book model kerentanan wilayah pesisir berdasarkan perubahan garis pantai dan banjir pasang-libre
DESCRIPTION
Perencanaan pesisirTRANSCRIPT
-
MODEL KERENTANAN WILAYAH
PESISIR BERDASARKAN PERUBAHAN
GARIS PANTAI DAN BANJIR PASANG
(Studi Kasus: Wilayah Pesisir Pekalongan)
-
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Pasal 2(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 72(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba gaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-
MODEL KERENTANAN WILAYAH
PESISIR BERDASARKAN PERUBAHAN
GARIS PANTAI DAN BANJIR PASANG
(Studi Kasus: Wilayah Pesisir Pekalongan)
Muh Aris Marfai
Nursakti Adhi Pratomoatmojo
Taufi k Hidayatullah
Anang Widhi Nirwansyah
Muammar Gomareuzzaman
Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Program S-2 Geogra , Fakultas Geogra Universitas Gadjah MadaTahun 2011
encanaan dan P
-
MODEL KERENTANAN WILAYAH PESISIR
BERDASARKAN PERUBAHAN GARIS PANTAI DAN BANJIR PASANG
(Studi Kasus: Wilayah Pesisir Pekalongan)
Penulis:
Muh Aris Marfai
Nursakti Adhi Pratomoatmojo
Tau k Hidayatullah
Anang Widhi Nirwansyah
Muammar Gomareuzzaman
copyrightMagister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Program S-2 Geogra , Fakultas Geogra Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Jalan Kaliurang Bulaksumur Yogyakarta, 55281
Telepon : +62.274.6492340
Fax : +62.274.589595
Website: http://mppdas.geo.ugm.ac.id
Email: [email protected]
Diterbitkan atas kerja sama dengan:
RedCarpet Studio
Website: www.redcarpetstudio.net
Email: [email protected]
Cetakan Pertama: November 2011
Editor: Novi Rahmawati
Layout & Desain Cover: Panjibudi
ISBN: 978-602-ISBN: 978-602-19549-3-5-3-5
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh:Percetakan Pohon Cahaya
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang v
Kata Pengantar
Buku Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai
dan Banjir Pasang ini merupakan pengembangan dari draft laporan kuliah kerja
lapangan program Magister Perencanaan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Pesisir (MPPDAS), Fakultas Geogra , Universitas Gadjah Mada tahun 2011.
Buku ini memberikan pengantar tentang Dinamika Kawasan Pesisir, Deskripsi
Daerah Pesisir Pekalongan dan Kerentanan Wilayah Pesisir berdasarkan
Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang. Pekalongan dipilih sebagai studi
kasus untuk kajian ini dengan pertimbangan kompleksitas permasalahan pesisir
yang ada.
Buku ini merupakan hasil dari studi pendahuluan yang masih memerlukan
telaah dan kajian lebih lanjut. Namun demikian buku ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan pengkayaan materi, terutama untuk
studi program S2 dalam bidang pengelolaan pesisir, penerapan Sistem Informasi
geogra (SIG) untuk studi pesisir dan kajian-kajian kebencanaan (bencana
pesisir).
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai penyempurna-
an untuk buku ini.
Yogyakarta, 21 November 2011
Penulis
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang vii
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................v
Daftar Isi ................................................................................................... vii
Daftar Gambar ......................................................................................... viii
Daftar Tabel .................................................................................................x
Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1
Bab II Dinamika Kawasan Pesisir .............................................................5
A. Pemodelan perubahan garis pantai dan komparasi terhadap
dampak peningkatan permukaan air laut global ...............................7
B. Perhitungan Waterfront Development Suitability Vulnerability
Index (WDSVI) .................................................................................. 12
Bab III Deskripsi Daerah Pesisir Pekalongan .......................................... 17
A. Letak Geogra s dan Administratif ................................................... 17
B. Kondisi Geologi ................................................................................. 18
C. Geomorfologi ..................................................................................... 19
Bab IV Kerentanan wilayah pesisir:
Perubahan garis pantai dan Banjir pasang .................................. 21
A. Pengukuran perubahan garis pantai ................................................ 21
B. Pengolahan Data ................................................................................24
C. Analisis Data ..................................................................................... 29
1. Fuzzy set membership ................................................................ 31
2. AHP (Analytical Hierarchy Process) .........................................33
3. MCE (Multi Criteria Evaluation) Boolean .................................34
4. WDS untuk faktor aksesibilitas terhadap fasilitas....................34
-
viii Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
5. WDS untuk faktor aksesibilitas transportasi ............................38
6. WDS untuk faktor tarikan oleh penggunaan lahan .................42
7. WDS Total ...................................................................................45
8. CVI (Coastal Vulnerability Index) ............................................ 46
9. Water Depth (Kedalaman Genangan) .......................................47
Bab V Kesimpulan dan Saran ..................................................................63
A. Kesimpulan ........................................................................................63
B. Saran ...................................................................................................63
Batasan Istilah ...........................................................................................65
Referensi ....................................................................................................67
Daftar GambarGambar 2.1. Skema analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir ............. 8
Gambar 2.2. Citra QuickBird dan GeoEye tahun 2003 (a), 2006 (b)
dan 2009 (c) .............................................................................................. 10
Gambar 3.1. Wilayah Administrasi Kota Pekalongan ........................................... 18
Gambar 3.2. Kondisi Geologi Kecamatan Pekalongan Utara ............................... 19
Gambar 4.1. Kejadian rob (tidal ood) dicatat dengan GPS .................................22
Gambar 4.2. Pengukuran ketinggian tanggul laut (sea wall) ..............................23
Gambar 4.3. Pencatatan dan pengambilan sampel abrasi dan rob ......................24
Gambar 4.4. Capture QuickBird dan GeoEye dengan Stitchmap .........................25
Gambar 4.5 georeferencing dengan Ground Control Point (GCP) ...................... 26
Gambar 4.6. Georeferensi Citra Quickbird dan GeoEye
menggunakan Global Mapper ................................................................. 26
Gambar 4.7.Georeferensi untuk menganalisa perubahan garis pantai ...............27
Gambar 4.8. Perbandingan citra tahun 2003 (a) dan tahun 2009 (b) ................ 28
Gambar 4.9. Shoreline Change ...............................................................................30
Gambar 4.10. Fuzzy set dengan menggunakan signoidal .....................................32
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang ix
Gambar 4.11. Penerapan fuzzy set signoidal membership function
pada peta ketinggian. ...............................................................................33
Gambar 4.12. Fuzzy set membership Signoidal dari variabel
penyusun WDS dari segi aksesibilitas terhadap fasilitas .......................37
Gambar 4.13. Peta akhir WDS aksesibilitas untuk Fasilitas ..................................38
Gambar 4.14. Fuzzy set membership Signoidal dari variable
penyusun WDS dari segi aksesibilitas terhadap transportasi ................ 41
Gambar 4.15. WDS untuk faktor transportasi .......................................................42
Gambar 4.16. Fuzzy set membership Signoidal penyusun WDS
dari segi daya tarik penggunaan lahan ................................................... 44
Gambar 4.17. WDS Total .........................................................................................45
Gambar 4.18. Peta Coastal vulnerability Index Pekalongan ................................ 46
Gambar 4.19. Level Kedalaman Genangan tahun 2011 ..........................................47
Gambar 4.20. Level Kedalaman Genangan tahun 2050 ...................................... 49
Gambar 4.21. Level Kedalaman Genangan tahun 2100 .........................................50
Gambar 4.22. Potensi Wilayah Terkena Pengaruh Rob 2011 ................................. 51
Gambar 4.23. Potensi Wilayah Terkena Pengaruh Rob 2050 ...............................52
Gambar 4.24. Potensi Wilayah Terkena Pengaruh Rob 2050 ...............................53
Gambar 4.25 Gra k Potensi Genangan Rob (Hektar) ..........................................54
Gambar 4.26. Fuzzy Signoidal Decreasing set memberships
a) 2011, b) 2050, dan c) 2100 .....................................................................56
Gambar 4.27. WDSVI ..............................................................................................57
Gambar 4.28. WDSVI berdasarkan skenario sea level rise
dan banjir pasang tahun 2011 (a), 2050 (b) dan 2100 (c) ....................... 59
Gambar 4.29. Hasil klasi kasi tingkat kesesuaian terhadap potensi
pengembangan wilayah di Pekalongan Utara
tahun 2011 (a), 2050 (b) dan 2100 (c) ....................................................... 61
-
x Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Daftar TabelTabel 2.1. Waterfront Development Suitability Vulnerability Index ...................... 12
Tabel 4.1. Perubahan Garis Pantai Wilayah Penelitian
Tahun 2003-2009 (dalam meter) ............................................................ 29
Tabel 4.2. Pairwise comparison faktor-faktor kedekatan akses
terhadap fasilitas .......................................................................................37
Tabel 4.3 Bobot masing-masing variabel fasilitas .................................................39
Tabel 4.4. Skenario Prediksi Permukaan Air Laut ................................................54
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 1
Bab I
Pendahuluan
Wilayah pesisir merupakan suatu ekosistem khas yang kaya akan sumberdaya
alam baik yang berada pada mintakat di daratan maupun pada mintakat
perairannya. Potensi yang sangat besar dimiliki kawasan pesisir sehingga fungsi
ekonomis yang terkandung di dalamnya diikuti oleh efek pengganda (multiplier
e ect), yaitu berkembangnya kegiatan yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan ekonomi utama. Aktivitas ekonomi dan tekanan
penduduk yang berasosiasi dengan keinginan masyarakat dalam rangka
peningkatan kesejahteraan pada akhirnya akan memanfaatkan ruang spasial
yang tersedia. Pesisir sebagai wilayah yang relatif mudah dijangkau akan menjadi
sasaran untuk pengembangan aktivitas manusia (Marfai dan King, 2008a; Ward et
al.,2011). Kawasan pesisir menghadapi berbagai tekanan dan perkembangan serta
perubahan. Kerangka tersebut mendorong semua pihak untuk melaksanakan
perencanaan dan pengelolaan pesisir sesuai kondisi alamiahnya, dan harus
berorientasi pada penyelamatan lingkungan ekosistemnya.
Wilayah pesisir semakin menghadapi tekanan tinggi dari aktivitas alami
dinamika pesisir termasuk angin dan gelombang yang berdampak pada dinamika
bentang lahan (Beatley, 2002). Selain itu, wilayah pesisir juga menerima berbagai
dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia (Fletcher dan Smith, 2007),
sebagai contohnya beban bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang
menyebabkan penurunan permukaan tanah/land subsidence (Marfai dan King,
2007; Abidin, dkk., 2010).
Banjir pasang telah menjadi ancaman serius bagi kota-kota pesisir di seluruh
dunia (Nicholls dan Mimura, 1998; Marfai dan King, 2008b; Aerts, dkk., 2009),
terlebih di negara berkembang yang belum memiliki kemampuan cukup untuk
-
2 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
mengatasi hal itu, misalnya kurangnya kontrol dan dukungan pemerintah,
tingginya jumlah orang yang berpendidikan rendah, kurangnya kesadaran akan
bahaya dan mitigasi, dan sebagainya. Di negara berkembang, banyak wilayah
pesisir menunjukkan kerentanan yang tinggi, sebagai dampak pertumbuhan
populasi yang sangat cepat apabila dibandingkan kondisi pesisir di negara-
negara maju.
Kenaikan permukaan laut sebagai akibat dari proses pemanasan global
menjadi isu penting di daerah pesisir (Nicholls dan Mimura, 1998, Marfai dan
King, 2008b). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menyatakan
bahwa kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim
akan memberikan dampak yang tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan
sosial masyarakat di daerah pesisir (IPCC 2001, 2007). Berdasarkan laporan
IPCC (2007), permukaan laut dunia telah diproyeksikan dengan baik melalui
berbagai pendekatan dan metode, seperti tide gauges, dan satelit altimetri
ataupun kombinasi antara tide gauges dan satelit altimetri. Prediksi kenaikan
pasang surut yang diproyeksikan dengan mengamati tide gauges adalah sebesar
1,8 mm/thn selama 70 tahun terakhir (Douglas, 2001; Peltier 2001 dalam IPCC
2007), sementara yang menggunakan satelit altimetri menunjukkan telah
terjadi kenaikan permukaan laut sebesar 3.1 0.7 mm/thn selama periode 1993-
2003 (Cazenave dan Nerem, 2004 dalam IPCC, 2007). Informasi tersebut dapat
dijadikan acuan sebagai kenaikan permukaan laut rata-rata di tingkat global.
Pekalongan sebagai salah satukota pesisir di pantai utara Jawa dengan
topogra yang landai merupakan kawasan yang sangat rawan terhadap kenaikan
air laut. Kondisi ini tentu saja berbeda jika dibandingkan dengan topogra
di pantai selatan Jawa yang relatif lebih curam. Beberapa ahli mengatakan
kondisi geogra s Pekalongan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap
pemanasan global. Tingginya nilai kerentanan itu tidak terlepas dari kondisi
geomorfologi Pekalongan yang berupa pantai berpasir dan erosi pantai mencapai
lebih dari 1 meter per tahun. Selain itu, kisaran pasang suratnya sekitar 0.7 meter.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Diposaptono (2009), penghitungan nilai
risiko terhadap kenaikan paras muka air laut di Pekalongan rata-rata 2.4. Nilai
tersebut dikategorikan sebagai daerah berisiko besar.
Berbagai permasalahan di Pekalongan terutama terkait dengan kerentanan
terhadap bencana di wilayah pesisir perlu dilakukan penelitian untuk
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 3
mendukung pengambilan kebijakan. Dengan demikian, perlu dilaksanakan
investigasi tentang tingkat kerentanan bencana di wilayah pesisir Pekalongan
terkait dengan perubahan garis pantai dan banjir pasang surut serta implikasinya
terhadap potensi urbanisasi.
Pengukuran kerentanan wilayah pesisir dilakukan dengan pemodelan
perubahan garis pantai, banjir rob, dan potensi urbanisasi. Pengukuran tersebut
dilakukan dengan:
1. Mengidenti kasi dan mengevaluasi perubahan garis pantai yang pernah
terjadi di wilayah studi
2. Prediksi terjadinya perubahan garis pantai yang disebabkan oleh
kenaikan permukaan air laut
3. Pemodelan banjir pasang surut dengan memperhitungkan tingkat
kenaikan permukaan laut berdasarkan IPCC-2007 dikombinasikan
ketinggian pasang surut rata-rata
4. Menghitung CVI (Coastal vulnerability index) dengan mem-
pertimbangkan faktor sik
5. Menghitung WDS (Waterfront Development Suitability) dengan
mempertimbangkan faktor antropogenik yang dikoreksi oleh ketinggian
genangan
6. Mengkombinasikan CVI dan WDS untuk menghasilkan WDSVI
(Waterfront Development Suitability and Vulnerability Index) dalam
mengkaji kerentanan potensi urbanisasi di wilayah pesisir
7. Mengklasi kasi tingkat kerentanan wilayah pesisir Pekalongan berbasis
WDSVI
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 5
Bab II
Dinamika Kawasan Pesisir
Daerah pesisir terdiri dari pertemuan antara darat dan laut. Bentuklahan
kepesisiran adalah bentuklahan yang secara genetik terbentuk oleh proses
marin, uviomarin, organik, atau eolian. Bentuklahan kepesisiran secara genetik
terbentuk oleh proses marin sebagai contoh beting gisik (beach ridge), yang
terbentuk oleh proses uvio-marin adalah delta, yang terbentuk oleh proses
organik adalah terumbu karang (coral reef) dan yang terbentuk oleh proses eolian
adalah gumuk pasir (sand dune) (Sunarto, 2001). Disamping itu, daerah pesisir
mempunyai dinamika lingkungan tinggi dengan proses sik banyak, kenaikan
permukaan laut, penurunan tanah, dan erosi-sedimentasi. Proses tersebut
memainkan peranan penting untuk perubahan garis pantai dan pengembangan
landscape pesisir. Perubahan garis pantai dianggap salah satu proses yang
paling dinamis di daerah pesisir (Marfai dkk., 2008; Bagli dan Soille, 2003; Mills
dkk., 2005). Interaksi antara proses sik dan aktivitas manusia di zona pesisir
menentukan karakteristik lingkungan pesisir. Diperkirakan bahwa sekitar 38%
dari populasi dunia tinggal di daerah tidak lebih dari 100 km dari garis pantai
(Cohen dkk., 1997; Kay dan Alder, 2005).
Meskipun perubahan garis pantai kadang-kadang menguntungkan, seperti
pertambahan lahan untuk tujuan penggunaan lahan, namun demikian perubahan
garis pantai juga dapat mengakibatkan kerugian dengan hilangnya lahan karena
abrasi. Sebuah analisis dari informasi garis pantai diperlukan dalam desain
perlindungan pantai, untuk mengkalibrasi dan memveri kasi model numerik,
untuk menilai tingkat kenaikan permukaan laut, untuk mengembangkan zona
bahaya, untuk merumuskan kebijakan untuk mengatur pembangunan pesisir,
-
6 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
dan membantu dengan de nisi batas properti dan penelitian mengenai pesisir
(Boak dan Turner, 2005).
Dinamika pesisir yang tinggi akan membawa implikasi pada kehidupan dan
pembangunan kawasan terutama pada perkembangan kota-kota pesisir (coastal
city). Menurut Yunus (2002), ekspresi perkembangan kota yang bervariasi
sebagian terjadi melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor sik dan
non- sik. Faktor sik berkaitan dengan keadaan topogra , struktur geologi,
geomorfologi, perairan dan tanah, sedangkan faktor non- sik antara lain
kegiatan penduduk (politik, sosial, budaya, teknologi), urbanisasi, peningkatan
kebutuhan akan ruang, peningkatan jumlah penduduk, perencanaan tata ruang,
perencanaan tata kota, zoning, peraturan pemerintah tentang bangunan, dan
lain-lain. Perencanaan aksesibilitas, prasarana dan sarana transportasi serta
pendirian fungsi-fungsi besar, seperti industri dan perumahan, mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perembetan sik kota di area pinggiran. Peran
dari pemerintah juga sangat mempengaruhi perkembangan sik area pinggiran
kota dimana kebijakan yang dilakukan dalam bentuk arahan pengembangan
kota ataupun rencana tata ruang kota cenderung diarahkan untuk mengisi lahan
dan ruang kosong di area pinggiran kota.
Ketersedian ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas, maka meningkat-
nya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu
akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota, dimana proses perembetan
kenampakan sik kekotaan ke arah luar disebut Pemekaran kota (Urban Sprawl).
Urban sprawl mengacu pada perluasan areal konsentrasi perkotaan melampaui
yang telah ada sebelumnya, melibatkan konversi lahan pinggiran ke pusat-pusat
perkotaan yang sebelumnya telah digunakan untuk penggunaan non perkotaan
untuk satu atau lebih menggunakan perkotaan (Northam, 1975).
Adapun faktor-faktor pendorong pemekaran kota seperti yang disebutkan
Charles Whynne-Hammond dalam bukunya Elements of Human Geography,
(1979) adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan di bidang pertanian
2. Industrialisasi
3. Potensi pasaran
4. Peningkatan kegiatan pelayanan
5. Kemajuan transportasi
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 7
6. Tarikan sosial dan kultural
7. Kemajuan pendidikan
8. Pertumbuhan penduduk alami
Perembetan kenampakan sik kekotaan ke arah luar (Urban Sprawl) tidak
dapat terlepas dari adanya kerentanan, baik itu kerentanan sik wilayah maupun
pribadi seseorang. Perkembangan sik kota ke arah luar termasuk diantaranya ke
kawasan pesisir. Kerentanan sik wilayah terkait dengan adanya bahaya ataupun
bencana yang pernah atau akan terjadi di wilayah tersebut. ESPON (2003)
mende nisikan kerentanan sebagai tingkat kerapuhan seseorang, kelompok,
komunitas atau daerah terhadap bahaya. Kerentanan adalah seperangkat kondisi
dan proses yang dihasilkan dari sik, sosial, faktor ekonomi dan lingkungan
yang meningkatkan rawannya sebuah komunitas terhadap dampak bahaya.
Kerentanan juga mencakup ide respon dan coping strategy karena ditentukan
oleh potensi masyarakat untuk bereaksi dan menahan bencana.
Pengukuran kerentanan dapat dilakukan dengan indeks kerentanan pesisir.
Indeks Kerentanan Pesisir/CVI dihitung menurut kelompok wilayah yang
tergantung pada kemungkinan adanya jenis dampak sik. Indeks ini diberikan
sebagai rasio dari total nilai peringkat kerentanan parameter untuk nilai
kerentanan setidaknya dari kelompok yang sesuai. Peringkat CVI mengikuti
kontribusi sik lingkungan terhadap kenaikan permukaan laut terkait perubahan
pesisir: geomorfologi, kemiringan pantai, kenaikan permukaan laut (sea-level
rise), perkembangan perubahan garis pantai, ketinggian pasang surut rata-rata
dan tinggi gelombang rata-rata.
A. Pemodelan perubahan garis pantai dan komparasi terhadap dampak peningkatan permukaan air laut global
Pemodelan perubahan garis pantai dapat dilaksanakan dengan bantuan
perangkat Sistem Informasi Geogra s (SIG) dan data penginderaan jauh. Di
wilayah kajian di pesisir pekalongan citra satelit diambil dari citra Geoeye pada
tahun 2003, 2006 dan 2009 berdasarkan hasil dokumentasi Google Earth tahun
2011 (Gambar 2.1).
-
8 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 2.1. Ske ma analisis ke re ntanan pe nge mbangan wilayah pe sisir
Citra yang digunakan tersebut memiliki resolusi 1.2 meter. Kemudian pada
citra dilakukan proses mozaik dan geo-referencing untuk mendapatkan hasil
yang tepat. Proses koreksi geometrik, penajaman serta penggabungan dilakukan
untuk memaksimalkan tampilan citra untuk memudahkan proses intepretasi.
Analisis kerentanan pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan integrasi
data Digital Elevation Model (DEM) dan data kenaikan kenaikan muka air laut
(Gambar 2.2).
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 9
a)
b)Gambar 2.2. Citra Quic kBird dan Ge o Eye tahun 2003 (a ), 2006 (b ) dan 2009 (c )
-
10 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
c)Gambar 2.2. Citra Quic kBird dan Ge o Eye tahun 2003 (a ), 2006 (b ) dan 2009 (c )
Proses ekstrasi garis pantai dilakukan dengan berdasarkan interpretasi citra
Geoeye pada masing-masing tahun, sehingga dihasilkan ekstrasi garis pantai
tahun 2003, 2006, dan 2009. Dikarenakan resolusi yang sangat detail (1,2 meter),
maka dilakukan onscreen digitizing dan didetailkan dengan observasi lapangan
menggunakan GPS.
Evaluasi terhadap perubahan garis pantai di lokasi penelitian dilakukan untuk
melihat proses yang dominan terjadi, baik berupa abrasi maupun sedimentasi
(akresi). Evaluasi dan proyeksi garis pantai menggunakan software ArcView 3.3
dengan extension DSAS. Prediksi terhadap garis pantai dilakukan komparasi
berdasarkan data lampau (DSAS) dan berdasarkan skenario kenaikan permukaan
air laut global (IPCC 2007) belum terdapat kajian yang memprediksikan kenaikan
permukaan air laut di Pekalongan. Namun, perubahan muka air laut per tahun
sebesar 6 mm pada dekade akhir-akhir ini dikemukakan oleh Pribadi (2008).
Penelitian ini menggunakan skenario sea level rise sebesar 18 dan 59 cm sebagai
angka minimum dan maksimum rata-rata kenaikan permukaan air laut global
hingga tahun 2100.
Pada studi ini, titik ketinggian yang berasal dari RBI (BAKOSURTANAL)
dengan skala 1:25.000 diproses untuk mendapatkan peta topogra berupa DEM
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 11
(Digital Elevation Model). DEM didapat dari hasil interpolasi menggunakan tool
ArcGIS, yaitu Topo to raster (memiliki fasilitas remove sink) untuk menghasilkan
DEM dengan ukuran 10 meter x 10 meter per pixel. Mekanisme seperti ini
mengacu kepada Ward, dkk., (2011) yang memanfaatkan titik ketinggian RBI
(BAKOSURTANAL) skala 1:25.000 diinterpolasi menjadi cell raster berukuran 5
meter x 5 meter per pixel dalam melakukan model iterasi berbasis raster. Iterasi
raster merupakan pemodelan perhitungan dengan menggunakan sistem loop
program pada komputer, dan memiliki sistem perulangan hingga dicapai kondisi
yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai raster yang dievaluasi). Mekanisme
seperti ini pernah dilakukan dalam Marfai, dkk., 2006.
Prediksi kenaikan permukaan air laut yaitu 6 mm per tahun (IPCC 2007)
diakumulasi dengan tinggi pasang puncak dominan (HWL, High Water Level
berdasarkan prediksi BMKG 2011 dengan stasiun pemantau di Kota Semarang)
digunakan untuk menghasilkan peta rawan banjir pasang.
Rumus raster calculator yang digunakan yakni:
WD=CON(CON([DEM]
-
12 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
B. Perhitungan Waterfront Development Suitability Vulnerability Index (WDSVI)
Metode WDSVI (Waterfront Development Suitability Vulnerability Index)
merupakan usulan pengembangan dari metode CVI (Coastal Vulnerability Index)
berdasarkan USGS (2009) yang bertujuan untuk mengkaji tingkat kerentanan
terhadap perkembangan kota pesisir. WDSVI memasukkan unsur antropogenik,
antara lain: jenis penggunaan lahan dan potensi pengembangan lahan terbangun
di wilayah pesisir (Table 2.1).
Tabe l 2.1. Wate rfro nt De ve lo pme nt Suitability Vulne rability Inde x
CVI USGS-2009 geomorfologi, perubahan garis pantai, lereng pantai,
perubahan permukaan air laut, tinggi gelombang
signifikan, pasang surut
WDS kesesuaian pengembangan wilayah pesisir
dipengaruhi oleh:kedekatan terhadap akses jalan,
perkantoran, perdagangan, peribadatan, kesehatan,
pendidikan, jenis penggunaan lahan, jarak terhadap
bibir pantai dan kelandaian kawasan pesisir
IL potensi ketinggian genangan rob
* pengembangan dari model CVI yang lebih ditujukan ke arah evaluasi
potensi pengembangan/pemanfaatan wilayah pesisir
WDSVI Waterfront Development Suitability-Vulnerability Index
Faktor-faktor yang dipertimbangkan
Secara umum metode perhitungan CVI berdasarkan USGS Report (2009)
adalah sebagai berikut;
dengan catatan a adalah geomorfologi, b adalah perubahan garis pantai, c
adalah lereng pesisir, d adalah perubahan ketinggian permukaan air laut rata-
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 13
rata, e adalah signi kan ketinggian gelombang, dan f adalah range pasang-surut.
USGS (2009) menyatakan bahwa formula perhitungan CVI tersebut merupakan
perhitungan kerentanan perubahan garis pantai terhadap kenaikan permukaan
air laut.
Metode WDSVI digunakan sebagai usulan pengembangan CVI-model
USGS (2009) dengan mengkombinasikan beberapa faktor dominan lainnya
seperti kesesuaian pengembangan wilayah pesisir (WDS). Berdasarkan ujicoba
menggunakan data garis pantai di daerah Pekalongan dan analisis DSAS yang
dikombinasi dengan fuzzy logic dihasilkan angka maksimal CVI adalah sebesar
0.89. Dengan mempertimbangkan CVI mewakili tingkat kerentanan suatu
wilayah, maka jika dikaitkan dengan evaluasi pengembangan wilayah pesisir,
CVI adalah merupakan faktor constraint. Sehingga dalam aplikasinya terhadap
WDSVI akan bernilai negatif. Selain itu, dengan mempertimbangkan bahwa CVI
memiliki nilai maksimal adalah 0.89, maka diperlukan konstanta multiplikasi
sebesar 3.42 untuk menghasilkan nilai 1 sebagai nilai maksimum dari CVI. Hal
ini diperlukan untuk melakukan penyetaraan serta memudahkan formulasi
perhitungan selanjutnya.
WDS (Waterfront Development Suitability) menunjukkan cell yang memiliki
potensi urbanisasi. WDS pada studi ini diasumsikan akan memiliki nilai maksimal
1 dan nilai minimal 0 (nol), masing-masing nilai tersebut untuk mewakili kondisi
sangat potensial dan tidak layak. WDS pada kasus ini dianggap sebagai
supporting factor, maka WDS diasumsikan memiliki nilai positif. Faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai WDS antara lain jalan, fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran,
dan penggunaan lahan. Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor tersebut, maka
dapat diformulasikan sebagai berikut;
dimana xy adalah cell pada posisi sumbu x dan y, k adalah konstanta dari masing-
masing variabel yang dipertimbangkan (x). Variabel x adalah nilai atau skor
-
14 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
dari setiap variabel yang digunakan, yaitu kedekatan terhadap jalan utama,
kedekatan terhadap fasilitas pendidikan, kedekatan terhadap fasilitas kesehatan,
dan kedekatan terhadap fasilitas perdagangan (pasar), kedekatan terhadap
fasilitas peribadatan, kedekatan terhadap fasilitas perkantoran, jarak terhadap
bibir pantai, kelandaian zona pesisir, dan jenis penggunaan lahan. k ditetapkan
melalui mekanisme pembobotan dengan metode AHP (Analitical Hierarchical
Process). Berdasarkan AHP tersebut, dilakukan kalibrasi dengan melihat angka
consistency ratio. Jika consistency ratio memiliki nilai kurang dari 0.1 maka AHP
tersebut memiliki konsistensi yang baik (Saaty 1980). Jika consistency ratio lebih
dari 0.1, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap matriks pairwise comparison.
Persamaan untuk menghitung consistency ratio dapat mengacu pada Vadrevue,
dkk (2010).
Agar WDSVI sebagai hasil akhir memiliki nilai maksimal 1 dan minimal
adalah -1, serta mempertimbangkan CVI bernilai negatif dan WDS bernilai
positif, maka persamaan WDSVI dapat diturunkan menjadi formula sebagai
berikut;
Sedangkan IL (Inundation level) yang dihasilkan dari proses pemodelan rob
(tahun 2011, 2050 dan 2100) dipertimbangkan sebagai faktor koreksi terhadap
kesesuaian pengembangan wilayah pesisir (WDS). Pada kasus ini, diasumsikan
WDS yang memiliki nilai IL lebih dari 50 cm dianggap tidak layak menjadi
potensi pengembangan (WDS dikonversi menjadi nol). Sedangkan WDS yang
memiliki nilai IL tepat dan atau kurang dari 25 cm dianggap tetap berpotensi
sebagai wilayah urbanisasi dengan mengembalikan nilai WDS itu sendiri.
Dengan demikian, maka formula perhitungan WDS dimultiplikasi dengan ILA
(Inundation Level Acceptability) menjadi sebagai berikut;
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 15
ILA=Fuzzy Set membership IL
dimana nilai ILA adalah Inundation Level Acceptability, IL adalah raster map
ketinggian genangan (cm). Perhitungan raster ILA dihitung dengan melakukan
metode raster calculation dalam software ArcGIS 9.3.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 17
Bab III
Deskripsi Daerah Pesisir Pekalongan
A. Letak Geografi s dan Administratif
Pekalongan merupakan salah satu kota bersejarah yang terletak di wilayah
pesisir utara Provinsi Jawa Tengah yang berjarak kurang lebih 101 km ke arah
barat dari Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Secara geogra s, Pekalongan
memiliki posisi strategis berada di jalur penghubung antara kota-kota di Wilayah
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jalur penghubung berupa jalur utara arteri
Pulau Jawa atau biasa disebut jalur pantura. Jalur ke barat dari Pekalongan
menuju Tegal, Pemalang dan Cirebon, sedang ke timur menuju Kendal dan
Semarang, serta ke selatan bisa menuju Banjarnegara untuk menuju jalur arteri
selatan Pulau Jawa.
Kota Pekalongan membentang antara 65042 65544 LS dan 1093755
1094219 BT. Luas Kota Pekalongan adalah 45,25 km atau 0,14 % dari luas
wilayah Provinsi Jawa Tengah yang seluas 3,254 ribu km .Jarak terjauh dari Utara
ke Selatan mencapai 9 km, sedangkan dari Barat ke Timur mencapai 7 km.
Secara Administratif Kota Pekalongan terbagi menjadi 4 (empat) Kecamatan
(Gambar 3.1), yang tiap kecamatan terdiri dari beberapa kelurahan:
a. Kecamatan Pekalongan Barat terdiri dari 13 kelurahan.
b. Kecamatan Pekalongan Timur terdiri dari 13 kelurahan
c. Kecamatan Pekalongan Utara terdiri dari 9 kelurahan
d. Kecamatan Pekalongan Selatan terdiri dari 8 kelurahan
Pesisir Pekalongan memiliki garis pantai kurang lebih sepanjang 16.86 Km
membentang dari Barat ke Timur berhadapan langsung dengan Laut Jawa, berada
-
18 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
di Kecamatan Pekalongan Utara. Secara morfologis pantainya berbentuk landai
didominasi oleh hamparan pasir, tidak berbatu, perairannya bersifat terbuka,
bukan merupakan teluk dan ombak pantainya relatif berkekuatan rendah. Warna
perairan pantai keruh kecoklatan dan baru kurang lebih 1 mil warna terlihat hijau
kebiruan. Kedalaman perairan pantai antara 0.525 m dengan kecepatan arus
yang cukup deras.
Kota Pekalongan terdapat 6 (enam) kelurahan yang bagian utara wilayahnya
berhubungan langsung dengan perairan Laut Jawa, yaitu: Kelurahan Bandengan,
Kelurahan Kandang Panjang, Kelurahan Panjang Baru, Kelurahan Panjang
Wetan, Kelurahan Krapyak Lor dan Kelurahan Degayu. Secara administratif
enam kelurahan tersebut termasuk wilayah Kecamatan Pekalongan Utara.
Gambar 3.1. Wilayah Administrasi Ko ta Pe kalo ngan
B. Kondisi Geologi
Berdasarkan informasi batuan yang berasal dari analisis Peta Geologi
Lembar Pekalongan, Skala 1 :100,000 yang bersumber dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung. Litologi batuan di Kota Pekalongan merupakan
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 19
endapan sedimen alluvium, terbentuk pada jaman holosen periode tersier dengan
ketebalan 150 m yang terdiri dari kerikil, pasir, lanau dan lempung, endapan
sungai dan rawa (Gambar 3.2.).
Endapan alluvium ini terbentuk menutupi lapisan batuan anggota breksi
formasi Ligung yang bersusunan andesit, lava andesit hornblend dan tufa yang
merupakan bagian atas formasi Ligung yang terbentuk pada pliosen akhir
pliosen awal. Lapisan alluvium pada permukaan di sepanjang pantai di dominasi
oleh pasir sedangkan di daerah muara adalah lempung, endapan sungai dan
rawa.
Gambar 3.2. Ko ndisi Ge o lo g i Ke c amatan Pe kalo ngan Utara
C. Geomorfologi
Geomorfologi pantai di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa bentuk
pantai relatif landai dengan kemiringan kurang dari 3o. Bentuk morfologi pantai
di bagian barat, berpasir halus yang bercampur dengan vegetasi seperti semak
belukar atau ladang dan di pantai bagian timur adalah berpasir cenderung
berlumpur. Bentuklahan di Kota Pekalongan dibedakan menjadi 2 bentukan
-
20 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
yaitu dataran alluvial dan dataran alluvial pantai. Dataran alluvial merupakan
hasil proses uvial dan sedangkan dataran alluvial pantai merupakan hasil dari
proses marine.
Satuan-satuan bentuklahan yang berada pada kelompok dataran alluvial
semuanya tersusun atas batuan yang berasal dari pengendapan material yang
dibawa oleh aliran air karena diendapkan oleh aliran air maka terdapat sortasi yang
baik. Material yang berukuran halus akan diendapkan belakangan dibandingkan
dengan material yang berukuran kasar. Material yang berukuran halus akan
diendapkan belakangan dibandingkan dengan material yang berukuran kasar.
Semakin jauh dari sumber endapan, semakin halus pula ukuran butir material
yang diendapkan. Batuan ini sering disebut dengan alluvium yang berbeda
dengan batuan endapan gravitasional. Dataran alluvial di Pekalongan terdapat
memanjang dari timur ke barat pada sisi-sisi perbukitan hingga perbatasan
dengan dataran alluvial pantai (Moechtar, dkk.,2009).
Kelompok dataran alluvial pantai dibedakan dari dataran alluvial yang lain
karena morfologi perlapisan batuannya yang berbeda. Pada dataran alluvial,
batuan berlapis horizontal sedangkan pada dataran alluvial pantai batuan
aluvium berlapis silang siur. Perlapisan yang demikian dikarenakan pengendapan
oleh sungai saling berganti dengan endapan oleh gelombang air laut.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 21
Bab IV
Kerentanan wilayah pesisir: Perubahan garis pantai dan Banjir pasang
A. Pengukuran perubahan garis pantai
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis, dengan berbagai
macam proses sik, termasuk kenaikan muka air laut, land subsidence, serta
erosi-sedimentasi. Semua proses tersebut mempengaruhi perubahan garis
pantai dan perkembangan bentuk landskap pesisir. Perubahan garis pantai
merupakan proses paling banyak dipertimbangkan di wilayah pesisir (Bagli
dan Soile, 2003; Mills dkk., 2005; Pratomoatmojo dkk., 2011). Beberapa analisa
perubahan garis pantai diperlukan dalam perencanaan bangunan pelindung
pantai, analisa kenaikan muka air laut, analisa bencana, serta sebagai landasan
dalam pembuatan kebijakan pengembangan wilayah pesisir.
Perubahan garis pantai diperlukan untuk mengidenti kasi berbagai
proses, dan juga untuk mengetahui dampak dari manusia hingga pada akhirnya
menyiapkan rencana pengembangan dan manajemen pengelolaan sumberdaya.
Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk memonitor perubahan
garis pantai di wilayah pesisir dengan akurasi yang tinggi, dan pada saat yang
bersamaan dapat menurunkan biaya yang tinggi. Kombinasi antara penginderaan
jauh dan GIS memungkinkan penggunanya untuk menghasilkan peta dengan
kualitas tinggi dalam berbagai skala dan menyimpan data dengan jumlah yang
besar. Disamping itu, penginderaan jauh dan teknologi GIS dapat dikembangkan
untuk berbagai macam tujuan, dan teknologi komputer juga dapat mendukung
integrasi data secara mudah.
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk monitor perubahan garis
pantai telah banyak digunakan secara luas di beberapa penelitian. Pengamatan
-
22 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
menggunakan intepretasi visual pada data multi-temporal telah di gunakan dalam
Elkoushy dan Tolba (2004). Sementara, Mills, dkk. (2005) mengintegrasikan
teknologi GPS, yang juga digunakan sebagai titik kontrol yang dihasilkan dari
tahap penentuan lokasi relatif dari proses fotogrametris. Sedangkan pengamatan
perubahan garis pantai dalam jangka waktu yang lama telah dilakukan oleh
Marfai and King (2008a) menggunakan data sejenis seperti citra satelit dengan
resolusi spasial yang optimal.
Dalam penelitian ini, penggunaan citra satelit GeoEye RGB dengan resolusi
0,5 meter, dan QuickBird RGB resolusi 2,62 meter diperoleh dari Google earth yang
menyediakan data temporal lokasi penelitian Tahun 2003, 2006, dan 2009. Data
citra tersebut digunakan sebagai peta dasar untuk menganalisa perubahan garis
pantai secara visual dikombinasikan dengan pengamatan langsung di lapangan
(Gambar 4.1., Gambar 4.2., dan Gambar 4.3.). Informasi kejadian banjir rob tidak
hanya diperoleh dari hasil pengukuran, akan tetapi juga hasil wawancara dengan
penduduk.
Gambar 4.1. Ke jadian ro b (tidal fl o o d) dic atat de ngan GPS
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 23
Gambar 4.2. Pe ngukuran ke tingg ian tanggul laut (se a wall)
Gambar 4.3. Pe nc atatan dan pe ngambilan sampe l abrasi dan ro b
-
24 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.3. Pe nc atatan dan pe ngambilan sampe l abrasi dan ro b
B. Pengolahan Data
Citra terbaru (tahun 2009) yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra
GeoEye dan Quickbird yang berasal dari Google Earth. Citra tersebut diakuisisi
menggunakan software Stitchmap. Proses untuk mendapatkan citra dengan
software Stitchmap pertama adalah dengan menampilkan cakupan yang akan
di-capture (Gambar 4.4.), kemudian cakupan tersebut dibagi dalam cakupan
yang kecil-kecil yang mempunyai bagian pinggir yang bertampalan sesuai batas
yang ditentukan. Semakin kecil cakupan yang bertampalan akan semakin detil
wilayah akan didapatkan. Citra hasil capture Stitchmap berupa le format raster
geojpg yaitu le jpeg yang sudah bergeoreferensi.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 25
Gambar 4.4. Capture Quic kBird dan Ge o Eye de ngan Stitc hmap
Agar mendapatkan Citra GeoEye dan Quickbird dengan akurasi tinggi,
dilakukan georeferensi ulang pada citra hasil Stitchmap tersebut dengan
melakukan registrasi ulang titik-titik acuan lapangan menggunakan GPS
(Magellan Mobile Mapper), dan pengolahan data registrasi lapangan dilakukan
GlobalMapper ver.8. (Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.)
-
26 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.5 ge o re fe re nc ing de ngan Gro und Co ntro l Po int (GCP)
Gambar 4.6. Ge o re fe re nsi Citra Quic kbird dan Ge o Eye me nggunakan Glo bal
Mappe r
Citra terbaru hasil registrasi ulang tersebut digunakan sebagai acuan untuk
meregistrasi/georeferensi citra-citra tahun sebelumnya yaitu tahun 2003 dan
2006. Pemilihan Ground Control Point (GCP) berdasarkan atas kenampakan
bangunan, jalan, jembatan mapun kenampakan lain seperti sawah dan sungai
yang tidak berubah di antara semua citra tersebut (Gambar 4.7 dan Gambar
4.8).
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 27
Gambar 4.7.Ge o re fe re nsi untuk me nganalisa pe rubahan garis panta i
-
28 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
a)
b)
Gambar 4.8. Pe rbandingan c itra tahun 2003 (a ) dan tahun 2009 (b )
Software Global Mapper digunakan untuk menggeoreferensi ulang le
geojpeg hasil stitchmap dengan membuang informasi geogra menjadi jpg biasa
dengan memasukkan titik-titik koordinat hasil survei lapangan.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 29
C. Analisis Data
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, diketahui bahwa
perubahan garis pantai didominasi oleh proses abrasi dimana total perubahan
seluruh wilayah penelitian adalah sebesar 105,349 meter. Perubahan garis pantai
terbesar terjadi di Desa Jeruksari yang terletak pada posisi yang mengarah
langsung ke laut. Sedangkan angka abrasi terkecil terjadi di Kelurahan Krapyak
Lor sebesar 2,508 meter seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1. Hal tersebut
terjadi kemungkinan karena adanya bangunan tanggul pantai (sea wall) yang
difungsikan untuk menekan laju abrasi di Pantai Slamaran yang terletak di
Kelurahan Krapyak Lor. Sedangkan perubahan garis pantai di pesisir pekalongan
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.9.
Tabe l 4.1. Pe rubahan Garis Panta i Wilayah Pe ne litian Tahun 2003-2009 (da lam me te r)
No. Wilayah Administrasi Perubahan rata-rata1 DEGAYU -8.6532 KRAPYAK LOR -2.5083 PANJANG WETAN -12.3484 KANDANGPANJANG -15.0975 BANDENGAN -1.0546 JERUKSARI -16.8067 PECAKARAN -12.3068 API-API -6.4359 WONOKERTO KULON -5.230
10 SEMUT -24.912Jumlah -105.349
(-) Abrasi;(+) Se dime ntasi Sumbe r: Hasil Analisis
-
30 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.9. Sho re line Change
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 31
1. Fuzzy set membership
Proses standarisasi nilai melalui mekanisme Fuzzy set membership dilakukan
terhadap variabel perhitungan CVI dan WDS yang terdiri dari 6 variabel CVI dan 11
variable WDS. Variabel yang dilakukan standarisasi untuk perhitungan CVI adalah
(1) geomorfology; (2) perubahan garis pantai; (3) lereng pesisir; (4) perubahan
ketinggian permukaan air laut rata-rata; (5)signi kan ketinggian gelombang; (6)
range pasang-surut, sedangkan untuk perhitungan WDS adalah (1) kedekatan
terhadap jaringan jalan primer; (2) kedekatan terhadap jaringan jalan sekunder;
(3) kedekatan terhadap fasilitas pendidikan; (4) kedekatan terhadap fasilitas
kesehatan; (5) kedekatan terhadap fasilitas perdagangan (pasar); (6) kedekatan
terhadap fasilitas peribadatan; (7) kedekatan terhadap fasilitas perkantoran; (8)
jarak terhadap bibir pantai; (9) kelandaian zona pesisir; (10) kedekatan terhadap
permukiman/lahan terbangun; dan (11) jenis penggunaan lahan.
Fuzziness mampu melibatkan unsure uncertainty (ketidakpastian) yang
muncul dalam klasi kasi Boolean.Pendekatan Fuzzy diterapkan pada kasus ini
dimana seluruh kritera diproses untuk memiliki nilai yang terstandarisasi dan
memiliki skala kelayakan berbentuk real scale mulai nilai 0 (tidak sesuai) menuju
nilai 1 (sangat sesuai).
Pada Fuzzy set membership function dengan menggunakan signoidal
(Gambar 4.10), mengikuti persamaan berikut:
dimana fungsi signoidal monotonically decreasing (ketika xb, (x)=1) ditunjukkan oleh persamaan 7 dan 8.
-
32 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Penerapan fuzzy set signoidal membership function pada peta ditunjukkan pada
Gambar 4.11.
Gambar 4.10. Fuzzy se t de ngan me nggunakan signo ida l
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 33
Gambar 4.11. Pe ne rapan fuzzy se t signo idal me mbe rship func tio n
pada pe ta ke tingg ian.
Penilaian terhadap faktor WDS dibagi menjadi 3 group faktor, yaitu (1) faktor
aksesibilitas terhadap fasilitas (2) aksesibibilitas jalan raya transportasi; (3) faktor
penggunaan lahan sebagai daya tarik urbanisasi; (4) Kedekatan terhadap garis
pantai. Penggunaan faktor grup dalam proses tahapan AHP telah ditunjukkan
oleh Gemizi, dkk. (2006).
2. AHP (Analytical Hierarchy Process)
Pada tahap AHP ini adalah memberikan bobot terhadap masing-masing
variabel perhitungan WDS. Tiap-tiap variabel diuji pengaruhnya terhadap variabel
lain untuk menentukan variabel yang lebih berpengaruh yang digunakan untuk
menjelaskan potensi pengembangan wilayah pesisir. Nilai yang diberikan dalam
menguji tiap variabel memiliki rentang (1/9)extremely less important hingga
(9)extremely more important. Pemberian nilai variabel tersebut mengandung
unsur subyekti tas sehingga sangat tergantung kepada pengetahuan yang
dimiliki oleh peniliti. Namun demikian, beberapa teori serta beberapa studi
terdahulu dapat membantu untuk menentukan hubungan yang lebih relevan.
-
34 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
3. MCE (Multi Criteria Evaluation) Boolean
Pada tahap ini menggunakan pendekatan MCE (Multi Criteria Evaluation)
dengan cara membuat Boolean image untuk tiap-tiap faktor pendukung
pengembangan wilayah pesisir. Tiap-tiap Boolean image akan memiliki nilai
maksimal adalah 1 (mewakili kondisi sangat sesuai) dan nilai minimal adalah 0
(mewakili kondisi sangat tidak sesuai). Beberapa faktor yang dianggap memiliki
pengaruh terhadap potensi pengembangan wilayah di pesisir dan beberapa faktor
akan memiliki bobot yang lebih besar/penting daripada lainnya.
4. WDS untuk faktor aksesibilitas terhadap fasilitas
Variabel yang termasuk pada kelompok faktor yang berpengaruh terhadap
aksesibilitas terhadap fasilitas yaitu (1) kedekatan terhadap fasilitas kesehatan;
(2) kedekatan terhadap fasilitas pendidikan; (3) kedekatan terhadap fasilitas
perdagangan; (4) kedekatan terhadap fasilitas peribadatan; (5) kedekatan
terhadap fasilitas perkantoran; (6) kedekatan terhadap sarana telekomunikasi.
Monotonically decreasing sigmodal fuzzy membership function diterapkan
untuk merubah nilai Eucledian distance dari seluruh variabel pada kelompok
faktor aksesibilitas terhadap fasilitas sehingga memiliki nilai minimal 0 dan
maksimal 1. Titik kontrol yaitu 100 m ditetapkan terhadap titik kontrol c pada
gra k fuzzy membership function dan titik kontrol d adalah nilai maksimal
eucledian distance yang dimiliki oleh masing-masing variabel. Gambar 4.12.
dan Tabel 4.2 menunjukkan hasil fuzzy set membership signoidal dan pairwise
comparison faktor-faktor aksesibilitas terhadap fasilitas. Hasil peta akhir untuk
WDS untuk aksesibilitas terhadap fasilitas ditunjukkan pada Gambar 4.13.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 35
Gambar 4.12. Fuzzy se t me mbe rship Signo ida l dari variabe l pe nyusun WDS dari se g i
akse sib ilitas te rhadap fasilitas
-
36 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.12. Fuzzy se t me mbe rship Signo ida l dari variabe l pe nyusun WDS dari se g i
akse sib ilitas te rhadap fasilitas
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 37
Gambar 4.12. Fuzzy se t me mbe rship Signo ida l dari variabe l pe nyusun WDS dari se g i
akse sib ilitas te rhadap fasilitas
Berkaitan dengan potensi pemekaran areal perkotaan (urban sprawl),
beberapa fasilitas dapat menjadi daya tarik terhadap potensi pemekaran areal
perkotaan di suatu wilayah. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa kedekatan
terhadap fasilitas perdagangan dan fasilitas perkantoran menunjukkan pola
urban sprawl. Fasilitas lain yang dapat mempengaruhi pemekaran areal perkotaan
adalah fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas telekomunikasi dan
fasilitas peribadatan.
Tabe l 4.2. Pairwise c o mpariso n fakto r-fakto r ke de katan akse s te rhadap fasilitas
-
38 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.13. Pe ta akhir WDS akse sib ilitas untuk Fasilitas
5. WDS untuk faktor aksesibilitas transportasi
Variabel yang termasuk pada kelompok faktor yang berpengaruh terhadap
aksesibilitas terhadap jaringan jalan yaitu (1) akses terhadap pelabuhan; (2) akses
terhadap terminal (3) akses terhadap jaringan jalan primer (nasional, propinsi
dan kolektor); (4) akses terhadap jaringan jalan sekunder (jalan lokal, jalan
lain).
Monotonically decreasing sigmodal fuzzy membership function diterapkan
untuk merubah nilai Eucledian distance dari seluruh variabel pada kelompok
faktor aksesibilitas terhadap transportasi, sehingga memiliki nilai minimal 0 dan
maksimal 1. Pada variabel jalan, jarak 200 m ditetapkan terhadap titik kontrol c
pada gra k fuzzy membership function dan titik kontrol dadalah nilai maksimal
eucledian distance yang dimiliki oleh masing-masing variabel. Sedangkan pada
variabel simpul transportasi seperti terminal dan pelabuhan, titik kontrol c berada
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 39
pada jarak 500 m dan titik kontrol d ditetapkan terhadap jarak maksimal varibel
masing-masing. Penetapan nilai kontrol ditetapkan berdasarkan asumsi potensi
kegiatan yang berkembang. Pengolahan peta Fuzzy set membership Signoidal
dari variable penyusun WDS dari segi aksesibilitas terhadap transportasi Gambar
4.14. Sedangkan bobot masing-masing variable penyusunnya ditunjukkan pada
Tabel 4.3. Peta akhir WDS untuk aksesibilitas transportasi ditunjukkan pada
Gambar 4.15.
Tabe l 4.3 Bo bo t masing -masing variabe l fasilitas
-
40 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.14. Fuzzy se t me mbe rship Signo idal dari variab le pe nyusun WDS dari
se g i akse sib ilitas te rhadap transpo rtasi
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 41
Gambar 4.14. Fuzzy se t me mbe rship Signo idal dari variab le pe nyusun WDS dari
se g i akse sib ilitas te rhadap transpo rtasi
-
42 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.15. WDS untuk fakto r transpo rtasi
6. WDS untuk faktor tarikan oleh penggunaan lahan
Variabel yang termasuk pada kelompok faktor yang berpengaruh terhadap
aksesibilitas terhadap fasilitas yaitu (1) jenis penggunaan lahan; (2) kedekatan
terhadap lahan terbangun; (3) kedekatan terhadap waterbody; (4) kedekatan
terhadap garis pantai. Kombinasi antara Symetric Signoidal fuzzy membership
(garis pantai dan water body), Monotonically decreasing sigmodal fuzzy
membership function (kedekatan lahan terbangun), dan scoring digunakan
untuk menilai variabel pada kelompok faktor tarikan terhadap penggunaan
lahan, sehingga memiliki nilai minimal 0 dan maksimal 1. Fuzzy set membership
signoidal dari variabel WDS berdasarkan faktor daya tarik penggunaan lahan
ditunjukkan pada Gambar 4.16.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 43
Gambar 4.16. Fuzzy se t me mbe rship Signo idal pe nyusun WDS
dari se g i daya tarik pe nggunaan lahan
-
44 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.16. Fuzzy se t me mbe rship Signo idal pe nyusun WDS
dari se g i daya tarik pe nggunaan lahan
Garis pantai dan tubuh air digunakan symmetric signoidal, dengan titik
kontrol a adalah 100 m (batas area yang tidak boleh dibangun), b dan c adalah
1000 m dan d adalah jarak terjauh dari tiap variabel. Pada kedekatan terhadap
lahan terbangun digunakan monotonically decreasing yang memiliki titik kontrol
b adalah 100 m dan pada peta penggunaan lahan digunakan skor antara rentang
0 sampai 1 sesuai dengan potensi perubahan menjadi lahan terbangun.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 45
7. WDS Total
Perhitungan nilai raster petaWDS yang terdiri dari beberapa variabel
menghasilkan peta WDS Total yang menunjukkan potensi pengembangan
wilayah berdasarkan fasilitas pendukung, dan penggunaan lahan permukiman.
Nilai maksimal terdapat pada wilayah yang memiliki kuantitas fasilitas
pendukung yang tinggi, dimana terdapat di pusat kota dan wilayah sekitarnya.
Angka maksimal yang dihasilkan adalah sebesar 0.99 dan angka terendah adalah
sebesar 0.27.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah studi
Pekalongan memiliki tingkat kesesuaian terhadap pengembangan wilayah pesisir
relatif sangat tinggi di bagian pusat, terutama pada zona-zona yang memiliki
distribusi fasilitas dan penggunaan lahan permukiman (Gambar 4.17). Pada
model tersebut ditetapkan sebagai asumsi bahwa ketiga group WDS memiliki
bobot yang cukup ekuivalen yaitu WDS penggunaan lahan (0.3); WDS fasilitas
(0.3); dan WDS transportasi adalah 0.4.
Gambar 4.17. WDS To ta l
-
46 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
8. CVI (Coastal Vulnerability Index)
Hasil perhitungan indeks kerentanan pesisir di wilayah penelitian
menunjukkan angka kerentanan yang rendah dimana skor maksimal CVI hanya
sebesar 0,23 (Gambar 4.18.). Angka tersebut dipengaruhi oleh rendahnya nilai-
nilai faktor penentu kerentanan. Lokasi Pekalongan yang terletak di wilayah
pantai utara Jawa menyebabkan rendahnya gelombang, rendahnya perubahan
garis pantai, dan juga pasang surut. Meskipun demikian, dampak yang terjadi
di lapangan cukup memberikan dampak yang negatif terhadap pengembangan
wilayah pesisir di Pekalongan baik terhadap infrastruktur, sosial ataupun
ekonomi.
Gambar 4.18. Pe ta Co asta l vulne rability Inde x Pe kalo ngan
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 47
9. Water Depth (Kedalaman Genangan)
Kedalaman genangan wilayah pesisir Pekalongan utara berdasarkan analisis
menunjukkan luas yang cukup signi kan berdasarkan potensi genangan skenario
2011, 2050, 2100. Beberapa lokasi dengan ketinggian rendah mengalami genangan
dengan ketinggian variatif sesuai dengan skenario yang diterapkan.
Tahun 2011 (Gambar 4.19) menunjukkan kedalaman genangan yang terjadi
di Pekalongan berada pada kisaran 0 1,13 yang berarti wilayah yang memiliki
ketinggian wilayah lebih dari batasan tersebut merupakan zona aman dari
genangan.
Gambar 4.19. Le ve l Ke dalaman Ge nangan tahun 2011
Potensi genangan disebabkan elevasi wilayah pesisir Pekalongan yang tidak
jauh berbeda dengan tinggi muka air laut. Disamping itu, amplitude pasang
surut yang cukup besar di wilayah tersebut. Sebagai contohnya pada awal tahun
-
48 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
2000 di Pantai Slamaran belum dibangun tanggul penahan gelombang (border).
Banjir rob datang dari arah pantai yang kemudian mengalir dan menggenangi
jalan serta permukiman yang berada di sekitar pantai. Ketinggian banjir rob
mencapai 50 cm dengan lama genangan sampai surut pada kisaran 3-5 jam.
Berdasarkan informasi dari narasumber lokal, di tahun 2006 pembangunan
tanggul penahan gelombang (border) di sekitar pantai Slamaran kelurahan
Krapyak Lor dilakukan 2006-2008. Setelah terdapat tanggul penahan di
sepanjang pantai, air yang berasal dari pantai hanya akan melampaui tanggul
penahan pada saat terjadi gelombang besar dengan ketinggian genangan 10-
20 cm. Selain pembangunan tanggul penahan gelombang, mulai tahun 2010
dibangun pemecah gelombang (jetty) di sepanjang tanggul penahan gelombang
sepanjang 10 m ke arah laut.
Di tahun 2050, kedalaman genangan yang terjadi di Pekalongan berada pada
kisaran 0 1,36 (Gambar 4.20.). Kenaikan ketinggian level genangan sebesar
0,23 menunjukkan bahwa di tahun 2011 merupakan zona aman dapat berpotensi
tergenang di tahun 2050. Peningkatan luasan wilayah genangan dengan
penambahan faktor sea level rise menimbulkan peningkatan level kerentanan
bahaya banjir di wilayah yang jaraknya dekat dengan pantai ataupun ketinggian
yang rendah. Pada tahun 2050, potensi genangan akan semakin besar apabila
laju pertumbuhan penduduk meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan
akan lahan untuk tempat tinggal. Hal ini akan menyebabkan area-area terbuka
menjadi area tinggal dengan potensi banjir yang besar karena berkurangnya
wilayah resapan air ataupun daerah retensi air.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 49
Gambar 4.20. Le ve l Ke dalaman Ge nangan tahun 2050
Kedalaman genangan berada pada kisaran 0 1.66542 di tahun 2100 yang
menunjukkan kenaikan ketinggian level genangan sebesar 0.534 sejak tahun
2011. Wilayah yang pada tahun 2011 dan 2050 merupakan zona aman pada tahun
2100 berpotensi untuk tergenang. Gambar 4.21. menunjukkan luasan genangan
untuk skenario 2100.
-
50 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.21. Le ve l Ke dalaman Ge nangan tahun 2100
Berdasarkan Gambar 4.22., genangan yang terjadi tidak hanya berasal dari
pinggir pantai tapi juga berasal dari luapan sungai yang mengalami desakan dari
aktivitas pasang surut. Luas genangan seluruh area 17.058,22 hektar dengan area
yang tergenang mencapai 4.642,89 hektar atau sekitar 27% dibandingkan dengan
luas area yang tidak tergenang sebesar 12.415,33 hektar atau sekitar 73%.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 51
Gambar 4.22. Po te nsi Wilayah Te rke na Pe ngaruh Ro b 2011
Berdasarkan hasil analisis (Gambar 4.23) menunjukkan luapan air yang berasal
dari pinggir pantai mengalami peningkatan baik dari luapan laut maupun sungai.
Luas area yang tergenang mengalami peningkatan menjadi 5.617,48 hektar atau
sekitar 33% dibandingkan dengan luas area yang tidak tergenang sebesar 11.440,74
hektar atau sekitar 67%. Daerah yang tergenang mengalami peningkatan luasan
sebesar 6%. Peningkatan luasan yang mendasarkan pada kenaikan muka air
laut tersebut akan menyebabkan area permukiman yang mendominasi kawasan
pesisir Pekalongan rawan terhadap banjir. Pertambahan penduduk yang pesat
mendorong kebutuhan akan permukiman dan konversi lahan menjadi faktor
yang memperparah kondisi banjir di masa mendatang. Kecenderungan untuk
terjadinya alih fungsi lahan sebagai akibat perkembangan kota akan menjadi
permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah sebagai pengambil kebijakan
untuk menyusun langkah-langkah integratif untuk memaksimalkan potensi
wilayah dengan memperhatikan aspek potensi kebencanaan yang mungkin
terjadi.
-
52 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.23. Po te nsi Wilayah Te rke na Pe ngaruh Ro b 2050
Luapan air yang berasal dari pinggir pantai terus mengalami peningkatan
luasan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.24. Berdasarkan hasil perhitungan
potensi wilayah terkena pengaruh rob di tahun 2050, luas area yang tergenang
mengalami peningkatan menjadi 6.873,22 hektar atau sekitar 40 % dibandingkan
dengan luas area yang tidak tergenang sebesar 10.185 hektar atau sekitar 60%.
Daerah yang tergenang akan terus mengalami peningkatan luasan mencapai
kisaran 10% sejak tahun 2011. Angka tersebut merupakan hasil proyeksi
berdasarkan model skenario kenaikan muka air laut global IPCC. Berdasarkan
pada model tersebut, tingkat potensi bahaya rob akan meningkat seiring dengan
kenaikan muka air laut sebagai efek dari pemanasan global.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 53
Gambar 4.24. Po te nsi Wilayah Te rke na Pe ngaruh Ro b 2050
Berdasarkan gra k di Gambar 4.25., prediksi genangan rob mengalami
peningkatan yang signi kan dari tahun ke tahun jika tidak ada penanganan
lebih lanjut. Skenario Sea level rise (SLR) sebesar 6 mm per tahun menunjukkan
prediksi kenaikan ketinggian permukaan air laut pada tahun 2100 sebesar 53,4
cm. Jika nilai tersebut ditambahkan dengan Highest water level (HWL) sebesar 110
cm, maka ketinggian permukaan laut menjadi 163,4 cm seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 4.4.
-
54 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Gambar 4.25 Grafi k Po te nsi Ge nangan Ro b (He ktar)
Tabe l 4.4. Ske nario Pre diksi Pe rmukaan Air Laut
Skenario 2011 2050 2100SLR = 6 mm/ thn 1.2 23.4 53.4HWL = 1.1 m 111.2 133.4 163.4Sumber : Analisis 2011
Prediksi Ketinggian Permukaan Air Laut (cm)
Sebagian besar wilayah pesisir Pekalongan seperti wilayah Kelurahan Krapyak
Lor, Degayu, Kandangpanjang berdasarkan analisis menunjukkan wilayah yang
mengalami banjir rob pada tahun 2050. Permasalahan akan semakin komplek
dengan padatnya pemukiman di areal yang berpotensi terjadi genangan.
Disamping itu, dampak terhadap kegiatan ekonomi hingga aspek sosial dan
kesehatan patut dipertimbangkan berkenaan dengan banjir yang akan terjadi.
Hal ini memerlukan perencanaan dan antisipasi melalui peningkatan kapasitas
masyarakat untuk menghadapi bencana termasuk kemampuan mitigasi. Selain
itu, antisipasi perlu dilakukan dengan perencanaan struktural maupun non
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 55
struktural dalam menghadapi potensi bahaya rob di masa mendatang akibat
kenaikan muka air laut.
Peta WDSVI sebelum dikurangi faktor tinggi genangan merupakan gambaran
potensi pengembangan wilayah di pesisir pekalongan berdasarkan kerentanan
terhadap bencana di wilayah pesisir (Gambar 4.26). Beberapa wilayah memiliki
kerentanan tinggi sehingga menyebabkan potensi pengembangan rendah,
sedangkan di lokasi dengan kerentanan rendah menjadi sangat potensial untuk
dikembangkan.
a)
Gambar 4.26. Fuzzy Signo ida l De c re asing se t me mbe rships
a ) 2011, b ) 2050, dan c ) 2100
-
56 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
b)
c)
Gambar 4.26. Fuzzy Signo ida l De c re asing se t me mbe rships
a ) 2011, b ) 2050, dan c ) 2100
Gambar 4.27. menunjukkan angka 0,81 sebagai skor potensi pengembangan
tertinggi wilayah pesisir, dan angka -0,41 merupakan angka terendah yang
menunjukkan tingkat kerentanan tertinggi di pesisir Pekalongan.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 57
Gambar 4.27. WDSVI
Perhitungan didasarkan pada rumus:
dimana IL adalah waterdepth, dan ILA adalah fuzzy set membership dari IL
dimana diatas 0.5 m genangan diberi nilai 0, dan genangan dibawah 0.5 m hingga
0 m adalah fuzzy set membership value maka dilakukan perhitungan raster
calculator:
WDSVI_years=[WDSVI_without_ILA] * [ILA_years]
-
58 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
Berdasarkan perhitungan tersebut maka beberapa output model WSDVI
berdasarkan tahun skenario yang diusulkan ditunjukkan oleh Gambar 4.28.
Pengkelasan nilai WDSVI dapat menjelaskan tingkat kesesuaian pengembangan
wilayah pesisir di Pekalongan Utara sebagai antisipasi adanya kenaikan
permukaan laut beserta banjir pasang yang akan terjadi. Pengkelasan untuk
menentukan tingkat kesesuaian tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.29.
a)
Gambar 4.28. WDSVI be rdasarkan ske nario se a le ve l rise dan banjir
pasang tahun 2011(a ), 2050 (b ) dan 2100 (c )
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 59
b)
c)
Gambar 4.28. WDSVI be rdasarkan ske nario se a le ve l rise dan banjir
pasang tahun 2011 (a ), 2050 (b ) dan 2100 (c )
-
60 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
a)
b)
Gambar 4.29. Hasil klasifi kasi tingkat ke se suaian te rhadap po te nsi
pe nge mbangan wilayah di Pe kalo ngan Utara tahun 2011 (a ), 2050 (b )
dan 2100 (c )
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 61
c)
Gambar 4.29. Hasil klasifi kasi tingkat ke se suaian te rhadap po te nsi
pe nge mbangan wilayah di Pe kalo ngan Utara tahun 2011 (a ), 2050 (b )
dan 2100 (c )
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 63
Bab V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Perubahan garis pantai terbesar terjadi di Desa Jeruksari dengan nilai
perubahan sejauh 16,806 meter; sedangkan perubahan garis pantai yang
terkecil terjadi di Kelurahan Krapyak Lor yaitu sebesar 2,508 meter.
2. Highest Water Level(HWL) sampai tahun 2011 yakni 111.2 cm, tahun 2050
setinggi 13.4 cmdan 2100 adalah sebesar 163.4 cm.
3. Hasil ujicoba WDSVI yang telah dilakukan dapat memberikan arahan
pengembangan wilayah di wilayah pesisir, karena kemampuan WDSVI
mengakomodir kerentanan yang bersifat sik (CVI) selain juga Sea
Level Rise, serta factor-faktor yang berkaitan dengan pengembangan
wilayah itu sendiri seperti infrastruktur, penggunaan lahan, dan tingkat
ketinggian genangan.
B. Saran
1. Diperlukan perencanaan wilayah pesisir dengan memasukkan faktor
sea level rise yang dapat memberikan arahan pengembangan wilayah
berbasis kerentanan terhadap bencana.
2. Wilayah-wilayah yang mengalami genangan pasang perlu dilakukan
penanganan lebih lanjut termasuk didalamnya peninggian rumah dan
infrastruktur pendukung berdasarkan perhitungan prediksi kenaikan
muka air laut di masa mendatang. Selain itu, diperlukan peningkatan
-
64 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di wilayah pesisir
pada masa yang akan datang.
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 65
Batasan Istilah
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis (PP No. 21 tahun 2008)
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat(PP No. 21 tahun 2008)
Kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh fakor-faktor atau proses-
proses sik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang bisa meningkatkan rawannya
sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (UN/ISDR, Geneva 2004)
Bahaya adalah suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas manusia secara sik
yang mempunyai potensi merusak yang dapat mengakibatkan hilangnya
nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau
kerusakan lingkungan. Bahaya dapat mencakup kondisi laten yang bisa mewakili
ancaman masa depan dan dapat mempunyai berbagai sebab: alam (geologis,
hidrometeorologis dan biologis) atau disebabkan oleh proses-proses manusia
(kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi) (UN/ISDR, Geneva 2004)
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai Dan Banjir Pasang 67
Referensi
Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sidiq, T P., Gamal, M., Murdohardono
D., Supriyadi, Fukuda, Y., (2010), Studying Land Subsidence in Semarang
(Indonesia) Using Geodetic Methods, FIG Congress 2010 Facing the
Challenges Building the Capacity, Sydney, Australia 11-16 April 2010
Aerts, Jeroen., Major, David C., Bowman, Malcolm J., Dircke, Piet., Marfai,
Muh Aris., 2009, Connecting Delta Cities (Coastal Cities, Flood Risk
Management and Adaptation to Climate Change), VU University Press,
Amsterdam
Bagli, S., & Soille, P. (2003). Morhological automatic extraction of Pan-
European coastline from Landsat ETM+images. Proceeding International
Symposium on GIS and Computer Cartography for Coastal Zone
Management, October 2003, Genova.
Beatley T, Browser D.J., Schwab A. K., (2002) An introduction to coastal zone
management second edition, chapter-1 pp.1-12, Island Press.
Boak, E.H., dan Turner, I.L., 2005, The Shoreline Detection-De nition
Problem: A Review Journal of Coastal Research 21 4: 688-703
Cohen, J.E., Small, C., Mellinger, J., Gallup, A. and Sachs, J. (1997) Estimates
of Coastal Populations, Science 278(5341): 120913
Diptosaptono, S (2002) Menyiasati Perubahan lklim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Bogor: Penerbit buku ilmiah populer.
Elkoushy, A.A., dan Tolba, R.A., (2004), Prediction of Shoreline Change by
Using Satellite Aerial Imagery, The XX ISPRS Congress Proceeding, July
2004, Istambul
-
68 Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang
ESPON Hazards project (2003) The spatial e ects and management of natural and technological hazards in general and in relation to climate
change. 1st Interim Report. March 2003.
Fletcher S, Smith HD (2007) Geography and coastal management, Coastal
Management 35(4):419-427.
Gemitzi A, Petalas C, Tsihrintzis VA, Pisinaras V (2006) Assessment of
groundwater vulnerability to pollution: a combination of GIS, fuzzy
logic and decision making techniques. Environ Geol (2006) 49: 653673.
DOI 10.1007/s00254-005-0104-1.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) (2007) Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers,
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007.
http://www.ipcc.ch/.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) (2007) Observation:
Oceanic climate change and sea level rise. http://www.ipcc.ch/.
Kay, Robert C., dan Alder, Jacqueline., 2005, 2nd Edition, Coastal Planning
and Management, Spon Press, London
Marfai MA, Sartohadi J, Sudrajat S, Budiani SR, Yuianto F (2006) Flood
inundation in a coastal area due to sea level rise. Indonesian Disaster
Journal 1(1), 19-25. 10.
Marfai MA, King L (2008a) Tidal inundation mapping under enhanced land
subsidence in Semarang, Central Java Indonesia. Nat Hazards 44:93-109.
DOI 10.1007/s11069-007-9144-z.
Marfai MA, King L (2008b) Potential vulnerability implication of coastal
inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang City,
Indonesia. Environmental Geology. DOI 10.1007/s00254-007-0906-4. 11.
Marfai, MA., King, Lorenz., Sartohadi, J., Sudrajat, Sudrajat., Budiani, S R.,
Yulianto, F., 2008, The Impact of Tidal Flooding on a Coastal Community
in Semarang, Indonesia, Environmentalist 28: 237-248
Mills, J. P., Buckley, S. J., Mitchell, H. L., Clarke, P. J., & Edwards, s. J. (2005).
A geomatics data integration technique for coastal change monitoring.
Earth Surface Processes and Landforms, 30, 651664]
-
Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang 69
Mochtar H, et al. (2009) Perubahan lingkungan dan karakter sistem
pengendapan plistosen akhir holosen di dataran pantai pekalongan, jawa
tengah. JSDG vol.19.
Nicholls and Mimura (1998) Analysis of global impacts of sea-level rise: a case
study of ooding. Phys Chem Earth A/B/C 27:14551466. DOI 10.1016/
S1474-7065(02)00090-6.
Northam, R. M. (1979) Urban Geography; Toronto: John Wiley and Sons.
Pratomoatmojo, N. Nirwansyah, A., 2011. Shoreline Change evaluation
towards spatial planning in waterfront cities (a case study : Surabaya
municipal). Proceeding International Seminar on Spatial Planning.
Indonesian School of Planning Association.
Pribadi, KS., (2008), Climate Change Adaptation Research in Indonesia,
Asian Universities for Environment and Disaster Management 28-29
July, Kyoto, Japan
Saaty, Thomas L., 1980, The Analytic Hierarchy Process: Planning, Priority
Setting, Resource Allocation, Mc-Graw Hill, New York
Sunarto (2001) Geomorfologi Kepesisiran dan Peranannya dalam
Pembangunan Nasional Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor
Kepala pada Fakultas Geogra Universitas Gadjah Mada tanggal 17
Oktober 2001, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
USGS (2009) Basic approach for shoreline changes projections. Coastal
sensitivity to sea-level rise a focus on mid-atlantic region.
http:// epa.gov/climatechange/e ects/coastal/app2.pdfVadrevu KP, Eaturu A, Badarinath KV(2010) Fire risk evaluation using
multicriteria analysis - a case study. Environmental monitoring and
assessment, 166, 223-39
Ward PJ, Marfai MA, Yulianto F, Hizbaron DR, Aerts JCJH (2011) Coastal
inundation and damage exposure estimation: a case study for Jakarta.
Natural Hazards, 56:899-916.
Whyne, Hammond Charles., 1985, Elements of Human Geography, George
Allen and Unwin, London
Yunus, Hadi Sabari., (2002), edisi 2, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.