bab dua gerakan humanisme dan...

36
Gerakan Humanisme dan Globalisasi 17 Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasi Secara etimologis, istilah humanisme terkait erat dengan kata Latin Klasik humus yang berarti tanah atau bumi. Istilah ini berkembang menjadi kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi.” Perspektif etimologis dan historis dalam memahami makna kata humanisme menunjukkan, bahwa inti persoalan adalah manusia. Artinya, bagaimana membentuk manusia menjadi lebih manusiawi, serta siapa yang bertanggung jawab dalam proses pembentukannya. Frederick Edwards dalam artikelnya berjudul What is Humanism? (1989) menjelaskan, bahwa kata humanisme mengandung banyak makna. Upaya untuk menjelaskan humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-

Upload: hoanghanh

Post on 02-May-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

17

Bab Dua

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

Secara etimologis, istilah humanisme terkait erat dengan

kata Latin Klasik humus yang berarti tanah atau bumi. Istilah

ini berkembang menjadi kata homo yang berarti manusia

(makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat

“membumi” dan “manusiawi.” Perspektif etimologis dan historis

dalam memahami makna kata humanisme menunjukkan,

bahwa inti persoalan adalah manusia. Artinya, bagaimana

membentuk manusia menjadi lebih manusiawi, serta siapa yang

bertanggung jawab dalam proses pembentukannya.

Frederick Edwards dalam artikelnya berjudul What is Humanism? (1989) menjelaskan, bahwa kata humanisme

mengandung banyak makna. Upaya untuk menjelaskan

humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-

Page 2: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

18

na itu sering tidak diklarifikasi. Makna yang berbeda-beda itu

disebabkan berbeda-bedanya pula tipe humanisme.1

Salah satu cara untuk menghindari kerancuan tersebut,

telaah tentang humanisme dapat dilakukan dengan pendekatan

dari sisi historis dan pendekatan dari sisi humanisme sebagai

aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu

gerakan intelektual dan kesusastraan yang kali pertama muncul

di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Gerakan ini

dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern,

khususnya kebudayaan Eropa. Dari sisi humanisme sebagai alir-

an dalam filsafat, humanisme sering diartikan sebagai paham

dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia menempati posisi

yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teore-

tik-filsafati maupun dalam praktik hidup sehari-hari (Abidin,

2006:39).

Penulisan buku ini menggunakan pendekatan historis,

sehingga humanisme dipandang sebagai gerakan intelektual,

bukan sebagai aliran dalam filsafat. Definisi kerjanya adalah,

gerakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk

mengangkat harkat dan martabat manusia, sebagai respons ter-

1 Beberapa tipe humanisme, menurut Edwards adalah: Humanisme

Kesusastraan (Literary Humanism): ketaatan kepada nilai-nilai kemanusiaan atau budaya kesusastraan; (2) Humanisme Renaisans (Renaissance Humanism): spirit yang berkembang di akhir Abad Pertengahan dengan membangkitkan keyakinan atas kemampuan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri; (3) Humanisme Kultural (Cultural Humanism): tradisi rasional dan empirik pada masa Yunani dan Romawi, yang berkembang melalui sejarah Eropa, dan sekarang menjadi bagian dari dasar-dasar pendekatan Barat terhadap ilmu, sejarah, politik, etika, dan hukum; (3) Humanisme Filosofikal (Philosophical Humanism): pandangan hidup yang terpusat pada kebutuhan dan kepentingan manusia. Termasuk di dalam humanisme ini adalah humanisme Kristen (Christian Humanism) dan humanisme Modern (Modern Humanism).

Page 3: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

19

hadap situasi dan kondisi pada masa-masa tertentu. Gerakan

tersebut muncul karena ada kecenderungan situasi dan kondisi

yang tidak menguntungkan bagi peningkatan harkat dan mar-

tabat manusia pada masa-masa itu.

Sebagai gerakan intelektual, humanisme mengalami

proses penafsiran yang panjang, seiring dengan perkembangan

peradaban Barat. Secara garis besar, gerakan humanisme dapat

dibagi menjadi empat bagian, yaitu Periode Klasik (600 SM -

300 M), Periode Pertengahan (300 M - 1500 M), Periode

Modern (1500 M – 1800 M), dan Periode Postmodern (1800 M –

sekarang). John Bagnell Bury (2004) menyebut Periode Klasik

(Masa Yunani dan Roma) sebagai masa kebebasan akal budi

(reason free), Periode Pertengahan sebagai masa terpenjarakan-

nya akal budi (reason in prison), Periode Modern (ditandai

dengan Renaisans dan Reformasi) sebagai masa prospek pem-

bebasan (prospect of deliverance), masa toleransi religius, dan

masa perkembangan rasionalisme.

Perkembangan gerakan humanisme dapat dijelaskan

sebagai berikut:

Gerakan Humanisme Klasik

Gerakan humanisme pada periode Klasik ditandai dengan

mulai berkembangnya pemikiran tentang manusia, menggeser

pemikiran pada masa sebelumnya yang terpusat pada alam (kos-

mologi).2 Posisi manusia dalam kehidupan lebih diperhatikan

2 Sebelum Periode Klasik, filsafat yang berkembang adalah filsafat alam,

ditandai dengan kemunculan ahli pikir alam dengan arah dan perhatian pada alam sekitar. Pernyataan-pernyataan berlandaskan akal dan pikiran, tidak berdasar pada mitos. Filsuf-filsuf pada periode ini antara lain Thales, Anaximandros, dan Pythagoras. Pada tahap ini, para filsuf mengubah orientasi pikiran manusia dari mitos menjadi logos. Thales memulai pencarian asal-usul utama alam semesta, diteruskan Anaximenes dan Anaximander, serta filsuf-

Page 4: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

20

daripada sekadar sebagai bagian kecil dari alam semesta. Per-

hatian itu tercermin dari pandangan-pandangan para pemikir

utama pada masa itu, yaitu Sokrates, Plato, dan Aristoteles.

Pertanyaan “apakah manusia itu?” menyisihkan masalah filsafat

dan metafisika sebelumnya.

Berikut ini garis besar pandangan para pemikir utama

tersebut:

Sokrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu

dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang

tidak dapat dipisahkan. Permenungan Sokrates dimulai dari

persoalan eksistensi kodrati manusia. Ia membuat analisis rinci

tentang sifat-sifat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan manusia. Ia

menentukan sifat-sifat manusia dan merumuskannya ke dalam

kategori kebaikan, keadilan, kesahajaan, kejujuran, dan seterus-

nya (Sugiharto, 2008).

Bagi Sokrates, seperti dikutip Sugiharto, manusia hanya

dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya,

yaitu cara berpikir dialektis. Manusia dapat memahami dirinya

dan sesamanya melalui interaksi intersubjektif dengan manusia

lain. Pandangan itu berbeda dari pandangan sebelumnya,

bahwa kebenaran secara objektif sebagai hal yang final, yang

dapat diperoleh lewat pemikiran individual, kemudian dapat

dikomunikasikan secara langsung kepada pihak lain secara

monolog. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus

mencari dirinya, yang setiap saat harus menguji dan mengkaji

secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Pencarian itu

filsuf sebelum Sokrates. Pada tahap-tahap awal itu, filsafat Yunani hanya berkaitan dengan dunia fisik, yaitu usaha menyelami rahasia alam dan asal-usul segala sesuatu di dunia. Kesadaran reflektif manusia tertuju pada sesuatu di luar dirinya, belum antroposentris. Pada masa itu, kosmologi berkembang pesat. Manusia belum menjadi pusat perhatian. Meskipun ide bahwa manusia adalah mikrokosmos sudah ada, tapi belum berkembang ke penyelidikan tentang jiwa manusia (Sugiharto, 2008).

Page 5: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

21

terjadi hanya dalam konteks sosial, sehingga manusia hanya

mungkin sampai pada tahap pengenalan diri kalau ia hidup dan

berdialog dengan orang lain. Tesis Sokrates yang terkenal

adalah “hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak

dihidupi” atau “the unexamined life is not worth living”.

Pemikiran-pemikiran Sokrates dilanjutkan oleh Plato,

yang menerangkan bahwa manusia sesungguhnya berada dalam

dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan

dunia ide yang bersifat tetap. Dunia pengalaman merupakan

bayang-bayang dunia ide, adapun dunia ide merupakan dunia

sesungguhnya.

Pandangan Plato dikenal sebagai “dualistik” yang menya-

takan bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang

terpisah dari tubuh. Jiwa ada sebelum kelahiran terjadi, sesuatu

yang tidak dapat hancur dan akan tetap hidup abadi. Plato

meyakini jiwa manusia tetap ada setelah kematian tubuh;

bersifat ilahi, rasional, abadi, tidak dapat hancur dan tidak

berubah. Pada intinya, pandangannya bertumpu pada tiga aspek

hakikat manusia, yaitu: jiwa, tubuh, dan roh (Stevenson, 2001;

Bakker, 2004).

Pandangan “dualistik” Plato tersebut tidak disetujui oleh

muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles “ada” hanya terda-

pat pada benda konkret. Benda konkret itu merupakan benda

yang nampak dan memiliki bentuk, seperti pintu, batu, pohon,

tanah, dan sebagainya. Pengertian “ada dalam ide” seperti yang

dikemukakan Plato bukan sebagai sesuatu yang konkret ada,

melainkan hanya merupakan pengertian saja.

Pada Periode Klasik manusia mulai mencari jawaban

terhadap eksistensi dirinya. Mereka berusaha mengungkapkan

asal-usul manusia, cara-cara untuk mengenali jatidiri, dan

langkah-langkah untuk meningkatkan martabat kemanusiaan.

Page 6: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

22

Oleh sebab itu, Periode Klasik dikenal sebagai embrio dari

pengembangan gerakan humanisme pada masa-masa berikut-

nya. Pada periode inilah manusia mulai diperhatikan sebagai

faktor yang perlu dipelajari dalam kehidupan.

Gerakan Humanisme Periode Pertengahan

Gerakan humanisme Periode Pertengahan merupakan

reaksi dari perkembangan agama yang memengaruhi hampir

seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan pada saat itu.

Dominasi agama menyebabkan terpinggirkannya ilmu penge-

tahuan yang sebelumnya telah berkembang pada Periode

Klasik. Pada Periode Pertengahan muncul anggapan bahwa

ilmu pengetahuan mengalihkan perhatian manusia dari ketu-

hanan. Tindakan gereja pada saat itu sangat membelenggu

kehidupan manusia, sehingga manusia tidak memiliki kebe-

basan untuk mengembangkan potensi diri.

Menurut paradigma yang berkembang pada Periode

Pertengahan, agama dan dunia merupakan dua wilayah terpisah

total satu dari yang lain, sehingga tidak ada peluang bagi

ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar-

keduanya. Seorang manusia kalau tidak “melangit” harus “mem-

bumi,” atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap

segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan

secara total dengan Tuhan dan roh-roh kudus, dan jika dia

menghargai jasmani maka dia dipandang telah memutuskan

hubungan dengan Tuhan.

Pada masa itu pengaruh Paus terhadap kekristenan sangat

luas. Gereja mengumpulkan banyak kekayaan dan pengaruh,

tetapi hal itu kemudian diguncang oleh reformasi kaum Protes-

tan. Banyak faktor yang memengaruhi munculnya reformasi,

salah satunya adalah humanisme (Linda Smith dan William

Page 7: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

23

Raeper, 1991:122; Weber, 2002). Gerakan humanisme tersebut

dipicu oleh dominasi gereja dan agama, sehingga melahirkan

pemahaman terhadap eksistensi manusia.

Meskipun muncul pemahaman terhadap eksistensi ma-

nusia, namun humanisme Periode Pertengahan berbeda dari

gerakan humanisme Periode Klasik. Humanisme Periode Klasik

memandang manusia sebagai subjek, adapun humanisme

Periode Pertengahan memosisikan manusia dalam kaitan

dengan Tuhan. Hal itu misalnya tercermin dari pemikiran St.

Agustinus, bahwa manusia tidak sekadar makhluk kodrati

melainkan juga makhluk adikodrati; imanen dan transenden.

Pandangan tersebut mewarnai gerakan humanisme

Pertengahan yang tidak meninggalkan, melainkan membawa

gagasan yang berkembang pada masa Yunani Klasik ke tataran

transenden. Manusia tidak hanya dipandang sebagai faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), melainkan

lebih merupakan imago dei; the image of God (makhluk ilahi

atau citra Tuhan). Gambaran manusia ideal tidak dipandang

sekadar sebagai sosok yang selaras jiwa dan badannya, melain-

kan makhluk yang ilahi-insani.

Pandangan bahwa manusia ideal sebagai makhluk yang

ilahi-insani tersebut misalnya digambarkan oleh Thomas Aqui-

nas dalam diskursus mengenai ”kodrat dan rahmat.” Menurut

dia, kehendak manusia telah jatuh, namun intelektualitasnya

tidak. Intelektualitas kemanusiaan bersifat otonom. Salah satu

akibatnya adalah berkembangnya “teologi kodrati,” yang dapat

diikuti secara bebas oleh akal budi manusia sendiri dan tidak

semuanya tergantung pada pewahyuan Allah melalui kitab suci.

Thomas Aquinas lebih menyukai daya rasio manusiawi,

meskipun ia juga yakin akan ketidakmampuan menggunakan

daya-daya itu secara benar jika tanpa dibimbing dan diterangi

oleh rahmat ilahi (Sugiharto, 2008:32; McPherson, 1971).

Page 8: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

24

Pandangan tersebut menyiratkan pembalikan nilai-nilai

Yunani Klasik yang memandang manusia semata-mata sebagai

makhluk kodrati, namun menandakan peningkatan kesadaran

dalam memahami esensi eksistensi manusia. Manusia sebagai

makhluk ilahi-insani menggambarkan adanya keseimbangan

relasi antara ketuhanan dan kemanusiaan. Muncul pemahaman

bahwa pemikiran terbaik tentang kultur manusia adalah

pemikiran yang selalu mengaitkannya dengan ketuhanan.

Humanisme tanpa ketuhanan adalah humanisme yang

kehilangan lebih dari separo nilai-nilai kemanusiaan (Arthur

James Balfour, 1914:248).

Relasi tersebut digambarkan oleh Desiderius Erasmus

yang menggabungkan antara humanisme dan teologi. Erasmus

menghendaki pembaruan gereja dengan cara-cara damai dan

mengkritik kaum ritualis yang mementingkan tata cara ber-

ibadah daripada pelaksanaan ibadah itu dalam tindakan. Ia

yakin, bahwa hidup yang baik berarti kesucian yang rasional

merdeka (Jassin, 1985).

Gerakan humanisme tersebut kemudian melahirkan pan-

dangan bahwa dominasi otoritas agama dan gereja – yang

memandang bahwa segala sesuatu harus bergantung pada

kekuatan di luar diri manusia – telah mengabaikan manusia

sebagai subjek. Kaum humanis mengajak kembali ke pemikiran

Klasik yang mengangkat diri manusia sebagai subjek dan pun-

cak kebudayaan Barat. Mereka menemukan nilai-nilai Klasik

yang harus dihidupkan kembali dalam kebudayaan Barat demi

masa depan, yaitu penghargaan atas martabat manusia dan

pengakuan atas kemampuan pikiran.

Kaum humanis mengakui kemajuan ilmu pengetahuan

pada Periode Pertengahan, namun kemajuan itu lebih bersifat

kuantitatif. Secara kualitatif, kemajuan tersebut tidak mampu

Page 9: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

25

melebihi ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada masa

Klasik. Pada masa Klasik sudah muncul gerakan humanisme

yang membela kebebasan manusia untuk merangcang sendiri

kehidupan mereka di dunia dengan cara yang merdeka (Vis-

count Haldane, 1922:2).

Uraian tersebut menunjukkan, gerakan humanisme

Periode Pertengahan merupakan solusi untuk menghadapi

intimidasi para pemuka gereja. Kaum humanis bertekad me-

ngembalikan kepada umat manusia hak kebebasan yang telah

dinistakan oleh para elite agama. Pada awal kebangkitan, kaum

humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang

yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manu-

sia dengan Tuhan namun di saat yang sama mempraktikkan

ketidakadilan. Kaum humanis memperjuangkan otoritas untuk

mengurus kehidupannya sendiri.

Oleh sebab itu, Richard Southern menyebutkan, gerakan

humanisme Periode Pertengahan memiliki tiga karakteristik,

yaitu: Pengertian tentang martabat makhluk hidup; pengertian

tentang martabat alam, dan pengertian bahwa tatanan alam

dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan

sebagai pusatnya (Otten, 2004:2).

Secara garis besar, humanisme Periode Pertengahan

merupakan gerakan menentang dominasi gereja yang mengge-

ser posisi manusia sebagai pusat kehidupan. Penggeseran itu

tidak dilakukan dengan cara memisahkan secara tegas antara

manusia, alam, dan Tuhan, melainkan menyelaraskan hubung-

an tiga hal tersebut. Dengan kata lain, humanisme Pertengahan

merupakan perpaduan antara pandangan Yunani awal yang

menitikberatkan pada pemikiran tentang alam dan pandangan

Klasik yang berfokus pada manusia sebagai subjek.

Page 10: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

26

Gerakan Humanisme Modern

Gerakan humanisme Modern dapat dibagi ke dalam dua

tahap, yaitu gerakan humanisme Renaisans dan gerakan hu-

manisme Pencerahan. Masa Renaisans mengantarkan peradaban

manusia ke fase yang disebut sebagai zaman Modern di Eropa.

Sejak saat itu, kesadaran terhadap kekinian muncul di berbagai

tempat. Masa Renaisans ditandai dengan kehidupan yang

cemerlang di bidang seni, pemikiran maupun kesusastraan yang

mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual Periode

Pertengahan.

Humanisme Renaisans berkembang seiring dengan revo-

lusi budaya, yaitu suatu reaksi terhadap kekakuan pemikiran

serta tradisi Pertengahan. Gerakan itu berlangsung antara abad

ke-14 hingga abad ke-17, bermula di Italia pada akhir Periode

Pertengahan, kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan

ini mencakup kebangkitan pengetahuan berdasarkan sumber-

sumber klasik, perkembangan gaya perspektif dalam seni lukis,

dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Renaisans dipandang sebagai penemuan kembali masa

keemasan peradaban Yunani dan Romawi Klasik. Banyak

pembaruan dan penciptaan yang dilakukan umat manusia. Pada

awalnya, humanisme merupakan konsep monumental yang

menjadi aspek fundamental pada masa Renaisans; aspek yang

dijadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari

kesempurnaan manusia.

Renaisans muncul karena reaksi terhadap pemikiran masa

sebelumnya ketika pengetahuan bersifat doktrinal di bawah

pengaruh gereja dan lebih didasarkan pada iman. Reaksi itu

sedemikian kuat sehingga dapat dikatakan peran pikiran

menggantikan peran iman, ilmu pengetahuan menggantikan

agama dan iman di masyarakat. Ilmu pengetahuan dan filsafat

Page 11: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

27

berkembang melalui penguatan peran akal (reason) dalam segala

bidang, yang dikenal sebagai the age of reason. Akal budi

manusia dinilai sangat tinggi dan digunakan untuk membentuk

pengetahuan (Indratno, 2009).

Pada masa itu, fokus pemahaman yang berpusat pada

Tuhan (God-centeredness) bergeser menjadi pemahaman ber-

pusat pada manusia (human-centerednes). Pergeseran tersebut

dikenal dengan istilah sekularisasi atau humanitas. Tulisan-

tulisan filsuf terkenal seperti Plato, Aristoteles dikaji lagi untuk

melihat pola pikir penulisnya dan konteks historis waktu tulisan

itu dibuat, mencari kebenaran kemanusiaan (human truth) dan

bukan kebenaran ketuhanan (God truth). Kebenaran memiliki

lebih dari satu perspektif.

Masa Renaisans disebut sebagai masa awal gerakan hu-

manisme, diwakili oleh Renaisans Italia selatan dan Renaisans

Jerman di utara. Humanisme Renaisans Italia bercita-cita

membebaskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama

dan feodalisme. Pemikiran tersebut menekankan pemekaran

dan penyempurnaan kemanusiaan melalui studi kesusastraan

Yunani dan Romawi Klasik, menekankan dimensi sekular dari

pengalaman manusia, namun tidak menampilkan diri sebagai

kekuatan transformasi dan reformasi sosial. Dalam semua

gerakan humanisme Renaisans, pendidikan diarahkan untuk

menghasilkan pribadi-pribadi dengan kemanusiaan yang utuh

dan berjiwa merdeka, meskipun pada awalnya masih bercorak

elitis terbatas pada kaum bangsawan. Humanisme Renaisans

merupakan gerakan revolusioner menentang dominasi kris-

tianitas Periode Pertengahan. Gerakan ini menentang otoritas

gereja dan pembatasan-pembatasan agama terhadap pengeta-

huan (Lamont, 1997; Schwartz, 1970).

Humanisme Renaisans kemudian berkembang ke hu-

manisme Pencerahan. Gerakan itu, menurut Sugiharto (2008)

Page 12: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

28

muncul di Eropa sekitar abad ke-17 sampai abad ke-18,

melawan doktrin agama yang memandang bahwa manusia

menurut kodratnya adalah jahat atau pendosa. Humanisme

Pencerahan menekankan kebaikan manusia yang bersifat

kodrati (man’s natural goodness) serta mengutamakan reformasi

sosial melalui gerak dan pandangan ke depan. Kaum humanis

Pencerahan berkeyakinan bahwa jika pikiran manusia diberi

kebebasan melalui pendidikan yang bersifat natural-alamiah,

maka manusia akan mampu mengikuti dorongan-dorongan baik

yang melekat di dalam kodratnya, yaitu menjalani kehidupan

yang baik serta membangun pranata-pranata sosial yang adil.

Oleh sebab itu, manusia tidak boleh selalu menoleh ke belakang

pada yang disebut sebagai ancient classical utopias, melainkan

harus menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia

modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa

dihapuskan.

Pada masa Pencerahan, selain humanisme sekuler, mun-

cul pula gerakan humanisme religius, yang berasal dari ethical culture, unitarianisme, dan universalisme (Lamont, 1997:24;

Murchland (1967:86). Humanisme Religius mendorong manusia

mengungkap isi dunia dan tidak hanya menggantungkan segala

sesuatu pada kekuatan supranatural. Bagi seorang humanis

religius, pemaknaan tidak datang dari luar diri manusia

melainkan harus muncul dari pengalaman manusia itu sendiri,

sejarah, dan alam (Hoertdoerfer, 1998).

Humanisme Religius sesungguhnya merupakan “keyakin-

an dalam tindakan” (faith in action). Dalam esai The Faith of a Humanist, Kenneth Phifer menyatakan: “Humanisme menga-

jarkan kepada kita bahwa tidaklah bermoral mengharapkan

Tuhan untuk berkarya atas diri kita. Kita harus bertindak untuk

menghentikan peperangan dan kejahatan serta brutalitas di

abad ini dan abad yang akan datang. Kita memiliki kekuatan

Page 13: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

29

untuk melakukan sesuatu. Kita memiliki kebebasan dalam

menentukan tindakan kita sendiri” (Edwards, 1989).

Humanisme religius sering disejajarkan dengan pengerti-

an humanisme yang baik, adapun humanisme sekular sebagai

humanisme yang buruk. Penolakan terhadap humanisme

sekular masih diperkuat fakta yang tidak dapat dimungkiri,

yaitu bahwa di Eropa humanisme yang cenderung antipendeta

kadang-kadang digunakan oleh orang-orang yang memiliki

sentimen anti-Kristen, khususnya Kristen Katolik (Abu Hatsin,

2007:209).

Gerakan humanisme Pencerahan mendorong pemahaman

bahwa akal budi identik dengan kemanusiaan, yang membe-

dakan manusia dari makhluk-makhluk hidup yang lain. Akal

budi mendasari bahasa, kebebasan, dan kreativitas; termasuk

dalam pengembangan pengetahuan, kesenian, aktualisasi moral.

Akal budi merupakan pusat kehidupan personal manusia dan

relasinya dalam suatu komunitas. Penekanan umum humanisme

Pencerahan terletak pada pikiran, kebebasan, dan kodrat

manusia yang universal (Tillich, 1957:75; Sudiarja, 2006).

Salah seorang filsuf Masa Pencerahan, David Hume,

prihatin terhadap metafisika tradisional yang sangat kabur dan

tidak pasti. Metafisika juga tercampur dogma-dogma Katolik,

jargon-jargon politis dan takhayul-takhayul. Oleh karena itu

Hume berusaha melakukan sekularisasi, dengan membersihkan

filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisika, menyerang

pemikiran-pemikiran religius (Hardiman, 2004; Hume, 2003,

2006).

Gerakan humanisme Modern berkembang sejalan dengan

ciri-ciri modernitas, yaitu: subjektivitas, kritik, dan kemajuan

(Hardiman 2004:2).

Page 14: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

30

Ciri subjektivitas mengungkapkan, bahwa manusia me-

nyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas

yang menjadi ukuran segala sesuatu. Modernisasi mendorong

manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. Setiap

manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Kemanusiaan

secara urgen memerlukan reformasi sosial dan ekologis, namun

juga memerlukan pembaruan spiritual. Setiap manusia, tanpa

melihat perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan

fisik atau mental, bahasa, agama, pandangan politik, latar

belakang sosial atau nasional, memiliki martabat yang asasi dan

tidak dapat diganggu gugat, sesuai dengan etos Etik Global

(Jacob Burckhardt dan Ludwig Geiger, 1904; Hans Kung dan

Karl-Josef Kuschel, 1999:16-20).

Kesadaran manusia sebagai subjek, misalnya tercermin

dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) yang meragukan

segala sesuatu. Ia meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern

dengan observasi dan percobaan. Dalam Discourse on the Method of Reasoning Descartes berpendapat, sesuatu yang

paling pasti dan benar adalah batin manusia atau kesadaran. Ia

membagi jiwa dan badan, spiritual dan fisik, yang kemudian

dikenal sebagai “dualisme Cartesian” atau “dualisme Cartesius”

(nama Latin Descartes: Cartesius). Pandangan itu memunculkan

perasaan skeptik, bahwa segala sesuatu harus diragukan dan

perasaan rasional. Lahirlah kemudian analisis logis dan metode

ilmiah.

Ungkapan Descartes yang terkenal adalah cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).

“Accordingly, the knowledge, I think, therefore I am, is the first and most certain that occurs to one who philosophizes orderly…. That all the most extravagant suppositions of the sceptics were unable to shake it…,” kata Descartes (Descartes, 1901:47; Mee, 2004:155).

Page 15: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

31

Pernyataan Descartes tersebut dipertahankan oleh

gerakan humanisme Modern, bahwa manusia dapat mengetahui

kenyataan dengan pikirannya sendiri. Manusia diposisikan se-

bagai subjek sejarah, seperti ditegaskan oleh Karl Marx, bahwa

manusia menyadari eksistensinya sebagai manusia dengan

segala kreativitasnya (Robert Tucker, 1978; Fromm, 2004).

Ciri kedua, yaitu kritik, didasarkan pada pemahaman

bahwa pikiran tidak hanya menjadi sumber pengetahuan,

melainkan juga kemampuan praktis untuk membebaskan

individu dari wewenang tradisi atau menghancurkan

prasangka-prasangka menyesatkan. Kritik dipandang sebagai

keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau

otoritas (“terbangun dari tidur dogmatis”).

Subjektivitas dan kritik kemudian mendorong keyakinan

tentang kemajuan (progress). Manusia menyadari bahwa waktu

adalah rangkaian peristiwa yang mengarah pada sasaran yang

dituju oleh subjektivitas dan kritik. Manusia adalah makhluk

yang paling sempurna dalam segalanya, bukan hanya dalam

bentuknya yang indah, namun juga dalam akalnya yang cerdas

mengagumkan. Dari akal, manusia dapat berbicara, meng-

analisis, dan berpikir secara luas, termasuk di dalamnya adalah

kemampuan akal berpikir secara kognitif (Kant, 1989:2004).

Gerakan humanisme Modern memuncak pada abad ke-18.

Di masa itu berkembang pemikiran-pemikiran yang berpusat

pada manusia sebagai subjek, pikiran sebagai kemampuan kritis,

dan sejarah sebagai kemajuan. Gerakan tersebut mengembali-

kan posisi manusia sebagai subjek kehidupan (Indratno, 2009),

dengan ciri pokok, bahwa:

1. Eksistensi diri manusia bersifat stabil dan tersatukan;

Page 16: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

32

2. Rasio manusia seperti teraktualisasi dalam ilmu,

mampu memberikan suatu dasar pengetahuan yang

bersifat objektif, dapat diandalkan, dan universal;

3. Pengetahuan yang diperoleh dari penggunaan rasio

secara benar akan menghasilkan kebenaran;

4. Rasio memiliki kualitas transendental dan universal;

5. Penggunaan rasio secara benar akan menjamin

otonomi dan kebebasan;

6. Rasio dapat membedakan pengetahuan yang benar

dari kekuasaan;

7. Ilmu adalah paradigma semua pengetahuan sejati;

8. Bahasa merepresentasikan realitas.

Kaum humanisme modern adalah murid ilmu penge-

tahuan, yang mengharapkan dunia yang kuat dan baru, serta

menggunakan teknologi dan matematika dalam desain mereka.

Masih ada kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi

karena dunia dilanda penemuan baru, yaitu telepon, radio,

penerbangan komersial, penerangan listrik dan alat-alat rumah

tangga (O’Donnell, 2009:14).

Meskipun ada kerancuan tentang makna humanisme

dikaitkan dengan gerakan humanisme Modern, menurut

Hoertdoerfer (1998), ide-ide dasarnya dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Humanisme merupakan bagian dari pandangan

orang-orang yang berpikir tentang dirinya sendiri.

Tidak ada rasa takut bagi seorang humanis dalam

menghadapi tantangan dan eksplorasi;

2. Humanisme menitikberatkan pada makna kemanu-

siaan untuk memahami realitas;

Page 17: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

33

3. Humanisme adalah filosofi tentang rasio dan ilmu

pengetahuan;

4. Humanisme adalah filosofi imajinasi, mengakui bah-

wa intuisi, prasangka, spekulasi, inspirasi, emosi,

pernyataan di luar kesadaran, dan bahkan peng-

alaman religius, kalau tidak valid secara ilmu

pengetahuan, hanya menjadi sumber gagasan;

5. Humanisme adalah filosofi tentang kedisinian dan

kekinian, memandang nilai-nilai kemanusiaan se-

bagai masuk akal hanya dalam konteks kehidupan

manusia, bukan kehidupan setelah kematian;

6. Humanisme adalah filosofi perasaan. Etika humanis

berkaitan dengan pertemuan kebutuhan manusia

dan penyelesaian masalah kemanusiaan – baik secara

individual maupun sosial – dan mengabaikan kaitan-

nya dengan entitas teologis;

7. Humanisme merupakan filosofi realistik, mengakui

adanya dilema antara moral dan kebutuhan dalam

pertimbangan-pertimbangan sebagai konsekuensi

pengambilan keputusan moral;

8. Humanisme berada dalam irama keilmuan, meng-

akui bahwa kita hidup di dunia nyata dan tumbuh

berkembang di planet ini dalam waktu yang pan-

jang;

9. Humanisme seirama dengan pencerahan pikir, se-

pakat dengan kebebasan sipil, hak-hak asasi ma-

nusia, pemisahan institusi agama dan negara,

pengembangan partisipasi demokrasi untuk me-

nangani masalah sosial;

10. Humanisme sejalan dengan perkembangan tekno-

logi;

11. Humanisme merupakan pandangan tentang cinta

dan kehidupan.

Page 18: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

34

Ditinjau dari sisi historis, maka Periode Modern merupa-

kan era awal humanisme yang melepaskan diri dari ketuhanan.

Pengertian itu kemudian melahirkan pemahaman, bahwa hu-

manisme memosisikan manusia sebagai subjek dan tidak lagi

mengakui kekuatan metafisika maupun keberadaan Tuhan.

Gerakan humanisme itu mendewakan dan mensakralkan rasio-

nalitas dan individu. Sebagai akibatnya, gerakan humanisme

justru mengakibatkan penyeragaman (uniformitas) dan ketidak-

manusiaan manusia (inhumanitas).

Gerakan humanisme Modern yang menguniversalkan dan

menyeragamkan manusia, kebudayaan, dan masyarakat, me-

munculkan ketidakpuasan kaum humanis. Mereka menilai cara

pandang tersebut tidak melahirkan kebaikan bersama seperti

yang dicita-citakan, melainkan justru melahirkan ketidakadilan

dan penderitaan banyak orang. Modernisme dinilai gagal me-

nyadari pengaruh ideologi, kepentingan, dorongan tak sadar,

gramatika dalam pikiran dan kehendak manusia, yang tentu saja

dapat bercorak sangat lokal.

Gerakan Humanisme Postmodern

Humanisme Postmodern lahir dari ketidakpuasan kaum

humanis sendiri terhadap kegagalan gerakan humanisme

Modern. Ketidakpuasan itu antara lain terungkap dari analisis-

analisis Jurgen Habermas (2006, 2007) dari tahun 1960-an

sampai 1980-an yang memperlihatkan modernisasi hanya

menjadi proyek normatif di negara-negara sedang berkembang

dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Pada paroh

pertama abad ke-20, beberapa pemikir Barat sangsi terhadap

Modernisme. Martin Heidegger, Horkheimer, dan Adorno

berusaha memperlihatkan bahwa modernisasi bukan sekadar

perjalanan yang terseok-seok, melainkan juga perjalanan ke

Page 19: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

35

disintegrasi total, malapetaka sejarah umat manusia (Hardiman,

2003:150; Heidegger, 1970).

Kejenuhan rasional atau akal budi pada era modernisme

merupakan latar belakang kelahiran Postmodernisme. Pada era

Postmodern terjadi pertentangan antara alam dan budaya, fakta

dan nilai, ideal dan realistis. Dalam kejenuhan rasional, para-

digma antropologis menjadi alternatif yang terbaik. Filsafat

humanisme menjadi kebutuhan dan tata nilai baru. Rasionalis-

me, empirisme, proyek-proyek emansipasi harus diperjuangkan

secara universal. Dalam konteks ini, kebudayaan manusia

berperan lebih dominan. Nilai-nilai budaya menjadi perhatian

gerakan humanisme Postmodern.

Dilihat dari sisi gerakan intelektual, humanisme Post-

modern merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari hu-

manisme Modern. Pemahaman terhadap nilai-nilai kema-

nusiaan yang ada pada era Modern diteruskan, tetapi dengan

melakukan kritik terhadap humanisme Modern, sehingga me-

lahirkan pemahaman baru. Dalam beberapa aspek, gerakan

humanisme Postmodern sebagai pengingkaran terhadap nilai-

nilai yang dipegang teguh pada era Modern.

Pengingkaran tersebut misalnya dilakukan terhadap

keabsolutan yang dipercayai pada Periode Modern, yaitu jika

sesuatu itu benar maka ia benar di mana saja, tak dipengaruhi

oleh tempat, waktu dan budaya. Para humanis Postmodern

menolak kemutlakan itu, dengan meyakini bahwa kebenaran

adalah relatif, terletak di mata si pengamat. Kebenaran dicip-

takan oleh subjek yang mengalami.

Wacana Postmodernisme dipelopori oleh Jean-Francois

Lyotard. Dia menjelaskan dasar-dasar teoretis serta filosofis

Postmodernisme. Ia mendefinisikan Postmodernisme sebagai

ketidakpercayaan terhadap narasi besar (metanarasi) modern-

Page 20: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

36

isme. Dua narasi besar itu berpengaruh dan dipakai untuk

melegitimasi ilmu pengetahuan pada era Modern. Ia me-

ninggalkan usaha klasik filsafat Barat untuk menyusun

penjelasan menyeluruh dan kebenaran abadi. Manusia hanya

memiliki pemahaman parsial. Lyotard menegaskan, bahwa

proyek modernitas telah gagal membebaskan manusia dari

belenggu dogmatisme (O’Donnell, 2009:27; Davies, 1997:22;

Munir, 2008:135, Bryan S. Turner (2006:45).

Dua metanarasi tersebut adalah emansipasi subjek (lebih

bersifat politis) dan dialektika roh (lebih bersifat filosofis-

spekulatif). Emansipasi subjek merupakan narasi yang menga-

takan bahwa pengetahuan datang bagi subjek manusia yang

berupaya menemukan kebebasan. Adapun dialektika roh meru-

pakan narasi yang menganggap bahwa pengetahuan ada demi

pengetahuan itu sendiri (ciri khas idealisme Jerman).

Lyotard memperlihatkan bahwa dua narasi besar itu mulai

kehilangan legitimasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan

karena kemajuan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Itulah

sebabnya, narasi emansipasi subjek dan dialektika roh mulai

kehilangan kredibilitas. Dalam era Postmodern, ketika problem

pengetahuan dianggap makin meningkat dan kompleks, makin

jauh pula kemungkinan adanya penjelasan tunggal tentang ilmu

pengetahuan. Status ilmu pengetahuan dalam masyarakat

Modern telah berubah dan merupakan problem serius terhadap

legitimasi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menurut Lyotard, dalam era Postmodern ilmu pengeta-

huan telah mengalami pergeseran, dari cita-cita ideal ke suatu

bentuk pragmatisme. Telah terjadi delegitimasi ilmu pengeta-

huan ilmiah, yang berimplikasi pada ketidakpercayaan terhadap

narasi besar Modernisme. Narasi-narasi besar modern sudah

Page 21: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

37

runtuh dan ia menawarkan alternatif berupa paralogi, yaitu

pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas.

Diskusi-diskusi Postmodernisme masuk ke dalam aspek-

aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para

Postmodernis menentang bukan hanya dominasi “aku” yang

seolah-olah bebas dan mampu melepaskan diri dari lingkungan

sosial budayanya, tetapi juga menafikan dominasi sistem sosial,

budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan

jender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manu-

sia. Menurut pandangan humanis Postmodern, telah terjadi

dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam-diam” dalam

semua aspek kehidupan manusia (Abidin, 2006:35).

“Kolonialisasi” itu dilakukan oleh sistem-sistem besar

Modernis yang bersifat tunggal (the one) terhadap sistem-sistem

kecil yang bersifat jamak (the plurals). The one identik dengan

kebudayaan Barat, adapun the plurals identik dengan kebuda-

yaan Timur atau negara-negara sedang berkembang. Kaum

humanis Postmodernisme menentang dominasi nilai-nilai

tersebut.

Melalui proyek dekonstruksi, kaum humanis Postmodern

mencoba menunjukkan betapa rapuh dan lemah the one dan

betapa penting dan berharga the plurals. Kenyataan hidup

bersifat plural (jamak) dan pluralitas itu harus dijunjung tinggi.

The plurals harus diperhatikan, diungkapkan ke permukaan,

karena memiliki nilai yang penting dan tidak dapat diukur oleh

nilai-nilai yang dikandung dalam the one.

Humanisme Postmodern memandang tidak ada lagi batas-

batas antara suku, bangsa, tingkatan sosial, ekonomi, budaya

dan batas-batas yang lain. Dunia menjadi desa global (global village), batas-batas antarnegara menjadi kabur, bahkan dunia

menjadi tanpa batas (the borderless world), liberalisasi in-

Page 22: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

38

formasi dan transparansi komunikasi mengakibatkan manusia di

berbagai belahan bumi dapat saling berhubungan dengan

leluasa.

Munir (2008:131) menyebutkan, secara teoretis, Periode

Postmodern ditandai dengan:

1. Globalisasi: bangsa dan wilayah makin terhubung

satu dengan yang lain, sehingga mengaburkan per-

bedaan antarbangsa dan wilayah maju (negara maju)

dan bangsa dan wilayah terbelakang (negara

berkembang);

2. Lokalitas: kecenderungan global yang berdampak

pada lingkungan lokal yang memungkinkan setiap

orang memahami dinamika lokal dengan mem-

pelajari manifestasi lokal;

3. Akhir dari “akhir sejarah”: Modernitas bukanlah

tahap akhir sejarah, sebagaimana diangan-angankan

oleh Marx yang mengatakan bahwa pada masa post-

industrial segala kebutuhan dasar manusia akan ter-

penuhi dan konflik kelompok dan persaingan

ideologi akan menghilang. Sebaliknya bagi post-

modern, post-industri adalah suatu tahap sejarah

yang terputus dengan garis halus perkembangan

revolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh

pendukung pencerahan dan oleh pendiri teori

sosiologi dan ekonomi borjuis;

4. “Kematian” individu: konsep borjuis tentang su-

bjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas di-

bedakan dari dunia luar tidak lagi masuk akal dalam

kacamata postmodernitas. Kini, diri atau subjek telah

menjadi lahan pertarungan tanpa batas antara

dirinya dan dunia luar;

Page 23: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

39

5. Mode informasi: cara produksi, dalam terminologi

Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan

yang disebut Max Poster mode informasi sebagai

cara masyarakat postmodern mengorganisasi dan

menye-barkan informasi dan hiburan;

6. Simulasi: dunia penuh simulasi. Pandangan ini

dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa realitas tidak

stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep

saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme.

Masyarakat tersimulasi, tertipu dalam citra dan

wacana yang secara cepat dan keras menggantikan

pengalaman manusia atas realitas. Salah satu

kendaraan utama simulasi adalah iklan.

7. Perbedaan dan penundaan dalam bahasa: Derrida

mengatakan bahwa dalam dunia postmodern, bahasa

tidak lagi berada pada hubungan representasional

pasif atas kenyataan, sehingga kata dapat secara jelas

dan jernih menggambarkan realitas dunia. Bahasa

dalam dunia postmodern ditandai dengan pem-

bacaan teks melalui metode dekonstruksi, yaitu

aktivitas kreatif dengan memberikan makna yang

hilang atau ambigu;

8. Polivokalitas: segala hal dapat dikatakan secara ber-

beda dalam berbagai cara yang secara inheren tidak

ada superior ataupun inferior. Karena itu ilmu

memiliki sejumlah “narasi” yang saling melengkapi,

menyaingi, dan mengontraskan. Tidak ada ilmu

yang memiliki status epistemologis yang istimewa

(teori yang satu lebih superior dari teori yang lain);

9. Kematian polaritas analitis, polaritas tradisional

(misalnya kelas proletar/kapitalis, perempuan/laki-

laki, Dunia Ketiga/Dunia Pertama) tidak lagi me-

Page 24: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

40

madai, karena beragamnya pluralitas posisi subjek

manusia;

10. Gerakan sosial baru: terdapat berbagai gerakan akar

rumput bagi perubahan sosial progresif, suatu

gerakan tidak lagi dibatasi oleh warna kulit atau

kebangsaan. Gerakan massa lebih variatif, misalnya

gerakan pembela lingkungan, kaum feminis, gay,

lesbian, dan sebagainya;

11. Kritik atas narasi besar: cerita agung sebagai satu-

satunya penjelasan tentang sejarah dan masyarakat

dikritik dan ditolak. Lyotard lebih menyukai cerita

kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh

manusia sendiri pada level kehidupan dan

perjuangan mereka di tingkat lokal;

12. “Yang lain” (otherness): para teoretisi postmodern

menolak konsep “yang lain” dalam pemikiran mo-

dern, khususnya tentang perempuan dan kulit

berwarna.

Ciri pokok Humanisme Postmodern (Indratno, 2009),

antara lain meyakini bahwa:

1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, me-

lainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan

secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan

rea-litas dan konteks yang baru;

2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi

akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi

secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan

konteks dan tantangan yang terus berubah dan

berkembang;

Page 25: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

41

3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis, ar-

tinya merupakan undangan untuk saling menjadi

makin manusiawi;

4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi

normatif dan faktual dalam realitas kehidupan manu-

sia saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan;

5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua

corak politik, yaitu politik emansipatorik yang ber-

tujuan mengurangi atau bahkan menghapus eksploi-

tasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta politik

kehidupan yang mengedepankan aktualisasi diri serta

kepedulian moral dan eksistensial yang telah di-

pinggirkan oleh humanisme Modern.

Kredo Posmodern, menurut Kevil O’Donnell (2009:152),

sebagai berikut:

1. Terbukalah: terbuka terhadap kehidupan, terbuka

terhadap ide, terbuka terhadap cinta;

2. Terbuka terhadap panggilan dan kehadiran yang

lain: Anda tidak sendirian, terkurung sel penjara

yang hidup. Anda membuka batas-batas Anda ter-

hadap orang lain. Kita menemukan diri kita sendiri

dengan memberi sesuatu kepada yang lain. Inilah

kebebasan sejati;

3. Hargailah anugerah: Kehidupan yang mengalir

melalui Anda, dan yang di dalamnya Anda mengalir

adalah anugerah. Bersyukurlah untuk apa yang

diberikan kepadamu. Dunia ini bukan surga bagi

konsumen, pusat belanja yang hijau dan biru, yang

dapat kita perlakukan dan jarah semau kita.

Kehidupan lebih dari komoditas;

Page 26: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

42

4. Toleran terhadap orang lain dan pandangan mereka:

bebaslah untuk tidak setuju, tetapi berilah selalu

tempat kepada mereka. Cegahlah sistem doktriner

dan totalitarian, yang mencederai manusia. Itu tidak

berarti bahwa Anda tidak dapat berpegang pada

pandangan yang kuat, prinsip, dan ide yang dalam.

Lakukan hal ini dengan segala cara. Rasakan mereka

dengan hati, namun berikan juga tempat kepada

orang lain;

5. Apa yang menurut pikiran kita ada, mungkin tidak

selalu benar: jangan pernah berpikir semua tidak

mungkin. Anda tidak memiliki dan tidak dapat me-

miliki semua jawaban. Jangan mencoba menangkap

alam semesta dengan pikiran Anda. Selalu ada yang

lain;

6. Jangan takut akan hal-hal besar: Apabila ditantang

dan diterjang ”sistem besar,” keluarkan alat dekons-

truksi Anda, dan lihatlah yang besar itu berantakan.

Akuilah pengaruh kultural, permainan kekuasaan.

Temukan ketergelinciran;

7. Cinta itu ada: Jangan ragukan itu. Kita berjalan di

atasnya. Ia membentuk jiwa. Cinta itu lebih dulu

ada daripada bahasa dan semua sistem kepercayaan;

8. Rasakan misteri berembus ke wajahmu: Terbukalah

pada sesuatu yang tidak diketahui. Ada hal yang

tidak dapat kita ungkapkan secara adekuat. Bebaslah

untuk menyebutnya ”Allah” kalau Anda mau. Anda

dapat percaya kalau mau. Kehidupan lebih besar

dari diri kita;

9. Kehidupan bukannya bebas untuk semuanya secara

acak: Sesuatu yang kita lakukan terhadap yang lain

berkaitan dengan mereka dan kita. Bunuhlah sese-

orang dan Anda membunuh diri Anda sendiri, di

Page 27: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

43

dalam. Kita semua saling berhubungan. Eksistensi

bersifat memasyarakat, menghargai yang lain, anu-

gerah, melibatkan etika;

10. Pandanglah ke dalam jiwamu, tempat rahasiamu:

Rasakanlah chora di dalam, misteri yang dalam dan

kelam, penuh dorongan dan permainan. Kenalilah

diri Anda sendiri. Carilah terang, sambungkan!

Dari uraian tentang gerakan humanisme Modern dan

humanisme Postmodern, maka dapat disimpulkan, bahwa dua

gerakan tersebut melepaskan diri dari masalah ketuhanan

(teologi). Ateisme benar-benar menjadi agenda pada awal abad

ke-19. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan

semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong

sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

Inilah periode ketika Ludwid Feuerbach, Karl Marx, Charles

Darwin, Friederich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun

tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan

tempat untuk Tuhan. “Manusia bersifat manusiawi benar-benar

hanya sejauh dia merdeka, dan dia merdeka hanya kalau dia

menjadi ateis.” Itulah dogma sentral bagi kaum ateis (seperti

juga bagi Marxisme); mengingkari Allah untuk membela

martabat manusia (Armstrong, 2007:446; Leahy, 1985:58).

Ciri-ciri yang menonjol pada gerakan humanisme Modern

dan Postmodern adalah tidak mengakui adanya Tuhan (ateis)

atau tidak peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak ada (nonteis),

meskipun mereka memiliki cara pandang sendiri tentang

agama. Segala sesuatu harus berdasarkan pada pengalaman dan

realita, isu ketuhanan tidak lagi banyak bermakna (Huxley,

1961:187; Murray, 1970:119). Hal itu antara lain nampak pada

perkembangan humanisme di Amerika Serikat, sejak Manifesto

Page 28: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

44

Humanis I tahun 1933 yang kemudian dilanjutkan Manifesto

Humanis II 1973 (lihat lampiran 8 dan 9).

Globalisasi: ”Anak Kandung” Humanisme Barat

Globalisasi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

humanisme Barat sebagai gerakan intelektual. Pemikiran kaum

humanis, mulai dari Periode Klasik – bahkan sejak zaman

Yunani kuna – sampai Postmodern memengaruhi cara pandang

manusia terhadap eksistensi kemanusiaan. Cara pandang itu

kemudian bermuara pada pemikiran kaum humanis Postmo-

dern, yang menitikberatkan pada pluralitas dan lokalitas; dua

hal yang menjadi ciri globalisasi.

Globalisasi yang dikenal saat ini tidak lain adalah

globalisasi yang berkembang pada Periode Postmodern. Oleh

Friedman (2006), globalisasi itu disebut sebagai globalisasi 3.0.

Tahap ini menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat

kecil, sekaligus mendatarkan “lapangan permainan”. Motor

penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan

untuk bekerja sama dan bersaing secara individual dalam

kancah global.

Tahap ini ditandai kemajuan pesat teknologi digital dan

serat optik, yang memungkinkan individu-individu dalam wak-

tu singkat mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia

dengan mudah. Individu-individu di seluruh dunia dapat

bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari mana pun,

sejauh apa pun jarak antara mereka.

Orang-orang di seluruh dunia, menurut Friedman, mulai

sadar bahwa mereka memiliki kekuatan lebih dari sebelumnya

untuk menjadi global sebagai seorang individu. Mereka bukan

hanya mampu secara individual bersaing, melainkan juga

Page 29: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

45

bekerja sama dengan individu-individu yang lain. Pertanyaan

yang muncul pada era ini adalah: di mana posisi dan peluang

seseorang dalam persaingan global dan bagaimana secara pribadi

bekerja sama secara global pula? Faktor manusia makin penting

di dalam Globalisasi 3.0. Individu-individu makin berperan

dalam perubahan dunia. Mereka makin menyadari bahwa

perubahan dan nasib dunia berada di tangan manusia, bahwa

nasib manusia tidak akan berubah kalau bukan manusia itu

sendiri yang mengubahnya.3

Gerakan globalisasi memang sudah ada sejak sebelum

Periode Postmodern, seperti dinyatakan oleh Friedman sebagai

Globalisasi 1.0 dan Globalisasi 2.0, namun belum secara penuh

“menyatukan” manusia secara global. Baru pada era Postmodern

relasi antarmanusia benar-benar tanpa batas, yang oleh pakar

sosiologi Jepang, Kenichi Ohmae (1991) diungkapkan, bahwa

saat ini tidak ada lagi batas-batas antarnegara, karena dunia

sudah tanpa batas (the borderless world). Dunia sudah menjadi

desa global (global village).

Globalisasi menemukan bentuk yang nyaris sempurna

setelah kekuatan sosialisme-komunisme runtuh. Dua penanda

keruntuhan itu adalah ambruknya Tembok Berlin 9 November

1989 (yang menyatukan kembali Jerman Barat dan Jerman

Timur) dan pecahnya Uni Soviet dua tahun kemudian. Kalau

sebelumnya laju globalisasi terhambat oleh sosialisme-komunis-

3 Friedman menyebutkan, Globalisasi 1.0 berlangsung sejak tahun 1492,

ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, sampai sekitar tahun 1800. Pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah kegigihan, ke-kuatan otot, kekuatan tenaga kuda, tenaga angin, dan tenaga uap yang dimiliki suatu negara, serta seberapa besar kreativitas untuk memanfaatkannya. Glo-balisasi 2.0: dari sekitar tahun 1800 sampai tahun 2000. Pelaku utama perubahan atau kekuatan pendorong penyatuan global adalah perusahaan-perusahaan multinasional, kekuatan adalah terobosan di bidang perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api sampai telepon dan komputer.

Page 30: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

46

me, maka sejak saat itu laju globalisasi tidak terbendung. Nilai-

nilai kapitalisme Barat tidak lagi mendapat hambatan berarti,

sehingga sangat leluasa memasuki ruang-ruang kehidupan di

negara mana pun. Nilai-nilai Barat kemudian berinteraksi

dengan nilai-nilai budaya yang sebelumnya sudah mengakar

dan berkembang di masyarakat suatu negara.

Interaksi tersebut tidak jarang menimbulkan konfrontasi

antara budaya Barat dan budaya lokal. Bagi masyarakat yang

memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi

adalah proses akulturasi; budaya Barat lambat laun diterima dan

diolah ke dalam budaya lokal tanpa menyebabkan hilangnya

unsur budaya lokal. Sebaliknya bagi masyarakat yang tidak

memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi

adalah hilangnya unsur-unsur budaya lokal tersebut digeser

oleh unsur-unsur budaya Barat. Itulah sebabnya, globalisasi se-

ring pula disebut sebagai penetrasi budaya Barat yang

menghilangkan budaya lokal.

Globalisasi dituduh sebagai proses untuk menghilangkan

nilai-nilai local, digambarkan seperti pedang bermata dua. Di

satu sisi sebagai pembawa perangkat teknologi dan nilai-nilai, di

sisi lain merupakan penetrasi budaya yang justru meng-

hancurkan nilai-nilai budaya lokal. Budaya lokal itu oleh Barat

sering dianggap sebagai bukan budaya. (Goulet, 1989; Saiful Arif

2000:13).

Sebagai salah satu budaya lokal, budaya Jawa pun tidak

terhindar dari konfrontasi dengan budaya Barat yang dibawa

oleh arus global (diuraikan lebih lanjut di Bab Tiga).

Globalisasi yang melaju bak air bah yang tidak terben-

dung, kemudian menimbulkan reaksi di berbagai masyarakat,

seperti diungkapkan oleh John Naisbitt (1995). Beriringan

dengan proses globalisasi muncul proses primordialisasi yang

Page 31: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

47

memperkuat kembali sentimen-sentimen kedaerahan, kesu-

kuan, agama, dan golongan. Terjadi paradoks-paradoks dalam

kehidupan manusia. Termasuk di dalam global paradoks adalah

kemunculan gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan,

yang merupakan resistensi terhadap globalisasi.

Globalisasi diwarnai optimisme Barat untuk mengekspor

ideologi nasionalisme dan humanisme sekuler. Gerakan itu

kemudian menimbulkan sentimen anti-Barat, baik dalam

bidang ideologi maupun agama. (Jurgensmeyer, 1993; Hidayat

dan Nafis, 1995:102).

Sentimen anti-Barat itu terutama muncul di negara-

negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Dengan

demikian, setelah kehancuran Uni Soviet dan runtuhnya tem-

bok Berlin, maka kekuatan yang menghadang Barat adalah

dunia Islam. Samuel Huntington (2003) kemudian mengung-

kapkan tesis benturan antarperadaban, yang menyebutkan

bahwa konflik pasca-Perang Dingin adalah konflik antara Islam

dan Barat. Tesis benturan antarperadaban menekankan bahwa

konflik masa depan adalah konflik budaya.4

4 Huntington mendasarkan tesisnya pada enam argumentasi, yaitu: (1)

Perbedaan di antara peradaban selain nyata juga sangat mendasar. Peradaban dibedakan oleh faktor sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan – ini sangat penting – agama; (2) Dunia menjadi makin kecil. Interaksi pun meningkat antar-manusia dari peradaban yang berbeda. Hal ini mendorong meningkatnya kesadaran peradaban (civilization consciousness) serta kesadaran tentang perbedaan antara peradaban-peradaban dan komunalitas di dalam peradaban; (3) Proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di dunia makin memisahkan manusia dari identitas lokal. Proses itu juga melemahkan negara-bangsa (nation-state) sebagai sumber identitas. Di banyak negara, agama kemudian mengisi kesenjangan itu; sering muncul dalam gerakan-gerakan yang kemudian diberi label “fundamentalis;” (4) Peningkatan kesadaran peradaban diperbesar oleh “peran ganda” pihak Barat. Di satu sisi Barat adalah puncak kekuatan, tapi pada saat bersamaan muncul fenomena kebangkitan peradaban-peradaban di pihak non-Barat. “Asianization” di Jepang, berakhirnya warisan Nehru dan “Hinduization” India, kegagalan ide-ide Barat mengenai sosialisme dan nasionalisme, serta “re-Islamization” di Timur Tengah, dan perdebatan Westernisasi versus Rusianisasi di Rusia.

Page 32: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

48

Perkembangan globalisasi memperkuat gerakan-gerakan

ideologi transnasional. Secara teoretik, gerakan ini merupakan

gerakan politik yang mengatasnamakan agama, apa pun agama

itu, namun pada kenyataannya lebih dikonotasikan sebagai

gerakan politik dari Timur Tengah yang masuk Indonesia

mengatasnamakan Islam.

Tenhtang gerakan ideologi transnasional tersebut,

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengeluarkan seruan

(NU Online, 8 Mei 2007, 20:00), sebagai berikut:

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta ketegasan pemerintah terhadap maraknya ideologi transnasional (antar-negara) yang masuk ke Indonesia. Ideologi yang dibawa oleh kelompok dari gerakan politik dunia harus di-Indonesia-kan atau disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi, tradisi dan budaya setempat.

Setiap gerakan politik, apa pun bentuknya dan dari mana pun datangnya, harus berasaskan Pancasila. Gerakan-gerakan politik dunia itu tidak menutup ke-mungkinan telah disusupi kepentingan-kepen-tingan yang tidak sesuai dengan budaya dan tradisi di Indonesia.

Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Muja-hidin, Al-Qaeda dan sebagainya adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan. Gerakan seperti itu muncul dari situasi politik di negara asalnya, tidak hanya pada Islam, di agama lain pun ada.

Dewesternization dan indigenization terjadi di kalangan kaum elite di negara-negara non-Barat, sementara itu budaya, gaya dan kebiasaan Barat, terutama Amerika, lebih populer di kalangan masyarakat awam; (5) karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah berubah, sehingga lebih tidak kompromistik dan sulit ditangani daripada masalah politik dan ekonomi; (6) regionalisme ekonomi meningkat. Pentingnya blok-blok ekonomi regional akan meningkat di masa mendatang. Di satu sisi keberhasilan regionalisme ekonomi akan memperkuat kesadaran peradaban, di lain sisi regionalisme ekonomi akan berhasil kalau dilandasi oleh peradaban umum (common civilization).

Page 33: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

49

Pancasila sebagai ideologi terbuka, bisa menjadi solusi untuk mencegah semakin menyebarnya ideo-logi asing tersebut. Pancasila sangat memungkin-kan untuk menampung berbagai perbedaan agama dan golongan.

Jika pemerintah tidak segera mengambil sikap tegas terhadap gerakan politik internasional tersebut, lanjut Hasyim, bukan tidak mungkin akan terjadi ‘benturan-benturan’ kepentingan dan ideologi yang bisa berakibat konflik.

Dalam konteks pemikiran tersebut, maka gerakan ideologi

transnasional dipahami sebagai respons terhadap globalisasi

yang membawa nilai-nilai kapitalisme Barat, meskipun se-

sungguhnya semua ideologi bersifat transnasional, lintas negara.

Sebenarnya gerakan ideologi transnasional juga merupakan

bagian dari proses globalisasi, hanya berbeda pada nilai-nilai

yang direpresentasikan. Globalisasi merepresentasikan ka-

pitalisme Barat, adapun gerakan ideologi transnasional

merepresentasikan Islam.

Uraian tersebut menunjukkan adanya konfrontasi global-

lokal dan gerakan-gerakan yang menentang globalisasi.

Mansour Fakih (2001:223) mengidentifikasi gerakan tantangan

terhadap globalisasi menjadi tiga, yaitu:

1. Tantangan gerakan kultural dan agama

2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social movement) dan masyarakat sipil global (global civil society)

3. Tantangan gerakan lingkungan.

Inti ketiga gerakan perlawanan dan resistensi tersebut

adalah menolak pembangunanisme dan globalisasi, dengan

argumentasi dasar bahwa kedua hal itu membawa nilai-nilai

kapitalisme dari negara-negara maju ke negara-negara sedang

Page 34: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

50

berkembang. Globalisasi yang kapitalistis dinilai menghilangkan

nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk

membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang.

(Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).

Contoh gerakan kultural adalah kelompok Hindu

Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak

India memboikot barang buatan asing. Begitu pula, gerakan

sosial baru untuk menentang pembangunan dan globalisasi,

misalnya gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat

akar rumput. Adapun gerakan lingkungan banyak dipengaruhi

oleh pikiran Rachel Carson dalam Silent Spring yang

membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh

praktik ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson

mengutuk keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin

meningkatnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang

dunia dan juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya

kenyamanan-kenyamanan nonmateri dalam kehidupan.

Kesimpulan

Secara garis besar, gerakan humanisme dimulai pada

Periode Klasik, ketika mulai muncul pemikiran-pemikiran

tentang manusia, bukan lagi terpusat pada alam. Meskipun

demikian, pemikiran humanisme pada Periode Klasik masih

tersirat mengaitkan masalah kemanusiaan dengan masalah yang

bersifat metafisika, misalnya tercermin dari pemikiran Plato

yang mengakui adanya kehidupan setelah kematian.

Pemikiran tentang manusia tersebut kemudian berlanjut

pada Periode Pertengahan, ketika manusia merasa tertekan

nilai-nilai kemanusiaannya oleh dominasi agama/gereja. Ke-

tertekanan itu mendorong munculnya kerinduan terhadap

pemikiran Periode Klasik yang sudah berpusat pada manusia,

Page 35: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Gerakan Humanisme dan Globalisasi

51

namun karena tekanan agama/gereja sangat kuat, maka gerakan

humanisme periode ini masih mengaitkannya dengan masalah

ketuhanan.

Perkembangan selanjutnya, pada Periode Modern gerakan

humanisme sudah melepaskan diri dari pemikiran ketuhanan.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan, bahwa gerakan humanisme

pada Periode Modern merupakan gerakan yang tidak mengakui

keberadaan Tuhan (ateis) dan gerakan yang tidak peduli ada

atau tidak adanya Tuhan (non-teis).

Gerakan humanisme Periode Modern kemudian

mengarah pada pemikiran-pemikiran tentang penyeragaman,

seolah-olah manusia dapat diperlakukan sama di seluruh dunia.

Penyeragaman dan pendewaan individu itu kemudian melahir-

kan gerakan humanisme Periode Postmodern. Oleh sebab itu,

gerakan humanisme Periode Postmodern ditandai pemikiran

yang menitikberatkan pada pluralitas dan pentingnya pen-

dekatan budaya, yang ditandai dengan globalisasi dan lokalitas.

Sama dengan humanisme Modern, humanisme Postmodern juga

melepaskan diri dari entitas ketuhanan.

Jadi, meskipun banyak ilmuwan yang mengatakan, bahwa

globalisasi sudah terjadi sejak periode Pra-Modern, namun

ditinjau dari gerakan humanisme maka globalisasi yang kita

kenal sekarang ini adalah globalisasi yang muncul pada Periode

Postmodern. Globalisasi merupakan buah dari gerakan hu-

manisme, yang puncaknya terjadi pada Periode Postmodern.

Globalisasi ini kemudian memunculkan konflik lokal-global,

termasuk konflik antara nilai-nilai budaya global dan nilai-nilai

budaya Jawa.

Gerakan humanisme selalu dilandasi oleh cara pandang

manusia terhadap eksistensi manusia dalam relasi dengan

manusia lain, alam, dan Tuhan. Dinamika relasi itu menentukan

Page 36: Bab Dua Gerakan Humanisme dan Globalisasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/3/D_902006011_BAB II.pdf · humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-Jawa Menyiasati

Jawa Menyiasati Globalisasi

52

karakteristik gerakan humanisme dari masa ke masa (lihat

Lampiran 2).

Secara garis besar, gerakan humanisme Barat dapat dibagi

ke dalam dua bagian utama, yaitu: humanisme yang masih

mengaitkan masalah kemanusiaan dengan ketuhanan (Periode

Klasik dan Periode Pertengahan) dan humanisme yang mele-

paskan diri dari masalah ketuhanan (Periode Modern dan

Periode Postmodern).

Perkembangan gerakan humanisme Barat itu kemudian

melahirkan gerakan globalisasi pada Periode Postmodern.

Dalam perkembangan selanjutnya, globalisasi menimbulkan

konfrontasi lokal-global. Globalisasi dituduh sebagai proses

untuk menghilangkan nilai-nilai lokal. Globalisasi digambarkan

seperti pedang bermata dua; di satu sisi sebagai pembawa

perangkat teknologi dan nilai-nilai, di sisi lain merupakan

penetrasi budaya yang justru menghancurkan nilai-nilai budaya

lokal.

Konfrontasi tersebut kemudian memunculkan berbagai

gerakan merespons globalisasi. Muncullah berbagai gerakan

yang menantang atau resisten terhadap globalisasi. Sebagai salah

satu budaya lokal, budaya Jawa pun tidak terhindar dari

konfrontasi dengan budaya Barat yang dibawa oleh arus global.

Sikap manusia Jawa menghadapi globalisasi menjadi menarik

untuk dikaji.