budidaya dan teknologi pascapanen jahe

120
Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe Hapsoh Yaya Hasanah Elisa Julianti 2010

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

i

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Hapsoh

Yaya Hasanah Elisa Julianti

2010

Page 2: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

ii

USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F, Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id Terbitan Pertama 2008 © USU Press 2010 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 979 458 369 3 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hapsoh Budidaya dan teknologi pascapanen jahe / Hapsoh, Yaya Hasanah, dan Elisa Julianti. –

Medan: USU Press, 2010. viii, 112 p. ; ilus. ; 28 cm. Bibliografi, Indeks ISBN: 979-458-369-3 1. Budidaya tanaman I. Hasanah, Yaya II. Julianti, Elisa III. Judul 633.83 ddc22

Dicetak di Medan, Indonesia

Page 3: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

iii

PRAKATA

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan tanaman rempah dan obat yang bernilai ekonomi tinggi. Rimpang jahe memiliki multiguna sebagai minuman penghangat, bumbu dapur, penambah rasa, bahan baku obat tradisional bahkan pestisida alami. Sebagian besar produk jahe diekspor ke luar negeri dalam bentuk segar, kering, jahe bubuk, awetan jahe dan hasil olahan jahe seperti minyak atsiri dan oleoresin. Ekspor komoditas jahe Indonesia mengalami penurunan sejak 1994 hingga sekarang. Salah satu penyebab penurunan ekspor jahe adalah rendahnya produktivitas dan mutu karena tidak tersedianya benih unggul bermutu serta rentannya terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama penyakit layu bakteri karena Ralstonia solanacearum. Khalayak pengguna buku ini adalah kalangan dosen pertanian dengan tujuan untuk memperkaya wawasan ilmiah dalam mata kuliah Tanaman Obat dan Tanaman Rempah serta Pangan Fungsional, kalangan mahasiswa pertanian dengan tujuan memperkaya sarana belajar dan pemahaman ilmu dalam mata kuliah Tanaman Rempah dan Obat serta Pangan Fungsional, petani jahe sebagai bahan acuan dalam teknik budidaya jahe sistem keranjang, para praktisi maupun khalayak pembaca umum yang memiliki ketertarikan dalam dunia pertanian khususnya budidaya jahe. Struktur buku ini terdiri atas bab-bab yang mengupas tanaman jahe secara keseluruhan dimulai dari sejarah singkat tanaman jahe, manfaat tanaman jahe, syarat tumbuh tanaman jahe, budidaya jahe secara umum, budidaya jahe sistem keranjang, prospek budidaya jahe sistem keranjang, hingga permasalahan budidaya jahe sistem keranjang. Setiap bab dilengkapi dengan tujuan intruksional yang akan memandu pembaca mengenai arah tujuan pada setiap bab. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pengguna dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai budidaya jahe secara umum dan budidaya jahe sistem keranjang serta teknologi pascapanennya sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan ekspor komoditas jahe Indonesia yang akhir-akhir ini semakin menurun.

Medan, Agustus 2008 Penulis

Page 4: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

iv

DAFTAR ISI

Halaman Prakata iii Daftar Isi iv Daftar Tabel vi Daftar Gambar viii BAB I. SEJARAH SINGKAT TANAMAN JAHE

- Pendahuluan - Asal Usul dan Penyebaran Tanaman Jahe - Nama Daerah Tanaman Jahe - Nama Asing Tanaman Jahe - Klasifikasi Tanaman Jahe - Deskripsi Tanaman Jahe - Jenis Tanaman Jahe

1 1 1 2 2 2 3 3

BAB II. MANFAAT TANAMAN JAHE - Kandungan Senyawa Kimia pada Jahe - Manfaat Jahe dalam Makanan dan Minuman - Efek Farmakologis Jahe

11 12 13 14

BAB III. SYARAT TUMBUH TANAMAN JAHE - Keadaaan Iklim dan Tanah - Lingkungan Biotik (Fisik)

20 20 23

BAB IV. BUDIDAYA JAHE SECARA UMUM - Pembibitan - Persiapan Lahan - Teknik Penanaman Jahe - Pemberian Mulsa - Pemeliharaan Tanaman - Pengendalian Hama dan Penyakit

24 24 26 30 32 32 36

BAB V. BUDIDAYA JAHE SISTEM KERANJANG - Pembibitan - Persiapan Lahan - Persiapan Media Tanam Jahe Sistem Keranjang - Penanaman Jahe Sistem Keranjang - Pemeliharaan - Pembumbunan dan Penambahan Media Tanam - Pengairan (Penyiraman) - Pengendalian Hama dan Penyakit - Pemupukan

41 41 41 43 46 46 47 48 48 50

Page 5: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

v

BAB VI. PANEN DAN PASCAPANEN JAHE - Panen - Penanganan Pascapanen - Standar Mutu Jahe - Pengujian Mutu Jahe - Pengambilan Contoh - Petugas Pengambil Contoh

57 57 59 61 62 64 64

BAB VII. PENGOLAHAN JAHE - Jahe Kering - Simplisia Jahe - Bubuk Jahe - Jahe Awet atau Jahe Olahan - Minyak Atsiri Jahe - Oleoresin Jahe - Manisan Jahe - Jahe Kristal - Sirup Jahe - Jahe Instant - Formulasi Ekstrak Jahe - Anggur Jahe

65 65 68 77 77 79 83 84 87 87 88 89 89

BAB VIII. PROSPEK BUDIDAYA JAHE

- Analisa Ekonomi Budidaya Jahe - Peluang Agribisnis - Pembuatan Kompos

91 92 94 96

Daftar Pustaka Glosarium Indeks

100 108 110

Page 6: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

vi

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Nomor-Nomor Koleksi Jahe Hasil Eksplorasi dan Koleksi dari

Beberapa Daerah Sebelum Tahun 1997 6

2. Nomor-Nomor Jahe Hasil Eksplorasi dan Pengumpulan Mulai Tahun 1997

7

3. Keragaan Sifat Morfologi, Hasil dan Mutu Tiga Tipe Jahe 8 4. Penampilan Hasil Rerata Bobot dan Tinggi Rimpang Tiga Jenis Tipe

Jahe pada Berbagai Lokasi dengan Ketinggian Berbeda 9

5. Rerata Bobot Rimpang per Rumpun 18 Nomor Jahe pada Beberapa Lokasi

10

6. Bahan Aktif dan Efek Farmakologis Jahe Merah 19 7. Persentase Daya Tumbuh Bibit Jahe pada Pertanaman I dan II 22 8. Pertumbuhan dan Produksi Jahe (3.5 Bulan Setelah Tanam) pada Media

Humus dan Pupuk Kandang 28

9. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Bobot Rimpang Kering per Rumpun dan per Ha

28

10. Rerata Bobot Rimpang Jahe Basah dengan Perlakuan Pemberian Dolomit dan Waktu Pemberian Dolomit

29

11. Pengaruh Jarak Tanam Jahe Badak dengan Berbagai Variasi Jarak Tanam

31

12. Dosis Kebutuhan Pupuk Selama Satu Musim Jahe 34 13. Produksi Rimpang Jahe Sunti pada Umur 150 dan 180 Hari bila

Dipupuk Urea 34

14. Bobot Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Penambahan Pupuk NPK (15-15-15)

35

15. Bobot Rimpang Jahe dengan Kombinasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Umur 16 Minggu

35

16. Bobot Rimpang Jahe Akibat Pemberian Pupuk NHS 36 17. Jumlah Telur yang Ditemukan pada Tanaman Sehat dan Tanaman Sakit

di Lapangan 36

18. Serangan Lalat M. coeruleifrons pada Tanaman Jahe yang Diinokulasi dan Tanpa Dikurung

37

19. Rerata Larva dan Pupa M. coeruleifrons pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pola Tanam Jahe

37

20. Pengaruh Abu Sekam dan Masa Inkubasi dan Intensitas Layu Fusarium 37 21. Kategori Ketahanan Tanaman Jahe terhadap Penyakit Layu Bakteri 38 22. Daya Antagonis Mikroba Rizosfer Hasil Isolat dari Pertanaman Jahe di

Lahan Terinfeksi 39

23. Daya Patogenitas Mikroba Rizosfer Hasil terhadap Rimpang Jahe 39 24. Pengaruh Pemberian Mikroba Rizosfer Antagonis terhadap

Pertumbuhan dan Penghambatan Penyakit Layu Bakteri 40

25. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Indeks Panen 45 26. Bobot Segar Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Perlakuan Pemberian

Bahan Organik pada Tanah PMK 45

Page 7: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

vii

27. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Basah per Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam

51

28. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Kering per Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam

51

29. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan Jahe (Zingiber officinale) di Keranjang

52

30. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Bobot Segar Akar, Batang, Daun, Rimpang dan Diameter Rimpang Jahe

54

31. Kesehatan Jahe pada Umur 3 Bulan Setelah Tanam pada Berbagai Pemberian Bahan Organik

56

32. Rataan Bobot Rimpang dari Perlakuan Pupuk Organik dan Media Tanam 56 33. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe

Emprit pada Berbagai Umur Panen 57

34. Syarat Umum Standar Mutu Jahe 61 35. Spesifikasi Persyaratan Mutu Benih (Rimpang) yang Siap Tanam (SNI

01-7153-2006) 62

36. Persyaratan Khusus Mutu Benih Jahe (SNI 01-7153-2006) 62 37. Syarat Mutu Jahe Kering (SNI 01-3393-1994) 68 38. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Merah

yang Dikeringkan secara Kemoreaksi 71

39. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Gajah yang Dikeringkan secara Kemoreaksi

71

40. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi

71

41. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah

73

42. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Gajah

74

43. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Emprit

74

44. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi dengan Perbandingan antara Kapur Api dan Jahe 3 : 1

74

45. Spesifikasi Persyaratan Umum Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005) 75 46. Standar Mutu Simplisia Jahe 76 47. Spesifikasi Persyaratan Khusus Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005) 76 48. Persyaratan Mutu Jahe Berdasarkan Permintaan Pembeli di Australia 79 49. Standar Mutu Minyak Atsiri Jahe 82 50. Produksi Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999-2003 92 51. Analisis Usahatani Budidaya Jahe Sistem Keranjang 93 52. Jenis Biofarmaka yang Dominan Dipasok Negara Industri Farmasi 94 53. Kebutuhan Industri Obat Tradisional Akan Berbagai Jenis Biofarmaka 95 54. Nilai Ekspor Jahe Dunia dan Ekspor 10 Negara Pesaing Tahun 2000 96 55 Analisis Biaya Pembuatan Kompos 97 56 Analisis Kelayakan Usaha Kompos Selama 3 Tahun 98

Page 8: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Rimpang Jahe Gajah 4 2. Rimpang Jahe Merah 4 3. Komponen Non Volatile pada Jahe 13 4. Pembersihan Rimpang Jahe untuk Bakal Bibit 25 5. Rimpang Jahe Ditiriskan Setelah Dicuci Bersih 25 6. Rimpang Jahe Direndam Setelah Dicuci dalam Larutan Fungisida 25 7. Penutupan Rimpang Jahe di Pesemaian 26 8. Tanaman Jahe Umur 2 Bulan yang Diberi Naungan Tanaman Ubi Kayu 42 9. Penggunaan Keranjang dengan Anyaman Bambu Jarang 43

10. Penggunaan Keranjang dengan Anyaman Bambu Rapat 43 11. Alternatif Lain Budidaya Jahe Sistem Keranjang 44 12. Bibit Jahe Siap untuk Ditanam 46 13. Awal Gejala Penyakit Bercak Daun 49 14. Perluasan Gejala Penyakit Bercak Daun, Daun Mulai Menguning 49 15. Alat Pengering Tenaga Surya Model AIT 67 16. Diagram Alir Proses Pengolahan Simplisia Jahe 70 17 Alat Perajang Jahe 72

Page 9: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 1

BAB I SEJARAH SINGKAT TANAMAN JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan asal usul dan penyebaran tanaman, nama daerah dan

nama asing, klasifikasi, deskripsi dan jenis-jenis tanaman jahe. Pendahuluan Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu dari temu-temuan suku Zingiberaceae yang menempati posisi sangat penting dalam perekonomian masyarakat Indonesia. Jahe berperan penting dalam berbagai aspek berupa kegunaan, perdagangan, kehidupan, adat kebiasaan, kepercayaan dalam masyarakat bangsa Indonesia yang sifatnya majemuk dan terpencar-pencar. Jahe juga termasuk komoditas yang sudah ribuan tahun digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang diperdagangkan secara luas di dunia ini. Walaupun tidak terlalu menyolok, penggunaan komoditas jahe berkembang dari waktu ke waktu, baik itu mengenai jumlah, variasi, kegunaan maupun mengenai nilai ekonominya. Asal Usul dan Penyebaran Tanaman Jahe Jahe merupakan tanaman obat dan rempah berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan merupakan rimpang dari tanaman bernama ilmiah Zingiber officinale Rosc. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional. Tanaman jahe di dunia tersebar di daerah tropis, di benua Asia dan Kepulauan Pasifik. Akhir-akhir ini jahe dikembangkan di Jamaica, Brazil, Hawai,Afrika, India, China dan Jepang, Filipina, Australia, Selandia Baru, Thailand dan Indonesia. Jahe tumbuh di Indonesia ditemukan di semua wilayah Indonesia yang ditanam secara monokultur dan polikultur (Hasanah, et al., 2004) Dalam dunia perdagangan, penamaan jahe didasarkan kepada daerah asalnya, misal jahe Afrika, jahe Chochin atau jahe Jamika. Sejak 250 tahun yang lalu, jahe di Cina sudah digunakan sebagai bumbu dapur dan obat. Di Malaysia, Filipina, dan Indonesia jahe banyak digunakan sebagai obat tradisional. Sedangkan di Eropa pada abad pertengahan, jahe digunakan sebagai aroma pada bir (Hardianto, 2005). Daerah utama produsen jahe di Indonesia adalah Jawa Barat (Sukabumi, Sumedang, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis dan Subang), Banten (Lebak dan Pandeglang), Jawa

Page 10: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

2 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tengah (Magelang, Boyolali, Salatiga), Jawa Timur (Malang Probolinggo, Pacitan), Sumatera Utara (Simalungun), Bengkulu dan lain-lain (Hasanah, et. al, 2004). Nama Daerah Tanaman Jahe Sumatera : halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Batak Karo), pege (Toba), sipode

(Mandailing), lahia (Nias), alia jae (Melayu), sipadeh (Minangkabau), pege (Lubu), jahi (Lampung).

Jawa : Jahe (Sunda), jae (Jawa), jhai (Madura), jae (Kangean) Bali : jae, jahya, lahya, ciplakan Kalimantan : lai (Dayak) Nusa Tenggara : reja (Bima), alia (Sumba), lea (Flores) Sulawesi : luya (Mongondow), moyuman (Boros), melito (Gorontalo), yuyo

(Buol), kuya (Baree), goraka (Manado), pase (Bugis) Maluku : Laiasehi, sehi (Hila), sehil (Nusa laut), siwei (Buru), geraka (Ternate),

gora (Tidore), laian (Aru), leya (Arafuru), pusu, seeia, sehi (Ambon), hairalo (Amahai.

Papua : lali (Kalana Fat), Marman (Kapaaur) Nama Asing Tanaman Jahe Halia, haliya padi, haliya udang (Malaysia) ; luya, allam (Filipina) ; adu, ale, ada (India) ; sanyabil (Arab) ; chiang p’I, khan ciang, kiang, sheng chiang (Cina), gember (Belanda) ; ginger (Inggris) ; gingembre, herbe au giingembre (Perancis). Keanekaragaman nama tanaman jahe menunjukkan bahwa penyebaran jahe telah meluas ke berbagai belahan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa telah banyak orang yang mengetahui dan menggunakan jahe sejak zaman dahulu. Klasifikasi Tanaman Jahe Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Species : Zingiber officinale Rosc. Famili Zingiberaceae terdapat di sepanjang daerah tropis dan sub tropis terdiri atas 47 genera dan 1.400 species. Genus Zingiber meliputi 80 species yang salah satu diantaranya adalah jahe yang merupakan species paling penting dan paling banyak manfaatnya.

Page 11: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 3

Nama Zingiber berasal dari bahasa Sansekerta ”Singeberi”. Kata ”Singeberi” dalam Bahasa Sansekerta itu berasal dari Bahasa Arab ”Zanzabil” atau Bahasa Yunani ”Zingiberi”. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), se-famili dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Curcuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga) dan lain-lain. Deskripsi Tanaman Jahe Tanaman jahe tergolong terna berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 m, rimpang bila dipotong berwarna kuning atau jingga. Rimpang jahe berkulit agak tebal membungkus daging umbi yang berserat dan berwarna coklat beraroma khas. Bentuk daun bulat panjang dan tidak lebar (sempit). Berdaun tunggal, berbentuk lanset dengan panjang 15 – 23 mm, lebar 8 – 15 mm; tangkai daun berbulu, panjang 2 – 4 mm; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5 – 10 mm, dan tidak berbulu; seludang agak berbulu. Perbungaan berupa malai tersembul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bundar telur yang sempit, 2,75 – 3 kali lebarnya, sangat tajam; panjang malai 3,5 – 5 cm, lebar 1,5 – 1,75 cm; gagang bunga hampir tidak berbulu, panjang 25 cm, rahis berbulu jarang; sisik pada gagang terdapat 5 – 7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat, hampir tidak berbulu, panjang sisik 3 – 5 cm. Bunga memiliki 2 kelamin dengan 1 benang sari dan 3 putik bunga daun pelindung berbentuk bundar telur terbalik, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah, panjang 2,5 cm, lebar 1 – 1,75 cm; mahkota bunga berbentuk tabung 2 – 2,5 cm, helainya agak sempit, berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 – 2,5 mm, lebar 3 – 3,5 mm, bibir berwarna ungu, gelap, berbintik-bintik berwarna putih kekuningan, panjang 12 – 15 mm; kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm; tangkai putik ada 2. Jenis Tanaman Jahe Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya dikenal 3 jenis jahe yaitu jahe putih/ kuning besar atau sering disebut jahe gajah, jahe putih kecil/jahe emprit dan jahe merah. Berikut dijelaskan gambaran umum ketiga jenis jahe tersebut. 1. Jahe putih/kuning besar/jahe gajah/jahe badak Varietas jahe ini banyak ditanam di masyarakat dan dikenal dengan nama Zingiber officinale var. officinale. Batang jahe gajah berbentuk bulat, berwarna hijau muda, diselubungi pelepah daun, sehingga agak keras. Tinggi tanaman 55.88-88,38 cm. Daun tersusun secara berselang-seling dan teratur, permukaan daun bagian atas berwarna hijau muda jika dibandingkan dengan bagian bawah. Luas daun 24.87-27.52 cm2 dengan ukuran panjang 17.42-21.99 cm, lebar 2.00-2.45 cm, lebar tajuk antara 41.05-53.81 cm dan jumlah daun dalam satu tanaman mencapai 25-31 lembar. Ukuran rimpangnya lebih besar dan gemuk jika dibandingkan jenis jahe lainnya. Jika diiris rimpang berwarna putih kekuningan. Berat rimpang berkisar 0.18-1.04 kg dengan panjang 15.83-32.75 cm, ukuran tinggi 6.02-12.24 cm. Ruas rimpangnya lebih menggembung dari

Page 12: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

4 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan. Akar jahe gajah ini memiliki serat yang sedikit lembut dengan kisaran panjang akar 4.53-6.30 cm dan diameter mencapai kisaran 4.53-6.30 mm. Rimpang memiliki aroma yang kurang tajam dan rasanya kurang pedas. Kandungan minyak atsiri pada jahe gajah 0.82-1.66%, kadar pati 55.10%, kadar serat 6.89% dan kadar abu 6.6-7,5%. Jahe gajah diperdagangkan sebagai rimpang segar setelah dipanen pada umur 8-9 bulan. Rimpang tua ini padat berisi. Ukuran rimpangnya 150-200 gram/rumpun. Ruasnya utuh; daging rimpangnya cerah; bebas luka dan bersih dari batang semu, akar, serangga tanah dan kotoran yang melekat.

Gambar 1. Rimpang Jahe Gajah Gambar 2. Rimpang Jahe Merah 2. Jahe putih/kuning kecil/jahe sunti/jahe emprit Jahe ini dikenal dengan nama Latin Zingiber officinale var. rubrum, memiliki rimpang dengan bobot berkisar antara 0.5-0.7 kg/rumpun. Struktur rimpang kecil-kecil dan berlapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpangnya dapat mencapai 11 cm dengan panjang antara 6-30 cm dan diameter antara 3.27-4.05 cm. Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Akar yang keluar dari rimpang berbentuk bulat. Panjang dapat mencapai 26 cm dan diameternya berkisar antara 3.91-5.90 cm. Akar yang banyak dikumpulkan dari satu rumpun dapat mencapai 70 g lebih banyak dari akar jahe besar. Tinggi tanaman jika diukur dari permukaan tanah sekitar 40-60 cm sedikit lebih pendek dari jahe besar. Bentuk batang bulat dan warna batang hijau muda hampir sama dengan jahe besar, hanya penampilannya lebih ramping dan jumlah batangnya lebih banyak. Kedudukan daunnya berselang seling dengan teratur. Warna daun hijau muda dan berbentuk lancet. Jumlah daun dalam satu batang 20-30 helai. Panjang daun dapat mencapai 20 cm dengan lebar daun rerata 25 cm.

Page 13: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 5

Kandungan dalam rimpang jahe emprit yaitu minyak atsiri 1,5-3,5%, kadar pati 54,70%, kadar serat 6,59% dan kadar abu 7,39-8,90%. Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya. 3. Jahe merah atau jahe sunti Jahe merah/jahe sunti (Zingiber officinale var. amarum) memiliki rimpang dengan bobot antara 0.5-0.7 kg/rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapis-lapis dan daging rimpangnya berwarna merah jingga sampai merah, ukuran lebih kecil dari jahe kecil. Diameter rimpang dapat mencapai 4 cm dan tingginya antara 5,26-10,40 cm. Panjang rimpang dapat mencapai 12.50 cm. Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan. Akar yang keluar dari rimpang berbentuk bulat, berdiameter antara 2,9-5,71 cm dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Akar yang dikumpulkan dalam satu rumpun jahe merah dapat mencapai 300 gram, jauh lebih banyak dari jahe gajah dan jahe emprit. Susunan daun terletak berselang-seling teratur, berbentuk lancet dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Panjang daun dapat mencapai 25 cm dengan lebar antara 27-31 cm. Kandungan dalam rimpang jahe merah antara lain minyak atsiri 2,58-3,90%, kadar pati 44,99%, dan kadar abu 7,46%. Jahe merah memiliki kegunaan yang paling banyak jika dibandingkan jenis jahe yang lain. Jahe ini merupakan bahan penting dalam industri jamu tradisional dan umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan kering. Bermawie et al., (2003) melakukan eksplorasi dan pengumpulan plasma nutfah jahe berbagai tipe/keragaman yang ada di alam, terutama ras-ras lokal dari daerah pusat keragaman maupun sentra produksi. Sampai tahun 1996 telah terkumpul 44 nomor koleksi dari berbagai tipe (Tabel 1) yang sebagian besar berasal dari pengumpulan oleh donor/curator. Namun sebagian besar nomor-nomor tersebut akhirnya hilang atau mati diantaranya akibat kurangnya pemeliharaan dan serangan penyakit bakteri layu. Pada tahun 1997 kemudian dilakukan kembali eksplorasi ke daerah sentra utama di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta pengumpulan informal oleh peneliti yang dinas ke daerah sehingga terkumpul 16 nomor jahe putih besar, 16 nomor jahe putih kecil dan 4 nomor jahe merah (Tabel 2).

Page 14: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

6 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 1. Nomor-Nomor Koleksi Jahe Hasil Eksplorasi dan Koleksi dari Beberapa Daerah Sebelum Tahun 1997

No. Nomor koleksi Nama lokal/daerah Daerah asal

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

001

002

003

004

005

006

007

008

009

010

011

012

013

014

015

016

017

018

019

020

021

022

023

024

025

026

027

028

029

030

031

032

033

034

035

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe besar

Jahe besar

Jahe besar

Jahe besar

Jahe merah kecil

Jahe merah besar

Jahe merah

Jahe merah

Jahe merah

Jahe merah

Jahe merah

Jahe merah

Jahe besar

Jahe badak

Jahe badak

Jahe badak purba

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe kecil

Jahe putih

Jahe kapur

Jahe gajah

Jahe merah

Jahe kecil

Jahe badak

Jahe modoidang

Jahe putih

Cianjur, Jawa Barat

Cianjur, Jawa Barat

Bogor, Jawa Barat

Bitung

Ternate Maluku

Bacan, Maluku

Ambon, Maluku

Cireundeu, Jawa Barat

Bogor, Jawa Barat

Cianjur, Jawa Barat

Sukabumi, Jawa Barat

Bengkulu

Bitung

Modoidang, Sulut

Cicurug, Jawa Barat

Bogor, Jawa Barat

Jasinga, Jawa Barat

Ternate, Maluku

Kota Bumi, Lampung

Ambon, Maluku

Cipanas, Jawa Barat

Malang, Jawa Timur

Simalungun, Sumut

Simalungun, Sumut

Cipanas, Jawa Barat

Ambon, Maluku

Bengkulu

India

Jawa Tengah

Jawa Tengah

Cireundeu, Jawa Barat

Pasir Madang, Jawa Barat

Pasir Madang, Jawa Barat

Minahasa, Sulut

Bitung

Sumber: Bermawie et al., 2003.

Page 15: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 7

Tabel 2. Nomor-Nomor Jahe Hasil Eksplorasi dan Pengumpulan Mulai Tahun 1997

No. Tipe jahe Lokasi Jumlah aksesi

Inisial Kurator

1.

2.

3.

Jahe putih besar

Jahe putih kecil

Jahe merah

Garut

Cianjur

Sukabumi

Boyolali

Salatiga

Majalengka

Sumedang

Rejang Lebong

Garut

Cianjur

Sukabumi

Boyolali

Salatiga

Majalengka

Sumedang

Karang Anyar

Cianjur

Sukabumi

Magelang

Bantul

2

1

3

2

2

3

2

1

4

1

1

2

2

4

1

1

1

1

1

1

NB, NA

NB, NA

HD, NB

NB, BM, HD

NB, BM, HD

HD, SKM, NB, NA

HD, NB, SF

NB, NA, HM

NB, NA

NB, NA

HD, NB

NB, BM, HD

NB, BM, HD

HD, SKM, NB, NA

HD, NB, SF

NB, NA, HM

HD, NB, NA

HD, NB, NA

SKM, NB, NA, HM

NB, NA, HM

Sumber: Bermawie et al., 2003 Lebih lanjut Bermawie et al., (2003) mengemukakan agar plasma nutfah dapat dimanfaatkan secara optimal, perlu dilakukan pembuatan klasifikasi koleksi kerja, identifikasi sumber/donor sifat-sifat penting, memperbesar keragaman genetik untuk sifat-sifat tertentu, memperbesar keragaman sifat agronomis pada populasi yang digunakan, mempelajari biologi bunga dan sistem penyerbukan dari koleksi yang akan digunakan, mempelajari kesesuaian persilangan intra dan antar disiplin, misalnya untuk evaluasi ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Karakterisasi nomor aksesi plasma nutfah dari tiga tipe jahe utama meliputi sifat morfologi, komponen hasil dan mutu (Tabel 3, 4 dan 5).

Page 16: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

8 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 3. Keragaan Sifat Morfologi, Hasil, dan Mutu Tiga Tipe Jahe

No. Bagian tanaman Jahe besar Jahe kecil Jahe merah

1.

2.

3.

4.

5.

Rimpang

Struktur

Warna (irisan)

Bobot/rumpun (kg)

Diameter (cm)

Tinggi (cm)

Panjang (cm)

Akar

Diameter (cm)

Panjang (cm)

Bobot (kg)

Bentuk

Batang

Tinggi (cm)

Jumlah

Warna

Bentuk

Sifat

Daun

Kedudukan

Jumlah

Panjang (cm)

Lebar (mm)

Luas (mm)

Warna

Bentuk

Mutu

Kadar atsiri (%)

Kadar pati (%)

Kadar serat (%)

Kadar abu (%)

Kadar air (%)

Kadar sari dalam air

Kadar sari dalam etanol

Besar berlapis

Putih kekuningan-

putih kebiruan

0,18-2,08

8,47-8,50

6,20-11,30

15,83-32,75

4,22-5,83

9,43-24,80

0,02-0,03

Bulat

55,88-81,38

8,60-10,30

Hijau muda

Bulat

Agak keras

Berselang-seling

Teratur

24,01-30,99

17,42-21,99

20,00-35,50

24,87-27,52

Hijau muda

Lanset

0,82-3,25

39,39-55,10

6,44-9,57

3,40-4,80

6,40-11,42

19,2-27,4

11,9-15,1

Kecil berlapis

Putih kekuningan

-putih kebiruan

0,10-1,58

3,27-4,05

6,38-11,10

6,13-31,70

3,91-5,90

15,35-26,20

0,02-0,07

Bulat

41,87-56,45

14,80-32,70

Hijau muda

Bulat

Agak keras

Berselang-seling

Teratur

20,37-29,03

17,45-19,79

22,40-32,60

14,36-20,50

Hijau muda

Lanset

1,50-3,50

40,63-54,70

5,92-9,28

3,30-5,45

7,39-11,95

18,1-28,9

9,9-20,7

Kecil berlapis

Jingga muda

sampai merah

0,20-1,40

4,20-4,26

5,26-10,40

12,33-12,60

2,49-5,71

17,03-39,23

0,07-0,34

Bulat

34,18-62,28

13,76-17,53

Hijau kemerahan

Bulat kecil

Agak keras

Berselang-seling

Teratur

20,10

24,30-24,79

27,90-31,18

32,55-51,18

Hijau muda

Lanset

2,58-3,90

44,99

7,1-7,6

6,1-7,0

12,0

18,2-18,9

9,6-11,0

Sumber: Rostiana et al.,(2005); Bermawie et al., (2003)

Page 17: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 9

Tabel 4. Penampilan Hasil Rerata Bobot dan Tinggi Rimpang Tiga Jenis Tipe Jahe pada Berbagai Lokasi dengan Ketinggian Berbeda

Tipe jahe/lokasi Bobot rimpang/rumpun (g) Tinggi rimpang (cm)

Jahe putih besar

Cikampek (85 m dpl)

Cimanggu (240 m dpl)

Sukamulya (450 m dpl)

Cicurug (650 m dpl)

Manoko (1000 m dpl)

Gunung Putri (1200 m dpl)

Jahe putih kecil

Cikampek (85 m dpl)

Cimanggu (240 m dpl)

Sukamulya (450 m dpl)

Cicurug (650 m dpl)

Manoko (1000 m dpl)

Gunung Putri (1200 m dpl)

Jahe merah

Cikampek (85 m dpl)

Cimanggu (240 m dpl)

Sukamulya (450 m dpl)

Cicurug (650 m dpl)

Manoko (1000 m dpl)

Gunung Putri (1200 m dpl)

1080

670

905

908

209

180

780

440

740

1580

100

110

490

490

1400

1170

200

290

9,53

11,10

11,30

11,30

6,26

6,20

9,52

9,57

9,73

11,10

6,38

7,89

7,62

10,60

10,40

7,03

5,26

5,89

Sumber: Taryono et al. (1992) dalam Bermawie et al., (2003)

Page 18: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

10 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 5. Rerata Bobot Rimpang per Rumpun 18 Nomor Jahe pada Beberapa Lokasi

Asesi Minimum (g) Maximum (g) Rerata (g) Jahe putih besar

JPB1

JPB2

JPB3

JPB4

JPB5

JPB6

325

223

128

203

248

210

2100

1517

1470

1158

1547

1350

592,7

575,7

537,6

544,4

596,9

520,8

Jahe merah JM1

JM2

223

197

1138

791

412,9

371,9

Jahe putih kecil JPK1

JPK2

JPK3

JPK4

JPK5

JPK6

JPK7

JPK8

JPK9

JPK10

83

100

117

50

108

83

83

133

217

117

850

583

1333

700

700

733

850

817

800

812

372,4

305,3

333,2

402,5

413,5

336,7

253,0

370,3

437,9

398,3

Keterangan: JPB 13 lokasi, JPK 8 lokasi (kecuali JPK3 dan JPK7-3 lokasi) dan JM 3 lokasi Sumber: Bermawie et al., 1999;2000;2001;2002, Hadad, 2000 dalam Bermawie et al., (2003) Bermawie et al., (2003) menyimpulkan program perbaikan varietas melalui pemuliaan terbentur pada rendahnya keragaman genetik jahe. Upaya peningkatan keragaman genetik melalui eksplorasi ke berbagai daerah menghasilkan 44 nomor aksesi, namun nomor tersebut hilang akibat kurang rutinnya rejuvensi dan serangan penyakit layu bakteri. Eksplorasi lanjutan menghasilkan 36 nomor, diantaranya terpilih sebagai nomor harapan yang merupakan bahan untuk menghasilkan varietas unggul. Analisa keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar aksesi plasma nutfah berdasarkan sifat morfologi dan mutu menggolongkan jahe kedalam tiga tipe utama, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah. Analisa keragaman menggunakan marka molekuler AFLP menghasilkan keragaman genetik jahe sangat rendah dengan indeks keragaman 0,22. Jahe putih kecil memiliki keragaman genetik yang lebih luas (0,26) dari pada jahe putih besar (0,08). Pembagian jahe ke dalam tiga kelompok berdasarkan analisa molekuler tidak begitu tegas, tidak sejalan dengan pembagian berdasarkan sifat ukuran dan warna rimpang.

Page 19: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 11

BAB II MANFAAT TANAMAN JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan manfaat tanaman jahe dari segi makanan, minuman dan efek farmakologi.

Jahe merupakan salah satu tanaman obat komersial yang sudah banyak dikenal masyarakat karena banyak manfaatnya. Manfaat jahe yang sudah dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat baik di Indonesia maupun di negara-negara lain adalah sebagai obat gosok untuk penyakit encok, obat gosok untuk sakit kepala, bahan obat, bumbu masak, penyedap, minuman penyegar, manisan, penghangat badan, menghilangkan flu, masuk angin, mengatasi keracunan, mengatasi lemah syahwat, antioksidan, antimikroba dan antitusif. Sebagian besar kepercayaan masyarakat terhadap khasiat jahe ini sudah dapat dibuktikan secara ilmiah. Penggunaan rimpang jahe tergantung pada klon (jenisnya). Jahe putih besar (gajah/badak) mempunyai rasa yang tidak terlalu pedas, dan umumnya digunakan sebagai bahan makanan seperti manisan, asinan atau minuman segar. Jahe putih kecil (jahe emprit) mempunyai rasa yang lebih pedas, umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri dan pembuatan oleoresin sedangkan bubuknya dimanfaatkan dalam ramuan obat tradisional (jamu). Jahe merah (jahe sunti) mempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi (Yuliani et al, 1991) dan banyak digunakan sebagai obat tradisional, tetapi di Sulawesi dan Maluku klon ini justru digunakan sebagai bumbu masak. Jahe merupakan tanaman multiguna. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai minuman (bandrek, sekoteng, dan sirup). Jahe juga dapat digunakan pada industri obat, minyak wangi, industri jamu tradisional, diolah menjadi asinan jahe, dibuat acar dan lalap. Bahkan dewasa ini para petani cabe menggunakan jahe sebagai pestisida alami. Dalam perdagangan jahe dijual dalam bentuk segar, kering, jahe bubuk, awetan jahe atau dikemas dalam bentuk kapsul yang mengandung 500 mg serbuk jahe atau dalam bentuk kristal jahe. Disamping itu terdapat hasil olahan jahe seperti: minyak atsiri dan oleoresin yang diperoleh dengan cara penyulingan yang berguna sebagai bahan pencampur dalam minuman beralkohol, es krim, campuran sosis dan lain-lain. Di Asia, jahe diolah dalam bentuk minuman seduh atau kembang gula. Sedangkan di Indonesia, jahe dapat ditemukan dalam bentuk minuman seduh dan salah satu komponen jamu (Hasanah et al., 2004; Hardianto, 2005).

Page 20: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

12 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Kandungan Senyawa Kimia pada Jahe Komposisi kimia jahe terdiri dari minyak atsiri 2 - 3%, pati, resin, asam-asam organik, asam malat, asam oksalat dan gingerin (Depkes, 1989). Di samping itu, rimpang jahe juga mengandung lemak, lilin, karbohidrat, vitamin A, B dan C, mineral senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol. Rimpang jahe juga mengandung enzim proteolitik yang disebut zingibain. Bahan aktif pada rimpang jahe terdiri atas:

• minyak atsiri 2-3% • Zingiberin • kamfena • limonene • borneol • sineol • zingiberal • linalool • geraniol • gingerin

• kavikol • zingiberen • zingiberol • gingerol • Shogaol • minyak damar • pati • asam malat • asam oksalat

Minyak atsiri merupakan campuran senyawa organik mudah menguap (volatile oil), tidak larut air dan mempunyai bau khas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1 – 3 persen. Minyak ini kebanyakan mengandung terpen, fellandren, dextrokamfen, bahan sesquiterpen yang dinamakan zingiberen, zingeron damar, pati. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen (35%), kurkumin (18%), farnesene (10%) serta bisabolene dan b-sesquiphellandrene dalam jumlah kecil. Di samping itu juga terdapat sedikitnya 40 hidrokarbon monoterpenoid yang berbeda seperti 1,8-cineole, linalool, borneol, neral dan geraniol (Govindarajan, 1982). Kandungan minyak atsiri pada jahe merah yaitu sekitar 2,58-3,90%, dihitung berdasarkan berat kering. Kandungan atsiri pada jahe putih adalah 0.82-1.68%, sedangkan pada jahe putih kecil yaitu 1,5-3,3%. Senyawa minyak atsiri pada umumnya berwarna kuning, sedikit kental dan merupakan senyawa yang memberikan aroma pada jahe. Kandungan minyak atsiri pada jahe sangat dipengaruhi umur tanaman dan umur panen. Semakin tua umur jahe maka semakin tinggi kandungan minyak atsirinya. Akan tetapi, selama dan sesudah pembungaan, persentase kandungan minyak atsiri berkurang sehingga tidak dianjurkan jahe dipanen pada saat itu. Komponen non volatile jahe yaitu oleoresin merupakan senyawa fenol dengan rantai karbon samping yang terdiri dari tujuh atau lebih atom karbon. Komponen ini merupakan pembentuk rasa pedas yang tidak menguap pada jahe. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol, gingerdiols, gingerdiones, dihidrogingerdiones, shagaol, paradols dan zingerone yang memberikan rasa pedas di mulut. Gingerol merupakan komponen aktif utama pada jahe segar (Govindarajan, 1982) sedangkan shogaol merupakan komponen utama pada jahe kering (Connel and Sutherland, 1969).

Page 21: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 13

Kandungan oleoresin pada tiap jenis jahe juga berbeda-beda. Oleoresin bisa mencapai 3% tergantung jenis jahe. Jahe merah rasa pedasnya tinggi karena kandungan oleoresinnya tinggi sedangkan jahe gajah dan jahe emprit rasa pedasnya kurang karena kadar oleoresinnya rendah.

Gambar 3. Komponen non Volatile pada Jahe

Persepsi sensori dari jahe di dalam mulut dan di hidung disebabkan komponen volatile (minyak atsiri) dan non volatile (oleoresin). Minyak atsiri menimbulkan aroma harum pada jahe, sedangkan oleoresinnya menyebabkan rasa pedas. Minyak atsiri dapat diperoleh atau diisolasi dengan destilasi uap dari rhizoma jahe kering. Ekstrak minyak jahe berbentuk cairan kental berwarna kehijauan sampai kuning, berbau harum tetapi tidak memiliki komponen pembentuk rasa pedas. Manfaat Jahe dalam Makanan dan Minuman Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang memberikan keuntungan terhadap kesehatan. Pangan fungsional dapat mencegah atau mengobati penyakit (Goldberg, 1994). Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan,

Page 22: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

14 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Rempah-rempah umumnya mengandung komponen bioaktif yang bersifat antioksidan (zat pencegah radikal bebas yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh), dan dapat berinteraksi dengan reaksi-reaksi fisiologis, sehingga mempunyai kapasitas antimikroba, anti pertumbuhan sel kanker, dan sebagainya. Dari kelompok bahan pangan rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling banyak digunakan dan berpotensi dikembangkan sebagai pangan fungsional. Luasnya penggunaan jahe disebabkan karena aroma yang khas, dapat diterima, dan dinikmati dalam lauk, kue, manisan, permen, maupun minuman. Jahe merupakan jenis rempah-rempah yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi karena rimpangnya paling banyak digunakan baik sebagai bumbu dalam berbagai resep makanan, pemberi rasa dan aroma pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula maupun sebagai bahan dasar dalam pembuatan minuman. Jahe juga digunakan pada industri obat, minyak wangi, industri jamu tradisional atau diolah menjadi asinan jahe dan acar, lalap, bandrek, sekoteng dan sirup. Di Jepang, rebung atau tunas jahe dijadikan bahan sayur, acar, atau asinan. Hasil olahan itu sangat populer karena aroma dan cita rasanya yang khas. Terhadap tubuh, makanan dari rebung jahe membantu menyehatkan badan, memperlancar air seni, dan memperbaiki sistem pencernaan. Di Indonesia, mungkin baru orang Manado yang memanfaatkan rebung jahe sebagai salah satu pendamping nasi untuk lalapan didampingi sambal pedas. Cara memakannya selalu diikuti dengan meminum saguer (semacam tuak). Terkadang rebung jahe terlebih dahulu dimasukkan ke dalam saguer, dan supaya awet ke dalamnya diberi sedikit garam. Lalapan ini dipercaya dapat membuat tenaga menjadi berlipat ganda. Efek Farmakologis Jahe Rimpang jahe sudah digunakan sebagai obat di negara-negara Asia termasuk Indonesia, Cina, Arab dan India. Secara turun temurun jahe biasa digunakan masyarakat sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi, menurunkan kadar kolesterol, mencegah depresi, impotensia dan lain-lain. Di Cina jahe sudah digunakan secara intensif sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu untuk mengobati sakit kepala, mual/muntah dan batuk (Grant and Lutz, 2000). Menurut Farmakope Belanda, Zingiber rhizoma yang berupa rimpang mengandung 6% bahan obat-obatan yang sering dipakai sebagai rumusan obat-obatan atau sebagai obat resmi di 23 negara. Menurut daftar prioritas WHO, jahe merupakan tanaman obat-obatan yang paling banyak dipakai di dunia. Di negara Malaysia, Filipina dan Indonesia telah banyak ditemukan manfaat therapeutis. Jahe juga dapat digunakan pada obat tradisional sebagai obat sakit kepala, obat batuk, masuk angin, untuk mengobati gangguan pada saluran pencernaan, stimulansia, diuretik, rematik, menghilangkan rasa sakit, obat anti mual dan mabuk perjalanan, kolera, diare, sakit tenggorokan, difteria, neuropati, sebagai penawar racun ular dan sebagai obat luar untuk mengobati gatal digigit serangga, keseleo, bengkak, serta memar.

Page 23: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 15

a. Anti Inflamasi, Antioksidasi dan Anti Kanker Hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa jahe mempunyai aktivitas sebagai anti inflamasi. Uji laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak jahe dalam air panas menghambat aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase sehingga menurunkan kadar prostaglandin dan leukotriena (mediator inflamasi). Pemberian secara per oral dari ekstrak jahe pada tikus menurunkan bengkak. Hasil penelitian membuktikan bahwa secara in-vitro komponen aktif pada jahe dapat digunakan sebagai anti inflamasi (Kiuchi et al., 1982; Mascolo et al., 1989). Kemampuan sebagai antioksidan dan anti inflamantori jahe ini berkontribusi terhadap aktivitasnya sebagai antikarsinogenik dan antimutagenik. Antioksidan merupakan senyawa berberat molekul kecil yang dapat bereaksi dengan oksidan sehingga reaksi oksidasi yang merusak biomolekul dapat dihambat (Langseth, 1995). Beberapa macam penyakit yang disebabkan oleh oksidan seperti kardiovaskular, kanker, dan katarak dapat dihambat oleh antioksidan (Supari, 1996). Kebanyakan efek membahayakan yang potensial dari oksidan berasal dari spesies oksigen reaktif (ROS) seperti radikal bebas, yang dapat berasal dari polusi, debu, maupun diproduksi secara kontinyu sebagai konsekuensi metabolisme normal. Jahe mengandung komponen kimia turunan fenol yang dapat bersifat sebagai antioksidan, antara lain gingerol dan zingeberon. Senyawa-senyawa ini mampu menginaktifkan atau menetralisir Reactive Oxygen Species, penyebab stress oksidatif dalam tubuh, sehingga tidak sempat bereaksi dengan komponen-komponen biologis baik seluler, subseluler, sel imun, molekuler maupun jaringan. Senyawa-senyawa antioksidan jahe ini mempunyai aktivitas antioksidan di atas vitamin E (Kikuzaki and Nakatani 1993). Konsumsi jahe setiap hari dapat meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit terhadap stres oksidatif (Nurrahman et al., 1999). Antioksidan dari jahe dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut diklorometan ataupun etanol. Penelitian yang dilakukan oleh Kikuzaki dan Nakatani (1993) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak diklorometana jahe fraksi 1 sampai 11 yang dipisahkan dengan kolom kromatografi dan HPLC dan a-tokoferol lebih besar dibandingkan ekstrak etanol jahe. Antioksidan jahe juga dapat diekstraksi dengan menggunakan air, meskipun aktivitas antioksidannya lebih kecil dari pada aktivitas antioksidan jahe yang diekstraksi dengan diklorometana. Hasil penelitian Septiana et al., (2002) menunjukkan bahwa ekstrak air jahe yang berasal dari jahe segar maupun ekstrak air jahe dari jahe bubuk dan ekstrak diklorometana jahe mempunyai aktivitas antioksidan terhadap asam linoleat terbukti dari kemampuannya dalam menghambat pembentukan malonaldehida. Hal ini memungkinkan untuk diperolehnya manfaat antioksidan dari jahe dengan cara mengkonsumsi sari jahe ataupun sirup jahe. Ekstrak diklorometana jahe yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih besar (A = 0,113) dibandingkan ekstrak air jahe (A = 0,154 untuk ekstrak air dari jahe bubuk dan A = 0,149 untuk ekstrak dari jahe segar) mungkin disebabkan oleh kadar total fenol dari ekstrak diklorometana jahe lebih besar dibandingkan ekstrak air jahe. Kadar total fenol ekstrak diklorometana jahe, ekstrak air dari jahe segar, dan kadar total fenol dan ekstrak air dari bubuk jahe masing-masing adalah 18,68, 4,77 mg/g, dan 3,47 mg/g. Aktivitas antioksidan ekstrak

Page 24: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

16 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

diklorometana yang lebih besar dibandingkan ekstrak air jahe juga berhubungan dengan kadar Fe ekstrak diklorometana yang lebih kecil dibandingkan ekstrak air jahe. Kadar Fe ekstrak diklorometana jahe, ekstrak air dari jahe segar, dan ekstrak air dari jahe bubuk masing-masing adalah 2,4, 30,8 dan 32,0 mg/g (Septiana et al., 2002). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa antioksidan fenolik pada jahe dapat digunakan untuk menghambat autooksidasi dari lemak dan minyak. Antioksidan ini dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan selama tahap propagasi dari lemak atau minyak dengan cara mendonasikan radikal hydrogen sehingga radikal lemak tidak aktif melaksanakan tahap propagasi yang akan merusak lemak. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan kemampuan jahe mencegah kanker adalah sebagai berikut: • Ekstrak alkohol dari jahe dengan konsentrasi 0.2-1 mg/ml dapat menghambat

pertumbuhan sel tumor pada manusia dan harmster secara in-vitro (Unnikrishnan and Kuttan, 1988).

• Beberapa komponen yang terdapat di dalam jahe dapat mencegah pertumbuhan kanker dengan cara mentransformasi sel kanker. Oleoresin jahe yang terdiri dari 6-gingerol, vaniloid dan 6-paradol dapat menekan proliferasi sel kanker pada manusia melalui proses apoptosis (Lee and Surh, 1998, Lee et al., 1998), serta dapat menurunkan viabilitas sel HL-60 (promyelocytic leukemia) pada manusia (Lee and Surh, 1998).

• β-elemene adalah obat antikanker terbaru yang diekstrak dari tanaman jahe. Bahan ini dapat memicu apoptosis dari sel kanker paru-paru melalui pelepasan mitokondrial dari jalur apoptosi pada sitokrom-c (Shukla and Singh, 2007).

• Derivatif gingerdion yaitu 1-(3,4-Dimetoksifenil)-3,5-dodesenedion efektif digunakan sebagai bahan antitumor pada sel leukemia manusia (Hsu et al., 2005).

• Komponen zerumbone dari jahe mempunyai aktivitas sebagai antiproliferatif dan antiinflamasi (Takada et al., 2005).

• Gingerol pada jahe juga mempunyai kemampuan untuk menekan pertumbuhan karsinogenesis pada kulit tikus (Katiyar et al., 1996, Park et al., 1998).

• Jahe telah lama digunakan dalam mecegah berbagai penyakit pencernaan dan jahe juga mempunyai aktivitas sebagai bahan pencegah kanker usus (chemopreventive dan/atau chemotherapeutic) (Bode, 2003, Dias et al., 2006).

• Pemberian ekstrak air panas dari jahe secara terus menerus pada tikus dapat mencegah perkembangan kanker payudara (Nagasawa et al., 2002).

• Komponen bioaktif jahe dapat meningkatkan respons sitolitik dari sel Natural Killer (NK cell) dalam menghancurkan sel kanker

b. Meningkatkan Sistem Kekebalan dan Daya Tahan Tubuh Ekstrak jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang direfleksikan dalam sistem kekebalan, yaitu memberikan respons kekebalan inang terhadap mikroba pangan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena ekstrak jahe dapat memacu proliferasi limfosit dan menekan limfosit yang mati (Zakaria et al.1996) serta meningkatkan aktivitas fagositas makrofag (Zakaria dan Rajab 1999). Ekstrak jahe juga mampu meningkatkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al., 1999). Studi pada mahasiswa yang diberi minuman jahe menunjukkan adanya perbaikan sistem imun (kekebalan tubuh) (Zakaria et al., 2000).

Page 25: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 17

Hasil penelitian mendukung keyakinan masyarakat bahwa jahe mempunyai kapasitas sebagai anti masuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang virus misalnya influenza. Peningkatan aktivitas sel NK membuat tubuh tahan terhadap serangan virus karena sel ini secara khusus mampu menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus. Dari hasil penelitian diketahui bahwa komponen bioaktif jahe yaitu oleoresin, gingerol dan shogaol dapat meningkatkan kadar glutation di dalam limfosit yang mengalami stress oksidatif. Glutation (γ-glutamil-sisteinil-glisin) adalah komponen non protein yang terdapat di dalam jaringan hewan dan sel-sel eukariotik, dan berperan dalam fungsi-fungsi sel seperti sintesis DNA dan protein, detoksifikasi komponen xenobiotik serta menjaga fungsi imun (Tejasari dan Zakaria, 2006). Jahe juga mempunyai aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Komponen gingerol dan shogaol pada jahe juga mempunyai aktivitas antirematik sehingga jahe dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi rematik arthritis kronis (Kimura et al., 1997). Hasil penelitian di Cina melaporkan bahwa pada 113 penderita rematik dan sakit punggung kronis yang disuntik 5 – 10% ekstrak jahe memberikan efek pengurangan rasa sakit, menurunkan pembengkakan tulang sendi. Pemberian secara per oral serbuk jahe pada penderita rematik dan musculoskeletal dilaporkan menurunkan rasa sakit dan pembengkakan. c. Menambah Nafsu Makan dan Memperbaiki Pencernaan Khasiat lain dari jahe adalah sebagai antiemetik (antimuntah) dan sangat berguna pada ibu hamil untuk mengurangi morning sickness. Suatu penelitian melaporkan bahwa jahe sangat efektif menurunkan metoklopamid senyawa penginduksi nusea (mual) dan muntah. Jahe dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Hal ini dimungkinkan karena terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan rimpang jahe. Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan atau pada wanita yang hamil muda. Jahe mampu memblok serotonin, yaitu senyawa kimia yang dapat menyebabkan perut berkontraksi, sehingga timbul rasa mual termasuk mual akibat mabok perjalanan. Mengunyah jahe dapat merangsang pengeluaran air liur dan cairan pencernaan, juga mengurangi mual dan muntah. Wanita hamil juga dianjurkan agar mengonsumsi jahe untuk menghilangkan rasa mual dan muntah selama kehamilan. Pembuktian ilmiah telah dilakukan di Inggris yang menunjukkan jahe efektif mengurangi mual bahkan mual yang timbul setelah operasi. Jahe juga dapat membuat lambung menjadi nyaman, meringankan kram perut dan membantu mengeluarkan angin. Rasa jahe yang tajam merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus, membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung. Enzim pencernaan yaitu protease dan lipase yang terdapat pada jahe juga membantu meningkatkan proses pencernaan. d. Menstimulasi Sistem Saraf Pusat Stimulan system saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medulla dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak depan oleh senyawa stimulant SSP akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan menambah semangat.

Page 26: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

18 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Contoh senyawa yang digunakan sebagai stimulant SSP adalah kafein dan amfetamin (Mushler and Bird, 1969). Penggunaan stimulant SSP dapat menimbulkan perasaan nyaman, meningkatkan kepercayaan diri, kekuatan, keberanian dan daya pikir, disamping mengurangi rasa lelah dan mengantuk. Rimpang jahe digunakan sebagai minuman penyegar untuk menghilangkan rasa letih dan penat sejak dahulu oleh kalangan masyarakat Jawa Barat dan sekitarnya (Wijayakusumah, 2001). Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Suwendar et al., (2004) yang menyatakan bahwa pemberian infusa rimpang jahe yang diberikan secara oral memberikan efek stimulan sistem saraf pusat berupa peningkatan rasa ingin tahu dan aktivitas motorik berdasarkan uji sangkar putar pada mencit. Sediaan infusa jahe dibuat dengan cara memanaskan 10 gram simplisia kering jahe di dalam 100 ml air di atas penangas air bersuhu 90oC selama 15 menit sambil diaduk. Infusa ini diberikan kepada mencit putih jantan galur Swiss-Webster dengan berat antara 20-27 gram berumur 4-6 minggu. Dosis infusa rimpang jahe uji yang diberikan adalah 305 mg/kg bb (dosis I); 610 mg/kg bb (dosis II) dan 1220 mg/kg bb (dosis III). Aktivitas motorik dan rasa ingin tahu mencit diuji dengan menggunakan metode sangkar putar, metode ketahanan berenang, metode papan datar dan metode meja miring. Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa infusa rimpang jahe yang diberikan secara oral memberikan efek stimulan sistem saraf pusat berupa peningkatan rasa ingin tahu dan aktivitas motorik berdasarkan uji sangkar putar. Infusa rimpang jahe dosis 305 mg/kg bb dan 1220 mg/kg bb meningkatkan jumlah putaran pada uji roda sangkar putar pada menit ke-60 sampai ke-90. Infusa rimpang jahe dengan dosis 610 mg/kg bb dapat meningkatkan jumlah putaran pada uji roda sangkar putar pada menit ke 75-90. Pada metode meja datar, pemberian infusa rimpang jahe dapat meningkatkan rasa ingin tahu pada dosis 1220 mg/kg bb yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah jengukan. Pada metode papan miring pemberian infusa rimpang jahe dapat mempercepat waktu pertama kali mencit menaiki papan pada dosis 1220 mg/kg bb. Efek yang ditimbulkan oleh infus rimpang jahe lebih mendekati kerja amfetamin dibanding kafein (Suwendar et al., 2004). Amfetamin sebagai stimulan SSP bekerja menstimulasi pelepasan neurotransmitter katekolamin seperti dopamin atau noradrenalin dengan menghambat ambilan kembali dan memfasilitasi kerja (membebaskan) katekolamin sehingga efek terhadap perilaku adalah dapat meningkatkan kewaspadaan, menekan perasaan letih, mengurangi nafsu makan, menimbulkan perasaan kemampuan diri berlebih, insomnia, meningkatkan inisiatif serta euphoria, sehingga amfetamin lebih berefek kepada peningkatan rasa ingin tahu. e. Antikoagulan Gingerol pada jahe bersifat sebagai antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah sehingga dapat mencegah tersumbatnya pembuluh darah yang menjadi penyebab utama stroke, dan serangan jantung. Gingerol juga diduga membantu menurunkan kadar kolesterol di dalam darah. Jahe dapat menurunkan tekanan darah dengan cara merangsang pelepasan hormon adrenalin dan memperlebar pembuluh darah, akibatnya darah mengalir lebih cepat dan lancar serta memperingan kerja jantung dalam memompa darah.

Page 27: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 19

f. Pestisida Alami Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman umumnya dilakukan dengan menggunakan pestisida. Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit-penyakit tanaman yang sulit dikendalikan. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis (Reintjes et al, 1999), misalnya dengan penggunaan pestisida alami. Jahe merupakan salah satu bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida karena kemampuannya untuk menghambat perkembangan penyakit pada tanaman, misalnya pada tanaman cabe.

Tabel 6. Bahan Aktif dan Efek Farmakologis Jahe Merah

No. Nama zat aktif Efek farmakologis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Limone 1,8-cineole 10-dehydrogenase-dione, 10-ginger-dione, 6-gingerdion, 6-gingerol Alpha-linolenic acid Arginine Aspartic acid Betha sitoserol Caprylic acid Capsaicin (seluruh bagian tanaman) Chlorogenic acid (seluruh bagian tanaman) Farnesol

Menghambat jamur Candida albicans, antikholinesterase, obat flu. Mengatasi ejakulasi prematur anestetik, antikolinesterase, perangsang aktivitas syaraf pusat, merangsang ereksi, merangsang keluarnya keringat dan penguat hepar. Merangsang keluarnya ASI, menghambat kerja enzim siklo-oksigenase, penekan prostaglandin. Anti pendarahan di luar haid, merangsang kekebalan tubuh, merangsang produksi getah bening Mencegah kemandulan, memperkuat daya tahan sperma Perangsang syaraf, penyegar Perangsang hormon androgen, menghambat hormon estrogen, mencegah per-lipoprotein, melemahkan bahan baku sperma, bahan baku feroid. Anti jamur Candida albicans Merangsang ereksi, menghambat keluarnya enzim 5-lipoksigenase dan siklooksigenase, meningkatkan aktivitas kelenjar endokrin Mencegah poses penuaan, merangsang regenerasi sel kulit, farnesal. Bahan pewangi makanan, parfum, merangsang regenerasi sel normal

Sumber: Buletin APTOI edisi 17 (2002).

Page 28: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

20 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

BAB III SYARAT TUMBUH TANAMAN JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi tanaman jahe

ditinjau dari lingkungan abiotik (keadaan iklim dan tanah) dan lingkungan biotik (keberadaan hama, patogen dan gulma).

Agroekosistem sangat berperan penting dalam keberhasilan budidaya suatu jenis tanaman. Pertumbuhan jahe sangat dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik dan biotik. Kondisi abiotik seperti iklim dan tanah memegang peranan yang sangat penting. Jahe pada umumnya cocok ditanam pada tanah yang subur dan gembur, banyak mengandung bahan organik (humus) dengan drainase dan aerasi bagus. Lingkungan abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi jahe meliputi semua makhluk hidup seperti hama, patogen dan gulma yang mengganggu pertanaman jahe. Keadaan Iklim dan Tanah Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jahe adalah iklim yang meliputi curah hujan, ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara. Faktor-faktor lingkungan yang kurang sesuai dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi rimpang jahe. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa manipulasi sehingga diperoleh kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan jahe. Iklim Menurut Oldeman tipe iklim di Indonesia yaitu tipe A, B, C, D dan E. Tipe iklim yang paling sesuai untuk tanaman jahe adalah tipe iklim A, B dan C1. Contohnya pada daerah Sukabumi, Bengkulu, Lampung dan Sumatera Barat. Berikut akan dijelaskan syarat tumbuh tanaman jahe ditinjau dari faktor-faktor iklim: a. Curah hujan

Curah hujan merupakan salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jahe. Jahe pada awal pertumbuhan hingga berumur 4 bulan memerlukan curah hujan sekitar 2500-4000 mm/tahun, dengan bulan kering kurang dari 5 bulan setiap tahunnya. Setelah berumur 4 bulan, curah hujan diharapkan berangsur-angsur berkurang sehingga memungkinkan sinar matahari bertambah banyak sampai rimpang jahe siap untuk dipanen.

Page 29: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 21

b. Sinar matahari Cahaya matahari mempengaruhi pertumbuhan dan produksi melalui fotosintesis dan reaksi

fotoperiodisitas. Pengaruh intensitas penyinaran terhadap pertumbuhan tanaman lebih besar dibandingkan dengan pengaruh mutu penyinaran. Pada tanaman jahe sinar matahari diperlukan dalam pertumbuhan tanaman dan untuk mendapatkan rimpang yang baik terutama pada saat pembentukan rumpun/anakan.

Pada umur 2,5 sampai 7 bulan atau lebih tanaman jahe memerlukan sinar matahari. Dengan kata lain penanaman jahe dilakukan di tempat yang terbuka sehingga mendapat sinar matahari sepanjang hari.

Hasil penelitian Prasetyo, et al., (2006) menyatakan tanaman jahe merah masih dapat tumbuh hingga intensitas naungan 50% di bawah tegakan pohon karet (umur 25 tahun). Entang et al., (2002) melaporkan bahwa penggunaan naungan paranet dengan intensitas naungan 25 dan 50% lebih mempengaruhi pertumbuhan dan hasil jahe merah sedangkan jahe emprit tumbuh baik pada intensitas naungan 50%.

c. Suhu udara Suhu udara optimum untuk budidaya tanaman jahe antara 25-35°C. Temperatur di atas

35oC dapat menyebabkan daun menjadi hangus dan mengering. Suhu yang semakin rendah mengakibatkan umur jahe semakin panjang.

d. Ketinggian tempat Jahe tumbuh baik umumnya pada ketinggian antara 300-900 m di atas permukaan laut (dpl). Walaupun demikian, budidaya jahe pada lahan dengan ketinggian 1.200 m dpl merupakan salah satu alternatif usaha agar memperoleh pertanaman jahe sehat. Hal tersebut karena pada ketinggian tersebut bakteri Pseudomonas solanacearum penyebab penyakit layu bakteri kurang berkembang, terlebih lagi jika didukung oleh pengolahan tanah yang baik. Karena itu dataran tinggi sangat cocok bagi kebun benih jahe. Pada ketinggian > 1.200 m di atas permukaan laut dengan suhu di bawah 24oC tanaman jahe akan tumbuh lebih lambat.

Tanah Tanah yang akan dipergunakan untuk produksi jahe harus memenuhi beberapa syarat yaitu: 1. Lahan bebas dari infeksi penyakit tular tanah (soil borne) dan tular benih (seed borne).

Lahan lokasi pertanaman yang telah terinfeksi penyakit layu bakteri yang merupakan salah satu penyakit soil borne, hanya bisa diusahakan setelah 5 tahun. Lokasi pertanaman jahe yang dibudidayakan secara organik dilakukan secara terpisah dengan pertanaman jahe tidak organik.

2. Lahan bersih dari gulma agar mencegah persaingan dalam penyerapan unsur hara, air dan sinar matahari.

3. Lahan pertanaman jahe hanya diperkenankan satu kali saja, penggunaan lahan baru sangat disarankan. Masalah yang dihadapi dalam budidaya jahe dengan pola tanam beruntun yaitu kehilangan hasil pada pertanaman yang kedua. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh fitotoksik dari pertanaman yang mendahului (alelopati). Penelitian Walalangi (1997) menunjukkan terjadinya kehilangan hasil (bobot kering rimpang) terutama pada pertanaman kedua dengan waktu tanam 7/2 yaitu waktu tanam 2 bulan setelah panen pertanaman pertama umur 7 bulan. Besarnya kehilangan hasil sebanyak 45.59%. Besarnya kehilangan hasil semakin meningkat dengan semakin lambatnya waktu tanam pertama dan semakin lambatnya waktu tanam yang kedua.

Page 30: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

22 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Senyawa toksik yang ada dalam tanah karena adanya tanaman jahe yang mendahului dapat terbentuk dari senyawa-senyawa yang dilepaskan oleh tanaman tersebut dalam bentuk eksudat akar, baik yang bersifat toksik atau yang potensial toksik, pelepasan senyawa-senyawa organik dari bagian tanaman di atas tanah. Senyawa tersebut dapat juga terdapat pada tanah oleh aktivitas mikroorganisme yang merombak bahan-bahan organik dalam tanah (Borner, 1960; Tukey, 1969). Pengaruh senyawa toksik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit jahe pada pertanaman kedua di lapangan (Tabel 7). Fenomena tersebut karena jumlah senyawa toksik dalam tanah telah berkurang setelah melewati selang waktu 5-8 bulan setelah panen pertanaman pertama. Berkurangnya senyawa toksik tersebut bisa terjadi karena pencucian dan aktivitas mikroorganisme yang mengubah senyawa toksik menjadi non toksik.

Tabel 7. Persentase Daya Tumbuh Bibit Jahe pada Pertanaman I dan II

Status tanaman Populasi tanaman/ha 50.000 62,500 125.000 Tanaman I 58,79 53,47 55,37 Tanaman II * 63,43 56,60 55,37 Tanaman II ** 62,04 60,07 58,53 Keterangan: * = ditanam 8 bulan setelah panen tanaman I ** = ditanam 5 bulan setelah panen tanaman I

4. Tanaman jahe menghendaki lahan subur, gembur dengan drainase dan aerasi baik, banyak

mengandung bahan organik. Jenis tanah yang umum digunakan pada pertanaman jahe adalah tanah andosol, latosol merah coklat, asosiasi andosol latosol merah coklat, terutama pada lahan hutan yang baru dibuka.

Jenis tanah Andosol memiliki tingkat kesuburan yang paling baik dibandingkan jenis tanah lainnya. Jenis tanah Latosol merah coklat memiliki kesuburan yang sedang, tetapi struktur tanahnya relatif gembur.

Tekstur tanah juga akan mendukung pertumbuhan rimpang yang baik. Rimpang jahe akan berkembang baik pada struktur tanah gembur dengan fraksi liat, debu dan pasir yang relatif seimbang. Tekstur tanah dapat mempengaruhi bentuk, ukuran dan keutuhan saat rimpang dipanen.

5. Derajat kemasaman (pH) tanah yang toleran bagi jahe 4.3-7.4 dan pH optimum 6.8-7.0. Jika tanah belum memiliki kisaran pH tersebut maka perlu dilakukan pengapuran.

6. Tanaman jahe tidak cocok ditanam di tanah rawa dan tanah berat yang banyak mengandung fraksi liat dan pada tanah yang didominasi kandungan pasir kasar. Jahe juga tidak menghendaki tanah dengan sistem drainase jelek dan tergenang air. Genangan air dapat mengakibatkan rimpang menjadi busuk.

7. Lahan produksi hendaknya dekat dengan wilayah pengembangan dengan tujuan menghemat biaya trasportasi dan menghindari penularan penyakit pada benih dari daerah endemik ke daerah bukan endemik. Hasanah et al., 2004 menyatakan isolasi jarak diperlukan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit. Pada lahan datar dianjurkan isolasi jarak ± 10 – 100 cm.

Page 31: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 23

Lingkungan Biotik (Fisik) Lingkungan biotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jahe ada tidaknya serangan hama dan patogen serta persaingan dengan gulma. Hama Hama-hama yang sering di jumpai pada pertanaman jahe antara lain:

1. Kepik (Epilahra sp.) menyerang daun dan menyebabkan daun berlubang-lubang. 2. Hama penggerek pucuk batang dan ulat penggerek akar (Dichorcrotis puntiferalis)

menyerang akar tanaman sehingga menyebabkan daun dan tanaman layu akhirnya mati dan kering..

3. Lalat rimpang (Eumerus figurans Walker. dan Mimegrala coeruleifrons). Hama ini cukup serius dalam merusak pertanaman jahe dan mengakibatkan tanaman layu mengering dengan rimpang membusuk.

4. Lalat gudang yang bersifat saprofagus (Lamprolonchase sp. dan Chaetonerius sp. menyerang rimpang mulai dari pertanaman sampai gudang penyimpanan.

5. Kumbang Sitodrepa panacea dan Lesioderma serricorne merupakan hama gudang yang menyerang rimpang jahe di gudang penyimpanan.

Penyakit Penyakit-penyakit yang sering menyerang tanaman jahe adalah: 1. Penyakit Busuk Rimpang Penyakit busuk rimpang dapat mengakibatkan kegagalan panen. Penyebab busuk rimpang

di Indonesia yaitu Fusarium sp. Seperti Fusarium oxysporum Schleht dan Fusarium sp. zingiberi. Penyebab busuk rimpang di India yaitu Pythium aphanidermatum dan di Jepang Pythium zingiberi, di Fiji Pythium gracile, di Thailand Pythium sp dan Phytophtora sp.

Gejala penyakit dimulai dengan tanaman tampak layu pada umur 3 bulan, dimulai dengan menguningnya sisi-sisi tulang daun yang kemudian meluas ke seluruh helaian daun dan akhirnya mengering; pangkal batang membusuk dan mengeluarkan lendir. Penyakit ini cepat menjalar ke seluruh bagian tanaman. Hingga saat ini belum ada cara yang benar-benar efektif dalam mengendalikan penyakit busuk rimpang.

2. Penyakit layu bakteri Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman jahe

merupakan penyakit penting di beberapa negara di Asia, Australia dan Afrika, termasuk di Indonesia (Semangun, 2000). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di Kuningan, Jawa Barat kemudian menyebar ke daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Sumatera Utara dan Bengkulu (Januwati, 1999). Gejalanya dimulai dari terlihatnya satu atau beberapa batang berubah menjadi layu dan daun-daun menguning, kering atau hitam mengatup. Dalam 2-4 hari batang mati rebah. Kemudian, secara berangsur-angsur gejala ini menular ke rumpun yang lain.

Sampai sekarang belum ada satu paket teknologi pengendalian yang memberikan hasil yang memuaskan, karena belum ditemukannya bakterisida yang efektif kecuali dengan usaha pencegahan yang ketat.

Page 32: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

24 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

BAB IV BUDIDAYA JAHE SECARA UMUM

Tujuan Instruksional: Menjelaskan budidaya jahe secara umum di lapangan yang meliputi pembibitan, persiapan lahan, persiapan media tanam, penanaman, pemeliharaan, penyulaman, pengendalian hama penyakit tanaman dan gulma, pembumbunan dan pemupukan.

Pembibitan a. Pemilihan Bibit Bibit jahe berkualitas adalah bibit yang memenuhi mutu genetik, mutu fisiologi (persentase daya tumbuh yang tinggi) dan mutu fisik. Mutu fisik pada bibit jahe yaitu bibit harus bebas hama dan penyakit, kriteria yang harus dipenuhi untuk mutu fisik antara lain bibit jahe yang dipilih berasal dari tanaman induk yang sehat dan berumur 9-12 bulan, bibit jahe diambil langsung dari kebun (bukan dari pasar) dan telah mengalami penyimpanan selama 1-1.5 bulan. Rimpang bakal bibit harus dalam kondisi baik, kulit rimpang mulus (tidak terluka dan lecet), tidak memar, tidak terserang penyakit layu bakteri, busuk rimpang dan hama lalat rimpang serta mempunyai mata tunas. Volume kebutuhan bibit jahe per ha lahan adalah 1.2 – 3 ton, tergantung jarak tanam, pola tanam dan jenis jahe yang ditanam.

b. Teknik Persemaian Bibit Jahe Bibit jahe harus dikecambahkan terlebih dahulu (tidak langsung ditanam di lapangan) supaya mendapatkan pertumbuhan tanaman yang serentak dan seragam. Karena itu perlu persiapan bibit untuk persemaian, cara penyemaian bibit dan teknik pemeliharaan persemaian. Persiapan Bibit untuk Persemaian Bibit jahe terpilih yang memenuhi kriteria mutu fisik, genetik dan fisiologi berupa rimpang jahe yang baru dipanen dijemur sementara (tidak sampai kering) kemudian disimpan kira-kira 1 – 1,5 bulan. Rimpang jahe yang akan disemaikan dicuci bersih kemudian ditiriskan hingga kering (Gambar 4 dan 5). Bibit jahe yang telah kering direndam dalam larutan fungisida (Dithane M-45) selama 0,5-1 jam kemudian ditiriskan kembali (Gambar 6). Selanjutnya bibit jahe dipatahkan dengan tangan atau dipotong dengan pisau dimana setiap potongan memiliki 3-5 mata tunas. Cara Persemaian Bibit Jahe Secara umum persemaian bibit jahe dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu persemaian pada peti kayu dan persemaian pada bedengan. a. Persemaian pada peti kayu

Setelah perlakuan fungisida dan zat pengatur tumbuh, maka bibit jahe dimasukkan ke dalam peti kayu. Persemaian di dalam peti kayu dilakukan dengan cara pada bagian dasar

Page 33: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 25

peti kayu diletakkan bakal bibit selapis kemudian di atasnya diberi abu gosok atau sekam padi, demikian seterusnya sehingga yang paling atas adalah abu gosok atau sekam padi tersebut. Lama persemaian kira-kira 2-4 minggu.

Gambar 4. Pembersihan Rimpang Jahe untuk Bakal Bibit

Gambar 5. Rimpang Jahe Ditiriskan Setelah Dicuci Bersih

Gambar 6. Rimpang Jahe Direndam Setelah Dicuci dalam Larutan Fungisida

Page 34: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

26 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

b. Persemaian pada Bedengan Persemaian pada bedengan dilakukan dengan pembuatan rumah persemaian sederhana. Ukuran rumah bedengan sebesar 10 x 8 m dapat digunakan untuk menyemaikan 1 ton jahe gajah. Rumah persemaian diberi naungan tepas untuk menghindari dari sinar matahari dan guyuran air hujan secara langsung. Bagian bawahnya dialasi tepas yang diberi alas batu bata untuk menjaga agar drainase lancar. Di atas tepas pada alas bedengan dihamparkan media persemaian berupa kompos dan pasir (3 : 1) secara merata kemudian rimpang jahe yang telah diberi perlakuan fungisida dan zat pengatur tumbuh disemaikan dengan cara disusun di atas hamparan media tanam dengan bakal tunas berada di atas. Lama persemaian pada bedengan kira-kira 1 bulan. Bedengan persemaian ditutup dengan pelepah kelapa sawit/kelapa untuk mempercepat perkecambahan. Jika bibit jahe telah mulai berkecambah maka tutup pelepah kelapa sawit/kelapa segera dibuka (Gambar 7).

Gambar 7. Penutupan Rimpang Jahe di Persemaian

Teknik Pemeliharaan Persemaian Pemeliharaan bibit jahe di persemaian meliputi penyiraman dan pemupukan. Penyiraman pada persemaian bedengan dilakukan secara bersamaan 1-2 hari sekali pada sore hari sesuai kondisi cuaca. Pemupukan dilakukan dengan cara menyemprotkan pupuk organik cair (20 cc pupuk organik cair/10 liter air) secara merata menggunakan gembor siraman dengan frekuensi 1 minggu sekali. Persiapan Lahan

Untuk mendapatkan hasil panen yang optimal harus diperhatikan syarat-syarat tumbuh yang dibutuhkan tanaman jahe. Bila keasaman tanah yang ada tidak sesuai dengan keasaman tanah yang dibutuhkan tanaman jahe, maka harus diberikan pengapuran. Keberhasilan budidaya jahe sangat ditentukan oleh persiapan lahan sebelum bibit ditanam dan perlakuan bibit setelah disemai. Persiapan lahan pada budidaya jahe meliputi penentuan lahan budidaya jahe, pembukaan dan pengolahan lahan, pembentukan bedengan, pengapuran dan penanaman tanaman pelindung (naungan).

Page 35: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 27

a. Penentuan Lahan Jahe cocok untuk diusahakan di lahan tegalan kering, karena bebas genangan air. Pertanaman jahe bisa juga menggunakan lokasi lahan sawah, dengan syarat dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Tanah sawah umumnya liat dan padat ketika kering dan cenderung bersifat asam (pH) rendah. Oleh karena itu dalam pengolahannya perlu masukan pupuk organik dan kapur yang banyak. Lokasi pertanaman jahe diusahakan merupakan lokasi yang sehat, tidak bekas pertanaman rimpang yang ada gejala penyakit layu bakteri, pisang-pisangan, solanacaeae, kacang-kacangan, atau tanaman inang pembawa layu bakteri. Lahan pertanaman maksimal hanya bisa ditanam 2 kali. Lokasi lahan yang dipilih untuk pertanaman jahe harus memenuhi kriteria syarat tumbuh dan kesesuaian lahan, yaitu diantaranya ketinggian tempat, curah hujan, suhu udara, pH, struktur dan tekstur tanah, kemiringan lahan dan ketersediaan naungan (Lihat Bab III Syarat Tumbuh Tanaman Jahe).

b. Pembukaan dan pengolahan Lahan Pengolahan tanah merupakan persiapan yang pertama kali harus dikerjakan dengan matang. Seminggu sebelum tanam tanah harus telah siap diolah. Pengolahan tanah dilakukan 1-2 kali pembalikan agar tanah gembur. Cara pengolahan tanah yaitu tanah dibersihkan dari rumput dan gulma, kotoran kemudian dibajak (ditraktor) sedalam 20 cm. Pembajakan bertujuan untuk mendapatkan kondisi tanah gembur atau remah dan membersihkan tanaman pengganggu (gulma). Bersihkan akar dan kotoran yang terselip dalam bongkahan tanah. Selanjutnya tanah dihaluskan agar gembur dan remah, kemudian diratakan. Di daerah banyak hujan, lahan perlu dibajak beberapa kali. Pembajakan itu akan membuat tanah lebih gembur, air tidak tergenang dan mudah meresap. Setelah itu tanah dibiarkan 2-4 minggu agar gas-gas beracun menguap serta bibit penyakit dan hama akan mati terkena sinar matahari. Apabila pada pengolahan tanah pertama dirasakan belum juga gembur, maka dapat dilakukan pengolahan tanah yang kedua sekitar 2-3 minggu sebelum tanam dan sekaligus diberikan pupuk kandang dengan dosis 1.500-2.500 kg. Pemberian pupuk kandang disesuaikan dengan kondisi kesuburan tanah. Hasil penelitian Trisilawati dan Gusmaini (1997) menunjukkan bahwa penggunaan humus yang berasal dari Bengkulu (ketebalan 5-20 cm) dan pupuk kandang (20-40 ton kotoran sapi/ha) sebagai media tanam jahe berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan (tinggi, jumlah daun dan jumlah anakan), bobot rimpang segar dan bobot tanaman berumur 5 bulan (Tabel 8). Media tanam dengan ketebalan humus 20 cm menghasilkan kenaikan bobot rimpang segar, bobot tanaman dan jumlah anakan sebesar 772%, 548% dan 189% dibandingkan kontrol (media tanah). Penggunaan media humus dengan ketebalan 5 cm ternyata sudah memberikan pengaruh lebih baik terhadap parameter pertumbuhan (kecuali tinggi tanaman) dan produksi jahe dibandingkan media pupuk kandang. Pemberian pupuk organik dapat digunakan juga sebagai kombinasi media tanam. Pada umumnya tanaman jahe menghendaki tanah yang subur dan gembur. Pemberian pupuk organik dalam budidaya jahe berperan penting untuk meningkatkan hasil rimpang terutama untuk klon jahe gajah. Penelitian Patmawati (2007) tentang pengaruh pupuk organik terhadap produksi jahe gajah (Zingiber officinale Rosc) organik panen muda menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pupuk kandang ayam menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan kompos jerami, solid dan bokashi terhadap bobot rimpang per rumpun dan bobot rimpang

Page 36: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

28 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

kering per ha. Bobot rimpang basah dan rimpang kering tertinggi dihasilkan oleh pemberian pupuk kandang ayam, sedangkan terendah pada perlakuan bokashi (Tabel 9)

Tabel 8. Pertumbuhan dan Produksi Jahe (3.5 Bulan Setelah Tanam) pada Media Humus dan

Pupuk Kandang (Trisilawati dan Gusmaini, 1997)

Perlakuan Tinggi rumpun

(cm)

Jumlah anakan/ rumpun

Jumlah daun/

rumpun

Bobot rimpang/

rumpun (g)

Bobot tanaman/

rumpun (g)

kontrol 46,83 b 6,00 c 49,00 b 76,00 c 218,61 d 5 cm humus 71,67 a 17,33 a 166,67 a 663,04 a 1416,58 a 10 cm humus 67,17 ab 17,17 a 168,67 a 379,37 b 650,43 b 15 cm humus 64,00 ab 14,67 a 162,33 a 362,62 b 570,75 bc 20 cm humus 62,67 ab 12,67 ab 102,67 ab 289,25 bc 420,50 cd 20 ton/ha 59,17 ab 8,17 bc 107,50 ab 259,33 bc 414,82 cd 30 ton/ha 45,83 b 7,5 c 78,33 b 237,56 bc 412,05 cd 40 ton/ha 81,50 a 9,17 bc 76,50 b 278,27 bc 499,95 bc Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%.

Tabel 9. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Bobot Rimpang Kering per Rumpun dan per Ha

(Patmawati, 2007)

Perlakuan Bobot rimpang kering per rumpun (g) per ha (ton) Pupuk kandang ayam (25 ton/ha) 48,21 a 4,02 a Pupuk kompos jerami (16.8 ton/ha) 31,51 b 2,63 b Bokashi (26.3 ton/ha) 24,72 b 2,06 b Solid (19.3 ton/ha) 27,16 b 2,25 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

c. Pembentukan Bedengan Jahe dapat ditanam tanpa atau dengan bedengan. Penanaman tanpa bedengan dapat dilakukan di tempat-tempat yang jarang hujan dan lahannya rata. Pada lahan miring perlu dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 80-120 cm, ukuran tinggi 20-30 cm, sedangkan panjang bedengan disesuaikan dengan kondisi lahan. Jarak antar bedengan 30-50 cm. Pembuatan jarak antar bedengan juga bermanfaat sebagai saluran pembuangan air hujan yang berlebihan. Pada tempat-tempat miring, bedengan dibuat sejajar dengan kontur lahan untuk menghindari erosi. Pembuangan air harus diperhatikan karena jahe sentitif terhadap genangan air berlebihan.

d. Pengapuran Pada tanah dengan pH rendah, sebagian besar unsur-unsur hara didalamnya, terutama fosfor (P) dan kalsium (Ca) dalam keadaan tidak tersedia atau sulit diserap. Kondisi tanah yang masam ini dapat menjadi media perkembangan beberapa cendawan penyebab penyakit Fusarium sp dan Pythium sp. Pengapuran juga berfungsi menambah unsur kalium yang sangat diperlukan tanaman untuk mengeraskan bagian tanaman yang berkayu, merangsang pembentukan bulu-bulu akar, mempertebal dinding sel buah dan merangsang pembentukan

Page 37: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 29

biji. Gardner et al., (1991) menyatakan bahwa kalsium mempengaruhi ketersediaan nutrisi tanah yang lain dan ketersediaan nutrisi tanah. Meningkatnya ketersediaan nutrisi bagi tanaman didukung dengan perbaikan pH dan lingkungan perakaran yang menyebabkan peningkatan serapan hara yang berlangsung dengan baik. Efisiensi penyerapan akan meningkatkan biomassa tanaman yang berdampak pada peningkatan berat berangkasan tanaman. Kebutuhan dolomit pada tanaman jahe disesuaikan dengan derajat keasaman (pH) tanah sebagai berikut:

a. pH < 4 (paling asam): kebutuhan dolomit > 10 ton/ha. b. pH 5 (asam): kebutuhan dolomit 5.5 ton/ha. c. pH 6 (agak asam): kebutuhan dolomit 0.8 ton/ha.

Penelitian yang dilakukan oleh Damanik (2003) tentang Efek Kapur dan Waktu Pemberiannya terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe (Zingiber officinale Rosc) pada Medium Gambut menunjukkan bahwa pemberian 2 ton dolomit/ha pada waktu 4 minggu sebelum tanam memberikan bobot rimpang jahe basah terbaik (207.13 kg), jika diberikan 3 ton dolomit/ha menunjukkan kecenderungan penurunan bobot rimpang basah (Tabel 10).

Tabel 10. Rerata Bobot Rimpang Jahe Basah dengan Perlakuan Pemberian Dolomit dan Waktu

Pemberian Dolomit (Damanik, 2003)

Perlakuan Waktu pemberian (Minggu Sebelum Tanam) Rerata 0 2 4 0 ton dolomit/ha 23,69 g 83,99 f 126,99 de 78,22 c 1 ton dolomit/ha 110,61 e 127,03 de 146,98 cd 128,21 b 2 ton dolomit/ha 165,68 b 140,65 d 207,13 a 171,15 a 3 ton dolomit/ha 160,73 bc 140,51 d 200,72 a 167,32 ab Rerata 115,18 b 123,04 b 170,46 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji BNT

e. Pemberian Pupuk Dasar Manfaat pemberian pupuk dasar adalah untuk mempertahankan kegemburan tanah, meningkatkan unsur hara dan membuat aerasi dan drainase lancar. Pada saat pembuatan bedengan atau meratakan tanah, lahan diberi pupuk dasar berupa pupuk kandang, kompos, blotong (ampas pabrik gula) dan bokashi. Pupuk organik yang digunakan harus benar-benar matang, tandanya berwarna hitam, tidak menggumpal (remah) dan tidak berbau. Pemberian pupuk dasar dapat disebar di permukaan bedengan, kemudian dicampur rata dengan tanah atau bisa juga dimasukkan dalam lubang tanam. Tiap lubang tanam perlu pupuk kandang 2,5-4 kg, selanjutnya ditambahkan TSP 200 kg/ha; KCl 300 kg/ha sebagai pupuk dasar.

Page 38: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

30 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

f. Tanaman Pelindung (Naungan) Tanaman jahe tidak menghendaki cahaya matahari penuh, sehingga perlu diberi naungan. Menurut Januwati dan Muhammad (1997) naungan dapat menurunkan suhu udara di sekitar tanaman jahe sehingga mengurangi laju respirasi. Jika suhu terlalu rendah maka umur tanaman menjadi semakin panjang. Prasetyo, et. al (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat penaungan, suhu udara dan cahaya matahari di bawah naungan semakin rendah akan tetapi kelembaban udara semakin meningkat. Untuk menghemat biaya maka lahan budidaya jahe dibuat di bawah tegakan tanaman tahunan (kelapa sawit, kelapa, karet, sengon, kopi) sehingga tidak perlu menanam tanaman naungan. Penelitian yang dilakukan Januwati et. al. (2000) mengemukakan bahwa naungan yang cocok tanaman jahe di bawah tegakan pohon kelapa berkisar antara 40-50%. Hasil penelitian Prasetyo, et. al (2006) menyatakan tanaman jahe merah masih dapat tumbuh hingga intensitas naungan 50% di bawah tegakan pohon karet (umur 25 tahun). Entang, et. al. (2002) melaporkan bahwa penggunaan naungan paranet dengan intensitas naungan 25 dan 50% lebih mempengaruhi pertumbuhan dan hasil jahe merah sedangkan jahe emprit tumbuh baik pada intensitas naungan 50%. Teknik Penanaman Jahe a. Waktu Tanam Waktu tanam yang tepat untuk menanam jahe di tegalan adalah awal musim hujan, sekitar

bulan September-Oktober. Hal ini dengan tujuan agar air terpenuhi untuk pertumbuhan rimpang jahe, sehingga dalam setahun hanya bisa menaman jahe satu kali saja. Akan tetapi, pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun maka waktu tanam dapat dilakukan sepanjang tahun.

Waktu tanam yang baik yaitu pada pagi hari sekitar jam 10 pagi atau sore hari setelah

matahari tidak terik lagi. Penanaman jahe pada siang hari dikhawatirkan tunas akan mengalami stress sehingga layu dan mati.

b. Penentuan Pola Tanam Tanaman jahe dapat dilakukan secara monokultur dan polikultur (tumpang sari).

Pembudidayaan jahe secara monokultur pada suatu daerah tertentu memang dinilai cukup rasional, karena mampu memberikan produksi tinggi. Namun terkadang pembudidayaan tanaman jahe secara monokultur kurang dapat diterima karena selalu menimbulkan kerugian. Penanaman jahe secara tumpangsari dengan tanaman lain mempunyai keuntungan untuk mengurangi kerugian akibat naik turunnya harga, menekan biaya kerja (tenaga kerja, pemeliharaan tanaman, meningkatkan produktivitas lahan, memperbaiki sifat fisik dan mengawetkan tanah akibat rendahnya pertumbuhan gulma).

Pada budidaya jahe secara tumpang sari umumnya tanaman jahe ditumpangsarikan dengan

sayur-sayuran, seperti ketimun, bawang merah, cabe rawit, buncis dan lain-lain. Ada juga yang ditumpangsarikan dengan palawija, seperti jagung, kacang tanah dan beberapa kacang-kacangan lainnya.

Page 39: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 31

- Pola Tanam Monokultur Jarak tanam jahe secara monokultur sangat tergantung kepada tujuan akhir panen jahe.

Jarak tanam jahe untuk panen tua dengan menggunakan bedengan adalah jarak alur-alurnya 60 cm, bibit yang telah bertunas ditanam dalam alur sedalam 5-10 cm dengan jarak tanam 30 cm x 60 cm. Jarak tanam bisa dirapatkan, jika jahe akan dipanen muda.

Jahe umumnya ditanam dengan potongan rimpang yang bertunas dengan arah mata tunas

menuju ke lebar jarak tanam yang 60 cm, bukan ke arah yang 30 cm, agar rimpang dapat tumbuh leluasa menjadi besar. Penanaman diusahakan tidak terlalu dangkal dan terlalu dalam. Penanaman yang terlalu dalam akan mengakibatkan rimpang yang kurus dan panjang, sedangkan penanaman yang terlalu dangkal mengakibatkan rimpang mudah terkena matahari dan hujan. Jika terkena hujan maka rimpang akan berwarna hijau sedangkan jika terkena matahari maka rimpang akan keriput dan pertumbuhannya lambat. Oleh karena itu, bibit jahe umumnya ditanam sedalam 5 cm.

Setelah bibit ditanam dalam lubang tanam, maka rimpang ditutup dengan jerami padi

tipis-tipis dan ditaburi dengan tanah halus hingga lubang tanamnya tertutup dan sejajar permukaan bedengan. Secara keseluruhan, permukaan lubang tanam dihaluskan dan diatasnya dihamparkan jerami padi untuk menghambat gulma dan menjaga kelembaban. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) tentang penanaman jahe badak secara monokultur pada berbagai jarak tanam menunjukkan bahwa jarak tanam yang efisien adalah 40 cm x 40 cm dengan jumlah bibit 45.000 tanaman/ha. Jarak tanam itu menghemat penggunaan bibit hingga 25% dibandingkan jarak tanam 40 x 30 cm yang jumlahnya 60.000 tanaman/ha (Tabel 11).

Tabel 11. Pengaruh Jarak Tanam Jahe Badak dengan Berbagai Variasi Jarak Tanam (Agromedia Pustaka, 2007)

Jarak Tanam Populasi tanaman/ha Hasil Rimpang Segar/ha 40 x 30 cm 40 x 40 cm 60 x 30 cm 40 x 50 cm

60.000 45.000 40.000 36.000

22,33 ton 22,07 ton 19,52 ton 18,30 ton

- Pola Tanam Polikultur Pola penanaman jahe secara polikultur biasanya dilakukan bersama tanaman bawang

merah, kacang panjang, buncis, cabai rawit, mentimun, jagung atau papaya. Tujuannya untuk meningkatkan hasil per satuan luas tanam dan menjaga adanya fluktuasi harga yang tinggi pada jahe. Pengaruh negatif dari pola tanam polikultur hampir tidak ada, kecuali memerlukan pemeliharaan yang teliti sehingga menambah waktu kerja.

Beberapa pekebun jahe biasanya melakukan pola tanam polikultur dengan cara sebagai

berikut: Hari pertama : Jahe ditanam bersama mentimun dalam satu bedengan. Hari ke-40 : Panen pertama tanaman mentimun. Saat jahe telah membentuk

rumpun. Hari ke 40-50 : Awal penanaman kacang panjang di tepi bedengan.

Page 40: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

32 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Hari ke 60 : Masa panen mentimum mulai habis. Mentimun dibongkar sambil membumbun dan memupuk jahe dengan kompos dan pupuk buatan. Pemupukan juga berguna untuk memupuk kacang panjang yang masih muda.

Hari ke 120 : Panen kacang panjang Hari ke 150 : Panen jahe muda.

Penanaman jahe dengan tanaman pokok papaya umumnya dilakukan pada saat jahe berumur 5 bulan. Bersama-sama dengan penanaman jahe, di bagian tepi bedengan ditanami cabai rawit atau kacang tanah. Jarak tanam papaya 3 m dalam barisan dan 3 m antar barisan. Tanaman jahe bisa tumbuh di bawah naungan sehingga cocok juga ditanam secara tumpang sari dengan tanaman berumur pendek dengan tajuknya yang tidak terlalu menghalangi sinar matahari. Jahe bisa ditumpangsarikan dengan cabai atau jagung dan kacang merah (dilakukan petani jahe di Garut).

Pemberian Mulsa Pemberian mulsa merupakan salah satu cara untuk mengubah keadaan iklim mikro, mengubah sifat tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Beberapa keuntungan pertanaman jahe dengan menggunakan mulsa yaitu mempertahankan kandungan air tanah pada kebutuhan minimal selama musim kemarau, mencegah erosi pada bedengan selama musim hujan, memperbaiki kondisi fisik tanah di permukaan karena proses pembusukan jerami akan membantu bekerjanya mikroorganisme tanah, menekan perkembangan hama, penyakit dan gulma serta menjaga pertumbuhan vegetatif tanaman pada awal musim kemarau. Bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai mulsa pada pertanaman jahe adalah jerami padi, daun kelapa, kulit batang pisang, daun gamal atau mulsa plastik hitam. Penggunaan mulsa jerami membutuhkan 10-20 ton jerami padi per ha. Mulsa diberikan pada permukaan bedengan sebanyak 2 kali yaitu pada setelah tanam dan pada umur tanam 4-5 bulan. Pemeliharaan Tanaman Pemelihaaraan tanaman jahe dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pemeliharaan dengan mulsa dan tanpa mulsa. Pemeliharaan tanpa mulsa terdiri atas penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pengairan dan pemupukan susulan. Pemeliharaan dengan mulsa adalah perlakuan menutup seluruh permukaan bedengan dengan mulsa jerami atau yang lainnya setelah bibit jahe ditanam.

a. Penyulaman Pemindahan bibit dari persemaian ke lahan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan bibit. Bibit sebaiknya diletakkan pada keranjang plastik agar pengangkutan ke lahan menjadi lebih mudah. Selama dalam pengangkutan sebaiknya, bibit yang telah bertunas jangan ditumpuk.

Page 41: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 33

Penyulaman tanaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati/tumbuh abnormal dengan menggunakan bibit tanaman sehat berumur sama. Penyulaman hendaknya dilakukan dengan menggunakan tanaman yang sudah disiapkan dari pembibitan. Seleksi dan penggantian tanaman ini perlu dilakukan agar diperoleh tanaman yang tumbuh dengan seragam sehingga waktu panen dapat dilakukan secara serempak. Penyulaman dilakukan pada umur 2-3 minggu setelah bibit jahe ditanam di lahan. Penyulaman sebaiknya tidak dilakukan pada tanaman yang mati atau jelek yang disebabkan oleh penyakit layu bakteri. Apabila ada tanaman yang terserang penyakit tersebut, lubang tanam bekas cabutan tanaman tersebut diberi kapur atau disiram dengan ekstrak bawang merah untuk menghindari penularan tanaman di sekitarnya.

b. Penyiangan Persaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat menurunkan hasil karena gulma juga menyerap unsur hara, air, dan sinar matahari. Penyiangan gulma sebelum tanaman umur 180 hari merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Pada umur tersebut merupakan masa kritis bagi tanaman jahe untuk dapat bersaing dengan gulma. Namun, setelah masa kritis berlalu dan terutama bertepatan dengan keadaan curah hujan yang dimulai berkurang, maka penyiangan dilakukan terbatas hanya di sekitar rumpun. Pada umur 6 – 7 bulan, sebaiknya tidak dilakukan penyiangan karena pada saat itu tanaman cukup peka terhadap gangguan teknis. Penyiangan dilakukan secara rutin untuk menanggulangi tumbuhnya gulma yang mengganggu dan tidah bermanfaat. Selain itu, juga untuk memperbaiki struktur tanah. Penyiangan pertama dilakukan ketika tanaman jahe berumur 2-4 minggu setelah pindah tanam, kemudian secara berkala 3-6 minggu sekali sesuai kondisi gulma yang mengganggu. Setelah tanaman jahe berumur 6-7 bulan sebaiknya tidak dilakukan penyiangan lagi karena pada umur tersebut rimpangnya mulai besar. Pada tanaman rimpang, kegiatan pembumbunan cukup penting untuk memberikan kondisi pertumbuhan rimpang secara optimum di bawah permukaan tanah sehingga tanaman akan menghasilkan rimpang yang cukup baik.

c. Pembumbunan Pembumbunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh media tumbuh akar dan rimpang menjadi lebih baik. Pembumbunan akan menyebabkan penetrasi akar dan pembesaran rimpang menjadi lebih mudah karena partikel-partikel yang besar dihancurkan menjadi bagian yang lebih kecil. Setiap kali dilakukan pembumbunan akan terbentuk guludan kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan kelebihan air. Pembumbunan dilakukan setelah rimpang membentuk 4-5 anakan. Cara melakukan pembumbunan yaitu menimbun pangkal batang dengan tanah setebal lebih kurang 5 cm. Setiap kali dilakukan pembumbunan akan terbentuk guludan kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan kelebihan air. Pembumbunan umumnya dilakukan setelah tanaman berumur 2-4 minggu. Pada tanah-tanah yang ringan seperti tanah lempung berdebu atau lempung liat berpasir, pembumbunan perlu diperhatikan terutama setelah hujan. Pada waktu itu, tinggi bedengan sering tererosi masuk ke dalam parit-parit pembuangan air.

Page 42: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

34 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

d. Pemupukan Dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman jahe perlu menyerap unsur hara secara terus-menerus. Jahe tergolong tanaman yang rakus dalam menyerap unsure hara sehingga sering disebut sebagai tanaman yang mengurangi kesuburan tanah. Tanah sebagai media tumbuh harus mampu menyediakan unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman. Oleh karena itu, tanah memerlukan tambahkan unsur hara dari luar dengan pemupukan. Jahe tergolong tanaman monokotil berakar dangkal. Tanaman ini membutuhkan lahan cukup lembab sepanjang pertumbuhannya. Oleh karenanya untuk mengurangi penguapan lahan maka diperlukan pemberian mulsa dan pemberian pupuk organik yang cukup banyak. Jahe memerlukan pupuk organik dalam jumlah besar yaitu 20-40 ton/ha. Pupuk organik diberikan sebagai pupuk dasar pada saat pengolahan tanah. Pupuk an-organik seperti urea, TSP dan KCl tidak perlu diberikan jika tanahnya ternyata masih subur. Dosis pupuk yang diberikan pada pertanaman jahe tidak ada dosis yang baku karena sangat tergantung tingkat kesuburan tanah. Dosis kebutuhan pupuk selama satu musim tanam jahe disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Dosis Kebutuhan Pupuk Selama Satu Musim Jahe (Agromedia Pustaka, 2007)

Jenis pupuk Dosis Pupuk organik 20-40 ton/ha Pupuk an-organik - Urea 350-800 kg/ha - TSP 350-1.000 kg/ha - ZK (kalium sulfat) 350-1.000 kg/ha

Tanaman jahe selama pertumbuhan menyerap unsur hara nitrogen dan kalium, sedangkan unsur lain juga diserap tetapi dalam jumlah kecil. Pemberian pupuk sebaiknya berimbang agar kesuburan dan produktivitas tanah tetap terpelihara. Jenis pupuk yang umum digunakan adalah pupuk organik, nitrogen (urea) dan kalium (KCl). Penelitian Santosa (1981) menunjukkan bahwa pemupukan dengan urea dapat meningkatkan produksi rimpang tanaman jahe sunti seperti dalam Tabel 13. Tabel 13. Produksi Rimpang Jahe Sunti pada Umur 150 dan 180 Hari Bila Dipupuk Urea

(Santoso, 1981)

Perlakuan Produksi Rimpang pada umur (hari) 150 180

Pupuk (Kg N/ha) ……………………............kw/ha…………………….. 0 57,88 a 174,64 a

90 85,94 b 213,10 b 180 108,13 c 233,69 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Page 43: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 35

Hasil penelitian Fitrya (2003) menunjukkan bahwa pemberian jenis pupuk kandang dan dosis urea serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap parameter berat rimpang kering/rumpun dan berat rimpang kering/rumpun. Interaksi penggunaan pupuk kandang ayam dan urea dengan dosis 3.6 gram/tanaman menghasilkan pertumbuhan dan produksi jahe muda terbaik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rosmimi (1995) dengan pupuk NPK (15: 15: 15) juga dapat meningkatkan bobot rimpang jahe (Tabel 14). Bobot rimpang jahe umur 4 bulan tertinggi terdapat pada perlakuan NPK 800 kg/ha yaitu sebanyak 31,33 gram. Tabel 14. Bobot Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Penambahan Pupuk NPK (15-15-15)

(Rosmimi, 1995)

NPK (15-15-15) Bobot rimpang jahe (g)

0 kg/ha 9,33 b

200 kg/ha 12,00 b

400 kg/ha 12,00 b

600 kg/ha 16,00 b

800 kg/ha 31,33 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Hasil penelitian Jurnawaty (1994) menunjukkan bahwa kombinasi pemberian 60 kg P2O5/ha dan 200 kg K2O/ha memberikan bobot rimpang tertinggi yaitu 7.5 kg pada umur 16 minggu.

Tabel 15. Bobot Rimpang Jahe dengan Kombinasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Umur

16 Minggu (Jurnawaty, 1994)

kg/ha P2O5 kg/ha K2O bobot rimpang jahe (kg) 0 0 2,0 100 4,0 200 5,9

60 0 3,9 100 5,0 200 7,5

120 0 4,2 100 5,4 2000 6,9

180 0 4,7 100 5,7 200 7,1

240 0 4,9 100 5,9 200 7,4

Page 44: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

36 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Hasil penelitian Simbolon (1997) menunjukkan bahwa pemberian pupuk cair NHS dapat meningkatkan bobot rimpang jahe (Tabel 16). Bobot jahe tertinggi terlihat pada perlakuan pupuk NHS 10 cc/liter dengan bobot rimpang 6.467 kg.

Tabel 16. Bobot Rimpang Jahe Akibat Pemberian Pupuk NHS (Simbolon, 1997)

Pupuk NHS cc/L air bobot rimpang per 4 m2 (Kg) 0 5,300 a 5 5,842 ab 10 6,467 b 15 6,025 ab

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% DMRT.

Pengendalian Hama dan Penyakit Beberapa hama dan penyakit dapat mengganggu dan merusak pertanaman jahe. Namun hingga kini gangguan dan kerusakan paling serius pada tanaman jahe disebabkan oleh penyakit busuk rimpang. a. Hama Hama yang cukup serius merusak pertanaman jahe antara lain Mimegralla coeruleifrons Macquart. Hama berupa lalat ini bisa mengkibatkan tanaman layu mengering dan rimpangnya membusuk. Pengendalian dengan insektisida kurang disarankan. Jika terpaksa dapat diatasi dengan insektisida Nogos 50 EC. Hama penggerek pucuk batang dan ulat penggerek pangkal batang (Dischocrosis netiferalis) akan menyebabkan daun dan tanaman layu, akhirnya mati kering. Serangan hama ini dapat diatasi dengan insektisida Furadan 3-G. Di dalam gudang, rimpang jahe rawan terserang kumbang. Tabel 17. Jumlah Telur yang Ditemukan pada Tanaman Sehat dan Tanaman Sakit di Lapangan

(Balfas et al., 1997)

Lokasi Tanaman sehat Tanaman sakit Kisaran Rerata Kisaran Rerata

Cimanggu I 0 - 0 0 0 – 67 17,20 Cimanggu II 0 – 2 0.20 0 - 46 12,40 Sukamulya 0 - 0 0 0 - 7 2,10

Balfas et al., (2000) menyimpulkan bahwa lalat rimpang M.coeruleifrons dapat berstatus ganda, yaitu sebagai hama pada tanaman jahe (apabila tanaman telah terinfeksi bakteri atau jamur) dan sebagai pembawa bakteri layu. Pengendalian lalat rimpang dapat dilakukan dengan mengusahakan tanaman yang sehat, menanam tanaman jahe yang ditumpang sarikan dengan tanaman nilam, dan menggunakan insektisida yang disemprotkan pada tanaman, serta menerapkan sanitasi (Tabel 18). Perlakuan Diklorvos monofaktur, nilam sebagai pembatas, tumpang sari dengan nilam, tanpa mulsa dan dengan mulsa menurunkan jumlah rumpun yang terserang (Tabel 19).

Page 45: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 37

Tabel 18. Serangan Lalat M.coeruleifrons pada Tanaman Jahe yang Diinokulasi dan Tanpa Dikurung (Balfas et al., 2000)

Perlakuan Jumlah tanaman sakit/tanaman uji

Jumah tanaman terserang lalat Rerata lalat/terserang T L P Total T L P

Tanpa Dikurung Inokulasi PS 38/50 15 22 6 32/50 9,50 18,80 7,60 Tanpa Inokulasi 6/50 4 4 3 6/50 2 1,80 8,70 Dikurung Inokulasi PS 15/50 - 7 10 12/50 - 4,80 8 Tanpa Inokulasi 3/50 - 0 3 3/50 - 0 2,70

Keterangan: PS = P.solanacearum, T = telur, L = larva, P =pupa, - = tidak diperiksa, 0 = tidak ada

Tabel 19. Rerata Larva dan Pupa M.coeruleifrons pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pola Tanam Jahe (Karmawati dan Kristina, 1993)

Jenis Insektisida Monokultur Nilam sebagai pembatas

Tumpang Sari dengan nilam

Tanpa Mulsa

Mulsa

LP R LP R LP R LP R LP R Kontrol 45 45 8 9 9 3 41 29 21 29 Karbofuran 42 44 29 7 3` 4 64 26 36 28 Diklorvos 21 16 18 4 8 8 12 13 61 14 Rerata 36 35 18 7 16 5 39 23 39 24

Keterangan: LP = larva dan pupa; R = rumpun yang terserang b. Penyakit Penyakit yang sering ditemukan dalam budidaya jahe adalah bercak daun, layu bakteri dan busuk rimpang. Penyakit busuk rimpang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporium Schlecht dan Fusarium sp. zingiberi. Penyebab busuk rimpang di India yaitu Pythium aphanidermatum dan di Jepang Pythium zingiberi, di Fiji Pythium gracile, di Thailand Pythium sp. dan Phytophtora sp. Penelitian yang dilakukan Martanto (2001) menunjukkan pemberian abu sekam dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan tingkat serangan layu Fusarium. Pemberian abu sekam sebanyak 6% berpengaruh paling baik terhadap intensitas serangan penyakit layu bakteri dan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Tabel 20)

Tabel 20. Pengaruh Abu Sekam dan Masa Inkubasi dan Intensitas Layu Fusarium (Martanto,

2001)

No. Kandungan Abu Sekam

Masa Inkubasi

(hari) I II III IV V

1 1% + 0,2 0,8 2,0 2,6a 3,0a 10,00 2 2% + 0,2 0,6 1,8 2,2ab 2,8ª 12,60 3 2% + 0,2 0,6 1,6 1,8ab 2,0ab 10,60 4 4% + 0,2 1,0 2,0 2,2ab 2,6ab 10,20 5 5% + 0,0 0,4 1,6 2,0ab 2,0ab 14,40 6 6% + 0,0 0,2 0,8 1,2b 1,4b 15,80 7 7% + 0,0 0,4 1,6 1,8ab 2,0ab 15,20

Sampai saat ini penyakit yang paling utama menyerang tanaman jahe dan dapat menimbulkan kegagalan panen adalah penyakit layu bakteri karena Pseudomonas solanacearum/Ralstonia solanacearum. Bakteri ini mempunyai inang banyak, variabilitas virulensi tinggi dan

Page 46: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

38 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

penularan cepat. Penyebaran patogen dapat dengan efektif melalui bibit, air, media tanam, alat-alat pertanian, hewan hingga manusia. Menurut Januwati (1999) seragan patogen ini menyebabkan kehilangan hasil sekitar 15-25%, sehingga pada lahan pertanaman jahe yang luasnya 10.000 ha dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50.000 ton setiap tahunnya. Sampai sekarang belum ada cara yang benar-benar efektif untuk menanggulangi penyakit layu bakteri walaupun sudah ada anjuran praktis berupa upaya pencegahan penyakit, rotasi tanam, sanitasi dan penggunaan bibit sehat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu segera dicari metode pengendalian yang potensial, efektif dan ramah lingkungan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri. Penelitian yang telah dilakukan dalam mengendalikan penyakit layu bakteri yaitu Suardi (2002) mengukur tingkat ketahanan klon jahe dilakukan berdasarkan analisa dari variable pengamatan masa inkubasi, persentase serangan dan umur tanaman mati. Berdasarkan evaluasi tingkat ketahanan (Tabel 21) menunjukkan bahwa klon jahe gajah adalah sangat peka dan klon lokal peka serta klon jahe merah merupakan klon yang agak tahan terhadap R. solanacearum (Suardi, 2002).

Tabel 21. Kategori Ketahanan Tanaman Jahe terhadap Penyakit Layu Bakteri (Suardi, 2002)

No. Masa inkubasi (hari) Persentase serangan (%)

Lama tanaman mati (hari)

Tingkat ketahanan

1 14-35 >80 35-56 SP

2 36-56 61-80 57-70 P

3 57-70 41-60 71-90 AT

4 71-90 21-40 91-120 T

5 >90 0-20 > 120 ST

Keterangan: SP = Sangat Peka, T = Tahan, P= Peka, ST = Sangat Tahan, AT = Agak Tahan

Dari penelitian tersebut juga diperoleh serangan layu bakteri Ralstonia solanacearum tertinggi ditemui pada klon jahe gajah yaitu 80,56%, sedangkan persentase serangan terendah yaitu jahe merah 38,89% (Suardi, 2002). Salah satu komponen PHT yang mempunyai prospek yang baik adalah pengendalian secara hayati. Penggunaan agens antagonis seperti jamur dan bakteri antagonis sebagai agensia hayati dalam pengendalian penyakit tanaman mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi untuk menekan perkembangan penyakit tular tanah (soil borne).

Hasil isolasi dari pertanaman jahe (Tabel 22, 23 dan 24) isolat mikroba rizosfer antagonis potensial yang dapat dipergunakan untuk pengendalian layu bakteri pada pertanaman jahe, yaitu Aspergillus nidulans, Gliocladium virens, Penicillum digitatum, Rhizopus oryzae, Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, T. viridae, Paecelomyces roseaus, Achromobacter sp, Bacillus sp., Pseudomonas fluorescens, dan P. putida (Bustamam, 2006).

Page 47: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 39

Tabel 22. Daya Antagonis Mikroba Rizosfer Hasil Isolat dari Pertanaman Jahe di Lahan Terinfeksi (Bustamam, 2006)

Mikroba rhizosfer Kelompok Daya antagonis Potensi Aspergillus nidulans Aspergillus niger Gliocladium virens Paecelomyces roseaus Penicillum digitatum Rhizopus oryzae Saccharomyces sp. Trichoderma harzianum Trichoderma koningii Trichoderma viridae Achromobacter sp Azotobacter sp.. Bacillus sp. Lactobacillus sp. Pseudomonas fluorescens Pseudomonas putida

Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur

Bakteri Bakteri Bakteri Bakteri Bakteri Bakteri

++ -

+++ -

+++ + -

+++ +

+++ +++

- + _

+++ +

Baik Netral

Sangat baik Netral

Sangat baik Baik

Netral Sangat baik

Baik Sangat baik Sangat baik

Netral Baik

Netral Sangat baik

Baik +++ : sangat tinggi; ++ : tinggi; + : sedang; sangat baik= daya antagonis dan pertumbuhan koloni cepat; baik= daya antagonis dan pertumbuhan sedang; Netral= tidak bersifat antagonis.

Tabel 23. Daya Patogenitas Mikroba Rizosfer Hasil terhadap Rimpang Jahe (Bustamam, 2006)

Mikroba rhizosfer Kelompok Daya patogenitas Potensi Aspergillus nidulans Gliocladium virens Penicillum digitatum Rhizopus oryzae Trichoderma harzianum Trichoderma koningii Trichoderma viridae Achromobacter sp Bacillus sp Pseudomonas fluorescens Pseudomonas putida

Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Jamur Bakteri Bakteri Bakteri Bakteri

0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif 0. Negatif

Baik Sangat baik Sangat baik

Baik Sangat baik

Baik Sangat baik Sangat baik

Baik Sangat baik

Baik Keterangan: Baik jika daya patogenitas 0 dan pertumbuhan rimpang sehat, sangat baik jika daya patogenitas 0,

rimpang sehat dan tumbuh cepat.

Page 48: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

40 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 24. Pengaruh Pemberian Mikroba Rizosfer Antagonis terhadap Pertumbuhan dan Penghambatan Penyakit Layu Bakteri (Bustamam, 2006)

Agen antagonis Jumlah batang

Jumlah daun

Tinggi tanaman

(cm)

Infeksi (%)

Penurunan Infeksi (%)

Kontrol Aspergillus nidulans Gliocladium virens Penicillum digitatum Rhizopus oryzae Trichoderma harzianum Trichoderma koningii Trichoderma viridae Paecelomyces roseaus Achromobacter sp Bacillus spn Pseudomonas fluorescens Pseudomonas putida

3.96 h 4.92 fg 5.92 de 4.92 fg 4.56 gh 7.00 bc 7.32 b 4.40 gh 5.40 ef 8.48 a 6.40 cd 7.80 ab 7.08 bc

38.60 h 66.40 efg 65.20 fg 63.60 g 69.60 ef 93.80 b 85.40 c 41.80 h 70.80 e 69.80 ef 90.00 b 99.00 a 78.40 d

44.80 g 86.60 a 65.40 e 85.20 a 67.40 e 57.20 f 65.80 e 79.60 b 75.20 c 69.80 d 66.80 e 59.80 f 74.80 c

84 a 8 c 0 c 0 c

24 b 0 c 4 c 0 c 12 c 0 c 4 c 0 c 4 c

76 84 84 60 84 80 84 72 84 80 84 80

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata menurut uji DMRT taraf kepercayaan 95%.

Page 49: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 41

BAB V BUDIDAYA JAHE SISTEM KERANJANG

Tujuan Instruksional: Menjelaskan budidaya jahe sistem keranjang yang meliputi

pembibitan, persiapan lahan, persiapan media tanam, penanaman jahe sistem keranjang, penyulaman, pengendalian hama penyakit tanaman dan gulma, pembumbunan, pemupukan, panen, pasca panen dan standar produksi.

Pembibitan a. Pemilihan Bibit Teknik pemilihan bibit pada budidaya jahe sistem keranjang adalah sama dengan budidaya jahe pada lahan (lapangan). Bedanya pada kebutuhan bibit dimana jahe sistem keranjang memerlukan volume kebutuhan bibit jahe untuk 500 keranjang adalah 70 kg, dengan penanaman 7 bibit jahe/keranjang.

b. Teknik Persemaian Bibit Jahe Teknik Persemaian juga sama dengan teknik persemaian pada budidaya jahe secara umum (Bab IV). Bedanya persemaian bibit jahe sistem keranjang memerlukan bibit yang lebih banyak dibandingkan pembibitan untuk jahe di lapangan, sehingga persemaian perlu lebih luas. Umumnya budidaya jahe sistem keranjang lebih intensif dalam setiap tahapan budidaya agar diperoleh hasil maksimal. Teknik Pemeliharaan Persemaian Pemeliharaan bibit jahe di persemaian meliputi penyiraman dan pemupukan. Penyiraman pada persemaian bedengan dilakukan secara bersamaan 1-2 hari sekali pada sore hari sesuai kondisi cuaca. Pemupukan dilakukan dengan cara menyemprotkan pupuk organik cair (20 cc pupuk organik cair/10 liter air) secara merata menggunakan gembor siraman dengan frekuensi 1 minggu sekali. Persiapan Lahan Persiapan lahan pada budidaya jahe sistem keranjang meliputi pembersihan lahan dan penanaman tanaman pelindung (naungan). a. Pembersihan Lahan Lahan dibersihkan dari gulma dan tanaman liar lainnya, kemudian dibuat guludan dengan

lebar ± 1 m (2 x lebar keranjang) dan panjang guludan tergantung kondisi lahan. Jarak

Page 50: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

42 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

antar guludan kira-kira ½ m agar mempermudah dalam pemeliharaan (penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman). Pengguludan bertujuan untuk memperlancar drainase agar air hujan tidak tergenang. Kondisi tergenang memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan jahe sistem keranjang, karena keadaan tergenang meningkatkan kepekaan terhadap penyakit tanaman jahe.

Pada lahan yang telah digulud keranjang disusun berbaris dua-dua. Keranjang diletakkan

di tempat terbuka dan dialasi dengan batu bata pada dasar keranjang agar aliran air dalam keranjang lancar.

b. Penanaman Tanaman Pelindung (Naungan)

Budidaya jahe dengan sistem keranjang juga memerlukan naungan untuk menurunkan suhu dan laju respirasi, seperti halnya budidaya jahe di lapangan.

Apabila lahan untuk budidaya jahe sistem keranjang berupa lahan terbuka maka perlu

tanaman naungan sebagai pelindung yaitu penanaman batang ubi kayu kira-kira setinggi 1.5 m (Gambar 8) atau penanaman jagung pada sela-sela barisan keranjang (1 tanaman jagung untuk 4 keranjang).

Gambar 8. Tanaman Jahe Umur 2 bulan yang Diberi Naungan Tanaman Ubi Kayu

Pemilihan tanaman pelindung memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan penggunaan tanaman ubi kayu yaitu tahan digunakan untuk naungan jahe selama musim tanam jahe (9 bulan untuk jahe merah atau 6 bulan untuk jahe gajah). Kekurangannya yaitu perlu pemangkasan berkala, karena naungan yang terlalu rimbun akan meningkatkan kelembaban sehingga tanaman rentan serangan jamur.

Kelebihan tanaman pelindung menggunakan tanaman jagung yaitu tidak perlu

pemangkasan dan mendapatkan hasil jagung setelah 3 bulan. Kekurangannya yaitu perlu

Page 51: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 43

penanaman berulang karena umur jagung hanya 3 – 3.5 bulan sedangkan jahe 6-9 bulan. Karena itu setelah jagung berumur 2 bulan maka harus dipersiapkan penanaman jagung berikutnya sehingga ketika jagung pada penanaman yang pertama dipanen maka jagung berikutnya sudah bisa menggantikan sebagai naungan selanjutnya. Dalam satu musim tanam jahe maka diperlukan 2-3 kali penanaman jagung sebagai naungan.

Persiapan Media Tanam Jahe Sistem Keranjang a. Pemilihan Media Keranjang Keranjang yang digunakan bisa bervariasi. Untuk menghemat biaya maka dapat digunakan keranjang-keranjang bekas kemasan buah-buahan di pasar (Gambar 9). Tetapi keranjang ini perlu diberi alas karung plastik di bawahnya karena anyaman bambunya jarang. Selain ini bisa digunakan keranjang yang dipesan khusus untuk budidaya jahe keranjang berupa keranjang persegi yang rapat anyaman bambunya (Gambar 10). Penggunaan keranjang pesanan memerlukan biaya cukup besar karena harga satu keranjang berkisar antara Rp. 3.500– 4.000. Petani jahe di Perbaungan (Kabupaten Serdang Bedagai) Provinsi Sumatera Utara, memodifikasi penggunaan keranjang untuk penghematan biaya. Caranya yaitu memberi alas karung plastik pada lahan yang akan ditanami jahe, kemudian sekelilingnya dibatasi dengan bambu betung yang dibelah dan disusun berdiri kira-kira 75-100 cm. Panjang lahan yang dibatasi bambu betung umumnya 5-6 m. (Gambar 11). Kelebihan penggunaan sistem ini adalah menghemat biaya tetapi kekurangannya perlu media tanam yang lebih banyak.

Gambar 9. Penggunaan Keranjang Gambar 10. Penggunaan Keranjang dengan Anyaman Bambu Jarang dengan Anyaman Bambu Rapat

Page 52: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

44 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Gambar 11. Alternatif Lain Budidaya Jahe Sistem Keranjang

b. Pemilihan Media Tanam Penanaman jahe sistem keranjang merupakan modifikasi teknik budidaya tanaman jahe dengan tujuan mengkondisikan agar media tanam jahe tetap gembur dan sarang, mempermudah manajemen produksi tanaman, mempermudah pertumbuhan dan perkembangan tanaman jahe sehingga potensi produksi lebih tinggi jika dibandingkan penanaman jahe secara konvensional pada lahan. Budidaya jahe merupakan budidaya tanaman yang memerlukan syarat tumbuh pada fase kritis tertentu yang jika tidak terpenuhi maka akan mengalami gangguan dari segi kuantitas dan kualitas jahe. Tanaman jahe menghendaki tanah subur, banyak mengandung humus, gembur, berdrainase dan aerasi baik. Aerasi yang buruk akan mempengaruhi tanaman (pertumbuhan akar terhambat), serapan hara berkurang, serapan air terhambat dan merangsang pembentukan senyawa anorganik. Menurut Wiroatmojo (1992) laju tumbuh rimpang jahe sangat dipengaruhi oleh kekuatan wadah (umbi) untuk berkembang tanpa hambatan sehingga kebanyakan diperlukan sirkulasi oksigen di sekitar umbi dan air. Oleh karena itu, penggunaan tanah humus maupun penambahan berbagai jenis bahan organik pada pertanaman jahe sangat diperlukan. Tanah yang kaya humus umumnya lebih produktif. Humus mempengaruhi kesuburan dan produktivitas tanah dengan memberikan efek positif terhadap sifat-sifat kimia, fisika dan biologi tanah yaitu sebagai tempat penyimpan (reservoir) hara N, P dan S bagi pertumbuhan dan menunjang pembentukan struktur tanah yang baik serta merupakan sumber energi bagi mikroba tanah. Media tanam pada penanaman jahe sistem keranjang dapat bervariasi. Beberapa jenis media tanam yang sering dipergunakan yaitu top soil, kompos, sekam, pasir, jerami padi dan pupuk kandang dengan perbandingan tertentu. Umumnya digunakan komposisi media tanam berupa tanah top soil: pupuk organik (kompos, pupuk kandang, jerami padi, serbuk gergaji): sekam/pasir dengan perbandingan 2 : 1 : 1.

Page 53: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 45

Tahap persiapan media tanam jahe sistem keranjang sebagai berikut: a. Tanah top soil terlebih dahulu diayak dengan ayakan tanah untuk membuat kondisi agar

granula tanah seragam dan membersihkan tanah dari sisa gulma dan kotoran lainnya. b. Tanah top soil yang telah diayak dicampurkan (diaduk) secara merata dengan kompos dan

sekam/pasir sesuai dengan perbandingan. c. Media tanam yang telah dicampur merata dimasukkan ke dalam keranjang sebanyak ¼ isi

keranjang. Keranjang yang telah berisi media tanam dibiarkan di lapangan selama 1 minggu sebelum penanaman bibit jahe. Oleh karena itu persiapan media tanam dan pengisian media tanam ke dalam keranjang dilakukan pada minggu ke-3 setelah bibit jahe disemai.

Pemberian pupuk organik memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap indeks panen tanaman jahe gajah. Indeks panen menggambarkan pembagian berat kering oleh tanaman yang meliputi hasil panen biologis dan hasil panen ekonomis. Indeks panen yang tidak berbeda nyata diduga karena jahe gajah memiliki faktor genotif yang cukup homogen (Tabel 25). Tabel 25. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Indeks Panen (Patmawati, 2007)

Perlakuan Indeks Panen (%) Pupuk kandang ayam (25 ton/ha) 77.98 Pupuk kompos jerami (16.8 ton/ha) 77.09 Bokashi (26.3 ton/ha) 76.09 Solid (19.3 ton/ha) 71.47

Penelitian Trisia (2003) tentang efek pemberian bahan organik pada tanah podzolik merah kuning (PMK) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe (Zingiber officinale) di polybag menunjukkan bahwa pemberian jerami padi, sekam padi dan serbuk gergaji nyata dalam meningkatkan bobot rimpang jahe/polybag. Pemberian jerami padi, sekam padi dan serbuk gergaji dapat meningkatkan produksi jahe/polybag dibandingkan tanpa perlakuan (Tabel 26). Hal ini diduga karena perlakuan yang diberikan pada tanah PMK dapat menjaga kelembaban tanah dan mengandung bahan organik serta dapat menggemburkan tanah sehingga menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan rimpang sehingga dihasilkan bobot rimpang yang berbeda nyata dibandingkan tanpa perlakuan. Tabel 26. Bobot Segar Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Perlakuan Pemberian Bahan

Organik pada Tanah PMK (Trisia, 2003)

Perlakuan Berat segar rimpang (g)

Tanah PMK + tanpa bahan organik 82.860 a Tanah PMK + bahan organik jerami padi 123.195 c Tanah PMK + Bahan organik sekam padi 110.505 b Tanah PMK + Bahan organik serbuk gergaji 109.015 b

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata menurut Uji BNT pada • = 5%.

Page 54: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

46 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Penanaman Jahe Sistem Keranjang

Sebelum ditanam pada keranjang maka bibit jahe yang telah berkecambah disortir kembali. Bibit yang terpilih adalah bibit jahe yang telah berkecambah, tumbuh normal dan tidak ada gejala serangan hama dan penyakit (Gambar 12). Jumlah kecambah jahe yang ditanam untuk setiap keranjang sangat tergantung kepada ukuran keranjang. Umumnya untuk tiap keranjang ditanam 5 kecambah jahe. Setelah ditanam pada keranjang maka keranjang ditutup dengan pelepah kelapa sawit untuk menghindari kecambah jahe dari sinar matahari dan guyuran air hujan secara langsung. Pembukaan pelepah kelapa sawit baru dilakukan jika tinggi tanaman jahe telah mencapai pelepah tersebut.

Gambar 12. Bibit Jahe Siap untuk Ditanam Pemeliharaan Pemeliharaan sangat penting dalam menunjang keberhasilan budidaya. Bila tahap bibit telah terlampaui dengan baik, artinya telah menggunakan bibit yang sehat, maka pemeliharaan menjadi kunci utama dalam menjaga pertumbuhan tanaman. Penyulaman Penyulaman tanaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati/tumbuh abnormal dengan menggunakan bibit tanaman sehat berumur sama. Penyulaman hendaknya dilakukan dengan menggunakan tanaman yang sudah disiapkan dari pembibitan. Seleksi dan penggantian tanaman ini perlu diperlukan agar diperoleh tanaman yang tumbuh dengan seragam sehingga waktu panen dapat dilakukan secara serempak. Penyulaman dilakukan sekitar 2-3 minggu setelah tanam dalam keranjang dan penyulaman harus segera dilakukan agar pertumbuhan bibit sulaman tidak jauh tertinggal dengan tanaman jahe yang lain. Bibit jahe untuk penyulaman berasal dari cadangan bibit di persemaian.

Page 55: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 47

Penyulaman sebaiknya tidak dilakukan pada tanaman yang mati atau jelek yang disebabkan oleh penyakit layu bakteri. Apabila ada tanaman yang terserang penyakit tersebut, lubang tanam bekas cabutan tanaman tersebut diberi kapur atau disiram dengan ekstrak bawang merah untuk menghindari penularan tanaman di sekitarnya.

Penyiangan Persaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat menurunkan hasil karena gulma juga menyerap unsur hara, air, dan sinar matahari. Penyiangan gulma sebelum tanaman umur 180 hari merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Pada umur tersebut merupakan masa kritis bagi tanaman jahe untuk dapat bersaing dengan gulma. Namun, setelah masa kritis berlalu dan terutama bertepatan dengan keadaan curah hujan yang mulai berkurang, maka penyiangan dilakukan terbatas hanya di sekitar rumpun. Pada umur 6 – 7 bulan, sebaiknya tidak dilakukan penyiangan karena pada saat itu tanaman cukup peka terhadap gangguan teknis. Penyiangan dilakukan secara rutin untuk menanggulangi tumbuhnya gulma yang mengganggu dan tidah bermanfaat. Selain itu, juga untuk memperbaiki struktur tanah. Penyiangan pertama dilakukan ketika tanaman jahe berumur 2-4 minggu setelah pindah tanam, kemudian secara berkala 3-6 minggu sekali sesuai kondisi gulma yang mengganggu. Setelah tanaman jahe berumur 6-7 bulan sebaiknya tidak dilakukan penyiangan lagi karena pada umur tersebut rimpangnya mulai besar. Pada tanaman rimpang, kegiatan pembumbunan cukup penting untuk memberikan kondisi pertumbuhan rimpang secara optimum di bawah permukaan tanah sehingga tanaman akan menghasilkan rimpang yang cukup baik.

Pembumbunan dan Penambahan Media Tanam Ciri khas dari budidaya jahe sistem keranjang adalah penambahan media tanam secara bertahap setiap muncul tunas-tunas baru, sehingga tunas-tunas tersebut akan tumbuh menjadi rimpang. Penambahan media tanam dilakukan setiap 4 minggu sampai panen. Pembumbunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh media tumbuh akar dan rimpang menjadi lebih baik. Pembumbunan akan menyebabkan penetrasi akar dan pembesaran rimpang menjadi lebih mudah karena partikel-partikel yang besar dihancurkan menjadi bagian yang lebih kecil. Setiap kali dilakukan pembumbunan akan terbentuk guludan kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan kelebihan air. Tanaman jahe perlu tanah dengan aerasi dan drainase yang baik, sehingga perlu pembumbunan secara berkala. Pembumbunan bertujuan untuk menggemburkan tanah, memperkokoh tanaman jahe agar berdiri tegak dan menimbun rimpang jahe yang kadang-kadang muncul ke atas permukaan tanah. Jika tanaman jahe masih muda maka cukup tanah sekitar rumpun digemburkan. Pembumbunan dilakukan agar tanaman jahe berdiri tegak dengan cara membuat gundukan di sekeliling tanaman. Pembumbunan umumnya dilakukan sebanyak 2-3 kali selama umur tanaman jahe tergantung kondisi tanah dan cuaca (banyaknya hujan).

Page 56: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

48 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Pengairan (Penyiraman) Tanaman jahe memerlukan tanah yang memiliki ketersediaan air yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Air merupakan senyawa penting dalam pertumbuhan tanaman. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu dan menghambat proses fisiologi yang terdapat dalam tubuh tanaman sehingga laju prosesnya berlangsung dibawah normal. Penyediaan air secara cukup pada media pertanaman mutlak diperlukan, terutama pada tanaman muda yang sangat membutuhkan air untuk proses pertumbuhan vegetatifnya hingga dewasa. Namun, secara umum kondisi air tanah perlu dijaga pada kapasitas lapang agar pertumbuhan tanaman menjadi optimum. Pada tanaman jahe jika tidak turun hujan dilakukan penyiraman air pagi dan sore hari. Hasil penelitian menunjukkan pemberian air setiap hari dapat meningkatkan Rerata bobot segar rimpang jahe 35 – 36% dibandingkan dengan pemberian air 2 – 3 hari sekali (Ikha Dewi, 1993). Pengendalian Hama dan Penyakit a. Hama

Hama –hama yang sering di jumpai pada pertanaman jahe antara lain: 1. Kepik (Epilahra sp.) menyerang daun dan menyebabkan daun berlubang-lubang. 2. Ulat penggerek akar (Dichorcrotis puntiferalis) menyerang akar tanaman sehingga

menyebabkan tanaman kering dan mati. 3. Lalat rimpang (Eumerus figurans Walker. dan Mimegrala coeruleifrons). 4. Lalat gudang yang bersifat saprofagus (Lamprolonchase sp. dan Chaetonerius sp.

menyerang rimpang mulai dari pertanaman sampai gudang penyimpanan. b. Penyakit Penyakit yang sering menyerang tanaman jahe yaitu penyakit bercak daun (Gambar 13 dan Gambar 14), busuk rimpang dan layu bakteri. Penyakit layu bakteri ini disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Gejalanya dimulai dari terlihatnya satu atau beberapa batang berubah menjadi layu dan daun-daun menguning, kering atau hitam mengatup. Dalam 2-4 hari batang mati rebah. Kemudian, secara berangsur-angsur gejala ini menular kerumpun yang lain. Sampai sekarang belum ada satu paket teknologi pengendalian yang memberikan hasil yang memuaskan, kecuali dengan usaha pencegahan yang ketat. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

1) Tidak melakukan penanaman berulang pada lahan yang sama (telah ditanami jahe secara berturut-turut). Setelah melalui pergiliran tanaman beberapa kali (minimal 3 kali) dengan tanaman lain, baru lahan tersebut dapat ditanami kembali.

2) Seleksi bibit yang ketat atau menggunakan bibit yang sehat. 3) Perlakuan bibit (tuber treatment) dengan menggunakan Agrimycin dan abu sekam/abu

bakar sebelum ditunaskan. 4) Melakukan pergiliran waktu tanam yang bergerak dari lahan yang terbawah menuju

lahan yang paling tinggi bila penanaman dilakukan dilahan landai, bergelombang, atau berlereng.

5) Meminimalkan terjadinya pelukaan pada akar maupun pada rimpang. Misalnya, pembumbunan dilakaukan secara hati-hati agar tidak melukai akar atau rimpang.

6) Cepat mencabut atau membakar tanaman yang menunjukkan gejala serangan sebelum menyebar ke seluruh pertanaman.

Page 57: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 49

Gambar 13. Awal Gejala Penyakit Bercak Daun

Gambar 14. Perluasan Gejala Penyakit Bercak Daun, Daun Mulai Menguning

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman jahe merupakan penyakit penting di beberapa negara di Asia, Australia dan Afrika, termasuk di Indonesia (Semangun, 2000). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di Kuningan, Jawa Barat kemudian menyebar ke daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Sumatera Utara dan Bengkulu (Januwati, 1999). Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu melalui penggunaan varitas tahan, perbaikan kultur teknis, pemakaian bibit sehat, dan secara hayati (Elphinstone dan Aley, 1995). Usaha mendapatkan bibit bebas patogen sulit dilakukan karena hampir 85% lahan pertanian jahe putih besar terinfeksi oleh patogen (Bustamam et al., 2003). Suardi (2002) mendapatkan serangan R. solanacearum tertinggi pada klon jahe gajah yaitu 80,56% dibandingkan dengan jahe merah hanya 38,89%. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa penanaman jahe di lahan baru dapat bebas dari serangan bakteri dibandingkan jika diusahakan di lahan lama bekas pertanaman kopi atau semusim (Bustamam et al., 2003).

Page 58: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

50 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Seperti halnya pada umbi kentang yang terinfeksi bakteri layu secara laten dapat dideteksi dengan uji ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Penanaman umbi kentang sehat hasil uji ELISA dapat menghindari terjadinya serangan penyakit bakteri layu di lapangan dan dapat menekan intensitas penyakit layu sebesar 34,8%. Beberapa cara telah dilakukan untuk pengendalian penyakit layu bakteri. Penggunaan mikroba antagonis dapat mengurangi insiden penyakit layu namun potensi inokulum di lahan masih tinggi. Isolat P. fluorescens T 906, P. cepacia 44 dan Bacillus sp dapat menekan penyakit layu bakteri pada jahe putih kecil. Uji lanjut juga menunjukkan aplikasi campuran Pseudomonas cepacia, P. flurescens dan Bacillus sp, dalam satu formulasi dapat menekan serangan bakteri dari 47% menjadi 7,4% (Mulya, et al., 2000). Bustamam (2001) telah menyeleksi dan mendapatkan 6 jenis jamur pelarut fosfat yang dapat mengurangi potensi inokulum patogen di tanah sebesar 73,40-84,00% namun potensi inokulum yang tertinggal di tanah masih tinggi. Hasil seleksi mikroba dari rhizosfer tanaman sehat di lahan pertanaman jahe yang terinfeksi mikroba yang potensial dipergunakan sebagai pengendali hayati (Bustamam, 2006). Wahyuti (2002) mendapatkan cairan dari perasan bunga cengkeh mampu menekan serangan R. solanacearum. Habazar et al., (2007) menyatakan bahwa isolat rhizobakteria mampu mengimunisasi tanaman jahe sehingga menekan perkembangan penyakit layu bakteri dengan tingkat efektivitas 33-100%. Hasil penelitian Suharti dan Habazar (2007) menunjukkan bahwa fungi mikoriza arbuskular dapat menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap penyakit bakteri R. solanacearum ras 4. Menurut Martanto (2001) pemberian abu sekam sebanyak 6% dari total media tanam dapat menekan intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Penelitian lain bahwa minyak serai wangi dapat mengendalikan konidia Fusarium penyebab penyakit layu pada tanaman tomat (Chrisnawati, 2001). Nurmansyah dan Syamsul (2001) menyimpulkan minyak atsiri serai wangi mempunyai potensi sebagai fungisida alternatif untuk pengendalian layu Fusarium pada tanaman cabai.

Pemupukan Pemupukan tanaman jahe sistem keranjang umumnya menggunakan pupuk organik baik dalam bentuk pupuk kandang maupun pupuk organik cair. Pemberian pupuk kandang umumnya dilakukan sewaktu penambahan media tanam dan pembumbunan. Sedangkan, pupuk organik cair diberikan secara berkala setiap minggu sekali dengan cara disemprotkan kepada tanaman. Jika perlu petani juga menambahkan pupuk organik yang berbentuk tablet yang dihancurkan, dengan dosis 2 tablet per keranjang.

Penggunaan pupuk organik mampu meningkatkan produksi dan mutu jahe pada umur 4 bulan. Bobot rimpang segar tertinggi pada perlakuan 50% pupuk organik rekomendasi + pupuk organik granular anjuran. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebesar 50% pada pertanaman jahe muda di pot (Gusmaini, 2007). Fitrya (2003) menguji berbagai jenis pupuk kandang dan beberapa dosis urea pada tanaman jahe gajah menunjukkan bahwa bobot basah dan bobot kering rimpang jahe (Tabel 27 dan 28).

Page 59: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 51

Menurut hasil penelitian tersebut interaksi perlakuan antara pupuk kandang ayam dengan urea sebanyak 3.60 g/tan memberikan bobot rimpang basah dan bobot rimpang kering tertinggi yaitu 30.31 g dan 25.31 g. Tabel 27. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Basah per

Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam (Fitrya, 2003)

Perlakuan Tanpa

urea

2.40 g

urea/tan

3.60 g

urea/tan

4.80 g

urea/tan

Rerata

pukan (g)

.................................................... g ......................................................

Kontrol 17.16 cd 15.22 cd 15.09 d 16.40 cd 15.97 c

Pupuk kandang kambing 28.40 ab 18.64 cd 17.32 cd 16.16 cd 20.13 b

Pupuk kandang sapi 17.71 cd 23.48 bc 18.46 cd 15.82 cd 18.87 c

Pupuk kandang ayam 20.51 cd 28.27 ab 30.31 a 13.61 d 23.17 a

Rerata urea 20,94 a 21.40 a 20.29 a 15.49 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut DMRT.

Tabel 28. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Kering per

Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam (Fitrya, 2003)

Perlakuan Tanpa urea 2.40 g

urea/tan

3.60 g

urea/tan.

4.80 g

urea/tan)

Rerata Pukan

(g)

…………..…..…………..…….g……..……...……..……………….

Kontrol 12.96 e 15.85 cde 12.31 e 12.60 e 13.43 c

Pupuk kandang kambing 15.63 cde 21.81 ab 15.77 cde 13.90 e 16.74 b

Pupuk kandang sapi 13.53 e 19.13 cd 19.97 bc 14.33 e 16.74 b

Pupuk kandang ayam 15.56 de 21.11 b 25.51 a 13.95 e 19.03 a

Rerata Urea 14.42 b 19.48 a 18.39 a 13.69 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut DMRT

Penggunaan pupuk alam dan organik pada tanaman jahe merah Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 menghasilkan produksi rimpang segar berturut-turut 3,82; 4,38; dan 4,48 ton/ha (Yusron et al.,2007). Penambahan pupuk kandang sapi pada media tanam secara nyata dapat meningkatkan diameter batang tetapi tidak nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan (Tabel 29).

Page 60: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

52 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 29. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan Jahe (Zingiber officinale) di Keranjang (Ginting, 2007)

Pupuk kandang (Kg/keranjang)

Tinggi tanaman (cm)

Diameter batang (mm)

Jumlah daun (helai)

Jumlah anakan (anakan)

10 64.10 1.50 a 4.61 1.45 9 67.18 1.58 ab 4.75 1.48 8 67.98 1.59 ab 4.75 1,50 7 70.42 1.63 a 4.89 1,53

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT.

Rosita dan Darwati (2007) melakukan penelitian respons pupuk organik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi jahe. Perlakuan yang dicobakan pupuk kandang 1 kg/tanaman, pupuk kandang 1 kg/tanaman + asam leonat 45 ppm setiap dua minggu dan kascing 0,5 kg/tanaman. Mereka mendapatkan pemakaian pupuk kandang 1 kg/tanaman akan lebih efisien dibandingkan dengan pupuk organik lainnya untuk pertumbuhan dan produksi jahe muda 105 hari setelah tanam. Maslahah et al. (2007) mendapatkan teknologi pemupukan dengan kompos, pupuk hijau dan fungi mikoriza arbuskular (FMA) sebagai alternatif pengganti pupuk kandang yang lebih murah dan berwawasan lingkungan. Produksi jahe muda tertinggi (472, 48 g/rumpun) diperoleh pada perlakuan 10 ton kompos + 30 ton pupuk hijau + 50% NPK standar + FMA, dengan peningkatan produksinya sebesar 9,45% dibandingkan dengan pemupukan standar. Pemanfaatan pupuk organik terkait dengan upaya menghasilkan produk pertanian organik. Sebagian konsumen hasil pertanian terutama sayuran dan buah segar lebih menyukai produk pertanian organik dari pada produk pertanian anorganik, rasa, warna, aroma dan tekstur hasil pertanian organik umumnya lebih baik dari pada produk anorganik. Demikian juga kombinasi pemberian pupuk P (P2O5) dan pupuk K (K2O) dapat meningkatkan bobot rimpang jahe (Jurnawaty, 1994). Prasetyo et al (2006) meneliti pola pertumbuhan tanaman jahe merah dengan intensitas naungan dan dosis pupuk KCl pada sistem wanafarma di perkebunan karet. Dalam penelitian tersebut variabel pengukuran meliputi tinggi tanaman, jumlah tunas anakan, jumlah daun dan diameter batang semu. Berikut hasil dan pembahasan yang dikemukakan Prasetyo et al, (2006). Pertumbuhan tanaman jahe merah terus meningkat dari 7 minggu setelah tanam sampai tanaman berumur 19 minggu. Pada umumnya pertumbuhan tanaman jahe merah pada saat minggu 7-19 setelah tanam relatif seragam. Hal ini diduga pada saat itu tanaman jahe merah masih mengalami satu fase pertumbuhan yaitu fase pertumbuhan vegetatif yang cepat. Sitompul dan Guritno (1995), mennjelaskan bahwa pada awalnya pertumbuhan vegetatif berjalan lambat, kemudian cepat (pertumbuhan vegetatif cepat) dan akhirnya perlahan sampai konstan (memasuki fase generatif).

Page 61: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 53

Peningkatan Rerata tinggi tanaman tertinggi mulai dari minggu ke- 7 setelah tanam hingga minggu ke- 19 setelah tanam diperoleh pada intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman sedangkan Rerata tinggi tanaman terpendek diperoleh pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 22,5 g per tanaman. Terjadi penurunan tinggi tanaman pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 22,5 g per tanaman pada akhir pengamatan (19 minggu setelah tanam). Hal ini diduga Rerata suhu tanah dan suhu udara di bawah tegakan karet sangat tinggi sehingga tanah menjadi lembab dan munculnya hama belalang penggerek daun yang mengakibatkan tanaman sampel yang diamati terserang. Tanaman jahe pada intensitas naungan 50% mengalami peningkatan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan intensitas naungan 25%. Menurut Lakitan (1996) faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya dan suhu. Pemberian intensitas naungan 50% mengakibatkan terjadinya perpanjangan sel (Muhartini dan Kurniasih, 2000). Pada perlakuan intensitas naungan 25% diduga kerja auksin tertekan sehingga mempengaruhi perpanjangan sel. Treshow (1970) menjelaskan bahwa cahaya yang berlebihan diterima tanaman dapat mengurangi proses fotosintesis dan dapat menghambat perpanjangan sel serta membatasi pertumbuhan tanaman. Sebaliknya naungan dapat meningkatkan auksin sehingga dapat memacu perpanjangan sel (Dewani et al., 2001). Pola pembentukan jumlah tunas umumnya relatif seragam sampai minggu ke- 17 setelah tanam. Pertambahan Rerata jumlah tunas terendah mulai minggu ke- 7 setelah tanam sampai minggu ke- 19 setelah tanam diperoleh intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 22,5 g per tanaman diperoleh 1,5 tunas sedangkan intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman memberikan nilai Rerata tertinggi jumlah tunas mulai minggu ke- 7 setelah tanam hingga minggu ke- 17 setelah tanam sebesar 22, 6 tunas. Namun setelah minggu ke- 17 pola pembentukan tunas pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman meningkat dengan cepat sebesar 3,83 tunas. Diduga setelah minggu ke- 17 merupakan fase pertumbuhan vegetatif aktif. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas naungan yang rendah menyebabkan auksin yang ada pada bagian ujung tanaman terganggu dan bergerak ke bawah membentuk tunas-tunas baru (Dewani et al., 2001). Di samping itu, pada intensitas naungan 50% kelembaban udara menjadi sangat tinggi yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lembab sehingga pertambahan jumlah tunas anakan kurang baik. Pertambahan jumlah daun pada umumnya meningkat dengan cepat. Hal ini terjadi karena sejak awal pengamatan (7 minggu setelah tanam) sampai minggu ke- 19 tanaman sudah memasuki fase pertumbuhan vegetatif yang cepat. Mulai dari minggu ke- 7 setelah tanam sampai minggu ke- 19 setelah tanam pertambahan Rerata jumlah daun terbanyak diperoleh intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman sebesar 28 helai sedangkan pertambahan Rerata jumlah daun terendah diperoleh pada intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 22,5 g per tanaman sebesar 10,5 helai. Hal ini diduga dipengaruhi oleh pertambahan jumlah tunas yang menunjukkan bahwa pertambahan jumlah tunas pada intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g pertanaman mulai minggu ke- 7 hingga minggu ke- 17 setelah tanam memberikan nilai Rerata tertinggi. Garden et al. (1985) mengemukakan bahwa semakin banyak tunas yang terbentuk maka daun yang terbentuk juga akan lebih banyak karena daun keluar dari buku-buku batang. Sedangkan intensitas naungan 25% juga memberikan pertambahan jumlah daun yang cukup banyak namun tidak sebanyak intensitas naungan 50%.

Page 62: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

54 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Terjadi pertambahan diameter batang setiap waktu pengamatan mulai dari minggu ke- 9 hingga minggu ke- 19 setelah tanam. Pola pembentukan diameter batang semu umumnya relatif seraga,m. Minggu ke- 9 setelah tanam sampai minggu ke- 11 setelah tanam intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman memberikan nilai Rerata terbesar dan memasuki minggu ke- 13 setelah tanam pembentukan diameter batang semu relatif seragam pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman dengan intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman. Namun memasuki minggu ke- 15 hingga minggu ke- 17 setelah tanam diameter batang semu pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman memberikan nilai Rerata terbesar. Pada akhir pengamatan nilai Rerata tertinggi kembali diperoleh perlakuan intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman. Pola pertumbuhan yang tidak stabil ini diduga karena lingkungan yang lembab sehingga tanaman mudah terserang penyakit busuk rimpang dengan gejala tanaman layu, mudah rebah, busuk dan kering yang mengakibatkan batang semu mengalami kerusakan. Pemberian intensitas naungan 25% menghasilkan nilai Rerata terbesar diameter batang. Diduga pertambahan diameter batang semu lebih efisien pada intensitas cahaya yang tinggi, hal ini didukung bahwa pada intensitas naungan 25% tinggi sehingga menghasilkan cahaya yang diinginkan dapat dimanfaatkan untuk fotosintesis. Sedangkan pada intensitas naungan 50% cahayanya lebih rendah dari pada intensitas naungan 25% sehingga cahaya yang dibutuhkan kurang untuk fotosintesis. Peningkatan jumlah fotosintat yang dihasilkan selama proses fotosintesis pada fase vegetatif memungkinkan adanya jumlah dan ukuran organ tanaman yang dihasilkan. Peningkatan jumlah dan ukuran organ tanaman disebabkan oleh adanya peningkatan cadangan makanan fotosintat pada titik tumbuh (Moko dan Rosita, 1996). Walaupun tidak nyata pupuk kandang dapat menambah bobot segar akar, daun, rimpang dan diameter rimpang jahe (Ikha Dewi, 1993). Hasil tertinggi untuk Rerata bobot segar rimpang terdapat pada perlakuan pupuk kandang 10 ton/ha yaitu 170.30 g/rumpun (Tabel 30). Tabel 30. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Bobot Segar Akar, Batang, Daun,

Rimpang dan Diameter Rimpang Jahe (Ikha Dewi, 1993)

Pupuk kandang (ton/ha)

Rerata bobot segar Diameter rimpang

Akar Batang Daun Rimpang

………………….g/rumpun…………………. (mm)

0 12.39 121.90 27.85 152.70 21.79

10 15.61 149.00 34.78 170.30 22.72

20 12.89 143.50 28.59 170.20 22.90

30 12.56 127.90 32.42 165.60 24.14

Pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan hasil dan mutu rimpang jahe banyak dilakukan oleh petani jahe di Jawa, karena pupuk ini cukup tersedia, namun budidaya jahe yang hanya mengandalkan pupuk kandang sebagai sumber pupuk organik memiliki beberapa

Page 63: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 55

kelemahan, antara lain: 1) Ketersediaannya terbatas terutama untuk daerah luar Jawa, 2) Harganya relatif mahal dan dibutuhkan dalam jumlah besar (volume dan bobot), sehingga menjadi komponen biaya produksi yang relatif tinggi (20-25%), 3). Untuk lahan yang lokasinya jauh dari jalan raya dan medannya berbukit diperlukan biaya pengangkutan yang relatif tinggi ke lokasi penanaman, 4) Sering kali pupuk kandang tercampur benih gulma, sehingga akan menambah jenis dan populasi gulma di area pertanaman jahe, dan 5) Pupuk kandang menimbulkan bau tidak enak bagi lingkungan meskipun tidak beracun (Karama et al., 1990). Rimpang jahe yang besar dan bernas, sesuai dengan persyaratan ekspor jahe segar, dapat diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan pada tanah berhumus tebal, kandungan C-organik sangat tinggi (11,84%) pada lahan hutan yang baru dibuka seperti di Rejang Lebong, Bengkulu, dan pada C-organik rendah (1%) pada tanah Latosol Cicurung (Gusmaini dan Trisilawati 1998). Humus yang telah matang memiliki rasio C/N 15-22% (Direktorat Serealia 2001). Percobaan pot dengan media tanah Latosol Cicurung yang bagian atasnya ditambahkan humus setebal 15 cm tanpa penambahan pupuk dan pupuk buatan N, P, dan K, juga membuktikan peran bahan organik dalam pembentukan rimpang yang besar dan bernas. Hasil rimpang tertinggi di capai dengan menambahkan humus 6,70 kg/pot, yakni tujuh kali lebih besar dibandingkan hasil pada media (tanah Latosol) tanpa pemberian bahan organik. Dibandingkan dengan media tanah + 1 kg pupuk kandang + 5 g Urea + 3,75 g TSP + 3,75 g KCl/polibag, tanaman jahe pada media tanah berhumus tebal memberikan hasil rimpang segar lebih dari dua kalinya (Gusmaini dan Trisilawati, 1998). Hasil penelitian pemanfaatan pupuk kompos bokashi menunjukkan bahwa EM4 20 ml/l air dan bokhasi 20 ton/ha meningkatkan hasil rimpang segar dan kering (Wiroatmodjo et al., 1996). Bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan efisiensi penyerapannya. Perombakan bahan organik akan melepaskan unsur hara seperti N, P, K, dan S. Meskipun kandungan unsur hara pupuk organik relatif rendah, tetapi perombakannya relatif cepat terutama di daerah tropika. Oleh karena itu, agar penggunaan bahan organik efektif, maka pemberiannya harus dalam jumlah besar (Karama et al., 1990).

Peran bahan organik sebagai kompleks jerapan anion (fosfat, silika, nitrat, sulfat dan lainnya) sangat penting dan selama ini kurang mendapat perhatian (Karama et al. 1990). Pada tanaman jahe besar, jahe kecil (emprit),dan jahe merah, efisiensi serapan pupuk organik N relatif rendah, masing-masing 12,60%; 5,19- 7,25%; dan 5,48- 10,10% (Yusron et al. 1998). Pupuk Urea akan dikonversi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat (Nartea, 1990). Kompleks jerapan anion dari pupuk organik atau bahan organik tanah akan mengurangi kehilangan karena pencucian. Bahan organik juga mampu mengikat ion-ion racun dalam tanah seperti Al, Cd, dan Pb sehingga tidak diserap oleh tanaman (Mulyani et al. 2001).

Darwati et al, (1998) melaporkan bahwa penambahan asam humat dapat meningkatkan bobot segar jahe pada umur 3 bulan setelah tanam (BST). Fungsi fisiologi bahan organik tanah bagi mikroba tanah adalah sebagai sumber utama energi untuk aktivitas kehidupan dan berkembang biak. Pemberian bahan organik dengan rasio C/N tinggi akan memacu pembiakan mikroba, memfiksasi beberapa unsur hara atau immobilisasi N yang bersifat sementara.seiring dengan menurunnya rasio C/N tanah, sebagian mikroba akan mati, selanjutnya melalui proses perombakan (dekomposisi) unsur hara menjadi tersedia kembali (Tabel 31).

Page 64: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

56 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 31. Kesehatan Jahe pada Umur 3 Bulan Setelah Tanam pada Berbagai Pemberian Bahan Organik (Darwati et al., 1998)

Jenis Bahan Organik Rataan jumlah

tanaman tumbuh dari 56 bibit

Persentase tanaman sakit

(%) Tanpa bahan organik 44.03 25.12 Pupuk kandang (20 t/ha) 46.91 19.81 Pupuk kandang + daun cengkeh (200 g/lubang tanam) 45.95 14.43 Pupuk kandang + daun serai wangi (200 g/lubang tanam) 45.95 18.57 Pupuk hijau + pupuk kandang +daun cengkeh 48.06 10.15 Pupuk hijau + pupuk kandang + daun serai wangi 46.72 5.60 Pupuk hijau + daun cengkeh 45.95 22.54 Pupuk hijau + daun serai wangi 47.29 21.35 Pupuk hijau 45 5.94

Hasil penelitian Hapsoh dan Hasanah (2008) mengenai pemanfaatan pupuk organik dan komposisi media tanam terhadap hasil rimpang jahe merah menunjukkan bahwa komposisi pemberian topsoil : pupuk kandang : pasir (3 : 1 : 1) memberikan hasil rimpang per tanaman tertinggi yaitu 102.58 gram/tanaman (Tabel 32). Hasil ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan deskripsi hasil rimpang pada tanaman jahe. Hal ini disebabkan adanya serangan penyakit bercak daun yang mulai terjadi pada umur 3 bulan setelah tanam.

Tabel 32. Rataan Bobot Rimpang dari Perlakuan Pupuk Organik dan Media Tanam

Pupuk Organik

Media Tanam

Rataan T1 T2 T3 T4

………………………..g………………………….

M0 79.75 75.14 104.31 71.56 82.69 b

M1 119.45 96.81 103.80 90.28 102.58 a

Rataan 99.6 85.97 104.05 80.92 Keterangan: Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan

pada taraf 5%. M0 : Tanpa pupuk organik M1 : Dengan pupuk organik T1 : Pupuk kandang : pasir (2 : 1) T2 : Pupuk kandang : sekam (2 : 1) T3 : Top soil : pupuk kandang : pasir (3 : 1 : 1) T4 : Top soil : pupuk kandang : sekam (3 : 1 : 1)

Page 65: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 57

BAB VI PANEN DAN PASCAPANEN JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan penentuan umur panen, cara panen, penanganan pascapanen, menentukan standar mutu dan pengujian mutu jahe.

Panen Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya tanaman obat. Pemanenan jahe adalah kegiatan untuk pengambilan hasil berupa rimpang dengan cara membongkar seluruh rimpang dengan menggunakan cangkul atau garpu. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Oleh karena itu waktu, cara panen dan penanganan tanaman yang tepat dan benar merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas. Waktu Panen Waktu panen jahe akan mempengaruhi kadar minyak atsiri dan serat dari jahe yang dihasilkan. Kadar minyak atsiri jahe akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya umur tanaman, seperti terlihat pada Tabel 33. Waktu panen ditentukan oleh tujuan produk akhir yang dituju, apakah untuk bumbu masak, jahe bubuk atau untuk ektraksi minyak atsirinya. Jahe yang akan digunakan sebagai bumbu masak dan jahe bubuk, kadar serat kasar harus sekecil mungkin untuk memudahkan proses penggilingan, sehingga harus dipanen sedini mungkin. Pemanenan jahe yang akan digunakan sebagai bumbu masak dilakukan pada umur kurang lebih 4 bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai tua.

Tabel 33. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe Emprit pada Berbagai Umur Panen (Julianti et al., 2008)

Umur Panen

Kadar Air Kadar Minyak Atsiri

Jahe Merah

Jahe Gajah

Jahe Emprit

Jahe Merah

Jahe Gajah

Jahe Emprit

8 bulan 89.48 87.22 82.72 2,39 2,64 2,12 9 bulan 88.94 85.74 81.67 2,53 3,27 2,74 10 bulan 88.52 84.64 78.95 3,92 3,23 3,45 11 bulan 74.13 78.58 74.51 3,90 3,13 3,26

Page 66: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

58 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Rimpang jahe yang akan dipasarkan untuk kebutuhan ekspor dalam bentuk segar dipanen pada umur 8 - 9 bulan setelah tanam, sedangkan untuk bibit 10 - 12 bulan. Selanjutnya untuk keperluan pembuatan jahe asinan, jahe awetan dan permen dipanen pada umur 4 - 6 bulan karena pada umur tersebut serat dan pati belum terlalu tinggi. Sebagai bahan obat, rimpang di-panen setelah tua yaitu umur 9 - 12 bulan setelah tanam. Tetapi pada umumnya pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 8 - 10 bulan.

Ciri-ciri jahe yang sudah dapat dipanen adalah sebagai berikut:

• Warna daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering • Kulit rimpang kencang dan tidak mudah terkelupas/tidak mudah lecet • Apabila dipatahkan berserat dan aroma rimpang menyengat • Warna rimpang lebih mengkilat dan terlihat bernas

Umur panen jahe juga ditentukan oleh jenis jahe, misalnya pada jahe gajah daun sudah mengering pada umur 8 bulan dan berlangsung selama 15 hari. Jahe emprit dan jahe merah dipanen pada saat semua daun sudah gugur. Pemanenan jahe untuk bibit dilakukan minimal pada umur 8 bulan baik untuk jahe gajah, jahe emprit maupun jahe merah.

Cara Panen Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah yang tidak diperlukan. Bahan yang rusak atau busuk harus segera dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong, karung dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebabkan terjadinya proses fermentasi/busuk. Bahan juga harus dijaga dari gangguan hama (hama gudang, tikus dan binatang peliharaan). Cara Panen pada Budidaya Jahe di Lahan Cara panen yang baik, tanah dibongkar dengan hati-hati menggunakan alat garpu atau cangkul, diusahakan jangan sampai rimpang jahe terluka. Pemanenan jahe muda harus dilakukan dengan hati-hati karena rimpangnya mudah tergores. Panen jahe muda sebaiknya dilakukan dengan menggunakan garpu agar rimpang-rimpang yang terangkat tidak lecet dan patah. Ujung garpu diarahkan miring ke dalam tanah dan ditekan dengan bantuan kaki sambil digoyang-goyang agar tanah mudah terangkat. Cara panen untuk jahe tua sebaiknya dilakukan dengan menggunakan garpu agar tidak patah dan lecet. Caranya sama dengan panen untuk jahe muda. Cara Panen pada Budidaya Jahe Sistem Keranjang Cara panen jahe pada budidaya sistem keranjang sama dengan cara panen pada jahe yang dibudidayakan di lahan, hanya pada jahe sistem keranjang, pemanenan dilakukan dengan membongkar isi keranjang dan membuang semua media tanam. Pembongkaran dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan garpu agar tidak merusak rimpang. Media tanam yang ada dibuang dan tidak dapat digunakan untuk pertanaman berikutnya. Rimpang jahe yang sudah dikeluarkan dari tanah, kemudian dibersihkan dari tanah dan kotoran lainnya yang menempel pada rimpang dan bila perlu dicuci. Sesudah itu jahe dijemur

Page 67: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 59

di atas papan atau daun pisang kira-kira selama 1 minggu. Tempat penyimpanan harus terbuka, tidak lembab dan penumpukannya jangan terlalu tinggi melainkan agak disebar. Waktu Panen Pemanenan jahe sebaiknya dilakukan sebelum musim hujan, yaitu diantara bulan Juni – Agustus. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas tanah. Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau tahun berikutnya. Pemanenan pada musim hujan menyebabkan rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan rendahnya bahan aktif karena tingginya kadar airnya.

Produksi Produksi rimpang segar untuk klon jahe gajah berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan untuk klon jahe emprit atau jahe sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar. Saat ini Balitro Bogor telah melepaskan varitas unggul untuk jahe putih yaitu Cimanggu-1 yang produksinya dapat mencapai 17-37 ton/ha sedangkan varitas unggul untuk jahe putih kecil potensi produksinya mencapai 16 ton/ha dengan kandungan minyak atsiri 1,7-3,8% dan kadar oleoresin 2,39-8,76%. Varitas unggul untuk jahe merah dapat menghasilkan 22 ton/ha dengan kadar minyak atsiri 3,2 – 3,6% dan kadar oleoresin 5,86 – 6,36% (Rostiana et al., 2005). Produksi jahe yang ditanam dengan sistem keranjang mencapai 5-10 kg/keranjang. Pada lahan seluas 400 m2 dapat ditanam sebanyak 500 keranjang jahe sehingga produksinya mencapai 2.5 – 5 ton jahe. Salah satu keuntungan budidaya jahe sistem keranjang adalah efisiensi penggunaan lahan, sehingga dapat diterapkan pada lahan yang sempit. Penanganan Pascapanen Penanganan pascapanen jahe merupakan kegiatan yang penting, karena meskipun sudah dipanen jahe masih terus melanjutkan aktivitas hidupnya yaitu melakukan metabolisme termasuk respirasi yang menyebabkan jahe akan kehilangan komponen-komponen organiknya termasuk bahan aktifnya sehingga mutunya menjadi rendah. Namun dengan cara budidaya dan penanganan pasca panen yang tepat, variasi kandungan bahan aktif dalam hasil olahan jahe diharapkan dapat diperkecil, diatur atau kalau mungkin distandarkan. Oleh karena itu penanganan pascapanen jahe yang tepat akan dapat mengurangi kehilangan pascapanen. Penanganan pascapanen jahe yang dibudidayakan pada lahan maupun dengan sistem keranjang adalah sama, yang meliputi pembersihan rimpang dari kotoran, tanah dan mikroorganisme yang tidak diinginkan melalui pencucian, sortasi dan perajangan, pengeringan, pengemasan, hingga penyimpanan. Tujuan dari penanganan pascapanen jahe adalah untuk menghasilkan produk dengan masa simpan yang panjang, bermutu baik dan dapat mempertahankan kandungan bahan aktif sehingga sesuai dengan standar mutu yang diinginkan oleh pasar serta memiliki nilai jual yang tinggi. Untuk memulai proses pasca panen perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan rimpang jahe setelah dipanen. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam penanganan pasca panen adalah kebersihan dari alat-alat dan bahan yang digunakan, juga bagi pelaksananya perlu memperhatikan perlengkapan seperti masker dan sarung tangan.

Page 68: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

60 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Peralatan yang diperlukan dalam pascapanen jahe adalah wadah berupa bak/ember, sikat plastik, keranjang plastik, pisau stainless steel, alat perajang. Alat pengering, timbangan dan kemasan. Secara umum tahapan penanganan pasca panen jahe segar atau jahe yang akan dijadikan sebagai simplisia adalah sebagai berikut: Penyortiran Basah Sortasi pada jahe segar dilakukan untuk memisahkan jahe yang bagus dengan rimpang jahe yang busuk/rusak atau cemaran bahan asing lainnya seperti kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma. Prosedur penyortiran rimpang jahe dilakukan sebagai berikut: • Pilih rimpang jahe yang besar dan tua, dipisahkan antara yang bagus (tidak busuk) dengan

yang rusak atau terkena cemaran bahan asing lainnya • Bersihkan rimpang jahe dari tanah dan kotoran lain yang menempel dengan cara dipukul

perlahan-lahan • Potong daun-daun, batang dan akar menggunakan pisau • Pisahkan bahan rimpang yang akan diproses/dikemas dalam bentuk simplisia dan bahan

rimpang yang akan dijual dalam bentuk jahe segar Pencucian Pencucian dilakukan dengan sikat plastik secara hati-hati untuk menghilangkan kotoran dari hasil panen dan mengurangi mikroba yang menempel pada rimpang jahe. Pencucian dilakukan secara bertahap (dalam bak-bak pencucian bertingkat) dengan menggunakan air mengalir. Bahan yang telah dibersihkan ditimbang dan ditempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian. Pencucian dilakukan dengan air bersih atau jika perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Rimpang jahe dicuci dengan cara menyikat perlahan-lahan dan teratur di bawah air mengalir dan dibilas pada air tidak mengalir. Jika air bilasan masih terlihat kotor maka pembilasan dilakukan sekali atau dua kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung di dalam tidak larut dalam air. Pencucian jahe dengan cara penyemprotan dapat mengurangi resiko kehilangan komponen aktif. Pemakaian air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai, rimpang ditiriskan dalam wadah yang berlubang-lubang (keranjang plastik) agar sisa air cucian yang tertinggal dapat dipisahkan, kemudian tempatkan dalam wadah plastik/ember. Rimpang jahe kemudian diangin-anginkan dalam ruangan yang berventilasi udara yang baik, sehingga air yang melekat akan teruapkan. Penimbangan Bahan Rimpang jahe yang sudah disortir dan dibersihkan ditimbang untuk mengetahui berat bersih bahan yang akan diolah. Kemudian jahe dapat diolah menjadi berbagai produk atau langsung dikemas dalam karung plastik yang berongga dan siap untuk diekspor. Penanganan Jahe Segar Rimpang jahe segar yang akan dipasarkan harus dikemas terlebih dahulu dengan kemasan kardus dan diberi serasah penahan gesekan. Jahe juga dapat dikemas dengan menggunakan jala plastik dengan berat maksimum 15 kg tiap kemasan atau dengan keranjang bambu dengan berat sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli. Suhu kemasan perlu dijaga sekitar 27oC

Page 69: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 61

dengan kelembaban 10 - 25%. Untuk ekspor kualitas yang dikehendaki adalah jahe rimpang gemuk dengan berat minimum 200 gram. Untuk mencegah kerusakan dalam penyimpanan biasanya dilakukan pendinginan atau diberi bahan kimia seperti natrium naftalen asetat agar tidak menjadi keriput. Guna mencegah warna kecoklatan ditambahkan natrium bisulfit, sedangkan untuk menghindari masuknya cendawan biasanya diberi larutan natrium benzoat. Penyimpanan jahe dilakukan di dalam gudang yang bersih, tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30oC. Gudang penyimpanan harus memiliki ventilasi baik dan lancar, terhindar dari kontaminasi bahan lain yang dapat menurunkan mutu jahe, memiliki penerangan yang cukup (tetapi harus dihindari dari sinar matahari langsung) serta bersih dan terbebas dari hama gudang. Standar Mutu Jahe Standar mutu jahe di Indonesia tercantum dalam Standar Nasional Indonesia SNI– 01–3179–1992. Mutu Jahe Segar Syarat umum standar mutu jahe dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikategorikan sebagai berikut:

• Mutu I: bobot 250 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan kapang

• Mutu II: bobot 150 - 249 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas,tidak mengandung benda asing dan kapang

• Mutu III: bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum 10%, benda asing maksimum 3%, kapang maksimum 10%

Tabel 34. Syarat Umum Standar Mutu Jahe (Kadin Indonesia, 2007)

No. Karakteristik Syarat Metode Pengujian

1. Kesegaran jahe Segar Visual

2. Rimpang bertunas Tidak ada Visual

3. Kenampakan irisan melintang Cerah Visual

4. Bentuk rimpang Utuh Visual

5. Serangga hidup Bebas Visual

Keterangan: - Kesegaran: Jahe dinyatakan segar apabila kulit jahe tampak halus, mengkilat dan tidak keriput - Bentuk rimpang: Rimpang jahe segar dinyatakan utuh bila cabang-cabang dari rimpang jahe tidak ada yang

patah, dengan maksimum 2 penampang patah pada pangkalnya - Rimpang bertunas: Jahe segar dinyatakan mempunyai rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa ujung

dari rimpang telah bertunas - Kenampakan irisan: Jahe segar bila diiris melintang pada salah satu rimpangnya maka penampangnya

berwarna cerah khas jahe segar Mutu Benih Jahe Rimpang jahe yang akan dijadikan sebagai benih, maka harus memenuhi persyaratan yang didasarkan pada SNI 01-7153-2006 seperti terlihat pada Tabel 35 dan Tabel 36.

Page 70: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

62 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 35. Spesifikasi Persyaratan Mutu Benih (Rimpang) yang Siap Tanam (SNI 01-7153-2006)

No. Jenis spesifikasi Satuan Persyaratan BP BR

1. Berat rimpang - jahe putih besar - jahe putih kecil - jahe merah

g g g

40-60 15-30 15-30

40-60 15-30 15-30

2. Kadar Air % ≥ 70 ≥ 70 3. Benih Murni % > 98 ≥ 97 4. Jumlah mata tunas buah ≥ 2 ≥ 2 5. Daya berkecambah % > 80 ≥ 80 6. Kotoran benih % < 2 ≤ 3

Keterangan: BP = Benih Pokok, BR = Benih Sebar

Tabel 36. Persyaratan Khusus Mutu Benih Jahe (SNI 01-7153-2006)

No. Jenis spesifikasi Satuan Persyaratan BP dan BR

1. Kadar Pati - jahe putih besar - jahe putih kecil - jahe merah

%

55,10

43,96 ± 45,16 42,74 ± 44,10

2. Kadar Serat - jahe putih besar - jahe putih kecil - jahe merah

% 10,58

6,25 ± 7,46 6,61 ± 6,69

3. Kadar Minyak Atsiri - jahe putih besar - jahe putih kecil - jahe merah

% 0,82

2,86 ± 3,91 2,94 ± 3,41

4. Penampilan Rimpang - Mengkilap dan bernas 5. Kesehatan Benih (Bebas dari

penyakit tular benih) % 100

Pengujian Mutu Jahe Pengujian mutu jahe meliputi penentuan benda-benda asing, penentuan kadar serat, penentuan kadar minyak atsiri dan penentuan kadar pati jahe. Penentuan Benda-Benda Asing - Timbanglah sejumlah contoh yang beratnya diantara 100–200 g. - Pisahkan benda-benda yang akan ditentukan persentase bobotnya dan dipindahkan pada

kaca arloji yang telah ditera. Kaca arloji beserta benda asing tersebut ditimbang pada neraca analitik. Perbedaan kedua penimbang tersebut menunjukan jumlah benda asing dalam cuplikan yang diuji.

Penentuan Kadar Serat - Keringkan kira-kira 5 g cuplikan untuk pengujian didalam sebuah oven udara listrik 105 ±

1o C, sampai berat tetap.

Page 71: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 63

- Timbanglah dengan teliti kira-kira 2,5 g bahan yang telah dikeringkan itu ke dalam sebuah timble dan ekstraklah dengan petroleum eter (titik didih 40-60 oC) selama kira-kira 1 jam dengan menggunakan sebuah alat soxhlet.

- Pindahkan bahan yang telah bebas lemak tersebut kedalam sebuah labu berkapasitas 1 liter. Ambillah 200 ml asam sulfat encer, tempatkanlah dalam sebuah gelas piala, didihkanlaah seluruh asam yang mendidih itu kedalam labu yang telah berisi bahan bebas lemak tersebut di atas.

- Lengkapilah segera labu itu dengan pendingin balik yang dialiri air, dan panaskanlah sedemikian rupa sehingga labu mendidih setelah satu menit.

- Goyang-goyanglah labu agak sering sambil menghindari tertinggalnya bahan pada dinding labu yang tak bersentuhan dengan asam.

- Lanjutkanlah pendidihan selama tepat 30 menit. Tanggalkanlah labu dan saringlah melalui kain halus (kira-kira 18 serat untuk setiap sentimeter) yang ditempatkan dalam sebuah corong penyaring dan cucilah dengan air mendidih sampai cucian tidak lagi bersifat asam terhadap lakmus.

- Didihkanlah sejumlah larutan natrium hidroksida dengan menggunakan pendingin balik dan didihkanlah selama tepat 30 menit. Tanggalkanlah labu itu dan saringlah dengan segera dengan kain penyaring. Cucilah residum dengan baik dengan air mendidih dan pindahkanlah kedalam Krus Gooch yang telah berisi lapisan tipis dan kompak asbes yang telah dipijarkan.

- Cucilah residu dengan baik pertama-tama dengan air panas kemudian dengan kira-kira 15 ml etil alkohol 95%. Keringkanlah Krus Gooch dan isinya pada 105 ± 1o C dalam oven udara sampai berat tetap.

- Dinginkan dan timbanglah. - Pijarkan Krus Gooch tersebut pada 600 ± 20o C dalam tanur suhu udara tinggi sampai

seluruh bahan menngandung karbon terbakar. - Dinginkanlah Krus Gooch yang berisi abu tersebut dalam sebuah eksikator dan

timbanglah. Penentuan Kadar Minyak Atsiri - Timbanglah cuplikan kira-kira 35 – 40 g dengan teliti (tingkat ketelitian mendekati 1 g),

yang telah dipotong kecil-kecil sebelum dimasukan ke dalam labu didih. - Tambahkanlah air sampai seluruh cuplikan tersebut terendam dan tambahkan pula ke

dalamnya sejumlah batu didih. - Sambunglah labu didih dengan alat “Dean-Stark” sehingga dapat digunakan untuk

pekerjaan destilasi dan panaskanlah labu didih tersebut beserta isinya. - Penyulingan dihentikan bila tidak ada lagi butir-butir minyak yang menetes bersama-sama

air atau bila volume minyak dalam penampung tidak berubah dalam beberapa waktu. Biasanya penyulingan ini memerlukan waktu lebih kurang 6 jam.

- Rendamlah penampung beserta isinya kedalam air sehingga cairan di dalamnya mencapai suhu udara kamar dan ukurlah volume minyak yang tertampung.

Penentuan Kadar Pati - Siapkan sampel jahe yang sudah dikeringkan dan di haluskan. - Sampel sebanyak 5 g ditempatkan dalam labu erlenmeyer dan dimasak perlahan-lahan

selama 3 jam dengan 200 ml asam khlorida 3%, dengan menggunakan pendingin balik. - Dinginkan campuran reaksi sampai suhu kamar dan netralkan dengan larutan natrium

hidroksida 10% menggunakan lakmus sebagai indikator, campuran yang diperoleh sebaiknya bersifat asam lemah dengan jalan menambahkan sedikit asam asetat encer.

Page 72: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

64 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

- Pindahkan larutan ke dalam labu ukur (500 ml), encerkan sampai garis tanda, dan disaring. Hasil saringan dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer (250 ml) yang telah berisikan larutan luff yang telah disaring sebelumnya, beberapa butir batu didih dan 15 ml air.

- Pasanglah pendingin balik pada labu erlenmeyer tersebut dan panaskanlah di atas api yang nyalanya diatur sedemikian rupa sehingga larutan mendidih tepat setelah 3 menit, dan didihkan terus selama 10 menit.

- Dinginkan larutan tersebut secepat mungkin dalam air yang mengalir, dan jangan dikocok. Setelah larutan menjadi dingin tambahkan 10 ml larutan kalium iodida 30% dan 25 ml asam sulfat 25% secara perlahan.

- Setelah reaksi berhenti hasil reaksi dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1N, menggunakan larutan kanji sebagai indikator.

- Lakukan juga untuk blanko tanpa menggunakan sampel. - Perhitungan hasil uji:

Blanko-peniter = Larutan natrium tiosulfat 0,1 N x 10 = Jumlah ml larutan natrium tiosulfat

mg glukosa x pengenceran Kadar glukosa atau fruktosa, persen berat = x 100%

Berat sampel Kadar pati = 0,9 x % glukosa Pengambilan Contoh

- Dari jumlah kemasan dalam satu partai jahe segar siap ekspor diambil sejumlah kemasan secara acak seperti dibawah ini, dengan maksimum berat tiap partai 20 ton.

• Untuk jumlah kemasan dalam partai 1–100, contoh yang diambil 5. • Untuk jumlah kemasan dalam partai 101–300, contoh yang diambil adalah 7 • Untuk jumlah kemasan dalam partai 301–500, contoh yang diambil adalah 9 • Untuk jumlah kemasan dalam partai 501-1000, contoh yang diambil adalah 10 • Untuk jumlah kemasan dalam partai di atas 1000, contoh yang diambil minimum

15. - Kemasan yang telah diambil, dituangkan isinya, kemudian diambil secara acak

sebanyak 10 rimpang dari tiap kemasan sebagai contoh. Khusus untuk kemasan jahe segar berat 10 kg atau kurang, maka contoh yang diambil sebanyak 5 rimpang.

- Contoh yang telah diambil kemudian diuji untuk ditentukan mutunya. Petugas Pengambil Contoh Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat yaitu orang yang telah berpengalaman atau dilatih terlebih dahulu dan mempunyai ikatan dengan suatu badan hukum.

Page 73: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 65

BAB VII PENGOLAHAN JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan cara-cara pengolahan jahe menjadi simplisia dan produk-produk olahan jahe seperti asinan, manisan dan sirup jahe.

Jahe dapat diolah menjadi berbagai produk yang sangat bermanfaat dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, kosmetik dan makanan/minuman. Ragam bentuk hasil olahannya, antara lain berupa jahe kering, simplisia, oleoresin, minyak atsiri, serbuk, asinan, manisan, anggur jahe dan sirup jahe. Jahe Kering

Jahe kering adalah jahe yang diawetkan dengan cara mengeringkan rimpang jahe baik dengan pengeringan sinar matahari (penjemuran) maupun dengan alat pengering mekanis. Tujuan pembuatan jahe kering adalah untuk mengurangi kadar airnya hingga batas tertentu sehingga jahe menjadi lebih awet karena penurunan kadar air akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme pembusuk serta aktivitas enzim yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada jahe juga menjadi terhambat. Jahe kering merupakan bahan baku untuk pengolahan oleoresin jahe serta ekstraksi minyak atsiri.

Jenis-Jenis Jahe Kering Jahe kering yang diperdagangkan dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu:

1. Jahe kering berkulit: jahe yang akan dikeringkan tidak dibuang kulitnya 2. Jahe kering setengah berkulit: jahe yang akan dikeringkan dikupas permukaan datarnya 3. Jahe tanpa kulit: jahe yang akan dikeringkan dikupas seluruh kulitnya

Jahe kering yang tidak berkulit dikenal dengan istilah coated, unscrapped atau unpeeled yang biasanya akan diproses lebih lanjut untuk pembuatan minyak jahe (ginger oil) dan oleoresin. Jahe yang setengah berkulit dikenal dengan istilah peeled, uncoated atau scrapped yang umumnya digunakan dalam industri obat-obatan, makanan dan minuman.

Pengolahan jahe kering yang berkulit dilakukan dengan cara membersihkan rimpang dari kotoran dan tanah, kemudian diblansir dengan cara merendam rimpang di dalam air mendidih selama 10-15 menit yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim yang ada pada rimpang. Rimpang jahe yang telah diblansir sebaiknya direndam dalam air dingin yang

Page 74: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

66 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

mengandung natrium bikarbonat kemudian dicuci kembali dengan air dingin lalu keringkan dengan cara menjemur di bawah sinar matahari selama 7-8 hari, atau dengan alat pengering mekanis hingga diperoleh rimpang dengan kadar air 10-12%.

Pengolahan jahe yang tidak berkulit atau setengah berkulit dilakukan dengan cara merendam rimpang jahe bersih di dalam air selama semalam untuk mempermudah pengulitan (pengupasan kulit). Perendaman dapat dilakukan dalam air kapur untuk mendapatkan rimpang jahe yang berwarna putih. Untuk jahe setengah berkulit pengupasan dilakukan dengan cara membuang kulit yang ada pada permukaan yang datar, sedang yang berada di celah-celah tidak dibuang, dan untuk jahe yang tidak berkulit seluruh kulit dibuang. Rimpang yang sudah dikuliti dicuci dengan air secara hati-hati. Pengupasan kulit dilakukan dengan menggunakan pisau stainless steel yang tajam atau dengan menggunakan pisau bambu yang ujungnya tajam, atau dengan menggunakan sendok. Rimpang jahe yang yang sudah bersih dikeringkan dengan cara menjemur selama 5-8 hari atau dengan alat pengering mekanis hingga kadar airnya mencapai 10-12%.

Cara Pengeringan Jahe Secara umum pengeringan jahe di Indonesia dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan alat pengering mekanis. Pengeringan dengan cara penjemuran menghasilkan mutu produk yang tidak seragam serta berpotensi untuk terkontaminasi oleh kotoran, sedangkan pengeringan dengan pengering mekanis dapat menyebabkan kehilangan kandungan minyak atsiri (zat volatil) yang merupakan komponen berharga pada jahe. Beberapa metode pengeringan yang dapat digunakan untuk pengeringan jahe adalah pengeringan dengan energi matahari langsung, alat pengering dengan energi matahari, alat pengering tipe rak dan alat pengering tipe terowongan. a. Penjemuran Pengeringan dengan sinar matahari merupakan cara pengeringan yang sederhana dan murah karena hanya memerlukan lantai penjemuran yang terbuat dari semen atau berupa rak pengering yang terbuat dari kayu untuk proses pengeringannya. Rimpang jahe yang akan dijemur disebar secara merata dan pada saat tertentu dibalik agar panas merata dan rimpang tidak retak. Cara pengeringan dengan penjemuran meski murah dan praktis, tapi mempunyai kelemahan yaitu suhu dan kelembaban tidak dapat dikontrol, proses pengeringan tergantung pada cuaca sehingga waktu pengeringannya menjadi lama, memerluan areal penjemuran yang luas, mudah diganggu hewan ternak dan mudah terkontaminasi baik oleh mikroba maupun oleh kotoran. Tempat penjemuran hendaknya didisain sedemikian rupa hingga kotoran/benda lain tidak dapat masuk, misalnya dengan meninggikan lantai penjemuran minimal 20-30 cm di atas tanah. b. Alat Pengering dengan Energi Matahari Alat pengering energi surya/solar dryer (secara tidak langsung) menggunakan energi sinar matahari sebagai sumber panas dengan tambahan energi lain seperti listrik atau bahan bakar. Cara ini memanfaatkan sirkulasi udara untuk memindahkan panas. Besarnya energi panas yang dipindahkan menentukan efektifitas dari alat, sedangkan besarnya energi panas yang diserap tergantung pada keadaan dan struktur permukaan alat.

Page 75: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 67

Salah satu alat pengering yang menggunakan energi matahari secara tidak langsung adalah alat pengering yang dikembangkan oleh Asian Institute Technology (AIT) Bangkok dengan pengumpul panas berupa seng bergelombang yang dicat hitam (Gambar 15). Prinsip kerja alat ini adalah sebagai berikut: cahaya matahari memanaskan udara dari seng gelombang di ruang pengumpul panas. Udara panas yang relatif ringan dibanding udara di ruang pengering mengalir ke ruang pengering untuk menguapkan air pada bahan. Udara pada ruang pengering mengalir ke bagian atas ruang pengering dan keluar melalui ventilasi. Cahaya matahari juga memanasi bahan di ruang secara langsung dari plastik transparan.

Gambar 15. Alat Pengering Tenaga Surya Model AIT (BPTTG LIPI, 2001)

Pengering energi surya harus diletakkan melintang terhadap matahari, agar penangkapan radiasi matahari optimal. Suhu udara panas yang melalui bahan harus dikontrol agar tidak lebih dari 45oC, jika suhu melebihi suhu tersebut maka plastik transparan dibuka agar suhu udara turun kembali. c. Alat Pengering Tipe Rak Alat pengering tipe rak adalah alat pengering yang berbentuk persegi dan di dalamnya terdiri dari rak-rak, yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Rak terbuat dari logam dengan alas yang berlubang-lubang untuk mengalirkan udara panas dan uap air. Alat ini terdiri dari alat pemanas udara dan kipas untuk mengatur sirkulasi udara dalam alat pengering. Suhu pengeringan tergantung dari kadar air awal bahan dan kadar air akhir yang diinginkan, dan biasanya berkisar antara 80-180oC. Kecepatan produksi mencapai 25-50 kg bahan kering

Page 76: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

68 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

per jam. Alat ini juga dapat dioperasikan pada kondisi vakum sehingga suhu pengeringan menjadi lebih rendah. d. Alat Pengering Tipe Terowongan Pada alat pengering tipe terowongan, ruang pengeringnya berupa ruangan yang panjang dan dialiri udara panas. Jahe yang akan dikeringkan ditebarkan dengan tebal lapisan tertentu di atas baki atau anyaman kayu ataupun lempengan logam. Baki ini ditumpuk di atas rak/lori dengan jarak sedemikian rupa sehingga memungkinkan udara panas melewati tiap baki. Bagian atas rak/lori harus terbuka agar uap air dapat keluar. Pergerakan rak/lori di dalam terowongan bisa searah ataupun berlawanan dengan aliran udara. Dua atau lebih terowongan dapat digunakan secara bersamaan untuk mendapatkan fleksibilitas pengawasan kondisi pengeringan pada berbagai tahap. Kombinasi yang umum adalah gabungan antara terowongan utama dengan aliran searah dan diikuti terowongan kedua dengan aliran yang berlawanan arah. Keuntungan pengeringan dengan sistem ini adalah kecepatan pengeringan lebih tinggi, hanya biaya relatif lebih tinggi. Syarat Mutu Jahe Kering Jahe kring yang dipasarkan harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan berdasarkan SNI 01-3393-1994 seperti terlihat pada Tabel 37. Tabel 37. Syarat Mutu Jahe Kering (SNI 01-3393-1994)

Karakteristik Syarat Mutu Cara Pengujian Bau dan rasa Khas Organoleptik Kadar air, % (bobot/bobot), maksimum 12,0 SP-SMP-7-1975

(ISO R 939-1969 (E)) Kadar minyak atsiri (ml/100 g), minimum

1,5 SP-SMP-37-1975

Kadar abu, % (bobot/bobot), maksimum 8,0 SP-SMP-35-1975 (ISO R 929-1969 (E))

Berjamur dan berserangga Tak ada Organoleptik Benda asing, % (bobot/bobot), maksimum

2,0 SP-SMP-32-1975 (ISO R 937-1969 (E))

Simplisia Jahe Dalam Kodifikasi Peraturan Perundang-undangan Obat Tradisional, simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen. POM, 1982). Simplisia merupakan produk hasil proses setelah melalui panen dan pasca panen menjadi bentuk produk untuk sediaan kefarmasian yang siap dipakai atau siap diproses selanjutnya. Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi zat kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Simplisia dibuat biasanya untuk tujuan pengawetan bahan, pemenuhan stok untuk proses produksi juga paling tidak untuk mempertahankan kualitas bahan aktif.

Page 77: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 69

Jahe yang akan dijadikan sebagai simplisia hendaknya dipanen pada umur 10 bulan untuk jahe merah dan jahe emprit dan 9 bulan untuk jahe gajah, karena pada umur panen ini kandungan minyak atsiri jahe sudah optimal (Julianti et al., 2008). Simplisia yang diperoleh belum terbebas dari kerusakan dan ini akan mempengaruhi kualitas secara keseluruhan. Hal ini karena sebagai produk biologis, simplisia belum terbebas sepenuhnya dari aktivitas biokimia karena masih terdapat enzim yang bersifat nonaktif. Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air bahan, (2) pengaruh sinar ultra violet dan (3) pengaruh suhu (pemanasan) selama proses pengeringan berjalan, serta (4) pengaruh pH pada saat enzim di dalam jaringan (hasil panenan) masih dalam kondisi aktif. Ketika panen terjadi, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam tanaman dihentikan, tetapi komponen komponen kimia seperti enzim (hidrolase, oksidase, polimerase, dan lain-lain) yang tertinggal pada jaringan yang dipanen belum berhenti. Enzim bisa terdapat dalam jaringan, selain itu enzim juga masih mempunyai aktivitas di luar sel hidup, yang mengakibatkan kerusakan hasil panen dan merubah penampilan fisik menjadi berwarna coklat akibat aktivitas enzim oksidase. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan, dengan demikian tingginya kadar air pada hasil panen dapat menjadi wahana untuk aktivitas berikutnya, baik dalam merubah tampilan fisik (warna) maupun kandungan bahan kimianya. kurang terkontrol juga berkaitan erat dengan timbulnya cemaran, khususnya mikroba. Cemaran mikroba pada simplisia menyebabkan bahan sama sekali tidak dapat dipakai karena bersifat toksik. Oleh karenanya proses pengeringan dengan menggunakan pemanasan dengan sinar matahari atau oven merupakan alternatif untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah timbulnya cemaran mikroba. Tetapi terdapat beberapa bahan yang rusak jika dikeringkan dibawah paparan langsung sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet, misal bahan yang mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A, zat zat antioksidan, dan lain-lain. Pengaturan besar kecilnya suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menghasilkan simplisia yang baik, apakah itu fisik maupun kimia. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa untuk memperoleh kualitas optimal, suhu pengeringan sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga perbedaan suhu dan kelembaban antara siang dan malam hari tidak terlalu jauh (ekstrim). Kisaran suhu yang baik untuk pengeringan adalah 50-60oC. Perlakuan pasca panen seperti pada pencucian yang sering menambahkan zat tertentu, misal untuk tujuan memperbaiki warna, meningkatkan sterilitas bahan atau lainnya seringkali merubah pH dari bahan yang diproses. Kadang kadang perubahan pH justru merubah fungsi dari suatu enzim. Jika pada suatu pH tertentu suatu enzim mengubah substrat (zat yang diubah menjadi sesuatu yang baru) menjadi hasil akhir, maka perubahan pH dapat membalik aktivitas enzim tersebut menjadi pengubah hasil akhir kembali menjadi substrat. Tahapan-tahapan dalam pengolahan simplisia jahe meliputi pencucian, perajangan dan pengeringan, seperti terlihat pada Gambar 16.

Page 78: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

70 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Gambar 16. Diagram Alir Proses Pengolahan Simplisia Jahe (Direktorat Budidaya

Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006)

Perajangan Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya seperti pengeringan, pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan penyimpanan. Ukuran perajangan berpengaruh terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan. Semakin tipis bahan, maka penguapan air akan semakin cepat sehingga mempercepat waktu pengeringan, tetapi perajangan yang terlalu tipis dapat menyebabkan zat yang mudah menguap seperti minyak atsiri akan berkurang kadarnya, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur. Ketebalan perajangan untuk rimpang jahe adalah 4-6 mm atau sesuai dengan keinginan pasar (Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006).

Penyiapan air bersih Penyiapan peralatan Jahe Segar

Penyortiran awal (basah)

Pencucian

Penimbangan bahan baku

Penyortiran akhir

Pengeringan

Perajangan

Pengemasan dan Pelabelan

Simplisia Jahe

Benda asing selain simplisia

jahe

Tanah, kerikil, rumput, benda asing

Kotoran yang melekat

Air Bersih

Page 79: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 71

Ketebalan irisan jahe memberikan pengaruh terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan. Pada pengeringan jahe secara kemoreaksi dengan menggunakan kapur api, maka semakin tebal irisan jahe yang digunakan, kadar air dan lama pengeringan akan semakin tinggi, serta kandungan minyak atsirinya juga semakin rendah seperti dapat dilihat pada Tabel 38, Tabel 39 dan Tabel 40. Ketebalan irisan jahe yang memberikan hasil terbaik adalah 2,5 mm, baik untuk jahe merah, jahe gajah maupun jahe emprit. Pada ketebalan 2,5 mm waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah 36 jam.

Tabel 38. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Merah yang Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)

Tabel 39. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Gajah yang

Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)

Tabel 40. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)

Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari stainlees ataupun dengan mesin pemotong/perajang. Untuk pengolahan jahe dalam jumlah besar, maka perajangan dapat dilakukan dengan alat mekanis. Salah satu alat perajang rimpang jahe dikembangkan oleh BPTTG LIPI (2000) mempunyai kapasitas kerja 35 kg/jam dan digerakkan secara manual, seperti terlihat pada Gambar 17.

Tebal irisan jahe

Kadar air awal (%bb)

Kadar air (%bb) Kadar minyak atsiri (%)

Lama pengeringan (jam)

2.5 mm 85,07 7.34 3,90 36 5.0 mm 84,19 8.22 3,82 54 7.5 mm 83,55 8.75 3,17 58 10 mm 83,78 9.87 3,16 66

Tebal irisan jahe

Kadar air awal (%bb)

Kadar air (%bb) Kadar minyak atsiri (%)

Lama pengeringan (jam)

2.5 mm 82,96 5,53 3,77 36 5.0 mm 82,44 7,65 3,30 54 7.5 mm 83,06 8,44 3,23 58 10 mm 83,50 9,62 3,02 66

Tebal irisan jahe

Kadar air awal (%bb)

Kadar air (%bb) Kadar minyak atsiri (%)

Lama pengeringan (jam)

2.5 mm 84,06 6,57 3,87 36 5.0 mm 83,67 7,98 3,24 54 7.5 mm 84,66 8,86 3,07 58 10 mm 84,52 9,69 3,02 66

Page 80: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

72 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Bentuk irisan split atau slice tergantung tujuan pemakaian. Untuk tujuan mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk irisan sebaiknya adalah membujur (split) dan jika ingin bahan lebih cepat kering bentuk irisan sebaiknya melintang (slice).

Gambar 17. Alat Perajang Jahe (BPTTG LIPI, 2001) Pemblansiran Untuk mendapatkan simplisia dengan tekstur yang menarik, sebelum diiris, jahe dapat diblansir (direbus) beberapa menit sampai terjadi proses gelatinisasi. Perebusan (blansir) adalah suatu proses pemanasan yang diberikan kepada bahan mentah selama beberapa menit pada suhu air mendidih yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk yang diolah. Jahe yang diblansir terlebih dahulu sebelum dikeringkan akan mempunyai warna yang lebih baik dari jahe yang tidak diblansir. Perajangan jahe menyebabkan enzim polifenol oksidase yang merupakan enzim penyebab terjadinya reaksi pencoklatan (browning) pada jahe menjadi aktif karena adanya oksigen. Proses pemanasan (blansir) akan menginaktifkan enzim ini sehingga proses pencoklatan selama pengeringan dapat dicegah. Proses blansir dilakukan dengan memanaskan air hingga suhu 90-95oC, kemudian ke dalam air panas tersebut dimasukkan jahe dengan perbandingan jahe dan air 1 : 3, dengan demikian setiap 1 liter air panas hanya dapat memanaskan 300-350 gram irisan jahe. Irisan jahe dibiarkan di dalam air panas selama 5-10 menit sambil diaduk secara perlahan. Setelah itu irisan jahe diangkat dan ditiriskan. Pengeringan Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam pembuatan simplisia jahe, karena menentukan mutu dan umur simpan simplisia. Proses pengeringan simplisia jahe dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan alat-alat pengering mekanis dengan menggunakan energi sinar matahari ataupun sumber energi panas lainnya. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 10% yang ditandai dengan tanda berbunyinya jahe kering jika dipatahkan.

Page 81: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 73

Pengeringan simplisia dengan alat pengering mekanis dilakukan dengan menggunakan energi sinar matahari ataupun sumber energi panas lainnya. Pengeringan mekanis lainnya adalah oven atau tray dryer dengan sumber panas berupa listrik ataupun sumber panas lainnya seperti sekam padi ataupun bahan bakar. Dalam pengeringan dengan menggunakan alat pengering mekanis, suhu pengeringan dapat dikontrol sehingga waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Penggunaan suhu tinggi pada proses pengeringan dapat menyebabkan penurunan kandungan minyak atsiri jahe serta mempengaruhi komposisi, bau dan rasa pada jahe kering yang dihasilkan, oleh karena itu pengeringan hendaknya dilakukan pada suhu 50-60oC. Ketebalan tumpukan irisan jahe maksimal 5 cm. Pengeringan simplisia jahe juga dapat dilakukan dengan pengeringan kemoreaksi menggunakan kapur api (CaO). Kapur api (CaO) mempunyai kemampuan untuk bereaksi dengan air dan mengeluarkan energi panas, dan energi panas ini dapat dimanfaatkan untuk proses pengeringan jahe yang akan dijadikan simplisia. Caranya adalah dengan menempatkan irisan jahe yang masih basah ke dalam suatu ruang pengering berbentuk lemari dengan rak-rak pengering. Jahe diletakkan pada rak bagian tengah, kemudian rak bagian atas dan bawah diisi dengan kapur api. Kapur api akan menyerap air yang terdapat di dalam jahe dan kemudian bereaksi secara kimia. Dari reaksi kimia ini akan dikeluarkan sejumlah energi panas yang dapat digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan dan setelah itu uap air akan kembali bereaksi dengan CaO. Proses ini berlangsung terus hingga tercapai kadar air keseimbangan dari bahan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk pengeringan jahe secara kemoreaksi, dibutuhkan kapur api dengan perbandingan antara kapur api dan jahe sebesar 3 : 1. Pengeringan simplisia jahe secara kemoreaksi, berlangsung lebih cepat, yaitu selama 36 jam dibandingkan dengan pengeringan matahari yang berlangsung selama 3 hari pada saat matahari terik. Kandungan minyak atsiri jahe yang dikeringkan secara kemoreaksi juga lebih tinggi daripada jahe yang dikeringkan dengan pengeringan matahari dan oven, seperti dapat dilihat pada Tabel 41, Tabel 42 dan Tabel 43. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengeringan jahe secara kemoreaksi dengan perbandingan antara kapur api dan jahe sebesar 3 : 1 sudah cukup baik untuk menghasilkan simplisia jahe dengan kadar air dan kandungan minyak atsiri yang telah memenuhi syarat mutu yaitu 12% maksimum untuk kadar air dan 1,5% minimum untuk kadar minyak atsiri seperti dapat dilihat pada Tabel 44.

Tabel 41. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah (Julianti, et al., 2008)

Metode pengeringan Kadar air awal (%bb)

Kadar air akhir (%bb)

Kadar minyak atsiri

(%)

Lama pengeringan (jam)

Ratio CaO : Jahe - 2 : 1 84,17 23.71 1.95 48 - 3 : 1 80,55 7.34 3.39 45 - 5 : 1 85,61 6.02 3.53 36 - 7 : 1 87,08 5.68 3.58 36

Pengeringan Matahari 80,55 7.46 2.64 72 Pengeringan Oven 80,55 9.64 2.18 72

Page 82: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

74 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 42. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Gajah (Julianti, et al., 2008)

Metode pengeringan Kadar air awal (%bb)

Kadar air akhir (bb)

Kadar minyak atsiri (%)

Lama pengeringan

Ratio CaO : Jahe - 2 : 1 84,15 14,19 2,65 48 - 3 : 1 83,55 5,53 3,12 45 - 5 : 1 84,15 4,78 3,26 36 - 7 : 1 87,08 3,02 3,35 36

Pengeringan Matahari 84,15 7,99 2,77 72 Pengeringan Oven 84,15 8,67 1,55 72

Tabel 43. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Emprit (Julianti, et al., 2008)

Metode pengeringan Kadar air awal (%bb)

Kadar air akhir (%bb)

Kadar minyak atsiri (%)

Lama pengeringan

Ratio CaO : Jahe - 2 : 1 83,18 18,79 2.97 48 - 3 : 1 80,55 6,57 3.16 45 - 5 : 1 85,17 4,22 3.22 36 - 7 : 1 84,56 3.58 3.24 36

Pengeringan Matahari 80,55 7.74 2.46 72 Pengeringan Oven 80,55 8.92 1.80 72

Tabel 44. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi dengan Perbandingan antara Kapur Api dan Jahe 3 : 1 (Julianti, et al., 2008)

Jenis Jahe Kadar Air Kadar Minyak Atsiri

Jahe Merah 7,34 3,39 Jahe Gajah 5,53 3,12 Jahe Emprit 6,57 3,16 Standard Mutu Jahe Kering*) 12,0 1,5 *) Berdasarkan Kadin, 2006.

Penyortiran Akhir (Simplisia) Penyortiran akhir dilakukan berdasarkan standar mutu simplisia jahe yang diinginkan oleh pasar dengan cara memisahkan benda-benda asing dan pengotor lainnya yang masih tertinggal. Setelah proses penyortiran, maka dilakukan penimbangan untuk menghitung rendemen hasil pemrosesan.

Page 83: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 75

Pengemasan dan Pelabelan Pengemasan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah pewadahan atau pembungkusan yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas/dibungkusnya. Simplisia yang telah dikeringkan hingga derajat kekeringan yang diinginkan, dikemas untuk menghindari diserapnya kembali uap air oleh simplisia. Bahan pengemas yang digunakan dapat berupa karung plastik yang bersih dan tertutup rapat. Kemasan diberi label yang berisi nama/kode perusahaan/eksportir, nama barang, negara tujuan, berat kotor, berat bersih dan nama pembeli. Isi kemasan diusahakan tidak terlalu rapat/padat dan tidak ditekan. Penumpukan kemasan harus diperhatikan agar terdapat sekat di antara kemasan yang ditumpuk. Penyimpanan Penyimpanan di lakukan di ruang/gudang yang bersih dengan sirkulasi udara yang baik. Ruang penyimpanan juga tidak boleh terlalu lembab, jauh dari bahan lain yang dapat menyebabkan kontaminasi dan bebas dari hama gudang. Penyimpanan yang baik dapat mempertahankan mutu simplisia hingga 10 bulan penyimpanan. Standar Mutu Simplisia Jahe Simplisia jahe yang dipasarkan harus memenuhi standard mutu yang disyaratkan, seperti terlihat pada Tabel 45, Tabel 46 dan Tabel 47. Tabel 45. Spesifikasi Persyaratan Umum Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005)

No. Jenis uji Persyaratan 1. Organoleptik Memenuhi 2. Mikroskopis Memenuhi 3. Makroskopis Memenuhi 4. Serangga hidup dan hama lain Memenuhi

Keterangan:

- Organoleptik: bau aromatik khas jahe dan rasa pedas khas jahe. - Penampakan secara mikroskopis adalah sebagai berikut: Di bawah epidermis

terdapat hypodermis. Periderm terdiri dari beberapa lapis sel gabus. Korteks terdiri dari parenkim isodiametrik, dinding sel tipis; berkas pembuluh tersebar; banyak idioblas, sel idioblas hampir bulat, dinding berkutikula, garis tengah 40 µm sampai 80 µm, berisi damar minyak, warna kuning kehijauan sampai jingga atau berwarna coklat kekuningan sampai coklat kemerahan. Endodermis terdiri dari sel dengan dinding radikal agak menebal, tidak berisi pati. Berkas pembuluh kolateral dan fibrovasal; berkas pembuluh yang terdapat langsung di sebelah dalam endodermis tersusun teratur dalam satu deretan, berkas hampir bersentuhan satu sama lain, umumnya tanpa serabut. Stela terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berkas pembuluh kolateral dan tersebar, idioblas minyak seperti pada korteks. Xilem terdiri dari sedikit pembuluh spiral dan pembuluh jala, tidak berlignin, garis tengah lebih kurang 70 µm. Floem berkelompok, serabut berkelompok, dinding tipis panjang sampai lebih kurang 600 µm, lebar sampai lebih kurang 30 µm, bernoktah berbentuk celah miring. Idioblas bentuk prisma, panjang sampai lebih kurang 130 µm, lebar 8 µm sampai 20 µm, tunggal atau dalam deretan sejajar dengan sumbu berkas pembuluh, berisi zat berwarna coklat kemerahan tua. Butir pati memenuhi parenkim korteks dan parenkim stele; butir, tunggal, bentuk

Page 84: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

76 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

bulat telur pipih sampai hampir segi empat, hilus terdapat pada tonjolan di ujung butir; panjang 5 µm sampai 60 µm, umumnya 15 µm sampai 30 µm, lebar sampai lebih kurang 25 µm, tebal sampai 7 µm, lamela melintang.

- Irisan/makroskopis: Irisan melintang dengan penampakan makroskopis rimpang agak pipih, bagian ujung bercabang, cabang pendek, pipih, bentuk bulat telur terbalik, pada setiap ujung cabang terdapat parut melekuk ke dalam. Dalam bentuk potongan, panjang 5 cm sampai 15 cm, umumnya 3 cm sampai 4 cm, tebal 1 mm sampai 6,5 mm, umumnya 1 mm sampai 1,5 mm. Bagian luar berwarna coklat kekuningan, beralur memanjang, kadang-kadang ada serat yang bebas. Bekas patahan pendek dan berserat menonjol. Pada irisan melintang terdapat berturut-turut korteks sempit yang tebalnya lebih kurang sepertiga jari-jari, endodermis, stela yang lebar, banyak tersebar berkas pembuluh berupa titik keabu-abuan dan sel kelenjar berupa titik yang lebih kecil berwarna kekuningan.

- Serangga hidup, hama dan penyakit lain: semua organisme yang dapat dilihat dengan mata tanpa pembesaran.

Tabel 46. Standar Mutu Simplisia Jahe (Kadin, 2006)

No. Karakteristik Nilai

1. Kadar air, maksimum 12% 2. Kadar minyak atsiri, maksimum 1,5% 3. Kadar abu, maksimum 8,0% 4. Berjamur/berserangga Tidak ada 5. Benda asing, maksimum 2,05

Tabel 47. Spesifikasi Persyaratan Khusus Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005)

No. Jenis uji Satuan Persyaratan 1. Kadar air, maks. % 10 2. Kadar abu, maks. % 5 3. Kadar abu yang tidak larut asam, maks. % 3,9 4. Kadar ekstrak yang larut dalam air, min. % 15,6 5. Kadar ekstrak yang larut dalam etanol, min. % 4,3 6. Benda asing, maks. % 2 7. Kadar minyak atsiri, min. % 1,5 8. Kadar timbal mg/kg negatif 9. Kadar arsen mg/kg negatif 10. Kadar tembaga, maks. mg/kg 30 11. Kadar aflatoksin, maks. mg/kg 30 12. Kadar pestisida organoklorin, maks. mg/kg 0,1 13. Angka kapang dan khamir koloni/g 1 x 104 14. Angka lempeng total koloni/g 1 x 107 15. Mikroba patogen negatif 16. Telur nematoda Butir/g 0 17. Pola KLT hRx Terdiri dari 7 bercak

Page 85: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 77

Bubuk Jahe Bubuk jahe adalah produk olahan jahe yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan bumbu instan seperti bahan dasar pada pembuatan bumbu kari, bumbu rendang dan jenis-jenis bumbu lainnya. Bubuk jahe juga digunakan sebagai bahan dasar pada industri minuman seperti bir, brandi dan anggur jahe. Bubuk jahe diperoleh dengan cara menggiling jahe kering (simplisia jahe) kemudian diayak dengan ayakan berukuran 50-60 mesh dan dikemas dalam wadah yang kering. Untuk memperoleh bubuk jahe berwarna lebih putih, maka irisan jahe yang akan dikeringkan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur yang dibuat dengan cara melarutkan kapur sirih sebanyak 15-30 gram ke dalam 1 liter air kemudian larutan ini dibiarkan pada wadah tertutup selama 4-8 jam sehingga padatan yang tidak larut mengendap. Cairan jernih di atas endapan digunakan untuk pemutihan jahe, dan endapan dibuang. Irisan jahe direndam dalam air kapur selama 12 jam. Pemutihan jahe hanya dilakukan untuk mendapatkan bubuk jahe yang berwana putih. Jahe Awet atau Jahe Olahan Jahe awet atau jahe olahan adalah jahe yang diolah dalam bentuk asinan jahe, jahe dalam sirup atau kristal jahe. Awetan jahe merupakan produk olahan jahe yang banyak diperdagangkan secara internasional. Jenis jahe yang biasanya digunakan untuk olahan jahe ini adalah jahe badak yang dipanen muda yaitu pada umur 3- 4 bulan. Dalam perdagangan internasional, awetan jahe banyak diproduksi dari Cina, Hongkong dan Asutralia. Pengolahan jahe menjadi jahe awet di Indonesia masih dilakukan dengan cara yang sederhana sehingga mutunya masih tertinggal dibanding ketiga negara produsen tersebut (Koswara, 2006). Awetan Jahe Cara Cina Awetan jahe cara Cina dibuat dengan menggunakan bahan baku yang belum matang yaitu jahe yang berumur 4-4.5 bulan (maksimum 7 bulan), karena masih lunak, kadar serat masih rendah, mengandung banyak air dan tidak begitu pedas. Jahe yang akan diawetkan dikuliti, dipotong – potong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan di bentuk. Kemudian dicampur garam dengan perbandingan 18 kg garam per 60 kg jahe (atau 100 kg jahe dengan 30 kg garam) dan ditutup dengan tutup yang berat. Setelah dibiarkan 24 jam, air yang terbentuk dibuang. Kemudian untuk 100 kg jahe yang telah digarami tersebut ditambah dengan 30 kg garam baru dan 30 kg cuka makan, lalu dibiarkan menjadi pikel minimal 7 hari. Pikel ini banyak diekspor oleh Hongkong dan dapat digunakan langsung maupun diolah lebih lanjut dengan larutan gula atau dibuat manisan jahe (Koswara, 2006). Untuk membuat awetan jahe, mula-mula pikel diangkut dari larutan garam, dicuci dan direndam dengan air dingin selama 2 hari dengan beberapa kali pergantian air perendam. Kemudian dicampur dengan air dingin baru (sampai terendam seluruhnya) dan dididihkan selama 10 menit, lalu ditiriskan. Setelah itu jahe direbus dalam sirop gula (perebus pertama). Sirop gula dibuat dengan mencampurkan 60 kg jahe dengan 48 kg gula dan ditambah air sampai semua jahe terendam. Perebusan pertama ini dilakukan selama 45 menit, dan kemudian dibiarkan terendam dalam sirup gula selama 2 hari atau lebih. Setelah itu dilakukan

Page 86: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

78 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

perebusan kembali selama 45 menit (perebusan kedua) yang dikemas dalam sirop gula baru. Besar kemasan disesuaikan dengan permintaan pasar. Untuk membuat manisan jahe, setelah perebusan kedua selesai, dilakukan perendaman kembali selama 1 hari. Kemudian direbus kembali (perebusan ketiga) untuk menguapkan lebih

banyak air dari sirop, lalu diangkat, dikeringkan dengan cara dijemur atau dioven 45 – 55oC.

Setelah kering ditaburi gula pasir halus dan dikemas. Asinan jahe Cina ini terdiri dari beberapa kelas mutu, yaitu:

1. Kelas satu atau Young Stem Ginger: asinan yang terbuat dari rimpang jahe berkualitas terbaik, berbentuk oval dengan ukuran kira-kira sebesar telur ayam

2. Kelas dua atau Choise Selected Stem Ginger: asinan jahe yang terdiri dari potongan-potongan rimpang dengan ukuran lebih kecil dari asinan jahe kelas satu.

3. Kelas tiga atau Finger: asinan jahe yang ukurannya lebih kecil dari asinan jahe kelas dua.

4. Kelas empat atau Cargo Ginger: asinan yang dibuat dari rimpang utama dan terdiri atas 3 subkelas yaitu bold medium dan small medium.

5. Kelas lima atau Skins, Shavings, Tops, Tails: asinan yang dibuat dari sisa rimpang yang sudah dipilih untuk pembuatan asinan jahe dengan kelas mutu yang lebih tinggi.

Awetan Jahe Cara Australia Jahe muda disortasi, dikuliti dan dibentuk, kemudian direndam dalam campuran larutan garam 16 persen dengan 1.0 persen asam dan 0.5 persen Sulfur dioksida (SO2). Penggunaan SO2

dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan (browning) seperti yang biasa terjadi pada awetan jahe dari Cina dan Hongkong. Perendaman dilakukan selama 1 – 12 minggu. Setelah selesai dilakukan perebusan selama 30 menit untuk memperlunak tekstur, menghilangkan Sulfur dioksida dan menghilangkan sedikit rasa pedas. Selanjutnya direndam dalam larutan gula 20 persen selama 12 hari pada suhu 42 – 45oC dan pH tidak lebih dari 4.0. Larutan gula yang digunakan sebaiknya mengandung gula pereduksi (yaitu glukosa, sukrosa/gula pasir yang diasamkan, sirup gula invert atau fruktosa/sirup/HFS (High Fructose Sirup)) sebanyak 25 – 35 persen dari total gula. Kemudian larutan gula tersebut dipekatkan dengan penguapan (sebaiknya penguapan vakum) sampai mengandung total padatan terlarut (TSS) sebesar 72 – 75 persen. Dengan metode ini akan terjadi pengeluaran air dari jahe karena proses osmosis, dan sebaliknya akan menyerap gula tanpa mengalami pengkerutan (shrinkage) dan tanpa menurunkan rendemen, sehingga hasilnya akan lebih keras tetapi bersifat “fibrous”. Setelah selesai, jahe dikeluarkan, ditiriskan dan dikemas dalam larutan sirop baru. Untuk membuat awetan jahe kering, jahe yang telah diolah dengan cara diatas, ditiriskan dan dilapisi dengan gula pasir kristal dan dikeringkan menggunakan udara panas pada suhu 50oC selama 1 jam (Koswara, 2006). Komposisi rimpang dalam asinan jahe tersebut terdiri dari kadar serat 2,4%, protein 2,3% dan mineral 1,2%, karbohidrat yang terdiri dari pentosan 7,6%, sejumlah kecil gula bebas, glukosa, fruktosa dan sukrosa. Rimpang jahe menyerap garam dari larutan sekitar 2%. Persyaratan mutu jahe berdasarkan permintaan pembeli di Australia dapat dilihat pada Tabel 48.

Page 87: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 79

Tabel 48. Persyaratan Mutu Jahe Berdasarkan Permintaan Pembeli di Australia

No. Karakteristik Persyaratan 1. Komposisi Rimpang jahe (% berat) = 68,6%

Vinegar (cuka) = 12,4% Garam = 0,2% Air = 18,8%

2. pH 2 – 3,2 3. Warna Berwarna kuning muda saat dikemas 4. Ukuran Dipotong-potong dengan ukuran 5 mm 5. Penyimpanan Disimpan di tempat yang dingin dan kering 6. Kemasan Dikemas dalam ember plastik berukuran 7 kg rimpang

jahe dan 3.2 kg larutan asinan. Awetan Jahe Cara Indonesia Rimpang jahe dicuci dan dikupas, kemudian direndam dalam air bersih selama semalam dan direbus selama 15 menit. Kemudian ditiriskan dan ditusuk-tusuk dengan garpu dan direndam lagi dengan air dingin selama 24 jam. Setelah selesai, ditiriskan dan direndam dalam larutan gula (1 kg gula dilarutkan dalam 1 liter air) sampai mendidih selama 5 menit. Setelah selesai dibiarkan sampai dingin dan disimpan semalam. Selanjutnya dididihkan kembali dengan larutan gula yang baru selama 30 – 45 menit dan disimpan selama 5 hari agar siropnya masuk ke daging jahe. Selama penyimpanan 5 hari tersebut, setiap pagi dipanaskan pada suhu 60 – 80oC selama 10 – 15 menit. Setelah selesai hasilnya merupakan manisan jahe basah yang kemudian ditiriskan dan dapat dikemas dalam botol jam atau plastik. Jika ingin dibuat manisan jahe kering, dilakukan pemasakan lagi dengan larutan gula yang baru. Pada saat siropnya hampir kering, jahe diangkat dan dalam keadaan panas ditaburi kristal gula pasir halus. Kemudian disimpan atau dikemas dalam wadah yang tertutup rapat untuk menghindari penyerapan air (Koswara, 2006). Cara pengawetan jahe yang lebih sederhana yang biasa dilakukan oleh pengusaha di Indonesia adalah sebagai berikut:

• Jahe segar dikuliti kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 80-120 gram • Jahe kemudian dicampur asam cuka dan garam dapur dengan perbandingan 78% jahe

segar, 2% asam cuka dan 2% garam dapur. • Setelah dicampur dibiarkan selama 15 hari

Minyak Atsiri Jahe Minyak atsiri adalah senyawa mudah menguap yang tidak larut di dalam air yang berasal dari tanaman. Minyak atsiri dapat dipisahkan dari jaringan tanaman melalui proses destilasi. Pada proses ini jaringan tanaman dipanasi dengan air atau uap air. Minyak atsiri akan menguap dari jaringan bersama uap air yang terbentuk atau bersama uap air yang dilewatkan pada bahan (Kantor Deputi Menristek, 2001b). Minyak atsiri yang dihasilkan dari jahe merupakan komoditas ekspor non migas yang dibutuhkan diberbagai industri seperti dalam industri parfum, kosmetika, industri farmasi/obat-obatan, industri makanan dan minuman. Dalam dunia perdagangan, komoditas

Page 88: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

80 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

ini dipandang punya peran strategis dalam menghasilkan produk primer maupun sekunder, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Komoditas ini masih tetap eksis walaupun selalu terjadi fluktuasi harga, namun baik petani maupun produsen masih diuntungkan. Di Indonesia penggunaan minyak atsiri ini sangat beragam, dapat digunakan melalui berbagai cara yaitu melalui mulut/dikonsumsi langsung berupa makanan dan minuman seperti jamu yang mengandung minyak atsiri, penyedap/fragrant makanan, flavour es krim, permen, pasta gigi dan lain-lain. Pemakaian luar seperti untuk pemijatan, lulur, lotion, balsam, sabun mandi, shampo, obat luka/memar, pewangi badan (parfum). Melalui pernapasan (inhalasi/aromaterapi) seperti untuk wangi-wangian ruangan, pengharum tissue, pelega pernafasan rasa sejuk dan aroma lain untuk aroma terapi. Pemanfaatan aromaterapi sebagai salah satu pengobatan dan perawatan tubuh yang menjadi trend “back to nature” sangat membutuhkan bahan baku yang beragam dan bermutu dari tanaman aromatik. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 1-3%. Minyak atsiri jahe dapat diperoleh dengan berbagai teknik penyulingan, yaitu: 1) Metode perebusan: Bahan direbus di dalam air mendidih. Minyak atsiri akan menguap

bersama uap air, kemudian dilewatkan melalui kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan untuk metode ini disebut alat suling perebus.

2) Metode pengukusan: Bahan dikukus di dalam ketel yang konstruksinya hampir sama dengan dandang. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan untuk metode ini disebut suling pengukus.

3) Metode uap langsung: Bahan dialiri dengan uap yang berasal dari ketel pembangkit uap. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan untuk metode ini disebut alat suling uap langsung.

Untuk skala kecil seperti yang dilakukan oleh kebanyakan petani, metode pengukusan paling sering digunakan karena mutu produk cukup baik, proses cukup efisien, dan harga alat tidak terlalu mahal. Untuk skala besar, metode uap langsung yang paling baik karena paling efisien dibanding cara lainnya (Kantor Deputi Menristek, 2001b). Peralatan yang diperlukan untuk mendapatkan minyak atsiri jahe dengan cara penyulingan adalah ketel penyuling, bak pendingin dan alat pemisah. Ketel penyuling (octart) adalah tempat penyimpanan bahan baku yang akan disuling, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan penutup. Untuk menghasilkan minyak atsiri yang baik, ketel suling sebaiknya terbuat dari kaca tahan panas atau stainless steel. Di ketel dipasang pipa untuk mengalirkan uap ke dalam bak pendingin. Bak pendingin atau kondensor adalah alat berupa bak atau silinder yang di dalamnya terdapat pipa lurus atau spiral. Kondensor umumnya dibuat dari bahan tembaga yang dilapisi alumunium, timah atau stainless steel, dan berfungsi untuk mengubah uap menjadi air. Alat pemisah (florentine flash) adalah alat yang digunakan untuk menampung kondensat dari bak pendingin. Di dalam alat ini terjadi pemisahan antara hasil minyak dan air.

Page 89: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 81

1. Metode Perebusan Pada proses penyulingan dengan metode perebusan jahe langsung dimasukkan ke dalam air yang mendidih pada posisi terapung atau tenggelam tergantung dari berat jenis dan banyaknya jahe yang akan disuling. Pemanasan dapat dilakukan dengan cara menggunakan pemanasan langsung, dengan mantel uap atau dengan pipa uap dalam spiral yang terbuka atau berlubang. Prinsip kerja dari metode perebusan adalah proses hidrodifusi yaitu:

a. Ketel berisi jahe dan air dipanaskan dengan api langsung yang dilengkapi mantel uap dan pipa melingkar. Kondensat akan mulai keluar melalui kondensor dan menetes ke dalam alat pemisah minyak jika air sudah mendidih.

b. Kecepatan penyulingan diatur dengan mengatur intensitas api. c. Penambahan air dilakukan selama proses untuk menjaga suhu bahan dan pengisian

bahan baku terkontrol. Keuntungan metode perebusan adalah dapat diaplikasikan untuk jahe bubuk, sedangkan kelemahannya adalah proses ekstraksi tidak sempurna dan beberapa komponen mengalami polimerisasi serta membutuhkan ketel yang berukuran besar.

2. Metode Pengukusan Penyulingan minyak atsiri jahe dengan metode pengukusan dilakukan dengan cara memasukkan air ke dalam ketel penyulingan yang di dalamnya terdapat saringan tempat meletakkan jahe. Tinggi air berada tidak jauh dari saringan. Pemanasan air dilakukan dengan uap jenuh basah yang bertekanan rendah. Penyulingan dalam jumlah sedikit biasanya dilakukan dengan cara menghubungkan dengan api secara langsung, sedangkan penyulingan dalam jumlah besar digunakan mantel uap dan pipa uap spiral terbuka atau tertutup. Keuntungan penyulingan dengan metode pengukusan adalah:

- Uap selalu dalam keadaan panas, jenuh dan jahe tidak langsung berhubungan dengan air panas.

- Efisien dalam penggunaan bahan bakar - Dalam keadaan tekanan uap rendah dihasilkan minyak atsiri berkualitas

Alat yang digunakan dalam sistem kukus berupa ketel suling yang memiliki penyekat berlubang dari lempengan besi, yang berfungsi untuk memisahkan air dengan bahan baku. Bagian bawah ketel digunakan untuk merebus air, kira-kira sepertiga bagian ketel, sedangkan bagian atas ketel digunakan untuk meletakkan bahan baku (jahe) yang akan disuling. Ketika ketel dipanaskan, maka uap air dari bagian bawah ketel akan melewati lubang sekat dan melewati celah-celah bahan, sehingga minyak atsiri yang ada pada bahan akan ikut terbawa oleh uap dan dialirkan melalui pipa menuju kondensor. Di dalam kondensor terdapat pipa berbentuk spiral (koil) yang panjangnya mencapai 20-30 m dan berfungsi untuk mengalirkan uap panas yang berasal dari ketel suling. Campuran uap dan minyak akan didinginkan kembali di dalam kondensor, hingga berubah menjadi cair dan ditampung dalam tangki pemisah (tangki kondensat). Minyak atsiri dan air dipisahkan berdasarkan berat jenisnya. Kelemahan dari metode pengukusan adalah meskipun kualitas minyak atsiri yang dihasilkan lebih baik, tetapi proses penyulingan berlangsung lama sehingga menjadi kurang efisien dalam hal waktu.

Page 90: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

82 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

3. Metode Uap Langsung Metode penyulingan minyak atsiri dengan menggunakan uap secara langsung adalah metode dengan menggunakan uap jenuh atau uap super jenuh pada tekanan > 1 atmosfir dan dialirkan melalui pipa uap spiral berlubang yang diletakkan di bagian bawah bahan. Uap akan bergerak ke atas melalui bahan yang ada saringannya. Prinsip dari metode ini hampir sama dengan metode pengukusan, hanya air tidak dimasukkan ke dalam ketel penyulingan. Proses ekstraksi minyak atsiri dari jahe dilakukan sebagai berikut: • Penyiapan alat suling: bagian dalam ketel dibersihkan, setelah itu ketel diisi dengan air

bersih. Permukaan air berada 3-5 cm di bawah plat berpori yang menjadi alas rajangan jahe. Air yang paling baik diisikan adalah air hujan karena air ini tidak akan menimbulkan endapan atau kerak pada dinding dalam ketel.

• Pengisian bahan ke dalam Ketel: a. Bahan diisikan ke dalam ketel secara baik. Bahan disusun dengan formasi seragam dan

mempunyai cukup rongga untuk penetrasi uap secara merata ke dalam tumpukan bahan. Tumpukan bahan yang terlalu padat merata ke dalam tumpukan bahan. Tumpukan bahan yang terlalu padat dapat menyebabkan terbentuk rat holes yaitu suatu jalur uap yang tidak banyak kontak dengan bahan yang disuling. Tentu saja hal ini menyebabkan rendemen atau mutu minyak akan rendah.

b. Setelah bahan diisikan ke dalam ketel, penutup ketel secara rapat sehingga tidak ada celah sekecil apapun yang memungkinkan uap lolos dari celah tersebut.

• Penyulingan: a. Mula-mula kondensor dialiri dengan air pendingin. Pada saat itu alat pemisah air-

minyak sudah terpasang pada saluran keluar kondensat. b. Ketel dipanaskan dengan api tungku atau kompor. Api harus diusahakan hanya

mengenai dasar ketel. Api yang terlalu besar bisa menjilat dinding ketel sehingga dinding menjadi sangat panas, dan hal ini dapat menyebabkan gosong atau rusaknya bahan yang terdapat di dalam ketel. Penyulingan dilakukan selama 16-30 jam. Minyak atsiri jahe yang baik berwarna kuning kecoklat-coklatan dan bening.

• Pengurangan air: minyak atsiri jahe yang diperoleh masih mengandung sejumlah kecil air. Air ini dapat dikurangi dengan menyaring minyak dengan melalui kertas saring berlapis magnesium karbonat. Untuk memperoleh minyak atsiri jahe dengan kandungan air yang sangat rendah, minyak atsiri jahe harus disentrifusi dengan kecepatan tinggi, atau disaring dengan penyaring mekanis.

• Penyimpanan. Minyak atsiri jahe disimpan di dalam botol kaca yang berwarna gelap atau kering. Botol ini harus ditutup rapat. Jerigen plastik yang berkualitas tinggi juga dapat digunakan sebagai wadah penyimpan minyak atsiri jahe.

Standard Mutu Minyak Atsiri Jahe Standar mutu minyak jahe, masih mengacu pada ketentuan EOA (Essential Oil Association) seperti terlihat pada Tabel 49. Tabel 49. Standar Mutu Minyak Atsiri Jahe (Kadin Indonesia, 2007)

No. Spesifikasi Persyaratan 1. Warna kuning muda – kuning 2. Bobot jenis 25/25oC 0,877 – 0,882 3. Indeks bias (np

25) 1,486 – 1,492 4. Putaran optik (-28o) – (-45o) 5. Bilangan penyabunan, maksimum 20

Page 91: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 83

Oleoresin Jahe Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Jahe mengandung resin yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat sebagai oleoresin. Keuntungan dari oleoresin adalah lebih hiegenis, dan mempunyai kekuatan lebih bila dibanding bahan asalnya. Penggunaan oleoresin dalam industri lebih disukai, karena aromanya lebih tajam dan dapat menghemat biaya pengolahan (Kadin Indonesia, 2007). Pada proses pengolahan oleoresin ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu bahan pelarut, lama ekstraksi dan ukuran partikel. Bahan pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi oleoresin jahe di antaranya adalah etanol, aseton, etilen diklorida, isopropanol, petroleum eter dan heksan. Beberapa metode ekstraksi oleoresin dengan pelarut yang dapat digunakan adalah maserasi, perkolasi dan destilasi uap. Maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara merendam sampel di dalam pelarut pada suhu ruang. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan merendam sampel jahe akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga oleoresin yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena lama perendaman dapat diatur. Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada jahe sehingga pelarut akan membawa senyawa organik. Efektivitas proses perkolasi akan meningkat untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dengan pelarut yang digunakan. Destilasi uap adalah proses ekstraksi untuk senyawa organik yang tahan terhadap suhu tinggi yaitu lebih tinggi dari titik didih pelarut yang digunakan. Proses ekstraksi oleoresin jahe juga dapat dilakukan dengan ekstraksi fluida superkritis (Supercritical Fluida Extraction) dengan menggunakan CO2 superkritis yaitu CO2 pada suhu 31.06oC dengan tekanan 73.8 Bar. Metode ekstraksi dengan fluida superkritis dapat menghasilkan oleoresin dengan kemurnian yang tinggi dan diaplikasikan pada suhu yang rendah sehingga kehilangan komponen volatil lebih rendah, tetapi kelemahannya proses ini membutuhkan alat yang relatif mahal. Proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan sebagai berikut:

- Bahan yang digunakan adalah jahe kering tanpa kulit kemudian digiling halus dan disaring dengan ayakan 40-60 mesh.

- Bubuk jahe diekstraksi secara batch dengan menggunakan tangki ekstraksi dan pelarutnya dialirkan dari bawah. Parameter proses yang dapat diatur untuk mempercepat proses ekstraksi adalah ukuran bubuk jahe, kepadatan serta tinggi dan luas kolom.

- Ekstrak yang mengandung 10% bahan terlarut dipisahkan dari pelarut dengan cara menguapkan pelarut melalui proses penyulingan fraksi pada tekanan rendah. Hasil penyulingan berupa oleoresin kasar (concrete) yang masih mengandung minyak atsiri, unsur pewarna dan unsur lain yang tidak menguap, sehingga harus diekstraksi ulang.

- Proses ekstraksi ulang dilakukan dengan cara mencampur oleoresin kasar dengan pelarut di dalam alat ekstraski sistem rotary extractor.

- Ekstraksi dipanaskan dengan suhu 30-40oC.

Page 92: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

84 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

- Hasil ekstraksi kedua ini kemudian ditambah lagi dengan pelarut untuk diekstraksi dengan suhu 30oC.

- Ekstraksi terakhir akan menghasilkan oleoresin pekat atau absolut. Manisan Jahe Manisan biasanya dibuat dari buah. Produk ini merupakan bahan setengah kering dengan kadar air sekitar 30%, dan kadar gula tinggi (>60%). Kondisi ini memungkinkan manisan dapat disimpan lama karena kebanyakan mikroba tidak dapat tumbuh pada bahan. Manisan jahe belum dikenal oleh masyarakat, dan produk ini belum tersedia di pasaran. Walaupun demikian, produksi produk ini merupakan alternatif usaha yang mungkin menguntungkan karena cara pembuatannya sederhana, biaya tidak mahal, dan penampilan produk cukup menarik. Ada dua jenis manisan, yaitu manisan basah dan manisan kering. Manisan basah tidak dapat disimpan lama, dan penyimpanannya dianjurkan di dalam lemari kulkas. Sedangkan manisan kering dapat disimpan lama, dan dapat disimpan pada suhu ruang (Kantor Deputi Menristek, 2001a). Manisan Basah Jahe Bahan yang digunakan dalam pembuatan manisan basah adalah:

a. Rimpang jahe b. Larutan gula pasir 40% c. Sodium benzoate sebagai pengawet untuk menghambat pertumbuhan mikroba. d. Asam sitrat untuk menurunkan pH menjadi 3,8-4,4. Kondisi asam atau pH rendah

dapat menghambat pertumbuhan mikroba. e. Larutan kapur (CaCO3) atau larutan garam CaCl2 yang berfungsi untuk menguatkan

jaringan irisan rimpang. f. Larutan penghambat reaksi pencoklatan. Larutan ini diperlukan agar irisan rimpang

tidak berubah menjadi kecoklatan, atau warna gelap lainnya. Larutan mengandung ion sulfit yang berasal dari sodium bisulfit, sodium meta bisulfit, atau dari pelarutan gas belerang dioksida di dalam air.

Pengolahan manisan basah jahe dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: a. Cara Pengolahan I:

1. Pencucian, pengupasan dan pengirisan rimpang setebal 2-3 mm. 2. Perendaman di dalam larutan sulfit panas dengan suhu 64-68o C selama 10 menit

sambil diaduk-aduk secara pelan-pelan. Setelah itu, irisan rimpang dicuci dengan air segar dan ditiriskan.

3. Penggulaan (perendaman di dalam larutan gula) - Penggulaan pertama:

Irisan rimpang direndam di dalam larutan gula 40% selama 48 jam. Setiap 1 kg rimpang direndam di dalam 1 liter larutan. Setelah itu rimpang dikeluarkan dan ditiriskan.

Sementara itu larutan gula ditambah dengan asam sitrat dan asam benzoat. Setiap larutan ditambah dengan 2-5 gram asam sitrat, dan 0,5-1,0 gram asam

Page 93: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 85

benzoat. Setelah itu larutan dididihkan selama 10 menit. Setelah dingin, kadar gula larutan diukur dengan refraktometer. Jika kadar gula kurang dari 40%, ke dalam larutan ditambahkan lagi gula hingga kadar gula kembali menjadi 40%. Jika tidak tersedia refraktometer, setiap kali setelah perendaman, larutan gula ditambah dengan gula baru sebanyak 10% dari jumlah larutan. Dengan demikian setiap 1 liter larutan ditambah dengan 100 gram gula.

- Penggulaan kedua Setelah itu, irisan rimpang direndam lagi ke dalam larutan di atas dan dibiarkan

lagi selama 24 jam. Setelah itu rimpang dikeluarkan dan ditiriskan.

Setelah itu larutan gula dididihkan selama 10 menit. Setelah dingin, kadar gula larutan diukur dengan refraktometer. Jika kadar gula kurang dari 40%, ke dalam larutan ditambahkan lagi gula hingga kadar gula kembali menjadi 40%.

Jika tidak tersedia refraktometer, setiap kali setelah perendaman, larutan gula ditambah dengan gula baru sebanyak 10% dari jumlah larutan. Dengan demikian setiap 1 liter larutan ditambah dengan 100 gram gula.

- Penggulaan ketiga Irisan rimpang dari penggulaan kedua direndamkan lagi ke dalam larutan gula

diatas dan dibiarkan lagi selama 24 jam. Setelah itu irisan rimpang dikeluarkan dan ditiriskan.

Sementara itu larutan gula dididihkan selama 10 menit, kemudian didinginkan. Setelah agak dingin, larutan tersebut dicampur dengan irisan umbi. Hasil yang diperoleh disebut manisan basah jahe.

4. Pengemasan di dalam kantong plastik, gelas plastik, atau botol kaca bermulut lebar (botol selai). Manisan terkemas ini sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin (kulkas). Daya tahannya di dalam kulkas diperkirakan 3-4 minggu.

b. Cara Pengolahan II

1. Pencucian, pengupasan dan pengirisan rimpang setebal 2-3 mm. 2. Penggulaan

- Penggulaan pertama Dasar wadah penggulaan (stoples atau kotak plastik) ditaburi dengan gula halus

(ketebalan 2-3 mm). Di atas lapisan gula ini disusun satu lapis irisan rimpang. Di atas lapisan rimpang ditaburi lagi dengan gula (ketebalan 2-3 mm). Demikian dilakukan seterusnya sampai wadah penuh. Bagian paling atas, ditaburi atau ditutup dengan gula halus. Setiap 1 kg irisan umbi membutuhkan 300 gram gula halus. Setelah itu wadah ditutup, dan disimpan di dalam lemari pendingin selama 48 jam. Selama penyimpanan, cairan rimpang akan keluar, dan gula akan terlarut di dalam cairan rimpang tersebut.

Setelah itu, rimpang dikeluarkan dari wadah penggulaan. Cairan yang terbentuk dipisahkan dan dipanaskan, kemudian di simpan di dalam kulkas.

- Penggulaan kedua Rimpang hasil penggulaan pertama, ditaburi dan diaduk-aduk dengan asam

benzoat dan asam sitrat yang telah dihaluskan. Setiap 1 kg rimpang ditaburi dengan 1 g asam benzoat, dan 2-5 gram asam sitrat.

Dasar wadah pengulaan (stoples atau kotak plastik) ditaburi lagi dengan gula halus (ketebalan 1-2 mm). Diatas lapisan gula ini disusun satu lapis irisan

Page 94: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

86 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

rimpang. Di atas lapisan rimpang ditaburi lagi dengan gula (ketebalan 1-2 mm). Demikian dilakukan seterusnya sampai wadah penuh. Bagian paling atas, ditaburi atau ditutup dengan gula halus. Setiap 1 kg irisan membutuhkan 200 g gula halus. Setelah itu, wadah ditutup, dan disimpan di dalam lemari pendingin selama 24 jam. Selama penyimpanan, cairan rimpang akan keluar, dan gula akan terlarut di dalam cairan umbi tersebut.

Setelah itu, rimpang dikeluarkan dari wadah penggulaan. Cairan yang terbentuk dipisahkan dan dipanaskan, kemudian disatukan dengan larutan gula sebelumnya dan disimpan di dalam kulkas.

- Penggulaan ketiga Dasar wadah penggulaan (stoples atau kotak plastik) ditaburi lagi dengan gula

halus (ketebalan 1-2 mm). Diatas lapisan gula ini disusun satu lapis irisan rimpang. Di atas lapisan rimpang ditaburi lagi dengan gula (ketebalan 1-2 mm). Demikian dilakukan seterusnya sampai wadah penuh. Bagian paling atas, ditaburi atau ditutup dengan gula halus. Setiap 1 kg irisan membutuhkan 150 g gula halus. Setelah itu, wadah ditutup, dan disimpan di dalam lemari pendingin selama 24 jam. Selama penyimpanan, cairan rimpang akan keluar, dan gula akan terlarut di dalam cairan rimpang tersebut.

Setelah itu, rimpang dikeluarkan dari wadah penggulaan. Cairan yang terbentuk dipisahkan dan dipanaskan, kemudian disatukan dengan cairan sebelumnya. Cairan ini ditambah dengan air, kemudian dididihkan selama 5 menit. Setiap 1 liter cairan gula ditambah dengan 1 liter air bersih.

Ke dalam cairan yang telah direbus diatas dimasukkan rimpang yang telah digulai. Hasil yang diperoleh disebut manisan basah jahe.

3. Pengemasan di dalam kantong plastik, gelas plastik, atau botol kaca bermulut lebar (botol selai). Manisan terkemas ini sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin. Daya tahannya di dalam lemari pendingin diperkirakan 3-4 minggu.

Manisan Kering Jahe Proses pembuatan manisan kering jahe hampir sama dengan proses pembuatan manisan basah, perbedaannya hanya pada proses penggulaan. Proses penggulaan pada pembuatan manisan kering jahe dilakukan sebagai berikut: a. Penggulaan pertama: Irisan rimpang direndam di dalam larutan gula 40% selama 48 jam.

Setiap 1 kg rimpang direndam di dalam 0,5 liter larutan. Setelah itu rimpang dikeluarkan dan ditiriskan. Sementara itu larutan gula ditambah dengan asam sitrat dan asam benzoat. Setiap larutan ditambah dengan 2-5 gram asam sitrat, dan 0,5-1,0 g asam benzoat. Setelah itu larutan dididihkan selama 10 menit. Setelah dingin, kadar gula larutan diukur dengan refraktometer. Jika kadar gula kurang dari 40%, ke dalam larutan ditambahkan lagi gula hingga kadar gula kembali menjadi 40%.

b. Penggulaan kedua: setelah proses penggulaan pertama, irisan jahe direndam lagi ke dalam larutan di atas dan dibiarkan lagi selama 24 jam. Setelah itu rimpang dikeluarkan dan ditiriskan, kemudian larutan gula dididihkan selama 10 menit. Setelah dingin, kadar gula larutan diukur dengan refraktometer. Jika kadar gula kurang dari 40%, ke dalam larutan ditambahkan lagi gula hingga kadar gula kembali menjadi 40%. Dengan demikian setiap 1 liter larutan ditambah dengan 100 gram gula.

Page 95: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 87

c. Penggulaan ketiga: Irisan jahe direndamkan lagi ke dalam larutan gula diatas dan dibiarkan lagi selama 24 jam. Setelah itu irisan jahe dikeluarkan dan ditiriskan. Hasil yang diperoleh disebut dengan manisan basah jahe. Gula perendam jahe dapat digunakan lagi untuk perendaman umbi pada proses pembuatan manisan berikutnya.

d. Pengeringan Manisan basah jahe dijemur (jika tersedia cukup sinar matahari), atau dikeringkan dengan alat pengering sampai kadar air di bawah 20% dengan tanda irisan buah susut menjadi separo ukuran semula dan menjadi lentur. Hasil yang diperoleh disebut manisan kering jahe.

e. Pengemasan di dalam kantong plastik polietilen. Jahe Kristal Jahe kristal adalah proses lebih lanjut dari jahe di dalam sirup. Jahe kristal mirip dengan manisan jahe kering, perbedaannya adalah dalam proses pengolahan. Manisan kering jahe dibuat tanpa melalui proses fermentasi pikel di dalam larutan garam. Kristal jahe dibuat dari jahe yang telah diolah menjadi pikel manis. Proses pembuatan jahe kristal adalah sebagai berikut:

• Pikel manis jahe dipisahkan dari sirupnya, kemudian ditiriskan • Sirup jahe yang telah dipisahkan dari jahenya dipanaskan kembali hingga airnya

menguap, kemudian ditambah dengan gula pasir halus sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk hingga bilangan Brixnya 70%. Hasil peningkatan kadar gula ini disebut sirup jenuh.

• Perendaman pikel jahe di dalam larutan sirup jenuh. Pikel jahe yang telah ditiriskan direndam di dalam sirup jenuh. Setiap 1 kg pikel jenuh direndam di dalam 0.5 liter sirup jenuh. Selama perendaman dilakukan pengadukan secara pelan. Perendaman berlangsung selama 24 jam.

• Pelapisan dengan gula pasir. Setelah perendaman tersebut jahe ditiriskan, kemudian ditaburi dengan gula pasir yang telah dihaluskan. Setelah itu pikel dikeringkan dengan alat pengering pada suhu 50oC selama 1 jam. Hasil yang diperoleh disebut jahe kristal.

Sirup Jahe Manfaat jahe sebagai obat seringkali diperoleh setelah seseorang mengkonsumsi jahe dengan cara ditambahkan ke dalam bahan makanan (sebagai bumbu), sebagai lalapan atau diseduh dengan air panas dan diminum pada waktu cuaca dingin untuk menghangatkan badan selain itu juga membantu pencernaan. Untuk tujuan yang sama, sebaiknya jahe diolah menjadi bentuk yang lebih praktis digunakan. Salah satu bentuk praktis tersebut adalah sirup jahe, sehingga penggunaan untuk minuman hanya dengan cara pengenceran saja. Sirup ini selain dibuat dengan menambahkan sari jahe juga dapat dibuat dengan menambahkan sari buah-buahan atau esens. Setelah dibotolkan, sirup merupakan salah satu bahan yang awet. Penambahan natrium benzoat lazim dilakukan pada produk sejenis sirup ini dengan penggunaan maksimum 0,1%.

Page 96: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

88 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Proses pembuatan sirup jahe dilakukan sebagai berikut: - Jahe dicuci kemudian dikupas dan diparut - Ke dalam parutan jahe ditambah air 2 liter dan diperas dengan kain kasa atau saringan

nylon untuk diambil sarinya - Kemudian sari jahe tersebut ditambahkan - Gula dan air (10 kg gula dan 7 liter air) dimasak hingga gula larut. kemudian

dimasukkan sari jahe. Campuran tersebut diaduk hingga semua gula larut mendidih. Setelah mendidih api segera dimatikan.

- Penyiapan botol: botol kaca disikat bagian dalamnya dengan detergen. Seluruh permukaan botol dicuci sampai bersih dengan menggunakan detergen. Botol dibilas sampai bersih. Kemudian bagian dalam botol dibilas dengan air panas. Setelah itu botol direbus di dalam air mendidih selama 30 menit.

- Pembotolan dan Sterilisasi: Botol diangkat dari air panas dan dibalikkan agar airnya keluar dari botol. Ketika botol masih panas, sirup yang masih panas dimasukkan ke dalam botol dengan bantuan corong sampai permukaan sirup 2 cm dari bibir botol paling atas. Botol berisi sirup ini diletakkan di dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian botol diangkat dan segera ditutup dengan penutup botol. Setelah itu botol ini direbus di dalam air mendidih selama 30 menit.

- Setelah itu botol berisi sirup disimpan pada suhu kamar atau di dalam kulkas. Ampas jahe yang diperas tadi dapat digunakan untuk membuat enting-enting jahe sebagai berikut:

1. Ampas jahe ditumbuk sampai halus 2. Siapkan gula merah sebanyak 750 gram dan gula pasir 250 gram kemudian larutkan 3. Setelah itu masukkan ampas jahe yang telah ditumbuk tadi 4. Aduk-aduk hingga merata di atas api kecil selama 30 menit 5. Setelah itu di angin-anginkan di atas tampah lalu dipotong-potong sesuai dengan

keinginan Jahe Instant Jahe instant adalah bentuk olahan jahe melalui pengeringan sari jahe sehingga terbentuk bubuk sari jahe dan dikonsumsi dengan cara melarutkan bubuk jahe di dalam air. Tujuan pengolahan jahe instant adalah untuk mempermudah konsumsi sari jahe dan memperpanjang masa simpannya. Proses pembuatan jahe instant adalah sebagai berikut:

• Jahe yang digunakan adalah jahe gajah yang tua dan baik, kemudian dikupas dan dicuci, lalu dihancurkan dengan cara diblender atau diparut.

• Bubur jahe yang diperoleh, selanjutnya diperas dan sari jahenya diambil dengan cara disaring.

• Campurkan sari jahe dengan gula. Perbandingan jahe segar dan gula = 1 : 1, kemudian dididihkan sambil diaduk hingga air menguap dan cairan menjadi kental dan mengkristal atau menggumpal.

• Kristal-kristal atau gumpalan jahe instan dengan ditumbuk atau diblender kering dan diayak sehingga diperoleh tepung jahe instan halus. Kemudian dikemas dan diberi label.

Page 97: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 89

Formulasi Ekstrak Jahe Bahan aktif jahe dapat diekstraksi dengan menggunakan air atau alkohol. Dari hasil percobaan Yuliani et al., (2002), dilakukan proses ekstrasi bahan aktif jahe dengan menggunakan air 4% dan 6% serta alkohol 0.4% dan 0.6%. Hasil ekstraksi kemudian diformulasi untuk pembuatan granul ekstrak jahe berkarbonat dengan menambahkan asam sitrat dan sodium bikarbonat. Formula granul berkarbonasi yang disenangi adalah formula yang dibuat dari ekstrak alkohol 0.6% dan penambahan asam sitrat 2%. Formulasi jahe seperti ini akan memperluas pemanfaatannya, karena lebih praktis dan mempunyai masa simpan yang lebih panjang. Anggur Jahe Anggur adalah sejenis minuman beralkohol yang dibuat secara fermentasi dari sari buah-buahan oleh sejenis ragi. Sari jahe juga dapat digunakan untuk pembuatan anggur sebagai pengganti sari buah. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan anggur jahe adalah jahe gajah, karena jenis ini mempunyai rasa yang tidak pedas, kandungan minyak atsiri yang rendah dan seratnya tidak terlalu kasar. Seperti halnya buah anggur, jahe juga akan menghasilkan wine jika difermentasi. Cara yang digunakan untuk memproduksi minuman beralkohol dari sari jahe sama dengan cara produksi wine dari buah anggur. Perbedaannya ialah ekstraksi gula dan bahan-bahan terlarut dari jahe daripada dari anggur, dan kandungan gula dalam sari jahe lebih rendah daripada buah anggur. Sebelum inokulasi dan fermentasi, sari jahe diberi perlakuan untuk menghilangkan mikroorganisme yang tidak dikehendaki, antara lain dengan pasteurisasi pada suhu 85°C selama 30 detik, atau sterilisasi melalui penyaringan (filter sterilization). Pada umumnya kontrol mikroorganisme sari buah umumnya dilakukan dengan cara menambahkan SO2. Jumlah SO2

yang ditambahkan tergantung pada pH sari jahe, oksigen terlarut dan konsentrasi

senyawa yang mengikat SO2 dalam sari jahe. Setelah ditambahkan SO2, sari jahe dibiarkan

satu malam. Sari jahe harus mengandung paling sedikit 30 ppm SO2 pada pH 3.5, dan pada pH

yang lebih tinggi kebutuhan SO2 juga lebih tinggi.

Sari jahe diinokulasi dengan galur Saccharomyces cerevisae. Galur yang digunakan sebaiknya merupakan kultur murni, Galur yang baik adalah kultur murni, stabil dan mempunyai daya flokulasi yang baik, tahan terhadap SO2

dan tidak mampu memproduksi metabolit-metabolit

yang tidak diinginkan seperti H2S dan diasetil. Sel kamir juga harus mampu mendegradasi pektin (deesterified pectin) menjadi asam galakturonat, jika tidak maka pektin dalam sari jahe akan tetap tidak berubah selama fermentasi. Disamping memproduksi etanol CO2, sel khamir juga memproduksi senyawa-senyawa aromatik, asam-asam organik dan alkohol tinggi termasuk butyl, hexil dan propylakohol (rerata total 200-250 ppm). Pada suhu 15-25°C fermentasi membutuhkan waktu sampai beberapa minggu. Fermentasi dihentikan jika berat jenis telah mencapai sekitar 1.0002 dari berat jenis awal sekitar 1.037-1.082. Selama atau setelah fermentasi khamir, bakteri asam laktat melakukan fermentasi kedua (fermentasi malolaktat).

Page 98: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

90 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Selama fermentasi malolaktat dikarboksilat akan berubah menjadi asam laktat monokarboksilat, yang akan menurunkan keasaman anggur sampai 50 persen. Disamping itu bakteri asam laktat juga akan memecah (katabolisme) asam-asam lain yang terdapat dalam anggur seperti asam sitrat, quinat, shikamat, caffeat dan asam chlorogenat. Dari gula yang tersedia asam laktat juga akan memproduksi asam laktat dan asam asetat. Penurunan keasaman akibat fermentasi kedua ini lebih disukai karena anggur akan mempunyai flavor yang baik. Proses pembuatan anggur jahe secara garis besar meliputi penghancuran rimpang jahe yang diikuti penambahan air, penyaringan, penambahan gula dan nutrien, pembotolan, pasteurisasi, penjernihan dan pemberian starter, fermentasi, penjernihan dan pemeraman. Mutu dan karakteristik anggur jahe ditentukan oleh komposisi bahan baku, proses fermentasi dan perubahan yang terjadi setelah proses fermentasi. Dalam pembuatan anggur jahe proses fermentasi dapat berlangsung sekitar 14-20 hari dan banyaknya starter yang ditambahkan adalah 2-5%. Lamanya waktu fermentasi dipengaruhi oleh kadar gula dan kadar alkohol yang diinginkan. Suhu optimum untuk proses fermentasi adalah 22-27oC. Proses pasteurisasi pada anggur jahe bertujuan untuk menonaktifkan enzim, membunuh mikroba perusak dan membuat anggur lebih stabil selama penyimpanan. Anggur jahe yang diperoleh dari hasil fermentasi biasanya berwarna keruh dengan bau khamir yang keras, sehingga perlu dilakukan penjernihan dan penuaan. Penjernihan dilakukan dengan cara menambahkam bahan penjernih, bahan penyaringan dan sentrifusi. Penuaan dilakukan dengan cara menyimpan anggur hingga 1 tahun yang bertujuan untuk meningkatkan kejernihan dan membuat aroma anggur lebih spesifik, karena terjadinya pengendapan sel khamir dan fraksi pigmen dan tanin yang belum stabil. Perubahan aroma disebabkan oleh proses oksidasi yang berlangsung secara lambat selama proses penuaan.

Page 99: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 91

BAB VIII PROSPEK BUDIDAYA JAHE

Tujuan Instruksional: Menjelaskan prospek tentang produksi (analisis ekonomi), peluang agribisnis (pasar nasional dan internasional), pembuatan kompos, olahan jahe dan pembuatan keranjang.

Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Demikian halnya dengan nenek moyang kita. Mereka telah mempunyai pengalaman panjang dan turun temurun dalam menyeleksi berbagai sumberdaya hayati disekitarnya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat yang alami, maka bahan pangan yang kini banyak diminati bukan saja bahan pangan dengan komposisi gizi yang lengkap serta dengan cita rasa dan penampilan yang menarik, tapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh yang lazim disebut pangan fungsional. Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Kecenderungan ini telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan makanan untuk mempromosikan produknya melalui pencatuman klaim kesehatan pada label produk ataupun iklannya. Berbagai jenis pangan fungsional yang beredar di pasaran seperti produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut, serta produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman tersedia berbagai minuman berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, sari jahe, sari temulawak, beras kencur dan bandrek. Kemajuan iptek pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis-jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan kesehatan dan pengobatan. Sebagian besar zat-zat bioaktif bahan-bahan tersebut juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi. Salah satu jenis pangan yang zat-zat bioaktifnya sudah banyak diidentifikasi dan diisolasi serta sudah terbukti khasiatnya secara ilmiah untuk kesehatan dan pengobatan adalah jahe.

Page 100: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

92 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Kebutuhan akan tanaman rempah termasuk jahe terus meningkat sejalan dengan munculnya kecenderungan untuk kembali ke alam dan adanya anggapan bahwa efek samping yang ditimbulkan obat-obat tradisional yang berasal dari rempah-rempah ini lebih kecil daripada obat-obatan sintesis. Produksi tanaman biofarmaka di Indonesia selama lima tahun terakhir meningkat cukup pesat seperti terlihat pada Tabel 50. Tabel 50. Produksi Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999-2003

Komoditas Produksi (ton) Pertumbuhan (%) 1999 2000 2001 2002 2003

Jahe 120.850,7 115.091,8 128.438,5 18.496,4 125.386,5 5,81 Kencur 5.809,2 9.489,7 11.112 12.848,2 19,527.1 51,98 Lengkuas 16.916,5 27.511,6 26.153,9 27.933,9 24.588,2 -11,98 Kunyit 15.362,9 24.813,1 27.195,2 23.993 30.707,4 27,98 Lempuyang 3.586,8 4.484,8 4.794,4 4.530,8 4.684,3 3,39 Tanaman Biofarmaka

8.076,7 11.627,1 10.473 14.730,2 23.817,7 61,69

Total 170.602,8 193.018,1 208.167 102.532,5 228.711,2 12,93 Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2004. Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa pengembangan jahe di Indonesia sampai saat ini masih cukup berprospek dan berpeluang baik. Hal ini didasarkan pada kondisi iklim dan tanah yang sesuai dan didukung dengan masih terbukanya pasar baik untuk dalam negeri maupun luar negeri. Areal penanaman jahe akhir-akhir ini semakin meluas. Umumnya lahan pertanaman jahe mengalami peningkatan sebanyak 20% per tahun. Selain itu, penggunaan komoditas jahe juga mengalami peningkatan. Hingga saat ini total penggunaan jahe untuk kebutuhan sehari-hari dapat mencapai 90% dari total volume jahe. Secara umum, jahe digunakan untuk bumbu dapur dan rempah-rempah. Selain itu, jahe dapat digunakan untuk industri makanan dan minuman serta obat-obatan. Meluasnya penggunaan jahe tersebut menyebabkan ada peningkatan serapan pasar dan volume perdagangan baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Analisis Ekonomi Budidaya Jahe Analisis usaha budidaya jahe secara umum Perkiraan analisis usaha budidaya jahe seluas 1 ha; yang dilakukan petani pada tahun 2007 di Medan. 1. Biaya Produksi

a. Bibit: 60.000 potong rimpang @ Rp. 800,- = Rp. 48.000.000 b. Pupuk

• Pupuk Produksi Urea 165 kg @ Rp. 5.000,- = Rp. 825.000,- TSP 160 kg @ Rp. 5.000,- = Rp. 800.000,- KCL 160 kg @ Rp. 5.000,- = Rp. 800.000,- • Pupuk Kandang 3.000 kg @ Rp. 250,- = 750.000,-

c. Pestisida 20 kg @ Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,- d. Alat pertanian Rp. 180.000,-

Page 101: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 93

e. Bahan (mulsa) 20.000 m @ Rp. 150,- = 3.000.000,- f. Tenaga kerja 200 HOK @ Rp. 20.000 Rp. 4.000.000,- g. Biaya lain-lain Rp. 1.000.000,-

Jumlah biaya produksi Rp. 60.355.000,- 2. Penerimaan: 22.000 kg @ 6.000,-= Rp. 132.000.000,- 3. Keuntungan usaha tani Rp.71.645.000,- 4. Parameter kelayakan usaha

B/C rasio = 1.187 Berikut disajikan analisis usaha tani jahe bila menggunakan budidaya jahe sistem keranjang

Tabel 51. Analisis Usahatani Budidaya Jahe Sistem Keranjang (Hapsoh et al, 2008a)

No. Uraian Unit Satuan Harga satuan (Rp.)

Jumlah (Rp.)

1. Biaya Produksi a. Benih jahe merah b. Media tanam c. Keranjang bambu d. Bibit ubi kayu e. Benih jagung f. Pestisida organik cair g. Pemupukan h. Sewa mesin kompressor untuk panen i. Tepas untuk persemaian

70 300 500 150 1 3 2 1 4

Kg

Goni Buah

Batang Kg

Botol Botol Buah

Lembar

17.000 12.000

4.000 1.000

25.000 75.000 50.000

250.000

25.000

1.190.000 3.600.000 2.000.000

150.000 25.000

225.000 100.000 250.000

100.000

2. Upah Tenaga Kerja a. persiapan lahan b. penyemaian jahe c. penanaman ubi kayu dan jagung d. penanaman jahe keranjang e. pemeliharaan

- pemupukan - pengendalian HPT - penyiangan

f. panen

6 5 2 5 5 5 4

10

HOK HOK HOK HOK

HOK HOK HOK HOK

35.000 35.000 35.000 35.000

35.000 35.000 35.000 35.000

210.000 175.000

70.000 175.000

175.000 175.000 140.000 350.000

3. Total biaya 9.110.000 4. Pendapatan 5000 kg 5.000 25.000.000 5. Keuntungan

(Rp. 25.000.000 – Rp. 9.110.000) 15.890.000

Catatan: 1. Analisis usahatani tersebut untuk budidaya jahe sebanyak 500 keranjang. 2. Dalam analisis usahatani ini mesin kompressor disewa, tetapi untuk kegiatan budidaya jahe

keranjang selanjutnya mesin kompressor dibeli (disediakan) supaya dapat dimanfaatkan untuk budidaya jahe secara berkesinambungan.

3. Harga jual berfluktuasi tergantung kondisi pasar (Rp. 5.000 – 10.000 per kg jahe segar). Dalam analisis usahatani ini diasumsikan 1 keranjang menghasilkan 10 kg jahe segar dengan harga Rp. 5.000 per kg jahe segar.

4. B/C rasio = 1,744

Page 102: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

94 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Peluang Agribisnis Saat ini permintaan akan jahe oleh negara importir terus mengalami peningkatan, akan tetapi permintaan tersebut belum semuanya dapat dipenuhi mengingat produksi jahe masih terserap oleh kebutuhan dalam negeri. Dilihat dari segi harga, dari tahun 1991 hingga saat ini fluktuasi harga jahe basah maupun kering boleh dikatakan stabil. Dilihat dari segi permintaan, stabilitas harga serta produksi jahe dalam negeri prospek agribisnis jahe sangat cerah. Di Indonesia, komoditas jahe (Zingiber officionalle Rosc.) yang memiliki demand cukup tinggi baik di pasar domestik, disesuaikan dengan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya. Tiga jenis jahe yang berprospek adalah jahe putih besar (jahe gajah), jahe putih kecil dan jahe merah. Di antara ketiga jenis jahe tersebut, jahe gajahlah yang mempunyai demand terbesar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Demand jahe dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan trend peningkatan konsumsinya, yaitu dengan pertumbuhan 18,71% setiap tahunnya selama periode 1984- 1990. Demand jahe gajah di pasar domestik, seperti catatan koperasi BPTO (Kobapto) Kabupaten Tawangmangu, Jawa Tengah, berkisar 5.000 ton per tahun. Hampir semua industri obat tradisional di Jawa Tengah membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku produksinya, seperti PT Sidomuncul membutuhkan sekitar 15 ton per bulan, PT Air Mancur 15 ton per bulan, CV Temu Kencono 10- 12 ton per tahun dan PT Indotraco 40 ton per bulan (Tabel 44). Rimpang jahe juga banyak dimanfaatkan oleh 10 industri besar obat tradisional dan 12 industri obat tradisional menengah pada tahun 1995- 1999, yaitu sebanyak 1.364.270 kg. Sedangkan menurut Survey Subdit Aneka Tanaman (2001), jumlah kebutuhan jahe dalam negeri adalah 36.200 kg/bulan. Untuk kebutuhan lokal, demand komoditas jahe gajah yang meningkat seiring dengan semakin banyaknya pabrik jamu, farmasi, dan kosmetik banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional (jamu), bahan makanan, minuman dan kosmetik (Pusat Studi Biofarmaka, 2007). Tabel 52. Jenis Biofarmaka yang Dominan Dipasok Negara Industri Farmasi

No. Komoditas Nama ilmiah Bagian tanaman yang digunakan

Negara tujuan ekspor

1. Tapak dara Catharanthus roseus Daun Amerika Serikat 2. Kina Catharanthus roseus Kulit Batang Jepang 3. Kecubung Datura metel Daun Federal Republik 4. Wortel Caphaelis ipecacuantha Umbi Ghana 5. Liquorice Glyzirizha glabra Akar Perancis 6. Jahe Zingiber officinale Rimpang Switzerland 7. Pulai Pandak Rauwolfia vomitoria Akar United Kingdom 8. valerian Valerian officinalis Akar

Sumber: Pusat Studi Biofarmaka (2007).

Page 103: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 95

Tabel 53. Kebutuhan Industri Obat Tradisional Akan Berbagai Jenis Biofarmaka

No. Nama bahan baku Kebutuhan/tahun Industri perusahaan penerima 1. Jahe (Zingiber officinalle Rosc.) 5000 ton Semua Pabrik:

Sidomuncul = 15 ton/bln Air Mancur = 1,5 ton/bln Temu Kencono = 10-12 ton/thn Indotraco = 40 ton/bln (Gajah)

2. Kapulogo (Ammomum cardamomum Auct.)

3000 ton Semua Pabrik: Sidomuncul = 10 ton/bln Nyonya Meneer = 10 ton/bln Indotraco = 20 ton/bln

3. Temulawak (Curcuma aeruginosa Rocs.)

3000 ton Semua Pabrik

4. Adas (Foeniculum vulgare Mill.) 2000 ton Semua Pabrik 5. Kencur (Kempferia galanga L.) 2000 ton kering Semua Pabrik

Sidomuncul 7-8 ton/bln Temu Kencono 5-8 ton/thn Indotraco 200-300 ton/mthn Herba Agronusa 40 ton/thn

6. Kunyit (Curcuma dommestika Val.)

3000 ton kering; 1500 ton basah

Semua Pabrik: Sidomuncul 6 ton kering/bln; dan 5 ton basah/hr

7. Bengle (Zingiber purpureum Rosc.)

300 ton Sidomuncul = 5-7 ton/bln Air Mancur = 2-3 ton/bln

8. Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia L.)

300 ton Indo Farma = 8-12 ton/bln Sidomuncul = 2-3 ton/bln

9. Tempuyung (Zingiberis zerumbeti R.)

200 ton Sidomuncul = 15 ton/bln

10. Daun Sembung 100 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 11. Daun Sendok 100 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 12 Pegagan (Centella asiatica) 100 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 13 Daun Tempuyung (Sonchus

arvensis) 70 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln

Dayang Sumbi = 1-5 ton/thn 14 Daun Cengkih 50 ton Sidomuncul = 3-4 ton/bln 15 Greges Otot 50 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 16 Daun Katuk 50 ton Indo Farma = 1 ton/bln 17 Kunci Pepet (Boesenbergia

pandurata R.) 30 ton Semua Pabrik

18 Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L) Griff.)

30 ton Sidomuncul = 1-2 ton/bln Indo Farma = 1-2 ton/bln

19 Bunga Sidowayah 30 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 20 Tapak Liman 25 ton Sidomuncul = 2-3 ton/bln 21 Kumis Kucing (Orthosipphon

aristatus) 20 ton Jamu Jenggot = 200 kg/bln

Dayang Sumbi = 5-10 ton/thn Sidomuncul = 200 kg/bln

22 Kayu Angin 15 ton Semua Pabrik 23 Waron 10 ton Semua Pabrik 24 Daun Kemuning (Murraya

paniculata Jack.) 10 ton Semua Pabrik

25 Kayu Secang 3-4 ton Semua Pabrik Sumber: Pusat Studi Biofarmaka (2007).

Page 104: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

96 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tabel 54. Nilai Ekspor Jahe Dunia dan Ekspor 10 Negara Pesaing Tahun 2000

No. Negara pemasok Ekspor (US $.000) Persentase O(%) 1. China 71 138 55,53 2. Thailand 18 394 14,36 3. India 5 914 4,67 4. Indonesia 5 797 4,52 5. Brazil 5 476 4,27 6. Belanda 3 883 3,03 7. Nigeria 3 316 2,59 8. Nepal 2 763 2,16 9. Singapura 2 301 1,80 10. Ethiopia 1 021 0,80 11. Lain-lain 6 508 5,08

Dunia 128 112 100 Sumber: Food Agriculture Organisation (FAO), 2001 dalam Pusat Studi Biofarmaka, 2007. Pada Tabel 56 terlihat, bahwa market share Indonesia dalam perdagangan jahe dunia adalah sebesar 4,52%. Market share ini masih kecil jika dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia. Jika dilihat dari total produksi jahe Indonesia pada tahun 2000, yaitu sebesar 71 900 dan masih tersedianya tanah pertanian yang cukup luas maka market share tersebut masih memiliki peluang untuk dikembangkan karena umumnya budidaya jahe tidak membutuhkan persyaratan tanaman yang spesifik. Dari uraian di atas, jika dilihat dari prospek biofarmaka maka pemasaran jahe sebenarnya bukanlah masalah, karena pasar domestik dan internasional cukup terbuka lebar. Namun kenyataannya, Indonesia belum dapat memenuhi demand pasar internasional yang terus meningkat tersebut. Jahe gajah yang harganya US $ 300/ton, Indonesia baru men-supply 10% dari permintaan dunia yang berjumlah 30.000 ton/tahun. Pembuatan Kompos Budidaya jahe sistem keranjang membuka peluang bisnis pembuatan kompos karena budidaya ini memerlukan kompos sebagai media tanam dalam jumlah yang besar. Untuk menghemat biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani maka kompos dapat dibuat dari sampah rumah tangga dan limbah pertanian yang tersedia di sekitar lokasi. Analisis Biaya Pembuatan Kompos tersaji pada Tabel 55.

Page 105: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 97

Tabel 55. Analisis Biaya Pembuatan Kompos (Hapsoh et al, 2008b)

No. Uraian Jumlah satuan Harga Satuan

(Rp)

Jumlah (Rp)

A Uraian Biaya Alat 1. Mesin pencacah kompos 2. Bangunan 3. Bak fermentasi 4. Timbangan 5. Mesin jahit karung 6. Alat press kantong plastik 7. Termometer

Sub Total

1unit (500kg/jam) 1 unit (4x10 m2) 1unit(1x2x0.5m)

1 unit 1 unit 1 unit 2 Unit

22.500.000 10.000.000

225.000 1.800.000 2.200.000 4.680.000

56.250

22.500.000 10.000.000 3.600.000 1.800.000 2.200.000 4.680.000

112.500 44.892.500

B Biaya Produksi (operasional) I. Bahan 1. Bioaktivator 2. Bahan baku sampah 3. Karung kemasan u/50 kg 4. Karung goni 5. Plastik tebal u/10 kg 6. Terpal plastik 7. Benang jahit karung 8. Bahan bakar 9. Tepung ikan 10. Kotoran sapi 11. Gula putih 12. Dedak Sub total

40 liter -

1000 lembar 300 lembar

20 kg 50 m

20 gulung 300 liter 475 kg

3000 kg 50 kg

3000 kg

50.000 -

1.500 2.250

40.000 19.500 11.000 4.500 2.500

500 8.000

500

2.000.000 -

1.500.000 675.000 800.000 975.000 220.000

1.350.000 1.187.500 1.500.000

400.000 1.500.000

12.107.500

Biaya 57.000.000

Page 106: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

98 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Tab

el 5

6. A

nalis

is K

elay

akan

Usa

ha K

ompo

s Se

lam

a 3

Tah

un (

Hap

soh

et a

l, 20

08b )

T

Perio

de (b

ulan

) N

o.

Ura

ian

Bia

ya-

Man

faat

Pro

yek

1 2

3 4

5 6

7 8

9 10

36

A

kum

ulas

i

I U

raia

n B

iaya

In

vest

asi

1. M

esin

(Pen

caca

h,

Penj

ahit

Kar

ung,

Pr

ees P

last

ik)

2938

0

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2.

Per

alat

an

(Tim

bang

an,

Term

omet

er)

1912

,5

- -

- -

- -

- -

- -

- -

3.

Tem

pat/L

ahan

(Ban

guna

n Te

mpa

t Pe

mbu

atan

K

ompo

s, B

ak

Ferm

enta

si)

1360

0 -

- -

- -

- -

- -

- -

-

4.

Man

ajem

en F

ee

a. B

antu

an T

ekni

k da

n M

anaj

emen

-

-

570

570

570

570

570

570

570

570

570

570

1938

0

b.

Bun

ga M

odal

-

- 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 57

0 19

380

c.

Pen

yusu

tan/

A

ngsu

ran

Peng

ambi

lan

Mod

al P

ergu

liran

- -

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

1978

,24

6726

0.16

5.

Bia

ya B

ahan

B

aku/

Pem

buat

an

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

4774

.26

1210

7,5

1210

7,5

1210

7,5

5101

20

6.

Bia

ya T

enag

a K

erja

10

00

1000

10

00

1000

10

00

1000

10

00

1000

10

00

1000

10

00

1000

36

000

7.

Bia

ya L

ainn

ya

- -

- -

- -

- -

- -

- -

- II

Pe

njua

lan

Kot

or

1050

0 21

000

2100

0 21

000

2100

0 21

000

2100

0 21

000

2100

0 21

000

2100

0 21

000

7455

00

III

Laba

Kot

or

-260

7,5

7892

,5

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

4774

.26

1676

09.8

4

Page 107: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 99

Selain itu dalam budidaya jahe terbuka peluang usaha olahan jahe antara lain jahe kering, simplisia, bubuk jahe, sirup jahe, manisan jahe, minyak atsiri dan oleoresin, dan pada budidaya jahe system keranjang terbuka peluang usaha pembuatan keranjang sebagai tempat bertanam jahe, terutama pada lokasi yang banyak terdapat pohon bambu. Cerahnya prospek jahe sebagai bahan baku pada produk pangan fungsional maupun produk biofarmaka juga ditunjang oleh semakin majunya penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif dalam tanam rempah dan obat. Selain itu, kemajuan teknologi pengolahan pangan telah mampu menghasilkan produk-produk makanan dan minuman yang secara organoleptik disukai konsumen serta mengandung komponen-komponen yang berguna bagi kesehatan. Dibandingkan dengan mengkonsumsi suplemen pangan, penggunaan pangan fungsional seperti sari jahe instant atau sirup jahe lebih menguntungkan bagi konsumen karena suplemen hanya mengandung komponen jenis tertentu, bukannya komponen fitokimia yang secara alami terdapat pada produk pangan.

Page 108: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

100 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia Pustaka. 2007. Petunjuk Praktis Bertanam Jahe. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Redaksi AgroMedia. 56 halaman.

Ahmad, F., 1995. Studi interaksi gulma pada tanaman jahe (Zingiber officinalle Rosc.), Tesis S2 Pda Progaram Pasca Sarjana IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.

Anonimous, 2007. Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka). Pusat Studi Biofarmaka, IPB-Bogor. http://. Diakses tanggal 19 Maret 2008.

Asiamaya. 2008. Jahe (Zingiber officinale). http://www.asiamaya.com. Diakses tanggal 19 Maret 2008.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Baker, K. F. and R. J. Cook, 1993. Biological Control of Plant Pathogen. Freeman & Co, San Francisco.

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 1997. Jahe. PT Elknusa Tbk. http://www.jkpelnusa-gdl. Diakses tanggal 19 Maret 2008.

Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG) LIPI, 2001. Alat-alat teknologi pedesaan spesifikasi produk.

Balfas, R., Supriadi, M. Iskandar dan E. Sugandhi. 1997. Oviposisi dan Perkembangan Lalat Rimpang Mimegralla coeruleifrons (Micropezidae; Diptera) pada Tanaman Jahe. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 3(4):140-144.

Balfas, R., Supriadi, N. Karyani dan E. Sugandhi. 2000. Serangan Mimegralla coeruleifrons Macquart dan peranannya dalam membawa patogen layu. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 5(4):123-127.

Balfas,R. 2002. Status lalat rimpang pada tanaman jahe dan strategi penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian 21 (1): 32-37.

Balitbang, 2002. Uji tanah untuk pemupukan berimbang spesifik lokasi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24(2). http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2425.htm. 20 juni 2005.

Bambang G., M., Hasanudin dan Y. Indriani, 2006. peran pupuk N dan P terhadap serapan N, efisiensi N dan hasil tanaman jahe di bawah tegakan tanaman karet. Jurnal Ilmu- Ilmu Pertanian Indonesia Volume 8(1) Program Studi Ilmu Tanah fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Hal. 61-68.

Bermawie, N., B.Martono, N. Ajijah, S.F. Syahid dan Hadad, E.A., 2003. Status Pemuliaan Tanaman Jahe. Perkembangan Teknologi TRO XV (2): 39-56.

Bode, A., 2003. Ginger is an effective inhibitor of HCT116 human colorectal carcinoma in vivo. Paper presented at the Frontiers in Cancer Prevention Research Conference, Phoenix, AZ, October 26–30, 2003.

Page 109: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 101

Borner, H. !960. Liberatin of Organic Substances from Higher Plant and Their Role in the Soil Sickness Problem. Bot. Rev. XXVI.

Buletin APTOI, edisi 17, 2002. Informasi tanaman obat, mahkota dewa-jahe merah. http// mahkotadewa.com/IFO-To/jahe20%merah.html.

Bustamam, H. 2001. Pengaruh pemberian jamur terhadap serapan p dan pengurangan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe. Akta Agrosia 4(2): 69-75.

Bustamam, H. 2003. Perkembangan penelitian penyakit jahe di Bengkulu. Proscesding Lokakarya Grand Desain Pengembangan Jahe Sehat di Provinsi Bengkulu.

Bustamam, H. 2006. Seleksi mikroba rizosfer antagonis terhadap bakteri Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit layu bakteri pada tanaman jahe di lahan tertindas. JIPI 8(1):12- 18.

Bustamam, H. 2007. Pengaruh penyapihan tunas dari rimpang terhadap pertumbuhan jahe gajah dan penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Memposisikan Pembangunan Pertanian Sebagai Strategis Penanggulangan Kemiskinan dan Kebodohan, Fakultas Pertanian Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru. Hal. 193-196.

Chrisnawati, 2001. Uji daya kendali pestisida nabati minyak serai wangi dan fraksinya terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici Penyebab Penyakit Layu Fusarium Tanaman Tomat (Stigma IX (4)) Fakultas Pertanian Universitas Mahaputra Yamin, Solok. Hal. 350-353.

Connell, D., Sutherland, M., 1969. A re-examination of gingerol, shogaol and zingerone, the pungent principles of ginger (Zingiber officinale Roscoe). Australian Journal of Chemistry 22, 1033–1043.

Damanik, J.R. 2003. Efek kapur dan waktu pemberiannya terhadap pertumbuhan dan produksi jahe ((Zingiber officinale Rosc) pada medium gambut. Skripsi S1. Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi) Universitas Riau. Pekanbaru. (tidak dipublikasikan)

Depkes, 1989. Vademekum Bahan Obat Alami: 78-83.

Dewani, M., Syekhfani, Syamsulbahri, M. Dawan dan N. Aini, 2001. Pengaruh persantase naungan dan varietas terhadap hasil dan kualitas bunga krisan (Chrysanthemuon morifolium Ram.). Hayati 13 (1): 76- 80.

Dewi, I., 1993. Pengaruh tingkat pemberian air dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe badak (Zingiber officinale Rosc.). Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, IPB.

Dias, M.C., Spinardi-Barbisan, A.L., Rodrigues, M.A., de Camargo, J.L., Teran, E., Barbisan, L.F., 2006. Lack of chemopreventive effects of ginger on colon carcinogenesis induced by 1,2-dimethylhydrazine in rats. Food and Chemical Toxicology 44, 877–884.

Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006. Prosedur Operasional Standar (POS) Budidaya Tanaman Jahe. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, Jakarta. p.1-44

Elphinstone, JG and P. Aley. 1996. Integreted Control of Bacterial Wilt of Potato in Warm Tropics of Peru. P: 276-283. In: Hartman G. L and AC Hayward (eds). Bacterial Wilt. ACIAR Proc. No. 45, Canberra, Australia.

Page 110: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

102 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Fitrya, D., 2003. Interaksi jenis pupuk kandang dengan dosis urea terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe gajah (Zingiber officinale Rosc.) panen muda. FP UNRI, Pekanbaru.

Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. I. Mitchell, 1991. Physiologi Of Crop Plant. IOWA State University. Diterjemahkan Oleh Herawati Susilo dan Subiyanto, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Ginting, E. S., 2007. Pengaruh media tumbuh dan dosis pupuk kandang terhadap pertumbuhan jahe (Zingiber officinale) di Keranjang. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Goldberg, I. 1994. Functional Foods. Chapman and Hall, New York.

Govindarajan, V., 1982. Ginger-chemistry technology and quality evaluation: Part-I CRC. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 17, 1–96.

Grant, K.L., Lutz, R.B., 2000. Alternative therapies: ginger. American Journal of Health-System Pharmacy 57, 945–947.

Gusmaini dan Sudiarto, 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian 23 (2), Bogor. Hal. 37- 45

Gusmaini, 2007. Pengujian efektifitas pupuk organik granular terhadap pertanaman jahe muda. Abstrak Seminar Nasional dan Pameran perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Hal. 68-69.

Gusniwati, 1996. Ketahanan tanaman padi (Oryza sativa L.) terhadap pemberian ekstrak rimpang jahe (Zingiber officinalle Rosc.). Buletin Agronomi Universitas Jambi, Jambi 1(1): 1-4

Habazar T, Nasrun, Dachryanus, N Suharti, Y. Yanti dan Deswita, 2007. Imunisasi tanaman jahe dengan Rhizobakteria untuk pengendalian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum Ras 4). Semirata BKS PTN Bidang Ilmu Pertanian, Pekanbaru. Hal. 224.

Hairiah K, Widianto, S. R. Otami, D. Suprayogo, Sunaryo, S. M. Sitompul, B. Lusiaman, R. Mulia, M. V. noordnizk dan G. Cadish, 2000. Pengelolan tanah masam secara biologi. Universitas Lampung, Lampung.

Hapsoh, Y. Hasanah, E. Julianti, 2008a. Pengentasan kemiskinan melalui usaha budidaya jahe keranjang, pengelolaan sampah kota menjadi kompos dan pembuatan aneka olahan jahe. Fakultas Pertanian USU Medan.

Hapsoh, L.A.M. Siregar, Y. Hasanah, 2008b. Penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kualitas kompos dari sampah rumah tangga dan limbah pertanian untuk mendukung pertanian organik. Fakultas Pertanian USU Medan.

Hardianto, D. 2005. Jahe tanaman multifungsi. Cakrawala Suplemen Pikiran Rakyat Khusus IPTEK. http://www.pikiranrakyat.com. Diakses tanggal 9 Maret 2008.

Hapsoh dan Y. Hasanah. 2008. Pemanfaatan Pupuk Organik Padat dan Komposisi Media Tanam untuk Menigkatkan Pertumbuhan dan Produksi Jahe Merah (Zingiber officinale Rusc.) dengan Sistem Keranjang. Fakultas Pertanian USU Medan.

Hartati, S. Y. and Supriadi. 1994. Systemic action of bactericide containing oxytetracycline sulphate in treated ginger rhizomes. J. of Spice and Medicine Crop 3: 7-11.

Hasanah, M. Sukarman dan D.Rusmin, 2004. Teknologi produksi benih jahe. Perkembangan Teknologi TRO XVI (1): 9-16.

Page 111: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 103

Hsu, M.H., Kuo, S.C., Chen, C.J., Chung, J.G., Lai, Y.Y., Huang, L.J., 2005. 1-(3,4-Dimethoxyphenyl 3,5-dodecenedione (I6) induces G1 arrest and apoptosis in human promyelocytic leukemia HL-60 cells. Leukemia Research 29, 1399–1406.

Ikha Dewi, 1993. Pengaruh tingkat pemberian air dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe badak (Zingeber officinale Rosc.) (Skripsi) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, IPB.

Januwati, M. 1999. Optimalisasi Usahatani Tanaman Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Julianti, E., Ridwansyah dan M.Nurminah, 2008. Pengeringan kemoreaksi untuk mencegah kehilangan minyak atsiri pada jahe. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008, Fakultas Pertanian USU, Medan.

Jurnawaty, S., 1994. Pemupukan Fosfor dan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe (Zingiber officinale). LP UNRI, Pekanbaru.

Kadin Indonesia, 2007. Pengolahan jahe. www.kadin-indonesia. or.id/id/doc/ UKM_Teknologi_Jahe.pdf. 20 Februari 2007.

Kantor Deputi Menristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001a. Manisan Basah Jahe.

Kantor Deputi Menristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001b. Minyak Atsiri Jahe.

Karama, A. S., A. R. Marzuki, dan I. Marwan, 1990. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal. 395-425.

Karmawati, E. dan N.N Kristina. 1993. Pengaruh tumpangsari terhadap populasi hama rimpang jahe. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11: 102-104.

Katiyar, S.K., Agarwal, R., Mukhtar, H., 1996. Inhibition of tumor promotion in SENCAR mouse skin by ethanol extract of Zingiber officinale rhizome. Cancer Research 56, 1023–1030.

Kikuzaki,H. and K. Nakatani. 1993. Antioxidant effect of some ginger constituents. J.Food Sci. 58: 1407-1410.

Kimura, M., L. Kimura, B. Luo, and S. Kobayashi. 1997. Antiinflammatory effect of Japanese-seno medicine Keishi-kajutsuboto and its component drugs on adjuvant air pouch granuloma of mice. J. Phytoterapy Res. 5(5): 195−200.

Kiuchi, F., Shibuya, M., Sankawa, U., 1982. Inhibitors of prostaglandin biosynthesis from ginger. Chemical and Pharmaceutical Bulletin (Tokyo) 30, 754–757.

Koswara, S. 2006. Awetan Jahe (Preserved Ginger). www. e-book pangan.com. 20 Mei 2007.

Lakitan, B., 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Press, Jakarta.

Langseth, L. 1995. Oxidants, Antioxidants and Disease Prevention. ILSI Europe, Belgium.

Lee, E., Park, K.K., Lee, J.M., Chun, K.S., Kang, J.Y., Lee, S.S., Surh, Y.J., 1998. Suppression of mouse skin tumor promotion and induction of apoptosis in HL-60 cells by Alpinia oxyphylla Miquel (Zingiberaceae). Carcinogenesis 19, 1377–1381.

Lee, E., Surh, Y.J., 1998. Induction of apoptosis in HL-60 cells by pungent vanilloids, [6]-gingerol and [6]-paradol. Cancer Letters 134, 163–168.

Page 112: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

104 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Marmen, 1994. Analisis peran pupuk N dan sekam padi terhadap pertumbuhan jahe badak muda (Zingiber officinale Rosc.). (Skripsi) Fakultas Pertanain Universitas Al Azhar, Medan. 41 hal.

Martanto E A, 2001. Pengaruh abu sekam terhadap pertumbuhan tanaman dan intensitas penyakit layu fusarium pada tomat (Jurnal 8 (2)) Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua. Hal. 37-40.

Mascolo, N., Jain, R., Jain, S.C., Capasso, F., 1989. Ethnopharmacologic investigation of ginger (Zingiber officinale). Journal of Ethnopharmacology 27, 129–140.

Maslahah, N., O. Trisilawati dan Setiawan, 2007. Efisiensi budidaya jahe dengan pupuk organik alternatif dan mikoriza arbuskula. Abstrak Seminar Nasional Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Hal. 76

Moko, H. dan Rosita, S. M. D., 1996. Perkembangan budidaya, masalah dan peluang peningkatan produksi jahe di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 15 (2): 47- 53.

Muhartini, S. dan B. Kurniasih, 2000. Pertumbuhan dan hasil temulawak (Curcuma kanthorria) pada berbagai intensitas cahaya dan dosis pupuk. JIPI 7(1): 17- 21.

Mulya, K. Supriadi, E. M. Adhi, S. Rahayu dan N. Karyani. 2000. Potensi bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. Jurnal LITRI 6(2): 37- 43.

Mushler,R.D. and Bird, J.G., 1969. Modern Pharmacology and Thera-peutics, 4th ed, The MacMillan Co., New York. P.379

Nagasawa, H., Watanabe, K., Inatomi, H., 2002. Effects of bitter melon (Momordica charantia l.) or ginger rhizome (Zingiber offifinale Rosc) on spontaneous mammary tumorigenesis in SHN mice. American Journal of Chinese Medicine 30, 195–205.

Nurmansyah dan H. Syamsul, 2001. Pengaruh minyak atsiri beberapa klon unggul serai wangi terhadap patogen penyebab penyakit layu dan busuk pangkal batang tanaman cabai (Stigma IX (4)) IPPTP Laing, Solok. Hal. 359-361.

Nurrahman, F.R. Zakaria, D. Sajuti, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh konsumsi sari jahe terhadap perlindungan limfosit dari stres oksidatif pada mahasiswa pondok pesantren Ulil Albaab. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 707−716.

Nyakpa, Y., 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung (UNILA), Lampung.

Park, K.K., Chun, K.S., Lee, J.M., Lee, S.S., Surh, Y.J., 1998. Inhibitory effects of [6]-gingerol, a major pungent principle of ginger, on phorbol ester-induced inflammation, epidermal ornithine decarboxylase activity and skin tumor promotion in ICR mice. Cancer Letters 129, 139– 144.

Park, Y. D., 1990. Utilization of Organic Wastes as Fertilizer in Korea. Paper Presented at Seminar on The Use of Organic Fertilizer in Crop Production. Suweon, South Korea, 18- 24 june 1990.

Patmawati, L., 2007. Pengaruh pupuk organik terhadap produksi tanaman jahe gajah (Zingiber officinale Rosc) organik panen muda. Skripsi S1. Fakultas Pertanian, Program S1 Non Reguler Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi) Universitas Riau. Pekanbaru. (tidak dipublikasikan)

Prasetyo, Uliana, H. dan Bambang, G.M. 2006. Pola pertumbuhan tanaman jahe merah dengan intensitas naungan dan dosis pupuk KCl pada sistem wanafarma di perkebunan karet. Jurnal Akta Agrosia Vol. 9 No. 1 Jan-Jun 2006. Hal. 19-24.

Page 113: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 105

Prihatman, K., 2007. Budidaya jahe (Zingiber officinalle). Sistem informasi manajemen pembangunan di pedesaan, BAPPENAS, Jakarta. http://infopekalongan.com-infokalongan.com. Tanggal Akses: 25 februari 2008.

Purnomo, B., 1997. Pengaruh pemberian jamur saproba asal mulsa organik terhadap penyakit tular tanah dan mikoriza vesikular arbuskular pada tanaman jahe. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian. Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Purnomo, B., 2006. Seleksi jamur rizosfir non-patogenik untuk pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman jahe di Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(1): 6-11. Program Studi HPT. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta. hlm. 146.

Pusat Studi Biofarmaka, 2007. Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka). Institut Pertanian Bogor. p.1-14.

Reintjes C., B. Haverckort dan A. water-Bayer. 1999. Pertanian masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Terjemahan dari: An Introduction to Low-External Input and Sustainable Agriculture 1992 Oleh Y.Sukoco, S.S. Kanisius. Yogyakarta. 270 p.

Roehan, S. dan Partohardjono, S., 1994. Status hara N padi sawah di dalam kaitannya dengan efisiensi pupuk. Jurnal Penelitian Pertanian. 14(1): 8- 3.

Rosita, S. M. D dan I. Darwati, 2007. Pengaruh pupuk organik dan stadia pertunasan benih terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda (Zingiber officinale Rosc.). Abstrak Seminar Nasional Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Hal. 80- 81

Rosmimi, 1995. Pengaruh pupuk NPK pada tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc). LP UNRI, Pekanbaru.

Rostiana, O., N.Bermawie dan M.Raharjo, 2005. Budidaya tanaman jahe. Sirkuler No. 11. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Bogor.

Santoso, M., 1981. Pengaruh bobot bibit dan pemupukan N (Urea) terhadap pertumbuhan dan produksi rimpang tanaman jahe sunti (Zingiber officinale Rosc.). Thesis Pasca Sarjana, IPB.

Semangun, H. 2000. Penyakit- Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogya.

Septiana, A.T., D.Muchtadi, F.R,Zakaria, 2002. Aktivitas antioksidan ekstrak diklorometana dan air jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada asam linoleat. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XIII (2): 105-110.

Shukla, Y. and Singh,M. 2007. Cancer preventive properties of ginger: A brief review. Food and Chemical Toxicology 45 (2007): 683-690.

Simbolon, S., 1997. Pengaruh konsentrasi pupuk NHS dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sitompul, S. M. dan Guritno, B, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sitompul, S. M. dan Guritno, B, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 114: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

106 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

SNI 01-3179-1992. Standar Mutu Jahe Segar. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

SNI 01-3393-1994. Standar Mutu Jahe Kering. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta

SNI 01-7084-2005. Standar Mutu Simplisia Jahe.. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

SNI 01-7153-2006. Standar Mutu Benih Jahe. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta

Suardi A, 2002. Uji Ketahanan beberapa klon jahe terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) (Skripsi) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.

Sudiarto, 1987. Budidaya Tanaman Jahe di Indonesia dan Penelitian Beberapa Aspek Budidaya. LPTI bogor. 17 hal.

Suharti N dan T Habazar, 2007. Aplikasi cendawan mikoriza arbuskula indigenus dalam menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum Ras 4. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza, Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, Bogor.

Supari,F. 1996. Radikal bebas dan patofisiologi beberapa penyakit. Prosiding Smeinar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan: Reaksi Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor dan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta.

Suryadi Y, Machmud M dan Rusmadi, 1999. Pengujian umbi kentang infeksi laten dengan ELISA untuk pengendalian penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) (Jurnal 18 (1)) Balitbio, Bogor. Hal. 39-45.

Sutapradja, H. dan Sumarni, N. K., 1996. Pengaruh dosis pengapuran dan kombinasi pupuk n dan p terhadap pertumbuhan dan hasil tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Jwa Barat. Jurnal Hortikultura 6(3): 263-268.

Suwendar, J.I.Sigit dan P.Sopiah, 2004. Efek stimulasi system saraf pusat oleh infusa rimpang jahe (Zingiber officinale Rosc.) pada mencit ddy. Acta Pharmaceutica Indonesia XXIX (2): 34-42.

Takada, Y., Murakami, A., Aggarwal, B.B., 2005. Zerumbone abolishes NF-jB and IjBa kinase activation leading to suppression of antiapoptotic and metastatic gene expression, upregulation of apoptosis, and downregulation of invasion. Oncogene 24, 6957–6969.

Tejasari and F.R.Zakaria,2006. Ginger bioactive compounds increased intracellular antioxidant in vitro. Prosiding Seminar Nasional PATPI 2006, Yogyakarta 2-3 Agustus.

Tjitrosoepomo, G., 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjahmada University Press, Yogyakarta. 447 hal.

Treshow, 1970. Environment and Plant Responses Mc Graw Hill Book Co., New York.

Trisia, H. 2003. Efek pemberian bahan organik pada tanah podzolik merah kuning terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe (Zingiber officinale) di polybag. Skripsi S1. Fakultas Pertanian, Program Ekstensi Jurusan Agronomi Universitas Riau. Pekanbaru. (tidak dipublikasikan)

Trisilawati, O. dan Gusmaini. 1997. Peranan Humus dan Pupuk Hayati. Monograf No. 3. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hlm. 71-75.

Page 115: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 107

Turmudi, E., 1999. Efektivitas pemupuken Nitrogen dan inokulasi Bradyrhizobium japonicora pada sistem pertanaman tumpang sari kedelai dan jagung. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Unnikrishnan, M.C., Kuttan, R., 1988. Cytotoxicity of extracts of spices to cultured cells. Nutrition and Cancer 11, 251–257.

Wahyuti, 2002. Uji Beberapa antibiotik dan cairan perasan bunga cengkeh dalam pengendalian penyakit layu bakteri pada jahe (Skripsi) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.

Walalangi, I. T., 1994. Alelopati pada jahe (Zingiber officinalle Rosc.). Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 80 hal. Tidak dipublikasikan.

Weller, D. M., J. M. Raaijmakers, B. B. M. Gardener, and L. S. Thomashow, 2002. Microbial populations responsible for specific soil suppressivenes to plant pathogens. Annu. Rev. Phytopathol. 40:309- 348.

Wijayakusumah, H. 2001. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia (Rempah, Rimpang dan Umbi). Pt.Dyatama Millenia, Jakarta. P. 161-162.

Wiroatmodjo, J., 1992a. Alelopati pada pertanaman jahe. Buletin Agronomi, 20(2): 1- 6.

Wiroatmodjo, J., I. Anas dan Sugihmoro, 1996. Penggunaan effective microorganisme 4 (EM4) dan bahan organik terhadap pertumbuhan dan produksi jahe (Zingiber officinae Rosc.) jenis badak. Buletin Peragi IV (1-2): 22-31.

Yuliani, S., Hernani dan Anggraeni, 1991. Aspek pasca panen jahe.Edisi Khusus Littro. VII (1): 30 - 37.

Yuliani, S., N.Purwanti dan T.Indrawati, 2002. Formulasi granul ekstrak jahe berkarbonat. Buletin Tanaman Rempah dan Obat XIII (2).

Yusron, M. M. Januwati dan N. Maslahah, 2007. Produksi dan mutu tiga nomor jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum L.) dengan pemupukan organik di Cibinong, Bogor. Abstark Seminar Nasional Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Hal. 74.

Yusron, M., Sudiarto dan M.Rahardjo. 1998. Penelitian efisiensi dan optimasi serapan hara N untuk meningkatkan hasil dan mutu jahe. Laporan Teknis Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Buku III. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hlm. 45-56.

Zakaria, F.R. dan T.M. Rajab. 1999. Pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap produksi radikal bebas makrofag mencit sebagai indikator imunostimulan secara in vitro. Persatuan Ahli Pangan Indonesia (PATPI). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan: 707−716.

Zakaria, F.R., Susanto, H. Dan Hartoyo, A. 2000. Pengaruh konsumsi jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap plasma pada mahasiswa Pesantren Ulil Albaab Kedung Badak Bogor. Bul.Teknol. Industri Pangan XI: 36-40.

Zakaria,F.R., L.Darsana, H.Wijaya. 1996. Immunity enhancement and cell protection activity of ginger bud and fresh ginger on mouse spleen lymphocyte. Symposium Non Nutritive Health Factors for Future Food. Korean Society of Foods Science and technology (KoSFoST), September 28-30, 1996.

Zakaria,F.R., Y.Wiguna dan A.Hartoyo. 1999. Konsumsi sari jahe (Zingiber officinale Roscoe) meningkatkan aktivitas sel natural killer pada mahasiswa pesantren Ulil Albaab di Bogor. Buletin Teknologi Industri Pangan X (2): 40-46.

Page 116: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

108 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

GLOSARIUM

Abiotik : Tak hidup, tidak memiliki ciri hidup seperti iklim dan tanah dalam budidaya jahe

Anti oksidan : Senyawa organik yang lebih cepat mengalami oksidasi dari pada suatu bahan sehingga apabila ditumbuhkan menghambat atau menghentikan peristiwa oksidasi sendiri bahan itu

Anti inflamasi : Sesuatu zat yang dapat menghambat terjadinya pembengkakan

Anti kanker : Zat yang digunakan dalam pengobatan untuk mengalami tumbuhnya kanker

Anti mikroba : Sesuatu yang menghambat atau merusak reproduksi mikroba

Antitusif : Sesuatu zat yang bahan aktifnya dapat menghambat batuk

Bedengan : Pengangkatan tanah pada lahan yang akan ditanami dan dengan tujuan agar tidak tergenang air pada saat hujan turun. Permukaan bedengan dibuat rata baik pinggir dan tengah dan dibatasi parit pada sebelah kiri dan kanan.

Biotik : Berkaitan dengan hidup atau makhluk hidup Bokashi : Salah satu pupuk organik dalam proses pembuatan

menggunakan mikroorganisme untuk memprcepat proses fermentasi.

Budidaya Jahe Sistem Keranjang : Metode atau cara pertanaman jahe dalam wadah bakul besar yang anyamannya kasar-kasar.

Efek farmakologis : Khasiat bahan obat dari segi kandungan senyawa kimia bahan obat

Jahe kering : Irisan rimpang jahe yang telah dikeringkan Jahe merah/jahe sunti : Jahe dengan ukuran kecil berlapis-lapis, daging

rimpang berwarna merah jingga sampai merah, rasa pedas

Jahe putih/jahe gajah/jahe badak : Jahe dengan ukuran rimpang lebih besar dan gemuk dibandingkan dengan jenis jahe lain, warna daging rimpang putih kekuningan, aroma kurang tajam dan rasa kurang pedas.

Jahe putih/jahe emprit/jahe sunti : Jahe dengan struktur rimpang kecil-kecil dan berlapis, warna daging rimpang putih kekuningan, rasa lebih pedas dibandingkan dengan jahe gajah dan serat lebih tinggi

Karminatif : Peluruh kentut Karsinogenesis : Proses yang menghasilkan karsinogen yaitu zat yang

menimbulkan atau yang mendorong pembentukan karsinogen = bahan yang dapat merangsang pembentukan kanker, seperti jenis virus, abses dan bahan-bahan beradioaktif

Minyak atsiri : Minyak menguap (volatile oil) dan merupakan suatu komponen yang memberikan bau yang khas

Page 117: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 109

Monokultur : Pola pertanaman dengan satu jenis tanaman NK cell : Sel natural killer yang dapat mningkatkan respon

sitolitik dalam menghancurkan sel kanker yang terdapat dalam komponen bioaktif jahe

Oleoresin : Kandungan minyak tidak menguap (non volatile oil) yang merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas

Panen jahe muda : Jahe yang dipanen sebelum rimpangnya berserat. Persentase serat antara 30-45% biasanya diinginkan untuk tujuan jahe manisan. Panen dilakukan pada tanaman berumur 4-5 bulan

Panen jahe tua : Jahe yang dipanen pada umur 9-12 bulan Pangan fungsional : Pangan yang secara alamiah maupun telah melalui

proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan.

Polikultur : Pola penanaman dengan lebih dari satu jenis tanaman Proliferasi pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel

yang giat dan bukan karena bertambah besarnya sel Simplisia : Bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum

mengalami perubahan proses apapun dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan

Page 118: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

110 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

INDEKS

1,8-cineole, 12, 19 6-gingerol, 16, 19 A Alami, 19, 101 Alat Pengering, viii, 66, 67, 68 Amfetamin, 18 analgesik, 14 Anggur, v, 89, 90 Anti inflamasi, 108 Anti Kanker, 15 Antikoagulan, 18 antimutagenik, 15 antipiretik, 14 antiproliferatif, 16 apoptosis, 16, 103, 106 Arginine, 19 aroma terapi, 80 arthritis, 17 asam linoleat, 15, 105 asam malat, 12 asam oksalat, 12 Asam sitrat, 84 Aseton, 112 Asinan, 78 Aspartic acid, 19 B

B/C rasio, 93 Bakteri, vi, 37, 38, 39, 40 balsam, 80 bandrek, 11, 14, 91 batch, 83 batuk, 14, 108 Bedengan, 26, 28, 108 Benih, vii, 61, 62, 93, 106 Betha sitoserol, 19 Bibit, vi, viii, 22, 24, 25, 32, 41, 46, 92, 93 Bioaktivator, 97 Biofarmaka, vii, 70, 92, 94, 95, 96, 100, 101, 105 Biotik, iv, 23, 108 Bobot, vi, vii, 8, 9, 10, 28, 29, 35, 36, 45, 50, 51, 54, 56,

82 Bokashi, 28, 45, 108 borneol, 12 b-sesquiphellandrene, 12 Bunga, 3, 95 C CaCl2, 84 CaCO3, 84 Cahaya matahari, 21, 67 Caprylic acid, 19 Capsaicin, 19

Chlorogenic acid, 19 concrete, 83 Curah hujan, 20 D damar, 12, 75 Demand, 94 Derivatif, 16 Deskripsi, iv, 3 Diameter, vii, 5, 8, 52, 54 diklorometan, 15 E Ekstrak, v, 13, 15, 16, 83, 89 Ekstrak jahe, 16 Endodermis, 75 energi surya, 66, 67 Enzim, 17, 69 erlenmeyer, 63, 64 etanol, 8, 15, 76, 83, 89 euphoria, 18 F farmakologi, 11, 15 Farmasi, vii, 94 Farnesol, 19 fellandren, 12 fibrous, 78 flavonoid, 12 Floem, 75 florentine flash, 80 Fosfor, vi, 35, 103 Fungsional, iii, 100 Fusarium, vi, 23, 28, 37, 50, 101 G Gambut, 29 geraniol, 12 Ginger, 78, 100, 102, 103, 106 gingerdiols, 12 gingerin, 12 Gingerol, 12, 16, 18 granul berkarbonasi, 89 H Halia, 2 Hama, iv, 23, 36, 48, 106, 107 harmster, 16 Hayati, 101, 106 heksan, 83 hidrolase, 69 HL-60, 16, 103

Page 119: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe - 111

HPLC, 15 Humus, vi, 28, 44, 55, 106 I Idioblas, 75 Iklim, iv, 20 impotensia, 14 Infeksi, 40 inhalasi, 80 in-vitro, 15, 16 Isolat, vi, 39, 50 isopropanol, 83 J Jahe emprit, 58 Jahe gajah, 4, 6, 96 Jahe instan, 88 Jahe Instant, v, 88 Jahe kering, 65, 108 Jahe kristal, 87 Jahe merah, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 108 Jahe muda, 78 Jahe putih, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 108 Jamu, 95 K Kaca arloji, 62 Kalium, vi, 35, 103 kanker, 14, 15, 16, 108, 109 karbohidrat, 12, 78 KCl, 29, 34, 52, 53, 54, 55, 104 Keranjang, iv, vii, viii, 42, 43, 44, 45, 46, 52, 58, 93, 102,

108 keseleo, 14 Ketel, 80, 81, 82 khamir, 76, 89, 90 Khasiat, 17 kolesterol, 14, 18, 91 Komoditas, 80, 92, 94 Kompos, v, vii, 96, 97 kosmetik, 65, 94 kromatografi, 15 Krus Gooch, 63 kurkumin, 12 L labu didih, 63 Lahan, iv, vi, 21, 22, 26, 27, 39, 41, 58 Lai, 103 Lanset, 8 larutan luff, 64 Latosol, 22, 55 lemak, 12, 16, 63, 91 Leukemia, 103 lilin, 12 Limone, 19 linalool, 12 lipoksigenase, 15, 19 lotion, 80 lulur, 80

M Makroskopis, 75 malonaldehida, 15 Manfaat, iv, 11, 13, 29, 87 Manisan, v, 84, 85, 86, 87, 103 Maserasi, 83 Matahari, 66, 73, 74 Media, iv, vi, vii, 27, 28, 43, 44, 45, 47, 56, 58, 93, 102,

103 mesh, 77, 83 Mikoriza, 106 Mikroba, vi, 39, 40, 76 Minyak Atsiri, v, vii, 57, 62, 63, 71, 73, 74, 79, 82, 103 mitokondrial, 16 Monocotyledoneae, 2 Monokultur, 31, 37, 109 morning sickness, 17 mual/muntah, 14 Mutu, v, vi, vii, 8, 24, 61, 62, 68, 74, 75, 79, 82, 90, 106 N Naungan, viii, 30, 42 neral, 12 neurotransmitter katekolamin, 18 nusea, 17 nutrien, 90 O obat luka, 80 oksidase, 69, 72 Oleoresin, v, 13, 16, 83, 109 oral, 15, 17, 18 Organik, vi, vii, 28, 45, 56, 102, 103 Organoleptik, 68, 75 Oven, 73, 74 P Panen, v, vi, 31, 32, 45, 57, 58, 59, 109 paradols, 12 Pasca panen, 69 Pasir, 6 pasteurisasi, 89, 90 Pati, 62, 63 Patogenitas, vi, 39 pedas, 4, 5, 11, 12, 13, 14, 75, 77, 78, 89, 108 Pembumbunan, iv, 33, 47 Pengairan, iv, 48 Pengapuran, 28 Pengemasan, 75, 85, 86, 87 Pengering, 67 Pengeringan kemoreaksi, 103 Penggulaan, 84, 85, 86, 87 Penyakit, iv, vi, viii, 23, 36, 37, 38, 40, 48, 49, 101, 105,

106, 107 penyaringan, 89, 90 Penyebaran, iv, 1, 38 Penyiangan, 33, 47 Penyiraman, iv, 26, 41, 48 Penyulingan, 63, 81, 82

Page 120: Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

112 – Budidaya dan Teknologi Pascapanen Jahe

Perajangan, 70, 71, 72 Perkolasi, 83 Persemaian, 24, 26, 41 petroleum eter, 63, 83 pigmen, 90 polifenol, 12, 72 Polikultur, 31, 109 polimerase, 69 propagasi, 16 prostaglandin, 15, 19, 103 proteolitik, 12 Pupuk, vi, vii, 28, 29, 34, 35, 36, 45, 51, 52, 54, 55, 56,

92, 102, 103, 106 R racun ular, 14 Radikal bebas, 106 Ralstonia solanacearum, iii, 23, 37, 38, 48, 49, 101, 102,

106 Reactive Oxygen Species, 15 rematik, 14, 17 Rempah-rempah, 14 Rhizobakteria, 102 Rimpang, iii, vi, vii, viii, 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 18, 22,

23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 34, 35, 36, 39, 45, 51, 54, 55, 56, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 78, 79, 80, 84, 85, 94, 100, 107

rotary extractor, 83 Ruas, 3 S sabun mandi, 80 Sekam, vi, 37 sekoteng, 11, 14 Sel, 89 serotonin, 17 sesquiterpen, 12 shagaol, 12 shampo, 80 Shogaol, 12 shrinkage, 78 Simplisia, v, viii, 68, 69, 74, 75, 106, 109 sintesis DNA, 17 Sirup, v, 78, 87

sitokrom-c, 16 SNI, vii, 61, 62, 68, 75, 76, 106 Sodium benzoate, 84 sodium bisulfit, 84 Sortasi, 60 soxhlet, 63 Spermatophyta, 2 stroke, 18 Struktur, iii, 4, 5, 8 Suhu, 21, 60, 67, 90 Supercritical Fluida Extraction, 83 T Tanah, iv, vi, 20, 21, 27, 34, 44, 45, 100, 103, 104 tekanan darah, 18 Tekstur, 22 Temperatur, 21 Tepas, 93 Termometer, 97 terpen, 12 therapeutis, 14 tikus, 15, 16, 58 Timbangan, 97 tipe rak, 66, 67 tipe terowongan, 66, 68 Tradisional, vii, 68, 95 tumor, 16, 103, 104 V vaniloid, 16 Vinegar, 79 vitamin A, 12, 69 vitamin E, 15 X xenobiotik, 17 Z Zingiber, iii, vii, 1, 2, 3, 4, 5, 14, 27, 29, 45, 52, 94, 95,

100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 Zingiberaceae, 1, 2, 3, 103 Zingiberales, 2