balai pengkajian bioteknologi deputi bidang teknologi

74
B IOTEKNOLOGI & IOSAINS ISSN 2442 - 2606 Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi B VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana Van Tiegh) Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN) Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana Van Tiegh) Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN) Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

B IOTEKNOLOGI &

IOSAINS

ISSN 2442 - 2606 Balai Pengkajian Bioteknologi

Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

B VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform)

UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN

HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL

Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR

MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN

KONSENTRASI PLASMID

Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria

beccariana Van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon

sagu Rottb.) USING AUXIN

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE

MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN)

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform)

UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN

HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL

Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR

MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN

KONSENTRASI PLASMID

Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria

beccariana Van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon

sagu Rottb.) USING AUXIN

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE

MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN)

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

Page 2: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI CENTER FOR BIOTECHNOLOGY ASSESMENT

KOMPETENSI

Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT

Center for Biotechnology Assessment - BPPT

Membangun keunggulan

bioteknologi industri, kesehatan, dan

pertanian untuk meningkatkan

daya saing industri dan

pertumbuhan ekonomi Nasional

Pelayanan Teknis

Pengujian

Teknologi Mikropropagasi

Tanaman

Teknologi

Agromikrobiologi

Balai Pengkajian Bioteknologi

Center for Biotechnology Assessment

Kawasan PUSPIPTEK Gedung 630, Setu - Tangerang Selatan

BANTEN – Indonesia

Telp. +62 21 7563120, Fax +62 21 7560208

Teknologi Ex-vitro

Tanaman

Rekayasa Industri

Berbasis Bioteknologi

Aplikasi Bioteknologi

Pakan Ternak

Laboratorium Rekayasa Genetika

Laboratorium Mikrobiologi

Laboratorium Mikrobiologi Vitamin dan Enzim

Laboratorium Teknologi Fermentasi

Laboratorium Rekoveri dan Ekstraksi Senyawa Obat

Laboratorium Analitik dan Kontrol Kualitas

Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman

Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak

Laboratorium Agromikrobiologi

Pilot plant fermentasi (bioreaktor : 75l L (3 buah), 500 L, dan 2.500 L)

Pilot plant penapisan (recovery)

Filtrasi membran mikro, ultra nano dan Reverse Osmosis Destilasi dan stripping Kristalisasi dan Pengeringan vakum

Sentrifugasi dan Ekstraksi (padat/cair dan cair/cair)

Pilot plant teknologi mikropropagasi tanaman (In Vitro)

Pilot plant teknologi Ex Vitro Unit pengolah limbah Cair aerob/anaerob

Fasilitas Pilot Plant Fasilitas Laboratorium

CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY ASSESSMENT

Teknologi Fermentasi &

Proses Hilir

Rekayasa Genetika

Terapan

Page 3: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform)

UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN

HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL

Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR

MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN

KONSENTRASI PLASMID

Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria

beccariana Van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

USING AUXIN

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE

MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN)

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

ISSN 2442 - 2606

JURNAL

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015

Indonesia

Page 4: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia terbit 2 kali setahun sejak Desember 2014

Penanggung Jawab

Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi

Ketua Dewan Redaksi

Dr. Rofiq Sunaryanto

Dewan Redaksi

Drs. Tarwadi, M.Si

Dr. Anis H Mahsunah, M.Sc

Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc

Juwartina Ida Royani, M.Si

Dr. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc

Redaktur Pelaksana

Endah Dwi Hartuti, S.Si, Apt

Diana Dewi, M.Si

Mitra Bestari

Dr. Pudjono (Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada)

Dr. Elok Zubaidah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)

Dr. Josephine Elizabeth Siregar, M.Sc (Eijkman Institute Indonesia)

Dr. Mulyoto Pangestu, PhD (Monash Clinical School, Monash Universit, Australia)

Marwan Diapari, PhD (London Research & Development Centre, Agriculture & Agri-Food, Canada)

Desain Grafis & Informatika

Dr. rer.nat. Catur Sriherwanto

Sekretariat & Distribusi

Siti Zulaeha, S.Si

Imron Rosidi, M.Si

Nuryanah, S.E.

Alamat Redaksi

Balai Pengkajian Bioteknologi, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – BPPT, Gedung 630 Kawasan Puspiptek

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314, Indonesia, Telp. +62 21 7563120, Fax. +62 21 7560208

E-mail: [email protected] [email protected]

Page 5: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

i

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami kembali

menghadirkan Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Volume 2 Nomor 2.

JBBI merupakan media publikasi ilmiah bagi para peneliti, perekayasa, praktisi,

akademisi dan pengamat di bidang bioteknologi dan biosains. Naskah mencakup

beberapa bidang bioteknologi seperti bioteknologi pertanian, bioteknologi industri,

bioteknologi kesehatan, bioteknologi lingkungan dan lain sebagainya.

Edisi ini memuat 7 makalah ilmiah dari hasil penelitian, pengembangan teknologi dan

kerekayasaan, serta 1 makalah ulasan singkat. Edisi ini menampilkan kajian potensi

dari tanaman keladi tikus, kelapa sawit, gaharu, sagu dan beberapa tanaman air.

Makalah tentang plasmid memaparkan tentang pengembangan metode untuk

meningkatkan konsentrasinya. Sebagai makalah penutup, produksi enzim D-asam

amino oksidase dan aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam sebuah

tinjauan.

Dalam menyusun dan menerbitkan jurnal ini, kami menyadari akan adanya kekurangan

dan kendala yang dihadapi. Untuk itu kami sangat mengharapkan sumbang saran dan

pemikiran demi kemajuan dan kesempurnaan JBBI pada edisi-edisi berikutnya.

Redaksi

Page 6: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

ii

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis yang dengan komitmen dan

semangat tinggi telah berkontribusi pada Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia

(JBBI) ini. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungannya untuk kelancaran penerbitan JBBI edisi Bulan Desember

2015.

Redaksi

Page 7: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

iii

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

DAFTAR ISI

Halaman:

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH

LEMBAR ABSTRAK

i

ii

iv

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati

88 – 94

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL

Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi

95 – 100

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada

101 – 105

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID

Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko

106 – 110

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana Van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono

111 – 118

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

119 – 126

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai

127 – 133

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN)

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

134 – 142

INDEKS PENGARANG

INDEKS KATA KUNCI

143

145

Page 8: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

iv

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK Isolation and amplification of Keladi tikus (Thyponium flagelliform) DNA for identification of genetic variation

M Fazri Hikmatyar

1, Juwartina Ida Royani

2,*, Dasumiati

1

1Jurusan Bioteknologi, Fakultas Teknologi dan Sains,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan 2Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):88-94

ABSTRACT Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) is one of considerable potential medicinal plants, especially as anticancer herbal medicine. In Indonesia, this plant grows throughout the island of Java, in part of Kalimantan, Sumatra and Papua. The development of Keladi tikus plants to provide raw material to meet public demand is constrained with the quality of the plants that is not standardized yet. DNA marker technique has been widely used for identification of standardization and diversity of varieties. The aims of this research were to isolate DNA from 17 accessions of Keladi tikus from various regions in Indonesia and to amplify the DNA using ISSR primers. The results obtained were 17 accessions of Keladi tikus that had been isolated using the modified CTAB method. Amplifications were done by using SBLT2 and SBLT8 primers that facilitated the appearance of the polymorphism bands on the 17 accessions of Keladi tikus. Thus, SBLT2 and SBLT8 primers can be used to identify genetic variations of Keladi Tikus. Keywords: Typonium flagelliforme, Keladi tikus, ISSR, medicinal plant, amplification

ABSTRAK Keladi tikus (Typonium flagelliforme) merupakan salah satu tanaman obat yang cukup potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua. Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi bahan baku kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk standarisasi dan identifikasi keragaman varietas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan primer ISSR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17 aksesi keladi tikus telah dapat diisolasi dengan menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Amplifikasi dilakukan dengan primer SBLT2 dan SBLT8 yang mampu memunculkan pita-pita polimorfisme pada ke 17 aksesi Keladi tikus. Primer SBLT2 dan SBLT8 dapat digunakan untuk identifikasi variasi genetic Keladi tikus. Kata Kunci: Keladi tikus, Typonium flagelliforme, ISSR,

tanaman obat, amplifikasi

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN AIR PANAS BERTEKANAN DAN BALL MILL

Production of Bioethanol from Old Trunks of Palm Oil Using Hot Compressed Water and Ball Mill

Suyanto

1,*, Kotetsu Matsunaga

2, Hiroyuki Inoue

2, Kinya Sakanishi

2

1 Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten

153142Biomass Technology Reseach Center, AIST, Hiroshima, Japan.

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):95-100

ABSTRACT Bioethanol from oil palm trunk is one important source of energy to reduce greenhouse gas emissions and to avoid competition between the use for food and for energy as happens in other commodities. Pre-treatment of lignocellulosic biomass using sulfuric acid has high efficiency but requires high cost to neutralize the byproducts formed. Pre-treatment using hot compressed water and ball mill can be used to break down the structure and composition of lignocellulose so as to increase the rate of enzymatic hydrolysis and increase the sugar yield. Hydrolysis using an enzyme cocktail with hot compressed water and ball mill can each produce 210 mg of glucose at a temperature of 220°C and 200 mg of glucose for 120 minutes at room temperature per gram of oil palm trunk. Both of these processes are environmentally friendly and have a high efficiency in the production of bioethanol from oil palm trunks. Keywords: bioethanol, oil palm trunk, ball mill, hot compressed water, hydrolysis

ABSTRAK

Bioetanol dari batang kelapa sawit adalah salah satu sumber energi yang penting untuk mengurangi emisi rumah kaca dan menghindari konflik kepentingan antara kebutuhan bahan pangan dan penggunaan energi sebagaimana terjadi pada komoditas lain. Pengolahan awal biomassa lignoselulosa menggunakan asam sulfat memiliki efisiensi yang tinggi tetapi membutuhkan biaya yang tinggi guna menetralisisr produk samping yang terbentuk. Pengolahan awal menggunakan air panas bertekanan dan ball mill dapat digunakan untuk memecah

struktur dan komposisi lignoselulosa sehingga dapat meningkatkan laju hidrolisis enzim dan meningkatkan hasil gula. Hidrolisis menggunakan multienzim dengan air panas bertekanan dan ball mill masing-masing dapat

menghasilkan 210 mg glukosa pada suhu 220°C dan 200 mg glukosa selama 120 menit pada suhu kamar per gram batang kelapa sawit. Kedua proses tersebut ramah lingkungan dan memiliki efisiensi yang tinggi pada produksi bioetanol dari batang kelapa sawit.

Kata Kunci: bioetanol, batang kelapa sawit, ball mill, air

panas bertekanan, hidrolisis

Page 9: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

v

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Phytoremediation of Chromium in Aqueous Waste Using Aquatic Plants

Anna Safarrida

1,*, Ngadiman

2, Jaka Widada

2

1Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

2Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, UGM

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):101-105

ABSTRACT Existence of heavy metals in industrial waste is gaining global attention since their negative impact to environment. One of the efforts to solve the problem was to use plant to absorb metal in liquid medium, known as rhizofiltration. This research was aimed to select aquatic plants which showed relative resistantce and susceptibility to chromium. Four species of aquatic plants (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor and Salvinia sp.) were grown in artificial medium (Hoagland) supplemented with 0, 1, 2, 4 and 8 ppm chromium. The plants resistance and absorption toward chromium was observed based on the morphology and chromium content in their biomass. Based on their resistance to and absorption of chromium, the selected plants were tested further in liquid waste of tanning industry. In Hoagland medium, Salvinia sp. demonstrated 67.2% higher resistance and absorption toward chromium while that of P. stratiotes 20.3% lower compared to other plants which were tested. This result could be applicable in reducing such environmental pollutant as the heavy metal chromium from industrial waste. Keywords: Phytoremediation, chromium, Hoagland medium, aquatic plants, liquid waste

ABSTRAK

Logam berat dalam limbah industri merupakan bahan pencemar lingkungan yang mendapatkan perhatian global. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tanaman untuk menyerap logam dalam medium cair atau dikenal sebagai fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. Empat spesies tanaman air (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) ditumbuhkan pada medium buatan

(Hoagland) yang dipasok kromium 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm. Pengujian toleransi tanaman dan serapan terhadap kromium dilakukan berdasarkan pengamatan morfologis serta analisis kadar kromium dalam biomasa. Berdasarkan daya tahan dan serapan kromium, tanaman terseleksi diujikan lebih lanjut dalam limbah cair industri penyamakan kulit. Dalam medium Hoagland, Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sedangkan P. stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman lain yang diujikan. Hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk mengurangi bahan pencemar lingkungan berupa logam berat kromium dari limbah industri. Kata Kunci: Fitoremediasi, kromium, medium

Hoagland, tanaman air, limbah cair

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Optimization of Alkaline Lysis Method for the Improvement of Plasmid Concentration

Dudi Hardianto

1,*, Alfik Indarto

2, Nurtjahjo Dwi Sasongko

2

1Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

2Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah 53122

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):104-110

ABSTRACT Plasmids are extra chromosomal molecules of DNA that replicate autonomously and found in prokaryote and eukaryote cells. There are a number of methods that are used to isolate plasmids, such as alkaline lysis, boiling lysis, using cesium chloride, and chromatography. Amongst the disadvantages in plasmid isolation methods are lengthy time especially when handling a large number of samples, high cost, and low purity. Alkaline lysis is the most popular for plasmid isolation because of its simplicity, relatively low cost, and reproducibility. This method can be accomplished in 50 minutes to one hour. In this research, the alkaline lysis method was developed to obtain suitable plasmid for applications in a molecular biology laboratory. The aim of this research was to reduce contaminants and improve yield of plasmid. The result of isolation of pICZA plasmid in Escherichia coli gave the concentration of 3.3 to 3.8 µg/µL with the purity of 1.99. Keywords: Plasmid isolation, pICZ A, Escherichia coli, rapid, alkaline lysis

ABSTRAK

Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang bereplikasi secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Banyak metode yang digunakan untuk isolasi plasmid, seperti: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, penggunaan sesium klorida, dan kromatografi. Kelemahan beberapa metode isolasi DNA adalah waktu isolasi yang lama terutama saat isolasi plasmid dalam jumlah banyak, mahal dan kemurniannya yang rendah. Metode lisis alkali merupakan metode yang sangat umum untuk isolasi plasmid karena mudah dilakukan, relatif murah, dan reprodusibilitas. Metode ini dapat dilakukan dalam 50 menit sampai 1 jam. Pada penelitian ini dikembangkan metode lisis alkali untuk memperoleh plasmid yang sesuai untuk penggunaan di laboratorium biologi molekuler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi jumlah kontaminan dan meningkatkan konsentrasi plasmid. Hasil isolasi plasmid pICZA dalam Escherichia coli mempunyai konsentrasi antara 3,3 sampai 3,8

µg/µL dan kemurniannya 1,99. Kata Kunci: Isolasi plasmid, pICZ A, Escherichia coli,

cepat, lisis alkali

Page 10: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

vi

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana van Tiegh) Elongation Study on In Vitro Agarwood (Aquilaria beccariana van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan

1,*, Edi Sandra

2, Daru Mulyono

3

1Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

2Fakultas Kehutanan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor

3Laboratorium Teknologi Produksi Pertanian BPPT, Gedung 612 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):111-118

ABSTRACT The population density of natural agarwood (Aquilaria beccariana) in Indonesia decreased to less than one tree per hectare. Efforts have been carried out on ex situ conservation of agarwood despite facing many obstacles. In vitro propagation is one alternative to speed up the recovery of natural agarwood populations. The purpose of this study was to obtain optimal elongation media for in vitro culture with addition of auxin and cytokinin, namely IBA, BAP and kinetin. The results showed that the best auxin-cytokinin combination was IBA 0.1 mg/L and BAP 0.05 mg/L. This combination increased the height and number of segments of A. beccariana with an average height of 1.64 cm and average number of sections of 6.40. It is suggested that this combination of IBA and BAP was the most effective compared to the other treatments. In addition, the combination of IBA 0 mg/L and BAP 0.03 mg/L gave rise to the best response to increase the number of shoots with an average of 1.91 shoots.

Keywords: Aquilaria beccariana, shoot, elongation, auxin, cytokinin

ABSTRAK Kepadatan populasi gaharu (Aquilaria beccariana) alam di Indonesia kurang dari satu pohon per hektar. Upaya pelestarian gaharu ex situ telah banyak dilakukan tetapi masih banyak kendala. Perbanyakan gaharu in vitro merupakan salah satu cara alternatif untuk mempercepat pemulihan populasi gaharu alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh media elongasi yang optimal pada kultur in vitro gaharu dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Pada penelitian ini digunakan auksin IBA, serta sitokinin BAP dan Kinetin. Hasil penelitian elongasi diperoleh kombinasi auksin dan sitokinin terbaik yaitu, IBA 0,1 mg/L dan BAP 0,05 mg/L. Kombinasi ini meningkatkan tinggi dan jumlah ruas Aquilaria beccariana dengan tinggi rata-rata sebesar 1,64 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan kombinasi IBA 0 mg/L dan BAP 0,03 mg/L memberikan respon terbaik terhadap peningkatan jumlah tunas dengan rata-rata sebanyak 1,91 tunas. Kata Kunci: Aquilaria beccariana, tunas, elongasi,

auksin, sitokinin

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Induksi Perakaran In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dengan Auksin

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):119-126

ABSTRAK Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) memiliki potensi yang besar sebagai sumber pangan, energi dan bahan baku industri. Kultur jaringan tanaman sagu telah dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dalam rangka perbanyakan genotipe atau aksesi unggul secara massal. Namun demikian, kendala utama yang dihadapi pada perbanyakan in vitro tanaman sagu adalah sulitnya pembentukan akar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi hormon yang tepat dalam menginduksi perakaran tanaman sagu in vitro. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari daerah Rangkasbitung, Provinsi Banten digunakan sebagai eksplan. Dalam penelitian ini perakaran in vitro diinduksi dengan berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi hormon auksin, konsentrasi medium dan jenis agar. Sebagai medium dasar digunakan medium Gamborg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan NAA yang terbaik adalah pada taraf 35 ppm. Selanjutnya Gelrite memberikan respon yang positif dengan munculnya perakaran pada pangkal eksplan. Kata Kunci: Induksi perakaran, jenis agar, kultur in vitro, auksin, sagu

ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb) has huge potential as food, energy and industrial bioresources. In vitro culture of sago palm was performed in Biotech Center, BPPT in order to obtain a large-scale of mass clonal propagation of superior genotypes. Nevertheless, the main obstacle for the sago palm in vitro propagation was rooting formation. The purpose of our study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots in vitro. The young suckers (15-20

cm) obtained from Rangkasbitung area, Banten Province, were used as explants. In our study, in vitro rooting was induced by different types and concentrations of auxin, medium strength and solidifying agents. The shoots were cultured on Gamborg media. The result showed that the best level of both hormones IBA and NAA for root induction was 35 ppm. Moreover the solidifying agent of Gelrite gave positive response by stimulating root at the basal-end. Keywords: Rooting induction, solidifying agent, in vitro

cultures, auxin, sago palm

Page 11: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

vii

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio. L) yang Diberi Pakan Fermentasi Substrat Campuran Dedak Padi dan Ampas Kelapa Menggunakan Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam

1, Catur Sriherwanto

2,*, Etyn Yunita

1, Imam Suja’i

2

1)Dept. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2)Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):127-133

ABSTRAK Dedak padi dan ampas kelapa dicampur dengan perbandingan tertentu dan kemudian difermentasi menggunakan Rhizopus oryzae untuk pakan ikan. Uji pemberian pakan lalu dilakukan untuk mengetahui pengaruh pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.). Dalam penelitian ini digunakan 5 perlakuan: satu perlakuan pakan tanpa fermentasi (pakan komersial 100%), dan empat perlakuan pakan fermentasi substrat campuran bekatul dan ampas kelapa dengan empat perbandingan yang berbeda, yakni 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, dan 0%:100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% (protein sejati 15,25% dan serat kasar 6,27%) memperlihatkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan ikan mas dengan pertambahan bobot badan 2,56 g dan rasio konversi pakan 1,95. Sementara itu pemberian pakan fermentasi (protein sejati berkisar 4,89-9,97% dan serat kasar 22,87-25,70%) hanya menghasilkan pertambahan bobot badan ikan pada kisaran 0,47-0,64 g dengan rasio konversi pakan 2,50-2,64. Dengan demikian pakan fermentasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ikan mas meskipun masih kurang optimal dibandingkan dengan pakan komersial. Kata Kunci: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, rice bran, coconut bagasse, fermentation

ABSTRACT

Rice bran and coconut bagasse were mixed and then fermented using Rhizopus oryzae for preparing aquafeed. Subsequent feeding test was carried out to determine the effect on the growth of carps (Cyprinus carpio L). Five feeding treatments were employed, one unfermented feed (commercial feed 100%), and the other four feeds produced by fermentation using substrate mixture of rice bran and coconut pulp in four different ratios, namely 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, and 0%:100%. The results showed that feeding 100% commercial feed (true protein 15.25% and crude fibre 6.27%) showed the best results on the fish growth with body weight gain of 2.56 g and feed conversion ratio of 1.95. Meanwhile, feeding fermented feeds (true protein 4.89-9.97% and crude fiber 22.87-25.70%) only resulted in body weight gain in the range of 0.47 to 0.64 g with feed conversion ratio of 2.50 to 2.64. Thus, the fermented feeds promoted growth in tested carps albeit less optimally than commercial feed.

Keywords: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, dedak,

ampas kelapa, fermentasi

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN) Microbial D-amino Acid Oxidase: Production and Application (Review)

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 2(2):134-142

ABSTRACT D-amino acid oxidase (DAAO) is a flavin adenine dinucleotide-containing enzyme that catalyzes the oxidative deamination of amino acid D-isomers with high stereospecificity, which results in α-keto acids, ammonia and hydrogen peroxide. Having high stereospecificity, DAAO is used in a variety of applications such as drug, biocatalyst, biosensor and preparation of transgenic plants. DAAO is widespread in nature, found in microorganisms to mammals. Microbial DAAO is considered more important than mammalian DAAO for biotechnology application. DAAO production in submerged fermentation is influenced by several factors, such as carbon source, nitrogen source, inducer, dissolve oxygen, temperature and pH. The influence of those factors on DAAO production by microbial origin, DAAO production by microbial recombinant, and its application in biotechnology are discussed in this review. Keywords: Enzyme, DAAO, D-amino acid, production, application

ABSTRAK

Enzim D-asam amino oksidase (DAAO) merupakan enzim yang mengandung Flavin Adenine Dinucleotide yang bekerja mengkatalisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino dengan stereospesifisitas yang tinggi menghasilkan α-asam keto, amonia dan hidrogen peroksida. Karena mempunyai karakteristik sreteospesifisitas yang tinggi, enzim DAAO banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti obat, biokatalis, biosensor dan penyiapan tanaman transgenik. Enzim ini dapat dihasilkan oleh organisme mulai dari bakteri hingga mamalia, namun untuk aplikasi dibidang bioteknologi, enzim DAAO yang berasal dari mikroorganisme dipandang lebih penting dari pada yang berasal dari mamalia. Produksi enzim dari DAAO dari mikroorganisme dalam kultur cair dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber karbon, nitrogen, senyawa penginduksi, oksigen terlarut, temperatur dan pH medium. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap produksi enzim DAAO, produksi enzim DAAO menggunakan mikroba rekombinan serta aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam tinjauan. Kata Kunci: Enzim, DAAO, D-asam amino, produksi,

aplikasi

Page 12: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

88

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

Isolation and amplification of Keladi tikus (Thyponium flagelliform) DNA for identification of genetic variation

M Fazri Hikmatyar

1, Juwartina Ida Royani

2,*, Dasumiati

1

1Jurusan Bioteknologi, Fakultas Teknologi dan Sains,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan 2Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) is one of considerable potential medicinal plants, especially as anticancer herbal medicine. In Indonesia, this plant grows throughout the island of Java, in part of Kalimantan, Sumatra and Papua. The development of Keladi tikus plants to provide raw material to meet public demand is constrained with the quality of the plants that is not standardized yet. DNA marker technique has been widely used for identification of standardization and diversity of varieties. The aims of this research were to isolate DNA from 17 accessions of Keladi tikus from various regions in Indonesia and to amplify the DNA using ISSR primers. The results obtained were 17 accessions of Keladi tikus that had been isolated using the modified CTAB method. Amplifications were done by using SBLT2 and SBLT8 primers that facilitated the appearance of the polymorphism bands on the 17 accessions of Keladi tikus. Thus, SBLT2 and SBLT8 primers can be used to identify genetic variations of Keladi Tikus. Keywords: Typonium flagelliforme, Keladi tikus, ISSR, medicinal plant, amplification ABSTRAK Keladi tikus (Typonium flagelliforme) merupakan salah satu tanaman obat yang cukup potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua. Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi bahan baku kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk standarisasi dan identifikasi keragaman varietas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan primer ISSR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17 aksesi keladi tikus telah dapat diisolasi dengan menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Amplifikasi dilakukan dengan primer SBLT2 dan SBLT8 yang mampu memunculkan pita-pita polimorfisme pada ke 17 aksesi Keladi tikus. Primer SBLT2 dan SBLT8 dapat digunakan untuk identifikasi variasi genetic Keladi tikus. Kata Kunci: Keladi tikus, Typonium flagelliforme, ISSR, tanaman obat, amplifikasi

Page 13: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.

89

PENDAHULUAN

Keladi tikus (Typonium flagelliforme)

merupakan tanaman yang termasuk golongan rerumputan yang bentuknya menyerupai talas. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua (Harfia 2006). Keladi tikus merupakan salah satu tanaman obat yang potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker, tetapi tanaman ini tergolong pendatang baru dalam khasanah pengobatan herbal (Sudewo 2004). Analisis fitokimia terhadap Keladi tikus menunjukkan bahwa terdapat kandungan senyawa alkaloid, saponin, steroid, glikosida, antioksidan (Syahid 2007) fitol dan asam lemak (fatty acid) (Choon et al. 2008). Senyawa aktif tersebut memiliki sifat antineoplastik atau antikanker yang mampu mencegah, membunuh serta menghambat pertumbuhan dan penyebaran sel kanker.

Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Hal ini disebabkan penyediaan tanaman keladi tikus masih dilakukan dengan teknik yang konvensional. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini ialah dengan mengetahui informasi keragaman tanaman keladi tikus.

Penelitian tanaman keladi tikus dengan tujuan mengatasi masalah ini telah dilakukan. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh Syahid (2008) mengenai keragaman morfologi, pertumbuhan, mutu, produksi dan fotokimia pada tanaman keladi tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampakan secara morfologi tidak ada perbedaan sama sekali, namun untuk karakter mutu dan fotokimia sangat berbeda.

Perkembangan identifikasi keragaman genetik tanaman secara molekuler berbasis Polymerase Chains Reaction (PCR) menjadi solusi untuk mendeteksi dan menentukan keaslian bahan baku tanaman obat. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk mengetahui keaslian spesies-spesies penting dari tanaman obat (Joshi et al. 2004). Teknik ini dapat digunakan untuk penentuan sidik jari DNA (DNA fingerprinting) dari tanaman obat dan identifikasi keragaman varietas. Penanda

DNA sangat akurat karena dapat memberikan informasi polimorphisme, sebagai komposisi genetik yang unik pada masing-masing spesies, yang tidak tergantung pada umur dan kondisi fisiologi seperti faktor lingkungan (Joshi et al. 2004). Teknik penanda DNA ini juga telah banyak digunakan untuk mengetahui keaslian spesies-spesies penting dari tanaman obat (Joshi et al. 2004). Peneliti dari Cina telah mengaplikasikan penanda DNA secara ekstensif untuk karakterisasi tanaman dari tanaman obat Cina.

Salah satu penanda DNA yang banyak digunakan saat ini adalah penanda Inter Simple Sequences Repeats (ISSR). Penanda ISSR merupakan salah satu penanda dengan motif urutan berulang yang mengamplifikasi urutan DNA pada inter-SSR bagian flanked genom secara berlawanan pada area yang dekat dengan urutan berulang (Zietkiewicz et al. 1994). Penanda ISSR potensial digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik tanaman baik pada ting-kat intraspesies maupun pada tingkat interspesies antara lain keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al. 2005) dan jarak pagar di India dan Meksiko (Basha & Sujatha 2007).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan pri-mer ISSR.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah daun

tanaman keladi tikus dari 17 aksesi yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia Tabel 1.

Isolasi DNA 17 Aksesi

Isolasi DNA tanaman keladi tikus dilakukan dengan menggunakan metode Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) yang telah di modifikasi (Royani 2012). Sebanyak 17 aksesi tanaman keladi tikus diisolasi DNA nya dari daun muda. Daun dibuang tulang daunnya dan ditimbang sebanyak 200 mg kemudian digunting hingga berukuran kecil dan dimasukkan ke dalam lumpang. Daun ditambahkan larutan Poly Vinyl Pyrolidone (PVP) 1% sebanyak 100 µL, dapar CTAB suhu 60°C sebanyak

Page 14: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

90

Tabel 1. Aksesi 17 Keladi tikus dari berbagai daerah di

Indonesia

Aksesi Asal/lokasi

1 Petulu Agung Bali

2 Bogor Jawa Barat

3 Suka Raja Baru Ogan Ilir, Sumatera selatan

4 Solok Sumatera Barat

5 Balikpapan

6 BPTO I Tawangmangu

7 Bank Mandiri Jogjakarta

8 Singa Raja, Bali

9 Menoreh, Jogjakarta

10 Sukabumi Jawa Barat

11 Salatiga Kabupaten Sengon (I)

12 Timbangan Indralaya, Sumatera Selatan

13 Ny Mener Ungaran Semarang

14 Tanjung Bungkak Denpasar Bali

15 Indmira Jogjakarta

16 Matesih, Jogjakarta

17 Merapi Farm Jogjakarta

250 µL dan 2% merkaptoetanol suhu 60°C sebanyak 100 µL. Ekstrak daun yang telah digerus halus dimasukkan ke tabung mikro dengan menggunakan spatula dan ditambahkan dapar CTAB sebanyak 250 µL ke dalam tabung mikro.

Sampel dinkubasi dalam water bath dengan suhu 60°C selama 30 menit dan setiap 10 menit sampel dihomogenkan dengan vortex. Sampel diangkat dan ditambahkan larutan Chloroform Isoamyl Alcohol (CIAA) sebanyak 500 µL dan dibolak-balik ±15 menit. Kemudian sampel disentrifugasi pada kecepatan 800 rpm selama 10 menit. Larutan supernatan yang terbentuk pada bagian atas sampel dipindahkan ke tabung mikro yang baru dan dihitung volume supernatan yang dipindahkan. NaCl 5 M sebanyak 250 µL ditambahkan ke dalam sampel, lalu dikocok perlahan hingga tercampur. Larutan isopropanol dingin sebanyak 0,6x volume total sampel (supernatan dan NaCl) ditambahkan ke tabung mikro. Tabung mikro yang berisi sampel dibolak-balik perlahan-lahan hingga larutan tercampur rata.

Sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dan sebanyak 200 µL ethanol 80% ditambahkan. Larutan etanol dibuang, pelet DNA yang didapat dikeringkan dengan cara

membalikkan tabung mikro di atas kertas tissu. Etanol yang masih tersisa di dalam tabung mikro dikeringkan dengan kertas tissu yang telah digunting membentuk segitiga lancip. Pelet DNA ditambahkan Tris

HCl:EDTA (TE) pH 8 sebanyak 30 µL dan

dihomogenkan. DNA hasil isolasi yang didapat disimpan di lemari pendingin dengan suhu -20°C sampai akan digunakan.

Pengukuran Kualitatif dan Kuantitatif DNA

Pengukuran DNA secara kualitatif pada 17 aksesi tanaman Keladi tikus dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa dan diperiksa di bawah UV transilluminator. Sedangkan untuk pengukuran DNA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan nanodrop spektrofotometri dengan perbandingan absorbansi pada 260/280.

Amplifikasi DNA dengan Penanda ISSR

Amplifikasi DNA dari 17 aksesi tanaman Keladi tikus dilakukan dengan menggunakan primer ISSR yaitu primer SBLT2 (AG)8T dan SBLT8 (CT)8G (Royani 2012) dengan menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Amplifikasi dilakukan pada kondisi: denaturasi awal 5 menit pada 94°C, denaturasi selama 1 menit pada 94°C, annealing primer dilakukan selama 45 detik dengan suhu 52°C. Primer yang digunakan adalah 2 primer ISSR yaitu primer SBLT2 dan primer SBLT8. Tahap berikutnya ialah elongasi pada suhu 72°C selama 2 menit dilanjutkan dengan tahap elongasi akhir pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil produk PCR diperiksa dengan elektroforesis dengan 1,5% (w/v) gel agarosa. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transiluminator untuk mengetahui pita yang terbentuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi DNA tanaman keladi tikus pada

penelitian ini dilakukan dengan metode CTAB yang dimodifikasi (Royani 2012). Penggunaan daun yang masih muda disebabkan daun muda memiliki tekstur lunak dan sedikit mengandung serat sehingga mudah dalam proses penggerusan dan pemurnian DNA (Ardiana 2009). Uji DNA secara kualitatif untuk mengetahui

Page 15: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.

91

kualitas DNA yang diisolasi dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa 1,5% (w/v) menggunakan pewarna SYBR safeTM. Elektroforesis memiliki prinsip kerja memanfaatkan muatan listrik yang ada pada DNA yang bermuatan negatif. DNA yang dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif (Yuwono 2005). Hasil uji DNA yang baik dengan elektroforesis ditunjukkan dengan pita DNA yang tebal dan tampak sedikit atau tidak ada smear jika divisualisasikan di atas sinar UV (Sauer et al. 1998).

Elektroforegram hasil isolasi DNA 17 aksesi Keladi tikus (Gambar 1) menunjukkan hampir seluruh DNA aksesi Keladi tikus berhasil diisolasi. DNA yang berhasil diisolasi ditunjukkan dengan pita DNA tegas dan jelas yang berpendar di atas gel pada saat disinari sinar ultraviolet. Smear yang nampak di bawah dekat pita DNA menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi tidak utuh atau patah-patah, sedangkan penampakan smear yang terletak pada bagian terbawah setiap lajur menunjukkan adanya kontaminasi berupa RNA. Menurut Sauer et al. (1998) smear atau bayangan yang muncul pada setiap lajur dan terletak paling bawah menunjukkan bahwa DNA terkontaminasi RNA.

Elektroforegram hasil isolasi DNA di atas menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel DNA memiliki kualitas baik, namun ada 2 sampel DNA asal aksesi Balikpapan dan Sukabumi yang memiliki kualitas kurang baik. Kedua sampel DNA tersebut tidak tampak adanya pita yang tegas dan jelas pada gel agarosa. Hal ini dapat disebabkan oleh kedua sampel DNA aksesi tersebut memiliki kemurnian dan konsentrasi yang rendah.

Uji keberhasilan DNA yang kedua ialah uji kuantitatif dengan menggunakan nano drop spektrofotometri. Prinsip kerja nano drop spektrofotometri ialah DNA murni mampu menyerap cahaya ultraviolet karena adanya basa purin dan pirimidin (Fatchiyah et al. 2011). Hasil uji nano drop ialah berupa nilai kemurnian DNA pada Å260/Å280 dan nilai konsentrasi DNA. DNA berkualitas baik berdasarkan uji nano drop memiliki kemurnian 1,8-2,0 (Fatchiyah et al. 2011; Sambrook et al. 2001) dan konsentrasi di atas 100 ng/µL.

Sebagian besar DNA aksesi keladi tikus memiliki kemurnian yang baik (Tabel 2) dengan kemurnian berkisar antara 1,8-2,0. Hanya ada 4 sampel DNA yang memiliki kemurnian kurang baik. Aksesi dengan kemurnian kurang baik yaitu aksesi dari Ba-likpapan, Bogor, Solok dan Sukabumi. DNA aksesi Balikpapan memiliki nilai kemurnian di bawah 1,8. Nilai kemurnian DNA di bawah 1,8 mengindikasikan pada DNA hasil ekstraksi masih terdapat kontaminan berupa senyawa protein. Kontaminasi berupa senyawa protein pada DNA dapat disebabkan oleh tidak adanya penambahan enzim protease pada protokol isolasi DNA (Kartini 2012).

DNA aksesi Bogor, Solok dan Sukabumi memiliki nilai kemurnian di atas 2,0. Menurut Fatchiyah et al. (2011) nilai kemurnian DNA di atas 2,0 mengindikasikan masih terdapat kontaminan berupa RNA. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian ini tidak dilakukan penambahan ribonuklease. Menurut Kartini (2012) kontaminan berupa RNA dapat diatasi dengan penambahan ribonuklease. Penambahan ribonuklease pada penelitian ini tidak dilakukan karena protokol penambahan enzim melalui banyak tahapan-tahapan yang sering kali dapat mengurangi konsentrasi DNA secara signifikan.

Tabel 2. Aksesi Keladi tikus dan hasil pengukuran

kualitatif dan kuantitatif DNA dari 17 aksesi

Aksesi Lokasi Asal Rata-rata Kemur-

nian

Rata-rata Konsen- trasi

1 Petulu Agung Bali 1,82 132,69

2 Bogor Jawa Barat 2,02 3302,56

3 Suka Raja Baru Ogan Ilir, Sumatera Selatan 1,88 975,47

4 Solok Sumatera Barat 2,13 2762,21

5 Balikpapan 1,39 4478,66

6 BPTO I Tawangmangu 1,89 1057,53

7 Bank Mandiri Jogjakarta 1,84 4011,11

8 Singa Raja, Bali 1,93 3667,60

9 Menoreh, Jogjakarta 1,91 53,53

10 Sukabumi Jawa Barat 2,15 1028,49

11 Salatiga Kabupaten Sengon (I) 1,93 3878,64

12 Timbangan Indralaya, Sumatera Selatan 1,87 960,79

13 Ny Mener Ungaran Semarang 1,84 3995,21

14 Tanjung Bungkak Denpasar Bali 1,95 72,88

15 Indmira Jogjakarta 1,88 1262,65

16 Matesih, Jogjakarta 2,00 1679,70

17 Merapi Farm Jogjakarta 1,85 1951,33

Page 16: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

92

Gambar 1. Elektroforegram hasil isolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus. M: marker 1 kb, 1-17: aksesi keladi tikus

Selain melihat kemurnian DNA dari uji nano drop juga dapat dilihat konsentrasi DNA hasil isolasi. Sebagian besar sampel DNA yang diisolasi memiliki konsentrasi yang sangat tinggi, hanya ada 2 sampel DNA (aksesi Menoreh dan Tanjung Bungkak) yang memiliki konsentrasi yang sangat rendah dengan nilai berturut-turut 53,53 ng/µL dan 72,88 ng/µL.

Hasil uji DNA secara kualitatif dan kuantitatif sebagian besar menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi dengan metode modifikasi CTAB pada penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Kelebihan metode CTAB ini adalah mampu mengurangi senyawa polisakarida dan senyawa metabolit sekunder. Hal ini sangat terlihat dari data kemurnian DNA aksesi keladi tikus (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki nilai yang baik, yaitu berkisar antara 1,8-2,0. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khanuja et al. (1999) bahwa isolasi DNA menggunakan metode CTAB dimodifikasi dengan bahan tanaman penghasil senyawa metabolit sekunder yang tinggi mampu menghasilkan kualitas DNA yang baik. Kualitas DNA yang baik dibuktikan kembali dengan amplifikasi yang menghasilkan pola pita yang sangat jelas.

Masalah yang dihadapi pada isolasi DNA pada tanaman Keladi tikus ialah senyawa metabolit sekunder yang sering kali mengurangi kemurnian DNA. Senyawa polisakarida merupakan salah satu senyawa yang dapat mengganggu kemurnian DNA. Menurut Khanuja et al. (1999) polisakarida dapat diatasi dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang tinggi. Fang et al.

(1992) dan Tel-zur et al. (1999) menambahkan bahwa penambahan NaCl dengan konsentrasi di atas 1M dapat meningkatkan kelarutan polisakarida sehingga lebih mudah untuk dihilangkan dari DNA. Berdasarkan hal tersebut maka pada protokol isolasi DNA ditambahkan NaCl dengan konsentrasi 5M.

Senyawa lain dari tanaman Keladi tikus yang dapat menghambat kemurnian DNA ialah polifenol dan protein. Polifenol dapat diatasi dengan PVPP dan merkaptoetanol yang terdapat pada komposisi dapar ekstraksi (Khanuja et al. 1999). Kontaminasi protein dapat diatasi dengan Kloroform isoamilalkohol. Kloroform isoamilalkohol mampu menghilangkan senyawa protein tanpa mendenaturasi DNA karena DNA merupakan senyawa hidrofilik yang tidak larut dalam pelarut organik. Kemampuan deproteinasi kloroform didasarkan atas kemampuan kloroform untuk mendenaturasi rantai polipeptida yang sebagian masuk atau termobilisasi pada interfase air-klorofom. Isoamilalkohol memiliki fungsi sebagai emulsifier, yaitu meningkatkan luas tegangan permukaan dari air-kloroform agar proses deproteinasi semakin maksimal (Agrawal 2008).

DNA dimurnikan kembali dengan proses presipitasi. Presipitasi bertujuan untuk mengendapkan DNA dan memisahkannya dari senyawa garam-garam mineral dan sisa-sisa CTAB. Senyawa-senyawa tersebut dapat mengganggu proses enzimatis pada tahap PCR (Weising et al. 1995). Proses presipitasi DNA dilakukan dua kali dengan menggunakan larutan isopropanol dingin dan etanol 80%.

Page 17: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.

93

Gambar 2. Elektroforegram hasil amplifikasi DNA 17 aksesi tanaman Keladi tikus menggunakan primer SBLT2 (atas)

dan SBLT8 (bawah), M: Marker 1 kb, 1-17: aksesi keladi tikus)

Tahapan presipitasi ini pada prinsipnya

ialah menurunkan kelarutan DNA dalam air. Isopropanol dingin dapat mengurangi aktivitas molekul air dan mampu menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA dapat terpresipitasi (Surzycki 2000). Residu-residu garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut dalam isopropa-nol. Residu garam tersebut dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab itu dibutuhkan pemurnian kembali menggunakan etanol 80% (Ausubel et al. 2003).

Berdasarkan hasil uji kualitatif dan uji kuantitatif DNA menunjukkan bahwa tidak semua sampel DNA memiliki kualitas dan kuantitas yang baik, namun sampel DNA ini tetap dilanjutkan ke proses amplifikasi untuk mengetahui DNA yang diisolasi dapat diperbanyak dan dapat digunakan pada penelitian selanjutnya. Padmadi (2009) menyatakan bahwa sampel DNA yang digunakan pada analisis PCR khususnya dalam penanda yang dominan tidak harus merupakan DNA murni. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kartini (2012) bahwa DNA dengan kemurnian 1,12-1,64 juga mampu teramplifikasi dan menghasilkan pola pita amplifikasi yang jelas.

Amplifikasi DNA Keladi tikus dengan menggunakan primer ISSR dilakukan untuk membuktikan bahwa DNA yang diisolasi masih mampu untuk diperbanyak dan dapat

digunakan untuk penelitian selanjutnya. Hasil amplifikasi DNA 17 aksesi tanaman Keladi tikus dapat dilihat pada Gambar 2. Semua DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dapat teramplifikasi pada pemakaian primer SBLT2. Pada pemakaian primer SBLT8, hanya 1 aksesi yaitu aksesi Tanjung Bungkak Denpasar Bali tidak dapat teramplifikasi. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya pita pada aksesi tersebut meskipun sudah diulang beberapa kali.

Menurut Wang et al. (2009), pita DNA hanya akan teramplifikasi bila urutan DNA pada urutan primer cocok dengan urutan basa pada bagian inter mikrosatelit genom tanaman sampel. Sedangkan menurut Tingey et al. (1994) keberhasilan amplifikasi ditentukan oleh ada atau tidaknya urutan DNA yang komplemen atau homolog dengan urutan pada primer. Ditambahkan oleh Weeden et al. (1992) bahwa keberhasilan primer dalam mengamplifikasi dan menghasilkan pita polimorfik juga ditentukan oleh ada atau tidak adanya serta adanya distribusi situs pengenalan annealing primer pada template DNA.

Pada penelitian ini pita-pita yang terbentuk dari hasil amplifikasi juga terlihat jelas pada pemakaian primer SBLT2 dan SBLT8 dan menunjukkan pita-pita polimorfisme yang dapat digunakan untuk penelitian keragaman genetik tanaman selanjutnya.

Page 18: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

94

KESIMPULAN

Ke-17 aksesi tanaman Keladi tikus telah berhasil di isolasi DNA nya dengan menggunakan metode modifikasi CTAB dan berhasil diamplifikasi dengan primer SBLT 2 dan SBLT 8. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui keragaman genetik tanaman Keladi tikus. DAFTAR PUSTAKA

Agrawal S (2008) Techniques in Molecular

Biology. International Book And Distrubuting Co. India.

Ardiana DW (2009) Teknik isolasi DNA genom tanaman papaya dan jeruk dengan menggunakan modifikasi bufer CTAB. Bul Teknik Pertanian 14(1):12-16.

Ausubel FM, R Brent, RE Kingston, DD Moore, JG Seidman, JA Smith, K Struhl (2003) Current Protocols in Mo-lecular Biology Vol 3. John Wiley and Sons. New York.

Choon SL, HMH, Rosemal, NK Nair, MIA Majid, SM Mansor, V Navaratnam, (2008) Typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and induces apoptosis: An evaluation by the bioac-tivity guided approach. J Ethnopharm 118(1):14-20.

Faatih M (2009) Isolasi dan Digesti DNA Kromosom. J Penelitian Sains Teknol (10):61-67.

Fang DQ, ML Roose, RR Krueger, CT Federici (1997) Fingerprinting of trifoli-ate orange germ plasm accessions with isozymes, RFLPs and inter-simple sequence repeat marker. Theor Appl Genet 95(1-2):211-219.

Fatchiyah A, LE Widyarti, S Rahayu (2011) Biologi Molekular Prinsip Dasar Analisis. Erlangga. Malang.

Harfia M (2006) Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 50% Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lood) Bl) terhadap Sel Kanker Payudara (MCF-7 Cell line) secara In-Vitro. Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan

Kartini AR (2012) Karakterisasi Molekular Padi Transgenik dengan Beberapa Metode Isolasi DNA. Skripsi.

Departemen Biokimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bo-gor.

Khanuja SPS, KA Shasany, S Darokar, Ku-mar (1999) Rapid Isolation of DNA from Dry and Fresh Samples of Plants Producing Large Amounts of Second-ary Metabolites and Essential Oil. Plant Mol Biol Rep 17(1):74-74.

Padmadi B (2009) Identifikasi sifat aroma tanaman padi menggunakan marka berbasis gen aromatik. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Royani JI (2012) Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Cobalt 60 Terhadap Perubahan Karakter Morfologi, Molekuler dan Senyawa Aktif Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich Ex Ness. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Sauer PM, Muller, J Kang (1998) Quantitation DNA. Qiagen News 2:23-26.

Sudewo B (2004) Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Surzycki SJ (2000) Basic Techniques in Mo-lecular Biology. Springer-Verlag Publisher 3-540-66678-8.

Syahid SF (2007) Pertumbuhan, produksi, analisa mutu dan fitokimia keladi tikus (Thyponium flagelliforme) asal kultur kalus. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. (Belum dipublikasi).

Syahid SF (2008) Keragaman Morfologi Pertumbuhan, Produksi, Mutu dan Fitokimia Keladi Tikus (Typonium Flagelliforme Lodd.) Blume Asal Variasi Somaklonal. J Penelitian Tanaman Industri 14(3):113-118.

Tel-zur NS, D Abbo, Myslabodski, Y Mizrahi (1999) Modified CTAB procedure for DNA isolation from epiphytic cacti of genera hylocereus and selenicereus (Cactaceae). Plant Mol Biol Rep 17(3):249-254.

Weising K, H Nybom, K Wolff, W Meyer (1995). DNA fingerprinting in plants and fungi. CRC Press. Boca Raton.

Yuwono T (2009) Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta.

Page 19: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

95

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT

DENGAN AIR PANAS BERTEKANAN DAN BALL MILL

Production of Bioethanol from Old Trunks of Palm Oil Using Hot Compressed Water and Ball Mill

Suyanto1,*, Kotetsu Matsunaga

2, Hiroyuki Inoue

2, Kinya Sakanishi

2

1Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2Biomass Technology Reseach Center, AIST, Hiroshima, Japan.

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Bioethanol from oil palm trunk is one important source of energy to reduce greenhouse gas emissions and to avoid competition between the use for food and for energy as hap-pens in other commodities. Pre-treatment of lignocellulosic biomass using sulfuric acid has high efficiency but requires high cost to neutralize the byproducts formed. Pre-treatment using hot compressed water and ball mill can be used to break down the structure and composition of lignocellulose so as to increase the rate of enzymatic hydrolysis and in-crease the sugar yield. Hydrolysis using an enzyme cocktail with hot compressed water

and ball mill can each produce 210 mg of glucose at a temperature of 220°C and 200 mg of glucose for 120 minutes at room temperature per gram of oil palm trunk. Both of these processes are environmentally friendly and have a high efficiency in the production of bio-ethanol from oil palm trunks.

Keywords: bioethanol, oil palm trunk, ball mill, hot compressed water, hydrolysis

ABSTRAK Bioetanol dari batang kelapa sawit adalah salah satu sumber energi yang penting untuk mengurangi emisi rumah kaca dan menghindari konflik kepentingan antara kebutuhan bahan pangan dan penggunaan energi sebagaimana terjadi pada komoditas lain. Pengolahan awal biomassa lignoselulosa menggunakan asam sulfat memiliki efisiensi yang tinggi tetapi membutuhkan biaya yang tinggi guna menetralisisr produk samping yang terbentuk. Pengolahan awal menggunakan air panas bertekanan dan ball mill dapat digunakan untuk memecah struktur dan komposisi lignoselulosa sehingga dapat meningkatkan laju hidrolisis enzim dan meningkatkan hasil gula. Hidrolisis menggunakan multienzim dengan air panas bertekanan dan ball mill masing-masing dapat menghasilkan 210 mg glukosa pada suhu

220°C dan 200 mg glukosa selama 120 menit pada suhu kamar per gram batang kelapa sawit. Kedua proses tersebut ramah lingkungan dan memiliki efisiensi yang tinggi pada produksi bioetanol dari batang kelapa sawit.

Kata Kunci: bioetanol, batang kelapa sawit, ball mill, air panas bertekanan, hidrolisis

Page 20: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

96

PENDAHULUAN

Biomasa lignoselulosa yang berasal

dari limbah pertanian dan perkebunan adalah bahan baku yang sangat potensial untuk memproduksi bahan bakar bioetanol, di mana biomasa lignoselulosa tersebut dapat menjadi sumber energi hijau yang menjadi energi alternatif dalam krisis bahan bakar fiosil pada saat ini. Hal ini dikarenakan bahan material tersebut sangat berpotensi mengandung sejumlah gula fermentasi dari ikatan polimer selulosa dan hemiselulosa.

Dalam mengkonversi biomasa lignoselulosa menjadi bioetanol terdiri dari tiga tahapan proses (Mosier et al. 2005) yaitu tahap pertama adalah proses praperlakuan untuk memecah ikatan polimer selulosa dan hemisulosa dalam biomasa kemudian tahap kedua adalah proses hidrolisis enzimatik untuk merecovery gula fermentasi dari hasil praperlakuan dan terakhir adalah proses fermentasi untuk mengkonversi gula fermentasi menjadi bioetanol.

Komponen utama dari biomassa lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Di antara komponen tersebut, selulosa dan hemiselulosa memiliki molekul yang terdiri dari gula dan bisa diubah menjadi etanol dengan hidrolisis enzimatis dan fermentasi. Selulosa adalah substrat kristal dan sangat sulit untuk dihidrolisis. Pemisahan hemiselulosa dan lignin dari biomasa lignoselulosa secara konvensional dengan penambahan bahan kimia seperti asam, basa atau larutan organik dilaporkan mempunyai efek yang signifikan terhadap hidrolisis enzimatik (Sun & Cheng 2002; Wyman et al. 2005; Yang et al. 2004). Namun bahan kimia tersebut menyebabkan korosi pada reaktor dan biaya daur ulang atau penetralan pelarut (asam, basa atau larutan organik) membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam mengurangi efek negatif pada lingkungan. Selain itu juga menyebabkan bentukan zat baru yang dapat menekan pembentukan bioetanol oleh yeast dalam proses fermentasi.

Di sisi lain, Indonesia adalah negara tropis yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terbesar didunia dan menunjukan peningkatan secara signifikan luas area perkebunan pada tahun terakhir ini. Usia produksi pohon kelapa sawit berkisar antara

22 hingga 25 tahun, sehingga dalam tahun ini diperkirakan lebih dari 150 juta pohon yang harus di tebang di Indonesia untuk peremajaan tanaman kelapa sawit dan jumlah tersebut akan terus beratambah setiap tahunnya. Batang kelapa sawit tersebut merupakan sumber biomasa lignoselulosa yang sangat potensial untuk dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol sehingga dapat mengurangi konflik terhadap sumber bahan baku bioetanol dari tanaman pangan.

Harga produksi bioetanol dari biomasa lignoselulosa masih terlalu mahal yang didasarkan pada teknologi saat ini, dan oleh karena itu diperlukan riset untuk menekan biaya dalam improvisasi hidrolisis biomasa lignoselulosa (Sun & Cheng 2002). Pemilihan praperlakuan dari biomasa lignoselulosa merupakan hal yang utama dalam menekan biaya produksi tersebut (Wyman et al. 2005).

Pada proses hidrotermal hidrolisis dan proses mekanik (milling) dalam pemecahan struktur kimia biomasa lignoselulosa merupakan proses ramah lingkungan karena tidak ada penambahan bahan kimia dalam proses praperlakuan tersebut. Proses air panas bertekanan adalah proses yang efektif untuk hidrolisis enzimatik kayu dan biomasa limbah pertanian (Grous et al. 1986; Mosier et al. 2005; Sun & Cheng 2002). Hal ini disebabkan air bereaksi dengan gugus asetil dalam hemiselulosa menjadi asam, sehingga dapat melarutkan hemiselulosa dari biomasa lignoselulosa (Ando et al. 2000; Liu et al. 2005; Weil et al. 1998). Untuk proses mekanik dengan menggunakan ball mill dapat menurunkan kristalinasi pada selulosa, sehingga meningkatkan kerja enzim dalam pemutusan ikatan selulosa menjadi gula sederhana (Koullas et al. 1992; Chang et al. 2000).

Dari uraian di atas, praperlakuan adalah hal yang sangat penting dalam menrubah atau menghilangkan hambatan fisik dan kimia yang berguna untuk aksesibilitas enzim dalam substrat dan dalam makalah ini akan dibahas pengaruh praperlakuan dengan ball mill dan air panas bertekanan pada hidrolisis enzimatik dalam produksi bioetanol dengan menggunakan bahan batang tua kelapa sawit. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah pengembangan bio ethanol dengan sumber

Page 21: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Produksi Bioetanol dari Batang Tua Kelapa Sawit... Suyanto et al.

97

daya biomassa terbarukan dari limbah pabrik kelapa sawit, berdasarkan paradigma baru pengelolaan limbah sebagai profit center, manajemen ramah lingkungan, dan minimisasi limbah BAHAN DAN METODE

Batang kelapa sawit yang dipergunakan

dalam penelitian ini berasal dari Perkebunan Kelapa Sawit PTP Nusantara VII, Indonesia. Batang kelapa sawit yang sudah dipisahkan dari kulit luar dan dikeringkan selama 24 jam dalam oven 60 oC, kemudian dicacah menjadi chip. Chip tersebut dihaluskan menggunakan choper dan dalam penelitian ini dipergunakan

ukuran antara 500 sampai 1000 m. Bahan dicampur secara merata untuk menghindari perbedaan komposisi dalam percobaan dan disimpan dalam kondisi kering sebelum digunakan. Pada saat dipergunakan bahan batang kelapa sawit tersebut dikeringkan dalam vakum dryer pada suhu 40°C selama 3 hari.

Praperlakuan dengan Ball Mill Bahan batang kelapa sawit

dihaluskan dengan menggunakan Planetary Micro mill pulverisette 5 (Fritsch, Germany). Sebanyak 20 gram bahan dihaluskan dengan kecepatan 250 rpm selama 120 menit menggunakan siklus 10 menit penghalusan dan 10 menit berhenti sementara pada suhu ruang.

Praperlakuan dengan Air Panas Bertekanan Bahan batang kelapa sawit sebanyak

20 gram dan air 180 mL dicampur dalam wadah 300 mL stainless steel autoclave dengan satu pengaduk jenis turbin. Gas nitrogen untuk menghilangkan udara didalam autoclave dengan tekanan 5 MPa. Autoclave dipanaskan dan dipertahankan selama 30 menit dengan deviasi ±2 °C pada suhu yang ditentukan (160–240 oC). Waktu pemanasan bahan baku diprogram sebesar 16 oC/menit. Pada akhir reaksi autoclave didinginkan sampai suhu ruang. Pengambilan fraksi padat menggunakan filtrasi, dan dicuci dengan air demin kemudian diliophilisasi.

Hidrolisis Enzimatik Hidrolisis enzimatik menggunakan

multienzim yang mengandung 10 dan 40 FPU Acremonium cellulose (Meiji Seika Co,

Japan), 0,04 mL Optimash BG (Genencor International, USA) per gram bahan kering. Dalam standar perhitungan, 1 mL multienzim dilarutkan dalam 50 mM buffer asetat (pH 5,0). Campuran reaksi diinkubasi dalam shaker pada 45°C selama 72 jam. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali. Hasil hidrolisis disentrifugasi untuk dipisahkan fase cair dan residu dan dianalisa kadungan glukosa dan silosa.

Fermentasi Bioetanol Pada akhir hidrolisis enzimatik, gula

yang terbentuk langsung difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae IR-2 untuk memproduksi bioetanol. Waktu inkubasi selama 36 jam pada 30°C menggunakan shaker.

Analisa Analisa komposisi kimia batang

kelapa sawit menggunakan metode NREL (Sluiter et al. 2005). Glukosa dan silosa dianalisa menggunakan HPLC dengan sebuah refractive index detector (RI-2031Plus, JASCO, Japan) dan kolom Aminex HPX-87P (7,8 mm I.D. 30 cm, BioRad, USA) dengan Carbo-P micro-guard cartridge. Fase gerak menggunakan air demin dengan kecepatan aliran 1 mL/min pada 80°C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini semua

perhitungan didasarkan pada berat kering batang kelapa sawit. Komposisi batang kelapa sawit adalah 47% selulosa, 32% hemiselulosa, 17% lignin, 3% ekstraktif dan 1% abu, yang dirujuk dari prosedur analitik dari NREL.

Hidrolisis Enzimatik pada Praperlakuan Ball Mill Kemampuan enzimatik pada bahan

batang kelapa sawit yang sudah di treatment menggunakan ball mill dievaluasi dengan berbagai komposisi enzim yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Hidrolisis dengan multienzim yaitu ACC(40FPU) dan OBG menunjukkan hasil yang lebih besar baik glukosa dan silosa dari komposisi enzim lainnya, sehingga komposisi multienzim tersebut dipergunakan sebagi standar dalam penentuan hidrolisis enzimatik pada substrat selanjutnya.

Page 22: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

98

Tabel 1. Perbedaan berbagai hidrolisis enzimatis

pada hasil praperlakuan ball mill pada batang kelapa sawit

Enzim Kandungan gula (mg/g)

Glukosa Silosa

ACC(10 FPU) 175 38

ACC (40 FPU) 189 69

ACC (10 FPU) +OBG 181 116

ACC (40 FPU) +OBG 200 121

ACC =Acremonium cellulose; OBG=Optimash BG

Tabel 2. Glukosa dan silosa dari fraksi cair dan residu

batang kelapa sawit pada hasil praperlakuan dengan air panas bertekanan

Suhu (oC)

Kandungan gula (mg/g)

Fraksi larut Residu

Glukosa Silosa Glukosa Silosa

160 0,82 1,00 92 66

180 0,92 1,82 149 85

200 0.93 1,62 182 87

220 0,72 3,19 210 90

240 0,60 1,20 162 70

Dari Tabel 1. menunjukan OBG dapat

memecah ikatan selulosa disamping memecah ikatan hemiselulosa menjadi silosa sedangkan ACC merupakan selulase komersial yang memiliki aktivitas β–glucosidase tinggi dibandingkan dengan konvensional selulase dari Trichoderma spesies lainnya (Yamanobe et al. 1990). Hidrolisis enzimatik batang tua kelapa sawit tanpa pretretment ball mill dengan menggunakan ACC menghasilkan glukosa sebesar 72 mg/g substrat (data tidak ditunjukkan). Dari data tersebut menunjukkan bahwa glukosa dari hidrolisis ezimatik dengan praperlakuan ball mill meningkat secara signifikan. Hal ini disebabkan selulosa mikrofibril pada dinding sel batang tua kelapa sawit terganggu oleh efek mekanik dari ball mill sehingga disebut efek mechanochemical (Ago et al. 2004). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kerja enzimatik dengan mechanochemical yang membuat struktur jaringan selulosa-hemiselulosa-lignin terganggu atau putus, sehingga dapat memaksimalkan kerja enzim.

Pengaruh Perlakuan Air Panas Bertekanan Praperlakuan air panas bertekanan

dilakukan pada lima tingkat suhu pada kisaran 160-240°C selama 30 menit. Hasil dari hidrolisis enzimatik pada gula fraksi larut dan residu dirangkum pada Tabel 2. Peningkatan xilan terlarut dari praperlakuan batang kelapa sawit menggunakan air panas bertekanan terjadi di atas 160°C. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa hemiselulosa terdegradasi dan membuat struktur jaringan selulosa-hemiselulosa-lignin terputus sehingga

pembentukan glukosa dari selulosa dari hidrolisis enzimatis meningkat sampai pada suhu 220°C (Tabel 2). Dari hasil percobaan tersebut dapat diketahui, meningkatnya kemampuan enzim dalam memutus ikatan polimer selulosa yang berakibat bertambahnya kandungan glukosa dalam residu berkaitan dengan putusnya ikatan hemiselulosa yang disebabkan oleh efek hidrotermal.

Sedangkan pada suhu di atas 220°C, hasil silosa pada fraksi larut sangat terpengaruh pada dekomposisi hemiselulosa menjadi furfural dan turunannya sehingga jumlah silosa menurun. Demikian halnya dengan jumlah glukosa mengalami penurunan yang sangat signifikan. Berdasarkan data pada Tabel 2 jumlah glukosa maksimum pada hidrolis enzimatik batang kelapa sawit dengan praperlakuan air panas bertekanan terjadi pada suhu 220°C dengan jumlah glukosa sebesar 210 mg/g substrat. Pada suhu 240°C kandungan glukosa menurun sehingga pada suhu tersebut penggunaan multienzim (ACC (40 FPU) dan OBG) terjadi penurunan, karena terdekomposisinya selulosa menjadi bahan yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Ando et al. (2000) pada dekomposisi biomasa dalam air panas bertekanan. Fermentasi Bioethanol

Fermentasi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae IR-2 pada hasil hidrolisis enzimaitis multienzim (ACC (40 FPU) dan OBG) dari praperlakuan batang kelapa sawit menggunakan ball mill disajikan pada Gambar 1, di mana semua

Page 23: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Produksi Bioetanol dari Batang Tua Kelapa Sawit... Suyanto et al.

99

Gambar 1. Hasil fermentasi bioetanol dari

praperlakuan batang kelapa sawit dengan ball mill

Gambar 2. Hasil fermentasi bioetanol dari praperlakuan

batang kelapa sawit dengan air panas bertekanan

glukosa habis terkonversi menjadi bioetanol pada jam ke 12, sedangkan silosa tetap kandungannya sampai jam ke 36. Hal ini dikarenakan strain Saccharomyces cerevisiae IR-2 hanya dapat mengkonversi glukosa menjadi bioetanol. Sedangkan fermentasi bioethanol pada hasil hidrolisis enzimatis dari residu praperlakuan batang kelapa sawit dengan air panas bertekanan pada suhu 220°C (Gambar 2), juga menunjukkan hasil glukosa dapat terkonversi sempurna menjadi bioetanol. Namun waktu fermentasinya lebih lama yaitu pada jam ke20 terkonversi sempurna dan kandungan silosa sama dengan praperlakuan menggunakan ball mill. Waktu fermentasi yang lebih lama tersebut disebabkan oleh zat inhibitor seperti furfural dan asam asetat (data tidak ditunjukkan) yang terbentuk selama proses air panas bertekanan.

Dari hasil tersebut (Gambar 1 dan Gambar 2) di mana kedua praperlakuan (ball mill dan air panas bertekanan) menunjukkan produktivitas bioetanol yang tinggi dan hampir sama dari gula fermentasi dalam hidrolisat enzimatik batang kelapa sawit yaitu 0,12 mL/g batang tua kelapa sawit pada praperlakuan menggunakan ball mill dan 0,13 mL/g batang tua kelapa sawit dengan menggunakan preteratment air panas bertekanan.

Dari hasil tersebut di atas dapat memberi gambaran potensi batang kelapa sawit untuk dikonversi menjadi bioethanol dengan produktivitas yang tinggi tanpa menggunakan bahan kimia, sehingga lebih ramah lingkungan dan penggunaan energi hijau dapat terwujud.

KESIMPULAN

Batang kelapa sawit yang ditreatment

dengan air panas bertekanan menghasilkan glukosa yang lebih tinggi 0,01 mL/g batang tua kelapa sawit dari penggunaan ball mill. Namun dalam air panas bertekanan terbentuk zat baru seperti furfural dan asam asetat yang dapat menghambat proses fermentasi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk konversi menjadi bioetanol, sedangkan ball mill membutuhkan energi yang besar untuk proses penghalusan batang kelapa sawit. Dengan mengkobinasikan praperlakuan ball mill dengan waktu yang pendek dan air panas bertekanan dengan suhu rendah merupakan teknologi alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk skala yang lebih besar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada NEW

Energi Foundation, Japan yang telah membiayai penelitian ini melalui Asia Bio-mass Energy Researchers Invitation Pro-gram. DAFTAR PUSTAKA Ando H, T Sakaki, T Kokusho, M Shibata, Y

Uemura, Y Hatate (2000) Decomposi-tion behavior of plant biomass in hot-compressed water. Industrial and Eng Chem Res 39(10):3688-3693.

Ago M, T Endo, T Hirotsu (2004) Crystalline transformation of native cellulose from

Page 24: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

100

cellulose I to cellulose II polymorph by a ball milling method with a specific amount of water. Cellulose 11(2):163-167.

Chang VS & MT Holtzapple (2000) Funda-mental factors affecting biomass en-zymatic reactivity. Appl Biochem Biotechnol 84(1):5-37.

Grous WR, AO Converse, HE Grethlein (1986) Effect of steam explosion pre-treatment on pore size and enzymatic hydrolysis of poplar. Enzyme MicrobTechnol 84(1):274-280.

Koullas DP, P Christakopoulos, D Kekos, BJ Macris, EG Koukios (1992) Corre-lating the effect of pretreatment on the enzymatic hydrolysis of straw. Biotechnol Bioeng 39(1):113-116.

Liu C & CE Wyman (2005) Partial flow of compressed-hot water through corn stover to enhance hemicellulose sugar recovery and enzymatic digestibility of cellulose. Biores Technol 96(18):1978-1985.

Mosier N, CE Wyman, B Dale, R Elander, YY Lee, M Holtzapple, Ladisch M (2005) Features of promising technol-ogies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Biores Technol 96(6):673-686.

Sluiter A, B Hames, R Ruiz, C Scarlata, J

Sluiter, D Templeton (2005) Determi-nation of structural carbohydrates and lignin in biomass. NREL Biomass. http://www.nrel.gov/biomass/analytical_ procedures.html#lap-002. Diakses 10 November 2010.

Sun Y & J Cheng (2002) Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production. Biores Technol 83(1):1-11.

Wyman CE, BE Dale, RT Elander, M Holtzapple, MR Ladisch, YY Lee (2005) Coordinated development of leading biomass pretreatment tech-nologies. Biores Technol 96(18):1959-1966.

Weil JR, A Sarikaya, SL Rau, J Goetz, CM Ladisch, M Brewer, R Hendrickson, LR Ladisch. (1998) Pretreatment of corn fi-ber by pressure cooking in water. Appl Biochem Biotechnol 73(1):1-17.

Yamanobe T, J Hiraishi, I Kruus (1990) Im-provement of fungal strain Y-94, a cellu-lolytic enzyme hyperproducer, and enzymatic saccharification of exploded wood. Agric Biol Chem 54(2):535-536.

Yang B & CE Wyman (2004) Effect of xylan and lignin removal by batch and flow through pretreatment on the enzymatic digestibility of corn stover cellulose’, Biotechnol Bioeng 86(1):88-95.

Page 25: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

101

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR

MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Phytoremediation of Chromium in Aqueous Waste Using Aquatic Plants

Anna Safarrida1,*, Ngadiman

2, Jaka Widada

2

1Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

2Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, UGM

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Existence of heavy metals in industrial waste is gaining global attention since their negative im-pact to environment. One of the efforts to solve the problem was to use plant to absorb metal in liquid medium, known as rhizofiltration. This research was aimed to select aquatic plants which showed relative resistantce and susceptibility to chromium. Four species of aquatic plants (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor and Salvinia sp.) were grown in artificial medium (Hoagland) supplemented with 0, 1, 2, 4 and 8 ppm chromium. The plants resistance and ab-sorption toward chromium was observed based on the morphology and chromium content in their biomass. Based on their resistance to and absorption of chromium, the selected plants were tested further in liquid waste of tanning industry. In Hoagland medium, Salvinia sp. demonstrated 67.2% higher resistance and absorption toward chromium while that of P. stratiotes 20.3% lower compared to other plants which were tested. This result could be applicable in reducing such en-vironmental pollutant as the heavy metal chromium from industrial waste. Keywords: Phytoremediation, chromium, Hoagland medium, aquatic plants, liquid waste

ABSTRAK Logam berat dalam limbah industri merupakan bahan pencemar lingkungan yang mendapatkan perhatian global. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tanaman untuk menyerap logam dalam medium cair atau dikenal sebagai fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. Empat spesies tanaman air (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) ditumbuhkan pada medium buatan (Hoagland) yang dipasok kromium 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm. Pengujian toleransi tanaman dan serapan terhadap kromium dilakukan berdasarkan pengamatan morfologis serta analisis kadar kromium dalam biomasa. Berdasarkan daya tahan dan serapan kromium, tanaman terseleksi diujikan lebih lanjut dalam limbah cair industri penyamakan kulit. Dalam medium Hoagland, Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sedangkan P. stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman lain yang diujikan. Hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk mengurangi bahan pencemar lingkungan berupa logam berat kromium dari limbah industri.

Kata Kunci: Fitoremediasi, kromium, medium Hoagland, tanaman air, limbah cair

Page 26: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

102

PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri, memerlukan pemikiran dan tindakan untuk meminimalkan dampak negatif limbah industri terhadap pencemaran lingkungan. Limbah buangan industri tersebut umumnya mengandung senyawa organik atau anorganik yang bersifat toksik dan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Parsek et al. 1997). Senyawa anorganik utama dalam limbah industri berupa logam berat. Logam berat tidak dapat didegradasi secara biologis, tetapi hanya dapat dialihrupakan atau dipindahtempatkan. Keberadaan logam berat dalam air akan diserap dan diakumulasi dalam sel organisme yang hidup dalam lingkungan tersebut. Apabila organisme air yang lebih tinggi tingkat tropiknya seperti ikan memakan plankton, maka akan terjadi akumulasi logam berat dalam tubuh ikan. Selanjutnya apabila ikan tersebut dikonsumsi akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius bagi manusia (Haryadi 1996). Dalam dua dasawarsa terakhir ini, remediasi cemaran logam berat di lingkungan banyak difokuskan pada pemanfaatan tanaman (fitoremediasi). Tanaman dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat dalam biomasanya. Tanaman yang mampu mengakumulasi logam dalam konsentrasi yang tinggi disebut sebagai hiperakumulator. Beberapa tanaman air yang seringkali menjadi gulma telah banyak dimanfaatkan dalam remediasi pencemaran logam berat dalam lingkungan perairan (Smits 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. BAHAN DAN METODE

Tanaman air yang digunakan meliputi

enceng gondok (Eichhornia crassipes), kayu

apu (Pistia stratiotes), mata ikan (Lemna minor), dan kayambang (Salvinia sp.). Uji Toleransi Tanaman Air terhadap Kromium

Sebanyak 2 L larutan Hoagland dimasukkan ke dalam ember kemudian dipasok logam berat Cr (K2Cr2O7) dengan konsentrasi 0, 1, 2, 4, 8 ppm. Masing-masing perlakuan dibuat 3 ulangan. Tanaman air diinokulasikan ke dalam medium tersebut dalam jumlah tertentu sedemikian sehingga menutupi permukaan medium 25%, diinkubasi selama 12 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi parameter: (i) pengukuran laju pertumbuhan tanaman (growth rate) yaitu diukur sebagai selisih berat biomasa pada akhir terhadap awal inkubasi, kemudian dibagi lama (hari) inkubasi, (ii) Kenampakan tanaman (growth response) dilakukan pengamatan terhadap morfologi tanaman (warna daun) setiap 2 hari selama 12 hari, Pada hari akhir inkubasi, tanaman dipanen, diukur beratnya, dan dilakukan: (iii) analisis kandungan Cr dalam medium serta (iv) dalam jaringan tanaman (biomassa). Analisis Cr menggunakan metode destruksi asam dan kadar Cr dideteksi (dalam biomassa) dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS Perkin-Elmer 3110) dengan λ 357,9 nm. Uji Lanjut Toleransi dan Kepekaan

Tanaman air terseleksi yang toleran dan peka secara relatif terhadap kromium selanjutnya diujikan lebih lanjut ke dalam limbah industri penyamakan kulit. Sebanyak 2 L medium berisi limbah penyamakan kulit yang telah diencerkan 10, 20, 40, dan 60 kali dengan air ledeng dimasukkan ke dalam ember. Masing-masing perlakuan dibuat 3 ulangan. Tanaman air terseleksi yang toleran dan peka secara relatif terhadap kromium, yang diambil dari alam, diino-

Gambar 1. Tanaman air (dari kiri ke kanan): Eichhornia crassipes, Pistia stratiotes, Lemna minor, dan Salvinia sp.

Page 27: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Fitoremediasi Kandungan Kromium... Anna Safarrida et al.

103

A

B

Gambar 2. Pengaruh logam kromium: (A) produksi biomassa tanaman, (B) Serapan Cr

kulasikan ke dalam medium tersebut dalam jumlah tertentu sehingga menutupi permukaan medium 25%, dan diinkubasi selama 12 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Toleransi Tanaman Air terhadap Kromium

Hasil pengamatan dan tanggapan pertumbuhan tanaman terhadap logam berat selama 12 hari inkubasi. Pada perlakuan 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm logam Cr diperoleh bahwa tanaman Lemna minor dan Pistia stratiotes hanya bertahan hingga konsentrasi 4 ppm, sementara Eichhornia crassipes dan Salvinia sp. mampu bertahan sampai 8 ppm. Tanggapan pertumbuhan tanaman Lemna minor dan Pistia stratiotes terhadap paparan Cr (4 ppm) ditandai dengan adanya bercak coklat pada tepi dan ujung daun, kekeringan dan pertumbuhan lambat. Sementara pada tanaman Eichhornia crassipes, paparan terhadap Cr (8 ppm) ditandai oleh pertumbuhan yang lambat. Klorosis terjadi pada daun muda tanaman Salvinia sp. Logam Cr menyebabkan keracunan tanaman yang ditandai oleh adanya klorosis terutama pada daun yang muda. Hal ini dikarenakan logam berat tersebut terakumulasi di dalam jaringan tanaman, sehingga menyebabkan

tanaman keracunan (Panda 2005). Pengaruh logam berat kromium terhadap produksi biomas dan serapan Cr tanaman air lokal (Eichhornia crassipes, Pistia stratiotes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) disajikan pada Gambar 2.

Berdasarkan hasil uji toleransi dan serapan kromium yang diketahui dari data di atas, maka Salvinia sp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi sebesar 67,2%, sedangkan Pistia stratiotes mempunyai kemampuan lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan dengan tanaman air lokal lainnya (Lemna minor dan Eichhornia crassipes). Hasil penelitian Susilaningsih (1992) juga menunjukkan kombinasi tumbuhan Hydrilla verticillata dan Eichornia crassipes mampu menyerap logam kromium (VI) lebih dari kemampuan secara monokultur. Pada pemaparan 96 jam dicapai hasil penyerapan terbesar sebanyak 88,282%. Hal ini dimungkinkan oleh kemampuan tumbuhan beradaptasi, kemampuan tumbuhan mengakumulasi logam berat dan kemampuan tumbuhan meredam stres metal. Sugiyanto et al. (1991) memperkuat pernyataan tersebut yang mengemukakan bahwa gulma air terapung, yaitu Eichornia crassipes, Salvinia molesta dan Pistia stratiotes mampu menyerap

Page 28: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

104

A B

Gambar 3. Respon tanaman air terseleksi dalam limbah cair industri penyamakan kulit:

(A) produksi biomassa tanaman, (B) serapan Cr

logam berat krom dari medium air habitatnya dan lebih banyak tertimbun di akar daripada di daun. Kemampuan ini didukung oleh mekanisme tumbuhan tersebut dalam mengakumulasi logam berat krom, seperti yang dijelaskan oleh Thilakar et al. (2012) dan Prajapati et al. (2012) yang menyebutkan bahwa Pistia stratiotes merupakan tanaman air yang lebih efisien dalam mengakumulasi logam berat kromium melalui proses rhizofiltrasi. Oleh karena itu tanaman Salvinia sp. dan Pistia stratiotes yang diambil dari alam dipilih untuk diujikan lebih lanjut pada medium limbah cair industri penyamakan kulit. Pertumbuhan dan Serapan Kromium

Gambar 3 menunjukkan bahwa tanaman Salvinia sp. mampu tumbuh pada medium limbah pengenceran 10 kali, sebaliknya tanaman Pistia stratiotes hanya mampu tumbuh pada medium limbah yang diencerkan 60 kali. Salvinia sp. mampu menyerap logam sebesar 0,49; 0,28; 0,20; dan 0,11 mg Cr/g biomas/hari berturut-turut pada pengenceran limbah 10, 20, 40, dan 60 kali. Sedangkan Pistia stratiotes mampu menyerap logam sebesar 0,05 mg Cr/g biomas/hari pada pengenceran 60 kali. Berdasarkan Gambar 3, penyerapan Cr menurun sebanding dengan peningkatan pengenceran limbah. Dalam inkubasi 12 hari, tanaman air lokal Pistia stratiotes dan Salvinia sp. mampu menguras kromium dalam medium (% re-moval Cr) berturut-turut sebesar 9,9% dan 80,4%. Dengan membandingkan dua tanaman di atas diketahui bahwa rata-rata produksi biomas tanaman Salvinia sp. dalam medium limbah lebih tinggi daripada

tanaman Pistia stratiotes. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa Salvinia sp. mampu menyerap Cr dalam medium limbah lebih tinggi dari pada medium Hoa-gland berturut-turut sebesar 80,4% dan 67,2% selama inkubasi 12 hari.

Dalam penelitian Thilakar et al. (2012) dijelaskan bahwa penyerapan kromium oleh Salvinia natans menunjukkan akumulasi lebih baik daripada Pistia stratiotes. Sedangkan kemampuan yang dimiliki Pistia stratiotes adalah memecah krom menjadi partikel yang tidak membahayakan bagi tumbuhan dan kemampuannya membentuk fitokelat 7 yang mampu mengikat logam berat sehingga menghilangkan efek toksiknya untuk kemudian menyimpannya dalam vakuola. Hidayati (2013) meneliti biomassa Pistia stratiotes 150 gram dengan waktu pemaparan 9 hari memberikan hasil yang terbaik bagi Pistia stratiotes sebagai fitoremediator limbah cair industri pelapisan krom. Menurut Puspita (2011) diantara 3 tumbuhan air yang dicobakan, Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan yang paling mampu menurunkan kadar Cr air limbah batik, diikuti Pistia stratiotes dan Hydrilla verticillata dengan persentase penurunan secara berturut-turut: 49,56%, 33,61% dan 10,84%.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengurangi pencemaran lingkungan khususnya dalam penanganan limbah cair industri yang mengandung logam berat. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada lingkungan yang tepat akan memaksimalkan pengaruh fitoremediasi terhadap penyerapan dan pengurangan racun yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia ini.

Page 29: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Fitoremediasi Kandungan Kromium... Anna Safarrida et al.

105

KESIMPULAN

Dalam medium Hoagland, tanaman Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sementara tanaman Pistia stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman air lokal lainnya. Sedangkan dalam medium limbah cair industri penyamakan kulit, tanaman air Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi daripada tanaman Pistia stratiotes berturut turut sebesar 80,4% dan 9,9%.

DAFTAR PUSTAKA

Haryadi (1996) Heavy metal contents in the

industrial wastes in Indonesia. Proc.symposium on Metal bioaccumu-lation. Yogyakarta 17 September 2000, Indonesia.

Hidayati N (2013) Mekanisme Fisiologis Tumbuhan Hiperakumulator Logam Berat. J Tek Lingkungan 14(2):75-82.

Parsek RM, MS McFall, MA Chakrabarty (1997) Microbial degradation of toxic chemicals: Evolutionary Insight. (hal: 1-15) In: Moo-Young M., Anderson A. W & Chakrabarty M. A (eds). Environ-mental Biotechnology: principal & ap-plication.

Prajapati SK, N Meravi, S Singh (2012) Phytoremediation of Chromium and Cobalt using Pistia stratiotes: A Sustainable Approach. Proceedings of

The International Academy of Ecology and Environmental Sciences 2(2):136-138.

Puspita UR, AS Siregar, NV Hidayati (2012) Kemampuan Tumbuhan Air Sebagai Agen Fitoremediator Logam Berat Kromium (Cr) yang terdapat Pada Limbah Cair Industri Batik. Berkala Perikanan Terubuk 39(1):58-64.

Pilon-Smits E (2005) Phytoremediation. Annu Rev Plant Biol 56:15-39.

Sugiyanto T, M Darussalam, N Nurhidayat (1991) Pemanfaatan Gulma Air untuk Menanggulangi Pencemaran Limbah Aktif Cr-51. Proceedings Seminar Reaktor Nuklir dalam Penelitian Sains dan Teknologi menuju Era Tinggal Landas, Bandung, 8-10 Oktober 1991. PPTNBATAN.

Susilaningsih D (1992) Pemanfaatan Tumbuhan Hydrilla verticillata dan Eichornia crassipes sebagai Salah Satu Usaha Pengendalian Pencemaran Logam Kromium (Cr) dari Limbah Pelapisan Logam. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 75 hal.

Thilakar RJ, J Rathi, PM Pillai (2012) Phytoaccumulation of Chromium and Copper by Pistia stratiotes L. and Salvinia natans (L.) All. J Nat Prod Plant Resour 2(6):725-730.

Zayed A, CM Lytle, JH Qian, N Terry (1998) Chromium Accumulation, Translocation and Chemical Speciation in Vegetable Crops. Planta 206(2):293-299.

Page 30: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

106

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN

KONSENTRASI PLASMID

Optimization of Alkaline Lysis Method for the Improvement of Plasmid Concentration

Dudi Hardianto

1,*, Alfik Indarto

2, Nurtjahjo Dwi Sasongko

2

1Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu,

Tangerang Selatan, Banten 15314 2Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah 53122

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Plasmids are extra chromosomal molecules of DNA that replicate autonomously and found in prokaryote and eukaryote cells. There are a number of methods that are used to isolate plasmids, such as alkaline lysis, boiling lysis, using cesium chloride, and chromatography. Amongst the disadvantages in plasmid isolation methods are lengthy time especially when handling a large number of samples, high cost, and low purity. Alkaline lysis is the most pop-ular for plasmid isolation because of its simplicity, relatively low cost, and reproducibility. This method can be accomplished in 50 minutes to one hour. In this research, the alkaline lysis method was developed to obtain suitable plasmid for applications in a molecular biology la-boratory. The aim of this research was to reduce contaminants and improve yield of plasmid. The result of isolation of pICZA plasmid in Escherichia coli gave the concentration of 3.3 to 3.8 µg/µL with the purity of 1.99.

Keywords: Plasmid isolation, pICZ A, Escherichia coli, rapid, alkaline lysis

ABSTRAK Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang bereplikasi secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Banyak metode yang digunakan untuk isolasi plasmid, seperti: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, penggunaan sesium klorida, dan kromatografi. Kelemahan beberapa metode isolasi DNA adalah waktu isolasi yang lama terutama saat isolasi plasmid dalam jumlah banyak, mahal dan kemurniannya yang rendah. Metode lisis alkali merupakan metode yang sangat umum untuk isolasi plasmid karena mudah dilakukan, relatif murah, dan reprodusibilitas. Metode ini dapat dilakukan dalam 50 menit sampai 1 jam. Pada penelitian ini dikembangkan metode lisis alkali untuk memperoleh plasmid yang sesuai untuk penggunaan di laboratorium biologi molekuler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi jumlah kontaminan dan meningkatkan konsentrasi plasmid. Hasil isolasi plasmid pICZA dalam Escherichia coli mempunyai konsentrasi antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL dan kemurniannya 1,99.

Kata Kunci: Isolasi plasmid, pICZ A, Escherichia coli, cepat, lisis alkali

Page 31: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Optimasi Metode Lisis Alkali… Dudi Hardianto et al.

107

PENDAHULUAN Plasmid merupakan molekul DNA

ekstrakromosomal yang dapat bereplikasi (memperbanyak diri) secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Secara alami plasmid terdapat pada bakteri dan beberapa organisme eukariot seperti Saccharomyces ceriviseae. Ukuran plasmid bervariasi antara 1 kb sampai 200 kb. Dalam penelitian rekayasa genetika, plasmid digunakan sebagai kendaraan molekuler untuk memasukkan gen dari luar ke dalam sel inang (Palomares et al. 2004; Yadav et al. 2011). Plasmid mempunyai 3 komponen penting yaitu: 1) Origin of replication (ORI), sehingga plasmid dapat bereplikasi secara mandiri, 2) mempunyai daerah unik sebagai situs pemotongan enzim endonuclease, yang biasa disebut multiple cloning site (MCS), 3) membawa penanda seleksi (biasanya resistensi terhadap antibiotika) untuk membedakan antara sel inang yang mengandung plasmid atau tidak.

Klasifikasi plasmid berdasarkan karakteristik gen yang dikodenya. Terdapat 5 jenis plasmid (Brown 2010), yaitu: 1) plasmid fertilitas atau F, membawa gen tra sehingga plasmid dapat berpindah secara konyugasi, contoh plasmid F pada E. coli, 2) plasmid resisten atau R, membawa gen resistensi terhadap antibiotika, contoh: resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan zeocin, 3) Plasmid Col mempunyai gen pengkode protein kolisin, protein yang dapat membunuh bakteri lain, contoh ColE1 pada E. coli, 4) plasmid degradatif memungkinkan sel inang memetabolisme senyawa yang tidak umum (toluene dan asam salisilat), contoh: Tol pada Pseudomonas putida, 5) plasmid virulensi, memungkinkan sel inang dapat menginfeksi organisme lain. Contoh plasmid Ti pada Agrobacterium tumefaciens

Gambar 1. Plasmid dalam sel bakteri, a: plasmid,

b: kromosom bakteri (Brown 2010)

sehingga dapat menginfeksi tanaman dikotiledon. Plasmid pICZ A merupakan sa-lah satu jenis plasmid resisten yang mempunyai gen pengkode resisten terhadap zeocin.

Plasmid yang pertama kali dikonstruksi adalah plasmid pBR322 (pada tahun 1974) dan merupakan salah satu plasmid yang pertama kali digunakan dalam rekayasa genetika. Sistem penamaan plasmid menggunakan huruf dan angka. Sebagai contoh pBR322, p berarti pasmid, BR merupakan nama orang yang pertama kali mengkonstruksi plasmid (Bolivar & Rodri-quez), dan 322 merupakan nomor identitas spesifik dari plasmid (Balbas et al. 1986). Pada penelitian ini digunakan plasmid pICZ A sebagai model untuk optimasi isolasi plasmid dengan metode lisis alkali. Plasmid pICZ A berukuran 3329 bp mempunyai pUC sebagai ORI yang berasal dari Escherichia coli (E. coli) sehingga dapat bereplikasi di sel E. coli, mempunyai daerah MCS dengan 10 situs enzim restriksi, dan membawa penanda seleksi resitensi terhadap antibiotika zeocin (gen Sh ble). Perbedaan antara plasmid pICZ A, pICZ B, dan pICZ C adalah pada salah satu dari 10 situs enzim restriksi, untuk pICZ A terdapat Apa I, pICZ B Xba I, sedangkan pICZ C Snab I. Kelebihan plasmid pICZ A selain dapat bereplikasi dalam E. coli juga dapat terintegrasi ke dalam genom Pichia pastoris.

Sejak ditemukan plasmid, telah banyak metode dikembangkan untuk mengisolasi plasmid. Metode isolasi plasmid yang tepat sangat penting untuk mendapatkan plasmid dengan konsentrasi dan kemurnian yang tinggi. Keberhasilan Polymerase Chain Re-action (PCR), penentuan urutan DNA (se-quencing), dan kloning gen sangat ditentukan oleh konsentrasi dan kemurnian plasmid. Beberapa metode isolasi plasmid antara lain: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, menggunakan bahan kimia sesium klorida, metode dengan menggunakan microwave (Dederich et al. 2002), dan metode kromatograpi (Birnboim & Doli 1979). Metode isolasi plasmid yang biasa dipakai adalah lisis alkali dan lisis dengan pemanasan (Kiran et al. 2010; Pe-rez-ortin et al. 1986; Yadav et al. 2011). Kelemahan metode lisis dengan pemanasan adalah beberapa E. coli seperti HB101t

a a

b

Page 32: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

108

Gambar 2. Plasmid pICZ A (Easyselect Pichia Ex-

pression Kit 2015)

selnya tidak dapat dilisis dengan pemanasan (Sambrook & Russell 2001). Metode lain untuk isolasi plasmid dengan menggunakan sesium klorida, yang sangat mahal, korosif, toksik, dan memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga metode ini jarang digunakan (Perez-ortin et al. 1986). Banyak kit untuk isolasi plasmid beredar di pasaran. Kit ini menggunakan kolom kromatografi sekali pakai untuk mengabsorpsi plasmid. Matriks yang digunakan beragam, antara lain gelas, res-in anion (dietilaminoetil, dietil-2-hidroksipropil-aminoetil). Isolasi plasmid menggunakan kit relatif lebih mudah tetapi mahal jika dilakukan secara rutin (Sambrook & Russell 2001). Dari metode-metode isolasi di atas, metode lisis alkali merupakan metode isolasi plasmid yang banyak digunakan karena simpel, relatif murah, dan reprodusibilitas (Sambrook & Russell 2001).

Biasanya plasmid diisolasi dari hasil kultivasi E. coli dalam media LB cair yang mengandung antibiotika tetapi E. coli dalam LB padat dapat juga digunakan untuk isolasi plasmid. Penggunaan E. coli dalam LB padat lebih menghemat waktu karena tidak memerlukan tahap sentrifugasi untuk mendapatkan sel E. coli dari media cair (Sato et al. 2012).

Masalah utama dalam isolasi plasmid adalah kontaminan yang berasal dari senyawa fenolik dan polisakarida. Polisakarida menghambat aktivitas enzim restriksi Hind III dan Taq polymerase

sehingga menyebabkan kesalahan dalam interpretasi data penelitian (Kotchoni et al. 2003). Pengembangan metode isolasi plasmid diperlukan untuk mendapatkan plasmid yang murni, mudah, sederhana, cepat, dan murah. Metode yang digunakan merupakan modifikasi metode lisis alkali dari Kotchoni karena metode ini sederhana dan cepat. Modifikasi metode lisis alkali yang telah dilakukan adalah dengan mengganti diterjen sodium dodesil sulfat (SDS) sebagai senyawa pelisis sel dengan campuran enzim lipase dan diterjen (Yadav et al. 2011).

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan metode isolasi plasmid yang mempunyai konsentrasi dan kemurnian tinggi, metode isolasi yang mudah, aman (tidak menggunakan bahan berbahaya), murah, dan waktu yang diperlukan untuk isolasi plasmid antara 50 menit sampai satu jam. BAHAN DAN METODE Bahan

Luria-Bertani (LB) mengandung ekstrak ragi 5%, tripton 10%, dan NaCl 10% dalam air. LB padat mengandung ekstrak ragi 5%, tripton 10%, dan NaCl 10%, agar 2% dalam air. Larutan I mengandung glukosa 50 mM, tris-HCl pH 8,0 25 mM, EDTA pH 8,0 10 mM. Larutan I disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan setelah dingin di simpan pada suhu 4°C. Enzim lisozim ditambahkan ke dalam larutan I saat akan digunakan. Laruran II mengandung NaOH 0,2 M, SDS 1% (b/v). Larutan II harus dibuat segar dari stok NaOH 2 M dan SDS 10% (b/v). Larutan IIIA mengandung ammonium asetat 8 M. Larutan III A disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan setelah dingin di simpan pada suhu ruang. Larutan III B mengandung kalium asetat 5 M 60 mL, asam asetat glasial 11,5 mL, air steril 28,5 mL. Stok larutan enzim lisozim mengandung 20 mg/mL enzim lisozim dalam tris-HCl pH 8,0 10 mM. Regenerasi E. coli

Satu koloni E. coli yang mengandung plasmid pICZ A diinokulasi dalam media LB padat yang mengandung zeocin 50 µg/mL dan diinkubasi pada suhu 37°C selama semalam.

Page 33: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Optimasi Metode Lisis Alkali… Dudi Hardianto et al.

109

Isolasi Plasmid pICZ A Koloni tunggal E. coli diinokulasi dalam

media LB cair yang mengandung zeocin 50 µg/mL dan diinkubasi dengan kecepatan putaran 200 rpm dan suhu 37°C selama semalam. Sebanyak 2 mL suspensi E. coli disentrifugasi dengan kecepatan 5000 g selama 5 menit pada suhu ruang. Endapan E. coli diresuspensi dalam 200 µL larutan I yang mengandung lisozim 4 µg/mL dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Kemudian ditambahkan larutan II sebanyak 400 µL dan dicampur dengan cara inversi 4 sampai 6 kali. Lalu ditambahkan larutan III A sebanyak 200 µL dan dicampur secara hati-hati dengan menggunakan mikropipet dan diinkubasi pada suhu 4°C selama 5 menit. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu ruang. supernatan dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf baru dan ditambah 0,6 volume isopropanol (misalnya jika diperoleh supernatant 1,0 mL maka ditambahkan isopropanol 0,6 mL), dicampur dengan cara inversi sebanyak 4 sampai 6 kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 10 menit, dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu 4°C. supernatan dibuang. Pelet dicuci dengan etanol 70% 400 µL dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu 4°C. Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan dengan desikator vakum selama 10 menit. Pelet diresuspensi dalam air bebas DNAse dan RNAse 50 µL, ditambahkan RNAse A 1 µL, dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 menit. Untuk modifikasi metode Kotchoni larutan III A diganti dengan larutan III B. Konsentrasi dan Kemurnian Plasmid pICZ A

Sampel plasmid sebanyak 2 µL diukur dengan menggunakan nanodrop untuk mengetahui konsentrasi dan kemurnian plasmid. Elektroforesis

Gel agarosa 1% dibuat dengan mengunakan agarosa 0,4 gr dicampurkan dengan TAE 1X sebanyak 40 mL, dan dipanaskan menggunakan microwave sampai larut, setelah hangat ditambahkan SYBR Safe sebanyak 1 µL, dicampur sampai homogen, dan dituang ke dalam cetakan dan dibiarkan sampai padat. Sampel sebanyak 5 µL ditambahkan loading dye 6x 1 µL

dihomogenkan, lalu dimasukan ke dalam sumur gel agarosa yang terbentuk. Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 30 menit. Hasil elektroforesis dilihat dengan UV-transilluminator.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Escherichia coli diregenerasi dalam LB

padat yang mengandung zeocin 50 µg/mL untuk mendapatkan E. coli yang segar, muda, dan mencegah terjadinya kontaminasi saat penyimpanan. Koloni tunggal E. coli digunakan untuk mengisolasi plasmid pICZ A.

Tiga jenis optimasi yang dilakukan pada tahap penambahan larutan III dan kondisi sentrifugasi. Pada metode Kotchoni pengendapan kontaminan atau pengotor plasmid digunakan ammonium asetat 8 M sedangkan pada penelitian ini digunakan larutan yang mengandung kalium asetat 5 M 60 mL, asam asetat glasial 11,5 mL, air steril 28,5 mL sehingga diharapkan pengotor lebih mudah mengendap. Kondisi sentrifugasi yang dioptimasi pada tahap pemisahan pengotor yang tidak larut dengan plasmid, pada metode Kotchoni disentrifugasi dengan kecepatan putaran 10000 g selama 3 menit, sedangkan pada penelitian ini disentrifugasi dengan kecepatan putaran 13000 g selama 5 menit. Hal ini dilakukan agar semua pengotor mengendap sempurna. Optimasi yang ketiga pada tahap pengendapan plasmid, untuk metode Kotchoni plasmid diendapkan dengan penambahan 0,6 volume isopropanol dan diinkubasi pada suhu ruang, sedangkan metode modifikasi plasmid diendapkan dengan penambahan 0,6 volume isopropanol dan diinkubasi pada suhu -20°C selama 10 menit sehingga

Gambar 3. Regenerasi E .coli yang mengandung

plasmid

Page 34: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

110

Gambar 4. Elektroforegram plasmid. Sumuran 1-2 hasil

isolasi plasmid pICZ A dengan metode Kotchoni, sumuran 5-6 hasil isolasi plasmid pICZ A dengan metode modifikasi, sumuran 7-8 hasil isolasi plasmid pET-21d(+) dengan kit, Marker 1 kb.

diharapkan jumlah plasmid yang mengendap lebih banyak karena suhu dingin akan menyebabkan berkurangnya kelarutan plasmid.

Salah satu faktor keberhasilan proses kloning adalah konsentrasi dan kemurnian plasmid yang diperoleh dari hasil isolasi. Penentuan konsentrasi plasmid diukur pada panjang gelombang 260 nm sedangkan kemurnian plasmid ditentukan dengan membandingkan serapan pada panjang gelombang 260/280 nm. DNA murni mempunyai nilai antara 1,8 sampai 2,0. Untuk penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid pICZ A digunakan Nanodrop. Dari hasil penentuan konsentrasi plasmid pICZ A diperoleh antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL, sedangkan metode Kotchoni menghasikan plasmid sebanyak 2,0 sampai 2,8 µg/µL. Kemurnian plasmid pICZA adalah 1,99 (memenuhi persyaratan). Modifikasi metode Kotchoni menghasilkan jumlah plasmid lebih banyak dibandingkan metode Kotchoni.

Hasil visualisasi plasmid pICZ A menunjukkan bahwa plasmid yang diperoleh dengan modifikasi metode Kotchoni mempunyai pita yang lebih tebal dibandingkan dengan metode Kotchoni (Gambar 4.) Modifikasi Kotchoni mempunyai lebih tebal karena mempunyai konsentrasi plasmid lebih besar (antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL). KESIMPULAN

Modifikasi metode Kotchoni

menghasilkan plasmid pICZ A antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL dan kemurniannya 1,99.

DAFTAR PUSTAKA Birnboim HC & J Doli (1979) A rapid alkaline ex-

traction procedure for screening recombi-nant plasmid DNA. Nucleic Acids Res 7(6):1513-1523.

Brown TA (2010) Gene Cloning and DNA Analy-sis: An Introduction, ed. Ke-6. Graphicraft Limited. Hongkong.13-17.

Dederich DA, G Okwuonu, T Garner, A Denn, A Sutton, M Escotto, A Martindale, O Delgado, DM Muzny, RA Gibbs, ML Metzker (2002) Glass bead purification of plasmid template DNA for high throughput sequencing of mammalian genomes. Nucleic Acids Res 30(7):1-5.

Easyselect Pichia Expression Kit for Expression of Recombinant Protein Using pPICZ and pPICZα in Pichia https://tools.thermofisher.com/content/sfs/manuals/easyselect_man.pdf, diakses 20 Oktober 2015.

Kiran C, P Sreekanth, D Ponnala, KR Paithankar (2010) A quick and economical method to isolate plasmid DNA for large scale se-quencing. Int J Appl Biol Technol 1(3):1236-1238.

Kotchoni SO, EW Gachomo, E Betiku, OO Shonukan (2003) A home made kit for plasmid DNA mini-preparation. Afr J Biotechnol 2(4):88-90.

Palomares LA, ST Mondaca, OT Ramirez (2004) Production of recombinant proteins: chal-lenges and solutions. In: Methods in Molecu-lar Biology: Recombinant Gene Expression Reviews and Protocols, vol 267. Balbas P & A Lorence (ed). Humana Press Inc., New Jersey.

Perez-ortin JE, D Ramon, S Ferrer, V Tordera (1986) Rapid plasmid isolation, A laboratory experiment. Biochem Edu 14(3):142-144.

Sambrook J & DW Russell (2001) Molecular Clon-ing, vol. 1.Cold Spring Harbor Laboratory Press., New York.

Sato M, E Akasaka, I Saitoh, M Ohtsuka, S naka-mura, T Sukarai, S Watanabe (2012) A simplified protocol for the semi-large scale recovery of plasmids from Escherichia coli grown on agar plates. J Biomed Sci Eng 5(7):406-408.

Yadav P, A Yadav, V Garg, TK Datta, SL Goswami, S De (2011) A novel method of plasmid isolation using laundry detergent. Indi J Exp Biol 49(7): 558-560.

Page 35: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

111

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU

(Aquilaria beccariana van Tiegh)

Elongation Study on In Vitro Agarwood (Aquilaria beccariana van Tiegh)

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan1,*, Edi Sandra

2, Daru Mulyono

3

1Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2Fakultas Kehutanan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor

3Laboratorium Teknologi Produksi Pertanian BPPT, Gedung 612 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

ABSTRACT The population density of natural agarwood (Aquilaria beccariana) in Indonesia decreased to less than one tree per hectare. Efforts have been carried out on ex situ conservation of agarwood despite facing many obstacles. In vitro propagation is one alternative to speed up the recovery of natural agarwood populations. The purpose of this study was to obtain optimal elongation media for in vitro culture with addition of auxin and cytokinin, namely IBA, BAP and kinetin. The results showed that the best auxin-cytokinin combination was IBA 0.1 mg/L and BAP 0.05 mg/L. This combination increased the height and number of segments of A. beccariana with an average height of 1.64 cm and average number of sections of 6.40. It is suggested that this combination of IBA and BAP was the most effective compared to the other treatments. In addition, the combination of IBA 0 mg/L and BAP 0.03 mg/L gave rise to the best response to increase the number of shoots with an average of 1.91 shoots.

Keywords: Aquilaria beccariana, shoot, elongation, auxin, cytokinin

ABSTRAK Kepadatan populasi gaharu (Aquilaria beccariana) alam di Indonesia kurang dari satu pohon per hektar. Upaya pelestarian gaharu ex situ telah banyak dilakukan tetapi masih banyak kendala. Perbanyakan gaharu in vitro merupakan salah satu cara alternatif untuk mempercepat pemulihan populasi gaharu alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh media elongasi yang optimal pada kultur in vitro gaharu dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Pada penelitian ini digunakan auksin IBA, serta sitokinin BAP dan Kinetin. Hasil penelitian elongasi diperoleh kombinasi auksin dan sitokinin terbaik yaitu, IBA 0,1 mg/L dan BAP 0,05 mg/L. Kombinasi ini meningkatkan tinggi dan jumlah ruas Aquilaria beccariana dengan tinggi rata-rata sebesar 1,64 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan kombinasi IBA 0 mg/L dan BAP 0,03 mg/L memberikan respon terbaik terhadap peningkatan jumlah tunas dengan rata-rata sebanyak 1,91 tunas.

Kata Kunci: Aquilaria beccariana, tunas, elongasi, auksin, sitokinin

Page 36: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

112

PENDAHULUAN Sejarah perdagangan gaharu telah

dimulai sejak abad 3 M, (Soehartono & Mardiastuti 2003). Cina secara teratur telah mengimpor gaharu dari Semenanjung Malaya dan wilayah lainnya. India dan negara-negara tetangganya juga telah lama dikenal sebagai negara-negara produsen gaharu. Perdagangan gaharu di Indonesia dimulai sejak abad ke-5 kemudian perdagangan gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Hindia Belanda (abad 18-permulaan abad 19) dan hingga sekarang.

Permintaan komersial dunia terhadap gaharu dari Indonesia mulai meningkat pada tahun 1970-an. Perdagangan domestik yang tercatat selama tahun 1986 sampai dengan tahun 1996 menunjukkan rata-rata ekspor tahunan resin gaharu kurang lebih sebesar 174 ton per-tahun dengan nilai US $ 1.401.900 sampai 2.014.200 sedangkan rata-rata ekspor kayu gaharu mencapai 147 ton dengan nilai US $ 329.200 sampai 488.500, (BPS 1981-1996). Perkembangan produksi dan ekspor perdagangan gaharu di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan mulai dari tahun 1918 hingga 2000 sebesar 456 ton dengan nilai produksi US $ 2.200.000. Pada tahun 2000-2002 mengalami penurunan sebesar 30 ton dengan nilai produksi US $600.000, (BPS 2000 dalam Asgarin 2002).

Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi Aquilaria sp di Indonesia mendekati kepunahan, (Olfield et al.1998 dalam Soehartono & Mardiastuti 2003). Kelangkaan pasokan gaharu alam lebih disebabkan tingginya permintaan pasar terhadap gaharu. Hal ini disebabkan dalam perburuan gaharu penduduk pendatang cenderung menebang habis semua pohon tanpa mengetahui karakter pohon yang terinfeksi gaharu, sehingga peluang kelangkaan Aquilaria sp semakin besar. La Frankie, (1994) dalam Soehartono & Mardiastuti (2003), menyatakan bahwa penyebaran Aquilaria sp sangat terpencar dan kepadatannya sangat rendah < 1 pohon per hektar. Pada dataran rendah di Malaysia kepadatan genus Aquilaria sp hanya sekitar 2.5 pohon per hektar. Sehingga pada tahun 2004 atas inisiatif Pemerintah Indonesia, semua spesies di dalam genus Aquilaria dan

Gyrinops dimasukkan ke Apendiks II dari Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies-spesies Langka (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) (CITES 2005) Sejak saat itu pohon gaharu oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dimasukkan ke dalam ”Daftar merah spesies-spesies langka” (IUCN 2006).

Akibat merosotnya populasi gaharu di alam, diperlukan upaya khusus untuk pelestariannya. Salah satunya adalah dengan cara penangkaran di luar habitat aslinya (ex situ) melalui penerapan bioteknologi kultur jaringan sehingga diharapkan populasi jenis Aquilaria sp dan Gyrinops sp dapat segera terpulihkan.

Perbanyakan gaharu dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Tetapi perbanyakan secara generatif kurang efektif karena tergantung pada musim bunga dan buah. Disamping itu persentase perkecambahan biji juga sangat rendah (46%) (Asgarin 2002). Penerapan bioteknologi kultur jaringan merupakan usaha alternatif, selain dapat mempercepat perbanyakan diharapkan kualitas bibit gaharu yang dihasilkan menjadi lebih baik. Teknik kultur jaringan ini selain bertujuan perbanyakan, diharapkan dapat mendukung upaya konservasi Aquilaria beccariana khususnya serta Aquilaria sp pada umumnya sehingga nantinya dapat mendukung upaya konservasi in situ melalui pengembalian spesies ini kepada habitat aslinya.

Multiplikasi horisontal pada kultur in vitro gaharu telah berhasil dilakukan. Tetapi morfologi shootlet yang diperoleh memiliki beberapa kekurangan salah satunya adalah jarak antar ruas shootlet sangat pendek dan memiliki ukuran yang kecil. Sehingga perlu dilakukan multiplikasi vertikal (elongasi) untuk memperbaiki performannya.

Penambahan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dengan konsentrasi tertentu diduga dapat meningkatkan elongasi tunas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode elongasi terbaik dengan menggunakan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin (IBA (indole-3-butyric acid), kinetin, dan BAP (6-benzylaminopurine)) pada media dasar Murashige & Skoog (1962).

Page 37: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.

113

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan diperoleh formula elongasi yang tepat dan optimal serta dapat memberikan informasi bagi perbanyakan spesies Aquilaria sehingga kelestariannya dapat terjaga. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Labo-ratorium Teknologi Agro dan Bioteknologi, BPPT di Ciampea, Bogor-Jawa Barat. Alat-alat yang digunakan meliputi: laminar air flow, alat tanam berupa pinset, pisau scalpel, gunting tanaman serta cawan petri. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga macam: a) Bahan media kultur jaringan yaitu media dasar

Murashige & Skoog (MS), gula, agar-agar, zat pengatur tumbuh kinetin, BAP (Benzil Amino Purin) dan IBA (Indole Butiric Acid).

b) Bahan tanaman yaitu shootlet tanaman A. beccariana masing-masing dua ruas yang merupakan hasil multiplikasi tunas.

c) Bahan Disinfektan yaitu fungisida (agrept), bakterisida (benlate), betadin, alkohol 70%, Clorok dan deterjen atau tween.

Penelitian ini dilakukan di dalam laboratorium dengan tahapan sebagai berikut: Pelaksanaan inisiasi dilakukan dengan menanam eksplan hasil multiplikasi ke dalam media elongasi. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini memiliki ukuran 1 cm atau 2 ruas. Penaman dalam media elongasi dilakukan dengan cara ditambahkan beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin (Tabel 1). Pengamatan dan pengambilan data dilakukan setiap minggu selama dua bulan. Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter kuantitatif dan parameter kualitatif. Adapun parameter kuantitatif meliputi: tinggi planlet, jumlah ruas, jumlah tunas baru. Sedangkan parameter kualitatif diperoleh dengan mendeskripsikan setiap kondisi parameter kualitatif yang meliputi: warna eksplan dan kondisi daun (rontok/tidak), planlet (berakar/tidak), berkalus/tidak, kondisi ruas (panjang/pendek).

Rancangan percobaan yang digunakan dalam analisis data adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 4 x 8 dengan jumlah 32 perlakuan masing-masing ulangan seban-yak 10 kali. Total planlet yang diamati adalah sebanyak 320 planlet. Kombinasi perlakuan disajikan Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Kombinasi Aksin (A): IBA dan

Sitokinin (S): Kinetin, dan BAP

Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh

IBA (mg/L) (A)

0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4)

BAP (mg/L) (S)

0.00 (S1) A1S1 A2S1 A3S1 A4S1

0.01 (S2) A1S2 A2S2 A3S2 A4S2

0.03 (S3) A1S3 A2S3 A3S3 A4S3

0.05 (S4) A1S4 A2S4 A3S4 A4S4

Kinetin (mg/L) (S)

0.00 (S5) A1S5 A2S5 A3S5 A4S5

0.01 (S6) A1S6 A2S6 A3S6 A4S6

0.03 (S7) A1S7 A2S7 A3S7 A4S7

0.05 (S8) A1S8 A2S8 A3S8 A4S8

Rancangan Acak Lengkap (RAL), Gasperz (1991)

Yijk = + Ai + Sj + (AS)ij + ijk

Keterangan: i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3, ..., 8 Yijk = Nilai respon tanaman terhadap

perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j dan ulangan ke-k.

= Nilai tengah populasi. Ai = Pengaruh perlakuan auksin ke-i. Sj = Pengaruh perlakuan sitokinin ke-j. (AS)ij = Pengaruh interaksi antara perlaku-

an auksin ke-i dan sitokinin ke-j.

ijk = Nilai galat percobaan pada perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j, dan ulangan ke-k.

Analisis data dilakukan dengan menggu-nakan Daftar Sidik Ragam. Hipotesis dalam uji P. Value:

Ho = Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi, jumlah buku, dan jumlah tunas.

Hi = Perlakuan berpengaruh terha-dap pertambahan tinggi, jum-lah buku, dan jumlah tunas.

Pengambilan keputusan uji P. Hitung P. Hitung < α maka tolak Ho P. Hitung > α maka terima Ho

Jika penelitian ini memberikan hasil signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Rang Test (DMRT) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan yang diberikan.

Page 38: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

114

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis sidik ragam, secara umum kombinasi auksin dan sitokinin (IBA, BAP, dan kinetin) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap parameter peubah tinggi dan jumlah ruas tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah tunas pada minggu ke-8. Uji lanjut Duncan’s pada Tabel 2, 3, dan 4 menunjukkan kelompok kombinasi auksin dan sitokinin IBA + BAP lebih baik dibandingkan kombinasi IBA + kinetin dalam berbagai taraf yang sama terhadap parameter pertambahan tinggi, pertambahan jumlah ruas, serta pertambahan jumlah tunas. Pertambahan Tinggi Tanaman

Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada Tabel 2, menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap tinggi A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam. Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. IBA + BAP memberikan nilai rata-rata lebih tinggi dibanding IBA + Kinetin. Pertambahan tinggi terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA0,1 mg/L + BAP 0,05 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 1,70 cm dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 0,26 cm. Sedangkan pertambahan tertinggi pada kombinasi IBA + Kinetin yaitu pada IBA 0,3 mg/L + Kinetin 0,03 mg/L yaitu sebesar 0,59 cm dan terkecil terdapat dalam media IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,03 mg/L dengan nilai 0,12 cm.

Berdasakan penelitian ini diketahui pula pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan tinggi tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan tinggi tunas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0.03 mg/L. Pemberian kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan tinggi tunas. Seba-

Tabel 2. Hasil Uji Duncan Terhadap Pengaruh

Perlakuan Kombinasi Auksin (A) dan Sitokinin (S) pada Pertambahan Tinggi A. beccariana pada 8 MST

Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh

IBA (mg/L) (A)

0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4)

BAP (mg/L) (S)

0.00 (S1) 0,26hijk 0,43fghijk 0,62efghi 0,85cdef

0.01 (S2) 0,80cdefg 1,47ab 0,88cde 1,64a

0.03 (S3) 1,18bc 1,44ab 1,09bcd 0,80cdefg

0.05 (S4) 1,16bc 1,70a 1,50ab 1,22bc

Kinetin (mg/L) (S)

0.00 (S5) 0,56efghijk 0,16jk 0,28hijk 0,68cdefg

0.01 (S6) 0,36ghijk 0,39ghijk 0,43fghijk 0,22ijk

0.03 (S7) 0,27hijk 0,34hijk 0,59efghij 0,12ijk

0.05 (S8) 0,31hijk 0,37ghijk 0,36ghijk 0,33hijk

Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan

baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5,00%

liknya dengan semakin meningkatnya konsentrasi kinetin, pertam-bahan tinggi tanaman semakin menurun.

Elongasi eksplan gaharu (A. beccariana) dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari bahan tanaman. Faktor internal dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan tumbuh seperti suhu, cahaya, kelembaban serta zat pengatur tumbuh. Pada bagian ini akan dibahas pengaruh/peranan zat pengatur tumbuh terhadap kemampuan elongasi A. beccariana in vitro.

Menurut Gunawan (1992), salah satu fungsi auksin (IBA) adalah dapat memperpanjang sel-sel tanaman. Auksin berperan sebagai pengembangan sel (perpanjangan sel). Media dengan penambahan IBA pada taraf 0 mg/L, 0,1 mg/L, 0,3 mg/L, dan 0,5 mg/L pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,00 mg/L memperlihatkan pertambahan tinggi maupun jumlah ruas yang selalu signifikan. Abidin (1985), menambahkan bahwa pada konsentrasi auksin tertentu dapat menaikkan tekanan osmotik, peningkatan permeabilitas sel terhadap air, pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Peranan auksin mendorong perpanjangan sel (sel elongation) dengan cara mempengaruhi metabolisme dinding sel. Efeknya adalah

Page 39: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.

115

banyak bahan dinding sel primer yang dihasilkan dan didepositkan pada ke dua ujung sel, kemudian struktural sel diregangkan sehingga dimungkinkan deposit dinding sel yang lebih banyak. Dengan demikian ujung tunas terjadi perpanjangan sel. Lebih lanjut Gunawan (1992), menyatakan pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman yaitu dengan cara menginduksi sekresi H+ ke luar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan susunan matrix dinding sel merenggang (wall lossening), akibatnya air menjadi masuk ke dalam sel, sehingga sel membesar.

Pada perlakuan media dengan kombinasi IBA 0 mg/L + BAP pada taraf 0,01 dan 0,03 mampu menghasilkan tinggi planlet yang signifikan. Sedangkan peningkatan konsentrasi BAP 0,05 mg/L cenderung menurunkan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Lan-juan et al (2005), media MS dengan penambahan BA pada konsentrasi yang tinggi (2,6-5,2 µmol/l) dapat menghasilkan tunas Aquilaria agallocha yang transparan (seperti vitrous) dan menghambat elongasi tunas.

Kombinasi IBA 0 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L pada hasil uji Duncan menunjukkan rata-rata tinggi yang semakin menurun dibanding perlakuan kontrol. Penambahan konsentrasi IBA 0,3 dan 0,5 mg/L baik pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,01, 0,03, 0,05 mg/L tidak menyebabkan penambahan tinggi. Hal ini diduga bahwa penambahan taraf auksin (IBA) dapat mempengaruhi pertambahan tinggi yaitu dampak kelebihan jumlah auksin akan ditranslokasikan ke bagian pangkal untuk pembentukan kalus dan akar akibatnya pertambahan tinggi terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weier et al. (1974) dalam Abidin (1985) pada penelitiannya terhadap tanaman tembakau, bahwa dengan penambahan konsentrasi auksin akan terbentuk kalus/akar pada bagian ujung maupun pangkal yang terinisiasi (Gambar 1).

Berdasarkan Tabel 2 dan 3, penambahan konsentrasi IBA 0,1 mg/L + BAP 0,05 mg/L merupakan kombinasi terbaik untuk elongasi. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan perlakuan kombinasi

IBA dan kinetin hanya menghasilkan pertambahan tinggi rata-rata yang lebih rendah. Hal ini diduga mekanisme kerja IBA dan kinetin kurang efektif terhadap pertambahan tinggi. Santosa (1993) dalam Maulida (2004) menyatakan bahwa BAP lebih cenderung merangsang multiplikasi tunas dibanding kinetin. Sedangkan kinetin lebih cenderung mempercepat induksi tunas. Selain itu kesesuaian pemakaian zat pengatur tumbuh juga merupakan faktor pembatas bagi spesies tanaman, (Wattimena 1992).

Pertambahan Jumlah Ruas

Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap jumlah ruas A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam. Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. Pertambahan jumlah ruas terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA 0,3 mg/L + BAP 0,05 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 6,50 ruas dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 0,00 ruas. Sedangkan pertambahan jumlah ruas terbanyak pada kombinasi IBA + Kinetin yaitu pada IBA 0,1 mg/L + Kinetin 0,01 mg/L yaitu sebesar 1,50 ruas dan terkecil terdapat dalam media IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,03 mg/L dengan nilai 0,00 ruas.

Dari penelitian ini juga diketahui pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Dengan semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan jumlah ruas tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan jumlah ruas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0,05 mg/L. Sebaliknya, kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan jumlah ruas. Tetapi dengan semakin meningkatnya konsentrasi kinetin, pertambahan jumlah ruas tanaman semakin menurun.

Pada perlakuan media dengan kombinasi IBA 0 mg/L + BAP pada taraf 0,01 dan 0,03 mampu menghasilkan jumlah ruas

Page 40: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

116

Tabel 3. Hasil uji Duncan terhadap pengaruh

perlakuan kombinasi auksin (a) dan sitokinin (s) pada pertambahan jumlah ruas A. beccariana pada 8 MST

Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh

IBA (mg/L) (A)

0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4)

BAP (mg/L) (S)

0.00 (S1) 0,00i 0,80fghi 2,30defg 2,00defgh

0.01 (S2) 3,33bcd 5,55a 3,22bcde 5,40a

0.03 (S3) 4,86ab 5,86a 4,73abc 3,09cde

0.05 (S4) 4,90ab 6,40a 6,50a 5,25a

Kinetin (mg/L) (S)

0.00 (S5) 1,00fghi 0,00i 1,15fghi 2,60def

0.01 (S6) 0,60ghi 1,50efghi 0,70ghi 0,40hi

0.03 (S7) 0,00i 0,40hi 1,50efghi 0,00i

0.05 (S8) 0,20hi 0,30hi 1,30fghi 0,40hi

Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan

baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5.00%

Tabel 4. Hasil uji Duncan terhadap pengaruh perlakuan

kombinasi auksin (a) dan sitokinin (s) pada pertambahan jumlah tunas baru A. beccariana

pada 8 MST

Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh

IBA (mg/L) (A)

0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4)

BAP (mg/L) (S)

0.00 (S1) 1,00cde 1,00cde 1,00cde 1,00cde

0.01 (S2) 1,67a 1,27c 1,33bc 1,11cde

0.03 (S3) 1,91a 1,64ab 1,64ab 1,22cd

0.05 (S4) 1,80a 1,90a 1,80a 1,60ab

Kinetin (mg/L) (S)

0.00 (S5) 1,10cde 1,00cde 1,00cde 1,00cde

0.01 (S6) 0,90de 1,00cde 1,00cde 0,80e

0.03 (S7) 1,00cde 1,00cde 1,00cde 0,80e

0.05 (S8) 1,00cde 1,00cde 1,00cde 0,90de

Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan

baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5.00%

yang signifikan. Sedangkan peningkatan konsentrasi BAP 0,05 mg/L cenderung menurunkan jumlah ruas planlet yang dihasilkan. Kombinasi IBA 0 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L pada hasil uji Duncan juga menunjukkan rata-rata jumlah ruas yang semakin menurun dibanding perlakuan kontrol.

Penambahan konsentrasi IBA 0,3 dan 0,5 mg/L baik pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,01, 0,03, 0,05 mg/L tidak menyebabkan penambahan jumlah ruas planlet. Hal ini diduga bahwa penambahan taraf auksin (IBA) dapat mempengaruhi pertambahan jumlah ruas yaitu dampak kelebihan jumlah auksin akan ditranslokasikan ke bagian pangkal untuk pembentukan kalus dan akar akibatnya pertambahan jumlah ruas terhambat. Pertambahan Jumlah Tunas Baru

Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada tabel 4 menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap pertambahan jumlah tunas A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam (Tabel 4). Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. Pertambahan jumlah tunas terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA 0,0 mg/L + BAP 0,03 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 1,91 tunas dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 1,00

tunas. Sedangkan pada perlakuan kombinasi IBA dan Kinetin tidak terjadi pertambahan jumlah tunas. Dari penelitian ini diketahui pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Dengan semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan jumlah tunas tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan jumlah tunas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0,03 mg/L. Sebaliknya, kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan jumlah tunas. Semakin meningkatnya konsentrasi kinetin tidak menambah jumlah tunas yang dihasilkan. Disamping itu pada perlakuan tersebut tunas yang dihasilkan tidak membentuk tunas yang normal/transparan (vitrous).

Pada penelitian ini pada umumnya terjadi pembentukan kalus. Kalus yang terbentuk berwarna bening kehijauan sampai hijau, bertekstur padat dan kompak. Kalus terbentuk pada pengamatan minggu ke-3 dan selalu mengalami pertambahan besar tetapi tidak mempengaruhi bentuk tunas.

Kalus terbentuk pada bagian pangkal ruas yang kontak langsung dengan media. Kalus terbentuk dan membesar seiring dengan peningkatan konsentrasi IBA yang ditambahkan. Pada konsentrasi IBA 0,3-0,5

Page 41: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.

117

Gambar 1. Kalus terbentuk pada shootlet

Gambar 2. Akar terbentuk pada minggu ke-4

mg/L kalus yang terbentuk lebih besar dibanding dengan kontrol.

Kombinasi IBA + BAP tidak mengalami pembentukan akar pada semua taraf perlakuan, serta pada kombinasi ini warna planlet yang dihasilkan terlihat hijau tua. Media dengan kombinasi IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,05 mg/L akar mulai terbentuk pada minggu ke-4. Akar yang terbentuk merupakan akar adventif yang berjumlah satu sampai dua akar dengan warna putih kecoklatan.

Penambahan taraf konsentrasi IBA + BAP/kinetin tidak mampu memperbanyak jumlah tunas yang dihasilkan. Berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Rosdayanti, (personal communication 2007) penelitian dengan menggunakan kombinasi sitokinin (BAP dan kinetin) pada taraf 1 mg/L dan 0,5 mg/L mampu menghasilkan 4-5 tunas adventif pada Aquilaria malaccensis. Hal ini diduga bahwa kombinasi auksin dan sitokinin efektif dalam multiplikasi vertikal (elongasi) sedangkan kombinasi sitokinin mampu menghasilkan multiplikasi horisontal.

Kombinasi IBA + BAP berpengaruh pada pembentukan kalus pada semua taraf perlakuan, begitu juga pada kontrol terlihat adanya pembentukan kalus pada bagian pangkal. Pembentukan kalus yang terjadi diduga akibat adanya auksin endogenous (IAA) yang terbentuk secara alami pada bagian meristem.

Kombinasi IBA + kinetin berpengaruh pada pembentukan kalus pada pengamatan minggu ke-3. Media dengan penambahan IBA + kinetin pada semua taraf mempengaruhi pembentukan kalus.

Pemakaian IBA dan kinetin pada konsentrasi yang tinggi yaitu IBA 0,3 dan 0,5 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L cenderung terbentuk planlet yang tidak sempurna. Pada minggu ke-3 planlet mulai terbentuk kalus yang membesar kemudian secara perlahan akan menutupi seluruh bagian planlet sehingga planlet tidak mengalami pertambahan tinggi, tidak beruas, serta tidak mengalami pertambahan tunas baru pada ketiak daun. Planlet yang terbentuk menjadi kerdil dan berwarna kuning kehijauan. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa, a). Penambahan zat pengatur tumbuh

auksin (IBA) dan sitokinin (BAP/kinetin) berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi dan jumlah ruas, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas planlet A. beccariana.

b). Kombinasi auksin IBA 0,1 mg/L dan sitokinin BAP 0,05 mg/L memberikan hasil yang paling optimal dalam peningkatan tinggi dan jumlah ruas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan pertambahan tinggi rata-rata hasil uji Duncan sebesar 1,70 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas.

c). Kombinasi auksin IBA 0 mg/L dan sitokinin BAP 0,03 mg/L memberikan hasil yang paling optimal dibanding perlakuan yang lain dalam peningkatan jumlah tunas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan rata-rata hasil uji Duncan’s sebesar 1,91 tunas.

Page 42: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

118

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z (1985) Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Penerbit Angkasa.

Asgarin (2005) Budidaya, Teknik Inokulasi, Cara Pemanenan, dan Induksi Gaharu. makalah, Pelatihan Budidaya dan Pengolahan Gaharu. SEAMEO-BIOTROP, Bogor

BPS (1981–1996) Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia (Indonesian Foreign Trade Statistics) Vol. I & II. Biro Pusat Statistik Indonesia. Ja-karta.

BSN (2004) Standar Nasional Indonesia Gaharu. http//www.dephut.go.id/INFORMASI/SNI/gaharu.HTM. Diakses 30 Februari 2016.

CITES (2005) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna: Resolution of the conference of the attendant parties. 13th meeting, 2-14th Octo-ber, 2004; Bangkok, Thailand.

Gasperz & Vincent (1991) Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi. Bandung: Penerbit Armico.

Gunawan LW (1992) Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. IUCN (2015) World Conservation Monitoring Centre, Aquilaria beccariana. The IUCN Red

List of Threatened Species Threatened Species 1998: e.T38067A10095644.. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.1998.RLTS.T38067A10095644.en. Diakses Februari 2015.

Lan-Juan Hu, M He, S Qi (2005) Rapid In Vitro Propagation of Medicinally Im-portant Aquilaria agallocha. J Zhejiang Univ Sci B. 2005 Aug; 6(8): 849-852.

Maulida (2005) Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IBA dan BAP pada Perbanyakan Tanaman Jarak Kaliki (Ricinus communis L.) Varietas Bangkok secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor.

Murashige T & F Skoog (1962) A revised me-dium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15(3):473-497.

Soehartono T & A Mardiastuti (2003) Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. terjemahan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Japan International Cooperation Agency-Jakarta. http://www.worldcat.org/title/pelaksanaan-konvensi-cites-di indone-sia/oclc/225522402. Diakses Februari 2016.

Wattimena GA (1992) Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 43: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

119

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM

(Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN

Induksi Perakaran In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dengan Auksin

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail: [email protected]

ABSTRAK Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) memiliki potensi yang besar sebagai sumber pangan, energi dan bahan baku industri. Kultur jaringan tanaman sagu telah dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dalam rangka perbanyakan genotipe atau aksesi unggul secara massal. Namun demikian, kendala utama yang dihadapi pada perbanyakan in vitro tanaman sagu adalah sulitnya pembentukan akar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi hormon yang tepat dalam menginduksi perakaran tanaman sagu in vitro. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari daerah Rangkasbitung, Provinsi Banten digunakan sebagai eksplan. Dalam penelitian ini perakaran in vitro diinduksi dengan berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi hormon auksin, konsentrasi medium dan jenis agar. Sebagai medium dasar digunakan medium Gamborg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan NAA yang terbaik adalah pada taraf 35 ppm. Selanjutnya Gelrite memberikan respon yang positif dengan munculnya perakaran pada pangkal eksplan.

Kata Kunci: Induksi perakaran, jenis agar, kultur in vitro, auksin, sagu

ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb) has huge potential as food, energy and industrial bioresources. In vitro culture of sago palm was performed in Biotech Center, BPPT in order to obtain a large-scale of mass clonal propagation of superior genotypes. Nevertheless, the main obstacle for the sago palm in vitro propagation was rooting formation. The purpose of our study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots in vitro. The young suckers (15-20 cm) obtained from Rangkasbitung area, Banten Province, were used as explants. In our study, in vitro rooting was induced by different types and concentrations of auxin, medium strength and solidifying agents. The shoots were cul-tured on Gamborg media. The result showed that the best level of both hormones IBA and NAA for root induction was 35 ppm. Moreover the solidifying agent of Gelrite gave positive response by stimulating root at the basal-end.

Keywords: Rooting induction, solidifying agent, in vitro cultures, auxin, sago palm

Page 44: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

120

INTRODUCTION

Sago palm is the original plant from Southeast Asia, and has a huge potential as food and energy bioresources, as well as raw material for various industries. This palm is recognized as the mankind's oldest food plant with the starch contained in the trunk used as a staple food in Southeast Asia.

The starch production of sago palm is 3 to 4 times higher than rice, corn or wheat, and 17 times higher than cassava (Karim 2008). In order to support the food security program and to fulfill the national food con-sumption, it is important to develop the non-rice food crops as an alternative source of carbohydrates and food diversification. The sago palm is one of those prospective plants that have attracted the government attention as the alternative non-rice food crop, with the environmental conserved function. This palm was included in the pro-gram to accelarate its development (Direktorat Jenderal Perkebunan 2013). The starch of sago in 100 g contains some nutri-tion such as: 285 calori, 77 g water, 0.2 g protein, 30 mg calsium, 71 g carbohydrate, 0.7 mg Fe and 0.3 g fiber (Johnson 2010).

Natural sago forest is wide spread in large area in Maluku and Papua regions. Bintoro (2003) stated that high quality sago palm, with high starch productivity, can only be found in those regions. Sago palm has many advantages over other starch-producing crops especially for its higher yield, grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Moreover, for the benefit of plantation no regular replanted is needed.

Sago palm is propagated generatively by seed and vegetatively by suckers. Since there are little number of seed found in the fruit bunch and low rate of seed germination ability, production of seedling from seed is not recommended. The result of germina-tion study showed that the seed had low germination rate outcome, which was only 3.50 to 6.43% (Limbongan et al. 2005). Moreover, sago palm propagation by seed will resulted in high genotypic variation.

Vegetative propagation using suckers is a common practice and preference for sago palm farmers (Wahid 1987; Kanro et al. 2003). This type of propagation can pro-

duce seedlings that have the same charac-teristic as their mother plants. As seedling resources, suckers can be obtained from mature sago tree that going to be cut down for starch harvesting. The suckers that usu-ally used for seedling are already 1 one year-old with ±1 m in height, 3-5 kg in weight and 10 to 15 cm in diameter. Rooting is induced traditionally by immersing the suckers in running water or river for 2-4 weeks, or sometimes more, depending on the roots development (Mashud 1991). In nurseries, the mortality rate of suckers is around 20-40%. In the dry season, higher mortality rates are common (Jong 1995). Trimming of roots to as short as 1 cm did not affect the subsequent survival of the suckers. Trimming of the rhizomes close to the growing point of the sucker was delete-rious. When planting of suckers was de-layed, treatment with a wide-spectrum fungicide while storing the suckers in cool and moist places was proved can reduce their mortality rate.

Nevertheless supplying seedling de-rived from the old and large suckers is chal-lenging, since the amount of the old suckers is only a few in one mature tree. In contrary, from one mature sago tree, there are a lot of small and young suckers available. The small and young suckers though can only be induced using artificial media via plant tissue culture. Using in vitro culture tech-nology, the small and young suckers can be stimulated to provide vigor and high quality planting materials.

To fulfill market demand, and to some extend, to prevent its extinction, sago palm plantation need to be developed by planting elite varieties in other areas. For these rea-sons a large number of seedlings are need-ed. Using the in vitro culture and high qualities mother plants, qualified seedling can be generated. In vitro propagation of sago palm has been conducted by many researchers using embryos (Hisajima et al. 1991), through somatic embryogenesis (Tahardi et al. 2002; Riyadi et al. 2005; Sumaryono et al. 2012) and direct shooting (Tajuddin et al. 2015). The problem arises when the in vitro sago shoots are usually weak with few roots or no root at all, and have low survival rates during acclimatiza-tion. The roots are important during accli-matization stage, so plantlet can pass this

Page 45: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.

121

period with success. The purpose of this study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots via in vitro culture.

MATERIALS AND METHODS Plant Materials

Research activity was performed in Plant Tissue Culture Laboratory, Biotech Center BPPT, located in Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten Province. For the purpose of in vitro propagation, samples of sago suckers, as long as 7-10 cm, were taken from Rangkasbitung area, Banten Province. The sucker sterilization was conducted as described by Tajuddin et al. (2014).

Rooting Induction A. Experiment 1

As explant resources, the sago palm shoots were prepared by in vitro culture as performed by Tajuddin et al. (2015) which had no any roots yet. The selected explants were subsequently transferred into rooting induction media containing auxin. In this ex-periment, several kinds of auxin were ap-plied in high concentration as a single factor. Kinds of auxin were IAA (indole-3-acetic ac-id), IBA (indole-3-butyric acid) and NAA (naphthaleneacetic acid), with the concentra-tion ranged from 15, 20, 25, 30, 35 upto 40 ppm in B5 media (Gamborg et al. 1976). The explants were cut at the basal-end point to increase their surface area in contact with media. Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained, length of root, and color of root. All treatments were repeated for 5 times.

B. Experiment 2 In the second experiment, two kinds of

auxin, NAA and IBA, were applied in combination treatments. The concentration levels of NAA were 1.0, 1.5, 2.0, 2.5 ppm. Whilst IBA, in low concen-tration, were 0.25 and 0.5 ppm. The third factor was medium strengths, which were normal con-centration (full strength) and half of normal con-centration (half strength). The basic media used was B5 (Gamborg et al. 1976). The fourth factor was solidifying agent, which was applied when a semi solid medium was required. The solidifying agents used were Agar and Gelrite. The experi-mental design was illustrated in Table 1.

Ascorbic acid and casein hydrolisate were added into the media, but not as treatment factors. The same as previous experiment, the explants used were shoots without any roots. The explants were cut at the basal-end point to increase the surface contact with media.

Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained, length of root, and color of root. The treatment repetition was 3 times.

C. Experiment 3

Based on the results obtained from experiment 1, the experiment 3 was de-signed in order to find the right formula of auxin for root formation by selecting the range of IBA concentration in narrow scale. The auxin of IBA was applied as a single treatment, and ranged as 33, 33.5, 34, 34.5, 35, 35.5, 36, 36.5, 37 and 37.5 ppm. The explants used were shoots without any roots. The explants were cut at the basal-end point to increase their surface area in contact with media. Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained,

Table 1. Treatment combination of growth hormones, medium strength and solidifying agents

Medium Strength

IBA (ppm)

NAA (ppm)

Solidifying Agent: Agar (A) Solidifying Agent: Gelrite (G)

1 1.5 2 2.5 1 1.5 2 2.5

Half Strength

Medium (H)

0.25 HA1 HA2 HA3 HA4 HG1 HG2 HG3 HG4

0.5 HA5 HA6 HA7 HA8 HG5 HG6 HG7 HG8

Full Strength

Medium (F)

0.25 FA1 FA2 FA3 FA4 FG1 FG2 FG3 FG4

0.5 FA5 FA6 FA7 FA8 FG5 FG6 FG7 FG8

Page 46: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

122

length of root, and color of root. All treatments were repeated for 10 times. RESULTS AND DISCUSSION

A. Experiment 1

In order to pass the acclimatization phase and to be successful after planting in the field, the root system has to be estab-lished on the plantlets or seedlings. In our study, the rooting system was induced by growth hormones in sago shoots derived from in vitro culture. The growth hormones were selected from auxin class, such as NAA, IAA and IBA, which function in roots stimulation. These kinds of auxin are also commonly applied for rooting induction on many other plants in tissue cultures media. For this experiment, the concentration of auxin was applied in high concentration, given that in low concentration had no re-sponse in our previous initial trials, although having 2 months incubation in culture room. The observation results of our experiment are exposed in Table 2. It shows that the treatment of IBA 15, 25, 30, 35, 40, as well as NAA 30, 35 and 40 gave positive responses. Rooting emerged from the basal-end of shoots, which differ in number and length. The root color was also gradually fluctuated from red to green in color. While the treatments of IAA at all lev-

el of concentration had no response on root initiation (data not shown).

Based on the types of growth hormones applied, only NAA and IBA gave positive responses. IBA stimulated growth of root from the concentration level of 15 to 40 ppm, whereas the concentration of 35 ppm induced the highest number of roots. NAA induced rooting from the concentration level of 30 to 40 ppm. Based on the number of root and rooting performance, the best level of both hormones was 35 ppm. Roots were emerged from shoots started from red swollen structure at the basal end in the 6th week, then changed into small red roots on the 8th week. Comparing the shoot to each other, the emergence of roots were observed at various time. First swollen structure was examined on the IBA 35 ppm treatment. On the 12nd week, the root became larger, longer, with hairy roots, and still red in color. While on the 16th week, the root color changed to green, and after 24th week the shoots (or plantlets) were ready to transfer into the green house for acclimatization phase (Figure 1).

Different timing of root formation among treatments may be as a result of different concentration of growth hormone added, as well as physiological differences

Table 2. The results of auxins concentration for rooting formation in sago shoots

Hormone (ppm)

Shoot response

Explants with roots

Average no. of roots

Root Color

Length of root (cm)

% Rooting

IBA 15 Rooting 1 6 Red 0.2-0.5 20

IBA 20 No 0 0 - - 0

IBA 25 Rooting 3 6 Greenish Red 0.2-2.3 60

IBA 30 Rooting 1 8 Brownish Red 0.5-1 20

IBA 35 Rooting 3 7.3 Green 0.2-2.2 60

IBA 40 Rooting 3 2.6 Reddish Green 0.3-1.5 60

NAA 15 No 0 0 - 0 0

NAA 20 No 0 0 - 0 0

NAA 25 No 0 0 - 0 0

NAA 30 Rooting 2 6 Green 0.2-3 40

NAA 35 Rooting 3 2 Reddish Green 0.2-4.5 60

NAA 40 Rooting 1 2 Reddish Green 0.7-1.2 20

Page 47: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.

123

Figure 1. Roots formation on treatment IBA 35 ppm, which roots are red in color (A); the root color turn to green

(B); the plantlet ready for acclimatization phase (C)

Figure 2. New shoots appearence on the

explants at the end of experi-ment period, 24

th week

Figure 3. Root formation at the base of sago shoot on

Gelrite treatment. Half strength (A), and full strength (B)

of sago shoots. The average time to establish roots formation, from the first emergence up to ready for acclimatization, was 4 to 5 months. For other treatment that did not producing any root, was maintained its freshness until the end of experiment period. The shoots were green in color and the increased in height. Surprisingly, still new shoots were initiated on that treatment (Figure 2).

B. Experiment 2

The rooting experiment was per-formed in order to find the best formulation of growth hormones for inducing rooting system in sago shoots in vitro. Similar to our previous work, in this experiment, two kinds of auxin were added, NAA and IBA. Instead of using high concentration of auxin, this time the concentration applied was low, lesser than 3 ppm. In combination, the level of NAA was slightly higher than IBA. The result of experiment is shown in Table 3.

It clearly shows that the solidifying agent of Agar has negative response on rooting formation. All treatment that cul-tured on Agar media did not induce any roots, eventhough some treatments indi-

cated the swollen structure at the basal end (treatment HA1, HA2 and HA5).

On the other hand, the solidifying agent Gelrite gave positive response by stimulating the swollen structure followed by the root appearance at the basal-end, regardless the concentration of basic me-dia. Gelrite was high purity solidifying agent, while the Agar used was the commersially purchased Agar. The differ-ent composition between these solidifying agents may result in different response of rooting formation.

Both half strength and full strength of basic media concentration, producing swollen structure at the basal end, as well as the root formation (Figure 3). It seems that the difference of osmotic potential among these two media had no effect on the growth of sago shoots and roots initia-tion.

C. Experiment 3

This experiment was a continuation of rooting induction treatment in Experiment 1, which was concluded that adding 35 ppm IBA into the shoot culture resulted in the best root formation.

A. B. C. A. B. C.

A. B. A. B.

Page 48: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

124

Table 3. Effect of auxins concentration in basic media and kind of solidifying agents on roots formation at sago shoots

Treatment Response on

basal end Shoots

with root Average root

number Root color

Root length (cm)

Swollen basal end

HA1 Swollen - - - - 2

HA2 Swollen - - - - 2

HA3 - - - - - -

HA4 - - - - - -

HA5 Swollen - - - - 1

HA6 - - - - - -

HA7 - - - - - -

HA8 - - - - - -

HG1 Rooting 1 1 Red 0.2 2

HG2 Rooting 1 1 Red 0.6 2

HG3 - - - - - -

HG4 - - - - - -

HG5 - - - - - -

HG6 Swollen - - - - 3

HG7 Swollen - - - - 3

HG8 Swollen & Red - - - - 3

FA1 - - - - - -

FA2 - - - - - -

FA3 - - - - - -

FA4 - - - - - -

FA5 - - - - - -

FA6 - - - - - -

FA7 - - - - - -

FA8 - - - - - -

FG1 Rooting 1 1 Red 1.1 2

FG2 Swollen & Red - - - - 3

FG3 - - - - - -

FG4 Rooting 1 1 Red 1.5 2

FG5 - - - - - -

FG6 - - - - - -

FG7 Swollen & Red - - - - 3

FG8 - - - - - -

Note: Treatment codes are refer to Table 1 (Materials & Methods)

In this experiment, the range of IBA

concentration was narrowly outlined, in order to observe its effect on rooting formation specifically. The outcome of this experiment was similar to the result of Experiment 1.

Only the treatment of IBA 35 ppm showed swollen structure at basal-end of shoot, which was red in color. The concentration of IBA, either lower or higher than 35 ppm, did not show any positive effect on rooting

Page 49: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.

125

Figure 4. Swollen structure appearance (white arrow)

at the basal end of shoot on the treatment IBA 35 ppm

formation. It seems that the concentration of 35 ppm was the precise level of IBA to induce rooting on sago shoots. Swollen structure was formed after 8 weeks of culture.

The result from previous experiment indicated that after 8th week, the swollen structure developed into roots. Roots system soon expanded and elongated. Figure 4 pre-sents the response of treatment IBA 35 ppm to sago shoots.

CONCLUSION

From our research activities it can be

concluded that the best treatment for inducing root was IBA at the concentration of 35 ppm. Moreover, the solidifying agent Gelrite gave positive response by stimulating the root formation. Rooting emerged from the basal-end of shoots, which varied in number and length. The root color was also gradually changed from red to green in color.

ACKNOWLEDGMENTS

This work was supported by research col-

laboration between PT Sampoerna Bio Energi and Biotech Center BPPT on the Establishment of Tissue Culture System of Sago Palm. REFERENCES Direktorat Jenderal Perkebunan (2013)

Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tahunan: Pedoman teknis pengembangan tanaman sagu. Pedoman teknis pengembangan

tanaman sagu tahun 2014. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, 24p.

Bintoro MH (2003) Potensi pemanfaatan sagu untuk industri dan pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado 06 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Gamborg OL, T Murashige, TA Thorpe, IK Vasil (1976) Plant tissue culture media. In Vitro 12(7):473-478.

Hisajima S, FS Jong, Y Arai, ES Sim (1991) Propagation and breeding of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) plant in vitro: 1. Embryo culture and induction of multi-ple shoots from sago embryos in vitro. Jap J Trop Agric 35(4):259-267.

Johnson DV (2010) Tropical palms. 2010 revision. Food and Agricultural Organi-zation of United Nation. 242p.

Jong FS (1995) Research for the develop-ment of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) cultivation in Sarawak, Malay-sia. PhD Thesis, Wageningen Univ. 139p.

Kanro MZ, A Rouw, A Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, Ateka (2003) Tanaman sagu dan pemanfaatannya di Propinsi Papua. J Litbang Pertanian 22(3):116-124.

Karim AA, AP Tie, DMA Manan, ISM Zaidul (2008) Starch from sago (Metroxylon sagu) palm tree – Properties, prospect and challenges as a new industrial source for food and other uses. Com-prehensive Reviews in Food Sci & Fo-od Safety 7(3):215-228.

Limbongan J, A Hanafiah, M Nggobe (2005) Pengembangan sagu Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Pa-pua. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Mashud N (1991) Faktor-Faktor yang harus diperkirakan untuk membudidayakan tanaman sagu. Balai Penelitian Kela-pa. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian. Departemen Pertanian. Manado. Buletin Balitka No 13: 111-116.

Riyadi I, JS Tahardi, Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) on solid media. Menara Perkebunan 73(2):33-40.

Page 50: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

126

Sumaryono, W Muslihatin, D Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on growth and performance of in vitro sago palm (Metroxylon sagu Rottb) plantlets. Hayati J Biosci 19(2):88-92.

Tahardi JS, NF Sianipar, I Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb). In: K Kaimuna, M Okazaki, Y Toyoda, JE Cecil (eds.), New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Universal Ac-ademic Press, Inc. Tokyo, Japan.

Tajuddin T, Karyanti, T Sukarnih, N Haska (2014) A revised method for sucker steri-

lization to support the in vitro propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb). J Bioteknol Bios Indon 1(1):21-26.

Tajuddin T, Karyanti, T Sukarnih, N Haska (2015) The combination of growth hormones increased in vitro shoots multiplication on sago palm (Metroxylon sagu Rottb). J Bioteknol Bios Indon 2(1):73-79.

Wahid AS (1987) Pengaruh besar anakan, naungan dan penyimpanan terhadap pertumbuhan bibit tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb). Tesis. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Page 51: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

127

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT

BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae

Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio. L) yang Diberi Pakan Fermentasi Substrat Campuran Dedak Padi dan Ampas Kelapa Menggunakan Rhizopus oryzae

Robby Dzul Umam

1, Catur Sriherwanto

2,*, Etyn Yunita

1, Imam Suja’i

2

1)Dept. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2)Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK Dedak padi dan ampas kelapa dicampur dengan perbandingan tertentu dan kemudian difermentasi menggunakan Rhizopus oryzae untuk pakan ikan. Uji pemberian pakan lalu dilakukan untuk mengetahui pengaruh pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.). Dalam penelitian ini digunakan 5 perlakuan: satu perlakuan pakan tanpa fermentasi (pakan komersial 100%), dan empat perlakuan pakan fermentasi substrat campuran bekatul dan ampas kelapa dengan empat perbandingan yang berbeda, yakni 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, dan 0%:100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% (protein sejati 15,25% dan serat kasar 6,27%) memperlihatkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan ikan mas dengan pertambahan bobot badan 2,56 g dan rasio konversi pakan 1,95. Sementara itu pemberian pakan fermentasi (protein sejati berkisar 4,89-9,97% dan serat kasar 22,87-25,70%) hanya menghasilkan pertambahan bobot badan ikan pada kisaran 0,47-0,64 g dengan rasio konversi pakan 2,50-2,64. Dengan demikian pakan fermentasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ikan mas meskipun masih kurang optimal dibandingkan dengan pakan komersial.

Kata Kunci: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, rice bran, coconut bagasse, fermentation

ABSTRACT Rice bran and coconut bagasse were mixed and then fermented using Rhizopus oryzae for prepar-ing aquafeed. Subsequent feeding test was carried out to determine the effect on the growth of carps (Cyprinus carpio L). Five feeding treatments were employed, one unfermented feed (com-mercial feed 100%), and the other four feeds produced by fermentation using substrate mixture of rice bran and coconut pulp in four different ratios, namely 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, and 0%:100%. The results showed that feeding 100% commercial feed (true protein 15.25% and crude fibre 6.27%) showed the best results on the fish growth with body weight gain of 2.56 g and feed conversion ratio of 1.95. Meanwhile, feeding fermented feeds (true protein 4.89-9.97% and crude fiber 22.87-25.70%) only resulted in body weight gain in the range of 0.47 to 0.64 g with feed con-version ratio of 2.50 to 2.64. Thus, the fermented feeds promoted growth in tested carps albeit less optimally than commercial feed.

Keywords: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, dedak, ampas kelapa, fermentasi

Page 52: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

128

INTRODUCTION

Up to 80% of animal feed raw materi-als in Indonesia are supplied from abroad (IFT Online 2013), an irony as Indonesia is an agrarian country that could have been self sufficient in supplying national demand for animal- and plant-based animal feedstuffs. The locally produced raw materi-als have been so far underutilized and poorly managed, causing discontinuous supply and scarcity (Kementrian Pertanian Indonesia 2014). Thus, the so called national “self-produced feeds” program has been launched to encourage fish farmers to produce aquafeed on their own.

Constituting about 60-70% of the total fish production cost, the use of feed (Sidik 2014) or feed raw materials must be as effi-cient as possible so as to maximise the profit. To achieve this, technology that can improve the nutritional quality of such cheap, locally available, feed raw materials is of highly important, aimed at increasing their inclusion rate in fish diet. Such tech-nology would be widely adopted when proven to be highly applicable, low cost, and profitable to the farmers (Animal Feed Directorate 2014).

Solid fermentation of agroindustrial byproducts using the edible tempe mould Rhizopus spp. could provide solution to this problem owing to the fungus ability to con-fer on the fermented substrates better nutri-tional qualities such as higher contents of protein, vitamins (Sriherwanto 2010), as well as lower antinutrient like mycotoxins (Varga et al. 2005). Moreover, being the origin country of tempe, Indonesia provides an ample collection of edible Rhizopus strains as well as the practical solid fermen-tation technology which could be applicable for fermentation of animal feed. Initially used in soybean tempe production, Rhizopus spp. has been studied in the fer-mentation of other various plant materials intended for fish feed ingredients such as palm kernel cake (Amri 2007), leaves of Alocasia macrorrhiza (L) Schott (Bakhtiar 2002), cassava bagasse (Antika et al. 2014), Sesbania grandiflora leaf powder (Utami et al. 2012), and okara (Rijal 2014). However, all these fermented feedstuffs were used partially, not wholly, in limited proportion in the diets of the test fishes.

In this study, solid fermentation of rice bran-coconut bagasse mixed substrate us-ing Rhizopus oryzae was carried out to pre-pare floating aquafeeds. The fermented feeds were subsequently fed wholly on carps (Cyprinus carpio L.) with the aim of finding out the effect on the fish growth rela-tive to those fed with commercial feeds. MATERIALS AND METHODS

Fermented Feed Preparation

Fermentation was carried out at the Feed Biotechnology Laboratory-BPPT, Ser-pong, Banten and the feed test in Cibinong, Gunung Sindur, Bogor, West Java. Sub-strates consisting of rice bran (RB) and co-conut bagasse (CB) in various ratios (Table 1) were mixed well before being sterilized at 121°C for 15 minutes. Having cooled down to room temperature, the substrates were mixed with starter powder of R. oryzae (3.3 x 107 cfu/g) at the concentration of 1-1.5 g/100 g substrate, and moisturized to 75% using CIS™ mineral solution. Incubation was then carried out at 28-30°C for 96-120 hours after which the substrate physically transformed into cottony white cake with soft cheesy tex-ture (Figure 1). The cake was then diced into small cubes, approximately 5 mm per side, and dried at 50°C for 24 hours. The dried fermented feeds were subjected to analyses of true protein content (Sriherwanto 2010), and crude fibre (Badan Standardisasi Nasional 1992).

Feeding Test

Feeding test on carps were under-taken in a completely randomized design with three replications per treatments. Five feeding treatments were carried out, namely: commercial feed 100% (unfermented), 75% Table 1. Ratio of rice bran (RB) and coconut bagasse

(CB) in the mixed substrate to be fermented

Fermentation

treatment

Ratio percentage of

mixed substrate

1 75% RB + 25% CB

2 50% RB + 50% CB

3 25% RB + 75% CB

4 0% RB + 100% CB

Page 53: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.

129

Figure 1. RB-CB mixed substrate before (left) and after fermentation (right) using R. oryzae

Figure 2. True protein content of RB-CB mixed sub-

strate before and after fermentation using R. oryzae

Figure 3. Crude fibre content of RB-CB mixed sub-

strate before and after fermentation using R. oryzae

RB + 25% CB (fermented), 50% RB + 50% CB (fermented), 25% RB + 75% CB (fer-mented), and 100% CB (fermented).

Carp fingerlings were obtained from Pa-rung fish market, Bogor, and acclimatized for two weeks to feeding on the fermented feed inside aquarium environment in Gunung Sin-dur, Bogor. Post acclimatization, the 3-5 g weighed fingerlings were fasted for 24 hours, weighed out and transferred into 40 x 30 x 30 cm glass aquaria placed randomly and in ap-parently similar positions in a shaded house. Six fishes were reared in each of the 15 aquaria for 60 days, aerated for 24 hour.

To maintain the quality of aqueous en-vironment, at least 30% of aquarium water was replaced every two days, regularly re-moving all dirt attached on the aquarium glass sides. Water temperature, dissolved oxygen (DO), and pH values were taken three times monthly, at the beginning, mid-dle, and end of the month. Feed was given

at satiation twice daily in the morning and afternoon with a daily dosage of 4% of the fish weigh. Fish performance was evaluated by measuring the fish weight, survivability, daily growth rate, feed conversion ratio (FCR), as well as protein efficiency ratio (PER).

RESULTS AND DISCUSSION

The substrate consisting RB and CB

supported good growth of R. oryzae as seen from the fungal white dense mycelial mass overwhelming the whole substrate post fer-mentation (Figure 1). When thrown into wa-ter, these fresh fermented feeds showed floating ability, which was enhanced further through overnight drying in an oven.

The fermented feeds were subjected to true protein content and crude fibre analy-ses. The true protein concentration was measured based on the total nitrogen

Page 54: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

130

Figure 4. Increase of body weight of carps (C. carpio

L.) fed with commercial feed or R. oryzae-fermented feeds

Figure 5. FCR and PER of the 60-day reared carps (C.

carpio L.) fed with unfermented commercial or R. oryzae-fermented feeds

content of trichloroaetic acid-precipitated sample using Kjeldahl method. The resulted protein values differed from available litera-tures which commonly provide information on the crude protein contents. The later inaccu-rately took into account all non-protein ni-trogenous compounds contained in samples. Figure 2 showed that the R. oryzae fermenta-tion increased the true protein content of the RB-CB mixed substrates from 1.96-5.85% to 4.89-9.97%, which is still below that of the commercial feed (15.25%). Highest increase (from 1,96% to 8,39%) in the protein content was achieved with 50% RB-50% CB sub-strate, whereas the lowest was that of 100% CB (from 5.77% to 9.97%). Variation in the true protein content might be due to the dif-ferent initial substrate composition.

Changes in protein content through Rhizopus fermentation have been previously reported. Sago flour fermented using Rhizopus sp. contained higher protein con-tent (3.4%) than the unfermented one (1.6%) (Ab Jalil et al. 2015). CB fermented with Rhizopus sp. resulted in 531% increase in true protein content (from 1.45% to 9.15%) (Sriherwanto 2010).

The fermentation also modified the crude fibre content of the RB-CB mixed substrates from 22.58-33.15% to 22.87-25.70% (Figure 3). These values were much higher than that of the commercial aquafeed (6.27%). In general, the fermen-tation caused the crude fibre content to decrease in all substrates, except when 75% RB-25% CB combination was used. This increase might be due to the fibre being hardly degraded cellulolytically

while at the same time significant dry mat-ter loss occurred. Thus, the seemingly percentage increase in the crude fibre might actually be the decrease of dry mat-ter. Lower crude fibre content post fer-mentation in the other substrate combinations might be attributed to better fungal cellulolytic activity, whereby the highest decline (by 31%) in crude fibre was obtained by 25% RB-75% CB sub-strate combination. This value is higher than previous report, in which 10 day-fermentation of rapeseed (Brassica napus) using Rhizopus oligosporus re-duced the crude fibre content by 25.5% (Vig and Walia 2001).

The fermented feed prepared in this study contained 22.87-25.70% crude fibre, which is much higher than the recommended value of maximum 5% (FAO 2015). This might be the reason behind the poor growth of all the fishes fed with the fermented feeds as compared to those fed with the commercial feed (Figure 4). It is well known that crude fibre is poorly digested by fish due to the lack of cellulolytic activity inside fish digestive tract. Thus, not only nutritionally poor, crude fibre might also act as antinutrient since cellulose, one of the main components of crude fibre, is classified as Non-Starch Polysaccharide (NSP). As stated in a previous review (Sinha et al. 2011), NSPs were shown to negatively effect the lipid digestion as well as absorption in Atlanticsalmon. Nutrient availability was demonstrated to be impaired when salmonids were fed with diets containing NSP.

Page 55: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.

131

Table 2. Feed conversion ratio from week six to eight

Fish Diet FCR week 6 to 8

Commercial feed (unfermented) 0.73

75% RB + 25% CB (fermented) 0.61

75% RB + 25% CB (fermented) 0.61

75% RB + 25% CB (fermented) 0.62

75% RB + 25% CB (fermented) 0.60

FCR varies depending on nutrition

and physical quality of aquafeed, as well as environmental conditions such as tempera-ture, production intensity, availability of natural feed, and other factors such as ge-netics (New & Wijkström 2002). In this study, varying the diets resulted in different FCRs (Figure 5). Feeding the fermented feeds gave FCR values ranging from 2.50 to 2.64, which are still much higher than that of commercial feed (1.95) (Figure 5). This indicates that the commercial feed promoted better growth than the fermented feeds. Thus, feeding carps exclusively R. oryzae- fermented feed based on CB, alone or in combination with RB, resulted in slower growth relative to commercial feed. However, other studies demonstrated that when fermented feeds were not given ex-clusively but used as feed constituent, bet-ter growth performance was possible. It was reported that carp fish fed with diets con-taining 12% and 18% fermented palm ker-nel gave FCR values of 2.40 and 2.14, respectively (Amri 2007).

PER is used in feed industry to de-termine protein quality in feed and as ef-fectivity reference for protein sources. PER is calculated based on the increase in body weight of the test animal divided by the amount of the feed protein consumed dur-ing the test period (Bhilave 2011). As seen in Figure 5, fermented feeds resulted in PERs in the range of 1.62-3.41, whereas that of commercial feed gave 1.68. The later value is close to that of 100% CB fer-mented feed (1.62) which is the lowest amongst all the fermented feeds. Taken together, the average PER value of all four fermented feeds is 2.16, which is much better than control. This result might indi-cate that, even though containing lower levels of true protein content than the

commercial feed, the fermented feeds might contain better quality amino acid composition than commercial feed did. In-deed, essential amino acid profile of R. oryzae had been demonstrated to be closely similar to that of FAO standard (Hamdy 2013).

Fermented organic materials added as ingredients in fish diets at certain levels have been reported by others to improve PER values. Fermented lamtoro (white leadtree, Leucaena leucocephala) leaf powder was used in red tilapia (Oreochromis niloticus) diets at the inclu-sion rates of 5%, 10% and 15%. The PERs achieved were 1.39, 2.03, and 1.43, re-spectively. These three values were higher than control diet without the fermented leaf, which was 1.27 (Restiningtyas 2015). All these suggest that PER can be im-proved by using fermented organic materi-als at appropriate inclusion levels.

The difference in inclusion levels of the fermented feeds as mentioned above was not so much, but could cause signifi-cant difference in PER values. This sug-gests that the quality of amino acid composition in the fermented samples might be the reason. It was reported that adding amino acid DL-methionine into methionine-poor diets increased protein digestibility, improving body weight gain and feed effi-ciency of carps (Nwanna et al. 2012).

Feeding carps with commercial feed resulted in very steep and almost linear growth rate within the first six weeks, out-performing all those fermented-diet fed carps (Figure 4). However, all the four

graphs representing the growth of the fish-es fed with fermented feeds were of the same trends, being linear with slight slopes from the beginning to the end of the rear-ing period. This could be explained by the fact that the four fermented feeds con-tained lower protein levels (Figure 2) and higher fibre contents (Figure 3) than the commercial feed did. Feed rich in fibre might have antinutritional effect and cause the diet hardly digestible by carps (Sinha et al. 2011). Previous study demonstrated that supplementing fish diet with alpha-cellulose at the level of 25% and 40% de-creased growth and feed conversion effi-ciency of tilapia (Oreochormis niloticus) (Anderson et al. 1984).

Page 56: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

132

Figure 6. Survival rate of carp (C. carpio L.) fed with

commercial feed and R. oryzae-fermented RB-CB mixed substrate

It is worth to note that although the

fermented feed treated carps overall showed poorer growth than the control fishes, their growth curves from week six to week eight showed very similar gradients to the control (Figure 4), with very close FCR values (Table 2) indicating the fermented feeds possible ability to wholly substitute commercial feed in the later phase of the rearing period (from week six to week eight).

Variation in survival rates was ob-served for the fermented feed treated carps (Figure 6), ranging from 50.0% to 88.9% with the average value of 69.5%. This is lower than that of commercial feed treated carps. In general, fermented feeds resulted in poor survival rate, considering the standard val-ues of 80-90% (SNI 2015). Nutrient quality of the commercial feed which is much better than fermented feeds might be responsible for this discrepancy.

Table 3 shows temperature and dis-solved oxygen (DO) values which were within the recommended values, except pH (SNI 2015). Low pH, which is below the recommended level of 6.5, might account for the poor survival rates of the carps (Figure 6).

CONCLUSION

Solid fermentation using R. oryzae did

increase the true protein content in all sub-strate combination and decrease crude fibre content in all but one substrate mixture (75% RB-25% CB). Used wholly as aquafeed, the fermented feeds promoted growth of carps but with much slower rates than those fed with the commercial feed.

Table 3. Water quality measured during carp fish

feeding experiment using the fermented feed

Parameter Measured

Value SNI Reference

(2015)

pH 4.9-7.3 6.5-8.5

Temperature (0C) 24-27 25-30

DO (ppm) 5.0-7.6 at least 1.7

REFERENCES

Ab Jalil A, N Abdullah, AR Ali (2015) Nutrient

enhancement of ground sago (Metroxylon sagu Rottboll) pith by solid state fermentation with Rhizopus oligosporus for poultry feed. J Food Res 4(2):1-15.

Amri M (2007) Pengaruh bungkil inti sawit fermentasi dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.) J Ilmu-Ilmu Perta Indon 9(1) 71-76.

Anderson J, A Jackson, A Matty, B Capper (1984) Effects of dietary carbohydrate and fibre on the tilapia Oreochromis niloticus (Linn.) Aquaculture 37(4): 303-314.

Animal Feed Directorate (2014) Apresiasi Peningkatan Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal, the Grand Palace Hotel, Yogyakarta, 13-14 Maret 2013. Official website of General Directorate of Animal Husbandry and Health, Ministry of Agriculture of the Republic of Indonesia. http://pakan.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/blog/read/kegiatan/apresiasi-bpl accessed on 3 March 2016 at 15:08.

Antika R, S Hudaidah, L Santoso (2014) Penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi dengan Rhizopus sp. sebagai bahan baku pakan ikan nila merah (Oreochromis niloticus) J Rekayasa dan Teknol Budidaya Perairan 2(2):279-284.

Bakhtiar A (2002) Pengaruh daun sente (Alocasia macrorrhiza (L) Schott) yang difermentasi Rhizopus oligosporus sebagai bahan substitusi tepung bungkil kedelai terhadap pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy, Lac.) Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Bachelor Thesis, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Page 57: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.

133

Bhilave M, S Nadaf, S Bhosale (2011) Nutritional efficiency in fish fed on formulated feeds. Retrieved September 29, 2015, from http://www.allaboutfeed.net/Nutrition/Raw-Materials/2011/8/Nutritional-efficiency-in-fish-fed-on-formulated-feeds-AAF012616W/

FAO (2015) Table 4.4. Recommended contents of compounded feeds for the different age groups of common carp (Cyprinus carpio) Retrieved September 16, 2015, from Aquaculture Feed and Fertilizer Resources Information System: http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/affris/docs/NewCommonCarp/carpT4-4.pdf

Hamdy, H (2013) Production of mini-food by Aspergillus niger, Rhizopus oryzae and Saccharomyces cerevisiae using orange peels. Rom Biotechnol Lett 18(1):7929-7946.

IFT Online (2013) Pertumbuhan industri pakan ternak di 2014 berpotensi melambat. Indonesia Finance Today. Retrieved December 14, 2015, from http://www.ift.co.id/posts/pertumbuhan-industri-pakan-ternak-di-2014-berpotensi-melambat

Kementrian Pertanian Indonesia (2014) Rapat koordinasi pengembangan bahan pakan lokal. Bandung, West Java, Indonesia: Direktorat Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Retrieved December 16, 2015, from http://pakan.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/blog/read/kegiatan/rapat-koordinasi-bahan-pakan-lokal

New M, U Wijkström (2002) Use of fishmeal and fish oil in aquafeeds. further thoughts on the fishmeal trap. FAO Fisheries Circular No. 975 (FIPP/C975) Rome: FAO.

Nwanna L, A Lemme, A Metwally, F Schwarz (2012) Response of common carp (Cyprinus carpio L.) to supplemental DL-methionine and different feeding strategies. Aquaculture 356: 365-370.

Restiningtyas R, Subandiyono, Pinandoyo (2015) Pemanfaatan tepung daun lamtoro (Laucaena gluca) yang telah difermentasikan dalam pakan buatan

terhadap pertumbuhan benih ikan nila merah (Oreochromis niloticus). J Aquacult Manag Technol 4(2):26-34.

Rijal S (2014) Pemanfaatan limbah tahu terfermentasi dan ikan rucah sebagai bahan baku dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia: Bachelor Thesis, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Sidik P (2014) Dr. Yuli Andriani. S.Pi. MP. “Pakan dari bahan lokal bukan cuma untuk kepentingan ekonomis, tapi juga ekologis”. Profil, Unpad.ac.id. Profil, Unpad.ac.id, terbitan tanggal 9 Juni 2014. http://www.unpad.ac.id/profil/dr-yuli-andriyani-s-pi-mp-pakan-dari-bahan-lokal-bukan-cuma-untuk-kepentingan-ekonomis-tapi-juga-ekologis/ visited on 16 September 2014 at 16:28.

Sinha A, V Kumar, H Makkar, K De Boeck (2011) Non-starch polysaccharides and their role in fish nutrition–A review. Food Chem 127(4):1409-1426.

SNI (2015) Pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio, Linnaeus 1785) dalam karamba jaring apung di sungai. Standar Nasional Indonesia (SNI), SNI 8123:2015, 2-5.

Sriherwanto C (2010) Studies on the solid state fermentation of cassava bagasse for animal feed. Hamburg, Germany: Doctoral Thesis, Department of Chemistry, University of Hamburg.

Utami IK, K Haetami, Rosidah (2012) Pengaruh penggunaan tepung daun turi hasil fermentasi dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan benih bawal air tawar (Colossoma macropomum Cuvier) J Perikanan Kelautan 3(4):191-199.

Varga J, Z Péteri, K Tábori, J Téren, C Vágvölgyi (2005) Degradation of ochratoxin A and other mycotoxins by Rhizopus isolates. Int J Food Microbiol 99(3):321-328.

Vig AP, A Walia (2001) Beneficial effects of Rhizopus oligosporus fermentation on reduction of glucosinolates, fibre and phytic acid in rapeseed (Brassica napus) meal. Bioresour Technol 78(3):309-312.

Page 58: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

134

VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

TINJAUAN

D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI

A Review Microbial D-amino Acid Oxidase: Production and Application

Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

E-mail: [email protected]

ABSTRACT D-amino acid oxidase (DAAO) is a flavin adenine dinucleotide-containing enzyme that cata-lyzes the oxidative deamination of amino acid D-isomers with high stereospecificity, which results in α-keto acids, ammonia and hydrogen peroxide. Having high stereospecificity, DAAO is used in a variety of applications such as drug, biocatalyst, biosensor and prepara-tion of transgenic plants. DAAO is widespread in nature, found in microorganisms to mam-mals. Microbial DAAO is considered more important than mammalian DAAO for biotechnology application. DAAO production in submerged fermentation is influenced by several factors, such as carbon source, nitrogen source, inducer, dissolve oxygen, tempera-ture and pH. The influence of those factors on DAAO production by microbial origin, DAAO production by microbial recombinant, and its application in biotechnology are discussed in this review.

Keywords: Enzyme, DAAO, D-amino acid, production, application

ABSTRAK Enzim D-asam amino oksidase (DAAO) merupakan enzim yang mengandung Flavin Ade-nine Dinucleotide yang bekerja mengkatalisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino dengan stereospesifisitas yang tinggi menghasilkan α-asam keto, amonia dan hidrogen peroksida. Karena mempunyai karakteristik sreteospesifisitas yang tinggi, enzim DAAO banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti obat, biokatalis, biosensor dan penyiapan tanaman transgenik. Enzim ini dapat dihasilkan oleh organisme mulai dari bakteri hingga mamalia, namun untuk aplikasi dibidang bioteknologi, enzim DAAO yang berasal dari mikroorganisme dipandang lebih penting dari pada yang berasal dari mamalia. Produksi enzim dari DAAO dari mikroorganisme dalam kultur cair dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber karbon, nitrogen, senyawa penginduksi, oksigen terlarut, temperatur dan pH medium. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap produksi enzim DAAO, produksi enzim DAAO menggunakan mikroba rekombinan serta aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam tinjauan. Kata Kunci: Enzim, DAAO, D-asam amino, produksi, aplikasi

Page 59: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

135

PENDAHULUAN D-asam amino oksidase (D-amino acid

oxidase; DAAO; EC 1.4.3.3,) merupakan enzim yang mengandung flavin adenine dinucleotide (FAD) yang bekerja mengkata-lisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino menghasilkan asam imino dan hidrogen peroksida. Asam imino selanjutnya dengan reaksi non-enzimatis dihidrolisis menjadi α-asam keto dan amonia, sedangkan FADH2 yang terbentuk dioksidasi kembali oleh oksigen menghasilkan hidrogen peroksida (Gambar 1). Enzim DAAO merupakan enzim yang digolongkan dalam sub-grup flavoprotein kelompok dehydrogenase-oksidase, di mana seluruh enzim dalam bentuk tereduksi dapat bereaksi cepat dengan oksigen, menstabilkan radikal anion flavin melalui mekanisme perpindahan satu ion dan menghasilkan flavin N(5)-sulfit (Massey & Hemmerich 1980).

Enzim DAAO dapat dihasilkan oleh berbagai makhluk hidup mulai dari bakteri hingga manusia dengan fungsi fisiologi yang berbeda-beda. Pada mikroorganisme, enzim DAAO berperan sebagai katabolik (sebagai contoh enzim DAAO diperlukan agar kapang dapat menggunakan D-asam amino untuk tumbuh), sedangkan pada sel mamalia enzim DAAO berperan penting pada tingkat fisiologi asam amino dalam meregulasi berbagai proses metabolisme seperti penuaan, kontrol sinyal saraf, sekresi hormon dan lain sebagainya (Rosini 2009). Tinjauan peran fisiologi enzim DAAO pada berbagai organisme telah dilakukan oleh Pollegioni et al. (2007a). Pada mamalia, enzim DAAO dapat ditemukan di berbagai jaringan, seperti ginjal, hati dan otak. Keberadaan enzim DAAO dalam jaringan mamalia tergantung dari jenis hewannya, sebagai contoh pada babi, enzim DAAO dapat ditemukan di hati dan ginjal, sedangkan pada tikus hanya dapat ditemukan dalam ginjal saja. Berbagai mikroorganisme seperti jamur (Cephalosporium acremonium, Neurospora-crassa, Fusarium solani dan Fusarium oxysporum), alga (Chlorella vulgaris), kapang (Candida tropicalis, Trigonopsis variabilis dan Rhodotorula gracilis) serta bakteri (Alcali-genes denitrificans) mampu menghasilkan enzim DAAO (Saleem 2012).

Gambar 1. Siklus katalitik konversi D-asam amino

menjadi asam imino yang dikatalisis oleh D-asam amino oksidase dan selanjutnya secara spontan bereaksi menjadi α- asam keto (Verrall 2010)

Tanaman dilaporkan tidak mampu menghasilkan enzim DAAO.

Untuk aplikasi di bidang bioteknologi enzim DAAO yang berasal dari mamalia kurang mendapat perhatian karena jumlahnya sangat sedikit dan bersifat tidak stabil. Enzim DAAO yang dihasilkan oleh mikroorganisme lebih berpotensi untuk aplikasi diberbagai bidang bioteknologi karena mempunyai turnover number yang lebih tinggi, ikatan dengan koenzim yang lebih kuat, gen pengekspresi yang lebih banyak serta mampu menggunakan substrat secara efesien. Hingga saat ini enzim DAAO yang potensial diaplikasikan untuk industri berasal dari Rhodotorula gracilis (RgDAAO) dan Trigonopsis variabilis (TvDAAO), sedangkan dari sumber lainnya secara teknis dianggap kurang penting (Khoronenkova et al. 2008; Sacchi et al. 2004).

Upaya penerapan enzim DAAO dalam industri menghadapi dua permasalahan utama yaitu terkait dengan produktifitas dan stabilitas enzim. Dalam upaya memperoleh mikroba penghasil DAAO baru dengan karakteristik enzim yang lebih baik, maka skrining mikroba penghasil DAAO tetap dilakukan oleh beberapa peneliti. Saleem et al. (2012) melakukan skrining terhadap berbagai spesies jamur (40 spesies) dan memperoleh Fusarium heterosporum dan Nectria haematococca sebagai penghasil enzim DAAO dengan aktifitas tertinggi 210,41 dan 207,94 unit/mL. Permasalahan stabilitas enzim DAAO terutama terkait dengan konsentrasi protein, oligomerisasi, ikatan ko-faktor dan oksidasi rantai samping asam amino. Peningkatan stabilitas enzim DAAO dapat dilakukan dengan imobilisasi dalam penyangga padat, seperti magnetik, agarose maupun beads epoksi. Peningkatan produktifitas dan stabilitas enzim juga telah dilakukan melalui rekayasa genetika dengan teknik random mutagenesis, error prone PCR maupun mutasi terarah.

Page 60: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

136

PRODUKSI ENZIM DAAO

Pengembangan Medium Untuk Produksi Enzim DAAO

Enzim DAAO merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Berbagai studi telah dilakukan untuk memperoleh kondisi lingkungan dan komposisi nutrisi yang optimal dari mikroba alami. Produksi enzim DAAO dalam kultur cair dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi sumber karbon, nitrogen, ion logam, senyawa penginduksi (Gupta et al. 2012) dan konsentrasi oksigen terlarut (Gabler & Fischer 1999). Kondisi lingkungan seperti pH dan temperatur juga dilaporkan berpengaruh terhadap perolehan enzim DAAO (Saleem et al. 2012; Gupta et al. 2012).

Studi pengaruh jenis sumber karbon terhadap produksi enzim DAAO telah dilakukan dengan menggunakan berbagai monosakarida dan disakarida seperti glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan laktosa. Penggunaan monosakarida sebagai sumber karbon untuk produksi DAAO dari T. variabilis menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dibanding dengan disakarida dan polisakarida. Diantara monosakarida, glukosa merupakan sumber karbon terbaik untuk menginduksi enzim DAAO (Horner et al. 1996; Ballagi 1999; Prell et al. 2001 & Gupta et al. 2012). Hal ini menunjukkan penggunaan sumber karbon yang mudah diasimilasi dapat meningkatkan produksi enzim DAAO. Hal yang sama juga dilaporkan untuk produksi DAAO dari F. oxysporum (Gabler & Fisher 1999), Fusarium heterosporum dan Nectria haematococca (Saleem et al. 2012).

Sumber nitrogen juga merupakan salah satu komponen yang esensial dalam medium fermentasi karena berpengaruh terhadap pembentukan asam amino, asam nukleat maupun protein dalam sel mikroba. Penggunaan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen dilaporkan dapat menghasilkan produksi enzim DAAO dari T. variabilis yang maksimal (Horner et al. 1996; Ballagi 1999; Prell et al. 2001). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Gabler & Fisher (1999) untuk produksi DAAO dari F. oxysporum.

Pengaruh produksi enzim DAAO dari T. variabilis yang signifikan juga ditunjukkan oleh penggunaan Zn sulfat dalam medium produksi. Tanpa penambahan Zn sulfat, medium produksi yang mengandung glukosa,

amonium sulfat dan D-alanin, induksi enzim DAAO tidak terjadi meskipun sel tetap dapat tumbuh dengan baik seperti pada medium yang mengandung Zn sulfat. Konsentrasi Zn sulfat yang diperlukan untuk mencapai kondisi produksi enzim DAAO dan pertumbuhan sel yang baik berkisar antara 20 hinggga 420 mM, dan menghasilkan aktifitas spesifik DAAO yang maksimum pada konsentrasi 70 mM. Penggunaan Zn sulfat di atas 280 mM dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel (Horner et al. 1996).

Induksi enzim DAAO dengan menggunakan berbagai jenis asam amino baik yang dapat dimetabolisme maupun turunan asam amino yang tidak dapat dimetabolisme oleh sel juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Gabler & Fischer (1999) melaporkan bahwa D-alanin merupakan senyawa penginduksi terbaik untuk produksi DAAO dari F. oxysporum. Hal yang sama dilaporkan oleh Kuan et al. (2008) untuk produksi enzim DAAO dari R. gracilis. Penggunaan D-alanin pada kultivasi F. oxysporum mampu meningkatkan aktifitas spesifik enzim DAAO sebesar 13 kali dibandingkan dengan tanpa penggunaan senyawa penginduksi (Gabler & Fischer 1999). Hal yang menarik adalah induksi DAAO semakin meningkat ketika senyawa penginduksi yang digunakan merupakan campuran antara D dan L-alanin. Perbandingan D dan L alanin yang optimal untuk produksi DAAO adalah 3:1. Dengan pertimbangan faktor ekonomi maka asam amino rasemat D,L-alanin lebih banyak digunakan sebagai senyawa penginduksi. Berbeda dengan F. oxysporum, produksi DAAO dari T. variabilis dilaporkan lebih sesuai menggunakan senyawa penginduksi berupa turunan asam amino yang tidak dapat dimetabolisme oleh sel. Dibandingkan dengan induksi DAAO menggunakan D-alanin, penggunaan N-Carbamoyl-D-alanine mampu meningkatkan aktifitas DAAO dalam sel sebesar 4,2 kali (Horner et al. 1996) serta penggunaan 3-(3,4-Dihydroxyphenyl) D,L-alanin meningkatkan sebesar 4,1 kali (Gupta et al. 2012).

Gabler & Fischer (1999) melaporkan bahwa pembatasan konsentrasi oksigen terlarut pada kultivasi T. variabilis dalam fermentasi cair sangat penting. Oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup diperlukan pada fase pertumbuhan sel (setelah 12 jam kultivasi) dan menurun menjadi pO2 < 10%

Page 61: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

137

hingga fase stasioner (sekitar jam ke 18). Pada fase stasioner DAAO disintesis secara maksimal ketika konsentrasi oksigen berada dalam jumlah yang terbatas serta tersedianya senyawa penginduksi. Hal ini disebabkan karena tejadinya reaksi reoksidasi FAD (kofaktor enzim DAAO) sangat bergantung pada konsentrasi oksigen terlarut. Sel merespon kondisi menurunnya proses asimilasi D-asam amino dan terbatasnya konsentrasi oksigen terlarut dengan meningkatkan sintesis DAAO. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel menjadi terhambat.

Temperatur merupakan faktor yang secara umum berpengaruh terhadap fermentasi. Gabler & Fisher (1999) melaporkan bahwa produksi DAAO dari F. oxysporum mencapai aktifitas DAAO dan pertumbuhan miselia yang maksimum pada temperatur inkubasi 30°C dalam waktu 7 hari. Penurunan temperatur inkubasi menjadi 15°C atau kenaikan temperatur menjadi 40°C mengakibatkan tidak terbentuknya DAAO. Hal yang sama juga dilaporkan untuk produksi DAAO dari T. variabilis (Gupta (2012), F. heterosporum dan N. haematococca (Saleem et al. 2012), sedangkan temperatur optimum untuk produksi DAAO oleh R. gracillis dilaporkan pada 37°C (Simmonetta et al. 1998).

pH medium juga sangat berpengaruh terhadap produksi DAAO. Horner et al. (1996) melaporkan bahwa pada kultivasi T. variabilis, pH medium turun dari 6,0 menjadi sekitar 2,2 pada akhir fermentasi. Dengan menggunakan senyawa penginduksi N-carbamoyl-D,L-alanine serta tanpa perlakuan pengontrolan pH medium (pH akhir fementasi 2,2), produksi DAAO lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol pH (pH medium dikontrol antara 3,8-6,0). Hal ini diduga terkait dengan proses pemanfaatan senyawa penginduksi yang dipengaruhi oleh pH medium. Pada proses kultivasi dengan perlakuan kontrol pH, sel dapat tumbuh lebih baik, namun enzim DAAO yang dihasilkan lebih sedikit. Produksi DAAO dari Mikroba Rekombinan

Guna meningkatkan produksi enzim, mikroba rekombinan telah digunakan untuk mengekspresikan enzim DAAO. E. coli rekombinan yang dihasilkan dari sistem pT7-DAAO mampu mengekspresikan enzim

RgDAAO dengan aktifitas volumetrik sebesar 2300 U/L dan aktifitas spesifik 930 U/g sel (Molla et al. 1998). Dengan desain kombinasi gen dan heterologues over-expression RgDAAO dalam Pichia pastoris dapat dihasilkan enzim RgDAAO dengan produktifitas 3,1 kUnit/L.jam dan aktifitas volumetrik mencapai 350 kUnit/L yang diperoleh melalui fermentasi secara fed-batch (Abad et al. 2011). Dengan menggunakan teknik optimasi bertahap, Pichia pastoris mampu mengekspresikan TvDAAO dengan spesifik aktifitas enzim mencapai 1,3 kU/g sel kering serta aktifitas volumetrik 218 kU/L yang diperoleh dengan menggunakan metanol senyawa penginduksi (Abad et al. 2010). TvDAAO yang diekspresikan oleh E. coli menggunakan sistem, berturut-turut, pTvDAAO dan pET-DAAO serta senyawa penginduksi IPTG dan laktosa dapat menghasilkan aktifitas enzim 9700 dan 11.700 U/L (Dib et al. 2007; Hwang et al. 2000).

APLIKASI ENZIM DAAO DARI MIKROBA Karakteristik utama enzim DAAO

adalah spesifisitas kerja yang tinggi terhadap substrat isomer D-asam amino, dan bersifat tidak aktif terhadap substrat isomer L-asam amino (Khoronenkova & Tishkov 2008; Kuan et al. 2008). Berdasarkan karakteristik tersebut, enzim DAAO banyak digunakan dalam industri untuk memperoleh senyawa enantiomer murni L-asam amino dan α-asam keto, sintesis bahan antara 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA) di industri farmasi dan pembuatan biosensor untuk deteksi D-asam amino guna keperluan analitik maupun klinik (Pollegioni & Molla 2011). Senyawa α-asam keto dan L-asam amino dibutuhkan oleh industri makanan dan farmasi. Sebagai contoh α-asam keto digunakan sebagai agen terapeutik untuk pengobatan uremia yang kronik, sedangkan L-asam amino banyak digunakan untuk aditif makanan dan komponen dalam cairan infus. Produksi Senyawa Antara 7-ACA

Aplikasi enzim DAAO yang paling penting adalah penggunaan dalam industri antibiotik untuk proses konversi sefalosporin C menjadi senyawa antara 7-ACA. Proses produksi 7-ACA secara enzimatis mempunyai beberapa keunggulan

Page 62: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

138

Gambar 2. Konversi sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan dua tahap reaksi yang melibatkan enzim DAAO

dan glutaril-7- ACA asilase (kiri) dan satu tahap reaksi yang dikatalisis oleh enzim sefalosporin asilase (kanan) (Pollegioni 2008)

dibandingkan dengan proses sintesis secara kimiawi. Proses sintesis 7-ACA secara kimiawi memerlukan pelarut organik yang toksik serta membutuhkan banyak tenaga. Sebagai alternatif produksi 7-ACA dapat dilakukan dengan transformasi secara enzimatik melalui dua tahap reaksi (Gambar 2). Tahap I: Reaksi deaminasi sefalosporin C menjadi 7-(5-oxoadipoamido) cephalosporanic acid yang dikatalisis oleh enzim DAAO dan selanjutnya reaksi dekarbosilasi menjadi glutaril 7-ACA terjadi secara spontan dengan adanya H2O2. Tahap II: Reaksi hidrolisis glutaril 7-ACA menghasilkan 7-ACA dilakukan dengan menggunakan enzim glutaril asilase. Dalam industri biokonversi, enzim DAAO amobil pada umumnya digunakan untuk meningkatkan stabilitas enzim. Imobilisasi enzim DAAO yang dihasilkan oleh R. gracilis dengan menggunakan matrik glioksi agarose teraktifasi dapat meningkatkan stabilitas sekitar 15.000 kali (Betancor et al. 2003). Proses biokonversi yang dikatalisis oleh enzim DAAO juga dapat dilakukan dengan menggunakan sel utuh. Faktor pembatas yang berupa hambatan difusi substrat ke dalam sel dapat diatasi dengan teknik

permeabilisasi sel. Kelemahan utama penggunaan sel utuh adalah adanya enzim yang lain seperti katalase dan esterase yang dapat menurunkan baik perolehan maupun kualitas produk glutrail 7-ACA. Sintesis L-asam Amino dan α-asam Keto

Karakteristik enzim DAAO yang mempunyai spesifitas tinggi terhadap D-asam amino dapat dimanfaatkan untuk produksi α-asam keto maupun pemurnian L-asam amino dari campuran rasemik D,L-asam amino. Senyawa α-asam keto dan asam amino non-alami yang murni secara optik telah mendapat perhatian sejak lama oleh industri kimia dan farmasi, khususnya untuk penemuan obat.

Enzim DAAO dari hati babi (pkDAAO) digunakan pertama kali pada tahun 1971 untuk membuat L-pipecolic acid dari campuran rasemik melalui oksidasi D-isomer. L-pipecolic acid merupakan senyawa antara hasil katabolisme L-Lisin dari organisme yang mengalami kondisi disfungsi peroksisom (Tranchant et al. 1993). Asam amino ini mempunyai peranan yang sangat penting terutama yang berkaitan dengan penyakit pada sistem saraf (Plecko et al.

Page 63: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

139

2005). Berbagai turunan L-pipecolic acid disintesis untuk digunakan sebagai obat neuroprotektif, imunodepresan dan antikanker (Maddess 2008). Pada perkembangan terakhir, enzim DAAO dari T. variabilis dan R. gracilis digunakan untuk menggantikan enzim DAAO dari hati babi.

Senyawa penting dalam industri farmasi lainnya adalah 4-Methylthio-2-oxobutyric acid (MTOBA). Sebagai prekursor metabolit dari senyawa methional, yaitu senyawa penginduksi yang kuat untuk pros-es apoptosis, MTOBA dapat digunakan sebagai obat antikanker. Pada sel kanker yang bersifat methionine-dependent, kandungan MTOBA lebih kecil dibandingkan dengan sel normal. Sintesis MTOBA dapat dilakukan dari oksidasi deaminasi dari D-metionin. Metode terbaru yang lebih ekonomis untuk produksi MTOBA adalah berdasar pada pengolahan campuran rasemik D,L-metionin (Garcia-Garcia 2008).

Senyawa penting lainnya yang dihasilkan dengan menggunakan enzim DAAO adalah L-6-hydroxynorleucine. Senyawa kiral ini digunakan untuk sintesis Omapatrilat dan seluruh seri inhibitor metalloproteinase (Patel 2001). Omapatrilat adalah inhibitor dari enzim pengkonversi angiotensin dan endopeptidase netral sehingga efektif digunakan sebagai obat antihipertensi (Patel 2001). Produksi L-6-hydroxynorleucine stereoisomer dapat dilakukan menggunakan bahan baku campuran rasemik 6-hydroxynorleucine sebagai (Taylor 1998).

L-asam amino yang mengandung kelompok naptalen banyak digunakan untuk pengembangan obat baru. Sebagai contoh L-2-naphthylalanine merupakan komponen dari obat peptide Naferelin (Caligiuri 2006a). Asam amino ini dapat dihasilkan dari campuran rasemik 2-naphthylalanine, dengan melibatkan tiga enzim, yaitu RgDAAO, katalase, dan L-aspartate ami-notransferase (Caligiuri 2006b).

Perkembangan terbaru potensi aplikasi senyawa D-asam amino untuk terapeutik adalah sebagai antibakteri, antijamur dan aktifitas sitotoksitas. Aktifitas antibakteri dari beberapa senyawa D-asam amino yaitu D-alanin, D-lisin, D-serin dan D-prolin telah diuji terhadap berbagai patogen, yaitu Bacil-lus subtilis ATCC 11562, Staphylococcus aureus ATCC 6538, Staphylococcus

epidermidis ATCC 12228, Escherichia coli ATCC 29425, Pseudomonas aeuriginosa ATCC 11921 dan Xanthomonas vesicatoria ATCC 11633. Aktifitas antibakteri dari asam amino di atas dilaporkan relatif rendah, dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) berada dalam rentang milimolar. Aktifitas antibakteri tertinggi ditunjukkan oleh D-lisin diikuti oleh D-alanin (Sanaa 2014). Hal yang menarik adalah penggunaan D-asam amino yang dikombinasikan dengan antibiotik lain sebagai antibakteri menunjukkan hubungan yang sinergistik sehingga meningkatkan aktifitas antibakteri. Kombinasi D-lisin dan D-alanin dengan sodi-um sefuroksim dilaporkan dapat menurunkan KHM dengan rentang berturut-turut antara 5,0-6,5 kali dan 3,7-5,3 kali terhadap bakteri uji yang digunakan. Aktifitas antijamur dari D-lisin dan D-alanin juga dievaluasi terhadap Candida albicans, salah satu patogen utama penyebab infeksi nosokomial. Kedua asam amino menunjukkan aktifitas antijamur yang moderat dengan KHM berturut-turut, 39 dan 18 μg μL-1. Kombinasi kedua asam amino dengan ampoterisin B mampu menurunkan KHM sebesar 6 kali.

Biosensor

Enzim DAAO juga telah dimanfaatkan sebagai biosensor untuk deteksi D-asam amino yang dihasilkan oleh organisme. Meskipun analisa D-asam amino dengan metode kromatografi telah menghasilkan metode yang sensitif, tepat dan akurat, namun mempunyai kelemahan yaitu memerlukan waktu lama, peralatan mahal dan metode yang sulit. Oleh karena itu deteksi D-asam amino yang berbasis pada kerja enzim DAAO sangat diperlukan untuk keperluan analitik maupun klinik (Pilone & Pollegioni 2010). Di bidang kesehatan, deteksi D-asam amino dalam tubuh dapat digunakan sebagai indikator berbagai penyakit yang terkait dengan kelainan fungsi syaraf dan psikiatrik seperti scizoprenia (Chumakov et al. 2002; Hashimoto et al.2003; Tsai et al. 2006; Bendikov et al. 2007), iskemia, epilepsi dan nyeri kronik yang disebabkan oleh saraf (Zhao et al. 2010). Di bidang pangan, biosensor yang bekerja berdasar atas enzim DAAO telah digunakan untuk deteksi kontaminasi makanan oleh bakteri. D-asam amino

Page 64: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

140

merupakan komponen peptidoglikan dari dinding sel bakteri sehingga keberadaannya dalam makanan dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kontaminasi oleh bakteri (Sacchi et al. 2004).

Enzim DAAO Untuk Bidang Pertanian Dalam bidang pertanian, kontribusi

penting bioteknologi terkait dengan tanaman transgenik. Tanaman mempunyai kemampuan yang terbatas dalam metabolisme D-asam amino, tetapi dapat menyerap D-asam amino yang berasal dari lingkungan. Karena sel tanaman tidak mempunyai enzim DAAO indigenous maka akumulasi D-asam amino dalam tanaman akan meningkat sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Erikson et al. 2004). Guna mengatasi masalah tersebut, tanaman transgenik Arabidopsis thaliana yang dapat mengekspresikan RgDAAO telah berhasil dikembangkan Erikson et al. (2004). Tanaman transgenik ini mampu mengkonversi D-asam amino menjadi D-asam α-keto yang tidak berbahaya bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman tidak terhambat. Sistem ini telah dikonfirmasi menggunakan tanaman transgenik padi, dan dilaporkan bahwa ekspresi TvDAAO ke dalam tanaman tidak menimbulkan abnormalitas tanaman (Lin et al. 2009). KESIMPULAN

DAAO merupakan enzim yang penting

untuk aplikasi di bidang bioteknologi pangan, kesehatan maupun pertanian. Potensi aplikasi enzim DAAO terus berkembang seiiring dengan ditemukannya berbagai aplikasi baru. Pada awalnya enzim DAAO dihasilkan dari ginjal babi, sehingga tidak sesuai untuk aplikasi dalam skala besar. Sebagai alternatifnya, DAAO dapat dihasilkan dengan menggunakan mikroba. Selain dapat mengatasi masalah yang terkait dengan keekonomian, enzim DAAO dari mikroba juga menunjukkan karakteristik yang lebih baik, seperti produktifitas dan stabilitas enzim. Dengan memanfaatkan bioteknologi modern melalui rekayasa genetika dan pemahaman fungsi struktur yang lebih baik, maka diharapkan dapat dihasilkan varian baru enzim DAAO dengan karakteristik yang baru.

DAFTAR PUSTAKA Abad S, J Nahalka, G Bergler, SA Arnold, R

Speight, I Fotheringham, B Nidetzky, A Glieder (2010) Step wise engineering of a Pichia pastoris D-amino acid oxi-dase whole cell catalyst. Microb Cell Fact 9(24):1-12.

Abad S, J Nahalka, M Winkler, G Bergler, R Speight, A Glieder, B Nidetzky (2010) High-level expression of -amino acid oxidase in Pichia pastoris. Biotechnol Lett 33(3):557-563.

Ballagi A (1999) High cell density-fermentation of Trigonopsis variabilis with D-amino acid oxidase production. M.Sc. Thesis, Biochemistry and Bio-technology Department, The Technical University of Braunschweig.

Bendikov I, C Nadri, S Amar, R Panizzutti, J De Miranda, H Wolosker, G Agam (2007) A CSF and postmortem brain tudy of D-serine metabolic parameters in schizophrenia. Schizophr Res 90(1-3):41-45.

Caligiuri A, E. Rosini, P D’arrigo, D Tessaro, G Molla, L Pollegioni (2006b) Enzymat-ic conversion of unnatural amino acids by yeast D- amino acid oxidase. Adv Synth Catal 348(15):2183-2190.

Caligiuri A, P D’arrigo, T Gefflaut, G Molla, L Pollegioni, E Rosini, S Servi (2006a) Multistep enzyme catalysed deracemisation of 2-naphthyl alanine. Biocatal Biotransfor 24(6):409-413.

Chumakov I, M Blumenfeld, O Guerassimenko, L Cavarec, M Palicio, H Abderrahim, L Bouqueleret, C Barry, H Tanaka, P La Rosa, A Puech, N Tahri, A Cohen-Akenine (2002) Genet-ic and physiological data implicating the new human gene G72 and the gene for D-amino acid oxidase in schizophrenia. Proc Natl Acad Sci USA 99(21):3675-13680.

Dib I, Stanzer D, Nidetzky B (2007) Trigonopsis variabilis D-amino acid ox-idase: control of protein quality and opportunities for biocatalysis through production in Escherichia coli. Appl Environ Microbiol 73(1):331-333.

Erikson O, M Hertzberg, T Näsholm (2004) A conditional marker gene allowing both positive and negative selection in plants. Nat Biotechnol 22(4):455-458.

Gabler M & L Fisher (1999) Production of a new D-amino acid oxidase from the

Page 65: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika

141

fungus Fusarium oxysporum. Appl En-viron Microbiol 65(8):3750-3753.

Garcia-Garcia M, I Martinez-Martinez, A Sanchez-Ferrer, F Garcia-Carmona (2008) Production of the apoptotic cel-lular mediator 4-methylthio-2-oxobutyric acid by using an enzymatic stirred tank reactor with in situ product removal. Biotechnol Prog 24(1):187-191.

Gupta N, RK Gundampati, M Debnath (2012) Screening of Novel Inducer for D-amino Acid Oxidase by Trigonopsis variabilis. Int J of Bioscience Biochem Bioinformat 2(3):200-2002.

Hashimoto K, T Fukushima, E Shimizu, N Komatsu, H Watanabe, N Shinoda, M Nakazato, C Kumakiri, S Okada, H Hasegawa, K Imai, M Iyo (2003) De-creased serum levels of D-serine in patients with schizophrenia: evidence in support of the N-methyl-Daspartate receptor hypofunction hypothesis of schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 60(6):572-576.

Horner R, F Wagner, L Fisher (1996) Induc-tion of the D-amino acid oxidase from Trigonopsis variabilis. Appl Environ Microbiol 62(6):2106-2110.

Hwang TS, HM Fu, LL Lin, WH Hsu (2000) High-level expression of Trigonopsis variabilis D-amino acid oxidase in Escherichia coli using lactose as in-ducer. Biotechnol Lett 22(8):655-658.

Khoronenkova SV & VI Tishkov (2008) D-Amino Acid Oxidase: Physiological Role and Applications. Biochem 73(13):1511-1518.

Kuan I, R Liao, H Hsieh, K Chen, C Yu (2008) Properties of Rhodotorula gracilis D-amino acid oxidase immobi-lized on magnetic beads through His-Tag. J Biosci Bioeng 105(2):110-115.

L Pollegioni & G Molla (2011) New biotech applications from evolved D-amino ac-id oxidases. Trends Biotechnol 29(6):276-283.

Lin SY, JD Wang, JH Lin (2009) Expression of Trigonopsis variabilis D-amino acid oxidase in transgenic rice for cephalo-sporin production. Botanical Stud 50:181-192.

Maddess ML, MN Tackett, SV Ley (2008) Total synthesis studies on macrocyclic pipecolic acid natural products: FK506, the antascomicins and rapamycin. Progress in Drug Research 66:15-186.

Massey V & P Hemmerich (1980) Active-site

probes of flavoproteins. Biochem Soc Trans 8(3):246-257.

Molla G, Vegezzi C, Pilone MS, Pollegioni L (1998) Overexpression in Escherichia coli of a recombinant chimeric Rhodotorula Gracilis D-amino acid oxi-dase. Protein Expr Purif 14(2):289-294.

Patel RN (2001) Enzimatic synthesis of chi-ral intermediate for Omapatrilat, an an-ti-hypertensive drug. Biomol Eng 17(6):167-182.

Patel RN (2001) Enzymatic synthesis of chi-ral intermediate for drug development. Adv Synth Catal 343(6-7):527-546.

Pilone MS & L Pollegioni (2010) Enzymes, D-amino acid oxidases in Encyclopedia of Industrial Biotechnology: Biopro-cess, Bioseparation, and Cell Technol-ogy (Flickinger, M.C., ed.), pp. 1–11, John Wiley & Sons

Plecko B, C Hikel, GC Korenke, B Schmitt, M Baumgartner, F Baumeister, C Jakobs, E Struys, W Erwa, S Stockler-Ipsiroglu (2005) Pipecolic acid as a di-agnostic marker of pyridoxine-dependent epilepsy. Neuropediatrics 36(3):200-205.

Pollegioni L, G Molla, S Sacchi, E Rosini, R Verga, MS. Pilone (2008) Properties and applications of microbial D-amino acidoxidases: current state and per-spectives. Appl Microbiol Biotechnol 78(1):1-16.

Pollegioni L, L Piubelli, S Sacchi, MS Pilone, G Molla (2007a) Physiological func-tions of D-amino acid oxidases: from yeast to humans. Cell Mol Life Sci 64(11):1373-1394.

Pollegioni L, S Sacchi, L Caldinelli, A Boselli, MS Pilone, L Piubelli, G Molla (2007b) Engineering the properties of D-amino acid oxidases by a rational and a di-rected evolution approach. Curr Pro-tein Pept Sci 8(6):600-618.

Pollegioni L, G Molla, S Sacchi, E Rosini, R Verga, MS Pilone (2008) Properties and applications of microbial D-amino acid oxidases: current state and per-spectives. Appl Microbiol Biotechnol 78(1):1-16.

Prell A, P Kujan, H Safar, P Holler, K Plhackova, A Sobotka (2001) D-amino acid oxidase an improved production of the enzyme by the yeast Trigonopsis variabilis in laboratory fermentor. Folia Microbiol 46(5):427-431.

Page 66: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015

142

Rosini E, L Pollegioni, S Ghisla, R Orru, G Molla (2009) Optimization of D-amino acid oxidase for low substrate concentrations towards a cancer en-zyme therapy. FEBS J 276(17):4921-4932.

Sacchi S, E Rosini, G Molla, MS Pilone, L Pollegioni (2004) Modulating D-amino acid oxidase substrate specificity: production of an enzyme for analytical determination of all D-amino acids by directed evolution. Protein Eng Des Sel 17(6):517-525.

Sacchi S, M Bernasconi, M Martineau, JP Mothet, M Ruzzene, MS Pilone, L Pollegioni, G Molla (2008) pLG72 modulates intracellular D-serine levels through its interaction with D-amino acid oxidase: effect on schizophrenia susceptibility. J Biol Chem 283(32):22244-22256.

Saleem A, AM Moharram, N Fathy (2012) Production and optimization of D-amino acid oxidase which is involved in the biosynthesis of β-lactam antibi-otics. African Journal of Microbiology Research 6(20):4365-4376.

SK Bardaweel (2014) D-amino Acids: Pro-spects for new therapeutic agents. J Med Bioeng 3(3):195-198.

Simonetta PM, R Verga, A Fretta, GM Hanozet (1989) Induction of D-amino acid oxidase by D-alanine in Rhodotorula gracilis grown in identified medium. Microbiology 135(3):593-600.

Taylor PP, DP Pantaleone, RF Senkpeil, IG Fotheringham (1998) Novel biosynthet-ic approaches to the production of un-natural amino acids using transaminases. Trends Biotechnol 16(10):412-418.

Tranchant C, P Aubourg, M Mohr, F Rocchiccioli, C Zaenker, JM Warter (1993) A new peroxisomal disease with impaired phytanic and pipecolic acid oxi-dation. Neurology 43(10):2044-2048.

Tsai GE, P Yang, YC Chang, MY Chong (2006) D-Alanine added to antipsychotics for the treatment of schizophrenia. Biol Psychia-try 59(3):230-234.

Verrall L, PWJ Burnet, JF Betts, PJ Harrison (2010) The neurobiology of D-amino acid oxidase (DAO) and its involvement in schizoprenia. Mol Psychiatry 15(2):122-137.

Zhao WJ, ZY Gao, H Wei, HZ Nie, Q Zhao, XJ Zhou, YX Wang (2010) Spinal D-amino acid oxidase contributes to neuropathic pain in rats. J Pharmacol Exp Ther 332(1):248-25

Page 67: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

143

INDEKS KATA KUNCI

A

air panas bertekanan .................... 95, 96, 98, 99

alkaline lysis .................................................. 106

ampas kelapa ............................................... 127

amplification .................................................... 88

amplifikasi ............................................ 88, 92, 93

aplikasi ................................... 134, 135, 139, 140

application ............................................. 105, 134

aquatic plants ................................................ 101

Aquilaria beccariana ...................... 111, 112, 118

auksin ... 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119

auxin ............................. 111, 119, 121, 122, 123

B

ball mill ..................................... 95, 96, 97, 98, 99

batang kelapa sawit ...................... 95, 97, 98, 99

bioetanol .................................. 95, 96, 97, 98, 99

bioethanol .................................................. 95, 99

C

cepat .............................................. 106, 108, 135

chromium ...................................................... 101

coconut bagasse ................................... 127, 128

Cyprinus carpio ..................... 127, 128, 132, 133

cytokinin ......................................................... 111

D

DAAO ........... 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140

D-amino acid ................ 134, 135, 140, 141, 142

D-asam amino ...... 134, 135, 137, 138, 139, 140

dedak............................................................. 127

E

elongasi .......... 90, 111, 112, 113, 114, 115, 117

elongation .............................................. 111, 114

Enzim ..... 98, 108, 134, 135, 136, 138, 139, 140

Enzyme ................................................. 100, 134

Escherichia coli .... 106, 107, 109, 110, 139, 140,

141

F

fermentasi ......... 96, 99, 127, 132, 133, 136, 137

fermentation 127, 128, 129, 130, 132, 133, 134,

140

Fitoremediasi................................................. 101

H

hidrolisis........................... 95, 96, 97, 98, 99, 138

Hoagland medium ........................................ 101

hot compressed water .................................... 95

hydrolysis ................................................ 95, 100

I

in vitro cultures .............................................. 119

Induksi perakaran ...................................... 119

ISSR .............................................. 88, 89, 90, 93

J

jenis agar ..................................................... 119

K

Keladi tikus .................. 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94

kromium ........................ 101, 102, 103, 104, 105

kultur in vitro ............................... 111, 112, 119

L

limbah cair ..................................... 101, 104, 105

liquid waste ................................................... 101

lisis alkali ....................................... 106, 107, 108

M

medicinal plant ............................................... 88

medium Hoagland ........................ 101, 104, 105

O

oil palm trunk ................................................... 95

Page 68: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

144

P

Phytoremediation .................................. 101, 105

pICZ A .......................... 106, 107, 108, 109, 110

Plasmid isolation ............................................ 106

production ...... 95, 100, 120, 128, 131, 134, 140,

141, 142

produksi 89, 94, 95, 96, 103, 104, 112, 125, 134,

136, 137, 138, 139

R

rapid ............................................... 106, 110, 118

Rhizopus oryzae

R. orzyae ............................................ 127, 128, 133

rice bran ................................................. 127, 128

Rooting induction ........................................... 119

S

sago palm ...................... 119, 120, 121, 125, 126

sagu ...................................... 119, 125, 126, 132

shoot .............................. 111, 122, 123, 124, 125

sitokinin ................. 111, 112, 113, 114, 116, 117

solidifying agent ..................... 119, 121, 123, 125

T

tanaman air ................... 101, 102, 103, 104, 105

tanaman obat ............................................ 88, 89

tunas ............. 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117

Typhonium flagelliforme

T. flagelliforme ............................................. 88, 94

Typonium flagelliforme ............................ 88, 89

Page 69: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

145

INDEKS PENGARANG

A

Ahmad Wibisana ..................................... 134

Alfik Indarto ............................................. 106

Anna Safarrida ........................................ 101

C

Catur Sriherwanto ................................... 127

D

Daru Mulyono .......................................... 111

Dasumiati .................................................. 88

Dudi Hardianto ........................................ 106

E

Edi Sandra .............................................. 111

Etyn Yunita .............................................. 127

H

Hiroyuki Inoue ........................................... 95

I

Imam Suja’i ............................................. 127

Indria Puti Mustika ................................... 134

J

Jaka Widada ........................................... 101

Juwartina Ida Royani ................................ 88

K

Karyanti .......................................... 119, 126

Kinya Sakanishi ........................................ 95

Kotetsu Matsunaga ................................... 95

M

M Fazri Hikmatyar ..................................... 88

N

Nadirman Haska ..................................... 119

Ngadiman ............................................... 101

Nurtjahjo Dwi Sasongko .......................... 106

R

Robby Dzul Umam .................................. 127

S

Suyanto .................................................... 95

T

Tati Sukarnih ........................................... 119

Teuku Tajuddin ....................................... 119

Y

Yusuf Sigit Ahmad Fauzan ...................... 111

Page 70: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

menyisipkan kotak dengan tinggi 4 cm untuk

penempatan logo Jurnal

JUDUL ARTIKEL DALAM DWI BAHASA (HURUF BESAR,

TEBAL, TENGAH, ARIAL 14, tidak lebih dari 15 kata)

Article Title (Capitalized each word, Arial 12, Center)

Penulis Pertama (Huruf awal kapital, tanpa gelar, center, Arial bold 10)

Apabila nama penulis lebih dari satu maka alamat

korespondensi diberi tanda bintang (*). Alamat Instansi

(tengah, tidak tebal, arial 10)

E-mail: [email protected]

ABSTRACT (Arial Bold 10, 1 cm from left and right margin)

Abstract should be written in Indonesian and English using Arial font, size 10 pt, italic, single

spasing. Abstract should contain background, objective, methods, results, and conclusion

from the research. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in

bahasa Indonesia and 150 words in English. If the article is written in English, the first

abstract is in Bahasa, and vise versa.

Keywords: 5 keywords (Arial 10)

ABSTRAK (Arial Bold 10, 1 cm dari margin kiri dan kanan) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Arial, ukuran 10, italic, spasi tunggal. Abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka abstrak pertama dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.

Kata kunci: 5 kata kunci (Arial 10)

ATURAN UMUM

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 2.5 cm, margin bawah 2,5 cm, margin kiri 2,5 cm dan kanan 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm, ukuran huruf 11 arial. Indent kalimat pertama dalam setiap paragraf adalah 1 cm. Panjang naskah maksimal 8 halaman, termasuk lampiran. Jarak antar baris dan antar paragraf adalah satu spasi tunggal.

Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:

PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIM-PULAN. Subjudul ditulis dengan huruf kapital. UCAPAN TERIMA KASIH (jika ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (jika ada) ditulis berurutan setelah kesimpulan dan di awal kata tidak diberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasa Inggris sebagai berikut: INTRODUCTION, MATERIALS AND METHODS, RESULTS AND DISCUSSION, CONCLUSION. ACKNOWLEDGEMENT (jika ada), REFERENCES dan APPENDIX

Page 71: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

(jika ada) ditulis berurutan setelah Conclusion. Sub-subjudul (jika ada) ditulis tanpa penomoran, dengan huruf kapital di awal setiap kata, bold, indent 1 cm.

Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu bisa ditulis kata singkatnya.

PENDAHULUAN (ARIAL 11, HURUF KAPITAL, BOLD)

Pendahuluan mencakup hal -hal

berikut ini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis (jika ada).

BAHAN DAN METODE (ARIAL 11, HURUF KAPITAL, BOLD)

Bahan (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Alat dan bahan yang dipakai dalam

penelitian harus ditulis dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis.

Metode (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Demikian juga dengan metode

penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN (ARIAL 11 BOLD, HURUF KAPITAL)

Hasil dan pembahasan hanya berisi

hasil penelitian yang relevan dengan tema kajian. Tabel hanya menggunakan garis horizontal, ditulis dengan arial ukuran 9 dan berjarak satu spasi dari judul tabel. Judul tabel ditulis dengan arial ukuran 9 dan ditempatkan di atas tabel. Kata tabel dan Tabel 1. Hasil etanol pada percobaan dan perkiraan

pada keadaan optimum

Variabel Nilai

Optimum

Hasil Etanol Optimum (g/L)

Percobaan Perkiraan

Sugar (g/L) 206,01

Urea (g/L) 3,16 58,97 59,77

Inokulum (%v/v)

23,05

Gambar 1. Bioasay Transforman U dan W Penicilin A. Nidulans G191 dan pXBG1. Baris bawah diperlukan dengan penicilinase.

nomor tabel ditulis bold. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1,2,…..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah.

Gambar diletakkan setelah disebutkan dalam naskah, gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman dan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab (1,2,…..).

Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf arial berukuran 9, dile-takkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Kata gambar dan nomor gambar ditulis bold. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Grafik ditampilkan dengan cara penyajian yang sederhana tanpa warna latar atau garis.

KESIMPULAN

Kesimpulan bisa berupa kesimpulan

khusus dan kesimpulan umum. Kesimpulan

khusus merupakan hasil analisa data atau

hasil uji hipotesa tentang fenomena yang

diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil

generalisasi atau keterkaitan dengan

publikasi terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Penulisan daftar pustaka sesuai dengan urutan pengutipannya dalam

Page 72: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Gambar 2. Internal temperature and pH of fermented

GSP at optimized conditions for 7 days (top); Amylase, FPase and CMCase activities in fermented GSP at different source of nitrogen, 55 ml liquid/50 gm substrate moisture, 30 °C incubation temperature and initial pH of 6.0 (bottom).

naskah dibuat sejajar dalam dua kolom. Jumlah sumber acuan dalam satu tulisan paling sedikit sepuluh sumber acuan, dengan 80% merupakan sumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji.

Sumber acuan primer dapat berupa:

tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal

internasional maupun nasional terakreditasi,

hasil penelitian di dalam disertasi, tesis,

maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk

dalam sumber acuan sekunder. Format

daftar pustaka yang digunakan mengacu

pada model APA yang dikembangkan oleh

American Psychological Association, seperti

contoh berikut ini:

Jurnal Andrews JM (2001) Determination of minimum

inhibitory concentration. J Antimicrob Chemother 48 (suppl.1): 5-16.

Guo Q, G Daosen, B Zhao, J Xu, R Li (2007) Two cyclic dipeptides from Pseudomonas Fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro. J Nematol 39(3):243-247.

Salehizadeh H & SA Shojaosadati (2003) Removal of metal ions from aqueous solution by polysaccharide produced from Bacillus firmus. Water Res 37(17):4231-4235.

Buku Moore-Landecker E (1990) Fundamentals of

the Fungsi. Ed. Ke-3 Prentice Hall, Inc., New Jersey

Bab dalam buku: Weiss R (1984) Experimental biology and

assay of RNA tumor viruses, hlm. 209-260. Di dalam: R Weiss, N. Teich, H. Varmus & J. Coffin (ed.), RNA Tumor Viruses, vol. 1. Cold Spring Harbor La-boratory. Cold Spring Harbor, New York.

Prosiding: Raffiudin R, D Nandika, M Amir, N Si

(1991) Populasi flagelata pada usus rayap Coptotermes curvignatus Holmgren dengan Pemberian pakan tiga jenis kayu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional: Biologi Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan, dan Lingkungan11: 482-487.

Artikel dari internet:

WHO (World Health Organization) (2009) Dengue and dengue haemorrhagic fever. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/index.html, diakses 6 Mei 2014.

ALAMAT PENGIRIMAN NASKAH Redaksi JBBI

Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT

Gedung 630 – Kawasan Puspiptek, Setu,

Tangerang Selatan, Banten, 15314

E-mail: [email protected]

Page 73: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI CENTER FOR BIOTECHNOLOGY ASSESMENT

PELAYANAN TEKNIS PENGUJIAN DAN JASA

Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT

Center for Biotechnology Assessment - BPPT

HPLC-MS (Liquid Chromatography – Mass Spectrometry ) LC -MS untuk analisa senyawa berdasarkan berat molekul. Sampel harus larut dalam air/ metanol / acetonitril. Sampel

harus berupa senyawa (bukan elemen) dengan berat molekul lebih besar dari 100 dalton. Sampel murni hanya 1

senyawa dapat langsung dianalisa dengan LC MS dengan direct infusion tanpa melalui HPLC. Untuk sample campuran/

ekstrak harus dianalisa melalui HPLC dan keberhasilan analisa ditentukan oleh pemisahan senyawa menggunakan

HPLC. LC-MS juga dapat menganalisa asam amino esensial, vitamin dan lain-lain.

Spektrofotometri, Gravimetri dan Analisa Proksimat SNI • Karbon-organik, kalsium, fosfor, magnesium, besi, klorida, nitrat, nitrit, sulfat,

gula pereduksi dan gula total.

• neutral detergent fibre (NDF), acid detergent fibre (ADF) dan lignin, selulosa, hemiselulosa.

• Kadar air, abu total, bobot jenis, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar.

Biologi Molekuler (16s rRNA, 28s rRNA, ITS dan GMO serta SDS-page) • Sequensing DNA, identifikasi bakteri, jamur dan yeast secara molekuler.

• Deteksi Genetically Modified Organism (GMO) .

• Amplifikasi DNA, PCR (Ploymerase Chain Reaction) dan SDS Page.

• Transformasi pada Escherichia coli.

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Bahan pengawet kuantitatif (asam benzoat, boraks, asam salisilat), pemanis buatan kuantitatif (sakarin, siklamat,

aspartam), pewarna makanan kuantitatif, antibiotik (penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siklosporin, sepalosporin, statin

(lovastatin, simvastatin), vitamin ( B12, C), pola fitokimia, alkohol, metanol, etanol, asam lemak, asam linoleat, asam oleat,

asam arachidonat, glukosa, manosa, ramnosa, hormon (IAA, IBA, adenin, hemisulfat, kinetin, zeatin), dan lain-lain.

Praktikum dan Pelatihan Bioteknologi • Dasar-dasar mikrobiologi dan pengujian mikrobiologi.

• Kultur jaringan tanaman in vitro dan kultur ex vitro.

• Dasar-dasar teknologi gen/DNA dan identifikasi secara molekuler.

• Teknologi fermentasi dan proses hilir.

Kontak Person:

Bioteknologi Industri : Dr. Edi Marwanta, M.Eng (0858 838 16566)

Bioteknologi Pertanian : Ahmad Riady, M.Si (0815 808 8442)

Kerjasama : Danang Waluyo, M.Eng (0858 143 55173)

Jasa Pengujian : Imron Rosidi (0856 745 1933)

Produksi Bibit Tanaman dan Pupuk Hayati • Bibit tanaman kehutanan, perkebunan, hortikultura, tanaman hias dan angrek.

• Pupuk hayati (mikoriza, penambat nitrogen, penghasil zat tumbuh dan pelarut fosfat).

• Pakan dan suplemen pakan ternak ruminansia, unggas dan ikan.

• Dekomposer.

CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY ASSESSMENT

Mikrobiologi (Cemaran Mikroba Makanan dan Minuman) • Uji Escherichia coli, coliform, Salmonella sp., Clostridium perfringens, enterococci,

Staphylicoccus aureus, Vibrio cholerae

• Uji angka lempeng total, uji kapang dan khamir.

• Uji zona bening.

• Uji efektivitas sanitizer, sabun dan toiletries lainnya.

• Uji mikrobiologi lainnya

Page 74: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi