budaya jawa di tengah arus global -...

38
53 Bab Tiga Budaya Jawa di Tengah Arus Global Pada Periode Pertengahan, kebudayaan disebut humanitas serta civilitas (Bagus, 2004:424). Kebudayaan, menurut Koen- tjaraningrat (1974), terdiri dari dua komponen pokok, yaitu isi dan wujud. Wujud kebudayaan terdiri dari sistem budaya (gagasan-gagasan), sistem sosial (tingkah laku), dan fisik (dalam artefak dan benda-benda hasil budaya yang bersifat material). Komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Sistem budaya terdiri dari nilai-nilai budaya dan norma- norma etik. Nilai budaya berupa gagasan-gagasan yang dipan- dang sangat berharga bagi proses keberlangsungan kehidupan, dengan ruang lingkup yang sangat luas, walaupun eksistensinya bersifat kabur namun keberadaannya secara emosional disadari utuh (Simuh, 1999:109). Pada intinya unsur-unsur pokok dalam kebudayaan adalah: manusia, akal budi, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial antarmanusia. Kebudayaan dinyatakan bernilai kalau merupa- kan gagasan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan akhir

Upload: phungtruc

Post on 01-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

53

Bab Tiga

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

Pada Periode Pertengahan, kebudayaan disebut humanitas serta civilitas (Bagus, 2004:424). Kebudayaan, menurut Koen-

tjaraningrat (1974), terdiri dari dua komponen pokok, yaitu isi

dan wujud. Wujud kebudayaan terdiri dari sistem budaya

(gagasan-gagasan), sistem sosial (tingkah laku), dan fisik (dalam

artefak dan benda-benda hasil budaya yang bersifat material).

Komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu: bahasa,

sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu

pengetahuan, agama, dan kesenian.

Sistem budaya terdiri dari nilai-nilai budaya dan norma-

norma etik. Nilai budaya berupa gagasan-gagasan yang dipan-

dang sangat berharga bagi proses keberlangsungan kehidupan,

dengan ruang lingkup yang sangat luas, walaupun eksistensinya

bersifat kabur namun keberadaannya secara emosional disadari

utuh (Simuh, 1999:109).

Pada intinya unsur-unsur pokok dalam kebudayaan

adalah: manusia, akal budi, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial

antarmanusia. Kebudayaan dinyatakan bernilai kalau merupa-

kan gagasan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan

kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan akhir

Page 2: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

54

kebudayaan adalah peningkatan kualitas kemanusiaan; mema-

nusiakan manusia.

Kebudayaan dan kemanusiaan ibarat dua sisi dari mata

uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

Pembahasan tentang kebudayaan Jawa, dengan demikian, tidak

pula dapat dilepaskan dari perkembangan kehidupan manusia

Jawa. Kebudayaan Jawa adalah cerminan dari perkembangan

akal budi manusia Jawa yang kemudian tercermin dalam inter-

aksi internal di antara masyarakat Jawa maupun interaksi eks-

ternal dengan masyarakat dari etnik yang lain.

Sub-Daerah Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa tidak merupakan kesatuan yang homo-

gen, paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri.

Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat

regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke-

anekaragaman regional itu sedikit banyak cocok dengan daerah-

daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur

seperti makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian

rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994).

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa dapat di-

gambarkan ke dalam beberapa sub-daerah kebudayaan Jawa,

sebagai berikut:

1. Sub-daerah kebudayaaan Jawa Banyumas:1 Daerah ini

meliputi bagian barat daerah kebudayaan Jawa.

2. Sub-daerah Bagelen: meliputi wilayah Kabupaten

Purworejo dan sekitarnya.

1 Sering pula disebut sebagai Jawa Panginyongan. Istilah panginyongan

berasal dari kata inyong, yang berarti penulis atau aku. Istilah ini menunjukkan bahwa orang yang di wilayah sub-daerah kebudayaan Jawa Banyumasan menggunakan kata inyong dalam pergaulan sehari-hari.

Page 3: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

55

3. Sub-daerah kebudayaan Jawa yang hidup di kota

Yogyakarta dan Surakarta: memiliki sejarah kesu-

sastraan yang telah ada sejak lima abad yang lalu. Sub-

daerah kebudayaan ini memiliki kesenian yang maju

berupa tari-tarian dan seni suara keraton, serta di-

tandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat

sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu,

Buddha, dan Islam. Wilayah ini sering disebut negari-gung.

4. Sub-daerah kebudayaan Jawa pesisir: meliputi daerah

dari Indramayu-Cirebon di sebelah barat, sampai ke

kota Gresik di sebelah timur. Penduduk di wilayah ini

pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang

juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka.2

Kebudayaan yang hidup di Surabaya yang khas, oleh

orang Jawa sendiri biasanya dianggap sebagai suatu

sub-daerah kebudayaan yang khusus.

Koentjaraningrat menjelaskan, kebudayaan Jawa yang ada

di daerah Madiun, Kediri, dan delta Sungai Brantas (daerah

“Mojokuto” yang pernah diteliti Clifford Geertz) sebenarnya

sama dengan kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta. Di

daerah itu juga banyak berkembang gerakan-gerakan kebatinan,

seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Orang Jawa menyebut

daerah itu sebagai mancanegari atau “daerah luar,” merupakan

daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di Kera-

jaan Jawa Mataram pada abad ke-17 hingga abad ke-19.

2 Pigeud (seperti dikutip Koentjaraningrat) menyarankan untuk memecah

kebudayaan pesisir ke dalam sub-bagian barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal, dan Pekalongan, sub-bagian tengah meliputi Kudus, Demak, dan sekitarnya, dan sub-bagian timur yang berpusat di Gresik.

Page 4: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

56

Daerah perbatasan mancanegari disebut pinggir reksa.

Ada pula sub-daerah kebudayaan Jawa di wilayah sebelah

selatan Surabaya, meliputi kota Malang dan sekitarnya. Daerah-

daerah di Malang dan daerah lebih ke timur lagi, sering disebut

sebagai tanah sabrang wétan.

Orang Jawa Timur menyebut penduduk daerah pantai

selatan Jawa Timur dengan istilah khusus, yaitu tiyang kilènan

(‘’orang barat”). Hal ini disebabkan daerah yang sangat miskin

dan gersang di pantai selatan itu, pada abad-abad yang lalu

menjadi tempat tinggal para pendatang dari mancanegari, negarigung, dan daerah-daerah lain di sebelah barat Jawa

Timur. Ada tiga daerah yang penduduknya berbeda, dengan

bahasa dan adat yang berbeda pula, yaitu orang-orang Tengger

yang tinggal di kaldera Gunung Tengger, penduduk di sekitar

kota Banyuwangi yang menamakan diri mereka tiyang osing,

dan penduduk ujung timur Pulau Jawa, yaitu orang Blam-bangan.

Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa yang tinggal di

luar Pulau Jawa dapat pula dianggap sebagai sub-variasi dari

kebudayaan Jawa yang berbeda. Orang Jawa yang dipindahkan

ke Sumatera Selatan atau yang bermigrasi ke perkebunan-

perkebunan tembakau di Sumatera Utara misalnya, tetap

mempertahankan kebudayaan asli mereka, tetap memper-

lihatkan sifat-sifat dari logat dan adat-istiadat daerah asal.

Orang Jawa yang merantau ke Semenanjung Malaya atau yang

dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan di Afrika Selatan,

Srilanka, Suriname, Curacao (pulau di laut Karibia sebelah

selatan, dekat pesisir Venezuela, salah satu negara konstituen

Kerajaan Belanda), dan Kaledonia Barat, juga mengembangkan

variasi-variasi kebudayaan Jawa.

Page 5: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

57

Kebudayaan Jawa sangat bervariasi. Dapat dipahami, ka-

lau dihadapkan pada pertanyaan “Jawa yang mana?” maka orang

Jawa sendiri tidak dapat menjelaskan dengan tegas dan pasti.

Terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang

bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan Jawa, misalnya

mengenai berbagai istilah teknis dan dialek bahasa. Variasi dan

perbedaan itu tidak besar karena kalau diteliti lebih mendalam,

hal-hal itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem

kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1999:329).

Tidak dapat dimungkiri, selama ini muncul pandangan

yang kuat bahwa kebudayaan Jawa terpusat di dalam lingkung-

an keraton. Hal itu disebabkan jarangnya (atau bahkan tidak

adanya) literatur-literatur tentang kebudayaan Jawa di luar

lingkup keraton. Buku berjudul Kebudayaan Jawa, Ragam Kehi-dupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998 (Ageng

Pangestu Rama, 2007) menggambarkan betapa kuatnya budaya

keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Buku tersebut

mengungkapkan sejarah kebudayaan Mataram Kuna, Keraton

Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak,

Pajang, Mataram, Keraton Surakarta, dan Keraton Yogyakarta.

Dua wilayah bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah

pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, dikenal

sebagai pusat Kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, uraian yang

berkaitan dengan kebudayaan Jawa dalam buku ini pun lebih

berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma etik yang

berkembang di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Terlebih lagi, aktor sentral objek penelitian ini adalah seorang

keturunan raja di Keraton Yogyakarta dan raja Keraton Sura-

karta (diuraikan di Bab Lima).

Dalam perspektif Clifford Geertz (1976), masyarakat di

lingkungan keraton tersebut dikategorikan sebagai golongan

Page 6: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

58

priyayi. Dua golongan lain adalah abangan dan santri. Kaum

abangan, menurut Geertz setelah melakukan penelitian di Pare

tahun 1952-1954, merupakan gambaran kelompok masyarakat

yang bebas, tidak merasa terikat aturan-aturan/ritual keagama-

an, dan sering diasosiasikan sebagai kelompok nasionalis,

bahkan masyarakat desa yang awam dan masih berpikiran

animisme. Santri merupakan identitas Muslim yang sedang

belajar ilmu agama, berasal dari kalangan Muslim ortodoks.

Kaum priyayi merupakan gambaran kalangan elite Jawa, kaum

bangsawan yang pemikirannya dipengaruhi oleh tradisi-tradisi

Hindu-Jawa.

Pendapat Geertz itu menggambarkan, seolah-olah ma-

syarakat Jawa terbagi dalam kotak-kotak yang kaku. Seseorang

kalau bukan abangan pasti santri atau priyayi; kalau bukan

santri pasti abangan atau priyayi; kalau bukan priyayi pasti

abangan atau santri.

Budayawan Emha Ainun Nadjib menolak pandangan

Geertz tersebut. Pengklasifikasian masyarakat Jawa ke dalam

tiga golongan santri, abangan, priyayi seperti memisahkan

antara padi, beras, dan nasi. Menurut Emha, seolah-olah Geertz

membedakan antara kapas, kain, dan baju. Bukankah itu semua

adalah satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisah-

pisahkan? Perbedaan yang ada hanya menunjukkan proses yang

masih berlangsung secara bertahap, sebagaimana dari padi

menuju ke beras dan akhirnya menjadi nasi. Demikian halnya

dengan kaum santri, priyayi, dan abangan; sesungguhnya

predikat itu bisa terwakili pada diri salah seorang manusia Jawa!

(Susetya, 2007:8).

Abdurrahman Mas’ud (dalam Anasom, 2004) juga meng-

kritik karya-karya Geertz dan pengikutnya yang lebih banyak

menggunakan pendekatan dikotomis yang mempertentangkan

Page 7: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

59

Islam modern dan Islam tradisional. Pendekatan itu hanya

menghasilkan gambaran permukaan dan sangat tidak adil

terhadap substansi aktual Islam Jawa itu sendiri.

Sinkretisme Jawa

Salah satu sifat budaya Jawa adalah sinkretisme. Istilah ini

lebih banyak dikaitkan dengan masalah agama, meskipun sebe-

narnya erat dengan masalah budaya. Sinkretisme, menurut

penulis, menjadi salah satu penyebab kebudayaan Jawa disebut

luwes, fleksibel, mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan

lain yang memengaruhinya.

Sifat-sifat tersebut merupakan kekuatan sekaligus kele-

mahan. Menjadi kekuatan, kalau sifat itu didukung oleh

ketahanan budaya yang kuat, sehingga tidak luntur oleh kebu-

dayaan yang memengaruhinya. Sebaliknya, menjadi kelemahan,

kalau sifat itu tidak didukung ketahanan budaya yang kuat,

sehingga justru mudah larut oleh kebudayaan yang meme-

ngaruhinya.

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin

dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan

elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertian-

nya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk

menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda

dan bertentangan (Darori Amin, 2000:87).

Sebenarnya sinkretisme merupakan istilah nonteologis,

bahkan cenderung praktis. Dalam perkembangannya, sin-

kretisme dipakai dalam bidang agama dan teologi untuk

menunjukkan paling sedikit empat arti (Singgih, 2007:83-84),

yaitu:

Page 8: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

60

1. Sebagai usaha mendamaikan pendapat-pendapat atau

keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan;

2. Sebagai usaha mengompromikan yang ceroboh; suatu

eklektisme, yaitu sikap memilih-milih beberapa po-

kok dari sini dan menolak beberapa pokok dari sana;

menolak beberapa dari sini dan sebaliknya menerima

beberapa pokok dari sana. Proses memilih secara

eklektis ini sering menghasilkan sesuatu yang tidak

logis dan tidak konsisten;

3. Proses perkembangan suatu pertumbuhan yang terjadi

di dalam sejarah, yang bersangkut-paut dengan keya-

kinan dan praktik melalui pergaulan dengan yang

lain;

4. Persatuan ataupun pencampuran dari bentuk-bentuk

yang semula berbeda.

Menurut Sumartana, setiap agama berada dalam kete-

gangan tarik-menarik antara dua kutub yang berbeda. Kutub

pertama adalah sikap beragama yang ingin mengambil jarak

terhadap perkembangan masyarakat (distansi) dan kutub kedua

cenderung menyesuaikan diri dengan proses pertumbuhan

masyarakat (akomodasi). Sebagai gejala, sinkretisme sering

dihubungkan dengan sikap yang kedua, yaitu kepada pilihan

sikap yang lebih akomodatif serta mencari bentuk-bentuk yang

lebih cocok dengan jalan mengikuti perkembangan zaman serta

kebutuhan setempat. Sebaliknya, sikap anti-sinkretisme biasa-

nya sejajar dengan sikap untuk membela kemurnian ajaran

agama tertentu. Seolah-olah yang murni itu selalu bisa dilacak

akar-akarnya secara tuntas atau kemurnian dianggap identik

dengan yang benar. Padahal klaim-klaim tentang kemurnian

dan kebenaran menunjukkan gejala dan gerak yang makin

plural (Ekopriyono, 2005).

Page 9: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

61

Pada awal abad kedua, untuk kali pertama, seorang

penulis Yunani, Plutarch, menulis tentang sinkretismos (atau

sugkretismos) yang mengacu pada kebiasaan orang Kreta

menggalang persatuan guna menghadapi musuh bersama yang

datang dari luar sebagai ancaman bagi suku tersebut.

Dapat dikatakan, makna asli sinkretisme menyangkut adat

orang Kreta, yang walaupun sering konflik di antara mereka

sendiri, mereka akan bersatu apabila ada bahaya yang mengan-

cam kehidupan bersama. Ungkapan itu menunjuk kepada kerja

sama warga masyarakat menghadapi musuh bersama dari luar.

Pada awalnya tidak ada konotasi agama.

Pergeseran makna terjadi pada abad-abad berikut, yaitu

ketika kata sinkretisme diambil alih oleh gereja menjadi ung-

kapan teologis yang baku, khususnya dalam kesibukan mereka

mengejar para penyebar ajaran sesat. Dalam semangat untuk

membakukan dan menyatukan ajaran, maka upaya pemurnian

menjadi obsesi utama. Upaya pemurnian tersebut dilakukan

dengan mengidentifikasi segala unsur ajaran filsafat atau agama

lain yang dianggap menyesatkan ajaran.

Pergeseran makna terjadi secara sekaligus, yaitu mengga-

bungkan ajaran sesat dengan tuduhan mencampurkan agama.

Alhasil, pada akhirnya, bersamaan dengan kecenderungan

untuk menghukum segala ajaran yang dianggap sesat, muncul-

lah suatu muatan makna baru dari kata sinkretisme, yaitu upaya

mencampuradukkan bermacam-macam unsur agama menjadi

satu agama baru. Rumusan dan pemahaman semacam itu

menciptakan pijakan keabsahan untuk menghukum semua

orang yang dianggap telah menyelewengkan ajaran agama.

Mereka patut dihukum karena mengontaminasikan ajaran

gereja yang baku dan resmi.

Page 10: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

62

Definisi tersebut lama kelamaan menjadi baku dan di-

turunkan dari generasi ke generasi, bukan hanya dalam

semangat keagamaan, melainkan juga dalam kategori ilmu. Ilmu

agama atau teologi, sudah sejak lama menerima definisi tentang

sinkretisme dan belum pernah berubah sampai sekarang; yaitu

upaya mengambil secara eklektik komponen dari banyak agama

lalu digabungkan untuk menciptakan agama baru. Orang tidak

sadar bahwa di dunia ini, di sepanjang sejarah, tidak ada (dan

tidak akan ada) orang yang memiliki kemampuan semacam itu.

Siapa di dunia ini mampu menggabungkan agama-agama menja-

di satu agama baru?

Sinkretisme telah dirumuskan sebagai definisi yang tidak

realistik dan tidak mungkin terjadi di muka bumi. Anehnya,

justru definisi itulah yang telah menjadi rumusan yang diterima

secara a priori dalam ilmu agama. Aneh pula, banyak orang

menerima pengertian itu tanpa mempertanyakan secara kritis.

Redefinisi menyangkut sinkretisme, berarti mengembali-

kan kepada arti kata yang asli. Kita perlu kembali kepada makna

yang semula, yaitu menggalang kekuatan sosial-politik untuk

menghadapi musuh bersama. Sinkretisme sama sekali tidak ada

hubungan dengan upaya mencampuradukkan unsur dari ba-

nyak agama untuk membuat agama baru.

Sinkretisme perlu dikembalikan pada pengertian semula,

yaitu menggalang kekuatan untuk menghadapi musuh bersama.

Dengan demikian, tidak perlu ada lagi kekhawatiran, bahwa

sinkretisme akan mencampuradukkan ajaran-ajaran agama yang

ada. Sinkretisme justru penting diterapkan di tengah-tengah

kehidupan masyarakat, yang sampai sekarang pun belum ter-

bebas dari konflik-konflik bernuansakan agama. Sinkretisme

justru akan mendorong terjadinya kerja sama sosial di antara

Page 11: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

63

penganut agama untuk menghadapi masalah bangsa, seperti

kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.

Sinkretisme dalam makna kerja sama sosial itulah yang

perlu dikembangkan dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa

yang sinkretis harus dimaknai sebagai kebudayaan Jawa yang

mampu menggalang kerja sama sosial menghadapi musuh

bersama.

Sinkretisme merupakan sifat kebudayaan Jawa, sehingga

kebudayaan Jawa sangat relevan dengan usaha-usaha menyatu-

kan bangsa dan membebaskan dari pertentangan-pertentangan.

Kerja sama sosial dalam konteks sinkretisme tersebut juga dapat

diharapkan mendorong terjalinnya dialog antarpemeluk agama,

karena dialog yang bersifat teologis hampir tidak mungkin

dilakukan.

Dalam ranah kebudayaan, sebaiknya sinkretisme dipan-

dang sebagai penggalangan kekuatan budaya menghadapi

musuh bersama. Sinkretisme Jawa dapat digunakan untuk

menggalang kekuatan ketahanan budaya Jawa menghadapi

pengaruh-pengaruh budaya dari luar yang masuk melalui gerak-

an globalisasi, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah.

Menurut Clifford Geertz, terdapat dua kaidah yang paling

menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua

kaidah itu, seperti dikutip Franz Magnis Suseno (1988) disebut

sebagai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Orang Jawa,

menurut dua kaidah itu, selalu berusaha mencegah timbulnya

konflik dan menghormati orang lain. Kata kunci dari keduanya

adalah harmoni, yang sangat berkaitan dengan sinkretisme.

Sinkretisme mencari keserasian dan keseimbangan.

Nenek moyang orang Jawa mengajarkan, bahwa agama

adalah sandhangané wong urip, sanguné wong mati. Makna

ungkapan itu adalah, bahwa ketika hidup orang harus punya

Page 12: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

64

pegangan hidup (agama) karena tanpa agama hidup seseorang

ibarat kapal tanpa nakhoda; ketika mati maka orang pun harus

membawa (hasil pelaksanaan ajaran-ajaran) agama untuk meng-

hadap Sang Khalik.

Menurut pandangan orang Jawa, agama adalah ageman (sandhangan, busana, atau pakaian). St. S. Tartono (2009:39)

berpendapat, pakaian tersebut bukan sembarang pakaian, me-

lainkan pakaian yang aji, yang bernilai tinggi atau yang mulia,

oleh karena itu orang memakainya dengan penuh rasa hormat.

Rasa hormat itu ditunjukkan dengan tunduk dan patuh

menjalankan segala perintah, peraturan, dan nilai-nilai luhur

yang diajarkan.

Dalam konsep pemikiran orang Jawa, seorang pemimpin

atau pemuka masyarakat, raja misalnya, harus menjunjung

tinggi nilai-nilai luhur agama. Mereka harus memeluk agama

dengan seksama, penuh rasa hormat, sebagaimana layaknya

orang mengenakan busana aji, pakaian yang mulia. Kalau hidup

keagamaannya bagus, di samping diakui sebagai pemimpin rak-

yat, mereka akan dianggap sebagai pemuka agama. Itulah

sebabnya, raja-raja Jawa pada umumnya bergelar sayidin panatagama kalifatullah tanah Jawi, yang berarti pemimpin

penata agama khalifah Allah di Tanah Jawa.

Agama sandhangané wong urip, sanguné wong mati pun

bermakna, bahwa dalam menjalankan kehidupan beragama

orang tetap harus menjaga keserasian dan keselarasan; harus

menjaga harmoni. Termasuk di dalamnya, menghormati orang

lain yang memeluk agama berbeda. Orang Jawa sangat dekat

dengan hal-hal yang bersifat batin (olah rasa), maka pendekatan

keberagamaannya pun lebih bersifat batiniah; suatu usaha

menuju kebenaran hakiki, “yang inti,” bukan “yang luar,” bukan

yang bersifat kemasan.

Page 13: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

65

KGPAA Mangkunagoro IV (1994:14) menyatakan dalam

Serat Wedhatama:

Mingkar-mingkuring angkara akarana karenan mardi siwi sinawung resmining kidung sinuba sinukarta mrih kretarta pakartining ngélmu luhung kang tumrap nèng tanah Jawa agama ageming aji. Artinya: Menghindarkan diri dari angkara, sebab ingin mendidik putra, dalam bentuk keindahan syair, dihias agar tampak indah, agar menumbuhkan jiwa dan ilmu luhur, yang berlaku di tanah Jawa, agama sebagai pegangan yang bermanfaat.

Inti ajaran itu adalah, bahwa agama sesungguhnya meru-

pakan pegangan seseorang agar hidup lebih bermakna. Makna

tersebut ada kalau seseorang berjiwa luhur dan memiliki ilmu

yang bermanfaat bagi sesama. Esensinya adalah, semua agama

harus diamalkan bagi kepentingan umat manusia.

Perkembangan Kebudayaan Jawa

Sulit ditemui referensi yang mengungkapkan secara jelas

tentang kebudayaan asli Jawa sebelum pengaruh budaya India

yang dibawa agama Hindu dan Buddha. Beberapa referensi

hanya menyebutkan, bahwa kebudayaan asli Jawa lebih cende-

rung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar

pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-

Buddha.

Menurut Poerbatjaraka, bangsa India (Hindu maupun

Buddha) menyebarkan agama, ilmu pengetahuan, sastra, dan

bahasa kepada penduduk pribumi Jawa, di samping melakukan

aktivitas perdagangan. Pengaruh bahasa Sansekerta yang ber-

Page 14: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

66

corak Hinduisme tampak sekali dalam sastra pewayangan,

misalnya pada Kakawin Ramayana dan Mahabharata.

Selama berabad-abad kebudayaan India memengaruhi

tanah Jawa. Berangsur-angsur, kejayaan Hindu-Buddha tersebut

menyusut setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir.

Pengaruh Hindu-Buddha bergeser ke Bali, sehingga sampai

sekarang pun, agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh

mayoritas penduduk Bali.

Selain Hindu dan Buddha, seperti dikutip Purwadi dari

berbagai sumber (2009:21), kebudayaan Jawa juga dipengaruhi

oleh agama Islam yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan

datangnya para saudagar ke pelabuhan-pelabuhan penting di

Sumatera, misalnya di Lamuni, Aceh, Barus, dan Palembang, di

pelabuhan Sunda Kelapa dan Gresik.

Selain pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, budaya Jawa

juga dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen bersamaan

dengan penjajahan Belanda. Pengaruh tersebut, meskipun lebih

kecil dari pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya terli-

hat dalam ajaran-ajaran kebatinan, antara lain dalam pemaham-

an tentang konsep hubungan manusia, Tuhan, dan roh kudus.

Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Buddha

Sangat sedikit kebudayaan masyarakat Indonesia, teruta-

ma Jawa, sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha yang dapat

dikenal secara pasti. Dari warisan hukum adat dan tradisi yang

masih menonjol dan berpengaruh kuat sampai sekarang, dapat

diperkirakan bahwa susunan masyarakat Indonesia sudah ter-

atur sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha. Sebagai masya-

rakat yang masih sederhana, wajar kalau sistem religi animisme-

dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh

aktivitas kehidupan masyarakatnya.

Page 15: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

67

Sutan Takdir Alisyahbana, seperti dikutip Simuh (1999:

110-111) mengatakan:

Seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, bangsa Indonesia sebelum datang kebudayaan India dapat dikatakan memiliki cara berpikir yang sangat kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosi-onal, sangat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan ke-pada roh-roh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh kehidupannya. Pikiran dan perbuatannya ter-tuju bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dan bagaimana menjauhkan pengaruh roh-roh yang bersifat mengganggu (jahat).

Di Jawa, menurut Simuh, pendewaan dan pemitosan

terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan pada

roh nenek moyang, yang mendorong timbulnya hukum adat,

kebudayaan, dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-

upacara selamatan, roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa

pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Seni pewayangan

dan gamelan, semula sebagai sarana upacara keagamaan untuk

mendatangkan roh nenek moyang. Fungsi roh nenek moyang

merupakan pengemong dan pelindung keluarga yang masih

hidup. Dalam wayang, roh nenek moyang dipersonifikasikan

dalam bentuk punakawan.

Agama asli yang oleh para pemikir Barat disebut religion-magis itu merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam

masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kepercayaan animisme-

dinamisme sangat memercayai roh-roh halus dan daya-daya

magis terdapat di alam semesta atau alam rohani, yang eksis-

tensinya langsung dapat memengaruhi dan menguasai hidup

manusia.

Roh dan tenaga-tenaga gaib dipandang sebagai tuhan-

tuhan yang langsung dapat mencelakakan, serta sebaliknya,

Page 16: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

68

menolong kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut

Alisyahbana, bahwa “pikiran dan perbuatan manusia tertuju

bagaimana menjauhkan pengaruh roh yang jahat.” Kalau tenaga

gaib tersebut dianggap tidak berkepribadian, masalahnya adalah

bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib

itu, juga bagaimana menguasai untuk dapat memakainya bagi

kepentingan, baik secara personal maupun kolektif (masyara-

kat). Solidaritas sosial berkembang menjadi konsep gotong-

royong yang memang cukup menonjol, karena ikatan-ikatan

masyarakat masa itu berbentuk republik-republik desa yang

kecil-kecil.

Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Buddha

Menurut Muljana (2007), pengaruh Hinduisme paling

kuat di Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah, pengaruh agama dan

peradaban Hindu-Buddha telah melahirkan kebudayaan Ma-

taram Kuna di daerah pedalaman yang bersendikan pertanian.

Sanjaya, raja yang hampir menguasai seluruh Jawa Tengah pada

permulaan abad ke-8, beragama Syiwa, mendirikan kompleks

Candi Syiwa di dataran tinggi Dieng. Raja Sanjaya surut,

muncullah Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha

Mahayana dan mengadakan perserikatan dengan Kerajaan

Sriwijaya. Kebesaran Dinasti Syailendra ini tampak dari Candi

Borobudur, yang juga menunjukkan ketinggian peradaban masa

itu. Pada akhir abad ke-8 diperkirakan Dinasti Syailendra

kembali memeluk Agama Syiwa dan kemudian mendirikan

kompleks Candi Prambanan yang sangat megah.

Bangunan candi-candi serta warisan tradisi upacara ke-

agamaan yang berlangsung terus sampai saat ini, menunjukkan

pengaruh Hindu-Buddha. Raja-raja Jawa dikeramatkan sebagai

pusat penjelmaan dewa di dunia (raja titisan déwa, raja

pembawa esensi kedewataan di dunia). Raja juga dibebani tugas

Page 17: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

69

sangat berat untuk menjadi teladan dalam mengagungkan dan

melakukan upacara-upacara keagamaan. Di kerajaan yang ber-

sendikan Hinduisme-Buddhisme tersebut, agama menjadi dasar

untuk mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Agama

merupakan nilai yang sangat penting bagi tegaknya kerajaan

Jawa.

Pada abad ke-11, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah

Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa dan Buddha; yaitu

sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana.

Muncul gubahan sastra keagamaan Ramayana dan Mahabarata

dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Mulai muncul

kesusastraan Jawa Kuna yang kemudian menjadi sumber untuk

memasyarakatkan seni pewayangan di Jawa.

Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa dan Buddha

hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak ke-

jayaan terjadi pada masa Patih Gadjah Mada, dengan Sumpah

Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar ber-

kembang pesat berkat jasa para perantara orang-orang asing

beragama Islam, yaitu orang-orang dari Gujarat, Persia, Cina,

dan mungkin juga Arab.

Candi-candi dari zaman Singasari-Majapahit dimaksudkan

sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, yakni arwah keluarga

raja yang telah mangkat; digunakan untuk menyimpan abu

jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja.

Meskipun wujudnya candi Syiwa atau Buddha, candi-candi itu

pada hakikatnya adalah candi makam, bukan semata-mata

tempat pemujaan Syiwa atau Buddha seperti Candi Borobudur

atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Pada zaman itu telah

terjadi percampuran antara kepercayaan asli yang berupa

pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan asing berupa agama

Syiwa dan Buddha (Muljana, 2007:259).

Page 18: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

70

Patih Gajah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit

di bidang politik dengan jalan memperluas wilayah. Keagungan

Majapahit terletak dalam menghimpun daerah-daerah Nusan-

tara di bawah lindungan kerajaan tersebut. Gajah Mada meng-

utamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan

keagamaan. Inilah salah satu faktor yang menunjukkan per-

bedaan pokok antara keagungan Mataram dan keagungan

Majapahit.

Pada zaman Kerajaan Mataram Kuna, candi-candi (Bo-

robudur, Prambanan, Pawon, dan Mendut) dibangun demi

pengagungan agama. Itulah pembangunan monumen keagama-

an yang hanya mungkin dilakukan berkat dorongan semangat

keagamaan yang menyala-nyala di lingkungan keraton dan

kalangan rakyat.

Kebudayaan India (Hindu-Buddha) bersifat ekspansif,

adapun kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur

Hinduisme-Buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi,

melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaat-

kan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Di sini para

budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsur-

unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan

mengembangkan kebudayaan Jawa.

Menurut Bambang Noorseno (2003:26), cerita Ajisaka

datang ke Pulau Jawa menggambarkan keberhasilan para

cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu ke huruf

Jawa, serta proses pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat

peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Secara lengkap, huruf Jawa itu

adalah: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, maga-bathanga. Rangkaian huruf itu menggambarkan cerita: dua utusan (abdi) yang setia, selalu berselisih sehingga mereka saling bentrok

Page 19: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

71

secara fisik, keduanya sama-sama kuat, sehingga akhirnya

keduanya meninggal dunia.

Menurut legenda, 20 huruf tersebut diciptakan oleh

Ajisaka, seorang tokoh Jawa, untuk mengabadikan lakon tragis

dua abdi yang setia. Keduanya bersitegang dengan penafsiran

yang berbeda terhadap makna perutusannya. Sampai kedua

utusan itu meninggal, mereka tidak saling mengerti tentang

misi perutusannya, yang sebenarnya sama. Ketidakmengertian

itu justru disebabkan masing-masing memegang teguh perintah.

Kedua utusan itu bernama Setia dan Setuhu, yang dalam Bahasa

Jawa berarti setia dan taat. Tidak ada yang benar, tidak ada yang

salah di antara mereka, karena keduanya hanya taat pada

perintah, tapi keduanya tidak saling membuka diri. Cerita itu

mengandung pesan, bahwa karakter Jawa cenderung mencari

kompromi dari kutub-kutub yang secara apriori diperten-

tangkan. Cerita hanacaraka menyingkap suatu sikap nervous dan rasa khawatir terhadap segala bentuk intoleransi dan

fanatisme (Soeprapto Nitihardjo, 2001).

Nitihardjo menjelaskan, bacaan serangkaian kalimat

bunyi aksara suku kata urutan lima huruf permulaan dari 20

aksara pada baris pertama berbunyi ha na ca ra ka yang berarti

ada duta atau utusan. Oleh karena itu, dulu kata alfabet

aksaranya disebut carakan terletak di bumi yang Jawa (panjang),

menjadi Carakan Jawa. Aksara tersebut memberi pengertian

tentang tujuan hidup, yaitu: mengerti akan tujuan dari sangkan

(asal-usul hidup manusia); tujuan perilaku hidup dalam

kehidupan di dunia; dan tujuan di kelak kemudian hari setelah

meninggalkan hayat di dunia. Tiga unsur itu kemudian dikenal

sebagai unsur-unsur dalam ilmu sangkan paraning dumadi.

Proses penyebaran unsur-unsur Hinduisme di Jawa tidak

dilakukan oleh para pendeta yang sakti, melainkan oleh

golongan cendekiawan Jawa sendiri yang menjelma menjadi

Page 20: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

72

kaum bangsawan atau para priayi Jawa, maka di tangan mereka

unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme mengalami jawaisasi, bu-

kan sebaliknya. Wajar kalau agama dan kebudayaan Hin-

duisme-Buddhisme tidak diterima secara lengkap dan utuh.

JWM Bakker dalam Agama Asli Indonesia (seperti dikutip

Simuh, 1999:116) mengatakan: “Agama Hindu murni tidak

pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Hanya unsur-unsur,

bukan asasi sebagai Mahabarata dan Ramayana menjadi populer

dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme teng-

gelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk

lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia yang waktu itu

masih samar-samar.”

Kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-

Buddha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun,

dengan pemahaman bahwa semua agama baik dan benar, yang

penting pengamalan setiap agama harus ditujukan bagi ke-

pentingan dan kebesaran masyarakat.

Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sudah mengem-

bangkan pemahaman inklusivisme, atau bahkan pluralisme

dalam keberagamaan. Pemahaman tersebut hampir tidak dapat

ditemui di dalam kalangan umat beragama saat ini. Salah satu

penyebabnya adalah kita tidak lagi memiliki ketahanan budaya

lokal yang kuat, serta kuatnya klaim-klaim kebenaran dan

keselamatan di kalangan penganut tiap-tiap agama.

Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sangat bersifat

sinkretis (bersifat momot atau memuat), ketika setiap agama

diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar

salah agama tersebut. Agama Hindu dan Buddha di negeri asal-

nya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan

menjadi konsep agama Syiwa-Buddha.

Page 21: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

73

Ciri lain yang nampak menonjol dalam kebudayaan Jawa

adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai

pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti

sifat teokratis. Sejarawan Onghokham (dalam Simuh, 1999:117)

mengatakan:

“... dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Dalam zaman Hindu-Jawa diper-kenalkan konsep dewa-raja atau raja titising déwa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan di akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja dan kebijaksanaan serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban kerajaan masa ini.”

Cerita legenda yang termuat dalam Ramayana dan

Mahabarata memang dimanfaatkan oleh para sastrawan Jawa

untuk menanamkan konsep raja binathara (raja titising déwa, raja yang bersifat dewa). Konsep tersebut menuntut ketaatan

rakyat kepada raja, baik mengenai urusan dunia maupun urusan

akhirat. Artinya, raja adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai

imam dalam urusan rohani (agama) dan duniawi.

Dalam Negara Kretagama karya Mpu Prapanca, seorang

pujangga terkenal Majapahit, dilukiskan betapa besarnya peran

raja dalam mengatur urusan agama. Raja Majapahit memperoleh

kekuasaan berkat keturunan, kecuali Raja Kertarajasa Jaya-

wardhana, raja pertama Majapahit yang memupuk kekua-saan

melalui peperangan melawan raja Kediri, Jayakatwang.

Selain memegang pucuk pimpinan dalam pemerintahan,

raja Majapahit juga merupakan kepala dalam lingkungan

kerabat raja. Pada umumnya mereka bergelar sri maharaja, sri yawabhuwanaparameswara, seperti pada piagam Kertarajasa

Page 22: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

74

Jayawardhana tahun 1305: maharaja Nararya Sanggramawijaya;

pada prasasti Lamongan: sri maharaja; pada prasasti Sidateka

(1323): sri maharaja rajadhiraja parameswara sri Wiralanda-gopala; pada prasasti O.J.O LXXXIV: sri maharaja Wisnu-wardhana; pada prasasti Nglawang: sri maharaja (Muljana,

2007:179).

Masuknya Hindu dan Buddha serta kebudayaan India

tidak serta merta membongkar kepercayaan animisme-dina-

misme sebagai kepercayaan asli yang telah mengakar dalam

kebudayaan Jawa. Sebaliknya, lebih menyuburkan kepercayaan

serba magis dan animis.

Dalam konteks pemikiran itu, maka ada kecenderungan

bahwa kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia justru

mengalami kemunduran. Kemunduran dari pemahaman yang

dulu terbuka menjadi pemahaman yang tertutup; dari inklusif-

pluralis menjadi eksklusif. Konsep inklusivitas sesungguhnya

sangat signifikan untuk mengantisipasi gejala disintegrasi bang-

sa. Paradigma eksklusif tidak lagi cocok diterapkan dalam

penyebaran agama. Pandangan inklusif akan membuat agama-

gama sangat berperan dalam peradaban manusia (Ekopriyono,

2005:123).

Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

Peralihan kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam tidak

lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat

gelar para wali tanah Jawa. Muncullah sastra Jawa yang memuat

ajaran-ajaran keislaman yang masih terpelihara, juga merupa-

kan sastra sufi yang disusun pada abad ke-16.

Menurut Simuh (1994), di Jawa Islam menghadapi

suasana dan kekuatan budaya yang telah berkembang kompleks

dan halus, yang merupakan hasil penyerapan unsur-unsur

Page 23: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

75

Hinduisme-Buddhisme yang dipertahankan oleh para cende-

kiawan serta para penguasa kerajaan Jawa. Oleh karena itu, di

Jawa, Islam menghadapi dua jenis kekuatan lingkungan budaya,

yaitu:

1. Kebudayaan para petani lapis bawah yang merupakan

bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat

istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme;

2. Kebudayaan istana yang merupakan tradisi adiluhung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Buddha yang mem-

perkaya serta memperluas budaya dan tradisi lapisan

atas.

Di zaman kerajaan Islam, budaya pedesaan masih tetap

didominasi tradisi lisan, adapun budaya kaum priayi dalam

lingkungan istana sudah mengembangkan tradisi tulisan dengan

memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Buddha. Kebudayaan

kaum priayi merupakan sinkretisme yang sangat kompleks. Dari

unsur-unsur klenik yang serba magis-animis sampai unsur-

unsur mitologis-mistis yang halus tergabung menjadi satu ba-

ngunan yang rumit dan kompleks.

Kebudayaan priayi masih tetap mempertahankan landasan

religi animis-dinamisme dengan tatanan adat-istiadat yang

mendukungnya, namun telah diperkaya serta diperhalus dengan

sastra dan tata nilai Hindu (huruf: hanacaraka), sistem perhi-

tungan tahun saka, agama, dan konsep kerajaan Hindu dengan

adanya kepercayaan raja sebagai penjelmaan dewa.

Islam masuk Jawa, menurut Koentjaraningrat (1994),

melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah

Melayu, yaitu Malaka. Pada abad ke-14, ketika kekuasaan

Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan

mulai berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang

Page 24: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

76

melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu.

Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang

muslim dari Gujarat dan Persia. Pada abad ke-13 mereka

membawa agama Islam, mula-mula ke pantai timur Aceh,

kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke

pulau-pulau rempah di Indonesia, dan juga ke kota-kota

pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa.

Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak

dapat menembus benteng kerajaan Hindu-Jawa, sehingga harus

memulai dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang

pesisiran yang melahirkan lingkungan budaya baru yang ber-

pusat di pesantren. Baru pada abad ke-16, dakwah Islam mulai

menembus benteng-benteng istana. Unsur-unsur Islam mulai

meresap dan mewarnai sastra istana. Hal itu terjadi dengan

berdirinya kerajaan Jawa Islam Demak yang mendapat

dukungan para wali tanah Jawa.

Sejak runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518)

dan berdirinya kerajaan Islam Demak, dimulai pula Islam

menjadi bagian dari kehidupan para priayi Jawa. Pergaulan

priayi Jawa atau cendekiawan Jawa dengan para guru agama

yang sangat dimuliakan dengan gelar wali tanah Jawa mendo-

rong interaksi Islam dengan sastra dan budaya istana. Bahkan,

menurut penilaian para pujangga, berdirinya Kerajaan Demak

sebagai zaman peralihan; peralihan dari zaman kabudan (tradisi

Hindu-Buddha) ke zaman kawalèn (Islam).

Peralihan tersebut menyebabkan terjadinya penyesuaian-

penyesuaian yang berupa sinkretisme antara warisan budaya

animisme-dinamisme, Hinduisme, Buddhisme, dan unsur-unsur

Islam. Bentuk perpaduan itu sering disebut dengan istilah

Islam-Kejawèn atau sering pula disingkat kejawèn. Dengan

beralihnya pusat kerajaan ke daerah pedalaman, dengan berdiri-

Page 25: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

77

nya Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, lebih menyuburkan

bentuk sinkretisme itu.

Dalam konsep kebudayaan Jawa tradisional, otonomi

adalah hak mutlak sang raja. Dalam diri raja terpadu derajat

kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat ketuhanan (raja-binathara). Rakyat semata-mata menjadi budak sang raja dan

kaum priayi. Jadi, kendala tradisi dengan berbagai mitos dengan

pusaka-pusaka “dikiaikan” (dianggap sebagai “kiai”) merupakan

sarana para penguasa politik untuk menghambat dan menia-

dakan pertumbuhan tuntutan individualisme dan otonomi

manusia.

Pada zaman Islam, sesudah masa Demak sampai Mataram,

timbul bentuk otonomi manusia yang cukup unik akibat

pengaruh tasawuf Islam. Muncul ajaran tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yang dalam tasawuf dan mistik

kejawèn diungkapkan dengan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan

kekuasaan Tuhan sendiri.

Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan Atomnya (Purwadi, 2004) menyarankan agar manusia mengu-

asai keempat nafsu yang ada dalam dirinya, yaitu:

1. Egosentros; sama dengan lauwamah (nafsu serakah);

2. Palemos; sama dengan amarah (nafsu jahat);

3. Eros; sama dengan sufiah (nafsu asmara);

4. Religius; sama dengan mutmainah (nafsu keinginan

berbuat baik).

Ronggowarsito menjelaskan konsep insan kamil dalam

Serat Wirid Hidayat Jati, agar manusia tidak jatuh dari

martabatnya ada empat hal yang perlu diperhatikan (Purwadi,

2004: 139-140), yaitu:

Page 26: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

78

1. Nistha papa: barangsiapa berbuat hina, pasti akan

menjadi melarat;

2. Dora sangsara: barangsiapa berbuat dusta pasti akan

sengsara;

3. Dhusta lara: barangsiapa jahat pasti akan sakit;

4. Nihaya pati: barangsiapa bertindak aniaya, akan

celaka.

Konsep insan kamil tersebut hampir sama dengan pemi-

kiran humanisme Barat, bahwa manusia adalah individu yang

memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan

hidup. Perbedaannya terletak pada proses pembentukan kesa-

daran tentang kebebasan. Dalam humanisme Barat kesadaran

itu muncul sebagai respons terhadap dominasi agama/gereja

yang menafikan keadaan manusia sebagai individu yang bebas,

adapun dalam konsep insan kamil kesadaran itu muncul sebagai

perwujudan dari “menyatunya” antara manusia dan Tuhan;

Tuhan bersemayam dalam diri manusia.

Kebudayaan Jawa dan Kekristenan

Tidak banyak sumber tertulis mengenai perjumpaan

budaya Jawa dan kekristenan. Mungkin hal itu karena Kristen

sebagai agama yang paling akhir mengembangkan pengaruh di

Jawa, juga karena agama ini tidak pernah berjaya sebagai

kerajaan.

Theodore G. Th. Pigeud dalam bukunya Literature of Java (dalam Bambang Noorseno, 2003:41), hanya menyebutkan be-

berapa buku. Salah satu di antaranya, yang juga disebut oleh C.

Guillot dalam tesisnya, adalah buku karya Tosari berjudul Rasa Sejati. Buku ini memuat serangkaian ajaran Kristen dalam

bentuk tembang macapat. Meskipun secara eksplisit karya-

karya Kristen-Jawa tidak banyak dijumpai, namun pengaruhnya

tidak dapat diabaikan. Sejarah pekabaran Injil di Jawa, mulai

Page 27: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

79

dari Colen, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrakh, sampai

misionaris Barat, menunjukkan pengaruh tersebut.

Sebelum ada campur tangan misionaris Barat, pekabaran

Injil di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak

apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab ketika

ia bertobat menjadi Islam, para kiai Kristen Jawa menerima

Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap

mempertahankan identitas Jawanya, begitu pula Kiai Sadrakh

yang menyebut jemaahnya sebagai “pasamuwané wong Kristen mardika” (jemaat Kristen merdeka).

Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan

misionaris Barat. Kedekatan itulah yang kemudian menuai

kritik. Sindiran tajam terhadap komunitas Kristen dapat dibaca

dalam Serat Bayanullah karya Raden Panji Natarata. Orang Jawa

yang menjadi Kristen disebut sebagai “lingling klalanganing pikir, wirang isin wong Jawa salin agama,” Artinya, “pikiran

linglung, tidak tahu malu orang Jawa berpindah agama.”

Pada zaman itu orang Jawa menjadi Kristen dianggap

aneh. Muncul di masyarakat ungkapan-ungkapan yang menun-

jukkan gejala itu, antara lain “Kristen iku agamané wong landa.” Ungkapan itu menyiratkan, bahwa Kristen hanyalah agama bagi

orang Belanda. Praktik kehidupan Kristen belum sepenuhnya

dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap tidak lazim.

Misalnya, cara menyembah dengan cara berhadap-hadapan

(jemaat dan pendeta/pastur). Mungkin pula karena hubungan

orang-orang Kristen dengan kalangan Belanda.

Seperti Hindu, Buddha, dan Islam yang akhirnya diterima

oleh orang Jawa setelah mengalami proses jawaisasi, Kristen

akhirnya juga diterima. Kontribusi kekristenan tidak dapat

dianggap kecil untuk memperindah mozaik spiritualitas Jawa

yang tersusun dari berbagai tradisi keagamaan. Pertemuan

Page 28: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

80

antara iman Kristen dan kejawèn memang telah terjadi dan

akan terus terjadi.

Menurut Bambang Noorseno (2003:46), di Desa Ngoro,

Jawa Timur, pernah dipelopori “pengawinan” kejawèn dan

kekristenan. Hasilnya, sudah pasti, tidak selalu semua orang

Kristen setuju. Itulah alasan konflik antara para kiai Kristen

Jawa dan para misionaris Barat yang menuduh mereka telah

membelokkan katekese3 ke arah klenik atau takhayul yang tidak

masuk akal.

Konflik antara lain muncul di tahun 1899 antara Kiai

Sadrakh dan para misionaris Kristen. Puncaknya terjadi ketika

Kiai Sadrakh menobatkan diri sebagai ”Rasul Jawa” dan

melarang pengikutnya untuk menjalin hubungan dengan para

misionaris. Konflik itu, menurut Sumartana (1991:66), kemu-

dian memunculkan dua identitas Kristen, yaitu:

1. Kristen yang menerima Injil tanpa menolak semua

budaya Jawanya, yang sering juga disebut sebagai

Kristen Jawa;

2. Kristen yang menerima Injil dengan segala ke-

budayaan Belandanya dan menolak kebudayaan Jawa,

sering disebut sebagai Kristen Landa.

Dalam perkembangan selanjutnya, identitas Kristen Jawa

makin terdesak oleh Kristen Landa. Jemaat di gereja-gereja yang

terang-terangan menyebut diri sebagai Gereja Kristen Jawa pun

lebih sering memperlihatkan sebagai jemaat yang telah mening-

galkan kebudayaan Jawa. Gejala ini misalnya terlihat dari mulai

3 Katekese merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas mewartakan

Injil yang diamanatkan Yesus Kristus (Mat 28:19-20; Mrk 16:15). Kate-kese adalah pembinaan dalam iman, khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara sistemastis, memasuki kepenuhan hidup Kristen.

Page 29: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

81

jarangnya penggunaan bahasa Jawa dalam kebaktian dan lebih

sering menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada

Kidung Pasamuan Kristen Jawa. Kotbah-kotbah yang disampai-

kan para pendeta juga sering menekankan agar jemaatnya

meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama (budaya Jawa) supaya

memperoleh “hidup baru.”

Kebiasaan-kebiasaan lama itu dituduh sebagai klenik dan

takhayul, misalnya tradisi mengunjungi makam leluhur (tilik kubur), slametan, dan mengadakan upacara-upacara lain yang

lazim dilakukan dalam kerangka kebudayaan Jawa. Lama-

kelamaan, kejawaan itu luntur dan hilang dalam kehidupan

orang-orang Jawa yang memeluk agama Kristen.

Meskipun kadarnya lebih kecil, gejala ini sama dengan

gejala yang terjadi di kalangan orang Jawa penganut Islam, yang

juga meninggalkan kebudayaan Jawa dan beralih ke kebudayaan

Arab (Timur Tengah). Kadar tersebut lebih kecil, mungkin

karena dalam Islam berkembang pula ajaran-ajaran tasawuf

yang sangat dekat dengan kebudayaan Jawa.

Muncul gejala, bahwa orang-orang Jawa yang menganut

Kristen ”wis dadi landa,”4 orang-orang Jawa yang menganut

Islam sudah ”menjadi Arab.” Inilah konsekuensi dari penyam-

puradukan antara agama dan budaya. Kristen diidentikkan

dengan Eropa-Amerika, Islam diidentikkan dengan Arab-Timur

Tengah, Hindu-Buddha disamakan dengan India, dan Kong-

hucu dengan Cina.

Relasi Jawa-Kristen juga terlihat dari perhatian pujangga

Keraton Surakarta Ronggowarsito pada Nabi Isa (Yesus Kristus)

dan agama Kristen. Dalam manuskrip Paramoyaga, Ronggo-

4 Bahasa Jawa landa secara harafiah berarti Belanda atau bule. Orang Jawa

menyebut landa untuk menunjuk orang-orang kulit putih, bukan Asia. Jadi, yang dimaksud landa bisa orang Eropa, Amerika, maupun Australia.

Page 30: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

82

warsito menggambarkan pertentangan antara Nabi Isa dan

agama Hindu yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang

Jagadnata. Pujangga Keraton Surakarta itu bersimpati pada

agama Kristen dan menyebut bahwa Ajisaka belajar dan

menerima instruksi dari Nabi Isa.

Dalam Paramayoga (Sukatno, 2001:121) bab berjudul

”Sang Hyang Jagadnata Bermusuhan dengan Nabi Isa,” dikisah-

kan, para sahabat mengusulkan agar Nabi Isa menyirnakan para

dewa yang mengaku sebagai Tuhan, yang selama ini bertempat

tinggal di kahyangan di puncak Gunung Tenguru (Himalaya).

Singkat cerita, Nabi Isa mengubah segumpal tanah liat menjadi

burung dara berbisa, yang dapat merusak para dewa.

Burung dara itu menemui Sang Hyang Jagadnata,

meminta dewa dan bala tentaranya menghadap Nabi Isa untuk

diberi pelajaran agama yang sesungguhnya; beribadah kepada

Tuhan Yang Sejati, yang menciptakan semua makhluk. Sang

Hyang Jagadnata marah, namun tidak dapat mengalahkan

burung dara tersebut. Burung dara itu menyebarkan bisa

(racun) di wilayah Hindi (Hindustan). Sang Hyang Jagadnata

melarikan diri dari Gunung Tenguru ke Sumatera, Pulau Jawa,

dan Bali.

Kebudayaan Jawa Masa Kini

Kebudayaan Jawa masa kini yang dimaksud dalam tulisan

ini adalah kebudayaan Jawa pada masa Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), mulai dari masa pemerintahan Ir.

Soekarno sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono. Pada masa-masa itu, yang dapat diungkapkan di

sini adalah usaha-usaha melestarikan budaya Jawa di tengah-

tengah arus globalisasi.

Page 31: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

83

Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai komunitas

Jawa, namun kenyataan membuktikan bahwa budaya Jawa

tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan oleh konuni-

tas-komunitas tersebut. Pengaruh-pengaruh budaya asing, per-

lahan tapi pasti telah mengikis kebudayaan ini.

Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa pernya-

taan bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang lentur dan

tidak akan luntur oleh pengaruh-pengaruh dari luar, masih

layak dipertanyakan kebenarannya. Kalau selama ini banyak

pengamat yang mengatakan bahwa budaya dari luar kemudian

“dijawakan” (Hindu menjadi Hindu-Jawa, Buddha menjadi

Buddha-Jawa, Islam menjadi Islam-Jawa, dan Kristen menjadi

Kristen-Jawa) maka pertanyaannya adalah masihkah budaya

Jawa itu kuat dan dianut oleh masyarakatnya?

Salah satu ungkapan yang sangat menggambarkan bahwa

sebenarnya budaya Jawa sudah tidak lagi mendapat tempat yang

layak dalam masyarakatnya adalah wong Jawa ilang Jawané. Ungkapan itu menggambarkan, bahwa sekarang orang Jawa

sudah kehilangan sifat-sifat Jawa, sudah tidak lagi memahami

dan mengamalkan ajaran-ajaran Jawa dalam kehidupan sehari-

hari.

Dalam Kongres Bahasa Jawa 10-14 September 2006 di

Semarang, sebagai salah satu pembicara, penulis mengemuka-

kan, banyak orang Jawa yang terjebak pada “romantisme Jawa.”

Meskipun sering dilakukan sarasehan, seminar, diskusi, dan

dialog-dialog tentang kebudayaan Jawa, namun acara-acara itu

lebih berupa forum kangen-kangenan (saling melepas kerindu-

an) untuk mengenang kejayaan dan keadiluhungan Jawa di

masa lalu. Mereka menyanjung-nyanjung kehebatan kebu-

dayaan Jawa, tetapi tidak menjabarkan dalam kehidupan nyata

sehari-hari.

Page 32: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

84

Pertanyaannya, apakah benar Hindu telah dijawakan,

Buddha dijawakan, Islam dijawakan, Kristen dijawakan, dan

Konghucu dijawakan. Apakah bukan sebaliknya, justru Jawa

dihindukan, Jawa dibuddhakan, Jawa diislamkan, Jawa di-

kristenkan, Jawa dikonghucukan. Apakah benar yang terjadi

adalah Jawaisasi Hindu, Jawaisasi Buddha, Jawaisasi Islam,

jawaisasi Kristen, atau sebaliknya Hinduisasi Jawa, Buddhaisasi

Jawa, Islamisasi Jawa, Kristenisasi Jawa, Konghucuisasi Jawa.

Pertanyaan itu mirip dengan hipotesis Koentjaraningrat

(1994:446), yaitu:

”.... apabila suatu kebudayaan atau suatu sub-kebudayaan di dalam sebuah kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki suatu tradisi turun-menurun yang sudah mantap, dan yang karena itu memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi kuna dan panjang itu, maka akan ada kecondongan timbulnya suatu sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan kebudayaan, daripada dalam kebudayaan atau sub-kebudayaan yang tidak memunyai tradisi yang panjang.”

Mengacu pada uraian tentang kebudayaan Jawa masa kini

tersebut, maka hipotesis Koentjaraningrat tidak terbukti. Kebu-

dayaan Jawa yang memiliki tradisi turun-menurun yang sudah

mantap ternyata larut ke dalam arus globalisasi. Manusia Jawa

tidak lagi memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebudaya-

an Jawa.

Beberapa tradisi mungkin masih dijalankan, misalnya tilik kubur sebagai perwujudan penghormatan kepada arwah le-

luhur, slametan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,

mitoni (memperingati usia tujuh bulan kehamilan), weton (memperingati hari kelahiran), upacara tedhak siti (ketika

seorang bayi sudah mulai bisa berjalan), upacara adat perkawin-

an, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya, apakah tradisi-

Page 33: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

85

tradisi itu mencerminkan pemahaman, penghayatan, dan

penerapan nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai bentuk

penolakan terhadap perubahan kebudayaan atau resistensi

terhadap masuknya kebudayaan dari luar? Apakah tradisi-

tradisi itu tidak hanya bersifat seremonial, tanpa pemahaman,

penghayatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari?5

Jawa Larut dalam Globalisasi

Anthony Giddens (2000) mengungkapkan, proses globali-

sasi sangat terkait dengan revolusi komunikasi dan penyebaran

teknologi informasi. Hal itu bahkan juga berlaku dalam arena

ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam

bergantung pada gabungan teknologi satelit dan komputer yang

juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan yang lain.

Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, menggun-

cang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari.

Pandangan Barat melihat globalisasi sebagai era masa depan;

yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global

yang akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua

orang.

Berbeda dari pandangan tersebut, Mansour Fakih

(2001:211) justru menilai, globalisasi adalah kelanjutan dari

kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi

5 Observasi dan pengalaman penulis sebagai orang Jawa yang hidup di masa

postmodern sekarang ini, menunjukkan bahwa Jawa tidak lagi memiliki kekuatan dalam penolakan yang intensif terhadap kebudayaan yang masuk dari luar. Manusia Jawa sudah kehilangan kejawaannya; secara budaya sebagian besar dari mereka kalau tidak menjadi global (Barat), menjadi Arab (Timur Tengah). Globalisasi yang dalam bentuk praktisnya adalah westernisasi dan arabisasi (yang dibawa gerakan ideologi transnasional) telah ”merenggut” kekuatan kebudayaan Jawa meskipun memiliki tradisi turun-menurun yang mantap. Ungkapan jawa ilang jawané menjadi kenyataan.

Page 34: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

86

dicurigai sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolo-

nialisme.

Pandangan Mansour Fakih itu sejalan dengan pendapat

guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Amien Rais.

Dalam wawancara dengan penulis (10 April 2008 di Semarang)

ia berpendapat, bahwa globalisasi sebenarnya merupakan

kolonialisme baru dan imperialisme baru (neokolonialisme dan

neoimperialisme).

Globalisasi memunculkan konflik lokal-global, termasuk

konflik antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai budaya

global. Kebanyakan manusia Jawa sangat merasakan konflik

antara budaya Barat dan budaya Jawa, tapi tidak begitu

menyadari bahwa sebenarnya pertemuan budaya Jawa dengan

budaya Arab (Timur Tengah) pun mengandung konflik di

dalamnya. Konflik ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang

memunyai perhatian khusus terhadap upaya pelestarian nilai-

nilai budaya Jawa, misalnya perkumpulan kebatinan. Dalam

pertemuan-pertemuan komunitas kejawèn terungkap, bahwa

kelompok-kelompok kebatnan merasa dijajah oleh agama-

agama besar dan menjadi kelompok marginal di negerinya

sendiri.

Gejala tidak disadarinya pengaruh budaya yang masuk

bersamaan dengan agama Islam itu, misalnya tampak dalam

penerapan muatan lokal baca tulis Al Quran dalam kurikulum

pendidikan beberapa sekolah di Jawa Tengah.6 Bukankah

6 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Demak

menerbitkan buku panduan pendidikan (silabus) untuk muatan lokal baca tulis Alquran. Kadindikpora Demak, HM. Afhan Noor mengemukakan, silabus penting untuk memberikan panduan tata cara mengajar baca tulis Alquran di masing-masing tingkatan. “Silabus diperuntukkan mulai dari SD, SLTP, hingga SLTA. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis Alquran melalui kurikulum resmi,” jelas dia. Ada 563 SD, 80 SLTP, serta 69 SLTA di Demak, mulai memberlakukan muatan lokal baca tulis Alquran. (Suara Merdeka, 1 September 2011).

Page 35: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

87

muatan lokal seharusnya merupakan mata pelajaran yang

berlandaskan budaya dan kearifan lokal di daerah tempat siswa

itu belajar? Jadi, secara ideal muatan lokal untuk siswa di Jawa

Tengah paling tepat adalah mata pelajaran tentang budaya dan

kearifan lokal Jawa. Begitu pula, untuk siswa di Sumatera Barat

misalnya, muatan lokal paling tepat mata pelajaran tentang

budaya dan kearifan lokal Minangkabau, di Jawa Barat budaya

Sunda, di Jakarta budaya Betawi, dan seterusnya.7

Dalam konteks konflik lokal-global itu, globalisasi meru-

pakan bentuk penjajahan budaya transnasional (baik western-

isasi maupun arabisasi), termasuk penjajahan terhadap manusia

Jawa. Manusia Jawa telah larut dalam arus global, kehilangan

jatidirinya sebagai manusia Jawa.

Penyebab kekalahan budaya Jawa tersebut antara lain:

1. Sinkretisme yang melunak;

2. Orientasi pada kearifan individu;

3. Sikap mental “inlander.”

Sinkretisme yang melunak terjadi pada masa kini, ter-

utama ketika arus global sangat kuat memengaruhi hampir

semua sendi kehidupan. Sinkretisme yang secara ideal meru-

pakan kerja sama sosial-budaya menghadapi musuh bersama,

justru menjadi penyebab lunaknya ketahanan budaya Jawa,

sehingga tidak kuat menghadapi penetrasi budaya luar. Nilai-

7 Penyusunan kurikulum muatan lokal atas dasar acuan keadaan masyarakat

setempat, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nnomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan dengan media penyam-paiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah tersebut.

Page 36: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

88

nilai budaya Jawa kemudian tergeser oleh nilai-nilai budaya

Barat atau nilai-nilai budaya Arab. Barat tidak dijawakan atau

Arab tidak dijawakan, tapi Jawa dibaratkan atau Jawa diarab-

kan.

Orientasi pada kearifan individual, yang menjadi salah

satu sifat budaya Jawa, juga menjadi faktor pendorong kekalah-

an budaya Jawa menghadapi globalisasi. Orientasi pada kearifan

individual itu menyebabkan perhatian manusia Jawa hanya

terfokus pada ketenteraman jiwa, ketenangan hidup pribadi.

Akibatnya, mereka kurang sadar terhadap pengaruh budaya

luar, terlebih lagi budaya luar itu dibawa oleh agama. Mereka

kemudian tidak lagi memiliki kepedulian terhadap pelestarian

dan pengembangan budayanya sendiri.

Manusia Jawa, seperti pada umumnya masyarakat

Indonesia yang oleh Arifin Bey (2003) dinilai masih mengidap

penyakit ”inlander.” Mental “inlander” itu antara lain: tidak

percaya diri, lebih mengandalkan otot daripada otak, lebih

menghargai hal-hal dari luar daripada milik sendiri, mudah

terkejut dan terheran-heran (gumunan lan kagètan) mengha-

dapi pengaruh dari luar. Karena itu, bangsa ini memerlukan

suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi

pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali

rasa hormat dunia.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, kebudayaan Jawa

beranekaragam, dapat dibagi ke dalam sub-daerah kebudayaan

Jawa. Kalau diteliti lebih mendalam, keanekagaraman itu masih

menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa. Mes-

kipun terdiri dari sub-daerah kebudayaan, karena kurangnya

literatur tertulis selain sub-daerah kebudayaan Jawa keraton,

Page 37: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Budaya Jawa di Tengah Arus Global

89

maka tidak dapat dimungkiri bahwa kebudayaan Jawa keraton

dinilai sebagai pusat kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu,

kebanyakan tulisan tentang kebudayaan Jawa pun, termasuk

buku ini, menitikberatkan pada kebudayaan Jawa yang ber-

kembang di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Perkembangan kebudayaan Jawa dapat dibagi ke dalam

tiga periode, yaitu: masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-

Buddha, masa kerajaan Islam, dan masa kini. Di tengah-tengah

perkembangan tersebut, terdapat pengaruh agama Kristen,

meskipun tidak sebesar pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.

Dalam relasi dengan budaya India (Hindu, Buddha),

budaya Arab (Islam), dan pengaruh kekristenan, kebudayaan

Jawa selalu dilandasi oleh sifat yang khas, yaitu sinkretisme.

Pada masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, dan

masa kerajaan Islam, serta relasi dengan kekristenan, sinkretis-

me Jawa masih terasa kuat, sehingga muncul istilah Hindu Jawa,

Buddha Jawa, Islam Jawa, Kristen Jawa.

Perkembangan selanjutnya, budaya Jawa mengalami

kemerosotan karena pengaruh yang kuat globalisasi, baik dari

Barat maupun dari Arab (Timur Tengah). Itulah Jawa masa kini,

Jawa pada era globalisasi, yang larut oleh arus global. Sifat sin-

kretisme, lentur, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri

dengan kebudayaan luar, justru melunak, sehingga manusia

tidak lagi memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai budaya

Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan-gerakan ideologi transnasional sangat berpenga-

ruh terhadap budaya Jawa. Gerakan transnasional merupakan

gerakan lintas-negara, yang bermaksud mengekspor budaya asal

gerakan itu ke negara-negara lain. Hal ini seharusnya menya-

darkan bangsa Indonesia, bahwa ancaman terhadap budaya

bangsa bukan hanya berasal dari kapitalisme Barat, melainkan

Page 38: Budaya Jawa di Tengah Arus Global - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/4/D_902006011_BAB III.pdfJawa. di Tengah Arus Global. Pada . Periode . Pertengahan

Jawa Menyiasati Globalisasi

90

juga dari budaya Arab (Timur Tengah). Ironisnya, banyak

manusia Jawa yang kehilangan daya kritis ketika menghadapi

gerakan itu, salah satu penyebabnya adalah pandangan sempit

(fanatisme sempit) dalam keberagamaan.

Pada era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya Jawa sudah

ditinggalkan oleh sebagian besar manusia Jawa sendiri, terutama

generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal

nilai-nilai yang selama berabad-abad menjadi norma hidup

leluhur mereka. Lebih dari itu, bahkan banyak pula di antara

mereka yang menganggap nilai-nilai itu sudah tidak relevan

dengan perkembangan zaman. Mereka terasing dan tercerabut

dari akar-akar budayanya sendiri.8

Dalam kondisi tersebut, diperlukan revolusi mental dan

moral manusia Jawa untuk membuka jalan bagi pembangunan

ekonomi-sosial sehingga memberikan kontribusi pada bangsa

ini untuk meraih kembali rasa hormat dunia.

8 Pengalaman penulis dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan kebenaran

gejala tersebut. Beberapa kali penulis menjumpai kenyataan, bahwa anak-anak muda, bahkan orang-orang Jawa seusia penulis (generasi kelahiran tahun 1958) tidak lagi fasih berbahasa Jawa dan tidak lagi mengenal ajaran-ajaran Jawa. Sebagai contoh, mereka tidak mengerti arti kata gemujeng (tertawa), tidak dapat membedakan antara arti kata nuwun dan nyuwun, sehingga keliru mengucapkan ”nuwun sèwu” menjadi ”nyuwun sèwu.” Begitu pula dalam pemahaman terhadap ajaran-ajaran Jawa, mereka tidak mengerti makna andhap asor (rendah hati), adigung-adigung-adiguna (menyombongkan kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan), dan sebagainya.