balai pengkajian bioteknologi deputi bidang teknologi...

62
B IOTEKNOLOGI & IOSAINS ISSN 2442 - 2606 Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi B VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA Dudi Hardianto KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA Dudi Hardianto

Upload: lyduong

Post on 12-Jun-2018

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

B IOTEKNOLOGI &

IOSAINS

ISSN 2442 - 2606 Balai Pengkajian Bioteknologi

Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

B VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN

VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK

Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN

SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE

IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK

KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA

MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA

Dudi Hardianto

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN

VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK

Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN

SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE

IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK

KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA

MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA

Dudi Hardianto

Page 2: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI CENTER FOR BIOTECHNOLOGY ASSESMENT

KOMPETENSI

Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT

Center for Biotechnology Assessment - BPPT

Membangun keunggulan

bioteknologi industri, kesehatan, dan

pertanian untuk meningkatkan

daya saing industri dan

pertumbuhan ekonomi Nasional

Pelayanan Teknis

Pengujian

Teknologi Mikropropagasi

Tanaman

Teknologi

Agromikrobiologi

Balai Pengkajian Bioteknologi

Center for Biotechnology Assessment

Kawasan PUSPIPTEK Gedung 630, Setu - Tangerang Selatan

BANTEN – Indonesia

Telp. +62 21 7563120, Fax +62 21 7560208

Teknologi Ex-vitro

Tanaman

Rekayasa Industri

Berbasis Bioteknologi

Aplikasi Bioteknologi

Pakan Ternak

Laboratorium Rekayasa Genetika

Laboratorium Mikrobiologi

Laboratorium Mikrobiologi Vitamin dan Enzim

Laboratorium Teknologi Fermentasi

Laboratorium Rekoveri dan Ekstraksi Senyawa Obat

Laboratorium Analitik dan Kontrol Kualitas

Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman

Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak

Laboratorium Agromikrobiologi

Pilot plant fermentasi (bioreaktor : 75l L (3 buah), 500 L, dan 2.500 L)

Pilot plant penapisan (recovery)

Filtrasi membran mikro, ultra nano dan Reverse Osmosis Destilasi dan stripping Kristalisasi dan Pengeringan vakum

Sentrifugasi dan Ekstraksi (padat/cair dan cair/cair)

Pilot plant teknologi mikropropagasi tanaman (In Vitro)

Pilot plant teknologi Ex Vitro Unit pengolah limbah Cair aerob/anaerob

Fasilitas Pilot Plant Fasilitas Laboratorium

CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY ASSESSMENT

Teknologi Fermentasi &

Proses Hilir

Rekayasa Genetika

Terapan

Page 3: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK

Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA

Dudi Hardianto

Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

ISSN 2442 - 2606

JURNAL

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014

Indonesia

Page 4: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia terbit 2 kali setahun sejak Desember 2014

Penanggung Jawab

Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi

Ketua Dewan Redaksi

Dr. Rofiq Sunaryanto

Dewan Redaksi

Drs. Tarwadi, M.Si

Dr. Anis H Mahsunah, M.Sc

Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc

Juwartina Ida Royani, M.Si

Dr. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc

Redaktur Pelaksana

Endah Dwi Hartuti, S.Si, Apt

Diana Dewi, M.Si

Mitra Bestari

Dr. Pudjono (Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada)

Dr. Elok Zubaidah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)

Dr. Josephine Elizabeth Siregar, M.Sc (Eijkman Institute Indonesia)

Dr. Mulyoto Pangestu, PhD (Monash Clinical School, Monash Universit, Australia)

Marwan Diapari, PhD (London Research & Development Centre, Agriculture & Agri-Food, Canada)

Desain Grafis & Informatika

Dr. rer.nat. Catur Sriherwanto

Sekretariat & Distribusi

Siti Zulaeha, S.Si

Imron Rosidi, M.Si

Nuryanah, S.E.

Alamat Redaksi

Balai Pengkajian Bioteknologi, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – BPPT, Gedung 630 Kawasan Puspiptek

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314, Indonesia, Telp. +62 21 7563120, Fax. +62 21 7560208

E-mail: [email protected] [email protected]

Page 5: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

i

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga

kami berhasil menerbitkan Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Volume 1 Nomor 1.

JBBI merupakan media yang mempublikasi tulisan/naskah orisinil dalam bidang bioteknologi

dan biosains. Naskah yang dipublikasi pada jurnal ini, baik dalam Bahasa Indonesia maupun

Bahasa Inggris, mencakup hasil-hasil kerekayasaan dan penelitian mutakhir, ulasan singkat

(review), analisis kebijakan atau catatan penelitian singkat (Research Communication and

Notes) mengenai metoda/teknik percobaan, alat, pengamatan, maupun penemuan baru berupa

hasil awal percobaan untuk menarik perhatian komunitas ilmiah. Naskah mencakup beberapa

bidang bioteknologi seperti bioteknologi pertanian, bioteknologi industri, bioteknologi

kesehatan, bioteknologi lingkungan dan lain sebagainya.

Edisi perdana ini memuat 5 makalah ilmiah dari hasil penelitian, pengembangan teknologi dan

kerekayasaan, serta 1 makalah ulasan singkat. Kami berharap semoga hasil-hasil dan informasi

yang dipaparkan dalam jurnal ini dapat dijadikan bahan acuan bagi penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya sehingga akan lebih baik dan sempurna, serta

bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Dalam menyusun dan menerbitkan jurnal ini, kami menyadari akan adanya kekurangan dan

kendala yang dihadapi. Untuk itu kami sangat mengharapkan sumbang saran dan pemikiran

demi kemajuan dan kesempurnaan JBBI pada edisi-edisi berikutnya.

Redaksi

Page 6: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

ii

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Pimpinan dan

Manajemen Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, serta semua pihak yang telah membantu

lahirnya Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) ini. Penghargaan juga disampaikan

kepada para penulis yang dengan konsisten dan semangat tinggi telah berkontribusi pada JBBI

edisi perdana.

Redaksi

Page 7: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

iii

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH

LEMBAR ABSTRAK

i

ii

iv

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Karyanti, Juanda, Teuku Tajuddin

1 – 8

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK

Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto

9 – 14

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni

15 – 20

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

21 – 26

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus DAN Lactobacillus casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Elok Zubaidah, Erryana Martati, Ampu M Resmanto

27 – 37

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA

Dudi Hardianto

38 – 44

INDEKS PENGARANG

INDEKS KATA KUNCI

45

46

Page 8: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

iv

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Growth Ability of Jatropha Curcas L. Explants on the In Vitro Media Containing IBA and BA

Karyanti*, Juanda, Teuku Tajuddin

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):1-8

ABSTRACT Research on the growth ability of Jatropha curcas L. shoots and callus in solid and liquid media have been conducted. Explants were planted in the initiation MS medium. After ten weeks, the explants were subcultured into solid and liquid media containing combination of IBA and BA treatments. The number of combinations was 12 treatments, each with 6 replications. Observation was conducted from the first week after subculturing upto the fourth week. Parameters of observation were the percentage of explant forming shoots, the number of shoots, height, number of leaves, weight, color, and form of callus. The results showed that the explant which was subcultured in liquid media had higher growth rate than those subcultured in solid media. Treatment of 1 ppm IBA + 0.5 ppm BA gave a good result on the growth of shoots on solid and liquid media. For callus formation, treatment of 2 ppm IBA + 1 ppm BA gave the best result. Keywords: Callus, Jatropha, IBA and BA, solid and liquid media, hormone

ABSTRAK

Penelitian terhadap kemampuan tumbuh kalus dan tunas tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah dilakukan pada media padat dan cair. Eksplan diinisiasi pada media MS dan setelah 10 minggu dipindahkan ke media padat dan cair yang mengandung perlakuan kombinasi hormon IBA dan BA. Jumlah kombinasi sebanyak 12 perlakuan dan setiap perlakuan dibuat 6 ulangan. Pengamatan dilakukan dari minggu pertama subkultur hingga minggu keempat. Peubah yang diamati adalah persentase eksplan yang membentuk tunas, jumlah dan tinggi tunas, terbentuknya daun pada tunas, perbedaan berat, bentuk, dan warna kalus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa eksplan yang disubkultur pada media cair memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada media padat. Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm menghasilkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi pada media padat dan cair. Pembentukan kalus yang terbaik diperoleh pada perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm. Kata Kunci: Kalus, Jatropha, IBA dan BA, media padat

dan cair, hormon

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK Ability Test of Lactobacillus Casei as A Probiotic Agents

Rofiq Sunaryanto*, Efrida Martius, Bambang Marwoto

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):9-14

ABSTRACT Probiotic product is one of the applications of biotechnology that utilize lactic acid bacteria, especially lactobacilli. Some important requirements for microbes that can be used as probiotic include resistance to low pH, ability to grow on bile salts and colonize, and having antimicrobial activity. Each species of the genus Lactobacillus has different characteristics. These characteristics are strongly influenced by the environment in which the bacteria live. This study was carried out in order to characterize Lactobacillus casei which was isolated from dadih. The result of the experiment showed that the isolated L. casei was able to grow on the bile salt at the concentration of 15%, resistant to acid media until pH 2, had antimicrobial activity (significantly inhibited the growth of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, and Enterococcus faecalis). The local L. casei isolate has a potential application for use as probiotic microbe. Keywords: Lactobacillus casei, probiotic, lactic acid bacteria, characterization,dadih

ABSTRAK

Produk probiotik merupakan salah satu aplikasi bioteknologi yang memanfaatkan bakteri asam laktat terutama jenis Lactobacillus. Beberapa syarat utama mikroba yang dapat difungsikan sebagai mikroba probiotik antara lain tahan terhadap pH rendah, mampu tumbuh pada garam empedu, mampu berkoloni, memiliki aktivitas antimikroba. Masing-masing spesies dari Genus Lactobacillus memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana bakteri tersebut hidup. Pada penelitian ini telah dilakukan karakterisasi Lactobacillus casei yang merupakan hasil isolasi dari susu kerbau fermentasi. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa L.casei hasil isolasi mampu hidup sampai dengan konsentrasi garam empedu 15%, tahan terhadap media asam sampai dengan pH 2, memiliki aktivitas antimikroba (positif menghambat Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis). L. casei yang merupakan isolat lokal memiliki karakteristik yang berpotensi untuk digunakan sebagai mikroba probiotik.

Kata Kunci: Lactobacillus casei, probiotik, bakteri asam

laktat, karakterisasi, dadih

Page 9: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

v

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Analysis of Andrographolide Contents on Sambiloto Plants (Andrographis paniculata) Derived from 12 Locations in Java Island

Juwartina Ida Royani

1,*, Dudi Hardianto

1, Sri Wahyuni

2

1Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

2Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jl. Taman Kencana Cimanggu Bogor

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):15-20

ABSTRACT Concentration of active compounds contained in medicinal plants is determined by genetic factors as well as growth environment. In sambiloto plants both factors have major impacts on the formation of diterpene lactone, andrographolide. Variation of sampling time, cultivation, and processing methods causes variation in the content of active compounds of the same plant. The purpose of this study was to determine andrographolide concentration of sambiloto plants obtained from 12 different locations with various planting conditions in Java Island. andrographolide content of sambiloto was extracted by methanol and analyzed using HPLC. The results showed that the concentrations of andrographolide varied from 0.29 to 4.44% with an average of 2.19% on dry weight basis. The highest concentration of 4.44% was detected in sambiloto accession from Wonokaton Village, Pasuruan Regency while the lowest one was from Conggeang Kulon Village, Sumedang Regency. Three sambiloto accessions had potential to be further developed as their andrographolide concentrations were above 3%, which was higher than those from all the others. Keywords: Andrographis paniculata, andrographolide, active coumpound, HPLC, Java island

ABSTRACT

Kadar senyawa aktif yang terkandung pada tanaman obat selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tumbuhnya. Pada tanaman sambiloto kedua faktor tersebut berpengaruh sangat besar pada pembentukan diterpen lakton, andrographolide. Adanya variasi pada waktu pengambilan sampel, tempat penanaman, metode pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada perbedaan dalam kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar andrographolide dari tanaman sambiloto yang diambil dari 12 lokasi tumbuh dengan kondisi penanaman yang berbeda di Pulau Jawa. Daun tanaman sambiloto diekstrak dengan methanol kemudian dianalisis kandungan andrographolide menggunakan HPLC. Kadar andrographolide yang dihasilkan bervariasi berkisar antara 0,29-4,44% dengan kadar rata-rata adalah 2,19% berat kering. Kadar tertinggi didapatkan pada aksesi dari Desa Wonokaton Kabupaten Pasuruan dengan kadar andrographolide adalah 4,44% sedangkan kadar yang terendah didapatkan pada aksesi dari Desa Conggeang Kulon, Kab. Sumedang. Berdasarkan data kandungan andrographolide, diperoleh 3 aksesi sambiloto yang potensial untuk dikembangkan menjadi aksesi unggulan karena kadar andrographolidenya di atas 3%, melebihi semua yang lain. Kata Kunci: Andrographis paniculata, andrographolide,

senyawa aktif, HPLC, pulau Jawa

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Modifikasi Metode Sterilisasi Tunas Anakan Sagu (Metroxylon sagu rottb.) untuk Mendukung Perbanyakan Secara In Vitro

Teuku Tajuddin*, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):21-26

ABSTRAK Hutan sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dapat ditemukan dalam area yang cukup luas di wilayah Maluku dan Papua. Besarnya keanekaragaman hayati dari pohon sagu dapat dilihat di areal ini. Pohon sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber yang air melimpah. Tanaman sagu dapat diperbanyak dengan metode generatif melalui biji, dan vegetatif melalui tunas anakan. Dalam rangka mendukung perbanyakan pohon induk yang unggul secara in vitro dalam skala besar, perbaikan metode sterilisasi tunas anakan mutlak diperlukan. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari Propinsi Papua digunakan sebagai eksplan. Tujuan percobaan sterilisasi ini dilakukan untuk mendukung perbanyakan pohon sagu secara in vitro. Pada percobaan ini antibiotik digunakan untuk membersihkan jaringan internal eksplan dari jamur dan bakteri. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa campuran alkohol dan antibiotik dapat menekan pertumbuhan kontaminan.

Kata Kunci: Antibiotik, kontaminan jamur dan bakteri, kultur in vitro, metode sterilisasi, sagu

ABSTRAK Natural sago (Metroxylon sagu Rottb.) forest can be found in large area in Maluku and Papua regions. There are wide genetic diversities of sago palm found in these areas. This palm grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Sago palm is propagated generatively by seed and vegetatively by suckers. With the purpose of establishing the in vitro

culture method for a large-scale of mass clonally propagation of superior genotypes of sago palm, generating sterilized explants are very important. Young suckers (15-20 cm) obtained from areas of Papua Province were used as explants. The sterilization experiments were carrying out to support the tissue culture of sago palm. Sterilization was conducted using antibiotics in order to get rid of fungi and bacteria from inner part of explants tissues. The results showed that from all sterilization methods tested, the best result was treatment using alcohol and antibiotic as disinfectant agents. Keywords: Antibiotics, fungi and bacteria elimination, in vitro

culture, sterilization method, sago palm

Page 10: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

LEMBAR ABSTRAK

vi

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Growth of LAB Isolated from Rice Bran and Commercial Probiotic (Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei) on Rice Bran and Skimmed Milk Media

Elok Zubaidah

1,*, Erryana Martati

1, Ampu M Resmanto

2

1Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNIBRAW Malang

2Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNIBRAW Malang

*E-mail: [email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):27-37

ABSTRACT This research was aimed to study the influence of rice bran and skim milk fermentation media on the growth of lactic acid bacteria and their ability in fermenting complex carbohydrates into short chain fatty acids (SCFA). Indigenous lactic acid bacteria (LAB) were isolated from rice bran and commercial probiotic separately and used for fermenting rice bran and skim milk media. Randomized block design was used with 2 factors i.e. fermenting media type and LAB type. The results showed that fermenting rice bran gave significant effect on the LAB growth, indicated by total LAB cell count, total acid concentration, pH and antibacterial activity. The best treatment was J2-B with total LAB count 1.01 x 10

10 cfu/mL, total acid 1.14%, pH 3.88

and clear zone diameters against Staphylococcus aureus 13.04 mm, Listeria monocytogenes 12.88 mm, Escherichia coli 12.83 mm and Salmonella typhi 12.53 mm. LAB fermenting rice bran for 48 hours produced lactic acid and SCFA. The highest concentrations of lactic acid (122.1313 mM), acetic acid (10.503 mM), and butyric acid (1.56 mM) were produced by fermentation using LAB J2, L. acidophilus, and L. casei isolate, respectively; whereas the highest propionic acid concentration (6,07 mM) was produced by control fermentation.

Keywords: Probiotic, indigenous isolate, rice bran, SCFA, skimmed milk

ABSTRAK

Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dedak dan skim milk sebagai media fermentasi bakteri asam laktat, dan kemampuannya mengubah sumber karbon komplek dedak menjadi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids, SCFA). Bakteri asam laktat lokal diisolasi dari dedak dan probiotik. Desain percobaan adalah acak kelompok dengan 2 faktor, yaitu jenis media fermentasi dan jenis bakteri asam laktat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media fermentasi dengan menggunakan dedak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dari total sel bakteri asam laktat, total asam yang dihasilkan, pH dan aktivitas antibakteri. Fermentasi dengan menggunakan isolat J2-B menghasilkan total bakteri asam laktat 1,01 x 10

10 cfu/mL, total

asam 1,14%, pH 3,88 dan zona hambatan dengan bakteri uji Staphylococcus aureus 13,04 mm, Listeria monocytogenes 12,88 mm, Escherichia coli 12,83 mm dan Salmonella typhi 12,53 mm. Proses fermentasi bakteri asam laktat menggunakan media dedak selama 48 jam mampu menghasilkan asam laktat dan SCFA. Konsentrasi tertinggi asam laktat (122,13 mM), asam asetat (10,50 mM), dan asam butirat (1,56 mM) masing-masing dihasilkan oleh fermentasi menggunakan BAL J2, isolat L. acidophilus, dan isolat L. casei; sedangkan konsentrasi tertinggi asam propionat (6,07 mM) dihasilkan oleh fermentasi kontrol. Keywords: Probiotik, isolat lokal, dedak, SCFA, susu skim

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA A Review: Lovastatin and Its Application

Dudi Hardianto

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:[email protected]

J Bioteknol Bios Indon 1(1):38-44

ABSTRACT Lovastatin is a drug belonging to statins group that is used to decrease the cholesterol levels in blood. The action mechanism of lovastatin is inhibition of the activity of HMG-CoA reductase enzyme, hence reducing cholesterol production in the liver. Some filamentous fungi produce lovastatin, and Aspergillus terreus is known as the highest lovastatin-producing filamentous fungi, therefore it is generally used for production of lovastatin. Commercial production of lovastatin is based on submerged fermentation. But nowadays solid-state fermentation is becoming an alternative for production of lovastatin. Lovastatin is mainly used for antihypercholeterolemia. Other potential uses of lovastatin include therapy of Alzheimer’s disease, cancer, osteoporosis, Parkinson’s disease, multiple sclerosis, and rheumatoid arthritis. Keywords: Statin, lovastatin, Aspergillus terreus, fermentation, antihypercholeterolemia

ABSTRAK

Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Mekanisme kerja lovastatin adalah menghambat enzim HMG-CoA reduktase sehingga produksi kolesterol di dalam hati berkurang. Beberapa kapang berfilamen memproduksi lovastatin dan Aspergillus terreus merupakan kapang penghasil

lovastatin tertinggi sehingga digunakan dalam produksi lovastatin. Produksi lovastatin secara komersial menggunakan fermentasi cair tetapi sekarang ini fermentasi padat menjadi alternatif lain untuk memproduksi lovastatin. Lovastatin digunakan terutama untuk antihiperkolesterolemia. Lovastatin juga potensial digunakan untuk pengobatan penyakit alzheimer, kanker, osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan rheumatoid arthritis.

Kata Kunci: Statin, lovastatin, Aspergillus terreus, fermentasi, antihypercholeterolemia

Page 11: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

1

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L.

PADA MEDIA IN VITRO YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA

Growth Ability of Jatropha Curcas L. Explants on the In Vitro Media Containing IBA and BA

Karyanti*, Juanda, Teuku Tajuddin

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Research on the growth ability of Jatropha curcas L. shoots and callus in solid and liquid media have been conducted. Explants were planted in the initiation MS medium. After ten weeks, the explants were subcultured into solid and liquid media containing combination of IBA and BA treatments. The number of combinations was 12 treatments, each with 6 replications. Observation was conducted from the first week after subculturing upto the fourth week. Parameters of observation were the percentage of explant forming shoots, the number of shoots, height, number of leaves, weight, color, and form of callus. The results showed that the explant which was subcultured in liquid media had higher growth rate than those subcultured in solid media. Treatment of 1 ppm IBA + 0.5 ppm BA gave a good result on the growth of shoots on solid and liquid media. For callus formation, treatment of 2 ppm IBA + 1 ppm BA gave the best result. Keywords: Callus, Jatropha, IBA and BA, solid and liquid media, hormone ABSTRAK Penelitian terhadap kemampuan tumbuh kalus dan tunas tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah dilakukan pada media padat dan cair. Eksplan diinisiasi pada media MS dan setelah 10 minggu dipindahkan ke media padat dan cair yang mengandung perlakuan kombinasi hormon IBA dan BA. Jumlah kombinasi sebanyak 12 perlakuan dan setiap perlakuan dibuat 6 ulangan. Pengamatan dilakukan dari minggu pertama subkultur hingga minggu keempat. Peubah yang diamati adalah persentase eksplan yang membentuk tunas, jumlah dan tinggi tunas, terbentuknya daun pada tunas, perbedaan berat, bentuk, dan warna kalus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa eksplan yang disubkultur pada media cair memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada media padat. Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm menghasilkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi pada media padat dan cair. Pembentukan kalus yang terbaik diperoleh pada perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm. Kata Kunci: Kalus, Jatropha, IBA dan BA, media padat dan cair, hormon

Page 12: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kemampuan Tumbuh Eksplan Jatropha curcas L… Karyanti et al.

2

PENDAHULUAN Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas

L.) termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet (Hevea brasiliensis) dan ubi kayu (Manihot esculenta). Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar (Ricinus communis L.), jarak Bali (Jatropha podagrica L.), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.), dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) (Van der Putten 2010). Diantara berbagai jenis tanaman jarak tersebut yang potensial menghasilkan minyak bakar (biofuel) adalah jarak pagar.

Jarak pagar merupakan tumbuhan semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropis. Tanaman perdu ini memiliki tinggi berkisar antara 1-7 m dengan cabang kuat dan tidak teratur. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai iklim dan jenis tanah, seperti gurun, pasir pantai hingga tanah gambut. Menurut Hambali (2006), jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran rendah sampai dataran tinggi, curah hujan yang rendah maupun tinggi (300-2.380 ml/tahun), dengan rentang suhu antara 20-26°C. Sifat tersebut menyebabkan tanaman jarak pagar mampu tumbuh pada tanah berpasir, berbatu, lempung ataupun tanah liat, hingga lahan kritis.

Jarak pagar menjadi sangat populer ketika dikaitkan dengan energi alternatif ramah lingkungan. Biodiesel merupakan salah satu diantara berbagai macam sumber energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan dan prospektif untuk dikembangkan. Tumbuhan penghasil minyak nabati di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel cukup banyak, antara lain: kelapa sawit (Elaeis guineensis), kelapa (Cocos nucifera) dan jarak pagar. Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa banyak dimanfaatkan sebagai minyak makan, sedangkan minyak jarak pagar agar dapat digunakan untuk tujuan pangan harus didetoksifikasi terlebih dahulu. Untuk itu peluang pemanfaatan minyak jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel lebih besar karena tidak akan mengganggu stok minyak makan nasional (Hambali 2006).

Jarak pagar dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif melalui biji memiliki keunggulan dan kelemahan. Bibit yang berasal dari biji memiliki

perakaran yang kuat dan dalam karena memiliki akar tunggang serta lebih tahan kering dan mampu berumur panjang. Akan tetapi perbanyakan secara generatif hampir selalu memberikan keturunan yang berbeda dengan induknya karena ada segregasi sifat tetuanya. Perbanyakan jarak pagar secara vegetatif yang dilakukan dengan cara stek menunjukkan tingkat keberhasilan yang masih rendah. Bibit hasil stek memiliki sistem perakaran yang lemah atau dangkal karena tidak memiliki akar tunggang sehingga mudah roboh dan percabangan awal yang tidak teratur sehingga harus segera dipangkas (Prihardana & Hendroko 2006).

Mikropropagasi tanaman dengan kultur jaringan merupakan suatu cara perbanyakan tanaman yang memiliki keuntungan antara lain, penghematan tenaga, waktu, biaya, dan hasil yang lebih berkualitas (Nugroho & Sugito 2005). Syarat utama keberhasilan dari teknik ini berawal dari kondisi yang aseptik, yaitu kondisi tanaman, lingkungan kerja, alat, dan bahan yang digunakan bebas dari jamur, bakteri dan virus serta mikroorganisme kontaminan lainnya. Tanpa kondisi yang aseptik maka tujuan yang akan dicapai dalam menumbuhkan tanaman in vitro jelas tidak akan terwujud. Hal ini perlu mengingat bagian dari tanaman yang dikultur dapat tumbuh dengan baik jika media dan lingkungan dalam kondisi steril sehingga nutrisi yang diperlukan oleh tanaman yang terdapat dalam media dapat digunakan sepenuhnya oleh tanaman tanpa gangguan dari kontaminan (Royani 2003).

Kultur jaringan biasanya dimulai dengan menanam satu iris jaringan steril pada media buatan, berupa media padat ataupun cair, dalam waktu 2-3 minggu dan membentuk kalus. Kalus adalah jaringan yang terdiri dari sejumlah sel yang tidak terorganisasi, merupakan bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan bagian tanaman seperti daun, batang, dan akar. Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk karena luka atau irisan eksplan sebagai respon terhadap auksin dan sitokinin yang tinggi (Katuuk 1989; Nugroho & Sugito 2005).

Percobaan ini bertujuan untuk: 1) mengetahui perbedaan pertumbuhan tunas dan kalus jarak pagar pada media padat maupun cair, 2) mengetahui pengaruh hormon tumbuh IBA dan BA terhadap perkembangan kultur jarak pagar.

Page 13: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon - Vol 1 No 1 Thn 2014

3

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT di Kawasan Puspiptek, Serpong. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini adalah kotiledon tanaman jarak pagar yang diambil dari hasil perkecambahan in vitro yang berumur 4 minggu dan berjenis Improved Population generation 2 (IP 2) yang berasal dari Pakuwon, Sukabumi.

Eksplan yang digunakan disterilisasi dengan metode sebagai berikut: biji direndam dalam larutan alkohol 70% selama 5 menit, sambil diguncang-guncangkan agar seluruh biji terendam alkohol. Alkohol selanjutnya dibuang dan biji dipanaskan di atas Bunsen untuk menghilangkan sisa kandungan alkoholnya. Biji yang sudah steril diambil satu per satu dan diletakkan di atas cawan petri steril. Biji dibuka menggunakan alat pembuka biji, scalpel, dan pinset. Embrio dari dalam biji diambil dan diletakkan di atas cawan petri lainnya, kemudian ditanam pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh (MS 0). Setelah 4 minggu kecambah yang tumbuh dipotong bagian kotiledonnya. Potongan kotiledon masing-masing ditanam pada media inisiasi awal hingga terbentuk kalus. Setelah sepuluh minggu, kalus yang telah menginisiasi tunas kecil disubkultur ke media perlakuan.

Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige & Skoog 1962) dan dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh IBA (Indole Butyric Acid) dan BA (Benzyl Adenin), serta mengandung adenin sulfat 25 ppm, glutamin 50 ppm, L arginine 15 ppm, dan vitamin C 25 ppm. Perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi 0 ppm, 1 ppm, 1,5 ppm, dan 2 ppm, serta BA dengan konsentrasi 0 ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm.

Dalam percobaan ini, media merupakan perlakuan berupa media padat dan cair, dengan jumlah kombinasi sebanyak 12 perlakuan dan setiap perlakuan dibuat 6 ulangan. Peubah yang diamati adalah persentase eksplan yang membentuk tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, terbentuknya daun pada tunas, perbedaan berat kalus, bentuk kalus, dan warna kalus.

Sebelum disubkultur, terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat awal kalus,

penghitungan jumlah kalus yang sudah membentuk tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun yang terbentuk.

Ruang kultur untuk inkubasi eksplan dijaga agar temperatur tetap stabil pada suhu 25-27°C dengan intensitas cahaya 100-200 lux selama 12 jam. Eksplan yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme segera dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang kultur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon awal yang terlihat setelah penanaman pada media inisiasi adalah pembentukan kalus pada sayatan jaringannya. Setelah sepuluh minggu, dilakukan subkultur ke dalam media padat dan cair yang mengandung kombinasi perlakuan IBA dan BA. Tujuan dari subkultur ini adalah untuk memperpanjang tunas (elongasi) hasil dari penanaman pada media inisiasi.

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa tidak semua kalus membentuk tunas. Hanya 58 kalus (40,3%) saja yang dapat membentuk tunas, dengan rata-rata tinggi tunas antara 1-2 mm. Subkultur dilakukan dengan cara mengambil kalus secara acak dari media inisiasi awal kemudian ditanam ke dalam media perlakuan. Dari hasil pengambilan acak ini, diperoleh 39 kalus (54,2%) yang telah membentuk tunas disubkultur ke dalam media padat, sedangkan sisa kalus yang membentuk tunas, sebanyak 19 kalus (26,4%) disubkultur ke media cair.

Persentase Pembentukan Tunas

Setelah seminggu pada media padat, jumlah kalus yang membentuk tunas meningkat dari 39 menjadi 58 kalus (80,5%). Pada minggu ke-2, kembali terjadi peningkatan jumlah kalus yang membentuk tunas yaitu sebanyak 65 kalus (90,3%). Pada minggu ke-3, sebanyak 69 kalus membentuk tunas. Hasil pengamatan minggu ke-4 seluruh kalus telah membentuk tunas dengan sempurna (Gambar 1).

Sedangkan pada media cair setelah satu minggu, jumlah kalus yang membentuk tunas meningkat menjadi 53 kalus (73,6%). Hal ini berarti terjadi peningkatan sekitar 47,2%. Pada minggu ke-2, jumlah kalus yang membentuk tunas sebanyak 66 kalus (91,7%), sedang minggu ke-3, sebanyak 67 kalus. Hasil

Page 14: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kemampuan Tumbuh Eksplan Jatropha curcas L… Karyanti et al.

4

Gambar 1. Persentase pertambahan jumlah kalus

yang membentuk tunas pada media padat dan cair

pengamatan minggu ke-4 menunjukkan bahwa 71 kalus telah membentuk tunas dengan sempurna. Hasil ini setara dengan 98,6% (Gambar 1).

Berdasarkan hasil di atas terlihat bahwa laju pembentukan tunas pada media cair lebih tinggi daripada media padat. Hal ini tampak dari peningkatan persentase pembentukan tunas pada 4 minggu setelah subkultur.

Kecepatan laju pembentukan tunas pada media cair, karena luas permukaan kalus yang kontak langsung lebih besar dibandingkan dengan media padat. Hal ini menyebabkan penyerapan hara maupun hormon akan lebih efektif. Pertumbuhan sel terjadi dengan cepat karena kalus dapat menyerap nutrisi dari dalam medium dengan sangat baik, apalagi jika diimbangi dengan suplai zat hara secara teratur sehingga media tidak kehabisan nutrisi. Untuk mempercepat pertumbuhan sel dilakukan subkultur, yaitu penggantian media lama dengan yang baru dalam interval waktu selama dua atau empat minggu. Apabila subkultur terlambat, maka terjadi perubahan warna kalus menjadi kecoklatan dan pertumbuhannya terhenti.

Jumlah Tunas Media dengan penambahan IBA 0 ppm

+ BA 1 ppm memberikan jumlah tunas yang paling besar, dengan rata-rata jumlah tunas 8,50. Jumlah tunas ini berbeda secara nyata dengan perlakuan lainnya. Tampak terjadinya penurunan rata-rata jumlah tunas seiring dengan peningkatan konsentrasi IBA. Sebaliknya, semakin tinggi konsentrasi BA, maka semakin besar pula rata-rata jumlah tunasnya (Tabel 1). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Herawati (2006), bahwa perlakuan dengan BA 1 ppm memberikan jumlah tunas yang banyak.

Pada media tanpa zat pengatur tumbuh (IBA 0 ppm + BA 0 ppm) jumlah tunas yang dihasilkan paling sedikit (2,17 dan 3,83, masing-masing pada media padat dan cair) dibandingkan dengan kombinasi media lain yang mengandung IBA, BA, ataupun kedua-duanya. Hal ini berarti zat pengatur tumbuh mutlak dibutuhkan untuk pembentukan tunas.

Pada media cair hingga minggu keempat pengamatan, media dengan penambahan zat pengatur tumbuh IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm memberikan jumlah tunas yang paling tinggi dengan rata-rata tunas sebesar 9,67. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan IBA 2 ppm + BA 0 ppm yang memiliki rata-rata jumlah tunas sebesar 9,17 namun berbeda secara nyata dengan perlakuan IBA + BA lainnya (Tabel 1).

Jumlah tunas pada media cair menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah tunas pada media padat. Hal ini juga membuktikan bahwa laju pertumbuhan tunas pada media cair lebih cepat dibandingkan media padat.

Pertumbuhan dan perkembangan tunas dikendalikan oleh substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah, yang disebut substansi pertumbuhan tanaman, hormon tumbuhan, fitohormon, atau zat pengatur

Tabel 1. Rata-rata jumlah tunas pada minggu ke 4 pada media padat dan cair

Konsentrasi BA (ppm)

Konsentrasi IBA (ppm)

0 1 1,5 2

Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair

0 2,17a 3,83

p 4,83

ab 5

pqr 4,00

ab 7

pqrs 3,50

ab 9,17

s

0,5 6,17bc

6pqrs

5,67bc

9,67s 5,67

bc 7,5

pqrs 5,17

ab 8,5

qrs

1 8,50c 8,67

rs 6,33

bc 4,17

p 6,50

bc 4,17

p 5,00

ab 4,67

pq

Keterangan: BNT 5% untuk padat: 3,17; BNT 5% untuk cair: 3,89. Huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Page 15: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon - Vol 1 No 1 Thn 2014

5

tumbuh. Zat pengatur tumbuh endogen (yang diproduksi oleh tanaman) diartikan sebagai hormon tanaman atau fitohormon. George & Sherrington (1984) mengatakan bahwa untuk proses morfogenesis akar dan tunas dari kultur kalus biasanya dibutuhkan imbangan taraf zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Dalam perkembangan teknik kultur jaringan dengan adanya zat pengatur tumbuh perlu dicari konsentrasi dan imbangan atau interaksi antara dua zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media perlakuan dan yang diproduksi oleh sel atau jaringan secara endogen akan menentukan arah perkembangan kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level atau taraf zat pengatur tumbuh endogen sel. Taraf zat pengatur tumbuh ini kemudian merupakan faktor pemicu atau penggerak untuk proses-proses pertumbuhan dan morfogenesisnya. Tinggi Tunas

Pada media padat, perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm memberikan hasil pertumbuhan tinggi tunas yang paling tinggi dengan nilai rata-rata 20,50 mm. Kemudian diikuti oleh media IBA 1 ppm + BA 0 ppm dengan rata-rata tinggi tunas 13,00 mm (Tabel 2). Perlakuan dengan konsentrasi IBA 1 ppm menghasilkan rata-rata tinggi tunas tertinggi. Nilai rata-rata tinggi tunas berkurang jika konsentrasi IBA dinaikkan.

Respon awal yang terlihat dari perlakuan dengan konsentrasi IBA lebih dari 1 ppm (1,5 ppm dan 2 ppm) adalah kecepatan pertumbuhan kalus yang luar biasa. Kecepatan pertumbuhan kalus yang tinggi ini kemungkinan menyebabkan proses pemanjangan tunas menjadi terhambat, dan nampak terlihat kerdil dibandingkan dengan tunas hasil perlakuan dengan konsentrasi rendah. IBA 0 ppm dan 1 ppm menghasilkan percepatan pertumbuhan kalus yang rendah dengan panjang tunas yang tinggi.

Rata-rata tinggi tunas pada media cair lebih besar dibandingkan media padat. Hal ini sama dengan parameter jumlah tunas di atas. Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm menunjukkan hasil terbaik dengan rata-rata 15,00 mm (Tabel 2). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada media padat. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm merupakan perlakuan terbaik dalam memperpanjang tunas (elongasi).

Jumlah Daun

Pada media padat, rata-rata jumlah daun terbanyak dihasilkan pada perlakuan IBA 0 ppm + BA 1 ppm dengan rata-rata jumlah daun sebesar 5,50 (Tabel 3). Banyaknya jumlah daun pada perlakuan ini berkorelasi positif dengan jumlah tunas yang terbentuk. Perlakuan IBA 0 ppm + BA 1 ppm juga memiliki rata-rata jumlah tunas yang terbanyak yaitu sebesar 8,50 (Tabel 1). Semakin cepat terbentuknya tunas maka pertambahan jumlah daun akan semakin banyak pula. Pada media cair, terlihat bahwa perlakuan IBA 2 ppm + BA 0,5 ppm memiliki rata-rata jumlah daun tertinggi sebesar 5,67 (Tabel 3).

Berat Kalus

Kalus terbentuk pada semua perlakuan dan tampak dominan. Pertumbuhan kalus yang dominan ini dipengaruhi oleh jaringan asal yang digunakan untuk menginisiasi kalus, yaitu kotiledon. Kotiledon merupakan tempat penimbunan makanan yang disiapkan bagi pertumbuhan awal suatu embrio tanaman dan sebagai alat untuk melakukan asimilasi.

Pada media padat, perlakuan IBA 0 ppm + BA 0 ppm menghasilkan kalus yang terkecil dengan berat rata-rata 9,33 mg. Hal ini diduga karena kalus mengalami stagnasi dan menjadi keras, sehingga kalus tersebut tidak dapat berkembang. Perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm menghasilkan kalus terbesar

Tabel 2. Rata-rata tinggi tunas (mm) pada minggu ke 4 pada media padat dan cair

Konsentrasi BA (ppm)

Konsentrasi IBA (ppm)

0 1 1,5 2

Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair

0 6,17ab

5,67p 13

bc 13,2

qrst 8,5

ab 7,3

pqr 4,5

ab 8,5

abcd

0,5 10,3ab

14,83t 20,5

c 15,0

t 6,5

ab 13,5

rst 4,33

a 7,0

ab

1 10,0ab

14,67st 7,83

ab 11

pqrst 7,17

ab 8,17

pqr 7,0

ab 8,0

abc

Keterangan: BNT 5% untuk padat: 8,5; BNT 5% untuk cair: 6,3. Huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Page 16: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kemampuan Tumbuh Eksplan Jatropha curcas L… Karyanti et al.

6

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun pada minggu ke 4 pada media padat dan cair

Konsentrasi BA (ppm)

Konsentrasi IBA (ppm)

0 1 1,5 2

Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair

0 6,17ab

1,17p 13,0

bc 1,67

p 8,5

ab 3,5

pqrs 4,5

ab 2,83

pqr

0,5 10,3ab

2,0pq

20,5c 3,8

pqrs 6,5

ab 4,5

qrs 4,33

a 5,67

s

1 10,0ab

5,0rs 7,83

ab 2,0

pq 7,17

ab 2,3

pqr 7,0

ab 1,67

p

Keterangan: BNT 5% untuk padat: 8,5; BNT 5% untuk cair: 2,67. Huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Tabel 4. Rata-rata berat kalus (mg) pada minggu ke 4 pada media padat dan cair

Konsentrasi BA (ppm)

Konsentrasi IBA (ppm)

0 1 1,5 2

Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair

0 9,33a 4,17

p 12,5

ab 9,17

pq 12,5

ab 10,3

pqr 12,17

ab 11,8

pqr

0,5 17,3bc

16,3qrs

20,3cd

17,5rs 16,8a

bc 19,83

s 27,5

de 21,5

st

1 29,0e 29,5

u 16,8

abc 28,17

tu 26,0d

e 30,3

u 41,0

f 41,4

v

Keterangan: BNT 5% untuk padat: 7,78; BNT 5% untuk cair: -. Huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

dengan berat rata-rata 41,00 mg (Tabel 4). Nilai ini berbeda sangat nyata dengan perlakuan yang lain. Kalus yang terbentuk tetap berwarna hijau dari awal minggu pertama hingga minggu keempat. Hasil yang sama juga diperoleh pada perlakuan konsentrasi IBA 2 ppm + BA 1 ppm dalam media cair. Hasil analisis sidik ragam (analysis of variance) menunjukkan bahwa perlakuan ini berbeda secara sangat nyata dengan perlakuan yang lain. Terlihat bahwa perlakuan IBA dan BA yang tinggi terbukti dapat menginduksi kalus dengan hasil tertinggi, baik pada media cair maupun padat.

Dari pengamatan tampak bahwa kalus tumbuh pada sisi luar jaringan kotiledon, sedangkan bagian tengah tidak terjadi pertumbuhan kalus. Jadi pembelahan sel tidak terjadi pada semua jaringan asal, tetapi hanya pada sel-sel yang berada pada jaringan perifer. Warna kalus

Pada media padat, semua perlakuan memiliki warna kalus yang relatif stabil dari minggu pertama hingga minggu keempat. Perlakuan IBA 2 ppm + BA 0,5 ppm, IBA 1ppm + BA 0 ppm, IBA 1,5 ppm + BA 1 ppm dan IBA 2 ppm + BA 1 ppm memiliki warna kalus yang tetap hijau. Warna kalus pada perlakuan-perlakuan tersebut berkorelasi

positif dengan berat kalusnya. Keempat perlakuan tersebut memiliki berat kalus yang tertinggi.

Hasil pengamatan pada minggu ke-1, terdapat 4 kalus yang berwarna hijau kecoklatan. Proses ini disebut browning, yang ditandai dengan perubahan warna kalus menjadi kecoklatan dan penurunan daya tumbuh. Browning merupakan proses oksidasi asam-asam fenolik yang biasa terjadi bila ada pelukaan pada jaringan tanaman yang menyebabkan jaringan tersebut menjadi coklat dan mati. Senyawa fenolik tersebut beroksidasi dengan oksigen (O2) membentuk senyawa kinon atau kuinon. Asam kuinon adalah merupakan racun yang dapat mematikan jaringan eksplan.

Browning terjadinya karena adanya tindakan proteksi dari tanaman tersebut ketika dilukai. Proses oksidasi yang dilakukan asam-asam fenolik ini menyebabkan kesukaran dalam pembiakan mikro terutama bagi tanaman yang mengandung asam-asam fenolik seperti jarak pagar.

Pemotongan atau pengirisan pada kultur jaringan yang menimbulkan pelukaan atau pecahnya vakuola dapat menyebabkan terjadinya fenolase. Salah satu bagian sel tanaman yaitu vakuola adalah sebagai tempat penyimpanan air dan produk-produk sel khususnya metabolit sekunder termasuk

Page 17: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon - Vol 1 No 1 Thn 2014

7

fenol. Dalam pemotongan jaringan, vakuola terpotong dan mengeluarkan fenol yang bereaksi dengan ensim fenol oksidase di dalam sitosol sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna coklat dan beracun.

Proses oksidasi yang terjadi pada tanaman dilakukan oleh enzim lacase atau p-difenol oksidase dan o-difenol oksidase. Untuk menghindari terjadinya proses oksidasi yang menyebabkan browning ini, dapat dilakukan beberapa cara seperti pemberian senyawa-senyawa anti oksidan (asam askorbik, cystein, PVP, dan NaHSO3), pemberian Cu-reagent (thiourea, phenyl thiourea, dan sodium diethyl dithio carbamate), serta pemberian ion-ion klor (NaCl) (Wattimena1988). Selain itu, browning juga dapat dicegah atau dikurangi dengan cara pencucian dengan air mengalir hingga bersih, penambahan arang aktif pada media, penyimpanan di ruang gelap pada awal inisiasi, hindari penggunaan sukrosa dan kalium yang berlebihan, dan melakukan subkultur secara berulang.

Pada media cair, kalus yang berwarna hijau jumlahnya lebih sedikit daripada di media padat. Bahkan, jumlahnya semakin menurun pada minggu ke-4. Hal ini disebabkan permukaan kalus yang kontak langsung dengan media cair lebih luas dibandingkan dengan media padat, sehingga lebih rentan terjadi proses browning.

Bentuk kalus

Kalus yang tumbuh pada awal inisiasi, mempunyai bentuk tidak bulat dan bertekstur padat. Hal ini disebabkan konsentrasi BA yang tinggi pada media inisiasi awal yaitu sebesar 3,4 ppm. Setelah dilakukan subkultur, pada minggu pertama terjadi perubahan bentuk kalus. Kalus-kalus yang disubkultur ke dalam media tanpa BA menunjukkan tekstur yang lembut dan remah. Bentuk kalus tidak mengalami perubahan hingga minggu ke-4. Secara umum, bentuk kalus dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:(1) padat, tidak bulat, (2) lunak, mudah rusak, tidak bulat, (3) padat, bulat, saling menempel, dan (4) lunak, bulat, saling menempel.

Pada media padat, 47,2% kalus mempunyai bentuk bergerumul padat. Hal ini diduga karena di dalam media terdapat zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yaitu BA. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Royani (2003), bahwa penambahan BA ke dalam media membuat kalus yang tadinya lunak menjadi bertekstur lebih padat. Bentuk kalus yang padat ini terutama terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi BA 1 ppm.

Setelah dilakukan subkultur, terlihat bahwa terdapat kalus yang bertekstur lembut dan remah. Kalus yang remah dapat diperoleh dengan cara melakukan subkultur berulang-ulang, sebab dengan cara demikian cukup tersedia nutrien bagi perkembangan kalus tersebut. Pembentukan kalus juga dipengaruhi oleh zat-zat tertentu dalam medium dan cara sterilisasi medium. Sterilisasi dengan pemanasan sering menyebabkan kerusakan pada vitamin dan gula yang ada pada medium. Dengan proses pemanasan, fruktosa akan mengadakan interaksi dengan senyawa-senyawa lain dalam medium, misalnya MgSO4 yang dapat membentuk senyawa yang bersifat toksik. Tidak jauh berbeda dengan media padat, bentuk kalus pada media cair juga tidak mengalami perubahan yang berarti sejak minggu ke-1 setelah subkultur hingga minggu ke-4.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan ini dapat

disimpulkan bahwa persentase pembentukan tunas pada media cair lebih tinggi daripada media padat. Jumlah dan tinggi tunas pada media cair menunjukkan rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan pada media padat. Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm menghasilkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi pada media padat dan cair. Semakin cepat terbentuknya tunas maka pertambahan jumlah daun akan semakin banyak pula. Terlihat bahwa perlakuan IBA dan BA tinggi terbukti dapat menginduksi kalus dengan hasil tertinggi, baik pada media cair maupun padat. Pembentukan kalus yang terbaik diperoleh pada perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm. Untuk warna kalus, pada media cair kalus yang berwarna hijau jumlahnya lebih sedikit daripada di media padat. Berdasarkan persamaan hasil bentuk kalus, baik pada media padat maupun cair, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jenis media tidak berpengaruh terhadap bentuk kalus. Perbedaan bentuk kalus hanya dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ada di dalam media.

Page 18: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Kemampuan Tumbuh Eksplan Jatropha curcas L… Karyanti et al.

8

DAFTAR PUSTAKA George EF & PD Sherrington (1984) Plant

Propagation by Tissue Culture. Handbook. Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Ltd. England. 709p.

Hambali E (2006) Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta: Penebar Swadaya.

Herawati L (2006) Pengaruh zat pengatur tumbuh sitokinin terhadap embrio somatic Jatropha curcas L. Fakultas MIPA Universitas Nusa Bangsa, Bogor.

Katuuk JRP (1989) Panduan mengajar tekhnik kultur jaringan dalam mikropropagasi tanaman. Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Jakarta.

Murashige T & F Skoog (1962) A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiologia plantarum 15(3):473-497.

Nugroho A & H Sugito (1996) Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Prihardana R & R Hendroko (2006) Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Agro Medika Pustaka, Depok.

Royani JI (2003) Teknik sterilisasi dan subkultur tanaman. Balai Pengkajian Bioteknologi, Puspiptek. Serpong.

Van der Putten E (2010) The Jatropha Handbook – from Cultivation to Application.. FACT Foundation. The Netherlands.

Wattimena GA (1988) Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 19: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

9

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK

Ability Test of Lactobacillus Casei as A Probiotic Agents

Rofiq Sunaryanto*, Efrida Martius, Bambang Marwoto Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu,

Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail: [email protected]

ABSTRACT Probiotic product is one of the applications of biotechnology that utilize lactic acid bacteria, especially lactobacilli. Some important requirements for microbes that can be used as probiotic include resistance to low pH, ability to grow on bile salts and colonize, and having antimicrobial activity. Each species of the genus Lactobacillus has different characteristics. These characteristics are strongly influenced by the environment in which the bacteria live. This study was carried out in order to characterize Lactobacillus casei which was isolated from dadih. The result of the experiment showed that the isolated L. casei was able to grow on the bile salt at the concentration of 15%, resistant to acid media until pH 2, had antimicrobial activity (significantly inhibited the growth of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, and Enterococcus faecalis). The local L. casei isolate has a potential application for use as probiotic microbe.

Keywords: Lactobacillus casei, probiotic, lactic acid bacteria, characterization,dadih

ABSTRAK Produk probiotik merupakan salah satu aplikasi bioteknologi yang memanfaatkan bakteri asam laktat terutama jenis Lactobacillus. Beberapa syarat utama mikroba yang dapat difungsikan sebagai mikroba probiotik antara lain tahan terhadap pH rendah, mampu tumbuh pada garam empedu, mampu berkoloni, memiliki aktivitas antimikroba. Masing-masing spesies dari Genus Lactobacillus memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana bakteri tersebut hidup. Pada penelitian ini telah dilakukan karakterisasi Lactobacillus casei yang merupakan hasil isolasi dari susu kerbau fermentasi. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa L.casei hasil isolasi mampu hidup sampai dengan konsentrasi garam empedu 15%, tahan terhadap media asam sampai dengan pH 2, memiliki aktivitas antimikroba (positif menghambat Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis). L. casei yang merupakan isolat lokal memiliki karakteristik yang berpotensi untuk digunakan sebagai mikroba probiotik. Kata Kunci: Lactobacillus casei, probiotik, bakteri asam laktat, karakterisasi, dadih

Page 20: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Uji Kemampuan Lactobacillus casei… Rofiq Sunaryanto et al.

10

PENDAHULUAN

Istilah probiotik berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘untuk hidup’. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Lilley dan Stillwell pada tahun 1965 yang diartikan sebagai substansi yang dihasilkan oleh satu mikrobia yang dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba lain. Selanjutnya digunakan oleh Parker (1974) untuk menjelaskan organisme atau substansi yang memiliki kontribusi terhadap keseimbangan mikrobia intestin. Definisi probiotik selanjutnya di perbaiki oleh Fuller (1989) yang berarti suplemen makanan berupa mikrobia hidup yang memiliki efek menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsi melalui keseimbangan mikrobia intestin.

Syarat utama strain yang dapat digunakan sebagai agensia probiotik adalah memiliki resistensi terhadap asam dan empedu sehingga dapat mencapai intestin dan memiliki kemampuan menempel pada mukosa intestin (Allen et al. 2011). Syarat lain yang perlu dimiliki oleh bakteri probiotik adalah kemampuannya menghasilkan substansi antimikrobia sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik. Berbagai jenis substansi antimikrobia yang dihasilkan oleh bakteri probiotik adalah asam organik, hidrogen peroksida, diasetil dan diperkirakan juga bakteriosin yaitu protein atau polipeptida yang memiliki sifat anti bakteri (Ahmed et al. 2010). Syarat lain mikrobia probiotik adalah tumbuh baik secara in vitro, memiliki stabilitas dan viabilitas yang tinggi dan aman bagi manusia. Dari berbagai persyaratan yang diperlukan Lactobacillus dan bifidobakteria yang merupakan penghuni alami jalur intestin merupakan bakteri yang banyak digunakan sebagai agensia probiotik. Bakteri ini ditemukan pada membran mukosa. Dari uji secara in vitro diketahui bahwa Lactobacillus mampu menghambat berbagai jenis bakteri patogen seperti Salmonella, Vibrio, Listeria, Shigella dan Staphylococcus. Kecuali asam laktat yang memiliki sifat antagonis, sejumlah Lactobacillus mampu menghasilkan komponen antimikroba yang disebut bakteriosin misalnya asidolin, asidofilin maupun laktosidin yang diperkirakan memiliki spektrum luas baik terhadap bakteri gram positif maupun negatif (Ahmed et al. 2010).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bakteri probiotik dapat memberikan

berbagai efek positif terhadap kesehatan melalui berbagai mekanisme. Dari berbagai efek yang muncul, efek yang paling utama adalah menjaga keseimbangan mikroflora pada intestin dan memiliki efek anti diare akibat patogen enterik. Mekanisme probiotik di dalam mikroflora yang seimbang adalah melalui kompetisi nutrisi, kompetisi reseptor untuk penempelan pada sel epitel, produksi anti mikrobia, dan stimulasi imunitas pada ekosistem endogenus (Lamprecht et al. 2012). Probiotik dapat pula digunakan untuk mengatasi penderita laktosa intolerans (tidak mampu mencerna laktosa) apabila digunakan

strain yang mampu menghasilkan -galaktosidase di dalam proses fermentasi susu. Enzim ini akan memecah laktosa oleh

enzim -galaktosidase, laktosa yang dikonsumsi dan tidak tercerna tidak dapat diserap oleh tubuh dan langsung masuk ke intestin besar sehingga berakibat munculnya diare (Syukur et al. 2013). Probiotik juga diketahui mempunyai efek anti kanker. Dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Daniluk (2012) bahwa Lactobacillus acidophilus yang berasal dari manusia yang resisten terhadap garam empedu dapat menurunkan 3 enzim yang memiliki peranan penting untuk pembentukan

senyawa karsinogen. Tiga enzim ini adalah -glucuronidase, azoreductase dan nitroreductase. Ketiga enzim ini dapat mengkatalisa prokarsinogen menjadi senyawa karsinogen didalam usus besar. Mekanisme bekerjanya kedua bakteri ini diperkirakan karena kemampuannya menghasilkan berbagai komponen antimikroba. Dari uji secara invitro diketahui bahwa Lactobacillus mampu menghambat berbagai jenis bakteri patogen seperti Salmonela, Vibro, Listeria, Shigella, Staphylococcus. Sejumlah Lactobacillus mampu menghasilkan komponen antimikroba yang disebut bakteriosin misalnya asidolin, asidofilin, laktosidin. Bifidobacterium adalah bakteri yang mampu menghasilkan asam asetat, format, laktat dari fermentasi gula. Asam asetat yang dihasilkan yang dihasilkan memiliki aktivitas daya hambat terhadap bakteri Gram negatif. Sifat inilah yang menguntungkan penggunaan Bifidobacterium dibandingkan dengan Lactobacillus dalam menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif. Bayi yang minum asi ternyata di dalam fesesnya

Page 21: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon - Vol 1 No 1 Thn 2014

11

memiliki kandungan asam asetat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak minum asi. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya Bifidobacterium yang lebih tinggi pada bayi yang minum asi. Bayi yang minum asi terbukti memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang tidak minum asi. Sehingga ada usaha untuk menambahkan Bifidobacterium ke dalam susu formula dengan tujuan untuk meningkatkan populasi Bifidobacterium di dalam intestin (Gillilland 1989).

Genus Lactobacillus mempunyai beberapa kelebihan yang berpotensi untuk digunakan sebagai agen probiotik, diantaranya adalah mampu bertahan pada pH rendah, tahan terhadap garam empedu, memproduksi antimikrobia dan daya antagonistik terhadap patogen enterik, mampu mengasimilasi serum kolesterol dan mendekonjugasi garam empedu serta dapat tumbuh baik pada medium sederhana (Rahayu 2001). Beberapa penelitian telah berhasil mendapatkan beberapa strain Lactobacillus dari berbagai bahan minuman fermentasi misalnya yoghurt, makanan fermentasi tradisional seperti tape, growol dan gatot (Ngatirah et al. 2000). Berdasarkan produk fermentasinya Lactobacillus dibagi menjadi dua yaitu homofermentatif jika memfermentasikan gula menjadi asam laktat sebagai produk utama dan sebagian kecil asam asetat serta karbondioksida, dan heterofermentatif jika produk fermentasinya berupa alkohol dan asam laktat (Frazier 1981). Bakteri asam laktat homofermentatif meliputi beberapa spesies yang dapat tumbuh pada suhu optimal 37oC atau diatasnya yaitu Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus helveticus, L. acidophilus, Lactobacillus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii. Sedangkan Lactobacillus heterofermentatif yang bersifat thermofilik yaitu Lactobacillus fermentum. Lactobacillus homofermentatif yang tumbuh pada suhu bawah suhu optimal adalah L. casei, L. plantarum dan L. leichmanii. Sedangkan Lactobacillus heterofermentatif meliputi L. brevis, L.buchneri, L. pastorianus (Frazier 1981).

Karakteristik Lactobacillus yang sangat penting untuk makanan yaitu kemampuannya dalam mengkonversi gula menjadi beberapa produk termasuk asam laktat yang berguna pada pembuatan

industri makanan (Sofjan et al. 2003). Lactobacillus ditemukan pada substrat yang kaya akan karbohidrat dengan berbagai habitat, seperti membran mukosa manusia dan binatang (rongga mulut, intestin, vagina) atau makanan hasil fermentasi dan makanan yang membusuk. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa fermentasi makanan yang terdapat di Indonesia, Laos dan Thailand didominasi oleh L. plantarum (Sofjan et al. 2003). BAHAN DAN METODE Isolat Lactobacillus casei Isolat yang dikarakterisasi adalah L. casei dari kultur koleksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT PUSPIPTEK Serpong Tangerang Banten, yang merupakan hasil isolasi dari dadih susu kerbau yang diambil dari Payakumbuh Sumatera Barat. Isolat ini telah diidentifikasi baik secara morfologi maupun fisiologi yang meliputi uji motilitas, pembentukan dekstran dari sukrosa, pembentukan asam dari berbagai sumber karbon seperti arabinosa, selobiosa, fruktosa, galaktosa, glukosa, glukonat, laktosa, maltosa, manitol, manosa, melibiosa, melezitosa, rafinosa, rhamnosa, ribosa, salisin, sorbitol, pati, sukrosa, trehalosa, xilosa, dengan konsentrasi masing-masing sumber karbon 1%. Uji Ketahanan Terhadap pH Rendah

Pengujian dilakukan dengan menumbuhkan 1% kultur berumur 24 jam ke dalam media MRS broth yang sebelumnya telah dilakukan pengaturan pH masing-masing pH 7,0; 3,0; 2,5; 2,0. Selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Pada akhir inkubasi dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan metode angka lempeng total (plate count) pada media MRS agar. Uji Kemampuan Tumbuh pada Garam Empedu

Pengujian dilakukan dengan mengino-kulasikan 1% kultur berumur 24 jam ke dalam 5 mL media MRS broth dengan penambahan garam empedu pada konsentrasi 0,5%; 1,0%; 5,0%; 10% dan 15%. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pada awal dan akhir inkubasi dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan metode angka lempeng total (plate count) pada MRS agar.

Page 22: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Uji Kemampuan Lactobacillus casei… Rofiq Sunaryanto et al.

12

Uji Aktivitas Antimikroba Aktivitas antimikroba secara kualitatif diuji menggunakan metode difusi sumur. Mikroba uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah E. coli, S. aureus, dan

E. faecalis. Sebanyak 0,1 L mikroba uji dipipet ke dalam petridisk yang telah disterilisasi dan dituangkan medium (NA) nutrient agar yang telah disterillisasi dan telah didinginkan sampai dengan suhu

kurang lebih 40C. Selanjutnya ditunggu sampai nutrient agar benar-benar memadat. Setelah dingin dibuat sumur dengan diameter 0,5 cm dan dimasukkan ke ruang dingin selama 4 jam. Selanjutnya ditempatkan dalam suhu kamar dan

diinokulasikan 0,1 L L. casei ke dalam

sumur agar dan diinkubasi pada suhu 37C selama 2 hari dan didinginkan kembali

pada suhu 4C selama 12 jam. Aktivitas antimikroba ditunjukkan adanya daerah bening diseputaran sumur agar. Untuk mengetahui aktivitas antimikroba secara kuantitatif maka dilakukan uji kontak antara mikroba uji dengan L. casei dalam medium susu yang telah difermentasikan dengan L. casei. Dalam medium susu fermetasi diinokulasikan mikroba uji beberapa tetes, selanjutnya dihitung jumlah mikroba uji dalam medium susu fermentasi (sebagai jam ke-0). Selanjutnya pada jam ke-7 dihitung kembali jumlah penurunan mikroba uji. Prosentase kematian bakteri uji dihitung sebagai jumlah sel awal(jam ke-0) dikurangi jumlah sel hidup sisa pada jam ke-6 dibagi dengan jumlah sel awal (jam ke-0). HASIL DAN PEMBAHASAN

Lactobacillus termasuk salah satu

bakteri asam laktat. Penampakan koloni yang dibentuk oleh bakteri asam laktat berupa koloni bundar berwarna putih kekuningan dengan bentuk elips dan bersifat anaerob fakultatif dengan zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni. Adapun bentuk koloni L. casei yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Salah satu syarat strain bakteri probiotik adalah strain yang mempunyai kemampuan yang sesuai dengan kondisi

Tabel 1. Hasil pengamatan uji ketahanan terhadap pH rendah

pH 7 3 2,5 2

L. casei

(CFU mL-1) 2,0 x 10

10 2,4 x 10

8 9,0 x 10

2 6

saluran pencernaan yaitu strain harus tahan terhadap garam empedu dan kondisi pH lambung (pH 2,0) apabila dikonsumsi (Walker & Gillian 1993 dalam Ngatirah et al. 2000). Hasil uji ketahanan terhadap pH rendah dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa L. casei mempunyai ketahanan terhadap pH rendah yang cukup besar meskipun penurunan jumlah koloni sangat tajam. Penurunan yang tajam terjadi setelah pH larutan dibawah pH 3. Pada rentang pH 3 sampai dengan pH 2,5 terjadi penurunan jumlah sel mencapai 106 sel. Namun demikian pada pH 2 masih terdapat enam koloni yang mampu bertahan dan tumbuh pada pH 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kashket (1998) dalam Meutia (2000) yang mengatakan bahwa bahwa bakteri asam laktat terutama Lactobacillus termasuk bakteri yang paling tahan pada kondisi asam (Kashket 1987 dalam Meutia 2003). Ngatirah et al. (2000) juga mendapatkan 3 isolat Lactobacillus yang tahan asam hingga pH 2,0 yang diisolasi dari berbagai makanan tradisional yang diduga berpotensi sebagai agensia probiotik. Sebagian besar mikroorganisme hanya mampu bertahan hidup sampai dengan pH 4. Rata-rata bakteri asam laktat hanya mampu bertahan pada pH 2,5-3. Hanya ada beberapa bakteri asam laktat yang mampu bertahan sampai dengan pH 2. Hal ini merupakan sifat keunggulan dari mikroba asam laktat. Sehingga ada beberapa teknik pengawetan makanan memanfaatkan mikroba asam laktat.

Gambar 1. Koloni L. casei yang terbentuk pada

media MRS agar

Page 23: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon - Vol 1 No 1 Thn 2014

13

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji ketahanan terhadap Garam Empedu

Konsentrasi garam empedu 0% 0,5% 1% 5% 10% 15%

L. casei (CFU mL

-1)

7,7 x 108 7,5 x 10

5 9,4 x 10

3 5,3 x 10

3 1,5 x 10

3 1,0 x 10

3

Tabel 3. Hasil uji aktivitas antimikroba L. casei

terhadap mikroba uji dengan metode difusi sumur

No Mikroba uji Diameter zona bening (mm)

1 E. coli 13,75

2 S. aureus 16,75

3 E. faecalis 15,4

Tabel 4. Hasil uji kontak antara L. casei dengan

bakteri uji setelah 7 jam

Bakteri uji

Jumlah koloni (koloni/mL) Persentase kematian pada jam

ke-0

pasca kontak selama 7 jam

E. coli 1,3 x 108

1,0 x 108

23,1%

S. aureus 1,5 x 108

1,0 x 108

33,3%

E. faecalis 1,1 x 108

8,0 x 107

27,3%

Salah satu parameter yang harus dimiliki

oleh mikroba probiotik adalah tahan terhadap kondisi adanya garam empedu (bile salt). Pada Tabel 2 disajikan hasil pengamatan terhadap uji ketahanan L. casei terhadap garam empedu pada berbagai konsentrasi. L. casei hasil isolasi ini memiliki daya tahan terhadap garam empedu yang cukup tinggi, terbukti sampai dengan konsentrasi garam empedu 15% masih ada sekitar 1000 koloni yang mampu bertahan hidup.

Garam empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan membran. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu (Meutia 2003). Kemampuan tumbuh pada garam empedu yang dimiliki Lactobacillus dikarenakan Lactobacillus juga merupakan salah satu genus penghuni saluran pencernaan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Purwandhani et al. (2000) telah berhasil mengisolasi Lactobacillus dari feses bayi. Kemampuan isolat L. casei hasil isolasi dari susu kerbau yang telah terfermentasi untuk tumbuh pada garam empedu dengan konsentrasi yang dikondisikan seperti pada saluran pencernaan manusia membuktikan bahwa isolat ini juga mempunyai kemampuan yang sama dengan Lactobacillus yang diisolasi dari pencernaan manusia. Kemampuan ini memenuhi salah satu syarat untuk menjadi strain probiotik

yaitu mampu bertahan dalam saluran pencernaan manusia (Purwandhani et al. 2000). Uji kemampuan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh mikroba probiotik adalah kemampuan menghambat bakteri lain khususnya bakteri patogen. Uji ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur, dan secara kuantitatif digunakan uji kontak. Hasil percobaan uji aktivitas antimikroba Lactobacillus terhadap mikroba uji disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa L. casei positif menghambat E. coli, S. aureus, dan E. faecalis. Namun demikian kemampuan daya hambat L. casei terhadap ketiga bakteri uji terlihat berbeda-beda. Terlihat L. casei paling kuat menghambat S. aureus dengan diameter hambatan sebesar 16,75 mm, selanjutnya E. faecalis dengan diameter hambatan 15,4 mm dan E. coli dengan diameter hambatan 13,75 mm. Untuk mengetahui daya hambat L. casei secara kuantitatif terhadap ketiga bakteri uji maka dilakukan uji kontak antara bakteri uji dengan L. casei setelah 7 jam. Hasil percobaan uji kontak antara bakteri uji dengan L. casei disajikan dalam Tabel 4

Dari Tabel 4 terlihat bahwa L. casei lebih efektif menghambat S. aureus dibandingkan dengan E. faecalis dan E. coli, dengan adanya L. casei terjadi penurunan jumlah koloni sampai dengan 33,3%. Selanjutnya pada bakteri uji E. faecalis terjadi penurunan jumlah koloni sebanyak 27,3% dan pada bakteri uji E. coli terjadi penurunan jumlah koloni sebanyak 23,1%.

Page 24: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Uji Kemampuan Lactobacillus casei… Rofiq Sunaryanto et al.

14

KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa L. casei hasil isolasi dari susu kerbau fermentasi memiliki potensi sebagai agensia probiotik. Isolat L. casei mampu bertahan hidup sampai dengan pH 2 dan mampu bertahan hidup dalam media dengan kandungan garam empedu sampai dengan 15%. Disamping itu L. casei hasil isolasi dari susu kerbau positif menghambat E. coli, S. aureus, dan E. faecalis. Daya hambat L. casei terhadap S. aureus lebih kuat dibandingkan E. faecalis dan E. coli. DAFTAR PUSTAKA Ahmed Z, Y Wang, Q Cheng, M Imran (2010)

Lactobacillus acidophillus bacteriocin, from production to their application: an overview. Afr J Biotechnol 9(20):2843-2850.

Allen SJ, EG Martinez, GV Gregorio, LF Dans (2011) Probiotics for treating acute infectious diarrhoea. John Wiley & Sons Ltd. UK.

Daniluk U (2012) Probiotics, the New Approch for Cancer Prevention and/or Potentialization of Anti-Cancer Treatment. J Clin Exp Oncol 1(2):201-209.

Fardiaz S (1987) Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Frazier WC & DC Westhoff (1981) Food Microbiol. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Gilliland SE & DK Walker (1990) Factor to Consider When Selecting a Culture of L. acidophilus as a Dietary Adjunct to Produce a Hypocholesterolemia Effect in Human. J Dairy Sci 73:905-911.

Lamprecth M, S Bogner, G Schippinger, K Steinbauer, F Fankhauser, Hallstroem S, B Schuetz, G Greilberger (2012) Probiotic supplementation affects markers of intestinal barrier, oxidation, and inflammation in trained men; a randomized, double-blinded, placebo-controlled trial. J Intl Soc Sports Nutr 9(1):1-13.

Meutia YR (2003) Evaluasi potensi Probiotik Isolat Klinis Lactobacillus sp. secara in vitro dan in vivo. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ngatirah, E Harmayani, ES Rahayu, T Utami (2000) Seleksi Bakteri Asam Laktat Sebagai Agensia Probiotik yang Berpotensi Menurunkan Kolesterol. Seminar Nasional Industri Pangan. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Surabaya

Purwandhani SN, ES Rahayu, E Harmayani (2001) Isolasi Lactobacillus yang Berpotensi sebagai Kandidat Probiotik. Seminar Nasional Industri Pangan. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan. Surabaya

Rahayu ES (2001) Potensi dan Peranan Prebiotik dan Probiotik Dalam Makanan Sehat. Seminar Prebiotik, Probiotik dan Makanan Sehat. Fakultas Biologi Universitas Atmajaya. Yogyakarta

Sofjan O, Aulaniam, Surisdiarta, A Rosdiana, Supiyati (2010) Isolasi dan identifikasi Bacillus sp. Dari Usus Ayam Petelur Sebagai Sumber Probiotik. J I Hayati 15(2): 153-166.

Syukur S, B Bisping, ZA Noli, E Purwati (2013) Antimicrobial Properties and Lactase Activity from Selected Probiotic Lactobacillus brevis Associated with Green Cacao Fermentation in West Sumatera Indonesia. J Prob Health 1(4):1-4.

Page 25: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

15

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN

SAMBILOTO (Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI PULAU JAWA

Analysis of Andrographolide Contents on Sambiloto Plants (Andrographis paniculata) Derived from 12 Locations in Java Island

Juwartina Ida Royani

1,*, Dudi Hardianto

1, Sri Wahyuni

2

1Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK,

Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jl. Taman Kencana Cimanggu Bogor

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT Concentration of active compounds contained in medicinal plants is determined by genetic factors as well as growth environment. In sambiloto plants both factors have major impacts on the formation of diterpene lactone, andrographolide. Variation of sampling time, cultivation, and processing methods causes variation in the content of active compounds of the same plant. The purpose of this study was to determine andrographolide concentration of sambiloto plants obtained from 12 different locations with various planting conditions in Java Island. andrographolide content of sambiloto was extracted by methanol and analyzed using HPLC. The results showed that the concentrations of andrographolide varied from 0.29 to 4.44% with an average of 2.19% on dry weight basis. The highest concentration of 4.44% was detected in sambiloto accession from Wonokaton Village, Pasuruan Regency while the lowest one was from Conggeang Kulon Village, Sumedang Regency. Three sambiloto accessions had potential to be further developed as their andrographolide concentrations were above 3%, which was higher than those from all the others. Keywords: Andrographis paniculata, andrographolide, active coumpound, HPLC, Java island

ABSTRAK Kadar senyawa aktif yang terkandung pada tanaman obat selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tumbuhnya. Pada tanaman sambiloto kedua faktor tersebut berpengaruh sangat besar pada pembentukan diterpen lakton, andrographolide. Adanya variasi pada waktu pengambilan sampel, tempat penanaman, metode pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada perbedaan dalam kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar andrographolide dari tanaman sambiloto yang diambil dari 12 lokasi tumbuh dengan kondisi penanaman yang berbeda di Pulau Jawa. Daun tanaman sambiloto diekstrak dengan methanol kemudian dianalisis kandungan andrographolide menggunakan HPLC. Kadar andrographolide yang dihasilkan bervariasi berkisar antara 0,29-4,44% dengan kadar rata-rata adalah 2,19% berat kering. Kadar tertinggi didapatkan pada aksesi dari Desa Wonokaton Kabupaten Pasuruan dengan kadar andrographolide adalah 4,44% sedangkan kadar yang terendah didapatkan pada aksesi dari Desa Conggeang Kulon, Kab. Sumedang. Berdasarkan data kandungan andrographolide, diperoleh 3 aksesi sambiloto yang potensial untuk dikembangkan menjadi aksesi unggulan karena kadar andrographolidenya di atas 3%, melebihi semua yang lain. Kata Kunci: Andrographis paniculata, andrographolide, senyawa aktif, HPLC, pulau Jawa

Page 26: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Analisa Kandungan Andrographolide… Juwartina Ida Royani et al.

16

PENDAHULUAN

Sambiloto (Andrographis paniculata L. Ness) merupakan salah satu tanaman obat yang menjadi prioritas utama untuk dikembangkan di Indonesia dan dinyatakan sebagai bahan obat fitofarmaka yang aman (Nugroho et al. 2000). Badan POM memasukkan tanaman ini sebagai tanaman unggulan untuk dikembangkan dalam industri obat fitofarmaka (Yusron 2000). Kebutuhan sambiloto untuk industri obat tradisional di Indonesia mencapai 33,47 ton simplisia kering atau setara dengan 709,60 ton terna basah per tahun (Kemala et al. 2004).

Sambiloto mengandung diterpen lakton yang banyak kegunaannya bagi kesehatan. Ada beberapa komponen utama dari diterpen lakton pada sambiloto yang teridentifikasi pada daun yaitu andrographolide, neoandrographolide, deoxyandrographolide (Kumoro & Hasan 2006), deoxyandrographolide-19-β-D-Glukosa dan dehydroandrographolide (Patarapanich et al. 2007). Selain komponen utama tersebut terdapat juga senyawa lain yaitu saponin, flavonoid, alkaloid dan tanin. Kandungan kimia lain yang terdapat pada daun dan batang adalah lakton, panikulin, kalmegin dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit (Yusron & Januwati 2004).

Secara klinis andrographolide terbukti aktivitasnya dapat berpengaruh pada hepatoprotective, cardiovascular, hypoglycemic, psycho-phaemacological, anti-fertilitas, antibakteri, immunostimulan, antipiretik, antidiarrhoeal, anti-inflammatory, antimalaria, antivenom, antihepatotoxic

Gambar 1. Molekul senyawa dari sambiloto (a)

Andrographolide, (b) Dehydro-andrographolide (Yang et al. 2012)

(Zang et al. 2005; Rajagopal et al. 2003; Mishra et al. 2007; Jarukamjorn & Nemoto 2008; Mishra et al. 2009). Pemakaian sambiloto menjadi metode baru yang menjanjikan untuk pengobatan beberapa penyakit yang disebabkan oleh gangguan kekebalan tubuh seperti HIV dan AIDS (Otake et al. 1995; Kumar et al. 2004).

Pada tanaman sambiloto kandungan andrographolide terakumulasi paling tinggi pada bagian daun (2,39%) sedangkan paling rendah ditemukan di biji (Sharma et al. 1992; Sharma et al. 2009). Sedangkan Patarapanich et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan lakton diterpen yang diisolasi dari daun sambiloto berkisar antara 0,1-2%. Andrographolide mudah larut dalam methanol, etanol, piridin, asam asetat dan aseton, dan sulit larut dalam eter dan air. Titik leleh dari senyawa andrographolide adalah 228-230°C dan λ maksimal adalah 223 nm (Wongkittipong et al. 2004). Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk analisis andrographolide, yaitu dengan kromatografi lapis tipis (TLC), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan teknik kristalisasi (4). Analisa senyawa andrographolide secara kualitatif dan kuantitatif juga dapat dilakukan menggunakan metode spektrofotometri (Aromdee et al. 2005), ultraviolet spektrofotometer, teknik volumetri dan kolorimetri (Mishra et al. 2007).

Kadar senyawa aktif yang terkandung pada tanaman obat selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tumbuhnya. Pada tanaman sambiloto kedua faktor tersebut berpengaruh sangat besar pada pembentukan diterpen lakton. Yusron & Januwati (2004) mengemukakan bahwa faktor agroekologi sangat menentukan pertumbuhan, hasil, dan mutu simplisia sambiloto. Ditambahkan oleh Cui et al. (2009) bahwa faktor yang paling penting dari kualitas sambiloto dan saling berhubungan adalah lokasi pada saat dikumpulkan, waktu panen dan bagian dari tanaman yang digunakan. Adanya variasi pada waktu pengambilan sampel, tempat penanaman, metode pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada perbedaan dalam kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama. Rajagopal et al. (2003) menyatakan bahwa selain distribusi geografi, kondisi cuaca pada saat budidaya juga turut

Page 27: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

17

menentukan mutu simplisia tanaman obat. Secara umum kualits dari tanaman obat diakibatkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan cuaca, waktu panen, budidaya, proses paska panen, dan prosedur ekstraksi serta preparasi simplisia (Li et al. 2007).

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat variasi kandungan senyawa aktif pada tanaman obat dari berbagai lokasi penanaman. Analisa fitokimia untuk membandingkan kandungan senyawa aktif pada aksesi tanaman obat dari berbagai lokasi juga telah dilaporkan pada Asterachanta longifolia Ness (Sunita & Abhishek 2008), Ocimum selloi Benth (Moraes et al. 2002), dan juga pada A. paniculata (Patarapanich et al. 2007; Sharma et al. 2009; Cui et al. 2009).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar andrographolide dari tanaman sambiloto yang diambil dari beberapa lokasi tempat tumbuh di 12 lokasi yang berbeda di Indonesia dengan menggunakan HPLC.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah daun

tanaman sambiloto (A. paniculata) yang berasal dari 12 daerah di Jawa dengan kondisi tanaman belum berbunga atau masih dalam fase vegetatif. Alat yang digunakan adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan alat Hitachi-D7000 dan colom C18 carbowax lichrocart 250-4.

Sampling Tanaman Sambiloto

Sampling dilakukan di 12 daerah di Propinsi Banten, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur (Table 1) dari bulan Juni sampai bulan September 2010. Tanaman sambiloto diambil dari beberapa tempat yang meliputi pekarangan masyarakat, kebun dan lahan yang tak terawat serta koleksi herbalis.

Ekstraksi Daun Sambiloto.

Ekstraksi daun sambiloto dilakukan dengan cara daun sambiloto dikeringkan dalam ruang bersuhu 25-28°C selama 14 hari sampai didapatkan simplisia kering. Simplisia kering dihaluskan dengan grinder dan diayak menggunakan ayakan dengan ukuran 60 mesh. Serbuk halus sambiloto tersebut kemudian diekstraksi dengan menggunakan

pelarut metanol pro-analisis dalam labu ukur 50 ml. Ekstraksi dilakukan dua tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan dengan menggunakan etanol dengan perbandingan serbuk sambiloto: etanol adalah 1:5 dan pada tahap kedua dilakukan ekstraksi dengan perbandingan serbuk sambiloto: etanol adalah 1:2. Lama ekstraksi (pengocokan) berlangsung lebih kurang selama 2 jam. Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan kertas saring whatman 41. Ekstrak hasil saringan dari kertas saring Whatman kemudian disaring kembali dengan kertas Milipore berukuran 0,2. Deteksi Menggunakan HPLC

Ekstrak yang sudah didapatkan selanjutnya dilakukan preparasi untuk deteksi kadar andrographolide menggunakan alat HPLC. Larutan ekstrak yang dihasilkan dari saringan terakhir diinjeksikan ke kolom HPLC sebanyak 10 μl. Eluen yang digunakan berupa metanol: asetonitril: asam asetat dengan perbandingan 70:30:0,6% dan ekstrak hasil saringan Milipore diinjeksikan pada colom C18 carbowax lichrocart 250-4 dengan menggunakan absorban 254 uv. Proses pada alat berlangsung selama 30 menit. Hasil proses berupa kromatogram dibandingkan dengan standar andrographolide 200 ppm untuk mengetahui kandungan andrographolide. Peak kromatografi diidentifikasi dengan cara membandingkan retention time dari standar tersebut. Injeksi tunggal dari solven (blanko) digunakan sebagai standar retention time dari solven. Untuk mengetahui variasi kandungan andrographolide antar nomor aksesi dilakukan analisa rataan dan standar deviasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini aksesi dikoleksi dari

beberapa tempat dengan berbagai sumber aksesi diantaranya dari kebun tak terurus, pekarangan masyarakat, pinggir jalan, herbalis/tukang jamu dan di kawasan hutan (Tabel 1) dengan kondisi sesuai dengan tempat tumbuhnya (existing). Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sabu et al. (2011), Raina et al. (2007) dan Sharma et al. (2009), aksesi sambiloto yang digunakan berasal dari agroklimat yang berbeda yang diperoleh dari petani, industri, nursery pemerintah dan kebun tak terurus yang kemudian bijinya ditumbuhkan

Page 28: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Analisa Kandungan Andrographolide… Juwartina Ida Royani et al.

18

Tabel 1. Lokasi 12 aksesi sambiloto yang dikoleksi dari Jawa

Lokasi No

Tempat Pengambilan Propinsi Tinggi

(m DPL)

Lokasi Geografis Keterangan

BT LS

1. Ds Ciharelang-Cijeungjing, Kab Ciamis.

Jawa Barat 300 - - Kelompok tani

2. Ds Kalianget Barat, Kec Kalianget, Kab Sumenep Madura

Jawa Timur - 113o55’27’’ 07o2’31’’ Koleksi tukang jamu

3. Ds Wonokaton, Kec Nguling, Kab Pasuruan

Jawa Timur - 113o1’11’’ 07o42’33’’ Kawasan hutan

4. Dsn Sempangan Kalianget Barat, Kc Kalianget, Kab Sumenep Madura

Jawa Timur - 113o56’4’’ 07o2’21’’ Kebun

5. Ds Nanggung, Kec Kopo, Kab Serang

Banten 65 106o23'20'' 06o19'21'' Pekarangan masyarakat

6. Ds Cimemah, Kec Tanjung Siang, Kab Subang

Jawa Barat 523 107o82'428'' 06o75.613'' Rumah penduduk

7. Ds Tarogong Kidul, Kec Tarogong Kidul, Kab Garut

Jawa Barat 723 108o00'722'' 06o73'547'' Pinggir jalan

8. Dsn Cipongkor, Ds Cibunar, Kec Rancakalong, Kab Sumedang

Jawa Barat 821 107o83'885'' 06o83'241'' Pinggir jalan

9. Kp Warung Caringin, Ds Cijambe, Kec Cijambe, Kab Subang

Jawa Barat 422 107o72'382'' 06o64'626'' Koleksi herbalis

10. Ds Conggeang Kulon, Kec Conggeang, Kab Sumedang

Jawa Barat 398 108o00'887'' 06o75'314'' Koleksi puskesmas

11. Ds Cigendel, Kmp Cihaniwung, Kec Pamulihan, Kab Subang

Jawa Barat 908 107o83'271'' 06o86'516'' Tanaman obat keluarga

12. Ds Tugu Jaya, Kec Cihideng, Kab Tasikmalaya

Jawa Barat 416 108o20'628'' 07o34'367'' Pekarangan pesantren

Keterangan: Dsn = Dusun; Kec = Kecamatan; Kab = Kabupaten; m DPL = meter Di atas permukaan laut; BT = Bujur Timur; LS = Lintang Selatan.

pada kondisi yang sama untuk kemudian dilakukan analisa kadar andrographolide.

Hasil analisa kadar andrographolide yang didapatkan pada ke 12 aksesi hasil sampling (existing), dapat dilihat pada Gambar 2. Kadar andrographolide yang dihasilkan bervariasi berkisar antara 0,29-4,44% dengan kadar rata-rata adalah 2,19% berat kering. Pada penelitian ini kadar tertinggi didapatkan pada aksesi dari Desa Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten Pasuruan dengan kadar andrographolide adalah 4,44% sedangkan kadar yang terendah didapatkan pada aksesi dari Desa Conggeang Kulon, Kec. Conggeang Kab. Sumedang. Dari data ini diketahui bahwa kadar andrographolide bervariasi pada sampel yang diambil dari 12 lokasi tersebut. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh tempat tumbuh yang berbeda dengan kondisi iklim dan edaphik yang bervariasi (22) dan kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor genetik dari aksesi tersebut.

Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata hasil andrographolide masih berada

pada kondisi standar sesuai dengan penelitian Sharma et al. (1992) yaitu 2,39%. Hasil penelitian pada 12 aksesi dari beberapa daerah di Jawa masih lebih baik dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa penelitian yang lain.

Gambar 2. Variasi kandungan kadar andrographolide

pada 12 lokasi sambiloto di pulau Jawa

2,86

3,27

4,44

2,84

1,95

1,37 1,11

0,6

3,11

0,29

2,3 2,15

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Kad

ar A

nd

rogr

aph

olid

e (

%)

Lokasi No.

Page 29: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

19

Patarapanich et al. 2007 mendapatkan kadar andrographolide berkisar antara 0,1-2%. Sedangkan Sabu et al. (2001), mendapatkan kadar andrographolide yang bervariasi pada 15 aksesi sambiloto, koleksi dari India (12 aksesi) dan Asia (3 aksesi), berkisar antara 0,73-1,47% berat kering dengan rata-rata adalah 0,95%. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al (2009), terhadap 15 aksesi sambiloto yang juga berasal dari India, didapatkan keragaman fitokimia dari kadar andrographolide yang diukur berkisar antara 0,69-1,85% berat kering dengan nilai rata-rata 1,23%. Penelitian yang dilakukan oleh Raina et al. (2007) pada 30 aksesi sambiloto didapatkan kadar andrographolide berkisar antara 1,14% - 2,60%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Latto et al. (2008) pada 53 aksesi yang berasal dari India mendapatkan hasil kadar andrographolide berkisar antara 2,67-5,94% dengan rata-rata 4,816% yang melebihi rata-rata kadar sambiloto normal.

Selain faktor tempat pertumbuhan dan genetik aksesi sambiloto tersebut, kadar andrographolide juga dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel. Penelitian yang dilaporkan oleh Cui et al. (2009), menghasilkan data bahwa sambiloto yang diambil dari tempat yang sama tetapi sampling dilakukan pada waktu yang berbeda (Juli, Agustus, September dan Oktober) ternyata berbeda intensitas absorpsi puncaknya ketika dilakukan analisa kadar andrographolide, dengan hasil kadar terbaik pada bulan Agustus dan September.

Pada penelitian yang dilakukan Raina et al. (2007) ada 4 aksesi sambiloto yang menjanjikan yang mengandung kadar andrographolide diatas 2% yang akan dikembangkan untuk penelitian selanjutnya. Pada penelitian kali ini ada 3 aksesi sambiloto yang potensial untuk dikembangkan karena kadar andrographolidenya diatas 3% yaitu aksesi dari Desa Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten Pasuruan (4,44%), aksesi dari Kp Warung Caringin, Desa Cijambe, Desa Kalianget Sumenep (3,27) dan Kec. Cijambe Kabupaten Subang (3,11). Aksesi yang didapatkan ini potensial untuk diperbanyak dan digunakan pada budidaya skala besar dan secara komersial dan juga dapat digunakan untuk perbaikan mutu tanaman dimasa depan.

KESIMPULAN Daun sambiloto yang dianalisa dari 12

lokasi di Jawa memperlihatkan perbedaan kadar andrographolide diantara aksesi. Kadar andrographolide dari 12 aksesi tersebut berkisar antara 0,29-4,44% dengan rata-rata adalah 2,19%. Kadar tertinggi didapatkan pada aksesi dari Desa. Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten Pasuruan sedangkan kadar terrendah didapatkan pada aksesi dari Desa. Conggeang Kulon, Kec. Conggeang Kab. Sumedang. Pada penelitian ini ada 3 aksesi sambiloto yang potensial untuk dikembangkan menjadi aksesi unggulan karena kadar andrographolidenya di atas 3%. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada

Kementrian Negara Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Insentif Riset Terapan Tahun Anggaran 2010. DAFTAR PUSTAKA Aromdee C, P Wichitchote & N Jantakun (2005)

Spectrophotometric determin-ation of total lactones in Andrographis paniculata Nees. Songklanakarin J Sci Technol 27(6): 1227-1231.

Cui Y, Y Wang, X Ouyang, Y Han, H Zhu and Q Chen (2009) Fingerprint profile of active componen for Andrographis paniculata Nees by HPLC-DAD. Sens. & Instrumen. Food Qual 3(3):165-179.

Jarukamjorn K & N Nemoto (2008) Pharmacological Aspects of Andro-graphis paniculata on Health and its Major Diterpenoid Constituent Andro-grapholide. J Health Sci 54(4):370-381.

Kemala S, Sudiarto, ER Pribadi, JT Yuhono, M Yusron, L Mauludi, M Rahardjo, B Waskito, H Nurhayati (2004) Studi serapan, pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 187-247.

Kumar RA, K Sridevi, NV Kumar, S Nanduri, S Rajagopal (2004) Anticancer and immunostimulatory coumpounds from Andrographis paniculata. J Ethnopharmacol 92(2):291-295.

Kumoro AC & M Hasan (2006) Modelling of andrographolide extraction from

Page 30: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Analisa Kandungan Andrographolide… Juwartina Ida Royani et al.

20

Andrographis paniculata leaves in a soxhlet extractor. Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering & Technology. 24-25th July 2006; Putrajaya, Malaysia, 664-670.

Latto SK, RS Dhar, S Khan, S Bamotra, MK Bhan, AK Dhar, KK Gupta (2008) Comparative analysis of genetic diversity using molekuler and morphometric markers in Andrographis paniculata (Burm.f) Nees Genet Resour Crop Evol 55(1):33-43.

Li S, Q Han, C Qiao, J Song, CC Lung, H Xu (2008) Chemical markers for the quality control of herbal medicines: an overview. Chinese Med 3(7):1-16.

Mishra K, PD Aditya, BK Swain, N Dey (2009) Anti-malarial activities of Andrographis paniculata and Hedyotis corymbosa extracts and their combination with curcumin. Malaria J 8(26):1-9.

Mishra SK, NS Sangwan, RS Sangwan (2007) Phcog Rev.: Plant Review Andrographis paniculata (Kalmegh): A Review. Pharmacognosy Rev 1(2): 283-298.

Moraes SL, ASR Facanali, M Ortiz, Marques M, Ming LC, Meirelles MA (2002) Phytochemical characterization of essential oil from Ocimum selloi. Anais da Academia Brasileira de Ciências 74(1):183–186.

Nugroho YA, B Nuratmi, W Wiratno (2000) Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Tumbuhan Obat Indonesia yang Aman. Prosiding Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia (Simposium Penelitian bahan Obat alami X). Sentra P3T Propinsi Jawa Timur. Surabaya. 150- 157.

Otake T, H Mori, LT Morimoto, M Hattori, T Namba (1995) Screening of Indonesian plant extracts for anti-human immunodeficiency virus type I (HIV-I) activity. Phytother Res 9(1):6-10.

Patarapanich C, S Laungcholatan, N Mahaverawat, C Chaichantipayuth, S Pummangura (2007) HPLC determination of active diterpene lactones from Andrographis paniculata Nees planted in various seasons and regions in Thailand. Thai J Pharm Sci 31:3-4.

Raina AP, A Kumar, SK Pareek (2007) HPTLC Analysis of Hepatoprotective Diterpenoid Andrographolide from Andrographis

paniculata Nees (Kalmegh). Indian J Pharm Sci 69(3): 470-473.

Rajagopal S, RA Kumar, DS Deevi, C Satyanarayana, R Rajagopalan (2003) Andrographolide, a potential cancer therapeutic agent isolated from Andrographis paniculata. J Exp Therapeut Oncol 3(3):147–158.

Sabu, KK, P Padmesh, S Seeni (2001) Intraspesific variations in active content and isozymes of Andrographis paniculata Nees (Kalmegh): a traditional hepatoprotective medicinal herb of India. J Med Aromat Plant Sci 23(4):637-647.

Sharma S, L Krishan, & SS Handa (1992) Standardization of the Indian crude drug Kalmegh by high pressure liquid chromatographic determination of andrographolide. Phytochem Anal 3(3):129-131.

Sharma SN, RK Sinha, DK Sharma, Z Jha (2009) Assessment of intra-specific variability at morphological, molecular and biochemical level of Andrographis paniculata (Kalmegh). Curr Sci 96(3):402-408.

Sunita S & S Abhishek (2008) A Comparative Evaluation of Phytochemical Fingerprints of Asteracantha longifolia Nees. Using HPTLC. Asian J Plant Sci 7(6):611-614.

Wongikittipong R, L Prat, S Damronglerd, C Gourdon (2004) Solid–liquid extraction of andrographolide from plants—experimental study, kinetic reaction and model. Sep Purif Technol 40(2): 147-154.

Yang M, J Wang, L Kong (2012) Quantitative analysis of four major diterpenoids in Andrographis paniculata by 1 H NMR and its application for quality control of commercial preparations. J Pharm Biomed Anal 70:87-93.

Yusron M & M Januwati (2004) Pengaruh kondisi agroekologi terhadap produksi dan mutu simplisia sambiloto (Andro-graphis paniculata). Prosiding Seminar Nasional XXVI Tumbuhan Obat Indo-nesia, Padang, 7-8 September. 211-216.

Yusron M (2000) Dukungan Teknologi Budidaya untuk Pengembangan Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Perkembg TRO 2(2):63-74.

Zang Z, H Dong, J Yu (2005) The fingerprints of Andrographis paniculata by HPLC/UV/MS. Chin J Nat Med 3:373-377.

Page 31: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

21

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN

VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)

Modifikasi Metode Sterilisasi Tunas Anakan Sagu (Metroxylon sagu rottb.) untuk Mendukung Perbanyakan Secara In Vitro

Teuku Tajuddin*, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska

Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK Hutan sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dapat ditemukan dalam area yang cukup luas di wilayah Maluku dan Papua. Besarnya keanekaragaman hayati dari pohon sagu dapat dilihat di areal ini. Pohon sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber yang air melimpah. Tanaman sagu dapat diperbanyak dengan metode generatif melalui biji, dan vegetatif melalui tunas anakan. Dalam rangka mendukung perbanyakan pohon induk yang unggul secara in vitro dalam skala besar, perbaikan metode sterilisasi tunas anakan mutlak diperlukan. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari Propinsi Papua digunakan sebagai eksplan. Tujuan percobaan sterilisasi ini dilakukan untuk mendukung perbanyakan pohon sagu secara in vitro. Pada percobaan ini antibiotik digunakan untuk membersihkan jaringan internal eksplan dari jamur dan bakteri. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa campuran alkohol dan antibiotik dapat menekan pertumbuhan kontaminan. Kata Kunci: Antibiotik, kontaminan jamur dan bakteri, kultur in vitro, metode sterilisasi, sagu ABSTRACT Natural sago (Metroxylon sagu Rottb.) forest can be found in large area in Maluku and Papua regions. There are wide genetic diversities of sago palm found in these areas. This palm grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Sago palm is propagated generatively by seed and vegetatively by suckers. With the purpose of establishing the in vitro culture method for a large-scale of mass clonally propagation of superior genotypes of sago palm, generating sterilized explants are very important. Young suckers (15-20 cm) obtained from areas of Papua Province were used as explants. The sterilization experiments were carrying out to support the tissue culture of sago palm. Sterilization was conducted using antibiotics in order to get rid of fungi and bacteria from inner part of explants tissues. The results showed that from all sterilization methods tested, the best result was treatment using alcohol and antibiotic as disinfectant agents.

Keywords: Antibiotics, fungi and bacteria contaminants, in vitro culture, sterilization method, sago palm

Page 32: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

A Revised Method for Sucker… Teuku Tajuddin et al.

22

INTRODUCTION

Since long times ago, man uses sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) trunk as a source of food starch in Southeast Asia. Sago palms grow very quickly, up to 1.5 m of vertical stem growth per year, in the fresh water swamps and lowlands in the tropics. The stems are thick and either self supporting or grow with a somewhat climbing habit, and forms suckers or tillers. The leaves are pinnate, not palmate. Formation of the inflorescence, for which the starch in the trunk is being used, begins 4 to 14 years after the start of trunk formation. They are harvested at the age of 7 to 15 years just before flowering. They only produce flower and fruit once before die (Harsanto 1986).

Sago palm has many advantages over other starch-producing crops especially for its higher yield, grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Moreover, for the benefit of plantation no regular replanted is needed. The palms are spread from Melanesia to India and from Mindanao to Java Island. Furthermore, the most wide planting areas are only found in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea (Johnson 1977). They normally grown from 0 to 700 m above see level, however the optimum growth is found at the height of 400 m (Haryanto & Pangloli 1999). Sago has potential and prospect for food and non-food industry, such as aceton–butanol–etanol fermentation (Gumbira et al. 1996), biodegredable plastic (Pramuda et al. 1996), sarbitol, MSG, organic acids etc. Moreover, the wood is used for pulp and paper (Muladi & Soejitno 1996).

According to Notohadipawiro dan Louhenapessy (1993), the development of sago palm can be divided into several growth stages, these are: seedling or suckers (0 – 50 cm), sapihan (50 – 150 cm), tihang (150 – 500 cm) dan tree (over 500 cm). In nurseries, the mortality rate of suckers is around 20-40%. In the dry season, higher mortality rates are common (Jong 1995). Trimming of roots to as short as 1 cm did not affect the subsequent survival of the suckers. Trimming of the rhizomes to a length close to the growing point of the sucker was deleterious. When planting of suckers was delayed, treatment with a wide-spectrum fungicide while storing the suckers

in cool and moist places was shown to reduce their mortality rate. One of the vegetative propagation, which is in vitro culture method, is used in order to avoid above problems, as well as to obtain vigor and qualified planting materials. In vitro propagation of sago palm has been conducted by other laboratories (Hisajima et al. 1991; Tahardi et al. 2002).

The purpose of this study was to develop the sterilization method of sago palm via in vitro culture derived from various types of plant for explants source (suckers) of sago palm, as initial materials for in vitro culture. Sterilization process is needed in plant tissue culture in order to avoid bacteria and fungi contamination during incubation.

MATERIALS AND METHODS

Plant Materials Research activity was performed in

Plant Tissue Culture Laboratory, Biotech Center located in Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten. For the purpose of in vitro propagation, samples of sago suckers, as long as 7-10 cm, were taken from Sentani Lake areas, Irian Jaya Province.

Sucker Selection from Field

Scoop and other tools were prepared for taking samples of the suckers for in vitro materials. - Choose the small size sucker with basal

end diameter of 4 – 5 cm - Cut the sucker below growing point, then

trim all leaves and roots, and clean up from dirt and soil

- Before taking the sucker to the laboratory, peel off the outer layer, while keeping some (2 – 3 layers) around it basal end (growing point)

- Immerse the samples into solutions, which were used as treatments for a few seconds, then leave them in room temperature until drying.

- The treatments were applied during preparation in the field, using solutions: a) aqua distillate, b) Na-hypochlorite and c) alcohol.

Sterilization Treatments

The suckers were peeled off carefully in laminar airflow cabinet to obtain clean

Page 33: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

23

Table 1. Using antibiotics in combination and their methods of application

Combination of antibiotics and concentration Application

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 0.5% Soaked overnight

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 1.5% Soaked for 2 hours

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 2.5% Soaked for 2 hours

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 3% Soaked for 2 hours

Levofloxacin 0.5% + Streptomycin 0.5% Soaked overnight

Levofloxacin 1.5% + Streptomycin 0.5% Soaked overnight

Levofloxacin 3.5% + Streptomycin 1% Soaked for 2 hours

explants. The explants were then surface-sterilized using bactericide and fungicide, followed by washing in running tap water for few minutes before treated with sterilization agents. The process was divided into two steps. The first step as pre-treatment and the second was used as treatment. The pre-treatments procedure was: soaking in Tween 80 for one hour, followed by washing in running water until the buble was gone. Finally washed the samples with sterilized water for three times.

To obtain the best procedure, sterilization process were used as treatments in our study. The disinfectants applied in this study were commonly used in our laboratory. The treatments employed were: A. Soaking in alcohol 70% for 15 minutes,

followed by soaking in Na-hypochlorite 2% for 2 minutes, then washed with sterilized water twice

B. Soaking in alcohol 70% for 15 minutes, followed by soaking in Povidone Iodine 0.2% for 2 minutes, then washed with sterilized water twice

C. Soaking in alcohol 70% for 15 minutes, followed by soaking in Povidone Iodine 1% for 2 minutes, then washed with sterilized water twice

D. Soaking in alcohol 70% for 15 minutes, followed by soaking in HgCl2 0,01% for 1 minutes, then washed with sterilized water twice

E. Soaking in alcohol 70% for 15 minutes, followed by immersing in antibiotic solution for 3 minutes, then washed with sterilized water twice

F. Soaking in alcohol 96% for 15 minutes, followed by immersing in antibiotic solution for 3 minutes, however without washing in sterilized water.

Subculture was carried out every month, which was transferring the explants

into the new and fresh media, containing the same composition of chemical. Observations were made every week on the freshness of explants, contamination level, and the growth of culture in the incubation room.

Sterilization was also conducted using antibiotics in order to get rid of fungi and bacteria. There were two methods applied when using the antibiotics, i. e. single antibiotic and dual antibiotics used in combination. The antibiotics used were as follow: Amphicilin, Cefadroxil, Cephalexin, Ciprofloxa, Clindamycin, Doxycycline, Kanamycin, Ketoconozole, Levofloxacin, Lincomycin, Rifamycin, Sanlin, and Streptomycin. The explants were soaked in 1% antibiotic solution for 2 hours. All treatments were repeated for 20 times.

Antibiotics in combination were applied in order to remove both fungi and bacteria from inner part of explants tissues. The basal end of explant was immersed in the antibiotics solution for 2 hours or overnight. Table 1 illustrates the use of antibiotics in combination for fungi and bacteria elimination. RESULTS AND DISCUSSION Sterilization Treatments

After taking samples, the suckers of sago were divided into three groups. Each group was treated with aqua distillate, Na-hypochlorite or alcohol. The samples were then stored in the cartoon boxes for three days. The freshness of samples was also tested by storing them in dry and cool room for another four days. The result of treatment during sampling was exposed in Table 2. It shows that alcohol can keep the freshness of samples until three days after putting in storage.

Page 34: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

A Revised Method for Sucker… Teuku Tajuddin et al.

24

Table 2. Condition of sago sucker in boxes 3 days after treatments during sampling in the field

Parameter Treatments During Sampling

Aqua Distillate Hypochlorite Alcohol

Suckers condition Not fresh Not fresh Fresh

Suckers color Pale brown Browning Green

Leaves/shoot of suckers Rotten Rotten Fresh

Basal end (Growing point) of suckers Not fresh Not fresh Fresh

Percentage of sterilized suckers 80 % 62 % 90 %

Table 3. Condition of sago suckers in boxes 4 days after treatments

Parameter Treatments

Aqua Distillate Hypochlorite Alcohol

Suckers condition Not fresh Not fresh Fresh

Suckers color Pale brown Brown Green

Leaves/shoot of suckers Rotten Rotten Rotten

Basal end (Growing point) of suckers Browning Browning Pale brown

Percentage of sterile suckers 30 % 40 % 80 %

The percentage of sterilized sucker in the incubation room was also the highest after treated with alcohol. The result of storing samples in dry and cool room was exhibited in Table 3. Treatment the sago suckers with alcohol showed the best method to obtain the fresh materials. The suckers still fresh four days later and the sterilized culture obtained also high. Long period of storage is important to our study, since the samples were taken in large amount and from long distance places. Only few samples can be processed every day in the laboratory, while the freshness of samples is the first priority in plant tissue culture propagation.

All fresh samples were then sterilized with similar method, and the result was shown in Table 4. Alcohol treatment produces the highest sterilized explants in the culture room. The other two treatments resulted in non fresh state, browning and rotten explants started from the bottom, while the number of sterilized cultures obtained was very low.

Table 4. Percentage of sterilized sago suckers in the

incubation room 1 week after culture

Treatment Sterilized Suckers

Water 60 %

Na-hypochlorite 50 %

Alcohol 70 %

Various sterilization procedures showed the results one week after incubation (Table 5). From all methods tested, the best result was obtained from the treatment F (70.38%), followed by treatment E (58.78%). Both methods used alcohol and antibiotic as disinfectant agents. Since most of the suckers explants were obtained from the underground, where the bacteria and fungi are easily found, the disinfectant used should be systemic types, instead of surface-sterilized types. Na-hypochlorite, Povidone Iodine and HgCl2 are surface-sterilized type disinfectants, while antibiotics attack bacteria and fungi systemically.

The percentage of contamination level was increased during rainy season. The rainy season resulted in increasing the humidity at the sampling area. Such Table 5. The results of several sterilization treatments

on the growth of sago explants in vitro

Treatment Code Sterilized Suckers

A 0 %

B 4.50 %

C 20.96 %

D 10.00 %

E 58.78 %

F 70.38 %

Note: Treatment code is referred to sterilization treatments on Materials and Methods

Page 35: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

25

condition affected the cleanness of sampling materials. The sampling materials were wet and easily contaminated by fungi and bacteria. The best sampling materials, with dry and good condition, were normally obtained during March to September. During this time, the percentage of contamination was very low.

During rainy season, various kinds of antibiotics were used to eliminate the contaminant, fungi and bacteria,

systemically. The explants were soaked into antibiotics solution for 2 hours. The culture was observed after 10 days incubated in culture room. The result is revealed in Table 6. It shows that Levofloxacin gave the best result by producing high percentage of survival explants. It was followed by Rifamycin and Amphicilin, with percentage of survival around 50%. While the others resulted in low percentage of survival explants.

Table 6. Effect of antibiotics to reduce contamination on Sago explants after 10 days incubation, with initial

number of 20 explants

Kinds of Antibiotics

Contaminated Explants

Sterilized Explants

Condition of Sterilized Explants % Survival Explants Fresh Dried

Amphicilin 1% 10 10 9 1 45

Cefadroxil 1% 18 2 2 0 10

Cephalexin 1% 13 3 3 0 15

Ciprofloxa 1% 1 19 3 16 15

Clindamycin 1% 18 2 1 1 5

Doxycycline 1% 0 20 0 20 0

Kanamycin 1% 1 19 0 19 0

Ketoconozole 1% 20 0 0 0 0

Levofloxacin 1% 0 20 17 3 85

Lincomycin 1% 20 0 0 0 0

Rifamycin 1% 0 20 10 10 50

Sanlin 1% 0 20 0 20 0

Streptomycin 1% 8 12 0 12 0

Table 7. The percentage of survival explants after treated with mixture of antibiotics

Combination of Antibiotics

Methods Initial No.

of Explants Sterile

Explants

Condition of Sterile Explants % Survival Explants Fresh dried

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 0.5%

Soaked overnight

273 137 107 30 39

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 1.5%

Soaked for 2 hrs

230 143 100 43 43

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 2.5%

Soaked for 2 hrs

166 72 60 12 36

Levofloxacin 0.5% + Sanlin 3%

Soaked for 2 hrs

196 172 80 92 41

Levofloxacin 0.5% + Streptomycin 0.5%

Soaked overnight

250 80 45 35 18

Levofloxacin 1.5% + Streptomycin 0.5%

Soaked overnight

255 220 100 120 39

Levofloxacin 3.5% + Streptomycin 1%

Soaked for 2 hrs

285 270 250 20 88

Page 36: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

A Revised Method for Sucker… Teuku Tajuddin et al.

26

The percentage of survival was increased when antibiotics were used in combination, as shown in Table 7. After soaking the explants into the mixture solution of antibiotic Levofloxacin (3.5%) and Streptomycin (1%), the highest percentage of survival reached 88%.

The other combinations however resulted in low percentage of survival explants. Even soaking the explants into solution overnight did not give better results. Antibiotic Levofloxacin should be used after freshly prepared. The solution was easily degraded, unless kept frozen in the freezer, however it should be used for not more than two days after preparation. Using the outdated antibiotics resulted in high rate of contamination.

CONCLUSION

From our research activities it can be concluded that long period of samples storage was important, since they were taken from long distance places and need some period of times before getting into the laboratory. After taking samples from the mother plants, the suckers of sago treated with alcohol showed the best method to obtain the fresh materials. The suckers still fresh four days later and the sterilized cultures obtained were also high. The best sterilization treatment was soaking the suckers in mixture solution of antibiotic Levofloxacin (3.5%) and Streptomycin (1%). The percentage of sterile suckers were 88%.

ACKNOWLEDGMENTS

This work was supported by research collaboration between PT Sampoerna Bio Energi and Biotech Center BPPT on the Establishment of Tissue Culture System of Sago Palm. REFERENCES Said EG, D Mangunwidjaja, A Darmoka,

Retmono, Suprasono (1996) Produksi aceton-butanol-etanol dari substrat hidrolisat pati sagu dan onggok tapioka hasil hidrolisis enzimatis. In Potensi Lahan Basah dalam Usaha

Pengembangan Agribisnis di Wilayah Lahan Basah. Prosiding Simposium Nasional Sagu III. Pekan Baru, 27-28 Februari 1996.

Harsanto PB (1986) Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit Kanisius.

Haryanto B & P Pangloli (1999) Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius.

Hisajima S, FS Jong, Y Arai, ES Sim (1991) Propagation and breeding of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) plant in vitro: 1. Embryo culture and induction of multiple shoots from sago embryos in vitro. Jap J Trop Agric 35(4):259-267.

Johnson D (1977) Distribution of sago in the world. Proceeding 1st International Sago Symposium Kuching, Malaysia.

Jong FS (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. PhD Thesis, Wageningen Univ. pp. 139.

Muladi S, & H Soejitno (1996) Pemanfaatan limbah kayu dan sagu sebagai bahan baku pulp dan kertas. In Potensi Lahan Basah dalam Usaha Pengembangan Agribisnis di Wilayah Lahan Basah. Prosiding Simposium Nasional Sagu III. Pekan Baru, 27 – 28 Februari 1996.

Notohadipawiro T & JE Louhenapessy (1993) Potensi sagu dalam penganeka-ragaman bahan pokok ditinjau dari persyaratan lahan. In Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon.

Pramuda H, Y Tokiwa, H Tanaka (1996) Pemanfaatan pati sagu sebagai bahan baku biodagradable plastik. In Potensi Lahan Basah dalam Usaha Pengembangan Agribisnis di Wilayah Lahan Basah. Prosiding Simposium Nasional Sagu III. Pekan Baru, 27 – 28 Februari 1996.

Tahardi JS, NF Sianipar, I Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). In: K. Kaimuna, M. Okazaki, Y. Toyoda, John E. Cecil (eds). New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Universal Academic Press, Inc. Tokyo, Japan.

Page 37: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

27

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei)

PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM

Growth of LAB Isolated from Rice Bran and Commercial Probiotic (Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei) on Rice Bran and Skimmed Milk Media

Elok Zubaidah

1,*, Erryana Martati

1, Ampu M Resmanto

2

1Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNIBRAW Malang

2Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNIBRAW Malang

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT This research was aimed to study the influence of rice bran and skim milk fermentation media on the growth of lactic acid bacteria and their ability in fermenting complex carbohydrates into short chain fatty acids (SCFA). Indigenous lactic acid bacteria (LAB) were isolated from rice bran and commercial probiotic separately and used for fermenting rice bran and skim milk media. Randomized block design was used with 2 factors i.e. fermenting media type and LAB type. The results showed that fermenting rice bran gave significant effect on the LAB growth, indicated by total LAB cell count, total acid concentration, pH and antibacterial activity. The best treatment was J2-B with total LAB count 1.01 x 10

10 cfu/mL, total acid 1.14%, pH 3.88 and clear zone diameters against Staphylococcus aureus

13.04 mm, Listeria monocytogenes 12.88 mm, Escherichia coli 12.83 mm and Salmonella typhi 12.53 mm. LAB fermenting rice bran for 48 hours produced lactic acid and SCFA. The highest concentrations of lactic acid (122.1313 mM), acetic acid (10.503 mM), and butyric acid (1.56 mM) were produced by fermentation using LAB J2, L. acidophilus, and L. casei isolate, respectively; whereas the highest propionic acid concentration (6,07 mM) was produced by control fermentation.

Keywords: Probiotic, indigenous isolate, rice bran, SCFA, skimmed milk

ABSTRAK Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dedak dan skim milk sebagai media fermentasi bakteri asam laktat, dan kemampuannya mengubah sumber karbon komplek dedak menjadi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids, SCFA). Bakteri asam laktat lokal diisolasi dari dedak dan probiotik. Desain percobaan adalah acak kelompok dengan 2 faktor, yaitu jenis media fermentasi dan jenis bakteri asam laktat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media fermentasi dengan menggunakan dedak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dari total sel bakteri asam laktat, total asam yang dihasilkan, pH dan aktivitas antibakteri. Fermentasi dengan menggunakan isolat J2-B menghasilkan total bakteri asam laktat 1,01 x 10

10 cfu/mL, total asam 1,14%, pH 3,88 dan zona hambatan

dengan bakteri uji Staphylococcus aureus 13,04 mm, Listeria monocytogenes 12,88 mm, Escherichia coli 12,83 mm dan Salmonella typhi 12,53 mm. Proses fermentasi bakteri asam laktat menggunakan media dedak selama 48 jam mampu menghasilkan asam laktat dan SCFA. Konsentrasi tertinggi asam laktat (122,13 mM), asam asetat (10,50 mM), dan asam butirat (1,56 mM) masing-masing dihasilkan oleh fermentasi menggunakan BAL J2, isolat L. acidophilus, dan isolat L. casei; sedangkan konsentrasi tertinggi asam propionat (6,07 mM) dihasilkan oleh fermentasi kontrol. Kata Kunci: Probiotik, isolat lokal, dedak, SCFA, susu skim

Page 38: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Pertumbuhan Isolat BAL… Elok Zubaidah et al.

28

PENDAHULUAN

Kemajuan pengetahuan tentang pangan dan kesadaran masyrakat terhadap kesehatan telah meningkatkan minat masyrakat terhadap pangan fungsional. Salah satu pangan fungsional yang berkembang pesat adalah pangan probiotik. Di Eropa, pasar produk probiotik pada tahun 1997 mencapai 65% dan susu probiotik mencapai 23% dari total pangan fungsional yang dipasarkan (Shah 2001).

Pangan probiotik pada umumnya berbasis susu. Saat ini mulai banyak dikembangkan pangan fermentasi probiotik berbasis serealia diantaranya dikenal produk “Yosa”, pangan probiotik oat bran yang difermentasi oleh L. acidophilus LA5 dan Bifidobacterium Bb 12. Selain itu dikenal juga produk “Fyos” (Nutricia) yang merupakan produk sinbiotik, kombinasi antara L. casei dengan oligosakarida dan inulin. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik pada produk tersebut akan memberikan efek menguntungkan (sinbiotik).

Bekatul padi juga merupakan sumber bakteri asam laktat yang sangat potensial (Yamamoto et al. 2003). Zubaidah (2005, belum dipublikasikan) telah berhasil mengisolasi sebanyak 9 isolat bakteri asam laktat (BAL) asal bekatul yang diperoleh dari berbagai penggilingan padi di kota Malang, yang berpotensi sebagai probiotik. Pada penelitian ini hanya digunakan dua isolat BAL indigenus asal bekatul yang paling berpotensi sebagai probiotik yaitu isolat D3 dan J2.

L. acidophilus dan L. casei merupakan bakteri probiotik yang biasa terdapat pada produk susu fermentasi. Proses fermentasi oleh BAL umumnya menggunakan susu skim sebagai media fermentasi. Bekatul dengan kandungan gizi yang cukup tinggi juga berpotensi digunakan sebagai media fermentasi bagi pertumbuhan L. acidophilus, L. casei dan isolat BAL indigenus asal bekatul guna pengembangan pangan probiotik yang berbasis serealia.

Pangan probiotik yang memiliki efek sinbiotik dapat diperoleh dengan memfermentasikan bekatul dengan L. acidophilus, L. casei dan isolat BAL indigenus asal bekatul. Serat pangan yang tinggi pada bekatul diharapkan berfungsi sebagai prebiotik yang akan mendukung

pertumbuhan bagi BAL sehingga akan dihasilkan efek sinbiotik. Pembentukan asam lemak rantai pendek (asetat, propionat dan butirat) adalah salah satu efek sinbiotik yang diharapkan sebagai hasil fermentasi komponen prebiotik yang terdapat pada bekatul. Diketahui bahwa asam lemak rantai pendek memiliki efek kesehatan bagi tubuh khususnya butirat yang dilaporkan berpotensi mencegah kanker kolon (Tungland 2002).

Penelitian ini untuk mempelajari pengaruh media fermentasi bekatul dan susu skim terhadap pertumbuhan BAL indigenus asal bekatul, L. acidophilus dan L. casei serta mengetahui kemampuan BAL indigenus asal bekatul, L. acidophilus, dan L. casei dalam memfermentasi karbohidrat kompleks (serat pangan, oligosakarida, dan pati resisten), sebagai prebiotik yang terdapat pada bekatul menghasilkan asam lemak rantai pendek (asetat, propionat dan butirat).

BAHAN DAN METODE Bahan

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian adalah susu skim, bekatul padi varietas IR 64 diperoleh dari penggilingan padi di jalan Ikan Tombro Malang, Isolat bakteri asam laktat indigenus bekatul (D3 dan J2) yang diperoleh dari koleksi jurusan Teknologi Hasil Pertanian-Universitas Brawijaya, isolat probiotik komersial (L. acidophilus dan L. casei) yang diperoleh dari BPPT Serpong. Pada pengujian aktiitas antibakteri dibutuhkan bakteri uji S. aureus (ATCC 29213), L. monocytogenes (ATCC 1194), E. coli (ATCC 25922) dan S. typhi yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisa N-total, kadar N-amino, lemak, pati, total gula reduksi, total gula, serat kasar, asam lemak rantai pendek (SCFA) dan asam laktat. Bahan untuk analisa total BAL menggunakan MRS Agar (Merck).

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, laminar air flow, vortex-mixer model VM-2000, inkubator merk Binder, pH meter, autoklaf merk Hirayama,

Page 39: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

29

spektrofotometer, timbangan analitik merk Mettler, alat ekstraksi soxhlet, labu dan pemanas kjedhal, sentrifuse dingin Heittich mikro 22R, shaker waterbath Julabo SW 22, Gas Chromatography merk Dani, pengayak 60 mesh, buret, spatula serta alat-alat gelas.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 faktor perlakuan sebanyak 3 kali ulangan. Faktor I: Jenis isolat bakteri asam laktat:

L. casei L. acidophilus Isolat indigenus asal bekatul J2 Isolat indigenus asal bekatul D3

Faktor II: Jenis media fermentasi: Bekatul 12% (b/v) Susu skim 12% (b/v)

Dari kedua faktor tersebut akan diperoleh 8 kombinasi perlakuan. Analisis Stabilisasi Bekatul

Bekatul sebelum digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu distabilisasi dengan pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 3 menit. Proses ini bertujuan menginaktifkan enzim lipase yang terdapat pada bekatul sehingga kerusakan bekatul dapat dicegah.

Fermentasi Larutan Bekatul dan Susu Skim

Larutan bekatul dan susu skim dibuat sesuai perlakuan (12% b/v) kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 85oC selama 10 menit sambil diaduk untuk menghomogenkan larutan. Selanjutnya larutan disterilisasi suhu 121oC selama 15 menit. Setelah proses sterilisasi selesai, larutan bekatul dan susu skim didinginkan sampai mencapai suhu 37oC. Larutan bekatul dan susu skim yang akan digunakan sebagai media fermentasi dilakukan analisa kadar lemak, pati, serat kasar, protein, N-amino, gula reduksi, total gula, total asam dan pengukuran pH larutan.

Isolat BAL yang telah ditumbuhkan pada media MRS cair sampai mencapai akhir fase log (L. acidophilus dan L. casei selama 14 jam, D3 dan J2 selama 16 jam) selanjutnya diinokulasikan sebanyak 2% (v/v) ke dalam larutan bekatul dan susu skim. Fermentasi

dilakukan pada suhu 37oC sampai waktu fermentasi yang memiliki jumlah total BAL tertinggi dan pH 4,5. Parameter yang diamati selama fermentasi meliputi total BAL (per 4 jam) selama 20 jam, total asam (per 3 jam) selama 24 jam, penurunan pH (per 3 jam) selama 24 jam dan pengujian aktivitas antibakteri yang diukur dengan metode sumuran pada akhir fermentasi (Schved et al. 1993). Pada akhir proses fermentasi (untuk perlakuan terbaik) dilakukan juga analisa kadar lemak, pati, serat kasar, protein, N-amino, gula reduksi, total gula untuk mengetahui aktivitas BAL selama fermentasi.

Untuk mengetahui kemampuan BAL dalam memfermentasi karbohidrat komplek (serat pangan, oligosakarida dan pati resisten) maka fermentasi larutan bekatul dilanjutkan sampai 48 jam dan pada jam ke-48 dilakukan analisa asam lemak rantai pendek (asetat, propionat, butirat) dan analisa asam laktat menggunakan Gas Chromatography.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Kimia Bekatul dan Susu Skim

Sebagai bahan yang akan digunakan untuk media fermentasi maka informasi mengenai kandungan kimia dan nutrisi bekatul dan susu skim merupakan hal yang penting. Hasil analisa kimia bekatul dan susu skim dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa kimia bekatul dan susu skim

Komponen

Rerata (%)

Bekatul Literatur

(*) Susu skim

Literatur (**)

Air 11,62 12,34 4,71 3

Protein 12,32 13,17 31,52 35,9

N-amino 0,35 - 0,75 -

Gula reduksi 1,32 - 17,21 -

Gula total 12,89 - 47,26 52,3

Pati 9,48 - 1,21 -

Lemak 20,71 20,36 5,47 0,8

Serat kasar 8,79 11,39 0,98 -

Abu 11,93 11,12 6,91 8

Keterangan: * : Wanyo et al. (2009) ** : Webb & Whittier (1970) dalam

Chandra (2001)

(-) : tidak ada literatur yang mendukung Faktor konversi protein bekatul padi 5,95 ; susu skim 6,35

Page 40: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Pertumbuhan Isolat BAL… Elok Zubaidah et al.

30

Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi kimia bahan baku yang digunakan pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan literatur. Perbedaan antara hasil analisa bekatul dengan literatur dipengaruhi oleh perbedaan varietas, pengaruh lingkungan dan tingkat penyosohan (Houston & Kohler 1970 dalam Amissah et al. 2002).

Nilai kadar lemak bekatul yang digunakan pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan literatur. Hal ini menunjukkan bekatul yang digunakan masih memiliki kualitas yang baik. Kandungan lemak yang tinggi pada bekatul akan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan akibat proses hidrolisa maupun oksidasi yang dapat menyebabkan ketengikan pada bekatul.

Hasil analisa menunjukkan kadar air susu skim yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kadar air susu skim pada literatur. Hal ini kemungkinan disebabkan proses pengeringan yang kurang sempurna pada proses pembuatannya. Berdasarkan hasil analisa kimia yang dilakukan diketahui susu skim yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan literatur.

Pengaruh Jenis Media Fermentasi

Kecepatan pertumbuhan BAL dalam proses fermentasi sangat ditentukan oleh

kesesuaian dan kandungan nutrisi yang terdapat pada media fermentasi. Isolat BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat D3 dan J2 yang diisolasi dari bekatul (indigenus asal bekatul) yang bersifat gram positif, katalase negatif, berbentuk basil dan tergolong sebagai BAL homofermentatif. Isolat D3 dan J2 telah diidentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum (Zubaidah & Farida 2006 belum dipublikasikan), namun kedua isolat BAL ini memiliki strain yang berbeda. Selain itu digunakan juga isolat BAL komersial L. casei dan L. acidophilus sebagai pembanding.

Bakteri asam laktat (isolat D3, J2, L. acidophilus dan L. casei) mencapai jumlah maksimum lebih cepat pada media fermentasi bekatul yaitu pada fermentasi jam ke-12 dibandingkan pada media fermentasi susu skim. Tercapainya total BAL tertinggi dalam waktu singkat digunakan dalam penentuan waktu fermentasi, sehingga dalam penelitian ini waktu fermentasi selama 12 jam digunakan sebagai akhir proses fermentasi.

Rerata total BAL pada medium fermentasi bekatul dan susu skim waktu fermentasi jam ke-12 berkisar antara 7,95x108-1,01x1010. Pertumbuhan isolat BAL J2, D3, L. casei dan L. acidophilus pada media fermentasi bekatul dan susu skim dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva peningkatan total BAL pada media fermentasi bekatul ( ) dan susu skim ( )

Page 41: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

31

Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah total BAL baik isolat D3, J2, L. casei dan L. acidophilus lebih tinggi pada media fermentasi bekatul dibandingkan pada media susu skim. Hal ini diduga karena kelengkapan komponen nutrisi yang lebih baik pada bekatul dibandingkan susu skim. Menurut Fardiaz (1990), nutrisi bagi mikrobia berfungsi sebagai sumber energi untuk pertumbuhan membentuk sel dan biosintesis produk-produk metabolit. Bakteri asam laktat menggunakan glukosa sebagai sumber karbon dalam proses metabolismenya menghasilkan energi, selain itu bakteri asam laktat (grup Lactobacillus) juga membutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pertumbuhannya (Ray 1996).

Bekatul mengandung asam amino esensial yang lengkap, selain itu bekatul juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A, vitamin C, vitamin D dan berbagai mineral seperti kalium, fosfat, dan besi. Telah diketahui bahwa beberapa dari vitamin B merupakan komponen utama koenzim yang dapat membantu mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat pada sel mikroba sehingga mempercepat pertumbuhan mikroba. Selain vitamin B yang berfungsi sebagai koezim diketahui juga bahwa asam pantothenat sebagai faktor pendukung pertumbuhan bagi bakteri asam laktat (Fox 1990 dalam Machlin 1991).

Rendahnya pertumbuhan bakteri asam laktat pada media fermentasi susu skim dibandingkan pada media fermentasi bekatul disebabkan oleh kemungkinan tidak adanya atau rendahnya kandungan beberapa komponen mikronutrisi yang dibutuhkan BAL seperti asam amino, vitamin B ataupun mineral. Menurut Charamlampopoulos et al. (2002) sereal memiliki kandungan vitamin, serat pangan dan mineral kecuali phosphor yang lebih tinggi dibandingkan pada susu. Derajat keasaman (pH)

Sejalan dengan pertumbuhan sel bakteri maka akan terjadi penurunan pH media fermentasi yang disebabkan oleh asam organik yang dihasilkan akibat metabolisme mikroba, diantaranya asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan oleh BAL akan terekskresikan keluar sel dan akan

terakumulasi dalam media fermentasi (substrat) sehingga akan meningkatkan keasaman (Widowati & Misgiyarta 2002). Peningkatan akumulasi asam dalam media fermentasi ini dapat diketahui dengan penurunan pH.

Rerata nilai pH media fermentasi bekatul pada jam ke-12 adalah 4,22 dan susu skim 5,59. Hasil pengukuran pH menunjukkan terjadinya penurunan pH yang lebih cepat pada media fermentasi bekatul dibandingkan pada media susu skim. Hal ini sejalan dengan hasil analisa total BAL yang menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL pada media fermentasi bekatul lebih tinggi dibandingkan pada susu skim sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas BAL dalam menghasilkan asam organik lebih tinggi pada media fermentasi bekatul yang nantinya akan menentukan nilai pH.

Total asam

Pemecahan glukosa dalam sel BAL akan menghasilkan energi untuk aktivitas BAL, selain itu juga dihasilkan senyawa lain termasuk asam laktat sebagai metabolit primer. Proses fermentasi dengan bakteri asam laktat, 90% asam yang dihasilkan adalah asam laktat dan asam asetat, asam lain yang dihasilkan dalam jumlah kecil adalah sitrat, hipuric, orotic dan uric (Lankaputhra 1998 dalam Shah 2001).

Rerata total asam media fermentasi bekatul pada jam ke-12 adalah 1,08% dan pada susu skim 0,66%. Hasil analisa total asam menunjukkan adanya kenaikan total asam pada media susu skim dan bekatul seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Sejalan dengan tingkat pertumbuhan sel bakteri dan penurunan pH diketahui juga bahwa total asam pada media fermentasi bekatul lebih tinggi dibandingkan media fermentasi susu skim untuk masing-masing isolat BAL. Tingkat pertumbuhan BAL yang tinggi pada bekatul akan menghasilkan jumlah asam organik yang tinggi sebagai hasil fermentasi.

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Isolat D3, J2, L. casei, dan L. acidophilus yang telah diketahui sebagai BAL dapat menghasilkan berbagai metabolit seperti asam laktat, asam asetat, H2O2, karbondioksida, dan bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen.

Page 42: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Pertumbuhan Isolat BAL… Elok Zubaidah et al.

32

Tabel 2. Diameter zona penghambatan media bekatul

dan susu skim terfermentasi pada jam ke-12

Perlakuan Diameter zona bening (mm)

SA LM EC ST

Bekatul

D3 14,03 13,59 11,73 12,74

J2 13,04 12,88 12,83 12,53

L. casei 11,82 12,03 11,56 11,71

L. acidophilus 12,07 10,23 10,25 10,33

Susu skim

D3 - - - -

J2 - - - -

L. casei - - - -

L. acidophilus - - - -

Keterangan: SA : S. aureus LM : L. Monocytogenes EC : E. coli ST : S. typhi

(-) : tidak memiliki aktivitas antibakteri

Penentuan aktivitas antimikroba pada

pengujian ini didasarkan pada luasnya areal bening disekitar sumur yang telah diisi media bekatul dan susu skim terfermentasi oleh isolat BAL J2, D3, L. casei dan L. acidophilus. Media bekatul dan susu skim yang digunakan adalah media bekatul dan susu skim terfermentasi pada jam ke-12. Hasil pengujian aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2.

Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa isolat BAL yang ditumbuhkan pada media fermentasi bekatul memberikan efek penghambatan terhadap pertumbuhan masing-masing bakteri uji sedangkan isolat yang ditumbuhkan pada media fermentasi susu skim tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan kemampuan BAL untuk tumbuh pada media fermentasi susu skim dan bekatul. Seperti yang ditunjukkan hasil analisa total BAL, analisa total asam, dan pengukuran pH bahwa aktivitas isolat BAL lebih tinggi pada media bekatul dibandingkan susu skim. Aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri uji ini diduga disebabkan adanya asam-asam organik yang terbentuk selama fermentasi.

Berdasarkan hasil pengukuran pH pada jam ke-12 diketahui bahwa nilai pH media bekatul terfermentasi bekatul berkisar antara 3,88-4,44 sedangkan

media susu skim terfermentasi berkisar 5,29-5,91. Nilai pH media bekatul terfermentasi yang rendah ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji, karena diketahui bahwa bakteri uji S. aureus, L. monocytogenes, E. coli dan Salmonella spp. secara berurut memiliki pH minimum untuk tumbuh 4,0; 4,6; 4,4; dan 4,5 (Ray 2000), sehingga di bawah nilai pH tersebut pertumbuhan bakteri uji akan terhambat. Diduga hal ini juga yang menyebabkan media susu skim terfermentasi pada jam ke-12 tidak memiliki sifat antimikroba, karena pada jam ke-12 nilai pH media susu skim terfermentasi lebih tinggi dari nilai pH minimum bakteri uji untuk tumbuh (berkisar antara 5,29-5,91).

Menurut Kashket 1987 dalam Yang (2000) selain penurunan pH efek antimikroba dari asam organik dapat juga disebabkan oleh masuknya asam dalam bentuk tidak terdisosiasi ke dalam membran sel melalui difusi pasif. Di dalam sel asam organik akan mengalami disosiasi karena pH di dalam sel yang mendekati netral. Proton (H+) yang terlepas dari asam organik akan menyebabkan pengasaman pada sitoplasma sehingga harus dikeluarkan dari sel. Proses pengeluaran proton (H+) yang mebutuhkan energi dan proses masuknya proton yang terus menerus akan menghabiskan energi dan akhirnya akan membunuh mikroorganisme (Doesburg 2006).

Pengaruh Jenis Isolat Terhadap Pertumbuhan

Total BAL

Jenis dan sifat dari isolat BAL yang digunakan akan sangat menentukan aktivitas bakteri tersebut selama proses fermentasi. Pada penelitian ini diketahui bahwa masing-masing jenis BAL (D3, J2, L. acidophilus dan L. casei) yang digunakan memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda baik pada media bekatul dan susu skim.

Rerata total BAL pada jam ke-12 dengan media fermentasi bekatul berkisar antara 7,15x109-1,10x1010 cfu/mL dan 7,95x108-9,05x108 cfu/mL pada media fermentasi susu skim. Peningkatan total BAL pada media fermentasi bekatul dan susu skim dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Page 43: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

33

Gambar 2. Kurva peningkatan total BAL (D3 ( ), J2

( ), L. acidophilus ( ) dan L. casei

( )) pada media fermentasi bekatul

Gambar 3. Kurva Peningkatan Total BAL (D3 ( ),

J2 ( ), L. acidophilus ( ) dan L.

casei ( )) pada media fermentasi susu

skim

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada

media fermentasi bekatul jam ke-12 isolat J2 memiliki nilai total BAL tertinggi dibandingkan isolat D3, L. casei dan L. acidophilus. Nilai total BAL isolat J2 merupakan yang tertinggi mencapai 1,01x1010 cfu/mL atau mengalami kenaikan sebesar 2,31x1010 cfu/mL (jika dibandingkan antara nilai total BAL jam ke-0 dengan jam ke-12) dan yang terendah adalah isolat D3 sebesar 7,15x109 cfu/mL atau mengalami kenaikan populasi sebesar 2,02x1010 cfu/mL. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa isolat J2 memiliki aktivitas yang lebih cepat dalam memetabolisme ketersediaan nutrisi yang tersedia dalam bekatul.

Nilai total BAL isolat J2 (1,01x1010 cfu/mL) yang paling tinggi pada media bekatul diduga dikarenakan isolat J2 merupakan isolat indigenus asal bekatul sehingga diduga ada kecocokan dan kesesuaian nutrisi pada substrat sebagai sumber energi dengan sifat isolat yang digunakan. Selain itu juga diduga isolat J2 sebagai isolat indigenus bekatul memiliki enzim yang lebih lengkap dan lebih spesifik untuk memecah nutrisi yang ada pada bekatul. Sedangkan perbedaan nilai total BAL isolat D3 dan J2 yang merupakan isolat indigenus bekatul diduga disebabkan oleh perbedaan strain keduanya yang menentukan sifat dan karateristik isolat selama fermentasi.

Berdasarkan kenaikan total BAL dari jam ke-0 sampai jam ke-12 diketahui bahwa isolat indigenus asal bekatul D3 dan J2 memiliki kenaikan total BAL yang lebih tinggi yaitu 2,02x1010 dan 2,31x1010 cfu/mL dibanding L. acidophilus dan L. casei yang

mengalami kenaikan sebesar 1,98x1010 dan 1,73x1010 cfu/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat indigenus asal bekatul lebih cepat mengalami kenaikan total BAL dibandingkan L. acidophilus dan L. casei selama proses fermentasi. L. casei dan L. acidophilus merupakan bakteri yang secara alami terdapat pada produk seperti susu maupun saluran pencernaan manusia sehingga kemampuannya untuk tumbuh pada media bekatul lebih rendah jika dibandingkan dengan isolat J2 dan D3.

Pada media fermentasi susu skim (Gambar 3) diketahui bahwa pada jam ke-12 L. casei memiliki jumlah total BAL tertinggi (9,05x108) namun jika dilihat dari kenaikan total BAL dari jam ke-0 sampai jam ke-12 diketahui isolat indigenus asal bekatul D3 dan J2 memiliki kenaikan total BAL yang lebih tinggi (sebesar 1,33x1010 dan 1,13x1010 cfu/mL) dibanding L. casei dan L. acidophilus (sebesar 9,4x109 dan 9,3x109 cfu/mL). Dave dan Shah (1997) dalam Shah (2001) menyatakan bahwa L. acidophilus dan Bifidobacteria tumbuh lambat pada media susu karena aktivitas proteolitik yang rendah. Derajat keasaman (pH)

Penurunan derajat keasaman media fermentasi merupakan salah satu akibat dari proses fermentasi yang terjadi akibat adanya akumulasi asam organik. Rerata nilai pH jam ke-12 pada media fermentasi bekatul berkisar 3,8-4,4 dan 5,2-5,9 pada media fermentasi susu skim.

Penurunan pH tercepat ditunjukkan oleh isolat J2 pada media fermentasi bekatul sedangkan pada media fermentasi susu

Page 44: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Pertumbuhan Isolat BAL… Elok Zubaidah et al.

34

Gambar 4. Aktivitas penghambatan isolat BAL

terhadap pertmbuhan bakteri uji

skim ditunjukkan oleh L. casei. Hal ini relevan dengan hasil analisa total BAL yang menunjukkan kedua BAL ini (J2 dan L. casei) memiliki nilai total BAL tertinggi pada media fermentasi bekatul dan susu skim (1,01x1010 cfu/mL dan 9,05x108 cfu/mL). Total asam

Fermentasi oleh bakteri asam laktat ditandai dengan peningkatan jumlah asam organik yang diiringi dengan penurunan pH. Mengingat keempat bakteri asam laktat yang digunakan bersifat homofermentatif maka asam utama yang dihasilkan adalah asam laktat. Rerata total asam jam ke-12 pada media fermentasi bekatul berkisar antara 1,0528-1,1382% dan 0,6504-0,694% pada media fermentasi susu skim. Peningkatan total asam tertinggi pada media fermentasi bekatul ditunjukkan oleh isolat BAL J2 sedangkan pada media fermentasi susu skim ditunjukkan oleh L. casei. Hal ini relevan dengan hasil analisa total BAL yang menyatakan isolat J2 dan L. casei memiliki angka total BAL tertinggi jam ke-12 pada media fermentasi bekatul dan susu skim.

Pengujian aktivitas antibakteri

Hasil pengujian menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri uji oleh isolat BAL yang digunakan pada media fermentasi bekatul sedangkan pada media susu skim tidak terdapat aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji sehingga pada bagian ini hanya akan dibahas aktivitas penghambatan oleh isolat BAL pada media fermentasi bekatul. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri diketahui bahwa seluruh isolat bakteri asam laktat yang digunakan mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji.

Jika dibandingkan kemampuan antar isolat BAL dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji maka diketahui bahwa isolat D3 memiliki aktivitas penghambatan terbesar terhadap pertumbuhan S. aureus, L. monocytogenes dan S. typhi. Sedangkan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan E. coli ditunjukkan oleh isolat J2. Diduga perbedaan aktivitas penghambatan antara isolat BAL D3 dan J2 disebabkan perbedaan jenis dan komposisi asam organik yang dihasilkan oleh masing-masing isolat. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri uji dapat disimpulkan bahwa isolat indigenus asal bekatul (D3 dan J2) memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji dibandingkan isolat BAL komersial (L. casei dan L. acidophilus). Perbandingan aktivitas penghambatan antar isolat BAL terhadap bakteri uji ditunjukkan pada Gambar 4.

Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa bakteri Gram positif (S. aureus dan L. monocytogenes) lebih mudah dihambat pertumbuhannya dibandingkan bakteri Gram negatif (E. coli dan S. typhi). Hal ini karenakan perbedaan susunan dinding sel antara bakteri Gram positif dan negatif yang mempengaruhi ketahanannya terhadap asam. Russel (1991) dalam Beales (2003) menyatakan bahwa bakteri gram negatif lebih tahan terhadap asam organik dibandingkan bakteri gram positif yang disebabkan perbedaan struktur dan komposisi kimia lapisan luar sel antara bakteri gram positif dan negatif (Nikaido & Varra 1985 dalam Beales 2003).

Pemilihan Perlakuan Terbaik

Pemilihan perlakuan terbaik pada penelitian ini didasarkan pada parameter dan kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri patogen (S. aureus, L. monocytogenes, E. coli dan S. typhi) pada waktu fermentasi jam ke-12 dengan menggunakan merode ranking (Tabucanon 1983). Berdasarkan skala ranking yang dilakukan maka diketahui bahwa perlakuan isolat BAL J2 dengan media fermentasi bekatul sebagai perlakuan terbaik.

Analisa Kimia Larutan Bekatul

Hasil pemilihan perlakuan terbaik menyatakan bahwa perlakuan fermentasi

Page 45: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

35

Tabel 3. Hasil analisa kimia larutan bekatul sebelum

(kontrol bekatul) dan setelah fermentasi (J2-B).

Analisa Kontrol Bekatul

(%) J2-B (%)

Pati 1,5105 1,0150

Gula reduksi 0,1181 0,0619

Gula total 1,2749 1,4309

N total 0,2095 0,2032

N amino 0,0372 0,1245

Lemak 2,3425 1,1975

Serat kasar 0,9801 0,8940

Keterangan: J2-B = Fermentasi media bekatul dengan isolat indigenus asal bekatul J2

larutan bekatul dengan menggunakan isolat BAL indigenus asal bekatul J2 sebagai perlakuan terbaik. Selanjutnya dilakukan analisa kimia terhadap perlakuan terbaik ini baik sebelum dan setelah fermentasi untuk mengetahui aktivitas dari isolat BAL yang digunakan dalam memfermentasi bekatul. Analisa kimia yang dilakukan meliputi kadar pati, kadar gula reduksi, total gula, N-total, N-amino dan kadar serat. Hasil analisa kimia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan terjadinya peningkatan total gula, N-amino setelah fermentasi dilakukan dibandingkan sebelum fermentasi, namun Kadar pati, gula reduksi, lemak dan serat kasar mengalami penurunan. Peningkatan total gula setelah fermentasi terjadi diduga akibat akumulasi senyawa antara, akibat pemecahan pati oleh mikroba. Hal ini terlihat dari penurunan kadar pati setelah fermentasi dilakukan. Isolat BAL J2 yang telah diidentifikasi sebagai L. plantarum diduga memiliki kemampuan memecah pati menjadi senyawa lebih sederhana yang akan dimanfaatkan dalam metabolisme sel

Kadar gula reduksi setelah proses fermentasi mengalami penurunan. Penurunan kadar gula reduksi ini diduga akibat pemanfaatan gula reduksi sebagai sumber karbon untuk menghasilkan energi oleh mikroba selama fermentasi. Selain pemecahan karbohidrat, perubahan lain yang terjadi akibat aktivitas bakteri asam laktat adalah perubahan protein. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kadar protein yang ditunjukkan oleh nilai N-total tidak mengalami perubahan akibat proses fermentasi. Menurut Fardiaz (1990) kultur bakteri akan menghidrolisis protein untuk memperoleh nitrogen yang diperlukan untuk

pertumbuhannya dalam susu. Aktivitas bakteri asam laktat dalam pemecahan protein terlihat dari nilai total N-amino yang meningkat akibat proses fermentasi. Peningkatan nilai N-amino menunjukkan jumlah asam amino yang terdapat pada media fermentasi akibat aktivitas enzim proteolitik bakteri asam laktat.

Selain memiliki kemampuan dalam menggunakan karbohidrat dan protein, beberapa bakteri asam laktat juga menunjukkan aktivitas lipolitik. Aktivitas lipolitik terlihat dari penurunan kadar lemak yang ditunjukkan oleh hasil analisa, sehingga diperkirakan isolat J2 yang telah diidentifikasi sebagai L. plantarum memiliki enzim yang dapat menghidrolisis lemak yang terdapat pada media bekatul. Kemampuan ini diduga mengingat isolat BAL J2 yang digunakan adalah isolat indigenus dari bekatul yang komponen utamanya adalah lemak sehingga secara alami isolat BAL J2 memiliki enzim yang dapat menghidrolisis lemak yang terdapat pada bekatul.

Jenis dan Konsentrasi Asam Organik Selama proses fermentasi menggunakan bakteri asam laktat akan dihasilkan asam organik sebagai metabolit primer. Asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi berasal dari metabolisme komponen nutrisi oleh mikroba. Jenis dan konsentrasi asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi pada waktu fermentasi jam ke-48 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa selama fermentasi dihasilkan asam organik berupa asam laktat dan asam lemak rantai pendek asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi asam laktat yang tinggi disebabkan karena asam organik ini merupakan produk utama Tabel 4. Jenis dan konsentrasi asam organik pada

media bekatul terfermentasi jam ke-48

Kode Sampel

SCFA Asam Laktat (mM)

Asetat (mM)

Propionat (mM)

Butirat (mM)

Kontrol 1,612 6,068 - -

D3 8,424 4,635 1,195 120,26

J2 8,766 5,861 0,137 122,13

L. casei 9,677 5,236 1,563 42,577

L. acidophilus 10,50 5,166 1,244 92,044

Page 46: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Pertumbuhan Isolat BAL… Elok Zubaidah et al.

36

yang dihasilkan selama proses fermentasi menggunakan bakteri asam laktat.

Adanya asam lemak rantai pendek asetat, propionat dan butirat pada larutan fermentasi bekatul jam ke-48 diduga disebabkan terjadinya fermentasi karbohidrat kompleks yang terdapat pada bekatul. Pati resisten, beberapa oligosakarida dan serat pangan merupakan karbohidrat kompleks yang tidak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate) pada saluran pencernaan bagian atas dan kemudian difermentasi didalam usus besar oleh berbagai bakteri. Hasil fermentasinya sebagian besar adalah asam lemak rantai pendek (SCFA) atau volatile fatty acid, methane, hidrogen dan karbon dioksida. Asam lemak rantai pendek asetat, propionat dan butirat merupakan produk utama hasil fermentasi karbohidrat kompleks dan mencapai 83 sampai 95% dari total asam lemak rantai pendek pada usus besar (Nordgaard & Mortensen 1995 dalam Tungland 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat produksi SCFA adalah tipe dan jumlah karbohidrat yang tidak tercerna, oligosakarida, pati resisten, dan polisakarida non pati (serat pangan) (Knudsen 2005).

Asam lemak rantai pendek (SCFA) yang dihasilkan akibat proses fermentasi karbohidrat berperan dalam menyumbangkan energi bagi tubuh dari proses metabolismenya di hati, selain itu SCFA juga berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah, menjaga keseimbangan mikroflora usus dan meningkatkan penyerapan mineral didalam usus (Tungland 2002). Asam asetat yang dihasilkan dari fermentasi dapat mempengaruhi fungsi sistem metabolik, asetat dapat mempengaruhi kadar asam lemak pada darah yang dapat secara langsung mencegah terjadinya lipolisis pada jaringan adiposa (Tungland 2002). Asam butirat dan asam propionat merupakan asam yang memiliki peranan penting bagi kesehatan sebagai hasil fermentasi karbohidrat kompleks yang tak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate) karena asam ini mempengaruhi efek kesehatan (Cummings 1995 dalam Karpinnen 2003). Asam propionat memiliki peranan menurunkan kadar gula dalam darah (Tungland 2002). Diketahui juga bahwa

asam butirat dapat memberikan efek perlindungan terhadap kanker kolon (Russo et al. 1999 dalam Karpinnen 2003).

Di dalam tubuh asam propionat akan dimetabolisme pada hati dan epithelium usus. Propinat merupakan satu-satunya asam lemak rantai pendek yang dapat digunakan sebagai glukosa. Asam asetat, butirat dan asam lemak rantai pendek lainnya tidak dapat digunakan dalam sintesis glukosa. Ketika asam propionate diserap maka tubuh dapat menggunakannya untuk reaksi glukoneo-genesis ataupun untuk menghasilkan energi melalui siklus TCA (Tricarboxylic Acid) (Khattak 2002).

KESIMPULAN

Jenis media fermentasi akan sangat menentukan didalam proses fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL (D3, J2, L. acidophilus, L. casei) pada media fermentasi bekatul lebih tinggi dibandingkan pada media susu skim. Bakteri asam laktat indigenus asal bekatul D3 dan J2 memiliki kemampuan yang lebih baik untuk tumbuh pada media fermentasi bekatul jika dibandingkan dengan L. acidophilus dan L. casei. Perlakuan isolat BAL indigenus bekatul J2 dengan media fermentasi bekatul diperoleh sebagai perlakuan terbaik.

Selain kemampuan untuk tumbuh pada bekatul diketahui juga bahwa seluruh isolat BAL (D3, J2, L. acidophilus dan L. casei) yang digunakan pada penelitian ini mampu memfermentasi komponen prebiotik yaitu karbohidrat kompleks (pati resisten, oligosakarida dan serat pangan) yang terdapat pada bekatul menjadi asam lemak rantai pendek (asetat, propionat dan butirat).

DAFTAR PUSTAKA

Beales N (2003) Adaptation of

Microorganisms to Cold Temperature, Weak Acid Preservatives, Low pH, and Osmotic Stress. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety.

Chandra L (2001) Pengaruh Tingkat Penambahan Skim dan Na-CMC Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Sifat Organoleptik Whey Terfermentasi Dalam Bentuk Yoghurt. Skripsi

Page 47: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

37

Jurusan THP- Fakultas Teknologi Pertanian-Unibraw. Malang

Charalampopoulos D, R Wang, SS Pandiella, C Webb (2002) Application of Cereals and Cereal Components in Functional Food: A Review. Intern J Food Microbiol. 79(1):131-141.

Doesburg B (2006) Strong Performance by Weak Acids. Food and Beverage Asia, 50-54.

Fardiaz S (1990) Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Khattak M (2002) Physiologocal Effects of Dietary Complex Carbohydrates and its Metabolites Role in Certain Diseases. Pak J Nutr 1(4):161-168.

Karppinen S (2003) Dietary Fiber Components of Rye Bran and their Fermentation In Vitro. VTT Technical Research Centre of Finland. Machlin, JL (1991) Hand book of Vitamins. Marcel Dekker, Inc. New York.

Schved F, A Lalazar, Y Henis, BJ Juven (1993) Purification, partial characterization and plasmid-linkage of pediocin SJ-1, a bacteriocin produced by Pediococcus acidilactici J Appl Microbiol 74(1):67-77.

Shah SP (2001) Functional Foods from Probiotics and Prebiotics. Food Technol 55(11):46.

Ray B (1996) Fundamental Food Microbiology, CRC Press, Bocaraton.

Tungland (2002) Dietary Fiber and Human Health. Comprehensive Reviews In Food Science and Food Safety, Vol 3.

Wanyo P, C Chomnawang, S Siriamornpun (2009). Substitution of Wheat Flour with Rice Flour and Rice Bran in Flake Products: Effects on Chemical, Physical and Antioxidant Properties. World Appl Sci J 7(1):49-56.

Widowati, S & Misgiyarta (2002) Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein/Susu Nabati. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.

Yamamoto Y, Y Togawa, M Shimosaka, M Okazaki (2003) Purification and Characterization of a Novel Bacteriocin Produced by Enterococcus faecalis Strain RJ-11. Appl Environ Microbiol

69(10):5746-5753. Yang Z (2000) Antimicrobial Compounds

and Extracellular Polysaccharides Produced by Latic Acid Bacteria. Academic Dissertation Department of Food Technology, University of Helsinki

Page 48: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

38

VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN 2442 - 2606

JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id

TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA

A Review: Lovastatin and Its Application

Dudi Hardianto Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu,

Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:[email protected]

ABSTRACT Lovastatin is a drug belonging to statins group that is used to decrease the cholesterol levels in blood. The action mechanism of lovastatin is inhibition of the activity of HMG-CoA reductase enzyme, hence reducing cholesterol production in the liver. Some filamentous fungi produce lovastatin, and Aspergillus terreus is known as the highest lovastatin-producing filamentous fungi, therefore it is generally used for production of lovastatin. Commercial production of lovastatin is based on submerged fermentation. But nowadays solid-state fermentation is becoming an alternative for production of lovastatin. Lovastatin is mainly used for antihypercholeterolemia. Other potential uses of lovastatin include therapy of Alzheimer’s disease, cancer, osteoporosis, Parkinson’s disease, multiple sclerosis, and rheumatoid arthritis.

Keywords: Statin, lovastatin, Aspergillus terreus, fermentation, antihypercholeterolemia ABSTRAK Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Mekanisme kerja lovastatin adalah menghambat enzim HMG-CoA reduktase sehingga produksi kolesterol di dalam hati berkurang. Beberapa kapang berfilamen memproduksi lovastatin dan Aspergillus terreus merupakan kapang penghasil lovastatin tertinggi sehingga digunakan dalam produksi lovastatin. Produksi lovastatin secara komersial menggunakan fermentasi cair tetapi sekarang ini fermentasi padat menjadi alternatif lain untuk memproduksi lovastatin. Lovastatin digunakan terutama untuk antihiperkolesterolemia. Lovastatin juga potensial digunakan untuk pengobatan penyakit alzheimer, kanker, osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan rheumatoid arthritis.

Kata Kunci: Statin, lovastatin, Aspergillus terreus, fermentasi, antihypercholeterolemia

Page 49: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

39

PENDAHULUAN Berdasarkan laporan WHO tahun

2005, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian, yaitu sekitar 17.500.000 orang atau 30% dari penyakit penyebab kematian di dunia (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). Salah satu penyebab utama penyakit kardiovaskular adalah tingginya konsentrasi kolesterol dalam darah. Penyakit kelebihan kolesterol dalam darah (hiperkolesterolemia) mengakibatkan penyempitan pembuluh darah (arterosklerosis). Arteroskerosis berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyebab utama hiperkolesterolemia adalah faktor genetik atau bawaan dan gaya hidup (pola makanan berlebihan; kurang aktivitas fisik; akibat kelainan metabolisme pada diabetes militus dan hipotiroidisme).

Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Lovastatin menghambat HMG-CoA reduktase, enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol (Gambar 1) (Atalla et al. 2008; Shindia 2001; Seenivasan et al. 2008; Szakacs et al. 1998). Statin menurunkan kadar kolesterol, terutama LDL (low density lipoprotein) atau kolesterol jahat dan meningkatkan HDL (high density lipoprotein) atau kolesterol baik sehingga mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri. Statin mencegah terjadinya aterosklerosis penyebab terjadinya kerusakan jaringan dan penyumbatan pembuluh darah, dan juga mencegah penyakit kardiovaskular karena berdasarkan data klinis menunjukkan bahwa statin mengurangi resiko kematian akibat penyakit jantung koroner.

Golongan statin merupakan obat yang banyak digunakan untuk mengatasi hiperkolesterolemia. Pada tahun 2005, penjualan golongan statin mencapai 15,1 milyar dolar di Amerika Serikat (Emerton 2006). Dan tahun 2006, dua jenis obat golongan statin memimpin penjualan obat di Amerika Serikat berdasarkan majalah Fobes, yaitu $ 8,4 milyar dan $ 4,4 milyar (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010).

Lovastatin dan simvastatin merupakan prodrug lakton yang dihidrolisis dalam saluran cerna menjadi turunan β-hidroksil yang aktif, sedangkan atorvastatin dan

fluvastatin merupakan senyawa aktif. Fluvastatin (Lescol XL) dan lovastatin (Altocor) tersedia dalam bentuk lepas lambat dan bentuk biasa. Lovastatin dan pravastatin diperoleh dari hasil biosintesis oleh mikroorganisme; sedangkan simvastatin merupakan hasil semisintesis dengan bahan dasar lovastatin; dan atorvastatin, fluvastatin, serta rosuvastatin merupakan hasil sintesis. Bentuk aktif statin merupakan analog dari HMG-CoA (3-hidroksi-3-metilglutaril-koenzim A) dalam sintesis kolesterol. Analog ini menginhibisi aktivitas enzim HMG-CoA redukase sehingga produksi kolesterol dalam hati akan berkurang. Afinitas inhibitor statin lebih tinggi beberapa kali dibandingkan dengan substrat. Konstanta Michaelis (Km) untuk substrat reaksi HMG-CoA 4 x 10-6 M sedangkan Ki lovastatin (konstanta inhibisi) sebesar 6,4 x 10-10 M. Analisis kinetik menunjukkan bahwa gugus metil pada lovastatin menyebabkan aktivitas inhibisi enzim HMG-CoA reduktase meningkat 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan mevastatin (yang tidak mempunyai gugus metil pada posisi 6α) (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010; Manzoni & Rollini 2002; Seenivasan et al. 2008). MEKANISME KERJA LOVASTATIN

Struktur kristal HMG-CoA reduktase pada situs katalitik membentuk kompleks dengan substrat dan produk (HMG-CoA, HMG, CoA, NADPH) sehingga memberikan gambaran rinci mengenai situs aktif enzim. Situs aktif HMG-CoA reduktase membentuk

Gambar 1. Mekanisme kerja obat golongan statin

dalam menghambat biosintesis kolesterol (Manzoni & Rollini 2002)

Page 50: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan Lovastatin dan Aplikasinya… Dudi Hardianto

40

kompleks dengan enam statin yang berbeda mevastatin, simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin (Gambar 2). Bentuk kompleks antara situs aktif HMG-CoA reduktase dengan golongan statin ini menghalangi terbentuknya kompleks antara substrat dengan enzim. Ikatan yang terjadi antara obat golongan statin dan enzim HMG-CoA reduktase adalah ikatan van der Waals yang bersifat ikatan kuat) (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010; Manzoni & Rollini 2002; Seenivasan et al. 2008).

PRODUKSI LOVASTATIN

Teknologi fermentasi merupakan cara

yang paling tepat digunakan untuk memproduksi lovastatin. Metode fermentasi lovastatin dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: fermentasi cair atau fermentasi secara submerge culture dan fermentasi padat. Dalam skala industri, teknologi fermentasi secara fermentasi cair masih digunakan sampai saat ini. Teknologi ini lebih mudah penangannya dibandingkan dengan fermentasi padat sehingga fermentasi cair lebih banyak dipilih untuk produksi lovastatin. Kondisi fermentasi dilakukan pada suhu 28oC dan pH antara 5,8 sampai 6,3; kondisi oksigen terlarut lebih dari 40% selama 10 hari (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010; Lopez et al. 2005).

Produksi lovastatin dipengaruhi oleh homogenitas kultur A. terreus, pengaruh sumber karbon, pengaruh sumber nitrogen, pengaruh vitamin, pH, aerasi, dan rancangan agitator. Studi yang dilakukan Lopez et al. (2003) menunjukkan bahwa produksi lovastatin dipengaruhi oleh sumber karbon (laktosa, gliserol, dan fruktosa) dan sumber nitrogen (yeast extract, corn steep liquor, dan soybean meal), serta rasio antara sumber karbon dan sumber nitrogen. Penggunaan laktosa yang dikombinasi dengan soybean meal atau yeast extract memberikan hasil produksi lovastatin tertinggi. Sumber karbon berperan penting dalam biosintesis lovastatin. Penggunaan sumber karbon yang lambat dimetabolisme seperti laktosa, pati, atau gliserol meningkatkan produksi lovastatin oleh Aspergillus terreus. Hasil penelitian Lai et al. (2007) menunjukkan bahwa produksi lovastatin dengan sumber karbon laktosa

lebih baik dibandingkan glukosa. Menurut Hajjaj et al. (2001) sumber nitrogen sodium glutamat dan histidin menghasilkan lovastatin lebih baik dibandingkan dengan sumber nitrogen amonium nitrat, amonium asetat, sodium nitrat, atau urea.

Untuk mengidentifikasi pengaruh komposisi medium terhadap produksi lovastatin digunakan Response Surface Methodology. Optimalisasi komposisi media baik media kompleks maupun media kimia terdefinisi telah banyak dilakukan. Fermentasi fed-batch mampu meningkatkan produksi lovastatin (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). Porcel et al. (2007) menyarankan untuk melakukan 2 tahap feeding pada fermentasi fed-batch. Penambahan vitamin B meningkatkan produksi lovastatin. Tidak hanya pada prekursor NADP (nikotinamid) dan CoA (kalsium pantotenat), tetapi tiamin, riboflavin, dan piridoksin diketahui mampu meningkatkan produksi lovastatin (Bizukojc et al. 2007).

Lovastatin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan melalui jalur ketida. Selain lovastatin, geodin juga melalui jalur ketida. Teknik rekayasa genetik digunakan untuk merusak gen yang berperan dalam biosintesis geodin dilakukan untuk meningkatkan lovastatin (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010).

Walaupun saat ini produksi lovastatin dilakukan dengan fermentasi cair, fermentasi padat lovastatin masih dikembangkan sebagai alternatif produksi lovastatin.

Gambar 2. Struktur kimia beberapa obat golongan

statin (Barrios-González & Miranda 2010)

Page 51: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

41

Perusahaan Biocon dari India telah mengembangkan fermentasi padat untuk produksi lovastatin pada skala industri. Secara umum, fermentasi padat dibagi menjadi dua, yaitu: fermentasi padat menggunakan substrat padat alami (fermentasi padat yang umum digunakan) dan fermentasi padat menggunakan bahan inert. Biocon memproduksi lovastatin menggunakan fermentasi padat substrat padat alami dengan dedak gandum (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). Fermentasi padat dengan bahan inert dilakukan Banos et al. (2009). Bahan inert yang digunakan adalah poliuretan menghasilkan lovastatin 20 mg per kultur kering. MIKROBA PENGHASIL LOVASTATIN

Pada awalnya lovastatin diproduksi

oleh Aspergillus terreus dari CIBE Laboratories di Madrid (Albert et al. 1980). Beberapa tahun kemudian, lovastatin diketahui dihasilkan oleh 17 spesies kapang yang berbeda dari genus Monascus (M. ruber, M. Purpureus, M. Pilosus, M. Vitreus, M. Anka dan M. Pubigerus), Penicillium (P. citricum), Doratomyces, Eupenicillium, Gymnoascus, Hypomyces, Paecilomyces, Phoma, Trichoderma, Pleurotus (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010; Hajjaj et al. 2001; Porcel et al. 2006; Seenivasan et al. 2008).

Berikut ini beberapa hasil penelitian kapang penghasil lovastatin. Pada tahun 1979, Endo mengisolasi lovastatin dari hasil fermentasi Monascus purpureus (Borrios-Gonzalez & Miranda 2010). Hasil seleksi 110 kapang dari kultur koleksi Persian Type Culture Collection Iran menunjukkan bahwa terdapat beberapa kapang penghasil lovastatin dengan produktiviatsnya, seperti: A. terreus (55 mg per L), A. parasiticus (4,5 mg per L), A. fischeri (2,0 mg per L), A. flavus (9,0 mg per L), A. umbrosus (14,1 mg per L), Penicillium funiculosom (19,3 mg per L), Trichoderma viridae (9,0 mg per L),Tricoderma longibrachiatum (1,0 mg per L), dan Acremonium chrysogenum (2,5 mg per L) (Samiee et al. 2003). Penelitian lain menunjukkan bahwa hasil isolasi dan seleksi kapang tanah di India menemukan beberapa kapang penghasil lovastatin, seperti: A. terreus (116,8 mg per L), Monascus sp. (105,7 mg per L), A. niger (4,3 mg per L), A. flavus (5,9 mg per L), Penicillium

purpurogenum (16,9 mg per L), Pleurotus sp. (18,6 mg per L), dan Trichoderma viridae (8,6 mg per L) (Jaivel & Marimuthu 2010) menghasilkan lovastatin. Pada tahun 2011, peneliti dari Mesir mengisolasi dan menyeleksi kapang tanah di Mesir menunjukkan bahwa A. flavus (48,4 mg per L), A. niger (29,9 mg per L), A. oryzae (37,6 mg per L), A. terreus (52,9 mg per L), Biospora sp. (13,0 mg per L), Cylindrocarpon radicicola (7,1 mg per L), Penicillium expansum (6,6 mg per L), Penicillium janthinellum (10,6 mg per L), Penicillium spinulosum (15,8 mg per L), Trichoderma viridae (26,0 mg per L), dan Mycelia sterilia (15,3 mg per L) memproduksi lovastatin (Osman et al. 2011). Isolasi dan seleksi kapang tanah A. terreus menunjukkan bahwa terdapat 5 isolat kapang A. terreus yang memproduksi lovastatin. Isolat A. terreus memproduksi lovastatin bervariasi dari antara 94 mg per L sampai 360 mg per L (Devi et al. 2011). Sampai saat ini, A. terreus merupakan kapang penghasil lovastatin tertinggi, sehingga kapang ini digunakan untuk produksi lovastatin skala industri. APLIKASI LOVASTATIN

Sebagai analog substrat lovastatin berikatan dengan enzim HMG-CoA sehingga menghambat sintesis kolesterol. Lovastatin terbukti menurunkan kadar kolesterol dalam darah sehingga mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner, meningkatkan fungsi endotel, mencegah terbentuknya thrombus, dan mempengaruhi proses inflamasi. Aplikasi lovastatin, diantaranya untuk:

1. Antihiperkolesterolemia

Statin menghambat biosintesis kolesterol, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner berdasarkan uji klinis, epidemiologis, dan patologis. Selain itu, statin mencegah stroke dan mengurangi penyakit vaskular lainnya. Statin dapat menurunkan kadar LDL antara 25 sampai 35%, meningkatkan kadar HDL, mengurangi kadar trigliserida, dan mengurangi resiko terserang jantung antara 25 sampai 30%. Terapi statin berefek mengurangi kadar LDL, plaque, meningkatkan fungsi endotel, dan mencegah terbentuknya trombus. Statin juga

Page 52: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan Lovastatin dan Aplikasinya… Dudi Hardianto

42

menghambat sintesis isoprenoid (fernisilpiro-fosfat dan geranilgeranilpirofosfat) molekul yang berperan dalam interaksi lemak untuk signal molekul intraselular. Selain itu, statin menghambat langsung protein pengikat-GTP (Ras, Rho, Rac, dan Rap). Data terbaru menunjukkan bahwa statin berpengaruh langsung terhadap keseimbangan proliferasi atau apoptosis, menurunkan sitokinin, dan mempengaruhi protein G (Gambar 3) (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010).

2. Pengobatan Kanker

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa statin mengurangi laju penginduksi kanker. Uji AFCAPS/TexCAPS menunjukkan bahwa terjadi pengurangan melanoma baru saat penggunaan lovastatin. Observasi terbaru (2008) menunjukkan bahwa penggunaan statin mengurangi terjadi kanker antara 20-55% (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). Aktivitas lovastatin menurunkan produksi geranil geranil pirofosfat sehingga produksi protein Rho berkurang. Protein Rho A dan atau Rho C berperan dalam terjadinya kanker. Rho C berperan penting untuk terjadinya stimulasi invasi sel kanker dan Rho A berperan dalam perkembangan sel kanker (Demierre et al. 2005).

3. Alzheimer Studi epidemiologis menunjukkan

bahwa statin mengurangi terjadinya penyakit Alzheimer. Penggunaan lovastatin atau pravastatin diperkirakan menurunkan resiko terkena penyakit Alzheimer sampai 70%. Penyakit Alzheimer ditandai dengan terjadinya akumulasi β-amiloid pada ektraselular dan vaskular otak. β-amiloid bersifat racun untuk saraf. Lovastatin menurunkan kadar β-amiloid dalam darah sampai 40% (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). 4. Osteoporosis

Statin berpengaruh pada gangguan tulang seperti osteoporosis. Statin dapat membantu penyembuhan patah tulang dengan mempengaruhi pembentukkan tulang dan densitas mineral tulang. Simvastatin, mevastatin, fluxastatin, dan lovastatin menstimulasi pembentukan tulang (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). 5. Parkinson

Deregulasi metabolisme lemak dapat mempengaruhi sistem saraf karena komponen utama organ ini adalah jaringan adipose. Kadar LDL yang rendah berhubungan langsung dengan penyakit Parkinson. Statin potensial untuk

Gambar 3. Pengaruh statin (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010)

Page 53: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

J Bioteknol Bios Indon Vol 1 No 1 - Thn 2014

43

mempengaruhi penyakit neurogeneratif atau penyakit inflamasi karena menurunkan kadar LDL (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010). 6. Rheumatoid arthritis

Statin mempengaruhi imunomodulator dan bersifat antiinflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa statin memodifikasi fungsi endotel. Data in vivo pada beberapa kejadian inflamasi, penggunaan statin berpengaruh pada imun-modulator dan menghambat perkembangan rheumatoid arthritis (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010).

7. Multiple sclerosis

Hasil uji klinis menunjukkan bahwa statin dapat mengurangi kematian pada penderita multiple sclerosis. Penggunaan simvastatin mengurangi jumlah dan volume kerusakan sel pada penderita Multiple sclerosis, karena statin mempengaruhi imunomodulator (Barrios-Gonzalez & Miranda 2010).

KESIMPULAN

Lovastatin merupakan obat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan juga potensial untuk pengobatan penyakit alzheimer, kanker, osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan rheumatoid arthritis. Produksi lovastatin dilakukan dengan cara fermentasi cair dan sebagai alternatif dapat digunakan fermentasi padat. DAFTAR PUSTAKA Atalla MM, ER Hamed, AR El-Shami (2008)

Optimization of a culture medium for increased mevinolin production by Aspergillus terreus strain. Malay J Microbiol 4(2):6-10.

Barrios-González J & RU Miranda (2010) Biotechnological production and applications of statins. Appl Microbiol

Biotechnol 85(4):869-883.

Bizukojc M, B Pawlowska, L Stanislaw (2007) Supplementation of the cultivation media with B-group vitamins enhances lovastatin biosynthesis by Aspergillus terreus. J Biotechnol 127(2):258-268.

Demierre M, PDR Higgins, SB Gruber, E Hawk, SM Lippman (2005) Statins and cancer prevention. Nat Rev 5(12):930-942.

Devi SK, JV Rao, LM Narasu, K Saikrishna (2011) Isolation and screening of lovastatin producing Aspergillus terreus fungal strains from soil samples. Int J Pharm Technol 3(2):2772-2782.

Emerton D (2006) Patent expiries in the US statin market: Generics to slash market size by 80 per cent over the next ten years. J Generic Med 4(1):74.

Hajjaj H, P Niederberger, P Duboc (2001) Lovastatin biosynthesis by Aspergillus terreus in a chemically defined medium. Appl Environ Microbiol 67(6):2596-2602.

Jaivel N & P Marimuthu (2010) Isolation and screening of lovastatin producing microorganisms. Int J Eng Sci Technol 2(7):2607-2611.

Lai LT, C Hung, C Lo (2007) Effect of lactose and glucose on production of itaconic acid and lovastatin by Aspergillus terreus ATCC 20542. J Biosci Bioeng 104(1):9-13.

Lopez,JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y Chisti (2003) Production of lovastatin by Aspergillus terreus: effect of the C:N ratio and the principal nutrients on growth and metabolite production. Enzyme Microbiol Tehnol 33(2):270 -277.

Lopez JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y Chisti (2004) Fermentation optimization for the production of lovastatin by Aspergillus terreus: use of response surface methodology. J Chem Biotechnol 79(10):1119-1126.

Lopez JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y Chisti (2005) Pellet morphology, culture rheology and lovastatin production in cultures of Aspergillus terreus. J Biotechnol 116(1):61-77.

Manzoni M & M Rollini (2002) Biosynthesis and biotechnological production of statins by filamentous fungi and application of these cholesterol-lowering drugs. Appl. Microbiol. & Biotechnol. 58, 555-564.

Page 54: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Tinjauan Lovastatin dan Aplikasinya… Dudi Hardianto

44

Osman ME, OH Khattab, GM Zaghlol, RM Abd El-Hameed (2011) Screening for the production of cholesterol lowering drugs (lovastatin) by some fungi. Aust J Basic Appl Sci 5(6):698-703.

Porcel EMR, JLC Lopez, MAV Ferron, JAS Perez, JLG Sanchez, Y Chisti (2006) Effects of the sporulation conditions on the lovastatin production by Aspergillus terreus. Bioprocess Biosynt Eng 29(1):1-5.

Porcel EMR, JLC Lopez, JAS Perez, Y Chisti (2008) Lovastatin production by Aspergillus terreus in a two-staged feeding operation. J Chem Technol Biotechnol 83(9):1236-1243.

Samiee SM, N Moazami, S Haghighi, FA Mohseni, S Mirdamadi, MR Bakhtiari (2003) Screening of lovastatin

production by filamentous fungi. Iranian Biom J 7(1):29-33.

Seenivasan A, S Subhagar, R Aravindan, T Viruthagiri (2008) Microbial production and biomedical applications of Lovastatin. Indian J Pharm Sci 70(6):701.

Shindia AA (2001) Some nutritional factors influencing mevinolin production by Aspergillus terreuss strain. Folia Microbiol 46(5):413-416.

Szakacs G, G Morovjan, RP Tengerdy (1998) Production of lovastatin by a wild starin of Aspergillus terreus. Biotechnol Lett 20(4):411-415.

Tobert JA (2003) Lovastatin and beyond: the history of the HMG-CoA reductase inhibitors. Nat Rev Drug Discovery 2(7):517-526.

Page 55: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

45

INDEKS KATA KUNCI

A

active coumpound .................................... 15

Andrographis paniculata ......... 15, 16, 19, 20

andrographolide .......... 15, 16, 17, 18, 19, 20

Antibiotics ...................................... 21, 23, 25

Antibiotik ................................................. 21

antihypercholeterolemia ............................. 38

Aspergillus terreus ............. 38, 40, 41, 43, 44

B

bakteri asam laktat 9, 12, 27, 28, 29, 31, 34,

35, 36

C

Callus ........................................................ 1

characterization ............................... 9, 20, 37

D

dadih ................................................... 9, 11

dedak ................................................ 27, 41

F

fermentasi .. 9, 10, 11, 12, 14, 27, 28, 29, 30,

31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 40, 41, 43

fermentation .................................. 22, 27, 38

fungi and bacteria contaminants ................... 21

H

hormon ........................................... 1, 2, 4, 5

hormone .................................................... 1

HPLC................................ 15, 16, 17, 19, 20

I

IBA and BA ................................................ 1

IBA dan BA ................................. 1, 2, 3, 6, 7

in vitro culture ...................................... 21, 22

indigenous isolate .................................... 27

isolat lokal ........................................... 9, 27

J

Jatropha ............................................ 1, 2, 8

Java island ............................................... 15

K

Kalus ......................................... 1, 2, 5, 6, 7

karakterisasi .............................................. 9

kontaminan jamur dan bakteri .................. 21

kultur in vitro ............................................ 21

L

lactic acid bacteria ................................ 9, 27

Lactobacillus casei .......................... 9, 11, 27

lovastatin ............... 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44

M

media padat dan cair ............. 1, 3, 4, 5, 6, 7

metode sterilisasi ..................................... 21

P

probiotic ............................................... 9, 27

Probiotic ........................................ 9, 14, 27

probiotik ............ 9, 10, 11, 12, 13, 14, 27, 28

Probiotik ...................................... 10, 14, 27

pulau Jawa ........................................ 15, 18

R

rice bran .................................................. 27

S

sago palm ..................................... 21, 22, 26

sagu ............................................ 21, 22, 26

SCFA ..................................... 27, 28, 35, 36

senyawa aktif .................... 13, 15, 16, 17, 39

skimmed milk ........................................... 27

solid and liquid media ................................ 1

Statin ................................. 38, 39, 41, 42, 43

sterilization method ............................... 21, 22

susu skim . 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36

Page 56: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

46

INDEKS PENGARANG

A

Ampu M Resmanto .................................. 27

B

Bambang Marwoto ..................................... 9

D

Dudi Hardianto ................................... 15, 38

E

Efrida Martius ............................................. 9

Elok Zubaidah .......................................... 27

Erryana Martati ........................................ 27

J

Juanda ....................................................... 1

Juwartina Ida Royani ............................... 15

K

Karyanti ................................................ 1, 21

N

Nadirman Haska ......................................21

R

Rofiq Sunaryanto ...................................... 9

S

Sri Wahyuni ..............................................15

T

Tati Sukarnih ............................................21

Teuku Tajuddin .................................... 1, 21

Page 57: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

menyisipkan kotak dengan tinggi 4 cm untuk

penempatan logo Jurnal

JUDUL ARTIKEL DALAM DWI BAHASA (HURUF BESAR,

TEBAL, TENGAH, ARIAL 14, tidak lebih dari 15 kata)

Article Title (Capitalized each word, Arial 12, Center)

Penulis Pertama (Huruf awal kapital, tanpa gelar, center, Arial bold 10)

Apabila nama penulis lebih dari satu maka alamat

korespondensi diberi tanda bintang (*). Alamat Instansi

(tengah, tidak tebal, arial 10)

E-mail: [email protected]

ABSTRACT (Arial Bold 10, 1 cm from left and right margin)

Abstract should be written in Indonesian and English using Arial font, size 10 pt, italic, single

spasing. Abstract should contain background, objective, methods, results, and conclusion

from the research. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in

bahasa Indonesia and 150 words in English. If the article is written in English, the first

abstract is in Bahasa, and vise versa.

Keywords: 5 keywords (Arial 10)

ABSTRAK (Arial Bold 10, 1 cm dari margin kiri dan kanan) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Arial, ukuran 10, italic, spasi tunggal. Abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka abstrak pertama dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.

Kata kunci: 5 kata kunci (Arial 10)

ATURAN UMUM

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 2.5 cm, margin bawah 2,5 cm, margin kiri 2,5 cm dan kanan 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm, ukuran huruf 11 arial. Indent kalimat pertama dalam setiap paragraf adalah 1 cm. Panjang naskah maksimal 8 halaman, termasuk lampiran. Jarak antar baris dan antar paragraf adalah satu spasi tunggal.

Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:

PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIM-PULAN. Subjudul ditulis dengan huruf kapital. UCAPAN TERIMA KASIH (jika ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (jika ada) ditulis berurutan setelah kesimpulan dan di awal kata tidak diberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasa Inggris sebagai berikut: INTRODUCTION, MATERIALS AND METHODS, RESULTS AND DISCUSSION, CONCLUSION. ACKNOWLEDGEMENT (jika ada), REFERENCES dan APPENDIX

Page 58: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

(jika ada) ditulis berurutan setelah Conclusion. Sub-subjudul (jika ada) ditulis tanpa penomoran, dengan huruf kapital di awal setiap kata, bold, indent 1 cm.

Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu bisa ditulis kata singkatnya.

PENDAHULUAN (ARIAL 11, HURUF KAPITAL, BOLD)

Pendahuluan mencakup hal -hal

berikut ini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis (jika ada).

BAHAN DAN METODE (ARIAL 11, HURUF KAPITAL, BOLD)

Bahan (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Alat dan bahan yang dipakai dalam

penelitian harus ditulis dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis.

Metode (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Demikian juga dengan metode

penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN (ARIAL 11 BOLD, HURUF KAPITAL)

Hasil dan pembahasan hanya berisi

hasil penelitian yang relevan dengan tema kajian. Tabel hanya menggunakan garis horizontal, ditulis dengan arial ukuran 9 dan berjarak satu spasi dari judul tabel. Judul tabel ditulis dengan arial ukuran 9 dan ditempatkan di atas tabel. Kata tabel dan Tabel 1. Hasil etanol pada percobaan dan perkiraan

pada keadaan optimum

Variabel Nilai

Optimum

Hasil Etanol Optimum (g/L)

Percobaan Perkiraan

Sugar (g/L) 206,01

Urea (g/L) 3,16 58,97 59,77

Inokulum (%v/v)

23,05

Gambar 1. Bioasay Transforman U dan W Penicilin A. Nidulans G191 dan pXBG1. Baris bawah diperlukan dengan penicilinase.

nomor tabel ditulis bold. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1,2,…..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah.

Gambar diletakkan setelah disebutkan dalam naskah, gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman dan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab (1,2,…..).

Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf arial berukuran 9, dile-takkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Kata gambar dan nomor gambar ditulis bold. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Grafik ditampilkan dengan cara penyajian yang sederhana tanpa warna latar atau garis.

KESIMPULAN

Kesimpulan bisa berupa kesimpulan

khusus dan kesimpulan umum. Kesimpulan

khusus merupakan hasil analisa data atau

hasil uji hipotesa tentang fenomena yang

diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil

generalisasi atau keterkaitan dengan

publikasi terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Penulisan daftar pustaka sesuai dengan urutan pengutipannya dalam

Page 59: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

Gambar 2. Internal temperature and pH of fermented

GSP at optimized conditions for 7 days (top); Amylase, FPase and CMCase activities in fermented GSP at different source of nitrogen, 55 ml liquid/50 gm substrate moisture, 30 °C incubation temperature and initial pH of 6.0 (bottom).

naskah dibuat sejajar dalam dua kolom. Jumlah sumber acuan dalam satu tulisan paling sedikit sepuluh sumber acuan, dengan 80% merupakan sumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji.

Sumber acuan primer dapat berupa:

tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal

internasional maupun nasional terakreditasi,

hasil penelitian di dalam disertasi, tesis,

maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk

dalam sumber acuan sekunder. Format

daftar pustaka yang digunakan mengacu

pada model APA yang dikembangkan oleh

American Psychological Association, seperti

contoh berikut ini:

Jurnal Andrews JM (2001) Determination of minimum

inhibitory concentration. J Antimicrob Chemother 48 (suppl.1): 5-16.

Guo Q, G Daosen, B Zhao, J Xu, R Li (2007) Two cyclic dipeptides from Pseudomonas Fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro. J Nematol 39(3):243-247.

Salehizadeh H & SA Shojaosadati (2003) Removal of metal ions from aqueous solution by polysaccharide produced from Bacillus firmus. Water Res 37(17):4231-4235.

Buku Moore-Landecker E (1990) Fundamentals of

the Fungsi. Ed. Ke-3 Prentice Hall, Inc., New Jersey

Bab dalam buku: Weiss R (1984) Experimental biology and

assay of RNA tumor viruses, hlm. 209-260. Di dalam: R Weiss, N. Teich, H. Varmus & J. Coffin (ed.), RNA Tumor Viruses, vol. 1. Cold Spring Harbor La-boratory. Cold Spring Harbor, New York.

Prosiding: Raffiudin R, D Nandika, M Amir, N Si

(1991) Populasi flagelata pada usus rayap Coptotermes curvignatus Holmgren dengan Pemberian pakan tiga jenis kayu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional: Biologi Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan, dan Lingkungan11: 482-487.

Artikel dari internet:

WHO (World Health Organization) (2009) Dengue and dengue haemorrhagic fever. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/index.html, diakses 6 Mei 2014.

ALAMAT PENGIRIMAN NASKAH Redaksi JBBI

Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT

Gedung 630 – Kawasan Puspiptek, Setu,

Tangerang Selatan, Banten, 15314

E-mail: [email protected]

Page 60: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi
Page 61: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi

BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI CENTER FOR BIOTECHNOLOGY ASSESMENT

PELAYANAN TEKNIS PENGUJIAN DAN JASA

Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT

Center for Biotechnology Assessment - BPPT

HPLC-MS (Liquid Chromatography – Mass Spectrometry ) LC -MS untuk analisa senyawa berdasarkan berat molekul. Sampel harus larut dalam air/ metanol / acetonitril. Sampel

harus berupa senyawa (bukan elemen) dengan berat molekul lebih besar dari 100 dalton. Sampel murni hanya 1

senyawa dapat langsung dianalisa dengan LC MS dengan direct infusion tanpa melalui HPLC. Untuk sample campuran/

ekstrak harus dianalisa melalui HPLC dan keberhasilan analisa ditentukan oleh pemisahan senyawa menggunakan

HPLC. LC-MS juga dapat menganalisa asam amino esensial, vitamin dan lain-lain.

Spektrofotometri, Gravimetri dan Analisa Proksimat SNI • Karbon-organik, kalsium, fosfor, magnesium, besi, klorida, nitrat, nitrit, sulfat,

gula pereduksi dan gula total.

• neutral detergent fibre (NDF), acid detergent fibre (ADF) dan lignin, selulosa, hemiselulosa.

• Kadar air, abu total, bobot jenis, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar.

Biologi Molekuler (16s rRNA, 28s rRNA, ITS dan GMO serta SDS-page) • Sequensing DNA, identifikasi bakteri, jamur dan yeast secara molekuler.

• Deteksi Genetically Modified Organism (GMO) .

• Amplifikasi DNA, PCR (Ploymerase Chain Reaction) dan SDS Page.

• Transformasi pada Escherichia coli.

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Bahan pengawet kuantitatif (asam benzoat, boraks, asam salisilat), pemanis buatan kuantitatif (sakarin, siklamat,

aspartam), pewarna makanan kuantitatif, antibiotik (penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siklosporin, sepalosporin, statin

(lovastatin, simvastatin), vitamin ( B12, C), pola fitokimia, alkohol, metanol, etanol, asam lemak, asam linoleat, asam oleat,

asam arachidonat, glukosa, manosa, ramnosa, hormon (IAA, IBA, adenin, hemisulfat, kinetin, zeatin), dan lain-lain.

Praktikum dan Pelatihan Bioteknologi • Dasar-dasar mikrobiologi dan pengujian mikrobiologi.

• Kultur jaringan tanaman in vitro dan kultur ex vitro.

• Dasar-dasar teknologi gen/DNA dan identifikasi secara molekuler.

• Teknologi fermentasi dan proses hilir.

Kontak Person:

Bioteknologi Industri : Dr. Edi Marwanta, M.Eng (0858 838 16566)

Bioteknologi Pertanian : Ahmad Riady, M.Si (0815 808 8442)

Kerjasama : Danang Waluyo, M.Eng (0858 143 55173)

Jasa Pengujian : Imron Rosidi (0856 745 1933)

Produksi Bibit Tanaman dan Pupuk Hayati • Bibit tanaman kehutanan, perkebunan, hortikultura, tanaman hias dan angrek.

• Pupuk hayati (mikoriza, penambat nitrogen, penghasil zat tumbuh dan pelarut fosfat).

• Pakan dan suplemen pakan ternak ruminansia, unggas dan ikan.

• Dekomposer.

CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY ASSESSMENT

Mikrobiologi (Cemaran Mikroba Makanan dan Minuman) • Uji Escherichia coli, coliform, Salmonella sp., Clostridium perfringens, enterococci,

Staphylicoccus aureus, Vibrio cholerae

• Uji angka lempeng total, uji kapang dan khamir.

• Uji zona bening.

• Uji efektivitas sanitizer, sabun dan toiletries lainnya.

• Uji mikrobiologi lainnya

Page 62: Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi ...jbbindonesia.weebly.com/uploads/3/1/5/7/31570891/jbbi-dec-2014.pdf · Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi