blok14up6

19
 TUGAS INDIVIDU BLOK 14 UP5 HACCP Sebagai Sistem Penjaminan Keamanan Pangan disusun oleh : ROSSY PAGLIUKA 2012/333969/KH/7448/Z Kelompok 4 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

Upload: rossy-pagliuka

Post on 06-Oct-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

test

TRANSCRIPT

  • TUGAS INDIVIDU

    BLOK 14 UP5

    HACCP Sebagai Sistem Penjaminan Keamanan Pangan

    disusun oleh :

    ROSSY PAGLIUKA

    2012/333969/KH/7448/Z

    Kelompok 4

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2014

  • LEARNING OBJECTIVE

    I. Mengetahui langkah yang digunakan untuk menjamin mutu pangan!

    II. Mengetahui tentang standar penjaminan keamanan pangan di Indonesia

    III. Mengetahui cara memperoleh NKV, HACCP, ISO dan Peranannya!

    PEMBAHASAN

    I. Langkah yang Digunakan untuk Menjamin Mutu Pangan

    Menurut Suardi (2001), untuk mempertahankan mutu produk pangan sesuai dengan yang

    diharapkan konsumen dan mampu bersaing secara global, maka mengacu secara umum dapat

    ditempuh upaya-upaya berikut, khususnya yang menyangkut hubungan antar penjamin mutu,

    yaitu:

    a. Pengadaan bahan baku.

    Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan

    tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan

    baku yang digunakan akan berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan sehingga dapat

    menjadi evaluasi untuk quality control. Walaupun demikian hasil yang didapatkan harus

    menjadi perhatian untuk quality assurance yang bertugas menjamin mutu ditingkat yang

    lebih luas.

    b. Pengendalian Produksi.

    Pengendalian produksi dilakukan secara terus menerus meliputi kegiatan antara

    lain: 1) Pengendalian bahan dan kemampuan telusur, dengan inti kegiatan adalah inventory

    system, dengan tujuan pengendalian kerusakan bahan, 2) Pengendalian dan pemeliharaan

    alat, 3) Proses khusus, yaitu proses produksi yang kegiatan pengendaliannya merupakan hal

    yang sangat penting terhadap mutu produk, dan 4) pengendalian dan perubahan proses.

    Pengendalian produksi menjadi tanggung jawab dibagian quality control untuk menjamin

    proses produksi berjalan dengan baik. Proses yang baik akan menghasilkan produk yang

  • baik yang sesuai standar perusahaan. Quality assurance dapat bertindak pada pengendalian

    produksi khususnya mengenai limbah yang dihasilkan. Penjamin mutu ditingkat

    perusahaan ini harus menjamin keterkaitan semua aspek produksi, termasuk didalamnya

    limbah proses.

    c. Pengemasan.

    Pengemasan dilakukan dengan benar dan memenuhi persyaratan teknis untuk kepentingan

    distribusi dan promosi. Dalam industri pangan, pengemasan merupakan tahap terakhir

    produksi sebelum didistribusikan. Pengemasan berfungsi sebagai: 1) Wadah untuk memuat

    produk, 2) Memelihara kesegaran dan kemantapan produk selama penyimpanan dan

    distribusi, 3) Melindungi pangan dari kontaminasi lingkungan dan manusia, 4) Mencegah

    kehilangan selama pengangkutan dan distribusi, dan 5) Media komunikasi atau promosi.

    d. Penyimpanan dan Penanganan Produk Jadi.

    Penyimpanan dan penanganan produk jadi bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat

    vibrasi, shock, abrasi, korosi, pengaruh suhu, Rh, sinar dan sebagainya selama penanganan,

    pengangkutan, dan penyimpanan.

    e. Pemeriksaan dan Pengujian Selama Proses dan Produk Akhir

    Tujuan utama adalah untuk mengetahui apakah item atau lot yang dihasilkan memenuhi

    persyarakatan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Quality control memegang

    peran pada tahap ini, karena pengujian produk akhir akan menjadi penentu keputusan

    produk jadi.

    f. Keamananan dan Tanggung Jawab Produk.

    Karakteristik mutu keamanan dalam industri pangan semakin hari semakin penting karena

    banyak kasus yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu perlu

    dikembangkan metode atau peraturan tentang praktek pengolahan pangan yang baik. Pada

    bagian ini quality manajement menjadi bagian utama yang bertanggung jawab. Produk

  • yang dihasilkan bukan hanya menjadi tanggung jawab bagian produksi, namun juga semua

    pihak yang terkait produksi termasuk bagian administrasi, atau keamanan. Quality

    manajement memegang peran penting untuk menciptakan peraturan atau kebijakan terkait

    upaya yang berhubungan dengan tanggung jawab produk akhir.

    II. Tentang Standar Penjaminan Keamanan Pangan di Indonesia

    A. SNI

    Menurut Anonim (2010) SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah dokumen yang berisikan

    ketentuan teknis, pedoman & karakterisik kegiatan dan produk. SNI disusun dan disepakati

    oleh stakeholder. Ditetapkan oleh BSN sebagai acuan yang berlaku secara nasional. BSN

    merupakan lembaga pemerintah non departemen, dibentuk dengan Keppres 13-1997

    disempurnakan Keppres 103-2001. SNI merupakan standar produk, namun juga ada standar

    sistemnya. Berbeda dengan ISO (International Organisation for Standardisation) yang

    merupakan Badan Penerbit Standar Internasional, berdiri tahun 1947, berpusat di Geneva-

    Swiss, beranggotakan 173 negara (terdiri dari Badan Standarisasi 133 negara, Lembaga

    standariasi non pemerintah 27 negara, organisasi profesi terkait standarisasi 13 negara). ISO

    adalah standar sistem (bukan standar produk).

    SNI produk :

    - TPH : bakpia, yangko, geplak, sale pisang,

    keripik sukun, rempeyek kacang dsb.

    - Nak : bakso, abon, susu pasturisasi, dsb.

    SNI sistem :

    - SNI HACCP : 01-4852:1999

    - SNI Pangan Organik : 01-6729:2002

    - SNI Manajemen Laboratorium Penguji/Kalibrasi : 01-17025:2005

    - SNI Sistem Manajemen Mutu : 19-9000:2000

  • - SNI Lembaga Inspeksi : 19-17020:1999

    Hubungan standar mutu dengan sertifikasi

    Ada 2 sifat sertifikasi :

    1. MANDATORY : dilakukan karena ada kewajiban dari pemerintah. Contoh :

    Sertifikat produk (Prima, P-IRT, MD, HACCP, Halal, Organik, Pangan Segar)

    2. VOLUNTARY : dilakukan tanpa ada kewajiban dari pemerintah. Contoh :

    Sertifikat sistem ISO-9001 (SMM), ISO-18001 (keselamatan kerja), dsb.

    Produk segar

    - Sertifikat/label Prima 2-3 BKPP DIY

    - Sertifikat Prima 1 Deptan RI (OKKP-P).

    - Sertifikat Organik LS Pro

    - Sertifikat pangan segar BKPP DIY

    Produk olahan :

    - Sertifikat P-IRT Dinas Kesehatan kab/kota

    - Sertifikat HACCP BPOM

    - Sertifikat Halal LPPOM MUI.

    - Sertifikat MD BPOM

    (Anonim, 2010)

    III. Cara Memperoleh NKV, HACCP, ISO dan Peranannya

    A. NKV

    Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah

    dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan

    pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.

    1. Fungsi/ Peranan

  • Tujuan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada setiap Rumah Potong

    Hewan/Unggas (RPH/RPU) dan Tempat Pemrosesan Daging (TPD) adalah :

    a. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, baik yang

    melaksanakan kegiatan pemotongan hewan/unggas dan pemrosesan daging

    maupun yang mengkonsumsi daging bahwa daging berasal dari hasil pemotongan

    hewan/unggas di RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging yang telah memenuhi

    persyaratan.

    b. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pendirian/pengelolaan

    RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging.

    c. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan sistim pengawasan pemotongan

    hewan/unggas dan peredaran daging.

    d. Meningkatkan daya guna, hasil guna dan produktivitas dalam mencapai mutu

    produk (daging) dan hasil olahannya serta jasa pemotongan hewan/unggas yang

    memenuhi syarat/standar. Sampai saat ini masih banyak ditemukannya kasus-

    kasus dalam tekhnis pemotongan hewan di RPH yang dilaksanakan tidak secara

    Islami. Bagi masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam ini merupakan

    suatu masalah yang serius dan sensitive terutama mengenai halalnya produk

    hewan yang akan dikonsumsi (Syefrizal, 2007).

    2. Persyaratan untuk Memperoleh NKV

    Untuk memperoleh NKV, setiap pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan

    administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan administrasi meliputi:

    a. memiliki Kartu Tanda Penduduk/Akte Pendirian;

    b. memiliki Surat Keterangan Domisili;

    c. memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);

    d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

  • e. memiliki Surat Izin HO (Hinder Ordonnantie).

    Persyaratan teknis meliputi:

    a. memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya

    Pengendalian Lingkungan (UPL) yang khusus dipersyaratkan bagi unit usaha

    RPH, RPU, dan Unit Pengolahan Pangan Asal Hewan;

    b. memiliki bangunan, prasarana dan sarana usaha yang memenuhi persyaratan

    teknis higiene-sanitasi

    c. memiliki tenaga kerja teknis dan atau penanggung jawab teknis yang

    mempunyai keahlian/keterampilan di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner;

    d. menerapkan proses penanganan dan atau pengolahan yang higienis (Good

    Hygienic Practices);

    e. menerapkan cara budidaya unggas petelur yang baik (Good Farming Practices).

    a. Selain persyaratan tersebut, untuk usaha Rumah Pemotongan Hewan, Rumah

    Pemotongan Unggas, dan Rumah Pemotongan Babi yang akan melakukan

    kegiatan usaha pengeluaran daging dan atau produk olahannya wajib memenuhi

    persyaratan teknis sesuai ketentuan SNI RPH (SNI 01-6159-1999) dan SNI

    RPU (SNI 01-6160-1999).

    3. Tata Cara Memperoleh NKV

    Setiap pelaku usaha yang wajib memiliki NKV mengajukan permohonan kepada

    Kepala Dinas Propinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan

    melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Kepala Dinas Propinsi

    setelah menerima permohonan NKV, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)

    hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut telah selesai melakukan

    pemeriksaan persyaratan. Apabila permohonan belum memenuhi persyaratan, kepada

    pemohon diminta untuk melengkapi kekurangan persyaratan yang dimaksud. Apabila

  • permohonan sudah memenuhi persyaratan, Kepala Dinas Propinsi memberitahukan

    kepada pemohon bahwa akan dilakukan penilaian di unit usaha dalam waktu 7 (tujuh)

    hari kerja terhitung sejak terpenuhinya persyaratan dimaksud. Penilaian pemenuhan

    persyaratan unit usaha dilakukan oleh Tim Auditor NKV yang ditunjuk oleh Kepala

    Dinas Propinsi atas nama Gubernur. Tim Auditor NKV terdiri dari 1 (satu) orang

    Ketua yang berpendidikan dokter hewan dan 2 orang Anggota. Tim Auditor

    mempunyai tugas:

    a. menilai pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi suatu unit usaha pangan asal

    hewan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dan menggunakan daftar penilaian

    (audit chek list) sebagaimana tercantum pada Lampiran-I Peraturan ini,

    b. melaporkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam pada huruf a berikut

    rekomendasi hasil penilaian kepada Kepala Dinas Propinsi paling lambat 21 (dua

    puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal penugasan. Berdasarkan rekomendasi

    Tim Auditor, Kepala Dinas Propinsi dapat menyetujui atau menunda penerbitan

    NKV sampai dipenuhinya tindakan koreksi dimaksud oleh pemohon, atau menolak

    penerbitan NKV. Dalam hal telah disetujui atau telah dipenuhinya tindakan

    koreksI, Kepala Dinas Propinsi paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari

    kerja menerbitkan NKV dalam bentuk sertifikat seperti contoh dalam Lampiran-II

    dan keterangan hasil penilaian seperti contoh dalam Lampiran III kepada pelaku

    usaha. Dalam hal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas

    Propinsi paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja menolak

    penerbitan NKV dengan disertai alasan penolakan. (7) Kepala Dinas Propinsi

    menyampaikan foto copy sertifikat dan keterangan hasil penilaian kepada Direktur

    Jenderal Peternakan, paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja

    setelah penerbitan NKV (Permentan, 2005)

  • B. HACCP

    1. Tujuan/ Peranan HACCP

    a. Untuk menjamin bahwa produksi pangan aman setiap saat.

    b. Merupakan bukti sistem produksi dan penanganan produk yang aman

    c. Memberi rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanan produknya

    d. Memberikan kepuasan kepada custumer akan konformitasnya pada standar

    nasional/internasional

    e. Memenuhi standar dan regulasi pemerintah

    f. Penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien

    (Marwaha, 2010)

    2. Prinsip HACCP

    a. Prinsip 1 : Melaksanakan analisa bahaya.

    b. Prinsip 2 : Menentukan Titik Kendali Kritis (CCPs).

    c. Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis.

    d. Prinsip 4 : Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (CCP).

    e. Prinsip 5: Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pematauan

    menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali.

    f. Prinsip 6: Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem

    HACCP bekerja secara efektif.

    g. Prinsip 7: Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang

    sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya (Marwaha, 2010).

    (Legowo, 2003)

    3. Prosedur

  • Menurut Anonim (2005), konsep HACCP menurut Codex Alimentarius

    Commision (CAC) terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip HACCP tercakup pula di

    dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem HACCP

    menurut CAC adalah sebagai berikut :

    (Langkah 1. Pembentukan Tim

    HACCP

    Langkah awal yang harus

    dilakukan dalam penyusunan

    rencana HACCP adalah

    membentuk Tim HACCP yang

    melibatkan semua komponen

    dalam industri yang terlibat

    dalam menghasilkan produk

    pangan yang aman. Tim HACCP

    sebaiknya terdiri dari individu-

    individu dengan latar belakang

    pendidikan atau disiplin ilmu

    yang beragam, dan memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan,

    misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/engineer, ahli kimia, dan lain sebagainya

    sehingga dapat melakukan brainstorming dalam mengambil keputusan. Jika keahlian

    tersebut tidak dapat diperoleh dari dalam perusahaan, saran-saran dari para ahli dapat

    diperoleh dari luar.

    Langkah 2. Deskripsi Produk

    Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari

    produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk yang

  • dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis produk,

    komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, serta keterangan

    lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP

    untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif (Anonim, 2005).

    Langkah 3. Identifikasi Pengguna yang Dituju

    Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin

    berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan

    pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum

    atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi, kelompok

    remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok

    populasi pada masyarakat beresiko tinggi (Anonim, 2005).

    Langkah 4. Penyusunan Diagram Alir Proses

    Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh

    proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk jadi untuk

    disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang disusun diagram alir proses sampai

    dengan cara pendistribusian produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan memperbesar

    pekerjaan pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produk-produk yang mungkin

    mengalami abuse (suhu dan sebagainya) selama distribusi, maka tindakan pencegahan

    ini menjadi amat penting.

    Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses

    produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP

    dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau

    lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya (Anonim, 2005).

    Langkah 5. Verifikasi Diagram Alir Proses

  • Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di

    lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk menguji dan

    membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata

    diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan

    modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus

    didokumentasikan (Anonim, 2005).

    Langkah 6. Analisa Bahaya (Prinsip 1)

    Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan

    mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya.

    Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap

    tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap

    penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-

    bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal

    hingga ke tangan konsumen. Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi

    bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori

    resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar

    bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang

    telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok

    konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.

    Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau resiko secara fisik,

    kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan gangguan

    kesehatan pada manusia. Bahaya-bahaya tersebut dapat dikategorikan ke dalam enam

    kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F .

    Tabel 1. Jenis-Jenis Bahaya

    Jenis bahaya Contoh

  • Biologik Sel Vegetatif : Salmonella sp, Escherichia coli

    Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium

    Virus : Hepatitis A

    Parasit : Cryptosporodium sp

    Spora bakteri : Clostridium botulinum, Bacillus cereus

    Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diizinkan, residu

    pestisida, logam berat, bahan allergen

    Fisik Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil,

    rambut, kuku, perhiasan

    (Legowo, 2003)

    Tabel 2. Karakteristik Bahaya

    Kelompok bahaya Karakteristik bahaya

    Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk

    konsumsi kelompok beresiko (lansia,

    bayi, immunocompromised )

    Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap bahaya

    biologi, kimia atau fisik

    Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali

    yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau

    menghilangkan bahaya kimia atau fisik

    Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah

    pengolahan sebelum pengemasan

    Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama

    distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk

  • berbahaya

    Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan

    atau di tangan kosumen atau tidak ada pemanasan akhir

    atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan

    sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku ) atau tidak

    ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi,

    menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau

    fisik

    (Legowo, 2003)

    Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat

    menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa

    bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar

    pendukung sistem HACCP seperti GMP ( Good Manufacturing Practices) , SSOP (

    Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP ( Standard Operational Procedure

    ), dan sistem pendukung lainnya. Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat

    penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam

    rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau

    beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang

    signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam

    penetapan critical control point (Anonim, 2005).

    Langkah 7. Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2)

    CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur

    dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah,

    dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya

    yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau

  • beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Masing-masing titik

    penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP

    decision tree untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan

    mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga

    diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif

    terhadap bahaya atau untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat

    digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP

    secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan

    mikrobiologi (Anonim, 2005).

    Langkah 8. Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)

    Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk

    setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi

    bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan

    "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk

    menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah

    dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan

    harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat

    diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur,

    regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain

    sebagainya (Anonim, 2005). Untuk menetapkan CL maka pertanyaan yang harus

    dijawab adalah : apakah komponen kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP

    mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin

    keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik

    (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah

    mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk

  • mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut (Anonim,

    2005).

    Langkah 9. Prosedur Pemantauan CCP (Prinsip 4)

    Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana dan

    terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin

    bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel

    yang terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai

    pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi)

    yang direkam dalam suatu checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang

    direkam ke dalam suatu datasheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan

    mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau

    dan orang yang melakukan pemantauan (Anonim, 2005).

    Langkah 10. Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)

    Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu

    CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung

    pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya,

    tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi sebelum semua

    penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji

    keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain menghentikan proses

    produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang produk, serta tindakan

    pencegahan seperti memverifikasi setiap (Anonim, 2005).

    Langkah 11. Verifikasi Program HACCP (Prinsip 6)

    Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa

    sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan

  • verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan

    efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya:

    Penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat

    Pemeriksaan kembali rencana HACCP

    Pemeriksaan catatan CCP

    Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap

    kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan

    Pengambilan contoh secara acak

    Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian

    dengan rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang

    dilakukan.

    Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP

    yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi

    baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh produk

    tersebut (Anonim, 2005).

    Langkah 12. Perekaman Data/Dokumentasi (Prinsip 7)

    Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP

    sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode

    waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman

    pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan

    tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan

    kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga

    digunakan oleh operator (Arvanitoyannis, 2009).

    C. ISO

  • Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2002) menyatakan bahwa tujuan utama dari ISO

    adalah:

    1. Organisasi harus mencapai dan mempertahankan kualitas produk atau jasa yang

    dihasilkan, sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan para

    pengguna (costumer).

    2. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak manajemennya sendiri bahwa

    kualitas yang dimaksudkan itu telah dicapai dan dapat dipertahankan.

    3. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak costumer bahwa kualitas yang

    dimaksudkan itu telah atau akan dicapai dalam produk atau jasa yang dijual.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim1. 2005. Apa Itu HACCP. Bogor : Institut Pertanian Bogor http://web.ipb.ac.id/~tpg/cbt/haccp-

    apa.php. (diakses 20 November 2014)

    Anonim2. 2005. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005

    TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL

    HEWAN.

    Anonim3. 2010. Standar Mutu Produk Olahan. Badan Ketahanan Pangan Dan Penyuluhan Provinsi

    DIY

    Arvanitoyannis, I. S. 2009. HACCP and ISO 22000. USA: Wiley-Blackwell.

    Legowo, Anang M. 2003. Analysa Bahaya dan Penerapan Jaminan Mutu Komoditi Pangan.

    Semarang: Fakultas Universitas Diponegoro

    Marwaha, K. 2010. Control and Analysis for Food and Agricultural Products. New Delhi: Gene-Tech

    Books.

    Suardi, R. 2001. Sistem Manajemen Mutu 9000:2000: Penerapan untuk mencapai TQM. Jakarta: PPM.

    Syerfizal. 2007. Pentingnya Pemberian Sertifikasi Halal Pada Rumah Potong Hewan .

    http://disnak.sumbarprov.go.id/. (diakses 20 November 2014)

    Tjiptono, F & Diana, A. 2002. Total Quality Management: Edisi Revisi. Yogjakarta: Penerbit Andi