bintang malam ok..."kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu. suruh mereka menghadapku...

109

Upload: others

Post on 11-Jan-2020

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WWIIRROO SSAABBLLEENNGG

TIGA DALAM SATU BINTANG MALAM

Sumber: [sumber_ebook] EBook: [pembuat]

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

1SEPULUH MATI BERBARENGAN

ETIKA Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang batu kembali kagetnya seperti disambar geledek. Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di

atas jalur-jalur kayo besi penutup kolam tak ada lagi! "Jahanam!" Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil

kepalkan dua tinjunya hingga mengeluarkan suara berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu! Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari tempat ini. Tak ada jalur kayu yang patah. Tak ada tulang belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak memangsa-nya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!"

Kelelawar Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda pincang muncul. Rapatkan dua tangan di atas kepala, memberi hormat seraya bungkukkan tubuh.

"Pincang! Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada di sini?!"

"Tahu sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang. "Kau lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya

lumpuh. Dia tak mungkin kabur dari sini! Berarti ada yang membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa yang kau ketahui! Apa yang kau lihat?!"

"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak tadi saya berada di ruang belakang."

K

"Kalau bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat ini pasti ada pengkhianat di sini! Pincang! Panggil Tuyul Orok!"

"Maaf Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar ketiduran ibunya. Dalam keadaan cidera. Dia tak mampu berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus memanggil-nya juga?"

"Kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!"

Si pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di kursi batu. Menunggu dengan penuh rasa tidak sabar. Tak lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke tempat itu. Berdiri berjejer, rapatkan tangan di atas kepala dan membungkuk berikan hormat pada Sang Pemimpin. Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung dengan cepat.

"Kalian cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian yang lain?!"

Salah seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu tindak, letakkan dua tangan di atas kepala baru menjawab.

"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara kami telah dibantai di Teluk oleh seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih."

Kelelawar Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu, bangkit berdiri. Matanya yang sipit membuka lebar.

"Tidak bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki pemuda gondrong itu?!"

"Kami tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan memancarkan cahaya putih yang panasnya sepuluh kali sinar matahari."

"Omong kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung Roh. "Di atas kolam itu tadi menggeletak seorang nenek. Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek sudah lenyap!

Apa yang kalian ketahui? Kalian melihat apa?!" Diam. Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawan-

kawannya tidak membuka suara. Beberapa diantara mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin segera maklum ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh kelelawar kepala bayi yang merupakan anak-anaknya itu menyembunyikan sesuatu.

"Semua kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian mengetahui sesuatu. Kalian melihat sesuatu! Lekas ada yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!"

Masih diam. Tak ada yang bergerak atau membuka mulut.

"Baik. Kalian memilih mati percuma!" Sang Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan

perlahan-lahan diangkat ke atas. Di antara para kelelawar kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya rapatkan tangan di atas kepala, membungkuk. Suaranya agak gemetar karena takut.

"Mohon maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya menjalankan perintah."

"Perintah? Perintah apa? Perintah siapa?!" "Perintah Tuyul Orok." Kelelawar Pemancung Roh kerenyitkan kening dan

pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi yang berdiri di depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada sembilan kelelawar lainnya.

Sambil meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar Kelelawar Pemancung Roh bergumam.

"Hemmm... Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di tempat ini!" Lalu makhluk bertubuh tinggi besar ini membentak. "Lekas terangkan apa yang terjadi!"

"Kami… kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki

Bukit Jati." Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa

jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar disebutnya Bukit Jati.

"Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu kalian tinggalkan?"

"Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru." "Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber

air minumku! Kalian berani membawanya kesana!" "Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya

menjalankan perintah." "Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu

pada kalian?" "Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh

ibunya menuju kamar ketiduran." Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke

lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam melompat sampai beberapa kali.

"Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan! Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!"

"Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar berkepala bayi berucap berbarengan.

"Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus mampus semua!"

Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian. Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan, saling berangkulan satu sama lain.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari men-datangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda

berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan diri di depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan ratap permohonan.

"Sang Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami. Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan mereka."

Sesaat Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi delapan perempuan yang kesemuanya adalah istri-istri paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang garang. Menyusul suara tawa bergelak.

"Kelihatannya semua ini seperti sudah diatur! Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan tempat ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan Seribu Hawa Kematian!"

"Sang Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami, kami rela ikut mati bersama mereka." Perempuan yang berlutut paling depan berikan jawaban.

Kelelawar Pemancung Roh menggereng marah. "Baik, kalau itu mau kalian! Buka mata kalian lebar-lebar! Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah sepuluh kelelawar kepala bayi. Tangan dan kakinya ber-gerak tiada henti.

"Bukkk!" "Praaak!" "Duuukkk!" "Praakk!" Sepuluh kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh

mereka mencelat lalu jatuh di lantai batu dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau kepala pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada henti. Jeritan mereka bertambah keras ketika menyaksikan bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian secara mengerikan seperti itu. Sepuluh sosok hancur tak

bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap. "Tinggalkan tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti

itu?!" Delapan perempuan mudaa masih menjerit. Salah

seorang diantaranya berteriak. "Terkutuk kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas

dirimu! Kau membunuh anakmu sendiri!" "Plaak!" Satu tamparan kerass membuat perempuan itu melintir

dan jatuh terkapar di lantai batu. Pingsan dengan mulut pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali masing-masing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman mereka yang pingsan meninggalkan tempat itu.

"Setan semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Dia hendak duduk di kursi batu tapi tidak jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani melangkahi kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu! Dimana kalian berdua saat ini?!"

Habis memaki dan merutuk begitu makhluk ini, melangkah cepat ke dinding kiri ruangan. Di situ ada sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang berhubungan dengan satu bangunan di bawah tanah. Dimana terdapat belasan kamar.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

2PERKELAHIAN DI BAWAH TANAH

ELELAWAR Pemancung Roh berjalan cepat menuju bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan

membuat dia tidak mau menempuh, lorong yang membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar tidur selusin istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan makhluk penguasa Teluk Akhirat ini ternyata benar. Seperti diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar bersama Bintang Malam, salah seorang dari dua belas istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung menggebuk dengan pukulan tangan kanan.

Jotosan yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh ke dada Pendekar 212 demikian hebatnya. Tidak beda dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan kati! Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng terkapar megap-megap di dalam kolam yang terdapat di kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada yang mencekik hingga dia sulit bernafas.

Selagi Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam kolam Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan

K

ini. "Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat

penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu! Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun Seribu Hawa Kematian!"

"Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak mengenal pemuda itu. Dia masuk...."

"Plaakk!" Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang

Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir sebelah kiri pecah. Darah mengucur.

"Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh makhluk tidak berguna ini!"

Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah men-cekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur.

Bintang Malam terpekik. "Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu. "Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau

tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!"

"Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa. Aku...."

Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar. Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul Orok bergerak.

"Kreekkk!" Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur. Bintang Malam menjerit keras. Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus

lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam. "Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh

seraya melangkah mendekati Bintang Malam. Tangan kanan diulurkan.

"Tidak! Jangan! Ampun...." Perempuan itu hanya bisa berteriak dengan muka pucat, sepasang mata mendelik. Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan Kelelawar Pemancung Roh berkelebat.

Sesaat lagi lima jari tangan yang kukuh akan mencengkeram leher Bintang Malam, tiba-tiba dari samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!"

Kelelawar Pemancung Roh melenguh pendek. Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas. Tubuhnya terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak diperdulikan. Bayangan putih kembali berkelebat. Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya sambil membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis.

"Bukkk!" Dua lengan beradu keras. Kelelawar Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan

hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat mengimbangi diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancar-kan serangan jatuh terduduk tli lantai.

Bintang Malam kembali terpekik. Dia berusaha mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul Orok terkapar.

"Anakku!" ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan hendak memegang Tuyul Orok yang telah menemui ajal dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun kembali sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat menyentuh tubuh anaknya, sosok Tuyul Orok mengepul, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Bintang Malam memekik sekali lagi.

Kelelawar Pemancung Roh menggereng. Melangkah mendekati Bintang Malam.

"Lari! Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro. Dalam bingungnya perempuan hamil itu masih terus

menjerit. "Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!"

teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian. Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena, maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi ratusan serpihan kecil!

Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.

"Wusss!" Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa

menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan tubuh Bintang Malam.

Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu diselimuti asap berwarna kelabu.

Bintang Malam menjerit. Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar

ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212 Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu.

Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh me-langkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya. Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan meng-

hancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh Wiro berputar. Kaki kanannya melesat ke atas. Kelelawar Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya serangan kilat itu tapi tak sempat mengelak.

"Bukkk!" "Kraaakk!" Jeritan Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di

seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke dinding. Dua tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak menyeringai.

"Pendekar 212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta kesaktian! Seumur hidup kau tak bisa membunuhku! Sekarang terima kematianmu!"

Begitu berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng, kumpulkan sisa tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di depan sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri bertolak pinggang. Kepala setengah didongakkan. Se-pasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini men-delik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup menyedot panjang dan dalam.

Murid Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu hawa luar biasa dahsyat menyedot tubuhnya ke depan. Dia berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada. Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas!

"Gila! Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk Wiro. Sedotan hawah aneh membuat dia tak bisa bernafas. Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya, hidung dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau bertanggalan. Jantungnya laksana mau copot! Dalam keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar hebat seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan hidung Kelelawar Pemancung Roh. Inilah ilmu yang

dinamakan Seribu Hawa Penyedot Roh. Makhluk tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam

menghirup dia juga mampu keluarkan tawa bergelak. Dua tangannya kemudian diangkat ke atas.

"Sreekk!" "Sreekk!" Sepuluh jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah

menjadi sepuluh cakar besi, panjang runcing mengerikan karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan merah. Darah!

Di saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat dihindari itu Wiro berteriak keras kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul ke depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau membuat leleh seantero ruangan. Air kolam bergemericik seperti mendidih.

"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung Roh Makhluk ini cepat tekuk lutut dan rundukkan kepala.

"Wuss!" Pukulan Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepala-

nya, membakar sebagian rambutnya yang kasar awut-awutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di belakang sana.

"Keparat jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Gerakan dua tangannya di percepat. Satu ke dada, yang lain ke perut Wiro.

"Jebol jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto Gendeng dalam hati. Tangan kirinya cepat menyelinap ke balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara sepuluh jari tangan lawan sudah berada dekat sekali. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro menyentuh sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak, bukan batu hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda

apa? Wiro sentakkan benda itu dari pinggangnya. Ternyata benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa waktu lalu.

Wiro ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. "Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu."

Tidak menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat kepala yang terbuat dari kain sutera hitam di tangan kirinya ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya pelangi menderu dari batu hitam yang menempel di kain. Kelelawar Pemancung Roh bukan saja kesilauan tapi seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur. Dua tangan yang tadi hendak mencakar ganas ke dada dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk melindungi sepasang matanya.

Serangan yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari ikat kepala kain sutera ternyata bukan hanya berupa sinar menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tiba-tiba melesat keluar kepala seekor srigala putih bermata merah. Besar kepala binatang jejadian ini dua kali ukuran kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung panjang, lalu dengan mulut menganga melompat menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh.

Sesaat Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap. Namun dilain kejap dia membentak keras.

"Makhluk jahanam! Kembali ke asalmu!" Sambil membentak Kelelawar Pemancung Roh

hantamkan kepalannya ke kepala srigala jejadian. Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala

jejadian ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit setinggi langit. Keningnya robek ditoreh taring srigala jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung sosok tinggi besarnya berputar. Wiro cepat mengejar tapi sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh telah lenyap dari tempat itu.

Wiro memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada lagi di tempat itu.

"Celaka! Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga tidak melihat sosok mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas tempat tidur.

Tiba-tiba Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi dengan mata melotot tangan kirinya.

"Astaga!" Sang pendekar terkejut besar. Kain ikat kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan

kirinya dan dipergunakan untuk menyerang Kelelawar Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang, selinapkan tangan mencari-cari

"Sialan! Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat kepala sutera hitam pemberian Pelangi Indah!" Wiro memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri. Bukan saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar Pemancung Roh, tapi benda sakti pemberian Ketua Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan!

Wiro melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang dikatakan Bintang Malam dia membelok ke kiri lalu berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam besarnya.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

3 KAKEK DALAM KERANGKENG BESI

EPERTI diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruangan yang ada kolam ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam

keadaan lumpuh tidak mungkin si nenek melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya keluar dari tempat itu. Sesuai pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul Orok, bersama sembilan temannya kelelawar muka bayi tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru.

Sinto Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam keadaan tertotok di atas jalur-jalur kayu besi di perrnukaan kolam buka dua matanya yang terpejam ketika mendengar suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu itu.

"Makhluk-makhluk jahanam," desis si nenek begitu melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar bermuka bayi. Di ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam. "Mau apa mereka…. Mau menggerogoti tubuhku?"

Sepuluh makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup kolam, mengelilingi sosok Sinto Gendeng. Untuk kesekian kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai dua kali untuk mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh dari sepasang matanya. Pertama ketika, berhadapan

S

dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia ditinggal sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnah-kan Ikan Dajal di dalam kolam sebelum ikan itu nanti dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua mata-nya bergetar saja tak bisa dilakukannya. Masih untung dia dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke berbagai jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok tubuhnya. Totokan yang dilakukan agaknya bukan totokan biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan walau telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak bisa mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak dapat dikeluarkan.

"Kalian mau apa?!" hardik Sinto Gendeng. Tak ada satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan

jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu menggigit dan mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai mengangkat tubuhnya, setengah terseret setengah di-terbangkan, Sinto Gendeng kembali membentak.

"Makhluk celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!" Tetap tak ada yang menjawab. Ketika akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka

di tepi pantai, dibawa ke arah utara, nenek ini masih belum bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat jahat untuk mencelakai.

Karena sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya dengan kaki di sebelah depan maki Sinto Gendeng dapat memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang ditempuh bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk. Mereka melewati sebuah pohon kelapa buntung bekas disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret memasuki goa batu berwarna biru. Sepanjang lantai goa

terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di tempat itu terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi Sinto Gendeng mulai merasa-rasa bahwa sepuluh kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud jahat terhadapnya.

Di ujung lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat telaga ini Sinto Gendeng jadi menggerendeng dalam hati.

"Sialan! Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan dalam telaga. Disuruh mandi!" Si neriek mendadak ter-diam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal mem-bantai diriku seperti Ikan Dajal di kolam batu." Si nenek langsung berteriak keras.

"Tahan! Tunggu! Turunkan aku di sini!" Sepuluh kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi

memenuhi perintah. Ternyata si nenek tidak diceburkan ke dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan cukup besar di dinding batu.

Dua mata Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan satu pemandangan luar biasa di depannya, hingga tidak menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah meletakkan tubuhnya di lantai batu.

Di dalam cegukan besar di dinding batu, hanya dua langkah dari tubuhnya digeletakkan duduk seorang kakek berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias sepasang matanya yang berwarna kebiru-biruan, bening tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi mengenakan jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai batu. Yang luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek. Mulai dari bagian atas sampai ke leher, kepalanya terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat. Bagian atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang

dikaitkan pada sebuah gelang besi yang menyembul di langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya dapat menjulurkan kaki, menggerakkan ke dua tangan. Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu dilakukan lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng besi,yang menjepit lehernya berbentuk mata gergaji, besar dan amat tajam. Pada leher si kakek kelihatan guratan-guratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian kelihatannya masih baru.

"Gusti Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan manusia satu ini?!" membatin Sinto Gendeng.

Anehnya walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si kakek tampak tenang, malah tersenyurn kecil sewaktu melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya.

Sepuluh kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di atas kepala lalu berbarangan berkata. “Ki Sepuh Tumbal Buwono, terima salam hormat kami untukmu."

Kakek berjubah biru gombrong kedipkan mata. Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas terdengar ketika dia keluarkan ucapan.

"Sepuluh kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau antar ke hadapanku? Udara di tempat ini mendadak menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau nenek ini?"

Sepuluh kelelawar muka bayi tak berani menjawab, hanya saling pandang satu sama lain.

Sinto Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu mendengar ucapan si kakek. Tapi dia diam saja karena ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala bayi.

Salah seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas kepala, membungkuk lalu berkata.

"Ki Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak

tahu siapa adanya nenek ini. Kami hanya menjalankan perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa dirinya ke sini."

"Kalau begitu siapa yang memberikan perintah?" Bertanya si kakek.

"Tuyul Orok." "Tuyul Orok?" "Putera Sang Pemimpin dengan seorang perempuan

bernama Bintang Malam." Orang tua bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam

sejenak, seperti tengah berpikir dan mengingat-ingat. Lalu tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi yang mencengkeram kepalanya sampai ke leher.

"O ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai mengangguk segala!" kata Sinto Gendeng dalam hati. "Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang mengazabnya seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak seperti ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di kepalanya!"

Salah seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur hormat letakkan dua tangan di atas kepala.

"Ki Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalan-kan. Kami mohon diri."

Sepuluh kelelawar muka bayi melangkah mundur. "Tunggu!" Kakek rambut putih berkata sambil angkat

tangan kirinya. "Sebelum pergi ada sesuatu yang harus kalian lakukan."

"Mohon Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami laksanakan," ujar kelelawar kepala bayi yang barusan minta diri.

"Ceburkan nenek bau pesing itu ke dalam telaga!" Sepuluh kelelawar muka bayi tercengang, sama

keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng sendiri berseru

kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah, memandang mengancam pada sepuluh kelelawar muka bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk tak karuan.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

4SINTO GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA

ARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal Buwono menegur.

"Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku. Mengapa tidak dilaksanakan?"

"Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang Pemimpin. Jika sampai dicemari...."

Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa. "Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang

Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai gantinya!"

Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya, menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.

K

Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng.

"Hai! Awas kalau kalian berani...." Sinto Gendeng berteriak.

Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu dilempar. Byuurr!

"Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Ter-telentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakut-kannya tidak terjadi. "Eh...?" Sinto Gendeng putar sepasang matanya.

Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek. Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya sambil senyum-senyum.

"Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyum-senyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!" Ucap Sinto Gendeng dalam hati.

Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir

terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama-lama menjadi bersih.

Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan, tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri. Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik ke arah si kakek.

"Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga. Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di dalam telaga ini?”

"Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam air sejuk. Kau ingin naik sekarang?"

"Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?" tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong mengeluarkan aku dari dalam telaga?"

Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. "Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain."

Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.

"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!" "Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang

seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau dari dalam telaga."

"Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama di dalam air.

"Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul..."' jawab Ki Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat."

"Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng bertanya.

"Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh." "Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam

itu?!" "Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya

adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong." "Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang

sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh, kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap burung di udara, burung dalam celana dilepaskan."

Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. "Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi.

Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya." Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek

gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa.

***

BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis. Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan. Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat

membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagai-manapun juga dia adalah anak darah daging yang dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri!

Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah diberi wewenang untuk membunuh.

Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng. Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian. Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan dengan pandangan sayu.

Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat

itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam kamar di dalam bangunan di bawah tanah.

"Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu. Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada seseorang yang bisa menolong Ibu...." Ucapan Tuyul Orok terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, meng-gendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh oleh ayahnya sendiri!

Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati. Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung Roh.

Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati. Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari.

"Gusti Allah...." Bintang Malam menyebut nama Tuhan. "Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh tahun...."

Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di telinganya mengiang satu suara.

"Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu. Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa

yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan menemukan diriku di seberang telaga air biru."

Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling.

"Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku. Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian meng-habisiku di tempat itu!"

Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu. "Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu.

Lekas berjalan kesini...." Suara mengiang kembali memasuki telinga.

"Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan menolongku.

Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam hati. “Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung Roh." Semakin bingung perempuan ini.

"Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam jika berada di luar sana."

"Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara

tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan batu ini.

Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja, Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar. Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

5 KALAJENGKING PUTIH

I DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak berkesip pada perempuan yang baru masuk ke dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah

takut. "Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang

bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto Gendeng berseru.

Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan itu.

"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di tempat yang aman. Kemari mendekat...."

"Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya.

"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita tentang dirimu padaku...."

"Maksud Kakek, Tuyul Orok?" "Ya." "Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh

Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri." Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam.

Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana." Perlahan-lahan si kakek buka matanya. "Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku

D

akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku sebelah belakang."

Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik.

Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang dikatakan Ki Sepuh.

"Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto Gendeng tetap saja memaki panjang pendek.

"Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!"

Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia pegang dua kaki Sinto Gendeng.

"Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku terpaksa, menarik kakimu."

Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara. Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana caranya terserah kamu!"

Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke belakang Ki Sepuh.

"Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata Bintang Malam.

"Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagi-lagi membuat Sinto Gendeng mengomel.

Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam jubah.

"Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini! Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!! Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng ber-teriak.

"Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat." Berkata Ki Sepuh.

Sinto Gendeng memaki. “Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah

menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!”

Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja! Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!”

Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji." "Janji apa?" tanya Sinto Gendeng. "Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek. Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan. "Kau kakek-kakek lucu!" "Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?" "Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak

tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng. "Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau

sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi. Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?"

"Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu

padamu! Buat apa!" Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa

tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih sendirian atau bagaimana."

"Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!"

"Nah tepat dugaanku!" "Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng. "Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek,

berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu? Aduh...!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau lakukan?!"

"Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi punggungmu!"

Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang kakek nenek itu.

"Ba... baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo tanyakan apa yang hendak kau ketahui."

"Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng...."

"Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha... ha... ha!"

"Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan Kelelawar Pemancung Roh!"

"Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan, saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja

dia berada dalam sarang harimau? Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar

kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah bicara padanya.

"Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur.

Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata. "Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu Hawa Kematian."

"Tidak heran." Sahut si kakek. "Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng. "Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang

lain." Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam

terbelalak. "Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus

kepalamu dengan kerangkeng besi ini?" "Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya

sengsara...." "Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji

terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam. "Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng. "Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang.

Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya. Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu pada-nya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia men-celakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada gunanya. Semua sudah terjadi."

"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng. "Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana

kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang Malam.

"Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?" Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam.

"Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar. Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini sudah kotor dan busuk."

"Aneh..." ucap Bintang Malam. "Luar biasa," ujar Sinto Gendeng. "Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat

kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang ada diantara kalian?"

"Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat. Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau tidak bisa mendidiknya!"

Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas kebodohanku sendiri."

"Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa mem-bebaskan diri?" tanya Bintang Malam.

"Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang

membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya. Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam, hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mem-punyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket seperti ini aku jarang sekali bisa tidur..."

"Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin kau tahu caranya agar aku bisa bebas?"

"Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu."

"Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto Gendeng.

"Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak totokan."

"Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu men-dengar ucapan Ki Sepuh.

"Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan.

"Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu Hawa Kematian?"

"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari aku."

"Obat apa? Bagaimana bentuknya? Dimana disimpannya?"

"Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap mata-hari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu bulan gelap...."

"Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto Gendeng.

"Bukan," jawab Ki Sepuh lalu meneruskan keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari."

Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanam-kan ucapan si kakek dalam benaknya.

"Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada murid-mu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?"

“Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana”

"Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di puncak Pegunungan Dieng...."

"Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah semuanya bersama pepohonan lain."

"O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng dalam hati.

"Ki Sepuh...." "Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong

ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang

mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk ke dalam jubahku di samping si nenek."

"Kek...." "Aku sudah tahu siapa yang datang...." Ucap Sinto

Gendeng. "Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di

samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada yang bergerak. Usahakan menahan nafas!"

Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.

TAMAT

SEGERA TERBIT :

DOSA YANG TERSEMBUNYI

ADRIAN MAPALADKA

1 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

ALAM semakin larut ketika lolongan anjing terdengar untuk yang kesekian kalinya. Entah dari mana datangnya. Suasana tetasa sepi mencekam.

Hanya sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Sementara gemericik air sungai di kolong jembatan itu meski sayup-sayup tapi berkesinambungan. Hujan, telah lama tidak turun, sehingga volume air ber-kurang. Permukaan air sungai itu terlihat turun sekitar setengah meter.

Lolongan anjing kembali terdengar. Tapi pemilik gubuk kardus yang berada di kolong jembatan itu tidak peduli. Ia tidak menangkap firasat apa-apa. Mungkin karena hatinya telah beku, sehingga ketidak peduliannya pada apapun semakin menggunung. Baginya anjing itu mau melolong ratusan kalipun tidak akan membawa perubahan hidup untuknya.

"Yang kita butuhkan saat ini adalah sebungkus nasi dengan lauk-pauknya," gumamnya lemas. "Perutku lapar sekali. Tapi malam-malam begini mau cari makanan di mana?" Dielus-elusnya kucing hitam yang berada dalam pelukannya sejaktadi. Ia berharap dengan mengelus-elus hewan itu siapa tahu rasa laparnya bisa berkurang. Kucing adalah hewan jinak yang apabila dielus-elus maka ia akan

M

semakin anteng. Tapi kali ini tidak. Hewan itu gelisah. Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Sepasang matanya tajam mengawasi ke segala arah. Sementara kedua telinganya tegak berdiri, seolah hendak menangkap suara sekecil apapun yang mencurigakan.

"Iya, ya. Aku tahu, kau pun pasti lapar. Tahan sajalah. Besok kita cari makanan sebanyak-banyaknya biar perut kita kenyang. Sekarang selain lapar aku juga ngantuk. Mending kita tidur saja," katanya sambil menguap lebar.

Kucing itu tidak peduli. Kegelisahannya semakin bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah. Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian dengan tiba-tiba ia berontak dan melompat dari pelukan majikannya.

"Eeeh, mau ke mana kau? Ayo, sini!" Reflek ia bangun dan bermaksud mengejar. Tapi saat itu juga terdengar teriakan seseorang dari arah depan.

Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih dalam jarak yang berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari sekencang-kencangnya, bahkan nyaris beberapa kali terjatuh seperti dikejar-kejar setan.

"Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriak-nya dengan suara agak serak. Dari jarak dekat terlihat di wajahnya ada bekas luka cakar yang masih baru. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang sama. Si Gembel yang masih mematung di tempatnya masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempeduli-kan saat pria kurus itu, terJerembab di dekatnya.

"To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku. Tolong...."

"Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk memandang ke segala arah, dan tidak melihat apa serta siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.

"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan mem-bunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya gemetar ketakutan.

"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin mem-bunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam." Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya yang tadi kabur entah ke mana.

Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar, berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolong-lah."

"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!" Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam kegelapan.

"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!" cegah si pria itu seraya menarik tangannya.

"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauh-jauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan mem-bunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mem-pedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil memanggil-manggil si Manis.

Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan lepas begitu saja.

"Si... siapa kau?!" tanyanya dengan suara gagap ketakutan melihat si Manis benar-benar berwujud seorang wanita muda yang berparas cukup manis.

Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang berada di belakang si Gembel. Tenang dan perlahan dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus kabur. Sikap wanita itu masih tenang, demikiah pula langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang aneh. Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah, dan tahu-tahu telah melayang ke hadapan pria yang sedang dikejarnya.

"Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris kebingungan kemudian berbalik arah. Tapi ke mana saja ia melangkah wanita itu selalu telah berada di hadapannya. Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan diri.

"Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau tidak mengenaliku? Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?"

Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan. Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak ter-lihat perubahan pada mimik wajahnya mendengar kata-kata pria yang mengaku bernama Burhan itu.

"Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini? Setan apa yang telah merasuki tubuhmu? Lestari, aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau tidak mengenaliku? Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!" bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya.

Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti semula, tidak terlihat sedikit pun perubahan pada mimik wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya yang berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan diangkat-

nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jari-jari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam, siap dihunjamkah ke tubuhnya.

"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kuku-kuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung korban yang dipenuh darah.

Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya. Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan semangatnya terbang entah ke mana.

"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin.

Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain, tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu

tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

***

Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama beberapa wartawan cetak maupun elektronik, juga tidak ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi.

"Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas kejadian ini, dan sejauh mana usaha polisi untuk mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan pulpen dan notes di tangan..

Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang wartawati itu sejenak, kemudian pada wartawan lainnya yang siap mencatat dan merekam jawabannya.

"Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguh-sungguh akan menangkap pelakunya untuk diajukan ke pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang berlaku...."

"Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa kira-kira pelaku pembunuhan itu?" tanya seorang wartawan.

"Kami akan berusaha sungguh-sungguh." "Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain. "Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu

tidak objektif sebab kami sedang mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan dan keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjuk-kan bahwa kita dalam mencurigai dan menuduh seseorang menggunakan prosedur yang telah ditetapkan perangkat hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan

polisi itu mengakhiri jawabannya dan menghindar dari kerumunan para wartawan. Meski satu atau dua wartawan masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang usil, namun dengan lihai ia menolak. Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling tempat itu dengan teliti.

Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan yang tengah dilakukannya. Namun ketika wartawati yang pertama kali mengajukan pertanyaan itu mengikutinya, ia memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba mencegah untuk membiarkannya saja.

"Pertanyaan apa itu? Kau memancing yang lainnya untuk menanyakan hal-hal yang sulit untuk kujawab," katanya setelah wartawati itu mendekat.

"Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada petugas yang bertanggung jawab dalam suatu masalah?" Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek.

"Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan terlalu dibesar-besarkan."

"Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka tidak mendapat informasi yang jelas, dan selalu was-was kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang. Ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik."

Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam pada si wartawati. "Saras, kali ini aku bicara kepada seorang teman bukan kepada wartawati, oke?"

"Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya, sampai sejauh mana informasi yang telah kau kumpulkan dalam kasus pembunuhan ini?"

"Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi kita bisa melihatnya dari poin-poin yang penting. Seperti kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku masih tetap kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum

menemukan motif, apa yang membuat mereka melakukan hal seperti itu."

Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi, kemudian matanya memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu, sebelum kembali memandang tawan bicaranya.

"Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah kukatakan tempo hari?"

"Soal apa?" "Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?" Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun

diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras menawarkan alternatif, kalau pembunuhan itu ada kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu melecehkannya dan menganggapnya irrasional sehingga membuat Saras kesal dan marah.

"Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu itu?"

"Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban pertama tewas di tebing terjal, tidak jauh dari lokasi ada pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...."

"Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di sungai, dan lokasi itu jauh dari pohon asam," tukas letnan polisi itu.

"Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali dia tewas, kan? Dan sampai sekarang belum terungkap," jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga, keempat, kelima, bahkan sampai korban yang sekarang. Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing, walaupun itu cuma sekedar antara permukaan sungai dan permukaan tanah di atasnya pada ketinggian dua atau tiga meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak berusaha untuk memancing si pelaku yang sebenarnya?"

"Memasang jebakan maksudmu?" "Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan." "Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari

sisi yang lain." "Apa maksudmu?" "Ini bukanlah rangkaian pembunuhan yang

direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang yang belum jelas motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak lama pun akan terungkap."

"Dengan menangkap pelaku yang sementara ini menunjukkan bukti-bukti kuat?"

"Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki maka si pelaku sudah jelas melakukan pembunuhan. Apalagi yang mau dicari? Saras, kita tidak perlu berpikir yang macam-macam, dan menarik garis terlalu jauh untuk mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah dibekali ilmu khusus untuk mengusut masalah semacam ini."

"Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?" "Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksud-

kan? Setiap korban yang jatuh, maka beberapa pihak dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling bisa untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian bukti dikumpulkan, lalu semua digabungkan dan fakta membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?"

"Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka pelaku pembunuhan merasa yakin kalau mereka tidak merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk membunuh. Mereka tidak mengetahui dari mana bukti ter-kumpul sehingga mereka tersudut menjadi tersangka...."

"Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak untuk didakwa sebagai tersangka," tukas letnan polisi itu.

"Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata mereka yang jujur? Tidak bisakah kau melihat mereka

melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak berdusta?"

"Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela nafas, kemudian melirik anak buahnya. Sebagian dari mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka mengalihkan perhatian.

"Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan kalau polisi harus selalu mengandalkan bukti-bukti dalam segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati nurani, kan?"

"Syukurlah kalau kau telah mengerti...." "Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna fakta-

fakta serta bukti-bukti yang ada? Fakta selalu terlihat kalau cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan korban pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika korban mencapai angka seratus, maka seratus orang pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan pembunuhan dengan metoda yang sama. Apakah ini tidak menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir? Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya yang mengomandani mereka. Apakah kau cukup puas dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiar-kan anggota lainnya terus berkeliaran mencari mangsa? Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar per-masalahan sampai tuntas sehingga tidak ada lagi korban baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?" Kata-kata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat bercampur dengan perasaan jengkel, sehingga nadanya agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi itu kembali melirik pada mereka.

Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasan-alasan yang diungkapkan Saras, atau memikirkan apa yang

sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka berdua. Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata anak buahnya tentang hubungan mereka, bukan lagi antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejar-Nya, dan sebaliknya. Tapi hubungan itu seperti berkembang ke arah lain.

Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang bertugas meliput berita-berita kriminal. Dan dalam menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang oknum polisi itu adalah Letnan Hendri, perwira polisi berusia tiga puluh empat tahun yang masih berstatus bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang cukup tinggi, di mana dan kapan saja dalam situasi yang berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib yang ramai diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara kedua insan itu ada hubungan bilateral yang cukup intim.

Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka pembicaraan formil ditiadakan, dan keduanya berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat, sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang ter-lontar begitu saja tanpa sungkan-sungkan. Seperti kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu me-nanggapi masukan yang dilemparkannya seputar masalah yang sedang mereka hadapi.

Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau begitu kita cari tempat yang nyaman untuk membicarakan- nya. Dalam suasana yang tidak diliputi ketegangan."

"Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias. "Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah

delapan malam?"

Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng geli.

"Apakah ini ajakan kencan?" "Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri

mengangkat bahu dengan kedua telapak tangan terbuka. "Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku." "Oke. Terserahmu saja." "Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan

notes dan pulpen ke dalam tas yang disandangnya. Tanpa banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya.

***

ADRIAN MAPALADKA

2 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

NJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko

sehingga orang kepercayaannya itu terpaksa datang ke rumahnya untuk menitipkan laporan.

Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di meja. Pukul sebelas malam.

"Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk.

"Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang angkat. Ke mana?" tanya wanita itu.

"He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada mesin mobil. Untung ketahuan. Coba kalau dipakai untuk perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan berabe. Eh, jadi nggak besok berangkat?" sahut Anjar.

"Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh, Jar. Kali ini nggak bisa lagi...."

"Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal dengan kamu."

"Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi tugasku belum bisa ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?"

Anjar terdiam.

A

"Jar?" "Ya, ada apa?" "Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta

maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan.

"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?" "He-euh!" "Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi

kamu...." "Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu.

"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan selamat."

"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta di-tempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?"

"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?" Saraswati ketawa cekikikan.

Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saras-wati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika berarung jeram bersama kawan-kawan prianya.

Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan

kelemahan, sesuatu yang tidak disukai, bahkan tidak pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara kepada-nya.

"Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia bilang seseorang menjemputmu."

"Kenapa? Kamu mau jadi wartawan juga coba-coba ngorek aku?"

Anjar bisa membayangkan bola mata wanita itu mendelik, dan bibirnya tersenyum mengejek. Tapi meski dalam mimik apapun, bahkan dalam mimik yang terburuk pun ia menilai kalau face Saraswati tetap cantik. Hidung-nya yang kecil dan mancung, bola matanya agak menyipit mirip Claudia Schiffer namun memiliki sorot yang tajam bila memandang lawan bicara, kemudian sepasang alisnya yang teba1 menunjukkan kemauannya yang kuat dan keras. Belum lagi ditambah sepasang bibirnya yang sen-sual, dan selalu merah merekah meski jarang disapu gincu.

"Aku mudah percaya pada orang lain, dan sifat itu tidak cocok untuk menjadi wartawan." Didengarnya hela nafas Saraswati, halus sekali sebelum menjawab.

"Letnan Hendri. la menjemputku untuk membicarakan kasus yang sedang ditanganinya," sahut Saiaswati singkat.

"Sejak kapan kamu menjadi konsultannya?" "Aku menangkap kesan sinis, tapi okelah, tidak

mengapa. Aku berusaha memaklumi kecemburuanmu. Hubungan kami saling membutuhkan. Dia butuh masukan dariku dalam menjalankan tugasnya, begitupun aku butuh komentarnya sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam kasus yang sedang kuliput. Hanya itu. Terasa ada tekanan dalam dua kata terakhir yang diucapkannya, berharap Anjar mempercayainya.

"Kuharap memang begitu...” "Jangan keterlaluan, Jar. Kau tahu aku wartawati, dan

tiap saat berhubungan dengan banyak orang, entah pria atau wanita bahkan banci sekali pun. Tidak ada alasan untuk cemburu buta."

Anjar diam saja. Ia sudah sering mendengar alasan seperti itu. Saraswati menjawabnya dengan sederhana. Mungkin saja logikanya bisa menerima, tapi entah mengapa hatinya tidak. Dan mengemukakan perasaan di depan Saraswati seperti membenturkan kepala ke tembok.

"Jar, kamu masih mendengarkan?" "Ya. Suaranya pelan, seperti menggumam. "Kuharap aku tidak perlu lagi mengulang-ulang

penjelasanku, bukan? Kau mesti percaya padaku," tekan Saraswati.

Anjar kembali terdiam. Nun jauh di seberang telepon sana, Saraswati sedang menduga-duga apa yang sedang dipikirkan Anjar. Perbedaan mereka cukup besar. Dia tipe gadis independen dan cuek, sedang Anjar agak perasa, dan melakukan sesuatu penuh pertimbangan dan pe-mikiran. Wajar saja kalau Saraswati harus menekankan beberapa kali agar Anjar percaya dengan kata-katanya sebab menyadari mungkin saja Anjar tidak mem-percayainya. Minimal di dalam hati.

"Gimana kabar kamu? Sehat? Oke, sekali lagi aku minta maaf, ya? Mungkin lain waktu kita bisa bersama-sama mengunjungi orangtuamu. Bye!"

Anjar meletakkan gagang telepon setelah mendengar suara klik di seberang sana. Termangu beberapa saat, ber-gelut dengan pikirannya. Pantaskah ia mencurigai Saras-wati? Hubungan mereka telah berlangsung tiga tahun, dan selama itu baik-baik saja. Ia bisa memahami tugas gadis itu, dan menepiskan jauh-jauh kecemburuann dalam hati-nya bila membayangkan Saraswati berdekatan dengan orang-orang yang menjadi sumber beritanya. Tapi dengan yang satu ini perasaannya berbeda. Seperti ada sesuatu

yang ganjil! "Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua

minggu yang lalu Kusno melihat Saraswati dan seorang polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran.

"Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan polisi itu sempat memegang-megang tangannya Mbak Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya wajah Anjar menjadi keruh, seperti memendam kesal. "Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa yang saya ceritakan ya memang begitu. Tidak ditambah-tambahi," lanjutnya.

Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian dari tugas Saraswati. "Nggak ada apa-apa. Masak cuma pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam? Lagi pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya kesal? Kok berani-beraninya cemburu? Apalagi kalau sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan mendam-pratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru merasakan puber.

Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensik-lopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar tidak sempat mengantarkan karena ketika toko tutup ke-betulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan hari ini. Sepulang dari sana Kusno melaporkan kalau Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu itu sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih dari itu, entah bagaimana perasaan Anjar.

Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang selalu ada di meja tugasnya, sedang tersenyum padanya. Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya

terasa tidak full. Gadis itu duduk dengan gelisah sambil meremas handy-

talky di tangannya. Sementara cahaya bulan menerangi sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan kaos T-shirt putih dibalut sweater coklat. Sementara sepasang kakinya dibalut jeans agak ketat dan telapak kakinya dibungkus sepatu kets putih. Rambutnya yang panjang dan pirang, mungkin dicat pirang, dibiarkan lepas menutupi sebagian punggungnya. Dari terpaan bias cahaya rembulan terlihat kalau wajah gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu cukup manis.

"Maya, kamu nggak apa-apa, kan?" Terdengar suara dari handy-talky di tangannya.

"Ya," Gadis itu menyahut pendek seraya menoleh ke belakang, di balik belukar semak bambu yang tumbuh rimbun tidak jauh dari tempatnya duduk.

"Cobalah berusaha tenang. Jangan khawatir, kami akan selalu melindungimu." Suara di handy talky itu kembali terdengar. Gadis itu mengangguk.

Selang beberapa saat suara dari handy-talky itu kembali terdengar.

"Sekarang kamu berjalan. Melangkah pelan saja. Kami akan tetap mengikuti dan menjagamu."

Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menapaki ruas jalan berbatu selebar dua meter menuju arah selatan dan membelakangi cahaya rembulan.

Suasana di tempat itu memang suram. Seandainya saja tak ada cahaya bulan, mungkin akan menjadi tempat yang cukup menyeramkan. Dari tempat duduknya tadi kira-kira lima puluh meter ke utara, terdapat sebuah gubuk tua yang kelihatannya sudah tidak berpenghuni. Tapi kadang-kadang suka juga diisi oleh para gelandangan yang datang dan keluar silih berganti. Dan di belakang gubuk itu, sekitar dua puluh meter terlihat sebatang pohon asam yang besar.

Keadaan ini sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh Saraswati.

Mereka telah mencapai kata sepakat, dan Letnan Hendri mulai mengatur siasat sesuai masukan yang di-perolehnya dari Saraswati. Mereka akan menjebak pelaku utama pembunuhan sadis yang belakangan ini cukup gencar mencari korban.

"Sukarelawan itu harus berusia muda. Minimal di bawah dua puluh tiga tahun. Jangan tanya kenapa," kata Saraswati di sela-sela masukan yang diberikannya pada letnan polisi itu. "Akupun telah mengukur jarak lokasi satu korban dengan korban lainnya. Tidak ada yang lebih dari lima sampai tujuh kilometer....''

"Sampai seteliti itu kau mengukurnya," tukas Letnan Hendri, entah memuji atau meledek.

Saraswati tidak mempedulikannya. "Gubuk yang tidak terpakai, pohon asam, dan tebing terjal, meski cuma tebing sungai," tambahnya, "Semua itu telah kucatat dengan rapih. Kita harus berhasil menangkapnya!" lanjutnya optimis.

"Seyakin itukah perkiraanmu?" Sebelum gadis itu melotot marah karena merasa disepelekan, letnan polisi itu buru-buru menambahkan. "Maksudku kau berpraduga bahwa pelaku kejahatan ini makhluk halus. Lalu apakah kau sudah menyiapkan sesuatu untuk menangkalnya? Maksudku, untuk mengalahkannya dan sekaligus me-ringkusnya?"

"Aku tidak mutlak mengatakan bahwa itu perbuatan makhluk gaib, karena aku tidak percaya makhluk gaib bisa membunuh orang. Hanya saja aku masih bisa percaya bila makhluk gaib ikut andil di dalamnya, dengan cara mempengaruhi seseorang, dan seseorang itu kuyakin makhluk kasar seperti kita, maka sudah barang tentu bisa kalian tangkap," tegas Saraswati.

Letnan Hendri tidak banyak bicara lagi. Sedikit banyak ia percaya dengan argumen gadis itu, kalau tidak mana mungkin ia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa seorang anak buahnya untuk dijadikan umpan. Semula ia memilih pria, tapi Saraswati menganjurkan agar umpan itu wanita saja, dengan pertimbangan dari sekian banyak korban yang jatuh kebanyakan wanita.

Sementara itu waktu terus merambat pelan tapi pasti. Makhluk yang mereka tunggu-tunggu belum juga terlihat batang hidungnya. Maya mulai gelisah. Meskipun semula ia merasa tegar dan berani, namun dalam suasana begini mau tidak mau rasa takut itu muncul juga perlahan menusuk keberaniannya.

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam ketika terdengar lolongan anjing, yang entah dari mana datangnya. Lokasi tempat ini boleh dikatakan di ujung kota, tapi bukan berarti dekat dengan daerah hutan. Sehingga tidak tepat dikatakan kalau suara itu lolorigan serigala, sebab dikatakan berirama panjang tidak, pendek juga bukan. Hanya saja iramanya memang aneh.

Maya semakin bergidik ngeri. Matanya liar memandang ke sekeliling tempat saat angin bertiup agak kencang. Udara malam yang dingin terasa semakin dingin saja. Ranting-ranting pepohonan bergerak-gerak seperti tangan-tangan makhluk aneh yang hendak menggapainya. Ia berjalan lambat, sambil sesekali melirik ke rerimbunan semak untuk meyakinkan kalau keselamatannya terjamin oleh Letnan Hendri beserta anak buahnya.

Lolongan anjing kembali terdengar. Gadis itu tersirap darahnya saat seekor tikus melintas cepat di depannya. Nyaris ia menjerit ketakutan.

Gerak refleknya menghindar saat tikus tadi melintas diantisipasi oleh Letnan Hendri.

"Kamu di sini dulu. Aku mau mengambil jarak yang lebih

dekat dengannya," perintahnya pada Saraswati tanpa meminta persetujuan cewek itu dan terus bergerak cepat merunduk menyusuri semak dan merendengi langkah Maya dalam jarak kurang lebih sebelas meter.

Maya menghentikan langkah ketika mendengar suara langkah kaki dari arah sampingnya. Reflek ia menoleh. "Apakah itu Anda, Letnan?" tanyanya melalui handy talky. Tak ada sahutan. Gadis itu mengulangi pertanyaannya. Untuk yang kedua kali tidak juga terdengar sahutan. Ia sedikit panik. Matanya tajam mengawasi semak-semak di sebelah kirinya. Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya kilat membelah angkasa, diikuti oleh suara gemuruh yang merambat perlahan. Lagi-lagi gadis itu kaget dibuatnya. Hatinya sudah tidak tenang. Keberanian yang ada hanya tinggal seperempat. Apalagi ketika ia sempat melihat bayangan hitam di balik pohon asam yang ada di sebelah kirinya. Setahunya Letnan Hendri dan yang lain berada di sisi sebelah kanannya. Lalu sosok siapakah itu? ltukah yang sedang mereka tunggu-tunggu?

"Letnan, Andakah yang berada di balik pohon asam itu?" bisiknya pelan sekali lewat handy-talky. "Letnan, jawablah. Andakah itu?" tanyanya sekali lagi setelah menunggu sesaat tidak juga ada jawaban.

Sementara sosok yang sedang diperhatikannya seolah tanpa berkedip mulai bergerak. Pelan mendekatinya. Kedua kakinya meski menapak di atas permukaan tanah, tapi rasanya seperti melayang. Bahkan Maya belum sempat memutuskan, apakah ia mampu memberanikan diri menghadapinya ataukah kabur saja ketika sosok itu telah berada di dekatnya dalam jarak hanya tiga meter.

"Kau?!" seru Maya kaget, kemudian menghela nafas lega ketika bola matanya menangkap jelas sosok tubuh di hadapannya. "Kukira siapa. Kenapa menakut-nakuti begitu?"

Pria bertubuh jangkung dengan potongan rambut pendek serta badan yang atletis itu diam saja. Hanya se-pasang matanya yang memandang gadis itu dengan sorot aneh.

Perlahan pria itu semakin mendekat. Tiba-tiba per-hatiannya tertuju pada handy-talky yang ada dalam geng-gaman Maya. Saat itu terdengar suara Saraswati yang me-nanyakan keadaannya.

"Aku baik-baik saja..." Belum lagi selesai kalimatnya, pria itu mendadak merampas handy-talky itu dengan kasar dan membuangnya jauh-jauh. Kemudian tangan kirinya me-nampar sebelah pipi gadis itu membuat Maya terhuyung-huyung ke samping, hampir jatuh. Tamparan itu keras sekali, membuat pipinya terasa perih dan kepalanya pusing seketika. Ia merasa ada darah yang menetes di sudut bibirnya.

Belum lagi ia sempat menyadari situasi, pria itu tiba-tiba melompat dan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. "Kau harus mati. Pengkhianat sepertimu harus mati!" Suaranya menggeram dan serak, dibarengi perasaan benci dan dendam serta nafsu untuk membunuh.

Maya baru menyadari ada kelainan pada pria yang dikenalnya dengan baik itu. Sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya hijau kebiru-biruan dan menakut-kan. Suara yang keluar dari tenggorokannya pun aneh. Bukan suara yang dikenalnya, tapi suara orang lain yang mirip suara wanita!

Saraswati buru-buru bertindak setelah melihat kejadian itu ketika melihat kalau Letnan Hendri yang entah di mana saat ini, belum juga memberikan pertolongan. Pada saat yang bersamaan, lima anak buah Letnan Hendri pun serentak mengepung tempat itu. Salah seorang dari mereka melepaskan tembakan peringatan.

Makhluk itu terkejut. Matanya liar memandang ke

sekeliling. Tiga pria berada di belakang dan samping kanan kirinya. Sementara dua pria lainnya beserta seorang wanita berada di depannya. Wanita yang tidak lain dari Saraswati itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia yang sejak tadi telah siap dengan tustelnya segera membidik makhluk itu.

"Aaargh...!" Makhluk yang berwujud manusia itu menggeram buas seraya menghalangi wajahnya dengan tangan dengan reflek dilepaskannya leher Maya yang sedang dicekik, dan lompat menerjang Saraswati.

"Berhenti! Atau kami tembak?!" teriak salah seorang polisi. Namun makhluk itu tidak menghiraukannya dan terus mencoba menyerang Saraswati. Merasa peringatan itu diabaikan salah seorang polisi langsung melepaskan tembakan. Makhluk itu meraung kesakitan ketika bahu kanannya diterjang timah panas. Matanya nyureng memandang polisi yang tadi melepaskan, seolah hendak mengancam. Entah merasa takut, atau karena posisinya tidak menguntungkan, tiba-tiba saja makhluk itu melesat ke depan, melompati Saraswati kemudian menghilang di kegelapan malam dengan gerakan yang amat cepat.

"Dua orang ikut saya, lainnya memberikan pertolongan pada Maya!" ajak sang polisi yang tadi melepaskan tembakan, kemudian terus berlari mengejar makhluk tadi diikuti oleh kedua kawannya.

Keadaan Maya agak kritis. Wajahnya agak membiru karena kekurangan oksigen saat dicekik tadi. Bukan cuma itu, tapi dari lehernya pun mengucurkan darah. Besar kemungkinarmya kuku-kuku makhluk tadi menghunjam lehernya saat mencekik. Salah seorang polisi buru-buru menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan ambulan, sementara polisi yang seorang lagi memberikan pertolongan pertama terhadap korban.

Lima belas menit kemudian ambulan muncul. Pada saat yang bersamaan, Letnan Hendri muncul beserta tiga anak

buahnya yang tadi mengejar makhluk itu. Setelah memeriksa keadaan Maya sebelum diangkut oleh ambulan, Saraswati mendekatinya dengan mata mendelik tajam.

"Seandainya aku tahu siapa Anda, aku tidak akan pernah mau dijadikan umpan," sindirnya sinis.

"Apa maksudmu?" "Anda telah mengecewakan gadis itu dan membuatnya

terluka. Mana tanggung jawab Anda? ' Letnan polisi itu menghela nafas sesak seraya

mengangguk. "Yaaah, aku tahu. Tapi aku telah berusaha sebisanya...."

"Sebisanya?" dengus Saraswati sinis. "Gadis itu me-manggil-manggil lewat handy-talky, tapi aku tidak mendengar jawaban Anda. Itukah yang Anda maksudkan berusaha sebisanya?" tuding Saraswati, masih dengan nada sinis dan bersikap formil dengan menyebut Anda kepada letnan polisi itu.

"Benarkah? Ah, aku sudah menduganya." Letnan Hendri gelengkan kepala menyesal. "Waktu aku berusaha men-dekatinya dalam jarak yang lebih dekat, handy-talky itu terjatuh. Aku berusaha mencarinya, dan saat kutemukan terdengar letusan pistol. Aku buru-buru menghampiri gadis itu, tapi sekilas kulihat sekelebatan bayangan melewatiku, maka kuputuskan untuk mengejar orang itu yang kuyakin makhluk yang sedang kita tunggu. Tapi sayang, aku kehilangan jejaknya. Dan ketika kembali aku bertemu dengan tiga anak buahku," lanjutnya menjelaskan.

Saraswati memandangi pria itu sejurus lamanya, seolah hendak mencari kebenaran lewat tatapan matanya, kemudian perlahan ia berbalik. "Ya, sudahlah. Kalau begitu aku pulang lebih dulu," katanya terus melangkah.

"Biar kuantar," sahut Letnan Hendri menawarkan diri seraya memburunya.

"Ng... kurasa tidak perlu aku lelah sekali," tolak Saraswati setelah berpikir sebentar. Biasanya bila pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya, ia tidak bisa menolak saat pria itu mampir ke rumahnya. "Lagipula aku akan mencuci film sebentar, sebab besok aku harus mengirimkan laporan."

"Film?" Dahi letnan polisi itu berkerut. "Jadi kau berhasil mengambil gambarnya?" Dan ketika dilihatnya wanita itu mengangguk, ia melanjutkan. "Kalau begitu atas nama hukum aku minta kau menyerahkan film itu padaku."

"Tentu saja, tapi nanti setelah aku mencucinya. Kau tentu akan mendapatkan beberapa lembar."

"Biar pihak kepolisian yang akan menanganinya. Serah-kan film itu padaku," kata Letnan Hendri menegaskan.

"Apakah aku mendengar adanya paksaan?" sindir Saraswati. "Film dalam kameraku belum habis dan aku mungkin saja memerlukan film-film sisanya untuk hal-hal lain. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Ini hak milik pribadi, dan kalau polisi memang menginginkan gambar makhluk itu mestinya dari awal telah menyiapkan segala sesuatu dan kalaupun aku mau memberikan pada kalian beberapa lembar hasil fotoku, itu karena kemurahan hatiku saja. Jadi, jangan coba memaksakan kehendak dalam hal ini!" tegas Saraswati cepat dengan nada ketus kemudian terus melangkah pergi.

ADRIAN MAPALADKA

3 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

AMPIR dini hari Saras tiba di rumah. Tubuhnya letih sekali. Kalau saja tidak ingat akan tugasnya, ingin rasanya ia langsung ke ranjang dan tidur sepuasnya.

Tapi atasannya meminta ia agar selekasnya menyampai-kan laporan tentang tugas yang selama ini diembannya. Dan foto yang tadi dijepretnya tentang makhluk itu pasti akan menjadi spektakuler. Bukti otentik atas tulisan-tulisan yang selama ini dibuatnya tentang pelaku pembunuhan berantai yang belakangan ini marak terjadi sehingga menimbulkan keresahan masyarakat.

Setelah memproses negatif film di kamar gelap di salah satu sudut kamarnya, Saraswati dikagetkan oleh suara kaleng yang ditendang keras dekat kamar itu. Ia tertegun sejenak, coba mendengar dengan seksama. Tidak ada apa-apa. Tapi saat mulai hendak memeriksa hasil foto yang masih direndam dalam larutan kimia, kembali terdengar suara aneh. Kali ini ia mendengar suara beberapa buah kerikil yang dibenturkan ke tembok. Merasa curiga, Saras-wati keluar dari kamar itu setelah menggantungkan be-berapa lembar foto yang masih basah dan belum sempat diamati hasilnya.

Ia memeriksa ruang depan, tapi tidak terlihat hal men-curigakan. Kemudian ke belakang mengamati keadaan

H

dapur dan pintu belakang, juga tidak mendapati hal-hal yang aneh. Demikian pula ruangan kamar tidurnya, masih tetap dalam keadaan sebelum ditinggalkannya. Tapi ketika kembali ke depan, ia melihat kain hordeng jendela melambai-lambai di tiup angin, dan jendela terbuka lebar. Untuk beberapa saat ia tercekat kaget, dan jantungnya ber-detak lebih kencang. Perlahan gadis itu mundur dan meng-ambil pisau yang berada di laci meja tempat ia biasa mengetik, kemudian dengan memberanikan diri ia memeriksa keadaan jendela itu dengan seksama. Tidak terlihat hal-hal yang mencurigakan. Perlahan ditutupnya jendela, lalu menguncinya. Mungkin saat meninggalkan rumah ia lupa mengunci jendela-jendela itu.

Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja lampu padam, dan saat membalikkan tubuhnya ter-lihat sesosok tubuh berdiri persis dalam jarak kurang lebih empat meter di hadapannya. Yang membuat gadis itu bergidik ketakutan adalah sepasang mata yang menyorot tajam memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan, seperti mata seekor kucing dalam kegelapan.

"Si-siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya coba memberanikan diri. "Jangan coba-coba mendekat atau..."

Saraswati mengangkat sebelah tangan menunjukkan pisau, tapi sesosok tubuh itu seperti tidak peduli dan melangkah pelan mendekatinya. Wanita itu merapat ke jendela.

"Berhenti! Aku tidak main-main. Kalau kau coba-coba mendekat maka pisau ini akan bicara!" gertaknya. Dan Saraswati benar-benar mengayunkan pisau di tangannya ketika sosok itu terus mendekat, tak mempedulikan ancamannya. Pergelangan tangannya kena ditangkap dan langsung dipelintir oleh makhluk itu. Tenaganya kuat luar biasa, dan Saraswati tidak bisa membiarkan begitu saja

tulangnya patah. Dengan bekal ilmu bela diri karate yang pernah dipelajarinya sewaktu masih di SMA, tubuhnya jumpalitan mengikuti arah lengannya yang dipelintir dan masih sempat mengirimkan satu tendangan ke muka makhluk itu.

Ia merasa gerakannya cepat dan kuat, namun tidak disangka-sangka ternyata makhluk itu mampu menangkap pergelangan kakinya, dan sebelum gadis itu sempat berbuat apa-apa, tubuhnya melayang deras menghajar sofa. Pisau di tangannya terlepas, entah ke mana. Tulang belakangnya terasa sakit sekali. Dan sebelum ia sempat bangun, makhluk itu telah berdiri di hadapannya, kedua tangannya mencekik lehernya dengan kuat sampai gadis itu sulit untuk bernafas. Saraswati berusaha melepaskan diri. Kedua kakinya menendang ke ulu hati makhluk itu dengan sekuat tenaga. Tapi makhluk itu cuma bergeming sedikit. Tidak keluar keluh kesakitan dari mulutnya. Saraswati jadi putus asa, dan merasa kali ini ajalnya pasti tiba. Mendadak saat itu telepon berdering.

Makhluk itu terkejut. Reflek ia menoleh ke arah datangnya suara, dan tanpa sadar cekikannya sedikit mengendor. Saraswati seperti mendapat peluang. Dengan sekuat tenaga ia menepiskan kedua tangan makhluk itu sambil kembali menendang dengan sekuat tenaga.

Makhluk itu terhuyung dua langkah ke belakang sambil mengeluarkan suara menggeram marah. Merasa tidak mampu menghadapi seorang diri Saraswati berteriak sekuat-kuatnya dan berharap tetangga-tetangganya ber-datangan memberikan pertolongan. Ia berusaha bangkit dan berlari ke arah pintu. Tapi makhluk itu tidak memberi kesempatan. Tangan kanannya melayang menampar sebelah pipi gadis itu dan membuat Saraswati kembali terjungkal. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, makhluk itu telah menjambak rambutnya, dan kembali menghempas-

kannya ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah berantakan.

Saraswati tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Pandangannya berkunang-kunang sebelum akhirnya gelap. Ingatannya berangsur-angsur terbang entah ke mana. Hanya saja lapat-lapat ia mendengar suara-suara ribut yang entah dari mana datangnya sebelum akhirnya telinganya tidak mendengar suara apapun.

Yang pertama kali dilihatnya ketika siuman adalah wajah Anjar. Pria itu tersenyum padanya. Ia merasakan usapan tangannya mengusap-usap lengannya. Kepalanya masih terasa sakit, begitu juga dengan tubuhnya. Ada selang infus yang dihubungkan dengan sebelah lengannya, sementara beberapa perban menghiasi lehernya.

"Kau merasa lebih baik?" sapa Anjar. "Yah, kukira begitu." Suaranya terdengar lemah, dan

tenggorokannya terasa kering dan sakit saat pita suaranya bergetar.

"Hampir lima belas jam kau tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi? Tetanggamu mengatakan seseorang masuk ke dalam rumah dan menyerangmu. Orang itu melarikan diri setelah beberapa orang berdatangan ke rumahmu."

Saraswati terdiam. Ia coba mengingat kejadian itu, tapi kepalanya terasa sakit sekali, dan entah mengapa jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa ketakutan yang membayanginya saat mengingat kejadian dini hari tadi. Sosok makhluk itu, dengan sepasang matanya yang buas memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Itu jelas bukan maling, karena yang diincar adalah dirinya. Apakah makhluk itu mengadakan pembalasan terhadapnya karena Saraswati berhasil memotret dan mengambil gambarnya?

"Menurutku itu bukan pekerjaan seorang pencuri. Aku sempat memeriksa keadaan rumahmu, dan rasanya tidak

ada barang-barangmu yang hilang. Letnan Hendri pun sempat melihat ke sana setelah kau dibawa ke rumah sakit. Kami ngobrol sebentar, dan aku melihat wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Apakah kau punya musuh?"

Saraswati diam tak menjawab. Untuk saat ini rasanya ia tidak ingin membicarakan tentang makhluk itu pada siapapun.

"Atau barangkali makhluk yang kau buru itu ingin memperkenalkan diri secara langsung?"

Gadis itu memandang pria itu di hadapannya dengan seksama. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin juga ia tidak memikirkan apa-apa. Cuma sedikit heran, mengapa Anjar punya kesimpulan seperti itu.

"Makhluk itu sudah terkenal buas, dan korban yang ditimbulkannya pun sudah cukup banyak. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, oleh karena itu hentikanlah memburunya. Tidak perlu ia diusik lagi," lanjut Anjar.

Saraswati tetap membisu. Ia masih merasakan sakit di tenggorokannya bila pita suaranya bergetar, lagipula ia belum berminat mendiskusikan hal itu pada Anjar. Dari awal pria itu memang sudah tidak setuju dengan apa yang diliputnya belakangan ini. Tapi bagi Saraswati hal itu membuatnya semakin penasaran. Semakin misterius suatu masalah, maka makin tertantang jiwa petualangannya. Tidak peduli apakah hal itu akan membahayakan jiwanya.

"Aku bisa mengerti kalau kau merasa penasaran bila hal itu tidak dituntaskan," lanjut Anjar seperti biasa membaca apa yang sedang bergulat dalam pikiran gadis itu. "Tapi ini menyangkut masalah yang bisa mencelakakanmu. Masih untung kau bisa selamat, tapi entah bagaimana di lain waktu. Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti akan jatuh juga. Begitu juga denganmu meski kau berusaha untuk menjaga diri darinya, tapi suatu saat naas

itu akan menimpamu. Dan terus-terang aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi padamu."

Saraswati memejamkan mata. Ia tidak ingin mendengar kata-kata pria itu lebih lanjut. Bujukan yang berusaha menghalangi niatnya. Bukan kata-kata seperti itu yang saat ini ingin didengarnya. Apapun dan siapa pun yang berusaha menghalangi niatnya, sungguh ia tidak mau mendengar-kan.

"Aku lelah sekali. Kalau tidak keberatan bolehkah aku tidur dulu...?" pintanya dengan suara lemah.

Anjar menghela nafas, kemudian bangkit berdiri. "Baiklah. Silahkan istirahat, dan tidur yang nyenyak," katanya seraya meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia membuka pintu, Anjar membalikkan badan. "O, ya. Aku lupa. Tadi Letnan Hendri ke sini, tapi kau belum siuman. Dia titip bunga mawar itu," tunjuknya pada rangkaian mawar yang ada di atas kepala tempat tidur, dan di sebelah mawar itu terdapat sekuntum melati dalam vas bening. "Dan melati itu dariku. Selamat beristirahat. "Setelah itu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi.

Saraswati bisa merasakan kekesalan, dan kekecewaan dalam sikap dan intonasi kalimat Anjarr yang belakangan. Dan ia bisa memakluminya. Anjar menyayanginya, dan kadang-kadang ia merasa rasa sayangnya itu terlalu berlebihan. Sampai-sampai membatasi ruang geraknya dalam melakukan banyak hal yang selama ini sudah terbiasa dilakukannya. Dulu saat refreshing bersama koleganya yang kebanyakan pria, dengan mengadakan acara panjat tebing, Anjar berusaha melarangnya dengan alasan membahayakan jiwanya. Pernah juga saat ia coba--coba mengikuti olahraga arung jeram di Aceh, lagi-lagi Anjar berusaha mencegah dengan alasan yang sama. Bahkan saat ia hendak meliput berita tentang suasana terakhir di Timor Timur yang sedang dilanda kemelut, Anjar

mati-matian mencegahnya, dan minta agar ia ditugaskan ke tempat lain saja.

Saraswati merasa tidak pernah menyembunyikan identitas dirinya sejak pertama kali mereka bertemu di toko buku TEMPO, milik Anjar. Waktu itu ia sedang mencari buku-buku yang berhubungan dengan dunia mistik. Mereka berkenalan. Ia mengaku dirinya wartawan, dan buku-buku yang dicarinya dibutuhkan sebagai pembanding, masukan, atau apalah namanya untuk melengkapi laporan dan sekaligus penyelidikannya tentang suatu kasus aneh yang sedang ditanganinya.

Sepintas saja Anjar mengetahui kalau gadis yang ber-wawasan luas itu tomboi. Belakangan ketika mereka makin sering bertemu, ia mengetahui kalau aktifitas gadis itu seabrek-abrek. Dari mulai bangun pagi lalu olahraga, ter-masuk diantaranya mengangkat barbel, lalu pergi ke kantor mengendarai motor trail. Selama dua kali dalam seminggu ia menyempatkan diri latihan karate, kemudian sebulan dua kali tiap akhir pekan ia hiking di gunung, atau kalau tidak bermain-main ke pantai. Lalu kalau ada cuti selama seminggu lebih, ia pergunakan untuk berpetualang menjelajahi tempat-tempat yang telah masuk dalam daftar agendanya. Sehingga boleh dikatakan, sedikit sekali waktu yang tersisa untuk Anjar, untuk berdua-duaan. Dan dari semula Anjar sudah siap menerima konsekwensi itu. Mereka telah sepakat untuk tidak saling mengganggu kesibukan masing-masing, oleh karena itu sulit bagi Saraswati untuk bisa menerima perasaan sentimentil pria itu tentang keselamatan jiwanya dalam menjalankan tugas yang disukai dan diminatinya, meski dengan alasan kasih sayang sekalipun!

Hal sebaliknya pun dirasakan oleh Anjar. Meski menyadari eksistensi gadis itu, dan semua keberadaan yang ada dalam dirinya, tetap saja ia berharap suatu saat

Saraswati akan berubah. Minimal lebih feminim dan lebih romantis, hal yang teramat jarang sekali dilakukan gadis itu. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mencintai gadis seperti itu, yang menjadikan ia sebagai kekasih nomor dua setelah tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas yang dilakukan gadis itu.

Anjar menyayanginya, dan tidak ingin ia mem-pertaruhkan nyawa demi menjalankan tugas, atau sekedar memenuhi hasrat kepenasaran. Tapi percuma saja bila ketidakinginannya itu diungkapkan lewat omongan atau larangan. Saraswati pasti menolak, seolah Anjar telah memveto kebebasannya, terlalu mencampuri urusan pribadi, dan lain sebagainya. Kalau cuma karena ketidak sesuaian pendapat tentang beberapa masalah, bukan berarti jalan keluarnya mereka harus putus. Anjar me-nyadari betul kalau hubungan mereka bukan seperti ABG, oleh karena itu ia berpikir, bagaimana caranya me-nyelesaikan persoalan itu.

"Saya cari jalan yang mudah saja, Bang. Kalau tidak putus, ya cari dukun pelet yang ampuh," sahut Kusno ketika Anjar meminta pendapat padanya tentang bagai-mana caranya menundukkan pacar yang keras kepala.

"Dukun, memang kamu kira akan menyelesaikan masalah?" semprot Anjar setelah ketawanya reda.

"Lho, hal seperti itu sering berhasil, Bang!" bela Kusno. "Berhasil apanya? Kamu jarang baca koran dan majalah,

sih. Banyak diantara dukun jaman sekarang itu palsu. Mereka cuma mengejar uang, dan hawa nafsu. Pernah dengar tentang dukun cabul, nggak?"

"Ya, jangan dukun yang begituan, dong! Abang pasti lebih tahu. Lihat-lihat dulu dukunnya. Eh, bicara tentang dukun saya jadi teringat teman abang yang punya profesi itu. Dulu dia sering ke sini, kan? Saya pernah dikasih ajimat, lho dan ternyata manjur!" Kusno terkekeh.

"Siapa? Danang?" "Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat

yang diberikan Danang, tapi Anjar tidak begitu serius mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya?

Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan. Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang menjual barang-barang antik. Disamping itu ia pun ahli kebatinan, dan sering mendapat pasien yang berhubungan dengan hal-hal mistik.

Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD. Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawan-kawan lain ngeri mendatangi tempat-tempat yang angker, Danang malah sebaliknya. Ia betah nongkrong berjam-jam di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai tempat yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya yang terkilir, masuk angin, pusing, dan sebagainya ia bisa menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu dari tubuh kawannya itu, dan sembuh.

Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut kedatangannya dengan gembira.

"Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku, tapi karena kau yang datang tentu mana bisa kutinggalkan begitu saja," katanya setelah mempersilahkan sobatnya itu duduk. “Gimana? Ada kemajuan dalam usahamu?"

"Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit padamu, dan sekaligus minta bantuan, kalau tidak keberatan."

"Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya Danang seraya mengeluarkan air es dari kulkas, dan menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya.

Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh

Saraswati sampai kepada kejadian yang menimpa gadis itu. "Aku datang kepadamu karena ada kecenderungan yang sama seperti yang disimpulkan oleh Saraswati," tambahnya, "Bahwa peristiwa itu menyangkut sesuatu yang gaib, dan pelakunya adalah makhluk gaib. Bagaimana menurutmu?"

Danang menyandarkan punggungnya di sofa sambil menghela nafas. "Ya." Ia mengangguk pelan. "Akupun mengikuti perkembangan berita itu, dan tidak menyalahkan kesimpulan Saraswati. Pelaku pembunuhan beruntun itu memang didalangi makhluk halus."

"Jadi kau mengetahuinya juga?" Danang mengangguk. "Ceritanya panjang, tapi

kusingkatkan saja. Menurut literatur yang pernah kubaca, juga dari legenda masyarakat tempat asal cerita itu, bermula dari sebuah kerajaan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Sang Prabu mempunyai seorang putri yang bernama Dayang Sari. Sang Putri mempunyai kekasih bernama Wanara Bodas. Pada suatu hari, salah seorang panglima Sang Prabu yang bernama Taji Saluyu agaknya terpikat oleh Putri Dayang Sari yang digambarkan cantik jelita, maka dengan segala daya dan upaya ia berusaha merayu Sang Putri sampai akhirnya terpikat. Putri Dayang Sari benar-benar kepincuk olehnya sampai melupakan cinta Wanara Bodas yang tulus. Tapi agaknya Taji Saluyu ini seorang playboy, sebab pada hari naasnya itu ia kepergok sedang main gila dengan salah seorang selir Sang Prabu yang masih belia. Putri Dayang Sari benar-benar terhenyak dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia betul-betul sakit hati dan merasa dikhianati. Sebaliknya, Taji Saluyu entah karena merasa malu atau takut aibnya terbongkar, dia tega membunuh kedua wanita itu, lalu menimpakan kesalahan kepada Wanara Bodas..."

Anjar mengangguk-angguk mendengarkan cerita sobatnya itu. "Lalu apa hubungannya cerita itu dengan peristiwa yang terjadi belakang ini?"

"Kuat dugaanku kalau roh Dayang Sari bangkit dan melakukan balas dendam."

"Balas dendam? Kepada siapa? Keturunan Taji Saluyu?" tebak Anjar.

"Bukan." Danang gelengkan kepala. "Dayang Sari merasa alangkah sakitnya mereka yang dikhianati. Seperti Wanara Bodas yang dikhianatinya, juga seperti ia dikhianati Taji Saluyu. Ia membuat perhitUngan kepada pasangan-pasangan yang suka berkhianat."

"Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" "Sebab Dayang Sari sempat membuat peringatan

dengan darahnya sebelum ajalnya datang, bahwa ia benci dikhianati, dan ia akan menuntut balas kepada si pengkhianat sepanjang masa. Dalam literature diceritakan bahwa korban pertamanya adalah Taji Saluyu," jelas Danang.

"Lalu..." Anjar diam sejenak. "Apa? Kau ingin tanya mengapa Dayang Sari sampai

mencelakakan Saraswati?" Anjar diam tak menjawab. Ia khawatir bila dugaan

Danang benar. Motif pembunuhan itu adalah seperti hukuman. Hukuman bagi salah seorang pasangan yang mengkhianati pasangannya. Dan kalau Saraswati sampai terancam jiwanya oleh makhluk itu berarti....

"Curiga boleh saja, tapi sebaiknya diselidiki lebih dulu," kata Danang seperti biasa membaca pikiran sobatnya itu. "Itukan baru dugaanku saja. Apakah kau mencurigai orang ketiga dalam hubungan kalian?"

"Entahlah, apakah aku pantas curiga atau tidak. Tapi sepertinya Saraswati akrab dengan seorang polisi yang sering bertemu dengannya."

"Ada baiknya juga bila kau selidiki hubungan mereka." "Memata-matai?" Anjar gelengkan kepala. "Aku tidak

bisa melakukannya. Itu seperti perbuatan remaja yang baru pertama mengenal cinta dan takut kehilangan kekasihnya."

"Setidaknya kau boleh mencari bukti." Anjar terdiam beberapa saat lamanya, kemudian

memandangi sobatnya itu sejurus lamanya. "Bukti bagaimana maksudmu?"

"Ya, apa saja. Surat, tulisan, hadiah kalau memang ada. Banyak, kan? Apalagi saat ini Saraswati sedang berada di rumah sakit, kau bisa masuk ke rumahnya. Eh, jangan salah! Aku bukan mengajarimu untuk jadi maling."

Saran Danang rasanya bisa diterima. Kebetulan ketika mereka sedang kasmaran tempo hari, Saraswati pernah memberikan sebuah kunci rumahnya dengan harapan Anjar bisa bebas keluar masuk rumahnya. Dan kunci itu masih disimpannya sampai saat ini meski belum pernah sekalipun digunakannya.

***

DRIAN MAPALADKA

4 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

IGA hari setelah pertemuannya dengan Danang, Anjar menjenguk Saraswati di rumah sakit. Menurut keterangan dokter, sore hari nanti gadis itu sudah

boleh keluar dari rumah sakit. Letnan Hendri telah berada di ruangan itu saat Anjar

masuk. Mereka kelihatan ngobrol serius ketika sebelumnya Anjar mengintip lewat jendela kaca dan ia tidak ingin langsung mengganggu. Baru setelah letnan polisi itu berdiri dan memandang keluar lewat jendela yang lain ia memberanikan diri masuk.

"Sudah lama?" sapanya. Letnan Hendri melihat arlojinya. "Kira-kira lima belas

menit. Dokter mengatakan kalau Saraswati diperbolehkan pulang sore ini."

"Ya, saya telah diberitahu tadi." Anjar meletakkan bungkusan berisi buah-buahan di meja dekat tempat tidur sebelum menghampiri gadis itu.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah agak mendingan?" "Yaah," sahut Saraswati pendek, kelihatan tidak begitu

bersemangat. Anjar melirik sekilas pada letnan polisi itu, dan yang

dilirik agaknya mengerti kemudian segera angkat kaki. "Sebaiknya kau harus banyak istirahat, bahkan kalau

T

perlu mintalah cuti," katanya sebelum menutup pintu. Saraswati cuma tersenyum. Matanya masih melirik ke

arah pintu meskipun sudah tertutup. "Letnan Hendri menaruh perhatian besar padamu...." Saraswati mengalihkan perhatian pada Anjar yang mem-

belakanginya, mengambil sebuah apel kemudian me-ngupaskannya kecil-kecil untuk disuapkan pada gadis itu.

"Aku masih kenyang, nanti saja." "Baiklah." Dengan perasaan kecewa Anjar meletakkan

apel itu kembali ke meja, lalu melangkah ke jendela yang mengarah keluar. Keduanya terdiam sesaat lamanya sebelum pria itu kembali bicara.

"Langit agak gelap, mungkin siang nanti akan turun hujan," katanya seperti bicara pada diri sendiri, lalu menoleh pada gadis itu. "Kau ingat ketika pertemuan kita yang pertama kali? Waktu itu hari sedang hujan dan kau masuk ke dalam tokoku...."

"Maaf, Anjar. Aku sedang tidak berselera untuk ber-nostalgia," tukas gadis itu.

Pria itu tersenyum, perlahan menghampiri gadis itu setelah menyeret sebuah kursi dan duduk persis di bibir ranjang. "Baiklah, apa yang saat ini kau suka? Pem-bicaraan tentang persoalan yang sedang kau liput, atau tentang Letnan Hendri?"

Sepasang bola mata gadis itu agak melebar ketika wajahnya menyiratkan kegarangan.

"Oke, oke! Jangan marah dulu. Aku toh datang ke sini untuk menjenguk dan sekaligus menghiburmu. Dulu ketika aku sakit nenek sering menghiburku dengan menceritakan dongeng-dongeng. Eit, jangan potong dulu!" tukas Anjar ketika gadis itu hendak menyela. "Nah, kali ini aku akan mendongeng untukmu tentang seorang putri raja bernama Dayang Sari. Tersebutlah kisah Putri Dayang Sari mem-punyai seorang kekasih yang amat mencintainya dengan

setulus hati. Pria itu bernama Wanara Bodas. Ia seorang pria biasa-biasa saja, juga sikapnya terhadap wanita. Berbeda dengan Taji Saluyu, salah seorang pembantu dekat Sang Raja. Ia seorang pria perayu dan amat romantis, sehingga Dayang Sari kepincut padanya dan me-remehkan Wanara Bodas. Tapi suatu hari ia menemukan Taji Saluyu sedang main gila dengan salah seorang selir Sang Raja. Putri. Dayang Sari geram bukan main. Ia merasa dikhianati. Sebaliknya Taji Saluyu merasa khawatir perbuatannya itu dilaporkan kepada Sang Raja, maka iapun membunuh kedua wanita itu untuk menghilangkan jejak…..”

"Cukup! Tidak perlu diteruskan!" teriak Saraswati. Anjar langsung terdiam. Dipandanginya gadis itu untuk-

beberapa saat larnanya. Saraswati sendiri merasa kalau ia agak keterlaluan.

Selama ini belum pernah ia membentak begitu lantang kepada Anjar. Perlahan ia memalingkan wajahnya.

"Kenapa, Saras? Ada apa denganmu?" "Tidak ada apa-apa. Aku cuma tidak ingin kau

memperlakukanku seperti anak kecil," sahutnya tanpa menoleh.

"Bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi mengapa aku mencium bau pengkhianatan dalam hatimu."

Gadis itu kembali bepaling, dan kini sepasang matanya memandang tajam pada pria itu. "Apa yang kau maksudkan?"'

"Bau pengkhianatan," tegas Anjar seraya bangkit dari duduk dan membelakangi gadis itu saat melangkah tenang ke jendela. "Sabtu, 2 Juni: Kujemput kau di restoran. 5 Juni: Aku senang kau mau datang ke rumahku dan ber-kenalan dengan kedua orang tuaku. 10 Juni: tidak apa kalau kau belum bisa memutuskan, tapi ketahuilah aku mencintaimu. 17 Juni: Aku senang kau mau menerima

ajakanku untuk nonton." Anjar menghela nafas sesaat. "Aku tidak tahu tulisan siapa itu, yang jelas aku tidak pernah melihat tulisanmu seperti itu."

"K…Kau...!" "Sepanjang bulan Juni banyak sekali catatan-catatan,"

tukas Anjar tak peduli apa yang hendak diucapkan gadis itu. "Demikian pula pada bulan Juli, Agustus, dan September. Kemudian aku melihat banyak sekali hadiah yang disembunyikan dalam lemari. Tak perlu disebutkan hadiah-hadiahnya, tapi aku tertarik pada tulisan yang menempel di hadiah itu, seperti: My Dear, Saras. Untuk Sarasku. Mudah-mudahan Sayangku senang, dan lain sebagainya. Dan diakhir kalimat selalu tertulis: H-e-n-d-r-i," lanjut Anjar mengeja kata terakhir yang diucapkannya.

"Cukup! Kau sungguh keterlaluan!" semprot Saraswati garang. "Lancang sekali kau membuka-buka buku diary dan lemariku. Tidak kusangka kau akan melakukan perbuatan rendah itu," cibirnya sinis.

Anjar membalikkan tubuh. Wajahnya datar, seolah tak mempedulikan kejengkelan gadis itu. "Perbuatan rendah? Kau seorang wartawati, pasti bisa mendefinisikan dua kata itu dan apa saja yang termasuk katagorinya. Apakah seorang wanita yang telah mempunyai kekasih kemudian berselingkuh dengan pria lain termasuk dalam katagori dua kata itu?"

Hela nafas gadis itu terasa panas, seolah hendak membakar tubuh Anjar hidup-hidup. Untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus dikatakannya selain mendelik garang pada pria itu.

"Saras, tenanglah. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kalau ada persoalan mestinya kan bisa dibicarakan...."

"Apakah sebaiknya nasehat untuk dirimu saja? Tidak ada angin tidak ada hujan, kau masuk ke rumahku kemudian membongkar privacyku, ada apa denganmu?"

"Ada apa? Apakah kau kira aku ini makhluk bernyawa yang tidak memiliki perasaan? Atau barangkali kau ber-harap perasaanku memang tidak ada? Apakah kau mengira aku tidak merasakan perubahan sikapmu ter-hadapku belakangan ini, atau tepatnya sejak bulan Juni?"

"Cukup! Kau mengada-ada dan mengarang suatu pembelaan untuk melegalisir apa yang telah kau perbuat atas hak privacyku. Sekarang pergilah. Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Kau bebas tidak perlu khawatir dan was-was memikirkanku, sebaliknya akupun bebas melakukan apa saja yang sudah biasa kulakukan sebelum bertemu denganmu!" tegas Saraswati.

Anjar tersenyum. "Aku benar, jadi sebenarnya memang keputusan seperti itu yang kau inginkan. Baiklah, diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi sebelum aku pergi dari kamar ini, juga pergi dari hatimu, ingatlah: dongeng yang kuceritakan tadi suatu legenda yang ada kaitannya dengan liputanmu tentang makhluk gaib itu. Dan satu hal terpenting, kau harus pandai jaga diri, sebab kali ini giliranmu! Waspadalah terhadap orang terdekatmu."

"Bila benar itu pasti kau!" tuduhnya enteng. "Mungkin saja," angguk Anjar seenteng tuduhan gadis

itu, kemudian angkat bahu. "Tapi apakah aku mempunyai wajah pembunuh? Lalu apa motifnya? Karena cemburu? Hm, itu terlalu sepele. Aku yakin sepenuhnya Anjar bukanlah tipe pria seperti itu. Aku bukanlah seorang idealis dalam bercinta, tapi realis. Bila seorang wanita sudah tidak menyukaiku, maka aku akan mencari wanita yang menyukaiku, sebab aku yakin dunia ini masih banyak makhluk dari jenis wanita. Yang cantik banyak, yang baik tersedia, dan yang setia pun ada. Mungkin ini agak menyimpang dari hukum kebiasaan manusia tentang percintaan karena mereka beranggapan cinta adalah milik mutlak perasaan. Tapi bagiku soal cinta adalah

keseimbangan antara perasaan dan akal," lanjut Anjar mengakhiri kalimatnya dan langsung menutup pintu tanpa mempedulikan jawaban gadis itu.

Betapapun, dan apapun yang diucapkannya kepada Saraswati tetap saja Anjar tidak bisa membohongi diri sendiri. Ia memang mencintai gadis itu, dan keputusan yang telah mereka jatuhkan bersama tentang hubungan yang selama ini dibina teramat menyakitkan. Meski begitu ia berusaha untuk konsekwen dengan apa yang telah diucapkannya, sebab terlalu mengikuti perasaan bisa mencelakakan diri sendiri.

"Aku sudah bisa menduganya," komentar Danang ketika mereka kembali bertemu sore ini. Anjar merasa enggan pulang ke rumah, juga enggan ke toko, dan entah mengapa kakinya begitu kuat mengajaknya ke tempat sahabatnya itu. "Apa kau merasa menyesal telah bertemu denganku sehingga kau mengambil keputusan seperti itu yang kemudian berakibat fatal dengan berakhirnya hubungan kalian?"

Anjar tidak langsung menjawab. Perlahan disulutnya sebatang rokok, kemudian mempermainkan asapnya.

"Apakah kau yakin ia akan menjadi korban?" tanyanya sambil memandang sobatnya itu seolah tidak mempeduli-kan pertanyaan Danang tadi.

"Kenapa? Kau khawatir?" "Entahlah. Aku cuma tidak ingin dia menjadi korban..."

sahut Anjar agak gelisah. "Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mencegahnya."

Danang terdiam, menarik nafas agak panjang sebelum bicara. "Apakah itu berarti kau masih mencintainya? Atau kau ingin menolong sekedar rasa kemanusiaan?"

"Aku teringat ceritamu. Menurutmu seandainya Wanara Bodas mengetahui kalau Taji Saluyu akan membunuhnya apakah ia mau menolong?"

"Sayang sekali. Menurutku Wanara Bodas tidak berpikir ke arah itu. Logikanya mengatakan kalau Taji Saluyu akan mencintai dan melindungi Dayang Sari. Dan menurutkupun itu masuk di akal”.

"Memang. Tapi saat ini situasinya sedikit berbeda. Akupun percaya kalau Letnan Hendri tidak akan membunuh Saraswati. Tapi bila roh Dayang Sari menyusup ke dalam raganya, apakah ia mampu menahannya? Ironis sekali kan? Dan aku tidak sanggup membayangkannya."

"Mengapa kau begitu yakin kalau roh Dayang Sari akan menyusup ke dalam raga Letnan polisi itu?”

"Pada liputannya yang terakhir, Saraswati berhasil memotret wajah makhluk itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencuci film dari jepretan kameranya. Dan saat aku menggeledah rumahnya, aku sempat masuk ke kamar gelapnya, kemudian melihat hasil fotonya...."

"Jadi...?!" tukas Danang kaget seperti telah mengetahui kelanjutan kalimat sobatnya itu.

"Betul! Foto yang dijepret Saraswati adalah letnan polisi itu," sahut Anjar menjelaskan.

Danang tercenung seperti memikirkan sesuatu. Kemudian setelah itu dipandanginya wajah Anjar sejurus lamanya. "Apakah... kau menyimpan foto itu?"

Anjar mengangguk. "Aku tidak mempunyai maksud apa-apa. Entahlah apakah yang kulakukan itu salah atau benar. Mungkin saja Saraswati mencintai letnan polisi itu, dan bila ia sempat mengetahui, atau memang sudah melihatnya, ia tentu akan sangat kecewa. Aku cuma tidak ingin ia kecewa...."Danang tersenyum sambil gelengkan kepala. "Kadang-kadang sulit bagiku untuk mengerti cara berpikirmu. Di jaman sekarang ini orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, dan bila ada lawan menghadang, ia akan berusaha menjegalnya mati-matian. Tapi yang kau lakukan justru menutupi kelemahan lawan

untuk melanggengkan hubungan lawanmu dengan kekasihmu...."

"Mantan," tukas Anjar meralat. "Apapun nama yang kau berikan aku yakin Saraswati

masih tetap berada di hatimu." "Setidaknya aku tidak berada lagi di hatinya." Keduanya terdiam untuk beberapa saat lamanya

sebelum Anjar kembali bicara. "Bagaimana menurutmu? Apakah tidak berlebihan bila

aku berniat membantunya?" "Itu terserahmu. Sebagai teman aku berusaha

mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku." Danang angkat bahu. "Hanya saja kuperingatkan, jangan berharap terlalu banyak kalau kau mampu mengatasi persoalan ini."

"Aku berhadapan dengan dunia yang berbeda, dan oleh karena kutahu kau mengerti lebih banyak dariku soal-soal seperti itu maka aku minta dukunganmu."

"Seperti yang telah kukatakan, aku akan mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku."

"Terima kasih, Nang. Sekarang apakah kau punya ide langkah apa yang pertama kali harus kita lakukan?"

Danang bangkit berdiri kemudian memberi isyarat pada sobatnya itu untuk mengikutinya ke sebuah kamar.

Danang duduk bersila di atas hamparan permadani kecil dan menghadap ke salah satu tembok pada jarak sekitar dua meter. Sementara Anjar duduk di belakangnya agar menyerong sadikit ke kanan. Suasana ruangan begitu temaram dan hanya diterangi cahaya lampu lima watt warna biru.

Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh sahabatnya itu, sebab hal seperti ini belum pernah dilihatnya. Hanya saja Anjar pernah membaca dan mendengar bila suasana seperti ini maka seseorang akan

berhubungan dengan makhluk dari dunia yang berbeda, dari dimensi lain. Apakah itu artinya Danang mengajaknya untuk berhubungan dengan makhluk halus? Atau lebih tepatnya dengan Dayang Sari? Apakah ia punya kekuatan untuk melakukan hal itu?

Ruangan itu hanya memiliki ventilasi kecil yang ditutupi oleh kawat nyamuk sehingga udara terasa pengap dan sedikit panas. Kalau saja Danang sampai membakar kemenyan mungkin ia tidak akan tahan berlama-lama di sini. Tapi syukur saja kawannya itu tidak melakukannya.

Suasana masih terasa hening. Ia tidak berani meng-ganggu Danang meski untuk suatu pertanyaan seperti, apa yang sedang dilakukannya? Tapi perlahan terasa ruangan itu dipenuhi hawa magis. Ia sulit menjelaskannya dengan kata-kata, ataukah mungkin itu cuma perasaannya saja? Atau barangkali ilusi mata? Yang jelas ia melihat ada semacam kabut yang datang dari arah ventilasi memenuhi isi ruangan. Tidak menyesakkan nafas, juga tidak-memerihkan mata. Kabut itu bergulung di lantai membentuk ketinggian sekitar dua jengkal. Tak lama kemudian terdengar suara koor yang sayup-sayup terdengar, seperti datang dari kejauhan, ditingkahi suara gending yang mengalun lambat. Kabut yang menggumpal di lantai bergoyang-goyang seperti riak ombak.

Suasana seperti itu berlangsung kurang lebih sepuluh menit, sebelum ia dikagetkan oleh sebuah sinar kecil yang melesat cepat ke dalam ruangan melewati ventilasi. Berputar-putar di atas kepala mereka kemudian meng-gantung di hadapan Danang. Anjar bisa memastikan kalau sinar yang memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan itu cuma sebesar kelereng yang paling besar.

Tidak terdengar olehnya percakapan, kalaupun sinar itu bisa bicara. Yang jelas tidak berapa lama kemudian sinar itu bergulung-gulung sebelum akhirnya kembali melesat

keluar. Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut

yang tadi menggenangi lantai ruangan. Dan bersamaan dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya kembali tidak terdengar.

Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih belum mengerti apa yang telah terjadi ketika Danang membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya masih tetap dalam posisi duduk menyila.

"Kau telah melihatnya tadi, kan? Roh Dayang Sari telah datang menemui kita."

"Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar hijau kebiru-biruan itu yang dimaksudkan Danang? Apakah wujud roh memang begitu? Hal itu masih tanda tanya besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik kalimat berikut yang dilontarkan sahabatnya itu.

"Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia akan melakukannya. Sumpahnya tak bisa dicabut, dan rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai kapan."

Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangka-prasangka yang ada dalam benaknya.

"Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya. Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia menyarankan agar kita tidak ikut campur dalam urusan-nya."

"Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya Anjar akhirnya.

"Bisa kedua-duanya." "Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengan-

nya?" Danang mengangguk. "Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan-

nya untuk mencabut sumpahnya sendiri, sebab ia tidak bersumpah kepada siapapun sehingga apabila sumpah itu dicabut, tidak ada yang merasa kecewa dan dirugikan?"

"Kau tidak mengerti. Sumpah seperti itu disaksikan langit dan bumi, dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Kepada merekalah ia bersumpah. Selagi dunia ini masih ada, maka sumpahnya masih tetap akan berlaku. Lagipula, tidak ada gunanya mendebatkan soal itu sebab bagaimanapun ia akan tetap melaksanakan apa yang telah menjadi keputusannya."

Anjar kembali terdiam. Diam-diam ia bergidik ngeri membayangkan nasib yang akan menimpa Saraswati kalau benar ia menjadi incaran roh Dayang Sari. Lalu apa yang bisa dilakukannya untuk mencegah hal itu terjadi? Minta bantuan pada Danang?

"Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mencegahnya," kata Danang angkat bahu seperti mengerti jalan pikiran sahabatnya itu.

"Apakah... bila kau memaksakan diri akan... mem-bahayakan jiwamu?" tanya Anjar ragu.

"Bisa saja terjadi." Anjar mengeluh dalam hati. Apa yang kini harus

diperbuatnya? Di satu sisi ia tak ingin Saraswati celaka, tapi di sisi yang lain ia pun tidak menghendaki Danang celaka karena terpaksa harus membantunya. Lagipula ia tidak punya hak untuk memaksa sahabatnya itu membantu persoalannya.

"Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Saraswati, Nang?"

"Entahlah. Jika saja ia tidak melanjutkan penyelewengannya, mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi jangan salah, kemungkinan itu tetap sebuah kemungkinan yang berarti bisa salah, bisa juga benar. Seandainyapun setelah itu ia kembali lagi padamu juga bukan merupakan

jaminan kalau ia akan selamat." "Suatu pilihan yang sulit," desah Anjar menghela nafas

berat. Apa yang mesti dilakukannya? Menguntit ke mana langkah Saraswati sehingga sebisa mungkin menyelamat-kannya, atau membiarkan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya. Kalaupun ia hidup ataupun tewas sebagai korban, toh nanti takdir yang akan bicara.

***

ADRIAN MAPALADKA

5MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

AKTU telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika ia tiba di rumah. Di halaman depan tengah terparkir sebuah motor trail. Ia tahu betul, itu

adalah motor Saraswati.Tapi ada apa gadis itu malam-malam ke rumahnya?

Tiba di ambang pintu dilihatnya gadis itu sedang ngobrol dengan Kusno. Sambil texsenyum ia duduk di hadapan gadis itu.

"Sudah lama?" "Kurang lebih dua jam yang lalu," sahut Saraswati tanpa

ekspresi. "Seharusnya kamu istirahat di rumah." Anjar melihat

kalau leher gadis itu masih dibalut perban meskipun ada syal dari rajutan wol yang melilit di situ.

"Mestinya begitu, tapi karena keperluannya mendesak aku memaksakan diri ke sini," sahut gadis itu masih dengan nada datar sambil melirik pada Kusno.

Yang dilirik seperti mengerti dan langsung, angkat kaki ke belakang.

"Saya permisi dulu, Bang. Tadi sedang membetulkan saluran air di kamar mandi. Belum kelar. Mari, Mbak."

Anjar mengangguk kecil, sedang Saraswati diam saja tak bereaksi.

W

"Tidak perlu setegang itu. Ada apa? Katakan saja." "Aku minta foto-foto yang kau ambil dari rumahku

dikembalikan. Tidak ada gunanya bagimu!" tandasnya dengan sorot mata tajam perwujudan rasa sinis di hatinya.

"Foto yang mana?" Anjar pura-pura tidak mengerti. "Foto-foto yang sedang kukeringkan di kamar gelap!" "O, itu? Ya, aku mengerti. Tapi mengapa kau begitu

yakin kalau aku yang mengambil foto-foto itu?" "Tidak usah berbelit-belit! Kembalikan saja dan aku

segera angkat kaki dari sini." "Bagaimana mungkin kau meminta sesuatu dari

seseorang yang kau sendiri tidak mempunyai bukti kalau orang itu telah mengambilnya dari tempatmu?"

"Anjar, jangan bermain-main! Aku memerlukan foto-foto itu. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan kau?"

Anjar menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin seorang warta-

wati sepertimu menulis sebuah berita tanpa mengadakan investigasi yang teliti, kemudian mencap kalau berita yang ditulisnya adalah benar. Dimana letak tanggung jawabmu terhadap pembaca?"

"Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan foto-foto itu. Lekas, berikan saja foto-foto itu atau...."

"Atau apa? Kau ingin melaporkannya ke Pak Polisi?" Nada bicara Anjar agak sinis ketika mengucapkan dua kata terakhir.

"Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, dan dengan seenak-nya membongkar-bongkar arsip-arsip rahasia yang me-nyangkut masalah privacy. Itu suatu pelanggaran serius."

Anjar tertawa kecil "Kau belum paham juga kalau aku amat teliti dalam bekerja? Siapa yang akan mempercayai ceritamu itu? Barang-barang masih berada di tempatnya kecuali foto-foto itu, dan jangan katakan kalau aku yang mengambilnya, sebab kau akan kecewa karena tidak bisa

membuktikannya. Ingat, orang lain bisa masuk ke tempat-mu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumah-mu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah kau hendak membuat pernyataan bahwa aku telah me-rampas kunci rumahmu? Silahkan laporkan kepada polisi!"

Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang tajam sekali. Entah mengandung kebencian ataukah dendam. Atau mungkin kedua-duanya.

"Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi...."

"Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas Anjar. "Berarti dengan kata lain kau hendak menjadikan aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak dikenal?"

"Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak melunak. "Mengingat hubungan kita yang pernah ada, maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku."

"Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku melakukan sesuatu yang terbaik untukmu. Jangan ber-prasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah menuduh aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulaku-kan untukmu adalah demi kebaikanmu sendiri."

"Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan saja foto-foto itu kepadaku."

"Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar ter-dengar lebih serius. "Kau sedang menghadapi sesuatu yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku menolong-mu...."

"Kau akan sangat menolong bila mengembalikan foto-foto itu padaku."

"Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan membuatmu panik."

"Dari mana kau tahu? Kau bukan Tuhan yang bisa

mengetahui apa yang akan terjadi nanti." "Memang betul. Tapi apakah kau belum melihat isi foto-

foto itu?" "Yang kutahu aku amat membutuhkannya!"" tegas gadis

itu. "Meskipun kau belum mengetahui isi foto itu?" "Sudahlah, Jar. Aku tidak mau terus berdebat dengan-

mu. Kembalikan foto-foto itu. Tidak ada gunanya bagimu. Kau akan sangat menolongku bila mengembalikan foto-foto itu," ulang Saraswati.

Anjar terdiam. Ia jadi ragu apakah Saraswati mengetahui isi foto itu atau tidak. Kalau memang ia mengetahuinya, berarti ia bermaksud menyembunyikan seseorang yang berada datam foto-foto itu. Tapi kalau ia tidak mengetahui-nya, Anjar bisa membayangkan kalau gadis itu akan sangat panik nantinya.

"Foto itu tidak ada padaku. Kau sia-sia datang ke sini kalau cuma karena itu!" tegasnya. Ia telah mengambil keputusan tidak akan menyerahkan fotofoto itu pada Saraswati.

"Jadi kau tidak mau mengembalikannya?!" "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apakah

pendengaranmu juga ikut terganggu akibat makhluk itu?" Saraswati mendengus sinis seraya bangkit berdiri.

"Baiklah. Kalau kau tidak mau menyerahkannya secara baik-baik maka aku akan memperkarakan masalah ini. Selamat tinggal." Gadis itu terus berlalu keluar. Dan tak berapa lama terdengar raungan motornya meninggalkan halaman rumah.

Dengan membawa perasaan jengkel yang memuncak sampai ke ubun-ubunnya, Saraswati melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia betul-betul sebal melihat tingkah Anjar. Meskipun tak ada bukti, tapi ia merasa yakin kalau Anjar yang telah mengambil foto-foto itu dari rumah-

nya. Kalau bukan, lalu siapa?" Anjar telah membongkar lemari rahasia yang menyimpan arsip-arsip hubungannya dengan Letnan Hendri. Dan bukan tidak mungkin pria itu telah menggeledah seluruh isi rumahnya termasuk kamar gelap di mana foto-foto itu sedang dikeringkannya sebelum makhluk terkutuk itu datang dan menganiayanya.

Seekor kelelawar terbang cepat melintas di depan persis dekat wajahnya. Saraswati kaget bukan main dan reflek memalingkan muka sambil memejamkan mata.

"Binatang keparat!" gerutunya geram. Tapi belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak melintas seekor kucing yang menyeberangi jalan. Ia yang sudah begitu kesal, tidak mempedulikannya dan langsung menabrak hewan itu. Tapi ajaib, kucing itu tiba-tiba saja menghilang. Raib entah ke mana.

Gadis itu merasa heran, dan melambatkan laju motornya sebelum berhenti sama sekali. Ia yakin betul dengan pandangan matanya kalau kucing tadi persis berada di depan ban, dan menurut perhitungan, hewan tadi pasti tergilas. Tapi aneh, karena ia sama sekali tidak melihat bangkai kucing itu.

Ketika melirik jam tangannya waktu menunjukkan pukul sebelas lewat beberapa menit. Ia tidak sedang berada di tengah hutan, tapi sebaliknya bpeada di tengah kota. Namun suasana sepi tempat itu persis seperti kota mati. Tak satupun sejak tadi ia berpapasan dengan pengendara motor lain ataupun mobil. Ini sungguh aneh! Karena meski larut malam sekalipun daerah ini tetap ramai. Ia mengingat-ingat, malam apa sekarang? Benar, malam Jum'at. Entah Kliwon, Legi, atau Pahing, ia tidak tahu. Tapi apakah ada hubungannya?

Suara anjing terdengar melolong dari kejauhan. Entah mengapa bulu kuduknya merinding. Ada perasaan ngeri yang tiba-tiba saja merayap ke tubuhnya. Saraswati

menstarter motor. Tak menyala! Ia mencoba sekali lagi, tapi tetap tidak ada tanda-tanda kalau motornya mau bergerak. Ia berusaha mendorongnya, tapi entah mengapa motor itu terasa berat sekali. Seolah tidak mau bergeser sedikit pun dari tempatnya.

"Brengsek! Ada apa dengan motor ini?" umpatnya geram setelah memeriksa busi, platina dan lain sebagainya. Bahkan bensinnya pun terisi penuh. Rem berfungsi baik. Lalu apa yang menjadi masalah?

Belum lagi ia menemukan jawaban, mendadak ter-dengar suara gending dari kejauhan, yang perlahan-lahan mendekat. Ini mengherankannya, karena ia tidak melihat ada tanda-tanda orang yang sedang hajatan di sekitar situ. Dari mana datangnya suara itu?

Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, dan rasa takut semakin menjadi-jadi menyelimuti hatinya. Pertanda apa ini? Atau barangkali ia sedang bermimpi? Tapi... ah, tidak. Ini kenyataan. Pada saat itu terlihat cahaya terang dari depan, perlahan mendekatinya, membuatnya silau. Reflek ia memejamkan mata. Tapi ketika ia hendak membukanya lagi, cahaya itu te!ah berada di dekatnya, berputar-putar mengelilingi sambil menimbulkan suara bising yang memekakkan telinga. Di antara suara bising itu terdengar lapat-lapat satu suara yang memanggilnya berulang-ulang.

"Saraswati... Saraswati...!" "Siapa itu? Siapa yang memanggilku?!" teriak gadis itu

berputar-putar mencari arah datangnya suara. "Saraswati.... Kau penghianat. Kau pengkhianat...!" "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan?" "Saraswati... pengkhianat. Pengkhianat harus mati!

Pengkhianat harus mati!" Jantungnya seperti berhenti ber-detak, dan tubuhnya terasa melayang dengan ringan ketika cahaya yang mengelilinginya dengan cepat semakin men-dekat. Terasa udara panas yang menyengat kulit, dan paru-

parunya sesak untuk bernafas. Dan dengan satu sentakan keras, terasa sesuatu mencekik lehernya dengan kuat sekali. Meski gadis itu mati-matian mempertahankan diri, tapi tetap saja ia tidak mampu berbuat satu apapun untuk menghindar dari sesuatu yang mencekiknya.

Lapat-lapat sebelum kesadarannya hilang sama sekali terdengar olehnya suara teriakan yang mengguntur.

"Jangaaan…!!" Ia tidak mengetahui berapa lama berada di sini. Namun

ketika terjaga, suasananya berubah total. Seluruh ruangan terlihat putih bersih. Ketika melirik ke samping, terlihat seraut wajah yang dibencinya. Seketika itu juga ia memalingkan muka.

"Syukurlah kau te!ah sadar," ucap Anjar lega. "Hampir dua puluh empat jam kau tidak sadarkan diri. Tidak perlu banyak bicara, karena ada sedikit kerusakan pada tenggorokanmu. Dokter mengatakan bahwa kau masih perlu dirawat agak lama di sini. Akupun menganjurkan begitu. Aku sudah menghubungi pimpinan redaksimu. Siang tadi beliau datang ke sini menjengukmu, tapi kau belum siuman."

Saraswati diam saja. Dia melirik lengannya yang di-hubungkan dengan tabung infus. Seandainya pun ia leluasa berbicara, rasanya enggan untuk menimpali ocehan pria ini.

"Sepulangnya kau dari rumahku," sambung Anjar, "Aku merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi padamu, maka secepatnya kau kuikuti. Ternyata benar saja. Aku bersyukur bisa datang tepat pada waktunya."

Gadis itu kembali memalingkan muka, menatap pria itu seolah hendak minta penjelasan apa yang telah terjadi pada dirinya. Tapi dilihatnya pria itu bukannya memberikan jawaban, malah bangkit berdiri memunggunginya.

"Aku tahu kau tidak menginginkan kehadiranku di sini.

Tidak apa. Aku permisi dulu." katanya melangkah tenang menuju pintu. Tapi sebelum keluar ia sempat menoleh." Barangkali kau membutuhkan kehadiran Letnan Hendri untuk menghiburmu. Aku telah menghubunginya sejak jam delapan tadi pagi. Tapi tidak bertemu langsung dengannya. Seseorang yang mengangkat telepon mengatakan kalau ia sedang pergi, maka aku titip berita saja bahwa kau berada di sini. Mudah-mudahan dia mau datang menjengukmu. Selamat malam. Selamat istirahat." Setelah itu ia terus berlalu, tak peduli ketika Saraswati berusaha mengangkat sebelah lengannya sebagai isyarat untuk menahannya sesaat.

Saraswati hanya bisa memandangi punggung pria itu sebelum pintu tertutup. Ia menghela nafas berat. Pikirannya berkecamuk ditambah lagi kepalanya agak sakit seperti terkena benturan keras. Berdenyut-denyut. Apa yang telah terjadi padanya malam itu? Ia merasa maut telah begitu dekat dengannya, sebelum teriakan keras itu membuyarkan segalanya. Siapa yang berteriak itu? Anjarkah? Apakah ia sengaja datang untuk menolongnya? Untuk apa? Setelah mengetahui perselingkuhannya dengan Letnan Hendri, apa pedulinya lagi terhadap dirinya? Anjar pasti merasa sakit hati, lalu apa gunanya dia menolong?

Ia tidak tahu apakah hubungannya dengan letnan polisi itu pantas disebut perselingkuhan? Mereka tidak melaku-kan hal-hal yang diluar batas, tapi memang, ia merasa tertarik dengan pria itu. Letnan Hendri terlihat lebih gagah dan berwibawa. Dan kebersamaan mereka selama ini membuat kedua hati semakin terpaut erat. Tetapi bukan berarti ia melupakan Anjar. Semula ia tidak membenci pria itu, sampai ketika dianggapnya Anjar terlalu lancang meng-acak-acak rahasia pribadinya. Dan menurutnya hal itu sudah melewati batas, dan menumbuhkan kebencian. Tapi

benarkah ia begitu benci pada pria yang pernah dicintai-nya? Pernah? Kalau ada perkataan itu berarti definisinya saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi mencintai Anjar?

Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu di-ketuk. Seorang pria berseragam polisi masuk ke dalam. Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum manis begitu wajah mereka berpapasan.

"Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?" tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis itu.

Saraswati tersenyum kecil, dan berusaha menggeleng lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah teng-gorokannya yang masih diperban.

"Kenapa? Kau mengalami peristiwa mengerikan itu lagi?"

Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa sakit sekali. Pita suaranya seperti tak mau bergetar.

"Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah mem-beritahukan kondisimu padaku. Aku menyesal sekali tak ada saat kejadian itu menimpamu."

Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu yang muram. Ada bias dendam dan kebencian yang me-nyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan ke-kecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak mampu menolong gadis itu.

"Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya setelah beberapa saat membisu. "Pagi tadi aku mengurus korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang dilakukannya sama seperti sebelumnya."

Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama

sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki per-masalahan sampai tuntas, meski ia sendiri hampir saja menjadi korban.

"Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..." lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...."

Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya? Bukankah itu gadis yang mereka jadikan umpan untuk menjebak pelaku pembunuhan itu?

"Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum lagi membaik. Aku sungguh menyesal tidak menjaganya dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam permasalahan ini."

Berdosa? Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya, tapi Saraswati pun merasakan hal yang sama. Bukankah ide itu berasal darinya? Hanya saja memang bukan ia yang memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan ber-sedia menjadi umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan Hendri sampai memilihnya.

"Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu kita dalam menuntaskan masalah ini," lanjut letnan polisi itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya. "Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!"

Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak meng-godanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di benak gadis itu.

"Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu. Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang

pintu. Saraswati mengerutkan dahi. Ia sama sekali belum pernah melihat wajah itu sebelumnya.

"Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian," kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan Saraswati, kemudian memberi isyarat pada si gadis yang berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam. "Kami

datang berdua ke sini. Ini Christine, sepupuku. Pagi tadi ia baru datang dari Amerika. Christine kuliah pada jurusan Anthropologi, dan khususnya pada budaya bangsa-bangsa Timur."

Letnan Hendri memperkenalkan keduanya. Saraswati merasakan jabatan tangan gadis itu yang

hangat dan erat, penuh persahabatan. Diamatinya sekilas. Wajahnya mirip bintang film kenamaan: Paramitha Rusady, tapi Christine memiliki kelebihan pada tinggi badannya.

"Mas Hendri banyak cerita tentang Anda pada saya, dan menurut saya tidak berlebihan bila ia mengatakan Anda cantik. Kenyataannya memang demikian," puji gadis itu. "Ia juga cerita tentang masalah yang ditanganinya belakangan ini, yang dalam hal ini Anda pun meliputnya. Dan terus terang, saya ikut tertarik mengamati perkembangannya."

Saraswati curna bisa tersenyum. Saraswati baru pertama kali kenal dengan gadis itu, pun

namanya. Karena selama ini Letnan Hendri sama sekali tidak pernah menyinggungnya. Pria itu pun jarang bercerita tentang saudara-saudaranya. Jadi pengetahuan Saraswati tentang keluarganya sangat minim. Ia sendiri tidak tahu apakah mesti percaya atau tidak kalau Christine ini betul sepupunya Letnan Hendri. Dan ia merasa hal itu belum perlu, sebab ia sendiri tidak tahu apakah di hatinya ada perasaan cemburu atau tidak melihat kehadiran Christine.

TAMAT

SEGERA TERBIT :

MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG

SARI II

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI 1

JONI CARI PENGALAMAN II

on!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar suara yang memanggil dirinya.

"He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil dirinya itu adalah teman baiknya, Midun.

"Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun. "Aku sedang melamun." "He, apa yang kamu lamunkan?" "Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku

khawatir nanti kamu ikut-ikutan." "Ikut-ikutan apa?" "Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi

orang kaya." "Ah, kamu Jon. Kukira apa? Masa cuma melamun aja

aku iri." "He, siapa tahu." "Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu

sepi? Ke mana emakmu?" "Emakku sedang pulang kampung." "Kamu nggak diajak?" "Kamu ini bagaimana sih, Dun? Kalau aku diajak sama

Emakku, mana mungkin kau bisa bicara sama aku saat ini?"

"Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?" "Ya, begitulah." "Wah, kamu asyik dong bisa bebas." "Seharusnya begitu."

J

"Kok seharusnya?" "Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini

nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang."

"Sudah pasti." "Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin

aku bisa melakukan sesuatu." "Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?" "Ngasih. Lima juta." "Lima juta?" "Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding." "Maksudmu?" "Aku cuma diberi uang lima ribu perak." "Untuk berapa hari?" "Katanya sih untuk beberapa hari." "Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal

membuat kamu kelaparan." “Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari

Emak pergi aku sudah nggak punya uang." "Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih!

Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?" "Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!" “Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?" "Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku

sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?" "Dan lamunanmu itu berhasil?" Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya

semakin nampak murung. "Aku punya saran," Joni memandang sahabatnya itu. "Apa saranmu?" "Sebaiknya kau menyusul emakmu saja." "Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan

kaki kesana?” "Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh." Joni menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.

Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja." "Di mana tempat tinggal pamanmu itu? Apa kau tahu

alamatnya?" "Tahu." "Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini,

sebaiknya kau lekas pergi ke tempat tinggal pamanmu!" "Tapi bagaimana kalau Emakku pulang? Past! Emak

bakal mencari-cariku?" "Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu

emakmu, bahwa kau pergi ke rumah pamanmu." "Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima

kasih. Tapi….??" "Tapi apa lagi?" "Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan

menjaganya? Aku khawatir nanti ada barang-barang berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi, pasti Emak bakal marah sekali!"

"Barang berharga? Memangnya emakmu banyak memiliki barang berharga? Setahuku di dalam rumahmu nggak ada apa-apa kecuali cuma tempat tidur reotmu itu!"

"Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak memiliki barang simpanan yang harganya tak ternilai. Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku dibanding dengan kekayaan milik Emakku!"

"Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih keturunan raja minyak dari Arab?"

"Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang kaya cuma pura-pura miskin."

"Pura-pura apa miskin beneran?" "Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa

dibelinya buat kandang ayam, tahu. Kamu nggak percaya? Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta itu punya siapa?"

"Punya Emakmu?" "Gila! Punya Pemerintah, goblok!" "Oh, aku kira punya emakmu." "Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.

Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah."

"Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diam-diam emakmu banyak memiliki harta simpanan Jon."

"Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilang-bilang sama orang lain lagi ya, nanti bisa bahaya. Rumahku bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya celaka!"

"Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain." "Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu

cuma kamu aja! Lain orang nggak ada yang tahu. Mereka cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang nggak punya."

"Nggak tahunya Kong Melarat." "Hus, Konglomerat!" Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara per-

caya dan tidak percaya. Apa benar emak si Joni banyak memiliki kekayaan? Setahu Madun, selama ini emak si Joni adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya miskin dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni sendiri, sepulang temannya itu Joni tertawa terbahak-bahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu sudah reot, sehingga menimbulkan suara cukup gaduh.

"Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun percaya kalau Emak punya simpanan berharga dalam rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa, selain punya diriku dan gubuk reot ini!"

***

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI 2

JONI CARI PENGALAMAN II

ONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk di-pejamkan. Itu sebabnya sedari tadi Joni cuma ter-

lentang saja di atas tempat tidur sambil matanya me-mandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak berlapis. Menyebabkan genteng rumahnya yang banyak berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau hujan rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang telah pecah dan rengat.

Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hati-nya sedih. Dari mana ia bisa memperoleh uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu?

"Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya rejeki yang banyak. Jangan cuma pas-pasan untuk makan aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua gara-gara pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua orang sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak bakal senang betul hatinya. Karena dengan begitu Emak pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah nasib Emak dan diri saya!"

Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai telinganya mendengar suara ketokan.

"Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke arah pintu.

J

"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati Joni curiga. Ia tidak segera membuka pintu rumahnya, karena suara yang didengarnya itu tidak dikenalnya. Suara seorang lelaki.

"Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?" "Saya!" "Saya siapa?" "Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu

ini saya dobrak!" "Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti

Emak saya marah!" "Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi

sama emakrnu, saya sih tidak" "Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka.

Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya. Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di

hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh besar bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar tawanya.

"Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa dipersilahkan langsung menerobos masuk dan duduk.

Joni bengong seperti sapi ompong. "Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang

mengaku seorang rampok. "Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang

kampung!" "Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi

barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada perabotnya."

"Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin." "Rumah orang miskin? Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak

percaya. Soalnya di Jakarta ini banyak sekali orang kaya yang pura-pura miskin."

"Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benar-benar miskin. Sungguh saya nggak bohong dan nggak pura-pura."

"Jadi sungguh kamu miskin beneran?"

“Ya " "Kasihan." "Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang

kasihan sama diri saya dan Emak saya." "Begitu?" "Ya, begitu." "Kalau begitu, mereka itu semua tolol!" "Kok, kamu bisa bilang begitu?" "Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi

sama kamu yang pura-pura miskin!" "Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh." "Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi

terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?”

"Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan di Wc….!"

"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu semua oranq juga punya."

"Jadi...?" "Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik

emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima menit, nyawamu melayang."

"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake melayang segala."

"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!" "Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di

kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah alamat. Lha, orang miskin kok di rampok."

"Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya simpanan barang berharga?"

"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma kecoa!"

"Brengsek!" "Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih?

Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung belum jatuh kroban nyawa."

''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas kaya."

"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya juga pingin."

"Kamu juga pingin kaya?" Joni menganggukkan kepala, "Wah, kalau begitu kita sama dong." "Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan." "Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak

punya simpanan apa-apa, saya permisi." "He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?" "Pulang." "Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?" "Terimakasih." "Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang

mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni.

"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya ya!"

"Beres. He, nggak. Enak aja!" Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang

menatapnya sambil geleng-geleng kepala. "Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang

punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman. Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal

pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau tidak salah pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan raya, tak jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada lampu merah, sedang disebelah kirinya yang Joni ingat ada toko!

Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya secara tepat, apakah pamannya itu tinggal di Bandung, di Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali tidak tahu. Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat tinggal pamannya itu.

"Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus, Jadi sekarang ini aku harus naik bus!" kata Joni dalam hati. Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik? Ketika ada sebuah bus yang lewat Joni mempehatikan dengan hati ragu.

"Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak kondektur bus. Padahal penumpang yang ada di dalam bus itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden.

"Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si kondektur lagi memaksa Joni naik. Tapi Joni menolak sambil mengelengkan kepala.

"Mau ke mana Dik? Senen!" tanya si kondektur sama Joni setengah memaksa.

Joni menggelengkan kepalanya lagi. "Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur

matanya melotot. "Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!" "Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si

kondektur marah-marah. Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali

ini busnya tidak begitu padat dengan penumpang. "Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni. "Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni. “Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si

kondektur sewot. Joni tersenyum, diapun lalu naik bus itu. Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni harus berdiri sambil menggelantungan seperti Tarzan.

Tidak berapa lama setelah bus berjalan. Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa

menagih ongkos. “Ongkos.... ?" kata si Kondektur. "Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum. "Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang. "Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni. Membuat mata si Kondektur terbelalak. "Nggak punya uang? Jadi...?" "Numpang Oom. Dekat aja kok." "Betul dekat?" "Ya, Oom." "Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki.

Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong hampir saja Joni jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi karena melihat badan si Kondektur yang cukup besar dan tampangnya seram, hati Joni jadi ciut.

"Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu Joni setelah diturunkan dari bus. Tapi percuma, makian Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi terlakan si Kondektur.

"Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!"

TAMAT