bronkhitis
TRANSCRIPT
BRONKITIS
Pembimbing :
dr. Hj. Nurwita Agustini, Sp.Rad., MH.Kes
Oleh:
AMY HESTIYANI
08310351
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bronkitis adalah sebuah kondisi dimana saluran bronkus mengalami inflamasi.
Saluran ini membawa udara ke paru – paru. Orang yang mengalami bronkitis sering
menderita batuk disertai lendir (mukus). Mukus merupakan cairan pelicin pada
saluran bronkial. Bronkitis juga dapat menyebabkan mengi (sebuah siulan atau suara
melengking ketika bernapas), nyeri dada atau ketidaknyamanan, demam, dan sesak
napas (1).
Klasifikasi bronkitis terdiri dari bronkitis akut dan bronkitis kronik. Karakter
bronkitis akut ditandai dengan adanya batuk dengan atau tanpa produksi sputum yang
berlangsung kurang dari 3 minggu. Bronkitis akut sering terjadi selama masa akut
akibat virus seperti influenza. Virus menyebabkan sekitar 90% kasus bronkitis,
dimana bakteri mencapai sekitar 10% (2; 3).
Bronkitis kronik, salah satunya adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). ditandai dengan adanya batuk selama 3 bulan atau lebih pertahun sekurang-
kurangnya selama 2 tahun. Bronkitis kronik biasanya berkembang karena cedera yang
berulang pada saluran udara yang disebabkan oleh iritasi zat-zat yang dihirup.
Merokok merupakan penyebab paling umum, diikuti dengan paparan polutan udara
seperti sulfur dioksida atau nitrogen dioksida, pajanan iritasi pernapasan individu
yang terpapar asap rokok, iritasi paru-paru kimia, atau immunocompromised yang
memiliki peningkatan resiko mengembankan bronkitis (4).
Bronkitis sangat umum terjadi pada seluruh belahan dunia manapun dan
merupakan 5 alasan teratas penyebab seseorang mencari pengobatan medis di negara-
negara yang memang mengumpulkan data mengenai penyakit ini. Tidak ada
perbedaan ras terhadap kejadian bronkitis ini meskipun lebih sering terjadi pada
populasi dengan status sosioekonomi rendah dan orang-orang yang tinggal di daerah
urban dan industri.
2
Hal mengenai insidensi penyakit terkait jenis kelamin, bronkitis lebih sering
dialami oleh pria dibandingkan wanita. Di Amerika Serikat, hingga dua pertiga pria
dan seperempat wanita mengalami bronkitis yang disertai emfisema hingga
menyebabkan kematian. Meskipun dapat ditemukan hampir pada semua usia,
bronkitis akut lebih sering didiagnosis pada anak-anak berumur kurang dari 5 tahun,
sementara prevalensi bronkitis kronis lebih sering terjadi pada orang tua yang berusia
lebih dari 40 tahun. Sementara itu, data epidemiologi di Indonesia itu sendiri masih
sangat minim(10;12).
Penegakan diagnosis dari bronkitis ini dapat ditegakkan dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi dan
laboratorium. Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang
yang penting dilakukan untuk mendiagnosis penyakit ini, yaitu seperti foto thoraks,
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), bronkoskopi dan pemeriksaan
radiologi lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin meninjau lebih jauh
mengenai gambaran radiologi pada bronkitis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Sistem Respirasi
Pernafasan adalah pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer menuju sel dan
keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel ke udara bebas. Pemakaian O2 dan
pengeluaran CO2 diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel di dalam tubuh;
tetapi sebagian besar sel-sel tubuh kita tidak dapat melakukan pertukaran gas-gas
langsung dengan udara karena sel-sel tersebut letaknya sangat jauh dari tempat
pertukaran gas tersebut. Karena itu, sel-sel tersebut memrlukan struktur tertentu
untuk menukar maupun mengangkut gas-gas tersebut(4).
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah rongga
hidung (cavum nasi), faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan paru-paru.
Saluran nafas ini terbagi atas saluran nafas bagian atas dan bawah. Saluran nafas atas
terdiri dari rongga hidung (cavum nasi) dan faring yang terbagi atas nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Sementara itu saluran nafas bagian bawah terdiri dari
laring, yang merupakan batas saluran nafas atas dan bawah, trakea, bronkus,
bronkiolus, serta alveolus yang berada di paru-paru(24).
Gambar 2.1. Anatomi Saluran Pernafasan
4
Bagian masing-masing dari saluran nafas atas dan bawah ini dijelaskan
sebagai berikut(13):
1) Saluran nafas atas
a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga
terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung
terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choana.
Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan
selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke
dalam rongga hidung.
b. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofaring) pada bagian
depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada bagian belakang.
Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat
terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan
sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran
pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka.
Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan,
5
bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan
gangguan kesehatan.
Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang
keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan,
faring juga menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara
percakapan.
c. Batang Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian
di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis
dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam
rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernapasan.
Batang tenggorok (trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di
dalam rongga dada, batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang
tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru, cabang tenggorok bercabang-
cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut bronkiolus. Ujung
bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut gelembung paru-paru
(alveolus).
d. Pangkal Tenggorokan (laring)
Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan.
Laring berada diantara orofaring dan trakea, didepan laringofaring. Salah
satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis. Epiglotis terletak di ujung
bagian pangkal laring.
Laring diselaputi oleh membrane mukosa yang terdiri dari epitel
berlapis pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-
getaran suara pada laring. Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara
dan juga sebagai tempat keluar masuknya udara.
6
Pangkal tenggorok disusun oleh beberapa tulang rawan yang
membentuk jakun. Pangkal tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal
tenggorok (epiglotis). Pada waktu menelan makanan, katup tersebut
menutup pangkal tenggorok dan pada waktu bernapas katu membuka.
Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara yang akan bergetar bila ada
udara dari paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.
2) Saluran Nafas Bawah
Pemisah saluran nafas atas dan bawah adalah laring yang kemudian
akan menuju trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus yang terdapat di paru-
paru.
a. Trakea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin
tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan
oleh membran fibroelastic menempel pada dinding depan esofagus.
b. Bronkus
Merupakan percabangan trakea kanan dan kiri. Tempat percabangan
ini disebut carina. Bronkus kanan lebih pendek, lebar, dan lebih dekat
dengan trakea dibandingkan dengan bronkus kiri. Bronkus kanan
bercabang menjadi lobus superior, medius, dan inferior sedangkan
bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior.
c. Paru
Merupakan jalinan atau susunan bronkiolus, bronkiolus
terminalis, bronkiolus respiratorius, alveoli, sirkulasi paru, syaraf,
sistem limfatik.
7
Gambar 2.2. Anatomi Saluran Nafas Bawah
(www. innerbody.com)
B. Fisiologi Sistem Pernafasan
Keadaan fisiologi paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses
ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan normal (jantung dan paru tanpa beban kerja
yang berat) menghasilkan tekanan aerosol gas darah arteri ( PaO2 sekitar 96
mmHg dan PaCO2 sekitar 40 mmHg) yang normal. Tekanan parsial ini
diupayakan dipertahankan tanpa memandang kebutuhan oksigen yang berbeda,
yaitu saat tidur kebutuhan oksigen 100 mL/menit dibandingkan dengan saat ada
beban kerja (exercise) 2000-3000 mL/Menit(6).
Respirasi adalah suatau proses pertukaran gas (pengambilan oksigen dan
emilinasi karbondioksida). Pertukaran gas memerlukan empat proses yang
mempunyai ketergantungan satu sama lain(6) :
1. Proses yang berkaitan dengan volume udara napas dan distribusi ventilasi
2. Proses yang berkaitan dengan volume darah di paru dan distribusi aliran
darah
3. Proses yang berkaitan dengan difusi O2 dan CO2
8
4. Proses yang berkaitan dengan regulasi pernafasan.
Gambar 2.3. Fisiologi Pernafasan
(www. virtualmedicalcentre.com)
Secara anatomi sistem respirasi dibagi menjadi bagian atas (nasal
caviti, oral cavity, pharynx, epiglotis, larynx) dan bagian bawah (trachea,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus
terminalis, bronchiolus respiratorius, alveolus).
Terdapat tiga langkah dalam proses oksigenasi yaitu : ventilasi, perfusi,
dan difusi (6; 7).
1) Ventilasi
Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari dan ke paru.
Ventilasi paru mencakup gerakan dasar atau kegiatan bernafas atau
inspirasi dan ekspirasi. Udara yang masuk dan keluar terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara intrapleura dengan tekanan atmosfer, di mana
9
pada saat inspirasi tekanan intrapleural lebih negatif (752 mmHg) dari pada
tekanan atmosfer (760 mmHg) sehingga udara akan masuk ke alveoli.
Hukum Boyle’s :
Jika volume meningkat maka tekanan menurun
Jika volume menurun maka tekanan meningkat
a. Inspirasi yang Bersifat Aktif
Selama inspirasi terjadi kontraksi otot diafragma dan intercosta eksterna, hal
ini akan meningkatkan volume intrathorak sehingga akan menurunkan tekanan
intratorak dan tekanan intrapleural semakin negatif. Hal ini membuat paru
mengembang dan tekanan intrapulmoner menjadi semakin negatif sehingga udara
masuk ke paru-paru.
b. Ekspirasi yang Bersifat Pasif
Selama ekspirasi terjadi relaksasi otot diafragma dan interkosta eksterna, hal
ini akan menurunkan volume intratorak dan meningkatkan tekanan intratorak. Hal
ini menyebabkan tekanan intrapleural semakin positif dan paru-paru mengempis
sehingga tekanan intrapulmonal menjadi makin positif dan udara keluar dari
paru-paru.
ventilasi tergantung pada faktor :
Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas akan
menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke paru.
Adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan.
Adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru-paru
Kemampuan otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosta,
internal interkosta, otot abdominal.
10
2) Perfusi paru
Perfusi paru adalah gerakan darah yang melewati sirkulasi paru untuk
dioksigenasi, di mana pada sirkulasi paru adalah darah deoksigenasi yang
mengalir dalam arteri pulmonaris dari ventrikel kanan jantung. Darah ini
memperfusi paru bagian respirasi dan ikut serta dalam proses pertukaran
oksigen dan karbondioksida di kapiler dan alveolus. Sirkulasi paru
merupakan 8-9% dari curah jantung. Sirkulasi paru bersifat fleksibel dan
dapat mengakodasi variasi volume darah yang besar sehingga dapat
dipergunakan jika sewaktu-waktu terjadi penurunan volume atau tekanan
darah sistemik.
Adekuatnya pertukaran gas dalam paru dipengaruhi oleh keadaan
ventilasi dan perfusi. Pada orang dewasa sehat pada saat istirahat ventilasi
alveolar (volume tidal = V) sekitar 4,0 lt/menit, sedangkan aliran darah
kapiler pulmonal (Q) sekitar 5,0 lt/menit, sehingga rasio ventilasi dan
perfusi adalah :
Alveolar ventilasi (V) = 4,0 lt/mnt = 0,8
Aliran darah kapiler pulmonar(Q) 5,0 lt/mnt
Besarnya rasio ini menunjukkan adanya keseimbangan pertukaran gas.
Misalnya jika ada penurunan ventilasi karena sebab tertentu maka rasio
V/Q akan menurun sehingga darah yang mengalir ke alveolus kurang
mendapatkan oksigen. Demikian halnya dengan jika perfusi kapiler
terganggu sedangkan ventilasinya adekuat maka terjadi penigkatan V/Q
sehingga daya angkut oksigen juga akan rendah.
3) Difusi
Difusi adalah pergerakan molekul dari area dengan konsentrasi tinggi
ke area konsentrasi rendah. Oksigen terus menerus berdifusi dari udara
dalam alveoli ke dalam aliran darah dan karbondioksida (CO2) terus
11
berdifusi dari darah ke dalam alveoli. Difusi udara respirasi terjadi antara
alveolus dengan membran kapiler. Perbedaan tekanan pada area membran
respirasi akan mempengaruhi proses difusi. Misalnya pada tekanan parsial
(P) O2 di alveoli sekitar 100 mmHg sedangkan tekanan parsial pada kapiler
pulmonal 60 mmHg sehingga oksigen akan berdifusi masuk dalam darah.
Berbeda halnya dengan CO2 dengan PCO2 dalam kapiler 45 mmHg
sedangkan alveoli 40 mmHg maka CO2 akan berdifusi keluar alveoli.
C. Definisi Bronkitis
Bronkitis adalah penyakit respiratorius di mana membran mukosa pada jalur
bronkus di paru-paru mengalami inflamasi. Karena mukosa bronkus tersebut
membengkak (edema) dan menebal sehingga akan mempersempit saluran nafas
yang menuju paru-paru. Hal ini dilihat dari gejala batuk yang diikuti pengeluaran
dahak dan dapat juga disertai keluahn lainnya seperti sesak nafas. Bentuk dari
penyakit ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu bronkitis akut (berlangsung kurang dari 3
minggu) dan bronkitis kronik yang frekuensinya hilang timbul selama periode
lebih dari 2 tahun(8).
D. Klasifikasi
1) Bronkitis Akut
Bronkitis akut biasanya terjadi dalam waktu yang cepat (kurang dari 3
minggu) dan membaik dalam beberapa minggu. Bentuk dari bronkitis akut ini
sering menyebabkan serangan batuk dan produksi sputum yang dapat juga
disertai oleh infeksi saluran nafas atas. Dalam beberapa kasus, virus
merupakan penyebab tersering infeksi walaupun terkadang bakteri juga dapat
menyebabkannya. Jika kondisi seseorang tersebut baik, maka proses
peradangan membran mukosa tersebut akan pulih dalam beberapa hari(8;9).
2) Bronkitis Kronik
Secara klinis didefinisikan sebagai batuk harian dengan produksi
sputum selama paling kurang selama 3 bulan dalam periode waktu 2 tahun.
12
Bronkitis kronik ini merupakan gangguan jangka panjang yang serius yang
sering membutuhkan pengobatan medis secara teratur. Pada bronkitis kronis
terdapat inflamasi dan pembengkakan pada dinding lumen saluran nafas yang
menyebabkan penyempitan dan obstruksi jalur udara yang masuk. Inflamsi ini
akan merangsang produksi mukus di mana menyebabkan obstruksi saluran
nafas yang lebih berat lagi dan akan meningkatkan resiko infeksi oleh bakteri
pada paru-paru(;9;10)
E. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data mengenai prevalensi penyakit bronkitis.
Sebagai pembanding, berdasarkan estimasi dari National Center for Health
Statistics tahun 2006 di Amerika Serikat, terdapat sekitar 9,5 juta orang atau 4%
dari jumlah populasinya didiagnosis mengalami bronkitis kronik. Data statistik ini
masih di bawah taksiran dari prevalensi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
yaitu sebesar 50%. Hal ini dikarenakan tidak tercatatnya laporan gejala dan
kondisi bronkitis ini masih belum terdiagnosis(11;14).
Overdiagnosis terhadap bronkitis kronik sebaiknya perlu dilakukan oleh para
klinisi. Bagaimanapun juga istilah bronkitis sering dianggap sebagai peradangan
paru yang tidak spesifik serta gejala batuk yang dialami bersifat self-limiting atau
sembuh sendiri sehingga kriteria diagnosisnya tidak ditemukan dan menyebabkan
insidensinya terus meningkat(11).
Dalam sebuah studi, bronkitis akut diderita oleh 44 dari 1000 orang dewasa
setiap tahunnya, dan 82% episodenya terjadi pada musim gugur atau dingin.
Perbandingannya yaitu 91 juta kasus influenza, 66 juta kasus deman flu biasa, dan
31 juta kasus dengan infeksi saluran nafas atas lainnya yang terjadi pada tahun
itu(11).
. Bronkitis akut sangat umum terjadi pada seluruh belahan dunia manapun dan
merupakan 5 alasan teratas penyebab seseorang mencari pengobatan medis di
negara-negara yang memang mengumpulkan data mengenai penyakit ini. Tidak
ada perbedaan ras terhadap kejadian bronkitis ini meskipun lebih sering terjadi
13
pada populasi dengan status sosioekonomi rendah dan orang-orang yang tinggal di
daerah urban dan industri(11;18)
Hal mengenai insidensi penyakit terkait jenis kelamin, bronkitis lebih sering
dialami oleh pria dibandingkan wanita. Di Amerika Serikat, hingga dua pertiga
pria dan seperempat wanita mengalami emfisema hingga menyebabkan kematian.
Meskipun dapat ditemukan hampir pada semua usia, bronkitis akut lebih sering
didiagnosa pada anak-anak berumur kurang dari 5 tahun, sementara prevalensi
bronkitis kronis lebih sering terjadi pada orang tua yang berusia lebih dari 50
tahun. Sementara itu, data epidemiologi di Indonesia itu sendiri masih sangat
minim(13;16).
F. Manifestasi Klinis
Batuk merupakan gejala klinis yang sering diamati. Bronkitis akut mungkin
akan sulit dibedakan dari infeksi saluran nafas atas lainnya pada beberapa hari
pertama. Meskipun demikian, jika batuk berlangsung lebih dari 5 hari maka bisa
diarahkan sebagai penyakit bronkitis akut(12;16).
Pasien dengan bronkitis akut, dapat biasanya dapat terjadi selama lebih dari
10-20 hari. Produksi sputum hampir dialami pada seluruh orang yang
mengeluhkan batuk akibat bronkitis akut ini. Warna sputum biasanya jernih,
kuning, hijau, atau bahkan seperti seperti warna darah. Sputum purulen
dilaporkan pada 50% orang dengan bronkitis akut. Perubahan warna sputum
dikarenakan pelepasan peroksidase oleh leukosit dalam sputum. Karena itulah,
warna sputum tidak dapat menjasi indikator terhadap adanya infeksi bakteri. (12)
Demam bukan merupakan tanda khas dan biasanya ketika disertai dengan
batuk akan lebih mengarah pada influenza ataupun pneumonia. Mual, muntah,
dan diare jarang dikeluhkan. Kasus yang berat mungkin akan menyebabkan
malaise dan nyeri dada. Ketika keluhan berat hingga mengenai trakea, gejala
dengan sensasi terbakar pada daerah substernal akan dirasakan dan nyeri dada
berhubungan pada saat batuk serta proses bernafas(18;21).
14
Sesak nafas dan sianosis tidak teramati pada penyakit bronkitis ini kecuali
pasien memiliki penyakit paru obstruktif kronik ataupun kondisi lainnya yang
mengganggu fungsi paru. Gejala lain dari bronnkitis akut ini meliputi nyeri
tenggorokan, hidung berair atau tersumbat, nyeri kepala, nyeri otot dan kelelahan.(12;18).
G. Patofisiologi
Selama episode bronkitis akut, jaringan yang melapisi lumen bronkus
megalami iritasi dan membran mukosa menjadi hiperemis dan edema sehingga
mengganggu fungsi mukosiliar bronkus. Akibatnya, saluran nafas menjadi
menjadi sempit akibat debris dan proses inflamasi. Respon akibat produksi mukus
yang banyak ini akhirnya ditandai dengan batuk produktif(12;18).
Dalam kasus pneumonia mycoplasma, iritasi bronkus menyebabkan
perlekatan organisme (Mycoplasma pneumonia) pada mukosa saluran respirasi
yang akan membuat sekresi mukosa semakin kental. Bronkitis akut biasanya
berlangsung kurang lebih 10 hari. Jika inflamasinya terus berlajut ke bawah
hingga ujung cabang bronkus, bronkiolus dan kantung alveolus, maka akan
menyebabkan bronkopneumonia(12).
Bronkitis kronik dihubungkan dengan produksi mukus yang berlebihan
sehingga menyebabkan batuk berdahak selama lebih dari 3 bulan atau lebih dalam
periode waktu minimal 2 tahun. Epitel alveoli merupakan target maupun tempat
awal inflamasi pada bronkitis kronik(10).
Infiltrasi netrofil dan distribusi perubahan jaringan fibrotik peribronkial
disebabkan oleh aktivitas dari interleukin 8 (IL-8), colony-stimulating factors, dan
kemotaktik serta sitokin proinflamatori lainnya. Sel epitel saluran nafas akan
melepaskan mediator inflamasi ini sebagai respon terhadap toksin, agen infeksi,
dan stimulus inflamasi lainnya serta untuk mengurangi pelepasan produk regulasi
seperti angiotensin-converting enzim ataupun endopeptidase(10;13).
Bronkitis kronik dapat dikatagorikan sebagai bronkitis kronik sederhana,
bronkitis mukopurulen kronik, ataupun bronkitis kronik yang disertai obstruksi.
15
Produksi sputum (industri) menandakan adanya bronkitis kronik sederhana.
Produksi sputum purulen yang persisten ataupun berulang tanpa adanya penyakit
supuratif lokal seperti bronkiektasis, menunjukkan adanya bronkitis mukopurulen
kronik(10;19).
Bronkitis kronik dengan obstruksi harus dibedakan dengan asma.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan riwayat penyakit di mana pasien yang
dikatakan mengalami bronkitis kronik dengan obstruksi memilki riwayat batuk
produktif yang lama dan onset mengi (wheezing) yang munculnya belakangan,
sementara pasien yang memiliki asma dengan obstruksi kronik lebih dulu
mengalami mengi (wheezing) dibandingkan batuk produktif(19).
Bronkitis kronik dapat terjadi akibat serangan dari bronkitis akut berulang
atau dapat juga muncul perlahan-lahan karena merokok berat atau inhalasi dari
udara yang terkontaminasi oleh polutan di lingkungan. Jika orang tersebut lebih
sering batuk daripada biasanya, kemungkinan lapisan bronkus yang menghasilkan
lendir (mukus) sudah mengalami penebalan dan penyempitan saluran nafas yang
menyebabkan sulit untuk bernafas. Karena fungsi silia untuk menyaring udara
bersih dari zat iritan dan benda asing terganggu, saluran bronkus akan cenderung
mengalami infeksi lebih jauh hingga menyebabkan kerusakan jaringan(10;15).
Gambar 2.4. Proses Peradangan pada Bronkitis
16
H. Etiologi
1) Infeksi Virus, Bakteri, dan Mikroorganisme lain pada Bronkitis Akut
Bronkitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi seperti spesies jamur
(Mycoplasma), Clamydia pneumonia, Streptococcus pneumonia, Moraxella
catarrhalis. dan Haemophilus influenza serta virus seperti influenza,
adenovirus, rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza
tipe A dan B, virus parainfluenza, dan Coxsackie virus. Paparan zat iritan
seperti polusi, zat kimia, dan rokok tembakau dapat juga menyebabkan iritasi
bronkus akut(19;20).
Bordetella pertussis harus dipertimbangkan sebagai agen penyebab
bronkitis akut pada anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi secara
lengkap meskipun studi terbaru melaporkan bahwa bakteri ini juga dapat
menjadi agen penyebab pada orang dewasa(19;20).
1. Penyebab Bronkitis Kronik
Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkhitis,
yaitu : rokok, infeksi dan polusi. Selain itu terdapat pula hubungannya
dengan faktor keturunan dan status sosial(15;16;18;20).
a. Rokok
Merokok merupakan faktor predisposisi yang meyebabkan
bronkitis kronik. Faktor resiko umum terhadap eksaserbasi akut dari
bronkitis kronik adalah meningkatnya usia dan berkurangnya Volume
Ekspirasi Paksa (VEP). Sebanyal 70-80% ekserbasi akut dari bronkitis
kronis diperkirakan akibat infeksi pernafasan.
Merokok diperkirakan menyumbang 85-90% kasus dari
bronkitis dan PPOK. Studi menunjukkan bahwa merokok dapat
mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar,
dan meyebabkan hipertrofi dan hiperplasia dari glandula pensekresi
mukus. Merokok juga dapat meningkatkan resistensi saluran nafas
melalui jalur vagal yang dimediasi oleh konstriksi otot polos.
17
b. Infeksi
Eksasebasi bronkhitis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri.
Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilus influenza
dan Streptococcus pneumoniae
c. Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab,
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia
dapat juga menyebabkan bronkitis adalah zat-zat pereduksi O2, zat-zat
pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
d. Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan
atau tidak, kecuali pada penderita defesiensi alfa -1- antitripsin yang
merupakan suatu masalah dimana kelainan ini diturunkan secara
autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang
sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk
jaringan paru.
e. Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronkhitis ternyata lebih banyak pada golongan
sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan
ekonomi yang lebih buruk.
I. Penegakan Diangnosis
1. Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk mendapatksan gejala sebagai
berikut(15;20;21):
a. Batuk berdahak.
Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan tidak berdahak, tetapi
18
1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau mukoid,
jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
b. Sesak nafas
Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin hebat.
Terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut.
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
d. Wheezing (mengi).
Saluran napas menyempit dan selama bertahun-tahun terjadi sesak
progresif lambat disertai mengi yang semakin hebat pada episode infeksi akut
e. Wajah, telapak tangan atau selaput lendir berwarna kemerahan.
Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam
ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar
gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 3-5 hari dan
batuk bisa menetap selama beberapa minggu
J. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik bisa di dapatkan(19;20;21):
1) Bila ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun
inspirasi disertai bising mengi.
2) Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shape chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
3) Iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.
4) Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, pekak jantung berkurang.
5) Pada pembesaran jantung kanan, akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah di
pinggir sternum.
6) Pada kor pulmonal terdapat tanda-tanda payah jantung kanan dengan
peninggian tekanan vena, hepatomegali, refluks hepato jugular dan edema kaki
19
K. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang mendukung diangnosis adalah
sebagai berikut: (19;20;21)
1. Cultures dan Staining.
Mendapatkan kultur sekresi pernapasan untuk virus influenza,
Mycoplasma pneumoniae, dan Bordetella pertussis ketika organisme ini
diduga. Metode kultur dan tes imunofluoresensi telah dikembangkan untuk
diagnosis laboratorium pneumoniae infection dengan mendapatkan usap
tenggorokan. Kultur dan gram stainning dari dahak sering dilakukan,
meskipun tes ini biasanya tidak menunjukkan pertumbuhan atau flora saluran
pernapasan normal. Kultur darah dapat membantu jika superinfeksi bakteri
dicurigai.
2. Kadar Procalcitonin.
Kadar procalcitonin mungkin berguna untuk membedakan infeksi
bakteri dari infeksi nonbakterial. Penelitian telah menunjukkan bahwa tes
tersebut dapat membantu terapi panduan dan mengurangi penggunaan
antibiotik
3. Sitologi sputum.
Sitologi sputum dapat membantu jika batuk persisten.
4. Radiografi Dada.
Radiografi dada harus dilakukan bagi pasien yang fisik temuan
pemeriksaan menunjukkan pneumonia. Pasien tua mungkin tidak memiliki
tanda-tanda pneumonia, karena itu, radiografi dada dapat dibenarkan pada
pasien, bahkan tanpa tanda-tanda klinis lain infeksi. Pemeriksaan radiologi
Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan
corakan paru yang bertambah ataupun tramline shadow yang menunjukkan
adanya penebalan dinding bronkus.
20
5. Bronkoskopi.
Bronkoskopi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan adanya
aspirasi benda asing, tuberkulosis, tumor, dan penyakit kronis lainnya dari
pohon trakeobronkial dan paru-paru.
6. Tes Influenza.
Tes influenza mungkin berguna. Tes serologi tambahan, seperti bahwa
untuk pneumonia atipikal, tidak ditunjukkan.
7. Spirometri.
Spirometri mungkin berguna karena pasien dengan bronkitis akut
sering memiliki bronkospasme signifikan, dengan penurunan besar dalam
volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1). Ini biasanya menyelesaikan
lebih 4-6 minggu.
8. Laringoskopi.
Laringoskopi dapat mengecualikan epiglotitis.
9. Temuan histologis.
Sel piala hiperplasia, sel-sel inflamasi mukosa dan submukosa, edema,
fibrosis peribronchial, busi lendir intraluminal, dan otot polos peningkatan
temuan karakteristik di saluran udara kecil pada penyakit paru obstruktif
kronis.
L. Gambaran radiologi pada bronkitis
1. Bronkitis akut
Radang akut bronkus berhubungan dengan infeksi saluran nafas bagian
atas. Penyakit ini biasanya tidak hebat dan tidak ditemukan komplikasi. Juga
tidak terdapat gambaran roentgen yang positif pada keadaan ini. Tetapi foto
roentgen berguna jika ada komplikasi pneumonitis pada penderita dengan
infeksi akut saluran nafas. Gejala biasanya hebat(21).
2. Bronkitis kronik
Penyakit bronkitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran khas
pada foto thoraks. Acapkali berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorik
21
sudah dapat ditegakkan diagnosisnya. Pada foto hanya tampak corakan yang
ramai di bagian basal paru. Gambaran radiogram bronkitis kronik hanya
memperlihatkan perubahan yang minimal dan biasanya tidak spesifik.
Kadang-kadang tampak corakan peribronkial yang bertambah di basis paru
oleh penebalan dinding bronkus dan peribronkus. Corakan yang ramai di basal
paru ini dapat merupakan variasi normal foto thoraks. Tidak ada kriteria yang
pasti untuk menegakkan diagnosis bronkitis kronik pada foto thoraks biasa.
Penyakit ini disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, misalnya asma,
infeksi, dan lain-lain(22).
Infeksi merupakan penyebab kedua tersering terjadinya bronkitis
kronik. Infeksi ini dapat spesifik maupun tidak spesifik. Penyakit bronkitis
kronik dan emfisema ternyata selalu berhubungan dengan bronkitis asma oleh
adanya spasme bronkus(22).
Cor pulmonale kronik umumnya disebabkan oleh penyumbatan
emfisema paru yang kronik dan sering ditemukan pada bronkitis asma
kronik(22).
Bronkitis kronik secara radiologik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
ringan, sedang, dan berat. Pada golongan yang ringan ditemukan corakan paru
yang ramai di bagian basal paru. Pada golongan yang sedang, selain corakan
paru yang ramai, juga terdapat emfisema dan kadang-kadang disertai
bronkiektasis di pericardial kanan dan kiri, sedangkan golongan yang berat
ditemukan hal-hal tersebut di atas dan disertai cor pulmonale sebagai
komplikasi bronkitis kronik(22).
Beberapa gambaran radiologi bronkitis dapat diperlihatkan sebagai berikut:
a. Thorak
Terdapat sekitar 50% penderita bronchitis kronik memiliki gambaran
roentgen thoraks normal. Jika terdapat abnormalitas pada foto thoraks,
biasanya tanda yang ditemukan adalah akibat adanya emfisema, superimpos
infeksi ataupun kemungkinan terjadinya bronkiektasis.
22
Gambaran radiologi yang mendukung adanya bronchitis kronik
adalah dengan ditemukannya gambaran “dirty chest”. Hal ini ditandai
dengan terlihatnya corakan bronkovaskular yang ramai. Gambaran opasitas
yang kecil mungkin akan terlihat pada semua tempat di seluruh lapangan
paru namum penilaian gambaran ini bersifat subjektif. Terdapat beberapa
korelasi antara bronchitis kronik dengan adanya edema perivascular dan
peribronkial, inflamasi kronik dan fibrosis. Jika gambaran ini terlihat jelas,
dengan beberapa bayangan linear dan opasitas nodular yang berat, maka
gambarannya akan mirip dengan fibrosis interstisial, limfangitis karsinoma,
maupun bronkiektasis.
Gambaran tramline maupun tubular shadow yang tipis lebih
mengarah pada bronkiektasis namun gambaran ini dapat dialami oleh
penderita bronchitis kronik. Opasitas ini berhuubungan dengan hilus dan
kejelasannya akan didemonstrasikan dengan tomografi. Namun sekali lagi,
penyakit ini hanya bersifat mengarahkan dan bukan mejadi prosedur
diagnostik.
Gambaran Dirty chest. Karena terjadi infeksi berulang yang disertai
terbentuknya jaringan fibrotik pada bronkus dan percabangannya, maka
corakan bronkovaskular akan terlihat ramai dan konturnya irregular. Ini
merupakan tanda khas bronkitis kronik yang paling sering ditemukan pada
foto thoraks(23).
23
Gambar 2.5. Dirty chest yang menunjukkan adanya corakan bronkuvaskular
yang ramai hingga menuju percabangan perifer di paru
Gambaran Tubular Shadow menunjukkan adanya bayangan garis-garis
yang paralel keluar dari hilus menuju basal paru dari corakan paru yang
bertambah
Gambar 2.6. Adanya gambaran tubular shadow pada bronkitis kronik
24
Gambaran berupa tramline shadow berupa garis parallel akibat penebalan
dinding bronkus yang juga menjadi gambaran khas bronkiektasis.
Gambar 2.7. Tramline appearance terlihat sepanjang pinggiran bayangan jantung
Struktur bronkovaskular yang irreguler
Gambar 2.8. Sisi lapangan paru kiri atas yang diperbesar menunjukkan struktur
bronkovaskuler yang irregular dengan diameter yang bervariasi.
25
Gambar 2.9. Menunjukkan foto thoraks yang diperbesar dari bagian kiri paru. Garis
yang membujur secara kranio-kaudal adalah batas medial skapula. Anak panah
menunjukkan pola stuktur bronkovaskular dengan pola irregular.
Corakan bronkovaskular ramai disertai emfisema
26
Gambar 2.10 Foto thoraks laki-laki yang memilki riwayat merokok lama. Terlihat
adanya corakan bronkovaskular ramai disertai emfisema. Volume paru tampak
membesar, sela iga melebar, dan difragma mendatar.
Helms & William (2007)
b. Computed tomography (CT) scan
Gambaran tremline shadow appearance berupa garis paralel sejajar akibat
penebalan dinding bronkus dan dilatasi bronkus ringan akibat peradangan
bronkus.
Gambar 2.11. Terlihat adanya tramline appearance
Penebalan dinding bronkus akibat bronkitis kronis berdasarkan gambaran
Computed Tomography (CT) scan juga terlihat pada panah merah dan
lendir di dalam bronkus pada panah kuning berikut:
27
Gambar 2.12. Gambaran CT-Scan Thoraks Bronkitis Kronik
M. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita
berhadapan dengan pasien bronkitis(17) :
1) Tuberkulosis paru ( penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa
bronkitis )
2) Abses paru ( terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar )
3) Penyakit paru penyebab hemoptosis misalnya karsinoma paru)
4) Fistula bronkopleural dengan emfisema
Namun berdasarkan kemiripan gambaran radiologi, bronkiektasis dapat
menjadi diagnosis banding dari bronkitis kronik ini. Gambaran khas bronkiektasis
yang berupa tramline shadow pada foto thoraks juga dapat ditemukan pada bronkitis
kronik.
28
Gambar 2.13. Terlihat gambaran foto CT-Scan dan thoraks bronkiektasis. Gambaran
tramline appearance tampak pada foto thoraks.
2.14 Gambaran tuberkulosis paru primer yang menunjukkan adanya penebalan hilus
29
Gambar 2.15. Karsinoma Bronkus. Tampak tumor primer pada hilus kiri. Nodul pada
soft tissue merupakan proses metastasis.
30
BAB III
KESIMPULAN
Bronkitis merupakan suatu penyakit yang sering terjadi dan merupakan lima
alasan teratas seseorang mencari pengobatan medis. Bronkitis terbagi atas bronkitis
akut dan bronkitis kronik. Gambaran radiologi yang khas pada bronkitis akut jarang
ditemukan sementara pada bronkitis kronik hanya memperlihatkan perubahan yang
minimal dan biasanya tidak spesifik. Namun pada beberapa kasus tamapak adanya
corakan bronkovaskular yang ramai sehingga terlihat seperti dirty chest, adanya
gambaran tubular shadow dan tramline appearance yang berasal dari hilus paru.
Penegakan diagnosis bronkitis dengan pemeriksaan radiologi sudah cukup baik di
dapatkan dari foto thoraks konvensional dan juga CT- Scan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. NHLBI. National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI). [Online] 2009.
[Cited: oktober 26, 2013.]
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/brnchi/.
2. Albert. Diagnosis and treatment of acute bronkitis.. 2010, Am Fam Physician,
Vol. 11, pp. 1345-1350.
3. Cohen, Jonathan, Powderly, William. Infectious Diseases, 2nd ed. 2. Mosby :
Elsevier, 2004.
4. Kumar, vinay, Abul K. Abbas, Nelson Fausto, Richard N and Mitchell. The
Lung Robbins Basic Pathology. 8. Philadelphia : Saunders Elsevier, 2007.
5. Bowler. National Jewish Health. [Online] 2009. [Cited: Oktober 26, 2013.]
http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/copd-chronic-
obstructive-pulmonary-disease/associated-conditions/chronic-bronkitis/.
6. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (respirotory medicine). 1. Jakarta : EGC,
2009.
7. Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi Corwin. 3. Jakarta : EGC, 2009.
8. Knutson D, Braun C. Diagnosis and management of acute bronkitis. Am Fam
Physician. May 15 2002;65(10):2039-44. [Medline].
9. Black S. Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Apr 1997;16(4
Suppl):S85-9. [Medline].
10. Sethi S, Murphy TF. Infection in the pathogenesis and course of chronic
obstructive pulmonary disease. N Engl J Med. Nov 27
2008;359(22):2355-65. [Medline].
32
11. Macfarlane J, Holmes W, Gard P, et al. Prospective study of the incidence,
aetiology and outcome of adult lower respiratory tract illness in the
community. Thorax. Feb 2001;56(2):109-14. [Medline].
12. Wenzel RP, Fowler AA 3rd. Clinical practice. Acute bronkitis. N Engl J Med.
Nov 16 2006;355(20):2125-30. [Medline].
13. Smelzter, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Medikal- Bedah. Volume 1. Jakarta:
EGC.
14. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
15. Manurung, Santa. 2009. Asuhan Keperawatan gangguan Sistem Pernafasan
Akibat Infeksi. Jakarta Timur : CV. Trans Indo Media.
16. Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem
Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
17. Ikawati, Zulies., 2008, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Pustaka
Adipura, Yogyakarta.
18. Rab, Tabran. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates.
19. Walsh EE. Acute bronchitis. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R,
eds. Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia,
Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2009:chap 61..
20. Speizer FE. Occupational exposures and pulmonary disease. In: Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL (editors). Harrison's principles of internal
medicine. 15th edition. McGraw-Hill Education, New York, NY; 2001.
21. Braman SS. Chronic cough due to acute bronchitis: ACCP evidence-based
clinical practice guidelines. Chest. 2006; 129 (supplement 1): S95-S103.
22. Rasad, Sjahriar & Iwan Ekayuda. 2011. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK-UI
33
23. Helms, CA & William EB. 2007. Fundamental Diagnostic of Radiology.
USA. Lippincott Wlliams & Wilkins.
24. Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6 volume 1. Jakarta: EGC.
25. Sutton, David. 2003. 7th Edition Textbook of Radiology and Imaging. Volume
1. British: Elsevier Science.
34