kebijakan inovasi di industri - badan pengkajian dan...
TRANSCRIPT
kebijakan inovasi di industri
KEBIJAKAN INOVASI
DI INDUSTRI
Penyunting:
Kuncoro B. Prayitno
Rusdy Taufiq
Manifas Zubair
Penerbit:
Kebijakan Inovasi di Industri
ISBN: 978-602-1124-30-7
Cetakan Pertama: 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang/ (c) All rights reserved.
dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun, termasuk
memfotokopi, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari penerbit
Diterbitkan oleh:
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44
Tentang Hak Cipta
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kebijakan Inovasi
di Industri
Penyunting:
Kuncoro B. Prayitno Peneliti Madya Bidang Kebijakan Sains dan Teknologi
Rusdy Taufiq Perencana Madya
Manifas Zubair Perekayasa Madya
Diterbitkan oleh::
BPPT Press
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Anggota IKAPI No. 476/DKI/III/2013
Kebijakan Inovasi di Industri Penyunting: Kuncoro B. Prayitno, Rusdy Taufiq, Manifas Zubair
Hak Cipta (C) 2014
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang/ (c) All rights reserved.
dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun, termasuk memfotokopi, merekam
atau dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari penerbit
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Kebijakan Inovasi di Industri/ Penyunting Kuncoro B. Prayitno, Rusdy Taufiq, Manifas Zubair –
Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014
Memuat 11 makalah hasil penelitian
xiv+166 hlm; 17x25 cm
ISBN 978-602-1124-30-7
1. Kebijakan Inovasi I. Kuncoro B. Prayitno II. Rusdy Taufiq
III. Manifas Zubair
338.02
Diterbitkan oleh:
BPPT Press
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Anggota IKAPI No. 476/DKI/III/2013
Gedung BPPT II Lantai 4
Jalan MH. Thamrin No.8, Jakarta 10340
Tel. +62 21-3169091 – 021-31696067
Fax. +62 21-3101802
E-mail : [email protected]
E-mail. [email protected]
Atau
Gedung Teknologi 3 BPPT, Lantai 2
Kawasan Puspiptek Serpong
Tangerang Selatan 15314
Telp. +62 21-75791260, 75791262-63, ext. 232
Fax. +62 21 75791281
E-mail. [email protected]
Website. www.bppt.go.id
Edisi Pertama November 2014
Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan
EDITOR DAN KONTRIBUTOR TULISAN
KUNCORO BUDY PRAYITNO, lahir di Jatibarang (Indramayu). Menamatkan pendidikan S1
(Kimia) pada tahun 1985 di FMIPA, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan S2
(Kimia) diselesaikan tahun 1998 di Universitas Indonesia Jakarta. Masuk BPPT sejak tahun
1986. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi
Teknologi, BPPT.
RUSDY TAUFIQ, lahir di Jakarta. Menamatkan pendidikan S1 Teknik Mesin dari Universitas
Trisakti Jakarta. Mengikuti Research Fellow dari Department of Environmental and Sanitary
Engineering, Kyoto University. Pernah menjadi Anggota Tim Teknis Adipura dari tahun 1989
– 1994, Studi Sampah dan Sanitasi dan Penataan Lingkungan di DKI Jakarta. Koordinator
Tim Pembangunan Sistem Inovasi Daerah Kabupaten Blitar, Kajian Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Pembangunan Jembatan Mahakam Ulu, dan Kajian Penyusunan
Kebijakan dan Strategi Pemacuan IPTEK pada UKM Peralatan dan Mesin Pertanian. Saat ini
sebagai Perencana Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, BPPT.
MANIFAS ZUBAIR. Lahir di Pekalongan. Memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang tahun 1993. Bekerja sebagai
Perekayasa pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak 1994, dengan Jabatan
Fungsional Perekayasa Madya. Melakukan kegiatan perekayasaan di bidang kebijakan dan
memimpin kegiatan kerekayasaan seperti Pengkajian Kebijakan Industri Berbasis Kelapa
Sawit, Pengkajian Kebijakan Sistem Inovasi Pangan, Kebijakan Akuisisi dan Pembelajaran
Teknologi di Sektor Energi, Pengkajian Kebijakan Produk Pangan Berbasis Jagung dan
Perumusan Kebijakan Pupuk Berimbang.
A. HUSNI Y. ROSADI. Lahir di Garut. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik dari
Jurusan Teknik Fisika ITB (1993), Magister Manajemen dengan konsentrasi Manajemen
Keuangan dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM (1998) serta Doktor di bidang Teknologi
Industri Pertanian (Manajemen Agroindustri) pada Sekolah Pascasarjana IPB (2006). Selain
menduduki jabatan Peneliti Madya bidang Kebijakan Industri di Pusat Pengkajian Kebijakan
Difusi Teknologi, juga menjadi Dosen Manajemen pada Program Pascasarjana Universitas
Islam Jakarta. Bidang penelitian yang digeluti diantaranya adalah daya saing industri,
kebijakan inovasi dan industri, manajemen strategi, serta strategi sumberdaya manusia.
DYAN VIDYATMOKO. Lahir di Malang. Menyelesaikan Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian
dari IPB (1983), Postgraduate Diploma bidang Ekonomi Pertanian (1990) dan Master of
Science bidang Ekonomi Pertanian (1991)dari the University of Reading, Inggris. Selain itu
pernah mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri seperti Science and
Technology Policy Training Program (STEPI – Korea Selatan), Capacity Enhancment for
Technology Policy Assessment and Management (CETPAM – Jakarta), dan lainnya.Selain
menjabat Peneliti Madya, juga pernah memegang jabatan struktural, yaitu Direktur Pusat
Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi Urusan Penyelarasan
Dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Kementerian Negara Riset dan
Teknologi. Sejak tahun 1999 menjadi Koordinator Dewan Penyunting Bidang Pertanian dan
Agroindustri, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI).
FATHONI MOEHTADI. Memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Ilmu Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (1980). Memperoleh
gelar Master of Public Administration dari University of Southern California, Los Angeles,
California, USA (1989). Gelar Doktor Bidang Manajemen Pendidikan diperoleh dari
Universitas Negeri Jakarta (2008). Bekerja sebagai Peneliti pada Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi sejak 1981-2000. Diperbantukan pada Kementerian Riset dan
Teknologi dari 2000-2011. Pada kurun waktu tersebut, yang bersangkutan menjabat
Asisten Deputi Pemberdayaan SDM Iptek (2003-2010) dan Asisten Deputi Sarana dan
Prasarana Iptek (2010-2011). Diperbantukan pada Dewan Riset Nasional (DRN) dan
mengelola Buletin Dewan Riset Nasional (1990-1994), Majalah Ilmiah Analisis Sistem (BPPT),
(1994-2005) dan Jurnal Dinamika Masyarakat (Kementerian Riset dan Teknologi (2003-
2010). Diperbantukan pada Komite Inovasi Nasional (KIN) sejak 2010-sekarang. Aktif
menulis di berbagai jurnal, buku dan media massa. Kini menjadi Peneliti Utama Bidang
Kebijakan Publik dan Administrasi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak
2011-sekarang.
M. ANSORUDIN SIDIK, lahir di Blitar. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Ilmu
Administrasi Negara, Universitas Indonesia, tahun 1980. Masuk BPPT sejak tahun 1982. Saat
ini bekerja sebagai Peneliti Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi,
BPPT.
PUDJI HASTUTI..Lahir di Bogor. Menyelesaikan Sarjana Ekonomi dari UI (1995). Saat ini
bekerja sebagai peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT. Bidang
peneltian yang ditekuni adalah manajemen dan kemampuan teknologi.
PUGUH SUHARSO, lahir di Tuban. Lulus Sarjana Matematika dari Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) tahun 1979. Bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) sejak tahun 1979, terlibat di berbagai kegiatan internal maupun
eksternal/antar lembaga. Karya Ilmiah berupa penelitian dan terbit di beberapa Jurnal di
Dalam Negeri. Jabatan Fungsional sebagai Peneliti Madya (IV-c) pada Pusat Pengkajian
Kebijakan Difusi Teknologi. Buku yang diterbitkan antara lain: 1) Tahun 2007, Metoda
Penelitian Kuantitatif Untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis, PT Indeks, Jakarta; 2)
Tahun 2010, Metoda Analisis Kuantitatif TEV, PT Indeks, Jakarta; 3) Tahun 2010, Matematik
Terapan Untuk Bisnis, PT Indeks, Jakarta; 4) Tahun 2013 Manajemen Pengambil Keputusan,
PT Indeks, Jakarta.
WARSENO, lahir di Nganjuk. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas
Jember (Jawa Timur) tahun 1989, jurusan Hukum Tata Negara. Saat ini bekerja sebagai
Peneliti Madya bidang kebijakan public di Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi
(PPKDT), BPPT, Jakarta. Selain itu, juga aktif menulis dalam berbagai majalah, jurnal, dan
kontribusi tulisan untuk beberapa buku.
KATA PENGANTAR
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di berbagai kawasan Asia, seperti Korea
Selatan, Tiongkok, Singapura bahkan Thailand tidak dapat dilepaskan dari
penerapan kebijakan Sistem Inovasi dalam program pembangunan mereka.
Program nasional di sektor ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian dan inovasi
memainkan peran penting untuk mempercepat pembangunan. Sistem Inovasi
selain mendorong setiap pelaku pembangunan untuk bekerja dalam kondisi paling
optimal, juga mampu memperkuat daya dukung iptek/ litbangyasa serta menjalin
hubungan yang sinergis dan mendorong terjadinya aliran pengetahuan dan
inovasi dari setiap komponennya.
Buku Kebijakan Inovasi di Industri ini mengupas berbagai hasil penelitian
Sistem Inovasi dan komponen penyusunnya di beberapa daerah dan sektor
ekonomi di Indonesia. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama berisi
tentang Sistem Inovasi di Industri, diawali dengan penerapan sistem inovasi di
Tiongkok dan Thailand, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan inovasi dan faktor
yang mempengaruhi inovasi di industri kelapa sawit dan makanan. Bagian Kedua
memuat tentang Model Inovasi dan Bisnis, memuat mengenai model kebijakan
pengembangan jaringan inovasi, model kesiapan pemerintah dalam
pengembangan wilayah dan model pengelolaan kawasan. Bagian Ketiga memuat
Kebijakan dan Dampak Pengembangan Inovasi, yang memuat makalah mengenai
pengembangan klaster industri, aplikasi teknometer, pengaruh lingkungan
ekonomi dan bisnis, serta dampak teknologi dalam pembangunan sosial ekonomi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terbitnya buku ini. Kami berharap semoga buku ini dapat menjadi
referensi dalam pengembangan jaringan inovasi dan menjadi bahan dalam
penerapan kebijakan sistem inovasi.
Jakarta, November 2014
Tim Penyunting
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xi
BAGIAN I. SISTEM INOVASI DI INDUSTRI
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 1
Fathoni Moehtadi
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 15
Manifas Zubair
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 27
A. Husni Y. Rosadi
Faktor yang Memengaruhi Inovasi di Industri Makanan : Kerangka
Teoritis
49
Dyan Vidyatmoko dan Pudji Hastuti
BAGIAN II : MODEL INOVASI DAN BISNIS
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 71
A. Husni Y. Rosadi
Model untuk Menilai Kesiapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
Pengembangan Wilayah Berbasis Dunia Usaha
85
Puguh Suharso
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 99
Warseno
BAGIAN III : KEBIJAKAN DAN DAMPAK PENGEMBANGAN INOVASI
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos di Kabupaten Blitar 115
M. Ansorudin Sidik
Kebijakan Aplikasi Tekno-Meter untuk Mendukung Teknopolitan Kota
Pekalongan
129
Kuncoro B. Prayitno
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis Terhadap Industri Kelapa Sawit
Indonesia
141
Dyan Vidyatmoko dan Rusdy Taufiq
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan
Sosial Ekonomi di Indonesia
155
M. Ansorudin Sidik
SISTEM INOVASI NASIONAL DI
TIONGKOK
Fathoni Moehtadi
ABSTRACT In the last decade, China’s economic development has progressed rapidly. National
programs in science, technology, research and innovation sectors play a significant
role in accelerating the national progress and establish China as a modern country. In
each year, international institutions with innovation indicators have put China at the
higher rank. The innovation actors who involved in national programs suggest that
the design of national programs has attracted millions of young people thus they
would participate and involve in enormous projects which making China even more
prominent and sophisticated due to its technology, research and innovation.
Keyword: economic development, national programs, science, technology, research and innovation
sectors, innovation indicators
ABSTRAK Dalam dekade terakhir, pembangunan ekonomi Tiongkok telah berkembang pesat.
Program nasional di sektor ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian dan inovasi
memainkan peran penting dalam mempercepat kemajuan nasional dan membangun
Tiongkok sebagai negara modern. Dalam setiap tahun, lembaga-lembaga indikator
inovasi internasional telah menempatkan Tiongkok di peringkat yang lebih tinggi.
Para aktor inovasi yang terlibat dalam program nasional menunjukkan bahwa desain
program nasional telah menarik jutaan orang muda sehingga mereka akan
berpartisipasi dan terlibat dalam proyek-proyek besar yang membuat Tiongkok
bahkan lebih menonjol dan canggih karena teknologi, penelitian dan inovasi.
Kata kunci: pembangunan ekonomi, program nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, sektor
penelitian dan inovasi, indikator inovasi
PENDAHULUAN
Tiongkok telah menjadi suatu bangsa pendatang baru yang paling penting di
antara bangsa-bangsa yang inovatif, bukan hanya karena ukuran geografis dan
penduduknya yang raksasa, melainkan juga karena program-program ilmu
pengetahuan, teknologi, riset dan inovasinya yang sangat berambisi mempercepat
proses modernisasi melalui peniruan (imitations) dan inovasi. Pada tahun 2000
2 Kebijakan Inovasi di Industri
menurut pemeringkatan Innovation Indicator (2011) Tiongkok berada pada
peringkat 24. Pada tahun 2005, peringkatnya naik menjadi 23. Pada tahun 2010,
peringkat Tiongkok naik menjadi 21. Ini merupakan buah karya selama dekade
terakhir pembangunan Tiongkok yang tidak kenal lelah.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Tiongkok menginvestasikan secara besar-
besaran anggaran dalam bidang pendidikan, riset dan sains. Dibutuhkan waktu
sembilan hingga dua belas tahun sebelum investasi ini tercerminkan dalam
keluaran tingginya publikasi, paten, dan ekspor barang-barang berteknologi tinggi.
Tiongkok akan meningkat kinerja inovasinya dalam tahun-tahun yang akan
datang.
TUJUAN DAN METODOLOGI Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk dua hal berikut:
(1) Mengidentifikasi para pelaku dan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan untuk
membangun sistem inovasi; dan
(2) Menganalisis bagaimana interaksi dan interelasi para pelaku dan bagaimana
sinergi antara para pelaku tersebut dalam membangun sistem inovasi di
Tiongkok.
Metodologi
Kajian ini dilakukan dengan metodologi sebagai berikut:
(1) Kajian pustaka dengan memfokuskan diri pada teori sistem inovasi nasional,
para pelaku dan perannya dalam membangun sistem inovasi; dan
(2) Tinjauan lapangan dengan melakukan kunjungan ke Tiongkok pada para
pelaku langsung dan institusi-institusi pendukung yang memungkinkan
terbangunnya sistem inovasi nasional. Selama kunjungan dilakukan pencarian
data dengan sebagai berikut:
(a) wawancara dengan para pelaku inovasi baik yang mewakili kelembagaan
maupun perorangan; dan
(b) mendapatkan data sekunder tentang peran, fungsi dan strategi yang
ditempuh di dalam membangun sistem inovasi.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pengertian Sistem Inovasi Nasional (SIN)
Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi mengingatkan bahwa untuk
menjelaskan inovasi, dibutuhkan suatu teori baru tentang penciptaan pengetahuan
organisasi. Tonggak dari epistemologi merupakan pembedaan antara
pengetahuan tacit dan eksplisit, kunci dari penciptaan pengetahuan terletak di
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 3
dalam mobilisasi dan pengubahan (conversion) dari pengetahuan tacit (Nonaka
and Takeuchi. 1995). Sedangkan Bruce D. Merrifield menegaskan bahwa tiga
tahapan di dalam proses inovasi adalah penemuan (invention), penerjemahan
(translation) dan komersialisasi (commercialization). (Merrifield. 1986).
Lundvall (1992) berpendapat bahwa sistem inovasi merupakan elemen dan
hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan
menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi. Suatu
sistem nasional yang mencakup elemen-elemen dan hubunganhubungan
bertempat atau berakar di dalam suatu batas negara. Pada bagian lain ia juga
menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial di mana
pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi
(exploring) merupakan aktivitas sentral, yang melibatkan interaksi antara
orang/masyarakat dan reproduksi dari pengetahuanindividual ataupun kolektif
melalui pengingatan (remembering).
Terdapat 5 (lima) fokus perhatian diberikan pada bahasan sistem inovasi,
yaitu: (1) Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi.
Ini berkaitan dengan berikut: (a) Tingkat analisis: mikro, meso dan makro; (b) Aspek
teritorial dan/atau administratif: sistem inovasi pada tataran supranasional
(beberapa negara), nasional, dan sub-nasional (atau daerah); (c) Aspek bidang atau
sektor: sistem inovasi sektoral dan klasterisasi; dan (d) Basis aktivitas utama: sistem
iptek (litbang) dan sistem produksi; (2) Aktor dan/atau lembaga yang relevan
dengan perkembangan inovasi (dan difusinya); (3) Kelembagaan, keterkaitan dan
interaksi antarpihak yang memengaruhi inovasi dan difusinya; (4) Fungsionalitas,
yaitu menyangkut fungsi-fungsi utama sistem inovasi (dari elemen, interaksi dan
proses inovasi dan difusi). Terkait dengan ini adalah isu proses pembelajaran yeng
terjadi dalam sistem; (5) Aktivitas, yaitu menyangkut proses atau tindakan penting
dari proses inovasi dan difusi.
Sistem Inovasi merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor,
kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang
memengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusi beserta
proses pembelajarannya. Dalam mengembangkan sistem inovasi, disadari bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan bagian integral yang sangat
penting.
Pelaku Sistem Inovasi Nasional (SIN)
Pelaku utama dari sistem inovasi nasional adalah pelaku riset dan
pengembangan yang melahirkan invensi. Ini bisa individu/kelompok kreatif,
perguruan tinggi, organisasi litbang dan entrepreneur/industri/entitas usaha yang
melakukan off taking atau mengambil alih invensi dan membawanya pada
kegiatan ekonomi. Faktor pendukung terdiri dari pemerintah, lembaga atau pasar
finansial/ventura (pendanaan), pengguna (end user), bridging institution, organisasi
4 Kebijakan Inovasi di Industri
yang berperan sebagai ‘intermediaries' untuk mempromosikan inovasi/invensi dan
perencanaan usaha, seperti lembaga pengelola inovasi/HaKI/paten, Business
Development Service (BDS), maupun organisasi lain yang memudahkan inovasi dan
invensi diimplementasikan. Pihak ini dapat berupa kantor paten, lembaga
standarisasi dan sertifikasi.
ANALISIS PELAKU DAN KEBIJAKAN SISTEM INOVASI DI TIONGKOK
Terdapat begitu banyak lembaga yang berperan pada terbangunnya sistem
inovasi nasional pada masing-masing negara. Namun, dalam tulisan ini hanya akan
dibatasi beberapa di antaranya, mengingat keterbatasan waktu selama kunjungan.
Meskipun demikian, Indonesia dapat belajar dari keberhasilan negara-negara
tersebut di dalam merangsang masyarakat untuk menghargai ilmu pengetahuan
dan teknologi umumnya, dan kreativitas dan inovasi khususnya yang telah
membangkitkan negara-negara tersebut menjadi negara-negara yang terkemuka
dalam jajaran negara-negara di dunia, terutama dalam mengangkat tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.
Pelaku-pelaku dan Kebijakan-kebijakan dalam Sistem Inovasi di Tiongkok
Tiongkok merupakan Negara Kesatuan dengan bentuk pemerintahan
Republik. Dengan luas wilayah 9.564.500 km2 atau 3.692.000 mil2, menjadikan
Negara terluas ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada. Tiongkok berpenduduk
1.314,48 milyar jiwa (Biro Statistik Nasional, 2007). Pemerintahan terdiri dari 23
provinsi, 5 daerah otonomi berpenduduk etnis minoritas, 4 kota setingkat provinsi,
2 daerah administrasi khusus. Tiongkok menjadi salah satu raksasa dunia dan
diakui menjadi semakin penting dalam percaturan internasional. Pertumbuhan
ekonomi sebesar 10,3% (2010) dan mengukuhkan sebagai Negara pengekspor dan
pemilik cadangan devisa terbesar di dunia senilai US$ 2,85 trilyun.
1. Chinese Academy of Science (CAS), The Institute of Policy and
Management/Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, Institut Kebijakan
dan Manajemen
Didirikan pada tahun 1985, Institute of Policy and Management, the
Chinese Academy of Sciences (CAS) (Institut Kebijakan dan Manajemen,
IKM), Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, AIPC) memusatkan pada
riset untuk strategi pembangunan, pembangunan dan kebijakan
reformasi, administrasi negara, manajemen iptek, dan teori-teori dan
metodologi-metodologi dari disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan.
Sedangkan AIPC didirikan pada tahun 1949 untuk mengelola iptek di Tiongkok.
Saat itu Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) (Ministry of
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 5
Research and Technology, MoST) belum ada. Pada tahun 1956 terbentuk
beberapa Committee.
Terdapat 5 (lima) divisi spesialisasi riset antara lain kebijakan Iptek, Manajemen
sains dan rekayasa, keberlanjutan pembangunan sosial-ekonomi, manajemen
dan evaluasi iptek, serta kebijakan inovasi dan entrepreneurship. IKM-AIPC juga
melatih generasi muda berbakat untuk jenjang Magister dalam program ilmu
ekonomi teknik dan manajemen dan Doktor serta Post-Doctoral dalam
program manajemen sains dan rekayasa. Sumber daya manusia IKM-AIPC
terdiri dari 32% Associate Research Profesor, 30% pejabat menengah periset
profesional, 21% profesor riset dan 17% posisi lainnya. Rata-rata usia staf IKM-
AIPC adalah 39 Tahun. Para periset profesional ini melaksanakan sejumlah
proyek riset dan konsultansi yang sumber dananya berasal dari beragam
institusi Pemerintah, termasuk institusi National Development and Reform
Commission, dan Kementerian Iptek, serta internal AIPC. Hasil penelitian IKM-
AIPC berupa rekomendasi kebijakan iptek untuk kepentingan pengambilan
kebijakan Pemerintah pusat dan masyarakat luas.
Kini terdapat 13 cabang kantor AIPC yang masing-masing bertanggung jawab
untuk berkomunikasi dengan pemerintah daerah, perusahaan maupun
universitas setempat. Sumber dana AIPC sangat terbatas. Dana diperoleh dari
pemerintah hanya 30%, selebihnya dari kontrak riset dan kompetisi dalam
melakukan berbagai riset, konsultasi dan sebagainya. Sejak didirikan, institut
telah memperoleh 6 penghargaan dari National Awards for S&T Progress dan
32 penghargaan dari kementerian dan provinsi. Institut aktif dalam
memberikan layanan konsultatif tingkat tinggi pada pemerintah pusat, AIPC,
pemerintah daerah dan perusahaan, menghasilkan publikasi rekomendasi
matang sebagai Report on High-tech Development, Repot on China’s
Sustainable Development, Report on China’s Innovation and Development,
Report on China’s Energy Sources, and Technology Foresight of China toward
2020.
2. Ministry of Science and Technology (MoST)/ Kementerian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi/Iptek)
Ministry of Science and Technology (MoST) /Kementerian Iptek) dibentuk
setelah berdirinya Chinese Academy of Sciences (CAS)/ Akademi Ilmu
Pengetahuan Tiongkok (AIPC). Kementerian Iptek terdiri atas tujuh
departemen, memiliki tugas utama dalam tiga hal. Pertama, menentukan arah
kebijakan iptek nasional Tiongkok. Kedua, mengelola seluruh dana litbang
Pemerintah (R&D Budget management). Dan ketiga, membuat peraturan
perundang-undangan yang menyangkut kegiatan iptek nasional Tiongkok.
Dalam menjalankan fungsinya di seluruh wilayah Tiongkok, Kementerian Iptek
menjalin kerja sama erat dengan Pemerintah Daerah. Sebagai contoh,
6 Kebijakan Inovasi di Industri
Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk mengeluarkan sertifikasi bagi para
tenaga teknis, serta melakukan evaluasi terhadap luaran yang diperoleh dari
riset-riset yang telah dilakukan dengan dana dari pusat. Kementerian Iptek dan
Pemerintah Daerah juga bekerja sama dalam hal pertukaran informasi baik
antardaerah maupun internasional.
Kementerian Iptek juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung
terjadinya sinergi antara swasta, universitas dan lembaga-lembaga penelitian;
mempromosikan aplikasi dan mendemonstrasikan penemuan ilmiah dan
invensi teknologi kepada pihak swasta dan masyarakat serta meningkatkan
kapasitas inovasi dari para pihak swasta. Selain itu, Kementerian Iptek juga
menyusun draft perencanaan dan kebijakan untuk mempopulerkan ilmu
pengetahuan, pasar teknologi dan S&T intermediaries. Kementerian Iptek juga
bertanggung jawab untuk mengeluarkan standardisasi secara confidential dan
mengelola pengkajian iptek dan statistik. Kementerian Iptek membangun
Sistem Inovasi Nasional berkoordinasi dengan Kementerian Informasi,
Kementerian Industri dan AIPC. Juga berkoordinasi dengan Asosiasi Iptek,
National Natural Science. Investasi iptek telah meningkatkan industri dengan
kontribusi 70%. Sedangkan riset-riset dasar dilakukan oleh AIPC. Industri akan
menekankan pada riset-riset terapan. Kini ekonomi Tiongkok telah mengubah
orientasi R&D untuk pasar. Ini semua ditempuh dalam rangka pencapaian
sebesar-besarnya keuntungan publik. Dalam kaitan Sistem Inovasi Nasional,
kementerian mendorong industri sebagai tulang punggung perekonomian
nasional. Ini ditempuh dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan iptek yang
mendukung dan menciptakan lingkungan yang kondusif.
3. Zhongguancun Science Park (Z-Park): “National Innovation
Demonstration Zone”
Z-Park adalah pusat iptek pertama di Tiongkok dan paling besar. Di sini
bermulanya inovasi-inovasi teknologi tinggi. Z-Park merupakan kawasan bagi
pengembangan entrepreneurship dan investasi dengan teknologi tinggi
Tiongkok. Z-Park merupakan kawasan penelitian ternama dari suatu sistem
reformasi ekonomi, iptek dan pendidikan yang terintegrasi. Z-Park menjadi
suatu lahan untuk pembibitan dan pengumpulan bakat-bakat dengan kualitas
tinggi. Z-Park didukung oleh banyak universitas yang tersebar di satu kawasan,
dengan yang lebih dominan di antara yang lain adalah Peking University dan
Tsinghua University.
Tujuan strategis Z-Park adalah menjadi pusat inovasi teknologi dengan
pengaruh dunia. Ini dilakukan dengan mempercepat dan mengumpulkan
bakat-bakat inovatif yang luar biasa, khususnya pemimpin-pemimpin
pemerintahan, melakukan riset dan pengembangan serta memperkenalkan
dan mentransfer sejumlah pencapaian iptek maju secara internasional;
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 7
mengembangkan dalam jumlah lebih besar dan lebih kuat perusahaan-
perusahaan yang mempunyai pengaruh global, serta menanamkan cikal bakal
merk-merk yang terkenal secara internasional.
Fungsi strategis Z-Park dapat dirumuskan dalam tiga (3) hal. Pertama
merupakan asal muasal dari inovasi teknologi tinggi Tiongkok: “zona hot spot
bagi pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship) dan investasi teknologi
tinggi Tiongkok”. Kedua merupakan daerah tempat berekperimen terkemuka
bagi Tiongkok dalam reformasi di bidang ekonomi, sains dan teknologi, serta
pendidikan: “daerah subur untuk mengumpulkan dan mengembangkan para
sumberdaya berbakat yang berkualitas tinggi (high quality talents)”. Ketiga
merupakan tempat melakukan inkubasi dan melahirkan industri baru Tiongkok
yang strategis.
Adapun sasaran strategis Z-Park adalah menjadi pusat inovasi teknologi yang
berpengaruh secara global. Untuk itu Z-Park menetapkan sasaran-sasaran
utama antara lain:
1. Memelihara dan mengumpulkan para talenta inovatif, khususnya para
pemimpin industri.
2. Meneliti, mengembangkan dan memperkenalkan sejumlah pencapaian
sains dan teknologi maju secara internasional.
3. Mengembangkan sejumlah perusahaan yang besar dan lebih kuat inovatif
yang memiliki pengaruh global.
4. Menghasilkan sekumpulan perusahaan yang memiliki merk (brand) yang
terkenal di dunia.
Di sekitar Beijing banyak yang menggunakan nama dan logo Z. Fungsi daerah
ini dikembangkan dengan pola “Satu Taman dengan Beberapa Sub Taman”.
Luas kawasan kurang lebih 232 km2. Terdapat 10 Park, yang paling besar dan
utama adalah Haidien Park (13.306 ha). Sedangkan lainnya adalah Yizhuang
Park (2.678 ha), Electronic City Park (1.680 ha), Tongzhou Park (1.450 ha),
Changping Park (1.1482, ha), Daxing Bioengineering & Pharmaceutical
Industrial Park (963 ha), Fengtai Park (818 ha), Dosheng Park (564 ha),
Shijingshan Park (345 ha), dan Yonghe Park (300 ha).
Dukungan sumberdaya yang menguntungkan yang meliputi 3 (tiga) kekuatan
inovasi, yaitu ABG (Academician, Business, Government). Kekuatan-kekuatan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Terdapatnya sebanyak 39 institusi perguruan tinggi yang diwakili oleh
Peking University dan Tsinghua University.
Lebih dari 140 lembaga riset yang diwakili oleh institusi-institusi di bawah
Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok (AIPC)/the Chinese Academy of
Sciences (CAS) dan National Institute of Biological Sciences, Beijing.
Terdapat hampir 20.000 perusahaan inovatif yang diwakili oleh Lenovo,
Baidu, Vimicro, Sinovac dan Huaqi.
8 Kebijakan Inovasi di Industri
Terdapat lebih dari satu juta bakat inovatif berkualitas tinggi dan hampir
seperempatnya merupakan mereka yang kembali dari sekolah di luar
negeri.
Sepertiga dari akademisi AIPC dan Chinese Academy of Engineering yang
berpusat di Zhongguancun.
Investasi Modal Ventura (Venture Capital) tiap tahun dan volume investasi
di Zhongguancun adalah sepertiga dari keseluruhan yang ada secara
nasional dengan lebih dari 10 perusahaan mencari IPO (Initial Public
Offerings) tiap tahun.
Institusi-institusi R&D (litbang) telah dibangun di dalam Zhongguancun
dengan 101 di antaranya merupakan top 500 dunia seperti Microsoft,
Oracle dan IBM.
Terdapat 24 on-campus university science park dan 29 park pemula bagi
mereka yang kembali dari luar negeri di Zhongguangcun.
Sejumlah besar pencapaian teknologi penting dengan hak-hak pemilikan
intelektual (HaKI) bebas dan potensial untuk dialihkan di seluruh negeri di
dalam Zhongguancun.
Seperempat dari laboratorium nasional penting berbasis di Zhongguancun,
yaitu National Engineering Research Centers (Pusat Riset Rekayasa
Nasional), National Engineering and Technological Research National
Engineering and Technological Research (Pusat Riset Rekayasa dan
Teknologi Nasional) dan National Enterprises Technological Centers (Pusat
Teknologi Perusahaan Nasional).
Seperempat dari 863 Program proyek dan sepertiga dari 973 Program
proyek dilaksanakan di Zhongguancun.
Lebih dari 50 Penghargaan Utama China National Science Progress Award
telah diberikan pada perusahaan, lembaga litbang dan universitas di
Zhongguancum.
Lebih dari 100 standar internasional penting seperti TD-SCDMA, IGRS
(Intelligent Grouping and Resources Sharing) dan McWill dan 590-ganjil
standar nasional telah dikembangkan di Zhongguancun.
Volume perdagangan teknologi dari Zhongguancun mencapai hampir
sepertiga dari total nasional dengan 60% dari perdagangan dialihkan ke
daerah-daerah di luar Beijing.
Z-Park adalah pusat inovasi utama dan diharapkan tetap berperan penting di
Tiongkok. Target Z-Park adalah mempunyai dampak terhadap dunia pada
tahun 2020. Ke depan, luas Z-Park akan bertambah. Park yang sekarang ada
sebanyak sepuluh (10) buah akan dikembangkan lagi menjadi enam belas (16)
buah.
Para pemimpin Z-Park diberi tugas mengontrol perkembangan secara makro
untuk memaksimalkan potensi dan bakat generasi muda. Tugas utamanya
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 9
adalah mencari bibit-bibit unggul guru dan murid serta memberikan
lingkungan yang baik agar inovatif. Ini semua diumumkan Pemerintah tentang
apa yang harus dilakukan. Universitas yang cocok diberi dana. Namun ke arah
mana inovasi itu, ditentukan Pemerintah. Keadaan di Tiongkok mengikuti terus
Z-Park. Dana-dana Z-Park dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan terdahulu
yang telah sukses. Kemudian diberikan kepada pelaksana-pelaksana riset yang
sesuai.
Bisa juga bantuan dilakukan tanpa melalui Z-Park, yaitu jika dipandang penting
dan menguntungkan. Bantuan Pemerintah banyak sekali untuk mendorong
inovasi ini. Bisa dengan memberikan dana segar, atau pembebasan pajak
sejumlah tertentu.
Z-Park melihat guru-guru/dosen-dosen, universitas bidang-bidang yang
prospektif untuk dibantu sampai mereka bisa bergerak sendiri secara mandiri.
Pemerintah Pusat mempunyai peran penting untk semua ini. Namun, intervensi
Pemerintah Pusat ini merupakan permintaan dari pasar. Dan bagi Pemerintah
pula yang bertugas untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sesuai arah
yang ditentukan.
Dana untuk inovasi awal, dahulu diberikan. Namun kini tidak diberikan lagi.
Pemerintah Pusat memberikan bantuan dalam bentuk saham sesuai
permintaan pasar. Ketika akan menarik dana, tidak mengharapkan imbalan
dari perusahaan yang dibantunya. Pemerintah melihat permintaan pasar dan
bagaimana pasar itu bergerak. Z-Park biasa 9menyerahkan dana pada
universitas jika sesuai permintaan Pemerintah. Jadi Pemerintah mau
memberikan dana kepada yang mau berdiri. Bantuan tidak diberikan dalam
bentuk dana, melainkan menciptakan lingkungan yang kondusif. Dukungan
dana Pemerintah dipertimbangkan berdasarkan pasar, bukan subsidi.
Investasi akan dilakukan jika pertimbangan-pertimbangan ini dapat diterima.
Pertama, terdapat pasar yang besar. Kedua, lingkungan dan prospek ke depan
yang baik. Banyak perusahaan baik dalam maupun luar negeri yang tertarik.
Komisi Pembina Generasi Muda merupakan lembaga yang menjembatani
antara Pemerintah dan guru, murid, mahasiswa, dosen yang mempunyai
gagasan menarik. Komisi ini akan memberikan saran dan membantu
mengarahkan ke arah mana riset dilakukan. Komisi juga membantu jika ada
yang perlu magang.
Terdapat juga laboratorium di bidang kimia. Jika tidak memerlukan dana
banyak, lazimnya tidak membayar. Jika dana diperlukan dalam jumlah besar,
perlu membayar. Ini sifatnya terbuka. Prinsipnya, sepanjang murid atau
mahasiswa mempunyai sesuatu yang menarik, pasti dibantu.
10 Kebijakan Inovasi di Industri
Kunci sukses yang paling utama adalah bagaimana menjadi motivator dan
menciptakan lingkungan agar generasi muda tidak kehilangan semangat
berinovasi.
Z-Park di masa depan akan mengembangkan bidang-bidang lingkungan,
manufaktur, industri dan enjiniring. Dan Pemerintah Tiongkok menetapkan
tujuh bidang industri baru strategis yang akan menjadi perhatian mereka di
masa-masa mendatang, yaitu: (a) Teknologi IT Baru; (b) Bioteknologi; (c) Energi
Baru; (d) Konservasi Energi dan Proteksi Lingkungan; (e) Manufaktur High-end
Equipemnt; (f) Bahan-Bahan Baru; dan (g) Mobil dengan menggunakan energi
alternatif.
Analisis Kebijakan dalam Membangun Sistem Inovasi
Mengkaji sistem inovasi di Tiongkok, dapat diidentifikasi beberapa hal terkait
dengan aktor dan kelembagaan yang sudah terbangun dan mempunyai
mekanisme sedemikian rupa. Dengan mencermati para pelaku dan kelembagaan
yang ada di Tiongkok dapat dianalisis paling tidak tiga (3) hal: (1) Rekomendasi
Kebijakan AIPC pada Presiden; (2) Rumusan Kebijakan Iptek yang Memperkuat
R&D; dan (3) Dibangunnya Z-Park sebagai Wahana dan Pusat Inovasi.
1. Rekomendasi Kebijakan AIPC pada Presiden
AIPC memengaruhi institusi-institusi lain melalui rekomendasi yang diserahkan
kepada Presiden. Rekomendasi kebijakan ini kemudian ditransfer oleh
Kementerian Iptek menjadi kebijakan-kebijakan iptek. Inilah kata kuncinya.
Institute of Policy and Management (Institut Kebijakan dan Manajemen/IKM),
the Chinese Academy of Sciences (Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok/AIPC)
memfokuskan diri pada aktivitas riset untuk strategi pembangunan,
pengembangan dan reformasi kebijakan, administrasi publik, manajemen iptek,
dan kemajuan teori dan metodologi disiplin ilmu yang terkait dengan
kebijakan publik.
Aktivitas operasional AIPC sepenuhnya didanai oleh Kementerian Keuangan,
sedangkan pendanaan aktivitas riset sebagian besar berasal dari NDRC dan
Kementerian Iptek yang bersifat kompetitif. AIPC berfungsi untuk mengelola
iptek dan pengambilan keputusan yang berdampak pada kebijakan
pemerintah, terutama yang mengalihkan gagasan spesifik ke kementerian
tertentu. AIPC juga melakukan evaluasi kinerja institusi riset dan perguruan
tinggi, menggunakan institusi Transfer Teknologi dan Pemerintah Daerah, serta
perwakilan kantor AIPC yang tersebar di 13 daerah di seluruh Tiongkok.
Transfer Teknologi yang dilakukan oleh perusahaan diberi insentif pajak
sebesar 12,5 persen. Dalam rangka penyusunan program pembangunan hi-
tech, AIPC mempromosikan IKM sebagai lembaga riset yang harus bekerja
sama dengan universitas. Dari sini, banyak terjadi alih teknologi.
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 11
AIPC mendorong masyarakat untuk lebih inovatif. Pemerintah ikut
menanggung biaya untuk inovasi dalam bentuk kebijakan pajak. Jika
mengeluarkan dana lebih dari US$ 100 juta, maka 12,5% akan dikembalikan.
Institut ini sangat aktif dalam memberikan layanan konsultatif tingkat tinggi
baik pada Pemerintah Pusat, AIPC, Pemerintah Daerah dan Swasta.
2. Rumusan Kebijakan Iptek yang Memperkuat R&D
Kebijakan utama yang dirumuskan Kementerian Iptek termasuk mengatur
lembaga-lembaga riset. Kementerian Iptek sebagai badan pemerintah
menggandeng AIPC sebagai lembaga riset dan mengarahkan Science and
Techno Park.
Industri melakukan riset sesuai kebutuhan pasar, dengan dukungan kebijakan
yang menguntungkan dan kondusif. Demikian juga mendorong kerjasama
industri dengan universitas untuk melakukan terobosan dan inovasi. Dengan
demikian terjadi sinergi antara Pemerintah-Industri-Universitas. Industri
menjadi aktor utama dalam inovasi R&D.
Kebijakan yang dapat mendorong ini tampaknya perlu ditempuh agar tercipta
sinergi yang positif antara berbagai aktor dan institusi iptek dan industri yang
berujung pada munculnya produk-produk inovasi.
3. Z-Park sebagai Wahana dan Pusat Inovasi
Sejauh ini terbentuknya Zhongguancun Science Park (Z-Park) dapat dilihat dari
dua (2) sudut pandang. Pertama, sebagai Pusat Inovasi Tiongkok. Kedua,
sebagai Pusat Kemajuan Teknologi Tiongkok yang dibangun sejak 1978.
Dulu di Tiongkok melaksanakan Rencana Pembangunan Ekonomi Berencana.
Pada tahun 1978 pasar makin besar, tidak kuat lagi mengontrol. Ketika
ekonomi baik dan teknologi maju, mahasiswa-mahasiswa membentuk
perusahaan swasta (enterprises). Ini adalah awal pembentukan Z-Park.
Semua mahasiswa yang berprestasi diberi kesempatan seluas-luasnya. Dengan
pendekatan ini Tiongkok menjadi cepat berkembang. Tumbuhlah puluhan ribu
ilmuwan di Tiongkok. Perusahaan-perusahaan yang berlatar belakang iptek
tumbuh dengan 3.000an per tahun yang mendaftar. Tetapi jumlah keseluruhan
tidak bertambah, karena banyak yang kemudian bergabung satu sama lain
(merger). Perkembangan teknologi cukup berbeda dengan di negara-negara
lain. Hubungan dengan universitas dilakukan dalam arti selaus-luasnya, sejauh
tepat dan menguntungkan, dengan berdasar pada proposal dan kebijakan
yang akan diikuti.
Keberadaan Z-Park merupakan aspek dari strategi untuk mendorong inovasi.
Kini yang sangat bersejarah adalah kemajuan iptek yang mengubah seluruh
12 Kebijakan Inovasi di Industri
daratan dan masyarakat Tiongkok. Di Tiongkok, perusahaan di bidang jasa
bertambah setiap tahun. Sekarang lebih dari 70%.
Z-Park memainkan peranan penting ke arah mana iptek berkembang.
Perkembangan GNP di Beijing 20% di antaranya dari Z-Park. Ini belum besar,
tetapi dengan kemajuan yang pesat akan terus bertambah. Jadi Pemerintah
sangat memperhatikan perkembangan ini. Tampaknya tidak berlebihan jika Z-
Park diharapkan tidak hanya mempunyai dampak pada Tiongkok saja,
melainkan juga dunia.
Sejauh ini keberadaan Z-Park mempunyai dampak yang sangat positif, karena
beberapa hal berikut. Pertama, menyadarkan masyarakat Tiongkok bahwa
sains dan teknologi memberikan perubahan signifikan kepada masyarakat
Tiongkok. Kedua, keberadaan Z-Park memberikan nilai strategis bagi
pengembangan aplikasi inovasi dan pengembangan budaya inovasi bagi
kalangan masyarakat dan khususnya kaum muda. Ketiga, mahasiswa dan
entrepreneur bersama-sama membangun Tiongkok. Keempat, jumlah
perusahaan di bidang jasa (services) bertambah setiap tahun (70%), karena
manusia berkembang begitu juga sains dan teknologi terus akan berkembang.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari Tiongkok, Indonesia dapat belajar dari keberadaan kelembagaannya.
Sebagai contoh, AIPC (Chinese Academy of Sciences) yakni setiap kebijakan
Pemerintah harus mempertimbangkan hasil-hasil riset yang fokus pada visi & misi
negara. Di Indonesia, lembaga sejenis sebenarnya juga sudah ada, yaitu Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sayang sekali, keberadaannya belum
dimanfaatkan secara optimal.
Di Tiongkok, pendanaan riset dapat berupa insentif pajak (tax insentive) atau
dapat berupa hibah yang dikompetisikan. Aktivitas riset kebijakan ini secara
sistematis dievaluasi kemanfaatannya bagi negara. Tugas-tugas Kementerian Iptek
di Tiongkok, tampaknya sedikit banyak akan menjadi inspirasi Kementerian Riset
dan Teknologi di Indonesia. Paling tidak, terkait dengan program-program insentif,
sejauh ini Kementerian Riset dan Teknologi sudah berbuat banyak dalam jangka
waktu yang lama.
Sementara pelajaran yang dapat dipetik dari Z-Park bila Indonesia ingin
membangun suatu taman sains dan teknologi yang terintegrasi untuk kemajuan
teknologi dan inovasi Indonesia adalah dengan:
Memainkan peranan S&T sebagai motivator.
Sepertiga dari total investor berupa Venture Capital.
Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 13
Menjadikan S&T Park tempat yang kondusif untuk penyemaian dan
penumbuh-kembangan pengusaha-pengusaha muda yang berasal dari
Perguruan Tinggi.
S&T Park berperan melakukan pembinaan berupa konsultansi untuk
generasi muda yang memiliki ide atau hasil riset yang akan
dikomersialisasikan, bukan untuk mencarikan dana.
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Pertama, Peran AIPC (China Academy of Science) di dalam merumuskan visi
dan misi jauh ke depan tampaknya dapat dipandang sebagai pemandu bagi
seluruh pihak di dalam upaya memodernkan Tiongkok. AIPC memang terdiri
dari kaum cendekiawan yang menjadi lokomotif intelektual dan sekaligus
diakui sebagai pembuka wawasan bangsa untuk mencapai kemajuan dengan
menguasai, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk sebesar-besar kemajuan bangsa Tiongkok. Di Indonesia,
institusi seperti ini, di mana merupakan kumpulan para ahli dan ilmuwan
ternama terdapat beberapa. Kita mengenal Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI), yang merupakan institusi penasihat Presiden dalam bidang
iptek. Akademi ini terdiri dari para bagawan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang mempunyai integritas dan reputasi nasional maupun internasional. Selain
itu terdapat Komite Inovasi Nasional (KIN) yang juga merupakan penasihat
Presiden dalam bidang riset, iptek dan inovasi. Kumpulan ilmuwan juga dikenal
di dalam institusi Dewan Riset Nasional (DRN), yang merupakan institusi
penasihat Menteri Riset dan Teknologi. Selain itu juga terdapat berbagai
Komite maupun Dewan yang berisi para pakar sesuai dengan bidangnya.
Misalnya, Dewan Energi Nasional (DEN), Komite Ekonomi Nasional (KEN), untuk
menyebut beberapa contoh. Namun kumpulan para ilmuwan dan cerdik
pandai tersebut tampaknya kalah riuh dengan gegap gempita lembaga-
lembaga lain, karena berbagai sebab, antara lain isu-isu dominan bernuansa
politik dan korupsi yang menerpa baik para penyelenggara Negara maupun
institusi-institusi di mana para penyelenggara Negara tersebut berada. Jika
Indonesia ingin lebih cepat maju seperti halnya Tiongkok misalnya, maka
rakyat Indonesia harus lebih memberikan peran yang jauh lebih besar kepada
para cerdik pandai tersebut untuk merumuskan visi, misi, arah kebijakan,
strategi dan program baik jangka pendek, menengah maupun panjang dengan
sebesar-besarnya memanfaatkan dan mengelola kekayaan sumber daya yang
terbarukan maupun yang non-terbarukan. Kuncinya adalah Presiden. Presiden
harus mempunyai komitmen kuat untuk benar-benar ingin memajukan bangsa
dan Negara Republik Indonesia. Semua instrumen dapat dibuat, diberi
kesempatan dan didayagunakan.
14 Kebijakan Inovasi di Industri
2. Kedua, peranan institusi penelitian dan pengembangan harus semakin
ditingkatkan. Para peneliti selain meningkatkan kompetensinya juga perlu
bekerja secara profesional, melintasi batas geografis Negara, sehingga kerja
sama penelitian yang bermutu dan berdampak besar, terutama ilmu-ilmu masa
depan semakin banyak dikuasai putra-putri terbaik bangsa Indonesia.
3. Ketiga, semakin didorongnya kerja sama peneliti dan industri yang
memanfaatkan hasil-hasil penelitian. Komersialisasi hasil-hasil penelitian sudah
menjadi suatu keharusan, sehingga konsorsium yang melibatkan ABG
(Academician-Business-Government) semakin didorong. Komersialisasi juga
dapat melibatkan pelaku UKM yang dapat dijadikan lokomotif ekonomi
Indonesia pada kelompok akar rumput. Dengan demikian hasil-hasil penelitian
dapat ditindaklanjuti oleh industri, swasta dan UKM serta Pemerintah sebagai
pemegang kendali kebijakan dapat mengatur dan memberi jaminan bahwa
arah penelitian dan perkembangan industri tetap searah dan satu tujuan, yaitu
bersinergi saling memperkuat posisi masing-masing, yang pada gilirannya
akan memberikan kekuatan Negara dan bangsa Indonesia. Hanya dengan
kemandirian seperti inilah bangsa dan Negara Republik Indonesia dapat
bersaing dan berkiprah di dunia internasional dengan membanggakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bengt-Åke Lundvall. “National Systems of Innovation. Towards a Theory of
Innovation and Interactive Learning”. London: Pinter Publishers, 1992.
Bernd Kadura, Joachim Langbein and Kerstin Wilde. Strengthening Innovation
Systems: Foundation, Concept and Strategic Approach, 2011.
Bruce D. Merrifield. Forces of Change Affecting High Technology Industries. A speech
by U.S. Assistant Secretary of Commerce, 1986.
Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi. The Knowledge-Creating Company. New
York, NY: Oxford University Press, 1995.
Report on High-tech Development, Repot on China’s Sustainable Development,
Report on China’s Innovation and Development, Report on China’s Energy
Sources, and Technology Foresight of China toward 2020.
SISTEM INOVASI AGROINDUSTRI DI
THAILAND
Manifas Zubair
ABSTRACT Thailand is an agricultural country with a majority of the population engaged in
agriculture. Economic growth and industrialization that occurred in Thailand is
caused by some changes in conditions and their farming practices. The most
significant is the change in agricultural existence of traditional agriculture to
commercial agriculture that have a market, which supports agricultural production
are easy to sell (cash crop) and includes export of their agricultural products. The
paper attempts to explain the development of agro-innovation system in Thailand.
This paper also analyzed the characteristics of the Sectoral Innovation System which
includes the categories of groups and key actors in it, as well as linkages Sectoral
Innovation Systems in Thailand. There are at least 6 (six) key actors who was
instrumental in the Sectoral Innovation System in Thailand. This includes Supporting
Institutions, composed of Government and Science Institutions (universities and
research organizations and technology); Group the influence of the Kingdom,
political parties, and Production Group, made up of farmers and companies. Between
key actors is no link in the Innovation System of Agro Industry Thailand and the
interaction mechanism are quite complex.
Keyword : innovation systems, agroindusty, Thailand
ABSTRAK Thailand adalah negara agraris dengan mayoritas penduduk hidup dalam pertanian.
Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi terjadi karena perubahan dalam kondisi
dan praktek pertanian mereka. Yang paling signifikan, adalah perubahan pertanian
tradisional ke komersial dengan basis pasar, yang memungkinkan produksi pertanian
mudah untuk dijual di pasar lokal dan ekspor. Makalah ini mencoba menjelaskan
pengembangan sistem agro-inovasi di Thailand, dengan menganalisis karakteristik
Sistem Inovasi Sektoral yang meliputi kelompok dan aktor kunci di dalamnya, serta
keterkaitannya. Ada enam aktor kunci yang berperan penting dalam Sistem Inovasi
Sektoral di Thailand. Ini termasuk Kelompok Pendukung, terdiri dari pemerintah dan
lembaga riset (universitas dan organisasi riset dan teknologi); Kelompok yang
mempengaruhi Kerajaan, partai politik, dan Kelompok Produksi, terdiri dari petani
dan perusahaan. Antara aktor-aktor kunci tidak ada keterkaitan dalam Sistem Inovasi
Industri Agro Thailand dan mekanisme interaksi yang cukup kompleks.
Kata Kunci: sistem inovasi, agroindustri, Thailand
16 Kebijakan Inovasi di Industri
PENDAHULUAN
Sama dengan perekonomian negara berkembang lainnya di dunia, struktur
ekonomi dan sosial masyarakat Thailand mengandalkan sektor pertanian. Thailand
adalah negara agraris dengan mayoritas penduduknya berkecimpung di bidang
pertanian. Negeri ini, mengklaim negaranya sebagai Newly Agro-Industrialising
Country (NABIC), atau sebagai negara agroindustri baru, yang masyarakatnya
mengakar pada keanekaragaman pertanian yang penuh varietas.
Industrialisasi di Thailand telah dimulai lebih dari empat dasawarsa yang lalu.
Dari negeri yang mengandalkan pertanian dan produk-produk utamanya untuk
ekspor menjadi negara agroindustri dan industrialisasi, pemerintah mencoba untuk
mengejar sukses yang telah dicapai beberapa negara industri baru di Asia (ASIAN
NIEs) dan Jepang. Menyadari akan kekayaan sumber daya alam dan dasar
pertanian yang kuat, pemerintah Thailand membuat agroindustri, industri
manufaktur dan industri jasa tumbuh secara simultan (serempak).
Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang terjadi di Thailand disebabkan
oleh beberapa perubahan dalam kondisi dan praktek-praktek pertanian mereka
(Sriwatanapongse, 1997). Yang paling signifikan adalah terjadinya perubahan
keberadaan pertaniannya dari pertanian tradisional menuju pertanian yang
mempunyai pasar komersial, yang mendukung produksi pertanian yang mudah
dijual (cash crop) dan termasuk didalamnya ekspor beras. Pondasi ini mempunyai
pengaruh sangat kuat sehingga dapat merubah pandangan hidup masyarakat
tradisionil Thailand, dan selanjutnya perubahan ini dapat bersifat positif maupun
negatif.
Tabel 1. Sumbangan pertanian dalam ekonomi Thailand
Sumber :Thailand Development Research Institute, September 1995
Sebagai contoh seperti ditunjukkan pada Tabel 1, dapat memberikan suatu
gambaran kepada kita tentang pertanian dalam masyarakat yang pendapatan per
kapitanya meningkat. Meskipun, sebagian besar penduduk Thailand relatif masih
dalam taraf miskin dan ada gap yang lebar antara yang kaya dan miskin.
Masyarakat yang masuk dalam golongan miskin tersebut biasanya bekerja di
sektor pertanian yang rata-rata pendapatan perkapitanya dua kali di bawah
Year GDP GDP Agriculture Average Average
(%) (mil. Baht) Labour force income : income : all
(%) Agriculture workers
(Baht/year) (Baht/year)
1976* 30.00 97,135 70.00 3,450 7,580
1985 15.80 167,026 - 12,739 21,662
1990 12.70 279,268 - 13,564 29,560
1997*** 9.34 3,072,615 45.14 - 51,360
2001 10.15 3,776,160 56.00 32,120 79,100
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 17
pendapatan rata-rata nasional (lihat Table 1). Namun demikian pendapatan per
kapita secara nasional meningkat dari 7,580 Baht per tahun (kira-kira US$ 300 )
pada tahun 1976 menjadi 21,662 Baht pada tahun 1986 dan 79,100 Baht (kira-kira
US$ 2,000 ) pada tahun 2001. Ini suatu indikator keberhasilan meningkatnya
standar hidup secara umum.
Tulisan ini mencoba menjelaskan perkembangan sistem inovasi agroindustri
yang ada di Thailand. Di dalam tulisan dijelaskan terjadinya perubahan pertanian
dari pertanian tradisional menuju pertanian yang mempunyai pasar komersial,
yang mendukung produksi pertanian yang mudah dijual (cash crop) dan termasuk
didalamnya ekspor produk-produk pertanian mereka. Disamping itu dianalisis
karakteristik Sistem Inovasi Sektoral yang meliputi kategori kelompok serta pelaku-
pelaku kunci di dalamnya; serta keterkaitan Sistem Inovasi Sektoral di Thailand.
SISTEM INOVASI AGROINDUSTRI (SIA) DI THAILAND
Produksi, Perdagangan dan Kompetisi Pertanian
Thailand mempunyai keanekaragaman yang luas akan produk pertanian.
Kebanyakan produk pertanian Thailand tidak hanya tanaman yang menghasilkan
tepung (sereal) seperti padi dan tapioka tetapi juga termasuk beberapa tanaman
untuk industri makanan, serta bermacam-macam produk pertanian yang dihasilkan
setiap tahunnya seperti kedelai, singkong, sampai tumbuh-tumbuhan hijau dan
tanaman lain seperti buah-buahan, karet, kelapa sawit dan tanaman untuk
kesehatan. Adanya keanekaragaman dari hasil pertanian, impor yang minim dan
daya saing yang tinggi, mendorong Pemerintah Thailand meluncurkan kampanye
Thailand sebagai “Dapur Dunia”, dan pemerintah menetapkan industri makanan
Thailand sebagai sektor industri strategis nasional.
Tabel 2. menunjukkan 10 (sepuluh) produk pertanian tertentu yang strategis
(product champions) dilihat dari sisi konsumen dan kompetitor utamanya.
Kesepuluh komodiats tersebut adalah beras, singkong, nanas, karet, gula, kelapa
sawit, kelengkeng, udang, ayam dan bunga anggrek. Kesepuluh produk pertanian
strategis tersebut berbeda secara alam, karakteristik maupun pasarnya. Produk-
produk unggulan ini memberikan kontribusi kurang lebih sekitar separuh terhadap
nilai ekspor sektor pertanian negara tersebut.
Hal ini berdasarkan pertimbangan peranannya dalam perekonomian
nasional antara lain ;
Sebagai sumber pendapatan (income) masyarakat,
Mempunyai daya saing kompetitif dalam perdagangan dunia
Tiga dari sepuluh komoditas, yakni padi, singkong dan udang atau dalam
bahasa Thai disebut "Khao Mun khung", telah lama menjadi prioritas dalam
pengembangan baik teknologi maupun pasarnya karena melibatkan sebagian
18 Kebijakan Inovasi di Industri
besar bangsa Thailand sebagai sumber pendapatan dan negara menikmati
keunggulan kompetitif di pasar dunia, gambarannya sebagai berikut:
Beras yang terkenal produk beras dari Thailand adalah beras jenis jasmine,
yang mempunyai aroma yang khas dan harganya dua kali lipat dari beras jenis
yang lain
Singkong. Pangsa pasar singkong dari Thailand di pasar dunia mencapai
sekitar 80%
Udang. Thailand menempati ranking kedua sebagai pengekspor udang dunia.
Atau biasanya ketiga komoditas pertanian tersebut dalam bahasa aslinya
disebut “Khao Mun Khung”
Tabel 2. Perdagangan dan kompetisi dari produk pertanian tertentu Thailand
Sumber : Agriculture Economic Office, FAO and World trade Atlas
Menurut Marleba, ada dua dimensi yang berbeda hubungannya antara sisi
produk dengan teknologi dasar (Marleba, 2002). Dengan mengaplikasikan
segmentasi antara pasar dan teknologi dari Tidd, Bessant dan Pavitt maka untuk
produk pertanian tertentu, dapat dikategorikan produk-produk tersebut ke dalam
4 (empat) kelompok, yaitu; cash crop group, semi-monopoly/ value-added
(technological) group, niches (architectural) group dan energy security (complex)
2003 2004 2005
Beras 27.55/26.68 25.73/38.83 25.93/32.78
Singkong 6.06/87.13 7.40/89.60 5.50/84.45
Nanas 1.15/41.74 1.18/38.14 1.22/37.70
Karet 5.69/45.23 7.40/89.60 5.50/84.45
Kelapa sawit 19.68/1.12 21.19/1.23 23.02/0.91
Longan 0.36/80.00 0.455/80.00 0.569/80.00
Udang 1.34/12.00 1.54/15.60 1.56/16.00
Ayam 6.07/7.14 5.80/3.47 6.225/4.02
Anggrek 5.92/39.99 6.84/36.25 7.92/34.76 USA, Japan, Italia (cut flower)
Japan, Korea, USA (plants)
Gula 46.3/11.50 45.70/10.70 46.00/7.80
Malaysia, Singapore, Taiwan
Indonesia, Malaysia, China, Japan dan
Cambodia
Australia, Brazil, South Africa,
Guatemala
China, Vietnam, Indonesia, India,
Ecuador
USA, Japan, Canada, Singapore,
South Korea dan Australia (frozen)
USA, South Korea, Japan, Canada,
dan Australia (processed)
Japan, Europian Union, South Korea, Brazil, China dan USA
Kompetitor Utama
Malaysia, China, Myanmar Malaysia, Indonesia
China, Indonesia, Hong Kong,
Singapore, Malaysia, USA, France
Vietnam, China
USA, Australia, Vietnam, China,
Pakistan, Myanmar dan India
Nigeria, Brazil, Vietnam dan
Indonesia
Japan, China, Japan, USA (smoke),
Malaysia (latex), China, Japan, USA
dan South Korea (pallets)
Philippines, Indonesia dan China
Indonesia, Malaysia, Vietnam
Hong Kong, China, Malaysia, USA,
Canada, Iran, Irak, Saudi Arabia,
Ghana, Indonesia, Netherlands, Spain,
South Africa, Senegal, Singapore,
Nigeria, Cameroon European Union pallets dan chips),
Japan, Taiwan, dan China (starch &
modified starch)USA, European Union, Japan
(canned), Netherlands, USA dan Spain
(juice)
Produk
Pertanian
World Trade/Market Share
(million tons/percentage) Importir Utama
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 19
group. Adapun segmentasi berdasarkan teknologi dan pasar tersebut untuk
produk pertanian tertentu di Thailand dapat diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Segmentasi produk pertanian di Thailand berdasar teknologi dan
pasar
Secara umum, isu-isu pokok untuk produk pertanian dan agroindustri di
Thailand dapat dikategorikan dalam 5 (lima) area, yaitu:
Proporsi yang tinggi untuk impor barang-barang modal dalam industri dan
aktivitas proses pertanian
Persyaratan standarisasi produk
Mengurangi fluktuasi harga pasar untuk produk pertanian
Kebijakan publik (khususnya pada pengendalian dan struktur harga, land
reform, manajemen kredit petani, kuota dan sektor pembangunan) dan
Kualitas sumber daya manusia.
Karakteristik dari Sistem Inovasi Agroindustri (SIA) di Thailand
Pelaku-pelaku Kunci dalam Sistem Inovasi Agroindustri
Dengan mengikuti pendekatan sistem inovasi dari Freeman berdasarkan
fungsionalnya, pelaku-pelaku kunci dalam Sistem Inovasi Sektoral (SIS) di Thailand
tampaknya sama dengan yang lainnya. Namun jika dilihat secara seksama, untuk
Thailand ilustrasinya agak berbeda bentuknya. Dengan mengaplikasikan
mekanisme pengembangan SIP, perbedaan antara pelaku sektor pertanian di
Thailand terletak pada kelompok yang mempengaruhi (influencing agents) dan
kelompok yang memproduksi (producing agents).
Evolusi pertanian di Thailand secara keseluruhan berbeda dari sejarah
industrialisasi dan perusahaan produksi. Perubahan tersebut mengalami
perjuangan berat dari akar budaya, ekonomi dan politik dari kelas sosial yang ada
20 Kebijakan Inovasi di Industri
di masyarakat. Keunikan antara pelaku kunci yang ada pada Sistem Inovasi
Agoindustri (SIA) Thailand adalah pada peran kearifan Raja yang berpengaruh dan
dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian terutama dalam
pembangunan kapasitas rakyatnya di daerah pedesaan, pada saat partai politik
dan lembaga swadaya masyrakat (LSM) perannya biasanya cenderung manipulatif
aturan ekonomi dan politik dalam sistem pertanian biasanya melalui proses
pemilihan umum dan lobi.
Pemain kunci yang lain dalam SIS Thailand adalah peran petani atau biasa
disebut peasant yang mana secara alami berbeda dari perusahaan swasta baik
dalam perkembangannya maupun dalam mengembangkan ekonominya. Maka
dapat disebutkan ada 6 (enam) pelaku/ aktor kunci dalam SIS Thailand yaitu,
kerajaan, pemerintah, partai politik, lemabga ilmu pengetahuan (universitas dan
organisasi riset dan teknologi, RTO), petani dan perusahaan.
Kelompok Pendukung (Supporting Agents)
Pemerintah
Kebijakan pertanian dalam pemerintahan ditangani oleh kementerian dalam
“Grade A” (level menteri), yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri
Industri dan Menteri Keuangan.
Universitas dan Lembaga Litbang (RTO)
Pendidikan untuk bidang pertanian telah berlangsung lama, dimulai sejak
tahun 1904. Universitas Kasetsart dan Majoe adalah universitas pertanian yang
cukup terkenal. Disamping itu adanya ARDA (Agriculture Research Development
Agency) sebagai manajemen investasi dan pembiayaan dan LCFA (Laboratory
Centre for Food and Agricultural Products Company Limited) sebagai competent
authorities di bawah Menteri Pertanian dan Koperasi (Ministry of Agriculture and
Cooperative, MAoC).
Kementerian yang menangani pertanian di atas tergabung dalam “Grade A”
dibantu oleh Menteri Sain dan Teknologi (Ministry of Science and Technology,
MOST) membentuk NSTDA (National Scince and Technology Development Agency)
untuk mengembangkan dan mempromosikan iptek, serta BIOTEC (National Centre
for Generic Engineering and Biotechnology). Dan dukungan terhadap sektor
pertanian di Thailand ditunjukkan dengan dukungan anggaran yang mana lebih
dari separuh bujet riset dialokasikan untuk kementerian MOST dan MAoC.
Kelompok Pengaruh (Influencing Agents)
Kerajaan
Raja sebagai personifikasi bangsa Thailand, serta komitmen dari raja untuk
membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan peran raja dalam proses
pembangunan politik yang cukup sulit
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 21
Partai Politik
Dalam masyarakat pedesaan, para tengkulak (Kam Nan dan Phuyaiban)
sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani. Partai Thai Rak Thai mengubah
model tersebut dalam bentuk kelembagaan yaitu partai politik, yang mana
diantara programnya adalah mengadakan bantuan kredit bagi petani dan adanya
skema bantuan kesehatan (seperti adanya bantuan 30 Baht per orang)
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Perannya kritis sebagai “opinion leader” sekaligus mempunyai kekuatan lobi
dan politik.
Gambar 2. Mekanisme sistem inovasi agroindustri di Thailand
Kelompok Produksi (Producing Agents)
Petani
Struktur sosial dari masyarakat (petani) menganut system “patronase”,
sehingga sangat fleksibel namun sulit dalam hal toleransi, hal ini dipengaruhi
ajaran Budha
Koperasi
Gerakan koperasi diperkenalkan pada masa Raja RAMA VI pada tahun 1910.
Ada sekitar 1.500 buah koperasi pertanian di Thailand, namun perkembangannya
statis dan sangat lambat, dan bersifat top-down.
Perusahaan
Adanya aliansi yang saling menguntungkan antara politikus (pemerintah)
dan pengusaha Cina di luar negeri dalam bisnis komoditas pertanian dan pangan,
maka tidak mengherankan jika bisnis ini didominasi pengusaha Cina, sebagai
contoh Charoen Pokphand (CP) Grup menjadi perusahaan besar yang
perusahaannya ada diberbagai negara.
22 Kebijakan Inovasi di Industri
Satu Daerah Satu Produk (One Tamboon One Product, OTOP)
Skema Satu Daerah Satu Produk berdasarkan pemikiran bahwa daerah atau
lokal mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk bersaing dalam pasar tingkat
nasional maupun internasional jika mempunyai satu produk yang unggul/ khusus
dengan menerapkan “high touch and high tech”.
Keterkaitan dalam Sistem Inovasi Sektoral di Thailand
Dalam Gambar 2 diilustrasikan secara sederhana keterkaitan antara pelaku-
pelaku kunci dalam SIA Thailand dengan menerapkan mekanisme SIP untuk
menganalisis interaksi yang cukup kompleks. Kelompok pendukung (supporting
agents) terdiri dari menteri-menteri terkait dan lembaga pemerintah di bidang ilmu
pengetahuan (universitas dan RTO). Kelompok pengaruh (influencing agents)
terdiri dari Raja, Partai Politik, dan LSM, sementara kelompok produksi kunci
adalah perusahaan dan petani. Tidak seperti kelemahan dan fragmentasi Sistem
Inovasi Nasional (National Innovation System, NIS) di Thailand, SIA tidak hanya
lemah dan terfragmentasi, itu sangat komplikasi. Dapat dibedakan dua subsistem
dalam SIA Thailand, yang pertama adalah subsistem inovasi bedasarkan
masyarakat (kerajaan, partai politik, petani, pemerintah dan RTO) dan subsistem
inovasi berdasarkan produksi (pendekatan system inovasi berdasarkan
fungsionalnya Freeman, yaitu perusahaan, pemerintah dan universitas).
Keterkaitan yang Mendukung
Dari tiadanya kebijakan dan strategi yang kongkret sampai sektor pertanian
ditangani oleh kementerian yang tergabung dalam “Grade A”.
3 (tiga) grup strategis yang penting meliputi aktivitas-aktivitas; daya saing
tinggi, daya saing rendah, dan yang mempunyai dampak besar dalam lingkup
nasional
Keterkaitan yang Saling Mempengaruhi
Raja, berperan dalam harmonisasi sosial, sebagai guru bagi masyarakat dan
petani
Partai Politik, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat dengan
mengeluarkan kebijakan yang dapat bersifat populis
LSM, biasanya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan berperan sebagai
leading opinion
Keterkaitan dalam Produksi
Kelompok tani (self-organising assembly), lemah peranannya dalam hal yag
krusial seperti peraturan yang kontroversial, lobi politik, perlindungan dan hak
petani
Koperasi, mendapatkan dana dari pemerintah
OTOP, beberapa anggotanya berhasil
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 23
Keterkaitan antara petani dengan pemerintah
Pemerintah pada mulanya tidak terlalu terlibat dengan produksi, kemudian
mengintervensi melalui koperasi, kebijakan pemerintah dan subsidi
Masyarakat/ petani pada umumnya tidak familiar dengan perdagangan, lalu
pemerintah memanfaatkan pengusaha Cina yang berada di luar negeri untuk
pengembangan perdagangan ke luar negeri (ekspor).
Transformasi dari Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand
Ada dua konsep yang secara simultan ditingkatkan melalui kerjasama pelaku-
pelaku kunci dengan mengikuti keagungan raja yang mengembangkan filosofi
seperti yang telah disebutkan di atas. Ada “Teori Swasembada” (Self Sufficiency
Theory) dari kerajaan dan “Restrukturisasi Ekonomi menuju Ekonomi Berbasis Ilmu
Pengetahuan” (Economic Restructuring toward Knowledge Based Economy). Dua
konsep yang disebutkan tadi diperkenalkan oleh pemerintahan dari Thai Rak Thai
(TRT) pada waktu berkuasa menjadi “Kebijakan Ekonomi Dua Jalur” atau Dual Track
Economy Policy.
Kerajaan dan Teori Swasembada
Lebih dari tiga dasa warsa yang lalu, kerajaan secara terus menerus
mengingatkan rakyat Thailand melalui keterangan raja pada berbagai kesempatan
secara bertahap dengan pendekatan yang berimbang untuk pembangunan, yang
mana sekarang dikenal sebagai Pilosofi dari Ekonomi Swasembada. Pilosofi ini
memberikan petunjuk pada tingkah laku meliputi banyak aspek dalam kehidupan.
Menciptakan Nilai dalam Sistem Inovasi Agroindustri Thailand
Bioteknologi;
Revolusi dalam Agro-inovasi di Thailand
Teknologi Foresight;
Perubahan paradigma pada kebijakan teknologi dan perencanaan pada sektor
Agro-Bioteknologi
Inovasi Teknologi dalam Pertanian Agro-Bioteknologi
Tabel 3. Daftar lembaga yang berhubungan dengan riset bioteknologi
dalam komoditas tertentu
Komoditas Universitas dan Litbang
Beras BIOTEC, Kasetsart, University (KU), Rachamnkol University of Technology
(RUT), Lampang Campus, Rice Research Centre (Department of
Agriculture, Ministry of Agriculture and Cooperatives (MoAC), Asian
Institute of Technology (AIT), Khon Kaen University (KKU
Singkong BIOTEC, KU, Mahidol University(MU), dan King Mongkuts's University of
Technology Thonburi (KMUTT)
Udang BIOTEC, Prince of Songkla University (PSU), Department of Fishery
(MoAC), Burapha University (BU) Sumber : Chairatana, et al, 2003
24 Kebijakan Inovasi di Industri
PENUTUP
Gagasan bahwa negara-negara Asia Tenggara harus meniru Thailand dan
membiarkan pertanian mengisi kesenjangan dalam pertumbuhan, terutama timbul
setelah krisis keuangan melanda kawasan ini di tahun 1990-an. Pertanian masih
memiliki peran penting dalam sebagian besar negara Asia Tenggara, terutama di
Thailand dan Vietnam, sebagian di Malaysia dan Indonesia, kecuali untuk negara
kota seperti Singapura yang sektor jasanya berkembang.
Uraian tentang Sistem Inovasi Sektoral Agroindustri yang diilustrasikan di atas
mencerminkan bagaimana keunikan dan pentingnya sektor tradisional yang
memberikan kontribusi untuk masyarakat Thailand dan pada saat yang sama
bertindak sebagai reservoir modal sosial untuk mesin pendorong transformasi
ekonomi dan sosial Thailand. Di Thailand, pertanian memberikan kontribusi sekitar
10 persen dari perekonomian nasional tetapi memberikan nafkah untuk setengah
dari populasi penduduk Thailand.
Dalam Sistem Inovasi Sektoral Agroindustri di Thailand terdapat paling sedikit
6 (enam) pelaku kunci yang sangat berperan dalam Sistem Inovasi Sektoral
Agroindustri di Thailand dalam 3 (tiga) kategori kelompok yaitu Kelpompok
Pendukung, terdiri dari pemerintah dan lemabga ilmu pengetahuan (universitas
dan organisasi riset dan teknologi, RTO); Kelompok Pengaruh terdiri dari kerajaan,
partai politik, serta Kelompok Produksi, terdiri dari petani dan perusahaan. Antara
pelaku-pelaku kunci tersebut ada keterkaitan yaitu keterkaitan yang mendukung,
keterkaitan yang saling mempengaruhi, keterkaitan dalam produksi serta
keterkaitan antara petani dengan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Statistical Yearbook, 2003
Bello, W., Cunningham, S. and Li Kheng Poh, 1998. A Siamese Tragedy:
Development & Disintegration in Modern Thailand. London: Zed Books.
Bessant, J, 2003. High-Involvement Innovation: Building and Sustaining
Competitive Advantage Through Continuous Change. Chichester: Wiley &
Sons.
Chairatana, P.-A. and Bach Tan Sinh, 2003. Strategising Agro-Innovation System:
The Cases of Thailand and Vietnam. Paper presented at the 1st GLOBELICS
international conference. Rio de janeiro, Brazil.
Chairatana, P.-A. and Rachdawong, S, 2004. Future and Evolution of Thailand
Biotechnology Innovation System. Paper presented at the 1st ASIALICS
International Conference. Bangkok: JICA-NSTDA-KMUTT.
Chairatana, P.-A, 2004. A Survey on New Niche A eas in Biotechnology Related
Businesses in Thailand. Bangkok: JICA-KMUTT.
Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 25
Chamarik, S. and Goonatilake, S, 1994. Technological Independence: The Asian
Experience. Tokyo: UNU Press.
Chirayu Isarangkun Na Ayuthaya, 2004. National Competition - Essays on the
Application of His Majesty the King’s Sufficiency Economy Philosophy.
(Handout)
Cobbenhagen, J, 2000. Successful Innovation: Towards a New Theory for the
Management of Small and Medium-sized Enterprises. Cheltenham: Edward
Elgar.
Conway, G, 1997. The Doubly Green Revolution: Food for all in the 21st Century.
New York: Penguin Books.
Foss, N. J. and Klein, P. G. (eds.), 2002. Entrepreneurship and the Firm: Austrian
Perspective on Economic Organisation. Chichester: Edward Elgar.
Hossain, M, 1988. Credit Alleviation of Rural Poverty: the G ameen Bank in
Bangladesh, Washington D.C.: International Food Policy Research Institute
(IFPRI Research Report 65).
Ingemann, J. H, 1999. The Political Economy of Satiety and Sustainability –
evolutionary experience from Danish agriculture paper presented at the
conference on Towards a Sustainable Society in the New Millennium. Umea,
Sweden.
Intarakamnerd, P, 2005. The Roles of Intermediaries in Clusters: The Thai
Experiences in High-tech and Community-based Clusters, Asian Journal of
Technology Innovation Vol. 13 (2).
Jain, P. S, 1996. Managing credit for the rural poor: lessons from the Grameen
Bank. Wor d Development, 24, 79-89.
Johnston, R, 1998. Water Supply and Management in the APEC Region, paper
prepared for the APEC Technology Foresight Centre Expert’s Workshop on The
Water Supply and Management. Hua Hin, Thailand.
Malerba, F, 2002a. Sectoral systems of innovation and production. Research Policy.
Vol. 31, (2) February 2002.
Malerba, F, 2002b. New Challenges for Sectoral Systems of Innovation in Europe.
Paper presented at DRUID Summer Conference 2002 on Industrial Dynamics
of New and Old Economy who is embracing whom? Copenhagen, Denmark, 6-
8 June 2002.
Mansell, R. and Steinmueller, W. E, 2000. Mobilizing the Information Society,
Oxford: Oxford University Press.
Martin, B. and Johnston, R, 1999. Technology foresight for wiring up the national
innovation system: experiences in Britain, Australia and New Zealand.
Technological Forecasting & Social Change, 60(1) January 1999, 37-54.
McKelvey, M. and Orsenigo, L, 2001. Pharmaceuticals as a Sectoral Innovation
System. Paper prepared for the ESSY Project (European Sectoral Systems of
Innovation).
26 Kebijakan Inovasi di Industri
Missingham, B. D, 2003. The Assembly of The Poor in Thailand: From Local
Struggles to National Pro est Movement. Chiang Mai, Thailand: SilkWorm
Books.
Morris-Suzuki, T, 1994. The Technological Transformation of Japan: From the
Seventeenth to the Twenty-first Centu y. Cambridge: Cambridge University
Press.
Mulder, N, 1997. Thai Images: The Culture of the Pubic World. Chiang Mai:
Silkworm.
Nartsupha, C. (Thai ed.), 1984. The Thai Village Economy in The Past, Pasuk
Phongpaichit and Chris Baker (English eds.) (1999). Chiang Mai, Thailand:
SilkWorm Books.
Pansak Vinyaratn, 2003. Asia finds its own way: The Thai roadmap. Asia Times, 30
May, www.atimes.com/atimes/southeast_asia/ee30ae02.html.
Pavitt, K, 2003. Specialisation and Systems Integration: Where Manufacture and
Services Still Meet. In Principe, A., Davies, A. and Hobday, M. (eds.) The
Business of System Integration.Oxford: OUP, 2003, pp. 78-91.
Phongpaichit, P., and Baker, C, 1997. Thailand Economy and politics, Oxford:
Oxford University Press.
Phongpaichit, P., and Baker, C, 1998. Thailand’s Boom and Bust. Chiang Mai,
Thailand: Silkworm Books.
Phongpaichit, P., and Piriyarangsan, 1994. Corruption & Democracy in Thailand,
Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books.
FAO, State of Food and Agriculture (SOFA), various issues.
Sriwatanapongse, S, 1997. The Role of Science and Technology in Thailand’s
Agriculture Sector. In Youngyuth Yuthavong and Angela M. Wojcik (eds.)
Science and Technology in Thailand: Lessons from a Developing Economy.
Bangkok, Thailand: UNESCO-NSTDA Publications.
Thailand Development Research Institute (TDRI), 1993. Thailand Economic Toolkit.
Bangkok.
Tidd, J., Bessant, J. and Pavitt, K, 1997. Managing Innovation: Integrating
technological, market and organizational change. 1st edition. Chichester: John
Wiley & Sons.
ANALISIS KEBIJAKAN KLASTER INOVASI
DI INDUSTRI KELAPA SAWIT
A. Husni Y. Rosadi
ABSTRACT Every country has attempted in transformation to be a knowledge base economy and
society. One way to make transformation is innovation cluster. Successful innovation
cluster is indicated with close interaction among the entities within the cluster and
their knowledge exchange. To strengthen the cluster and its interaction necessary
policy support. Government has a role to make policy to strengthen and facilitate
innovation cluster. This paper describes how the policy initiatives that can strengthen
the innovation cluster of oil palm by considering many aspects of the policy. The
method used is the method of policy analysis, i.e. the policy cycle approach. The
results show that the innovation cluster components in the palm oil industry in
Indonesia has been already, but still not optimal. The policies were still partial, and
only issued by sectoral institutional and not integrated. Therefore, it is necessary to
propose a policy initiative that involves all stakeholders, to issue a joint policy to
encourage the upgrading of palm oil cluster innovation.
Keywords : innovation cluster, policy initiatives, oil palm industry
ABSTRAK Setiap negara telah berusaha untuk melakukan transformasi menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi dan masyarakat yang berbasis pengetahuan. Salah satu cara
transformasi tersebut adalah dengan menerapkan klaster inovasi. Klaster inovasi
yang sukses ditandai dengan interaksi yang erat antara entitas dalam klaster dan
pertukaran pengetahuan diantara mereka. Untuk memperkuat klaster dan
interaksinya diperlukan dukungan kebijakan. Pemerintah memiliki peran membuat
kebijakan dalam memperkuat klaster inovasi. Makalah ini memaparkan bagaimana
inisiatif kebijakan yang dapat memperkuat klaster inovasi kelapa sawit. Metode yang
digunakan adalah metode analisis kebijakan, dengan pendekatan siklus kebijakan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa komponen klaster inovasi di industri kelapa sawit di
Indonesia relatif sudah ada meskipun belum optimal. Kebijakan masih bersifat parsial
yang hanya dikeluarkan oleh institusi sektoral dan belum terintegrasi. Oleh karena
itu, perlu diusulkan kebijakan yang mampu melibatkan seluruh pemangku kebijakan
untuk mengeluarkan kebijakan bersama, yang mampu mendorong peningkatan
kemampuan klaster inovasi kelapa sawit.
Kata kunci: kluster inovasi, inisiatif kebijakan, industri kelapa sawit
28 Kebijakan Inovasi di Industri
PENDAHULUAN
Kajian kebijakan inovasi dapat didekati dari beberapa pendekatan. Ada
pendekatan yang lebih berorientasi kepada industri sebagai bagian inti dalam
pengembangan inovasi (Porter, 1992; Porter dan Stern, 2002). Selain itu, terdapat
juga pendekatan yang lebih menekankan kepada sistem dan lingkungan yang
kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi (Arnold dan Kuhlman., 2001;
Lundvall, 1992; Albright, 2007; APCTT, 2009).
Pendekatan pertama melihat perusahaan dan industri adalah tempat
tumbuhnya inovasi secara nyata. Sehingga akumulasi inovasi dari berbagai
perusahaan dan industri dalam suatu negara adalah hasil inovasi dari negara
tersebut. Sementara pendekatan kedua, melihat bahwa inovasi di industri akan
berkembang apabila ada sistem dan lingkungan kondusif dalam suatu negara
yang memungkinkan inovasi tumbuh. Secara umum kedua pendekatan tersebut
sangat bersinggungan. Pendekatan pertama fokus kepada industri dengan
memperhatikan lingkungan tumbuhnya inovasi dan bagaimana keterkaitan
diantara mereka, sementara pendekatan kedua fokus kepada sistem secara umum,
dengan industri menjadi salah satu komponennya, serta memperhatikan
bagaimana interaksi diantara komponen-komponen tersebut.
Dalam unit analisis, pendekatan kedua lebih menekankan bagaimana
tumbuhnya inovasi dalam suatu sistem yang utuh melalui interkasi antara pelaku
penghasil teknologi (lembaga litbang dan perguruan tinggi) dan pengguna
teknologi (industri). Hubungan tersebut sering juga melibatkan lembaga
intermediasi sebagai penghubung diantara keduanya. Selain itu, pelaku dan
interaksi tersebut juga memerlukan dukungan dari pasar (pengguna produk),
sistem politik, infrastruktur pendukung serta framework condition yang berupa
dukungan kebijakan (Arnold dan Kuhlman, 2001).
Pada pendekatan pertama, tumbuhnya inovasi di industri, salah satunya
adalah dengan membangun klaster industri, yang kemudian sebagian diantaranya
lebih cenderung dikelompokkan dalam klaster inovasi. Klaster industri secara
generik merupakan kelompok industri spesifik (terdiri dari industri inti, industri
pemasok, industri pendukung, industri terkait, institusi pendukung dan pembeli)
yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/ peningkatan nilai
tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun non-bisnis (Porter, 1992, 1998;
Davis et al., 2006).
Klaster inovasi merupakan suatu klaster yang lebih menekankan kepada
tumbuhnya inovasi di industri melalui adopsi teknologi, penggunaan sistem dan
praktek kegiatan industri yang lebih canggih yang menghasilkan produk dengan
daur hidup yang pendek (Russell dan Schneiderheinze, 2005; Gordon dan McCann,
2003). Klaster inovasi berkembang karena adanya perkembangan teknologi yang
cepat yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset, dimana teknologi tersebut
terkonsentrasi dan menjadi bagian dari suatu negara (Fallah dan Ibrahim, 2004).
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 29
Sains, teknologi dan inovasi merupakan indikator yang berkontribusi dalam
menyebarkan peran nyata dalam kehidupan dan menerapkan pengetahuan dalam
perekonomian (Davis et al., 2006).
Klaster inovasi adalah upaya untuk meningkatkan daya saing internasional dan
menumbuhkan inovasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan (Arthurs et al., 2009).
Dalam klaster inovasi, interaksi antar masing-masing entitas (pelaku klaster)
bertujuan untuk menghasilkan inovasi di industri. Oleh karena itu, kebijakan yang
dihasilkan harus mendukung bagaimana memperkuat interaksi antar entitas,
sehingga inovasi di industri dapat tumbuh.
Dengan memperhatikan, bahwa klaster inovasi dapat mendorong tumbuhnya
inovasi di industri, maka industri-industri yang memiliki prospek ekonomi yang
besar diharapakan dapat berada dalam klaster inovasi. Dari berbagai industri yang
ada di Indonesia, industri kelapa sawit merupakan industri yang sangat prospektif.
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan
produksi CPO sekitar 19,4 juta ton pada tahun 2009 (ICN, 2010), dengan
melibatkan sekitar 46 industri besar dan menampung lebih dari 4 juta tenaga kerja,
di luar 2 juta kepala keluarga yang menjadi petani plasma (Widodo et al., 2010).
Selain itu, inovasi di industri kelapa sawit sudah berkembang dengan baik,
terutama dengan adanya PPKS sebagai lembaga riset kelapa sawit terbesar di
Indonesia dan dukungan asosiasi industri, asosiasi riset dan perguruan tinggi.
Tetapi apakah klaster inovasi kelapa sawit di Indonesia mungkin untuk terbentuk
dan berkembang? Kajian di bawah akan memaparkan mengenai prasyarat untuk
tumbuhnya klaster inovasi kelapa sawit dengan mengulas karakteristik pelaku
klaster dan kebijakan apa yang telah ada yang memungkinkan klaster inovasi
terbentuk dan berkembang.
LANDASAN TEORI: KLASTER INOVASI KELAPA SAWIT
Klaster industri menurut Porter (Porter, 1992, 1998) adalah kelompok industri
spesifik (terdiri dari industri inti, industri pemasok, industri pendukung, industri
terkait, institusi pendukung dan pembeli) yang dihubungkan oleh jaringan mata
rantai proses penciptaan/ peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis
maupun non-bisnis. Dalam klaster industri, industri inti merupakan industri yang
menjadi fokus perhatian dan biasanya dijadikan titik sentral. Industri inti dapat
mendorong industri lainnya untuk tumbuh dan maju, dan memiliki kemampuan
inovasi.
Berbeda dari klaster industri secara umum, klaster inovasi yang dipopulerkan
oleh Schumpeter (DeBresson dan Hu, 1999) merupakan pergantian paradigma dari
ekonomi berbasis produk menjadi ekonomi berbasis pengetahuan melalui inovasi
terdepan (Crapuchettes, 2008) dalam bidang pengembangan teknologi dan
kewirausahaan (European Commission, 2014). Klaster inovasi lebih menekankan
30 Kebijakan Inovasi di Industri
kepada tumbuhnya inovasi di industri dalam klaster melalui adopsi teknologi,
penggunaan sistem dan praktek kegiatan industri yang lebih canggih (Beker, 2008;
Russell dan Schneiderheinze, 2005).
Seperti halnya klaster industri, klaster inovasi juga merupakan jalinan
(linkages), interaksi, hubungan (relationship) serta mengekploitasi sinergi baik
dalam lingkungan lokal maupun regional dan berorientasi kepada peluang pasar
nyata serta bekerjasama dengan klaster lainnya untuk mendorong inovasi secara
terbuka (Aho et al., 2008).
Jalinan kerjasama dalam klaster inovasi bukan hanya menjadi perhatian daerah
atau negara saja, tetapi juga menjadi perhatian kelompok negara, seperti di Uni
Eropa. Uni Eropa menganggap bahwa mereka memiliki peringkat yang tinggi
dalam kualitas institusi dan berbagai faktor kondisi, tetapi lemah dalam
kemampuan memobilisasi input-input tersebut melalui kewirausahaan,
pembentukan usaha baru dan pembaharuan (European Commission, 2014). Oleh
karena itu, klaster dapat berperan penting dalam dalam meningkatkan nilai
perusahaan dalam bidang ekonomi (Ketels dan Sölvell, 2006).
Dalam pengembangan klaster, klaster dapat diperkuat melalui peningkatan
kesadaran diantara para entitas dan organisasi dalam klaster. Hal tersebut karena
setiap entitas memiliki peluang untuk berkembang dan memiliki keterkaitan
dengan lainnya. Meskipun industri inti (anchor companies) berperan lebih besar
dalam mendorong pengembangan klaster (Porter, tanpa tahun).
Secara umum berkembangnya klaster inovasi di suatu negara/ daerah sangat
ditentukan oleh entitas utama yang menjadi pendukungnya dan kapabilitas inovasi
dari entitas tersebut. Di beberapa negara dengan klaster inovasi yang berkembang
(Hsien-Chun, 2003; Serra, 2000; Bortagaray dan Tiffin, 2000; Ketels dan Sölvell,
2006, Arthurs et al., 2009; Dan, 2012), entitas utama dalam klaster inovasi adalah
adanya lembaga riset (knowledge center), unit pendorong inovasi (innovation
bussiness unit dan professional service institution), industri/ perusahaan (sebagai
pengguna hasil inovasi) dan pemerintah (selaku pembuat kebijakan). Knowledge
center diantaranya adalah Lembaga Riset Pemerintah maupun swasta, Perguruan
Tinggi, Lab. Pengembangan, Lab. Uji Mutu dan lainnya. Unit pendorong inovasi
atau innovation bussiness unit dan professional service institution diantaranya
seperti inkubator teknologi, pusat pengembangan teknologi, institusi pemasar
teknologi, lembaga manajemen, dan lembaga pendanaan (modal ventura,
perbankan, lembaga penyalur kredit lunak pemerintah, dan lainnya).
Di Asia Tenggara, pengembangan klaster inovasi juga banyak dilakukan. Di
Malaysia dan Brunei misalnya, klaster inovasi yang mereka namakan sebagai
klaster pengetahuan (knowledge cluster) sudah menjadi bagian dari strategi
pengembangan negara mereka. Klaster ini diarahkan untuk menjadikan mereka
sebagai negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan, yang diantaranya dengan
membangun Klaster Pengetahuan Koridor Penang dan Multimedia Super Corridor
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 31
– MSC Cyberjaya (Affif et al., 2014). Begitu juga dengan Singapura yang
mengembangkan R&D cluster, sebagai model dalam pengembangan industri di
Singapura (negara kota) untuk menjadikan mereka sebagai simpul pengembangan
R&D (The Economist Intelligence Unit, 2011).
Pengembangan klaster inovasi kelapa sawit relatif masih terbatas. Malaysia,
dengan sejarah kelapa sawit yang lebih lama, merupakan contoh yang baik dalam
mengembangkan klaster kelapa sawit. Meskipun tidak dinamai sebagai klaster
inovasi, tetapi jalinan kerjasama diantara para pelaku klaster kelapa sawit sudah
melakukan alih pengetahuan dan inovasi diantara mereka (Martin, 2009). Ada tiga
bentuk jaringan antar pelaku klaster yang menumbuhkan inovasi di industri kelapa
sawit di Malaysia, yaitu jaringan kreatif (creative networks), jaringan transformasi
(transformation networks) dan jaringan proses (process networks). Jaringan
kerjasama tersebut dalam bentuk partner bisnis seperti dalam pengembangan
nutraceutical antara MPOB (Malaysian Palm Oil Boards) dengan Procter and
Gamble, Johnson & Johnson, Unilever, Novartis dan Monsanto atau dalam
pengembangan gremplasma antara Advanced Biothechnology and Breeding Center
(ABBC) dengan Orion Genomics dari Amerika Serikat (Martin, 2009).
Di Indonesia, klaster inovasi apalagi klaster inovasi kelapa sawit masih belum
dinyatakan secara eksplisit. Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah-RPJMN (Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010) dan Kebijakan Industri
Nasional – KIN (Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008) telah menetapkan industri
kelapa sawit sebagai klaster industri prioritas. Meskipun tidak dinamakan klaster
inovasi, tetapi dengan memperhatikan keterkaitan antara industri yang
mendorong tumbuhnya inovasi, dimana setiap pelaku yang terlibat secara nyata
melakukan akumulasi peningkatan teknologi, maka secara implisit para pelaku
tersebut membentuk klaster inovasi.
Interaksi diantara pelaku industri kelapa sawit, terutama di sektor hulu telah
terjalin dengan baik dan dilakukan secara intensif, seperti antara PPKS (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit), PT. Socfin Indonesia dan PT. London Sumatera Indonesia,
Tbk. Meskipun untuk beberapa pelaku lainnya seperti PT. Dami Mas, PT. Tunggal
Yunus Estate (Asian Agro Group), PT. Bina Sawit Makmur dan PT. Tania Selatan
relatif masih lemah (Sugiyono et al., 2007).
METODOLOGI
Penelitian yang dilakukan dalam makalah ini berkaitan dengan kebijakan
publik, terutama kebijakan untuk mendorong inovasi di industri. Berbagai analisis
kebijakan publik dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang sering digunakan
adalah pendekatan siklus kebijakan (policy cycle), yang dipelopori oleh Lasswell
(1956), dan kemudian dikembangkan oleh Anderson (1975), Jenkins (1978), Dunn
(1994) dan lainnya. Ada lima fasa dalam siklus atau proses pembuatan kebijakan,
32 Kebijakan Inovasi di Industri
yaitu: penentuan agenda (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation),
adopsi kebijakan (policy adoption), penerapan kebijakan (policy implementation)
dan kajian kebijakan (policy assessment) atau evaluasi dan penghentian (evaluation
and termination). Proses kebijakan tersebut lebih bersifat preskritif dan normative
dan bukan deskriptif dan analitik (Jann dan Wegrich, 2007). Oleh karena itu, proses
atau fasa tersebut bukanlah sesuatu yang kaku dan pasti, tetapi lebih merupakan
suatu formula untuk memudahkan dalam perumusan kebijakan.
a. Penentuan agenda (agenda setting) adalah menentukan dan mendefinisikan
masalah yang ada di masyarakat yang memerlukan dukungan kebijakan.
Panentuan agenda pada intinya merujuk pada kegiatan mengeksplorasi
berbagai isu-isu atau masalah-masalah dalam industri kelapa sawit dan
kemudian menetapkan satu masalah yang akan menjadi fokus analisis
kebijakan. Setelah masalah kebijakan didefinisikan, maka langkah selanjutnya
adalah mencari penyebab yang menimbulkan masalah tersebut
b. Formulasi kebijakan adalah upaya untuk merformulasikan berbagai alternative
kebijakan yang mampu menjawab permasalahan dalam penentuan agenda.
Alternative kebijakan dapat diperoleh dari kebijakan yang telah ada,
keputusan penentu kebijakan, keputusan pengadilan, inisatif legislative,
usulan masyarakat, dan lainnya. Dari berbagai alternative kebijakan, maka
dipilih beberapa kebijakan yang memiliki tingkat adopsi dan kemampuan
untuk memecahkan persoalan yang paling optimal. Formulasi kebijakan
menyertakan tentang bentuk kebijakan, mekanisme pelaksanaan dan siapa
pelaksananya.
c. Adopsi kebijakan, adalah alternative kebijakan yang dipilih kemudian diadopsi
atau diterima untuk dijadikan kebijakan paling tepat oleh penentu kebijakan
(pemerintah pusat/ daerah dan atau lembaga legislative).
d. Implementasi kebijakan, merupakan penerapan kebijakan di masyarakat, yang
perlu diujicoba lebih dahulu. Ujicoba dapat dilakukan melalui pembahasan
antar instansi dan instutusi serta ujicoba ke masyakarat (public) melalui
berbagai media. Jika tingkat penerimaan masyarakat tinggi, maka alternative
kebijakan tersebut dapat ditetapkan sebagai kebijakan.
e. Evaluasi kebijakan, dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui apakah
kebijakan tersebut efektif untuk memecahkan masalah. Evaluasi dikalukan
terhadap masyarakat yang menerima dampak kebijakan dan mekanisme
pelaksanaan kebijakan. Hasil evaluasi digunakan untuk menilai apakah
kebijakan tersebut dapat diteruskan atau perlu diganti dengan kebijakan baru.
Data yang diperlukan untuk makalah ini adalah data mengenai kondisi dan
kebijakan klaster industri dan inovasi. Data merupakan data sekunder yang
diperoleh melalui kajian litaratur dari berbagai sumber. Untuk mengetahui apakah
kebijakan yang ada merupakan kebijakan yang terintegrasi, maka dilakukan
analisis. Karena penelitian merupakan analisis dan kajian kebijakan, maka makalah
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 33
ini hanya membahas mengenai dua hal pertama, yaitu penentuan agenda dan
formulasi kebijakan. Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai kondisi atau
karakteristik pelaku klaster inovasi kepala sawit, sebagai bagian dalam penentuan
agenda, serta beberapa alternative kebijakan (kebijakan yang ada dan kebijakan
yang diperlukan) sebagai bagian dari formulasi kebijakan. Proses lainnya (adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan) dilakukan oleh penentu
kebijakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pelaku Klaster Inovasi Kelapa Sawit
Elemen utama dalam klaster inovasi kelapa sawit pada dasarnya adalah: (1)
industri inti, dalam hal ini adalah industri pengolah kelapa sawit dan produk
turunannya, yaitu industri yang didorong setiap saat melakukan inovasi. (2) industri
pendukung untuk industri pengolah kelapa sawit yaitu industri penyedia bahan
baku, industri mesin dan peralatan, industri kimia, industri penyedia jasa desain
dan rekayasa, dan industri lainnya; dan (3) lembaga litbang atau (R&D).
1. Industri inti
Industri inti dalam klaster inovasi ini adalah industri pengolah kelapa sawit dari
crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Produk-produk olahan minyak sawit
yang dipasarkan atau dikonsumsi di Indonesia, secara umum terdiri dari produk
konsumsi (terutama minyak goreng dan margarine), produk kebutuhan sehari-hari
yang dihasilkan dari produk oleokimia (seperti sabun, deterjen, kosmetika, dan
bahan pelunak, dan lainnya) serta produk untuk kebutuhan energy, seperti
biodiesel, oli dan lainnya (KRT, 2005). Minyak sawit banyak digunakan terutama
sebagian besar (sekitar 90%) untuk industri pangan, seperti minyak goreng dan
margarin dan sisanya untuk industri non pangan, seperti sabun, biodiesel,
oleokimia dan lainnya (CIC, 2004).
Teknologi yang digunakan oleh industri pengolahan kelapa sawit menjadi
produk-produk hilir menggunakan teknologi dari luar negeri, seperti dari Jerman,
Australia, Jepang, dan sebagainya. Teknologi-teknologi tersebut diadopsi oleh
berbagai perusahaan pembuat produk turunan minyak sawit di Indonesia (CIC,
2003).
Secara umum, industri pengolah kelapa sawit di Indonesia sebagian besar
adalah perusahaan besar yang sudah mapan, bahkan beberapa diantaranya adalah
anak perusahaan dari suatu kelompok konglomerat yang besar (CIC, 2004). Sedikit
sekali, pelaku industri adalah industri baru yang masih atau berasal dari spin-off
lembaga litbang atau unversitas. Padahal spin-off merupakan salah satu cara untuk
menunjukkan kemampuan inovasi (Rogers, 1988).
34 Kebijakan Inovasi di Industri
Karena elemen utama adalah perusahaan-perusahaan yang sudah mapan,
maka inovasi sangat tergantung kepada budaya inovasi di perusahaan induknya.
Inovasi yang dilakukan oleh perusahaan besar hampir didominasi inovasi produk,
karena teknologi proses yang digunakan pada umumnya diperoleh dengan cara
membeli dari pembuat instalasi pemrosesan yang sudah mapan. Padahal daya
saing perusahaan sangat tergantung kepada kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan dan teknologi dalam produk dan proses produksi (Roelandt et al.,
2000). Walaupun demikian, terdapat juga pabrik pengolahan kelapa sawit yang
dikembangkan lembaga litbang, seperti pabrik pengolahan bio-diesel yang
dikembangkan oleh BPPT, meskipun produksinya baru mencapai tiga ton perhari
dan diarahkan untuk mencapai 30.000 ton/tahun (BPPT, 2009).
Industri inti dalam klaster inovasi umumnya diinisiasi oleh industri baru
sebagai embrio pusat riset universitas; melibatkan perusahaan yang sudah mapan
sebagai pendorong untuk meningkatkan kemampuan inovasi; adanya budaya
menghasilkan inovasi yang berlangsung tanpa henti; keberanian mengambil resiko
(risk-taking) dari para entrepreneur-nya; kondisi persaingan yang sehat, tidak
didominasi oleh ras tertentu tetapi terjadi sebaran etnis, serta kondisi lainnya; serta
adanya lembaga litbang dan perguruan tinggi yang mendukung secara intensif
(Fallah dan Ibrahim, 2004; Hsien-Chun, 2003; Serra, 2000; Bappenas, 2005). Di
Indonesia, industri inti umumnya adalah industri besar yang berafiliasi kepada
kelompok konglomerat.
Budaya menghasilkan inovasi menjadi keharusan bagi industri, termasuk
industri hilir kelapa sawit. Inovasi tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang
berbasis lembaga litbang, tetapi juga oleh industri yang merupakan anak
perusahaan dari konglomerat. Hal tersebut terjadi karena persaingan produk
turunan minyak sawit sangat ketat. Kemampuan bersaing adalah kemampuan
untuk memberikan nilai tambah, yang hanya terjadi apabila dilakukan inovasi.
2. Industri pendukung
Industri pendukung untuk industri pengolah kelapa sawit adalah industri
penyedia bahan baku, industri mesin dan peralatan, industri kimia, industri
penyedia jasa desain dan engineering, serta industri lainnya. Industri penyedia
bahan baku, adalah perkebunan kelapa sawit. Dalam perkebunan kelapa sawit,
paling tidak ada empat hal yang berperan, yaitu penyediaan lahan, bibit, budidaya
serta pemanenan dan pasca panen.
Untuk meningkatnya produktivitas lahan, penyediaan areal lahan dapat
dilakukan dengan inovasi teknologi. Inovasi teknologi dilakukan diantaranya dalam
menentukan dan memetakan lahan yang sesuai untuk setiap jenis varietas kelapa
sawit, sehingga diperoleh produktivitas lahan yang tinggi (PPKS, 2000a).
Inovasi teknologi juga dilakukan dalam penyediaan bibit tanaman dari
berbagai kultivar unggul, untuk menghasilkan produksi TBS (tandan buah segar)
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 35
yang tinggi, memiliki rendemen minyak yang tinggi, tahan berbagai hama dan
penyakit serta mudah dalam pemeliharaannya (PPKS, 1997, 2000b; Tim Pengelola
Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006). Bibit unggul nasional kelapa sawit telah
dikembangkan melalui berbagai inovasi seperti kultur jaringan oleh Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, PT. Sucofindo, PT. Sumatera Plantation, PT
Sampurna Agro, dan lainnya, sekitar 147 juta bibit (setara 700 ribu ha) per tahun.
Inovasi teknologi juga dilakukan dalam budidaya serta pasca panen. Inovasi
dalam budidaya seperti dalam pemuliaan tanaman dan pemupukan untuk
menghasilkan tanaman dengan produktivitas lahan dan mutu minyak yang tinggi.
Inovasi teknologi dalam pengendaliaan hama bertujuan untuk mengendalikan
hama dan penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur maupun serangga. Inovasi tersebut dilakukan melalui
perkayaan dan pertukaran plasma nutfah dengan pusat penelitian dalam dan luar
negeri, pemanfaatan hibridisasi, mixed farming, sistem pengendalian hama terpadu
dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan (PPKS, 1997, 1999, 2000c). Inovasi
teknologi panen dan pasca panen bertujuan untuk mempertahankan rendemen
minyak yang ada dalam TBS serta meningkatkan produktivitas hasil panen (PPKS,
1997).
Untuk industri penyedia mesin dan peralatan, sampai saat ini teknologi yang
banyak digunakan masih menggunakan teknologi dari luar negeri. Meskipun
demikian, di Indonesia sudah terdapat banyak industri peralatan yang bisa
membuat mesin untuk pabrik (skala besar), misalnya PT. Indo Laval memproduksi
mesin air tank, heat exchanger, dissolution tank, steam dryer dan Jacket Pan, PT.
Bukaka Teknik Utama memproduksi container, PT. Indonesia Marine memproduksi
boiler, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. Boma Bisma
memproduksi dissolution tank dan heat exchanger serta masih banyak lagi.
Meskipun demikian, masih terdapat kendala dalam memproduksi dalam skala
yang besar, karea investor lebih mempercayai produk peralatan (mesin) dari luar
negeri.
Peralatan untuk industri hilir kelapa sawit pada umumnya menggunakan
bahan stainless steel kualitas tinggi. Dan sebagian besar stainless steel tersebut
masih impor. Selain itu, industri permesinan yang ada di Indonesia masih
memproduksi mesin secara umum dan tidak terlalu spesifik. Misalnya belum ada
industri yang memproduksi mesin khusus untuk pengolahan kelapa sawit menjadi
CPO dan produk turunannya. Selain itu, karena perusahaan penghasil peralatan
produksi tersebut sebagian besar adalah anak perusahaan dari perusahaan asing,
maka inovasi teknologi dilakukan di negara asalnya (headquarter).
3. Lembaga Litbang
Kontribusi lembaga riset dalam pengembangan produk-produk hilir kelapa
sawit masih sangat kecil. Belum ada suatu sistem penelitian nasional yang
36 Kebijakan Inovasi di Industri
mendukung pengembangan industri hilir kelapa sawit secara strategis, terencana
dan berkesinambungan. Program penelitian yang sudah dilakukan belum
terinventarisasi dengan lengkap, sehingga aspek apa saja yang sudah dilakukan
dan mana yang perlu untuk segera dilakukan belum diketahui dengan pasti. Selain
itu, penelitian yang telah dilakukan seperti Riset Unggulan Strategis Nasional
(Rusnas) kelapa sawit pada umumnya masih dalam skala lab, dan belum sampai ke
skala komersial. Walaupun sudah cukup banyak penelitian di perguruan tinggi
maupun litbang, namun hasil-hasil riset tersebut belum tuntas dan belum banyak
dimanfaatkan secara komersial (Tim Pengelola Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006).
Lembaga penelitian di Indonesia pada umumnya dapat dikelompokkan dalam
tiga kategori, yaitu lembaga penelitian pemerintah (kementerian dan non-
kementerian), lembaga penelitian universitas dan lembaga penelitian perusahaan.
Lembaga penelitian pemerintah yang banyak terlibat dalam penelitian kelapa sawit
adalah PPKS Medan, LIPI, BPPT, Lemigas dan Balai Besar Selulosa. Lembaga
penelitian universitas adalah lembaga penelitian yang ada di perguruan tinggi
yang melakukan penelitian kelapa sawit, seperti IPB, ITB, UGM, USU, Universitas
Syiah Kuala, Unila, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Sementara itu, lembaga
penelitian perusahaan, merupakan salah satu divisi dari perusahaan, seperti PT.
Sucofindo, PT. Sumatera Plantation, dan PT Sampoerno Agro.
Inovasi teknologi yang dilakukan oleh beberapa lembaga litbang baik
pemerintah, perguruan tinggi maupun industri bervariasi, dari mulai on-farm
seperti penyediaan bibit, teknik budidaya, penanggulangan hama, teknologi panen
dan pasca panen, sampai kegiatan off-farm seperti pengolahan menjadi produk
hilir, proses produksi dan lainnya. Beberapa lembaga penelitian lebih banyak
mengkhususkan pada kegiatan penelitian on-farm seperti PPKS, PT. Sucofindo, PT.
Sumatera Plantation, sementara lembaga penelitian lainnya lebih banyak
melakukan kegiatan penelitian pada sisi off-farm, seperti BPPT, LIPI, BBS, Lemigas
dan sebagian besar perguruan tinggi. PPKS sendiri, selain penyedia bibit kelapa
sawit paling produktif di Indonesia, juga banyak melakukan kegiatan inovasi dalam
hal budidaya, penanggulangan hama, merancang mesin pengolah kelapa sawit,
penelitian produk hilir untuk farmasi, tribologi dan surfaktan dan lainnya
(Wulandari, 2006; Haryati, 2006; Sukirno et al., 2006; Soekoitojo, 2006).
Hasil riset yang diterapkan menjadi produk komersial dilakukan melalui
kerjasama penelitian antara lembaga riset dengan industri. BPPT misalnya bekerja
sama dengan produsen pupuk BUMN (seperti PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT.
Pupuk Kujang, dan lainnya) akan mengembangkan pupuk lepas lambat (slow
release fertilizer, SRF) dan pupuk organik, yang salah satunya untuk memenuhi
perkebunan kelapa sawit (BPPT, 2010). Begitu juga beberapa lembaga riset, seperti
LRPI, Balitbang Pertanian, Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih
Perkebunan, serta beberapa perguruan tinggi telah sering melakukan kerjasama
dengan beberapa perusahaan utama pada industri kelapa sawit. Meskipun
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 37
demikian, secara umum hubungan kerjasama tersebut masih relatif lemah,
dibandingkan hubungan antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan lembaga
riset luar negeri seperti Centre de coopĕration Internationale en Recherche
Agronomique pourle Dĕveloppement, France – CIRAD Perancis dan The Potash and
Phosphate Institute and the Potash and Phosphate Institute of Canada - PPI-PPIC
Kanada yang sudah mencapai lebih dari 30 tahun (Sugiyono et al., 2007).
Kebijakan yang Ada dan Kebijakan yang Diperlukan
Kebijakan yang ada
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemeintah yang dapat mempengaruhi,
walaupun tidak secara eksplisit dalam pengembangan klaster inovasi kelapa sawit
diantaranya adalah: kebijakan perindustian, kebijakan pertanian, kebijakan riset
serta kebijakan keuangan dan kebijakan perdagangan.
1. Kebijakan Industri
Kebijakan industri di Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres)
No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Kebijakan industri nasional
meliputi Bangun Industri Nasional, Strategi Pembangunan Industri Nasional dan
Fasilitas Pemerintah. Bangun industri nasional memiliki pilar dasar berupa: daya
kreatif dan sumberdaya alam (yang merupakan kompetensi inti daerah), kemudian
tiangnya adalah basis industri manufaktur (industri petrokimia, semen, baja,
komponen, barang modal, tekstil, sepatu, elektronika dan lainnya), serta atapnya
adalah industri andalan masa depan, yang dikelompokkan dalam tiga kelompok,
yaitu: industri agro, industri telematika dan industri alat angkut. Salah satu industri
dalam kelompok industri agro adalah industri pengolahan kelapa sawit.
Salah satu strategi pokok dan strategi operasional pembangunan industri
adalah mendorong pertumbuhan klaster industri prioritas. Industri prioritas terdiri
dari empat kelompok industri, yaitu: basis industri manufaktur, kelompok industri
agro, kelompok industri alat angkut dan kelompok industri penunjang industri
kreatif dan industri kreatif. Kelompok industri agro terdiri dari 12 industri
pengolahan, termasuk di dalamnya adalah industri pengolahan kelapa sawit.
Dalam Perpres No. 28 tahun 2008, strategi penguatan, pendalaman dan
penumbuhan klaster industri prioritas melalui strategi jangka menengah dan
jangka panjang. Untuk industri pengolahan kelapa sawit, strategi jangka
menengahnya adalah:
a) mendorong pelaksanaan revitalisasi perkebunan kelapa sawit (intensifikasi
dan ekstensifikasi);
b) memanfaatkan produk samping biodiesel berbasis crude palm oil (CPO)
sebagai pengembangan industri oleokimia hilir;
c) meningkatkan jaminan pasokan CPO untuk bahan baku industri turunan
sawit dalam negeri;
38 Kebijakan Inovasi di Industri
d) meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri
berbasis kelapa sawit;
e) meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional;
f) meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia
turunan kelapa sawit yang terintegrasi;
g) mengembangkan industri yang memanfaatkan limbah industri kelapa sawit.
Sementara itu, strategi jangka panjang yang dilakukan adalah:
a) meningkatkan diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber bahan
baku dan sumber energy industri oleokimia;
b) melakukan revitalisasi perkebunan kelapa sawit;
c) meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional;
d) meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia
berbasis kelapa sawit;
e) meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri kimia
berbasis kelapa sawit;
f) mengembangkan kawasan industri kelapa sawit terpadu di sentra produksi
kelapa sawit;
g) meningkatkan penggunaan sistem teknologi informasi pada industri berbasis
kelapa sawit;
h) mengembangkan pusat unggulan perkelapasawitan.
Kebijakan-kebijakan tersebut berperan dalam mendorong klaster inovasi, baik
dalam hal memperkuat entitas dalam klaster maupun jaringan kerjasama antar
entitas.
2. Kebijakan Riset
Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) merupakan salah satu instrumen
kebijakan dari pemerintah untuk mendorong inovasi dalam bidang kelapa sawit di
Indonesia. Instrumen kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing
Indonesia dalam perkelapasawitan dunia melalui pengembangan industri hilir.
Sasaran dari Rusnas kelapa sawit ini adalah teknologi proses produk hilir kelapa
sawit yang bernilai tambah tinggi (paket, desain, prototipe); sistem pemanfaatan
dan pengolahan limbah serta pengembangan sistem produksi bersih; sistem
kelembagaan penelitian sawit yang efektif; paket teknologi industri hilir kelapa
sawit yang mencapai skala pilot plant; membentuk dan mengoptimalkan klaster
industri hilir; program advokasi/promosi; dan mengembangkan sistem pemasaran
(KRT, 2005).
Output dari Rusnas ini adalah terbentuknya dan berkembangnya konsorsium
technology business service; terbentuknya klaster industri hilir sawit; tersedianya
paket teknologi, publikasi ilmiah; paten dan hasil temuan yang dapat
dikomersialkan; informasi ilmiah terpublikasi dan terwujudnya sistem sawit
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 39
nasional. Sedangkan, dampak dari Rusnas adalah sinergi aneka lembaga dan
industri dalam klaster, citra unggul sawit, dan klaster industri hilir sawit yang
berkelanjutan.
Dalam kegiatannya, dana Rusnas sebagian besar diarahkan kepada lembaga
penelitian dan pengembangan (R&D). Kemudian hasil penelitian dan
pengembangan dari lembaga Litbang yang berupa teknologi diberikan kepada
industri. Hal ini menunjukkan bahwa pasokan teknologi dipersepsikan selalu
berada pada lembaga penelitian dan pengembangan. Padahal inovasi yang
sesungguhnya terjadi di industri. Industri juga menghasilkan inovasi teknologi
yang aplikatif sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, maka di masa
mendatang insentif Rusnas sebaiknya juga diarahkan secara langsung kepada
industri.
3. Kebijakan Perkebunan
Badan Litbang Pertanian telah memberi usulan mengenai arah
pengembangan agribisnis kelapa sawit. Kebijakan pengembangan agribisnis
kelapa sawit yang diusulkan adalah kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu
kelapa sawit, pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah, kebijakan
industri terpadu dan dukungan penyediaan dana (Goenadi et al., 2007). Kebijakan
tersebut dapat mendorong tumbuhnya klaster inovasi kelapa sawit, terutama dari
sisi penyediaan bahan baku yang terintegrasi dengan proses produksi minyak
sawit. Dari sisi penyediaan bahan baku secara umum kebijakan dapat ditinaju dari
tiga hal, yaitu: inovasi penyediaan bibit, inovasi budidaya dan inovasi panen dan
pasca panen.
Kebijakan penyediaan bibit (perbenihan) dapat mendorong tumbuhnya klaster
inovasi kelapa sawit, terutama untuk industri pemasok dalam menghasilkan bibit
hasil inovasi yang bermutu tinggi. Kebijakan didorong untuk penyediaan benih
yang memenuhi standar mutu serta teknologinya telah diaudit oleh lembaga yang
kompeten. Kebijakan ini menyangkut: kebijakan sub-sistem plasma nutfah dan
pemuliaan; kebijakan sub-sistem produksi, penyediaan dan peredaran benih;
kebijakan sub-sistem pengendalian mutu dan audit sumber benih; serta kebijakan
penunjangnya. Kebijakan perbenihan didukung oleh kebijakan pengawasan mutu
dan peredaran benih, sehingga benih yang dipasarkan memperoleh label resmi
dan terjamin kualitasnya. Selain itu, untuk menjaga pasokan benih yang berkualitas
juga diperlukan kebijakan untuk memperbanyak produsen penghasil benih yang
memiliki kemampuan untuk memenuhi baku mutu sesuai persyaratan yang
ditetapkan. Departemen Pertanian melalui Surat Keputusan Dirjen Perkebunan No.
86/Kpts/HK.330/5/2008 telah menetapkan produsen benih yang telah memenuhi
persyaratan.
Selain penyediaan benih, budidaya kelapa sawit juga terkait dengan
penyediaan lahan. Karena budidaya tanaman kelapa sawit memerlukan waktu yang
40 Kebijakan Inovasi di Industri
lama, maka perlu adanya jaminan penyediaan lahan dalam jangka panjang.
Kepastian hukum akan hak pengelolaan lahan dalam jangka panjang menjadi
penting. Kepastian hukum untuk usaha perkebunan mempertimbangkan aspek
kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Kepastian hukum untuk usaha
perkebunan diantaranya diatur dalam UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,
yang memberi jaminan pengelolaan hutan (untuk hak guna usaha) diberikan
dalam jangka waktu 35 tahun, dan bisa diperpanjang lagi sampai 25 tahun apabila
memenuhi persyaratan yang ditentukan (Pasal 11). Kepastian hukum dalam
pemanfaatan hutan dalam jangka waktu yang cukup lama, akan meningkatkan
jumlah investasi, termasuk investasi untuk inovasi dalam kegiatan pembibitan,
budidaya dan panen. Jangka waktu usaha yang lama, memungkinkan usaha
perkebunan untuk meningkatkan kualitas produksi tanamannya dengan terus
menerus melakukan inovasi.
Sebagai usaha yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan tanaman,
maka kegiatan perkebunan kelapa sawit memerlukan adanya jaminan kelestarian
fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut, karena adanya tuntutan kelestarian
lingkungan alam yang sudah diratifikasi, seperti ekolabeling, ISO 14000,
pembangunan berkelanjutan, dan lainnya yang harus dipenuhi oleh usaha
perkebunan. Kebijakan pelestarian lingkunganpun diatur dalam UU no. 18 tahun
2004 tentang Perkebunan, yang mengatur usaha perkebunan untuk wajib
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya
(pasal 25), serta mengatur usaha perkebunan untuk tidak membuka, mengolah
lahan dengan cara membakar yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan kerusakan fungsi lingkungan hidup (pasal 26).
Kebijakan perkebunan lebih mendorong penguatan entitas industri
pendukung (industri penyedia bahan baku) untuk melakukan inovasi baik dalam
pembibitan, budidaya maupun dalam panen dan pasca panen, terutama dengan
diterapkannya UU Perkebunan.
4. Kebijakan Keuangan
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak tak langsung,
yaitu pajak dari pertambahan nilai yang timbul karena dipakainya faktor-faktor
produksi di setiap jalur produksi dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan
dan memperdagangkan barang atau jasa kepada para konsumen. Penurunan dan
penghapusan PPN pada komoditas primer perkebunan mulai tahun 2005 hingga
2008 berdampak positif terhadap produksi, ekspor, nilai tambah. Perubahan
kinerja komoditas primer perkebunan yang sangat berarti terjadi pada nilai
tambah. Penurunan tarif PPN dari 10 persen menjadi 5 persen akan meningkatkan
nilai tambah secara nyata. Nilai tambah kelapa sawit meningkat sebesar Rp. 141
milyar jika PPN diterapkan 5 %. Sedangkan, jika PPN dihapuskan nilai tambah yang
diperoleh peningkatannya menjadi Rp. 282 milyar (Dradjat et al., 2005).
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 41
Dampak terhadap peningkatan produksi dan volume ekspor tidak sebesar
dampak terhadap peningkatan nilai tambah. Penurunan tarif PPN dari 10 persen
menjadi 5 persen hanya akan meningkatkan rata-rata produksi per tahun 0,24
persen. Dampak terhadap peningkatan produksi akan meningkat apabila PPN
dihapuskan, yaitu sebesar 0,48 persen. Demikian pula, penurunan tarif PPN dari 10
persen menjadi 5 persen akan meningkatkan rata-rata volume ekspor per tahun
sebesar 0,15 persen. Dampak terhadap peningkatan volume ekspor akan
meningkat apabila PPN dihapuskan, yaitu sebesar 0,30 persen.
Kebijakan PPN secara nyata mendorong klaster inovasi kelapa sawit untuk
berkembang, terutama dengan peningkatan nilai tambah riil yang meningkat
secara signifikan dengan penurunan PPN. Peningkatan nilai tambah sangat
dipengaruhi oleh efisiensi dalam faktor produksi, yang berupa peningkatan output
dan atau efisiensi input. Hal tersebut terjadi karena adanya inovasi dalam proses
maupun produk.
5. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan pajak ekspor (PE) CPO dan produk turunannya merupakan agenda
rutin pemerintah dalam kebijakan penetapan harga CPO. Peningkatan PE
mempunyai dampak pada pengembangan industri kelapa sawit. Dampak
peningkatan PE yang paling langsung dan segera akan terlihat adalah berupa
penurunan harga CPO di tingkat domestik. Dengan asumsi bahwa harga di
pasaran internasional bersifat kompetitif, maka setiap kenaikan pungutan ekspor
ditafsirkan sebagai lebih rendahnya harga domestik dibanding harga di pasar
internasional. Hal ini berarti pendapatan yang diterima oleh produsen CPO apabila
dijual di pasar domestik juga turun. Untuk kenaikan PE menjadi 7%, dengan harga
CPO antara USD 455 sampai USD 460 per ton, maka kerugian yang diderita oleh
produsen CPO adalah sekitar Rp 290 per kg dan potensi kerugian selama satu
tahun sekitar Rp 3,45 triliun (Sugema et al., 2007).
Selain itu, pemberlakuan pajak ekspor juga berdampak kepada penurunan
luas areal lahan sawit. Pajak ekspor sebesar 13,3% akan menurunkan luas areal
pertanaman kelapa sawit dewasa sebesar 37 ribu hektar per tahun. Hal tersebut
menyebabkan produksi kelapa sawit juga menurun sebesar 0,81% atau sebesar 36
ribu ton CPO per tahun dan ekspor CPO juga menurun sebesar 6,02% atau sebesar
147 ribu ton per tahun dibadingkan bila tidak ada PE. Kondisi ini menyebabkan
pendapatan petani juga menurun sebesar 11,35% atau Rp 400 ribu per hektar per
tahun, atau Rp 800 milyar per tahun untuk seluruh perkebunan rakyat (Susila,
2004). Pihak yang diuntungkan dari pemberlakuan pajak ekspor adalah industri
minyak goreng dalam negeri dan pemerintah.
Pengenaan pajak ekspor dari satu sisi akan meningkatkan penerimaan negara
dari pajak, tetapi di sisi lain akan mendorong industri kelapa sawit beserta industri
pendukungnya akan mengalami kerugian, karena adanya potensi pendapatan
42 Kebijakan Inovasi di Industri
yang hilang. Kebijakan ini dapat menjadi penghambat dalam mengembangkan
klaster inovasi kelapa sawit, sehinga entitas dan keterkaitan dalam klaster juga
akan mengalami gangguan. Oleh karena itu, perlu dihitung dan disimulasi untuk
menentukan pajak ekspor yang paling optimal dari sisi penerimaan negara
maupun dari sisi produksi kelapa sawit.
Kebijakan yang Diperlukan
Kebijakan-kebijakan di atas pada dasarnya adalah kebijakan parsial yang
hanya melihat dari salah satu sektor, dan merupakan kebijakan yang
mempertimbangkan sisi lainnya. Keberhasilan yang dapat mendorong tumbuhnya
klaster inovasi adalah kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai berbagai
aspek yang saling terkait. Pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang
komprehensif diantaranya adalah: klaster haruslah berbasis kekuatan lokal, adanya
kerangka yang jelas (misalnya menghilangkan hambatan regulasi), menciptakan
kerangka iklim yang menarik, kebijakan harus memungkinkan industri (terutama
UMKM) untuk tumbuh dan berinovasi sehingga dapat menjadi pemimpin dalam
persaingan terbuka serta pemerintah berperan sebagai penyedia kebutuhan publik
(Aho et al., 2008; Roelandt et al., 1999).
Untuk menumbuhkan klaster inovasi di industri pengolahan kelapa sawit,
maka diperlukan kebijakan yang sinergi antar masing-masing lembaga/
kementerian yang mengeluarkan kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa
insentif yang dapat mendorong tumbuhnya inovasi pada komponen-komponen
(industri inti, industri pendukung dan lembaga litbang) dalam klaster inovasi
industri kelapa sawit dengan memperhatikan kebijakan terkait lainnya, seperti
kebijakan keuangan, kebijakan industri dan kebijakan investasi. Kebijakan yang
diusulkan diantaranya adalah:
1. Kebijakan menumbuhkan inovasi di industri inti
Kebijakan yang berupa insentif untuk mendorong tumbuhnya inovasi di
klaster inovasi. Kebijakan ini harus mempertimbangkan dan didukung oleh
pajak yang menarik industri untuk melakukan investasi (kebijakan fiskal), riset
yang terpadu dan komprehensif melibatkan berbagai intitusi (kebijakan riset),
kemudahan perizinan bagi industri pemula untuk membangun usahanya
(kebijakan investasi), serta kebijakan penguatan klaster industri kelapa sawit di
kawasan khusus (kebijakan industri). Kebijakan ini akan memungkinkan
industri hilir kelapa sawit untuk tumbuh dan berkembang. Insentif dapat
mendorong industri untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi karena
mampu menghasilkan inovasi produk ataupun proses.
2. Kebijakan untuk mendorong industri pendukung
Salah satu kebijakan untuk mendorong industri pendukung adalah kebijakan
mendorong industri mesin dan peralatan pengolahan kelapa sawit untuk
tumbuh. Kebijakan yang diusulkan berupa perpaduan kebijakan kemudahan
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 43
memperoleh barang modal (kebijakan industri), kemudahan untuk
memperoleh bantuan pendanaan investasi (kebijakan keuangan), keringanan
dalam pajak – ada grace periode dalam pembayaran pajak (kebijakan fiskal),
serta kolaborasi riset dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang
(kebijakan riset). Kebijakan ini akan mendorong tumbuhnya industri mesin
dan peralatan pengolahan sawit yang bersumber dari dalam negeri. Selain itu,
dalam pelaksanaan kebijakan ini juga perlu diikuti dengan kebijakan
penggunaan kandungan (teknologi) lokal dalam kegiatan proses pengolahan
kelapa sawit.
3. Kebijakan mendorong lembaga litbang untuk terus berinovasi
Kebijakan yang dapat mendorong tumbuhnya inovasi dalam skala komersial
diantaranya adalah dengan membentuk mekanisme spin-off bagi lembaga
litbang atau perguruan tinggi. Para kelompok peneliti yang mampu
menghasilkan produk/ proses yang layak secara komersial diberi keleluasaan
untuk menerapkannya dalam skala komersial dengan membantu pendanaan
dan inkubasi teknologi dan manajemen. Sehingga hasil penelitian tersebut
dapat diaplikasikan dan memiliki dampak ekonomi yang lebih luas. Kebijakan
ini memerlukan dukungan kemudahan dalam pendanaan (kebijakan
keuangan), kemudahan bagi industri pemula untuk memperoleh kredit
(kebijakan keuangan), penyediaan lokasi khusus untuk industri pemula
(kebijakan investasi), bantuan bimbingan teknis dan manajemen (kebijakan
industri), serta kepastian pembelian produk (kebijakan perdagangan).
PENUTUP
Kebijakan sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kemampuan
dan daya saing industri. Daya saing industri semakin lama akan banyak ditentukan
oleh inovasi dalam lingkungannya (klaster inovasi). Ke depan klaster inovasi ini
akan semakin diandalkan untuk memperkuat daya saing industri, bukan hanya
industri kreatif tetapi juga industri berbasis sumberdaya alam. Sebagai sumberdaya
alam yang dapat diperbaharui dengan produk turunan yang sangat banyak,
minyak sawit akan menjadi komoditas potensial pendting di masa menadatang.
Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan terobosan yang mendorong tumbuhnya
klaster inovasi di industri sawit akan terus dibutuhkan untuk memperkuat daya
saing industri sawit nasional.
44 Kebijakan Inovasi di Industri
DAFTAR PUSTAKA
Affif, S., H-D Evers, A. B. Ndah dan F. Purwaningrum, 2014. Governing Knowledge
for Development: Knowledge Clusters in Brunei Darussalam dan Malaysia.
Center for Development Research, University of Bonn
Aho, E., J-P. Courtois, P. Cox, D. Payre, P. Pouletty, 2008. Clustering for Growth: How
to Build Dynamic Innovation Clusters in Europe. Brussel, Science Business
Innovation Board
Albright, K. 2007. “Research Into Use: Linking Scientists and Users in Innovation
Systems”, presented at the Farmer First Revisited: Farmer Participatory
Research and Development Twenty Years on workshop at the Institute of
Development Studies, University of Sussex, 12th-14th December 2007
Anderson, J.E. 1975. Public Policymaking. New York: Praeger
APCTT 2009, National Innovation Systems: A Case Of India.
(http://www.nis.apctt.org/case-policy-measure-by-government.html, diakses
12 Agustus 2014)
Arnold, E dan Kuhlmann, S, 2001. “RCN in the Norwegian research and innovation
system”, Background Report No 12 in the Evaluation of the Research Council of
Norway, Oslo: Royal Norwegian Ministry for Education, Research and Church
Affairs
Arthurs, D., E. Cassidy C. H. Davis dan D. Wolfe, 2009. ”Indicators to support
innovation cluster policy”, dalam Int. J. Technology Management, Vol. 46, No.
3/4,
Bappenas, 2005. Contoh-Contoh Pembangunan Klaster. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, BAPPENAS
Beker, G, 2008. “Clusters, secience parks and regional development: strategies and
policies in Hungary”, dalam UNECE TOS-ICP, Geneva, February 14.
BPPT [Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi], 2009. “Sosialisasi Fasilitas
Penelitian Dan Pengembangan Biodiesel BRDST-BPPT”,
[http://www.bppt.go.id/index.
php?option=com_content&view=article&id=115:sosialisasi-fasilitas-
penelitian-dan-pengembangan-biodiesel-brdst-bppt&catid=50:teknologi-
energi]
BPPT [Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi], 2010. Program Manual
Rancang Bangun Industri Pupuk Berimbang. Jakarta: Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi
Bortagaray, I. dan S. Tiffin, 2000. “Innovation clusters in Latin America”, dalam 4th
International Conference on Technology Policy and Innovation, Curitiba, Brazil,
Aug. 28 – 31, 2000
CIC [PT. Capricorn Indonesia Consult Inc]. 2003. Studi Industri Oleokimia dan
Prospeknya di Indonesia 2003. Jakarta: PT. CIC Inc,.
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 45
CIC [PT. Capricorn Indonesia Consult Inc]. 2004. Studi dan Direktori Minyak Kelapa
Sawit di Indonesia. Jakarta: PT. CIC Inc,
Crapuchettes, A. 2008. “Identification of knowledge and innovation clusters”, dalam
Council for a New Economy Workforce, September
Dan, M.C. 2012. “Innovative clusters: a solution for the economic development of
Romania”, dalam Theoritical and Applied Economics, Vol XIX, No. 9 (574), hlm.
5-16
Davis, C. H., D. Arthurs, E. Cassidy dan D. Wolfe, 2006. ”What indicators for cluster
policies in the 21st century?”, dalam Blue Sky II 2006: What Indicators for
Science, Technology and Innovation Policies in the 21st Century, Ottawa,
September
DeBresson, C. dan X. Hu, 1999. “Identifying clusters of innovative activity: a new
approach and toolbox”, dalam OECD Proceedings: Boosting Innovation, The
Cluster Approach, Paris: OECD Publications Service,
Dradjat, B., R. Suprihatini, Herman dan K. Anwar, 2005. “Dampak kebijakan pajak
pertambahan nilai pada kinerja komoditas primer perkebunan”, dalam Analisis
Kebijakan Pertanian, Vo. 3, No. 2, hlm. 108-132
Dunn, W.N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction, 2nd ed. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall,
European Commission, 2014. Innovation Union Competitiveness Report.
Luxembourg: European Union.
Fallah, M. H. dan S. Ibrahim, 2004. “Knowledge spillover and innovation in
technological clusters”, dalam IAMOT 2004
Gordon, I. R. dan P. McCann, 2003. “Clusters, Innovation and Regional
Development”, dalam A Project ‘London: Economic Competitiveness, Social
Cohesion and the Policy Environment’ Funded by the (UK) Economic and Social
Research Council
Goenadi, D.H, L. Erningpraja, B. Drajat, B. Hutabarat dan A. Kurniawan, 2007.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
Haryati, T. 2006; ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok riset surfactan
berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan Produk Industri
Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus
Hsien-Chun, M, 2003. “Innovation Cluster As The National Competitiveness Tool In
The Innovation Driven Economy”. dalam NIS International Symposium, Seoul,
Oct. 28 ~ Nov.1
ICN [Indonesian Commercial Newsletter], http://www.datacon.co.id/CPO1-
2009Sawit.html, diakses 2 Juni 2010
Jann, W. dan K. Wegrich, 2007. “Theories of the policy cycle”, dalam F. Fischer, G.J.
Miller dan M.S. Sidney, Handbook of Public Policy: Theory, Politics and Methods.
Boca Raton: CRC Press
46 Kebijakan Inovasi di Industri
Jenkins, W.I., 1978. Policy-Analysis. A Political and Organisational Perspective.
London: Martin Robertsen
Ketels C. dan O. Sölvell, 2006. Innovation Clusters in the 10 New Member States of
the European Union. European Communities
KRT [Kementerian Riset dan Teknologi], 2005. Industri Hilir Kelapa Sawit. Jakarta;
Kementrian Negara Riset dan Teknologi
Lalkala, R. 2003. “Technology business incubators: characteristic and role in
economics development”, dalam Seminar Role Of Technology Business
Incubator In SADC Countries. Mauritus, 24-27 Februari.
Lasswell, H.D. 1956. The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis.
College Park: University of Maryland Press.
Lubis, N. D, A, 2003. Kajian Kemampuan Teknologi Industri Pengolahan Berbahan
Baku Kelapa Sawit. Bogor: Program Pasasarjana IPB
Lundvall, B.A. (ed.) 1992. National Systems of Innovation and Interactive Learning.
London, UK: Pinter
Martin, S. 2009. “Networking and innovation in the Malasysian palm oil industry:
past, present and future”, dalam Oil Palm Industry Economy, Vol 9 , No. 2, hlm.
13 - 22
Porter, M. E. 1992. Competitive Advantage Of Nations. New York: The Free Press.
Porter, M. E. 1998.”Clusters and the new economics of competition”. dalam
Harvard Business Review, Edisi Nov-Dec.
Porter, M. E. dan S. Stern. 2002, “Innovation: Location Matters”, Dalam E. B. Robert
(Ed). Innovation: Driving Product, Process And Market Change. Cambridge:
Jossey-Bass
Porter, M.E. (tanpa tahun). Clusters of Innovation:Regional Foundations of U.S.
Competitiveness. Council on Competitiveness
PPKS, 1997. Company Profile: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan: Pusat
Penelitian Kelapa Sawit
PPKS, 1999. Marfu: Biofungisida Pengendali Jamur Ganoderma Boninense Pada
Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit
PPKS, 2000a. Evaluasi Lahan Dan Pemetaan Lahan. Medan: Pusat Penelitian Kelapa
Sawit
PPKS, 2000b. Bahan Tanaman Kelapa Sawit Unggul. Medan: Pusat Penelitian
Kelapa Sawit
PPKS, 2000c. Penasehatan Kultur Teknis Dan Rekomendasi Pemupukan. Medan:
Pusat Penelitian Kelapa Sawit
PPKS, 2006. Profil Kelapa Sawit Indonesia. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit
Roelandt, T., V.A. Gilsing dan J. van Sinderen, 2000. “Cluster-based innovation
policy: International experiences”, dalam the 4th Annual EUNIP Conference,
Tilburg, The Netherlands, 7-9 December 2000
Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 47
Roelandt, T., P. Hertog, J. van Sinderen dan N. van den Hove, 1999. “Cluster
analysis and cluster policy in the Netherlands”, dalam OECD Proceedings:
Boosting Innovation, The Cluster Approach, Paris: OECD Publications Service,
Rogers, E.M. 1988. “The role of the research university in the spin-off of high-
technology company”, dalam Gronhaug, K dan G. Kaufmann (ed). Innovation:
A Cross-Disciplinary Perspective. London: Norwegian University Press.
Russell, D dan A. Schneiderheinze 2005. ”Implementing an innovation cluster in
educational settings in order to develop constructivist-based learning
environments”, dalam Educational Technology & Society, 8 (2), hlm. 7-15.
Serra, M. A. 2000. “Building up an innovation cluster: the successful case of LACTEC
in Paraná, Brazil”. Project Undertaken By DEST (Desenvolvimento E Evolução
De Sistemas Técnicos), A Research Group of the Department of Economics at
the Federal University of Paraná,
Soekoitojo, S. 2006. ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok oleofood
berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan Produk Industri
Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus
Sugema, I., M. F. Hasan, Aviliani, U. Hidayat dan Sugiyono, 2007. Strategi
Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. Jakarta: INDEF
Sugiyono, N. N. Rachma, dan M. Simamora, 2007. “Science & technology network
in the innovation system of up-stream oil palm industry in Indonesia”, dalam
the National Workshop on Subnational Innovation Systems and Technology
Capacity Building Policies to Enhance Competitiveness of SMEs, UN-ESCAP dan
LIPI, Jakarta, 3 – 4 April
Sukirno, M. Nasikin, dan B. Heru 2006. ”Formulasi Pelumas Berbasis Minyak Sawit
Untuk Industri Pangan. Penelitian Dan Pengembangan Riset Kelompok
Farmasetikal-Nutrasetikal Berbasis Sawit”, dalam Seminar Peneltian dan
Pengembangan Produk Industri Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus
Susila, W. R. 2004. “Impacts of CPO-export tax on several aspects of Indonesian
CPO industry”, dalam Oil Palm Industry Economic Journal, Vol. 4, No. 2
The Economist Intelligence Unit, 2011. Fostering Innovation-Led Clusters: A Review
of Leading Global Practices. Geneva: The Economist
Tim Pengelola Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006. Rencana Penelitian Dan
Pengembangan Riset Hulu Kelapa Sawit. Serpong: Kementrian Negara Riset
dan Teknologi
Wahyono, T., R. Nurkhoiry, Dan M. A. Agustira. 2006. Kondisi Terkini Pasar Global
Minyak Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Widodo, K. H., A. Abdullah dan K.P.D Arbita, 2010. “Sistem supply chain crude palm
oil Indonesia dengan mempertimbangkan aspek economical revenue, social
welfare dan environment”, dalam Jurnal Teknik Industri, Vol 12, No. 1, Hlm. 47-
54
48 Kebijakan Inovasi di Industri
Wulandari, N. 2006. ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok farmasetikal-
nutrasetikal berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan
Produk Industri Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus
FAKTOR YANG MEMENGARUHI INOVASI
DI INDUSTRI MAKANAN:
KERANGKA TEORITIS
Dyan Vidyatmoko dan Pudji Hastuti
ABSTRACT This paper tries to propose a theoretical framework to examine the factors that affect
innovation in the food industry in Indonesia. This theoretical framework is the
development of a theoretical framework developed by Cohen and Galende and de la
Fuente. This framework is relevant and useful from both an academic and practical
point of view and has practical implications for policymakers in terms of
conceptualizing and operationalizing innovation factors in the food industries in
Indonesia
Keyword: innovation factors, innovation factors framework/ model, innovation factors indicators,
food industry
ABSTRAK Tulisan ini mencoba untuk mengusulkan kerangka teoritis untuk meneliti faktor-
faktor yang mempengaruhi inovasi dalam industri makanan di Indonesia. Kerangka
teori ini adalah pengembangan kerangka teori yang dikembangkan oleh Cohen dan
Galende dan de la Fuente. Kerangka ini relevan dan berguna dari kedua titik pandang
akademis dan praktis dan memiliki implikasi praktis bagi para pembuat kebijakan
dalam hal konseptualisasi dan operasionalisasi faktor inovasi di industri makanan di
Indonesia.
Kata kunci: faktor inovasi, kerangka/model inovasi, indikator inovasi, industri makanan
PENDAHULUAN
Kegiatan litbang di bidang pangan di Indonesia banyak dilakukan oleh
lembaga litbang pemerintah. Sebagian besar kegiatan untuk menghasilkan inovasi
pangan yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah tersebut dananya
diperoleh dari anggaran pemerintah. Sampai sekarang sumber utama pendanaan
untuk riset pangan berasal dari dana pemerintah. Bila dibandingkan dengan
besarnya dana yang telah dikeluarkan untuk penelitian, kontribusi penelitian oleh
lembaga litbang pemerintah terhadap kemajuan sektor pertanian lebih banyak
50 Kebijakan Inovasi di Industri
terjadi di sektor hulu, seperti benih dan budidaya (on-farm). Di sektor on-farm,
banyak hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah
diperkenalkan pada petani untuk dimanfaatkan. Sementara itu, di sektor off-farm,
meskipun lembaga litbang pemerintah juga telah banyak melakukan penelitian,
tetapi pada umumnya hanya sedikit hasil penelitian sektor publik yang sampai ke
tahap komersialisasi, khususnya penelitian untuk penganekaragaman (diversfikasi)
pangan. Hal ini karena hasil inovasi dari lembaga litbang pemerintah tidak banyak
yang dimanfaatkan industri untuk dikembangkan ke tahap komersialisasi.
Selain oleh lembaga litbang pemerintah, kegiatan inovasi juga dilakukan oleh
industri. Dari sisi industri pun, inovasi pangan yang dihasilkan masih rendah.
Rendahnya inovasi produk pangan menyebabkan diversifikasi produk pangan dan
ketersediaan pangan juga rendah. Dengan pasar yang besar, terbatasnya produk
pangan yang dihasilkan di dalam negeri mendorong terjadinya impor pangan.
Akibatnya, impor pangan Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan.
Dibandingkan dengan lembaga litbang pemerintah yang lebih berorientasi ke
hulu (on-farm), pelaku industri memiliki potensi yang besar untuk melakukan
kegiatan inovasi produk pangan hingga ke tahap komersialisasi (produksi masal
dan pemasaran). Meskipun demikian, tidak banyak industri (perusahaan) yang
sudah melakukan investasi di bidang penelitian dan pengembangan. Perusahaan
yang melakukan kegiatan riset biasanya adalah perusahaan yang tergolong dalam
industri besar (leading industries). Padahal, hanya beberapa perusahaan saja yang
masuk dalam kelompok ini. Hasil studi Fuglie dan Piggot (2001) tentang kegiatan
penelitian dan pengembangan oleh industri di Indonesia memperlihatkan bahwa
nilai investasi litbang oleh industri masih sangat rendah, jauh di bawah biaya
litbang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sisi pengeluaran penelitian di
bidang pertanian, porsi terbesar, sekitar 80%, adalah biaya litbang untuk kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah. Walaupun data pengeluaran
penelitian pertanian ini adalah data tahun 1998-99, namun diperkirakan kondisi
saat ini belum banyak berubah dari kondisi saat itu. Di negara-negara maju,
komposisi pengeluaran litbang ini kebalikan dari kondisi di atas, dimana industri
mengeluarkan biaya litbang yang jauh lebih besar dari sektor pemerintah.
Dengan alasan tersebut di atas, maka perlu ada upaya untuk mendorong agar
industri pangan tertarik untuk melakukan inovasi teknologi dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang kondusif bagi industri pangan untuk melakukan kegiatan litbang.
Kurangnya pemahaman manfaat inovasi teknologi dan beberapa determinan
pendorong terjadinya inovasi di industri pangan menjadi salah satu alasan kecilnya
investasi penelitian dan pengembangan oleh industri pangan. Insentif (kebijakan)
yang membentuk kondisi yang dibutuhkan oleh swasta untuk melakukan litbang
dirasakan belum cukup dan perlu dihasilkan insentif-insentif lain. Hal ini sejalan
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 51
dengan apa yang disebutkan di ayat 1 pasal 28 UU No. 18 tentang SISNASIPTEK
bahwa badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk
meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam
meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan.
Pelaksanaan dari undang-undang ini kemudian dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan
Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi
Teknologi. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari kajian ini
adalah melakukan identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di industri
pangan dan penyusunan kerangka analisisnya.
KAJIAN LITERATUR
Penelitian-penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
inovasi di industri makanan telah banyak dilakukan sebelumnya di negara-negara
maju. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal (Avermaete et al., 2002; Galende & De la Fuente,
2003). Faktor internal adalah faktor-faktor yang dimiliki atau yang ada di dalam
perusahaan, sementara yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah hal-hal
yang berada di luar lingkungan perusahaan.
Cohen (1995) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di
perusahaan adalah skala usaha (firm size), status perusahaan (legal status), umur
perusahaan (age), kemampuan finansial (financial capability), sumber daya manusia
(human capital), keterkaitan eksternal (external linkage), ukuran pasar (market
size), dan perkembangan permintaan (demand growth). Hasil penelitian Braadland
(2000) terhadap perusahaan makanan di Norwegia menunjukkan bahwa tiga
sumber inovasi yang penting bagi industri makanan yaitu pemasok peralatan dan
mesin, litbang, dan hubungan dengan pelanggan.
Penelitian tentang inovasi di industri pengolahan makanan di Eropa dilakukan
oleh Bruce dan Mattew (2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang
mendorong dilakukannya inovasi di perusahaan antara lain orientasi perusahaan,
skala usaha (firm size), status perusahaan (legal status), ukuran pasar (market size),
dan hubungan dengan pelanggan dan pemasok. Haaga (2002) berdasarkan hasil
penelitian terhadap 7.000 buah restoran di seluruh dunia, membuktikan bahwa
inovasi berkaitan erat dengan orientasi pasar perusahaan.
Galende dan de la Fuente (2003) menuliskan hasil penelitian terhadap 152
perusahaan Spanyol yang inovatif. Hasil analisis yang menggunakan metode
ekonometrik membuktikan bahwa ada hubungan yang kuat antara faktor-faktor
internal dan faktor-faktor eksternal perusahaan dengan proses inovasi. Menurut
hasil penelitian tersebut, faktor-faktor yang mendorong inovasi di perusahaan
adalah skala usaha, status perusahaan, umur perusahaan, kemampuan keuangan
52 Kebijakan Inovasi di Industri
perusahaan, sumber daya manusia, keterkaitan eksternal, ukuran pasar (market
size), dan pertumbuhan permintaan (demand growth).
Penelitian tentang faktor-faktor yang berperan penting terhadap inovasi
perusahaan, khususnya pengolahan makanan juga dilakukan oleh Avarmaete et al
(2002). Mereka melakukan penelitian di 60 perusahaan makanan skala kecil di dua
provinsi di Belgia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa hal-hal yang
berperan penting dalam mendorong inovasi di perusahaan antara lain skala usaha,
umur perusahaan, sumber daya manusia, konteks geografis (kinerja ekonomi
daerah), dan hubungan dengan perusahaan lokal lainnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dihasilkannya inovasi oleh
perusahaan disebutkan oleh Bagherinejad (2002). Penelitian yang dilakukan
melalui studi literatur, pengiriman kuesioner dan wawancara dengan 20 pejabat
eksekutif di sektor industri di Teheran menunjukkan bahwa skala usaha (firm size),
investasi litbang, sumber daya manusia (human capital), hubungan dengan
pelanggan dan pemasok, peran lembaga pemerintah/kebijakan pemerintah,
hubungan dengan perusahaan lokal lainnya, dan dukungan pendanaan dari
perbankan sebagai faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap inovasi di
perusahaan.
Narvekar dan Jain (2006) menyebutkan bahwa inovasi di perusahaan
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Hasil penelitian mereka yang
didasarkan pada studi literatur dan pengalaman profesional memperlihatkan
bahwa sumber daya manusia (human capital), budaya inovasi adalah dua faktor
internal yang dapat mendorong inovasi. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang
berpengaruh antara lain keterkaitan eksternal (external linkage) dan hubungan
dengan pelanggan dan pemasok.
Omidvar (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya inovasi pada 1200 perusahaan di industri pengolahan makanan di
Kanada. Penelitian yang lebih menfokuskan pada pengaruh sumber daya manusia
terhadap inovasi perusahaan ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner dengan
memanfaatkan survey inovasi oleh Jaringan Riset Kebijakan Pertanian. Omidvar
membuktikan bahwa skala usaha (firm size) dan tingkat persaingan di pasar
memiliki pengaruh positif terhadap inovasi di perusahaan. Dalam hal pendidikan
dan konteks daerah, diketahui bahwa perusahaan di wilayah pedesaan dan
perusahaan dengan SDM yang berpendidikan lebih rendah memiliki inovasi
produk yang lebih sedikit, namun tidak menunjukkan dihasilkannya inovasi proses
yang lebih sedikit.
Hasil penelitian Capitanio et al (2009) berdasarkan penelitian terhadap 4.289
perusahaan di industri pengolahan makanan (termasuk industri makanan)
menunjukkan bahwa inovasi produk yang dilakukan oleh perusahaan dipengaruhi
oleh kualitas SDM, konteks geografis, dan umur perusahaan. Untuk inovasi proses,
faktor-faktor yang berpengaruh adalah struktur finansial, skala usaha dan
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 53
intensitas permodalan. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa perusahaan
melakukan inovasi dan diferensiasi produk karena harus mempertahankan
keunggulan daya saing terhadap jaringan besar.
Fortuin dan Omta (2009) melakukan penelitian terhadap sembilan perusahaan
pengolahan makanan multinasional di Belanda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pendorong utama dilakukannya inovasi adalah pembeli, dalam hal ini
sektor retail. Sementara faktor yang menjadi penghambat utama dilakukannya
inovasi oleh perusahaan adalah tidak diterapkannya pengawasan proses inovasi
menggunakan indikator kinerja utama, tidak digunakannya paten/lisensi untuk
melindungi produk dan proses, dan tidak diberikannya penghargaan dan insentif
kepada pekerja untuk mendorong inovasi.
Studi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inovasi di perusahaan
juga dilakukan oleh Abereijo et al (2009). Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada
dua faktor yang paling berpengaruh terhadap inovasi di perusahaan, yaitu
hubungan dengan pelanggan dan pemasok, dan orientasi pasar. Studi tentang
inovasi di usaha-usaha skala kecil di Iran dilakukan oleh Fazlzadeh dan Moshiri
(2010). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hal-hal yang dapat mempercepat
inovasi di perusahaan terdiri dari investasi litbang di perusahaan, usia perusahaan
dan jumlah pakar di perusahaan. Selain itu, juga diketahui bahwa industri skala
kecil memiliki pengaruh penting dan positif terhadap inovasi dan bahwa jenis
inovasi di industri skala kecil lebih beragam dibandingkan kelompok industri
lainnya.
Selain di luar negeri, penelitian tentang variabel yang memiliki pengaruh
penting terhadap kegiatan inovasi di perusahaan juga dilakukan oleh beberapa
peneliti di Indonesia. Rianto, et al (2006) melakukan penelitian tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi kemampuan inovasi di UKM komponen otomotif.
Hasil penelitian Rianto et al menunjukkan bahwa kemampuan inovasi perusahaan
hanya ditentukan oleh faktor internal perusahaan, yaitu faktor latar belakang
pemilik dan manajer, dan usaha teknologi perusahaan. Kemampuan inovasi
perusahaan cenderung dapat dihasilkan bila pemilik dan manajer perusahaan
mempunyai pengalaman kerja di UKM lain dan perusahaan besar dalam bidang
pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya saat ini. Faktor usaha
teknologi perusahaan yang menentukan kemampuan inovasi adalah persentasi
pengeluaran litbang per penjualan, dan pengeluaran litbang per tenaga kerja.
Sedangkan faktor-faktor yang bukan merupakan faktor penentu kemampuan
inovasi perusahaan adalah keterampilan tenaga kerja, frekuensi interaksi dengan
pihak-pihak terkait dengan perusahaan, kedekatan geografis dengan pihak-pihak
yang terkait dengan perusahaan dan dukungan institusi.
Srimindarti (2002) melakukan penelitian untuk menguji faktor-faktor yang
diduga mempengaruhi tingkat inovasi pada bagian penelitian dan pengembangan.
Faktor-faktor tersebut ada yang berasal dari organisasi yaitu gaya kepemimpinan,
54 Kebijakan Inovasi di Industri
strategi organisasi, serta struktur organisasi dan ada yang melekat pada individu
bagian penelitian dan pengembangan yaitu karakteristik personal berkaitan
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inovasi pada bagian penelitian
dan pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan,
karakteristik personal dan strategi organisasi mempengaruhi tingkat inovasi pada
bagian penelitian dan pengembangan sedangkan struktur organisasi berpengaruh
negatif terhadap tingkat inovasi pada bagian penelitian dan pengembangan.
Inggrit (2003) dengan mengambil studi kasus pada industri batik di
Pekalongan, melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi produk.
Hasil penelitian Inggrit menunjukkan bahwa pengaruh orientasi pasar, pengaruh
orientasi pembelajaran adalah positif tehadap inovasi produk. Sismanto (2006)
melakukan penelitian terhadap industri kecil dan menengah produk makanan di
Bengkulu. Secara umum kesimpulan dari hasil pengujian model yang diterapkan
pada industri kecil dan menengah produk makanan di Propinsi Bengkulu
menunjukkan bahwa inovasi dapat ditingkatkan melalui orientasi pembelajaran
dan orientasi pasar.
Berdasarkan atas kajian literatur di atas, maka variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap inovasi di industri, khususnya industri pengolahan makanan
secara ringkas dapat dilihat di Tabel 1.
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 55
Tabel 1. Variabel-variabel yang Memengaruhi Inovasi Teknologi di Industri Makanan
No Nama
Variabel
Penulis No Nama Variabel Penulis
Internal Eksternal
1 Skala Usaha
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Bruce et al
(2002); Bagherinejad (2006);
Avermaete (2004), Omidvar
(2006).
1 Keterkaitan eksternal Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003)
2 Status
Perusahaan
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Bruce et al
(2002)..
2 Ukuran pasar Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Capitanio, et al
(2009); Bruce et al (2002)
3 Umur
Perusahaan
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Capitanio, et al
(2009); Avermaete et al(2003);
Moshiri (2010)
3 Perkembangan
permintaan
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003)
4 Kemampuan/S
truktur
Keuangan
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Capitanio, et al
(2009); Narvekar & Jain (2006)
4 Hubungan dengan
pelanggan dan pemasok
Egil (2000); Fortuin & Omta
(2009); Bruce et al (2002);
Bagherinejad (2006); Abereijo
et al (2009); Narvekar & Jain
(2006)
5 SDM
Cohen (1995); Galende & de la
Fuente (2003); Capitanio, et al
(2009); Bagherinejad (2006);
Avermaete et al (2003);
Narvekar & Jain (2006)
5 Konteks Geografis/Kinerja
Ekonomi Daerah
Capitanio, et al (2009);
Avermaete et al (2003); Omidvar
(2006)
56 Kebijakan Inovasi di Industri
No Nama
Variabel
Penulis No Nama Variabel Penulis
Internal Eksternal
6 Investasi
Litbang
Egil (2000); Capitanio, et al
(2009); Bagherinejad (2006);
Moshiri (2010)
6 Orientasi Pasar Haaga (2002); Abereijo et al
(2009)
7 Kemampuan
Belajar
Fortuin & Omta (2009) 7 Peran lembaga
pemerintah/swasta
(pelatihan SDM,
pendanaan)/ Kebijakan
Pemerintah
Bagherinejad (2006); Abereijo
et al (2009)
8 Reward &
Insentif dari
Perusahaan
Fortuin & Omta (2009) 8 Hubungan dengan
perusahaan domestik lain
Bagherinejad (2006); Avermaete
et al (2003)
9 Budaya Inovasi Narvekar & Jain (2006) 9 Dukungan perbankan Bagherinejad (2006)
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 57
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS
Hasil studi pustaka dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa terdapat banyak variabel yang memengaruhi inovasi teknologi di
industri pangan. Kerangka teoritis ini merupakan pengembangan dari kajian
teoritis yang diajukan oleh Cohen (1995) dan Galende dan de la Fuente
(2003). Pendekatan dasar yang diajukan Cohen dan Galende dan de la
Fuente tersebut diharapkan akan memberikan analisis teoritis yang
komprehensif terhadap faktor-faktor yang memengaruhi inovasi teknologi
di Indonesia. Pengembangan dan pembuktian faktor-faktor yang
memengaruhi kompensasi eksekutif dapat dilakukan dengan mengacu
pada data kuantatif dan data kualitatif dengan menggunakan analisis
korelasi, analisis regresi dan analisis kualitatif sebagai alat analisis. Dengan
pendekatan tersebut, faktor-faktor yang menentukan inovasi teknologi
dapat dikelompokan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi skala usaha perusahaan, umur perusahaan, status
perusahaan, kemampuan keuangan, investasi litbang, human capital,
orientasi belajar, kemampuan perusahan memberikan reward/insentif,
orientasi pasar, tingkat kemampuan adaptasi teknologi dan gaya
kepemimpinan. Faktor eksternal terdiri dari lokasi, ukuran pasar, hubungan
dengan pihak lain, kebijakan pemerintah dan dukungan perbankan.
Penentuan variabel-variabel tersebut juga mempertimbangkan hasil diskusi
dengan beberapa ahli di bidang pangan dan pengamatan empiris.
Kerangka teoritis ini dianggap sebagai penelitian relatif baru terkait dengan
faktor penentu inovasi pangan. Hasil penentuan variabel sebelumnya
didapat dari perusahaan swasta di negara-negara maju tetapi akan diuji
pada industri pangan di Indonesia. Dua kategori tersebut disajikan pada
Tabel 2.
Dibandingkan dengan konsep yang diajukan oleh Cohen dan Galende
dan de la Fuente terdapat pengembangan variabel dalam kerangka teoritis
ini. Ada penambahan dua variabel dari kategori faktor internal yaitu gaya
kepemimpinan dan tingkat kemampuan adaptasi teknologi.
Variabel gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan
ditambahkan ke dalam variabel yang menentukan inovasi teknologi. Alasan
penting untuk memasukkan variabel tersebut karena berdasarkan
pengamatan empiris dan hasil diskusi dengan pakar pangan, gaya
kepemimpinan memengaruhi inovasi teknologi. Dengan berbagai gaya
kepemimpinan maka berbagai cara dilakukan oleh seorang pemimpin
58 Kebijakan Inovasi di Industri
untuk memengaruhi bawahannya dalam mencapai tujuan perusahaan. Gaya
bagaimana seorang pimpinan melakukan sesuatu sangat berpengaruh pada
pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh bawahan/karyawan. Misalnya,
pemimpin transformasional akan melakukan berbagai macam tindakan
untuk meningkatkan kesejahteraan perusahaan dan pegawai perusahaan.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pemimpin
transformasional cenderung menunjukkan komitmen yang besar dalam
upaya meningkatkan inovasi teknologi.
Tabel 2. Kategori dan Indikasi Variabel yang Memengaruhi Inovasi di
Industri Makanan di Indonesia
Kategori Variabel Kategori Variabel
Faktor
Internal
Skala Usaha Faktor
Ekternal
Lokasi
Umur Perusahaan Ukuran Pasar
Status Perusahaan Hubungan dengan
Pihak Lain
Kemampuan
Keuangan
Kebijakan Pemerintah
Investasi Litbang Dukungan Perbankan
SDM
Orientasi Belajar
Kemampuan
Perusahaan
Memberikan Reward
Orientasi Pasar
Tingkat kemampuan
Adaptasi teknologi
Gaya Kepemimpinan
Variabel tingkat kemampuan adaptasi teknologi ditambahkan karena
dapat menggambarkan sampai sejauh mana perusahaan dapat
memperbaiki (up grading) teknologi yang sudah diadopsi perusahaan dan
sampai sejauh mana perusahaan dapat mengantisipasi teknologi baru.
Variabel ini juga diajukan karena tidak semua perusahaan mempunyai unit
litbang.
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 59
PENYUSUNAN OPERASIONAL INDIKATOR
Data yang digunakan dalam kerangka teoritis ini adalah berupa data
yang berkaitan dengan kategori faktor internal dan faktor eksternal. Jenis
data tersebut berupa beberapa variabel determinan yang terkait dengan
kedua kategori di atas. Variabel penelitian, definisi operasional dan sumber
data dari kerangka teoritis disajikan pada Tabel 3. Variabel yang digunakan
dalam kerangka teoritis beserta indikator dan satuannya disajikan pada
Tabel 4.
Variabel yang digunakan dalam kerangka teoritis ini secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Variabel Skala Usaha
Skala usaha (firm size) adalah ukuran usaha yang dimiliki perusahaan.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan indikator jumlah pegawai,
jumlah penjualan yang dihasilkan perusahaan (revenue) dan nilai aset
dalam suatu perusahaan..
2. Variabel Umur Perusahaan
Umur perusahaan adalah usia perusahaan sejak berdiri sampai dengan
sekarang (Mei 2011). Pengukuran variable ini dilakukan dengan
indikator Start up/young (umur 5 th ke bawah) dan Mature/old (umur di
atas 5 tahun).
3. Variabel Status Perusahaan
Status perusahaan adalah pengkategorian perusahaan berdasarkan
struktur/status kepemilikan (PMA, BUMN/BUMD, Swasta Nasional).
Variabel ini diukur dengan tiga indikator yaitu PMA, BUMN/BUMD dan
Swasta Besar/Menengah/UKM.
4. Variabel Kemampuan Keuangan
Kemampuan keuangan diartikan sebagai kemampuan perusahaan
dalam mengelola dan meningkatkan sumber keuangan perusahaan.
Variabel ini diukur dengan menggunakan dua indicator yaitu total
profit dan total pendapatan.
5. Variabel Investasi Litbang
Investasi litbang adalah kemampuan perusahaan dalam melakukan
investasi penelitian dan pengembangan (litbang) dalam perusahaan.
Indikator yang digunakan dari variable ini adalah pengeluaran litbang
dan besarnya biaya diklat.
60 Kebijakan Inovasi di Industri
Tabel 3. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Sumber Data
No Variabel Definisi Operasional Sumber Data
FAKTOR INTERNAL
1 Skala Usaha Ukuran usaha yang dimiliki perusahaan Instansi/
perusahaan
2 Umur Perusahaan Usia perusahaan sejak berdiri sampai dengan sekarang ( Mei
2011)
Instansi/
perusahaan
3 Status Perusahaan Pengkategorian perusahaan berdasarkan struktur/status
kepemilikan (PMA, BUMN/BUMD, Swasta Nasional)
Instansi/
perusahaan
4 Kemampuan Keuangan Kemampuan perusahaan dalam mengelola dan meningkatkan
sumber keuangan perusahaan
Instansi/
perusahaan
5 Investasi litbang Kemampuan perusahaan dalam melakukan investasi litbang
perusahaan
Perusahaan
6 SDM Sumberdaya ketrampilan, pengetahuan, pengalaman yang
dimiliki perusahaan sebagai akibat dari investasi seperti diklat
Instansi/
perusahaan
7 Orientasi belajar Orientasi dalam mengembangkan pengetahuan atau wawasan
baru yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku
perusahaan
Perusahaan
8 Kemampuan Perusahaan
Memberikan Reward/Insentif
Kemampuan perusahaan dalam membayar insentif/reward
kepada pegawai yang melakukan inovasi
Perusahaan
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 61
No Variabel Definisi Operasional Sumber Data
9 Orientasi pasar Suatu aspek dimensi dari kultur organisasi dan sifat dari
orientasi belajar serta lebih banyak penelitian untuk memahami
norma dari nilai yang dapat dipertahankan serta pembelajaran
secara organisasional
Perusahaan
10 Tingkat kemampuan Adaptasi
Teknologi
Kemampuan perusahaan dalam memperbaiki teknologi yang
sudah diadopsi perusahaan
Perusahaan
11 Gaya Kepemimpinan
Suatu cara yang digunakan eksekutif untuk mempengaruhi
bawahannya atau orang lain yang dinyatakan dalam bentuk
pola tingkah laku atau kepribadian
Perusahaan
FAKTOR EKSTERNAL
1 Lokasi Tempat (tingkat II) dimana perusahaan berada Perusahaan
2 Ukuran Pasar Jumlah produk perusahaan yang dapat diserap dan dibeli oleh
pasar dalam negeri dan pasar luar negeri
Perusahaan
3 Hubungan dengan pihak lain di
luar perusahaan
Hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan pihak
lainnya (perusahaan lain, lembaga litbang dan universitas)
berkaitan dengan produksi yang dihasilkan perusahaan
Perusahaan
4 Kebijakan pemerintah Intervensi (dukungan dan bantuan) yang dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan inovasi di perusahaan
Kementerian
5 Dukungan perbankan Upaya yang dilakukan oleh perbankan untuk mendukung
terjadinya inovasi di perusahaan
Perbankan
62 Kebijakan Inovasi di Industri
Tabel 4. Indikator dan Satuan dari Variabel
No. Variabel Indikator Satuan
1 Skala Usaha Jumlah pegawai Orang
Total penjualan Rupiah
Nilai asset Rupiah
2 Umur Perusahaan Start up/young (umur 5 th ke bawah) Tahun
Mature/old (umur di atas 5 tahun) Tahun
3 Status Perusahaan PMA Nominal
BUMN/ BUMD Nominal
Swasta Besar/ Menengah/UKM/ Nominal
4 Kemampuan Keuangan
Total profit Rupiah
Total pendapatan Persen
5 Investasi litbang Pengeluaran litbang Rupiah
Besarnya biaya diklat Rupiah
6 SDM Jumlah staf teknis yang berkualitas (Jumlah staf pendidikan
teknis/teknologi)
Orang
Jumlah pegawai yang ikut Diklat Orang
7 Orientasi belajar/Learning
orientation
Komitmen untuk belajar Skala Likert
Visi bersama Skala Likert
8 Kemampuan Perusahaan
Memberikan Reward/Insentif
Janji memberikan insentif/reward kepada karyawan yang
menghasilkan inovasi
Skala Likert
Besarnya insentif/reward karyawan untuk inovasi Skala Likert
9 Orientasi pasar Orientasi pelanggan Skala Likert
Orientasi persaingan Skala Likert
Koordinasi antar fungsi Skala Likert
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 63
No. Variabel Indikator Satuan
10 Tingkat kemampuan Adaptasi
Teknologi
Implementasi perbaikan teknologi yang sudah diadopsi Skala Likert
Kemampuan antisipasi teknologi baru Skala Likert
11 Gaya Kepemimpinan
Gaya transformasional Skala Likert
Gaya transaksional Skala Likert
Gaya Mengarahkan Skala Likert
Gaya Demokratis Skala Likert
12 Lokasi Alamat tempat tinggal (tingkat II) Skala Likert
PDB Rupiah
13 Ukuran Pasar Jumlah produk perusahaan sejenis yang dibeli konsumen Ton
Peningkatan permintaan produk perusahaan per tahun Persen
14 Hubungan dengan pihak luar Jenis bahan/peralatan dari pemasok Skala Likert
Derajat pentingnya umpan balik pemasok Skala Likert
Terjadi alih teknologi Skala Likert
Kerjasama produksi dengan perusahaan sejenis Skala Likert
Kerjasama dengan lembaga litbang/universitas Skala Likert
15 Kebijakan pemerintah Bantuan pelatihan SDM dari pemerintah Skala Likerte
Dukungan kebijakan pemerintah Skala Likert
16 Dukungan perbankan Kemudahan kredit suku bunga yg rendah Skala Likert
Pemberian skala prioritas oleh perbankan Skala Likert
64 Kebijakan Inovasi di Industri
6. Variabel Human Capital
Human capital adalah sumberdaya ketrampilan, pengetahuan,
pengalaman yang dimiliki perusahaan sebagai akibat dari investasi
seperti diklat. Variabel ini diukur dengan indicator jumlah staf teknis
yang berkualitas (jumlah staf pendidikan teknis/teknologi) dan jumlah
pegawai yang ikut diklat.
7. Variabel Orientasi Belajar
Orientasi belajar adalah orientasi dalam mengembangkan pengetahuan
atau wawasan baru yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi
perilaku perusahaan. Indikator yang digunakan adalah komitmen untuk
belajar dan visi bersama.
8. Variabel Kemampuan Perusahaan Memberikan Reward/Insentif
Kemampuan perusahaan memberikan reward/insentif adalah
kemampuan perusahaan dalam membayar insentif/reward kepada
pegawai yang melakukan inovasi. Variabel ini menggunakan dua
indicator yaitu janji memberikan insentif/reward kepada karyawan yang
menghasilkan inovasi dan besarnya insentif/reward karyawan untuk
inovasi.
9. Variabel Orientasi Pasar
Orientasi pasar adalah suatu aspek dimensi dari kultur organisasi dan
sifat dari orientasi belajar serta lebih banyak penelitian untuk
memahami norma dari nilai yang dapat dipertahankan serta
pembelajaran secara organisasional. Pengukuran variable ini
menggunakan tiga indikator yaitu orientasi pelanggan, orientasi
persaingan dan koordinasi antar fungsi.
10. Variabel Tingkat Kemampuan Adaptasi Teknologi (Technology
Adaptation)
Tingkat kemampuan adaptasi teknologi adalah tingkat kemampuan
perusahaan dalam memperbaiki (upgrading) teknologi yang sudah
diadopsi oleh perusahaan. Variabel ini diukur dengan menggunakan
indikator jumlah implementasi perbaikan teknologi yang sudah diadopsi
oleh perusahaan dan kemampuan eksekutif dalam melakukan antisipasi
teknologi baru.
11. Variabel Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan
eksekutif/pimpinan untuk memengaruhi bawahannya atau orang lain
yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 65
Variabel ini diukur dengan gaya transformasional, gaya transaksional,
gaya mengarahkan dan gaya demokratis.
12. Variabel Lokasi
Lokasi diartikan sebagai alamat tempat tinggal (tingkat II) dimana
perusahaan berada. Variabel ini menggunakan dua indikator yaitu
alamat tempat tinggal (tingkat II) dan product domestic bruto (PDB).
13. Variabel Ukuran Pasar
Ukuran pasar (market size) adalah jumlah produk perusahaan yang
dapat diserap dan dibeli oleh pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.
Indikator yang digunakan adalah jumlah produk perusahaan sejenis
yang dibeli konsumen dan peningkatan permintaan produk perusahaan
per tahun.
14. Variabel Hubungan dengan Pihak lain
Hubungan dengan pihak lain adalah hubungan yang terjadi antara
perusahaan dengan pihak lainnya (perusahaan lain, lembaga litbang
dan universitas) berkaitan dengan produksi yang dihasilkan
perusahaan. Terdapat lima indicator yang digunakan dari variable ini
yaitu jenis bahan/peralatan dari pemasok, derajat pentingnya umpan
balik pemasok, terjadi alih teknologi, kerjasama produksi dengan
perusahaan sejenis dan kerjasama dengan lembaga litbang/perguruan
tinggi.
15. Variabel Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah adalah intervensi (dukungan dan bantuan) yang
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan inovasi di perusahaan.
Variabel ini menggunakan dua indikator yaitu bantuan pelatihan SDM
dari pemerintah dan dukungan kebijakan pemerintah.
16. Variabel Dukungan Perbankan
Dukungan perbankan adalah upaya yang dilakukan oleh perbankan
untuk mendukung terjadinya inovasi di perusahaan. Indikator yang
digunakan adalah kemudahan kredit suku bunga yang rendah dan
pemberian skala prioritas oleh perbankan.
PENUTUP
1. Berbagai faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di industri makanan
disajikan dalam kajian literatur. Pada dasarnya terdapat faktor-faktor
66 Kebijakan Inovasi di Industri
internal dan factor eksternal yang menjadi determinan dalam inovasi di
industri makanan.
2. DaRi hasil kajian literatur, hasil pengamatan empiris serta hasil diskusi
dengan pakar, dihasilkan kerangka teoritis untuk menentukan faktor
determinan yang memengaruhi inovasi di industri pangan di Indonesia.
3. Kerangka teoritis yang dihasilkan tersebut merupakan pengembangan
dari kajian teoritis yang diajukan oleh Cohen (1995) dan Galende dan de
la Fuente (2003). Pengembangan ini dilakukan dengan menambahkan
dua variabel yaitu gaya kepemimpinan dan kemampuan adaptasi
teknologi
4. Untuk mengoperasikan kerangka teoritis diajukan definisi variabel laten,
pengukuran variable laten dengan indikatornya, satuan indikator dan
sumber data yang dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Abereijo, Adegbite, Ilori, Adeniyi, Aderemi. Technological Innovation
Sources and Institutional Supports for Manufacturing Small and
Medium Enterprises in Nigeria. Journal of Technology Management and
Innovation, 2009, Vol. 4 No. 2.
Avermaete, Viaene, Morgan, Crawford, Mahon. Determinants of products
and process innovation in small food manufacturing firms. Trends in
Food Science and Technology 2004, vol.15.
Bagherinejad, Jafar. Cultivating technological innovations in Middle Eastern
countries: factors affecting firm’s technological innovation behaviour in
Iran. Cross Cultural Management, 2006, Vol. 13 No. 4
Bass, B.M, and P. Steidlmeier. Ethics, Character and Authentic
Transformational Leadership Behaviour. Leadership Quarterly, 1999, Vol
10 No 2
Bigliardi, B and Alberto Ivo Dormio. An empirical investigation of
innovation determinants in food machinery enterprises. European
Journal of Innovation Management 2009, Vol. 12 No. 2
Braadland, T.E. Innovation in the Norwegian Food System, Working Paper,
STEP-gruppen, Oslo, Norwegia, 2000.
Bruce, W.T and Meulenberg, Matthew. Innovation in the food industry.
Agribusiness Vol. 18 No. 1, 2002
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 67
Capitanio, F., Adele, C., Pascussi, S. Indications for drivers of innovation in
the food sector. British Food Journal 2009, Vol III No. 8.
Cohen, William. Empirical studies of Innovative Activity in Stoneman P (ed),
Handbook of the Economics of Innovation an Technological Change,
Oxford: Blackwell, 1995.
Evangelista, R; Tore S; Giorgio S and Keith S. Measuring innovation in
European industry. International Journal of the Economics of Business,
1998, 5,3.
Fazlzadeh, Alireza and Moshiri, Mostafa. An Investigation of Innovation on
Small Scale Industries Located in Science Parks of Iran. International
Journal of Business and Management 2010, Vol. 5 No. 10.
Fortuin, Frances and Omta, Onno. Innovation drivers and barriers in food
processing. British Food Journal 2009, Vol. 111 No. 8
Fuglie Fuglie, Keith O “ Investing in Agricultural Productivity in Indonesia, ”.
Forum Penelitian Agro Ekonomi 17, 2 (December, 1999) : 1-16.
Galende, J. and De la Fuente, J. M.,2003. Internal factors determining a
firm’s innovative behaviour. Research Policy 2003, 32 (5).
Gregrio, D.D, Human Capital, Social Capital and Executive Compensation:
How Does the Slice of Pie Executives Appropriate Compare to What
They Bring to the Table. Dissertation. Smith School of Business,
University of Maryland, 2004
Haaga, Diane P. A study of the relationship between organizational capacity
to innovate and market orientation in a fast food industry. Dissertation
for Doctor of Philosophy at University of Alliant International University,
USA, 2002.
Hill, M.D. Adaption and Innovation During Technology Transfer: the
Perspective of Receiving and Giving Engineers and Managers in A High-
Tech Multi-cultural Joint Venture. Dissertation. Fieding Graduate
University, 2005
Inggrit. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi produk untuk
meningkatkan kinerja pemasaran (studi pada industry batik di
Pekalongan. Tesis Pascasarjana Undip, 2003
Kane, Maud Roucan, Allan Gray, Benjamin M. Gramig, Michael Boehlje,
2010. The Innovation Process: Practices in Food and Agribusiness
Companies. Agricultural & Applied Economics Association 2010.
AAEA,CAES, & WAEA Joint Annual Meeting, Denver, Colorado, July 25-
27, 2010
68 Kebijakan Inovasi di Industri
Mangkuprawira, S. dan A.V. Hubeis. Manajemen Mutu Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2007.
Muscio, A, Gianluca Nardone and Antonio Dottore. Understanding demand
for innovation in the food industry. Measuring Business Excellence, Vol.
14 No. 4 2010, pp. 35-48, Q Emerald Group Publishing Limited, ISSN
1368-3047
Narvekar, Rajiv S. and Jain, Karunia. A new framework to understand the
technological innovation process. Journal of Intellectual Capital 2006,
7,2
Omidvar, Vahid. Regional and Firm Level Human Effects on the Rate of
Innovation in Food Processing Firms in Canada. Thesis for Master of
Science Degree at University of Manitoba, Library and Archives Canada,
Canada, 2006.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian
Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan
Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi, 2007.
Pray E., and Fuglie, K. Private Investment in Agricultural Research and
International Technology Transfer in Asia. Agricultural Economic Report
No. 805, United States Department of Agriculture, 2001.
Rianto Y, Budi T, Chichi S. L. Sistem Inovasi Nasional: Kebijakan Publik dalam
Memacu Kapasitas Inovasi Industri. LIPI Press, 2006. Sistem Inovasi
Nasional: Kebijakan Publik dalam Memacu Kapasitas Inovasi Industri
Singh, P and N.C. Agarwal. Examining an Old Issue From New Perspective.
Compensation and Benefit Review, 2003, Vol 35 No 2
Sismanto, A. Analisis pengaruh orientasi pembelajaran, orientasi psara dan
inovasi terhadap keunggulan bersaing untuk meningkatkan kinerja
pemasaran. Tesis MM Undip, 2006
Srimindari, C. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inovasi bagian
penelitian dan pengembangan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, STIE
Stikubank Semarang, Maret 2002
Tessa, Avermaete, Jacques Viaene, Eleanor J. Morgan. Determinants of
product and process innovation in small food manufacturing firms in T.
Avermaete, et al. Trends in Food Science & Technology 2004 (15).
Thompson, AK and Paul, J.M. Innovation in the food industry:functional
foods. Innovation:management, policy & practice 10, 2008
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Sisnasiptek), 2003
MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
JARINGAN INOVASI DALAM SISTEM
INOVASI
A. Husni Y. Rosadi
ABSTRACT Innovation system is a development model that has been adopted in many
developed and high economic growth countries. One of the pillars in strengthening
the innovation system is an innovation network. The success of development of
innovation system can not be separated from policy to develop an innovation
network. This paper describes the model of innovation network development policy
that integrated all of the components that affect the strengthening of the innovation
system. The method used is the reconstruction of the various studies that have been
done previously to be a model of development policy of innovation network.
Keyword: innovation network, innovation system, policy model
ABSTRAK Sistem inovasi merupakan model pembangunan yang banyak digunakan di negara
maju dan negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satu pilar
dalam penguatan sistem inovasi adalah jaringan inovasi. Keberhasilan membangun
sistem inovasi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan mengembangkan jaringan
inovasi. Makalah ini memaparkan mengenai bagaimana model kebijakan
pengembangan jaringan inovasi yang mengintegrasikan seluruh komponen yang
mempengaruhi penguatan sistem inovasi. Metode yang digunakan adalah
rekonstruksi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya untuk
dijadikan model kebijakan pengembangan jaringan inovasi.
Kata kunci: jaringan inovasi, sistem inovasi, model kebijakan
PENDAHULUAN
Keberhasilan pengembangan suatu organisasi tidak dapat dilepaskan dari
koordinasi dan kerjasama antar komponen dalam organisasi tersebut. Tidak
pernah tercatat dalam sejarah, keberhasilan suatu organisasi atau kelompok
karena keberhasilan individual tanpa didukung oleh kerjasama tim atau antar tim.
Kerjasama dan sinergi merupakan prasyarat dalam pengembangan dan
72 Kebijakan Inovasi di Industri
pembangunan suatu organisasi. Begitu juga dalam menata keberhasilan dan
kesejahteraan suatu masyarakat atau negara, maka kerjasama dan sinergi menjadi
suatu keharusan.
Dalam membangun kerjasama dan sinergi, hal mendasar yang harus dimiliki
adalah dibangunnya sistem yang mapan, yang memungkinkan setiap komponen
dalam organisasi dapat menjalankan perannya dengan optimal. Dengan sistem
yang baik, maka tujuan yang akan dicapai organisasi dapat dirumuskan dengan
jelas dan peran masing-masing komponen untuk menunjang pencapaian tujuan
organisasi juga jelas. Sistem yang baik akan mendorong tujuan dan peran setiap
komponen terdefinisikan dengan jelas. Begitu juga kemampuan interaksi dari
setiap komponen untuk saling memberi dan belajar dapat dilakukan dengan
efektif dan efisien. Membangun sistem adalah membangun harmoni dan
keserasian untuk mencapai tujuan masa depan yang efektif dan efisien.
Tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintah pada semua negara adalah
membuat masyarakatnya makmur dan sejahtera. Indikator kesejahteraan suatu
bangsa yang paling banyak digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai apabila setiap komponen
di negara tersebut, seperti industri, masyarakat dan pemerintah, mampu
menjalankan peran masing-masing, dan berinteraksi sinergis diantara mereka
dengan menggunakan sistem yang telah mereka sepakati. Setiap negara memiliki
sistem yang berbeda sesuai dengan ideologi dan cara pandang pemerintahnya.
Salah satu sistem yang banyak digunakan di negara-negara yang memiliki
pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah sistem inovasi. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi di Korea Selatan dan Tiongkok, serta kemampanan ekonomi di Jepang,
Finlandia dan berbagai negara lainnya, tidak dapat dilepaskan dari penggunaan
sistem inovasi.
Apakah sistem inovasi di Indonesia sudah memiliki dampak bagi
pembangunan masyarakat? Hal ini yang sering menjadi pertanyaan. Sistem Inovasi
sendiri sudah dimuat secara khusus dalam RPJMN 2010-2014 (Peraturan Presiden
No. 5 tahun 2010), Buku II Memperkuat Sinergi AntarBidang Pembangunan, Bab IV
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa agar
dukungan iptek terhadap pembangunan nasional dapat berlangsung secara
konsisten dan berkelanjutan, sistem inovasi nasional sebagai wahana
pembangunan iptek akan diperkuat melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya,
dan jaringan iptek. Sistem inovasi akan berkembang apabila setiap komponen baik
dari sisi kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan yang ada di dalamnya dapat
saling bersinergi. Upaya untuk melakukan sinergi adalah dengan memperkuat
hubungan diantara mereka melalui jaringan iptek atau secara lebih luas sebagai
jaringan inovasi. Makalah ini akan memaparkan bagaimana usulan kebijakan untuk
mengembangkan dan memperkuat jaringan inovasi, sehingga sistem inovasi dapat
berkembang seperti yang diharapkan.
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 73
TINJAUAN TEORITIS: SISTEM INOVASI DAN JARINGAN INOVASI
Sistem inovasi merupakan sistem yang terdiri dari berbagai sub-sistem dan
komponen (aktor) yang saling terintegrasi satu sama lain. Terdapat berbagai
model dalam menggambarkan dan mengurai komponen penyusun sistem inovasi.
Model yang dirujuk untuk menguaraikan sistem inovasi yang digunakan dalam
Rakornas Ristek (2009 dan kemudian 2013) adalah model Arnold dan Kuhlman.
Dalam model Arnold-Kuhlman, sub-sistem yang menyusun sistem inovasi
diantaranya adalah sub-sistem: pendidikan dan penelitian, industri, permintaan
(pengguna), intermediaries, politik, supra dan infrastruktur dan kerangka kondisi
(Arnold dan Kuhlman, 2001).
Sistem inovasi merupakan suatu kesatuan komponen yang mempengaruhi
arah perkembangan dan kecepatan inovasi, difusi, dan proses pembelajaran dalam
pengembangan, penguasaan, pemajuan dan penerapan/ pemanfaatan iptek.
Bagaimana sub-subsistem (elemen/ faktor) berperan, kesaling-terkaitannya
(termasuk koherensi kebijakannya), dan dinamika interaksinya menentukan atau
mempengaruhi kinerja dinamis sistem inovasi. Penguatan sistem inovasi berarti
membenahi sistem (holistik, serentak, isu-isu sistemik) secara terstruktur. Dalam
perspektif kebijakan, penguatan sistem inovasi berarti langkah perbaikan yang
perlu diarahkan untuk membenahi isu-isu kegagalan sistemik (systemic failures).
Oleh karena itu, strategi kebijakan perlu dikembangkan sebagai suatu kesatuan
kerangka kebijakan inovasi (KKI) untuk memperkuat sistem (Taufik, 2012).
Gambar 1. Elemen sistem inovasi (diadopsi dari Arnold dan Kuhlman, 2001)
74 Kebijakan Inovasi di Industri
Kerangka Kebijakan Inovasi
Kunci keberhasilan implementasi penguatan sistem inovasi di suatu negara
adalah koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antar sektor dan lintas sektor;
antar waktu (intertemporal); antar kawasan (daerah-daerah, nasional-
daerah/interteritorial), dan antar negara (internasional). Dalam perspektif
hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan sistem
inovasi di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi. Hal
tersebut sebagai platform bersama dan memiliki sasaran dan milestones terukur,
serta komitmen sumberdaya yang memadai, baik pada tataran pembangunan
nasional maupun daerah (Taufik, 2012). Terdapat enam kerangka kebijakan inovasi
untuk memperkuat sistem inovasi. Keenam kerangka tersebut adalah: (1)
mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis; (2)
memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/ litbangyasa dan
mengembangkan kemampuan absorpsi oleh industri, khususnya UKM; (3)
menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi,
praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbangyasa serta meningkatkan pelayanan
berbasis teknologi; (4) mendorong budaya inovasi; (5) menumbuhkembangkan
dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri
nasional dan daerah; dan (6) menyelaraskan dengan perkembangan global (Taufik,
2005).
Gambar 2. Isu dan agenda pokok penguatan sistem inovasi
(sumber: Taufik, 2012)
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 75
Jaringan Inovasi
Untuk mengimplementasikan keenam kerangka kebijakan inovasi tersebut,
perlu adanya inisiatif (prakarsa) strategis penguatan sistem inovasi. Prakarsa
strategi penguatan sistem inovasi dapat dikelompokkan dalam lima pilar. Kelima
pilar tersebut adalah: (a) Penguatan Sistem Inovasi Daerah: sebagai wahana untuk
memperkuat pilar-pilar bagi penumbuh-kembangan kreativitas-keinovasian di
tingkat daerah, di mana penguatan sistem inovasi daerah merupakan bagian
integral dari penguatan sistem inovasi nasional; (b) Pengembangan Klaster
Industri: sebagai wahana untuk mengembangkan potensi terbaik & meningkatkan
daya saing industrial; (c) Pengembangan Jaringan Inovasi: sebagai wahana untuk
membangun keterkaitan dan kemitraan antar aktor, serta mendinamisasikan aliran
pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran; (d) Pengembangan Teknoprener:
sebagai wahana modernisasi bisnis/ekonomi dan sosial, serta mengembangkan
budaya inovasi; dan (e) Penguatan Pilai-pilar Tematik: sebagai wahana
memperbaiki elemen-elemen penguatan sistem yang bersifat tematik dan
kontekstual (Taufik, 2012).
Jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dalam sistem inovasi. Fungsi utama
jaringan inovasi adalah sebagai wahana untuk membangun keterkaitan dan
kemitraan antar aktor, serta mendinamisasikan aliran pengetahuan, inovasi, difusi,
dan pembelajaran. Apabila jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) lebih
ditekankan kepada hubungan interdisipliner berbagai bidang dalam sains dan
teknologi dan industri (Wikipedia, Techopedia), maka jaringan inovasi lebih
difokuskan pada wahana dan aliran pengetahuannya.
METODOLOGI
Penelitian ini meupakan jalinan dan kompilasi dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan adalah data-data mengenai
interaksi antar pelaku, proses pembelajaran dan aliran pengetahuan, penyiapan
kawasan teknopolitan, dan berbagai model pengukuran. Data-data tersebut
diperoleh dari hasil analisis penelitian tersebut, yang kemudian direkonstruksi
untuk dijadikan dasar dalam analisis lebih lanjut sebagai bahan dalam pengusulan
kebijakan. Model kebijakan yang disusun merupakan model yang menyertakan
seluruh komponen kebijakan yang mampu mendorong jaringan inovasi dapat
dilakukan dengan baik.
76 Kebijakan Inovasi di Industri
ANALISIS DAN PEMBAHASAN:
MODEL KEBIJAKAN JARINGAN INOVASI
Pengembangan jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dalam prakarsa
penguatan sistem inovasi. Sebagai pilar utama, Jaringan Inovasi diharapkan
menjadi jembatan penghubung diantara para pelaku sistem inovasi, supaya
terjadinya kolaborasi dan sinergi diantara mereka, untuk menghasilkan inovasi,
aliran pengetahuan dan pembelajaran. Jaringan inovasi merupakan komponen
struktural dalam sistem inovasi yang terdiri dari para pelaku dan interaksi antar
mereka (Ahrweiler, 2010), atau secara spesifik sebagai interaksi antara perguruan
tinggi, industri, dan pemerintah (interaksi Tripel Helix), yang didukung oleh
insfrastruktur, baik itu bersifat teknik, komersial, sosial, maupun finansial (Mowery
dan Oxley, 1997). Jaringan inovasi adalah interaksi antar pelaku dalam sistem
inovasi, sehingga aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran
berlangsung diantara mereka untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kohesi
sosial (BPPT, 2011). Dalam jaringan inovasi setiap komponen (pelaku) dari berbagai
bidang/ disiplin/ organisasi mengambil peran dalam kegiatan dan menentukan
kriteria baru untuk mendesain, memproduksi, mengevaluasi, mereview dan
membuktikannnya langsung ke pasar (Ahrweiler dan Keane, 2013). Dengan
memperhatikan definisi di atas, maka pada dasarnya kebijakan pengembangan
jaringan inovasi memiliki esensi, yaitu: kebijakan untuk menyiapkan pelaku (aktor)
sistem inovasi dari berbagai bidang/ disiplin/ organisasi, terutama perusahaan
pemula berbasis teknologi; kebijakan untuk memperkuat hubungan (interaksi/
silaturahmi) diantara para pelaku sistem inovasi; kebijakan untuk memfasilitasi
aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran diantara para pelaku;
kebijakan untuk mendukung infrastruktur teknis, komersial, sosial, maupun
finansial melalui pengembangan wilayah dan kawasan; kebijakan untuk
memperkuat peningkatan daya saing ekonomi dan kohesi sosial; serta kebijakan
untuk menyiapkan kegiatan mendesain, memproduksi, mengevaluasi, mereview
dan membuktikan keberhasilan penerapan jaringan inovasi. Secara sederhana,
komponen tersebut dapat digambarkan dalam model sebagai telihat pada Gambar
3.
Kebijakan Menyiapkan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi
Pelaku dalam sistem inovasi seperti terlihat pada Gambar 1 adalah seluruh
komponen yang terlibat dalam sub-sistem: pendidikan dan penelitian, industri,
permintaan (pengguna), intermediaries, politik, supra dan infrastruktur dan
kerangka kondisi. Salah satu komponen dalam sub-sistem industri adalah
perusahaan pemula berbasis teknologi (PPBT), selain industri besar-sedang dan
UKM yang telah mapan. PPBT didorong untuk menjadi ujung tombak dalam
pembangunan ekonomi daerah dan nasional di masa mendatang. Sebagai
perusahaan pemula, PPBT memiliki keterbatasan, baik dalam hal manajemen,
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 77
produksi maupun pembiayaan dan dihadapkan dengan risiko yang besar. Oleh
karena itu, perlu dukungan kebijakan untuk menyiapkan perusahaan pemula dapat
berkembang dengan baik. Hal tersebut diperkuat dengan interaksi antar aktor
supaya diantara mereka dapat saling mengalirkan pengetahuan, inovasi dan difusi
dalam kegiatan produksi, pembiayaan dan manajemen serta meminimalisasi risiko
yang akan dihadapi mereka. Perusahaan pemula perlu belajar menyiapkan diri
untuk menghadapi resiko dan memperoleh pengetahuan yang memadai.
Gambar 3. Model kebijakan jaringan inovasi
Kebijakan Memperkuat Interaksi antar Pelaku Sistem Inovasi
Sementara itu, sensi lain dari jaringan inovasi adalah interaksi antar pelaku.
Interaksi antar para pelaku akan lebih efektif jika mendapat dukungan
infrastruktur. Kegiatan interaksi yang dilakukan dengan dukungan infrastruktur
teknis jaringan telekomunikasi data, termasuk penggunaan free/open source
software (F/OSS), memungkinkan untuk dikembangkannya e-develepment, e-
government, e-business, e-health dan lainnya. Dukungan jaringan ini akan
membuka interaksi antar pelaku dengan lebih cepat dan mudah serta berbiaya
rendah. Kebijakan pengembangan e-development di beberapa daerah di Indonesia
sudah dilakukan dalam belasan tahun terakhir. Di Kota Pekalongan misalnya, e-
development yang terdiri dari e-leadership; kebijakan dan kelembagaan;
infrastruktur informasi dan komunikasi; e-government; e-society; serta industri dan
e-business sudah dilakukan dengan baik, terutama untuk leadership, kebijakan dan
kelembagaan (Hardianto et al., 2013). Di beberapa daerah seperti Solo,
78 Kebijakan Inovasi di Industri
Pekalongan, Jembrana dan lainnya pengembangan F/OSS telah lama digunakan di
lingkungan pemerintah, swasta, maupun lembaga pendidikan.
Kebijakan Memfasilitasi Aliran dan Manajemen Pengetahuan
Hal penting lainnya dari jaringan inovasi adalah adanya aliran pengetahuan,
inovasi, difusi, dan pembelajaran diantara para pelaku. Aliran pengetahuan
dilakukan diantara pelaku sistem inovasi harus secara timbal balik, bukan searah.
Kegiatan aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran akan lebih efektif
apabila dilakukan secara sistematis melalui manajemen pengetahuan. Manajemen
pengetahuan pada dasarnya adalah aliran pengetahuan yang tersistematisasi dan
terkodifikasi sehingga dapat dipelajari setiap anggota organisasi kapanpun.
Manajemen pengetahuan merupakan kemampuan organisasi untuk menciptakan
pengetahuan baru, mendesiminasikannya dan menjadikannya sebagai produk, jasa
dan sistem. Pengetahuan diciptakan melalui proses sosialisasi, eksternalisasi,
kombinasi dan internalisasi atau model SECI (Socialization, Externalization,
Combination, Internalization) yang merupakan interaksi antara pengetahuan
eksplisit dan tacit (Nonaka dan Takeuchi, 1995; Bratianu, 2010; Probert, 2003;
Ramirez, et al., 2011). Penciptaan pengetahuan tergantung konteks spesifik sesuai
waktu, ruang dan hubungan, sehingga individu, working group, team proyek,
lingkaran informal, pertemuan temporer, serta komunikasi maya (millis, facebook,
intranet, dll) dapat dipertemukan, yang dikenal sebagai model Ba (Nonaka dan
Toyama, 2003).
Kebijakan memfasilitasi aliran pengetahuan dan manajemen pengetahuan
dalam mendukung sistem inovasi di daerah telah dilakukan di beberapa daerah
diantaranya di Kota Pekalongan. Manajemen pengetahuan di Kota Pekalongan
dibagi dalam tiga tahap utama yaitu: memperoleh pengetahuan dan/atau
penciptaan (knowledge capture and/or creation); membagi dan menseminasi
pengetahuan dan (knowledge sharing and dissemination); dan mengakuisisi dan
menerapkan pengetahuan (knowledge acquisition and application). Dalam
penerapan kebijakan, pada tahap awal misalnya dilakukan dengan membuka
kesempatan belajar dan memfasilitasi pelatihan di bidang teknologi informasi
(PPKDT, 2013b).
Kebijakan Mengembangkan Wilayah dan Kawasan
Dukungan teknis untuk interaksi antar pelaku dapat juga dilakukan dengan
pengembangan wilayah atau kawasan. Kawasan merupakan tempat berkumpulnya
para pelaku sistem inovasi. Kawasan ini menjadi tempat yang memungkinkan
interaksi antar pelaku bukan hanya melalui komunikasi maya, tetapi juga langsung
secara fisik. Pembelajaran di kawasan dapat dilakukan langsung melalui
komunikasi dan praktek. Pengembangan kawasan untuk mendukung interaksi
dapat berbentuk kawasan khusus untuk bisnis dan industri atau kawasan yang
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 79
melibatkan seluruh stakeholder. Pengembangan kawasan usaha yang sudah
banyak dikembangkan di beberapa daerah diantaranya adalah sentra bisnis,
kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus atau klaster industri. Sebagai contoh,
kebijakan pengembangan Klaster Industri Putri Kencana di Kabupaten Blitar, yang
terdiri dari tiga klaster industri: Java Atsiri, Manggar Sari dan Sari Raos merupakan
klaster industri minyak wangi, produk kerajinan dan makanan olahan yang
dikembangkan oleh UMKM, sebagai wahana untuk berinteraksi diantara para
pelaku industri dan antara pelaku industri dengan para stakeholder lainnya (Sidik
dan Pratiwi, 2011).
Pengembangan kawasan sebagai tempat interaksi antar pelaku sistem inovasi
di beberapa negara dengan pertumbuhan yang pesat dilakukan dengan
membangun kawasan teknopolitan (technopolis) seperti di Korea Selatan (Lee,
2012; Kim dan An, 2012; Oh dan Yeom, 2012), Cina (Cha, 2012), Taiwan (Hu dan
Lin, 2013) atau Singapura (A*STAR, 2012), dan Amerika Serikat (Smilor, et al., 1988;
Gibson dan Butler, 2013), Eropa (European Commission, 2007; Ekiz, 2006), Rusia
(Launonen, 2006), juga di Mesir (Abdel-Fatah et al., 2013), dan lainnya.
Teknopolitan adalah konsepsi kawasan berdimensi pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya, yang memiliki sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan
gerakan masyarakat, yang mendukung percepatan perkembangan inovasi, difusi
dan pembelajaran. Kawasan teknopolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu
atau lebih sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan gerakan masyarakat pada
wilayah tertentu (satu atau lebih daerah otonom) sebagai sistem pembangunan
yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan
sistem inovasi (Taufik, 2012). Dalam membangun teknopolitan ada beberapa
komponen yang dikembangkan yaitu: perguruan tinggi yang kuat, incubator bisnis
baru, research parks, perusahaan teknologi-tinggi dan berbasis pengetahuan,
dukungan jasa professional (akuntansi, hukum, investor), serta pemerintah (pusat
dan daerah) dan lembaga pendukung wirausaha teknologi (Smilor, et al., 1988;
Philips, 2012).
Di Indonesia, kawasan teknopolitan belum banyak dikembangkan dan baru
mulai diinisiasi dengan kebijakan akan dibangunnya kawasan Teknopolitan
Pelalawan di Kabupaten Pelalawan, Riau dan Teknopolitan Batik di Kota
Pekalongan, Jawa Tengah. Sebagai kawasan interaksi antar pelaku sistem inovasi,
di kawasan Teknopolitan Pelalawan akan dikembangkan kawasan industri, kawasan
riset dan pengembangan, kawasan pendidikan, kawasan komersial, kawasan
pemukiman, kawasan rekreasi serta kawasan pendukung. Kawasan Teknopolitan
Pelalawan didorong untuk menjadi kawasan riset, industri dan pendidikan yang
produktif dengan memanfaatkan posisi strategisnya di wilayah ASEAN. Begitu juga
pengembangan kawasan teknopolitan batik di Kota Pekalongan, yang dinamakan
sebagai Batik Innovation and Cultural Centre (BICC). BICC sebagai “hub” kawasan
Teknopolitan Batik Kota Pekalongan, yang memungkinkan interaksi antar pelaku
80 Kebijakan Inovasi di Industri
lebih intensif dan menjadikan Kota Pekalongan sebagai ikon batik bertaraf
internasional (PPKDT, 2013a).
Kebijakan Memperkuat Daya Saing Ekonomi dan Kohesi Sosial
Peningkatan daya saing ekonomi dan kohesi sosial menjadi bagian penting
untuk dicapai dalam sistem inovasi. Peningkatan daya saing ekonomi dapat diukur
dalam lingkup mikro (perusahaan), meso (industri) atau makro (daerah/ nasional).
Daya saing di tingkat mikro (perusahaan) terlihat dari kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan produk atau jasa dengan kualitas, harga dan deliveri (quality-
cost-delivery) yang lebih baik dibandingkan perusahaan sejenis (Porter, 1980).
Sementara itu, daya saing ekonomi di tingkat daerah adalah dengan
membandingkan indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah
investasi, laju inflasi, tingkat pengangguran, dan lainnya. Pada sisi lain, kohesi
sosial mencerminkan bagaimana peran serta masyarakat untuk menjadi bagian
dalam pembangunan. Kebersamaan, gotong royong, toleransi menjadi alat ukur
untuk mengetahui kohesi sosial di masyarakat.
Salah satu komponen dalam jaringan inovasi adalah menyiapkan kebijakan
yang mampu mendorong supaya daya saing ekonomi kawasan (daerah/ nasional)
meningkat dan kohesi sosial diantara seluruh pemangku kepentingan juga dapat
terus ditumbuhkan. Hal tersebut karena dengan jaringan inovasi seluruh
pemangku kepentingan bersinergi dan bahu membahu mendorong terjadinya
aliran pengetahuan, inovasi dan difusi terus terjadi.
Kebijakan Menyiapkan Metode untuk Mengukur Keberhasilan Jaringan
Inovasi
Untuk mengetahui kuat atau lemahnya jaringan inovasi di suatu kawasan
(daerah) maka salah satu cara yang efektif adalah dengan melakukan pengukuran.
Pengukuran dengan alat ukurnya dapat menggunakan berbagai metode dan
jenisnya. Terdapat berbagai alat ukur yang digunakan dalam mengukur jaringan
inovasi, seperti mengukur pola interaksi antar pelaku dalam jaringan, mengukur
kesiapan pelaku dalam menghasilkan inovasi dan mendifusikan hasilnya kepada
pelaku lain, mengukur kemampuan pelaku dalam menjadi mediator bagi pelaku
lainnya, mengukur keberhasilan penguatan jaringan dan ukuran lainnya. Mengukur
keberhasilan jaringan inovasi harus menjadi kebijakan yang tertulis. Untuk daerah
dapat dicantumkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah) atau indikator keberhasilan Renstra setiap SKPD (satuan kerja perangkat
daerah).
Salah satu alat untuk mengukur pola interaksi aktor yang terjadi dalam
jaringan inovasi adalah metode Sosial Network Analysis (SNA). Mengukur kesiapan
pelaku dalam menghasilkan inovasi dan mendifusi hasil teknologi maka dapat
menggunakan teknometer atau Technology Readiness Level (TRL). Sementara itu,
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 81
mengetahui kemampuan pelaku untuk menjadi mediasi dan clearing house bagi
kegiatan teknologi berbagai pelaku, dapat digunakan Technology Clearing House
(TCH).
SNA digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai pola interaksi aktor
yang terjadi dalam jaringan inovasi pada suatu sistem di suatu daerah. SNA
merupakan analisis untuk mengetahui struktur hubungan mulai dari hubungan
social biasa sampai hubungan bisnis antar pelaku individu (juga organisasi), formal
maupun non formal untuk memahami apa yang dapat mendorong dan
menghambat aliran pengetahuan antar pelaku, informasi apa yang diberikan dan
melalui media apa (Serrat, 2009; Butts, 2008; Anonim, 2011). SNA digunakan untuk
menganalisis mengetahui keadaan jaringan secara umum dan kepadatan
hubungan/relasi antar aktor, mengidentifikasi aktor yang paling sentral atau
mempunyai pengaruh yang besar dalam sebuah jaringan dan mengidentifikasi
aktor yang menempati posisi strategis dalam penyebaran/aliran pengetahuan
(PPKDT, 2012a).
TRL adalah suatu sistem pengukuran sistematis, proses berbasis-metrik yang
mendukung penilaian kematangan, risiko atau kesiapan dari suatu teknologi
tertentu untuk digunakan (Department of Defense, 2011) atau pada kondisi nyata
(Engel et al., 2012), yang dikembangkan NASA dengan skala antara 1 - prinsip
dasar observasi- sampai 9 -sistem total berjalan sempurna dalam operasi proyek
(Departemnet of Energy, 2011). TRL sebagai indikator yang menunjukkan seberapa
siap/matang suatu teknologi untuk bisa diterapkan dan diadopsi oleh
pengguna/calon pengguna. Informasi hasil TRL pada pelaku sistem inovasi di
daerah dapat menjadi gambaran kemampuan pelaku dalam menghasilkan
teknologi yang dapat diterapkan oleh pengguna atau masyarakat. Selain itu, juga
dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk untuk memperkuat hubungan
keterkaitan supply-demand teknologi (BPPT, 2012).
TCH merupakan peran pada suatu institusi, lembaga atau organisasi
independen untuk menilai, mengumpulan, mengevaluasi informasi terkait suatu
teknologi dan menyatakan bahwa suatu teknologi layak (aman) untuk diterapkan
(Spero, 2008) di suatu negara atau daerah serta tidak mengandung emisi yang
merugikan (Kuo, 2008). TCH dapat menjamin kelayakan teknologi dengan
mempertimbangkan berbagai faktor keuntungan dan kerugian dalam menerapkan
suatu teknologi (PPKDT, 2012b).
PENUTUP
Jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dari prakarsa penguatan sistem
inovasi, disamping penguatan sistem inovasi daerah, klaster industri, teknopreneur
dan tematik. Kebijakan pengembangan jaringan inovasi akan terbangun dengan
baik, apabila ada dukungan kebijakan yang mendorong para pelaku dalam sistem
82 Kebijakan Inovasi di Industri
inovasi saling berinteraksi mengalirkan pengetahuan, inovasi, difusi, dan
pembelajaran untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kohesi sosial dengan
didukung infrastruktur teknis, komersial, sosial, maupun finansial. Keberhasilan
kebijakan pengembangan jaringan inovasi adalah membangun interaksi antar
pelaku dengan memanfaatkan berbagai metode dan perangkat, sehingga
hubungan tersebut dapat berlangsung dengan efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Fatah, Y.R., A.H.B. Kahyout dan W. M. Sheta, 2013. “Egypt's Science and
Technology Parks Outlook : A Focus on SRTACity (City for Scientific Research
and Technology Applications)”, dalam World Technopolis Review, Vol. 2, No. 2
Issue 6, hlm. 96-108
Agency for Science, Technology and Research [A*STAR], 2012. Pursuing Knowledge
for the Prosperity of Singapore. Singapore: A*STAR
Ahrweiler, P. (ed), 2010. Innovation in Complex Social Systems. London: Routledge
Ahrweiler, P. dan M. Keane, 2013. “Innovation network”, dalam Mind & Society, Vol.
12, hlm. 73-90
Anonim, 2011. Social Network Analysis: Theory and Applications.
[http://en.wikipedia.org/w/index.php?oldid=404640258]
Arnold, E dan S. Kuhlman, 2001. “RCN in the Norwegian research and innovation
system”, dalam Background Report No 12 in the Evaluation of the Research
Council of Norway, Oslo: Royal Norwegian Ministry for Education, Research
and Church Affairs
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT], 2011. Panduan Pemetaan
Jaringan Inovasi dalam Kerangka Sistem Inovasi Daerah. Jakarta: BPPT
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT], 2012. Panduan Pengukuran
Tingkat Kesiapan Teknologi: Teknometer, Jakarta: BPPT
Bratianu, C. 2010. “A Critical analysis of Nonaka’s Model of knowledge dynamics”,
dalam Electronic Journal of Knowledge Management, Vol. 8, Issue 2, hlm. 193 --
200, [www.ejkm com]
Butts, C. T. 2008. “Social network analysis: A methodological introduction”, dalam
Asian Journal of Social Psychology, Vol. 11, hlm. 13–41
Cha, S., 2012. “A global network for sustainable technopolis development: Case of
World Technopolis Association on strengthening NISs in the Asia-Pacific
region”, dalam Tech Monitor , Jan-Mar
Department of Defense, 2011. Technology Readiness Assessment (TRA) Guidance.
Assistant Secretary of Defense for Research and Engineering (ASD(R&E)),
Department of Defense, USA
Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 83
Departemnet of Energy, 2011. Technology Readiness Assessment Guide.
Washington, D.C.: U.S. Department of Energy
Ekiz, C. 2006. New Space Organization and Development Alternatives in Metu-Tech
(Metu Technopolis). Tesis The Graduate School of Natural and Applied
Sciences, Middle East Technical University
Engel, D.W., A.C. Dalton, K. Anderson, C. Sivaramakrishnan dan C. Lansing, 2012.
Development of Technology Readiness Level (TRL) Metrics and Risk Measures.
Pacific Northwest National Laboratory, United States Department of Energy
European Commission, 2007. Technopolis: Identification and Dissemination of Best
Practice in Science Mentoring and Science Ambassador Schemes across Europe.
Brussels: European Commission. [http://ec.europa.eu/research/ research-eu]
Gibson, D.V. dan J. S. Butler, 2013. “Sustaining the technopolis: The case of Austin,
Texas”, dalam World Technopolis Review, Vol. 2, No. 2 Issue 6, hlm. 64-80
Hardianto, A., A. Widodo, G. Soehadi, Saparudin dan A. Rais, 2013. ”Analisis tingkat
penerapan e-development di Kota Pekalongan dan Cimahi”, dalam Prayitno
(ed). Pengembangan Jaringan Inovasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan
Difusi Teknologi
Hu, T. S. dan C. Y. Lin, 2013, “Technopolis and regional development: A Review of
development experience in Hsinchu, Taiwan”, dalam World Technopolis Review,
Vol. 2, No. 2 Issue 6, hlm. 50-63
Launonen, M., 2006. Promoting Innovation-Based Growth in Rusia. Moscow:
Technopolis
Lee, T. 2012. “Rethinking path dependency and regional innovation - policy
induced ‘government dependency’: The case of Daedeok, South Korea”, dalam
World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm. 92-106
Kim, S. dan G.D. An, 2012, “A comparison of Daedeok Innopolis Cluster with the
San Diego Biotechnology Cluster”, dalam World Technopolis Review, Vol. 1, No.
2 Issue 2, hlm. 118-128
Kuo, J. 2008. Clearinghouse of Technological Options for Reducing Anthropogenic
Non-CO2 GHG Emissions from All Sectors. Contract No.: CARB 05-328.
Sacramento, CA: State of California Air Resources Board Research Division
Mowery, D. C. dan Y..J. Oxley, 1997. “Inward technology transfer and
competitiveness: the role of national innovation systems”, dalam D.Y.
Archibugi dan J. Michie, (ed). Technology, Globalisation and Economic
Performance. Cambridge; New York and Melbourne: Cambridge University
Press.
Nonaka, I. dan H. Takeuchi, 1995. The Knowledge-Creating Company. New York:
Oxford University Press
Nonaka, I. dan R. Toyama, 2003. “The knowledge-creating theory revisited:
knowledge creation as a synthesizing process”, dalam Knowledge Management
Research & Practice, Vol. 1, hlm. 2–10
84 Kebijakan Inovasi di Industri
Oh, D. S. dan I. Yeom, 2012, “Daedeok Innopolis in Korea: From science park to
innovation cluster”, dalam World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm.
141-154
Philips, F. Y. 2012. “Social capital, social engineering, and the technopolis”, dalam
World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm. 86-91
Porter, M. E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and
Competitors. New York: The Free Press
Probert, S. K., 2003. “Knowledge management: A critical investigation”, dalam
Electronic Journal of Business Research Methods, Vol. 2, Issue 1, hlm. 63-70
Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2012a. Jaringan Inovasi Kota
Pekalongan. Jakarta: PPKDT-BPPT
Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2012b. Technology Clearing
House. Jakarta: PPKDT-BPPT
Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2013a. Program
Pengembangan Jaringan Inovasi Kegiatan Intermediasi, Pendampingan Difusi
Teknologi dan Implementasi Jaringan Inovasi. Jakarta: PPKDT-BPPT
Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2013b. Pendampingan
Manajemen Pengetahuan di Daerah. Jakarta: PPKDT-BPPT
Ramirez, A.M., V.J.G.Morales dan R.M. Rojas, 2011. “Knowledge creation,
organizational learning and their effects on organizational performance”,
dalam Inzinerine Ekonomika-Engineering Economics, Vol. 22(3), hlm. 309-318
Serrat, O. 2009. Social Network Analysis. Manila: Asian Development Bank
Sidik, M.A. Dan S. Pratiwi, 2011.”Upaya peningkatan daya saing IKM melalui sistem
inovasi daerah di Kabupaten Blitar”, dalam D. Vidyatmoko, H.Y. Rosadi dan R.
Taufiq (ed), Peningkatan Daya Saing Industri: Metode dan Studi Kasus. Jakarta:
BPPT-Press
Smilor, R.W., D.V. Gibson dan G. Kozmetsky, 1988. “Creating the technopolis: high
technology development in Austin, Texas”, dalam Journal of Business
Venturing, Vol. 4, hlm. 49-67
Spero, K. 2008. The Regional Technology Clearinghouse. San Diego
[http://rtc.sdsu.edu]
Taufik, T. A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan.
Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi
Taufik, T. A. 2012. “Pengantar penguatan sistem inovasi dalam mendukung
pembangunan daerah”, dalam Workshop dan Capacity Building Penguatan
Sistem Inovasi di Provinsi Riau, Pekanbaru, 24 - 27 September
MODEL UNTUK MENILAI KESIAPAN
PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA
DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
BERBASIS DUNIA USAHA
Puguh Suharso
ABSTRACT The era of globalization with a definite pass and deliver to the world community to
interactive with each other, on the other hand have to compete economically. How
much readiness Government of Jakarta in the face of global competitiveness, to
improve people's living standards as developed society. Some indicators will be used
as a criterion to measure the degree of success in realizing the advanced societies, i.e.
infrastructure needed by entrepreneurs such as licensing, taxation, labor regulations,
roads, customs and ports, public infrastructure services, land, security conditions,
access to enterprise financing and business environment. Analysis of the research
has been carried out with data collection in the field of employer opinion. The
objective of the research is to measure how high the value of the achievements of
each indicator that has been prepared by Government of Jakarta to face global
competition? The results of the research conclusion: that the Jakarta administration is
good enough to prepare for global competition. The weak indicator is only tax
issues, as in the category of less well, while others are quite good indicator.
Measuring the parameters that cause a weak indicator (taxation) is taking care of the
needs of the time in service tax, the amount and variation of retribution, the number
and variety of local taxes and clarity of tax administration procedures.
Keyword: policy indicator, public, andvanced society
ABSTRAK Era globalisasi dengan pasti berlalu dan mengantarkan kepada masyarakat dunia
untuk saling interaktif, di sisi lain harus bersaing secara ekonomi. Seberapa jauh
kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam menghadapi daya saing global, yaitu dalam
memperbaiki standar hidup masyarakat sebagai masyarakat maju. Beberapa
indikator akan digunakan sebagai kriteria untuk mengukur tingkat keberhasilan
dalam mewujudkan masyarakat maju, yaitu: infrastruktur yang dibutuhkan oleh
pengusaha seperti perijinan, perpajakan, peraturan ketenagakerjaan, jalan raya,
kepabeanan dan pelabuhan, jasa infrastruktur publik, tanah / lahan, kondisi
keamanan, akses pembiayaan perusahaan dan kondisi lingkungan bisnis. Analisis
86 Kebijakan Inovasi di Industri
riset sudah dilakukan dengan pengumpulan data secara opeasional di lapangan dari
opini pengusaha. Tujuan analisis riset adalah untuk mengukur seberapa tinggi nilai
capaian setiap indikator yang telah dipersiapkan Pemerintah DKI Jakarta untuk
menghadapi persaingan global? Hasil kesimpulan riset: bahwa Pemerintah DKI
Jakarta cukup baik dalam mempersiapkan diri menghadapi persaingan global.
Indikator yang lemah hanya masalah perpajakan, karena masuk dalam kategori
kurang baik, sementara untuk indikator yang lain cukup baik. Parameter ukur yang
menyebabkan indikator yang lemah (perpajakan) adalah kebutuhan waktu dalam
pelayanan mengurus pajak, jumlah dan variasi retribusi daerah, jumlah dan variasi
pajak daerah dan kejelasan prosedur pengurusan pajak.
Kata kunci: indicator kebijakan, kebijakan publik, masyarakat maju
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menjelang berakhirnya abad ke-20 tepatnya pada bulan Mei tahun 1998,
bangsa Indonesia telah mengukir sejarah dengan gerakan revolusi demokrasi.
Demokrasi orde baru diganti dengan demokrasi reformasi, dan dalam waktu yang
relatif singkat berhasil menunjukkan kinerja yang tinggi yaitu ketetapan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Digariskan dalam
undang-undang tersebut bahwa daerah diberikan keleluasaan otonomi
sepenuhnya untuk mengatur dan mengembangkan daerahnya sendiri, yang
kemudian diperkuat dengan tersusunnya suatu sistem demokrasi daerah melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang intinya adalah mengangkat Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis. Atas dasar
ketetapan undang-undang tersebut, daerah diharapkan sebagai ujung tombak
bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan di era global, sehingga
pendekatan pengembangan wilayah / daerah melalui persaingan lokal yang sehat
dan adil akan menumbuhkembangkan peran pemerintah daerah secara positif
terhadap kepentingan nasional khususnya dalam menghadapi globalisasi.
DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan kota metropolitan, secara phisik tidak
diragukan lagi perkembangannya sehingga Jakarta menjadi daerah impian
(percontohan) bagi masyarakat dari daerah lain maupun sebagai tempat untuk
mengadu nasib. Akibatnya juga tidak dapat dihindari, bahwa masyarakat yang
mengadu nasib di Jakarta banyak yang tidak mempunyai kapasitas bersaing.
Kondisi tersebut merupakan persoalan tersendiri bagi pemerintah Jakarta untuk
mencari solusinya. Dari sisi lain bahwa pembangunan ekonomi, Jakarta tampak
maju pesat, hal tersebut terbukti dengan semakin tingginya volume kendaraan
bermotor, tumbuhberkembangnya gedung perkantoran maupun komplek hunian
serta berbagai kesibukan masyarakatnya. Akan tetapi, beberapa faktor tersebut
adalah sebagai indikator hasil (variabel terikat) yang belum tentu dapat dijadikan
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 87
sebagai ukuran keberhasilan usaha menuju masyarakat maju. Alasan tersebut
disebabkan oleh karena yang dijadikan sebagai indikator belum tentu seluruhnya
adalah hasil pencapaian dari dunia usaha atau dari proses produksi. Setidaknya
bahwa dunia usaha atau proses produksi merupakan upaya yang kongkrit untuk
mewujudkan kegiatan ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat maju.
Dalam dunia usaha dikenal ada beberapa segmentasi pasar yang berkaitan erat
dengan modal usaha maupun salah satu ukuran lainnya adalah produk yang
dihasilkan, sehingga jenis usaha digolongkan dalam segmentasi bawah dan atas.
Segmentasi bawah terdiri atas Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM),
sedangkan segmentasi atas adalah industri besar. Proporsi dari segmentasi usaha
tersebut secara nominal mayoritas adalah berada pada kelas bawah, yaitu Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Pemerintah dalam mendukung proses pencapaian tingkat keberhasilan dunia
usaha dalam rangka menuju masyarakat maju adalah sebagai fasilitator, yaitu
menyediakan dan melayani kebutuhan bagi dunia usaha. Penyediaan dan
pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam mendukung dunia
usaha perlu dilakukan penilaian agar diketahui kebijakan apa saja yang harus
dilakukan ketika penyediaan dan pelayanan jasa yang diberikan kepada dunia
usaha dianggap masih menjadi kendala. Dengan demikian Pemerintah DKI Jakarta
dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebagai strategi yang harus diatur
dengan baik, agar kebutuhan dunia usaha dapat dilayani secara lebih optimal.
Sehingga dampaknya akan dapat dirasakan oleh dunia usaha dalam mendorong
pencapaian yang lebih baik, dan diharapkan dapat mewujudkan kemampuan daya
saing ekonomi secara global. Jika upaya tersebut dilakukan dengan baik oleh
setiap pemerintah otonomi daerah, maka dapat menciptakan kemampuan
bersaing secara nasional dalam menghadapi globalisasi ekonomi terhadap negara-
negara di dunia. Terwujudnya kondisi yang demikian akan membawa Indonesia
mampu mengurangi ketergantungan dari negara-negara maju yang selama ini
menguasai pasar dunia. Selanjutnya dapat memperkokoh kedudukan bangsa
Indonesia dalam persaingan global, dan kiat-kiat dalam menghadapi daya saing
akan mampu meningkatkan pangsa pasar dunia.
Permasalahan
Dunia kini telah melewati masa tanpa batas-batas suatu negara dalam segala
aspek kehidupan sehingga persaingan untuk menjadi negara yang maju tidak
dapat terelakkan lagi. Inti permasalahan untuk menciptakan negara maju adalah
unggul dalam persaingan ekonomi secara global. Sebagai akibat dari kondisi
tersebut, negara yang tidak mampu bersaing akan menjadi sasaran
ketergantungan terhadap negara lain yang lebih maju. Di dalam lingkup yang lebih
sempit bahwa untuk mencapai keunggulan dalam persaingan ekonomi global
maka Pemerintah DKI Jakarta harus mampu memberikan dorongan yang kuat
88 Kebijakan Inovasi di Industri
kepada dunia usaha agar dapat menciptakan masyarakat Jakarta menjadi
masyarakat yang maju. Unsur-unsur dorongan yang harus dipersiapkan oleh
Pemerintah DKI Jakarta kepada dunia usaha belum teridentifikasi dengan jelas,
sehingga masih sulit dalam menyusun strategi untuk menyediakan kebutuhan dan
memberikan pelayanan yang optimal bagi dunia usaha.
Tujuan Penelitian
Untuk mendukung kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam menyusun suatu
kebijakan guna mencapai keberhasilan dalam globalisasi ekonomi yaitu
menciptakan masyarakat maju, maka tujuan penelitian antara lain adalah :
a. Menyusun dan menetapkan indikator yang digunakan sebagai unsur-unsur
dorongan (motivasi) dalam rangka menyiapkan kebutuhan dan pelayanan bagi
pengusaha, yang sekaligus digunakan sebagai kriteria penilaian.
b. Analisis / penilaian dengan data operasional atas indikator ke dalam lima
kategori, di mana kategori rendah sebagai faktor kelemahan dan sebaliknya
kategori tinggi sebagai faktor kekuatan.
c. Memberikan saran yang diperlukan untuk menyusun suatu kebijakan dalam
rangka lebih mendorong dunia usaha untuk menciptakan masyarakat maju.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian merupakan informasi strategis yang sangat bermanfaat bagi
pemerintah DKI Jakarta, khususnya unit kerja yang berkaitan erat dengan pelaku
bisnis (pengusaha). Muatan informasi dapat digunakan sebagai dasar untuk
pengambilan keputusan dalam rangka optimisasi kerja pemerintah dalam
menyediakan dan melayani kebutuhan para pengusaha. Diharapkan strategi yang
demikian membawa dampak positif terhadap pembangunan masyarakat maju
yang memiliki kemampuan daya saing global.
Konsep Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah
ditetapkan tersebut adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan seluruh
unsur yang tercakup dalam setiap indikator sebagai variabel penelitian secara
detail. Sedangkan metodologi yang digunakan sebagai pendekatan pemecahan
masalah adalah menggunakan model analisis kuantitatif “TEV”. Model tersebut
terdiri atas tiga langkah kegiatan, yaitu menyusun pohon keputusan (decision tree)
sebagai diagram penyelesaian, melakukan optimisasi pohon keputusan dan
memberikan pembobotan setiap unsur yang tercakup dalam pohon keputusan
optimal dengan metode Delphi, dan melakukan penilaian (expected value) yang
diawali dari setiap unsur pohon keputusan paling bawah dengan menggunakan
data operasional berdasarkan skala ukur yang telah ditetapkan (skala Likert lima
kategori).
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 89
Penelitian didesain sebagai penelitian survei dengan menggunakan data
sampling dan subyek penelitian adalah para pengusaha UMKM komoditas
unggulan. Metode sampling yang dipilih adalah sampel klaster berdasarkan atas
komoditas barang dan jasa yang diunggulkan di DKI Jakarta dengan sumber data
dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia, yaitu: Makanan & Minuman;
Bahan & Barang Kimia; Alas Kaki; Tekstil & Produk Tekstil (TPT); dan Perhotelan.
Jumlah sampel (subyek penelitian) menurut Gay bahwa untuk penelitian deskriptif
adalah 10% dari populasi untuk masing-masing klaster komoditas pilihan tersebut
secara proporsional. Metode pengumpulan data adalah pengamatan di lapangan
atas unsur-unsur indikator secara operasional dan membuat kuesioner untuk
menjaring opini pengusaha atas penyediaan dan pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah DKI Jakarta kepada para pengusaha. Butir-butir pertanyaan dibuat dari
unsur-unsur operasional beberapa indikator penilaian yang digunakan untuk
mengukur seberapa jauh kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam meyediakan dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan para pengusaha, sebagian indikator
yang lainnya dengan metode pengamatan. Pengumpulan data dilakukan selama
satu semester, dimulai medio tahun 2006.
Setelah seluruh data terkumpul, analisis data dilakukan untuk membuat
penilaian. Kemudian hasilnya disesuaikan dengan desain skala pengukuran yang
telah ditetapkan (lima kategori), yaitu: tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik,
dan sangat baik. Untuk mengantisipasi hasil perhitungan (nilai), maka kategori
diformulasikan dalam suatu interval range seperti berikut:
Kategori nilai dalam interval range
Interval Range Nilai Kategori
4,21 - 5,00 5 Sangat Baik
3,41 - 4,20 4 Baik
2,61 - 3,40 3 Cukup Baik
1,81 - 2,60 2 Kurang Baik
1,00 - 1,80 1 Tidak Baik
METODOLOGI ANALISIS
Identifikasi indikator sebagai kriteria pengukuran prestasi / hasil yang telah
dicapai oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka menciptakan masyarakat maju,
dilakukan dengan menggunakan pendekatan model analisis kuantitatif “TEV”.
Algoritme pemecahan masalah dengan model analisis kuantitatif “TEV” adalah
sebagai berikut:
Pohon Keputusan
Obyek penilaian adalah kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam
menyelenggarakan dan memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan yang
90 Kebijakan Inovasi di Industri
diperlukan oleh para pengusaha, harus dijabarkan menjadi beberapa indikator
yang digunakan sebagai kriteria penilaian. Berdasarkan data dari hasil kajian
Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan
di bawah Departemen Perdagangan Republik Indonesia; bahwa indikator iklim
usaha perdagangan adalah perizinan, perpajakan, peraturan ketenagakerjaan, jalan
raya, pabean dan pelabuhan, jasa infrastruktur publik, tanah / lahan, kondisi
keamanan, akses pembiayaan perusahaan, dan kondisi lingkungan bisnis (lihat
Lampiran).
Metode Delphi
Ketika konsep awal untuk pohon keputusan belum mencapai pada tingkat
operasional secara optimum, upaya untuk mengoptimisasikan pohon keputusan
dilakukan dengan metode Delphi, yaitu melibatkan pakar kebijakan di bidang
usaha perdagangan (bisnis). Para pakar yang dilibatkan antara lain adalah dari
pemerintah (birokrat), akademisi, pelaku bisnis dan masyarakat ahli lainnya dengan
jumlah seluruhnya 50 (lima puluh) orang pakar. Kemudian para pakar secara
terpisah diberikan angket agar memberikan usulan yang berkaitan dengan cabang
pohon keputusan mulai dari jajaran tingkat kedua dan seterusnya hingga
mencapai pada jajaran tingkat operasional (cabang terakhir). Setelah seluruh
angket terkumpul kembali, kemudian mengundang 5 (lima) orang pakar dari
anggota yang terlibat untuk diajak dalam suatu pertemuan tertutup. Agenda
dalam pertemuan tersebut adalah merumuskan pohon keputusan, dan hasilnya
disebar kembali kepada seluruh pakar untuk ditanggapi dan diberikan masukan
supaya lebih sempurna (optimum). Iterasi kegiatan dalam pertemuan tertutup
digelar kembali untuk optimisasi pohon keputusan, dan hasilnya disepakati
bersama.
Unsur-unsur dari pohon keputusan optimum yang telah dihasilkan adalah
sebagai instrumen kebijakan, apabila nilainya rendah merupakan kelemahan yang
dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun strategi dalam memperbaiki
kebijakan selanjutnya. Instrumen kebijakan tersebut mengandung formula untuk
menghasilkan nilai setiap unsur pohon keputusan, yang terdiri atas bobot unsur
dan nilai pengukuran. Rumus 1 berikut adalah pembobotan unsur pohon
keputusan:
mi
nk
jma
Am
k
m
j
ij
i ,........3,2,1;
1
1
1
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 91
Keterangan :
Ai = Nilai bobot unsur ke-i
aij = Jumlah pakar yang menilai Ai sebagai peringkat ke-j
m = Jumlah unsur dalam kelompok setiap anak cabang pohon keputusan
n = Jumlah seluruh pakar yang melakukan pembobotan
Kemudian, penilaian diawali dari setiap unsur di tingkat yang paling bawah
menggunakan data operasional berdasarkan skala ukur yang telah ditetapkan
(yaitu lima kategori) hingga penilaian secara menyeluruh yang total hasilnya
adalah sebagai nilai obyek yang dikaji. Data operasional diperoleh dari hasil survei
pengamatan maupun dari kuesioner, selanjutnya di samping bobot bahwa nilai
pengukuran masing-masing unsur diperoleh dari hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus nilai harapan (expected value) berdasar pada skala lima.
Perhitungan Nilai Harapan
Penilaian dimulai dari setiap unsur operasional (paling bawah), yang setiap
kelompoknya mewakili unsur di tingkat atasnya hingga pada unsur indikator dan
kelompok indikator merupakan nilai total yaitu nilai obyek. Rumus 2 berikut adalah
perhitungan nilai harapan (expected value) unsur pohon keputusan:
i
n
i
i pkXEV
1
)(
Keterangan :
X = Indikator yang dinilai
pi = Probabilitas responden yang menilai parameter ke-i sebesar
ki
ki = Nilai kategori jawaban parameter ke-i
n = Banyaknya parameter yang tercakup dalam indikator
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis
Setelah seluruh data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan
rumus 1 tentang pembobotan masing-masing unsur pohon keputusan dan rumus
2 mengenai nilai harapan unsur pohon keputusan. Nilai hasil analisis
mencerminkan kategori setiap unsur dalam pohon keputusan mulai dari tingkat
operasional (paling akhir) hingga nilai obyek yang dikaji. Hasil perhitungan nilai
harapan (expected value) total sebagai nilai obyek, yaitu kesiapan Pemerintah DKI
Jakarta dalam mempersiapkan dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
(optimal) tentang kebutuhan bagi pengusaha untuk mewujudkan masyarakat yang
maju sehingga mampu bersaing dalam merebut pangsa pasar global, tergolong
dalam kategori cukup baik dengan nilai adalah 3,08.
92 Kebijakan Inovasi di Industri
Pembahasan
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indikator kebanyakan lebih dari angka
3 (tiga) dalam kategori mulai cukup baik. Untuk meningkatkan nilai menjadi
kategori baik dibutuhkan strategi, yaitu memperbaiki kinerja unsur-unsur
operasional yang kurang mendukung seperti hasil pembahasan berikut.
Indikator perpajakan
Unsur bagian sub-indikator yang dipandang sebagai kendala yang sangat
menggangu dalam rangka memberikan pelayanan perpajakan adalah :
3.2.1.1. Jangka waktu pelayanan pajak tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
3.2.1.2. Besaran tarif retribusi dan pajak daerah perlu direduksi secara optimal.
3.2.1.3. Banyaknya jenis retribusi dan pajak daerah perlu direduksi secara optimal.
Jalan Raya
Arus lalu-lintas jalan raya dinilai kurang baik, karena kepadatan jalan raya cukup
tinggi.
Tanah / lahan
Pengadaan Tanah/Lahan dinilai kurang baik, karena:
3.2.3.1. Tingkat kelayakan harga tanah/lahan dipandang cukup tinggi.
3.2.3.2. Kemudahan memperoleh tanah / lahan dipandang masih cukup sulit.
Kondisi Lingkungan Bisnis
Sub-indikator lingkungan bisnis yang dipandang sebagai kendala yang sangat
menggangu adalah :
3.2.4.1. Akses bahan baku, karena kurang mendukung.
3.2.4.2. Akses pasar, dipandang kurang mendukung
Hasil Pengamatan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan berhasil dicatat ada
penyimpangan seperti berikut:
3.2.5.1. Surat Keterangan Asal, Angka Pengenal Importir Produsen, Tanda Daftar
Gudang / Ruangan, Tanda Daftar Perusahaan, Angka Pengenal Importir
Terbatas, pengurusannya membutuhkan waktu yang lebih dibanding waktu
standar yang telah ditentukan.
3.2.5.2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Gudang / Ruangan, Ijin
Usaha Industri, Tanda Daftar Perusahaan, Ijin Undang-undang Gangguan,
dan Pengesahan Akte Pendirian Perusahaan, pengurusannya
membutuhkan biaya tambahan di luar biaya standar yang ditetapkan.
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 93
PENUTUP
Kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam memberikan pengadaan fasilitas dan
pelayanan kepada para pengusaha tentang kebutuhan yang diperlukan dalam
rangka membangun masyarakat maju, dinilai masih dalam kategori cukup baik.
Kondisi demikian berarti bahwa fasilitasi dan pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah DKI Jakarta kepada para pengusaha masih belum sepenuhnya
memuaskan, sehingga masih terdapat kelemahan seperti:
4.1. Waktu palayanan perpajakan disesuaikan waktu standar yang ditetapkan.
4.2. Besaran tarif dan banyaknya jenis retribusi daerah lebih dioptimalkan.
4.3. Besaran tarif dan banyaknya jenis pajak daerah lebih dioptimalkan.
4.4. Prosedur pengurusan perpajakan lebih disederhanakan.
4.5. Cara memperoleh dan harga tanah / lahan lebih dioptimalkan.
4.6. Memberikan fasilitasi yang lebih luas terhadap kelancaran akses jalan raya,
akses bahan baku, dan akses pasar.
Strategi yang disarankan untuk dilakukan tersebut akan mengandung resiko,
yaitu sebagai dampak lipat ganda (multiplier effect) yang harus dihadapi. Sehingga
ada kandungan unsur-unsur yang merugikan dan menguntungkan, namun hal itu
justru membuat strategi pengembangan wilayah yang konprehensif dan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, R., 2005, Model Kuantitatif Pengambilan Keputusan dan Perencanaan
Strategis, ALFABETA, CV., Bandung.
Dunn, W.N., Penyunting : Darwin. M, (Penerjemah Wibawa S, et al), 2003,
Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Douglas, E.J, 1992, Managerial Economics : Analysis and Strategy, Prentice-Hall, Inc.,
USA.
Gilbert, G.G, and Koehler, D.O., 1984, Applied Finite Mathematics, McGraw-Hill, Inc.,
USA.
Hiller, F.S., and Lieberman, G.J., 1980, Introduction to Operations Research, Holden-
Day, Inc., USA.
Kuncoro, M., 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Mizrahi, and Sullivian, 1979, Mathematics for Business and Social Sciences : An
Applied Approach, John Wiley & Sons, Inc., Canada.
Rangkuti, F., 2001, Riset Pemasaran, PT. Gramedia Pustaka Utama, IBII, Jakrta.
Sekaran, U., 2003, Research Methods for Business, John Wiley & Sons, Inc., New
York.
Suharso, P.,2007, Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis : Pendekatan Filosofi
dan Praktis, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah,
BPP Teknologi, Jakarta.
94 Kebijakan Inovasi di Industri
----------, 2007, Laporan Akhir Penyusunan Indikator Iklim Usaha Perdagangan,
Departemen Perdagangan, Jakarta.
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 95
LAMPIRAN:
1. Grafik Pohon Keputusan Keputusan
2. Hasil Analisis Pohon Keputusan
Nomer
Hirarki
Nama Unsur
Nilai hasil
Perhitungan
Kategori
1. Indikator perijinan 2,89 Cukup baik
1.1. Sub-indikator biaya perijinan 2,74 Cukup baik
1.1.1. Kelayakan biaya standar 2,69 Cukup baik
1.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar 2,78 Cukup baik
1.2 Sub-indikator jangka waktu perijinan 2,87 Cukup baik
1.2.1 Kelayakan waktu standar 2,88 Cukup baik
1.2.2 Kesesuaian waktu dengan standar 2,86 Cukup baik
1.3 Sub-indikator persyaratan prosedur
perijinan
2,90 Cukup baik
1.3.1 Kemudahan persyaratan 2,77 Cukup baik
1.3.2 Pemahaman atas persyaratan 3,08 Cukup baik
1.4 Sub-indikator kejelasan prosedur
perijinan
3,01 Cukup baik
1.4.1 Tingkat kemudahan perijinan 2,98 Cukup baik
1.4.2 Pemahaman prosedur 3,06 Cukup baik
96 Kebijakan Inovasi di Industri
Nomer
Hirarki
Nama Unsur
Nilai hasil
Perhitungan
Kategori
2. Indikator perpajakan 2,59 Kurang baik
2.1 Sub-indikator biaya pelayanan
perpajakan
2,70 Cukup baik
2.1.1 Kelayakan biaya dalam standar
pelayanan pajak
2,75 Cukup baik
2.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar
pelayanan pajak
2,78 Cukup baik
2.2 Sub-indikator jangka waktu pelayanan
pajak
2,69 Cukup baik
2.2.1 Kelayakan waktu dalam standar
pelayanan pajak
2,88 Cukup baik
2.2.2 Kesesuaian waktu dengan standar
pelayanan pajak
2,53 Kurang baik
2.3 Sub-indikator jenis dan tarif retribusi
daerah
2,55 Kurang baik
2.3.1 Besaran tarif retribusi daerah 2,55 Kurang baik
2.3.2 Banyaknya jenis retribusi daerah 2,55 Kurang baik
2.4 Sub-indikator jenis dan tarif pajak
daerah
2,46 Kurang baik
2.4.1 Besaran tarif pajak daerah 2,45 Kurang baik
2.4.2 Banyaknya jenis pajak daerah 2,47 Kurang baik
2.5 Sub-indikator kejelasan prosedur
perpajakan
2,63 Cukup baik
2.5.1 Tingkat kemudahan prosedur
perpajakan
2,37 Kurang baik
2.5.2 Pemahaman prosedur perpajakan 2,86 Cukup baik
3. Indikator peraturan ketenagakerjaan 3,19 Cukup baik
3.1 Sub-indikator hubungan industrial 3,28 Cukup baik
3.1.1 Kelayakan substansi peraturan
ketenagakerjaan
3,20 Cukup baik
3.1.2 Pemahaman terhadap peraturan 3,31 Cukup baik
3.2 Sub-indikator UMK / UMP 3,14 Cukup baik
3.2.1 Partisipasi pengusaha dalam penetapan
UMK / UMP
3,14 Cukup baik
3.2.2 Besaran penetapan UMK / UMR 3,14 Cukup baik
4. Indikator jalan raya 3,10 Cukup baik
4.1 Sub-indikator biaya pemanfaatan jalan 2,73 Cukup baik
4.1.1 Kelayakan biaya dalam standar
pemanfaatan jalan
2,63 Cukup baik
4.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar
layanan jalan raya
2,82 Cukup baik
Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 97
Nomer
Hirarki
Nama Unsur
Nilai hasil
Perhitungan
Kategori
4.2 Sub-indikator kelancaran arus lalu lintas 2,59 Kurang baik
4.2.1 Kelengkapan marka jalan 3,33 Cukup baik
4.2.2 Kepadatan jalan 2,16 Kurang baik
4.3 Sub-indikator ketersediaan jalan raya 3,86 Baik
4.3.1 Kelas jalan raya 3,82 Baik
4.3.2 Kualitas jalan raya 3,88 Baik
5. Indikator pabean dan pelabuhan 3,18 Cukup baik
5.1 Sub-indikator kejelasan prosedur
pabean dan pelabuhan
3,31 Cukup baik
5.1.1 Tingkat kemudahan prosedur pabean
dan pelabuhan
3,37 Cukup baik
5.1.2 Pemahaman prosedur pabean dan
pelabuhan
3,24 Cukup baik
5.2 Sub-indikator fasilitas pelabuhan 3,12 Cukup baik
5.2.1 Dukungan bongkar muat 3,08 Cukup baik
5.2.2 Dukungan bounded warehouse 3,16 Cukup baik
5.2.3 Dukungan armada angkutan 3,14 Cukup baik
5.3 Sub-indikator ketersediaan pabean dan
pelabuhan
3,29 Cukup baik
5.3.1 Kualitas layanan 3,24 Cukup baik
5.3.2 Kualitas pelabuhan 3,37 Cukup baik
6. Indikator jasa infrastruktur publik 3,17 Cukup baik
6.1 Sub-indikator biaya pemanfaatan
infrastruktur publik
3,17 Cukup baik
6.1.1 Kelayakan biaya dalam standar
pelayanan
3,45 Baik
6.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar
layanan
2,88 Cukup baik
6.2 Sub-indikator kualitas layanan 3,02 Cukup baik
6.2.1 Kelayakan standar layanan infrastruktur
publik
2,73 Cukup baik
6.2.2 Kesesuaian dengan standar layanan
infrastruktur publik
3,35 Cukup baik
6.3 Sub-indikator ketersediaan infrastruktur
publik
3,25 Cukup baik
6.3.1 Kualitas infrastruktur publik 3,33 Cukup baik
6.3.2 Kuantitas infrastruktur publik 3,14 Cukup baik
7. Indikator tanah / lahan 2,82 Cukup baik
7.1 Sub-indikator kejelasan status tanah 3,39 Cukup baik
7.1.1 Kelengkapan dokumen 3,39 Cukup baik
98 Kebijakan Inovasi di Industri
Nomer
Hirarki
Nama Unsur
Nilai hasil
Perhitungan
Kategori
7.1.2 Tuntutan masyarakat / sengketa 3,39 Cukup baik
7.2 Sub-indikator pengadaan tanah / lahan 2,24 Kurang baik
7.2.1 Tingkat kelayakan harga tanah / lahan 2,26 Kurang baik
7.2.2 Kemudahan memperoleh tanah / lahan 2,24 Kurang baik
8. Indikator kondisi keamanan 3,28 Cukup baik
8.1 Sub-indikator biaya keamanan 3,29 Cukup baik
8.1.1 Besaran biaya keamanan 3,14 Cukup baik
8.1.2 Jenis biaya keamanan 3,43 Baik
8.2 Sub-indikator sengketa dan konflik 3,28 Cukup baik
8.2.1 Kecepatan penanganan aparat
keamanan
4,00 Baik
8.2.2 Intensitas sengketa / konflik masyarakat 2,20 Kurang baik
9. Indikator akses pembiayaan perusahaan 3,13 Cukup baik
9.1 Sub-indikator proses kredit 3,10 Cukup baik
9.1.1 Persyaratan kredit 3,35 Cukup baik
9.1.2 Penilaian agunan 2,75 Cukup baik
9.2 Sub-indikator ketersediaan lembaga
keuangan
3,16 Cukup baik
9.2.1 Kemudahan memperoleh kredit 2,67 Cukup baik
9.2.2 Jumlah lembaga keuangan (Bank / non-
Bank)
3,80 Baik
10. Indikator kondisi lingkungan bsinis 3,14 Cukup baik
10.1 Sub-indikator akses usaha 3,47 Baik
10.1.1 Akses distribusi 3,67 Baik
10.1.2 Akses tenaga kerja 3,31 Cukup baik
10.1.3 Akses teknologi 3,78 Baik
10.1.4 Akses bahan baku 2,39 Kurang baik
10.1.5 Akses pasar 2,39 Kurang baik
10.2 Sub-indikator kebijakan pemerintah
daerah
2,91 Cukup baik
10.2.1 Pembinaan pemerintah daerah 2,75 Cukup baik
10.2.2 Komitmen pemerintah daerah 3,00 Cukup baik
MODEL PENGELOLAAN KAWASAN ALIH
DAYA UMKM DI KAWASAN INDUSTRI
Warseno
ABSTRACK Regions outsourcing (outsourcing) medium enterprises, small and micro enterprises
(SMEs) have not been implemented by many regional developers considering this
policy was launched in 2009. In fact, the government itself has issued a technical
manual operational implementation of outsourced development of SMEs in
Industrial Area (KI). Therefore, the need for the concept of area management
outsourcing SMEs. Outsourcing is a region in the KI that produce goods / services for
the purposes of major industries in the vicinity or export oriented. Some emerging KI
is currently outsourcing SMEs. In this study the model of outsourcing the
management of SMEs in KI is done through several scenarios: (1) The management of
the business KI Jababeka; (2) Management Model Management Cluster IP; (3)
Management of Institutional Models Intermediation
keyword: management model, outsourcing, small & medium enterprises
ABSTRAK Kawasan alih daya (outsourcing) usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) belum
banyak dilaksanakan oleh pengembang kawasan mengingat kebijakan ini baru
diluncurkan tahun 2009. Bahkan pemerintah sendiri belum mengeluarkan petunjuk
teknis operasional pelaksanaan pengembangan alih daya UMKM di Kawasan Industri
(KI). Karena itu, perlu adanya konsep pengelolaan kawasan alih daya UMKM.
Kawasan alih daya adalah tempat dalam KI yang memproduksi barang/jasa untuk
keperluan industri-industri besar di sekitarnya atau berorientasi ekspor. Beberapa KI
yang sedang berkembang pada saat ini sedang melakukan alih daya UMKM. Pada
kajian ini model pengelolaan alih daya UMKM di KI dilakukan melalui beberapa
skenario yaitu (1) Pengelolaan oleh Pengelola KI Jababeka; (2) Pengelolaan Model
Klaster Manajemen KI; (3) Pengelolaan Model Kelembagaan Intermediasi.
Kata kunci: model manajemen, alih daya, usaha kecil menengah
PENDAHULUAN
Peranan kelembagaan sebagai pengelola kawasan alih daya UMKM di KI
menjadi sangat penting karena akan mendukung terhadap pelaksanaan kebijakan
100 Kebijakan Inovasi di Industri
pemerintah tentang pengembangan KI UMKM di Indonesia sebagaimana tertuang
dalam PP No 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri selanjutnya disebut PP
24/2009, kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian No 35
Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri.
Dalam PP 24/2009, khususnya pada bagian penjelasan, dipaparkan bahwa KI
merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional yang diarahkan
dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan industri yang berkelanjutan
yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan
hidup.
Saat ini pembangunan industri nasional sedang dihadapkan pada persaingan
global. Karenanya, peningkatan daya saing industri menjadi pilihan yang tidak bisa
ditawar agar produk industri nasional mampu bersaing baik di dalam negeri
maupun luar negeri. Langkah-langkah peningkatan daya saing dimulai dengan
menciptakan iklim usaha yang kondusif, efisien, memiliki kepastian hukum, dan
pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain bagi dunia investasi.
Selain itu, adanya lokasi industri di satu KI merupakan instrument penting bagi
peningkatan daya saing.
Dari sisi efisiensi, adanya KI sangat membantu investor pengguna kaveling
industri (user) dalam melakukan kegiatan industri. Di KI seperti ini biasanya sudah
tertata dengan baik, memiliki kemudahan dalam pelayanan administrasi,
infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha yang sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.
Dari aspek tata ruang, pembangunan KI sudah dilengkapi dengan prasarana
dan sarana penunjang seperti penyediaan energi listrik, telekomunikasi, fasilitas
jalan, dan lain sebagainya. KI mendukung sepenuhnya peningkatan kualitas
lingkungan hidup di kawasan secara menyeluruh dengan menyediakan fasilitas
pengelolaan dan pengendalaian limbah sehingga kegiatan industri di kawasan
tidak terganggu.
PP 24/2009 juga mengatur hal-hal yang meliputi kewenangan pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam
pengembangan KI, kewajiban perusahaan industri untuk berlokasi di KI, izin usaha
KI dan batas minimal luas KI serta sanksi bagi perusahaan KI maupun perusahaan
industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 Ayat 1 dalam PP 24/2009
menyebutkan bahwa luas lahan KI minimal 50 hektar dalam satu hamparan.
Kemudian, disebutkan pula bahwa di KI wajib disediakan lahan bagi kegiatan
UMKM paling rendah 5 hektar. Kewenangan pemerintah pusat yakni Kementerian
Perindustrian, menurut Pasal 5 PP 24/2009, yaitu:
a. Menetapkan KI tertentu.
b. Melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap KI, KI tertentu, dan
perusahaan industri.
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 101
c. Menetapkan suatu KI sebagai obyek vital untuk mendapat pengamanan
khusus.
Kewenangan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan :
1). Menetapkan pedoman teknis KI;
2). Memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara perusahaan KI dengan
perusahaan industri yang berlokasi di KI;
3). Membentuk tim nasional KI; dan
4). Menetapkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan
industri di KI atas usul Timnas-KI.
Kemudian dalam rangka optimalisasi pemanfaatan KI, gubernur atau
bupati/walikota berwenang memberikan:
1). Insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2). Kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang
diperuntukkan bagi pembangunan KI;
3). Pengarahan kegiatan industri ke dalam KI; dan/atau
4). Pelayanan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perusahaan KI wajib menyediakan lahan bagi kegiatan UMKM serta memiliki tata
tertib KI yang paling sedikit memuat informasi mengenai:
1). Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
2). Ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup sesuai hasil studi amdal, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan;
3). Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
4). Ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola KI.
Perusahaan industri di dalam KI wajib memiliki upaya pengelolaan lingkungan
dan upaya pemantauan lingkungan, Perusahaan industri di dalam KI yang
mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib
menyusun amdal dan mendapat pengesahan. Perusahaan industri di dalam KI
dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lokasi, dan pengesahan
rencana tapak tanah. Setiap perusahaan industri di KI memiliki kewajiban sebagai
berikut:
a) Memenuhi semua ketentuan perizinan dan tata tertib KI yang berlaku;
b) Memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak
melakukan pengambilan air tanah;
c) Melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak pembelian lahan; dan
d) Mengembalikan kaveling industri kepada perusahaan KI apabila dalam batas
waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan
pembangunan pabrik.
102 Kebijakan Inovasi di Industri
Kelembagaan yang terkait dalam pengembangan alih daya UMKM ke KI
antara lain terkait lembaga pengelola UMKM, lembaga permodalan, dan lembaga
pendukung pengembangan kebijakan UMKM. Disisi lain pelaksanaan alih daya
juga melibatkan badan penyedia jasa, aspek administrasi dan manajemen.
Mengingat secara operasional belum diatur pelaksanaan alih daya UMKM pada KI,
maka untuk mewujudkan sistem pengelolaan alih daya tersebut diperlukan
dukungan kelembagaan terutama pada instansi pemerintah maupun lembaga
terkait dengan pelaksanaan alih daya tersebut. Berdasarkan hasil diskusi antar
stakeholder yang ada telah disimpulkan bahwa pertama, adanya penyamaan
persepsi tentang pendekatan pengembangan kawasan outsourcing sebagai cara
efektif untuk meningkatkan kualitas keterkaitan di antara mata rantai–mata rantai
produksi di dalam klaster/KI. Kedua, adanya penyamaan persepsi dan dukungan
para stakeholder tentang pentingnya UKM masuk dalam jaringan rantai nilai dari
industri dalam KI. Ketiga, konfirmasi pada para stakeholder tentang lini usaha yang
berpotensi untuk dapat dikaitkan pada usaha UKM.
BAHAN DAN METODE
Model pengelolaan kawasan alih daya UMKM di dalam tulisan sini
menggunakan metode rekonsilidasi dan refungsionalisasi (rekonfu) serta metode
analisis deskriptif. Kedua Metode ini didukung oleh data primer berupa observasi
lapangan dengan melakukan kunjungan ke KI Jababeka serta berdiskusi dengan
beberapa pejabat instansi terkait di tingkat pusat dan daerah. Sedangkan
pengumpulan data sekunder dilakukan melalui eksplorasi terhadap beberapa hasil
kajian yang telah dilakukan sebelumnya serta telaah peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan pengembangan kawasan alih daya UMKM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Pengembangan Kawasan Alih Daya UMKM.
Pengembangan kawasan alih daya UMKM belum banyak dilaksanakan oleh
pengembang kawasan karena selain baru kebijakannya (tahun 2009), pemerintah
sendiri belum mengeluarkan petunjuk teknis operasional pelaksanaan
pengembangan UMKM di dalam KI sebagai wujud alih daya UMKM. Karena itu,
perlu adanya konsep pengembangan kawasan alih daya UMKM. Adapun yang
dimaksud dengan kawasan outsourcing (alih daya) adalah tempat dalam KI yang
memproduksi barang/jasa untuk keperluan industri-industri besar di sekitarnya
atau berorientasi ekspor.
Di sisi lain alih daya diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian
beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan
penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 103
berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak yang
terlibat. Secara umum, alih daya dipandang sebagai tindakan mengalihkan
beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak
lain, dimana tindakan ini terkait dalam suatu kontrak kerjasama. Alih daya atau
outsourcing ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk
memfokuskan perhatian pada suatu hal (spesifikasi kegiatan).
Beberapa negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing
sudah menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan
utamanya, lebih fokus pada keunggulan produk servisnya. Dari definisi tersebut
maka dapat disimppulkan bahwa kawasan alih daya adalah tempat dalam KI yang
disediakan untuk perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang/ jasa untuk
keperluan industri di sekitarnya atau industri-industri berorientasi ekspor.
Berdasarkan pengertian alih daya di atas, pada prinsipnya terdapat beberapa
aspek penting untuk pelaksanaan alih daya UMKM di KI antara lain aspek
pemindahan tempat usaha dari luar kawasan ke dalam kawasan, pendelegasian
proses produksi dari perusahaan besar ke UMKM, serta adanya aspek administrasi
atau manajemen, serta adanya peran badan usaha.
Sesuai dengan himbauan Presiden Republik Indonesia, perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam industri besar harus bisa menggandeng UMKM
untuk mengembangkan kegiatan industrinya. Dalam Kebijakan Pengembangan
Industri Nasional pun demikian. Salah satu agendanya adalah berupa program
revitalisasi industri dengan menggunakan konsep klaster untuk beberapa industri
tertentu, termasuk industri alat angkut yang ditunjang dengan rencana aksi jangka
menengah yaitu memfokuskan peningkatan industri komponen. Di samping itu,
Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan mengenai diperlukan adanya
peningkatan UMKM dalam bentuk peningkatan kemitraan, aspek keuangan,
peningkatan mutu produk, dan peningkatan kemampuan desain. Jadi, dengan
adanya klaster industri maupun program-program peningkatan lainnya ini akan
mampu meningkatkan produktifitas UMKM. Selain itu karena adanya kemudahan
bagi UMKM dalam mengakses atau memperoleh sumberdaya yang akhirnya
mampu menekan biaya produksi, hal ini juga akan bermanfaat bagi UMKM
maupun industri besar (IB) dalam memperkuat hubungan kemitraan sehingga
terjadi hubungan bisnis yang memberikan manfaat secara timbal-balik. Dengan
demikian konsep pengembangan kawasan alih daya UMKM ke KI dilakukan
melalui:
1. Pengembangan Rantai Nilai.
Value Chain Porter ditemukan oleh Michael Porter, merupakan model yang
digunakan untuk membantu menganalisis aktivitas-aktivitas spesifik yang
dapat menciptakan nilai dan keuntungan kompetitif bagi organisasi. Value
Chain Analysis atau Analisis Rantai Nilai merupakan suatu analisis stratejik yang
104 Kebijakan Inovasi di Industri
digunakan untuk memahami secara lebih baik tentang keunggulan kompetitif,
hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan
lain dalam industri.
Pada dasarnya, analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai salah satu
bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai ini mencakup aktivitas yang terjadi
karena adanya hubungan dengan pemasok (Supplier Linkages), dan hubungan
dengan konsumen (Consumer Linkages). Dengan kata lain, konsep rantai nilai
mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau
jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di pasar akhirnya dengan
didukung berbagai penyedia jasa teknis, bisnis, dan keuangan. Dari
keseluruhan proses tersebut, kegiatan utamanya diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu dari sisi supply dan juga demand. Kegiatan supply mencakup
pengadaan bahan mentah, penyimpanan di gudang, dan produksi barang
mentah menjadi barang jadi. Sedangkan kegiatan demand mencakup
pendistribusian barang, penciptaan kebutuhan (marketing), dan penjualan.
Konsep-konsep yang mendasari analisis rantai nilai adalah bahwa setiap
perusahaan menempati bagian tertentu atau beberapa bagian dari
keseluruhan rantai nilai. Rantai nilai meliputi berbagai kegiatan atau aktivitas di
dalamnya yang terdiri dari aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas
pendukung (supported activities).
a. Primary Activities:
Procurement: berkaitan dengan proses perolehan input/sumber daya.
Production : melaksanakan proses produksi, fokus pada pembuatan
suatu produk, menjaga kualitas barang, konsisten dengan delivery time.
Marketing: mencari mitra bisnis dengan etika yang baik, menjalin
hubungan dengan pemerintah untuk mendapatkan dukungan dalam
hal promosi.
Research and development: melakukan inovasi secara kontinyu,
melakukan improvisasi untuk mencapai kualitas yang lebih baik,
mencari bahan pengganti yang lebih ekonomis.
b. Supported Activities:
Human Resources Management: pengaturan SDM mulai dari perekrutan,
kompensasi, sampai pemberhentian.
Finance: pengaturan dana modal dan pinjaman secara baik.
Technological Development: pengembangan peralatan, software,
hardware, prosedur, didalam transformasi produk dari input menjadi
output.
2. Pengembangan Klaster
Michael Porter mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan
lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 105
dan saling terkait karena “kebersamaan (commonalities) dan komplementaritas”
(Porter, 1990).
Kementerian Koperasi dan UKM seperti tersurat dalam buku Pemberdayaan
UKM Melalui Pemberdayaan SDM dan Klaster Bisnis, menunjukkan pengertian
klaster sebagai kelompok kegiatan yang terdiri atas industri inti, industri
terkait, industri penunjang, dan kegiatan-kegiatan ekonomi (sektor-sektor)
penunjang dan terkait lain, yang dalam kegiatannya akan saling terkait dan
saling mendukung. Lingkup geografis klaster dapat sangat bervariasi,
terentang dari satu desa saja atau salah satu jalan di daerah perkotaan sampai
mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Sebuah klaster dapat juga
melampaui batas negara menjangkau beberapa negara tetangga (misalnya
Batam-Singapore-Malaysia).
3. Pengembangan Kemitraan
Secara umum kemitraan adalah sikap menjalankan bisnis yang berorientasi
pada hubungan kerjasama yang solid/kokoh dan mendalam, berjangka
panjang, saling percaya dan dalam kedudukan yang setara (Franciscus
Welirang dalam Pola-Pola Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ekonomi
Skala Kecil, Menengah dan Besar). Pada dasarnya, sifat kemitraan berorientasi
pada bisnis, saling membutuhkan, saling percaya, sukarela, disiplin, saling,
menguntungkan, accountable, dan saling memperkuat. Kemitraan sangat
penting perannya terutama dalam hal memenuhi kebutuhan dalam menjaga
kinerja kompetitif perusahaanan, berkelanjutannya usaha dalam sektor yang
sama atau yang berhubungan, serta membangun kebersamaan dan penguatan
sesama pelaku bisnis.
Bentuk atau pola kemitraan tergantung pada apa yang diinginkan atau dalam
hal apa yang akan dikerjasamakan. Pada umumnya, jenis pola kemitraan terdiri
dari inti-plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, dan keagenan.
a. Inti-Plasma.
Hubungan kemitraan antara UKM dan IB, dimana IB sebagai inti membina
dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dlam hal penyediaan
lahan, sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan
produksi, perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang
diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal
ini, IB mempunyai tanggung jawab sosial untuk membina dan
mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang
(Corporate Social Responsibility).
b. Subkontrak.
Hubungan kemitraan antara UKM dan IB dimana UKM memproduksi
komponen yang diperlukan oleh IB sebagai bagian dari produksinya.
Dalam hal ini IB bertindak sebagai perusahaan induk yang meminta UKM
106 Kebijakan Inovasi di Industri
selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan
dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Di samping itu, IB
memberikan bantuan kepada UKm berupa kesempatan perolehan bahan
baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi,
dan pembiayaan.
c. Dagang Umum.
Hubungan kemitraan UKM dan IB dimana IB memasarkan hasil produksi
UKM atau UKM memasok kebutuhan IB melalui transaksi langsung dan
terbuka.
d. Waralaba.
Hubungan kemitraan dimana di dalamnya pemberi waralaba (IB)
memberikan hak guna lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi
perusahaannya kepada penerima waralaba (UKM) dengan disertai bantuan
manajemen.
e. Keagenan.
Hubungan kemitraan antara UKM dan IB dimana UKM diberi hak khusus
untuk memasarkan barang dan jasa IB sebagai mitranya.
Selain pola hubungan kemitraan di atas, kemitraan usaha dapat dilakukan
antara pihak pemerintah dan pihak swasta (Kerjasama Pemerintah
Swasta/Public Private Partnership). Dalam kemitraan ini, keahlian dan aset
kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam
menyediakan pelayanan kepada masyarakat, dimana risiko dan manfaat
potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dibagi kepada
pemerintah dan swasta.
Skenario Pengelolaan Alih Daya UMKM.
Dengan mengacu pada ketentuan di atas dan berpedoman pada hasil survey
yang pernah dilakukan maka penyusunan skenario pengembangan kawasan alih
daya khususnya yang terkait dengan industri besar di Jababeka akan dilakukan
beberapa skenario dari aspek pengelolaannya.
Gambar 1. Alternatif Skenario Pengembangan Lokasi UKM
IB
Kawasan
UKM
Kawasan
UKM IB UKM
UKM IB
Kawasan
1 2 3
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 107
Sesuai dengan Gambar 1 dapat diuraikan bahwa alternatif pertama, UKM
pemasok industri besar tetap berada di luar KI. Hal ini diperlukan antara lain
membuat perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan kemitraan UKM alih
daya dengan industri besar dalam kawasan. Implikasinya adalah butuhnya
perbaikan dan peningkatan sistem transportasi dan regulasi tertentu.
Alternatif kedua adalah mendorong masuknya UKM ke dalam KI. Hal ini
diperlukan perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan keberadaan UKM alih
daya dalam kawasan. Implikasinya berupa perlunya penambahan fasilitas publik
dan infrastruktur dalam kawasan serta pengadaan lahan bagi UKM.
Alternatif ketiga, dimana UKM yang dikaitkan dengan industri besar ada yang
berada di dalam dan ada yang di luar KI. Hal ini diperlukan yakni membuat
perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan hubungan kemitraan antara UKM
(baik yang berada di luar maupun dalam kawasan) dan industri besar. Dampak dari
kebijakan ini adalah perlunya perbaikan dan peningkatan sistem transportasi dan
regulasi tertentu, serta penambahan fasilitas publik, pembangunan infrastruktur
dalam kawasan dan pengadaan lahan bagi UKM di KI. Berdasarkan alternatif
skenario di atas, maka skenario pengelolaan kawasan alih daya untuk industri
besar di KI meliputi 3 (tiga) skenario:
1) Skenario I : Pengelolaan oleh Pengelola KI Jababeka.
KI Jababeka telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, didalamnya
juga dikembangkan industri kecil dan menengah (IKM). Dalam survey di KI
Jababeka (khususnya industri pembuat komponen otomotif) telah dilakukan
pemetaan terhadap beberapa industri besar pembuat komponen otomotif
dan IKM di Jababeka. Dari hasil pemetaan tersebut, beberapa IKM telah
berhasil masuk dalam KI dan terkait sebagai pemasok industri besar antara
lain Tricipta, Shuket, Arlene, Yokata. Kebayakan IKM tersebut memiliki fasilitas
yang sudah cukup maju dengan digunakannya SW desain dan peralatan
permesinan yang berbasis CNC.
Untuk mendorong agar UMKM dapat masuk dalam rantai pasok industri besar
dalam KI (KI) sekaligus masuk dalam KI sebagaimana diamanatkan oleh PP No
24 tahun 2009, maka perlu disusun skenario pengelolaannya. Dalam
penyusunan konsep skenario ini, pengembangan KI Jababeka juga telah
menyusun pengembangan UMKM yang berada di dalam KInya.
Pengembangan kawasan UMKM di dalam KI Jababeka yang dilakukan oleh
Pengelola Kawasan Jababeka diarahkan sebagai UKM Center dengan konsep
dasar untuk pengembangan:
Mediasi dan edukasi (UKM dan industri);
Clustering produk/service;
Inkubasi, yaitu pengembangan perusahaan baru/pemula inovatif.
108 Kebijakan Inovasi di Industri
Pengelolaan UKM Center merupakan bagian dari manajemen Pengelola KI
Jababeka. Dengan demikian manajemen pengelola UKM Center juga akan
ditentukan/diatur oleh manajemen pengelola KI Jababeka.
Adapun ketentuan yang diarahkan untuk Kawasan UKM Center di Jababeka,
meliputi:
a. Stakeholder, meliputi UMKM yang sudah dan atau belum berada dalam KI
Jababeka;
b. Lokasi UKM Center, adalah didalam KI Jababeka.
c. Pengembangan UKM Center, antara lain meliputi:
Luas Lahan kurang lebih 2,3 hektar
Jumlah bangunan yang direncanakan sebanyak 106 unit (LB= 80 dan
120 M2)
Total investasi sekitar Rp 51 milyar;
Unit selling price Rp 500 juta;
Unit rent price Rp 4,2 juta/bulan.
d. Dengan stimulus investasi, adalah :
Daya serap UKM sekitar Rp 2 juta/bln.
Sedangkan sistem pengelolaan Kawasan UKM Center dilakukan melalui 2 jenis
atau cara, yaitu:
a. Membeli, yaitu UMKM membeli lahan dan bangunan secara langsung;
b. Menyewa, yaitu UMKM diberi kesempatan menyewa Rp. 2 juta/bulan.
UMKM yang dengan sistem sewa tersebut akan diberikan kesempatan
beberapa lama (waktu belum ditentukan) untuk tumbuh dan terkait
dengan industri besar di KI. Setelah itu UMKM diharapkan pindah secara
permanen kedalam kawasan yang masuk dalam kategori bisnis. Tempat
yang ditinggalkan akan diperuntukan untuk UMKM secara bergulir.
Pada skenario pertama ini, kelompok SDM yang akan mengelola sistem
pengelolaan Kawasan UKM Center diisi oleh tenaga-tenaga profesional murni
swasta yang berada dalam manajemen KI Jababeka.
Peranan pemerintah (baik kementerian UMKM maupun pihak pemerintah
daerah) hanya sebatas pada ketentuan kebijakan, namun tidak terlibat secara
langsung terhadap pengelolaan kawasan UKM Center ini.
2) Skenario II : Pengelolaan Model Klaster Manajemen KI.
Skenario kedua ini akan menggambarkan peranan pengelolaan kawasan IKM
yang berkembang didalam KI. Konsep ini telah dilakukan oleh KI Candi di
Semarang. KI Candi di Semarang didalamnya telah dikembangkan KI UKM di
bidang furniture seluas kurang lebih 1000 m2. Kawasan UKM yang telah
masuk ke KI, pemerintah mengarahkan pada pembiayaan melalui kerja sama
antara lembaga modal ventura daerah (LVMD) dan LPDB-KUMKM. Menurut
Peraturan Menteri Keuangan No.99/PMK.05/2008. PMK No.99 mewajibkan
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 109
dana bergulir sebagai sumber pendanaan UKM, harus disalurkan oleh
Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil Menengah
(LPDB-KUMKM).
Program ini berjalan sejak 2006 hingga 2007, dan kini telah tercatat sejumlah
29 UKM masuk ke dalam KI, yakni 18 UKM di KI Candi, Semarang dan 11 UKM
di kawasan Jababeka, Bekasi.
Selama 2 tahun berjalan, akses pendanaan bagi UKM difasilitasi oleh
Kementerian Koperasi yang disalurkan melalui LMVD serta lembaga keuangan
sejenis lainnya seperti PT PNM Venture Capital (PT.PNMVC).
Pengembangan UKM yang difasilitasi oleh Kementerian Koperasi tersebut
meliputi:
a. Jenis usaha UKM di kawasan Jababeka didominasi oleh industri komponen
otomotif jenis sepeda motor. Sisanya adalah produk kebutuhan rumah
tangga seperti sabun deterjen sampai pembersih lantai.
b. Kawasan Candi, seluruh UKM adalah produsen furnitur berorientasi ekspor
serta kebutuhan lokal. UKM di Candi bahkan bisa bersinergi mengerjakan
order secara bersama.
Permintaan pembeli asing biasanya harus selesai dalam jumlah besar dan
waktu terbatas. UKM di kawasan itu lalu berbagi tugas sehingga kehadiran
mereka dalam satu kawasan berhasil meningkatkan pendapatan,
Konsep pengembangan kawasan UKM Candi di Semarang dilakukan melalui
dua pendekatan yaitu pengembangan klaster industri dan klaster manajemen :
a. Klaster industri telah dikembangkan berbagai industri UKM yang terkait
dengan bidang furniture;
b. Klaster manajemen dilakukan oleh PT ICP Prima sebagai pengelola
Kawasan UKM Candi. PT. ICP PRIMA didirikan pada tanggal 23-Mei 2008
yang merupakan pengembangan dari UD ICP sebelumnya. Lembaga ini
didirikan oleh kalangan pengusaha UKM dan para pemerhati UKM yang
ada di Jawa-Tengah. Dalam mengembangkan UKM, lembaga ini
mempunyai konsep "3 In 1" , yaitu:
Membantu UKM dalam hal akses pasar dan pemasaran dengan
meningkatkan bauran pemasaran seperti produk, promosi, disain
produk kemasan dan show room di Jakarta dan Semarang.
Membantu UKM dalam hal akses permodalan ke lembaga keuangan
untuk mendapatkan modal kerja.
Mengelola Cluster UKM ( Khusus bagi anggota cluster ) yang ada di KI
Candi Blok 20 A.
Pada skenario ke dua ini lebih mendekatkan pada konsep klaster
manajemen artinya sistem pengelolaan dilakukan oleh kelompok
professional yang sangat paham terhadap pengembangan kawasan UKM
110 Kebijakan Inovasi di Industri
ini, sehingga peranan pengelola kawasan UKM ini dapat dirasakan
manfaatnya oleh anggota UKM yang ada didalamnya.
Sedangkan peranan pemerintah (khususnya kementerian UMKM) terlibat
kerjasama dalam memberikan dukungan pendanaan serta dukungan yang
terkait dengan kebijakan dan regulasi, namun tidak terlibat secara langsung
terhadap pengelolaan kawasan UKM Center ini.
3) Skenario III : Pengelolaan Melalui Kelembagaan Intermediasi.
Pada skenario ke tiga ini, pengelolaan kawasan UMKM dilakukan oleh lembaga
intermediasi. Artinya mereka yang memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring,
kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka pelayanan, litbangyasa
teknologi dan reformasi kebijakan terkait. Pada prinsipnya lembaga intermediasi
ini nantinya merupakan lembaga yang berfungsi layanan kepada UMKM melalui
advokasi/ pendampingan.
Adapun lembaga intermediasi ini diarahkan dalam bentuk lembaga kerjasama
antara pemerintah dan swasta. Karena itu lembaga intermediasi ini harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Tenaga professional yang berpengalaman dalam pembinaan dan
pendampingan terhadap UMKM;
b. Memberikan jasa layanan berbasis teknologi;
c. Berpotensi dalam pengembangan SDM UMKM
d. Membangun jejaring/network pemasaran;
e. Memiliki jejaring/network dan akses ke sumber pendanaan.
Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka lembaga intermediasi ini
merupakan gabungan dari kalangan professional yang berasal dari swasta dan
Pemerintah (pusat ataupun daerah) antara lain meliputi:
Perwakilan Jababeka;
Perwakilan Pemerintah Kabupaten Bekasi;
Perwakilan Pemerintah Pusat;
Perwakilan Asosiasi UMKM sekitar Jababeka;
Perwakilan President University;
Perwakilan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATM) I; dan
Perwakilan Industri Besar (KI) Jababeka.
Sedangkan peranan yang harus dilakukan oleh masing-masing perwakilan tersebut
sesuai dengan fungsinya, antara lain berupa:
Penyediaan lahan khusus UMKM dengan cara bergulir;
Pembinaan Teknis, Pemasaran dan SDM;
Memberikan skema pendanaan yang murah khusus UMKM; dan
Membuka kesempatan menjadi vendor.
Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 111
PENUTUP
Merujuk pada hasil pembahasan di atas, maka berikut ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan:
1. Pengembangan kawasan alih daya (outsourcing) merupakan kebijakan baru
yang perlu dilakukan oleh pengembang kawasan. Kawasan alih daya
merupakan pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada
suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan
proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang
telah disepakati oleh para pihak yang terlibat. Secara umum, alih daya
dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan
hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain, dimana tindakan ini terkait
dalam suatu kontrak kerjasama. Alih daya atau outsourcing ini biasanya
dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memfokuskan
perhatian pada suatu hal (spesifikasi kegiatan).
2. Beberapa KI di Indonesia telah mencoba menerapkan model alih daya antara
industri besar dengan UMKM melalui model pengembangan klaster industri,
dan manajemen klaster.
3. Mekanisme pengelolaan kawasan alih daya belum diatur secara khusus
sehingga masing-masing pengembang kawasan dapat berinisiatif menerapkan
model pengelolaan kawasan alih daya UMKM. Dalam perkembangannya
terdapat 3 (tiga) model skenario yang dapat dilakukan yaitu (a) pengelolaan
oleh pengelola KI Jababeka, (b) pengelolaan model klaster manajemen KI, (c)
pengelolaan melalui kelembagaan intermediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, Stephen P, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Lic.,EC, 1995. Teori Organisasi,
Struktur, Desain dan Aplikasi. Edisi 3, Penerbit Arcan, Jakarta.
Ati Widiati, Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kawasan Alih Daya Bagi Umkm
Di KI Jababeka, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Volume 13, No 1, Tahun
2013, Jakarta.
Ermawan dkk, Laporan Akhir PI-UMKM WP 3.4 Pengembangan Kawasan Alih Daya
(Outsourcing), Tahun 2012, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah.
112 Kebijakan Inovasi di Industri
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Kawasan Industri.
EVALUASI PENGEMBANGAN
KLASTER SARI RAOS
DI KABUPATEN BLITAR
M. Ansorudin Sidik
ABSTRACT One of the industrial cluster in the program Princess Kencana (priority products
industry sub-districts) in Blitar is Sari Raos (processed food commodities). BPPT has
assisted the program for 4 years, so that in the fourth year 2013 needs to be done on
the evaluation of this program in particular is processed food cluster. With the
methodology questionnaire distribution on one mentoring visit, it is revealed that
this cluster has been running well. This is evidenced by the growth of typical food
shops scattered in Blitar Regency and Blitar City. But there is still small portion of its
members who have not progress ude to the less stringent an unappropriate selection
process. Besides socialization of this program hass not reached out to all entire task
force (SKPDs) and Local Parliament (DPRD). It is recommended that re-new the
commitment or consensus among local government, parliament and business
communities (SMEs) conducted by Regent Regional Head.
Keyword: Puteri Kencana, industrial cluster, evaluation, direct fund
ABSTRAK Salah satu klaster industri dalam program Putri Kencana (produk unggulan industri
kecamatan) di Kabupaten Blitar adalah Sari Raos (komoditas pangan olahan). BPPT
telah mendampingi program ini selama 4 tahun, sehingga pada tahun ke empat 2013
perlu dilakukan evalusi terhadap program ini khususnya klaster pangan olahan ini.
Dengan metodologi penyebaran angket pada salah satu kunjungan
pendampingannya diketahui bahwa klaster ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini
terbukti dengan tumbuhnya toko-toko makanan khas Blitar yang tersebar di
Kabupatan dan Kota Blitar. Namun ada juga sebagian kecil anggotanya yang belum
berubah, karena proses seleksinya kurang tepat. Disamping itu Sosialisasi program
ini belum menjangkau ke seluruh SKPD dan DPRD. Disarankan agar diadakan
komitmen ulang atau konsensus bersama antara Pemda, DPRD dan Pelaku Usaha
(UMKM) yang dilakukan oleh Bupati Kepala Daerah.
Kata kunci: Puteri Kencana, klaster industri, evaluasi, pembiayaan langsung
116 Kebijakan Inovasi di Industri
PENDAHULUAN
Misi ketiga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemda
Kabupaten Blitar Tahun 2011 -2016 adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas dan berkelanjutan dengan didukung penguatan Sistem Ekonomi
Daerah. Misi ketiga ini merupakan salah satu penjabaran dari visi Kabupaten Blitar
yakni “Terwujudnya Kabupaten Blitar Yang Sejahtera, Religius Dan Berkeadilan”
Untuk mengemban visi dan misi tersebut maka Pemda Kabupaten Blitar
telah melancarkan sebuah program yang dinamakan program Putri Kencana yang
merupakan singkatan dari Produk Unggulan Industri Kecamatan. Dalam program
ini telah dilakukan serangkaian pendataan terhadap pelaku usaha industri kecil
dan menengah sebagai awal dari pengidentifikasian, yang selanjutnya diadakan
diskusi kelompok usaha terbatas (FGD) sebagai bagian penting dari perencanaan
partisipatif. Peserta diskusi tidak diarahkan kepada poin tertentu apapun, tetapi
dibekali dengan pengetahuan berkaitan dengan sisitem inovasi daerah dan
kerangka pengembangan klater industri. Perencanaan partisipatif ini merupakan
perencanaan dari bawah atau bottom up. Karena perencanaan dari kelompok
usaha mereka sendiri, diharapkan mereka bertanggung jawab terhadap hasil kerja
mereka.
Dari hasil diskusi partisipatif tersebut dihasilkan tiga klaster industri yang akan
menjadi prioritas awal pengembangan kelompok industri tersebut. Klaster industri
itu adalah Java Atsiri yang merupakan kelompok usaha industri aromatik; rumpun
usaha Manggar Sari yaitu rumpun usaha berbasis komoditas kelapa; dan rumpun
usaha Sari Raos yang mendasarkan pada komoditas aneka pangan olahan.
Tulisan ini adalah memaparkan klaster Sari Raos setelah diadakan
pendampingan oleh tim BPPT selama 4 tahun, sejak berdirinya program ini dari
tahun 2009 s.d 2013. Dalam arah kebijakan Pembangunan RJPMD Kabupaten
Blitar disebutkan untuk peningkatan peran kelembagaan dan permodalan koperasi
dan UMKM dalam pengembangan ekonomi lokal pada butir No. 7 tercantum
menguatkan program Putri Kencana yang terdiri dari klaster industri Manggarsari,
Java Atsiri, Sari Raos dan mendorong tumbuhnya klster industri lainnya. Dan pada
no. 8 tertulis memfasilitasi pembentukan jaringan perdagangan untuk memasarkan
produk-produk unggulan daerah yang dihasilkan oleh program Putri Kencana.
Tujuan penulisan ini adalah mengevaluasi dan menganalisis klaster Sari Raos
yang merupakan salah satu klaster dari program Putri Kencana di Kabupaten Blitar.
METODOLOGI
Metodologi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner terstruktur pada
kelompok usaha klaster Sari Raos yang di undang oleh Pemda pada saat dilakukan
kunjungan pendampingan pada pertengahan Juli 2013. Jumlah kuesioner yang
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 117
direncanakan sebanyak 16 buah, namun yang hadir berjumlah 14 orang yang
merupakan perwakilan dari kelompok usaha ini.
Disamping itu dilakukan kunjungan lapangan ke perusahaan anggota klaster
Sari Raos secara acak sebanyak 4 buah, yaitu UKM Anisa Jaya (kripik pisang aneka
rasa, karamel dodol buah, kripik buah, stik aneka rasa), Arfi Sagon Kelapa (sagon),
UKM Sekar Mawar (opak gambir, kembang goyang), dan Rumah Jamur Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil penyebaran kuesioner
Kemampuan Internal Perusahaan
Pertanyaan untuk mengukur kemampuan internal perusahaan terdiri dari tiga
pertanyaan. Pertama prosentase karyawan yang mendapatkan pelatihan, kurang
dari 25% sebanyak 71%. Antara 25 s.d. 50% sebanyak 14,3 % dan lebih dari 75%
sebanyak 14,3% (Tabel 1). Pertanyaan kedua adalah karyawan yang memiliki
kemampuan menguasai alat produksi yang paling banyak adalah 25-50% sebesar
42,9% yang disusul dengan kurang dari 26% sebesar 28,6% yang seimbang
dengan lebih dari 75% juga 28,6 (Tabel 1). Sementara, sumber informasi atau ide
dalam mengembangkan produk-produk baru berasal dari produk yang
dimodifikasi sebesar 37,5% dan seluruhnya merupakan ide sendiri juga sebesar
37,5%. Sisanya 25% karena permintaan pasar (Table 2).
Tabel 1. Prosentase karyawan yang mendapat pelatihan dan menguasai alat
produksi
JAWABAN MENDAPAT
PELATIHAN
MENGUASAI ALAT
PRODUKSI
Kurang dari 25% 71,4 28,6
Antara 25-50 % 14,3 42,9
Lebih dari 75 % 14,3 28,6
Jumlah 100 100
Tabel 2. Sumber informasi/ide dalam mengembangkan produk-produk baru
JAWABAN PROSENTASE
Mencontoh yang ada di pasar 0
Atas permintaan pasar 25
Produk yg ada dimodifikasi 37,5
Seluruhnya ide sendiri 37,5
JUMLAH 100
Kemampuan eksternal Perusahaan
Pertanyaan tentang kemampuan eksternal perusahaan sebanyak 7 pertanyaan.
Pertama adalah kemana saja produk perusahaan dipasarkan. Jawaban dari
118 Kebijakan Inovasi di Industri
pertanyaan ini menunjukkan bahwa produk mereka dipasarkan paling banyak
jangkauannya adalah di tingkat nasional sebanyak 62,5%. Selanjutnya di tingkat
lokal/Kabupaten Blitar sebanyak 12,5%; jangkauan di tingkat propinsi yakni di Jawa
Timur sebanyak 12,5% dan juga kepasar internasional sebesar juga 12,5% (Tabel 3).
Juga ditanyakan tentang manfaat setelah berinteraksi dengan pembeli. Jawaban
dari kelompok usaha ini adalah sebanyak 57,1% adalah menambah
wawasan/informasi/peluang pasar. Disusul dengan memperoleh pesanan/produk
jenis baru sebanyak 42,9% (Tabel 4). Ditanyakan juga kemudahan yang diperoleh
setelah berinteraksi dengan lembaga finansial/permodalan/bank. Jawaban yang
diperoleh sebagai berikut: Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan
pihak lain, sebanyak 37,5%; memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan
perusahaan itu sendiri sebesar 37,5%; yang disusul sangat mudah memperoleh
dukungan finansial dan tidak memperoleh manfaat apapun masing-masing
sebesar 12,5% (Tabel 5).
Tabel 3. Kemana saja produk-produk perusahaan dipasarkan
JAWABAN PROSENTASE
Lokal/Kabupaten Blitar 12,5
Propinsi Jawa Timur 12,5
Nasional 62,5
Ekspor ke pasar Internasional 12,5
JUMLAH 100
Tabel 4. Manfaat setelah berinteraksi dengan pembeli
Tabel 5. Kemudahan yang diperoleh setelah berinteraksi dengan Lembaga
Finansial/ Permodalan/ Bank.
JAWABAN PROSENTASE
Tidak memperoleh manfaat apapun 12,5
Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan pihak lain 37,5
Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan sendiri 37,5
Sangat mudah memperoleh dukungan finansial 12,5
JUMLAH 100
JAWABAN PROSENTASE
Tidak memperoleh manfaat apapun 0
Menambah wawasan / informasi / peluang pasar 57,1
Memperoleh pesanan / order produk perusahaan 0
Memperoleh pesanan / produk jenis baru 42,9
JUMLAH 100
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 119
Manfaat yang diperoleh setelah menjadi anggota klaster Sari Raos merupakan
pertanyaan lanjutan. Hasil dari pertanyaan itu adalah memperoleh kemudahan
akses dan fasilitas sebanyak 50% dan memperoleh kemudahan akses dan fasilitas
serta sumberdaya dan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah sebesar 50%
juga (Tabel 6). Peran lembaga pemerintah pusat atau pemerintah daerah terhadap
perusahaan merupakan pertanyaan untuk menggali lebih lanjut kemampuan
eksternal perusahaan. Jawaban yang paling besar adalah berperan dalam
pembinaan dan penyedia fasilitas 62,5%, yang disusul dengan berperan dan
pembinaan sebesar 25% dan yang terakhir adalah berperan dalam melibatkan
perusahaan dalam penyusunan kebijakan sebanyak 12,5% (Tabel 7).
Tabel 6. Manfaat yang diperoleh menjadi anggota kluster Sari Raos
JAWABAN PROSENTASE
Terlindungi dari tekanan bisnis 0
Memperoleh kemudahan akses dan fasilitas 50
Memperoleh kemudahan akses & fasilitas sumberdaya &
mempengaruhi kebijakan pemerintah
50
JUMLAH 100
Tabel 7. Peran lembaga pemerintah pusat/daerah terhadap perusahaan
JAWABAN PROSENTASE
Tidak ada 0
Berperan dalam pembinaan 25,0
Berperan dlm pembenaan dan penyedia fasilitas 62,5
Melibatkan perusahaan dlm penyusunan kebijakan 12,5
JUMLAH 100
Pertanyaan berikutnya adalah apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah turut serta dalam mendorong tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan.
Jawaban yang diperoleh adalah ya, melalui pemberian fasilitas dn bantuan sarana
sebesar 62,5% yang disusul dengan jawaban ya, memalui penyuluhan dan
bimbingan teknis sebanyak 37,5% (Tabel 8).
Tabel 8. Apakah pemerintah pusat/daerah turut serta dalam mendorong
tumbuhnya kegitan inovasi di perusahaan
JAWABAN PROSENTASE
Tidak 0
Sebatas memberi informasi 0
Ya, melalui penyuluhan dan bimbingan teknis 37,5
Ya, melalui pemberian fasilitas / bantuan sarana 62,5
JUMLAH 100
120 Kebijakan Inovasi di Industri
Pertanyaan pamungkas dalam kemampuan eksternal perusahaan ini adalah
apakah ada Peraturan Daerah maupun Peraturan Pemerintah Pusat yang dapat
menghambat tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan. Jawaban dari
pertanyaan ini adalah semuanya menjawab tidak ada 100% (Tabel 9).
Tabel 9. Ada ada peraturan daerah/pusat yang dapat menghambat untuk
tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan
JAWABAN PROSENTASE
Tidak ada 100
Ada, Perda 0
Ada, Perpem Pusat Pemerintah Pusat 0
Ada, Perda dan Perpem pusat 0
JUMLAH 100
Kemampuan Strategis Perusahaan
Untuk menggali kemampuan strategis perusahaan ditanyaan dengan 5
pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah perusahaan Sudara mengetahui
keberadaan perusahaan sejenis yang menjadi pesaing. Hasil jawaban mereka
adalah ya, mengetahui pesaing pada tingkat lokal /propinsi sebanyak 50%.
Selanjutnya mengetahui pesaing pada tingkat nasional sebanyak 25% dan pada
tingkat global juga sebanyak 25% (Tabel 10).
Tabel 10. Apakah perusahaan Saudara mengetahui keberadaan perusahaan
sejenis yang menjadi pesaing
JAWABAN PROSENTASE
Tidak 0
Ya, pesaing pada tingkat lokal/provinsi 50,0
Ya, pesaing oada tingkat nasional 25,0
Ya, pesaing pada tingkat global 25,0
JUMLAH 100
Strategi pemasaran dalam menghadapi persaingan merupakan lanjutan dari
pertanyaan di atas. Jawaban dari pertanyaan ini paling banyak adalah inovasi
produk sebesar 75%. Pemilihan lokasi strategis, harga jual yang bersaing dan
promosi/ iklan di media, masing-masing sebanyak 12,5% (Tabel 11). Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah Saudara mengetahui kelebihan dan kelemahan
perusahaan pesaing. Jawaban yang paling besar adalah ya, mereka mengetahui
kelebihan dan kelemahan perusahaan pesaing dan memiliki strategi bisnis untuk
menghadapinya 75%,ya, mereka mengetahui kelebihan perusahaan pesaing
sebanyak 12,5% dan ya, mereka mengetahui kelemahan peusahaan pesaing juga
sebanyak 12,5% (Tabel 12).
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 121
Tabel 11. Strategi pemasaran dalam menghadapai persaingan
JAWABAN PROSENTASE
Pemilihan lokasi strategis 12,5
Harga jual yg bersaing 12,5
Promosi/iklan di media 12,5
Inovasi produk 62,5
JUMLAH 100
Tabel 12. Apakah mengetahui kelebihan dan kelemahan perusahaan pesaing
JAWABAN PROSENTASE
Tidak 0
Ya, mengtahui kelebihan perusaan pesaing 12,5
Ya, mengetahui kelemahan perusahaan pesaing 12,5
Ya, mengetahui kelebihan dan kelemahan pesaing dan memiliki
strategi bisnis untuk menghadapinya
75,0
JUMLAH 100
Juga ditanyakan apakah saudara mengetahui apa yang menjadi keinginan
pembeli atau buyers. Jawaban atas pertanyaan ini adalah ya, mengetahui dan tahu
cara memenuhinya tetapi tidak dapat melaksanakan sebesar 50% dan ya,
mengetahui mengetahui apa yang menjadi keinginan pembeli dan mampu
memenuhinya sebesar 50% (Tabel 13).
Tabel 13. Apakah mengetahui apa yang menjadi keinginan pembeli/buyers
JAWABAN PROSENTASE
Tidak 0
Ya, mengathui tetapi tidak tahu bagaimana memenuhinya 0
Ya, mengtahui dan tahu cara memnuhinya tetapi tidak dapat
melaksakan
50,0
Ya, mengathui dan mampu memenuhinya 50,0
JUMLAH 100,0
Ditanyakan juga apakah Sudara melakukan perubahan penggunaan teknologi
dalam proses produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi serta efisiensi
waktu dan biaya? Jawaban yang diterima adalah mereka melakukan perubahan
dari manual ke mesin mekanik sebanyak 50%. Dari manual ke mesin automatis
sebanyak 25% dan yang tidak malakukan perubahan penggunaan teknolgi
sebanyak 25% (Tabel 14).
122 Kebijakan Inovasi di Industri
Tabel 14. Apakah melakukan perubahan penggunaan teknologi dalam
proses produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi serta efisiensi waktu
dan biaya
JAWABAN PROSENTASE
Tidak 25,0
Dari manual ke mesin mekanik 50,0
Dari mesin mekanik ke mesin automatis 0
Dari manual ke mesin automatis 25,0
JUMLAH 100,0
Untuk mengetahui sikap dari responden terhadap perusahaan pesaing telah
diberikan statemen-statemen untuk dipilih dari sangat tidak setuju, tidak setuju,
setuju dan sangat setuju. Disini tidak digunakan statetemen ganjil segagaimana
skala likert, karena menurut hasil penelitian bahwa jawaban dari responden
biasanya diambil yang tengah-tengah saja. Disini diberikan 7 statemen untuk
dipilih oleh responden. Statemen pertama Perusahaan kami unggul dari pesaing
karena memiliki layanan purna jual yang baik. Jawaban atas statement ini sebagian
besar menyatakan setuju sebanyak 87,5%, dan tidak setuju sebanyak 12,5% (Tabel
15).
Tabel 15. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki layanan
purna jual yang baik.
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 12,5
Setuju 87,5
Sangat setuju 0
JUMLAH 100,0
Statemen berikutnya keinginan pembeli Perusahaan kami unggul dari pesaing
karena memiliki kemampuan untuk memenuhi keiinginan pembeli. Jawaban. yang
paling besar adalah setuju sebanyak 62,5%, sangat setuju sebesar 25%, sangat
tidak setuju 12,5% (Tabel 16).
Tabel 16. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki kemampuan
untuk memenuhi keinginan pembeli
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 12,5
Tidak setuju 0
Setuju 62,5
Sangat setuju 25,0
JUMLAH 100,0
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 123
Statemen selanjutnya adalah Perusahaan kami unggul dari pesaing karena
memiliki produk yang berkualitas lebih baik. Jawaban yang setuju adalah 71,4%,
dan sangat setuju sebesar 28,6% (Tabel 17).
Tabel 17. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki produk yang
berkualitas lebih baik
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 0
Setuju 71,4
Sangat setuju 28,6
JUMLAH 100
Statemen lanjutan adalah Perusahaan kami unggul dari pesaing karena
memilki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Jawaban terbesar
adalah setuju 87,5% dan sangat setuju 12,5% (Tabel 18). Perusahaan kami unggul
dari pesaing karena memiliki jenis produk yang beragam, merupakan statemen
lanjutan. Jawaban atas statatemen ini adalah setuju 62,5% disusul sangat setuju
25% dan tidak lanjutan. setuju 12,5% (Tabel 19).
Tabel 18. Perusahan kami unggul dari pesaing karena memiliki kualitas SDM
yang handal
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 0
Setuju 87,5
Sangat setuju 12,5
JUMLAH 100
Tabel 19. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki jenis produk
yang beragam
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 12,5
Setuju 62,5
Sangat setuju 25
JUMLAH 100
Persahaan kami unggul dari pesaing karena sering menawarkan jenis-jenis
produk baru. Statemen ini dijawab dengan setuju 87,5% disusul sangat setuju
12,5% (Tabel 20). Statetemen pamungkas dari pengukuran sikap ini adalah
124 Kebijakan Inovasi di Industri
Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki harga produk yang lebih
bersaing. Jawaban atas statemen ini adalah setuju 75%, sangat setuju 12,5% dan
setuju 12,5% (Tabel 21).
Tabel 20. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena sering menawarkan
jenis-jenis produk baru
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 0
Setuju 87,5
Sangat setuju 12,5
JUMLAH 100,0
Tabel 21. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki harga
prtoduk yang lebih bersaing
JAWABAN PROSENTASE
Sangat tidak setuju 0
Tidak setuju 12,5
Setuju 75,0
Sangat setuju 12,5
JUMLAH 100,0
2. Hasil Diskusi dengan Bappeda, Kelompok Sari Raos dan Sebagian
Anggota DRID (Dewan Riset Inovasi Daerah)
Program Sistem Inovasi Daerah.
Sistem Inovasi Daerah telah dilakukan sebelum Peraturan Bersama Menteri
Ristek dan Menteri Dalam Negeri keluar, sehingga ada Kabupaten Blitar
merupakan daerah pertama yang menerapkan Sistem Inovasi Daerah di
Propinsi Jawa Timur, sehingga menjadi rujukan dari Kabupaten dan Kota di
Jawa Timur.
Penerapan program beberapa nomenklatur yang harus disesuaikan.
Peraturan bersama tersebut adalah Peraturan Bersama Menegristek RI No.3
Tahun 2012 dan Mendagri RI No. 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem
Inovasi Daerah.
Blitar sudah membentuk Dewan Riset Inovasi Daerah (DRID) dan Pokja
Klaster pda tahun 2009 yang perlu disesuaikan dengan Peraturan Bersama
Mendagri dan Menritek di atas.
Program Putri Kencana
Putri Kencana merupakan suatu program, sehingga semua produk
unggulan Kecamatan di Kabupaten Blitar dapat berpartisipasi dan
memanfaatkan fasilitas yang ada di dalam program tersebut.
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 125
Maih ada anggapan bahwa Putri Kencana adalah sebuah organisasi,
sehingga timbul rasa iri dan persaingan yang tidak sehat dari kelompok
atau organisasi lain yang tidak mendapat bantuan dari program Putri
Kencana.
Hubungan di tingkat pimpinan Pokja (Kelompok Kerja) tidak ada masalah,
karena mereka juga anggota dari Pokja lainnya. Pimpinan Pokja Klaster Sari
Raos, juga merupakan anggota Pokja Aspamin (Asosiasi Makanan dan
Minuman) yang dibentuk oleh SKPD Deperindag. Hanya di tingkat akar
rumput masih belum menerima, karena kurangnya sosialisasi Program Putri
Kencana.
Dari 14.000 UKM yang ada di Kabupaten Blitar, hanya terdapat 1% yang
eksis, sehingga perlu pendataan ulang.
Jumlah anggota klaster Sari Raos yang mendapat bantuan BLM Putri
Kencana sebanyak 9 Pokja dan yang tidak mendapat BLM sebanyak 10
Pokja yang disebut ebagai kelompok Mandiri. Sehingga pemasok chip
kasava sebanyak 19 Pokja. Justru yang saat ini berkembang adalah yang
tidak mendapat bantuan dari BLM Putri Kencana.
Permasalahan Program Putri Kencana yang mendasar adalah Outlet Putri
Kencana. Kontrak di lokasi Makam Bung Karno selama 3 tahun sudah habis.
Semula direncanakan hasil dari penjualan Putri Kencana dapat dipakai
untuk mengontrak lebih lanjut. Karena pengelolanya kurang profesional,
maka mereka tidak dapat meneruskan kontrak tersebut. Sementara outlet
pindah di Jalan Seruni. Rencananya nanti akan dibuat outlet yang lokasinya
strategis yaitu dipintu masuk Blitar dari arah Timur dan Barat, untuk
menjaring wisatawan yang masuk melalui jalur tersebut. Semangat
pembuatan outlet menggebu-nggebu di awal, kemudian merosot di
tengah jalan, sehingga manajemen outlet perlu dikaji ulang termasuk
petugas yang ditugaskan mengelola outlet. Direncanakan pula pengadaan
“mobil sales” untuk operasional program Putri Kencana. Mobil Sales ini
dapat digunakan tidak hanya oleh UKM yang mendapat anggaran dari
Program Putri Kencana, tetapi dapat digunakan oleh UKM lainnya.
3. Hasil Kunjungan Ke lapangan
Dari hasil kunjungan ke lapangan, diketahui bahwa karyawan UKM Sekar Jaya
(opak gambir dan kembang goyang) cukup banyak sekitar 150 pekerja yang
dibangi ke dalam ship-ship. Karyawan UKM Anisa Jaya (kripik pisang aneka rasa,
kramel dodol buah, kripik buah, stik aneka rasa) sebanyak sekitar 15 orang.
Managernya justru Sarjana Agama. Tim peneliti juga membeli oleh-oleh khas Blitar
ini yang dikemas dengan cukup bagus. Pekerjanya cukup terlatih dalam
memproduki produknya. Demikian juga untuk UKM yang lain yang ditinjaunya.
Terkesan bahwa usaha ini cukup profesional.
126 Kebijakan Inovasi di Industri
4. Mengukur sikap para pengusaha.
Untuk mengukur sikap para pengusaha, sebagaimana lazimnya menggunakan
statemen-statemen. Statemen ini terdiri dari 7 statemen yang diberi pilihan
jawaban, yakni sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat tidak setuju.
Dari jawaban yang diperoleh hampir semuanya, menyatakan setuju yang
merupakan pilihan jawaban no. 3. Statetemen-statemen tersebut adalah
perusahaan kami unggul karena :
1. Memiliki layanan purna jual yang baik,
2. Memilikikemampuan untuk memenuhi keinginan pembeli,
3. Memiliki produk yang berkualitas lebih baik,
4. Memiliki kualitas SDM yang handal,
5. Memiliki jenis produk yang beragam,
6. Sering menawarkan jenis-jenis produk baru, dan
7. Memiliki harga produk yang lebih bersaing.
Dari pilihan jawaban ini, maka pengusaha klaster Sari Raos, mempunyai sikap
yang positif terhadap perkembangan usahanya.
PENUTUP
Dari hasil kajian dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:
Kesimpulan
1. Anggota Klaster Industri Sari Raos, jika ditinjau dari kemampuan internal,
kemampuan eksternal, kemampuan strategis, sikap perusahaan adalah cukup
positif dalam menghadapi dan menyongsong era persaingan aneka pangan
olahan dewasa ini.
2. Proses seleksi penerima bantuan BLM program Putri Kencana kurang tepat
karena terkendala oleh waktu yang diberikan Pemda, sehingga ada anggota
klaster Sari Raos yang tidak berkembang/stagnan/jalan di tempat, bahkan
menimbulkan iri bagi UKM lain yang tidak mendapat bantuan BLM.
3. Belum semua SKPD mengerti tentang program Putri Kencana, diantaranya
Deperindag yang membentuk Aspamin (Asosiasi Makanan dan Minuman)
tahun 2012, padahal program Putri Kenacana sudah dimulai sejak tahun 2009.
4. Pengembangan Klaster Sari Raos belum tersosialisasi ke akar rumput, sehingga
masih ada anggapan bahwa Putri Kencana itu adalah sebuah organisasi, yang
pada akhirnya menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Saran
1. Pemda membantu dan mendorong untuk membuat roadmap bagi
pengembangan program Putri Kencana termasuk klaster Sari Raos, sehingga
Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 127
dapat diprediksi pengembangan ke depannya sebagai konsekwensi dari
dikeluarkannya Peraturan Bersama Menegristek No 3 Tahun 2012 dan
Mendagri No. 36 Tahun 2012.
2. Proses seleksi penerima BLM ke depannya benar-benar di survai lebih dahulu
agar tepat sasaran, sehingga mempunyai daya ungkit untuk mengembangkan
UKM lain, dan tidak ada anggota klaster yang stagnan /jalan di tempat atau
mati suri.
3. Program Putri Kencana disosilisasikan ke seluruh SKPD, sehingga SKPD ikut
mendukungnya dan memasukkan anggarannya ke dalam pembinaan,
termasuk ke DPRD untuk mendapat dukungan politik.
4. Melakukan komitmen ulang atau konsensus terhadap program Putri Kencana
yang melibatkan seluruh SKPD dan stake holder yang dicanangkan oleh Bupati
Kepala Derah.
DAFTAR PUSTAKA
BPPT, 2011, Panduan Pengembangan Klaster Industri. Jakarta: BPPT
BPPT Press, 2012, Strategi Pengembangan Klaster Industri di Kabupaten Blitar
dalam Kerangka Sistem Inovasi Tahun 2012-2014. Blitar: BPPT
Rosadi, H. Y. (ed), 2012, Sistem Inovasi dan Klaster Industri, Jakarta: BPPT Press.
Kartasasmita, G. 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan, Jakarta, Jakarta: PT Pustaka Cidesindo.
Taufik, T.A. 2005, Pengembangan Sistem Inovai Daerah: Persfektif Kebijakan,
Jakarta: PUDPKM-BPPT.
Perda Kabupaten Blitar No. 09 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Blitar Tahun 2011-2016.
128 Kebijakan Inovasi di Industri
KEBIJAKAN APLIKASI TEKNOMETER
UNTUK MENDUKUNG TEKNOPOLITAN
KOTA PEKALONGAN
Kuncoro Budy Prayitno
ABSTRACT Basically Technometer is a general guide that gives an overview of the level of
maturity of a technology universally, but Technometer also be applied to measure a
particular type of technology. Measurement Technology Readiness Level (TRL) can be
adapted to apply to either specific or generic, by modifying the measurement
questionnaire for each particular field of technology has a different character from
one technology to another technology. Technology readiness level measurement is
done by using Teknometer. Teknometer is a software based on spreadsheet from
Microsoft Excel that raise some standard questions for each level and displays
graphically TRL achieved. This software is helpful in the process of measurement TRL
(which can be done over and over). In order to improve the quality of results research
and development form research institutions and universities in the area of
Pekalongan Batik Technopolis area, then these institutions in Pekalongan must
determine the TRL of their results. The introduction about the measurement of TRL
must be mastered by every research institutes and higher education in Pekalongan.
Keyword: technology readiness, techno-meter, university, technopolis area
ABSTRAK Pada dasarnya Teknometer merupakan panduan umum yang memberikan gambaran
tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal. Selain itu, Teknometer juga
dapat diterapkan guna mengukur satu jenis teknologi tertentu. Pengukuran Tingkat
Kesiapan Teknologi (TKT) dapat disesuaikan untuk diterapkan baik secara spesifik
atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner pengukuran, karena setiap
bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang berbeda. Pengukuran tingkat
kesiapan teknologi dilakukan dengan menggunakan Teknometer. Teknometer adalah
sebuah perangkat lunak (software) berbasis spreadsheet dari Microsoft Excel yang
menghimpun beberapa pertanyaan standar untuk setiap tingkatan dan menampilkan
secara grafis. Perangkat lunak ini cukup membantu dalam proses pengukuran TKT.
Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil litbangyasa dari Lembaga Litbang dan
Perguruan Tinggi di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka mereka
harus mengetahui tingkat kesiapan teknologi Untuk itu pengenalan dan
130 Kebijakan Inovasi di Industri
pengetahuan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi harus dikuasai oleh setiap
Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan.
Kata kunci: kesiapan teknologi, teknometer, universitas, teknopolitan
PENDAHULUAN
Teknologi merupakan salah satu faktor utama untuk kemajuan ekonomi dan
inovasi merupakan kata kunci yang sangat penting dalam proses pembangunan
ekonomi berbasis teknologi. Namun manfaat dari inovasi tidak akan pernah dapat
dinikmati masyarakat apabila tanpa melalui suatu proses, yakni proses difusi
teknologi yang merupakan proses dari penyebarluasan teknologi kepada suatu
sistem sosial.
Perkembangan inovasi, difusi dan proses pembelajaran diyakini semakin
menentukan produktivitas atau daya saing. Karena itu, penguatan sistem inovasi
menjadi agenda yang sangat penting di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada
era globalisasi, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu
dinamis, pembangunan sistem inovasi di suatu negara tidak mungkin lagi
dilaksanakan secara terisolasi dan para pelakunya bekerja sendiri. Agar berhasil
dalam pembangunan sistem inovasi, para pemangku kepentingan pembangunan
sistem ini harus memegang dan mendorong perbaikan lima faktor yaitu
keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jaringan (networking) dan interaksi
serta sinergi positif sebagai faktor kunci keberhasilan. Lima faktor ini menunjukkan
bahwa keberhasilan inovasi sangat tergantung pada adanya interaksi yang efektif.
Proses difusi teknologi dapat terjadi antara lembaga litbang/litbangyasa atau
perguruan tinggi sebagai salah satu penghasil inovasi iptek dengan sektor
produksi / usaha ekonomi. Proses ini ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas
teknologi di sisi penghasil teknologi (Lembaga litbang/litbangyasa) dan
kemampuan serta kapasitas absorpsi di sisi pengguna.
Peran Lembaga litbang/litbangyasa baik di Perguruan Tinggi ataupun
Lembaga litbang/litbangyasa Daerah dan kalangan Industri dalam pelaksanaan
berbagai kegiatan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan dan
pemanfaatan iptek guna mendukung pembangunan nasional, yang diharapkan
akan memberikan dampak dalam peningkatan kemandirian, daya saing dan
kualitas kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing industri batik serta
kohesi sosial di Kota Pekalongan maka Pemerintah Kota Pekalongan
mencanangkan Pengembangan wilayah Kota Pekalongan sebagai Kawasan
Teknopolitan yaitu untuk meningkatkan interaksi antar pelaku dalam sistem
inovasi, sehingga aliran pengetahuan dan teknologi, inovasi, difusi, dan
pembelajaran berlangsung diantara mereka. Kota Pekalongan sebagai kawasan
Teknopolitan dapat menjamin perlindungan terhadap pengembangan industri,
Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 131
khususnya industri batik di Kota Pekalongan. Pengembangan kawasan Kota
Pekalongan sebagai Teknopolitan mengitegrasikan elemen masyarakat
(community) ke dalam pengembangan konsep kawasan.
Dalam rangka mendukung pengembangan Kota Pekalongan sebagai Kawasan
Teknopolitan Batik melalui sistem inovasi daerah diperlukan
penumbuhkembangan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi,
praktek baik dan atau hasil litbangyasa. Permasalahan dalam program
pengembangan litbangyasa dan pemanfaatan hasil riset dari sejumlah program
dan kegiatan kerekayasaan yang dikembangkan oleh Lembaga Litbangyasa di Kota
Pekalongan seringkali :
a. Interaksi antar aktor/pelaku/komponen yang terkait dalam proses
pengembangan inovasi industri batik di Kota Pekalongan masih lemah.
b. Tidak diketahui informasi tentang teknologi hasil litbang/ rekayasa yang
dihasilkan lembaga litbangyasa di Kota Pekalongan yang siap untuk diterapkan.
Ini tentu saja membuat pihak lain yang ingin memanfaatkan hasil litbangyasa
mengalami kesulitan untuk mengetahui potensi apa yang sudah dimiliki oleh
lembaga litbangyasa di Kota Pekalongan.
Salah satu penentu keberhasilan pemanfaatan hasil litbangyasa teknologi
adalah seberapa tinggi Tingkat Kematangan Teknologi atau Tingkat Kesiapan
Teknologi (TKT) yang dihasilkan oleh Lemlitbangyasa seperti BPP Kota, Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM, DPPM atau LPM) di Perguruan Tinggi yang terdapat di daerah.
Kemampuan dan kesiapan teknologi di Lemlitbangyasa atau hasil
litbangyasanya seringkali tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat atau industri.
Berbagai kendala dihadapi, mulai dari rendahnya kesiapan penerapan
teknologinya, kurangnya informasi yang diberikan dan rendahnya interaksi di
antara keduanya dan belum berkembangnya hubungan keterkaitan dan peran
intermediasi yang terbatas.
Informasi tentang TRL hasil litbang/rekayasa menjadi informasi dinamis yang
perlu update dalan jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi dan
perkembangan hasil litbang itu sendiri. Oleh karenanya perlu kesinambungan
dalam informasi dan upaya untuk meningkatkan manfaatnya dalam difusi hasil
litbang dan rekayasa Lembaga litbang/litbangyasa di daerah. Oleh karena itu
dalam kelembagaan kawasan teknopolitan di Kota Pekalongan diperlukan ”Front
Office” yang diberi wewenang khusus yaitu mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan Sistem Jaringan Inovasi industri batik. ”Front Office” dapat
berupa sekertariat bersama antar lembaga terkait yang mewakili unsur
Pemerintahan, Perguruan Tinggi, Industri dan Community yang dapat dikelola
oleh BPP Kota.
132 Kebijakan Inovasi di Industri
TEKNOPOLITAN
Teknopolitan merupakan konsepsi kawasan berdimensi pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya, yang memiliki sentra kegiatan iptek, kegiatan
produktif dan gerakan masyarakat, yang mendukung percepatan perkembangan
inovasi, difusi dan pembelajaran. (Taufik, 2010). Teknopolitan adalah kawasan yang
terdiri atas satu atau lebih sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan gerakan
masyarakat pada wilayah tertentu (satu atau lebih daerah otonom) sebagai sistem
pembangunan yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan sistem inovasi. (Taufik, 2010).
STP (Science and Technology Park), Technopolis (Teknopolitan), atau Innovation
Cluster menyatukan pemerintah, komunitas akademik, sektor bisnis dan keuangan
(triple helix) dalam sebuah pengembangan terencana yang mengintegrasikan
semua fasilitas yang diperlukan seperti bangunan komersial, fasilitas penelitian,
hotel dan pusat konferensi tempat tinggal, rekreasi, di sebuah kawasan tertentu.
Penggunaan istilah Science/Techno Park, Technopolis (Teknopolitan), Techno
Valley atau Innovation Cluster pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan pada
fungsi dasarnya yaitu sebagai salah satu wahana jaringan inovasi yang mampu
mendorong terciptanya budaya inovasi dan ekonomi berbasis pengetahuan,
namun umumnya dibedakan menurut luas dan cakupan wilayah
pengembangannya, dan elemen yang membentuk kawasan tersebut.
Umumnya STP yang diinisiasi oleh Pemerintah daerah dikembangkan dengan
maksud untuk vitalisasi/ memperkuat daya saing ekonomi lokal artinya
“berbasiskan potensi ekonomi daerah. Tantangan bagi Kota Pekalongan –
branding “world city of batik” adalah :
1. Memaksimumkan potensi ekonomi masyarakat dalam Industri Kreatif Batik
(Batik craft and art)
2. Memposisikan diri sebagai ‘Pioneer” dalam melestarikan “batik” sbg warisan
budaya dunia
3. Mendorong Batik agar menjadi komoditi ‘fashion and cultural’ yang bernilai
tinggi dengan memanfaatkan IPTEK
Tipologi Umum Kawasan Teknopolitan
Teknopolitan
Kawasan Khusus
Hubungan antara Lembaga Pendidikan Tinggi, Lembaga Riset, dan klaster Industri
Fokus pada riset dan kegiatan produksi
Badan Pengelola Kawasan
Produk utama kawasan berupa Produk Teknologi hasil inovasi teknologi
Jaringan Industri Anker dan Industri Pemula
Peraturan dan Kerangka Hukum
Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 133
Teknopolitan dari Perspektif Kelembagaan dapat diartikan sebagai :
a. Infrastruktur fisik/Lembaga
b. Fungsi Inkubator untuk tenan-tenannya
c. Merupakan Kantong (enclave) Teknologi
d. Memberikan kontribusi langsung dan berwujud
e. Pembukaan Lapangan Kerja, Investasi R&D, Modal Ventura, Produk/ Proses
inovatif dll
Gambar 1. Kerangka Teknopolitan Pekalongan
Sedangkan Teknopolitan dari Perspektif Ekonomi Geografis dapat diartikan
sebagai :
Distrik/Kawasan teknologi
Hub dalam Sistim Inovasi Daerah (SID)
Promosi Pertumbuhan ekonomi
Berkembang berdasarkan efek agglomeratife
Katalis untuk proses revitalisasi atau pembangunan ekonomi regional
APLIKASI TEKNOMETER UNTUK MENDUKUNG TEKNOPOLITAN KOTA
PEKALONGAN
Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) adalah suatu sistem pengukuran sistematis
yang mendukung penilaian kematangan atau kesiapan dari suatu teknologi
tertentu dan perbandingan kematangan atau kesiapan antara jenis teknologi yang
berbeda. Kesiapan teknologi (technology readiness) dapat diartikan sebagai
134 Kebijakan Inovasi di Industri
indikator yang menunjukkan seberapa siap/matang suatu teknologi untuk bisa
diterapkan dan diadopsi oleh pengguna/calon pengguna. Pengertian ”kesiapan”
menunjukkan adanya kemungkinan perbedaan antara “siap”, “tidak siap” dan
“belum siapnya suatu teknologi” atau perbedaan “tingkatan kesiapan teknologi”
untuk dimanfaatkan atau diterapkan sesuai kegunaannya.
Dengan melakukan pengukuran TKT terhadap hasil rekayasa/riset Lembaga
litbang/litbangyasa di daerah dapat diketahui indikator dan informasi tentang
status kematangan (maturity) hasil litbang atau teknologi tersebut. Informasi TKT
Hasil Riset lembaga litbangyasa di daerah dapat dikembangkan menjadi sebuah
indikator penguasaan dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sekaligus dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk untuk memperkuat
hubungan keterkaitan supply-demand teknologi. Pengukuran tingkat kesiapan
teknologi dapat dilakukan secara mandiri (self assessment) dimaksudkan untuk
memetakan kapasitas dan kapabilitas teknologi.
TKT merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kematangan atau kesiapan
teknologi pada skala 1 – 9, yang mana antara satu tingkat dengan tingkat yang
lain saling terkait dan menjadi landasan bagi tingkatan berikutnya. Berikut ini
adalah peringkat kesiapan teknologi yang ditunjukkan dengan nilai TKT:
9Teknologi benar-benar teruji/terbukti melalui keberhasilanpengoperasian.
8Sistem Teknologi telah lengkap dan memenuhi syarat (qualified)melalui pengujian dan demonstrasi dalam lingkungan/aplikasisebenarnya.
7 Prototipe telah diuji dalam lingkungan sebenarnya.
6 Model atau Prototipe telah diuji dalam lingkungan yang relevan.
5Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkungan yang relevan.
4Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkunganLaboratorium.
3Konsep dan karakteristik penting dari suatu teknologi telahdibuktikan secara analitis dan eksperimental.
2 Konsep teknologi dan aplikasinya telah di formulasikan.
1 Prinsip dasar dari suatu teknologi telah diteliti.
Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 135
Pengukuran TKT mulanya dilakukan menggunakan TRL Calculator, dalan TRL
Calculator ini terdapat sejumlah pertanyaan standar untuk setiap tingkatan. Tetapi
perlu diingat bahwa pada penggunaan untuk teknologi tertentu, diperlukan
customization terhadap kumpulan pertanyaan standar pada setiap tingkat,
sehingga sesuai dan relevan dengan teknologi tersebut. TRL Calculator juga
memungkinkan pengukuran ketiga “jenis” teknologi, baik berupa perangkat keras
(hardware), perangkat lunak (software), dan keduanya.1
Pengukuran tingkat kesiapan teknologi dengan TRL Calculator mencoba
mengukur kesiapan teknologi dalam “multi dimensi” (walaupun diakui tetap masih
mengabaikan banyak dimensi penting lain menyangkut kematangan teknologi).
Selain tingkat kesiapan teknologi, TRL Calculator menggunakan dua dimensi lain
yaitu:
Manufacturing readiness level (MRL), yang pada dasarnya menyangkut
kesiapan teknologi terkait dengan aplikasinya dalam manufaktur, dan
Programmatic readiness level (PRL), terkait dengan “kepentingan” program.
TRL Calculator ini kemudian dikembangkan dan sejauh mungkin disesuaikan
dengan kondisi Indonesia kemudian dimodifikasi menjadi Tekno-Meter.
Teknometer
Pada dasarnya Teknometer merupakan panduan umum yang memberikan
gambaran tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal, akan tetapi
Teknometer juga dapat diterapkan guna mengukur satu jenis teknologi tertentu.
Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) dapat disesuaikan untuk diterapkan
baik secara spesifik atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner
pengukuran karena setiap bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang
berbeda antara satu teknologi dengan teknologi yang lain. Pengukuran tingkat
kesiapan teknologi dilakukan dengan menggunakan Teknometer. Teknometer
adalah sebuah perangkat lunak (software) berbasis spreadsheet dari Microsoft
Excel yang menghimpun beberapa pertanyaan standar untuk setiap tingkatan
dan menampilkan TKT yang dicapai secara grafis. Perangkat lunak ini cukup
membantu dalam proses pengukuran TKT (yang dapat dilakukan berulang).
Teknometer dapat memberikan gambaran se saat (snap shot) tentang status
kematangan teknologi pada waktu tertentu. Di samping itu juga dapat untuk
mengevaluasi proses historis pencapaian kesiapan/kematangan teknologi dari
program pengembangan yang dilakukan dalam suatu teknologi.
Konsep kesiapan ini perlu dikembangkan untuk dapat ditafsirkan secara sama
oleh pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran mungkin saja terjadi antara
pihak penyedia teknologi dengan pengguna/calon pengguna teknologi. Penyedia
1 Untuk penjelasan lebih teknis TRL Calculator ini, lihat:
http://www.aero.org/conferences/documents/TRLCalcBrief28Apr05_NOLTE.ppt dan
http://www.aero.org/conferences/documents/TRLCalcVer2_2.xls
136 Kebijakan Inovasi di Industri
teknologi mungkin mengartikan bahwa hasil litbangyasanya (proses pembuatan
produk atau prototipe teknologi) sebagai teknologi yang dapat diterapkan.
Sementara pihak pengguna/ calon pengguna belum menganggapnya sebagai
teknologi yang siap untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhannya. Dengan
demikian diperlukan dua jenis Teknometer yang berbeda, yaitu spesifik dan
generik. Panduan ini bersifat generik yang selanjutnya dapat dikembangkan
menjadi Tekno-Meter spesifik sesuai bidang teknologi yang akan diukur
kesiapannya oleh komunitas periset yang spesifik.
a. Teknometer Spesifik
Hasil pengukuran TKT terhadap suatu hasil pengembangan teknologi yang
menggunakan Tekno-Meter yang dibuat generik kadangkala tidak dapat
diterapkan untuk maksud pengukuran terhadap bidang-bidang teknologi yang
spesifik karena trayektori pengembangan teknologi yang berbeda-beda. Sebagai
contoh adalah pengukuran TKT dalam bidang industri otomotif dengan industri
farmasi, meskipun pengukuran TKT dapat dilakukan menggunakan Tekno-Meter
yang generik akan tetapi dapat menghasilkan penafsiran yang tidak tepat ketika
terdapat hal-hal teknis yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam pertanyaan dan
atau pernyataan yang sama untuk dua bidang teknologi yang berbeda. Untuk itu
disamping dibuat Teknometer generik perlu dibuat juga Teknometer yang spesifik.
Secara umum sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara hasil ukur yang
menggunakan Teknometer yang generik ataupun Teknometer yang spesifik.
Perbedaan sebenarnya, adalah pada saat proses pengukuran yang membutuhkan
daya analisis dan sintesis pelaku teknologi untuk melakukan interpretasi
perangkat ukur yang digunakan guna menentukan pilihan ukuran nilai yang tepat.
Pengukuran secara spesifik membutuhkan pemahaman substansi teknis
teknologi terkait, guna menyusun perangkat ukur yang lebih fokus dan
kontekstual. Perangkat ukur spesifik mempunyai keuntungan karena mudah
difahami oleh responden, pelaku teknologi.
Dalam Teknometer spesifik telah ditetapkan penjelasan dan penentuan
komponen indikator TKT untuk bidang teknologi tertentu (berdasarkan hasil
konsensus). Mengingat bahwa bidang teknologi yang ada sangat beragam,
pembuatan Teknometer yang spesifik mempunyai tingkat kesulitan yang lebih
tinggi. Penentuan kriteria unsur dalam proses customization TKT pada tiap level
Teknometer yang dibuat spesifik bergantung pada kompetensi penyusunnya.
b. Teknometer Generik
Secara umum Teknometer dapat mengukur semua hasil teknologi yang telah
dikembangkan. Akan tetapi terhadap hal-hal khusus terkadang Teknometer yang
dibuat generik itu tidak dapat menunjukkan hasil pengukuran yang tepat. Hal ini
menyangkut pada kompleksitas teknologi yang dikembangkan. Beberapa hal
Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 137
khusus terkadang ada yang tidak dapat terdefinisikan dalam customization
komponen indikator pada tiap tingkat (level) dalam Teknometer, sehingga
kesimpulan akhir dari hasil pengukuran secara generik lebih bersifat sebuah
pendekatan terhadap kesiapan teknologi tersebut. Prinsip dasar pengukuran
dengan Teknometer Generik, harus melampaui 9 tahapan sebagai berikut :
1. Studi awal (riset ilmiah) tentang teori-teori yang mendukung suatu
teknologi yang akan dikembangkan.
2. Formulasi teknologi yang akan dikembangkan telah dalam bentuk konsep
dan sudah sesuai aplikasinya.
3. Uji di laboratorium/workshop terhadap beberapa komponen teknologi
yang akan dikembangkan.
4. Pengujian konsep dasar, komponen teknologi dasar telah diintegrasikan
dan prototipe (skala laboratorium) telah dibuat dan diuji pada lingkungan
laboratorium.
5. Validasi Prototipe teknologi (skala laboratorium) telah diuji pada
lingkungan yang relevan.
6. Validasi Prototipe teknologi (skala laboratorium) telah diuji pada
lingkungan yang sebenarnya.
7. Prototipe teknologi dibuat dalam skala yang sebenarnya (1 : 1) dan telah
diuji pada lingkungan yang sebenarnya.
8. Perhitungan perkiraan investasi teknologi secara matang telah dilakukan.
9. Teknologi benar-benar telah teruji/terbukti melalui keberhasilan
pengoperasian.
Pemanfaatan Teknometer
Konsep TKT yang pada awalnya dikembangkan oleh NASA dalam rangka
mendukung program pengembangan dan perencanaan teknologi ruang angkasa,
sekarang sudah banyak digunakan di berbagai bidang teknologi. Biasanya aplikasi
TKT selalu dikaitkan dengan model aplikasi dari program pengembangan
teknologi lainnya. Di antara tujuan dan manfaat pengukuran tingkat kesiapan
teknologi dengan menggunakan Tekno-Meter adalah untuk:
a. Memberikan informasi penting tentang status dan pencapaian kematangan
(maturity) dari teknologi yang dihasilkan lembaga litbang yang
menunjukkan tingkat kematangan/ kesiapan teknologi untuk diterapkan.
Informasi ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan
berkaitan dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi.
b. Mendukung fokus pengembangan kegiatan litbang, pendanaan dan
transisi teknologi melalui seleksi kegiatan, alokasi sumber daya, dan
keputusan pendanaan dan pemberian insentif terhadap aktivitas litbang
dan pengembangan teknologi. Dapat juga ditujukan untuk monitoring dan
evaluasi suatu program pengembangan teknologi bila pengukuran TKT
138 Kebijakan Inovasi di Industri
dilakukan secara berulang dengan mengetahui riwayat / historikal
pencapaian TKTL pada periode waktu tertentu.
Pemanfaatan TKT di Indonesia, khususnya dalam bidang iptek akan sangat
membantu dalam rangka persiapan dan pematangan suatu teknologi untuk siap
didifusikan atau tidak. Manfaat Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi adalah
untuk :
1. Mendapatkan indikator (antara 1-9) yang menunjukkan tingkat
kematangan/ kesiapan teknologi untuk diterapkan, yang dapat menjadi
informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan
dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi.
2. Mengetahui riwayat/ historikal pencapaian suatu program pengembangan
teknologi, bila pengukuran dilakukan secara berulang pada periode waktu
tertentu.
3. Mengembangkan alat (tool) untuk mengukur TKT dan membangun
kesepahaman persyaratan (negosiasi/konsensus TKT) untuk teknologi
tertentu antar pihak yang berkepentingan.
Dengan diterapkannya atau dimanfaatkannya Teknometer sebagai alat
Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi hasil litbangyasa Lembaga Litbangyasa
yang terdapat di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka akan
diketahui tingkat kesiapan teknologi yang dihasilkan Lembaga Litbangyasa di Kota
Pekalongan sehingga dapat diantisipasi rencana pengembangan terhadap
teknologi hasil litbangyasa Lembagalitbangyasa yang dibutuhkan oleh pengguna
teknologi yang terdapat diKawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan.
Disamping itu pemanfaatan Teknometer juga dapat meningkatkan interaksi yang
lebih kuat dan kondusif diantara aktor/pelaku/komponen yang terkait dalam
kerangka sistem inovasi daerah dalam mendukung pengembangan Kawasan
Teknopolitan Batik di Kota Pekalongan.
PENUTUP
Konsep kesiapan ini perlu dikembangkan untuk dapat ditafsirkan secara sama
oleh pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran mungkin saja terjadi antara
pihak penyedia teknologi dengan pengguna/calon pengguna teknologi. Penyedia
teknologi mungkin mengartikan bahwa hasil litbangyasanya (proses pembuatan
produk atau prototipe teknologi) sebagai teknologi yang dapat diterapkan.
Sementara pihak pengguna/ calon pengguna belum menganggapnya sebagai
teknologi yang siap untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhannya.
Tekno-Meter sebagai Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi untuk
mendukung Penguatan Sistem Inovasi Daerah khususnya dalam Kawasan
Teknopolitan dapat dimanfaatkan untuk mengukur TKT hasil litbangyasa di
Perguruan Tinggi ataupun Lembaga Litbangyasa Daerah dan kalangan Industri.
Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 139
Secara umum memang Teknometer belum dikenal dan dimanfaatkan atau
digunakan di lembaga atau instansi Kota Pekalongan. Hal ini disebabkan karena
memang belum tersosialisasi kesemua personil di Lembaga Litbangyasa yang
terdapat di Kota Pekalongan, sehingga yang memahami Teknometer masih
terbatas pada personil yang mengikuti pelatihan Pengukuran TKT saja.
Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil litbangyasa dari Lemlitbangyasa
dan Perguruan Tinggi di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka
Lemlitbangyasa dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan harus mengetahui
tingkat kesiapan teknologi dari hasil Litbangyasanya, untuk itu pengenalan dan
pengetahuan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi harus dikuasai oleh setiap
Lemlitbangyasa dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan.
Untuk pencapaian TKT yang lebih tinggi terhadap teknologi hasil
Lemlitbangyasa di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka optimalisasi
pemanfaatan Tekno-Meter perlu ditingkatkan, untu itu maka dibutuhkan:
1. Respon dari Pemerintah Kota Pekalongan untuk memfasilitasi terlaksananya
Workshop/Pelatihan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi di Lembaga
Litbang Daerah (BPP Kota), Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD).
2. Respon dari Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan untuk memfasilitasi
terlaksananya Workshop/Pelatihan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi di
Lembaga Litbang Perguruan Tinggi (LPPM, DPPM atau LPM).
3. Respon dari kalangan Industri Batik di Kota Pekalongan (sebagai pengguna
teknologi) untuk mengerti, memahami dan memanfaatkan Teknometer dalam
memilih teknologi yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mankins, John C. 1995. Technology Readiness Levels: A White Paper. Advanced
Concepts Office. Office of Space Access and Technology. NASA. April 6,
NASA. 2001. NASA Technology Commercialization Process: NASA Procedures and
Guidelines. NPG 7500_1. NASA - Commercial Technology Division. Dari
http://nodis3.gsfc.nasa.gov/library/
Smith, Jim. 2004. An Alternative to Technology Readiness Levels for Non-
Developmental Item (NDI) Software. Integration of Software-Intensive Systems
Initiative. CMU/SEI-2004-TR-013. ESC-TR-2004-013. April.
Smith II, James D. 2004. ImpACT: An Alternative to Technology Readiness Levels for
Commercial-Off-The-Shelf (COTS) Software. Carnegie Mellon Software
Engineering Institute.
Nolte, William. 2005. Technology Readiness Level Calculator. Presented at Assessing
Technology Readiness & Development Seminar. April 28,
Prayitno, Kuncoro Budy, 2012. Rekomendasi Penguatan Jaringan Inovasi Kota
Pekalongan, Laporan Perjalanan Dinas, PPKDT, PKT, BPPT,
140 Kebijakan Inovasi di Industri
Monoarfa, Tommy. 2012. Inisiatif Pengembangan Teknopolita Batik Kota
Pekalongan, PPKDT, PKT, BPPT,
PENGARUH LINGKUNGAN EKONOMI DAN
BISNIS TERHADAP INDUSTRI KELAPA
SAWIT INDONESIA
Dyan Vidyatmoko dan Rusdy Taufiq
ABSTRACT Palm oil industry plays a strategic role in the Indonesian economy in the past, present
and future. This industry has a role as a source of income, employment and a
significant source of foreign exchange. This paper discusses (1) develop a
comprehensive framework that describes the influence of economic and business
environments to the palm oil industry, (2) identify the specification of economic
and business variables and classify the variables defined by internal and external
factors , and endogenous and exogenous variables, (3) create the mathematical
models that describe the interplay between the variables of the framework, and
formulate equations and structural equations and the identity equation (4) develop
several oil palm agribusiness development scenarios through simulations of one or
more economic variables and business.
Keyword : economic, business, environment, palm oil industry
ABSTRACT Industri kelapa sawit memainkan peran strategis dalam perekonomian Indonesia di
masa lalu, sekarang dan masa depan. Industri ini memiliki peran sebagai sumber
pendapatan, pekerjaan dan sumber signifikan bagi devisa. Makalah ini membahas (1)
pengembangan kerangka komprehensif yang menggambarkan pengaruh lingkungan
ekonomi dan bisnis untuk industri kelapa sawit, (2) identifikasi spesifikasi variabel
ekonomi dan bisnis dan mengklasifikasikan variabel yang didefinisikan oleh faktor
internal dan eksternal, dan endogen dan variabel eksogen, (3) pembuatan model
matematika yang menggambarkan interaksi antara variabel kerangka, dan
merumuskan persamaan dan persamaan struktural dan persamaan identitas (4)
pengembangan beberapa skenario pembangunan agribisnis kelapa sawit melalui
simulasi dari satu atau lebih variabel ekonomi dan bisnis.
Kata kunci: ekonomi, bisnis, lingkungan, industri kelapa sawit
142 Kebijakan Inovasi di Industri
PENDAHULUAN
Hampir seluruh hasil penelitian ilmiah (scientific research) menunjukkan bahwa
pembangunan sektor pertanian (dalam arti luas) atau sektor agribisnis mempunyai
peranan yang sangat penting dan strategis dalam memenuhi Triple Track Strategy
yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) mengatasi pengangguran (pro job) dan
mengurangi kemiskinan (pro-poor). Khusus untuk kasus Indonesia pada waktu
krisis (Juli 1997) sektor agribisnis menjadi satu-satunya sektor yang mempunyai
pertumbuhan positif, sedangkan sektor lain mempunyai pertumbuhan negatif.
Perkembangan pada triwulan I s/d triwulan IV tahun 2007, untuk sub sektor
perkebunan, khususnya Industri Kelapa Sawit (CPO) mengalami kenaikan harga
internasional yang sangat signifikan, sehingga memberikan dampak positif pada
Balance of Trade Indonesia.
Industri kelapa sawit (CPO) memegang peranan strategis terhadap
perekonomian Indonesia di masa lalu, masa sekarang maupun masa mendatang.
Pada saat ini, peran industri CPO sebagai sumber pendapatan, lapangan kerja dan
sumber penghasil devisa cukup signifikan. Sebagai sumber pendapatan, petani
memperoleh pendapatan antara Rp 2-6 juta per Ha. Jumlah pekerja yang dapat
diserap di perkebunan kelapa sawit diperkirakan lebih dari dua juta orang dengan
mengelola kebuh lebih dari 2,5 juta Ha. Devisa yang dihasilkan pada tahun 1998
adalah sekitar US$ 0,80 miliar dengan laju peningkatan 12% pada dekade terakhir
(Departemen Pertanian, 2005). Peran strategis lainnya adalah menjadi bahan baku
minyak goreng yang merupakan kebutuhan pokok.
TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini adalah membahas pengaruh lingkungan ekonomi
dan bisnis terhadap industri minyak sawit Indonesia. Secara rinci, tujuan tersebut
adalah:
Menyusun suatu kerangka pemikiran (KP) secara komprehensif yang
menggambarkan pengaruh lingkungan ekonomi dan agribisnis (LEB)
terhadap industri Kelapa Sawit.
Menganalisis spesifikasi variabel-variabel ekonomi maupun bisnis yang
terkait dan mengklasifikasikan variabel-variabel dimaksud dengan faktor
internal dan eksternal, dan variabel endogen dan eksogen
Membuat model matematik yang menggambarkan saling pengaruh antar
variabel dengan blok-blok persamaan dan sekaligus menunjukkan klasifikasi
persamaan struktural dan persamaan identitas
Menyusun beberapa skenario pengembangan agribisnis kelapa sawit melalui
simulasi dari satu atau lebih variabel ekonomi maupun bisnis.
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 143
KERAGAAN EKONOMI KELAPA SAWIT INDONESIA
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Areal, produksi kelapa sawit dan produksi minyak sawit di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1969 areal perkebunan budidaya
kelapa sawit sekitar 119,5 ribu ha dengan hasil CPO (crude palm oil) 118,8 ribu ton,
maka pada tahun 2005 produksi CPO sudah mencapai 13,11 juta ton dengan luas
areal perkebunan mencapai lebih dari 5,6 ribu hektar (Deptan, 2007)
Produk CPO dan Turunan
Produksi utama dari perkebunan kelapa sawit ialah tandan buah segar (TBS).
Hasil olahan TBS pada pabrik kelapa sawit (PKS) dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu (1) hasil utama, (2) hasil ikutan (by product). Hasil utama PKS ialah
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Produk olahan minyak
sawit dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produk pangan dan produk non
pangan. Produk pangan yang dihasilkan dari minyak sawit ialah alin emulsifier,
margarine, minyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis,
vanaspati, confectioneries, es krim dan yoghurt. Produk-produk non pangan dari
proses pengolahan minyak sawit adalah oleokimia dasar (basic oleochemicals) dan
derivat oleokimia (oleochemicals derivats). Biodiesel merupakan produk turunan
minyak sawit yang digunakan sebagai renewable energy.
Jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit mencapai 320 unit dengan kapasitas
13.520 ton TBS per jam (Deptan, 2003). Dilihat dari segi produksi dan pangsa
pasarnya terhadap pasar dunia, Indonesia masih di bawah Malaysia. Pada tahun
2006 Indonesia memproduksi minyak sawit 15,7 juta ton dengan pangsa pasar
dunia 42,66%. Malaysia menghasilkan CPO 15,8 juta ton dengan pangsa pasar
dunia 42,93%.
Struktur Biaya Industri Minyak Sawit
Biaya produksi secara umum dapat dibagi menjadi biaya tetap dan biaya
variabel. Pahan (2006) berdasarkan data tahun 1989 sampai dengan tahun 1992
memberikan gambaran rata-rata prosentase komponan biaya terhadap biaya total
pengolahan sebuah Pabrik Kelapa Sawit sebagai berikut: gaji dan upah 13,45%,
alat-alat dan perkakas kecil 0,40%, bahan kimia dan pelengkap 2,24%, biaya
analisis 0,37%, bahan baker dan pelumas 3,89 %, listrik 12,98%, Air 1,59%,
pengangkutan 3,68%, pemeliharaan bangunan 2,54%, pemeliharaan mesin dan
perlengkapan 52,96%, Perabot dan perlengkapan kantor 0,05, Pengiriman 1,26%
dan asuransi 1,61.
Berdasarkan pengalaman telah diketahui bahwa biaya produksi berasal dari
biaya bahan baku TBS 80% dan biaya pengolahan 20% (Pahan, 2006).
144 Kebijakan Inovasi di Industri
Pasar Minyak Sawit
Beberapa rantai terpenting yang digunakan dalam pemasaran minyak sawit,
yaitu perkebunan negara, swasta dan rakyat yang menghasilkan TBS (tandan buah
segar), pabrik ekstraksi TBS atau PKS (pabrik pengolah kelapa sawit) dan eksportir.
TBS yang dihasilkan rakyat (petani) peserta PIR dibeli oleh PTP/ swasta yang
menjadi inti dalam proyek PIR. Selanjutnya TBS rakyat ditambah TBS PTP/swasta
diolah/diekstraksi di pabrik pengolah kelapa sawit (PKS). Hasil ekstraksi berupa
CPO untuk perusahaan negara selanjutnya dipasarkan melalui KPB (Kantor
Pemasaran Bersama). Penentuan harga dilakukan dengan sistem lelang yang
dilakukan dua kali seminggu Setiap perusahaan swasta bebas melakukan
penjualan produksinya tanpa melalui KPB. Kesepakatan harga melalui mekanisme
pasar dengan mengacu pada harga CPO internasional di Bursa Berjangka Kuala
Lumpur (MDEX).
Permintaan CPO
Sampai dengan tahun 2005, konsumsi minyak sawit domestik sekitar 40%-
60% dari produksi minyak sawit. Konsumsi minyak sawit dalam negeri sebagian
besar (80-85%) untuk minyak goreng dan sisanya digunakan oleh industri sabun,
industri oleochemical, industri margarine & shortening dan biodiesel.
Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri diperkirakan adalah sekitar
11,5%/ tahun. (Warta Ekonomi, 2006).
Tiga negara pengimpor terbesar produk minyak sawit Indonesia yaitu India
(23,99%), Belanda (10,22%) dan Pakistan (8,52%) pada tahun 2005. Disamping itu,
minyak sawit Indonesia diekspor ke Jerman (3,25 %), Italia (1,43%) dan Inggris
(0,48%) (BPS, 2006). Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi
dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor turunan minyak sawit dalam
bentuk olein dari Malaysia Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia
tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia.
Kebijakan Pemerintah
Dalam upaya pengembangan industri kelapa sawit, pemerintah telah
melaksanakan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah
terus berusaha mendorong pihak swasta nasional maupun asing untuk berperan
serta dalam investasi di sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Usaha
perluasan perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui berbagai bentuk baik
perkebunan besar dan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Kebijakan investasi yang
pernah diberikan oleh pemerintah ditujukan untuk usaha perkebunan melalui
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) Dengan adanya kredit likuiditas dari Bank
Indonesia yang terutama ditujukan pada Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN)
dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) telah mendorong peningkatan perluasan areal
perkebunan yang cukup besar. Tanpa kredit ini akan sulit untuk mencapai
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 145
perluasan areal sebesar 10,49% (1988-1993) karena investasi dalam perkebunan
kelapa sawit membutuhkan modal yang cukup besar dengan waktu pengembalian
yang cukup panjang pula. Namun pada tanggal 31 Maret 1990 pemerintah
menghapuskan KLBI ini sehingga suku bunga yang berlaku pada kredit investasi ini
mengikuti suku bunga komersial (Comercial Floating Rate ). Fasilitas kredit yang
pernah tersedia adalah Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), Kredit Program
Agricultural Financing Project (AFT), Kredit Usaha Kecil (KUK) Perkebunan, Kredit
Investasi/Modal Kerja Umum, Kredit Modal Kerja Ekspor
Kebijakan tata niaga dan ekspor untuk pertama kalinya pengaturan tata niaga
minyak goreng dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1978 sebagai salah satu
upaya mengatasi krisis minyak goreng yang terjadi pada tahun 1970-an. Untuk
lebih meningkatkan efektivitas kebijakan tataniaga maka pada tahun 1984
pemerintah menetapkan pajak ekspor CPO sebesar 37,18 persen. Kebijakan ini
berlangsung hingga sekarang dengan beberapa penyesuaian. Disamping
instrumen pajak ekspor, instrumen lain yang ditempuh pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga minyak goreng dalam negeri ialah operasi pasar.
Kerangka Pemikiran Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Agribisnis Terhadap
Industri Kelapa Sawit
Lingkungan ekonomi dan bisnis dari industri kelapa sawit dapat dibedakan
atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal adalah
lingkungan yang berada di dalam industri kelapa sawit. Lingkungan internal
terdiri dari struktur (structure), budaya (culture) dan sumber daya (resources).
Struktur adalah bagaimana industri diorganisasikan yang berkaitan dengan
komunikasi, wewenang dan arus kerja. Budaya merupakan pola keyakinan,
pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota industri. Sumberdaya
meliputi sumberdaya manusia (human resources) seperti pengalaman
(experiences), kemampuan (capabilities), pengetahuan (knowledge), keahlian (skill),
dan pertimbangan (judgment), sumberdaya perusahaan (organizational resources)
seperti proses dan sistem, termasuk strategi, struktur, budaya, manajemen,
produksi/operasi, keuangan, riset dan pengembangan, pemasaran, sistem
informasi, dan sistem pengendalian, dan sumberdaya fisik seperti pabrik dan
peralatan, lokasi geograpis, akses terhadap material, jaringan distribusi dan
teknologi.
Lingkungan eksternal adalah lingkungan yang berada di luar industri kelapa
sawit. Lingkungan eksternal industri terdiri dari faktor politik/ legal, ekonomi,
sosial/budaya dan teknologi. Faktor politik/ legal dimana Industri kelapa sawit
secara langsung dipengaruhi oleh tindakan pemerintah dan peristiwa politik
lainnya serta kerangka hukum dimana industri beroperasi. Pada faktor ekonomi,
bisnis kelapa sawit dipengaruhi secara keseluruhan oleh berbagai faktor ekonomi
seperti nilai tukar, pajak, suku bunga. Dalam faktor sosial/budaya dikaji
146 Kebijakan Inovasi di Industri
lingkungan bisnis yang terkait dengan perilaku sosial dan nilai (values). Dalam
faktor teknologi dibahas pengaruh teknologi terhadap industri. Pembagian faktor-
faktor yang mempengaruhi industri ke dalam politik, ekonomi, sosial dan
teknologi dikenal sebagai analisis PEST.
Kerangka pemikiran pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis terhadap
industri kelapa sawit lebih ditekankan pada analisis ekonomi melalui pendekatan
ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dengan pendekatan ekonomi mikro,
dianalisis pengaruh permintaan dan penawaran, pengaruh ketenagakerjaan,
pengaruh pemerintah terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit. Dengan
pendekatan ekonomi makro, dikaji pengaruh kebijakan ekonomi makro terhadap
lingkungan bisnis kelapa sawit.
Faktor yang berpengaruh terhadap industri kelapa sawit dapat dianalisis dari
sisi penawaran dan sisi permintaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran terdiri dari produksi CPO, luas areal tanaman kelapa sawit, biaya
input produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan dan tenaga kerja dan
produktivitas. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi sub sistem atau blok
produksi. Dari sisi permintaan, faktor-faktor yang mempengaruhi industri kelapa
sawit adalah jumlah permintaan atau konsumsi CPO dan harga CPO, yang
dikelompokan menjadi sub sistem/blok pasar. Faktor lainnya yang berpengaruh
adalah ekspor, impor, stok yang dikelompokan menjadi sub sistem/blok
perdagangan. Kerangka model pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis
terhadap industri kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Umum Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap
Industri Kelapa Sawit
Blok Produksi : Luas Areal TM Input Produksi
(Pupuk, Benih,Tenaga Kerja)
Produktivitas CPO
Blok Pasar : Konsumsi Harga CPO
Blok Perdagangan : Ekspor Impor Stok
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 147
Produksi dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga CPO dalam negeri, areal
tanaman kelapa sawit, harga input produksi dan kebijakan pemerintah. Areal
Tanaman Kelapa Sawit secara umum dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga CPO
dalam negeri, harga komoditas pesaing seperti harga karet (karena ada kompetisi
penggunaan lahan antara kelapa sawit dengan karet), harga input produksi,
tingkat suku bunga, nilai tukar dan kebijakan pemerintah (pembangunan
perkebunan kelapa sawit mendukung dukungan pemerintah diantaranya melalui
berbagai kemudahan dalam memperluas lahan perkebunan).
Penggunaan input produksi seperti benih, pupuk, pestisida/ obat-obatan dan
tenaga kerja dihipotesisikan dipengaruhi oleh harga kelapa sawit, harga benih,
harga pupuk, harga pestisida/obat-obatan, harga tenaga kerja, luas areal TM.
Produktivitas kelapa sawit atau hasil kelapa sawit per hektar dihipotesiskan
dipengaruhi oleh harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi.
Konsumsi secara umum diperkirakan dipengaruhi oleh harga CPO dalam
negeri, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai), jumlah penduduk,
pendapatan per kapita serta konsumsi periode sebelumnya. Pengertian konsumsi
CPO adalah CPO yang diproses oleh industri hilir seperti industri minyak goreng.
Harga CPO dalam negeri dihipotesiskan dipengaruhi oleh produksi, harga di pasar
internasional, pajak ekspor, nilai tukar, harga sebelumnya, stok sebelumnya,
ekspor, impor.
Ekspor dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga dunia, nilai tukar, pajak ekspor,
produksi dan ekspor periode sebelumnya. Impor dihipotesiskan dipengaruhi oleh
konsumsi, ekspor, produksi dan stok. Stok dihipotesiskan dipengaruhi oleh
perbedaan harga CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya, produksi,
konsumsi dan stok sebelumnya.
a. Areal Tanaman Kelapa Sawit
Variabel endogen adalah areal tanaman kelapa sawit. Variabel eksogen
terdiri dari harga CPO domestik, harga komoditas pesaing, harga saprodi, tingkat
suku bunga, nilai tukar, areal tanaman kelapa sawit sebelumnya dan kebijakan
pemerintah.
Faktor internal adalah harga CPO, harga komoditas pesaing, areal tanaman
kelapa sawit sebelumnya, harga saprodi. Faktor eksternal adalah tingkat suku
bunga, nilai tukar dan kebijakan pemerintah
b. Produksi.
Variabel endogen adalah produksi CPO. Variabel eksogen adalah harga CPO
domestik, areal tanaman kelapa sawit, harga saprodi dan kebijakan pemerintah.
Faktor internal adalah harga CPO domestik, harga input, areal tanaman
kelapa sawit. Faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah
148 Kebijakan Inovasi di Industri
c. Penggunaan sarana/ input produksi
Variabel endogen adalah jumlah sarana produksi seperti benih, pupuk,
pestisida/ obat-obatan dan tenaga kerja. Variabel eksogen adalah harga CPO,
harga benih, harga pupuk, harga pestisida/ obat-obatan, harga tenaga kerja, luas
areal TM.
Faktor internal adalah harga CPO domestik, harga saprodi, luas areal TM.
d. Produktivitas
Variabel endogen adalah produktivitas kelapa sawit. Variabel eksogen
adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi.
Faktor internal adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana
produksi.
e. Harga CPO Domestik
Variabel endogen adalah harga CPO domestik. Variabel eksogen adalah
produksi, harga di pasar internasional, pajak ekspor, nilai tukar, harga sebelumnya,
stok sebelumnya, ekspor, impor.
Faktor internal adalah produksi, harga sebelumnya, stok sebelumnya,
ekspor, impor. Faktor eksternal adalah harga dunia, pajak ekspor, nilai tukar.
f. Konsumsi
Variabel endogen adalah konsumsi. Variabel eksogen terdiri dari harga
domestic, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai), jumlah penduduk,
pendapatan per kapita serta konsumsi periode sebelumnya.
Faktor internal adalah harga domestik, harga substitusi, konsumsi. Faktor
internal adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk.
g. Ekspor
Variabel endogen adalah ekspor. Variabel eksogen adalah harga dunia, nilai
tukar, pajak ekspor, produksi dan ekspor periode sebelumnya.
Faktor internal adalah produksi, ekspor periode sebelumnya. Faktor ekternal
adalah harga dunia, nilai tukar, pajak ekspor.
h. Impor
Variabel endogen adalah impor. Variabel eksogen adalah konsumsi, ekspor,
produksi dan stok.
Faktor internal adalah konsumsi, ekspor, stok, produksi.
i. Stok
Variabel endogen adalah stok. Variabel eksogen adalah perbedaan harga
CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya, produksi, konsumsi dan
stok sebelumnya.
Faktor internal adalah konsumsi, stok sebelumnya. Faktor eksternal adalah
perbedaan harga CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya.
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 149
MODEL MATEMATIK ANTAR VARIABEL
Spesifikasi model untuk masing-masing sub sistem atau blok pada dasarnya
mengikuti model ekonomi seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Spesifik Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis
terhadap Industri Kelapa Sawit
Blok Produksi
a. Areal Tanaman Kelapa Sawit
Variabel endogen adalah areal tanaman kelapa sawit (POA). Variabel
eksogen terdiri dari harga CPO domestik (POPDt), harga komoditas pesaing karet
(RBP), tingkat suku bunga (IIR), nilai tukar (IER), areal tanaman kelapa sawit
sebelumnya (POAt-1), dan kebijakan pemerintah (perubah dummy, D=0 sebelum
tahun 1979 dan D=1 dari tahun 1979-2007)
Persamaan struktural:
POA = a0 + a1 POPDt + a2 RBP + a3 IIR + a4 IER + a5 POAt-1 +
a6 POT + a7 D+ U1
150 Kebijakan Inovasi di Industri
b. Penggunaan Saprodi
Variabel endogen adalah jumlah sarana produksi seperti benih, pupuk,
pestisida/obat-obatan dan tenaga kerja (POI). Variabel eksogen adalah harga CPO,
harga benih (POS), harga pupuk (POF), harga pestisida/obat-obatan (POM), harga
tenaga kerja (POL), luas areal TM.
Persamaan struktural:
POI = b0 + b1 POPDt + b2POS + b3 POF + b4 POM + b5 POL +
b6 POA+ b7D + u2
c. Produktivitas
Variabel endogen adalah produktivitas kelapa sawit (POY). Variabel eksogen
adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi
Persamaan struktural:
POY = c0 + c1 POPDt + c2 POA + c3 POI + c4 D + u3
Persamaan identitas
POY= POQ/POA
d. Produksi
Variabel endogen adalah produksi CPO (POQ). Variabel eksogen adalah
harga CPO domestik (POPDt), areal tanaman kelapa sawit (POA), harga saprodi
(POI) dan kebijakan pemerintah
Persamaan struktural
POQ = d0 + d1 POPDt + d2 POA + d3 POI +d4D + u4
Persamaan identitas:
POQ = POA *POY
Blok Pasar
a. Konsumsi
Variabel endogen adalah konsumsi (POC). Variabel eksogen terdiri dari
harga domestic, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai, PSC), jumlah
penduduk (IJP), pendapatan per kapita (INY) serta konsumsi (POC).
Persamaan struktural:
POC = e0 + e1 POPDt + e2 PSC + e3 INY + e4POC + e5 D + u5
Persamaan Identitas:
POC = POQ+ IMP – EXP - POS
b. Harga Domestik
Variabel endogen adalah harga CPO domestik (POPDt). Variabel eksogen
adalah produksi (POQ), harga di pasar internasional (POPWt), pajak ekspor (POT E),
nilai tukar (EXR), harga sebelumnya (POPt-1), stok sebelumnya (POSt-1) , ekspor
(EXP), impor (IMP)
Persamaan struktural:
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 151
POPDt = f0 + f1 POQt + f2 POPWt + f3 POT E + f4 EXR+f5 POPt-1 +
f6POSt + f7 EXP + f8 IMP +f9D+ u6
Blok Perdagangan
a. Ekspor
Variabel endogen adalah ekspor (EXP). Variabel eksogen adalah harga dunia,
nilai tukar, pajak ekspor, produksi dan ekspor periode sebelumnya
Persamaan struktural:
EXP = g0 + g1 POPWt + g2 EXR+ g3 POTE + g4POQt-1 + g5 EXPt-1
+ g6 D+ u8
Persamaan identitas :
EXP = POQ – POC - POS
b. Impor
Variabel endogen adalah impor. Variabel eksogen adalah konsumsi, ekspor,
produksi dan stok.
Persamaan struktural:
IMP = h0 + h1 POC + h2 EXP+ h3 POQ + h4POS t + h5D+ u9
Persamaan identitas:
IMP = POQ – EXP – POC - POS
c. Stok
Variabel endogen adalah stok. Variabel eksogen adalah perbedaan harga
CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya (POWD), produksi,
konsumsi dan stok sebelumnya.
Persamaan struktural:
POS = i0 + i1 POWD + i2 EXP+ i3 POQ + i4POC t + i5 POSt-1 +
i6 D+ u9
Persamaan identitas:
POS = POQ + IMP – EXP – POC
Skenario Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit
Perubahan-perubahan ekonomi makro dan mikro sebagai akibat dari
perubahan lingkungan ekonomi dan bisnis akan mempengaruhi variabel-variabel
yang ada dalam industri kelapa sawit. Untuk melihat sampai sejauh mana
sensitivitas variabel-variabel yang ada dalam industri kelapa sawit dilakukan
simulasi dengan menganalisis dampak perubahan ekonomi mikro dan makro
terhadap pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia. Untuk itu disusun
beberapa alternatif simulasi perubahan lingkungan internal dan lingkungan
eksternal yaitu:
Skenario 1. Untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di Indonesia
diskenariokan perubahan harga CPO di pasar dalam negeri melalui peningkatan
152 Kebijakan Inovasi di Industri
harga kelapa sawit sebesar 10 persen. Dengan adanya skenario ini diperkirakan
akan mengakibatkan perubahan-perubahan langsung dan positif atau terjadi
peningkatan terhadap variabel-variabel blok produksi dalam industri kelapa sawit
seperti luas areal TM, penggunaan sarana produksi, produktivitas. Dalam blok
pasar, diperkirakan akan terjadi peningkatan langsung pada variabel harga
domestik, penawaran CPO ke dalam negeri tetapi akan terjadi penurunan pada
tingkat konsumsi. Pada blok perdagangan, apabila terjadi perubahan harga CPO
domestik akan berpengaruh langsung dan positif terhadap ekspor, impor dan stok
yang tersedia di dalam negeri. Dengan demikian, adanya skenario peningkatan
harga CPO akan memberikan pengaruh langsung terhadap seluruh variabel, baik
variabel permintaan dan penawaran, yang ada dalam industri kelapa sawit. Adanya
skenario peningkatan harga CPO akan menyebabkan dampak positif langsung
terhadap pengembangan agribisnis kelapa sawit.
Skenario 2. Untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di Indonesia
diskenariokan terjadi peningkatan harga sarana produksi sebesar 10 persen.
Dengan adanya skenario ini diperkirakan akan mengakibatkan perubahan-
perubahan langsung pada beberapa variabel yang ada dalam industri kelapa sawit.
Dalam blok produksi, kenaikan harga sarana produksi akan langsung berpengaruh
langsung dan negatif terhadap luas areal TM kelapa sawit, produksi, produktivitas
dan jumlah penggunaan sarana produksi. Pada blok pasar, skenario kenaikan
harga sarana produksi diperkirakan akan menyebabkan pengaruh tidak langsung
terhadap kenaikkan harga CPO dalam negeri dan turunnya tingkat konsumsi.
Dalam blok perdagangan, skenario naiknya harga sarana produksi akan
menyebabkan pengaruh tidak langsung terhadap ekspor dan stok akan turun dan
kemungkinan impor akan meningkat. Dengan demikian, adanya skenario naiknya
harga sarana produksi akan memberikan pengaruh negatif terhadap
pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia.
Skenario 3 adalah adanya peningkatan luas areal TM sebesar 10 persen
untuk skenario pengembangan agribisnis di Indonesia. Melalui skenario ini
diperkirakan akan mengakibatkan perubahan langsung terhadap beberapa
variabel yang ada dalam industri kelapa sawit. Pada blok produksi, skenario
peningkatan luas areal TM kelapa sawit berpengaruh langsung terhadap empat
variabel yaitu luas areal TM (semakin luas areal), penggunaan saprodi
(penggunaan saprodi bertambah), produktivitas (produktivitas diperkirakan dapat
turun atau naik tergantung kualitas lahan) dan produksi (semakin meningkat).
Pada blok pasar, skenario peningkatan luas areal TM kelapa sawit berpengaruh
tidak langsung terhadap konsumsi (ketersediaan produksi semakin meningkat)
dan harga CPO dalam negeri (harga CPO dapat turun karena bertambahnya
Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 153
pasokan CPO). Pada blok perdagangan skenario ini berpangaruh tidak langsung
terdahap ekspor, impor dan stok.
Skenario 4 adalah skenario dimana untuk mengembangkan agribisnis perlu
dilakukan upaya peningkatan nilai tukar 10 persen. Dengan adanya skenario ini
diperkirakan akan memberikan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung
terhadap variabel-variabel yang ada di dalam industri kelapa sawit. Pada blok
produksi, skenario ini diperkirakan memberikan dampak tidak langsung terhadap
variabel luas areal TM, penggunaan saprodi, produktivitas dan produksi. Pada blok
pasar, skenario ini memberikan pengaruh tidak langsung terhadap konsumsi tetapi
memberikan pengaruh langsung terhadap harga CPO dalam negeri. Pada blok
perdagangan, skenario ini akan memberikan pengaruh langsung terhadap ekspor,
tetapi tidak memberikan pengaruh langsung terhadap impor dan stok.
Dengan membandingkan keempat skenario diatas, maka skenario 1 yaitu
peningkatan harga CPO sebesar 10 persen merupakan skenario yang paling baik.
Ada berbagai alasan yaitu:
1. Hanya skenario ini yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap
semua variabel yang ada di dalam industri kelapa sawit yaitu areal TM,
saprodi, produktivitas, produksi, konsumsi, harga CPO dalam negeri, ekspor,
impor dan stok.
2. Adanya skenario peningkatan harga CPO akan menyebabkan dampak positif
langsung (dengan membandingkan total benefit dan total biaya yang
mempengaruhi variabel permintaan dan penawaran) terhadap
pengembangan agribisnis kelapa sawit.
3. Variabel harga CPO dalam negeri merupakan variabel yang sensitif terhadap
perubahan pengembangan agribisnis kelapa sawit. Dengan adanya
peningkatan harga CPO dalam negeri akan membantu pengembangan
agribisnis kelapa sawit
PENUTUP
1. Kerangka pemikiran pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis terhadap
industri kelapa sawit ditekankan pada analisis ekonomi melalui pendekatan
ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dengan pendekatan ekonomi mikro,
dianalisis pengaruh permintaan dan penawaran, pengaruh ketenagakerjaan,
pengaruh pemerintah terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit. Dengan
pendekatan ekonomi makro dikaji pengaruh kebijakan ekonomi makro
terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran terdiri dari produksi CPO, luas
areal tanaman kelapa sawit, biaya input produksi seperti pupuk, benih, obat-
154 Kebijakan Inovasi di Industri
obatan dan tenaga kerja dan produktivitas. Faktor-faktor ini dikelompokkan
menjadi sub sistem atau blok produksi.
3. Dari sisi permintaan, faktor-faktor yang mempengaruhi industri kelapa sawit
adalah jumlah permintaan atau konsumsi CPO dan harga CPO, yang
dikelompokan menjadi sub sistem/blok pasar.
4. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah ekspor, impor, stok yang
dikelompokan menjadi sub sistem/blok perdagangan.
5. Terdapat empat skenario untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di
Indonesia yaitu (1) perubahan harga CPO di pasar dalam negeri melalui
peningkatan harga kelapa sawit sebesar 10 persen, (2) peningkatan harga
sarana produksi sebesar 10 persen, (3) peningkatan luas areal TM sebesar 10
persen, dan (4) peningkatan nilai tukar 10 persen.
6. Dengan membandingkan keempat skenario, maka skenario peningkatan harga
CPO sebesar 10 persen merupakan skenario yang paling baik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2010. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. BPS Jakarta, Indonesia
Departemen Pertanian, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit. Deptan Jakarta
Direktorat Jendral Perkebunan, 2004. Kumpulan Data Statistik Perkebunan
Indonesia
Pahan, Iyung, 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis
dari Hulu Hingga Hilir. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta
Salvatore, D, 2005. Ekonomi Manajerial Dalam Perekonomian Global. Penerbit
Salemba Empat, Jakarta
Sloman, J, 2005. The Economic Environment of Business. Pearson Education
Limited, England.
Warta Ekonomi, 2006. Industri Minyak Goreng: Persaingannya Kian Seru. Warta
Ekonomi, 7 April 2006
Wheelen, T.L and J.D Hunger. 2006. Strategic Management and Business Policy.
10th Upper Saddler River, N.J: Pearson Education International, Inc.
DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN
SOSIAL EKONOMI DI INDONESIA
M. Ansorudin Sidik
ABSTRACT In this information era, Information and Communication Technology plays very
important role in nation and state development. The Social development of the
nations that do not make use of Information and Communication Technology will be
left behind. Three social dimensions of Information and Communication Technology
have been noticed in International Conference in Copenhagen were poverty
alleviation, productive work enhancement and unemployment reduction, and
increase of social integration. In the agenda, these principles were used to analyze
the role of Information and Communication Technology in social development with
the purpose to increase human welfare.
Keywords: social development, information and communication technology, poverty, productive work
and social integration.
ABSTRACT Di era informasi ini, teknologi informasi dan komunikasi memainkan peran yang
sangat penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Perkembangan sosial
bangsa-bangsa yang tidak memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan
tertinggal. Tiga dimensi sosial teknologi informasi dan komunikasi telah melihat
dalam Konferensi Internasional di Kopenhagen adalah pengentasan kemiskinan,
peningkatan kerja produktif dan pengurangan pengangguran, dan meningkatkan
integrasi sosial. Dalam agenda, prinsip-prinsip ini digunakan untuk menganalisis
peran teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan kehidupan sosial
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Kata kunci: pembangunan sosial, teknologi informasi dan komunikasi, kemiskinan, pekerjaan
produktif dan integrasi sosial.
PENDAHULUAN
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan faktor yang penting
bagi pembangunan bangsa dan negara di era informasi. Peran TIK bagi kemajuan
156 Kebijakan Inovasi di Industri
bangsa tidak hanya berguna pada satu aspek saja tetapi berguna dalam berbagai
aspek, seperti pembangunan demokrasi, kehidupan politik, ekonomi, hukum,
pengembangan budaya dan pendidikan serta peningkatan kapasitas
pemerintahan. Bahkan aspek perubahan sosial bagi kemajuan suatu bangsa dapat
diprediksi dengan menggunakan jasa TIK.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kopenhagen, Denmark, pada
tanggal 6-12 Maret 1995, telah dirumuskan visi pembangunan sosial yang terus
bergulir hingga kini. Deklarasi dan aksi yang pada intinya komitmen yang tegas
mengenai perlunya penanganan segera terhadap penyebab utama dan penyebab
struktural masalah sosial dikemas dalam tiga agenda besar, yaitu :
Pengentasan kemiskinan,
Perluasan kerja produktif dan pengurangan penganggguran, dan
Peningkatan integrasi sosial.
Dalam kerangka pembangunan sosial inilah TIK akan dicoba dianalisa untuk dapat
dipakai sebagai pembantu melahirkan kebijakan yang optimal.
Meskipun TIK mempunyai peranan yang sangat penting, namun perlu
ditekankan bahwa TIK hanyalah merupakan salah satu teknologi diantara
bermacam teknologi lainnya. Isu globalisasi yang semakin cepat dan meluas
keseluruh dunia, diantaranya difasilitasi oleh TIK. Diantara pergulatan kemajuan
teknologi dan kemajuan di bidang sosial, maka peranan TIK menjadi isu yang
sentral. Apa saja yang terjadi di belahan dunia ini menjadi semakin cepat tersebar
dengan memanfaatkan TIK. Dengan kondisi demikian menjadikan TIK sebagai
agen perubahan yang mampu merubah tatanan sosial kehidupan manusia di
seluruh penjuru dunia. Dalam lingkungan sosial yang selalu berubah, setidaknya
ada dua faktor yang mempegaruhi perubahan tersebut, pertama adalah pelaku
perubahan dan kedua adalah mereka yang terkena perubahan. Dua posisi ini
dapat diperankan oleh TIK sekaligus, yakni sebagai aktor pengubah sekaligus
sebagai sasaran dari perubahan yang diinginkan.
Pada sisi lain pemanfaatan teknologi TIK yang bersifat netral mempunyai
pengaruh bagi kehidupan sosial kemasyarakat. Semua itu tergantung dari manusia
yang mengoperasikannya. Sejarah membuktikan bahwa evolusi teknologi pada
awalnya selalu diaplikasikan untuk memperoleh kemudahan dalam aktivitas
kehidupan manusia memperoleh manfaat dari teknologi tersebut. Secara
sistematis tahapan perkembangan teknologi adalah sebagai berikut : pertama,
teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia keseharian dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi, kedua, temuan teknologi ini kemudian
diperkenalkan kepada masyarakat atau disosialisasikan, dan ketiga, jika temuan
tersebut terbukti dapat membantu memudahkan aktifitas masyarakat, maka
memasuki tahap kemersialisasi atau dipasarkan kepada masyarakat dengan
harapan dapat diadopsi secara luas.
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 157
ASPEK TIK DI INDONESIA
Dari berbagai artikel yang ada diantaranya ditulis oleh Yulius Hafian yang
berjudul PR buat Menkominfo Baru, disebutkan bahwa berbagai aspek dari TIK
antara lain.
Aspek Infrastruktur
Akses untuk TIK masih merupakan kenyataan yang jauh bagi sebagian besar
orang Indonesia. Di daerah-daerah khususnya pedesaan, secara nyata tertinggal
jauh dari revolusi informasi ini. Hal ini ditandai dengan tidak adanya informasi
dasar, biaya yang tinggi untuk pengadaan TIK, ketidaktahuan mengenai TIK,
dominasi dalam bahasa Inggris pada konten internet, serta kurangnya demonstrasi
keuntungan TIK untuk menjawab tantangan pembangunan pada tingkat bawah.
Fakta yang ada adalah sebagai berikut . Persentase penetrasi internet baru
mencapai 8,7% atau sekitar 20 juta pengguna, dan jumlah warnet baru mencapai
angka 7.602 (AWARI, 2007) dengan 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah seluruh
pengguna internet di Indonesia yang masih didominasi oleh daerah Jakarta dan
sekitarnya. Penetrasi personal computer (PC) baru mencapai 6,5 juta unit saja,
dengan penjualan PVC tahun 2007 diperkirakan mencapai 1.257.631 unit
(International Data Center, 2006). Penggunaan PC dan internet lebih banyak di
perkantoran dari pada di rumah (home user) dengan perbandingan 5:1. Investasi di
sektor telekomunikasi di Indonesia berkisar pada Rp 50 trilyun/tahun di mana
industri dan jasa domestik hanya berkontribusi sebesar 2%.
Selain itu, perkembangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di
Indonesia masih jauh dari memadai. Jumlah sambungan telepon tetap saat ini baru
8,7 penduduk atau tingkat teledensitas kurang dari 4 persen. Sementara
pemerintah menargetkan jumlah sambungan telepon per 100 penduduk sebesar
13% pada tahun 2009. Hal itu berkebalikan dengan penetrasi telepon selular yang
telah mencapai 22,8%. Sampai saat ini terdapat sekitar 43 juta ribu desa atau 65%
desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon.
Aspek Hukum
Kalau kita belajar ilmu hukum dalam arti luas, selalu diperkenalkan bahwa
perkembangan hukum selalu kalah dengan perkembangan sosial. Artinya
perkembangan masalah sosial yang begitu cepat selalu tidak terkejar oleh aturan-
aturan hukum yang seharusnya menjadi payung bagi tindakan sosial masyarakat.
Contoh nyata dari masalah hukum ini adalah bahwa sekian tahun kita merdeka
masih menggunakan KUHP yang dilahirkan pada zaman penjajahan Belanda.
Saat ini sudah ada UU No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi dan
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang tersebut tidak
sepenuhnya mengatur tentang TIK secara komprehensif. Disini belum ada undang-
158 Kebijakan Inovasi di Industri
undang yang mengatur secara khusus tentang Cyberlaw. Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah diterbitkan pada tahun 2008.
Namun undang-undang tersebut masih ada sisi positif dan negatifnya, diantaranya
berkaitan dengan aspek keamanan informasi atau transaksi elektronik cyberlaw
diperlukan untuk keamanan dan kepastian transaksi serta kepastian berinvestasi
(sisi negatifnya). Dengan adanya perangkat hukum yang relevan, kegiatan bisnis
akan dapat berjalan dengan kepastian hukum yang memungkinkan semua
tindakan kejahatan dalam kegiatan bisnis, mapun yang terkait dengan kegiatan
pemerintahan (e-Goverment).
Tidak hanya cybercrime saja, perkembangan dunia maya yang sangat pesat
memunculkan berbagai implikasi yang harus segera dicover oleh aspek hukum
dengan cepat. Munculnya spam (e-mail yang tidak dikehendaki), serangan virus
dan sejenisnya, illegal contens (konten internet yang mengandung unsur
pornografi, kekerasan, dan kebohongan) hingga fenomena blog merupakan
sebagian permasalahan dunia maya yang menjadi bukti betapa aspek hukum
harus berkembang dan dinamis seiring perkembangan TIK itu sendiri.
Aspek Sumber Daya Manusia
Kualitas Sumber Daya Manusia yang dimiliki Indonesia belum memadai.
Dengan tingkat Human Development Index di angka 108 (World Bank, 2006)
tingkat daya saing Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara
yang dahulu berada di belakang Indonesia. Kunci utama akselerasi percepatan
pertumbuhan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Sebagai
contoh, untuk tingkat buta huruf penduduk Indonesia, diperkirakan mencapai 8%,
dimana angka huta huruf tertinggi justru terjadi di pulau Jawa (Depdiknas, 2007).
Selain iu rata-rata partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan masih
rendah, terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka
95,26% dan 82,09% tahun bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai
angka 13% (BPS,2006)
Kondisi tersebut ditambah pula dengan sarana/prasarana pendidikan yang
tidak merata, baik antara wilayah kota dan desa atau wilayah terpencil maupun
antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Untuk tenaga pengajar
saja, dari 2.692.217 guru di seluruh Indonesia, hanya 27% saja yang memenuhi
syarat sertifikasi. Begitu juga dengan tingkat kelulusan UAN yang masih rendah
serta rata-rata nilai UAN yang tergolong rendah juga.
Kondisi ini berimbas pada pada kesediaan sumber daya manusia di bidang
TIK. Jumlah perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) yang melaksanakan
program Informatika/ Komputer berjumlah 476 perguruan tinggi, bidang
komunikasi berjumlah 136 perguruan tinggi, dengan lulusan per tahunnya
sebanyak sekitar 25.000 orang. Hal ini jelas masih jauh dari kebutuhan secara
nasional.
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 159
Sementara itu tingkat kebutuhan dunia akan tenaga yang memiliki
kompetensi di bidang TIK sangatlah tinggi. Sebagai contoh, Cina yang setiap tahun
menghasilkan 200.000 tenaga profesional di bidang tersebut, pada akhir 2008
diperkirakan bakal mengalami kekurangan sebanyak 2,2 juta tenaga TIK. India
setiap tahun menghasilkan sekitar 70.000 tenaga kerja yang terkait dengan TIK,
dan itu dianggap belum memenuhi kebutuhan industri TIK di sana. Hingga tahun
2009, India akan memiliki 1,176.650 tenaga kerja di bidang TIK dengan
pertumbuhan angkatan kerja mencapai 7,4% yang langsung terserap oleh pasar
(International Data Center, 2006).
Di satu sisi, tingginya tingkat kebutuhan tenaga kerja di bidang teknologi
informasi bisa jadi merupakan sebuah peluang yang patut dimanfaatkan. Sebagai
gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri sofware baik di
luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar
negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan tenaga
IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan pada tahun 2010, dengan asumsi
produktivitas 25.000 per orang dan pertumbuhan per tahun mencapai 9,2%,
dibutuhkan tenaga kerja sekitar 327.813 orang.
Isu Konvergensi
Konvergensi sektor telekomunikasi, media dan teknologi informasi memiliki
potensi yang lebih dahsyat apabila ditinjau dari sudut pandang politik, dan
keamanan dibandingkan hanya sebagai sarana perekonomian, khususnya new
economy yang berbasis TIK. Hal itu bisa dipahami karena konvergensi mampu
merekonstruksi cara pandang selama ini mengenai telekomunikasi, media, dan
teknologi informasi. Selama ini antara telekomunikasi, media, dan teknologi
informasi merupakan tiga hal yang berbeda dan terpisah, baik secara institusi,
hukum, maupun manfaat yang diperoleh. Namun pesatnya TIK ternyata
mendorong terjadinya arus konvergensi yang tidak diduga sebelumnya.
Telekomunikasi, media, dan teknologi informasi menjelma menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan.
Hal yang menjadi perhatian dari isu konvergensi adalah belum adanya
perangkat yang capable, baik secara institusi maupun secara hukum, dalam
menghadapi gelombang konvergensi. Secara institusi Departemen Komunikasi dan
Informatika (Depkominfo) dianggap memiliki kesiapan dalam menghadapi era
konvergensi, dimana sektor telekomunikasi, media dan informatika telah
terlingkupi. Di sisi lain, terdapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berwenang
dalam konten penyiaran di Indonesia.
Wacana tentang perlunya Undang-Undang Konvergensi yang menyatukan
ke dua Undang-Undang tersebut sebagai solusi terhadap permasalahan itu. Hal
tersebut tentunya menimbulkan konsekwensi logis, seperti munculnya suatu
160 Kebijakan Inovasi di Industri
kelembagaan satu atap yang mengurus tentang telekomunikasi, media, dan
teknologi informasi yang berdampak pada dileburnya lembaga-lembaga lainnya.
Perlu dikemukakan pula bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami
dan memanfaatkan internet sebagai suatu kebutuhan. Jangankan berbicara
tentang konvergensi, untuk sekedar melek internet saja belum sepenuhnya
tercapai. Kesenjangan digital masih sangat dirasakan, terutama di daerah-daerah
yang belum terjangkau akses insfrastruktur telekomunikasi.
PEMANFAATAN TIK DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL
Sebagaimana telah dikemukan didepan bahwa beberapa agenda
pembangunan, yang dikemas dalam tiga dimensi pembangunan sosial adalah :
Pengentasan Kemiskinan
Pemanfaatan TIK untuk pengentasan kemiskinan, antara lain:
Mengatasi keterbatasan Daya Beli terhadap Teknologi
TIK mampu mengatasi keterbatasan daya beli masyarakat, termasuk dalam
konsep ini adalah disediakannya angkutan massal di perkotaan atau dalam bidang
layanan informasi seperti Community Access Center (CAP) dalam bentuk Warung
Tekomunikasi (Wartel) dan Warung Internet (Warnet). Fakta ini menunjukkan
bahwa anggota masyarakat tidak perlu harus memiliki teknologi untuk dapat
menikmati manfaat teknologi. Jadi TIK menjawab pertanyaan mendasar, yaitu
bukan pada kepemilikan atas teknologi tetapi akses kepada teknologi. Disini
masyarakat seoptimal mungkin menggunakan atau memanfatkannya untuk
memperbaiki taraf hidupnya. Uraian ini mengindikasikan dua hal, di satu sisi
teknologi dianggap sebagai alat (means) yang menawarkan kemudahan dan pada
gilirannya memberikan kemakmuran. Di sisi lain karena kemampuannya
memberikan kemakmuran teknologi menjadi tujuan (ends) masyarakat agar dapat
memilikinya. Dengan demikian dalam hubungannya sebagai end , tak dapat
dihindarkan bahwa TIK menjadi dambaan setiap individu, masyarakat bahkan
negara untuk memilikinya dan atau berhasil menguasainya. Semangat ini
merupakan salah satu semangat untuk pengentasan kemiskinan masyarakat.
Isu Globalisasi
Diantara bermacam teknologi, dalam konteks pergulatan antara kemajuan di
bidang sosial dan teknologi serta interaksi saling pengaruh diantara keduanya, TIK
menempati peran sentral. Isu globalisasi yang tidak dapat terhindarkan dan
semakin cepat meluas, maka peran TIK semakin positif untuk kemajuan masyarakat
dan bangsa. Apa saja yang terjadi diberbagai belahan dunia semakin cepat
tersebar, termasuk kemajuan-kemajuan yang dicapai bangsa lain untuk dapat
dijadikan sebagai pendorong bagi kemakmuran masyarakat baik sebagai
perorangan atau sebagai komunitas sosial, bahkan bagi perbaikan kehidupan
bangsa. Semua ini menjadikan TIK sebagai agen perubahan yang dapat mengubah
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 161
tatanan sosial kehidupan manusia. Jadi peranan TIK dalam era globalisasi ini
sangat membantu masyarakat berinteraksi, termasuk pengentasan kemiskinan dari
masyarakat dalam suatu komunitasnya.
Membantu Memberdayakan Masyarakat
Upaya menciptakann teknologi tepat guna si sektor pertanian, perikanan
dan industri rumah tangga (home industry) yang berbiaya murah dan lain-lain
dapat menggunakan fasilitas TIK atau dapat dilhami oleh penggunaan TIK. Bahkan
transaksi transaksi untuk mengetahui situasi harga telor misalnya, bisa
menggunakan TIK dengan amat cepatnya tanpa dibatasai oleh ruang dan jarak.
Ada contoh sederhana dari peternak ayam di Blitar yang merupakan sentra telor
ayam terbesar di Indonesia. Para peternak besar disana mengetahui, memantau
dan mengendalikan harga telor di Jakarta hanya dengan jasa dari TIK. Jelas peran
TIK dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat.
Perluasan Kerja Produktif dan Pengurangan Pengangguran
Muncul inisiatif pembentukan telecenter
Berbagai inisiatif TIK telah dilakukan untuk mengurangi kesenjangan digital
sekaligus memberdayakannya masyarakat. Beberapa contoh adalah Balai Informasi
Masyarakat (BIM) yang dibangun oleh Masyarakat Telematika (Mastel) untuk
membantu petani bunga di Bandung. Community Training ang Learning Centres
(CTLC) yang dibangun oleh Micrasoft Corporation di lebih 50 lokasi untuk
membantu kelompok masyarakat termasuk petani dan Information and
Communication Technology (ICT) Centre yang dibangun oleh Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional untuk membantu para
guru. Masih banyak program-program serupa lainnya seperti Community Access
Point (CAP) oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Warung
Informasi Teknologi oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) dan lain lain
yang merupakan program-program telecenter.
Minilik kenyataan ini menjadikan TIK berdampak positif bagi institusi dalam
membantu masyarakat pada bidang-bidang tertentu. Disini yang ditekankan
adalah bahwa satu pembelajaran (lessons learned) dari pembangunan telecenter
yang sukses adalah dengan memastikan bahwa akses TIK yang dibangun dapat
menghasilkan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Artinya tidak hanya
memperhatikan penyediaan akses TIK semata, namun juga memperhatikan
pembangunan sosial dan ekonomi mereka Munculnya inisiatif ini merupakan salah
satu bentuk perluasan kesempatan kerja sekaligus mengurangi pengangguran.
Peluang bisnis baru
Fenomena perubahan yang muncul seiring dengan maraknya internet
adalah tumbuh menjamurnya bisnis berbasis internet. Google, Yahoo, Amazon,
162 Kebijakan Inovasi di Industri
eBay, Lelang,com indoexchange.com, klikbca, detik.com, dan lainnya menjadi
familiar di kalangan bisnis dan pengguna TIK.
Fenomena di atas menggambarkan bagaimana antusiasme kalangan bisnis
dalam menyambut internet. Perubahan ternyata juga terjadi pada perusahaan
lama yang kemudian menyadari perlunya memiliki sarana interaksi dengan stake
holder melalui internet. Kiat yang banyak dipakai para pebisnis internet antara lain
”tidak ada yang tidak dapat dibisniskan di internet”. Salah satu contoh sukses
adalah seorang wanita di Bandung selatan menjadi terkenal di seantero dunia dan
bertambah kekayaannya setelah ia membuka jasa perdagangan melalui internet.
Kenyataan ini juga merupakan perluasan kesempatan kerja prodiktif bagi
masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran.
Semua bebas menjadi sumber informasi
Salah satu bentuk TIK adalah internet. Perubahan pertama yang dapat
ditunjuk sebagai akibat perkembangan TIK adalah semua orang yang dapat
menggunakan akses ke internet bebas untuk menjadi sumber informasi dalam
berbagai bidang, seperti : bidang poitik, ekonomi, hukum dan lainnya. Ini dapat
dilakukan oleh warga dengan sebebas-bebasnya. Sebagai salah satu wujud
teknologi hasil konvergensi antara Teknologi Informasi dan Telekomunikasi,
internet menawarkan banyak kemudahan dalam berkomunikasi. Contoh sederhana
adalah pengumuman hasil kelulusan siswa dapat langsung dilihat di internet tanpa
susah-susah datang ke sekolah masing-masing, sehingga tidak menimbulkan
kerumunan siswa yang biasanya menimbulkan masalah sosial seperti pada tahun-
tahun yang terdahulu. Demikian juga pelanggaran-pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh aparat birokrasi dan lainnya dapat dilaporkan oleh setiap warga
dengan bebas tanpa halangan apapun. Dari kenyataan ini jelas TIK merupakan
salah satu aspek perluasan kerja masyarakat.
PENINGKATAN INTEGRASI SOSIAL
Pengendalinya memiliki integritas tinggi
TIK akan bernilai positif secara sosial apabila manusia yang
mengendalikannya memiliki integritas yang tinggi. Pengendali TIK atau manusia
dibelakang TIK bila mempunyai integritas terhadap lingkungan sosialnya, maka
akan membawa ke suasana positif, sehingga TIK dapat dicitrakan sebagai
bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian persoalannya menjadi bergeser
bukan pada teknologinya saja, melainkan perhatian harus dipusatkan juga pada
manusianya pengguna teknologi dan interaksi antara manusia tersebut dengan
teknologi yang digunakan. Perlu digaris bawahi kembali bahwa pengendali TIK
harus memiliki nilai moral yang harus dibangun bersamaan dengan perkembangan
dan kemajuan TIK yang semakin pesat. Ini adalah dampak positif lain dari sudut
sosial dari pemanfaatan TIK. Serbuan budaya harus diimbangi dengan kemampuan
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 163
moral manusia sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa kita. Ini merupakan bentuk
dampak positif lain dari sudut sosial.
Demokrasi menjadi lebih baik
Setelah lebih dari tiga dekade di bawah kepemimpinan nasional yang
otoriter, maka dorongan prubahan ke arah negara Indonesia yang lebih
demokratis menjadi semakin mudah terwujud dengan fasilitasi TIK. Karakter TIK
yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi, oleh karenanya dalam konteks
pembangunan demokrasi TIK lebih tepat diposisikan sebagai tujuan (means) dari
pada alat (end). Ide perjuangan demokrasi menjadi lebih mudah mencapai sasaran
masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim, pengawasan informasi dari penguasa.
TIK juga membuktikan dirinya memberikan kontribusi besar dalam proses
pemilihan umum (pemilu). Penggunaan TIK dalam proses penghitungan suara
menjadi salah satu yang dapat ditunjuk sebagai bukti. Selain itu, ada banyak sekali
bukti bagaimana TIK melancarkan poses pemilu. Sejak proses pendaftaran partai
politik, pendaftaran calon pemilih termasuk calon independen yang sudah
dinaungi oleh Mahkamah Konstitusi, kampanye, dan lain-lain. Ini juga menjadi
bukti dampak positif dari sudut sosial terhadap pemanfaatan TIK.
Perubahan dalam layanan publik
Dampak TIK tidak saja melanda perusahaan atau organisasi privat, tetapi
juga terhadap layanan birokrasi pemerintahan yang memanfaatkan TIK. Ini
digunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik. Lee Kuan
Yew Perdana Menteri Singapura memerintahkan kepada aparat di bawahnya agar
dapat menyelesaikan setiap permintaan layanan masyarakat selambat-lambatnya
dalam tempo dua kali dua puluh empat jam. Di Indonesia, layanan pembuatan SIM
kendaraan bermotor relatif lebih cepat dengan penggunaan TIK. Layanan Kantor
Pos-pun relatif lebih cepat, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), demikian
juga layanan bank pemerintah, juga instansi-instansi yang menggunakan jasa TIK.
Jadi dengan jasa TIK maka layanan publikpun mengalami dampak positif yang
cukup signifikan.
Mengatasi kesenjangan sosial
Sebagai salah satu dari bentuk teknologi, maka TIK dapat dituduh sebagai
penyebab atau biang dari kesenjangan sosial. Namun demikian TIK juga berperan
untuk mengatasi kesenjangan sosial masyarakat. Masyarakat yang kurang
informasi tentang masalah tertentu dapat menggunakan TIK. Internet dapat
dipakai untuk menggali berbagai keperluan meskipun tempatnya cukup jauh dari
sumber bahkan meskipun dari luar negari.. Untuk menulis artikelpun dapat
menggunakan jasa internet dengan amat mudahnya dari berbagai kalangan
masyarakat. Masalah pertanian, perikanan, atau bisnis dapat dimudahkan dengan
164 Kebijakan Inovasi di Industri
menggunakan jasa TIK. Ini merupakan salah satu manfaat untuk mengurangi
kesenjangan sosial masyarakat.
TANTANGAN PEMANFAATAN TIK KE DEPAN
Mengingat perkembangan kemajuan teknologi TIK begitu pesat, maka untuk
menghindari atau meminimalkan dampak negatif pemanfaatannya perlu
dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan situasi dan kondisi
perkembangan sosial kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan perkembangan sosial
masyarakat harus mampu untuk menerima dan mengimbangi kemajuan teknologi
tersebut. Dengan demikian ada keseimbangan yang bersifat dinamis antara
teknologi yang masuk dengan sistem sosial yang ada, sehingga
ketidakseimbangan diantara keduanya tidak terjadi. Hal-hal yang perlu dilakukan
adalah :
Penyesuaian perundangan dan peraturan
Telah diurai di atas bahwa aspek hukum tidak mampu mengimbangi
kemajuan teknologi TIK, sehingga ada peluang-peluang negatif yang
dimanfaatkan masyarakat dari pemanfaatan TIK. Hukum belum mampu
memayungi atau menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari pemanfaatan
TIK. Terlebih ditandai bahwa mitra bisnis di luar negeri konon tidak bersedia
berbisnis dengan pelaku internet di Indonesia karena tidak adanya kepastian
hukum.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan
perundangan dan peraturan yang ada saat ini. Sebagai salah satu contoh adalah
laporan pajak melalui internet misalnya, menjadi dipertanyakan efektivitasnya jika
prosedur operasional standar yang berlaku tidak diganti dengan yang berorientasi
ke online transactions. Layanan KTP melalui internet, menjadi kehilangan ruh
perubahan bila termyata masih harus disertai dengan transaksi bawah meja.
Kebijakan dan peraturan dibuat untuk memfasilitasi masyarakat atau
warganya agar dapat seoptimal mungkin memanfaatkan TIK secara benar dan
bertanggung jawab. Kebijakan dan peraturan harus diarahkan untuk mendorong
makin tingginya nilai-nilai positif dari TIK, dan menekan serendah mungkin
dampak negatif pemanfaatan TIK.
Disamping itu pakar-pakar hukum yang mendalami masalah TIK perlu
didorong pengadaannya karena ditengarai masih langka. Mungkin dibuka jurusan
spesial hukum TIK di berbagai perguruan, terutama yang mempunyai Fakultas
Hukum
Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 165
Peningkatan Jumlah dan Kualitas SDM TIK
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa jumlah dan kualitas SDM
yang dimiliki Indonesia belum memadai. Ini juga berkaitan dengan jumlah lulusan
dari perguruan tinggi yang tidak cukup dengan kebutuhan dan permintaan
jumlah tenaga kerja di bidang TIK.
Untuk itu diperlukan pendidikan sumber daya manusia agar trampil dan
mumpuni di bidang TIK, penyediaan bantuan dana bagi mereka yang tergolong
miskin untuk memperoleh akses kepada informasi, kemudahan perijinan bagi
penyelenggaraan layanan TIK merupakan isu dan tantangan bagi pemerintah
Indonesia. Demikian juga dalam konteks pembinaan, pengaturan, pengawasan
dan pengendalian harus diperhatikan dalam pemanfaatan TIK.
Hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, mengingat bahwa
perubahan sosial selalu terjadi setiap saat secara terus menerus. Perubahan sosial
tersebut diharapkan tidak melenceng ke arah keruntuhan nilai-nilai moral suatu
bangsa, meskipun perubahan yang terjadi bisa karema memang diinginkan atau
sebagai dampak dari perubahan pada sektor lain yang terkait dengan masalah
sosial. Perubahan sosial yang terjadi dapat memasuki bidang ekonomi, bisnis,
politik, pemerintahan, dan terutama pergaulan antar anggota masyarakat.
Menyatukan Program Telecenter
Program telecenter sekarang yang sedang berkembang di Indonesia dengan
berbagai inisiatif replikasi pemerintah pusat maupun daerah, juga lembaga donor,
serta sektor swasta masih berjalan sendiri-sendiri. Mereka mencoba mengatasi
berbagai tantangan yang dihadapi dengan sumber daya dan kapasitas mereka
sendiri yang terbatas. Mereka belum mengambil manfaat kerjasama (partnership)
dengan telecenter lain untuk memaksimalkan upaya mereka. Oleh sebab itu
hasilnya sering kali tidak begitu optimal. Di sisi lain, setiap program telecenter di
atas mempunyai keunikan dan kekuatan masing-masing.
Melihat kenyataan ini perlu diupayakan pembentukan suatu jaringan
telecenter di Indonesia agar mereka dapat bekerja sama dan saling memberi
dukungan dalam hal teknis, manajemen, pelatihan, konsultasi dan sebagainya.
Dengan demikian mereka akan lebih berhasil menjawab tantangan yang dihadapi,
terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan dan kemandirian telecenter.
PENUTUP
Peran TIK dalam pembangunan sosial dapat ditempatkan dalam salah satu
tujuan mengembangkan lingkungan agar tercipta hubungan antar manusia secara
harmonis yang memungkinkan tercipnya kesejahteraan umat manusia seluruh
dunia. Tiga dimensi pembangunan sosial yang telah dideklarasikan dalam KTT
166 Kebijakan Inovasi di Industri
Dunia untuk pembangunan sosial dapat dipakai sebagai kerangka pembangunan
TIK di masa yang akan datang. Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan di bidang TIK hendaknya mengacu pada tiga agenda besar tersebut,
yaitu pengentasan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja produktif dan
pengurangan pengangguran serta, peningkatan integrasi sosial. Dengan kata lain
perkembangan dan kemajuan TIK sebagai suatu teknologi dibingkai oleh kebijakan
pembangunan sosial karena ujung dari kemajuan teknologi diperuntukkan bagi
kesejahteraan ummat.
DAFTAR PUSTAKA
Bowyer Kevin W.,1996, Ethics and Computing – Living Responsibly in a
Computerized World, Los Alamitos, California : IEEE Computer Society Press
106662 Los Vaqueros Circle
Baumer David and J.C. Poindexter, 2002, Cyberlaw and E-Commerce, New York: A
Division of The McGraw Hill Companics
Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik-Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Bandung, CV Alfabeta.
Maswig.blospot.com/2005/02/teknologi-informasi-dan-komunikasi-html-108k-
Yulius Haflan. http://ponsgila.wordpress.com/2007/05/11/teknologi, insfrastruktur,
menkominfo,mohamad nuh, konvergensi, gyber crime.