documentbi
DESCRIPTION
TR5R54R5RTRANSCRIPT
PENGARUH LAMA PAPARAN FORMALIN TERHADAP DERMATITIS KULIT
MAKALAH
BAHASA INDONESIA
Oleh :
RIFKA NUR LAILI
NPM : 11700298
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Pengaruh Lama Paparan Zat formalin terhadap Dermatitis”
Penyusunan makalah ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaaikan tugas mata kuliah bahasa Indonesia Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini telah banyak mendapat dukungan dan bantuan baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan dan harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
Judul................................................................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................................iv
Abstrak...........................................................................................................................vi
Daftar Isi........................................................................................................................viii
PENDAHULUAN
A.LatarBelakang...........................................................................................1
B.RumusanMasalah......................................................................................2
C.Tujuan Penulisan.......................................................................................3
D.Manfaat Penulisan.....................................................................................4
PEMBAHASAN
A. Teori ……………………………………………………………………5
PENUTUP
Kesimpulan ………………………………………………………………..6
Saran……………………………………………………………………….7
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,2 m2 dengan berat kira-kira
15% berat badan. Kulit berat badan.Kulit merupakan organ yang esensial dan vital
serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastis dan sensetif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga
bergantung pada lokasi tubuh. Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna
terang (fair skin), pirang dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan
tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada genetalia orang dewasa. Demikian
pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya kulit yang elastis dan
longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang
terdapat ditelapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka
yang lembut pada leher dan badan, dan yang berambut kasar terdapat pada kepala
(Syarif M.Wasitaatmadja FK UI).
Iritasi kulit adalah kondisi pada kulit yang muncul akibat kontak yang
berkepanjangan dengan zat kimia atau faktor lainnya. Setelah beberapa waktu
kulit akan mengering, terasa nyeri, mengalami perdarahan dan pecah-pecah
(widyastuti, 2006).
Formalin atau senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal),
merupakan aldehida berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida
awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi
diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867. Formaldehida bisa dihasilkan dari
pembakaran bahan yang mengandung karbon. Terkandung dalam asap pada
kebakaran hutan, knalpot mobil dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi,
formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana
dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali
juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia
(Reuss 2005).
Formalin adalah nama dagang dari campuran formaldehid, metanol dan
air. Formalin yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid yang
bervariasi, antara 20% – 40%. Formalin memiliki kemampuan yang sangat baik
ketika mengawetkan makanan, namun walau daya awetnya sangat luar biasa,
formalin dilarang digunakan pada makanan. Di Indonesia, beberapa undang-
undang yang melarang penggunaan formalin sebagai pengawet makanan adalah
Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999
tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu yang
ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
PEMBAHASAN
A. Teori
Pengertian Dermatitis
Menurut Sri Adi dan Suria Djuanda FK UI Dermatitis adalah peradangan
kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen
dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Menurut michael dermatitis kontak merupakan suatu respon inflamasi dari
kulit terhadap antigen atau iritan yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan
rasa malu dan merupakan kelainan kulit yang paling sering pada pekerja
(Michael 2005). Menurut Hayakawa dermatitis kontak merupakan inflamasi non
alergik pada kulit yang diakibatkan senyawa yang kontak dengan kulit tersebut
(Hayakaya 2000) dan menurut hudyono dermatitis kontak adalah kelainan kulit
yang di sebabkan oleh bahan yang mengenai kulit, baik melalui mekanisme
imunologik (melalui reaksi alergi), maupun non-imunologik (dermatitis kontak
iritan) (hudyono, 2002).
a. Jenis Dermatitis Kontak
Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Perbedaan prinsip antar keduanya adalah dermatitis kontak
iritan terjadi karena adanya penurunan kemampuan kulit dalam melakukan
regenerasi sehingga mudah teriritasi oleh bahan-bahan tertentu. Penurunan
kemampuan ini dipengaruhi oleh selaput tanduk dan kandungan air pada sel tanduk
tersebut. Pada dermatitis kontak alergi, paparan bahan kimia menimbulkan
rangsangan tertentu pada imunitas tubuh. Rangasangan ini akan menyebabkan reaksi
hipersensitivitas dan peradangan kulit disini hanya terjadi pada seseorang yang
mempunyai sifat hipersensitif (mudah terkena alergi).
b. Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi lokal pada kulit yang
bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya eritema (kemerahan), edema
(bengkak) ringan dan pecah-pecah setelah terjadi pajanan bahan kontakan dari
luar. Bahan kontakan ini dapat berupa bahan fisika atau kimia yang dapat
menimbulkan reaksi secara langsung pada kulit (Firdaus, 2002). Dermatitis
kontak iritan merupakan respon non-spesifik kulit terhadap kerusakan kimia
langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar
berasal dari sel epidermis (Michael, 2005).
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Faktor yang dimaksud yaitu : lama kontak, kekerapan (terus menerus atau
berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel. Demikian pula
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan
(Suria djuanda, FK UI 2007).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,
misalnya perbedaan ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas : usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah
teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih); jenis kelamin
(insiden DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang
dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis
atopik (Suria Djuanda, 2007).
c. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi merupakan salah satu tipe penyakit kulit akibat
sensitivitas yang tinggi terhadap suatu zat kimia. Zat kimia dalam kadar rendah
yang biasanya tidak menyebabkan iritasi kulit, akan menimbulkan kerusakan
pada kulit akibat sensitivitas. Gejala dari dermatitis kontak alergi antara lain
ruam kulit, bengkak, gatal-gatal dan melepuh. Gejala tersebut biasanya akan
lenyap begitu kontak dengan zat kimia penyebab dihentikan, tetapi akan muncul
lagi ketika kulit kembali terpapar (Widyastuti, 2006).
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum di proses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup) (Suria
Djuanda, 2007).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor
individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,
terpajan sinar matahari). (Djuanda, 2007).
d. Patogenesis dermatitis kontak
Mekanisme terjadinya dermatitis kontak pada kulit akan dibahas dibawah ini :
1. Dermatitis kontak iritan
Pada dermatitis kontak iritan, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya
ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak (lipid
membran) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan
merusak lisosom, mitokondria atau komponen inti. Ketika terjadi kerusakan sel
maka akan timbul gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak berupa
eritema, endema, panas, nyeri bila iritan kuat. Bila iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel
dibawahnya oleh iritan (Djuanda FK UI, 2007).
2. Dermatitis kontak alergi
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
mengikuti respon imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipeb
1V. Reaksi ini timbul melalui dua fase, yaitu fase sensitasi dan fase elisitasi.
Fase sensitisasi terhadap sistem kekebalan tubuh berlangsung selama 2-3
minggu. Pada fase ini, hapten (zat kimia atau antigen yang belum diproses)
masuk ke dalam epidermis melalui stratum korneum dan ditangkap oleh sel
langerhans yang kemudian akan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom
atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen
lengkap. Sel langerhans melewati membran basal bermigrasi ke kelenjar getah
bening setempat melalui kelenjar limfe. Di dalam kelenjar tersebut sel
langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T
spesifik untuk diproses (dikenali). Setelah di proses, turunan sel ini yaitu sel T
memori akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh
tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi (Djuanda FK UI,
2007).
Jika individu sudah tersensitisasi, maka saat kontak dengan zat yang sama
dapat menyebabkan reaksi alergi walaupun kontak bahan kimia dengan dosis
sangat rendah, proses ini disebut fase elisitasi. Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam (Djuanda FK UI, 2007).
e. Gambaran Klinis Dermatitis kontak
Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan bergantung pada keparahan
dermatitis. Dermatitis kontak alergi umumnya mempunyai gambaran klinis
dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas
tegas. Dermatitis kontak iritan pada umumnya mempunyai ruam kulit yang
lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis
kontak alergi.
1. Fase akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi
iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam ataupun oleh
detergen. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam
waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi
ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi (Djuanda FK UI, 2007).
Pada dermatitis kontak alergi akut, kelainan kulit umumnya muncul 24-48
jam setelah melalui proses sensitasi. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi,
ada yang ringan ada yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema
(kemerahan) atau edema (bengkak), sedangkan pada yang berat selain eritema
(kemerahan) dan edema (bengkak) yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula
(tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi (cairan).
Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Dalam fase ini keluhan
subyektif berupa gatal (Djuanda FK UI, 2007).
2. Fase Kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan
lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi karena kerjasama berbagai
macam faktor. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2007).
Pada dermatitis kontak alergi kronik merupakan kelanjutan dari fase akut
yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema
ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini
sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang
tidak dikenal (Djuanda, 2007).
Selain berdasarkan fase respon peradangannya, gambaran klinis dermatitis
kontak dapat juga dilihat menurut prediksi regionalnya. Hal ini akan memudahkan
untuk mencari bahan penyebabnya (Trihapsoro, 2003).
3. Dermatitis pada tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering terdapat
pada bagian tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan merupakan bagian tubuh
yang paling sering digunakan untuk melakukan kegiatan, sehingga sering
berkontak langsung dengan bahan kimia.
g.Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya dermatitis diantaranya
molekul, daya larut dan konsentrasi bahan dan faktor lain yaitu lama kontak. Suhu
dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan. Faktor individu juga ikut
berpengaruh pada dermatitis kontak, misalnya usia (anak dibawah umur 8 tahun
dan usia lebih lanjut mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit
putih), jenis kelamin (insidensi Dermatitis kontak iritan lebih banyak pada
wanita), penyakit kulit yang sedang atau dialami (ambang rangsang terhadap
bahan iritan menurun) misalnya dermatitis atopik (Djuanda, 2007).
Menurut Coben E David (1999), faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya dermatitis adalah Direct causes, yaitu berupa bahan kimia dan indirect
Causes yang meliputi penyakit yang telah ada sebelumnya, usia, lingkungan dan
personal hygiene. Kelainan kulit akibat dermatitis ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, serta suhu bahan iritan tersebut, selain itu juga
dipengaruhi faktor lain yaitu lama kontak, kekerapan, (terus-menerus atau
berselang), suhu dan kelembaban lingkungan (Freedberg dkk, 2003).
Berdasarkan beberapa sumber yang menjelaskan tentang faktor penyebab
dermatitis diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang dominan
menyebabkan terjadinya dermatitis, yaitu faktor langsung (bahan kimia ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi dan lama kontak) dan faktor tidak langsung
(suhu, kelembaban, usia, jenis kelamin, ras, riwayat penyakit kulit sebelumnya,
personal hygiene dan penggunaan APD).
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting untuk
melindungi tubuh dari bahaya pekerjaan yang dapat mengakibatkan penyakit
atau kecelakaan kerja. Agar terhindar dari cipratan bahan kimia dan
menghindari kontak langsung dengan bahan kimia perlu menggunakan APD
seperti pakaian pelindung, sarung tangan, masker dan safety shoes. Penggunaan
APD salah satu cara untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak, seperti pada
beberapa penelitian dibawah ini :
1. Erliana (2008) pada pekerja percetakan paving blok, menunjukan bahwa pekerja
yang tidak menggunakan APD 87,5% menderita dermatitis kontak dibandingkan
dengan pekerja yang menggunakan APD hanya 19%.
2. Suryani (2008), didapatkan hasil sebanyak 23 orang yang mengalami dermatitis
kontak dari 30 orang yang tidak menggunakan APD yang lengkap. Sedangkan
pekerja yang menggunakan APD lengkap yang mengalami dermatitis kontak
hanya sebanyak 4 orang dari 16 orang.