 DAFTAR PUSTAKA 77 LAMPIRAN 79
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL ............................... 48 Tabel 2. Matrik Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ................................... 70
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum ............................................................ 12 Gambar 2. Jaringan DPL dalam satu Unit Pengelolaan KKLD Kabupaten/Kota ................ 14 Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Kota Batam ................... 16 Gambar 4. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Daerah Kep. Mentawai .... 18 Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA ............................................................................ . 31 Gambar 6. Tahapan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut ......................................... 49 Gamabr 7. Tahapan Proses Pembentukan Peraturan Desa/Surat Keputusan Desa tentang
Perlindungan Laut .............................................................................................. 56 Gambar 8. Siklus Kebijakan pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir ............................. 57 Gambar 9. Pentahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang .................. 63
ADB
Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II COREMAP II Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Tebet Raya No. 91, Tebet - Jakarta Selatan 12820 Telp : (62-21) 83783931 Fax : (62-21) 8305007 e-mail : [email protected], [email protected] Website : www.dkp.go.id
1COREMAP II ADB
1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA)
1.1 Pengantar
Buku panduan ini disusun
berdasar pengalaman COREMAP II ADB
dalam mengimplementasikan program
pengelolaan sumberdaya terumbu karang
di Indonesia bagian barat, serta dari
pengalaman program pengelolaan pesisir
di Indonesia, terutama CRMP/USAID untuk model Daerah Perlindungan
Laut. Pedoman ini ditujukan untuk para praktisi, perencana dan pengambil
kebijakan untuk wilayah pesisir.
Buku Panduan ini, yang menjelaskan langkah-langkah partisipatif
dalam mengembangkan Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area),
yang dalam istilah proyek COREMAP II ADB disebut MMA (Marine
Management Area), yaitu mulai dari mengidentifikasikan isu-isu, baik
potensi maupun masalah, secara singkat dijelaskan tahapan dalam
pengembangan MMA di lokasi proyek. Generalisasi konsep dan ide-ide, serta
‘lesson-learned’ yang dijelaskan dalam buku ini diharapkan dapat
diterapkan para pembaca. Buku ini didesain sebagai pustaka dalam
pengembangan kawasan konservasi laut di wilayah pesisir di Indonesia,
namun demikian para pembaca yang menginginkan informasi yang lebih
spesifik disarankan melihat referensi yang digunakan buku ini.
Manfaat yang diharapkan dari buku ini adalah untuk memfasilitasi
perencana dan paktisi dalam mengembangkan MMA dengan memanfaatkan
pengetahuan lokal, serta kearifan lokal mereka, dalam pengembangan
rencana pengelolaan kawasan konservasi laut ke depan. Diharapkan, para
praktisi dan perencana dapat meningkatkan proses partisipasi stakeholders,
1.1. Pengantar 1.2. Nomenklatur MMA 1.3. Pengembangan Kawasan Konservasi
Laut di Indonesia 1.4. Jejaring Kawasan Konservasi (MMA) 1.5. Konsep MMA dan Desain Kelembagaan
Pengelolaan MMA 1.6. Strategi pencapaian tujuan MMA 1.7. Desain Pengelolaan MMA
2 Panduan Pengembangan Marine Management Area
sebagai basis dalam terbentuknya kolaboratif manajemen MMA, yang akan
menjamin perikanan dan pariwisata berkelanjutan.
Untuk menyamakan persepsi, maka penggunaan istilah MMA di
dalam buku panduan ini digunakan istilah Kawasan Konservasi Laut (KKL)
di tingkat kabupaten, yang dipadankan dalam bahasa Inggris disebut
’locally-managed Marine Management Area (MMA)’. Sedang kawasan
konservasi laut pada skala desa dalam panduan ini disebut dengan Daerah
Perlindungan Laut (DPL).
1.2 Nomenklatur MMA
Walaupun istilah Marine Management Area atau Marine
Conservation Area ataupun Marine Protected Area mempunyai persamaan
arti, namun demikian berikut akan dijelaskan tentang asal-usul istilah
tersebut. Kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu kawasan, baik
darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan
dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan
sumber daya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya hukum atau
upaya-upaya efektif lainnya (IUCN, 1994).
Definisi dari IUCN dan UNDANG-UNDANG Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi
adalah manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat
bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
IUCN mengelompokkan Kawasan Lindung menjadi 6 kategori : (1)
Strict Nature Reserve/Wilderness Area, (b) National Park, (c) Nature
Monument, (d) Habitat/Species Management Area, (e) Protected
Landscape/Seascape, dan (f) Managed Resources Protected Area.
3COREMAP II ADB
Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) adalah daerah
intertidal (pasang-surut) atau subtidal (bawah pasang- surut) beserta flora
fauna, sejarah dan corak budaya dilindungi sebagai suaka dengan
melindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perUndang-
Undang an (IUCN, 1995).
Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk
berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,
yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan
locally-managed Marine Management Area (MMA). Di dunia Internasional
MMA dikenal sebagai suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang
secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitar
kawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat
maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. MMA merupakan pendekatan
baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003). Dengan
melihat perkembangan KKL di Indonesia, maka MMA dapat dipadankan
dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat pada skala
desa, yang terdapat di beberapa desa pesisir di Indonesia, seperti di desa
Blongko, Bentenan, Tumbak di Minahasa dan Pulau Sebesi di Lampung
Selatan, dsb.
Adapun maksud pembentukan KKL dimaksudkan untuk :
(1) Menjamin kelestarian ekosistem laut untuk menopang
kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya
yang ada,
(2) Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut,
(3) Pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan,
(4) Pengelolaan sumberdaya laut dalam skala lokal secara
efektif,
(5) Pengaturan aktivitas masyarakat dalam kawasan
pengelolaan.
4 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Sedang tujuan pembentukan KKL adalah :
(1) Peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang
lamun, dan hutan mangrove),
(2) Peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya
ikan,
(3) Peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya
ikan,
(4) Peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat,
(5) Peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya
alam.
Terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut MMA
(Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA
(Marine Conservation Area). Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak
mesti menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP
II. Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat
untuk MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi
Laut (KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Perairan di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan)
dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka
Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan.
Saat sekarang, Pemerintah Indonesia sedang memformalkan
Rancangan Peraruran Pemerintah (RPP) tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan menjadi Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
(PP KSDI), yang akan diterbitkan pada tahun 2006. Pada Pasal 10 PP
tersebut, dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan ditetapkan oleh
Menteri. Berdasarkan lingkup kewenanganya, pengelolaan Kawasan
Konservasi Peraiaran terdiri dari : (a) Kawasan Konservasi Perairan
Nasional, (b) Kawasan Konservasi Perairan Propinsi, (c) Kawasan
Konservasi Perairan Kabupaten/Kota. Pada PP ini juga mengacu pada
5COREMAP II ADB
Undang-Undang Nomor 31 tentang Perikanan, yang merekomendasikan
jenis kawasan konsrvasi berdasar tujuan pengelolaan, sesuai dengan
Undang-Undang tersebut.
Peraturan perUndang-Undang an sebagaimana diuraikan di atas
memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan
proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah, swasta,
dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia
1.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia
Perkembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia sejalan dengan
perubahan pendekatan dunia terhadap konservasi laut. Pendekatan pertama
yang dimulai pada abad lalu, terdiri dari pengaturan dan pengelolaan
aktifitas kelautan secara individual sektor, seperti perikanan komersial
dengan berbagai tingkatan koordinasi dan peraturan dari berbagai sektor.
Biasanya kurang koordinasi dan perhatian pengelolaan kawasan pesisirnya.
Pendekatan kedua, adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut
pada skala kecil (desa) yang merupakan salah satu upaya pengelolaan
sumberdaya ikan. Biasanya pendekatan kedua tersebut dilengkapai dengan
pengaturan penggunaan alat-alat penangkapan ikan. Pendekatan ketiga
adalah pembentukan Kawasan Konservasi Laut dengan skala luas, dengan
tujuan yang serba guna dan sistem pengelolaan yang terintegrasi.
Pendekatan ketiga tersebut merupakan pendekatan yang relatif baru di
Indonesia dan akan dilakukan pada pengembangan Kawasan Konservasi
Laut atau MMA oleh COREMAP II.
Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki luas
wilayah laut lebih besar dari pada luas daratan, dengan total panjang garis
pantainya terpanjang keempat di dunia, maka Indonesia memiliki jumlah
pulau sebanyak ± 17.508 pulau dengan garis pantai ± 85.000 km (WRI,
2004). Wilayah lautan Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa
6 Panduan Pengembangan Marine Management Area
terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya,
terutama sumberdaya alam yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan
mangrove, terumbu karang), sehingga dikenal sebagai ’coral triangle’
sebagai pusat mega-biodiversitas. Wilayah pesisir juga memiliki arti
strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem
darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa
lingkungan. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi
berbagai pihak untuk memanfaatkannya.
Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan
alam yang dimiliki Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Akan tetapi sampai dengan saat ini, pemanfaatan sumberdaya alam
tersebut kurang memperhatikan kelestariannya sehingga berakibat pada
menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Degradasi
ekosistem terumbu karang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an, sampai
saat ini kerusakan ekosistem pesisir dan penurunan kualitas lingkungan
laut sudah memprihatinkan. Dari hasil penelitian P2O-LIPI (1998), kondisi
terumbu karang di Indonesia hanya 6,41 % dalam kondisi sangat baik ; 24,3
% dalam kondisi baik; 29,22 % dalam kondisi sedang; dan 40,14 % dalam
kondisi rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan
perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun cyanida dan
juga penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi.
Pelaku kerusakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir
tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing.
Kencenderungan di atas dikarenakan kurang optimalnya pengelolaan
kawasan konservasi laut yang berbentuk Taman Nasional atau yang
lainnya, disebabkan oleh ; (1) Orientasi pengelolaan kawasan konservasi
laut lebih fokus pada manajemen teresterial, (2) Pengelolaan bersifat
sentralistik dan belum melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat
setempat,(3)Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan
7COREMAP II ADB
para pihak, (4) Banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi
laut.
Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan sumberdaya laut
adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya
menjadi kawasan konservasi laut. Melalui cara tersebut diharapkan upaya
perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber
plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam
secara lestari dapat terwujud.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam laut yang lestari, maka
desain terpadu pengelolaan sumberdaya kelautan sangat diperlukan.
Desain secara komprehensif pemanfaatan laut diharapkan dapat
menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodir
kebutuhan masyarakat seperti : Taman Nasional Perairan, Taman Wisata
Perairan, Suaka Alam Laut dan Cagar Alam Perairan, Taman Wisata
Perairan, Kawasan Konservasi Laut atau Daerah Perlindungan Laut,
sesuai dengan Nomenklatur yang terdapat pada Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Kawasan Konservasi Laut merupakan paradigma baru, disamping
kawasan konservasi nasional lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada pasal 18
dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah
eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya.
Kegiatan penyusunan desain KKL ini dimaksudkan untuk mendesain
pokok-pokok pengelolaan konservasi laut yang berskala daerah dan atau
8 Panduan Pengembangan Marine Management Area
regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi daerah
otonom. Untuk menghindari berbagai permasalahan yang berkembang
dalam pengelolaan kawasan konservasi yang dapat berdampak pada konflik
vertikal (tumpang-tindih perundangundangan) serta konflik horizontal
(masalah pemanfaatan dan pengelolaan SDI) maka dibutuhkan suatu kajian
yang mendalam terhadap berbagai peraturan perUndang-Undang an
yang telah berjalan dan pada akhirnya melahirkan suatu produk
perUndang-Undangan yang menguntungkan berbagai pihak.
Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan
ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber
daya alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal
33 ayat (3) UUD dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan
dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik
sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan
pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak.
Dengan demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan
ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat
banyak bila secara ekonomis, politis, sosiologis dan kultural
menguntungkan.
Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan
berbagai upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasan-
kawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia.
Pemerintah telah merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah
laut yang diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sampai
tahun 2006, sebanyak 9 Kabupaten yang telah menetapkan sebagian
wilayah pesisirnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk
berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,
9COREMAP II ADB
yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan
Locally Marine Managed Area (LMMA). LMMA ini sepandan dengan konsep
MMA di skala Kabupaten dan DPL di skala Desa, yang sedang
dikembangkan oleh COREMAP II di Indonesia bagian barat.
Di dunia Internasional LMMA dikenal sebagai Locally Managed
Marine Area, yaitu suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang
secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitar
kawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat
maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. LMMA merupakan
pendekatan baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003).
Sekali lagi, terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut
MMA (Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA.
Untuk di Indonesia bagian barat, satu Kabupaten/Kota hanya terdiri dari
satu Unit MMA. Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak mesti
menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP II.
Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk
MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi Laut
(KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Laut di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan
menjadi 4, yaitu : Suaka Perikanan, Taman Nasional Perairan, Suaka Alam
Perairan, dan Taman Wisata Perairan. Seperti juga disebutkan dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya Ikan (draft
Agustus 2006). Peraturan perUndang-Undangan sebagaimana diuraikan di
atas memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi
dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah,
swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia
1.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA)
10 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Dari beberapa MMA Kabupaten/Kota diupayakan membentuk jejaring
MMA. Seperti disebutkan dalam Pasal 28 Rencana Peraturan Pemerintah
Konservasi Sumberdaya Ikan, yaitu untuk meningkatkan daya tahan dan
keutuhan Kawasan Konservasi Perairan terhadap pengaruh iklim global,
iklim musiman, dan tekanan manusia, perlu dikembangkan Jejaring
kawasan konservasi perairan.
Jejaring kawasan konservasi perairan dikembangkan atas dasar:
a. keterkaitan biofisik antar Kawasan Konservasi Perairan;
b. kemitraan antar lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan
dan/atau antara lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan
dengan lembaga non-pemerintah nasional dan/atau asing;
Jejaring Kawasan Konservasi Laut, misalnya, dikembangkan dengan
mempertimbangkan bukti ilmiah meliputi aspek oseanografi, limnologi,
biologi perikanan, keterkaitan antar kawasan, daya tahan lingkungan,
kelembagaan pengelolaan, dan aspek ekonomi, sosial serta budaya. Sedang
rencana dan desain Jejaring Kawasan Konservasi Perairan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan strategi nasional
konservasi sumber daya ikan.
Kriteria yang dapat digunakan untuk pemilihan lokasi MMA diterakan
dalam Box di bawah ini.
11COREMAP II ADB
1.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA
Konsep MMA berikut merupakan kesepakatan yang diambil dari
kesepakatan para praktisi MMA di Asia-Pasifik yang terjalin dalam MMA
Network. Gambar 1 menjelaskan model konseptual MMA dengan 5
komponen didalamnya, yaitu :
(1) Target (ekosistem terumbu karang), adalah kondisi dimana lokasi
MMA difokuskan yang langsung berpengaruh terhadap aktivitas
MMA.
(2) Ancaman langsung, adalah faktor dimana ancaman secara tiba-
tiba bisa mempengaruhi target.
(3) Ancaman tidak langsung, adalah faktor dimana ancaman yang
muncul dibalik ancaman langsung.
Contoh Kriteria Pemilihan KKL
Kriteria Sosial:
Penerimaan sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika,
konflik kepentingan, keamanan, keterjangkauan kawasan, pendidikan,
kesadartahuan masyarakat dan kecocokan
Kriteria Ekonomi:
Nilai penting spesies, nilai penting perikanan, sifat-sifat ancaman,
keuntungan ekonomi dan pariwisata.
Kriteria Ekologi:
Keanekaragaman hayati, kealamiahan, ketergantungan, keterwakilan,
keunikan, integritas, produktivitas, ketersediaan dan kawasan pemijahan
ikan.
Kriteria Regional:
Urgensi Regional dan daerah
Kriteria Fragmatik:
Kepentingan, ukuran, tingakt ancaman, efektivitas, peluang, ketersediaan, daya pulih dan penegakan hukum. (Salm et al, 2002)
12 Panduan Pengembangan Marine Management Area
(4) Strategi, adalah aksi yang dilakukan terhadap ancaman suntuk
mencapai target. Untuk satu jaringangan MMA, hanya terdapat
satu strategi MMA
(5) Parktisi, adalah individu atau organisasi yang memiliki
keterampilan dan kapasitas untuk mengimplemntasika strategi-
strategi
Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum
(Sumber LMMA Network, 2003)
1.6 Strategi pencapaian tujuan MMA
COREMAP II melakukan antisipasi terhadap ancaman langsung
maupun tak langsung yang akan mempengaruhi target melalui beberapa
strategi. MMA merupakan kawasan habitat laut yang dikelola oleh
masyarakat setempat, pengelola kawasan, atau yang berhubungan dengan
organisasi dan atau pengaturan bersama dengan perwakilan lembaga
pemerintah. Tiga komponen spesifik dari strategi pengelolaan sebuah MMA
adalah :
(1) Full Reserve (Perlindungan yang Menyeluruh), yaitu
perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam suatu kawasan.
Kawasan tersebut sering disebut ’Sanctuary’ (Suaka) atau
’Daerah Larang Ambil’ atau ’fully protected area’.
Strategi MMA
Ancaman
Tak Langsung
Ancaman Langsung
Target
Praktisi
13COREMAP II ADB
(2) Species Specific Refugia (Pembatasan Penangkapan Spesies
tertentu, adalah pembatasan penangkapan terhadap spesies
tertentu atau beberapa spesies atau individu dengan ukuran atau
jenis kelamin tertentu.
(3) Effort or behavioral Restrictions (Pengurangan Upaya
Penangkapan), adalah pengaturan pembatasan usaha
penangkapan ikan atau pemanfaatan tertentu di suatu kawasan.
Perijinan oleh Pemerintah/Pengusaha Lokal menyangkut
pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat
usaha penangkapan ikan (seperti : jumlah ikan, jumlah perahu,
kuota terhadap jumlah penangkapan, pengaturan musim, pola
pemanfaatan lain yang diperbolehkan (seperti wisata selam) dan
pembatasan perijinan.
Seperti ditargetkan dalam COREMAP II ADB, bahwa sekitar 60.000
Hektar ekosistem terumbu karang dapat dilindungi sampai 2009, setelah
terbentuknya 40-45 Lembaga Pengelola Terumbu Karang berbasis Desa.
Karena COREMAP ADB mempunyai 8 lokasi kabupaten/kota, maka per
lokasi diharapkan terbentuk sebuah MMA yang mempunyai luas 1000
sampai dengan 1500 Hektar terumbu karang.
MMA berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan
konservasi laut berbasis desa (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis
desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa
berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL
berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat
koordinasi pengelolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan
status dapat berbeda.
Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut
seperti, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti
transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi
kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen
14 Panduan Pengembangan Marine Management Area
dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan
manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi (seperti
ikan dan mamalia laut) dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh
dilindingi.
Gambar 2. Jaringan Daeral Perlindungan Laut (DPL) dalam
satu Unit Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) di Kabupaten/Kota.
Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka Jaringan KKLD dapat
berupa Kawasan-Kawasan Konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 dan Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya
Ikan, yaitu : Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam
Perairan dan Suaka Perikanan.
1.7 Desain Pengelolaan MMA
Pengelolaan suatu MMA haruslah dirancang secara terpadu, yaitu dengan
memadukan segenap kegiatan ekonomi, seperti perhubungan laut,
perikanan, pariwisata, kehutanan dan pertambangan. Keterpaduan
pengelolaan MMA juga meliputi aktivitas sosial dan administrasi dan
DPLDPL
DPL
DPL
DPL
KKLD/MMA
DPLDPL
DPL
DPL
DPL
KKLD/MMA
15COREMAP II ADB
kepemerintahan). Sementara dampak penting dari lingkungan, seperti
pencemaran, erosi dan sedimentasi memerlukan pertimbangan khusus
dalam desain pengelolaan MMA.
Pengelolaan suatu MMA diharapkan menganut prinsip-prinsip dasar
sebagai berikut :
(1) Adaptif. Pengelolaan yang adaptif terhadap perubahan dan
informasi baru untuk memperbaiki kinerja pengelolaan
suatu MMA.
(2) Berkelanjutan. Upaya-upaya pemanfaatan dilaksanakan
berdasar pada azas keberlanjutan dan ekologis.
(3) Pendekatan Ekosistem. Pengelolaan ekosistem
memfokuskan pada integritas ekosistem dengan
mempertimbangkan aspek pemanfaatan.
(4) Manfaat Ganda. Pengelolaan dengan mengikuti proses
untuk alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan,
terutama dalam perencanaan dan penetapan kawasan.
(5) Pengelolaan Bersama. Pengelolaan bersama untuk
mengimplementasikan contoh-contoh pengelolaan
sumberdaya yang baik.
1.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota
(1) MMA dibentuk dari Jaringan Daerah Perlindungan Laut (DPL) skala
desa.
Di dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan MMA
Kabupaten/Kota menyebutkan batas-batas MMA dengan koordinat
geografis. Adapun Sebuah MMA Kabupaten dapat terdiri lebih dari satu
Sub-MMA (seperti MMA-1: Pantai Timur Natuna, MMA-2: Pulau Tiga-
Sedanau, dsb). Di dalam satu Sub-MMA merupakan jaringan atau
kumpulan dari Daerah Perlindungan Laut (DPL) terdekat secara hamparan
16 Panduan Pengembangan Marine Management Area
di desa-desa yang bertetangga, yang ditetapkan dan diatur oleh Peraturan
Desa masing-masing. (Lihat Lampiran : Rancangan Surat Keputusan
Walikota Batam, Bupati Mentawai, dan Natuna tentang Kawasan
Konservasi Laut Daerah)
Karena luasan DPL desa biasanya kecil, dalam lingkup Hektar (misal 10-20
Hektar), maka dalam penetapannya batas-batas DPL tidak perlu untuk
menetapkan posisi geografis dengan Lintang dan Bujur, tetapi cukup dengan
ukuran jarak (meter). Dalam penetapan batas-batas DPL sebaiknya
digunakan tanda-tanda alam (land mark) dan nama-nama lokal batas-batas
zona inti. Zona-zona yang dibuat di dalam DPL diupayakan sesedehana
mungkin, seperti Zona Inti, yaitu kawasan larang-ambil ekstraktif, dan Zona
Penyangga,merupakan zona pemanfaatan terbatas di sekeliling Zona Inti.
(Lihat Lampiran: Surat Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan
Laut).
Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut
Kota Batam
17COREMAP II ADB
(2) Daerah Perlindungan Laut (DPL) dapat terdiri dari Sub-DPL
Sebuah Daerah Perlindungan Laut yang ditetapkan oleh Desa dapat
terdiri dari satu atau lebih sub-DPL sebagai Zona Inti. Beberapa
pertimbangan, kenapa Desa menetapkan lebih dari satu Zona Inti
dalam lokasi DPL adalah : a) Desa terdiri dari beberapa dusun
(Rukun Warga) yang tersebar di beberapa pulau, b) terdapat lokasi-
lokasi potensial untuk dilindungi sebagai Zona Inti di sepanjang
pesisir desa, dengan jarak yang relatif jauh untuk keperluan
pengawasan, sehingga perlu membuat batas-batas, misalnya: DPL-1:
Pulau Nguan-Batam, DPL-2: Pulau Abang-Batam, DPL-3 dsb; untuk
satu desa. Contoh lain adalah DPL di desa Botohilitanu di Nias
Selatan, yang terdisri dari 3 zona inti sebagai sub-DPL.
(3) MMA dapat terdiri dari jaringan antara Kawasan Konservasi
yang telah ada, digabung dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di
desa-desa.
Satu MMA yang disyahkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota dapat
merupakan jaringan antara Kawasan, yaitu : Kawasan Konservasi yang
telah ada, seperti Cagar Alam, Taman Wisata Laut, dsb. dengan DPL.
Kawasan Konservasi atau kawasan lindung seperti yang termaktub dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah, sedang DPL adalah Daerah Perlindungan
Laut yang ditetapkan oleh Peraturan Desa. Atau Surat Keputusan Desa.
(Lihat Lampiran : Peraturan Bupati Berau tentang Kawasan Konservasi
Laut Kabupaten Berau)
Dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota batas-batas MMA telah di
sebutkan dengan posisi geografis, sedang DPL hanya disebutkan desa-
desanya saja. Peraturan dan pengelolaan DPL dijelaskan dengan Perturan
Desa/SK Kepala Desa. Khusus untuk Kota Batam, Kelurahan tidak
menerbitkan Peraturan Desa, karena kelurahan tidak otonom, sehingga
18 Panduan Pengembangan Marine Management Area
untuk pembentukan MMA langsung dengan SK Walikota, termasuk
pengelolaan DPL-DPL nya..
Gambar 4. Usulan Geografis Kawasan Konservasi
Laut Daerah Kepulauan Mentawai.
19COREMAP II ADB
RENCANA KELEMBAGAAN MMA
2.1 Dasar Kelembagaan MMA
Sesuai dengan asas
otonomi seluas-luasnya, otonomi
nyata dan otonomi yang bertanggung
jawab yang dianut oleh Undang-
Undang Nomor Nomor 32 Tahun
2004. Depdagri sebagai aparat pusat
tidak ingin menimbulkan kesan adanya campur tangan pusat dalam
urusan pembentukan Kawasan Konservasi (MMA). Semua permasalahan
yang terjadi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah hendaknya
dapat diselesaikan oleh daerah sendiri sebagai konsekuensi dari penerapan
otonomi. Dalam kaitan ini, provinsi sebagai kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat dapat melakukan inisiatif untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul di kabupaten/kota. Apa bila permasalahan
tersebut menyangkut kepentingan nasional, maka barulah Depdagri turun
tangan.
Lembaga pemerintah di tingkat Provinsi yang terkait dengan
upaya pengembangan MMA terutama meliputi:
(1) Dinas Perikanan dan Kelautan (Di Batam Dinas KP2, di Lingga
Dinas Pengelolaan SDA)
(2) Dinas Kehutanan;
(3) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda)
atau dinas yang bertanggungjawab dalam bidang lingkungan
hidup did aerah
(4) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Dinas Perikanan dan Kelautan berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang
2.1. Dasar Kelembagaan MMA 2.2. Status Kelembagaan COREMAP II Daerah 2.3. Perpektif Kelembagaan MMA ke depan 2.4. Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA 2.5. Lembaga Pengelola MMA 2.6. Sekretariat Pengelola MMA 2.7. Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA 2.8. Gugus Tugas Pengelolaan MMA 2.9. LPSTK dan Pihak Swasta 2.10. Pendanaan MMA
20 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk melakukan konservasi
laut di wilayah laut selebar 12 mil diukur dari garis pantai, dan melakukan
koordinasi terhadap kegiatan konservasi yang dilakukan oleh DKP
Kabupaten dan Kota di wilayah laut selebar 4 mil diukur dari garis pantai.
Masalah batas wilayah laut yang tidak kasat mata tersebut sering
menimbulkan perbedaan paham tentang batas-batas kewenangan di
lapangan antara DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota.
Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai kewenangan konservasi, baik konservasi
di darat maupun di laut. Untuk Kota Batam, dan Lingga pertentangan
mengenai masalah kewenangan konservasi antara DKP dan Dishut
memang kurang menonjol karena Dishut disibukan dengan masalah lain
yang lebih besar, serta masih bergabungnya bidang kehutanan dalam Dinas
KP2 dan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Bapedalda berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 97 jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk
melakukan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah Provinsi . Dalam
kaitannya dengan upaya pengembangan MMA, Bapedalda melakukan
pelestarian fungsi-fungsi lingkungan di wilayah laut yang menjadi
kewenangan provinsi dan melakukan koordinasi terhadap kegiatan
pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup dalam upaya pengembangan
MMA.
Bappeda berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memiliki kewenangan untuk membuat perencanaan pembangunan dan
menetukan alokasi pendanaannya untuk seluruh kegiatan pembangunan
yang ada di wilayah, termasuk pengembangan MMA, dengan
mempertimbangkan usulan dari daerah kabupaten/kota. Sebagai pengendali
alokasi dana, Bappeda dengan sangat baik dapat memposisikan diri sebagai
21COREMAP II ADB
koordinator dari berbagai kegiatan proyek pembangunan di daerah. Namun
demikian, Bappeda lebih terlibat langsung dalam pengembangan MMA.
Keterlibatan Bappeda dilakukan melalui koordinasi perencanaan dan
alokasi pendanaan yang diajukan oleh Bappeda Kabupaten .
Secara umum lembaga pemerintah di tingkat Kabupaten yang terkait
secara langsung dengan pengembangan MMA meliputi:
a. Dinas Perikanan dan Kelautan;
b. Dinas Kehutanan;
c. Dinas Pariwisata;
d. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
(Bapedalda);
e. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda);
f. Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
(PSDKP).
DKP berdasarkan peraturan perUndang-Undang an yang berlaku
memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengelolaan sumber
daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut selebar 1/3 dari
wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi diukur dari garis pantai.
Kewenangan tersebut juga mencakup kewenangan untuk melakukan
konservasi laut. Dalam kaitan ini, Dishut juga merasa mempunyai
kewenangan di bidang konservasi laut, dan bahkan pada kenyataannya
Dishut telah lebih dulu melaksanakannya sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Misalnya untuk Kota Batam, perbedaan paham haruslah
diantisipasi terutama tentang kewenangan konservasi yang akan menjadi
semakin kompleks dengan bergabungnya Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Pusat yang diberi mandat langsung oleh DKP untuk menegakan kebijakan
penetapan Taman Nasional yang akan dikeluarkan oleh pemerintah pusat di
Pulau Abang, Batam.
22 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Dinas Pariwisata (Dispar) berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengembangkan pariwisata
di Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sehubungan dengan itu, Dispar merasa berkepentingan
terhadap terwujudnya MMA . Oleh karena itu, Dispar diharapkan akan
selalu mendukung dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan pengembangan
MMA. Demikian juga halnya dengan Bappeda yang akan selalu membantu
mengalokasikan dana pembangunan MMA sesuai dengan skala prioritas
pembangunan. Bappeda sesuai kewenangannya di bidang perencanaan dan
alokasi dana dapat melakukan inisiatif untuk mengkoordinasikan
pengembangan MMA dari sudut perencanaan dan alokasi dana.
Bapedalda berdasarkan peraturan perUndang-Undang an yang
berlaku mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengelolaan
lingkungan hidup, pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, pengendalian
pencemaran dan perusakan lingkungan, penanggulangan akibat
pencemaran dan perusakan lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan
penindakan para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, serta
melakukan koordinasi semua kegiatan di bidang lingkungan hidup di
Kabupaten/Kota.
Pelestarian dan Pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya terumbu
karang di lokasi-lokasi COREMAP II yang telah diidentifikasi, sangat
penting untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-
pulau kecil. Setelah fasilitasi pengelolaan terumbu karang oleh COREMAP
II selesai, diperlukan suatu kelembagaan dan rencana strategis pengelolaan
terumbu karang di lokasi proyek, yang akan menjadi lokasi-lokasi Marine
Management Area (MMA).
Kelembagaan dan Rencana Strategi (Renstra) pengelolaan terumbu
karang kedepan haruslah memadukan kepentingan para pemangku
23COREMAP II ADB
kepentingan para pihak yang selaras dengan konteks pembangunan global,
nasional, regional dan lokal.
Renstra yang berisi arahan-arahan strategis pengelolaan terumbu
karang dalam kerangka MMA di 8 lokasi COREMAP II di Indonesia bagian
barat. Renstra diharapkan dapat memberikan keuntungan, dalam hal
penyediaan informasi, pembentukan komitmen dan alokasi sumberdaya
yang dibutuhkan untuk pengelolaan berkelanjutan.
2.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah
Secara umum kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang
dianut oleh organisasi, dalam hal ini pengelola COREMAP, yang akan
dijadikan pegangan oleh seluruh anggota organisasi dalam menjalankan
segenap aktivitas untuk mencapai tujuan bersama.
Pengertian kelembagaan dalam COREMAP adalah seluruh lembaga,
baik pemerintah sebagai pengelola maupun lembaga non-pemerintah yang
kemungkikan untuk melaksanakan program COREMAP. Baik pengelola
maupun pelaksana COREMAP dilapangan mempunyai wewenang hukum
untuk terlibat langsung ataupun tak langsung dengan program COREMAP.
Salah satu komponen utama dari COREMAP II adalah Pengelolaan
Sumberdaya dan Pembangunan Masyarakat Berbasis Masyarakat (PBM).
Ruang lingkup dari PBM mencakup empat sub-komponen, terdiri dari : (i)
pemberdayaan masyarakat, (ii) pengelolaan sumberdaya berbasis
masyarakat, (iii) pengembangan infrastruktur dasar dan fasilitas sosial, dan
(iv) pengembangan mata pencaharian alternatif.
Berikut adalah Target Lembaga yang diusulkan untuk mendapatkan
Training dan Penyuluhan untuk memperkuat kinerja dalam pengelolaan
terumbu karang di daerah.
24 Panduan Pengembangan Marine Management Area
LSM. Fungsi fasilitasi di lapangan COREMAP dilakukan oleh LSM
yang telah terpilih. Adapun tugas dan fungsi dari LSM sebagai motivator
lapangan berlaku sampai proyek selesai, yaitu :
(1) Menyiapkan fasilitator senior yang berkedudukan di
kabupaten/kota dan berfungsi sebagai koordinator dari para
fasilitator lapangan yang bekerja di desa.
(2) Menangani aspek administrasi kegiatan di tingkat desa hingga
kabupaten/kota, yang mencakup laporan hasil pemantauan
teknis dan keuangan agar sesuai dengan prosedur dan aturan
yang berlaku mengacu kepada.
(3) Melakukan koordinasi dengan UPP kabupaten/kota dan
instansi-instansi terkait di tingkat Kabupaten, RCU di Propinsi,
PIU - LIPI dan PMO.
(4) Memfasilitasi pelatihan dan studi banding bagi fasilitator
lapangan, motivator desa, dan kelompok – kelompok
masyarakat;
(5) Memfasilitasi penyusunan dokumen-dokumen PBM di tiap-tiap
desa;
(6) Memfasilitasi proses-proses pengadaan dan pelaksanaan
kegiatan di tingkat desa melalui fasilitator lapangan;
(7) Mendorong terbentuknya Peraturan Daerah dalam mendukung
pelaksanaan PBM;
(8) Membantu penanganan / resolusi konflik di tingkat desa;
(9) Memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat,
pemilihan motivator desa, pengawas lapangan dan pembentukan
Lembaga Pengelola Sumberdaya (LPS) Terumbu Karang.
2.3 Perpektif Kelembagaan MMA ke depan
Untuk mencapai tujuan Program Pengelolaan MMA sehingga dapat
mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik, maka
25COREMAP II ADB
diperlukan pembangunan Kelembagaan Program Pengelolaan MMA yang
didukung oleh lembaga terkait yang memiliki kepedulian terhadap
pengelolaan perikanan berkelanjutan. Keberadaan kelembagaan Program
Pengelolaan MMA diharapkan dapat diterima oleh masyarakat industri
perikanan dan secara jangka panjang akan tetap berjalan. Keberadaan
kelembagaan yang terpadu dan kuat akan menentukan keberhasilan
pelaksanaan program. Adapun prinsip-prinsip yang akan dikembangkan
dalam Program Pengelolaan MMA secara terpadu, adalah :
1. Transparan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk
mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan
2. Struktur organisasi yang efisien dengan pengawasan yang efektif dan
dikelola secara profesional
3. Kejelasan tugas pokok fungsi dan tanggung jawab dari masing-masih
unit pengelola program
4. Hasil Program Pengelolaan MMA dapat dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat pengguna
5. Adanya kelengkapan peraturan dan menerapkan prinsip dan norma
hukum dalam pengelolaan Program Pengelolaan MMA
6. Dinamis untuk mengakomodasi perubahan untuk perbaikan Program
Pengelolaan MMA.
2.4 Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA
Untuk menjalankan sistem pengelolaan MMA diperlukan suatu
mekanisme kerja yang dapat menjamin proses koordinasi para pemangku
kepentingan. Mekanisme Kerja Pengelola MMAdapat dijabarkan secara
singkat sbb :
• Bupati dan Gubernur merupakan anggota ex-officio karena jabatan
pada Dewan/Badan Pengelola MMA. Mereka akan memilih
26 Panduan Pengembangan Marine Management Area
perwakilan dari representasi para pemangku kepentingan utama
untuk duduk dalam Lembaga Pengelola
• Lembaga Pengelola MMA akan mengadakan pertemuan rutin yang
terbuka untuk umum.
• Sekretariat Lembaga Pengelola memberi dukungan dan
mengkoordinasikan semua aspek pengelolaan MMA. Bupati dan
Gubernur akan mengangkat sekretaris
• Penasehat ilmiah dan teknis berfungsi untuk memberikan masukan-
masukan ilmiah dan teknis merupakan orang-orang ahli di bidang
keilmuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan MMA.
• Bupati akan mengangkat anggota dan ketua Kelompok Kerja dan
Pelaksana Teknis untuk mengimplementasikan pengelolaan MMA.
• Gugus Tugas dapat merupakan penjelmaan dari koordinator-
koordinator bidang pada PIU Kabupaten saat ini. Gugus tugas akan
ditentukan oleh Bupati dan memberikan dukungan kepada upaya-
upaya yang akan dilakukan untuk pengelolaan MMA sesuai dengan
bidangnya. Tugas-tugas dimaksudkan untuk mengembangkan
strategi MMA di Kabupaten.
• Pelaksana teknis merupakan pengembangan dari LPS-TK yang
beranggotakan : pokmas-pokmas, swasta, lembaga teknis pemerintah
dan LSM. Pelaksana teknis ini merupakan unit pelaksana
operasional dalam menjalankan program dan kegiatan pengelolaan
terumbu karang daerah (MMA) di lapangan. Pelaksanaan hal-hal
teknis dilakukan oleh anggota pelaksana teknis dan akan melaporkan
secara rutin kemajuan pelaksanaan kegiatan di lapangan kepada
sekretariat dan memberikan masukan-masukan untuk perbaikan dan
penyempurnaan pengelolaan MMA.
2.5 Lembaga Pengelola MMA
27COREMAP II ADB
Lembaga Pengelola MMA akan membuat kebijakan dan melakukan
koordinasi dalam penyelenggaraan program pengelolaan MMA secara
terpadu. Tanggung jawab Lembaga Pengelola adalah:
(1) Mengadopsi dan mengamandemen Renstra Pengelolaan
Terumbu Karang Daerah
(2) Menyetujui usulan program-program dan kegiatan
pengelolaan MMA untuk pendanaannya
(3) Mendorong upaya-upaya mobilisasi sumberdaya, seperti
dana, teknologi, SDM dari luar untuk pengelolaan MMA
(4) Memfasilitasi resolusi konflik antar pengguna MMA
(5) Mendorong kerjasama antara Eksekutif dan Legislatif
(DPRD) untuk mengefektifkan pengelolaan MMA
(6) Membuat jaringan pengelolaan MMA di tingkat
Propinsi/Region dan ikut berpartisipasi aktif dalam jaringan
MMA Nasional
(7) Mendelegasikan wewenang dan menyediakan dana
operasional dalam tugas-tugas kesekretariatan.
2.6 Sekretariat Pengelola MMA
Tugas Sekretariat Pengelolaan MMA adalah memberi dukungan dan
mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan MMA, termasuk
penggalangan partisipasi dari stakeholder. Seketariat mempunyai tanggung
jawab, sbb :
(1) Memberikan dukungan, berupa memfasilitasi pertemuan,
kepada Lembaga Pengelola MMA, Komite Penasehat Teknis,
Gugus Tugas dan Pelaksana Teknis.
(2) Mebuat dan mempublikasikan hasil-hasil pengelolaan MMA
(3) Memfasilitasi persiapan proritas anggaran tahunan untuk
pengelolaan MMA
28 Panduan Pengembangan Marine Management Area
(4) Memfasilitasi penyiapan proposal dan pencarian dana dari
pihak luar untuk mendukung pengelolaan MMA yang efektif
(5) Memfasilitasi program pendidikan, penelitian dan
keterlibatan masyarakat dengan lembaga-lembaga partner
dan media massa, untuk pengelolaan MMA
(6) Membuat laporan tahunan mengenai kemajuan pengelolaan
MMA.
2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA
Komite teknis akan memberikan pedoman dan arahan untuk
memastikan bahwa rencana dan program pengelolaan MMA dibuat dengan
pertimbangan ilmiah dan teknis. Adapun tanggung jawab Komite Penasehat
Teknis :
(1) Memberikan saran mengenai perencanaan, pengelolaan dan
penyempurnaan pengawasan (MCS) jangka panjang.
(2) Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi
antara pengguna tentang manfaat MMA bagi masyarakat,
terutama tentang informasi ilmiah, sumberdaya perikanan
dan jasa lingkungan di lokasi MMA.
(3) Memberikan saran penelitian terapan yang akan digunakan
untuk peningkatan pengelolaan MMA.
2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA
Unit Pelaksana Teknis di Kabupaten/Kota (UPT) MMA bertugas
untuk mengawasi pelaksanaan program dan menjadi penghubung, serta
memberi dukungan pengelolaan MMA antara pemerintah kabupaten dan
desa-desa.
Berikut adalah tanggung jawab UPT :
29COREMAP II ADB
(1) Mengembangkan dan melaksanakan program-program
pengawasan pemanfatan dan perlindungan sumberdaya di
lokasi MMA
(2) Membantu dalam mengembangkan kemampuan kelembagan
pelaksana teknis dalam rangka pengelolaan MMA
(3) Memberikan rekomendasi berdasar masukan dari keleompok
kerja di Pelaksana Teknis (LPS-TK) mengenai inisiatif
prioritas program, kegiatan dan anggaran tahun yang akan
datang.
(4) Merekomendasikan usulan mobilisasi sumberdaya dalam
rangka memfasilitasi program dan pengelolaan
(5) Mengkomunikasikan pelaksanaan program dengan
pemerintah dan perwakilan desa
(6) Mengkoordinasikan kerja antar Gugus Tugas, maupun dengan
berbagai lembaga di daerah dan nasional.
2.9 LPS-TK dan Pihak Swasta
Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) beserta
Kelompok-kelompok Masyarakat (pokmas), Kelompok Swadaya Masyarakat
dan Pihak Swasta (pengusaha Wisata, Pengusaha Perikanan, dsb.) akan
melaksanakan kegiatan konservasi di Tugas pelaksana teknis adalah untuk
menjalankan program/rencana aksi tahunan pengelolaan MMA yang telah
disetujui dan disyahkan oleh Lembaga Pengelola Adapun tanggung Jawab
Pelaksana Teknis MMA:
(1) Membantu Gugus Tugas dalam pelaksanaan program dan
kegiatan yang terkait dengan pengelolaan MMA
(2) Membantu pelaksanaan kegiatan yang telah diusulkan oleh
Kelompok Kerja (berdasarkan isu-isu pengelolaan MMA di
lapangan), melalui Gugus Tugas.
30 Panduan Pengembangan Marine Management Area
2.10 Pendanaan MMA
Untuk menjamin pendanaan yang berkelanjutan, maka secara
operasional perencanaan program dan pendanaan pengelolaan MMA dapat
disesuaikan dengan siklus perencanaan program dan pendanaan tahunan
pemerintah, baik ditingkat Kabupaten dan Provinsi. Sinkronisasi program
kerja sangat diperlukan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat
(DKP). Sinkronisasi dan harmonisasi program dan pendanaan antara
Kabupaten dan Provinsi dalam perencanaan dan pengelolaan MMA
disarankan untuk menuangkannya ke dalam Kesepakatan Bersama atau
Memorandum of Understanding (MoU) antara Kabupaten dan Provinsi,
setelah MMA terbentuk.
Proses pendanaan progran pemerintah akan mengikuti siklus
pendanaan, yang akan diawali pada bulan Januari sampai Desember setiap
tahunnya. Sebelum pendanaan disetujui menjadi Daftar Isian Proyek (DIP),
maka lembaga terkait sektoral akan menerahkan usulan anggaran
program/kegiatan ke DPRD, setelah diadakannya Musrenbang
(Musyawarah Rencana Pembangunan).
Disarankan Lembaga Pengelolaan MMA meninjau kemajuan lembaga
dan program kerjanya dan akan memulai siklus Perencanaan Program
Tahunan.
31COREMAP II ADB
: koordinatif : konsultatif
Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA di Tingkat Kabupaten/Kota
Lembaga Pengelola KKLD
Sekretariat
Komite Pengarah Teknis
Kelompok Kerja Provinsi
Unit Pelaksana Teknis KKLD Penyadaran
Masyarakat Sistem
Informasi, Training
Kelembagaan/SDM
Pengelolaan Berbasis
Masyarakat
Pemantauan dan Pengawasan
/MCS
LPSTK: Pokmas
Swasta/ Asosiasi
32 Panduan Pengembangan Marine Management Area
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS
MASYARAKAT
3.1 Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa
Dalam melembagakan
pengelolaan sumberdaya
terumbu karang di tingkat desa,
COREMAP berupaya untuk
mengoptimalkan peran
pemerintah desa dan lembaga formal di desa meskipun lembaga-lembaga
formal di desa-desa belum berfungsi sebagaimana diharapkan masyarakat.
Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) di desa sebagai
lembaga formal yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa.
COREMAP telah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Pengelola
Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK). Lembaga ini adalah lembaga resmi
di tingkat desa yang memiliki peran dalam menjalankan Rencana
Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi atau Daerah
Perlindungan Laut (DPL) yang akan disusun secara bersama-sama oleh
seluruh Pokmas dan Kelompok Pengawasan Terumbu Karang dan
difasilitasi oleh Fasilitator Lapangan. Tujuan LPS-TK adalah untuk
mengorganisir dan mengkoordinir pokmas-pokmas yang ada dalam
melaksanakan program PBM-COREMAP II. Disamping itu juga
mensinergikan kegiatan pada masing-masing pokmas, sehingga sesuai
dengan RPTK (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang) terpadu di DPL.
LPS-TK bertanggung jawab kepada masyarakat desa melalui BPD
atas pelaksanaan rencana pengelolaan pesisir desa. Bersama dengan BPD
menetapkan rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan
peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di
3.1. Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa 3.2. Kelompok Masyarakat Pengelola DPL 3.3. Membangun DPL Berbasis Masyarakat 3.4. Metode Pengelolaan DPL 3.5. Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan 3.6. Zonasi Kawasan 3.7. Lokasi dan Ukuran 3.8. Partisipasi Masyarakat
33COREMAP II ADB
desa. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan
sumberdaya terumbu karang.
Peran Badan Perwakilan Desa (Legislatif) bersama dengan
Pemerintah desa menyusun dan menetapkan rencana pembangunan dan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa serta peraturan-peraturan
mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan
rencana pengelolaan pembangunan di desa merupakan suatu lembaga yang
sudah ada di desa yang dapat melaksanakan Rencana Pengelolaan Terumbu
Karang di Tingkat Desa yang dilaksanakan oleh LPS-TK beserta dengan
Pokmas-Pokmas.
Oleh pemerintah desa Lembaga Pengelola ini ditetapkan melalui
surat keputusan pemerintah desa untuk memberikan dukungan secara
hukum kepada lembaga dan personil yang akan melaksanakan tugas.
Dalam mengoptimalkan pelaksanaan Rencana pengelolaan, pemerintah
desa, BPD, serta Badan Pengelola di desa terlibat secara aktif dan
melakukan fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam Rencana
Pengelolaan sebagai panduan dalam pelaksanaan.
LPS-TK dibentuk dan diarahkan menjadi lembaga resmi yang
berbadan hukum. LPS-TK berperan dalam membantu Pemerintah Desa
dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumberdaya terumbu karang di
tingkat desa. Dalam pengelolaan suatu kawasan lintas desa, LPS-TK
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan LPS-TK dari desa tetangga.
LPS-TK memiliki pengurus yang terdiri dari Ketua, Sekretaris,
Bendahara, dan staf administrasi, dengan anggota terdiri dari seluruh
motivator desa, anggota Pokmas dan anggota pengawas terumbu karang.
LPS-TK beranggotakan wakil-wakil dari para motivator desa, pengurus
Pokmas dan Pengawas Terumbu Karang dan Perwakilan Desa.
34 Panduan Pengembangan Marine Management Area
LPS-TK dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat yang difasilitasi
oleh fasilitator lapangan dan disahkan oleh Kepala Desa, serta disetujui oleh
PIU kabupaten/kota.
Tugas LPS-TK adalah sebagai berikut:
1) Menyiapkan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)
2) Mengimplementasikan RPTK
3) Menyusun usulan-usulan kegiatan berdasarkan usulan dari
pokmas-pokmas dan kelompok pengawas terumbu karang;
4) Menyalurkan dana bagi kelompok-kelompok masyarakat yang
diterima dari PIU;
5) Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan PIU dalam
keseluruhan program pengelolaan berbasis mayarakat;
6) Melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur
sosial yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara
langsung;
7) Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro yang akan
melaksanakan Unit Simpan Pinjam (USP);
8) Melakukan koordinasi dengan LSM dan Konsultan;
9) Melaksanaan kegiatan administrasi keuangan sesuai dengan
SE-Ditjen Anggaran;
10) Melakukan pemantauan dan evaluasi RPTK;
Pada saat Proyek COREMAP masih berjalan, untuk membangun
sistem koordinasi yang akomodatif antara desa dan kabupaten rapat
koordinasi dilakukan secara berkala. Koordinator-koordinator Project
Implementation Unit (PIU) Kabupaten yang terdiri dari dinas-dinas teknis
di Kabupaten/Kota disepakati untuk memberikan rekomendasi serta kajian
teknis atas usulan kegiatan desa dalam RPTK sekaligus memasukkan
usulan kegiatan ke dalam usulan kegiatan dinas teknis yang akan dibiayai
35COREMAP II ADB
melalui Proyek COREMAP. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan
oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) di desa-desa lokasi COREMAP.
3.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL
Kelompok masyarakat atau Pokmas adalah kelompok kecil yang
dibentuk di tingkat desa. Proses pembentukan kelompok masyarakat
difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Dalam satu desa dapat dibentuk
beberapa kelompok masyarakat menurut kesamaan minat.
Penguatan Pokmas adalah suatu proses meningkatkan kemampuan
dan peran suatu kelompok masyarakat ke arah bidang kegiatan tertentu
(konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan perempuan),
agar dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang.
Pembentukan Pokmas adalah suatu proses membentuk kelompok atau
organisasi masyarakat yang akan mempunyai peran dan fungsi bidang
tertentu (konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan
perempuan).
Pokmas mempunyai tugas dan tanggung jawab utama :
(1) Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang arti
dan nilai penting ekosistem terumbu karang, adanya ancaman
terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang serta `upaya-
upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan
menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang.
(2) Berperan aktif dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
Terumbu Karang Terpadu (RPTK Terpadu) yang mencakup
Program Pengelolaan Terumbu Karang, Pengembangan Mata
Pencaharian Alternatif, Pengembangan Prasarana Dasar dan
Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat.
(3) Mengimplementasikan RPTK Terpadu sesuai dengan bidang
Pokmas yang bersangkutan, misalnya Pokmas Konservasi
36 Panduan Pengembangan Marine Management Area
melaksanakan program-program pengelolaan terumbu karang.
(4) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program
kegiatan masing-masing Pokmas.
Persyaratan pembentukan kelompok masyarakat:
(1) Kelompok masyarakat dianjurkan dibentuk dengan anggota
antara 5 sampai 9 orang dengan anggota yang memiliki
kesamaan minat;
(2) Kelompok masyarakat memilih 2 (dua) orang pengurus, yaitu
ketua dan bendahara, yang bertanggung jawab dalam aspek
administrasi teknis dan keuangan,
(3) Pengurus kelompok harus memiliki kemampuan baca dan tulis;
(4) Anggota kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan secara
proporsional;
(5) Anggota kelompok yang dipilih adalah orang yang tergolong
dewasa;
(6) Kelompok masyarakat disahkan oleh Kepala Desa;
3.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan
kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan
mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang
dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan
dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara
bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan,
memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et at, 2003). Dalam
hal ini, COREMAP II ADB memodifikasi definisi tersebut, dengan memberikan
penekanan bahwa DPL-DPL dalam skala desa, akan dikelola oleh satu Unit
Pengelolaan yaitu Marine Management Area (MMA) di tingkat Kabupaten/Kota
yang akan dikelola secara kolaboratif. MMA ini berbeda dengan Taman
37COREMAP II ADB
Nasional Laut atau daerah konservasi dalam skala luas lainnya. Taman
Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara, misalnya, mimiliki luas 89.065 Ha
dan ditetapkan serta dikelola oleh Pemerintah secara nasional, walaupun saat
sekarang dikelola secara kolaboratif oleh Dewan Pengelola Taman Nasional
Bunaken, yang beranggotakan stakeholders di daerah.
DPL dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada, terutama terumbu
karang yang terkait dengan ekosistem pesisir lainnya. Keberadaannya dapat
ditetapkan melalui peraturan Desa untuk Kabupaten, yang sudah otonom.
Khusus untuk Kota (Batam), maka penetapan DPL dilakukan oleh walikota,
karena Kelurahan di Kota tidak otonom. DPL dibentuk untuk melindungi dan
memperbaiki sumberdaya terumbu karang dan perikanan di wilayah yang
mempunyai peranan penting secara ekologis. DPL ini diharapkan merupakan
alat pengelolaan perikanan yang efektif, karena adanya pengaturan perikanan,
perlindungan daerah pemijahan dan pembesaran larva, sebagai asuhan juvenil
(anak ikan), melindungi kawasan dari penangkapan berlebihan, dan menjamin
ketersediaan stok ikan secara berkelanjutan.
Tujuan Penetapan DPL: • Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar • Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati terumbu karang,
ikan, dan biota lainnya • Dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata • Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pengguna • Memperkuat masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang • Mendidik masyarakat dalam konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya berkelanjutan • Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan tentang keanekaragaman
hayati laut
38 Panduan Pengembangan Marine Management Area
3.4 Metode Pengelolaan DPL
Walaupun DPL yang akan dibentuk adalah DPL yang berbasiskan
masyarakat, tetapi pembentukan dan pengelolaannya harus dilakukan bersama
antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak (stakeholder) yang
ada di desa. Pemerintah daerah, terutama pemerintah desa, haruslah
bekerjasama dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL, pendidikan
masyarakat, bantuan teknis dan pendanaan awal. Tanggung jawab dalam
menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL ditetapkan oleh masyarakat,
sedangkan bantuan teknis dan pendanaan, serta persetujuan terhadap
peraturan ditetapkan oleh pemerintah atas kesepakatan masyarakat.
Masyakarat dapat bekerja sama dengan pihak lain,seperti LSM dan Swasta
untuk pengelolaan DPL supaya lebih efektif.
3.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan
Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu
zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam
zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan
adanya kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi
hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup
lainnya dilarang untuk diambil.
Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara musiman
atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan ‘Sasi’ di Maluku
atau ‘Mane’e di Sangir-Talaud. Pembukaan musiman dapat menyebabkan
fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi
ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami gangguan oleh
manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai
kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik. Zona inti
39COREMAP II ADB
cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan
dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa besar,
seperti kerapu dan hiu.
Diharapkan bahwa zona inti yang tidak diganngu oleh kegiatan
penangkapan ikan atau sangat jarang dikunjungi oleh nelayan, akan memiliki
ukuran ikan yang besar dan ikan-ikan yang hidup di zona inti akan menjadi
induk yang sehat. Ukuran rata-rata ikan yang ada di zona inti yang berfungsi
baik, cenderung memeiliki ukuran yang lebih besar dari pada ikan yang ada di
luar zona inti (zona pemanfaatan). Dari penelitian diketahui bahwa, semakin
panjang dan besar ukuran induk ikan akan memberikan telur yang jauh lebih
besar secara exponensial. Apabila rata-rata umur dan ukuran ikan semakin
muda dan kecil, maka telur dan larva yang akan dihasilkan juga semakin
sedikit. Sehingga, salah satu peran dari zona inti yang ditutup dari kegiatan
penangkapan ikan adalah, untuk menghindari kegagalan perikanan akibat
tidak tersedianya induk ikan yang mampu berkembang biak untuk
menghasilkan juvenil ikan, yang akan menjadi besar dan siap untuk
dimanfaatkan oleh kegiatan perikanan.
Yang perlu kita perhatikan adalah, DPL tidak dapat mengatasi masalah-
masalah yang berhubungan dengan tangkap lebih (over fishing) di suatu
kawasan, tetapi DPL merupakan salah satu cara yang mudah untuk membantu
menjaga kelestarian habitat, mengurangi cara-cara penangkapan ikan yang
merusak, dan membantu nelayan memahami konsep pengelolaan perikanan.
Fungsi rehabilitasi habitat dapat diperankan oleh DPL, apabila DPL
ditetapkan pada kawasan terumbu karang yang mungkin sudah mulai rusak
oleh kegiatan manusia atau suatu kawasan yang aktivitas perikanannya
sudah berlangsung lama. Dengan adanya DPL maka habitat di kawasan
tersebut mempunyai kesempatan untuk pulih dan biota yang hidup di
dalamnya berkembang biak. Sehingga, DPL menjadi kawasan terumbu
karang penyedia (source reef) telur, larva dan juvenil, serta induk yang sehat,
40 Panduan Pengembangan Marine Management Area
yang akan mengekport ikan-ikan keluar kawasan. Dilain pihak, DPL dapat
juga menarik ikan-ikan yang ada di luar kawasan karena habitat di dalamnya
yang terpelihara untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak.
Mekanisme export larva-larva karang dan telur ikan pada zona inti DPL
dipengaruhi oleh arus perairan, yang dapat sampai jauh di luar kawasan
DPL, sampai beratus-ratus mil laut.
Dari pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan
memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar
3-5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan
terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan.
3.6 Zonasi Kawasan
DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara
sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh
masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona
Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah
suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas
pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan.
Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan
karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu
juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, sepeprti
berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan.
Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja
yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal.
Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak,
serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPL-
DPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti (no-take zone) dan zona
penyangga (buffer zone). Di Zona penyangga, yang merupakan zona di
sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan
41COREMAP II ADB
menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan
perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu
(light fishing) dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu
karang masih dilarang di zona penyangga.
3.7 Lokasi dan Ukuran
Lokasi dan Ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL
dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di
sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Cakupan
DPL sebaiknya mulai dari garis pantai sampai ke kawasan lepas pantai yang
mencakup asosiasi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
Sebenarnya tidak ada ukuran yang ideal untuk DPL, namun demikian
ilmuwan merekomendasikan’ semakin luas ukuran DPL akan semakin baik
fungsinya’. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 10-
30 % dari luasan terumbu karang di suatu desa. Para ahli dari PISCO 2002,
merekomendasikan bahwa 30% dari habitat ikan karang akan memberikan
hasil yang optimal untuk pengelolaan perikanan, kegiatan wisata dan
perlindungan keanekaragaman hayati. Namun demikian, dari pengalaman dan
persetujuan dengan masyarakat, maka saat sekarang DPL berbasis desa yang
ada di beberapa negara menunjukkan luasan sampai 50 hektar zona inti.
Apabila terlalu kecil ukuran DPL maka DPL tidak akan berfungsi secara
ekologis, sedang apabila ukuran DPL terlalu luas di suatu desa, maka fungsi
kontrol masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan apa
pengguna (nelayan) akan memjadi besar.
Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip ekologi yang dipertimbangkan
untuk penentuan lokasi dan ukuran DPL Berbasi Masyarakat, berdasar dari
lesson-learned dari CRMP/USAID di Sulawesi Utara dan Lampung (2003),
yaitu :
• Kondisi tutupan karang cukup tinggi (lebih dari 50% dianjurkan)
42 Panduan Pengembangan Marine Management Area
• Kepadatan ikan karang dan biota laut lannya tinggi
• Mencakup 10-20% dari keseluruhan habitat terumbu karang
• Habitat karang termasuk Rataan Terumbu dan Lereng, serta asosiasi
dengan habitat lain
• Tempat pemijahan ikan karang
• Terhindar dari sedimentasi, polusi dari sungai
• Akses masyarakat untuk mengawasi DPL mudah
• Bukan merupakan lokasi utama panangkapan ikan nelayan
• Bukan merupakan kawasan penambatan perahu yang intensif.
Karena kecenderungan ukuran DPL di desa berukuran kecil, maka
sebaiknya DPL tidak dipandang sebagai pengganti Kawasan Konservasi yang
berskala besar seperti Taman Nasional Laut, namun hendaknya dipandang
sebagai pendukung, baik sebagai penerima (sink reef) ataupun dapat sebagai
sumber (source reef) untuk larva ikan dan karang. Untuk meningkatkan
efektifitas fungsi ekologis sebagai suatu kawasan konservasi, maka DPL
sebaiknya bergabung menjadi suatu Jaringan (network) DPL-DPL di desa yang
menjadi satu menjadi MMA (Marine Management Area) di tingkat
Kabupaten/Kota. Dengan begitu, suatu sistem jaringan DPL berbasis
masyarakat, akan sangat ideal untuk saling menopang dan mendukung suatu
sistem Kawasan Konservasi yang lebih besar (MMA).
3.8 Partisipasi Masyarakat
Dalam pandangan masyarakat desa, partisipasi masyarakat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan program pengelolaan sumberdaya
pesisir. Dari hasil survei di masyarakat yang memiliki DPL Pulau Sebesi,
menunjukkan bahwa 98% masyarakat menilai partisipasi sangat penting
dengan bebagai alasan. Misalnya, dengan proses partisipasi, masyarakat akan
lebih merasakan manfaat dari program yang dilaksanakan. Selain itu,
masyarakat juga akan membantu dalam implementasi program dan terlibat
aktif dalam pemeliharaan selama dan sesudah program dilaksanakan.
43COREMAP II ADB
DPL berbasis masyarakat yang dimaksudkan adalah co-management
(pengelolaan kolaboratif), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat
bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan DPL. Pengelolaan DPL
berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai
kemampuan sendiri untuk memperbiki kualitas kehidupannya, sehingga
dukungan yang diperlukan adalah menyadarkan masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun demikian, pada kenyataannya pengelolaan yang murni berbasis
masyarakat kurang berhasil, oleh karena itu dukungan dan persetujuan dari
pemerintah dalam hal memberikan pengarahan, bantuan teknis dan bantuan
aspek hukum suatu kawasan konservasi sangat diperlukan. Dengan demikian,
partisipasi masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama sejak awal
kegiatan dari mulai perencanaan,pengelolaan sampai evaluasi suatu DPL
sangatlah penting. Selain dukungan dari pemerintah, maka dukungan dan
kerja sama dengan lembaga pendidikan, penelitian serta LSM juga dibutuhkan
untuk menentukan lokasi DPL dan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan
masyarakat di sekitar DPL.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena proses partisipatif dalam
merencanakan dan mengelola DPL adalah :
• Pelibatan masyarakat dapat membantu bahkan bertanggung jawab
dalam penegakan aturan, sehingga biaya penegakkan hukum dan
pengawasan kawasan menjadi kecil.
• Masyarakat merasa memiliki DPL, dan dapat membuat aturan sendiri
untuk ditetapkan di lingungannya
• Masyarakat akan membuat program penggalangan dana untuk
operasional DPL melalui kegiatan ekonomi, seperti pariwisata dan tarif
masuk, dll.
44 Panduan Pengembangan Marine Management Area
• Menciptakan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama dalam
bentuk organisasi di tingkat desa.
45COREMAP II ADB
PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL
4.1 Tahapan dan Pembentukan
Proses penetapan dan
perencanaan DPL dilakukan
dengan mengikuti proses kebijakan
pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir. Penetapan suatu DPL tidak
dapat dipisahkan dengan agenda
besar pengelolaan wilayah pesisir,
atau dengan kata lain merupakan
bagian dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di suatu desa atau
kabupaten/kota. Isu-isu pengelolaan pesisir, seperti penangkapan ikan yang
merusak, degradasi habitat, kurangnya kesadaran masyarakat, tangkap-
lebih merupakan isu-isu yang juga berkaitan dengan pengembangan suatu
DPL.
Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan
dalam pengembangan DPL (Tabel 1)
4.1. Tahapan dan Pembentukan 4.2. Pemilihan Lokasi MMA 4.3. Sistem Biaya Masuk 4.4. Kelompok Pengelola 4.5. Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa 4.6. Pengelolaan DPL 4.7. Pembuatan Rencana Pengelolaan 4.8. Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan 4.9. Pendidikan Lingkungan Hidup 4.10. MCS dan Penegakan Hukum 4.11. Pemantauan dan Evaluasi 4.12. Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain
(Scaling-up)
46 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL
Tahapan Proses Perencanaan dan Pengelolaan
Kegiatan yang dilakukan
Hasil yang diharapkan
Indikator Hasil
1. Pengenalan dan Sosialisasi Program
• Lokasi desa dipilih
• Penempatan Penyuluh
• Survei data dasar
• Pembuatan Profil Desa
• Diskusi program pendampingan masyarakat
• Identifikasi isu-isu Sosioekonomi dan budaya dipahami
• Pendekatan dapat dipahami bersama
• Deskripsi data dasar
• Profil lingkungan disebarkan kepada masyarakat
• Jumlah pertemuan masyarakat ttg DPL
2. Pelatihan, Pendidikan, Pengembangan Kapasitas Masyarakat
• Studi banding DPL
• Penyuluhan DPL dan lingkungan
• Pelatihan Pemetaan Kawasan
• Pelatihan Kelompok
• Pemahaman Masyarakat
• Peta Karang • Peningkatan
Pengawasan • Dukungan
masyarakat • Kapasitas
masyarakat meningkat
• Kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya
• Jumlah pelatihan/penyuluhan
• Jumlah peserta pelatihan
• Jumlah kelompok masyarakat
• Jumlah proposal kegiatan kelompok
• Pelaporan penggunaan dana
3. Konsultasi Publik
• Pembuatan draft Perdes
• Diskusi formal/informal
• Perbaikan draft Perdes
• Partisipasi dalam pembuatan Perdes
• Konsensus tentang aturan DPL
• Jumlah pertemuan • Jumlah peserta
dalam penyiapan Perdes
• Jumlah peserta setuju dengan Perdes
4. Persetujuan Peraturan Desa
• Musyawarah Desa
• Peresmian Perdes
• Peresmian Formal oleh
• Penerimaan DPL secara formal
• Dasar Hukum
• Jumlah musyawarah
• Penandatanganan Perdes
• Peresmian DPL oleh Pemerintah
47COREMAP II ADB
Tahapan Proses Perencanaan dan Pengelolaan
Kegiatan yang dilakukan
Hasil yang diharapkan
Indikator Hasil
Pemerintah 5. Pelaksanaan • Pemasangan
Tanda Batas • Rencana
Pengelolaan Papan Informasi
• Rencana pengelolaan terumbu karang
(RPTK) • Pertemuan
Pengelola • Monitoring • Penegakan
Hukum • Penyuluhan
dan pendididkan
• Ketaatan • Pengelolaan
efektif • Tutupan
Karang meningkat
• Kepadatan biota meningkat
• Hasil tangkapan meningkat
• Jumlah Pelanggaran menurun
• Jumlah pertemuan kelompok
• Survei monitoring • Data statistik
perikanan di DPL
Berikut adalah tahapan pembentukan DPL yang dapat diusulkan di
lokasi COREMAP II ADB, dari hasil pembelajaran dari DPL yang difasilitasi
oleh CRMP USAID di Lampung dan Sulawesi Utara. yang disesuaikan dengan
perencanaan oleh COREMAP II ADB.
48 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Langkah Checklist Hasil
Gambar 6 . Tahapan dalam Pembentukan Daerah Perlindungan Laut
Langkah 1 Pengenalan dan
sosialisasi COREMAP dan DPL
Identifikasi Isu sosio-ekonomi, budaya
dipahami; pendekatan disetujui bersama
Pemahaman dan dukungan masyarakat;
Peta Karang; Peningkatan Pengawasan sumberdaya
Pengelolaan Efektif; Ketaatan
Penerimaan secara Formal dan Dasar Hukum
Partisipasi Masyarakat, konsensus DPL
Langkah 2 Pelatihan dan
Pengembangan Kapasitas Masyarakat
Langkah 5 Pelaksanaan dan Pengelolaan DPL
Langkah 3 Konsultasi Publik
Langkah 4 Persetujuan Peraturan
Desa tentang DPL
● Lokasi dipilih ● Penempatan Penyuluh ● Survei data dasar ● Pembuatan Profil Desa ● Pendampingan masyarakat
• Pembuatan Draf Perdes • Diskusi Formal/Informal • Perbaikan Draf Perdes • Ketentuan DPL
• Musyawarah Desa • Peresmian Perdes • Formalisasi oleh
Pemerintah
• Pemasangan Tanda Batas
• Papan Informasi • RPTK dan Pengelola
● Studi Banding DPL ● Pendidikan Lingkungan ● Pelatihan Pemetaan DPL ● Pelatihan LPSTK/Pokmas
Langkah 6 Monitoring dan Evaluasi DPL
• Monitoring DPL • Penegakaan Hukum • Penyuluhan dan
Pendidikan
Tutupan Karang Meningkat; Hasil Tangkapan ikan
meningkat; pendapatan
Masyarakat Meningkat
49COREMAP II ADB
4.2 Pemilihan Lokasi Kawasan Konservasi Laut
Mendefinisikan calon lokasi KKL atau DPL yang akan menjadi bagian
dari jaringan KKL mencakup berbagai penekanan pada pertimbangan-
pertimbangan yang lebih detail dari pada penetapan kawasan lindung di
daratan, walaupun alasan utama dari pembentukan kawasan konservasi
keduanya sangat mirip, yaitu :
• Untuk menjaga proses-proses ekologi penting dan penyangga
kehidupan,
• Menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan,
• Melindungi keanekaragaman hayati.
Di laut, habitat biasanya jarang dibatasi secara persis atau secara
kritis dibatasi. Daya tahan hidup dari spesises tidak dapat dihubungkan
secara spesifik dengan lokasi. Banyak spesies yang bergerak bebas secara
luas dan arus air membawa material genetik melalui jrak yang sangat jauh.
Oleh karenanya, di laut kasus ekologi untuk proteksi biasanya tidak selalu
tergantung pada habitat kritis biota langka beserta ancamannya, namun
perlindungan dapat diupayakan dengan pertimbangan perlindungan habitat
kritis untuk keperluan komersial, rekreasi dan perlindungan tipe habitat
dengan asosiasi genetik dalam komunitasnya. Contoh tentang Batas-batas
Kawasan Konservasi Laut yang dapat dipadankan dengan MMA tertera
pada Lampiran 2.
Berikut adalah daftar faktor-faktor atau kriteria yang akan
digunakan dalam memutuskan bahwa suatu kawasan harus termasuk
dalam sebuah MMA atau untuk menentukan batas-batas MMA:
• Kealamiahan kawasan
• Kepentingan biogeografi
• Kepentingan ekologi
50 Panduan Pengembangan Marine Management Area
• Kepentingan ekonomi
• Kepentingan sosial
• Kepentingan ilmiah
• Kepentingan nasional dan internasional
• Kepraktisan dan kelayakan pengelolaan
Jika suatu pulau atau suatu desa sudah terpilih menjadi lokasi DPL,
maka penentuan lokasi yang sesuai dengan lokasi zona inti dan penyangga DPL
perlu disepakati oleh masyarakat. Pemilihan lokasi biasanya merupakan suatu
kompromi antara pertimbangan kebutuhan praktis (kemudahan pengelolaan)
dan prinsip-prinsip konservasi (kondisi terumbu karang yang baik dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi).
Berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sebuah
daerah perlindungan laut adalah kemampuan masyarakat desa dalam
mengawasi kawasan dimana kegiatan eksploitatif tidak diperkenankan. Hal
ini sangat mempengaruhi pemilihan lokasi dan besar ukuran daerah
perlindungan laut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kualitas aspek
estetika kawasan ditinjau dari kualitas terumbu karang dan
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, kesepakatan masyarakat
tentang pengelolaan dan pemanfaatan daerah perlindungan laut, dan
tingkat ancaman terhadap kelestarian terumbu karang. Berdasarkan hal-
hal tersebut, sejumlah kriteria diajukan untuk menentukan daerah
perlindungan laut yang dikelola oleh masyarakat desa
IUCN (Salm et al, 2002) telah membuatkan kriteria dalam penentuan Kawasan
Konservasi. Walaupun kriteria dari IUCN diperuntukkan kepada Kawasan
Konservasi yang luas, namun dapat digeneralisasikan untuk digunakan pada
DPL berbasis desa. Kawasan-kawasan terumbu karang yang merupakan ”bank
ikan karang ” dan mempunyai ketahanan terhadap ‘coral bleaching’ (pemutihan
karang) akibat perubahan iklim, menjadi prioritas untuk dilindungi. Namun
demikian, haruslah mempertimbangkan juga faktor-faktor sosial ekonomi,
51COREMAP II ADB
seperti kepentingan publik, peluang ekonomi dan politik. Faktor sosial-ekonomi
dan budaya pada masa lalu masih belum merupakan kriteria dalam penentuan
DPL ataupun jaringan DPL yang disebut KKL/MMA.
Dari segi praktisnya, maka berikut adalah kriteria yang telah
digunakan untuk pemilihan lokasi DPL pada skala desa di Lampung dan
Sulawesi Utara (CRMP, 2003) yang dapat diaplikasikan di lokasi COREMAP
II, yaitu :
• Lokasi DPL sedapat mungkin bukan merupakan lokasi utama
penangkapan ikan masyarakat setempat, untuk menghindari konflik
yang besar dengan para pengguna sumberdaya
• Tutupan karang cukup tinggi, idealnya 50%, namun dapat sampai
30% dan dapat dipertimbangkan dengan kepadatan biota lainnya
• Lokasi DPL mencakup perwakilan habitat, yaitu rataan dan lereng
terumbu, mangrove, padang lamun dan habitat penting lainnya
• Lokasi DPL masih dalam jangkauan pengawasan dan pantauan
masyarakat
• Ukuran besar/kecilnya kawasan sebenarnya dapat mengacu pada
luasan terumbu karang yaitu: 20-30% dari luasan habitat terumbu
karang. Pada prakteknya luasan DPL di desa mencapai 50 hektar.
• Lokasi DPL terhindar dari sedimentasi dan polusi dari sungai atau
tidak di dekat muara sungai
• Lokasi DPL merupakan daerah potensi wisata penyelaman
• DPL merupakan habitat dari satwa langka atau satwa endemik atau
tempat pemijahan ikan karang
• Lokasi DPL sebaiknya mengikuti kontur perairan dan mudah untuk
digambarkan batas-batasnya, seperti segi empat, segi lima, dsb.
4.3 Sistem Biaya Masuk
Pelaksanaan sistem biaya masuk dalam DPL dapat diperlakukan ke
dalam kawasan yang mempunyai potensi untuk wisata perairan, atau lokasi
52 Panduan Pengembangan Marine Management Area
yang dijadikan sebagai percontohan dengan frekwensi kunjungan yang
tinggi. Salah satu penggunaan dana masuk dapat digunakan untuk
pemandu wisata lokal yang dapat dianggap sebagai kompensasi waktu
mereka selama bertugas.
Besarnya biaya masuk ke DPL yang telah ditetapkan sebagai suatu
obyek wisata, sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sebagian dana
akan diberikan kepada Kelompok Masyarakat Konservasi. Penggunaan
dana tersebut, misalnya untuk pemeliharaan dan pengelolaan DPL
(pelampung, tanda batas, papan informasi dsb). Sumbangan sukarela dari
pengunjung dapat juga diusulkan oleh pengelola DPL, apabila ada
keinginan dari wisatawan untuk memberikannya. Selain biaya masuk dari
para wisatawan, diterapkan juga uang denda masuk, yaitu uang yang
dibayarkan oleh masyarakat yang melanggar aturan DPL, misalnya
menangkap ikan di dalam zona inti, dsb. Uang denda tersebut harus
dikembalikan lagi kepada pengelola untuk tujuan konservasi dan
pengelolaan DPL.
4.4 Kelompok Pengelola
Kelompok Pengelola DPL adalah Kelompok Masyarakat (Pokmas)
Konservasi, yang akan melaksanakan pengelolaan DPL. Pokmas Konservasi
sebagai pengelola DPL disarankan membuat suatu struktur organisasi yang
sederhana, misalnya terdapat ketua Pokmas, sekretaris, bendahara, dan
seksi-seksi. Pokmas Konservasi sebagai pengelola DPL di lokasi COREMAP
II, akan dikoordinasikan oleh Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu
Karang (LPS-TK) yang bersama pemerintah di desa, untuk mengusulkan
rencana kerja tahunan, melaksanakan kegiatan konservasi di lokasi DPL
dan di jaringan DPL (MMA Kabupaten/Kota). Secara garis tugas dan
tanggung jawab dari Pokmas Konservasi dalam pengelolaan DPL adalah :
53COREMAP II ADB
• Membuat rencana operasional pengelolaan DPL berdasar pada
Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang disiapkan oleh
LPS-TK
• Bertanggung jawab dalam pemantauan dan pengawasan DPL, dengan
panduan pelaksanaan MCS dari LPS-TK
• Melakukan pemantauan DPL secara berkala
• Bertanggung jawab dalam pemeliharaan peralatan DPL, seperti tanda
batas, pelampung, alat-alat selam/snorkle, papan informasi dan pusat
informasi
• Memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat
Pembentukan Pokmas Konservasi pengelola DPL melalui proses
pemilihan dan musyawarah desa yang dikoordinasikan oleh LPS-TK, dengan
partisipasi aktif dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, kepala
kampung/dusun dan nelayan. Disarankan bahwa pengurus Pokmas adalah
nelayan, karena nelayan adalah pengguna sumberdaya yang berkepentingan
dengan DPL. Kelompok Konservasi sebaiknya disyahkan dengan Surat
Keputusan Desa.
Bagaimana isi yang ideal dari suatu Rencana Pengelolaan Terumbu
Karang (RPTK)? Karena RPTK merupakan dokumen pengelolaan yang akan
digunakan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan
terumbu karang.
4.5 Proses Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa
Aturan-aturan yang dibuat berdasar kesepakatan masyarakat sangat
menentukan keberhasilan pengelolaan suatu DPL. Pada era otonomi daerah,
aturan perlu diformalkan menjadi Peraturan Desa atau Keputusan Desa
yang khusus mengatur pengelolaan DPL. Peraturan Desa atau Keputusan
Desa tersebut akan mengikat masyarakat, baik di dalam desa yang
mengelola DPL, maupun juga masyarakat di luar desa, sehingga pemerintah
54 Panduan Pengembangan Marine Management Area
desa dan Pokmas Konservasi mempunyai dasar hukum untuk melarang atau
menindak pelanggaran yang terjadi di lokasi DPL.
Yang perlu diperhatikan, selain aspek partisipasi masyarakat dalam
proses pembuatan Peraturan Desa, juga harus dipertimbangkan
kesepakatan adat setempat yang tidak tertulis, sehingga nantinya Perdes
tersebut tidak tumpang-tindih atau kontradiktif dengan aturan adat.
Berikut adalah proses dan tahapan pembuatan Peraturan Desa
Pengelolaan DPL :
• Identifikasi kelompok pengguna. Identifikasi kelompok pengguna
diperlukan supaya semua pengguna (pengumpul biota laut, nelayan
pancing, nelayan jaring, penangkar ikan hias, pengambil kayu bakau,
dsb.) dapat berperan serta mengambil keputusan terhadap aturan-
aturan yang akan diterapkan untuk pengelolaan DPL.
• Konsultasi Penyusunan Perdes. Tahap awal pertemuan masyarakat
adalah penentuan aturan-aturan tentang kebolehan dan larangan
dalam DPL. Konsultasi masyarakat dilakukan dengan berbagai cara,
mulai dari musyawarah nelayan, dusun sampai pada pertemuan
formal di tingkat desa.
• Formulasi aturan dalam Perdes. Tahap ini adalah untuk
memformulasikan ide masyarakat yang terkumpul kedalam bahasa
atau norma hukum, yaitu Peraturan Desa. Konsultan atau fasilitator
diperlukan pada tahap ini untuk menuangkan kedalam Rancangan
Perdes. Contoh Keputusan Desa Tentang Pengelolaan DPL tercantum
dalam Lampiran: Contoh Keputusan Kepala Desa tentang DPL.
• Sosialisasi dan Persetujuan Formal. Setelah Rancangan Perdes
terbentuk, maka tahap selanjutnya adalah sosialisasi dengan
musyawarah dan konsultasi final kepada masyarakat, dan selanjutnya
disyahkan menjadi Perdes.
55COREMAP II ADB
Berikut adalah tahapan proses pembuatan Peraturan Desa/Surat Keputusan
Desa tentang Daerah Perlindungan Laut, dari hasil pembelajaran CRMP
USAID dan disesuaikan dengan pengembangan DPL COREMAP II ADB.
Langkah Checklist Hasil
Gambar 7. Tahapan Proses Pembuatan Peraturan Desa/Surat
Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut.
Langkah 1 Identifikasi
Permasalahan dan Pemangku
Kepentingan
Daftar masalah dan akar masalah, pemangku kepentingan, dampak potensial Perdes baru
Daftar aturan hukum terkait, analisis SDM,
analisis pelaksanan aturan terkait
Peraturan Desa yang sudah disahkan oleh
BPD dan Kepala Desa, disosialisasikan kepada
masyarakat
Ranperdes dalam bentuk final yang siap untuk
ditanda-tangani
Draft akhhir Ranperdes dalam
bentuk final
Draft Ranperdes dalam
bentuk awal
Langkah 2 Identifikasi Landasan
Hukum dan Perundang-Undangan
Langkah 5 Pembahasan di
BPD
Langkah 3 Penulisan Rancangan
Peraturan Desa
Langkah 4 Penyelenggaran
Konsultasi Publik
Langkah 6 Sosialisasi &
Pengesahan Perdes DPL
● Identifikasi masalah ● Identifikasi akar masalah ● Identifikasi stakeholders ● Identifikasi dampak potensial RanPerdes DPL
• Susun dari umum ke detil • Gunakan format baku • Ketentuan apa yang
boleh dan dilarang • Ketentuan sanksi
• Undang seluruh stakeholders
• Gunakan komunikasi dua arah
• Catat semua masukan
• Gunakan sebagai konsultasi public
• Undang semua stakeholders
• Lakukan sosialissi sebelum dan sesudah pengesahan
• Undang semua stakeholders
● Inventarisasi hukum ● analisis SDM ● Analisis Penegakan
Hukum
56 Panduan Pengembangan Marine Management Area
4.6 Pengelolaan DPL
Pengelolaan DPL dilakukan melalui tahapan yang sesuai dengan
siklus kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal
Management/ICM), baik di tingkat Kabupaten/Kota atau tingkat Desa.
Siklus kebijakan yang dimaksud adalah :
(1) Identifikasi dan pengkajian isu (2) Persiapan program (3) Adopsi program secara formal dan penyediaan dana (4) Pelaksanaan Program (5) Evaluasi
Gambar 8. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
(sumber CRMP/USAID, 2003)
Contoh dari Sulawesi Utara dan Lampung tentang Materi Muatan dalam Peraturan Desa/SK Desa Tentang Pengelolaan DPL :
• Dasar pertimbangan pembentukan DPL • Dasar hukum yang terkait dengan DPL • Ketentuan Umum, berisi definisi komponen DPL • Cakupan Wilayah DPL, meliputi batas dan zonasi • Tugas dan tanggung jawab PokMas Pengelola • Kewajiban dan kegiatan yang diperbolehkan di DPL • Kegiatan yang dilarang di DPL • Sanksi pelanggaran • Pengelolaan Dana • Pengawasan • Penutup • Lampiran Peta DPL, dilengkapi dengan koordinat.
57COREMAP II ADB
Jadi, rencana pengelolaan DPL dapat dirancang sebagai satu bagian
dari Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di lokasi COREMAP
atau Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (RPWPT) di tempat
lain.
Pada bagian ini, akan dijelaskan langkah-langkah yang dapat menjadi
panduan pengelolaan suatu DPL, yaitu :
(1) Pembuatan Rencana Pengelolaan DPL
(2) Pemasangan serta pemeliharaan tanda batas dan papan informasi
(3) Pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup
(4) Pengawasan,Pemantauan, dan Penegakan Hukum
(5) Pemantauan dan Evaluasi DPL
4.7 Pembuatan Rencana Pengelolaan
Suatu DPL haruslah mempunyai Rencana Pengelolaan yang dibuat
bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat, agar pengelolaan DPL
berfungsi dengan baik. Rencana Pengelolaan ini merupakan panduan bagi
pemerintah desa dan masyarakat untuk pengelolaan DPL, sehingga
masyarakat dapat memetik manfaat untuk perikanan dan wisata
berkelanjutan.
Identifikasi Isu Pengelolaan, yang merupakan tahap awal dari siklus
pengelolaan sumberdaya pesisir, haruslah dapat mengidentifikasi isu yang
berhubungan dengan pengelolaan DPL. Hasil rangkuman isu-isu
pengelolaan suatu DPL dapat diterbitkan menjadi satu kesatuan dengan
Profil Desa, yang dapat dianggap menjadi data dasar. Selanjutnya data
dasar tersebut dapat dijadikan untuk menyusun visi, misi DPL, tujuan
58 Panduan Pengembangan Marine Management Area
pengelolaan DPL, strategi, kegiatan serta sumber pendanaan. (Lihat
Lampiran1).
Rencana Pengelolaan suatu DPL dapat merupakan bagian dari
rencana umum pengelolaan sumberdaya pesisir atau pun dapat disusun
secara terpisah. Pada Lokasi COREMAP pemerintah desa menyusun
Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK), maka Rencana Pengelolaan
sebaiknya menjadi bagian dari RPTK tersebut.
Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)
Tahapan penyusunan kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang terpadu berbasis masyarakat yang disusun bersama-sama oleh LPSTK dan masyarakat dengan dipandu oleh Motivator Desa, Fasilitator Desa dan LSM Pendamping. Di tahap awal, berdasarkan visi dan sasaran, dilakukan perumusan program kerja pengelolaan terumbu karang terpadu yang terarah berdasarkan isu dan masalah yang ada. Program tersebut dihasilkan dari kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Coremap II, 2005).
Adapun bahan dan alat yang diperlukan untuk pembuatan rencana pengelolaan terumbu karang dimaksud terdiri dari :
Hasil Pengkajian cepat (RRA) yang telah dilakukan
Hasil Pengkajian Partisifatif (PRA) yang telah dilakukan berupa profil desa/kampung/pulau
Hasil Studi baseline dan monitoring CRITC,
Referensi yang relevan untuk pembuatan rencana pengelolaan perikanan, baik dari aspek legal maupun teknis
Peta-peta tematik yang telah didigitasi seperti peta Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Berkelanjutan,
Draft Perencanaan Strategis Pengelolaan Perikanan secara berkelanjutan
Brosur, buku-buku dan alat-alat tulis.
59COREMAP II ADB
Pihak-pihak yang akan terlibat dalam kegiatan pembuatan rencana pengelolaan terumbu karang adalah :
Kepala Desa/Kampung
Badan Perwakilan Desa (BPD)
Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)
Nelayan setempat
Pengumpul /penggarap hasil sda dari terumbu karang, bakau dan padan lamun
Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang telah terbentuk - Motivator Desa
Fasilitator Masyarakat dan LSM Pendamping
Anggota masyarakat desa secara umum (Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Organisasi Wanita, dsb).
Strategi Pelaksanaan Pembuatan RPTK :
1. LSM Pendamping atau Fasilitator memfasilitasi pembentukan tim inti penyusunan tingkat desa yang terdiri dari anggota LPSTK dan tim pendukung yang terdiri dari Kepala Desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa)
2. Tim inti dan pendukung menyusun jadwal dan agenda pembuatan RPTK,
3. Tim inti melakukan penggalangan input dari berbagai pihak yang berada di desa/kampung/pulau, termasuk pendatang yang melakukan aktifitas penangkapan, perdagangan dan lain sebagainya. Kegiatan ini dapat berbentuk diskusi dusun (kampung),
Sistematika RPTK meliputi :
Gambaran Umum (Profil) Desa
Isu-isu pokok pengelolaan terumbu karang terpadu
Visi pengelolaan terumbu karang
Sasaran/target yang ingin dicapai
Strategi dan jenis jenis kegiatan yang akan dilakukan
Organisasi pelaksana
Waktu pelaksanaan dan biaya yang
60 Panduan Pengembangan Marine Management Area
interview, observasi,
4. Tim pendukung melakukan konsultasi dengan berbagai pihak utamanya yang terkait dengan biota laut, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, aspek legal, teknis dan lain sebagainya pada tingkat Kecamatan dan Kabupaten,
5. Tim inti melakukan validasi data dan informasi terkait dengan aspirasi/kepentingan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terhadap sumberdaya ekosistem terumbu karang, selanjutnya mengkonsultasikan dengan tim pendukung,
6. Tim inti dan pendukung melakukan verifikasi, kompilasi serta penyelarasan data dan informasi yang akan dimasukkan sebagai bahan-bahan dalam pembuatan draft RPTK,
7. Draft yang telah jadi, selanjutnya disosialisasi dan dikonsultasikan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan feedback, melalui workshop tingkat desa
8. Tim inti dan pendukung melakukan revisi secara akomodatif berdasarkan masukan (feedback) yang diperoleh,
9. Tim inti dan pendukung meminta bantuan kepada LSM Pendamping, Fasilitator dan PIU untuk penyesuaian redaksi, sistematika dan lain-lain yang diperlukan, dan
10. Kepala Desa akan menertibkan Surat Keputusan tentang Rencana Pengelolaan Terumbu Karang berbasis masyarakat.
Proses pembuatan RPTK membutuhkan waktu dan proses yang relatif panjang, kurang lebih 6 hingga 9 bulan, mengingat bervariasinya hal-hal yang perlu diatur dalam RPTK, beragamnya pemangku kepentingan yang memiliki aspirasi berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Dalam konteks demikian, RPTK merupakan produk dokumen yang sifatnya strategis dan vital dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya.
Isi dari materi-materi yang termuat dalam RPTK yang perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan dokumen RPTK dan tahapan-tahapan teknis yang perlu dilakukan, antara lain :
(1) Penataan Wilayah atau Sistem Zonasi
Wilayah laut dan pantai dalam kawasan lokasi program COREMAP mengandung sumberdaya laut yang kaya. Potensi-potensi ini dapat digunakan dengan berbagai cara termasuk pengelolaan perikanan jangka panjang yang berkelanjutan dan pariwisata. Namun dengan tekanan pembangunan ekonomi dan bertambah harapan masyarakat maka terdapat tingkat resiko yang tinggi dimana tidak ada pengelolaan akan bertahan lama dalam waktu yang panjang tanpa perencanaan pengelolaan yang disetujui dan dipahami oleh
61COREMAP II ADB
masyarakat lokal yang memfasilitasi antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam. Dengan berbagai bentuk kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya umumnya membutuhkan perencanaan Zonasi dan Tata Ruang yang dapat mengalokasikan pemanfaatan dan tingkat dampaknya terhadap wilayah-wilayah spesifik.
Participatory Rural Appraisal (PRA) akan mengidentifikasi bahwa ternyata pada wilayah-wilayah tertentu memiliki kekhasan sendiri-sendiri, sebagai contoh terdapat wilayah yang menjadi pusat keanekaragaman karang dan ikan hias, ada wilayah yang menjadi pusat masyarakat menangkap ikan untuk umpan, ada wilayah yang menjadi pusat masyarakat memancing ikan kerapu dan lain sebagainya. Keadaan inilah yang harus dikelola agar keberadaan wilayah dan kekhasan tersebut dapat terpelihara. PRA telah dilakukan untuk Kabupaten Lingga, karena COREMAP Phase I telah melaksanakan pemilihan lokasi DPL-DPL.
Suatu penataan wilayah yang berbasis pada masukan dan diskusi masyarakat serta dianalisa oleh tim formulator akan menghasilkan dasar untuk kegiatan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Beberapa kategori wilayah yang penting dibuat yaitu:
Wilayah pemanfaatan tradisional (wisata, lokasi pemacingan umpan dan lain-lain),
Wilayah pengembangan budidaya laut (rumput laut, kerang, pembesaran ikan dan lain-lain)
Wilayah perlindungan masyarakat atau konservasi sebagai Zona Inti dan
Wilayah yang menjadi alur transportasi perairan pedalaman Desa atau pulau.
Penataan wilayah atau sistem zonasi selain mengatur pola pemanfaatan sumber daya laut yang tersedia agar dapat berkelanjutan juga diharapkan dengan adanya penataan wilayah atau sistem zonasi ini dapat meredam kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik lokasi tangkapan antar pengguna dari dalam dan luar.
(2) Sistem dan Mekanisme Pengelolaan
Masyarakat diharapkan paham dan menerima kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan rencana yang dibuat dalam RPTK,bagaimana mengawasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dan masih banyak lagi hal-hal yang harus diatur untuk mendukung pelaksanaan sistem zonasi yang telah dibuat.
Dalam sistem dan mekanisme pengelolaan secara rinci dibahas tentang :
62 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Jenis kegiatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam zona yang telah ditetapkan,
Jenis alat tangkap yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam masing-masing zona,
Jenis biota laut yang boleh dan tidak boleh ditangkap atau dimanfaatkan (jenis biota laut yang dapat dimanfaatkan secara terbatas),
Definisi kawasan konservasi (minimum 10 % daerah terumbu karang yang ada di desa),
Alur transportasi tradisional yang boleh dilewati, dan
Tata cara pengelolaan dan menjalankan sistem zonasi.
Untuk mengefektifkan sistem dan mekanisme pengelolaan dibutuhkan seperangkat kelembagaan atau organisasi yang akan bertanggung jawab menjadi pelaksana RPTK dan sebuah kerangka tata hubungan kerja antar unsur di tingkat desa atau pulau yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK).
Masing-masing unsur yang terlibat dalam struktur pelaksana RPTK maupun dalam tata hubungan kerja memiliki gambaran tugas masing-masing (seperti yang tercantum dalam penjelasan kelembagaan RPTK), disana tertera dengan jelas siapa yang melakukan apa. Pembagian tugas seperti ini dimaksudkan agar tumbuh sikap dan rasa tanggung jawab terhadap tugas.
(3) Perencanaan Program
Keberadaan program-program sangat dibutuhkan untuk menjalankan RPTK. Dalam RPTK telah dirumuskan beberapa program yang dinggap dapat mendukung visi dan misi desa atau pulau antara lain :
a. Program konservasi dan penyadaran masyarakat,
b. Program peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat,
c. Program penentuan daerah perlindungan masyarakat (DPL)
d. Program pengembangan Mata Pencaharian Alternatif (MPA), yang direkomendasi oleh masyarakat,
e. Program peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan kesetaraan jender,
f. Program Pembangunan Prasarana Pendukung RPTK.
Pelaksanaan dari setiap rencana program yang disusun dalam RPTK tidak hanya akan dilakukan oleh masyarakat, akan tetapi melibatkan pihak-pihak yang terkait berdasarkan kapasitas dan kompetensinya. Program-program yang bersifat pengawasan dan penegakan hukum
63COREMAP II ADB
misalnya akan didukung oleh aparat penegak hukum formal (Polisi, Jagawana dan Tentara AD/AL). Program-program yang lain yang membutuhkan biaya yang relatif besar akan didukung oleh pihak-pihak ketiga atau Pemerintah Kabupaten melalui unit-unit kerjanya dan mungkin juga dari pihak ketiga seperti dari COREMAP melalui Dana Bantuan Desa (Village Grant).
(4) Sanksi-Sanksi
Hal yang paling mempengaruhi kesuksesan sebuah perencanaan utamanya yang dibangun di atas konsensus berbagai pihak (stakeholders) adalah konsekuensi dari konsensus tersebut yang biasanya dituangkan dalam bentuk sanksi-sanksi. Kepatuhan masyarakat atau pihak-pihak lain terhadap aturan bergantung bagaimana sanksi ditegakkan. Semakin longgar penegakan sanksi, maka akan semakin rapuh pula aturan yang telah dibuat, tetapi sebaliknya semakin konsisten untuk menegakkan sanksi akan semakin kuat aturan yang ada.
Untuk penerapan dan keberlanjutan materi-materi yang terkandung dalam sanksi-sanksi sebaiknya bersumber dari kearifan lokal yang sejak lama dianut oleh masyarakat. Sehingga aturan baru seyogyanya berbasis pengetahuan, pengalaman dan proses berfikir masyarakat.
Penerapan sanksi dilakukan dengan pola bertingkat yang juga bergantung seberapa besar bobot pelanggaran yang dilakukan. Dalam RPTK diatur jenis-jenis pelanggaran yang dapat diselesaikan ditingkat desa atau pulau oleh penanggung jawab pelaksana RPTK lokal, seperti pelanggaran terhadap areal perlindungan atau kawasan konservasi masyarakat (community sanctuary), masuk pada wilayah-wilayah yang tidak dibolehkan dan lain-lain. Sementara pelanggaran yang bersifat kriminal lingkungan dan bobotnya besar seperti membom, membius dan lain-lain, maka penanggung jawab pelaksana RPTK akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum formal.
64 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Gambar 9. Pentahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) (Sumber COREMAP II, 2005)
Adapun tahapan-tahapan, maksud pada tiap langkah tersebut serta
jenis detail kegiatan penyusunan sebuah RPTK seperti terlihat pada
Gambar 9 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tahapan Pembuatan RPTK
(1) Sosialisasi dan Diseminasi
Masyarakat harus mengetahui dan memahami pentingnya
sumberdaya ekosistem terumbu karang dikelola secara baik, untuk
dimanfaatkan saat ini dan demi kepentingan generasi yang akan
datang. COREMAP hadir untuk mendukung dan memfasilitasi
masyarakat agar pemahamannya semakin meningkat, kapasitasnya
semakin baik, jaringan kemitraannya semakin luas, dengan demikian
masyarakat akan lebih mudah untuk mencapai tujuannya untuk
mengelola sumberdaya secara efektif, dan dapat menjamin
keberlanjutannya. Dengan membuat perencanaan strategis
sumberdaya dalam bentuk Rencana Pengelolaan Terumbu Karang
(RPTK), masyarakat dapat mengelola sumberdaya secara sistematis,
fokus dan berdaya guna.
65COREMAP II ADB
(2) Pembuatan Profil Desa/Kampung
Data dan informasi (DAIS) tentang kondisi sosial dan sumberdaya
merupakan bahan-bahan dalam membuat RPTK pada lingkup
desa/kampung. Membuat profil desa/kampung salah satu cara untuk
mengumpulkan dais tentang kondisi obyektif di desa. Pembuatan profil
desa/kampung dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan
masyarakat, dengan pertimbangan merekalah yang memiliki banyak
informasi dan paling mengenali desa/kampungnya. Pembuatan profil
desa/kampung dilakukan dalam bentuk PRA
(3) Pembentukan Tim Penyusun
Dais dan berbagai kepentingan harus diorganisir serta dikelola secara
baik, sehingga hal-hal yang penting untuk dimasukkan dalam RPTK
akan termuat. Untuk itu, akan dibentuk tim penyusun oleh LPSTK
yang terdiri sekitar 7 – 10 orang. Tim ini akan bertanggung jawab
untuk mengumpulkan aspirasi, mengkompilasi, merekap, dan
mengolah bahan-bahan yang akan dijadikan materi-materi dalam
RPTK. Tim ini akan melakukan diskusi tingkat dusun, diskusi tingkat
lingkungan dan diskusi tingkat desa/kampung untuk mengumpulkan
sebanyak-banyaknya Dais.
(3) Membuat Draft RPTK
Hasil Dais dan aspirasi dari masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang
telah dikumpulkan akan diolah dan selanjutnya dikonstruksi menjadi
dokumen RPTK sesuai dengan sistematika yang ada. Penyusunan draf
RPTK dilakukan melalui pemahasan pleno oleh tim yang dibantu dan
difasilitasi oleh SETO, Fasilitator Masyarakat dan Motivator Desa.
Selanjutnya SETO dan Fasilitator Masyarakat akan memfasilitasi
pembuatan dokumen RPTK, dengan berkonsultasi dengan konsultan-
konsultan COREMAP utamanya konsultan manajemen perikanan dan
66 Panduan Pengembangan Marine Management Area
konsultan legal terkait dengan substansi dan teknik penulisan
dokumen.
(4) Konsultasi Publik dan Revisi Akomodatif
Dokumen RPTK yang telah dibuat dalam bentuk draf akan
disosialisasikan kepada khalayak umum melalui musyawarah desa
yang dihadiri oleh unsur pemerintah desa, BPD, kelompok
masyarakat, aparat hukum lokal, petugas teknis instansi, dan lain-
lain. Agenda utamanya adalah penyampaian/presentasi RPTK oleh tim
penyusun. Acara akan fifasilitasi oleh SETO/Fasilitator
Masyarakat/Motivator Desa. Semua tanggapan, masukan dan kritikan
akan dicatat oleh tim penyusun, yang kemudian dilakukan analisis
untuk menentukan hal-hal apa saja yang perlu dimasukkan sebagai
revisi dokumen.
(5) Persetujuan dan Pengesahan
Hasil revisi dokumen akan dibahas kembali secara mendalam oleh tim
penyusun, Kepala Desa dan BPD melalui rapat konsultasi. Kepala
Desa dan BPD akan membahas substansi RPTK dan hal-hal yang lain
yang terkait dengan proses pengesahaannya. Apabila telah disepakati
materi-materi RPTK, maka Kepala Desa akan mengesahkan RPTK
atas persetujuan BPD menjadi lembar desa sebagai salah satu
pedoman pembangunan tingkat desa.
(6) Monitoring dan Evaluasi (Monev)
Rencana pengelolaan merupakan dokumen yang memiliki tata aturan
yang sistematis dan jelas, dengan demikian akan memudahkan bagi
masyarakat dan pihak-pihak lain untuk memahami dan
melaksanakannya. Sebelum menyusun/membuat RPTK, masyarakat
dan pihak-pihak terkait dalam penyusunan RPTK perlu memahami
kerangka fikir, struktrur dan alur penyusunannya.
67COREMAP II ADB
Contoh VISI dalam RPTK: Terjaminnya kelestarian sumberdaya terumbu karang dan kesejahteraan masyarakat setempat melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan ramah Iingkungan dan pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat setempat.
Sebagai gambaran, berikut disajikan sebuah struktur dan alur
penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang, mulai dari
mengidentifikasi isu hingga penyusunan kegiatan pengelolaan
ekosistem terumbu karang.
Tabel 2. Matriks Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.
Strategi Visi
Sasaran Program Kegiatan
Terjaminnya kelestarian sumberdaya terumbu karang dan kesejahteraan masyarakat setempat melalui penerapan prinsip-prinsip
1. Sasaran Jangka Panjang
2. Sasaran Jangka Pendek
Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Berkelanjutan
1. Pembagian areal terumbu karang (zonasi) ke dalam zona lindung dan zona pemanfaatan
2. Pengintegrasian hak-hak pengelolaan tradisional ke
Sasaran Jangka Panjang :
1. Seluruh areal terumbu karang yang ada telah ditata sesuai dengan
fungsinya ke dalam zona inti (10 % daerah terumbu karang),
2. Tidak terjadi perusakan terhadap ekosistem terumbu karang,
3. Tersedianya lembaga keuangan mikro di desa/kampung sebagai
penunjang pelaksanaan usaha produktif masyarakat.
4. Penghasilan masyarakat meningkat.
Sasaran Jangka Pendek :
1. Masyarakat dapat mengerti program pengelolaan terumbu karang,
2. Masyarakat dapat memahami arti penting ekosistem terumbu
karang bagi lingkungan dan kehidupan manusia, dan
3. Masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan terumbu karang.
68 Panduan Pengembangan Marine Management Area
dalam rencana pengelolaan
3. Konservasi dan rehabilitasi
4. Penyusunan dan penetapan aturan pemanfaatan sumberdaya alam laut
5. Penyusunan mekanisme pemecahan konflik
Pengembangan Mata Pencaharian Altematif
1. Identifikasi jenis-jenis usaha
2. Pemilihan jenis-jenis usaha yang akan dikembangkan
3. Penyusunan studi kelayakan
4. Pelatihan teknis dan manajemen usaha
5. Pembentukan Lembaga Keuangan mikro dan Manajemen
Pengembangan Kapasitas pengelolaan uang desa dan Prasarana Dasar pengelolaan.
1. Idenffikasi kebutuhan prasarana
2. Penetapan jenis jenis prasarana dasar yang akan dibangun
3. Penyusunan Rancangan Teknis dan Usulan Kegiatan.
pengelolaan berkelanjutan ramah Iingkungan dan pengembangan usaha ekonomi bagi masyarakat setempat.
Peningkatan Kapasitas Masyarakat
1. Identifikasi jenis-jenis pelatihan yang diperlukan
2. Pemilihan jenis-
69COREMAP II ADB
jenis kegiatan pelatihan Penyusunan
rencana kegiatan pelatihan.
4.8 Pemasangan tanda batas dan pemeliharaan
Lokasi DPL perlu dibuatkan tanda batas, setelah Peraturan Desa
ditetapkan. Batas-batas kawasan diupayakan di pasang baik di pantai
maupun di laut, yang memungkinkan untuk kemudahan upaya pengelolaan
dan khususnya pemantauan. Jika tanda batas tidak ada atau kurang jelas
terlihat, maka peneglolaan dan pemantauan sulit untuk dilakukan. Tanda
batas diusahakan dibuat dengan material sederhana namun kuat dan tahan
terhadap kondisi laut, seperti tahan terhadap gelombang, arus dan tidak
korosif.
Pemasangan tanda batas dilakukan setelah survei kedalaman
perairan melalui penyelaman yang dilakukan oleh anggota masyarakat dan
ahli. Dengan survei tersebut diharapkan panjang tali pelampung serta
pemberat/jangkar dapat dipasang sesuai dengan kedalaman perairan.
Pertimbangan dalam pemasangan adalah pasang-surut perairan laut,
sehingga diusahakan pemasangan tanda batas dilakukan pada saat pasang
tertinggi, supaya tanda pelampung tetap muncul di permukaan air.
Jika batas DPL mencakup daratan pantai, maka diperlukan
pemasangan patok batas dengan ditancapkan pada tanah. Material patok
dari beton atau baja anti karat biasanya merupakan bahan patok batas yang
ideal. Warna patok batas di laut atau di darat diupayakan yang mencolok,
seperti kuning dan merah.
70 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Pemeliharaan Tanda Batas diperlukan secara rutin, misalnya dengan
mengganti bagian yang rusak atau hilang. Kelompok Pengelola akan
bertanggung jawab untuk pemeliharaan tanda-tanda batas DPL.
Papan Informasi sangat penting sebagai upaya sosialisasi kepada
masyarakat dan pengunjung/wisatawan atau juga kepada masyarakat di
luar desa. Papan Informasi biasanya berisi tentang pesan-pesan penting,
seperti larangan, yang terdapat dalam Peraturan Desa Tentang Pengelolaan
DPL. Selain perlu mempertimbangkan bahan Papan Informasi yang awet
atau tahan lama, biasanya Papan Informasi tersebut juga dapat dihiasi
dengan gambar/poster tentang Konservasi Terumbu Karang dan Perikanan,
misalnya : ‘Terumbu Karang Sehat Ikan Berlimpah’ atau ‘ Kekayaan Alam
Laut adalah bukan warisan nenek moyang, tetapi pinjaman dari anak cucu
kita’ , dsb.
4.9 Pendidikan Lingkungan Hidup
Pendidikan masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
pengelolaan DPL. Pendidikan tentang lingkungan hidup dan pengelolaan
terumbu karang dan operasional DPL bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai lingkungan pesisir, ekosistem terumbu karang dan
pengelolaan DPL, sehingga mereka dapat mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya pesisir di desa mereka secara berkelanjutan.
Pendidikan lingkumgan hidup adalah upaya penyadaran dan
peningkatan pengetahuan masyarakat, peningkatan keterampilan, melalui
kegiatan pendidikan, pengajaran, pelatihan, penyuluhan, diskusi-diskusi
formal dan informal (focus group discussion) tentang lingkungan hidup yang
ada di sekitar mereka termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Pelatihan
dan penyuluhan semasa proyek masih berjalan dilaksanakan oleh
COREMAP, sedang nantinya peran para Kader Desa dan Pengelola DPL
71COREMAP II ADB
ataupun Penyuluh Perikanan dapat menggantikan peran sebagai penyuluh
tentang pengelolaan lingkungan hidup di desa.
Ada tiga hal yang dapat dipakai menjadi prinsip dasar pemahaman
masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang, yaitu :
• Rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang dan
lokasinya
• Manfaat ekologis dan ekonomis sumberdaya alam, termasuk terumbu
karang
• Kemungkinan ancaman dan degradasi sumberdaya alam di sekitar
mereka
4.10 MCS dan Penegakan Hukum
DPL yang telah ditetapkan melalaui Peraturan Desa perlu diawasi
dari kegitan-kegiatan masyarakat yang mungkin belum memahami
manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegakan aturan,
maka disarankan untuk membuat Kelompok Pengawasan Masyarakat
(Pokmaswas).
Apabila terjadi pelanggaran aturan DPL, maka aturan yang telah
disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi diberikan kepada
pelanggar. Sanksi yang dikenakan haruslah sesuai dengan ketentuan dalam
Perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seseorang melanggar
aturan beberapa kali, dapat dikatakan pelanggaran tersebut sudah layak
untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum, beserta barang bukti.
Oleh karena itu, Pokmaswas perlu dilatih tentang penyidikan dan prosedur
penangkapan, serta Standar Operation Procedures (SOP) tentang
mekanisme pelaporan.
4.11 Pemantauan dan Evaluasi
72 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi merupakan hal yang penting
dalam siklus kebijakan pengelolaan DPL. Dengan adanya pemantauan dan
evaluasi, maka kita dapat mengamati kemajuan setelah penetapan DPL dan
pengelolaan DPL diberlakukan. Dari hasil pemantauan dan evaluasi, kita
dapat mengetahui efektifitas dari DPL yang telah kita kembangkan, baik
dampak terhadap perbaikan lingkungan maupun dampak sosial-ekonomi
masyarakat.
Kegiatan pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang
dikumpulkan secara periodik, seperti informasi jumlah pertemuan, jumlah
partisipasi masyarakat, perubahan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu
karang, jumlah penurunan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, dsb.
Informasi tentang dampak ekologis, seperti perubahan tutupan
karang dan jumlah kepadatan biota dalam DPL, merupakan hasil dari
kegiatan pemantauan dan evaluasi. Melalui pemantauan dan evaluasi,
maka program yang telah dibuat dapat terus disesuaikan dengan perubahan
permasalahan. Melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi, maka proses
belajar secara mandiri dalam pengelolaan DPL (pengelolaan adaptif) dapat
berjalan sesuai dengan perubahan situasi yang berkembang di lokasi.
Agar supaya kegiatan pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan
oleh masyarakat, maka diperlukan suatu pola pemantauan dan evaluasi
yang sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Mengingat untuk
mendapatkan informasi dari kegiatan pemantauan dan evaluasi
memerlukan biaya yang cukup mahal, maka perlu diupayakan metode
pemantauan dan evaluasi yang mudah dan tidak memberatkan masyarakat.
Misalnya, metode pemantauan kondisi terumbu karang dapat menggunakan
metode Manta Tow dengan snorkle. Sedang pemantauan dan evaluasi
tentang pola pemanfaatan sumberdaya, misalnya tentang frekwensi
penggunaan alat-alat yang merusak, dsb.
73COREMAP II ADB
Kelompok Pengelola dan LPS-TK diharapkan menjadi motor untuk
kegiatan monitoring dan evaluasi, setelah mendapat pelatihan dari para
Fasilitator Lapangan dari COREMAP. Untuk pemantauan kondisi terumbu
karang, maka peran dari universitas diperlukan dalam penyiapan para
kader untuk pemantauan kondisi tutupan terumbu karang.
4.12 Penyebarluasan konsep DPL ke lokasi lain (scaling-up)
Masyarakat desa diharapkan semakin termotivasi setelah mengikuti
penyuluhan, mengingat sejarah yang mereka alami dan mendengar atau
menyaksikan keberhasilan upaya konservasi melalui pendirian daerah
perlindungan laut. Selain itu, kebanggaan masyarakat desa sebagai desa
yang berhasil mewujudkan keinginannya, sesuai dengan pesan yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, turut
meningkatkan motivasi tersebut.
Untuk lebih menjamin kesinambungan tanggungjawab masyarakat
dalam mengelola daerah perlindungan laut, maka prinsip nomor satu yang
menekankan pada perlunya masyarakat diberi kesempatan (waktu). Oleh
karena itu implementasi adopsi daerah perlindungan laut di tempat lain
harus melihat perkembangan kesiapan masyarakat. Implementasi dalam
bentuk penetapan daerah perlindungan laut tanpa proses yang
mengakomodasi aspirasi masyarakat harus dihindarkan. Jika hal ini terjadi,
maka yang akan ada hanyalah papan-papan tanda adanya daerah
perlindungan laut tanpa tindakan pengelolaan sebagaimana mestinya. Dari
sudut pelaksanaan proyek, ciri community-based memberikan implikasi
bahwa waktu penyelesaian tahapan proyek ataupun pencapaian milestone
perkembangan proyek kemungkinan mengalami keterlambatan (delayed).
Hal ini disebabkan karena kemajuan proyek harus didasarkan pada
kesiapan masyarakat untuk maju ke tahap proyek selanjutnya. Oleh karena
itu, sebuah proyek yang berciri community-based sebaiknya melakukan
pemantauan terhadap kesiapan masyarakat tersebut.
74 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Beberapa prinsip yang diterapkan proyek untuk memfasilitasi
pendirian DPL:
• Perlu ada waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami
persoalan dan isu;
• Penyuluhan tentang DPL dan masyarakat mengkonsultasikan
idenya ke berbagai pihak;
• Menempatkan penyuluh lapang secara tetap di tengah
masyarakat;
• Mengadakan asisten penyuluh lapang dari lingkungan desa
setempat;
• Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengelola;
• Menyediakan informasi/data sekunder hasil survei-survei;
• Mengakomodasi peran penting pemerintahan desa dan instansi
lainnya
75COREMAP II ADB
PUSTAKA
COREMAP II ADB. 2006. Manual Tata Kelembagaan COREMAP II ADB (Governance Manual). Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.
COREMAP II WB. 2005. Panduan Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.
H.A.Susanto, Wiryawan, B., Pedersen,O. 2004. Sustainability of an
Integrated Coastal Management Model:Case Study in South Lampung, Indonesia. Proceeding of Coastal Zone Asia Pacific Conference. Brisbane, Australia.
Locally-Managed Marine Management Area. 2004. www.Lmmanetwork.org M. V Erdmann, Merrill P.R, Mongdong, M, Wowiling,M, Pangalil,R. and
Arsyad,I.2003. The Bunaken National Marine Park Co-Management Initiative. www.bunaken.info
Wiryawan, B., I.Yulianto, B.Haryanto. 2002. Rencana Pembangunan dan
Pengelolaan Pulau Sebesi, Lampung Selatan. CRMP/USAID. 49pp
PISCO. 2002. Science of Marine Protected Area. www.pisco.org Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (draft Agustus 2006).
Salm, R., J.R.Clark, E.Siirila. 2000. Marine Protected and Coastal
Protected Areas. Aguide for Planners and Managers. IUCN. 370 pp.
Tulungen, JJ. T.Bayer, B.C.Crawford, M.Dimpudus, M.Kasmidi,
C.Rotinsulu, A.Sukmara, N.Tangkilisan. 2003. Panduan Pembentukan&Pengelolaan Daerah Pelindungan Laut Berbasis Masyarakat. CRMP/USAID. Jakarta. 77pp.
UNDANG-UNDANG No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah UNDANG-UNDANG 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
76 Panduan Pengembangan Marine Management Area
77COREMAP II ADB
LAMPIRAN 1. Contoh Surat Keputusan Kepala Desa Tentang Aturan Pengelolaan DPL. SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA TEJANG PULAU SEBESI NOMOR : 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002 TENTANG ATURAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Menimbang: a. Adanya Daerah Perlindungan Laut di Desa Tejang yang bertujuan
untuk melindungi kawasan terumbu karang. b. Hasil musyawarah pada hari Jumat, 25 Januari 2002 di Balai Desa
Tejang yang dihadiri oleh aparat Desa Tejang, Badan Perwakilan Desa, dan beberapa tokoh masyarakat untuk menentukan aturan Daerah Perlindungan Laut
Mengingat: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Hayati dan Ekosistemnya 2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 6) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
dan/atau Perusakan Laut. 8) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom 9) Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 32 tahun 2000
Tentang Peraturan Desa
Dengan Persetujuan Badan Perwakilan Desa Memutuskan
Menetapkan: Aturan Daerah Perlindungan Laut
BAB I
78 Panduan Pengembangan Marine Management Area
KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Masyarakat Desa adalah seluruh penduduk Desa Tejang Pulau Sebesi
dan Pulau Sebuku. 2. Nelayan adalah penduduk yang pekerjannya sebagai pencari ikan di laut
yang berasal dari desa dan atau luar Desa Tejang. 3. Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut adalah organisasi
masyarakat yang dibentuk melalui keputusan bersama masyarakat, dengan surat keputusan Kepala Desa
4. Daerah Perlindungan Laut adalah bagian pesisir dan laut tertentu yang ternasuk dalam daerah administratif Pemerintahan Desa Tejang.
BAB II
CAKUPAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Pasal 2 1. Daerah Perlindungan Laut terdiri dari 4 lokasi yang ada di pesisir Pulau
Sebesi yang bernama Kebon Lebar dan Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang dan Kayu Duri.
2. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Kebon Lebar dan Sianas adalah: a. Titik batas I merupakan titik batas antara Regahan Lada dan
Kebon Lebar. b. Titik batas II merupakan titik yang berjarak 200 meter kearah
laut dari titik batas I c. Titik batas III merupakan daerah Sianas yang bernama Sianas. d. Titik batas IV merupakan titik yang berjarak 200 meter kearah
laut dari titik batas III e. Garis yang menghubungkan titik batas II dan IV merupakan garis
lengkung yang mengikuti garis pantai. 1. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Pulau Sawo adalah seluruh
kawasan terumbu karang yang ada di Pulau Sawo 2. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Pulau Umang adalah seluruh
kawasan terumbu karang di sekitar Pulau Umang. 3. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Kayu Duri adalah:
a. Titik batas I merupakan titik yang bernama Pekonnampai b. Titik batas II merupakan titik yang berjarak 100 meter kearah
laut dari titik batas I c. Titik batas III merupakan daerah yang bernama Kayu Duri. d. Titik batas IV merupakan titik yang berjarak 100 meter kearah
laut dari titik batas III e. Garis yang menghubungkan titik batas II dan IV merupakan garis
lengkung yang mengikuti garis pantai. Pasal 3
Zona penyangga merupakan daerah disekitar Daerah Perlindungan Laut dengan radius sejauh 50 meter.
BAB III
79COREMAP II ADB
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BADAN PENGELOLA Pasal 4 1. Badan Pengelola yang dibentuk bertugas membuat perencanaan
pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang disetujui oleh masyarakat. 2. Badan Pengelola bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan
hidup untuk pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan.
3. Badan Pengelola yang dibentuk bertugas untuk mengatur, menjaga pelestarian dan pemanfaatan Daerah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat.
4. Badan Pengelola berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini.
5. Badan Pengelola berhak melaksanakan pengamanan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuam yang berlaku dalam keputusan ini.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 5 1. Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara
kelestarian daerah pesisir dan laut yang dilindungi. 2. Setiap penduduk desa dan atau kelompok mempunyai hak dan
bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah yang dilindungi.
3. Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan atau aktivitas dalam Daerah Perlindungan (Zona Inti), harus terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Badan pengelola.
4. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Daerah yang dilindungi (Zona Inti), adalah kegiatan orang-perorang dan atau kelompok, yaitu penelitian, dan wisata, terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Badan pengelola, dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan, yang akan ditentukan kemudian oleh Badan pengelola.
5. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Penyanggah, adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan.
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENERIMAAN DANA Pasal 6 1. Dana yang diperoleh dari kegiatan dalam daerah perlindungan,
diperuntukkan sebagai dana pendapatan untuk pembiayaan petugas atau kelompok pengawasan/patroli laut, pemeliharaan rumah/menara pengawas, pembelian peralatan penunjang seperti pelampung, bendera laut dan biaya lain-lain yang diperlukan dalam upaya perlindungan daerah pesisir dan laut, dan tata cara pemungutannya oleh petugas yang ditunjuk melalui keputusan bersama Badan pengelola Daerah
80 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Perlindungan Laut. 2. Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi
pemerintah dan atau organisasi lain yang tidak mengikat yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pengelolaan Daerah Perlindungan Pesisir dan Laut.
BAB VI
HAL-HAL YANG TIDAK DAPAT DILAKUKAN ATAU DILARANG Pasal 7
Semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di daerah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (Zona Inti dan Zona Penyanggah). Pasal 8 Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang dalam zona inti sebagai berikut : 1. Melintasi/melewati/menyebrangi Daerah Perlindungan Laut kecuali
darurat 2. Memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap 3. Mengambil biota hewan dan tumbuhan yang hidup ataupun mati 4. Menarik ikan dengan sengaja menggunakan lampu di sekitar Daerah
Perlindungan Laut pada malam hari 5. Membuang jangkar di sekitar Daerah Perlindungan Laut 6. Memelihara rumput laut dan ikan karang disekitar Daerah Perlindungan
Laut 7. Menempatkan bagan di sekitar Daerah Perlindungan Laut 8. Membuang sampah disekitar Daerah Perlindungan Laut 9. Melakukan penambangan di Daerah Perlindungan Laut Pasal 9 Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang dalam zona penyangga sebagai berikut : 1. Menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap kecuali pancing dan
panah 2. Mengambil biota hewan dan tumbuhan yang hidup ataupun mati kecuali
ikan 3. Menarik ikan dengan sengaja menggunakan lampu pada malam hari 4. Memelihara rumput laut dan ikan karang 5. Membuang sampah 6. Melakukan penambangan
BAB VII SANKSI
Pasal 10 1. Barang siapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan pasal 7, 8 dan
9 dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh pelanggar, mengembalikan semua hasil yang diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut dan atau diamankan, dan menandatangani surat
81COREMAP II ADB
pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran yang dilakukan di hadapan aparat desa, badan pengelola dan masyarakat.
2. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan kedua kalinya seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 dikenakan sanksi tingkat kedua yaitu sanksi berupa denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam aturan badan pengelola dan mengamankan semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan Daerah Perlindungan Laut
3. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan ketiga kalinya seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 dikenakan sanksi tingkat ketiga yaitu sanksi berupa denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam aturan badan pengelola, mengamankan semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan Daerah Perlindungan Laut dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat (kerja bakti, membetulkan mck dll) atau sanksi lain yang ditentukan kemudian oleh aparat dan masyarakat desa
4. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 lebih dari tiga kali dikenakan sanksi sanksi berupa sanksi seperti pasal 10 ayat (3) diatas, dan kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai penyidik, untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan dan perUndang-Undang an yang berlaku.
BAB VIII
PENGAWASAN Pasal 11 1. Daerah yang dilindungi adalah merupakan daerah pesisir dan laut yang
telah dipilih dan disetujui bersama oleh seluruh masyarakat Desa Tejang.
2. Daerah yang dilindungi dijaga kelestariannya untuk kepentingan masyarakat Desa Tejang.
3. Setiap anggota masyarakat berkewajiban melaporkan kepada Badan pengelola atau Pemerintah Desa, apabila mengetahui tindakan-tindakan perusakan lingkungan dan lain-lain yang dilakukan oleh orang-perorang dan atau kelompok, sehubungan dengan pelestarian Daerah Perlindungan.
BAB IX PENUTUP
Pasal 12 1. Hal hal yang perlu diatur dalam keputusan Desa ini sepanjang mengenai
pelaksanaan Perlindungan Daerah Pesisir dan Laut, akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Musyawarah Desa.
2. Keputusan Masyarakat Desa ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Demikian keputusan Masyarakat Desa Tejang, tentang Perlindungan Daerah Pesisir dan Laut sudah dibuat dengan benar dan apabila dipandang
82 Panduan Pengembangan Marine Management Area
perlu dapat disempurnakan kembali sesuai musyawarah dengan suatu keputusan bersama masyarakat dan Pemerintah Desa Tejang, dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan segala sesuatunya akan di perbaiki sebagai mana mestinya
Menyetujui, Ketua BPD Tejang Pulau Sebesi (Syaifullah HFF.) Ditetapkan di : Pulau Sebesi Pada Tanggal : 28 Januari 2002 Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi
83COREMAP II ADB
Lampiran 2. Contoh Peraturan Bupati Berau Tentang Kawasan Konservasi Laut
PERATURAN BUPATI BERAU
NOMOR: 31 TAHUN 2005
TENTANG
KAWASAN KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU
BUPATI BERAU
Menimbang: a. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan mengelola sumberdaya pesisir dan laut dengan tetap memperhatikan kewenangan propinsi sebagai bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga perlu dilindungi dan dikelola, maka perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau.
Mengingat:
1.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 (Lembaran Negara tahun 1959 Nomor 72) tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Memori Penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 1820);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994) jo. Pengumuman
84 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on the Law of the Sea (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara 3501);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
10.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
11.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (mulai berlaku 19 Agustus 1998);
13.
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 51);
85COREMAP II ADB
14.
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Pengesahan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 73);
15.
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterflow Habitat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 73);
16.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 604/Kpts/Um/8/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan Pulau Semama Beserta Perairannya Seluas 220 Ha Yang Terletak di Daerah Tingkat II Berau, Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Sebagai Suaka Marga Satwa dan Penunjukan Areal Hutan Pulau Sangalaki Beserta Perairannya Seluas 280 Ha yang Terletak di Daerah Tingkat II Berau, Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Sebagai Taman Laut (mulai berlaku tanggal 19 Agustus 1982);
17.
Peraturan Daerah Kabupaten Berau No. 24 Tahun 2002 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau;
18.
Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Program Pembangunan Daerah Kabupaten Berau Tahun 2001-2005;
19.
Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Tahun 2001-2011.
Memperhatikan:
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Berau tanggal 14 Desember 2005 Nomor:170/358/DPRD.II/XII/2005
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG KAWASAN
KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU
BAB I
86 Panduan Pengembangan Marine Management Area
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Bupati adalah Bupati Pemerintah Kabupaten Berau (definisi menurut
UNDANG-UNDANG 32/04) b. Kawasan Konservasi Laut (disingkat KKL) adalah kawasan pesisir,
termasuk pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif.
c. Wilayah Pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan aktivitas manusia di darat dan laut.
d. Kawasan Pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu berdasarkan karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
e. Perikanan Berkelanjutan adalah semua proses upaya (seperti penangkapan dan pembudidayaan ikan) pengambilan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya ikan secara terencana dan hati-hati dengan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan (keberlanjutan) sumber daya tersebut agar tetap tersedia bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
f. Pengamanan dan Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan disekitar kawasan konservasi, baik secara tetap maupun sementara, dengan tujuan memelihara keamanan serta mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan, hukum dan perUndang-Undang an serta bentuk-bentuk tindak pidana lainnya.
g. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Laut adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antar sektor, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan, dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
h. Masyarakat adalah masyarakat pesisir yang bermukim di sekitar kawasan konservasi dan mata pencahariannya tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang merupakan komunitas nelayan, pembudidaya ikan dan bukan nelayan.
Pasal 2
Menunjuk Kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Berau sebagai Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau sebagaimana peta terlampir.
Pasal 3
Kawasan Konservasi Laut dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. kegiatan perikanan berkelanjutan, b. wisata bahari,
87COREMAP II ADB
c. penelitian dan pengembangan, d. pengembangan sosial ekonomi masyarakat, e. pemanfaatan sumberdaya laut lainnya secara lestari.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN ASAS KONSERVASI LAUT
Pasal 4
Kawasan Konservasi Laut mencakup fungsi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
Pasal 5
Konservasi Laut dilakukan berdasarkan asas manfaat, keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan dan berbasis masyarakat.
BAB III
PRINSIP KONSERVASI LAUT
Pasal 6
Konservasi laut dilakukan dengan prinsip: (1) pencegahan tangkap lebih, (2) penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4) pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6) pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah
lingkungan, (7) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang
dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan, (11) pengelolaan adaptif.
BAB IV
CAKUPAN BATAS KAWASAN KONSERVASI LAUT
Pasal 7
(1) Batas KKL di wilayah laut ditetapkan mengikuti pengukuran laut territorial Indonesia sejauh 4 mil yang diukur dari garis pangkal pulau-pulau terluar dalam wilayah Kabupaten Berau, sesuai dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004.
(2) Batas KKL di wilayah pesisir ditetapkan sesuai dengan batas kawasan lindung hutan mangrove berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
88 Panduan Pengembangan Marine Management Area
Kabupaten Berau, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004.
(3) Apabila terjadi perubahan batas KKL diluar 4 mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), akan ditetapkan kemudian berdasar kesepakatan dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur.
BAB V
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
Pasal 8
1) Penunjukan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau direalisasikan dalam bentuk penataan batas.
2) Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut dilakukan melalui kegiatan: a. Identifikasi, inventarisasi, dan monitoring potensi sumber hayati
dan lingkungan sumber daya hayati, b. upaya pengelolaan meliputi pengawasan dan pengendalian,
pengelolaan habitat dan populasi, penelitian dan pendidikan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, serta pengembangan sosial ekonomi masyarakat,
c. keterpaduan antara pemanfataan ruang daratan dan lautan, d. monitoring dan evaluasi.
3) Penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Berau dengan melibatkan para pihak terkait.
4) Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut akan dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Berau
Pasal 9
(1) Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
(2) Pengelolaan KKL dikonsultasikan dengan pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat
Pasal 10
Pengamanan dan pengawasan KKL Kabupaten Berau dilakukan dinas/instansi terkait dan masyarakat setempat.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 11
Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya peraturan ini dibebankan kepada APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten Berau serta sumber-
89COREMAP II ADB
sumber pendanaan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Berita Daerah Kabupaten Berau. Ditetapkan di Tanjung Redeb pada tanggal, 27 Desember 2005 BUPATI BERAU Diundangkan di Tanjung Redeb DRS.MAKMUR HAPK pada tanggal, 27 Desember 2005.. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BERAU H. IBNU SINA ASYARI LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN 2005
90 Panduan Pengembangan Marine Management Area
LAMPIRAN: PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR: 31TAHUN 2005
TENTANG: KAWASAN KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU
Keterangan : Koordinat Batas KKL ke rah darat dan laut terlampir dalam Peraturan Bupati No.31 Tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau
91COREMAP II ADB