bidang pertanian, dpr-riberkas.dpr.go.id/armus/file/lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 ·...

19
1 RISALAH RAPAT KOMISI IV DPR-RI BIDANG PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN DAN PERIKANAN, DEWAN KELAUTAN INDONESIA SERTA PERUM BULOG Tahun Sidang : 2011-2012 Masa Persidangan : III Rapat ke : 29 Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Sifat Rapat : Terbuka Dengan : Pakar Prof. Dr. Ir. M. Maksum, Prof. Dr, Didik J. Rachbini, Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si, Dr. Ir. Tri Pranadji, M.Si Hari/Tanggal : Rabu, 15 Februari 2012 Waktu : 10.00 WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi IV DPR-RI Gedung Nusantara DPR-RI, Senayan-Jakarta Acara : Menerima masukan RUU tentang Pangan Ketua Rapat : IR. E. HERMAN KHAERON, M.Si Sekretaris Rapat : Aris Subiakto, S. Sos, M.AP. Hadir Anggota : Dari 49 orang Anggota Komisi IV DPR-RI Hadir Mitra Kerja : Pakar Prof. Dr. Ir. M. Maksum, Prof. Dr, Didik J. Rachbini, Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si, Dr. Ir. Tri Pranadji, M.Si beserta jajarannya ANGGOTA KOMISI IV DPR-RI : 1. H.M. ROMAHURMUZIY, ST, MT 2. IR. E. HERMAN KHAERON, M.Si 3. Hj. ANNA MU’AWANAH, SE, MH 4. IR. H. M. ALI YACOB 5. DRS. JAFAR NAINGGOLAN, MM 6. HJ. ITI OCTAVIA JAYABAYA, SE, MM 7. ADIYAMAN AMIR SAPUTRA, S.IP 8. SRI HIDAYATI 9. DRS. H. YUSRAN ASPAR, M.Si 10. IR. DJOKO UDJIANTO 11. IR. H.M.ROSYID HIDAYAT 12. MAIMARA TANDO 13. ANTON SUKARTONO SURATTO 14. DR. IR. MOHAMMAD JAFAR HAFSAH 15. DR. CAPT. ANTHON SIHOMBING 16. Hj. NURLIAH, SH, MH 17. ADI SUKEMI, ST, MM 18. HJ. TETTY KADI BAWONO 19. R. (Hc) IR. H. SISWONO YUDO HUSODO 20. HJ. NUROKHMAH AHMAD HIDAYAT MUS. 21. ROBERT JOPPY KARDINAL 22. IAN SIAGIAN 23. SUDIN 24. DJUWARTO 25. DR. MUHAMMAD PRAKOSA 26. DRS. I MADE URIP, M.Si 27. BAHRUDIN SYARKAWIE 28. HONING SANNY 29. HERMANTO, SE, MM 30. MA’MUR HASANUDDIN, MA 31. H. ROFI’ MUNAtWAR, Lc 32. TAMSIL LINRUNG 33. VIVA YOGA MAULADI, M. Si 34. H. SUKIMAN, S.Pd, MM 35. INDIRI CHUNDA THITA SYAHRUL, SE, MM 36. H. HENDRA S SINGKARU, SE 37. DRS. H. WAN ABU BAKAR, MS, M.Si 38. H. SYAIFULLAH TAMLIHA, S.Pi, MS 39. DRS. H. IBNU MULTAZAM 40. PEGGY PATRICIA PATIPPI 41. H. BUDI HERYADI, SE, SH 42. ANAK AGUNG JELANTIK SANJAYA 43. DRS. H.A. MURADY DARMANSYAH ANGGOTA YANG IZIN : 1. FIRMAN SOEBAGYO, SE,MH 2. H. HARDISOESILO 3. I GUSTI KETUT ADHIPUTRA, SH 4. IR. MINDO SIANIPAR 5. Hb. IR. NABIEL AL MUSAWWA, M.Si 6. DRS. H. ZAINUT TAUHID, SA’ADI, M.Si ARSIP DPR-RI

Upload: others

Post on 06-Jul-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

1

RISALAH RAPAT KOMISI IV DPR-RI

BIDANG PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN DAN PERIKANAN, DEWAN KELAUTAN INDONESIA SERTA PERUM BULOG

Tahun Sidang : 2011-2012 Masa Persidangan : III Rapat ke : 29 Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Sifat Rapat : Terbuka Dengan : Pakar Prof. Dr. Ir. M. Maksum, Prof. Dr, Didik J. Rachbini, Dr. Ir. Drajat

Martianto, M.Si, Dr. Ir. Tri Pranadji, M.Si Hari/Tanggal : Rabu, 15 Februari 2012 Waktu : 10.00 WIB Tempat

:

Ruang Rapat Komisi IV DPR-RI Gedung Nusantara DPR-RI, Senayan-Jakarta

Acara : Menerima masukan RUU tentang Pangan

Ketua Rapat : IR. E. HERMAN KHAERON, M.Si Sekretaris Rapat : Aris Subiakto, S. Sos, M.AP. Hadir Anggota : Dari 49 orang Anggota Komisi IV DPR-RI Hadir Mitra Kerja : Pakar Prof. Dr. Ir. M. Maksum, Prof. Dr, Didik J. Rachbini, Dr. Ir. Drajat

Martianto, M.Si, Dr. Ir. Tri Pranadji, M.Si beserta jajarannya ANGGOTA KOMISI IV DPR-RI :

1. H.M. ROMAHURMUZIY, ST, MT 2. IR. E. HERMAN KHAERON, M.Si 3. Hj. ANNA MU’AWANAH, SE, MH 4. IR. H. M. ALI YACOB 5. DRS. JAFAR NAINGGOLAN, MM 6. HJ. ITI OCTAVIA JAYABAYA, SE, MM 7. ADIYAMAN AMIR SAPUTRA, S.IP 8. SRI HIDAYATI 9. DRS. H. YUSRAN ASPAR, M.Si 10. IR. DJOKO UDJIANTO 11. IR. H.M.ROSYID HIDAYAT 12. MAIMARA TANDO 13. ANTON SUKARTONO SURATTO 14. DR. IR. MOHAMMAD JAFAR HAFSAH 15. DR. CAPT. ANTHON SIHOMBING 16. Hj. NURLIAH, SH, MH 17. ADI SUKEMI, ST, MM 18. HJ. TETTY KADI BAWONO 19. R. (Hc) IR. H. SISWONO YUDO HUSODO 20. HJ. NUROKHMAH AHMAD HIDAYAT MUS. 21. ROBERT JOPPY KARDINAL 22. IAN SIAGIAN

23. SUDIN 24. DJUWARTO 25. DR. MUHAMMAD PRAKOSA 26. DRS. I MADE URIP, M.Si 27. BAHRUDIN SYARKAWIE 28. HONING SANNY 29. HERMANTO, SE, MM 30. MA’MUR HASANUDDIN, MA 31. H. ROFI’ MUNAtWAR, Lc 32. TAMSIL LINRUNG 33. VIVA YOGA MAULADI, M. Si 34. H. SUKIMAN, S.Pd, MM 35. INDIRI CHUNDA THITA SYAHRUL, SE, MM 36. H. HENDRA S SINGKARU, SE 37. DRS. H. WAN ABU BAKAR, MS, M.Si 38. H. SYAIFULLAH TAMLIHA, S.Pi, MS 39. DRS. H. IBNU MULTAZAM 40. PEGGY PATRICIA PATIPPI 41. H. BUDI HERYADI, SE, SH 42. ANAK AGUNG JELANTIK SANJAYA 43. DRS. H.A. MURADY DARMANSYAH

ANGGOTA YANG IZIN : 1. FIRMAN SOEBAGYO, SE,MH 2. H. HARDISOESILO 3. I GUSTI KETUT ADHIPUTRA, SH

4. IR. MINDO SIANIPAR 5. Hb. IR. NABIEL AL MUSAWWA, M.Si 6. DRS. H. ZAINUT TAUHID, SA’ADI, M.Si

ARSIP D

PR-RI

Page 2: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

2

Jalannya Rapat :

KETUA RAPAT (HERMAN KHAERON/F-PD): Saya kira kita sambil jalan kita mulai. Dan sesuai dengan agenda rapat hari ini adalah kita untuk mendengarkan masukan dari para pakar khusus sebagai informasi bahwa kami didalam pembahasan Panja Pembahasan Tingkat I dengan Pemerintah mem-pending Bab IV tentang ketersediaan pangan. Kalau Profesor Maksum belum setuju, Pak Dradjat belum setuju saya kira saya akan pending sampai akhir masa sidang ini. Kecuali kalau sudah fakta kita lanjut menyesuaikan. Bismillahirrohmanirrohim, Assalamuallaikum Warohamatullahi Wabarokatuh, Selamat pagi, dan Salam sejahtera untuk kita semua. Yang terhormat seluruh Anggota Panitia Kerja Komisi IV Panja Pangan, Yang terhormat Prof. DR. Ir. Mohamad Maksum, Yang terhormat DR. Drajat Mardianto, Msi.

Kita masih menunggu Pak Tri Pranardji dan Prof. Didik J. Rachbini. Dan mengawali rapat hari ini pertama-tama marilah kita memanjatkan puja, puji serta syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala, Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa berkat rahmat dan hidayah-Nya kita bisa mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum pada hari ini. Tentunya dengan sehat wal'afiat. Sesuai dengan jadwal acara rapat-rapat tentunya kami memang sudah menjadwalkan secara khusus untuk melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum ini. Untuk itu saya kira kami dengan demikian membuka RDPU ini dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, dan terbuka untuk umum.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 10.20 WIB) Bapak-Ibu yang kami hormati, Acara Rapat Dengar Pendapat Umum hari ini sebagai berikut: Pengantar Ketua Rapat, Penjelasan, Pemaparan dari para pakar dibidang pangan, Kemudian penjelasan dari para pakar dibidang pangan, Tanggapan Anggota Panja Komisi IV DPR RI, Jawaban para pakar dan penutup.

Saya kira juga disini hadir Anggota Panja Pangan dari Pemerintah yang dipimpin langsung oleh Doktor Ahmad Suryana. Saya kira Pak Ahmad mohon didengarkan meskipun berada dibelakang. Tentunya dengan seluruh yang hadir pada saat ini yang tentunya tidak bisa saya sebutkan satu per satu, baik dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, kemudian badan-badan yang menyertainya. Barangkali ada dari BPOM. Saya kira seluruhnya yang hadir pada kesempatan ini, apakah acara tersebut kita setujui?

(RAPAT : SETUJU) Hadirin yang kami hormati, Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus dengan siap tersedia cukup setiap waktu, aman dan bermutu, bergizi dan seragam, dengan harga yang terjangkau dengan daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu system pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang produksi pangan, yang mengkonsumsi serta yang tidak bertentangan dengan keyakinan dan keperdulian masyarakat.

Kemudian RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun '96 tentang Pangan saat ini telah memasuki tahap pembahasan Tingkat I seperti yang saya sebutkan diawal bahwa pembahasan ini sudah sampai di Bab V. namun dengan catatan Bab IV kami pending tentang ketersediaan pangan. Karena kami tidak ingin kemudian bahwa para pakar ataupun pemerhati dibidang pangan yang selama ini serius betul mencermati terhadap perkembangan RUU pangan ini kemudian tidak terakomodiir segala daya dan pikirannya sehingga kemudian kami berharap bahwa ketika Undang-Undang ini menjadi Undang-Undang atau RUU ini

ARSIP D

PR-RI

Page 3: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

3

menjadi Undang-Undang tentunya tidak ada lagi kemudian yang mempersoalkan tentang pasal-pasal yang liberalis, neo-liberalism, bahkan sekarang katanya neo-liberalismnya sudah dipindahkan juga kepada Provinsi dan Kabupaten-Kota. Tentunya kami berasaskan kehati-hatian dan mengakomodiir semua aspirasi yang berkembang tentunya RDPU ini dilaksanakan.

Saya tidak perlu panjang lebar saya kira karena kalau saya sebutkan juga yang hadir disini juga bukan orang baru tapi sudah lumutan karena kita sama-sama juga, bersama-sama sebetulnya dari setahun yang lalu bagaimana mempersiapkan terhadap Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR ini sehingga saya kira saya tidak perlu berpanjang lebar untuk memberikan kata pengantar dan kami persilakan untuk kepada Prof. DR. Ir. Mohamad Maksum untuk bisa memberikan suatu pandangan atau pemaparan. Saya sekali lagi mengulas bahwa barangkali focus terhadap system ketersediaan pangan yang ada didalam RUU itu yaitu di Bab IV. Tapi jika ada hal lainnya yang tentunya itu menjadi pemikiran dan pandangan para pakar kami persilakan untuk disampaikan.

Untuk itu waktu dan tempat kami persilakan. PAKAR DI BIDANG PANGAN (MOHAMAD MAKSUM):

Terima kasih. Assalamuallaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi, dan Salam sejahtera buat kita semuanya.

Sementara menunggu tayangan … itu saya ingin sekali lagi mengulang apresiasi kami ketika Bapak-bapak Anggota Dewan yang terhormat berkunjung ke UGM bahwa orientasinya sangat UGM. Nah apakah … saya tidak tahu.

Pertama tentang kedaulatan pangan bahwa kami memaknai kedaulatan ini penting sekali. Pendekatan yang sementara ini ada itu sangat teknis, sangat ketahanan dan sampai-sampai melepaskan asumsi bahwa manusia adalah 1 sosok makhluk social. Bedanya begini, pakar itu kan pandai berkelakar. Bedanya begini, sudah sekian kali. Kalau pakar jalanan pandai berkelakar. Kalau yang dikampus apa-apa disukarkan supaya kepakarannya semakin jos. Ketahanan dan kedaulatan saya kira Pak Pimpinan sudah pernah mendengarnya. Beberapa rekan-rekan Anggota Dewan yang terhormat sudah pernah mendengarkan, rekan-rekan juga mendengarkan tapi untuk menunggu saya ulangi. Minggu lalu saya punya mahasiswi bertamu ke saya konsultasi sambil gendong anak. Itu bisa untuk apologize sekolah saya telat Pak Maksum karena saya baru punya bayi. Ditengah-tengah konsultasi itu bayinya menangis. Sebagai pengamat pangan komentar saya sederhana. Nangis, ngompolkah? Oh tidak. Oh kalau begitu ini rawan pangan. Tidak berketahanan pangan. Mahasiswi saya, cantik orangnya. Supaya saya gak macam-macam bawa bayi dia. Apa yang dilakukan dia ini rawan pangan itu. Terus, apa yang dilakukan? Oke, pentili saja. Buka bajunya pentiili. Gak tahu pamer atau apa mahasiswi ini. Begitu di pentili bayi itu diam, tertidur tutup lagi, mulai lagi konsultasi. Itulah ketahanan pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya sendiri. Saya rasa burungnya gak bisa berkicau juga karena rawan pangan. Pagi-pagi gak berkicau karena rawan pangan. Karena itu dosennya itu yang seniornya tadi lari ke pakan ngasem beli pakan burung. Dikasihkan pada burung, kemudian burung itu kenyang. Besoknya bersiul. Oh, ini sudah berketahanan pangan. Ketahanan pangan itu begitu. Sementara kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan itu memperhatikan dia sebagai makhluk social, sebagai makhluk politik yang punya hak, punya pilihan, punya power, itu bedanya kedaulatan dan ketahanan. Karena itu ijinkan kami mengulangi apresiasi kami yang tidak terbatas bahwa RUU Pangan ini meletakkan landasan orientasi yang bukan main dalam perjalanan politik pangan nasional. Rekan-rekan sekalian, Bapak-bapak Anggota Dewan yang terhormat,

Apresiasi itu pertama, re-orientasi tentang kedaultan. Yang kedua adalah penonjolan lokalita dan kepentingan petani nelayan. Yang ketiga, … of power. Ini juga urusan pangan. Sebagai urusan wajib … itu jalan. Yang ketiga, keterjangkauan keamanan dan standarisasi konsumsi ini mengedepan. Tentu ini penting semuanya dan ini melandasi gerak-gerak perumusan pasal. Kemudian kelembagaan berbasis multi dimensi pangan. Jadi pangan ini tidak sekedar nuwun sewu. Jadi saya harus mengulang-ngulang kata ini. Pangan ini tidak sekedar produk ekonomis apalagi produk financial. Dalam ulasan ini kami sering berkelahi dari teman-teman dari Departemen Perdagangan. Dalam pandangan terakhir di Kompas dengan Bu … Pangestu seminggu sebelum Beliau digeser ke Pariwisata dan … kreatif itu Beliau, Menteri Pertanian Dirut Bulog dan beberapa teman saya mengingatkan bahwa untuk memutuskan impor atau tidak itu kita harus melihat bahwa pangan ini punya watak multi dimensi tidak hanya urusan ekonomis apalagi financial. Sementara Menteri selalu memutuskan, Negara ini selalu memutuskan oh beli itu lebih murah. Maka impor saja daripada produksi. Ini kan biangannya. Ini keputusan yang sangat sembrono. Karena apa, implikasinya jauh. Karena itu ketika kita berbicara kelembagaan beberapa tahun yang lalu saya mengatakan karena watak multi dimensi pangan saya

ARSIP D

PR-RI

Page 4: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

4

mengatakan bubarkan saja Badan Ketahanan Pangan itu, tidak ada gunanya. Sepanjang Badan Ketahanan Pangan itu dibawah Departemen atau Kementerian bercocok tanam ya tidak bisa ngurusi macam-macam multi dimensinya. Selalu saja dilibas oleh keputusan politik Kementerian yang lain. Jadi harus dibubarkan. Artinya dibubarkan dari Kementerian bercocok tanam dari Kementerian Pertanian di didirikan yang lebih besar lagi dengan power yang … karena apa, watak multi dimensinya. Ini saya kira penting.

Saya kira ini sudah saya sebut. Untuk daerah Alhamdulillah sudah bagus bahwa badan bersama-sama namanya badan. Kalau didaerah di Provinsi, di Kabupaten, Badan itu sudah otonom. Tidak dibawah dinas pertanian. Tetapi di pusat lah kok mentil di Kementerian Pertanian. Nah ini powernya tidak ada sama sekali. Bahkan dalam survey kami Gubernur-gubernur atau Anggota, rekan-rekan Anggota Dewan didaerah pun kalau ada Kepala Badan Ketahanan Pangan datang itu nemuinnya saja gak mau. Karena apa, kecil sekali Badan itu. Urusannya besar tapi badannya kecil.

Saya ingin mengingatkan tadi. Pak Aldi ini guru saya. Beliau jauh lebih muda dari saya tapi guru saya. Bahwa text tentang politik pangan itu sudah lama sekali. Memperingatkan bahwa kebijakan pangan itu lebih banyak rentan sekali menjadi sekitar pencitraan. Nah ini saya kira kami ingin berlindung ke rekan-rekan Anggota Dewan yang terhormat bahwa jangan sampai kebijakan paling penting untuk urusan pangan ini itu nanti memunculkan pencitraan. Harus betul-betul dibangun karena memang sejak politik pangan itu ada itu sudah selalu terkontaminasi dengan kepentingan pencitraan. Melihat orientasi ke-5 butir yang saya sebutkan orientasi tadi itu kami yakin sekali bahwa harapan itu akan terfokuskan kesana. Bapak-bapak Anggota Dewan yang terhormat,

Mengulangi lagi bahwa apa yang ada dalam sebutir beras itu, itu banyak urusannya. Tadi diruang depan tadi sempat saya sampaikan bahwa dikalangan pesantren ya saya kebetulan pengurus NU. Ini kan pesantren kami sudah komunikasi dengan para kyai halal gak beras itu. Kalau perdagangannya tidak adil, halal gak hasil jual belinya. Ketika saya memberikan pengkajian di Gereja. Romo, sampean buka fiqih sampean Romo, apakah Departemen Perdagangan Pangan seperti ini adil atau tidak. Oh kalau begitu gak adil. Loh kalau gak adil yang sampean makan berasnya halal atau tidak , oh ya ndak halal. Kalau begitu gak adil. Fiqihnya standar di agama apa pun jelas. Kalau gak adil tidak halal. Sudah agama apa pun. Kebetulan saya sering pengajian di Pesantren. Juga sering memberikan pengkajian di Gereja. Itu dalam perspektif itu urusannya adalah keadilan. Ada banyak urusannya dengan pangan itu. Sehingga kalau kita tidak hati-hati akan memunculkan trading system yang tidak adil dan kalau tidak adil berasnya haram dong, makan beras sekarang dimana ya. Gak enak rasanya makan beras, beras haram. Haram karena apa karena petani dipaksa untuk memperpanjang kemiskinannya. Petani sudah fakir miskin dipaksa untuk memperpanjang kemiskinannya dengan menerima nasib berasnya atau gabahnya berharga murah karena tidak punya data Pak. Dan mereka harus agar supaya guru besar bisa makan enak. Ini kan bagaimana. … mendasar kemandirian, kedaulatan, ketahanan saya kira ini penting sekali karena saya ingin mengingatkan bahwa pangan bukan sekedar komunitas ekonomis apalagi financial. Semua akan mengatakan, para petinggi negara ini mengatakan impor saja karena impor lebih murah. Gak usah produksi, impor lebih murah. Nanti dulu syarat-syarat muatan. Dia adalah komunitas multi dimensi, what in the green … rice. Itu ada urusan hak asasi. Keharusan justice, ada urusan, banyak urusan politik disana. Bapak-bapak Anggota Dewan yang terhormat, Bapak Pimpinan Sidang dan rekan-rekan hadirin sekalian. Saya kira mulai dari sini saya ingin mengajak apakah dengan kedaulatan pangan itu impor lantas haram? Impor hakikatnya adalah rumusan ekonomis dan financial biasa dalam trading untuk komunitas kebanyakan. Tetapi untuk urusan strategis tentu bukan sekedar urusan ekonomis. Apalagi financial. What … price adalah multi urusan, ada financial, ada ekonomis, ada politis, ada kultural, ada keadilan bahkan ada unsur spiritual. Tidak sekedar financial berdalih efisiensi murah dan lain sebagainya. Perlu kajian over all protection rate. Ketika kita membaur memutuskan impor atau tidak. Tidak sekedar mahal atau murah. Tapi kita lihat beberapa kasus ini. Terpasungnya semangat lokalitasnya, hebat sekali, RUU ini. Tetapi ada fakta dilapangan bahwa kita harus berhati-hati dengan mengingat semangat loyalitas itu. Karena apa? Sering sekali Pemerintah Pusat itu memasung pangan lokal. Contoh, ini nasibnya si Mocof. Mocaf adalah tepung Singkong, penepungannya sangat ekonomis, sangat visible, ketika cukai dan BBM masih dikenakan pada terigu, dan ketika terigu mahal harganya. Tetapi Bapak-Bapak yang terhormat, teman Bapak-Bapak di kabinet melihat, terigu kok mahal sekali? Tetapi Bapak-Bapak yang terhormat, teman-teman Bapak di Kabinet, melihat terigu kok mahal sekali, maka cukainya di-nol-kan. Ini tahun lalu atau dua tahun yang lalu, cukainya di-nol-kan. Ketika cukainya di-nol-kan, apa yang terjadi? Terigu, gandum, menjadi murah. Maka Mocaf, tepung singkong itu, tidak mati. Tapi klepek-klepek, sakaratul maut, sedadal, Bahasa Inggrisnya sedadal. Tetapi kalkulasi teman-teman sampeyan di Kabinet, memperhitungkan kalau hanya cukainya yang dipotong, di-nol-kan, masih

ARSIP D

PR-RI

Page 5: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

5

mahal. Maka kepalang tanggung, PPN-nya juga di-nol-kan, dengan terminologi DTP(ditanggung Pemerintah) PPNnya. Dengan ditanggung Pemerintah maka, Mocaf tadi tidak sekedar sedadal, sakaratul mautnya tidak ketulungan dan akhirnya modar. Itu Mocaf. Karena apa? Karena kita import berdalih, barang itu tidak diproduksi dalam negeri. Tetapi membunuh produk substitusinya, membunuh produk kompetitifnya. Nah ini kan ya jangan sampai begitu. Sementara, Mocaf ketika itu, tetap kena PPN 10%. Lho opo yo masuk akal? Mocaf kena PPN 10%, penepungan gandum tidak kena PPN. Lha ini kan ya apa tidak kualat sampeyan kepada rakyat tani? Teman-teman Kabinet kualat pada rakyat tani, ya? Petani Singkong. Saya kira ini metafora yang harus kita share.

Nah, ada lagi, tewasnya Pohon Tempe. Tewasnya Pohon Tempe. Kita pernah swasembada, ketika Halloway harus di letter content, harus ditandatangani, Kedelai bebas, bas. Dulu swasembada karena memang ada proteksinya, dan proteksi itu sangat wajar. Ketika kita bebas bas, maka mulai import. Tapi kapasitas importnya terbatas, digerujug hutang oleh pemilik kedelai, importnya lebih banyak. Saya hutangi, gratis. Maka import menjadi banyak dan akhirnya Kedelai kita 70% import. Memang murah. Tetapi kita lupa. Pernahkah kita sadar bahwa, pertama, Kedelai itu adalah residual product. Akibat meat protection. Perlindungan yang berlebihan terhadap sektor Daging Sapi di Amerika, sebut saja, itu memerlukan pakan yang harus diproteksi juga, yang murah. Diproteksi bukan main, akhirnya produknya melimpah, murah, dibuang ke laut pun tidak apa-apa. Karena kita import. Pakan Sapi tadi kita import dengan dalih financial, beli lebih murah, kita produksi lebih mahal. Padahal itu barang sisa, disana. Mereka buang ke lautpun tidak apa-apa. Kita import, dan tidak untuk pakan, tetapi untuk pangan. Guru besar. Untuk pangan guru besar, karena guru besar makannya Tempe. Jadi residual product.

Yang kedua, dampaknya, ketergantungan terhadap Kedelai import, melambung. Melambung itu ya membengkak. Membengkak, tinggal meletus. Yang ketiga, import Kedelai, tidak hanya merusak system produksi domestic, tetapi sekaligus membunuh plasma nutfah, dan petani, ada “dan”nya juga ini, membunuh plasma nutfah dan sekaligus membunuh petani Kedelai. Bagaimana dengan Bawang, Daging Sapi, Susu, Garam dan lain-lain? Ya sami mawon. Ini persoalan. Ada urusan politik pangan yang harus kita lihat.

Kasus yang ketiga, kita ingin share juga, beberapa bulan yang lalu, ada pelatihan teman-teman Pejabat dari Kab. Pegunungan Bintang di UGM, saya ikut mengisi. Ketika kita diskusi, dari hati ke hati itu, jadi terdata betul bahwa kabupaten tersebut langsung terjun bebas, dari kondisi swasembada pangan yang berkedaulatan, menjadi daerah yang miskin akut. Apa pasalnya? Karena sejak pergeseran status itu terjadi, sejak pergeseran status Beras menjadi pangan idola. Pola produksi setempat, pangan local setempat, adalah Ubi Jalar, sudah ratusan tahun. Tetapi pola konsumsinya tiba-tiba saja digeser dengan Raskin, menjadi Beras. Dan Beras menjadi idola pada saat itu, maka mode of productionnya masih pada Ubi Jalar, konsumsinya Beras. Kita bisa membayangkan, teman-teman pagi hari warga Pegunungan Bintang itu turun,terseok-seok karena mikul Ubi Jalar banyak sekali, dijual ke pasar di kota, pulangnya bisa terbang ke Sunai. Karena apa? Pulangnya hanya membawa satu kaleng Beras, turunnya membawa berkarung-karung Ubi Jalar. Nah ini nilai tukarnya merosot, dan itulah urusan kedaulatan, langsung daerah itu menjadi daerah miskin akut. Nah ini ada urusan eksport-import pada tingkat local. Saya menyebutnya, “berasisasi”. Berasisasi ini pembunuhan bukan main terhadap kedaulatan pangan local.

Seterusnya, nah rekan-rekan sekalian, saya kira skematik ini sudah menjadi perbendaharaan kita bahwa yang mikro itu pasti tergantung pada yang makro, dan bahkan supramakro. Jadi kita tidak bisa membiarkan relasi ini kemudian membangun inkonsistensi pada level-level kebijakan. Kemudian rekan-rekan, hadirin sekalian dan khususnya Bapak-Bapak Anggota Dewan, Bapak-Ibu Anggota Dewan yang terhormat,

Lima butir yang saya sebut sebagai apresiasi yang bukan main terhadap pemikiran awal Bapak-Bapak yang terhormat pada level Dewan dan penyusunan RUU, mulai dari kedaulatan, bergeser di …. Kedaulatan, sampai kepada urusan kelembagaan, ini adalah 5 gizi. 5 Gizi yang penting sekali untuk membangun dan menilai pasal demi pasal. Setiap pasalnya, kata demi katanya, bisa kita lihat, apakah itu lurus dengan payung, dengan 5 sudut tadi. Lima itu kan Pancasila. Lima sudut ini saya kira ini keramat sekali. Ini penting sekali. Secara teknis, kita bisa menilai pasal demi pasal dalam Batang Tubuh dari RUU itu. Tentu tidak hanya itu, kadang-kadang kita terjebak juga, bukan terjebak, tapi harus juga melihat konsistensi suatu peraturan perundang-undangan. Misalkan di DIM 137, agak berbeda tayangannya dengan yang dibagikan. Ini tadi kan saya datang, buka pintu, buka pintu orang sedang ini, mau sholat di mushola, yang buka pintu belum datang. Kemudian saya sambil duduk-duduk membaca slide saya, kemudian saya susun rujukannya, DIM-DIM itu. Saya punya waktu untuk merevisi tayangan beberapa butir, ya beberapa slide.

DIM 137 misalkan, Pasal 13 ayat (6) yang kemudian tentang ketersediaan pangan yang dikomentari oleh teman-teman dari instansi terkait, bahwa produksi adalah terminology yang pas dibandingkan dengan Ketersediaan untuk ayat itu. Tetapi ada satu pertanyaan, babnya Ketersediaan, tahu-tahu ada produksi yang tidak ada, Bahasa Jawanya, tidak ada ater-aternya, tidak ada penyambungannya. Saya kira, strata ini hanya

ARSIP D

PR-RI

Page 6: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

6

perlu sambungan. Tahu-tahu Ketersediaan diganti produksi, tetapi tidak ada kaitannya, tidak mengaitkan dengan ketersediaan. Saya kira itu perlu. Itu hanya katakanlah, sebut saja, redaksional. Tetapi untuk sebuah Undang-Undang, maknanya menjadi tinggi sekali.

DIM 138, kami ingin share pengalaman di Kasus Kecamatan Polanharjo. Bahwa Polanharjo adalah suatu kecamatan. Kelembagaannya bagus, kemudian penyuluhannya hebat, kemudian subsidinya ada, tetapi 5 kali berturut-turut, 5 musim berturut-turut, gagal panen. Karena apa? Petani dilihat sebagai sumber daya produksi, secara teknis. Tapi tidak dilihat sebagai mahluk sosial, yang ada sosial capital disana. Kemudian pada musim ke-6, sukses panen, karena gubernurnya, bupatinya, rekan-rekan penggerak, kami semua, turun ke bawah, bicara dengan rakyat tani, diwong ke. Panen raya, sukses sekali. Tidak ada extra cost. Nah unsur modal sosial ini saya kira penting sekali, dan itu tidak sekedar kelembagaan, itu tidak sekedar cultural. Kalau kita mengatakan cultural, maka yang kita …. Adalah state of the art, sekarang ini. Tapi ada lebih dari sekedar itu yang harus kita lihat. Jadi penting sekali modal sosial masuk ke sana.

Kemudian DIM 139, orientasi efisiensi, saya kira saya mengkritisi tempo hari. Bahwa sebagai aktivitas ekonomi, pangan harus efisien, iya. Tetapi mohon maaf, bahwa efisiensi ekonomi ini membahayakan bagi warga desa. Karena kalau efisien sekali, oh saya punya sawah, Pak Ahmad tidak boleh turun ke sawah saya. Tidak efisien itu. Apalagi Pak Ahmad turun ke sawah hanya meminta upah buruh untuk makan, wah tidak efisien itu, tidak kerja. Nah, relasi sosial yang seperti ini jangan pernah dilupakan. Saya lebih senang menyebutnya efisiensi sosial. Bagaimana membangkitkan ekonomi local pada tingkat sosial. Jadi efisiensi usaha, itu termasuk bagaimana kemampuan usaha tani itu membangkitkan ekonomi atau sosial ekonomi sekitarnya.

DIM 144, saya ingin melihat bahwa orientasi bagaimana, orientasinya sangat pro konsumen. Keterjaminan konsumsi atau ketersediaan dan lain sebagainya, bagaimana dengan petani, cukupkah dengan produksi yang disebutkan oleh DIM 153 Pasal 18, saya kira ini penting sekali. Kita urai lagi bagaimana positiong petani.

DIM 146, maaf saya agak cepat disini, ada banyak sekali kata-kata “diutamakan”. “diutamakan” wah, ini kata-kata keramat, “diutamakan” ini. Tapi kemudian pada tingkat implementasi, tentu ini harus diterjemahkan, dengan satu pagar yang sangat terukur. Diutamakan itu kan seperti kalau maaf kalau saya agak sekterian lagi, kalau di NU itu ada akhlakul karimah. Akhlakul karimah itu kalau kita terjemahkan, ya itu sama itu, diutamakan. Tapi yang terjadi, sakerepe dewe. Ini penting, pagar-pagar, karena ini adalah satu Undang-Undang.

Nah DIM 151 tentang produksi. Tentu penugasan Pemerintah harus kuat sekali. Penugasan Pemerintah harus kuat sekali, untuk kemudian tidak memungkinkan pemanfaatan pasal-pasal yang pro import itu secara mudah. Apalagi orientasinya financial. Jadi ini tugas Pemerintah untuk membangun produksi saya kira ini harus, saya setuju sekali dengan peringatan ini, peringatan teman-teman di Kementerian.

Kemudian DIM 152, sekali lagi saya ingin mengingatkan, untuk urusan produksi ini, modal sosial begitu pentingnya. Jangan direduksi sekedar kelembagaan, jangan direduksi sekedar cultural. Menjadi tidak jelas kalau kita menterjemahkan kesana.

Oke, beberapa contoh yang kedua, nah oke, untuk urusan pangan pokok, DIM 179 ada disebut bahwa Pemerintah setara dengan swasta. Saya kira untuk urusan pangan pokok, kesetaraan ini tidak perlu, karena Pemerintah harus lebih kuat mendikte system pangan ini, untuk pangan pokok. Kalau tidak begitu, kesetaraan bisa menyesatkan perjalanan bangsa ini. Kemudian dalam kewenangan daerah, itu banyak sekali orientasi yang sekali lagi kami menyambut baik tentang orientasi local dan penyerahan kewenangan ke daerah, bupati, Pemerintah kabupaten dan Pemerintah provinsi. Tetapi perlu bingkai penguatan Pemerintah untuk memberi…. Koordinatif. Sehingga apa? Sehingga tadi, tidak terjadi kasus, tahu-tahu Gubernur Jawa TImur mengumumkan, Beras import atau gula import tidak boleh masuk Jawa Timur. Tapi itu tidak ada, tidak punya Bea Cukai, tidak punya apa-apa, tahunya Beras import atau Gula Import tidak boleh masuk kawasan tertentu, padahal tidak ada yang memeriksa. Rekan-rekan sekalian dan Anggota Dewan yang terhormat,

Ini sudah detik-detik yang terakhir. DIM 195. Saya ingin, ini agak krusial, Pasal 30 ayat (3), saya harus membaca. Ada kata-kata ini, ini saya ingin sharing ini. Jadi Pasal 30 mohon maaf, ayat (3), Cadangan pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian pangan pokok pada saat panen raya, oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.

Kalau ada kata-kata “dapat” sudah pasti tidak dilakukanlah. Kalau ada kata “dapat”. Kami punya pengalaman di PBNU, mengajukan judicial review untuk Undang-Undang Sisdiknas di MK, setahun baru berhasil membuang kata “dapat”. Ada satu klausul bahwa,

ARSIP D

PR-RI

Page 7: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

7

Organisasi sosial penyelenggara pendidikan dapat menerima bantuan Pemerintah.

Artinya apa, kalau dapat menerima bantuan Pemerintah? Selarasnya, tidak pernah mendapat bantuan, karena “dapat”. Kita membuang kata “dapat” itu di Mahkamah Konstitusi, setahun. Ini podo, ini sama. Jadi ada klausul, Cadangan pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian pangan pokok. Ini tidak beli ini nanti, import, murah. Nah ini. Kalau kata-kata “dapat”nya dihapus, pasti terjadi. Hanya kursi emergency yang kemudian memaksa kita berpaling ke luar. Karena terdapat ini, menghalalkan import ini. Jadi harus kata “dapat”nya saya usul dibuang betul.

Kemudian komentar dari teman-teman usulan Pemerintah, “diutamakan melalui pembelian pangan pokok produksi dalam negeri”. “diutamakan” itu ya sama, diutamakan itu “seyogyanya”. Kalau seyogyanya, ya yang tidak seyogyanya juga banyak. Akhirnya ini dua-duanya saya kira saya komentari, bahwa “dapat”nya dapat dibuang, “diutamakan” ini juga kata-kata jimat yang tidak pantas diabadikan. Itu untuk DIM 195.

Nah untuk DIM 214 saya setuju, bahwa terminology cadangan masyarakat itu dihapuskan, sudah dipahamilah ya. Karena ada kerancuan disana. Bapak Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,

Kemudian saya loncat-loncat karena ini halal sekali, karena saya menyebutkan beberapa contoh. Kalau beberapa contoh kan berarti banyak yang lain. Untuk ini apology bahwa saya hanya menyentuh beberapa hal saja, nanti Pak Drajat, Pak Tri, Pak Didik akan menyentuh yang lain yang banyak.

DIM 221 Pasal 35 ayat (4), ini tadi, tidak cukup dan tidak produksi bukanlah legalisasi import. Bahwa memutuskan import atau tidak, itu ketika tadi diwajibkan, “dapat”nya dibuang, pengadaan dalam negeri mutlak adanya, hanya dalam kondisi tertentu yang memaksa, sangat mendesak, itu pengadaan dalam negeri tidak dimungkinkan dan kemudian kita baru memutuskan import. Itu yang pertama. Yang kedua,untuk memutuskan import atau tidak, pertimbangannya tidak financial dan ekonomis belaka. Saya berkelahi dengan seorang pejabat ketika saya menyebut bahwa kita tidak bisa memutuskan import hanya semata berbasis ekonomis atau financial. Dengan mengatakan itu import murah. Lho ya coba, Kedelai itu murah sekali. Karena apa? Bahkan di catatan saya, ada beberapa Negara Eropa yang Kedelai itu gratis. Sepenuhnya disediakan oleh Pemerintah, diambil oleh Pemerintah, karena apa? Untuk memberikan makanan ternak gratis. Siapapun, Bapak Pimpinan misalnya, punya Sapi banyak, makannya itu gratis, tis. Akibatnya, Kedelai melimpah. Karena ditanggung oleh Negara. Nah Kedelai yang seperti itu kita import. Jadi kan ya, ini memang, murah memang secara financial, tetapi, implikasi lokalnya bukan main, seperti tadi saya sebutkan tadi. Saya kira import, tetap darurat dan hanya dalam porsi darurat dan hanya dalam porsi darurat bisa kita maklumi.

Nah yang 230 ini, bagian ke-6. Saya punya pikiran, itu netral sekali, tentang diversifikasi. Sementara kita …. Banyak, yang terjadi adalah Berasisasi. Berasisasi. Nah bagaimana misalkan ada tugas kepada rekan-rekan dari Pemerintahan, untuk menghindari kasus-kasus seperti Berasisasi. Misalkan larangan mencekoki pangan non local terhadap masyarakat yang sudah punya khasanah pangan nusantara. Malah pangan local itu diblebek, dirusak dengan kebijakan nasional, dengan memurahkan barang import untuk kasus Singkong tadi, atau dengan membunuh pangan local dengan Beras tadi. Saya ini, meskipun saya ini seorang guru besar, tapi cukup gemuk. Kalau saya telanjang dada, kemudian makan Singkong di pinggir jalan, ketahuan Kepala Dinas Sosial, pasti saya dicatat di dalam buku besar sebagai rawan pangan. Nah ini kan ironis sekali. Padahal kita happy-happy saja, itu anekdotnya seperti itu.

Kemudian kata “industri” saya senang sekali ini direvisi. Karena apa? Kata “industri” memang menyesatkan. Karena industri itu punya tarif yang lebar sekali, pertama industri ini, di Undang-Undang ini, kita terjemahkan industri adalah proses pengolahan dari produk mentah menjadi produk setengah jadi dan jadi. Tetapi pengertian makronya, industri itu, ini economic activity. Apapun aktivitas ekonomi yang berorientasi pada nilai tambah, pada efisiensi, itulah watak “industri”. Bahwa ada pengolahan bahan mentah menjadi jadi, ada IT, ada teknologi yang berkembang, itu adalah tools bagaimana kita menjadi industries, menjadi masyarakat industrial. Karena itu kata-kata “industri” dalam sebuah Undang-Undang saya kira karena kata-kata itu.

Menyelonong sedikit ke Bab V, saya ingin menyentuh ketika ada kewenangan Pemerintah untuk mengatur harga. Untuk kecukupan. Nah ini yang kita lupakan. Diseluruh, maaf ini agak menyimpang sedikit. Diseluruh klausul yang saya baca, tidak ada upaya peningkatan daya beli. Jadi isu populisnya, pangan itu harus murah, karena daya beli public yang terbatas. Lah kok daya belinya yang didongkrak supaya naik, kok pangannya dimurah-murahkan? Sehingga tadi, petani yang ukorok wal masakin tadi, teman-teman saya yang itu mayoritasnya NU, masih harus sabar memperpanjang kemiskinannya agar guru besar mereka bisa beli Beras murah. Nah ini daya belinya tidak tersentuh, saya kira saya titip daya beli itu.

ARSIP D

PR-RI

Page 8: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

8

Nah saya kira, ada lagi? Nah saya kira ini perulangan, tentang tadi, kesetaraan dengan swasta, untuk komoditas pangan pokok, saya kira too much. Itu yaa haba, Bahasa Arabnya, yaa haba.

Yang terakhir saya kira, slide yang terakhir, tentang masukan pangan tadi. Apabila pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi atau tidak diproduksi didalam negeri, oh kalau itu saja mudah sekali, membuat tidak cukup atau, ya meskipun tidak diproduksi dalam negeri, ketika itu membunuh komoditas substitusi dalam negerinya, atau komonitas lokalnya, ini juga harus kita pertimbangkan. Karena itu kita harus melihat sekali lagi bahwa pangan itu multidimensi, ada urusan politik disana, ada urusan proteksi disana, dan kita tidak boleh sekedar melihat pangan untuk secara financial, bahwa beli itu lebih murah daripada memproduksi. Import lebih murah daripada memproduksi. Ini naudzubillah, kita bisa kecemplung-cemplung nanti. Disini bukan …. Untuk import.

Saya kira yang paling akhir, izinkan saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan sekali lagi, apresiasi yang bukan main, terhadap re-orientasi ini, sembari butir-butir, 5 butir re-orientasi ini, kita manfaatkan sepanjang penelusuran pasal demi pasal, sebagai bingkai, apakah ada implikasi kedaulatannya, Pasal a, Pasal 1, Pasal 2, apakah ada implikasi kerakyatannya? Apakah ada implikasi negative terhadap otoritas lokalnya? Terhadap diversifikasi dan sebagainya. Saya kira ketika kita mengatakan jangan seperti persis yang tahun lalu, ketika Presiden mengatakan tidak ada alasan bagi bangsa ini, untuk tidak berkemandirian pangan, itu tanggal 10 Januari 2011. Tetapi dijawab oleh rekan-rekan para Anggota Dewan yang terhormat, di Kabinet, dijawab, dengan penerbitan PMK 13, dua minggu dari tanggal 10 Januari itu, 24 Januari diterbitkan PMK 13 yang itu membebaskan bea masuk 57 komoditas pangan. Lah ini kan prosedurnya mengatakan, “ngalor”, nah menteri-menterinya mengatakan “ah saya ngidul saja” pecat saja kalau begitu. Wallahumuafik illa aquatorik. Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Waalaikumsalam.

Terima kasih Prof. Maksum. Saya kira dari mulai UGM sampai ke ruangan ini memang idealismenya tetap melekat dan dengan

bahasa yang sangat kental dengan muatan lokalnya, tentunya ini juga mengingatkan kita bahwa panganpun harus menghormati terhadap pangan local. Tentunya re-orientasi dari sekedar ketahanan pangan, keamanan pangan terhadap kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan pangan ini bukan sesuatu hal yang mudah saya kira. Tentunya hari ini mudah-mudahan mendapatkan jawaban yang tepat, sehingga pembahasan selanjutnya kami bisa memberikan nuansa yang kita inginkan bersama, bahwa kita bisa mengedepankan pangan yang berdaulat, pangan yang mandiri, tentunya juga tahan terhadap situasi yang berkembang dan aman untuk dikonsumsi.

Ada hal yang menarik saya kira ini yang perlu dicermati, bahwa import urusannya hanya ekonomis dan financial saja. Tentunya ini sangat mendasar dan bagaimana pangan kita maknai, tentunya kita nanti akan dengarkan dari narasumber yang lain. Terima kasih Prof. Maksum.

Dan saya kira selamat datang buat Prof. Didik J. Rachbini yang beberapa waktu lalu juga mengkritisi terhadap Rancangan Undang-Undang ini, di salah satu media massa dan kita ingin mendengar betul sebetulnya, kenapa diundang. Sisi mana sebetulnya yang tentunya ini menjadi penelahaan Prof. Didik.

Selamat datang juga Buat Pak Tri Panaci. Saya kira memang hari ini jalanan padat, rapat, saya pun terlambat 15 menit hadir disini.

Selanjutnya saya persilahkan, DR. Ir. Drajat Marjianto), yang tentunya ini juga sudah mengawal dari prosesi sampai kepada kita, pengambilan keputusan Paripurna, RUU ini sebagai hak inisiatif DPR. Dan saya kira pemikirannya selalu berkembang, tentunya mudah-mudahan hari ini juga bisa mendapatkan pencerahan baru. Namun demikian saya kira waktunya mohon sedikit di press. Kalau Pak Maksum memang karena jauh dari UGM, naik kereta katanya pagi tadi, sehingga kita berikan kelonggaran waktu. Daripada nanti apa namanya, naik kereta diungkit-ungkit, lebih baik kita berikan waktu lebih panjang untuk presentasi.

Kami persilakan Pak Drajat. PAKAR BIDANG PANGAN (DR. IR. DRAJAT MARJIANTO):

Baik, terima kasih Pimpinan Sidang.

ARSIP D

PR-RI

Page 9: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

9

Bapak-Bapak, Ibu-Ibu Anggota DPR yang kami hormati, Sesama pembahas, Serta hadirin sekalian, Prof. Ahmad Suryana dan kawan-kawan, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya akan mengikut apa yang disampaikan Pak Herman saja, jadi singkat saja.Secara filosofis, saya tidak akan mengurangi lagi, karena Pak Maksum tadi sudah begitu banyak dan dalam beberapa pertemuan saya pernah nyatakan supaya tidak berulang-ulang. Tapi tetap saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa sama dengan yang tadi disampaikan Prof. Maksum bahwa kita sangat mengapresiasi, bahwa RUU yang sekarang disusun ini atas inisiatif DPR dan kemudian sudah mendapatkan masukan-masukan atau pengkayaan dari Pemerintah, itu punya roh, lebih punya jiwa. Yang membuat kita menjadi apa ya, lebih jelas nantinya kemana. Bahwa kemudian kalau persoalan pasal-pasalnya harus diperjelas, harus dibuat konsisten, ya, itu persoalan teknis yang harus dilakukan. Tapi memberikan roh pada Undang-Undang, itu menjadi sangat penting, supaya kita tahu ke depan kita mau kemana. Nah jadi, roh yang paling nyata, yang paling kita tangkap, sebenarnya sama tadi dengan yang disampaikan oleh Prof. Maksum. Kita sangat gembira bahwa urusan pangan itu bukan hanya sekedar mencukupi kebutuhan. Mencukupi kebutuhan masyarakat setiap individu, itu hal yang sangat penting dan harus dilakukan. Tapi bagaimana cara kita mencukupi kebutuhan, itu juga persoalan lain yang sama pentingnya. Jadi inilah rohnya yang kami anggap sangat bagus dan kami sangat mengapresiasi itu. Bahwa kita harus melakukannya secara mandiri dan berdaulat.

Nah, karena kedaulatan pangan, kemandirian untuk mencapai ketahanan pangan itu dijadikan roh,maka Bab IV yang dipending pembahasannya dengan Pemerintah itu harus sangat kuat sekali memiliki jiwa itu. Jadi soal kedaulatan, soal kemandirian dan ketahanan pangan itu harus tergambar dengan sangat kuat didalam bab ini.

Tetapi saya masih melihat, meskipun itu sudah selalu disebut-sebut seperti yang disampaikan oleh Prof. Maksum, dalam Bab II, dalam Bab III itu disebut betul secara eksplisit, pentingnya kedaulatan pangan dan kemandirian. Tapi sebenarnya kalau kita melihat dibeberapa pasal tertentu, itu masih belum. Belum kuat. Atau kadang-kadang punya makna ganda yang bisa diartikan oleh macam-macam, masih karet juga, begitu. Sehingga saya kira, inilah yang harus kita perkuat didalam diskusi kita disiang ini.

Nah sebagai contoh misalnya, kalau kita mau mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan didalam mencapai ketahanan pangan itu, maka saya lupa ini, di Pasal 13 ayat (6) yang usulan DPR kalau di Pemerintah di 12 ayat (6). Saya memandang perlu kata-kata “mandiri dan berdaulat” itu untuk dimunculkan dalam kalimat itu. Kenapa? Persoalannya seperti yang tadi disampaikan oleh Prof. Maksum sebenarnya bahwa ketika kita bicara produksi hanya pada hasil, tidak pada proses, apalagi pra produksinya, maka sebetulnya kita menghilangkan bagian yang sangat penting dari upaya-upaya untuk menghasilkan atau memproduksi atau menyediakan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mandiri dan berdaulat itu. Nah, dalam banyak hal, kita selalu, meskipun ini namanya Undang-Undang Pangan, kami memahami betul, tapi kita selalu to the point pada, langsung persoalan pangan, sebagai produk. Padahal tidak mungkin kita bisa mandiri, tidak mungkin kita bisa berdaulat, kalau dari benih atau bibitnya kita tidak mandiri atau tidak berdaulat. Itu sama sekali belum masuk disitu. Jadi saya menambahkan, ada satu butir baru disitu, bahwa persoalan, bahwa cara kita untuk mewujudkan produksi pangan yang mandiri dan berdaulat, ya harus dimulai dari situ. Kenapa lahan disebut, misalnya? Tapi persoalan yang sangat penting, yang menurut saya justru disinilah kita tidak berdaulat, itu tidak pernah disebut. Jadi ini menurut saya ini isu besar yang harus dimasukkan di dalam RUU Pangan ini.

Nah ini, oh itu kata-kata”tidak”nya dibuang ya? Mestinya perlu disebutkan secara khusus. Kenapa? Banyak studi yang membuktikan, mungkin nanti Pak Tri Pranaji bisa menyebutkan banyak studi bahwa kadang-kadang persoalan bibit, persoalan pupuk itu justru disinsentif kan? Disinsentif terbesarnya, untuk pertanian. Jadi bagaimana mungkin, itu tolong “tidak”nya dibuang saja, kita akan mewujudkan kemandirian tanpa memberikan kepastian didalam sisi ini? Jadi persoalannya bukan hanya persoalan bahwa, bukan hanya pangannya Pak Maksum ya, yang diimport? Bibitnya itu mungkin, sangat besar bagian yang diimport.

Lanjut. Nah kemudian ini saya sependapat sekali dengan kata-kata Pak Maksum, jangan sampai kita setengah-setengah jugalah. Mau mandiri, sehingga disitu, di Pasal 15 itu, ada kata-kata “diutamakan” kalau mau mandiri ya kata-kata “diutamakan”nya dibuang. Jadi disitu, di Pasal, sumber penyediaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan berasal dari produksi pangan dalam negeri. Langsung saja disebutkan, berasal dari produksi pangan dalam negeri, baru dibawahnya ada penjelasan seperti di Pasal 15 ayat (2), dalam kondisi ketersediaan pangan dan produksi dalam negeri tidak tercukupi dan seterusnya, ini supaya juga konsisten dengan pasal dibelakang tentang pemasukan pangan. Sebab kalau kita menggunakan kata-kata “diutamakan”, meskipun kita tahu maksudnya, tetapi ini sebetulnya melemahkan semangat kita. Jadi

ARSIP D

PR-RI

Page 10: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

10

betul-betul pemasukan pangan dari luar, ini bukan anti import, tentu, tetapi karena dalam perdagangan internasional yang terbuka seperti sekarang tidak mungkin lagi melakukan membendung itu, tetapi bagaimana kita melakukan upaya yang semaksimal mungkin untuk bisa menjadikan produksi dalam negeri itu betul-betul tiang penyangga yang kokoh dari ketersediaan pangan kita.

Lanjut. Nah kemudian ini juga yang kemarin sempat didiskusikan di Bogor, kata-kata di Pasal 18 atau 17 usulan Pemerintah, yang kata-kata “melindungi”. Wakil petani selalu bilang, kami tidak perlu dilindungi. Tapi saya pikir kita memang perlu melindungi. Tapi kalau mau dilindungi kan, bukan perlindungan fisik terhadap petani tentu ya? Tetapi perlindungan kepentingan petani. Jadi kalau memang masih mau disampaikan, dan kepentingan petani itu banyak sekali kan ? Bagaimana mereka bisa mengakses bibit, mengakses pupuk, mengakses dan memperoleh harga yang baik, yang tidak murah tetapi mereka masih punya daya, karena petani ini juga umumnya adalah net consumer, harga pangan tidak murah, itu penting bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan. Tapi juga penting bagi mereka untuk tidak terlalu mahal, karena itu akan membuat mereka sulit juga. Karena mereka umumnya adalah net consumer juga. Jadi yang pas, begitu.

Yang berikutnya, nah, didalam Ketentuan Umum kita sudah menyepakati bahwa yang termasuk dalam definisi pangan itu adalah bukan hanya komoditas yang baru dipetik dari tanaman atau pun dari laut diambil dan sebagainya, tetapi termasuk juga yang diolah dan tidak diolah. Nah menjadi sangat penting bagi kita, untuk memperhatikan pelaku lain selain petani dan nelayan. Yang dalam beberapa pasal disebut, pelaku produksi lainnya, itu untuk dimasukkan didalam pasal ini. Kenapa? Sebab kalau mereka tidak terlindungi, tidak diberdayakan, kita punya masalah lain. Jangan pernah berharap kita, bahwa diversifikasi pangan, itu akan berhasil dengan baik. Karena ini tadi, seperti yang dicontohkan oleh Prof. Maksum bahwa Mocaf, itu kan ada disitu ya? Mocaf itu ada disitu. Mereka yang sebetulnya punya peluang, industri-industri kecil dan menengah itu punya peluang untuk mensubstitusi sebagian dari terigu, bisa sampai 30% dari produksi dalam negeri, yang artinya itu punya multiflier effect yang sangat besar, untuk pengelolaan lahan-lahan yang masalah misalnya, untuk menanam Singkong, menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan baru, bisnis baru dan seterusnya, tetapi justru selama ini mereka itulah yang agak kurang perlindungan atau kurang dilindungi. Contohnya sudah sangat jelas, tadi disampaikan Prof. Maksum, bagaimana terigu hilang beberapa tarifnya, sementara ini justru kena tarif. Padahal merekalah yang seharusnya dilindungi, kalau kita mau kesana. Nah, pelaku produksi lain ini saya kira harus disebutkan disitu.

Kemudian ini juga, maaf sebelumnya, balik sebelumnya, mohon maaf Mas, kembali lagi. Ada satu lagi yang penting dari pasal itu tadi, persoalan keamanan kita masih sangat besar. Dan kalau kita melihat struktur industri pangan, itu 99% ada dari Badan POM, itu masih industri kecil dan menengah. Dan persoalan keamanan pangan menjadi sangat luar biasa disitu karena ini umumnya tidak ada merk, dan seterusnya, ditelusuri sangat sulit. Padahal ini dikonsumsi oleh sebagian masyarakat kita termasuk yang dari NU tadi. Nah oleh karena itu kembali lagi usulan ... adalah petani, nelayan dan pelaku produksi pangan lainnya. Saya tidak menyebutkan industri karena kadang-kadang kalau disebutkan industri kemudian lantas bias ke yang besar-besar.

Kemudian di Pasal 22, tentang ancaman produksi. Usulan Pemerintah sudah memasukkan tambahan baru adalah dis-insentif ekonomi. Saya kira kita memahami dis-insentif ekonomi itu apa saja tapi ini yang tadi juga oleh Prof. Mak'sum sebetulnya masalah besar kita dengan persoalan pangan dinegara kita terutama dengan rendahnya harga, dengan itu menjadi dis-insentif ekonomi itu karena kelebihan pasokan pangan dari negara lain yang sebagian itu adalah ya itu tadi. Macam-macamlah alasannya. Tapi yang jelas tiba-tiba mereka ada dinegara kita dan itu membuat persoalan-persoalan yang sangat besar bagi petani kita. Meskipun mungkin menguntungkan bagi konsumen.

Sehingga saya mendukung yang tadi upaya yang disampaikan Pemerintah bahwa penting untuk menyampaikan dis-insentif ekonomi tadi didalam pasal itu.

Cadangan pangan secara umum saya tadi sependapat dengan tadi yang disampaikan Prof. Mak'sum juga tapi ada tambahan lain yang saya kira di Pasal 31 Ayat (3) itu dalam hal tertentu dan seterusnya penyaluran cadangan pangan suatu daerah itu tidak terlalu jelas. Saya menambahkan ke daera lain yang membutuhkan. Pasal ini penting untuk dikoreksi dengan tambahan yang warna merah itu supaya kepentingan nasional kita lebih diutamakan daripada kepentingan daerah. Artinya memang setiap daerah harus punya cadangan pangan, punya stok pangan supaya aman. Tetapi ketika ada permasalahan didaerah lain itu Pemerintah Pusat harus punya kewenangan untuk melakukan mobilisasi. Sebab jika tidak, ini persoalan yang serius.

Nah di Pasal 34 Ayat (8) ada usulan baru dari Pemerintah, “pemasukan pangan tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani”. Ini masih gantung. saya melihat barangkali waktu itu sempat dilihat lagi pasal ini masih menggantung. Jadi tidak jelas betul apa yang diharapkan dari pasal ini.

Nah saya menyarankan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan untuk itu. jadi itu kan sebenarnya out put atau tujuan yang tadi disampaikan tapi tidak jelas mau apa kita. Mestinya disitu ada kebijakan dan peraturan supaya pemasukan pangan dari luar itu tidak berdampak negatif terhadap

ARSIP D

PR-RI

Page 11: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

11

keberlanjutan usaha tani. Ini sebetulnya kan inti yang disampaikan Pak Mak'sum tadi kan. Jangan hanya perdagangan internasional itu persoalan ekonomi saja. Berdampak negatif ini kan harus kita lihat dari berbagai sisi. Jadi ini sama persis rohnya dengan yang tadi disampaikan oleh Prof. Mak'sum.

Nah saya juga melihat ada suatu hal yang nampaknya mungkin masih terlewat karena kita selama ini masih terlalu fokus bahwa dalam menyusun Undang-Undang Pangan itu yang kita bicarakan ya pangan terus. Padahal sebetulnya semuanya itu mulai dari insentif produksi, mulai stabilitas harga dan sebagainya itu kan tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan ekonomi makro. Yang kadang-kadang ya ini tadi yang disampaikan oleh Prof. Mak'sum. Sama persis sebetulnya yang kadang-kadang Pemerintah sedang melakukan upaya-upaya yang luar biasa untuk mendorong produksi, untuk mendorong ketersediaan distribusi yang baik tapi disisi lain dinegatifkan oleh kebijakan ekonomi yang lain. Ya Badan Ketahanan Pangan misalkan mengupayakan diversifikasi setengah mati tiba-tiba mokaf kena 10%, terigu 0 misalnya. Jadi sudah tidak pakai tarif itu saja sudah seperti David melawan Goliath, ini ditambah lagi. Nah jadi hal-hal yang seperti ini harus dihindari kedepan sehingga saya menyarankan ada 1 pasal lagi. Ini yang belum ada. Bahwa karena kita selalu fokus pada persoalan pangannya sendiri dalam Undang-Undang pangan itu sehingga saya menyarankan, entah warding-nya nanti silakan. Bisa diperbaiki tapi dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian dan ketahanan pangan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan yang dapat memberikan insentif. Berkembangnya industri input pertanian saya kira itu harus menjadi butir yang dipentingkan juga. Stabilisasi harga input, berkembangnya usaha tani, peningkatan produksi dan seterusnya. Sebab kalau tidak maka saya menduga tapi tidak berharap Undang-Undang ini nanti jadi seperti text book juga, tidak bisa diimplementasikan kalau tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan yang tidak langsung di pangan tetapi justru lebih ke hulu lagi. Di makro ekonomi policy-nya dan sebagainya.

Saya kira itu saja yang disampaikan karena tadi memang di wanti-wanti supaya singkat. Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Terima kasih Saudara DR. Drajat Marjianto. Jadi Pak Drajat memang selalu terus mencermati dan saya kira ini adalah bagian koreksi terbaru. Dan

perlu kami sampaikan juga sebagai klarifikasi Pak Drajat bahwa pelaku usaha lainnya memang sudah masuk di bab-bab sebelumnya. Memang di Bab IV belum kita bahas karena pending kita untuk mendengarkan masukan-masukan para pakar. Dan tentunya fokus terhadap penambahan pasal dan ayat ini juga ini menjadi bagian terpenting. Kita juga ingin mencerminkan atau mewujudkan pasal demi pasal itu nuansanya ruhnya itu adalah kedaulatan dan kemandirian pangan.

Baik, untuk tidak dibahas lebih lanjut. Kami persilakan Prof. Didik J. Rachbini untuk bisa menyampaikan pemaparannya dan tentunya waktu masih tersisa setengah jam nanti berbagi dengan Pak Tri.

Silakan Pak. PAKAR DI BIDANG PANGAN (DIDIK J. RACHBINI): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat siang, dan Salam sejahtera. Pak Ketua yang terhormat, Pimpinan.

Terima kasih saya diundang. Saya juga ketemu, reuni dengan Prof. Mak'sum ini sahabat saya di Fhilipina waktu Marcos jatuh saya bersama Beliau. Kalau Pak Tri, DR Tri ... sahabat saya di kelas, bahkan pacarnya segala macam saya tahu. Tapi kami adalah kakak kelas SBY statusnya kira-kira.

Kepada saya diminta fokus pada Bab IV, saya kira ini bagus agar teman-teman punya fokus. Tapi saya memulai dari filosofis. Saya sebenarnya sudah 2 kali saya memberikan saran kepada DPD. Saya fokus 1 dulu ya Bab I disitu disebutkan pangan adalah sesuatu yang berasal dari sumber hayati, produk perkebunan, dan seterusnya. Term ini adalah term yang sangat luas dan kalau ini lahir di DPR RI. DPR RI-nya agak aneh menurut saya sebab DPR RI itu biasa melahirkan Undang-Undang yang fokus, misalnya Undang-Undang migas kan fokus pada migas. Undang-Undang Perumahan fokus pada rumah. Undang-Undang Minerba, batubara dan beberapa. Tapi ini semuanya, ini masuk hortikultur, masuk perkebunan. Menurut saya kalau kita mengcover apa saja sama dengan tidak mengcover apa saja. Kalau Undang-Undang apa saja itu bukan Undang-Undang apa-apa. Itu artinya begitu Pimpinan. Nah karena itu kesempatan teman-teman disini itu fokus pada 13 ini, definisi 13 Pasal 1 Ayat (13). Sebab apa, kalau tidak difokuskan kewajiban dan tugas Pemerintah

ARSIP D

PR-RI

Page 12: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

12

dan Pemerintah Daerah untuk kewajiban menyediakan pangan itu fokus pada apa saja, ikan, ini, itu dan seterusnya dan nanti dia tidak bisa melakukan apa saja. Nah disini ada definisi tapi belum juga difokuskan. Pangan pokok adalah pangan sehari-hari yang menjadi sumber zat gizi utama sesuai dengan potensi kearifan lokal dan seterusnya. Menurut saya, itu harus difokuskan pangan pokok ini apa. Dan kita sudah punya sejarah sejak kecil makanan pokok beras, daging, itu kan makanan pokok kita yang sudah dalam sejarah sudah ada. Ini saya kira harus difokuskan. Kalau pun ada makanan di Nias atau di Ujung Madura atau tidak termasuk didalam ketela, tidak termasuk didalam Undang-Undang ini tidak berarti diabaikan tetapi kita mau menyelamatkan proses produksi, distribusi dalam skala yang besar. Yang kalau tidak diperhatikan itu bisa menjatuhkan Presiden dan banyak sekali. Tahun 2008-2009, beberapa negara harga pangannya naik itu Presidennya jatuh. Jadi Presiden Soeharto bertahan 32 tahun itu salah satunya karena ini. Gusdur, Pak Habibie kan pendek-pendek itu. ini penting menurut saya. sehingga biasanya teman-teman DPR RI itu fokus. Gak tahu DPR RI yang sekarang ini. Ini agak kurang fokus karena macam-macam perhatiannya. Goyangannya banyak sekarang. Sehingga RUU-nya saya lihat makin menurun presentasenya.

Nah sekarang saya fokus pada Bab IV. Saya menghindari DIM supaya saya tidak bingung. Saya fokus pada pikiran saya. ketersediaan pangan ini kan kewajiban yang harus ditunaikan oleh negara ya nanti mungkin ikut swasta, Pemerintah dalam hal ini pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Nah kalau tidak ada definisi fokusnya maka ini sama dengan tidak memerintahkan apa saja. Nah saya pernah dalam pada waktu amandemen Undang-Undang Dasar, memang saya di tim ekonomi. Ada 7 Anggota tim, tapi ada 1 sisi pendidikan. Mereka ngotot hanya 1 angka 20% itu, pokoknya gak ada lagi. Pokoknya mau filosofi kayak apa 20% titik. Wah itu dikebut. Nah situasi krisis kebetulan yang menguasai orang kampus jadilah 20% itu. yang itu punya turunan banyak kemana-mana. Dan implikasinya menurut saya kalau fokus tidak berarti yang diluar ini itu diabaikan dan itu lalu Undang-Undang ini menurut saya punya makna.

Kemudian Pasal 14. Nah di Pasal 14 ini sedikit saya menguraikan saja bahwa ini adalah tugas-tugas yang harus diemban oleh Pemerintah dalam hal ketersediaan pangan. nah sekarang saya kembali ke definisi Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 1 Ayat (13). Kalau semuanya dimasukkan Pemerintah mengamankan harga pangan pokok apa, apa pangan pokoknya. Kan belum didefinisikan. Harus jelas, tidak boleh didefinisikan didalam PP atau yang lain. Ini saya kasih contoh, itu kita memerintahkan Undang-Undang Investasi untuk membuat pelayanan 1 pintu. Itu the best practise yang ... di dunia. Itu selesai Undang-Undang, kebetulan saya Ketua Pansusnya 2007 sampai sekarang tidak ada. Nah sejelek-jeleknya DPR RI meskipun berbeda antar ideologis itu ada ketok palunya. Kalau di birokrasi gak ada. Kalau itu 1 PP itu ada perbedaan. Kalau tidak ada yang memimpin itu sampai 10 tahun juga tidak akan selesai. Nah karena itu wajib diselesaikan disini. bidangnya apa saja, bidangnya apa saja harus diselesaikan disini. Nah tapi saya mengajukan agar tugas-tugas itu diayatkan supaya tegas. 1. Pemerintah mengamankan harga pangan pokok, definisi sudah ada beras, ini, itu dan sebagainya. 2. Pemerintah berkewajiban mengelola cadangan pangan Pemerintah. Ayat (3) Pemerintah menjaga distribusi pangan pokok kepada masyarakat untuk menjamin ketersediaan pangan, dipasarkan. Dan itu beda. Implikasinya beda terhadap turunan ininya.

Pasal 15, tadi sudah disinggung juga. Tapi saya akan memperkuat yang tadi. Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan dan pemasukan pangan dari luar negeri. Dalam Undang-Undang kalau ini ditaruh seperti ini, pertama tidak diuraikan kabur, bisa diselipkan. Jadi kemungkinan salah satunya saja dikuatkan. Impor misalnya. Yang kedua, kalau ditaruh seperti ini maka impor itu menjadi setara kewajibannya dengan produksi pangan sumber dari produksi dalam negeri. Karena itu menurut saya pemasukan pangan di luar negeri ini harus ditaruh diluar, dilempar keluar. Kalau perlu ditaruh di penjelasan. Saya usul ditaruh di penjelasan ini. Itu baru berani. Dan saya khawatir ini ada titipan. Kenapa Bapak dan Ibu sekalian, beras itu ada titipan yang sudah melembaga dari sejak jaman orde baru itu kita impor berapa Pak Mak'sum, pernah pada waktu jaman Ibu Megawati 4-6 juta ton. Rata-rata 2 juta ton. 1 ton itu kita bisa untung kadang-kadang 50 Dollar. Kadang-kadang 70 Dollar. Kalau kita 1 juta ton impor kali 70, 70 US Dollar. Itu Pak Ketua atau Anggota yang lain dikasih iming-iming itu, itu akan kalah. Kenapa terigu dan lain-lain itu kalah. Ya karena itu. ... market yang ada itu pengaruh dari luar itu sangat kuat. Dan itu wajarlah, kita tahulah swasembada DPR RI ini. Dan Fraksi yang kuat di DPR RI ini kan fraksi pengusaha, bukan fraksi demokrat. ... (suara tidak jelas). KETUA RAPAT:

Itu mesti diperjelas. PAKAR DI BIDANG PANGAN (DIDIK J. RACHBINI):

Fraksi Kadin maksudnya. Nah ini saya harap usul saya pemasukan pangan diluar negeri itu dilempar ke penjelasan atau taruh diayat akhir. Jangan disetarakan disini sebab posisinya menjadi sama kalau ada disini, Pasal 16.

ARSIP D

PR-RI

Page 13: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

13

Kemudian dalam kondisi ketersediaan cadangan pangan ... produksi pangan dapat digunakan untuk kepentingan lain. Ini tidak jelas. Saya mengusulkan itu untuk ekspor dan kepentingan lain. Mengapa ekspor? Kalau Saudara Taufik Hidayat menang di Yogya tempatnya Pak Mak'sum ini biasanya Yogya ini Muhamadiyah, kok Pak Mak'sum NU bagaimana? Nah saya usul ekspor. Kalau Taufik Hidayat menang dia menang di London Internasional, dia pasti menang di Yogya. Nah kalau pangan kita bisa di global dia pasti bisa mencukupi dengan itu sama dengan sawit kita. Nah ini yang belum terjadi karena produksi kita lewat. Jadi dimasukkan ekspor kalau perlu, bertarung di internasional. Jadi jangan diselipkan.

Pasal 18 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani dan nelayan sebagai produsen pangan”. nah pasal ini normatif. Sekarang ini banyak normatifnya. Pemerintah pun mengkaji terus. Kayak pengajian majelis ta'lim. Jadi mengkaji terus BBM gak selesai-selesai. Nah sekarang ini normatif sekali. Jadi menurut saya harus dipertegas.

Pasal 19 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengatur alokasi lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pokok, memberikan penyuluhan, menghilangkan biaya pungutan, mengurangi daya saing, melakukan pengalokasian anggaran”. Diuraikan pak sehingga menjadi satu-satu. Dan kemudian begini, mengalokasikan anggaran untuk pangan itu menjadi pembahasan didalam APBN dan APBD. Nah diuraikan menjadi satu-satu. Sebab kalau begini tidak tegas. Terutama mengalokasikan anggaran dan penyuluhan. Berkewajiban memberikan penyuluhan. Penyuluhan itu penyuluhnya sekarang sudah hilang semua, sudah pada gak ada semua. Nah nanti diwajibkan disini.

Kemudian berikutnya Pasal 21 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong memfasilitasi penggunaan pengembangan sarana-prasarana produksi dalam upaya meningkatkan produksi pangan berkelanjutan”. Saya hanya ingat nanti titip saja bahwa pada waktu infrastruktur kita pada waktu irigasi setelah Presiden Soeharto jatuh tidak lagi dibangun. Ada puluhan persen dari sawah hilang. Padahal waktu Presiden Soeharto itu jatuh anggarannya Cuma 96 Triliun. Sekarang di tangan bapak-bapan dan Ibu sekalian itu ada 1400 Triliun. Irigasinya tambah gak karu-karuan. Maka itu Pasal 21 itu bukan mendorong, berkewajiban membangun sarana-prasarana petani. Bapak tahu jalan, PU sekarang dengan anggaran 1400 untuk di DPR RI ini membangun jalan itu tahun kemarin itu 30 kilometer. Sekarang 100 kilometer jalan baru. Padahal jaman dulu dibawah orde baru itu ada namanya dalam ... revolusi call. Revolusi call itu adalah tidak ada jalan, sudut-sudut desa yang tidak bisa dipenetrasi oleh col. Tapi luar Jawa masih senjang. Berarti infrastruktur itu dibangun kuat. Hngga Pasal 21 itu wajib.

Kemudian Pasal 25 “Pemerintah mengembangkan pola kemitraan setara antar Pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, dan element masyarakat dalam cadangan pangan dan pengembangan ... “. Saya kira jangan ditaruh seperti ini Pak. kewajiban untuk pangan itu, terutama pangan pokok. Saya berbicara disini pangan pokok. Sebab kalau Anda berbicara pangan keseluruhan itu sama dengan tidak membicarakan apa-apa. Misalnya sawit, sawit itu tidak perlu Undang-Undang malah kalau dikasih Undang-Undang dia tidak karu-karuan. Nah sekarang posisi ini liberal sekali menyamakan dalam konteks pangan, itu antara Pemerintah. Jangan terlalu liberal ya. Sehingga Pemerintah itu wajib. Usul saya Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib melakukan pengelolaan cadangan pangan disini. kemudian dalam pasal terpisah yang saya sebut seperti ekspor-impor tadi kan pemasukan harus dilempar keluar dalam hal-hal khusus sama dengan DAU dan DAK kita. Saya kira kalau umum dan khusus teman-teman pasti tahulah. DAU itu jumlahnya hampir 400 Triliun DAK ya belasan Triliun. Saya tidak lupa menyebutkan dalam hal-hal khusus Pemerintah dapat mengembangkan kemitraan dengan.

Kemudian saya lompat ke Pasal 35, ini mungkin kalau sudah dilempar Pasal 35 Ayat (4), kalau sudah dilempar ke penjelasan sehingga setara maka inilah. Itu nanti konsekuensinya. Itu saya mengajukan pemikiran.

Kemudian saya mempunyai kritik keras tidak di Bab V kalau gak salah. Ada di Pasal 48. Ini terakhir Pak Ketua. Saya mohon ijin masuk ke Pasal 5 saja ya karena dibatasi Bab IV. Ini di Pasal 48 “pengaturan perdagangan pangan sebagaimana ... bertujuan diatasnya itu adalah bab tentang perdagangan pangan”. bertujuan untuk pengendalian harga pangan dan inflasi. Nah saya ingin memang menjadi perdebatan di IPB Bogor bahwa salah satu kelemahan dari kebijakan pangan yang lalu dibalik suksesnya adalah ini. Jadi mengaitkan antara pangan beras dengan inflasi. Padahal inflasi dibentuk oleh ratusan item barang. Sebenarnya kalau pangan nai, beras naik 100% yang lain turun tidak apa-apa. Tapi memberikan kesempatan kepada puluhan juta petani untuk dia sejahtera. Tapi karena dikendalikan dan nilai tukar petani terus turun. Saya kira ini harus dihapus. Kalau Pak Ketua tidak dihapus saya akan menggalang demo didepan Pak Ketua.

Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Baik.

ARSIP D

PR-RI

Page 14: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

14

Saya kira kalau alumni memang beda. Saya kira kalau daripada nanti harus repot-repot lagi memasukkan semua unsur naratifnya kedalam pasal demi pasal Pak Didik saya kira langsung memasukkannya dan tentunya ada beberapa hal dan saya kira ini menarik dan baru dan kemudian kita pahami bersama saya kira. Ini sesuatu yang memang harus ditempatkan pada proporsinya, Pemerintah dan swasta memang tidak perlu setara dan berkewajibannya ini harus diturunkan kembali pada posisi. Memang swasta ini bagian daripada hal yang harus diatur oleh Pemerintah.

Mengenai Pasal yang 48, memang ini sudah kita hapus pada Didik, tidak perlu demolah. Karena memang sudah kami hapur di Bab V dan kami sudah mengganti dengan sesuatu, dengan pasokan pangan. lebih kepada hal yang sifatnya kita mendukung terhadap keberadaan pangan. Saya kira menarik dan tentunya sebagai pembicara terakhir dan barangkali bisa melengkapi. Dan saya kira memang kalau sudah seguru, selimu pasti ada hal yang sama, tapi juga pasti ada banyak perbedaannya. Kalau yang sama mungkin sedikit diulas saja tapi fokus kepada sesuatu yang tentunya ini bisa menjadi masukan yang baru bagi kami semua.

Dan perlu kami sampaikan sebelum dipersilakan Pak Tri, saya kira yang hadir disini Pak Didik adalah Panja Pangan. Jadi kami membatasi ini bukan Anggota Komisi IV secara keseluruhan tapi ini separuh dari Anggota Komisi IV yang tergabung dalam Panja Pangan termasuk hadir semua Panja Pangan dari Pemerintah. Jadi bukan saja Anggota Komisi IV Panja Pangan yang menyimak hari ini dan tentunya Pemerintah pun hadir pada kesempatan hari ini. Komandannya Pak DR. Ahmad Suryana dan saya kira memang sudah menginjak ke Bab V apa usul Pak Maksum bahwa sebetulnya tidak cocok lagi namanya Badan Ketahanan Pangan ada di pertanian itu sudah mutlak memang tidak cocok sekarang. Bahkan Pak Ahmad Suryana merasa sekarang sudah tidak pertanian lagi. Jadi karena disitu sudah ada nelayan, sudah ada pembudidaya ikan. Tentunya kalau misalkan memang masih ada di Kementerian Pertanian saya kira memang sudah tidak cocok lagi. Sebentar lagilah Pak Ahmad ya.

Baik. Selanjutnya kami persilakan Pak DR. Ir. Tri Pranadji Msi, APU dan lain sebagainya. Saya kira masih banyak gelarnya tidak cukup tadi tulisannya.

Kami persilakan. PAKAR DI BIDANG PANGAN (TRI PRANADJI):

Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera buat semua,

Saya juga sudah beberapa kali diruangan ini tapi dalam urusan yang berbeda. Dulu urusan Undang-Undang bidang politik. Pimpinan Panja yang saya hormati, dan Para Anggota Dewan yang saya hormati, Hadirin semuanya.

Saya sudah menyimak dari teman-teman dekat saya tadi. Mohon maaf saya tidak bisa langsung masuk dari DIM ke DIM karena kemarin waktunya mepet sekali, saya catat bahan ini. Saya baca sekilas tentang RUU ini. Lalu saya bertanya, seandainya tidak ada Undang-Undang ini apa masalahnya? Semua kan running as usual. Dan saya baca dalam, ini sekilas, tidak ada sesuatu greget yang luar biasa. maka saya berpikir kenapa kita tidak membuat suatu muatan Undang-Undang yang kira-kira bisa meng-engine keadaan yang sekarang ini menjadi keadaan yang lebih baik. Nah saya berpikir kalau judulnya diubah misalnya. Misalnya Undang-Undang Kedaulatan Pangan atau Undang-Undang Penguatan ... Pangan, ini inline dengan krisis yang kita hadapi. Ada krisis ekonomi, ada krisis energi dan segala macam. Padahal kita punya semua itu. energi kita punya tetapi tidak menikmati. Sama ketika waktu Belanda itu meng-engine produksi penyediaan bahan-bahan pertanian atau apa saja untuk perdagangan dunia, bagus. Tetapi masyarakat tidak menikmati. Jadi ada ruang ada kedulatan yang gagal kita kelola. Maka saya terima ..., saya kebayang bagaimana cerita Nabi Yusuf AS ketika ... Mesir menghadapi itu, itu semua energi negara di engine kearah itu.

Dan kemudian juga saya baca pidatonya Bung Karno Tahun '52 pada waktu itu sangat keras sekali. Bagaimana kita mutlak menguasai pangan. dan juga meng-engine struktur agaria yang ada di Indonesia ini. Saya saja ini tidak masuk didalam ancaman produksi pangan. Didalam ancaman salah satunya, ini kan normatif saja ya iklim, macam-macam ini. Tapi tidak ada struktur agrarianya yang mengancam padahal itu justru ancaman besar ... bagaimana dengan 0,5 hektar, 0,2 dan sebagainya. Kita bisa men-develop sesuatu kedaulatan pangan 0,5 kebawah yang proporsinya 50% itu 1 abad tidak berubah. Jadi ini tidak ada sesuatu perubahan struktur didalam agaria. Akibatnya di pangan dikasih Undang-Undang seperti apa pun kalau ini tidak di engine juga gak bisa. Impian imajinasi saya ya tadi seperti Pak Didik katakan, pangan murah atau pangan yang terjangkau apa pun mekanismenya, apakah dibikin free seperti udara itu, kalau gak mungkin ya. Setelah diproduksi apakah penyediaan bisa dikonversi menjadi akses. Karena setiap individu Indonesia, orang Indonesia itu punya hak untuk makan. Kalau itu gak makan ini bagian akuntabilitas penyelenggaraan negara

ARSIP D

PR-RI

Page 15: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

15

dan ini harus ada di pasal disini, bagaimana mengeksekusi kalau ada orang tidak makan. Seperti Belanda bisa menghasilkan produksi pangan segala macam-macam tetapi banyak orang mati lapar. Karena rejimnya rejim kolonial ... masalah. Kalau ini rejim kedaulatan ini masalah besar seperti Pak Didik tadi kataka, krisis-krisis itu ada dari situ. Jadi nuansa dari RUU ini, neo-liberalisasinya cukup kental. Yang kita ngatur input semua pakai ...Ini tugas negara, ya irigasi, lahan, strukturnya dimana itu negara. Jangan dilepas. Kalau ini dilepas ya jadinya begini. Jadinya nanti mandul. Sehingga dalam hal ini pun saya juga berpikir kenapa tadi kok suatu badan atau dewan, atau apa yang mengurus mengenai kedaulatan pangan dan itu ... inisiasi sudah ada pada waktu awal merdeka. Jaman Bung Karno juga ada. Dan negara-negara luar pun begitu walaupun tidak disebut. Jangan kita mengulang apa yang di Afrika ya karena memasukkan pasokan-pasokan asing, dia ribut kurang makanan berkelahi antara satu dengan yang lain. Ini pun juga mengancam kondisi masyarakat Indonesia. Konflik-konflik yang ada di berbagai tempat itu kok diurut-urut diam, perutnya susah itu. jadi nanti juga ada disini setelah misalnya istilah krisis. Saya condong menggunakan istilah darurat. Lalu didalam darurat tadi kita buat estalasi dalam level rawan, dalam level gawat, dalam level bahaya. Itu cara pandangnya berbeda-beda. Itu seperti bencana alam. Ketika itu masih rawan mungkin Pemerintah daerah masuk. Tetapi kalau sudah masuk gawat ini campur antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kalau bahaya misalnya pusat masuk. Dan mekanisme pendanaan juga masuk disitu. Mana yang diselesaikan dengan APBN, mana yang APBD. Dan juga kalau perlu ada slot, dana darurat pangan. jadi Undang-Undang ini ada isinya. Seperti tadi dikatakan tadi ini, kok gak ngatur apa-apa tapi kok ngatur apa-apa.

Ada disini misalnya saya juga kurang setuju, ada cadangan pangan masyarakat, segala macam. In gak usah diatur oleh Undang-Undang. Karena apa? Seakan-akan kita ingin memindahkan tugas negara kepada masyarakat, satu. Yang kedua, ini pintu masuk juga untuk sabotase ini, apa sih kriteria masyarakat itu. bagaimana meng-account accountability-nya di masyarakat. Ini pasal dibuang saja. Dan juga masalah desa. Jangan desa dibebani juga urusan begini. Kalau struktur dari Pemerintah tadi jalan plus Dewan atau Komisi Pangan cukup karena negara yang wajib menyelenggarakannya. Jangan lagi dibebankan kepada pihak-pihal lain termasuk swasta. Bahwa mereka ada oke-oke saja. Tapi tidak perlu dijadikan muatan dalam Undang-Undang. Sebab susah juga nanti accountable-nya, bagaimana menghitungnya. Bansos terus begitu, kapan majunya kalau Bansos terus.

Dan didalam juga perlu diatur jangan orang per orang, lembaga juga. Jadi aktor pangan ini misalnya di Pasal 37 setiap orang, oh subjek hukumnya orang. Kalau subjek hukumnya bukan orang, lembaga itu juga yang. Sebab kalau gak diatur disini kalau ada masalah dengan lembaga lolos dari jeratan hukum.

Dan juga sejalan dengan saya juga mengatakan tadi di paper saya ini bahwa hati-hati dengan ekonomi pasal ke liberalisasi atau apa saja sehingga apa pun terkait dengan privatisasi di ... pangan, itu dihalangi. Sebagai contoh mohon maaf seorang Pemerintah juga tapi gak setuju nih, mengembangkan usaha pangan DIM 233. Justru bagaimana ... disitu bukan mendorong. Kalau disebut didalam pasal ini mendorong, ini seolah ada pintu masuk mereka melakukan usaha. Ini pintu masuk tapi hulu hilirnya masuk disitu. Jadi kita harus sensitif tentang hal seperti itu. oke, jadi setelah status krisis Pasal 42 diganti mungkin darurat. Nanti mungkin ada rincian mengenai darurat, rawan dan segala macam. Dan ini ada dicoret istilah bertanggungjawab wajiblah. Saya kira gak apa-apa. Jadi mengikat supaya hak dan kewajiban setiap lembaga atau setiap subjek hukum yang terlibat dalam urusan pangan itu harus jelas ... biasa. kapan dia dikasih insentif, kapan dia ditindak. Ya kalau namanya lost gak ada undang-undang gak ada apa-apa. Jadi summary saya kalau memungkinkan Undang-Undang ini judulnya diubah. Biar gregetnya kelihatan karena judul ini juga membayangkan visi daripada Undang-Undang ini. Karena dalam pandangan saya secara ... ini kan yang seolah yang memindahkan konsep makalah kedalam bahasa pasar. Jadi ini semua lengkap. Jadi menurut saya Undang-Undang itu adalah bagaimana menterjemahkan visi bahasa politik kedalam bahasa Undang-Undang. Jadi barangkali itu komentar dan catatan ringkas saya untuk melengkapi dari teman-teman yang lain tadi.

Oh maaf. Tolong juga ya, kita punya Undang-Undang Agraria ya, Pokok Agraria itu tidak. saya lihat di ... tidak dirujuk ini. Ini sangat penting juga karena ini komplemen dari Undang-Undang ini dan itu sangat revolusioner Undang-Undang itu dan kalau perlu dipertajam. Khususnya keterkaitan antara struktur agraria dan kedaulatan pangan dan ini kan kedaulatan agraria.

Baik, saya kira itu. kalau ada kekurangan mohon maaf. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Jadi Bab IV selesai ya Pak Ahmad ya, selesai. Apalagi tadi papernya dari Pak Didik saya kira sudah menyelesaikan Bab IV. Bilamana perlu ada pasal pending lagi, kita undang lagi. Ada Bab pending kita undang lagi dan fokus kepada suatu bab kita selesaikan dengan para pakar kan bisa lebih cepat.

ARSIP D

PR-RI

Page 16: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

16

Terima kasih Pak Tri dan tentunya bagi kami adalah suatu yang sangat berharga semua masukan ini. Prof Maksum saya kira pernah berhenti untuk terus berpikir dan saya kira langsung pulang kerumah langsung dibuka lagi dan itu pasti ide barunya ada lagi. Pasal mana lagi yang kemudian itu menjadi jihad kedaulatan. Apabila disetujui kami menawarkan kepada forum Panja, apakah sudah dirasa cukup karena kita akan membahas. Jadi nanti malam kita akan membahas mulai jam 19.00 kami akan running kembali untuk membahas Undang-Undang ini sampai hari Jumat jam 11.30. jika disetujui tidak perlu ada tanya-jawab atau barangkali memang masih ada hal yang perlu didalami para narasumber ini. Dan saya mengusulkan jika mana mungkin para narasumber ini nanti kita undang kembali didalam rangka merumuskan dan mensikronkan semua pasal-pasal yang sudah kita bahas. Supaya betul-betul hal-hal yang ini dianggap celah bolong bisa diisi oleh idealisme oleh para pakar ini. Kami tawarkan apakah kita ada tanya-jawab atau cukup sampai pemaparan para pakar ini. Cukup? Pak Agung cukup?

Silakan Pak Firman. F-PG (FIRMAN SOEBAGYO, SE/WAKIL KETUA):

Terima kasih Pak Herman. Ini Prof. Didik ini kan susah sekali. Kalau dulu sering diskusi ... kita ya.

Pimpinan yang terhormat, Narasumber yagn saya hormati, khusus Prof. Maksum.

Tadi ada masalah yang perlu saya mendapatkan klarifikasi. Sesungguhnya mengenai cadangan pangan ditingkat desa. Mungkin ini perlu ada sebuah persamaan persepsi terhadap masalah lumbung-lumbung pangan. jadi maksud kami didalam Undang-Undang ini kita tidak membawa kepada arah liberalisme. Tapi kita fakta menunjukkan bahwa yang namanya lumbung-lumbung pangan ditingkat desa itu ternyata sangat membantu posisi ketersediaan pangan ditingkat desa. Kenapa itu harus kita hidupkan kembali karena kami juga menyadari. Contoh soal yang sekarang ini terjadi ketika terjadi bencana alam itu luar biasa susahnya menurunkan cadangan pangan yang dikelola negara yang notabene menunggu tandatangan 1 dan yang lainnya bahkan gunung merapi kemarin itu timnya yang mondar-mandir menghabiskan anggaran pangan pun gak datang-datang. Nah oleh karena itu semangat spirit kami didalam masalah cadangan pangan di daerah itu sampai tingkat desa, bukan kami mengalihkan tanggungjawab. Tapi kami ingin bagaimana yang namanya ketahanan pangan nasional itu juga diawali dari ketahanan pangan didesa itu sendiri sehingga kami ingin menghidupkan kembali yang namanya lumbung-lumbung padi atau lumbung-lumbung pangan di tingkat desa sampai tingkat kota dan kemudian nanti akhirnya dikendalikan oleh Pemerintah Pusat yaitu di Nasional.

Saya rasa itu spirit, semangat kami. Jadi kami tidak akan membawa kearah liberalisme tapi kita akan bagaimana lumbung-lumbung pangan yang memang faktanya itu sangat membantu. Karena begini Pak Djunaedi, saya kemarin baru pulang dari reses. Itu saya ketemu seorang petani. Dari jaman orde baru dia itu hanya dapat bantuan dari Gubernur 1 juta Rupiah dan kemudian dapat dari dinas itu kurang lebih Rp400.000 tapi sampai hari ini dia itu jadi pengelola kelompok pangan dan punya stok pangan itu sampai puluhan ton. Artinya bahwa konsep seperti itu patut dipertahankan dan memang desa itu makmur. Jadi itu kira-kira spirit yang akan kami bangun bahwa kami berkeinginan bagaimana posisi lumbung pangan ditingkat desa itu kita kembangkan lagi, itu bagian daripada ketahanan pangan nasional. Terima kasih. KETUA RAPAT:

Baik. Kalau ada sambutan artinya menyambut satu gagasan barangkali kami persilakan dari para pakar. Silakan.

F-PDIP (H. DJUWARTO):

Terima kasih Pak Ketua. Para pakar yang saya hormati,

Saya kira kesempatan yang cukup baik tentunya kita juga perlu melontarkan. Jadi Pak Didik, Pak Drajat sama Pak Maksum dan Pak Tri. Saya kira yang persoalan kita ini kan kita perlu history. Jadi yang pertama, dulu kan kita pernah tidak macam-macam. Tapi setelah green revolution ini jadi macam-macam. Kemudian impor macam-macam tadi atau impor pangan, impor bibit dan pupuk ini. ... setelah green revolution. Tapi sebelumnya kan kita tidak, tapi juga kita pernah spektakuler juga, pernah ekspor cukup lumayan sebelum green revolution ini. Nah ini tentunya ini akan menjadi masukan buat kita ini. Syukur-syukur ada rumusan yang baik untuk menghadapi karena ini pengalaman. Jadi saya ini dulu pernah sederhana Pak, waktu ada Bansos ... itu salah satu Anggota saya ini cukup lumayan jalan tidaknya. Dia pilih apa yang harus dikembangkan. Dia pilih

ARSIP D

PR-RI

Page 17: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

17

bibit ikan. Kenapa? Karena ini adalah bisa menghilangkan ketergantungan dengan memberikan makan yang sekarang dia bisa tidak usah pakai rumput, dirajang apa itu bahasa kimianya sehingga dia ketergantungan sama ... gak ada lagi. Sehingga dia juallah bibit itu. jadi saya kira ini sangat menarik apalagi dalam keadaan yang semacam begini. Geo politiknya bergeser, krisis ekonominya juga gak jelas. Ini tentu pilihan-pilihan. Nah kalau ini bisa kita sinkronkan dengan apa yang dibawakan Pak Tri tadi, terakhir ini ada makalahnya Bung Karno. Ini tentu akan menarik. Saya kira ini masukan buat kita, lembaga apa yang bisa mengantisipasi intervensi dari luar. Ini saya kira menjadi penting. Karena tanpa itu kita rumuskan didalam pasal ini, ini kekuatan fundamental kita juga terlampau internal. Saya kira internal ini bagi pengalaman historis kita ini malah justru melemahkan kita. Tapi kalau kita melawan diluar ini tentu akan menjadi kuat. Nah lembaga ini juga tentu harus menghilangkan titipan-titipan dari luar. Termasuk Menteri Perdagangan tadi yang disinggung-singgung. Ini saya kira lebih banyak titipannya daripada mengutamakan kepentingan action-nya ini.

Saya kira ini. Ini Pak Ketua. Barangkali ini masukan. Syukur-syukur pada catatan tertulis dari Pak Maksum, Pak Didik, Pak Drajat, dan Pak Tri ini memberikan pada kita didalam proses pembahasan ini. Saya kira ini Pak Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT:

Baik. Terima kasih. Kami persilakan jika ada tanggapan Pak Didik.

PAKAR DI BIDANG PANGAN (DIDIK J. RACHBINI):

Ya saya sedikit saja. Mengenai lumbung ya, menurut saya tidak wajib harus diseragamkan, tidak juga haram. Mengambilnya itu nanti konteksnya saja. Jadi tergantung nanti teman-teman melihat dilapangan kayak apa. Nah kira-kira perspektif saya dalam. Saya akan sedikit sekali 2 perspektif. Pertama perspektif akademik. Perspektif akademik itu begini, ini namanya kolektif action teory. Kalau disatu desa itu ada irigasinya putus, tiba-tiba putus. Itu karena ada common interest, ada krisis, ada keperluan bersama. Tidak perlu Camat, tidak perlu Bupati, tidak perlu PSK, ... mereka otomatis berkumpul sendiri menyelesaikan masalahnya sendiri. Nah itu namanya spontan news collective action dan banyak hidup disitu lumbung-lumbung seperti itu. tapi dalam kasus lain itu tidak terjadi collective action itu. nah ini maksud saya, teman-teman dimana dilapangan. Di Jakarta ini polusinya luar biasa. saya melihat dari mobil anak-anak bayi digendong di motor teracuni terus oleh, IQ terancam. Jadi ada ancaman di Jakarta untuk menyelesaikan masalah polusi. Tapi tidak ada action 1 pun orang. Tidak ada yang mau gotong royong untuk menyelesaikan masalah bersama. Itu masalah bersama, IQ-nya turun. Nah kalau ini kosong kira-kira siapa? Negara yang melakukan. Nah kira-kira lumbung pangan itu seperti itu. kalau itu collective action-nya jalan ya sudah biarkan gak usah diacak-acak. Tapi tidak boleh juga dijadikan wajib penyeragaman. Tapi perspektif saya sebagai Anggota DPR RI, mantan Anggota DPR RI lebih baik itu dicantumkan. Tapi sifatnya kira-kira dapat. Kenapa? Sebab kalau Pak DR. Tri Pranadji itu mungkin khawatir itu diseragamkan dimanfaatkan untuk macam-macam. Jadi negatif. Itu yang harus dihindari. Tapi kalau perspektif saya sebaiknya dicantumkan dalam klausul yang lebih sunnah muakad. Kenapa? Kalau ada itu maka ada ruang untuk kreativitas dari yang kurang bagus. Jadi bagi teman-teman DPR RI untuk mau didesa, oke kita bikin lumbung pangan. ada cantolan anggarannya. Tidak dari langit anggarannya. Ada disini, sehingga semuanya berdasarkan ... Itu saran saya. Terima kasih. KETUA RAPAT:

Baik. Silakan Pak Tri.

PAKAR DI BIDANG PANGAN (TRI PRANADJI):

Baik. Mengenai lumbung pangan tadi, sama sepertinya itu sunnah. Justru ... bukan saya menolak. Rumusan

pasalnya yang lebih penting bunyinya. Jadi kira-kira arahnya begini, negara akan memfasilitasi penggiat-giat yang terkait dengan masalah pangan. Mungkin itu. nanti masuk ini. Dan negara juga memberikan insentif didalam bentuk, ini harus dibadan hukumkan supaya accountable-nya jelas. Jadi istilah lumbung kan istilah adat. Nanti semua daerah punya itu. Bagaimana institusi-institusi adat tadi dimanfaatkan dalam arti akan difasilitasi negara ketika dia bisa menunjukkan atau menemui prospek, mambantu akuntabilisasi tentang penguatan kedaulatan pangan tadi. Nah nanti rumusan pasalnya kita buat. Jadi tidak langsung terbuka begitu. Saya khawatir terbuka nanti ada pihak yang lebih pintar untuk memanfaatkan pasal yang terbuka tadi.

ARSIP D

PR-RI

Page 18: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

18

Kemudian yang tentang tadi. Memang saya tadi membuat 2 titik sejarah yang berbeda bagaimana dulu Mesir, rajanya mendelegasikan otoritas politiknya untuk dikelola secara ... karena gak mampu. Tidak saja lembaganya, tapi butuh orang yang berintegritas tinggi sekali. Nah juga konsep yang lain, bagaimana ruh yang Bung Karno katakan itu sampai 10 hektar sehingga semua masuk Pak, ada kebijakan tentang mekanisasi segala macam. Jadi masalah efisien segala macam itu teratasi dengan itu. kalau kita biarkan itu sebaiknya kita 1 sisi melepas kepalanya tapi ekornya kita ikat. Nah struktur agraria seperti itulah yang sebelumnya itu ... ada di Undang-Undang Nomor 5. Jangan sampai terulang nanti seperti kasus Belanda. Indonesia ini di eksplore habis-habisan menghasilkan produk yang luar biasa nilai ekonominya tetapi tidak mendapat manfaat masyarakatnya. Jadi negeri bukan miskin. Dari dulu itu Belanda itu berhasil meng-engine rempah-rempah, makanan segala macam keluar dari Indonesia tetapi kedaulatan tidak masuk. Kedaulatan diambil oleh pihak lain. Nah ini maksud saya begitu. Terima kasih. KETUA RAPAT:

Silakan Prof. Maksum. PAKAR BIDANG PANGAN (MOHAMMAD MAKSUM):

Terima kasih. Saya hanya sedikit tentang lumbung. Jadi begini, kalau kita ... itu dalam jangan pernah merasa, harus

sambil kata-kata Pak Soeharto. Jangan lupa sejarah bahwa lumbung itu adalah institusi ekonomi yang multi fungsi pada saatnya, pada saat itu. Tetapi adalah Pemerintah Indonesia yang membunuh lumbung-lumbung itu. Pemerintah kita yang bunuh lumbung-lumbung itu, kreatifitas lokal dengan kapasitas lokalnya sebagai modal sosial ditempat masing-masing. Ini bukan main. Tetapi dibunuh oleh negara ketika negara melakukan stabilisasi harga ngawur. Jadi stabilisasi harga kita itu ngawur karena apa, tidak mungkin disanggah oleh satu sistem harga yang self financing untuk penyimpanan. Jadi kalau sekarang ada lumbung kemudian hancur, hilang itu karena harganya di press dalam rumus stabilitas yang tidak boleh berbeda harganya. Sehingga tidak ada insentif sama sekali untuk menghidup-hidupkan lumbung, gak ada insentif sama sekali. Dari kondisi seperti ini, dengan kebijakan seperti itu maka lumbung se-Indonesia bablas. Karena dibunuh oleh Pemerintah Republik Indonesia. Nah ketika kita mau menghidupkan lumbung maka sepakat sekali ini pilihan, tetapi juga pilihan itu dengan insentif memadai. Kalau kita memang memerlukan itu maka insentifnya harus memadai termasuk insentif harga atau yang lainnya. Jadi kalkulasinya sekarang ini lumbung pasti modar karena tidak bisa self financing. Ini persoalan dasarnya. Jadi saya kira persoalan insentif perlu ... ini yang harus hati-hati kalau kita ingin bagaikan partisipasi dan nyatanya saya sepakat sekali bahwa tempo hari yang namanya pangan di desa, gempa bumi di Merapi itu, ketika Kanjeg Ratu mengumumkan kepada masyarakat, mari kita beramal dengan nasi bungkus. Itu diketawain oleh teman-teman. Karena apa? Alah, rajanya belum teriak nasi bungkus sudah jalan. Lumbung sudah dibongkar semua, dan lain sebagainya. Ini mohon maaf. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Baik. Kalau dirasa cukup tentunya juga saya tidak perlu menyimpulkan. Hanya banyak catatan-catatan yang

nanti akan kita bahas. Diumumkan untuk semua Anggota Panja nanti malam kita memulai jam 19.00 dan akan diakhiri nanti hari Jumat 11.30. mudah-mudahan kita bisa lancar. Dan kita mulai dengan Bab IV yang hari ini supaya masih hangat. Jika nanti memang ada hal-hal yang perlu dikonfirmasi sebagai bagian ... opinion saya kira tidak akan memanggil para pakar pada Prof. Didik, DR. Drajat. Prof. Maksum, dan DR. Tri Pranadji saya kira jangan bosan kalau nanti kami mengundang kembali dan sekali waktu barangkali nanti diikutsertakan juga. Jika ada memungkinkan didalam pembahasan Panja.

Perlu kami informasikan juga bahwa selain membahas Rancangan Undang-Undang Pangan kami juga sedang menunggu DIM Pemerintah atas inisiasi DPR RI sebetulnya Rancangan Undang-Undang ini, yaitu Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang didalamnya tadi Pak Tri menginginkan adanya insentif, proteksi, pendanaan dan lain sebagainya yang tentunya secara spesifik bahwa didalam RUU itu kita sudah cantumkan bahkan termasuk ... insurance atau asuransi pertanian. Dan nanti juga kami akan mengudang para pakar saya kira untuk memulai dengan sesuatu wawasan yang tentunya kita buka dulu seluas-luasnya sehingga nanti kita menyimpulkan saya kira bisa saling mengisi dan celah-celah bolong yang tentunya ini menjadi kelemahan bisa diisi pula.

Saya ucapkan terima kasih atas nama Pimpinan Komisi IV pada Prof. Maksum, Prof. Didik, DR. Drajat dan Pak Tri atas kehadiran pagi ini. Dan tentunya atas segala atensi dan masukan yang berharga ini akan menjadi perhatian kita bersama. Kami ucapkan terima kasih pada seluruh Panja Komisi IV yang terhormat,

ARSIP D

PR-RI

Page 19: BIDANG PERTANIAN, DPR-RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170607-094003... · 2017-06-07 · pangan. Dia gak tahu bahwa pembimbingnya itu sudah tua. Hobinya memelihara burungnya

19

pada seluruh Panja Pemerintah yang hadir pada kesempatan hari ini. Mudah-mudahan nanti sore kita fit, sehat dan kita bahas. Sampai ketemu nanti sore.

Demikian terima kasih. Rapat Dengar Pendapat Umum tentunya kami tutup. Terima kasih sekali lagi. Mohon maaf jika ada hal yang tidak berkenan. Wabillauhitaufiq Walhidayah, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(RAPAT DITUTUP PADA PUKUL 12.20 WIB)

A.n. Ketua Rapat Sekretaris,

Aris Subiakto, S.Sos,M.AP NIP. 19590324 198203 1 003

ARSIP D

PR-RI