dewan perwakilan rakyat riberkas.dpr.go.id/armus/file/lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4....

24
54 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA R I S A L A H RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PROTOKOL Tahun Sidang : 2009 - 2010 Masa Sidang : III Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Rapat ke : 9 Dengan : Kepolisian Negara Republik Indonesia Hari, Tanggal : Selasa, 15 Juni 2010 Waktu : Pukul 11.00 12.25 WIB A c a r a : 1. Masukan terhadap RUU tentang Protokol 2. Lain-lain. T e m p a t : Ruang Rapat Pansus C, Gedung Nusantara II, Lt.3 Jl.Jend. Gatot Subroto-Jakarta Pimpinan Rapat : H. TRITAMTOMO, SH. Sekretaris Rapat : Drs. Budi Kuntaryo Hadir : …. orang Anggota dari 30 Anggota A. PIMPINAN: 1. H. TRITAMTOMO, SH ( KETUA ) ( F PDI PERJUANGAN ) 2. DR. H. SUBYAKTO, SH., MH.,MM ( WAKIL KETUA ) ( F PD ) 3. DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA ) ( F - PG ) 4. H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA ) ( F- PKS ) B. ANGGOTA PANSUS RUU TENTANG PROTOKOL: I. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT: 1. H. HARRY WITJAKSONO, SH 2. DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si 3. DRS. UMAR ARSAL 4. RUSMINIATI, SH ARSP DPR RI

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

54

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UREPUBLIK INDONESIA

R I S A L A H

RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PROTOKOL

Tahun Sidang : 2009 - 2010

Masa Sidang : III

Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat

Rapat ke : 9

Dengan : Kepolisian Negara Republik Indonesia

Hari, Tanggal : Selasa, 15 Juni 2010

Waktu : Pukul 11.00 – 12.25 WIB

A c a r a : 1. Masukan terhadap RUU tentang Protokol

2. Lain-lain.

T e m p a t : Ruang Rapat Pansus C, Gedung Nusantara II, Lt.3

Jl.Jend. Gatot Subroto-Jakarta

Pimpinan Rapat : H. TRITAMTOMO, SH.

Sekretaris Rapat : Drs. Budi Kuntaryo

Hadir : …. orang Anggota dari 30 Anggota

A. PIMPINAN:

1. H. TRITAMTOMO, SH ( KETUA ) ( F – PDI PERJUANGAN )

2. DR. H. SUBYAKTO, SH., MH.,MM ( WAKIL KETUA ) ( F – PD )

3. DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA ) ( F - PG )

4. H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA ) ( F- PKS )

B. ANGGOTA PANSUS RUU TENTANG PROTOKOL:

I. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT:

1. H. HARRY WITJAKSONO, SH

2. DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si

3. DRS. UMAR ARSAL

4. RUSMINIATI, SH

ARSP DPR R

I

Page 2: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

55

5. RUHUT SITOMPUL, SH

6. HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH

7. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH.,LL.M

II. FRAKSI PARTAI GOLKAR:

1. IR. BASUKI TJAHAYA PURNAMA, M.M

2. DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA

3. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn

4. DRS. H. MURAD U. NASIR, M.S.i

5. ADITYA ANUGRAH MOHA, S.Ked

III. FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN:

1. HELMI FAUZI

2. BUDIMAN SUDJATMIKO, M.Sc.,M.Phil

3. ARIF WIBOWO

4. DRS. H. SETIA PERMANA

20BIV. FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA:

1. 21BKH. BUKHORI YUSUF, Lc., MA

2. 22BDRS. AL MUZZAMIL YUSUF

V. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL:

1. DRS. H. ACH RUBAI’E, SH., MH

2. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si

26BVI. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN:

1. DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI, M.Si

2. H.A DIMYATI NATAKUSUMA, SH.,MH.,M.si

VII. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA:

1. DRS. H. IBNU MULTAZAM

2. DRS. H. OTONG ABDURAHMAN

VIII. FRAKSI PARTAI GERINDRA:

1. DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si

IX. FRAKSI PARTAI HANURA :

1. H. SARIFUDDIN SUDDING, SH., MH

ARSP DPR R

I

Page 3: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

56

H. TRITAMTOMO, S.H. ( KETUA RAPAT / F- PDI PERJUANGAN)

Saudara Pimpinan dan Rekan-rekan Anggota Pansus yang kami hormati,

Yang saya hormati Saudara Kapolri dalam hal ini diwakili Wakadiv Binkum dan staf,

kemudian L.O DPR RI, serta hadirin sekalian yang kami muliakan,

Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi, dan Salam sejahtera buat kita sekalian,

Perkenankanlah pada hari ini Selasa, tanggal 15 Juni 2010 kami selaku Ketua Rapat

membuka Rapat Dengar Pendapat pada hari ini dan saya nyatakan terbuka untuk umum.

(RAPAT DIBUKA PADA PUKUL : 11.00 WIB)

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas perkenan dan

rahmat-Nya kita dapat menghadiri Rapat Dengar Pendapat pada hari ini dalam rangka mencari

masukan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Protokol dalam keadaan sehat wal’afiat.

Kami atas nama segenap Anggota Pansus mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setulus-tulusnya kepada Saudara sekalian dan rekan-rekan jajaran kepolisian yang telah meluangkan

waktunya untuk hadir memenuhi undangan kami guna memberikan pandangan dan pendapatnya

terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Protokol.

Yang saya hormati Saudara-saudara yang mewakili Kepala Kepolisian Republik

Indonesia,

Pimpinan dan rekan-rekan Anggota Pansus yang kami hormati, serta hadirin yang

berbahagia.

Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

merupakan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR RI yang telah disampaikan oleh DPR

kepada Pemerintah melalui Surat DPR RI No. LG: 0101/2167/DPR RI/III/2010 tanggal 18 Maret 2010,

selanjutnya sebelum ini mulai pembahasan dengan Pemerintah. Pansus RUU Protokol perlu untuk

mendapatkan pandangan, pendapat dan masukan dari Bapak/Ibu sekalian mengenai keprotokolan di

instansi yang Bapak pimpim. Sebelumnya juga kami telah mengundang berbagai lembaga tinggi

negara, lembaga-lembaga negara, Bank Indonesia, Asosiasi dan Pemerintahan dan daerah lainnya.

Dan perlu sebagai masukan bahwa seperti disampaikan tadi di depan dari hasil RDP dengan

mitra, kunjungan kerja ke daerah baik Bali, Jawa Timur maupun Sumatera Selatan serta kegiatan

Raker ada hal-hal yang perlu untuk mendapatkan perhatian serta masukan tentang tiga hal, tentang

tata tempat, tata acara maupun penghormatan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan

agar semuanya berjalan aman, nyaman, tertib, mengeliminir kelemahan yang ada. Dari hasil kunker

kita dan lain sebagainya ada keluhan-keluhan yang kita bisa dapatkan dari daerah yang menyangkut

dengan masalah pengawalan, susunan rangkaian, isi rangkaian, penomoran, kendaraan pejabat baik

pengamanan terbuka, tertutup maupun melekat serta komando kendali operasi dan tingkat

tanggungjawab pelaksana kegiatan di lapangan.

ARSP DPR R

I

Page 4: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

57

Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini marilah kita masuki acara berikutnya yaitu

pandangan/pendapat dari jajaran rekan Kepolisian, waktu dan tempat kami persilahkan. Disampaikan,

Pak.

WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):

Baik.

Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi Bapak-bapak Dewan yang saya hormati yang terlibat dalam

Pansus RUU tentang Protokol,

Permohonan maaf disampaikan oleh Bapak Kapolri dan termasuk Bapak Kadiv Binkum,

karena hari ini juga ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan oleh pejabat tersebut, sehingga diwakilkan

kepada kami. Kami selaku Wakadiv Binkum Polri, mudah-mudahan juga penyampaian kami dalam hal

ini tidak mengurangi makna dan bobot dari RUU yang akan kita susun bersama demi kepentingan

Negara. Dan kalau toh juga nanti tidak bisa dipecahkan di sini, toh juga nanti dalam pembahasan

lebih lanjut tentunya akan bisa kita sempurnakan substansinya, agar bisa terakomodir dan terespons

berbagai kepentingan untuk pengaturan di dalam protokoler ini.

Baik, pertama barangkali karena ini baru kami terima tadi pagi, Pak, bukan membela diri,

bukan, kita terima tadi pagi pukul 09.00 WIB dengan disposisinya beliau supaya ditugaskan Wakadiv

Binkum Polri mewakili ini. Oleh karena itu, barangkali ada kami bikin tertulis di tempat satu setengah

halaman dan mungkin karena masih terlalu sumir namun bagaimana pun usaha selalu kami berikan.

Terkait dengan masalah yang dikatakan oleh Pimpinan Rapat mengenai adanya pengawalan

kemudian juga mengenai penomoran-penomoran kendaraan terhadap pejabat, termasuk juga

ketentuan-ketentuan sirene dan lain sebagainya tentu sudah diakomodir ya, diakomodir dalam

Undang-Undang Lalu Lintas Nomor: 22, kalau tidak salah, Tahun 2009. Dan penggunaan-

penggunaan sirene juga diperintahkan di sana untuk dibentuk dalam Peraturan Kapolri, nah sekarang

Peraturan Kapori mengenai penggunaan sirene juga sudah dan memang dalam waktu dekat akan

ditertibkan juga penggunaan sirene ini, karena kita tahu juga ya organisasi masyarakat dalam arti

quote and quote sudah tidak jelas bisa saja menggunakan. Jadi kita juga selaku petugas, sering kita

terkecoh kita malah minggir, tahu-tahu ya tidak jelas juga, pengguna-pengguna motor juga mungkin

karena dia juga punya duit langsung dia tempel di atas mobilnya ngeong-ngeong, ya kita juga loh ini

ada apa. Ada ketentuan-ketentuan khususnya itu kalau hal itu ambulance membawa orang sakit,

rombongan pejabat tertentu dan pejabat juga kedutaan, Menteri dan lain sebagainya ya harus

diprioritaskan sesuai dengan fungsi tugasnya. Jadi karena itu melekat kepada fungsi tugasnya, bukan

melekat kepada orangnya.

Jadi itu kira-kira, jadi nanti barangkali kalau ada terkait dengan itu mungkin akan kita libatkan

juga nanti dari Babinkam cq. Direktur Lalu Lintas.

Terkait dengan masalah substansi, kalau kita lihat substansinya, Pak, sudah cukup kaya,

barangkali ada sekitar 40 Pasal dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1987 tentang

Protokoler yang hanya 6 Pasal saja ya. Hanya 6 Pasal dari Undang-Undang Nomor: 8 itu, jadi sangat

ARSP DPR R

I

Page 5: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

58

sederhana. Sangat sederhana, yang fokus pengaturannya hanya tata tempat, tata upacara dan tata

penghormatan saja. Dalam hal ini memang sudah lebih luas dia, mengatur sampai kepada tokoh

masyarakat. Hanya saja tokoh masyarakat dalam hal ini kalau kita lihat batasannya tidak jelas. Kalau

tokoh agama barangkali lebih spesifik paling tidak Alim Ulama, Ustadz yang dihormati seperti

misalnya Aa Gym, ya dulunya, tetapi sekarang barangkali karena sesuatu hal kan gitu ya, ya siapa

dulu yang tidak senang mendengar Aa Gym itu kalau sudah khotbah kan? Baik non muslim, muslim

juga kan senang, karena pidato-pidatonya atau khotbah-khotbahnya beliau bersifat moral, kan begitu,

Pak ? Tetapi kalau tokoh masyarakat, kadang-kadang siapa di sini, Pak, tokoh masyarakat ? Memang

disebut di sini dalam butir 10 tokoh masyarakat adalah tokoh masyarakat tertentu yang karena

kedudukan sosial menerima kehormatan dari masyarakat atau Pemerintah. Nah, ini sangat luas tuh,

Pak. Jadi harus ada batasan. Saya baca juga di dalam penjelasan pasal-pasal juga tidak dicantumkan

apa batas-batas tokoh masyarakat tersebut, Pak. Itu yang pertama, Pak.

Yang kedua, mengenai Pasal 9 dan mungkin nanti akan meloncat-loncat, Pak, ya karena

persiapannya agak kurang, Pasal 9 butir “j”, jadi tata tempat dan acara kenegaraan dan acara resmi di

Ibu Kota Negara Indonesia ditentukan dengan urutan. Butir “j” ini perintis pergerakan kebangsaan dan

kemerdekaan. Ini barangkali dengan seleksi alam apakah masih diperlukan ini nanti, Pak ? Dengan

seleksi alam artinya perintis kemerdekaan itu yang bagaimana lagi, siapa kategorinya, Pak ? Karena

sekarang barangkali yang paling tua perintis kemerdekaan itu sudah di atas 80, Pak. Nah, di atas

perintis kemerdekaan itu apakah yang paling muda itu, Pak. Nah, itu apakah masih diperlukan dalam

hal ini dengan tidak mengurangi jasa kebesaran para terdahulu kita dalam hal merintis kemerdekaan

ini. Cuma di dalam tata urutan ini apakah masih kita perlukan, di tempatkan itu apa tidak, kan begitu,

Pak, dengan tidak mengurangi, Pak, kebesaran-kebesaran, karena orang tua saya juga kan veteran

juga, Pak, sampai meninggal beliau masih dapat, setelah meninggal baru dihentikan uang

pensiunnya, kan begitu.

Nah, berikutnya, Pak, tadi dalam Bab V tentang Tata Tempat, dijelaskan dalam Pasal 8

bahwa tokoh masyarakat mendapat tempat dalam acara kenegaraan atau acara resmi, namun dalam

pasal maupun penjelasan, Pak, tidak ada penjelasan resmi tentang itu tadi, Pak, kriteria-kriteria. Hal

ini bisa dipahami manakala tokoh masyarakat tersebut sudah diketahui oleh umum namun demikian

dalam Pasal 9 dan Pasal 10 tidak ada tempat bagi tokoh masyarakat dalam rumusan tata tempat

yang limitatif. Nah, ini juga tidak ada, ditentukan dalam limitatif di dalam upacara. Akibatnya ada

ketidaksinkronan antara Pasal 8 dengan Pasal 9 dan Pasal 10 dari RUU-nya. Nah, bila tidak

dirumuskan penjabarannya dapat diinterpretasikan secara subjektif, bisa sempit dan bisa meluas atau

mengembang, begitu Pak. Oleh karena itu disarankan perlu dimasukan Tokoh Masyarakat dalam

Pasal 9, Pasal 10 termasuk kriteria dan Tokoh Masyarakat bagaimana yang dimaksud, sehingga tidak

meluas ke mana-mana nantinya.

Berikutnya, nah tentu RUU ini sifatnya adalah administratif atau boleh dikatakan administratif

ketatanegaraan, ketatapemerintahan yaitu bagaimana Pejabat Negara atau Pejabat Pemerintah atau

Tokoh Masyarakat ditempatkan atau ikut dalam kegiatan upacara kenegaraan atau acara resmi. Maka

ARSP DPR R

I

Page 6: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

59

pada prinsipnya diperlukan ada sanksi administratif. Nah, diperlukan ada sanksi administratif tentu

untuk penguatan. Nah itu sudah diatur dalam Pasal 35 RUU ini. Bunyinya, dalam hal pelaksanaan

tugas protokol lalai atau tidak melaksanakan tugas protokoler sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan dikenai sanksi administratif sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Jadi tidak secara eksplisit mengatur sanksi dengan menunjuk pasal. Nah kan begitu, Pak, biasanya

Undang-Undang Administrasi itu harus merujuk dia kepada pasal yang terdepan, kalau ada pidana

juga pidana yang bersifat administratif selalu dia merujuk kepada kalau bahasa Londonya itu ordoning

administrative strad, kalau itu ada pidananya tetapi dalam hal ini tidak perlu saya kira ada unsur

pidananya, itu terlalu keras, tetapi administrasi mungkin ada kelalaian makanya diperlukan sanksi

administrasi dalam hal ini merujuk kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pasal-

pasal, apa kira-kira yang perlu dinormakan untuk dibuat suatu sanksi ke depan, pasal-pasal ke depan

itu mungkin, Pak. Karena kalau hanya Pasal 35 ini tidak seperti yang berdiri sendiri hanya menunjuk

pasal-pasal atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya itu, itu barangkali terlalu

generalis, Pak, ya. Jadi tidak secara eksplisit mengatur sanksi dengan menujuk pasal-pasal yang

telah ada di depan, demikian juga sanksi administratif seperti apa yang diberikan kepada pelanggar

ketentuan pasal-pasal misalnya yang di depan, tidak dijelaskan dalam rumusan pasal ini. Menurut

kami sebaiknya juga supaya lebih tegas, karena protokoler ini kan perlu penghormatan kepada

simbol-simbol juga bisa, kepada lagu kebangsaaan itu, kepada penghormatan itu, yang kadang-

kadang banyak acara-acara itu kan tidak tertib dilaksanakan. Nah, apakah diperlukan dalam hal ini

sanksi yang bersifat pidana atau kurungan, kalau saya tidak, Pak, tetapi terserah. Terserah dalam hal

ini kita serahkan kepada Bapak-bapak Dewan karena ini kan merupakan inisiatif dari sini. Kalau toh

juga diperlukan ya barangkali jangan penjara cukup kurangan lah, artinya hanya sebagai suatu

pelanggaran.

Misalnya sanksi-sanksi apa kira-kira yang diperlukan? Misalnya kalau ada pihak-pihak

tertentu yang ingin menggunakan suatu upacara kenegaraan atau upacara resmi, sering itu, Pak,

sedang upacara atau pelantikan apa katakanlah untuk pelantikan DPR, pelantikan ini-ini, iya kan,

banyak juga digagalkan dan lain sebagainya, kan begitu, Pak, apakah terkait dalam hal ini, ya tentu

barangkali ini jangan hanya sanksi administrasi mungkin sanksi pidana, kalau sanksi administrasi itu

kan sifatnya lebih terkait dengan pejabat-pejabat, tetapi kalau sudah pidananya di sini ya bisa saja

nantinya, kan itu orang-orang dari luar yang ingin tidak menyenangi upacara protokoler yang

dilaksanakan.

Nah ini karena realita adanya gangguan yang ingin membatalkan atau mengganggu jalannya

upacara kenegaraan atau upacara resmi yang dilakukan oleh Pejabat Negara atau Pejabat

Pemerintahan tersebut, sering kita lihat, sehingga penghormatan kepada upacara yang sedang

dilakukan tidak dihargai oleh orang-orang dimaksud.

Nah, kemudian di dalam Pasal 16 huruf “b” supaya diberikan penjelasan yaitu ketentuan

dalam Pasal 60 “b” supaya diberikan penjelasan, dalam penjelasan dengan rumusan seperti ini, yang

dimaksud dengan hari besar nasional adalah hari-hari besar sesuai dengan yang ditetapkan dalam

ARSP DPR R

I

Page 7: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

60

Keputusan Presiden. Tujuannya adalah jangan terlalu gampang pejabat tertentu di luar Presiden

menetapkan hari-hari besar sekedar untuk mencari popularitas, kan begitu, sekedar untuk mencari

popularitas agar nama pejabat yang bersangkutan yang menetapkan hari-hari besar nasional

dimaksud dianggap sebagai pejabat yang menetapkan suatu hal-hal yang monumental, kan begitu,

Pak. Jadi perlu mungkin pengaturan hari besar nasional tertentu ini, cuma kita lihat dalam

penjelasannya tidak ada masukan penjelasan, kan begitu Pak, cukup jelas. Sehingga dalam hal ini

tentu hari besar nasional itu siapa nantinya yang harus menentukan, Pak, bagaimana caranya, apa

diperlukan PP atau diperlukan Penetapan Presiden. Kalau tidak nanti ya bisa saja apakah pejabat

daerah boleh menentukan itu? Apa harus Presiden? Atau usulnya dari mana? Apakah dari DPR

usulnya atau cukup dari siapa saja, kan begitu, Pak. Kadang-kadang kita terlalu banyak upacara

sehingga waktu-waktu tersedot ke sana, hari ini, hari ini, hari Bapak, hari Ibu, macam-macam, hari

laut, hari bahari, waduh banyak betul upacara itu, Pak, jadi waktu tersedot ke sana untuk upacara,

maka menurut saya harus ada jelas siapa yang harus menentukan hari besar nasional tertentu itu.

Nah kemudian mengenai pengaturan tentang tata penghormatan diuraikan dalam Pasal 29

ini, sehingga tata penghormatan menjadi sangat rinci dan dalam Penjelasan disebutkan bahwa

mengenai penghormatan lain sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah, maka dari pasal ini

dapat disimpulkan bahwa tata penghormatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat

menimbulkan dampak positif berupa penyeragaman, memang itu nilai positifnya, Pak, karena ada

yang menyanyikan Indonesia Raya, ada yang tidak menyanyikan Indonesia Raya, kemudian ada yang

mendengarkan dengan kaset, padahal tidak boleh dengan kaset, kan harus dengan upacara tertentu,

kan begitu Pak.

Saya kira, Pak, garis besarnya yang bisa kami sampaikan, mungkin kita diskusikan, kecuali

tadi yang terkait dengan masalah pengawalan dan masalah penomoran kendaraan saya kira itu

menjadi domain di dalam Undang-Undang Lalu Lintas mungkin, Pak. Ya, menjadi domain dalam

Undang-Undang Lalu Lintas. Kalau toh juga nanti itu bisa kita ini, Pak, ya kebetulan sekarang ini

sedang disusun RPP-nya, mana tahu ada hal-hal yang terkait dengan itu bisa nanti barangkali nanti

kita sampaikan kepada Babinkam cq. Direktur Lalu Lintas. Itu saja, Pak.

Terima kasih.

Wassalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT:

Baik, penjelasan / masukan serta koreksi dari rekan-rekan Kepolisian dalam rangka

melengkapi RUU Protokol yang sedang dirancang, kami ucapkan terima kasih. Justru yang kita lihat

Undang-Undang RI Nomor: 8 Tahun 1987 yang isiannya 5 Bab dan 8 Pasal dengan perkembangan

kondisi saat ini dianggap kurang memenuhi apa yang diharapkan dan sudah tidak sesuai dengan

sistem ketatanegaraan yang ada, terlebih dengan reformasi, kemudian 4 kali Amandemen antara lain

sebutan Pejabat Tinggi Negara tidak ada lagi, kemudian tumbuh dan timbul lembaga baru, kemudian

di situ tadi Bapak sampaikan ada tomas (tokoh masyarakat), toga, yang tadinya bersifat umum

sekarang ditentukan, sehingga nanti kita kerucutkan. Kemudian dengan dasar ini, Presiden

ARSP DPR R

I

Page 8: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

61

melakukan persetujuan dan menunjuk 4 Menteri untuk turut serta dalam rangka meramu Undang-

Undang Protokol ini.

Nah, kalau kita lihat dari apa yang Bapak tadi masukan kita menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya. Nah, oleh karena itu tentu nanti jadi bahan pertimbangan juga buat rekan

Kepolisian, mari kita melihat kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 27 Tahun 2009

tentang MD3 bahwa MPR adalah berhak untuk mendapatkan hak protokol, kemudian Undang-Undang

RI Nomor: 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa MPR adalah Pejabat Negara.

Kemudian kita melihat kepada Undang-Undang RI Nomor: 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia, lebih khusus di sini adalah Pasal 14 dan Pasal 15, di situ menyatakan Kepolisian, Pasal

14, Pak, melaksanakan, mengatur, melakukan penjagaan dan pengawalan; Pasal 15, Kepolisian

berwenang menyelenggarakan registrasi dan identifikasi terhadap kendaraan bermotor. Nah, tentu

hal-hal ini kita perlu mendapatkan pandangan nanti dari Bapak yang kaitannya dengan hak protokol

dan pejabat negara tadi.

Oleh karena itu, untuk kesempurnaan ini kami sampaikan untuk … (tidak dilanjutkan).

Disampaikan, Pak.

H. TB. SOENMANDJAJA, SD (WAKIL KETUA / F- PKS):

Terima kasih, Pak Ketua.

Pimpinan dan Anggota terhormat,

Bapak Wakadiv beserta jajaran,

Jadi memang di dalam mendiskusikan RUU Protokol ini, Pak, saya kira siapapun juga yang

men-draft-nya itu akan merasa riskan kalau membicarakan dirinya sendiri, tetapi memang dalam

kaitannya dengan statement dari Pimpinan, dari Ketua, tadi terakhir, kita memandang ada dua hal

pertama azas legalitas, yang kedua azas oportunitas. Tadi azas legalitas sesungguhnya pejabat

negara itu memungkinkan untuk diberikan, memang hal-hal yang bukan sifat formalitas tetapi undang-

undang menyediakan untuk itu. Nah, ini memandang ada satu hal yang mungkin perlu nanti diberikan

masukan ya, sesungguhnya kalau kepolisian kan nanti di jajaran pemerintahan, Pak. Ini kan

konsultasi saja, pendahuluan gitu, supaya nanti kita lebih nyaman, Pak Ketua, di dalam pertemuan

rapat kerja bersama Pemerintah. Nah jadi kalau kita melalui analogi misalnya tentang plat nomor, Pak,

yang di-insert, Pak ya, Pak Pangabean ini ada insert pada Pasal 5 ayat (1) huruf “b”, kalau tidak. Ya di

ini, Pak, di hal-hal yang perlu didiskusikan, paper-nya ini ada, halaman 2, Pak Pangabean. Halaman

2, hal yang perlu didiskusikan dengan narasumber ini.

Ini halaman 2, Pak, ada simulasi pengaturan pemerintah nomor kendaraan bermotor para

Pejabat Negara. Ini ada sisipan khususnya Pasal 5 ayat (1) huruf “b”. Ini kami agak terkesiap Pak

Ngabean, waktu pertemuan RDP dengan para Sekjen diantara Sekjen MPR yang menyatakan bahwa

plat DPR itu sesungguhnya dia asesoris saja, tidak punya bobot hukum sama sekali gitu. Jadi kan

berarti sudah menghambur-hamburkan anggaran Negara. Nah kira-kira ini bagaimana solusinya kalau

khusus nomor Anggota DPR RI ini karena jabatannya itu. Makanya disamping dia memberikan akses

legalitas juga ada …(tidak jelas)… khusus untuk 560 orang Anggota DPR dalam kaitan dengan

ARSP DPR R

I

Page 9: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

62

protokol ini, sehingga para petugas dan penegak hukum khususnya di bidang lantas itu memahami

tentang hal ikhwal atau sesuatu yang berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Anggota dalam

menggunakan nomor tersebut.

Saya kira ini entry point-nya, Pak Ketua, yang ingin disampaikan. Memang kemarin begini

Pak Pangabean, ketika misalnya, kementerian, mohon maaf, menggunakan dari mulai Presiden RI 1

sampai selesai begitu sekian. Muncul-muncul juga untuk Esselon I LS (?) belakangnya atau pejabat

lainlah begitu. Nah, apakah mungkin DPR juga ada kajian ke arah itu, misalnya Pak Ketua nomor 322,

mungkin saja DPR 322 gitu, misalnya begitu kan? Jadi ada DPR dari 001 sampai 560 ya, tinggal

apakah di belakangnya pakai RI atau tidak, tidak paham, ini saya tidak menguasai masalah ini, tetapi

ini menjadi penting, Pak Pangabean, ya, ketika berkaitan dengan protokol itu.

Mungkin, Pak Ketua, tambahan dari saya seperti itu, terima kasih, mohon maaf.

DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)

Terima kasih.

Yang saya hormati Bapak Pimpinan Rapat beserta jajarannya dan sekaligus dari

kepolisian dan Anggota Pansus,

Sudah barang tentu sudah disampaikan oleh teman-teman kita terdahulu bahwa, keterkaitan

masalah keprotokolan tadi mendapat tempat porsi sesuai dengan undang-undang konstitusi yang

ada. Kita lihat bahwa apa bedanya pihak Pemerintah selaku penyelenggaran negara dengan kita

sebagai legislasi, sebagai legislator, dan tentunya kita perlu penanganan, artinya membuka

aksesbilitas di dalam hal instrument, alat, seperti kita dalam rangka menjalankan tugas fungsinya

legislasi, pengawasan, dan anggaran, itu tentunya untuk mengetahui lebih jauh tentang jati diri

seorang Anggota DPR bahwa ketika menjalankan fungsi tugasnya itu dilindungi oleh undang-undang.

Tentunya dalam hal ini konteks ini tidak hanya menjalankan fungsi tugasnya ada di Gedung Dewan

ini, mobiling di seluruh Indonesia, ketika kita turun ke lapangan ke daerah pemilihan, barangkali di situ

ada huru hara sehingga kita tahu jati diri kita, diketahui oleh masyarakat. Inilah pentingnya substansi

filosofinya di situ, Pak. Maka untuk itu bagi kami barangkali mewakili fraksi, kami tidak keberatan

untuk itu karena ini memang satu konsekuensi logis bahwa apa yang melekat di dalam diri kita selaku

Pejabat Negara ini tentunya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, Bangsa dan Negara. Itu

intinya di situ, substansinya. Dan itu legal secara hukum karena Undang-Undang Protokoler mengatur

seperti ini.

Maka untuk itu, dalam kajian ini tentunya kita lebih cenderung dimasukan dalam RUU ini,

tidak dalam bentuk PP, karena PP ini nanti cantolan hukumnya tidak ada di RUU ini. Kira-kira begitu

apa yang menjadi masukan kami, mewakili dari fraksi kami.

Terima kasih, Pak Pimpinan, saya kembalikan.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak.

Dari dua rekan kami telah memberikan peluru sebagai masukan, tentu yang disampaikan ini

adalah pendekatan kebiasaan dan pendekatan hukum. Oleh karena itu sebelum dijawab oleh rekan

ARSP DPR R

I

Page 10: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

63

dari Kepolisian Negara, kami minta masukan dari rekan-rekan sekalian untuk menjadikan bahan

pertimbangan bagi rekan Kepolisian. Waktu dan tempat kami persilahkan kepada floor, silahkan Pak

Muzamil dulu.

F- PDI PERJUANGAN (HELMY FAUZI):

Terima kasih Pimpinan.

Kepada rekan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana tadi telah dikatakan

bahwa sebagai bagian dari tata penghormatan, Polri memfasilitasi penjagaan dan pengawalan.

Selama ini kita sering ada tamu-tamu negara yang sudah barang tentu difasilitasi melalui penjagaan,

pengawalan maupuan pengawalan sehari-hari yang melekat maupun dalam tata iringan, Pak. Nah,

apakah dalam hal ini telah diatur melalui Undang-Undang Lalu Lintas dan apakah dalam pengaturan

ini sudah berlaku Azas Rezi Procal, karena ini penting Azas Rezi Procal, jangan sampai kemudian

tamu Negara kita secara protokoler kita atur berlebihan sementara kita sendiri kalau di luar negeri

tidak berlaku Azas Rezi Procal, saya pikir perlu suatu kesetaraan dalam memfasilitasi tamu-tamu

Negara.

Kedua, terkait dengan tata penghormatan yang terkait dengan tata iring-iringan, selama ini

apakah sudah ada prosedur tetapnya yang menentukan tata iringan seperti misalnya mobil Presiden

sudah barang tentu sudah, Pak, ya rangkaiannya seperti apa, ada mobil putih di depan, ada

pembuka, ada penutup dan lain sebagainya. Nah bagaimana dengan yang lainnya, apakah telah

dibuat juga suatu standar prosedur yang tetap tentang tata dirangkaian. Apakah ini juga berlaku untuk

pejabat-pejabat negara lainnya.

Hal yang lain yang juga saya perlu mendapat perhatian dari Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah berkaitan dengan prioritas, selama ini kita tidak pernah jelas prioritas itu diberikan

kepada siapa saja, apakah memang hanya khusus kepada Presiden, Wakil Presiden atau juga

pimpinan-pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Dan dalam keadaan apa prioritas ini bisa diberikan

khususnya dalam hal emergency, dimana misalnya Anggota Dewan perlu mengejar sidang. Saya

mengambil contoh ilustrasi, Pak, ketika salah satu Anggota Kongres di Amerika mengejar sidang, dia

bisa meminta Polisi Federal untuk secara khusus melakukan pengawalan, sehingga dia bisa tepat

waktu menghadiri acara sidang ketika memang lalu lintas demikian padat. Nah apakah hal itu juga

bisa diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Anggota Dewan atau Anggota

MPR misalnya ketika ada sidang-sidang khusus yang memang penting, misalnya Sidang Tahunan

MPR atau sidang-sidang yang kita anggap memang penting sekali untuk dihadiri, tetapi situasi ada

hambatan-hambatan untuk dapat memenuhi hal itu tanpa bantuan atau fasilitasi dari kepolisian.

Demikian saja, Pimpinan, terima kasih.

F- PDI PERJUANGAN (DRS. H. SETIA PERMANA):

Terima kasih.

Pimpinan dan Anggota Pansus yang saya hormati, dan tamu yang saya hormati dari

pihak Polri,

Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

ARSP DPR R

I

Page 11: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

64

Beberapa hal yang mungkin tadi sudah disampaikan, sebagian sudah tersampaikan, tetapi

mungkin ada baiknya kita mengingatkan bahwa untuk beberapa hal, mohon maaf, Anggota DPR atau

MPR ini kita sering mengalah, tidak mempersoalkan hal-hal yang mungkin sudah dimiliki oleh pihak

lain, entah itu setingkat Dirjen atau apa, kita tidak memiliki itu semua, tetapi untuk hal-hal yang tadi

disampaikan oleh rekan saya Bung Helmi ini untuk beberapa hal yang berkaitan dengan kita mengejar

sebuah agenda acara tertentu ya dan ini persoalan yang tidak sederhana, apalagi di Jakarta dan di

daerah-daerah lain juga sekarang sudah mulai mengalami kemacetan yang luar biasa, hal itu saja

mungkin kita sekarang masing gamang kalau kita membutuhkan itu semua padahal kita masuk

kualifikasi penyelenggara negara atau Pejabat Negara, tetapi kita tidak memiliki sebuah akses yang

jelas, kalau mengalami situasi sulit seperti itu kepada siapa kita harus meminta tolong. Kalaupun

kemudian sebut saja yang berkaitan dengan itu adalah Polisi dan perhubungan misalnya, tetapi

apakah ketika kita menghubungi pihak-pihak yang dimaksud, apakah cukup dipahami bahwa kita ada

pada posisi seperti itu. Karena itu kemudian beberapa hal yang mungkin kesannya, tidak berlebihan

amat sih, hanya soal plat nomor, tetapi kemudian dipahami itu adalah bagian dari perlakuan, bukan

mengistimewakan dalam pengertian gila hormat, bukan, tetapi bagaimana itu kemudian memperlancar

tugas-tugasnya karena selama ini banyak hal yang sebetulnya melekat pada diri kita, tetapi kita tidak

pernah memintanya lebih lanjut. Jadi kalau saya harus mengatakannya agak fulgar kalau setingkat

Dirjen yang adalah hanya membantu Menteri itu diberikan fasilitas yang luar biasa, tetapi Anggota

Dewan yang sebetulnya di atas Dirjen tidak memiliki apa-apa sebetulnya untuk hak-hak istimewa

seperti itu.

Jadi ini barangkali yang perlu mendapatkan pertimbangan dari pihak Polri dan mungkin besok

lusa, ya Mas Harry, apa perhubungan perlu kita mintai juga informasinya tentang ini agar nyambung

kan kira-kira apa yang kita maksud, terima kasih.

Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

F- PD (H. HARRY WITJAKSONO, SH):

Terima kasih Pimpinan.

Kita sudah mengerucut, Pak, kayaknya memang kearah pemberian fasilitas kepada Anggota

Legislatif sebagaimana rekan-rekan sampaikan. Ini bukan masalah kita minta eksklusif atau minta

diistimewakan, ini masalahnya dalam rangka menjalankan tugas-tugas ketatanegaraan yang ada. Jadi

kita meninjaunya harus dari sana dalam rangka melancarkan tugas-tugas ketatanegaraan yang

membebani para Anggota legislatif, ketika kita menjadi anggota biasa tidak perlu lah, tetapi ini tugas

Anggota Legislatif ini hampir setiap hari, Pak. Misalnya katakanlah seorang Anggota Legislatif sedang

berdiam di tempat daerah pemilihannya, tiba-tiba dia harus melayat rakyatnya yang mungkin dalam

keadaan macet dia tidak bisa menembus sehingga tidak bisa mengantar jenazah tersebut yang

merupakan konstituennya tepat pada waktunya. Ini kan juga tugas ketatanegaraan, Pak. Jadi tugas

ketatanegaraan itu bukannya dalam rangka rapat di Dewan saja, tetapi harus melekat pada dia ketika

dia akan melangkahkan dirinya kemanapun dia berada. Tentunya kalau dia nonton bioskop ya tidak

perlu diantar. Ya artinya ketika dia harus mencapai jenazah konstituennya itu tepat pada waktunya itu

ARSP DPR R

I

Page 12: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

65

juga diperlukan. Jadi saya pikir itu sudah tidak bisa ditawar-tawar, kalau tidak, ya tadi seperti yang tadi

Pak Permana katakan, saya sendiri mengalami, Pak, sebuah mobil Kapolres begitu gasnya bisa

melewati semuanya, jangankan Dirjen, mobil Kapolres. Mohon maaf, bukannya kita merendahkan

jabatan yang di bawah kita, masalahnya mungkin Kapolres itu juga sedang melakukan tugas penting,

tetapi ketatanegaraan ini lebih luas lagi, Pak.

Ketatanegaraan lebih luas lagi, Pak. Kalau seorang Kapolres saja bisa diberikan privilage

semacam itu, katakanlah dia sedang menangkap penjahat atau dia sedang mengejar suatu upacara

di Kapolda atau di Polda, dia saja bisa mendapat akses. Belum lagi, Pak, kalau polisi masih okelah,

belum lagi kita lihat, Pak, kalau saya sore pulang itu saya mobil-mobil dengan label angkatan lainlah,

bukan polisi, Pak, Angkatan Udara, Angkatan Laut, itu saya lihat dari pangkatnya kayaknya Kolonel

tetapi begitu dasyatnya dia bisa melewati mobil kita lah dan dia bisa mengambil bahu jalan dan polisi

tidak apa-apa. Saya pikir itu tidak ada izin, tidak ada predikat atau surat yang melekat pada dia ya,

hanya karena dia bermobil hijau dengan identitas militernya bisa menembus apapun. Saya pikir tadi

yang Pak Panggabean katakan itu diatur dalam undang-undang, saya ragu nih apakah ini juga diatur.

Okelah kalau dia diatur dikasih kesempatan, mengapa kita yang melakukan tugas-tugas

ketatanegaraan ini tidak dapat, seorang Kapolres, seorang Kolonel, seorang Kombes dengan mobil

yang identitas polisi atau Angkatan Laut atau Angkatan Udara atau Angkatan Darat, mohon maaf

Pimpinan, itu bisa menerobos. Nah seorang ketatanegaraan sebagai, ya seorang Setia Permana atau

seorang Harry Witjaksono, siapa elu, katanya, itu dikita hanya gagah di DPR, Pak, kita hanya gagah

di DPR, Pak. Begini artinya mohon maaf ini sekedar ilustrasi, setiap langkah pintu yang kita lewati

dengan identitas ini, itu semua hormat, di DPR tetapi, Pak, di luar siapa elu kita tidak tahu. Masih

bersyukur. Tidak, masalahnya bukan soal penghormatan, Pak, akses itu loh, Pak. Jadi ini mohon

kalau undang-undang ini lahir ini harus ada yang mengatur demikian.

Nah tadi sehubungan dengan permintaan Pak Setia Permana itu benar tentang alangkah

lengkapnya juga Menteri Perhubungan kita panggil juga, Pak. Karena kita juga punya hambatan

ketika penjemputan atau, terutama penjemputan ya di Airport. Boleh dicek ke semua Anggota Dewan,

saya rasa tidak bisa merapat ke lobby ya, cuma akhir-akhir ini ada perkembangan baru, Pak, saya

sendiri sudah bisa merapat, tetapi sedikit engkel-engkelan, ketika kita masuk ke airport. Ini tidak ada

hubungannya dengan polisi, Pak, ini sekedar ilustrasi saja, mau masuk ke airport itu digardu pertama

ditanya, “Pak, ini harus pakai stiker”, stikernya stiker Perhubungan Udara katanya, kita tunjukin ini,

tidak laku, Pak, “mohon maaf, Pak, ini stikernya khusus Perhubungan Udara”. Tetapi perkembangan

terakhir kemarin saya bisa, karena supir saya agak berani, dia bilang “saya mau menjemput Anggota

Dewan”, “siapa Anggota Dewannya?”, atasannya memanggil, disebut namanya, kalau tidak percaya

catat saja Pak nomornya. Nah, mungkin petugas ini agak sedikit pintar ya, kadang kalau yang di

bawahnya tidak mengertilah, mau Anggota Dewan, mau siapa, “oh, ya udah, Pak, yang penting

namanya sudah disebut”, dia masuk, tetapi ketika berhenti di lobby, supir saya juga pintar dia sudah

menyiapkan Rp 10.000 untuk ngasih ke tukang parkirnya. Jadi akhirnya, tadi seperti dikatakan oleh

teman-teman di luar, ini bukan pemberian fasilitas, ini karena kita maksa, sebenarnya tadi, Pak Byakto

ARSP DPR R

I

Page 13: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

66

sudah ngomong di luar, “oh, kalau gitu sih bukan hebat, Pak, itu karena kita minta”. Betul, Pak, jadi

mungkin dibenak kita semua sama, dengan simbol itu kita sudah punya akses. Itu saja lah. Yang

penting bagaimana, jadi kita bermaksud untuk mengistimewakan, ini benar-benar tugas, karena kalau

kita tidak merapat di lobby, misalnya Pak, kita hujan, misalnya ke depan itu, mau parkir mobil kan

susah, Pak. Bapak mungkin sering pengalaman di airport itu, kalau parkiran di posisi parkiran biasa itu

susah, Pak, sedangkan kadang-kadang, bukan kadang-kadang ya, sering kita pulang dari daerah itu

langsung ke sidang lagi ke sini, kejar ke kantor, Pak. Jadi saya pikir yang harus diatur, ditafsirkan

dengan tugas ketatanegaraan atau kedewanan itu bukan hanya sekedar sidang, Pak, tetapi menuju

ke tempat konstituen itu juga dalam rangka tugas kita semua, Pak, dalam rangka kita sidak ke Polres

atau ke Polda itu juga tugas ketatanegaraan Komisi III, Pak. Jadi gara-gara kita terlambat jadi hilang

makna sidaknya itu, Pak.

Jadi mungkin itu, Pak, sekedar tambahan memperkuat dalil daripada teman-teman semua

sehingga menggambarkan bahwa dalam Undang-Undang Keprotokolan ini jelas harus dimasukan.

Dan terus tadi Departemen Perhubungan mohon, Pak, itu diagendakan.

Terima kasih Pak.

F- PD (HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, S.H., M.H.):

Terima kasih Pimpinan.

Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya langsung kepada yang mewakili Bapak Kepolisian kita, dari tadi yang disampaikan oleh

rekan-rekan kami di bagian sini pada kesimpulannya iaiah pada simbol. Simbol dalam artian yang kita

terima sebagai Anggota DPR yaitu nomor mobil, nomor dimana ada simbolnya bukan nomornya. Nah,

artinya bahwa apa sih keistimewaannya simbol itu bagi kami, ternyata tidak ada keistimewaannya,

karena tadi disampaikan oleh Wakil Ketua kita, bahwa itu sebagai asesoris saja, menyedihkan

memang, kalau memang itu asesoris lebih baik, betul kata Wakil Ketua, tidak usah digunakan, toh

juga jadi meringankan biaya yang harus dikeluarkan, kemudian fungsinya untuk apa? Pada saat kita

keluar kota kita juga dilakukan konvoi dan segala macam, tetapi kalau konvoi itu tidak berlaku

meskipun kendaraan kita berlogo atau bersimbol DPR. Kemarin waktu saya, lupa dimana ya, Manado,

itu kami diharapkan untuk kepinggir karena ada iring-iringan Pilkada yang lewat, padahal kita akan ke

airport. Itu ironis sekali ya, artinya masyarakat bilang terlambat 5 menit tidak apa-apa kan? Tetapi

mungkin bagi kita nanti nilai tidak bagus ya, performance kita, “oh Anggota Dewan memang sering

terlambat, hobinya ini”, padahal bukan keinginan kami, karena situasional dari keadaan jalan.

Jadi yang paling mendasar dari saya ini Anggota yang sudah coba pakai logo itu. Jadi pernah

terjadi saya keluar dari tol terburu-buru harus masuk ke kantor, tidak jauh dari depan kantor kita ini

kira-kira 100 meter, saya dihentikan oleh polisi, saya bilang, “kenapa?”, terus kita kasih tahu bahwa itu

kan logonya, saya baru menggunakan logo itu, tetapi polisi itu tidak peduli, berarti dia tidak tahu kan,

tidak mengenal atau tidak tersosialisasikan dengan baik. Di periksa SIM saya, STNK. Saya sudah

bilang “saya mau rapat ini, kalau harus menjelaskan tidak cukup waktunya”, tetapi dia tetap suruh

menepi, ternyata hanya diperiksa STNK-nya dan suruh jalan. Itu tidak jauh dari kantor kita. Artinya

ARSP DPR R

I

Page 14: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

67

pertanyaan yang mendasar adalah apakah simbol kita ini sudah tersosialisasi dengan baik di

Kepolisian atau pihak-pihak yang terkait yang seharusnya mengerti. Oke, kalau ke Mall tidak ada

pentingnya ya, mungkin kita juga malu, ada itu sebagian rekan saya lihat ditutup pakai sesuatu, kaos

atau apa, tetapi di saat-saat tugas itu penting sekali apalagi di draft RUU Protokol ini saya lihat tidak

ada masukan pasal-pasal mengenai simbol-simbol, manfaatnya, kegunaannya dan keistimewaannya.

Jadi kesempatan yang paling baik, saya setengah curhat ini sama Kepolisian, kalau memang itu tidak

bermanfaat mungkin rekan-rekan lebih baik kita copot saja itu.

Demikian dari saya, terima kasih.

Wabillahitaufiq walhidayah, Wassalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

F- PKS (DRS. AL MUZAMMIL YUSUF):

Bapak-bapak, mohon maaf ini nanti kalau habis bicara kita izin karena di Komisi I urusan

Gaza ini, sama Pak Helmi Fauzi.

Pimpinan dan juga Anggota serta narasumber kita dari Mabes, Bapak Panggabean,

Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2009 memang ya DPR juga terlibat, tetapi nampaknya kita

memang alpa disitu untuk memasukan pada Pasal 134, tidak ada Pejabat Negara, yang ada

kebakaran, orang sakit, kecelakaan lalu lintas, Pimpinan Lembaga Negara, Pimpinan Pejabat Negara

Asing, jenazah dan pihak-pihak yang menurut Kepolisian. Nah, ini poin “g” inilah yang menurut saya

undang-undang ini merincinya, karena di poin “g” ini ya kita tidak tertulis. Oleh karena itu, undang-

undang ini saya kira mendetailkan poin “g” ini, yang menurut pertimbangan Kepolisian itu ditegaskan.

Itu poinnya menurut saya yang harus kita buat.

Lalu nanti muncul misalnya apakah tadi plat khusus yang kita sebut tadi, kan selama ini ada

plat, apa istilah, plat BS atau BPD. Ada pun plat kita yang sekarang plat DPR, Pak, kebetulan pada

periode lalu, di Baleg kita yang membuatnya itu Tata Tertib di dalam DPR, karena dulu banyak

dipalsukan plat kita, sekarang dibuat plat yang langsung bentuknya nomor, terus pakai nomor dia, itu

kita buat pada periode lalu. Nah, memang itu tidak dalam tingkat undang-undang, aturan internal kita,

tetapi dengan kita mendetailkan poin “g” ini, saya kira kita bisa melakukan hal tersebut. Dengan poin

itu misalnya ya tadi dalam kondisi tertentu bisa pengawalan atau dalam keadaan tertentu bisa diskresi

soal lampu merah, rambu-rambu yang terlarang pada kondisi tertentu. Dan Pimpinan, secara praktis

menurut saya, ini tambahan berikutnya, Komisi III dulu diberi pass oleh Mabes, sekarang tidak ada

salahnya juga kita undang-undang ini keluar seluruh Anggota DPR 560 orang itu ada pass dari

Mabes, yang pass itu kalau polisi tidak paham, belum tentu semua polisi ngerti kan, kita tunjukan pass

ini. Yang memberi penjelasan, di belakangnya penjelasan yang dalam kondisi tertentu bisa minta

pengawalan dan diskresi untuk hal-hal tertentu, macet total ada, ini terlarang lewat jalan sini, kita bisa

terobos misalnya, mungkin tidak semua polisi daerah tahu rambu-rambu yang terlarang pada kondisi

tertentu atau belum tersosialisasi. Jadi Undang-undang ini buat dan juga tadi pass khusus yang tadi

kita tunjukan di mobil kita, kayak pihak intelijen saja Pak. Menurut saya kalau Komisi III dikasih itu,

sekarang itu bukan hanya Komisi III Pak dalam konteks 560.

ARSP DPR R

I

Page 15: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

68

Pimpinan, lanjutkan sedikit. Kalau pass itu seperti ini, dibelakangnya itu kutipan undang-

undang tadi. Dia tidak paham, mungkin ada kontak khusus nomor kepolisian untuk 560 Anggota itu

dia bisa kontak, komandan benar tidak nomor ini? benar itu. Sudah ada ini contact person, kita

asuransi kesehatan saja ada contact personnya.

Jadi untuk tugas tertentu artinya untuk tugas tertentu Dewan ini Pak Panggabean, memang

kita tidak selalu di ruangan ini. Kunjungan kerja kita itu ke macam-macam itu ketemu polisi dan lain-

lain. Jadi saya tidak bertanya Pimpinan, saya kira adalah kewenangan kita untuk memberikan tafsiran,

rincian dari poin “g” Undang-Undang Kepolisian Nomor 22 Tahun 2009.

Terima kasih Pimpinan dan sekaligus ijin Pimpinan.

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

F- PAN (DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si):

Sebelum kepada yang lain Pak, kami ingin menyampaikan, jadi memang khusus apresiasi

kami kepada Kepolisian Negara yang telah memberikan kemudahan kepada Anggota DPR khususnya

Komisi III. Jadi ID ini memang atas kerjasama teman-teman di Komisi III, jadi yang belum bisa

dibicarakan nanti di Komisi dan juga mediasi dari Pak yang dulu Pak.

Yang kedua ini disusul oleh Kementerian Hukum dan HAM, jadi Menhukham sudah

menerbitkan ID untuk memudahkan kita ke tempat-tempat tertentu, walaupun Pak Hari tadi

mengatakan maunya langsung ke bagian tertentu bandara, diperlebar begitu. Artinya Pak mungkin ini

topik pembahasan kita rapat kerja dengan Kementerian juga mengundang narasumber dari

pemerintah Pak Ketua, saya kira itu. Terima kasih.

F- PG (DRS. H. MURAD U. NASIR, M.Si):

Pimpinan, Yang terhormat narasumber,

Saya ingin bertanya saja ini minta beberapa penjelasan. Tadi sudah banyak sebetulnya

tentang masalah nomor kendaraan, pertanyaannya selama ini nomor kendaraan itu sebetulnya itu ada

dasar hukumnya tidak Pak, penomoran itu misalkan kalau Presiden itu RI 1. Saya sebetulnya ingin

lebih banyak membicarakan ditingkat daerah seperti Gubernur itu misalkan A 1, kemudian nanti

kepada Kejaksaan, Ketua Pengadilan dan sebagainya. Kemudian itu dasar hukumnya apa?

Kemudian selanjutnya kalau itu tidak pernah diatur sebaiknya itu diatur dimana menurut Bapak?

Kemudian yang kedua, ini ada kaitannya dengan masalah iring-iringan. Ini sekali lagi untuk

ditingkat daerah baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Terhadap iring-iringan ini juga kadang-

kadang jadi ewuh pakewuh ini, sebetulnya itu menurut ketentuan, kalau sudah ada ketentuannya,

kalau belum diatur sebaiknya diatur dimana tentang iring-iringan. Kalau didepan itu Gubernur lantas

dibelakang ini sebaiknya apa? Apakah itu Muspida, kemudian siapa lagi begitu, jadi ada lapis-lapisnya

begitu, demikian juga untuk di Kabupaten/Kota.

Kemudian ini yang berkaitan langsung dengan lembaga kepolisian yang berkaitan dengan

masalah-masalah kunjungan Presiden ke daerah. Kalau kunjungan Presiden ke daerah luar biasa itu

biayanya, itu 14 hari kadang-kadang satu bulan sebelumnya itu aparat kepolisian itu sudah

mempersiapkan, pada hari H nya itu luar biasa pengarahannya itu ratusan orang, ini perlu makan dan

ARSP DPR R

I

Page 16: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

69

sebagainya. Itu menurut Bapak apakah itu sudah dianggarkan di institusi kepolisian, kalau itu belum

sebaiknya itu dimasukannya dimana ketentuannya, sehingga ada pintu masuk. Sekarang ini tidak ada

pintu masuk untuk membiayai aparat kepolisian yang kadang-kadang bisa Rp 200 juta kalau Presiden

datang. Ini bagaimana maksudnya, sampai sekarang ini jadi ewuh pakewuh. Diberikan salah,

ketemuan KPK, tidak diberikan dari mana itu yang namanya uang makan, ini saya sarannya

bagaimana sebaiknya.

Kemudian yang berkaitan dengan masalah lain, yang berkaitan dengan masalah tata upacara

militer tapi kadang-kadang ini diadop untuk sipil, biasanya untuk hari-hari besar seperti 17-an. Ini

sebetulnya tata upacara militer itu sebaiknya apakah dimasukan dalam Undang-Undang ini atau

dalam ketentuan lain sebaiknya.

Kemudian pertanyaan lagi, yang berkaitan dengan komandan upacara itu, kalau komandan

upacara di upacara-upacara itu apakah ada ketentuan pangkat? Kalau Gubernur yang jadi Pembina

upacaranya, kemudian Komandan upacara serendah-rendahnya pangkatnya apa? Dan sebagainya

ini apalagi dulu ada persoalan-persoalan baru, kalau seandainya ini komandan upacaranya sipil,

peserta upacaranya militer itu bagaimana kepangkatan sipil ini? Jadi Pegawai-pegawai Negeri Sipil

yang menjadi komandan upacara yang peserta upacaranya itu adalah militer, itu juga ketentuannya

seperti apa ? sampai sekarang ini justru jadi masalah. Komandan upacaranya sipil pangkatnya yang

penting bisa tata upacara militer STPDN, padahal pangkatnya masih rendah sementara komandan

upacaranya sudah Mayor. Jadi seperti apa ketentuannya? Dan sebaiknya itu diatur dimana?

Itu saja barangkali hal-hal yang ingin saya tanyakan, terima kasih.

F- PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):

Terima kasih Pak Ketua.

Bapak-Bapak dari jajaran Polri yang saya hormati,

Rekan-rekan Anggota Pansus,

Pertama-tama saya menyampaikan apresiasi kepada sekaligus petugas Polri yang sangat

baik dilapangan. Saya sering menjumpai banyak petugas Polri yang kurang bijak, saya justru banyak

menjumpai petugas Polri yang sangat bijak di lapangan. Oleh karena mungkin karena plat nomor

mobil itu, Saya kebetulan mendapat nomor plat mobil RFN. Saya tidak tahu artinya tapi waktu

menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi, membeli mobil disini kemudian memperoleh dari BS ke RFN

itu. Jadi banyak memberi fasilitas, bahkan kalau dalam posisi yang sangat terburu-buru bisa

menggunakan bahu jalan dan itu bisa dimengerti oleh petugas di lapangan.

Berkaitan dengan tadi pandangan terhadap bagaimana biaya menghadapi kunjungan-

kunjungan Presiden di daerah. Ini sudah pernah dipertanyakan di forum para Gubernur dan Pimpinan

DPRD seluruh Indonesia. Kepada Ketua BPK masih Pak Anwar Nasution, beliau mengatakan bahwa

membiayai kunjungan Presiden maupun Wakil Presiden di daerah itu haram hukumnya. Jadi tidak

boleh, tapi para Gubernur maupun para Ketua DPRD menyatakan sikap, bahwa jika tidak ada biaya

terjadi apa-apa yang bertanggung jawab siapa? Justru daerah Pemda berkeinginan untuk memback–

up pendanaan. Bagaimana jalan keluarnya ? Pak Kepala BPK memiliki jalan keluar bahwa tidak

ARSP DPR R

I

Page 17: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

70

membiayai institusinya, tidak membiayai institusi daripada kegiatan, tapi yang dibiayai adalah

membantu kegiatannya, itu bisa. Sekarang bagaimana kita memformulasikan dalam sebuah materi

undang-undang ini bisa kita jadikan sebuah rujukan supaya daerah itu bisa memberikan bantuan

pendanaan masuk dalam APBD, biaya-biaya yang sifatnya insidentil itu bisa Pemerintah yang

mengeluarkan, bagaimana membuat formulasi dalam undang-undang ini. Saya kira ini yang dapat

saya sampaikan, terima kasih Pak Ketua.

KETUA RAPAT:

Baik, terima kasih kepada rekan-rekan Anggota Pansus yang telah memberikan masukan

kepada narasumber dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh karena itu saya tekankan

bahwa yang menyangkut dengan di luar masalah-masalah Pasal 134 dari Undang-Undang RI Nomor

22 Tahun 2009, tadi ada substansi bagaimana penyelenggaraan anggaran dan sebagainya. Ini kita

tahu persis kita sudah bicarakan dan sekarang menyangkut dengan masalah paragraph 1 Pasal 134

tentang huruf “g” yaitu kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memperlancar tugas-tugas kenegaraan dari

Pejabat Negara tersebut. Ini nanti minta tanggapan sebelum …..kami Pak Gubernur DKI sebelum

beliau ke Nusa Tenggara Barat. Sampaikan Pak pengalaman.

DR. H. SUBYAKTO, S.H, M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya karena sering di protokoler polisi lalu lintas kadang-kadang itu bingung, dilain pihak juga

kadang-kadang tidak pakai protokol, tapi mungkin polisi lalu lintas barangkali kewajiban untuk

menjaga jalan protokol yang harus tidak dilewati oleh orang, apakah itu suatu hal yang barangkali

instruksi atau tidak, misalnya ada tanda yang barangkali baru diketahui bahwa larangan, sebenarnya

polisi itu harus ada di depan bukan ada dibelakang. Setelah ketangkap orang baru muncul, itu apakah

suatu perintah atau tidak. Artinya ini dan ini banyak protes dari itu yang mungkin tidak disenangi

barangkali. Sebaiknya barangkali dalam rangka memperlancar jalan dan protokoler itu mereka harus

ada di depan dan muncul di permukaan. Jangan ngumpat itu, jadi akhirnya orang mengatakan nanti

ini etika kita ini, gampang ini. Kalimat itu sangat menyakitkan, sebaiknya apalagi ini suara masyarakat

wajib kita beritahu bagaimana memberikan suatu bentuk pelayanan. Ada solusi mohon maaf ini saya

terang-terangan ini, karena saya lebih baik kita menggunakan mau memanfaatkan dalam rangka

keamanan lebih baik menggunakan tentara daripada polisi katanya. Alasannya apa, kalau tentara

tidak pakai perhitungan yang penting dia aman. Kalau polisi kita mesti hitung-hitung dulu, ini sama

dengan barangkali kita melaporkan hilang kambing, malah yang hilang kerbau katanya. Ini sekedar

satu ilustrasi saja, ini image juga didalam protokoler, bahwa bagaimana polisi akan datang

memberikan suatu public service yang lebih bagus daripada image orang lebih baik sudahlah, kalau

tentara perhitungannya lain, ini seperti keamanan negara kesatuan utuh, apapun yang terjadi harus

resiko. Tapi ada limit bahwa polisi kalau tidak ada duit tidak usah kita lapor sama polisi. Saya mohon

karena ini suara DPR ini suara rakyat, bagaimana dibalikan bahwa polisi itu memang pengayom tapi

ARSP DPR R

I

Page 18: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

71

bukan pemeras. Ini saya mohon betul-betul kesempatan untuk karena saya tidak pernah berhadapan

dengan Komisi III Kapolri tapi mumpung melalui protokolernya mungkin barangkali bisa. Itu saja

sementara dari saya.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik, waktu kami berikan kesempatan kepada rekan dari Kepolisian kita batasi saja, kita

masuk pada Pasal 134 menyangkut dengan kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut

pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia bagaimana dan seperti apa. Oleh

karena itu waktu dan tempat kami persilakan, sampaikan.

WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):

Baik, terima kasih Pak.

Pertama inikan inisiatif dari Bapak-bapak dengan segala hormat, kalau memang ada politik

hukumnya sebagaimana dikehendaki oleh Bapak-bapak seperti ini kenapa sebenarnya tidak

dicantumkan dalam RUU ini. saya bukan membalikan sebab inikan inisiatif Bapak, tentunya dari sejak

awal politik hukum yang harus melekat disini sudah harus diamanatkan oleh Bapak-bapak disini,

sehingga nantinya pada saat menyusun DIMnya dengan Pemerintah apakah Pemerintah dengan

segala pertimbangannya kira-kira dengan legalitas segala macamnya.

DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)

Sedikit Pak, barangkali hanya menyampaikan apa yang menjadi keinginan kita, sebenarnya

memang politik hukum ada di kita, tapi sekedar hanya untuk mengundang Bapak untuk memberikan

masukan tentang ini bagaimana, jadi tidak masalah.

WAKADIV BINKUM POLRI ( RM. PANGGABEAN ):

Iya Pak, oleh karena itu menurut saya tentu DPR ini menjadi kalau kita kembali kepada

filsafatnya kan suara rakyat suara Tuhan, berartikan suara Tuhan yang disuarakan oleh Bapak disini

secara fungsional kan begitu. Kalau masalah oknum itukan diluar, itu yang kita harapkan disini

sebagai pengawal perwujudan hak politik hukum itu. Oleh karena itu pertama alangkah baiknya juga

masuk disini beberapa pasal kalau itu.

Kemudian kita kalau saya baca juga draft ini di Pasal 1 itu memang sudah dibatasi

kelihatannya hanya kepada tata cara upacara kalau kita misalnya di ABRI itu tulisannya TUM begitu

sifatnya dengan 5-P upacara, baris berbaris, upacara ini, tata upacara militer, cara penghormatan,

cara berdiri, cara pengawalan misalnya, cara penyampaian siapa irupnya, kalau Irup itu sudah pasti

lebih tinggi dari upacara. Kalau sipil misalnya menyesuaikan, bagiamana penyesuaiannya tentu dilihat

kepada siapa kira-kira yang menjadi Irup itu. Kalau militer misalnya sudah jadi Irup dia, tapi sudah

dialihkan kepada sipil tentu harus menyesuaikan. Tapi pada prinsipnya semua tata cara upacara yang

ada di Republik ini berasal dari tata cara yang berasal dari yang dilakukan oleh militer. Dan sampai

sekarang setelah keluar Polri dari ABRI katakanlah menjadi Polri tetap saja mengikuti upacara-

upacara yang dilakuan baik dalam gedung maupun di lapangan upacara, kan begitu Pak. Karena itu

saya kira kalau kita kembali kepada Hukum Ketatanegaraan sudah merupakan konvensi kebiasaan-

ARSP DPR R

I

Page 19: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

72

kebiasaan yang dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan yang melekat kepada setiap

pelaksanaan-pelaksanaan. Seperti upacara bendera itu kan sebelumnya tidak ada akhirnya dianggap

sebagai suatu upacara bendera, sama juga seperti kalau kita belajar dalam hukum tata negara setiap

tanggal 16 bulan Agustus itu DPR selalu menyampaikan pidatonya, itu kan sebenarnya di konvensi

kenegaraan. Itu yang kedua dari Bapak Ketua tadi.

Memang di dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor: 2 Tahun 2002 itu sudah jelas memang

ada disana pengaturan pengawalan itu Turjawali (pengaturan, pengawalan) tapi obyek pengaturan

pengawalan disinikan tidak dijelaskan harus kepada ini, harus kepada siapa saja pun yang meminta

bisa saja Pak. Tentunya karena DPR itu memiliki hak privillage tentu ada hak-haknya. Bukan hanya

dalam persoalan tindakan kepolisian menjadi saksi atau dijadikan sebagai tersangka harus ada ijin

dan sebagainya, tentu didalam hal melaksanakan tugas seperti ini menurut saya perlu diberikan Pak.

Kemudian juga masalah simbol-simbol, barangkali saya lihat Pak, saya jawab mungkin tidak

selalu satu persatu Pak mungkin secara random. Mengenai simbol-simbol bila perlu ditentukan simbol

ini Pak, karena sekarang ini simbol itu terlalu sembarangan orang menggunakan, dan itu perlu

dipidanakan Pak. Sekarang juga simbol-simbol, maaf kata juga pangkat-pangkat di AKABRI itu ditaruh

disitu, seharusnya Anggota juga kadang-kadang agak mikir juga, senior saya ini. Maaf kata juga yang

tidak ada keluarganya, yang Cina katakanlah, Cina umpama paling banyak memakaikan? Paling

banyak Cina-Cina bukan rasialis tapi kan dipasang begitu bintang bengkok tiga, tanda pangkat, ini kan

sebenarnya seperti bagaimana kira-kira, apalagi DPR pakai begini di platnya simbol. Padahal

bagaimana mendapatkannya itu, kemudian siapa yang berhak tentu juga tidak bisa menjual

sembarangan. Misalnya juga mungkin bookstore-nya yang ada disini tanda-tanda DPR bisa saya beli

juga, barangkali ya Pak, yang ada di bawah kan. Itu, bagaimana penggunaannya itu sehingga tidak

setiap orang. Jadi perlu ada pemuliaan terhadap simbol itu yang perlu diatur disini sehingga tidak

sembarangan orang menggunakan simbol-simbol itu. Karena jabatannya itu Pak supaya diberikanI.

Itu saya setuju juga Pak diberikan dan masalah Gubernur adalah politik hebat penghormatannya. Ini

tergantung kepada protokolernya yang mengatur, jadi kalau Gubernur atau ke daerah dari provinsi

turun ke kabupaten Sekjennya.

DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)

Cerita sedikit, terkait dengan masalah simbol-simbol tadi Bapak sampaikan setuju. Artinya

mohon kita diberikan masukan bagaimana implementasi dalam bentuk apa kira-kira, mungkin

Gubernur nomor misalkan kayak Menteri, kan RI 1 Presiden, RI 2 Wakil sampai seterusnya sampai

Menteri, sampai 54 Menteri itu. Kalau DPR bagaimana, apakah bisa menggunakan DPR terus nomor

Anggota begitu, bagaimana menurut pandangan Bapak selaku Kepolisian apakah bertentangan

dengan Undang-Undang Kepolisian atau Undang-Undang Lalu Lintas.

Terus terkait masalah lagi, terkait masalah nomor cantik, itu kan sudah bukan rahasia lagi Pak

dari pusat sampai daerah ada nomor cantik yang bikin, mungkin barangkali bisa masyarakat umum

ingin nama DPR dibelakangnya, bisa juga kan itu artinya bagaimana itu Pak terkait masalah itu.

Terima kasih.

ARSP DPR R

I

Page 20: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

73

WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):

Tinggal pengaturannya Pak, jadi tinggal pengaturannya disini nantinya kalau sudah itu

merupakan kehendak rakyat mau tidak mau kita, tapi yang jelas jangan sampai menyulitkan juga

petugas di lapangan, kan begitu. Artinya karena nomor itu juga banyak terbatas juga serinya. Apakah

kira-kira DPR 1, DPR 2, DPR 3, DPR 4, kan kira-kira begitu, saya kira itu sangat teknis sekali Bapak.

Yang jelas yang memanjatkan itu didalam suatu peraturan perundang-undangan itu sudah ada. Kira-

kira begitu Pak. Jadi menurut saya ya Pak, menurut polisi juga tidak apa karena bagaimanapun kita

tinggal mengadopsi apa yang dinyatakan oleh kehendak rakyat dalam suatu peraturan perundang-

undangan itu. Hanya saja nanti apakah itu disalahgunakan apa tidak, dimana-mana penyalahgunaan

itu selalu ada kan tinggal kontrolnya dimana.

Kemudian juga mengenai asas timbal balik, itukan pada prinsipnya terdapat didalam

perjanjian-perjanjian internasional. Tapi kita kan bangsa Indonesia setiap tamu itukan menjadi raja

yang selalu kita layani dengan baik, apakah kita keluar negeri tidak dilayani, ini tergantung pada

budaya disana Pak kadang-kadang Pak. Budaya disana kalau kita juga keluar negeri, kalau orang luar

negeri datang kesini tamu-tamu dan lain sebagainya tidak perlu dia melapor kepada imigrasi, kita

kumpul saja protokoler langsung saja, oke. Tapi kalau kita keluar negeri, biar juga Jenderal Kapolri,

juga disuruh berdiri saja antri tetap, di Eropa apalagi dan di Amerika. Melewati juga gerbang imigrasi

disuruh buka semua, sepatu, ikat pinggang sampai tidak bunyi. Tapi kalau masih ada tenggara kita

juga tinggalannya protokoler dari kedutaan juga lewat, ini kadang-kadang, karena tidak bisa prioritas

kita tanya begitu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tanya orang Deplunya disana Pak, sory ya,

memang ketentuan seperti disini. Lalu bagaimana kira-kira kita harus menyesuaikan disana, jadi

bukan artinya bahwa tamu kita hormati luar biasa disini, sedangkan kita keluar negeri saja tidak, ini

tergantung pada ketentuan yang ada disana Pak.

Mengenai tata-tata iringan juga diatur dalam protap kepolisian juga ada Pak. Ini protap-protap

mengenai mengenai pengaturan Turjawalinya Pak. Prioritas-prioritas kepada Presiden ini juga tapi

yang perlu bagi saya untuk mengejar sidang itu Pak harus ada kalau itu seperti di Amerika memang

jelas bahwa di Amerika memang Anggota-anggota Kongres itu luar biasa penghormatannya kan

disana, bahkan kalau membawa undang-undang hanya Kongres saja tidak perlu ada Presiden disana

ya Pak, hanya diserahkan semuanya kepada DPR-nya, kalau kita masih ikut juga, cuma Presidennya

mempunyai hak veto, suka undang-undang yang dibikin oleh Federal tidak mau dia, ya di veto dia.

Akhirnya jalan keluarnya DPR-nya kalau bersidang mereka mengadakan pemungutan suara 50

tambah 1, nolak veto ya berarti Kongres yang kuat. Itu juga perlu nanti mendapat suatu prioritas

tertentu dalam hal mengejar satu sidang hanya saja teknisnya bagaimana, kadang-kadang juga

diberikan kebebasan kepada quota. Ini juga kadang-kadang banyak penyelewengan-penyelewengan

itu, sehingga di lapangan juga seperti three in one, dari Lemhanas juga minta tanda tersendiri juga,

akhirnya Anggotanya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini kadang-kadang kita masih melihat postur-

postur melihat kepada siapa ini pejabat ini sehingga masa sidang terus, tidak mungkin kan Pak.

ARSP DPR R

I

Page 21: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

74

F- PD (DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH., L.LM):

Interupsi Pimpinan.

Tadi ini mohon penjelasan lebih detail belum terjawab tadi mengenai simbol-simbol, lalu

kedua mengejar sidang itu, ini pengalaman saudara tadi saya dengar pernah di Amerika dimana ya,

mungkin perlu dijelaskan disini jangan dilempar ke kami, karena diundangnya Bapak kemari untuk

menjelaskan kira-kira teknisnya bagaimana, perlu masukan buat kami dalam rangka menyusun ini.

Jadi mohon kiranya lebih detail bagaimana solusinya tadi. Mengejar sidang tadi sudah dijawab, tapi

masih umum sekali menurut saya. Juga simbol-simbol Anggota DPR tadi ada yang ditanya oleh

beberapa rekan belum ini. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Kita berakhir pada pukul 12.30 jadi waktu masih 20 menit, saya minta singkat Pak.

WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):

Jadi tentunya Pak, seharusnya karena belum diatur disini seperti saya katakan tadi,

sebaiknya dirumuskan dulu disini karena kalau kita lihat, saya ulangi Pak. Kita lihat disini mulai dari

defenisinya ini tidak ada ada mengatur hak-hak previlIage khusus kepada satu badan. Tapi disinikan

dirangkum dalam arti luas Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Tingkat I, Tingkat II termasuk tokoh, dan

lain sebagainya. Dan didalam pengaturan itu kalau kita baca disini tidak menyinggung pada suatu

hak-hak previllage pada satu badan atau kepada DPR. Dan lebih banyak penekanan pengaturan Pak,

hanya pada tata cara penghormatan, tata cara mengatur duduk, tata cara untuk menyanyikan lagu

Indonesia Raya. Jadi bagaimana juga saya mau mencantumkan, mengomentari dan memberikan satu

solusi disini sebelum saya lihat juga misalnya satu formulasi yang dicantumkan didalam satu pasal

tertentu disini. Tentu apakah ini dimungkinkan untuk membuat suatu bab tersendiri disini apa tidak, ini

Pak. Saya lihat disini Pak kalau kita lihat artinya dalam pelaksanaan acara kenegaraan dan acara

resmi, tata tempat dan tamu negara penyelenggara protokoler. Apakah mungkin nanti kalau

diperbincangkan apakah hanya mungkin kepada Bapak saja yang ditentukan seperti ini karena kalau

kita lihat kembali kepada konstitusi sekarang ini sudah ada 9, kan begitu Pak penambahan. Ada juga

KY, ada Komisi Pemilihan Umum, ada MK, ini yang sudah masuk ada DPD, ini sudah masuk didalam

konstitusi, apakah mereka nanti tidak menuntut kami juga, sama kedudukannya, dibuat dalam

konstitusi katanya begitu. Ini menjadi persoalan juga nanti dari yang lain Pak.

Kalau saya menyarankan juga kalau disini bagaimana kira-kira kalau toh mau membahas

misalnya Susduk DPR dan lain sebagainya kira-kira. Itu saran saya juga sehingga lebih spesifik

masuk kepada susunan kedudukan dari Anggota DPR, DPD, kemudian juga DPRD dan MPR.

DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)

Sedikit Pak, tadi apa yang ditanyakan Pak rekan kita tadi. Coba Bapak punya lampiran yang

ini perubahan yang tadi seperti apa yang disampaikan, ini coba Bapak lihat dari Pasal 5 menyisipkan

pasal baru, ini kira-kira seandainya menurut pandangan Bapak, karena Bapak narasumber disini

nantinya memberikan masukan kepada kita semua. Pengaturan protokol “a”, “b”, kira-kira menurut

Bapak bagaimana ini, artinya bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas atau dari sisi etika

ARSP DPR R

I

Page 22: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

75

didalam menjalankan tugas fungsi di lapangan bagaimana ? yang halaman 2 Pak. Monggo ini coba

supaya lebih tajam, apa yang dikehendaki teman kita untuk fokus tentang hak previllage yang ada di

sini terkait masalah simbol, sehingga kita bisa diketahui oleh masyarakat bahwa kita menjalankan

fungsi tugasnya. Itu kira-kira begitu Pak. Sehingga dalam atribut tadi mungkin nomor polisi, sehingga

ketika Bapak sampaikan ketika macet tadi, mudah-mudahan bantuan Kepolisian untuk membantu

dalam proses aksesbilitas tadi.

Terima kasih.

H. TB. SOENMANDJAJA, SD (WAKIL KETUA / F- PKS):

Sebentar Pak Panggabean, sekaligus Bapak juga menghubungkan dengan statement Ketua

tadi berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 sudah ada kopiannya kita semua

halaman 71 saya bacakan ulang bagian kedelapan. Hak utama pengguna jalan untuk kelancaran: 1)

pengguna jalan yang memperoleh hak utama, Pasal 134; “Pengguna jalan yang memperoleh hak

utama untuk didahulukan sesuai dengan keurutan berikut;..” Ini ada huruf “g” Pak, yang kami

garisbawahi adalah “konvoi dan atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan

petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Nanti pengaturan itu dalam PP Pak, atau mungkin dalam aturan-aturan lain. Sebab kalau

disebut disinikan ada pengaturan lebih lanjut. Jadi ini mohon dikomparasikan Pak, jadi bahasa

sederhananya begini seumpama dalam Rancangan Undang-Undang Protokol tidak bisa dipaksakan

soal nomor, ini nanti entry pointnya ada pada Undang-Undang Lalu Lintas ini, dan itu otoritas

Kepolisian. Karena itulah kemudian Pak Ketua alhamdulillah, sudah berkomunikasi dengan Pak

Kapolri mencoba nanti melalui Rapat Kerja tentunya bersama Pemerintah, mungkin ini menjadi bagian

yang tampaknya akan krusial di RUU Protokol namun tidak demikian karena sudah ada entry pointnya

di huruf ini. Begitu Pak Ketua tambahan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik, tambahan dari kami.

Dari penjelasan Pak Panggabean, itu Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 yang Bapak

sampaikan Pasal 134 sudah jelas ya Pak itu sebagai entry point. Dan kemudian saya harus

sampaikan didepan Bapak bahwa, minggu lalu saya sudah berkoordinasi, berkonsultasi dengan

beliau Kapolri, lebih khusus menanyakan bagaimana perlakuan terhadap Anggota MPR yang

notabene adalah Anggota DPR dan DPD untuk mendapatkan hal-hal yang tadi kita bicarakan dan

beliau justru menyampaikan kepada saya dan akhirnya kita bertemu pada pagi hari ini, dan Bapak

dari Kepolisian sebagai narasumber untuk kita berkonsultasi bagaimana yang terbaik, pintu masuknya

sudah jelas ada. Kemudian Bapak tadi menyatakan ini adalah Hak Pejabat Negara dalam rangka

melaksanakan tugas, tinggal semuanya ditentukan balik lagi kepada kita bagaimana maunya nanti,

tinggal dipertimbangkan oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, begitu ya Pak?

Beliau menyampaikan kepada saya bahwa, kebetulan beliau adalah adik saya Pak, nasibnya

lebih bagus, saya lebih jelek. Saya hanya menyampaikan kepada beliau bagaimana kira-kira, mas

ARSP DPR R

I

Page 23: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

76

silakan saja nanti konsultasi dengan saya punya perangkat kalau memang nanti bisa direspon why

not. Oleh karena itu dengan perbincangan kita tadi kita akan segera membuat suatu rumusan

susunan yang diinginkan seperti apa, nanti kita umpan balik lagi kepada rekan Kepolisian, kalau itu

bisa direspon alhamdulillah dan kita mengucapkan terima kasih. Saya rasa seperti itu Pak, terima

kasih Pak.

WAKADIV BINKUM POLRI PANGGABEAN (RM. PANGGABEAN):

Baik Pak, jadi konvoi kendaraan atau menurut pertimbangan Kepolisian, maka ini sebenarnya

sedang disusun Peraturan Kepolisian Pak, Peraturan Tata Cara Pemberian SIM, tata cara kemudian

melakukan pengawalan konvoi.

Terkait juga dengan ini masalah pertimbangan-pertimbangan kepolisian dalam hal pemberian

seperti ini plat-plat nomor itu boleh saja Pak, tidak ada masalah itu Pak dari Kepolisian karena tugas-

tugas kepolisian itu sangat luas. Jadi apakah ini diskresi, kalau diskresi itukan sifatnya hanya

sementara dan kalau sudah jelas diatur dalam undang-undang bukan diskresi namanya. Jadi untuk

hal-hal seperti ini cukup banyak pertimbangan, cukup dibuat dalam produk peraturan kepolisian,

sudah dibuat dalam peraturan kepolisian dalam pemberian plat nomor khusus dan lain sebagainya

dan tidak perlu diatur dalam suatu teknik Peraturan Perundang-Undangan. Terlalu teknis nanti Pak,

jadi nanti kalau ada perubahan-perubahan nanti jadi berat, harus berubah undang-undang satu

katapun menjadi masalah. Itu kira-kira yang terkait dengan masalah 34 itu Pak.

Kemudian masalah-masalah yang lain saya kira sudah hampir terjawab, kalau tadi masalah

Bapak keluhannya kambing hilang, ya inikan polisi, polisi Bapak, Bapak juga harus bertanggung

jawab perbaikilah.

Kemudian masalah anggaran, saya kira bukan porsi juga ya Pak, terlalu riskan padahal

semua anggaran itu harus diatur dengan DIPA. Jadi kalau dia Polri sudah terfokus dalam hal DIPA

tahunan. Tapi Pemda selalu juga, dia menyelenggarakan ya terpaksa kegiatan itu dibantu Pak. Nanti

ada dibantu kok, cuma bagaimana pertanggung jawabannya, itu urusan PP jadinya itu. Saya kira itu

ya. Baik.

KETUA RAPAT:

Terima kasih atas segala masukan dari narasumber rekan Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Yang saya hormati Saudara dari jajaran Kepolisian,

Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati,

Serta Hadirin sekalian yang berbahagia,

Dengan demikian selesailah rapat pada hari ini, rapat yang sifatnya konsultatif dimana

pandangan dan pendapat masukan Bapak kami tampung dan pada akhirnya akan menjadi masukan

dalam rangka memberikan jawaban bagaimana isian DIM yang disampaikan Pemerintah. Akhirnya

selaku Pimpinan rapat, perkenankanlah saya sekali lagi menyampaikan ucapan terima kasih kepada

narasumber dan terima kasih pula kepada rekan-rekan Anggota Pansus atas kebersamaan,

kesabaran dan ketekunannya didalam mengikuti rapat pada hari ini.

ARSP DPR R

I

Page 24: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4. 28. · Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol

77

Dengan ini rapat saya nyatakan ditutup, dengan mengucapkan alhamdulillahirabbil alamin.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 12.25 WIB)

( KETOK PALU 3 X

Jakarta, 15 Juni 2010

a.n. KETUA RAPAT

SEKRETARIS RAPAT,

ttd

UDRS. BUDI KUNTARYO.

NIP. 19630122 199103 1 001

ARSP DPR R

I