bahan ujian pajak lanjutan

Upload: dianoktafiani

Post on 06-Mar-2016

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JAKARTA. Bukan main. Potensi kehilangan (potential lost) penerimaan pajak akibat praktik transfer pricing yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia selama 2009 lalu mungkin mencapai Rp 1.300 triliun.Jika perkiraan itu tepat, ini sungguh keterlaluan. "Angka Rp 1.300 triliun itu signifikan karena setara dengan 60% total transaksi yang mencapai Rp 2.100 triliun," kata Pengamat Perpajakan Narliswandi Piliang dalam seminar dengan tajuk Reformasi Perpajakan kemarin (29/6).

Narliswandi menyatakan, angka tersebut berasal dari Seksi Transfer Pricing Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang diolah berdasarkan data milik Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). "Transfer pricing biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional kita untuk meminimalkan nilai pajak yang dibayar melalui rekayasa harga," ungkap dia.

Transfer pricing adalah trik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan lewat cara bertransaksi dengan perusahaan afiliasi di luar negeri memakai harga yang tak wajar. Akibatnya, perusahaan tampak rugi atau untung tipis dan akhirnya membayar pajak penghasilan (PPh) nilai lebih kecil dari seharusnya atau membayar PPH sama sekali.

Narliswandi kecewa pada Ditjen Pajak yang hanya menempatkan 12 orang untuk mengendus praktik transfer pricing. "Itu pun tak semua paham," ujar dia. Ia menambahkan, Ditjen Pajak baru membentuk Seksi Transfer Pricing pada 2007 lalu, setelah banyak perusahaan yang mengaku rugi.

Indonesia semestinya bisa meniru Singapura yang lebih tegas menangani transfer pricing. Negeri Merlion itu mengharuskan penanam modal asing yang tak untung dalam lima tahun untuk angkat kaki dari bumi Singapura.

Ketua Komite Pengawas Perpajakan (KPP) Anwar Suprijadi menuturkan, transfer pricing memang berpotensi terhadap kemungkinan penyalahgunaan pajak. Namun, untuk mengendus praktik tersebut tidak mudah, perlu keahlian khusus. "Sebetulnya, keahliannya sudah ada tinggal memanfaatkan dan keseriusan untuk menangani saja," ujar dia.

Menurut Anwar, perlu ada langkah nyata dari Ditjen Pajak untuk menangani praktik transfer pricing, termasuk menjalin kerjasama dengan negara lain. "Seperti yang digagas dalam G-20 (Kelompok 20)," kata Anwar.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan direktoratnya sudah menyiapkan sumber daya di bidang transfer pricing sebanyak 1.015 orang yang tersebar di kantor-kantor pajak di seluruh Indonesia. Plus, menempatkan 15 intelijen di luar negeri.

Transfer pricing adalah istilah yang popular dan lazim dalam dunia bisnis, namun dalam dunia pajak, istilah transfer pricing seperti tuyul, dia diyakini ada, bisa dirasakan kehadiran dan efeknya, namun tidak mudah untuk menemukan wujudnya dan membuktikannya. Lalu seperti apa sebenarnya transfer pricing itu? Menurut kamus ensiklopedia Wikipedia, transfer pricing refers to the pricing of contributions (assets, tangible and intangible, services, and funds) transferred within an organization. Sehingga dapat diartikan bahwa transfer pricing adalah suatu penetapan harga jual khusus dalam satu perusahaan atau grup perusahaan yang dipakai dalam pertukaran antar divisi atau anggota grup perusahaan, dengan tujuan untuk mencatat pendapatan di divisi atau perusahaan penjual dan biaya di divisi atau perusahaan pembeli. Tujuan utama dari transfer pricing sesungguhnya adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan, namun dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan perusahaan menjadi perusahaan multinasional, maka lazimnya suatu perusahaan akan mencari cara untuk meningkatkan laba atau setidaknya efisiensi dalam pengeluaran, dengan maksud itu banyak perusahaan multinasional yang melakukan praktek transfer pricing. Transfer pricing dalam lingkungan perusahaan multinasional dilakukan dengan cara melakukan transaksi antar anggota grup perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa. Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional yang bersangkutan dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan di negara tertentu akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut tentu akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara tersebut. Di Indonesia, untuk mengantisipasi dan mengurangi praktek transfer pricing ini, ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung kembali penghasilan atau laba fiskal dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara perusahaan yang merupakan Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha. Jika ada Wajib Pajak yang terbukti dengan sengaja menyatakan rugi padahal tidak, maka akan dikenakan sanksi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan juga dimungkinkan untuk membuat perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Perjanjian ini lazim disebut Advance Pricing Agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas transfer pricing untuk tujuan penghitungan objek pajak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah penertiban terhadap tax heaven secara internasional. Tax heaven pada dasarnya adalah suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak berupa tarif pajak yang rendah kepada Wajib Pajak negara lain agar penghasilan dari Wajib Pajak negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka. Oleh karena itu pemerintah harus menerbitkan aturan mengenai kategori negara mana saja yang dimaksudkan sebagai negara tax heaven. Apabila ada Wajib Pajak yang mengalihkan penghasilannya ke negara yang masuk dalam kategori tax heaven, maka penghasilan yang dialihkan tersebut dapat dikenakan pajak atas dasar tarif yang berlaku berdasarkan ketentuan pajak di Indonesia . Hal lain lagi tentunya adalah dengan meningkatkan kecakapan maupun jumlah petugas auditor pajak. Berbagai kebijakan dan pendekatan yang dilakukan oleh aparat pajak atas dugaan transfer pricing ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan keberatan dari pihak Wajib Pajak yang kemudian berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Pajak. Apabila sengketa tersebut sampai ke meja Hakim Pengadilan Pajak, maka merupakan kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Pasal 76 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menegaskan bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Adapun alat bukti itu dapat berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim. Dengan demikian Majelis Hakim yang memeriksa kasus dugaan transfer pricing dapat meminta kedua belah pihak untuk menunjukkan sedikitnya dua alat bukti otentik yang mendukung alasannya masing-masing. Wajib Pajak dalam hal ini harus dapat membuktikan bahwa harga yang mereka tetapkan adalah harga yang wajar, sebaliknya pihak aparat pajak juga harus dapat menunjukkan bukti bahwa harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak adalah harga yang tidak wajar. Majelis Hakim dapat meminta kedua belah pihak yang bersengketa atau salah satu dari mereka untuk menunjukkan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor dari perusahaan-perusahaan lain yang usahanya sejenis dengan Wajib Pajak. Data pembanding diperlukan untuk mengetahui harga, biaya, dan laba kotor yang wajar. Harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak, biaya dan laba kotornya kemudian dibandingkan dengan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor yang telah sesuai dengan asas kewajaran (arm's length principle), hingga akhirnya berdasarkan hasil penilaian pembuktian tersebut, Majelis Hakim dapat bermusyawarah dan membuat putusan.

Krisis yang terjadi pada beberapa negara Eropa memiliki potensi untuk mempengaruhi penerimaan pajak tahun 2012. Dampak krisis tersebut sudah mulai terasa dengan adanya penurunan ekspor-impor. Penurunan ekspor-impor akan berdampak pada turunnya penerimaan pajak terutama sektor Pajak Penghasilan (PPh) Impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor.Penerimaan pajak semester I-2012 mencapai Rp 387,6 trilyun atau sekitar 45 persen dari target tahun 2012. Capaian tersebut sudah cukup baik mengingat kondisi perekonomian global yang tidak menentu. Untuk itu, pada semester II-2012, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan menggenjot semua sektor guna mencapai target penerimaan pajak yang sudah ditentukan dalam APBN-P 2012 sebesar Rp 885,02 trilyun. Selama ini tren penerimaan pajak pada semester II biasanya lebih tinggi dibandingkan realisasinya pada semester I. Namun demikian untuk tahun 2012, masih harus mewaspadai keadaan ekonomi yang masih belum pulih dari krisis ekonomi global.Kemungkinan terjadinya perlambatan perekonomian Indonesia terkait krisis global di semester II-2012 harus diwaspadai. Oleh karena itu Ditjen Pajak mengambil beberapa langkah pengamanan penerimaan pajak seperti perbaikan sistem PPN, perbaikan sistem teknologi informasi untuk pengawasan terhadap Wajib Pajak serta melakukan sensus pajak untuk menggali potensi penerimaan pajak yang lebih besar lagi.Registrasi Ulang PKPTahapan awal dari perbaikan sistem PPN adalah Ditjen Pajak melaksanakan registrasi ulang pada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dimulai sejak Februari sampai dengan 31 Agustus 2012. Ditjen Pajak merencanakan akan mencabut sekitar 300.000 PKP yang berpotensi menyelewengkan faktur pajak. Selama ini status PKP rawan disalahgunakan oleh pengusaha dengan menerbitkan faktur pajak fiktif. Dengan langkah ini diharapkan dapat mencegah kebocoran penerimaan PPN. Sejauh ini, Ditjen Pajak telahmencabut sekitar 21.805perusahaan yang memiliki status PKP (Sumber:www.pajak.go.id). Perusahaan-perusahaan tersebut dicabut status PKP-nya karena selama ini berstatus non-efektif dalam melaporkan pajaknya.Sensus Pajak NasionalSensus Pajak Nasional adalah proses pengumpulan data Wajib Pajak untuk penggalian potensi perpajakan. SPN dilaksanakan karena sampai saat ini masih sangat banyak orang pribadi dan perusahaan di Indonesia yang belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sensus pajak akan mendata para Wajib Pajak atau objek pajak yang berada di sentra bisnis,high rise building, perumahan dan ditambah dengan objek pajak potensial. Tahun 2012, SPN dilaksanakan mulai 1 Mei 2012 hingga 31 oktober 2012. Ditjen Pajak menargetkan 2 juta Wajib Pajak bisa terdata dalam sensus pajak tahun ini atau meningkat dari target 2011 yaitu sebesar 900 ribu Wajib Pajak.Kebijakan LainnyaSelain kebijakan-kebijakan perpajakan yang ditujukan untuk mendongkrak penerimaan pajak, Pemerintah juga membuat kebijakan-kebijakan perpajakan yang memberikan keringanan perpajakan bagi masyarakat. Kebijakan itu antara lain rencanakenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak(PTKP), penetapansumbangan umat Hindusebagai pengurang pajak, dan pembebasan PPN untukrumah murah.Pemerintah di tahun 2012 merencanakan kenaikan PTKP dari Rp 15,8 juta menjadi Rp 24 juta per tahun. Dengan kata lain, masyarakat penghasilan hingga Rp 2 juta per bulan tidak akan dipungut pajak. Kenaikan PTKP ini diharapkan akan membantu meringankan beban masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kenaikan PTKP juga diharapkan dalam jangka panjang akan meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini karena peningkatan PTKP itu akan memberikan insentif bagi masyarakat kecil, baik untuk pengembangan usaha baru, maupun ke arah konsumsi.Pada bulan Juni 2012, Pemerintah telah menetapkan sumbangan wajib umat Hindu yang disumbangkan lewat Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dengan begitu, sumbangan tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Sebelumnya pada tahun 2011, Pemerintah juga telah menetapkan 20 Badan/Lembaga penerima zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.Pemerintah juga merencanakan membebaskan pengenaan PPN untuk rumah murah senilai Rp 90 juta sampai Rp 145 juta. Untuk harga rumah Rp 90 juta berlaku untuk rumah di Jabodetabek termasuk daerah lainnya dan rumah Rp 145 juta khusus di Papua. Dengan kebijakan ini diharapkan membantu masyarakat kelas bawah yang akan membeli rumah murah.Dengan berbagai kebijakan di atas, Ditjen Pajak memiliki tekad kuat untuk mengamankan target penerimaan pajak tahun 2012. Mari kita dukung upaya ini dengan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. Bangga bayar pajak !

KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAKMekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:1. Membayar sendiri pajak yang terutang:a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu: Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :Lapisan Penghasilan Kena PajakTarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,-5%

di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,-15%

di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,-25%

di atas Rp 500.000.000,-30%

b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).Pihak lain disini adalah: Pemberi penghasilan; Pemberi kerja; atau Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2). Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya. Pembayaran Pajak-pajak lainnya: Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,- Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-.2. Pemotongan / Pemungutan PajakSelain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah: Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah; Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang; Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif; Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul; Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewahWajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.PENAGIHAN PAJAKWajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.

Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak. Besarnya tarif dalam undang-undang pajak tidak selalu ditentukan secara nilai persentase tetapi bisa dengan nilai nominal, seperti diuraikan di bawah ini.

Kneclitle dalam bukunya Basic Problems in International Fiscal Law (1979) membagi pengertian pajak berganda secara luas dan sempit.

Pengertian secara luas :pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat benganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiscal (subyek dan / atau obyek pajak).Pengertian secara sempit :pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau obyek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama.

Pajak berganda dalam arti luas, sesuai dengan Negara (yuridiksi) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :1. Internal (domestic)2. Internasional

Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu Negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik)

Beberapa Unsur Pajak Berganda InternasionalApabila pemajakan berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestic dari tiap Negara) maka terdapat pajakberganda internasional.

Secara teoritis dan normative, istilah pajak berganda internasional (PBI) meliputi beberapa unsur :1. Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa criteria identitas2. Identitas subyek pajak (wajib pajak yang sama)3. Identitas obyek pajak (obyek yang sama )4. Identitas masa pajak5. Identitas (atau kesamaan ) pajak

Selaras dengan unsure-unsur tersebut, maka pajakberganda internasional dapat terjadi apabila beberapa Negara mengenakan pajak yang sama (sejens atau setara) terhadap satu wajib pajak atas obyek pajak yang saa untuk masa pajak yang sama pula.

Beberapa Tipe Pajak Berganda InternasionalMenurut Knechtle, ada beberapa tipe PBI :1. Faktual dan potensial2. Yurisis dan ekonomis3. Langsung dan tak langsung

Sebagaimana diketahui bahwa PBI timbul karena adanya benturan (over lapping) klaim pemajakan oleh beberapa administrasi pajaksesuai dengan yurisdiksi pemajakan yang mereka miliki. Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh beberapa Negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI factual. PBI tersebut menyebabkan membesarnya beban pajak yang ditanggung oleh WP apabila dibandingkan dengan beban yang harus ditanggung seandainya pemajakan hanya dilaksanakan oleh satu Negara saja. Namun apabila dari kedua atau lebih Negara pemegang klaim pajak, hanya satu Negara saja yang melaksanakan klaim pemajakan tersebut maka akan terjadi apa yang disebut PBI potensial. Berbeda dengan PBI factual, PBI ini tidak akan menimbulkan membesarnya beban pajak karena pemajakan hanya dilaksanakan oleh satu Negara saja.

Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan/modal yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subyek) yang sama olehlebih dari satu negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikanakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun obyek) yang sama (oleh lebih dari satu Negara).

Apabila dua tau lebih ketentuan pajak dengan struktur yang sama atau berbeda atas satu fenomena pajak yang sama pada satu wajib pajak yang sama menimbulkan PBI langsung. Sedangkan PBI langsung terjadi dari pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI ekonomis)

Dampak Pajak Berganda

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumberdaya (kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua Negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Oleh karena itu tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antanegara untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.

PENYEBAB PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

PBI muncul apabila terdapat benturan yusdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (Negara) maupun pemerintah daerah (propinsi, kota, kabupaten). Degan demikian, benturan yuridiksi pamajakan dalam format internasional (overlaaping of tax jurisdiction in the international sphere) menyebabkan PBI.

Beberapa Bentuk Pajak Berganda Internasional

a. Pajak Penjualan

Eliminasi PBI dalam prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tariff pajak 0% (dengan pengembalian) pada Negara pengekspor dan pengenaan pajak dengan tariff normal oleh Negara pengimpor. Dengan demikian tampak seolah-olah Negara pengekspor mengeliminasi hak pemajakannya (dengan memberlakukan tariff o% dan restitusi atas pajak yang telah dibayar) dan mempersilahkan Negara pengimpor untuk mengenakan pajaksesuai dengan ketentuan domestiknya. Mekanisme ini sering disebut pendekatan penyesuaian lintas batas.

b. Pajak Penghasilan

Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim :1. Sesama pemajakan tak terbatas2. Pemajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas3. Sesame pemajakan terbatas.

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

a. Beberapa Pendekatan

Menyadari bahwa tambahan beban pajak yang dapat menjurus ke over taxation berpotensi menghambat mobilitas dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumberdaya, barang dan jasa serta ekonomi global, maka dunia perpajakan internasional mencoba melakukan beberapa pendekatan untuk memperingan atau mengeliminasi PIB. Beberapa pendekatan, al. :1. Unilateral (sepihak)2. Bilateral (anta dua Negara)3. Multilateral (beberapa Negara secara serempak)

Unilateral : setiap Negara yang mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima WPDNnya ialah dengan mencantumkan ketentuan penghindaran PBI dalam undang-undang domestiknya. Contoh : dengan memberlakukan pemajakan territorial (membebaskan pemajakan atas penghasilan luar negeri), atau memajaki penghasilan luar negeri dari WPDN pada umumnya memberikan keringanan atas pajak dimaksud.

Bilateral : kedua Negara terkait memberikan keringanan PBI berdasarkan kesepakatan (persetujuan) antara kedua Negara pemegang yurisdiksi pemajakan. Kesepakatan tersebut pada umumnya dirumuskan dalam bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang ditandatangani oleh pemerintah kedua Negara.

Multilateral : melibatkan lebih dari dua Negara.Secara regional, Negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-sama.

Metode Penghitungan Penghindaan Pajak Berganda

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI :1. Pembebasan/pengecualian (exemtion)2. Kredit (tax credit)3. Metode lainnya

Contoh Ad.1.Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200, berapakah pajak terutangnya ?Penghasilan domestic 200Penghasilan 100Penghasilan global 300Pajak terutang (300x25%) 75Eksemsi pajak100 x 75 = 25300Pajak kurang bayar 50

Kalau, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar %), maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :Penghasilan domestic 200Kerugian luar negeri ( 50)Penghasilan global 150Pajak terutang/kurang bayar :25% x 150 = 37,50

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150, di samping laba domestic 250, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :Penghasilan domestic 250Penghasilan 150Penghasilan global 400Pajak terutang (400x25%) 100Eksemsi pajakPenghasilan luar negeri 150Perhitungan rugi laba th lalu 50Basis penghitungan eksemsi 100Eksemsi pajak100 x 100 = 25400Pajak harus dibayar 75

Macam-macam Tarif:a. Progresif (meningkat)b. Degresif (menurun)c. Proporsional (sebanding)d. Tetape. Advaloremf. Spesifik

1. TARIF PROGRESIFAdalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.Contoh:Untuk penghasilan s/d Rp. 25.000.000 5%Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000 10%Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 100.000.000 15%Di atas Rp. 100.000.000 s/d Rp. 200.000.000 25%Di atas Rp. 200.000.000 35%

2. TARIF DEGRESIFAdalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.Contoh:Untuk penghasilan s/d Rp. 10.000.000 30%Di atas Rp. 10.000.000 s/d Rp. 50.000.000 25%Di atas Rp. 50.000.000 15%3. TARIF PROPORSIONALAdalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).Contoh:a. Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10%Jumlah Penjualan TarifRp. 500.000,- 10%Rp. 1.000.000,- 10%Rp. 5.000.000,- 10%Rp. 10.000.000,- 10%

b. Untuk PBB mengunakan tarif 0.5%c. Untuk BPHTB menggunakan tarif 5%

4. TARIF TETAPAdalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.Contoh:Tarif Bea Meterai

5. TARIF ADVALOREMAdalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.Contoh:Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dengan besaran tarif menggunakan prosentase

6. TARIF SPESIFIKAdalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.Contoh:Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dengan besaran tarif menggunakan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.UTANG PAJAKTerdapat dua pendapat mengenai timbulnya utang pajak, yaitu:1. Ajaran Material: menyatakan bahwa utang pajak timbul pada saat diundangkannya undang-undang pajak.2. Ajaran Formal: menyatakan bahwa utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya SKP oleh pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus), bahwa seseorang baru diketahui mempepunyai utang pajak saat fiskus menerbitkan surat ketetapan pajak atas namanya serta besarnya pajak yang terutang.

baca selengkapnya

HAPUSNYA HUTANG PAJAK1. PembayaranHanya dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk lain2. KompensasiSuatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara pemindahan kelebihan pajak pada suatu jenis pajak (pada tahun yang sama atau tahun yang berbeda) dengan menutup kekurangan utang pajak atas jenis pajak yang sama atau jenis pajak lainnya (juga pada tahun yang sama atau tahun yang berbeda).3. DaluwarsaMerupakan suatu cara untuk menghapus utang pajak karena lampaunya waktu yaitu setelah 10 tahun.4. Penghapusana. WP meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan b. Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari PEMDA setempat.c. Sebab lain, misalnya WP tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam dan sebagainya.

Ketika pemerintah akan melaksanakan pembangunan tentudibutuhkan dana yang salah satunya berasal dari pajak. Pajakmerupakan kontribusi wajib yang harus dibayar oleh seluruhWajib Pajak tanpa mendapat imbalan secara langsung yang akandigunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.Setiap tahun, Wajib Pajak wajib menghitung dan melaporkan besarnyapajak yang harus dibayar melalui sarana atau formulir yang disebut SuratPemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). Sedangkan sarana untuk menyetorpajak ke bank atau kantor pos digunakan formulir yang disebut Surat SetoranPajak (SSP).Saat ini diketahui sedikit sekali Wajib Pajak yang telah menyampaikan SPTTahunan ke Kantor Pelayanan Pajak. Dari puluhan juta orang Indonesia yangberpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), hanya 8,5 jutayang melaporkan SPT-nya untuk tahun pajak 2010. Begitu pun dengan badanusaha. Dari belasan juta yang terdaftar, hanya 466 ribu yang baru melaporkanSPT atau membayar pajaknya.Menyadari masih sedikitnya jumlah pembayar pajak, maka pemerintahakan melaksanakan kegiatan yang dinamakan Sensus Pajak Nasional. Dengankegiatan ini diharapkan semua orang atau badan yang belum melaksanakankewajiban membayar pajak dengan benar, dapat melaksanakannya sesuaikondisi atau potensi yang sebenarnya.Sensus Pajak pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan. Sungguh tidakadil apabila ada sebagian masyarakat yang telah membayar pajak tapi masihbanyak lagi yang belum membayar pajak. Masyarakat haruslah memiliki rasabangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak.Melalui Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkanseluruh masyarakat bisa mewujudkan rasa bangga bayar pajak. Mari kitasukseskan Sensus Pajak Nasional. Ayo Peduli Pajak !Sekilas Sensus Pajak Nasional (SPN)SPN adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajibanperpajakan dalam rangka memperluas basis pajak denganmendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) diseluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh DirektoratJenderal Pajak.SPN dilaksanakan dengan tujuan untuk : Perluasan basis pajak Peningkatan penerimaan pajak Peningkatan jumlah penerimaan SPT Tahunan PPh Pemutakhiran data WPDalam SPN dilakukan : Pendataan Pemilikan NPWP Konsultasi Perpajakan Sosialisasi Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Pengawasan Kepatuhan Kewajiban Wajib PajakOleh karena itu diharapkan masyarakat dapat mendukung program SPN ini, dengan berpartisipasi menyampaikan data dan informasi melalui pengisian Formulir Isian Sensus (FIS). Setiap orang pribadi dan badan usaha yang disensus wajib memberikan keterangan yang benar.Dasar Hukum SPNDasar hukum pelaksanaan SPN adalah sebagai berikut:1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubahterakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Sensus Pajak Nasional.Latar Belakang SPNRoda pembangunan nasional dapat terus bergerak dan perekonomian negara dapat terus tumbuh karena adanya penerimaan negara. Semakin besar penerimaan negara tentu akan semakin banyak fasilitas publik yang dapat disediakan pemerintah. Penerimaan negara dapat ditingkatkan jika ada perluasan basis pajak. Perluasan basis pajak tersebut dapat diwujudkan jika terdapat data yang akurat mengenai potensi pajak. Itulah mengapa SPN sangat diperlukan agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terwujud melalui pengunaan uang pajak.Manfaat SPNManfaat SPN adalah :1. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional2. Mewujudkan keadilan peran serta subyek pajak dalam pembiayaan pembangunan nasional3. Mengurangi ketergantungan pembiayaan dari pinjaman asing4. Mewujudkan pembangunan nasional yang lebih baik5. Kesejahteraan seluruh masyarakat IndonesiaSasaran SPNSasaran SPN adalah bagi mereka yang :1. Belum ber-NPWP, diberikan NPWP2. Belum bayar pajak, agar membayar pajak3. Belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT4. Memiliki utang pajak, agar melunasinya5. Belum optimal membayar pajak, agar membayar pajak sesuai dengan ketentuanSPN akan dilakukan kepada orang pribadi dan badan usaha yang berada di sentra bisnis, high rise building dan kawasan pemukiman.Pelaksanaan SPN

Berikut tahapan pelaksanaan SPN :1. Petugas berdasarkan Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional (SPN) melakukan koordinasi lapangan dengan pihak ketiga (Pemerintah Daerah, Ketua RW, Ketua RT, pengelola/manajemen gedung perkantoran, perumahan/apartemen, perhimpunan, dan tokoh masyarakat).2. Selanjutnya petugas SPN menemui responden dengan didampingi oleh petugas yang berasal dari lingkungan lokasi sensus.3. Petugas SPN kemudian menunjukkan surat tugas dan identitas.4. Petugas SPN memberikan penjelasan kepada responden terkait dengan SPN.5. Untuk pengisian FIS, Petugas SPN melakukan hal-hal sebagai berikut :a. Meminta kesediaan responden untuk membantu memberikan data dalam pengisian FIS oleh petugas SPN.b. Menyampaikan surat himbauan umum pelaksanaan kewajiban perpajakan (dalam amplop tertutup).6. Setelah selesai mengisi FIS berdasarkan data yang disampaikan oleh responden, petugas SPN mengecek kelengkapan pengisian FIS dan responden diminta untuk menandatangani FIS.7. Selanjutnya Petugas SPN akan menempelkan stiker sensus di tempat yang mudah dilihat.Dokumen yang Digunakan Untuk Melakukan SPNDokumen untuk keperluan pelaksanaan SPN adalah sebagai berikut :1. Surat Pemberitahuan Sensus.2. Formulir Isian Sensus (FIS), yakni formulir yang memuat data-data detil tentang Subyek Sensus, Lokasi Sensus, dan Kondisi Subyek Sensus. Dokumen FIS dibedakan antara FIS Orang Pribadi dan FIS Badan.Mengenali Petugas SPNBerikut cara mengidentifikasi petugas SPN :1. Dapat menunjukkan Surat Tugas2. Mengenakan Tanda Pengenal (Name Tag) petugas SPNJika terdapat keraguan silakan menghubungi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama dimana Anda terdaftar.Objek Pertanyaan Petugas SPNUntuk subyek sensus Orang Pribadi, yang ditanyakan antara lain :1. Status2. Tanggungan3. Sumber penghasilan dan jumlahnya4. Tenaga kerja5. Identitas Obyek PajakUntuk subyek sensus Badan, yang ditanyakan antara lain :1. Identitas Badan2. Penanggung jawab3. Kepemilikan Badan4. Jenis5. Jumlah Karyawan6. Kedudukan Badan7. Identitas Obyek PajakKerahasiaan DataData yang diberikan oleh subyek sensus kepada petugas SPN bersifat rahasia dan merupakan rahasia jabatan bagi seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Karena jabatannya, seluruh pegawai DJP tidak diperkenankan mengungkap data-data Wajib Pajak untuk umum. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2009 (UU KUP).Seluruh data hasil kegiatan SPN akan dimasukkan ke dalam Bank Data DJP sebagai database untuk diolah lebih lanjut. Selanjutnya database perpajakan dilindungi dengan sistem pengaman firewall dan pengaman lainnya. Akses ke dalam database perpajakan selalu dipantau oleh pegawai yang telah terlatih dan berpengalaman untuk melakukan tugas tersebut. Tidak semua pegawai dapat mengakses database perpajakan. Akses hanya diberikan kepada pegawai yang telah mendapatkan otorisasi melalui standard operating procedure (SOP) sesuai dengan kewenangannya.Informasi Terkait SPNUntuk mengolah data hasil SPN, DJP memiliki infrastruktur teknologi Informasi yang memadai baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak. Dari sisi perangkat keras, DJP telah memiliki Data Center (DC) yang berada di Kantor Pusat DJP dan Disaster Recovery Center (DRC) di tempat lain yang saling terintegrasi sehingga ketersediaan sistem informasi dapat terjaga. Setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki minimal tiga server untuk aplikasi lokal, maupun sebagai klien untuk aplikasi terpusat. Untuk menghubungkan antar unit kerja (KPP, Kanwil dan Kantor Pusat), DJP menyewa jaringan dari penyedia jasa jaringan dengan bandwidth berkisar antara 512 Mbps sampai dengan 10 Gbps.Dari sisi perangkat lunak, DJP memiliki tiga sistem utama yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SI DJP), Sistem Perpajakan Modifikasi (SIPMOD) dan Sistem Informasi dan Manajemen Obyek Pajak (SISMIOP). SI DJP merupakan sistem terpusat, yang digunakan untuk melayani KPP di wilayah Jawa dan KPP Madya. Sedangkan untuk melayani KPP diluar wilayah tersebut, DJP menggunakan SIPMOD yang dipasang secara lokal di KPP bersangkutan. Khusus untuk administrasi PBB, DJP menggunakan SISMIOP dan Sistem Informasi Geografis PBB (SIG PBB). Keseluruhan sistem tersebut dibangun dengan menggunakan teknologi perangkat lunak yang biasa digunakan oleh perusahaan atau organisasi yang berskala enterprise.Fasilitas Yang Selama Ini Diberikan kepada Wajib PajakSaat ini, DJP sedang mengkaji peraturan perundang-undangan perpajakan yang lebih sederhana, adil, dan memberikan kepastian hukum, sehingga Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Di samping itu, selama ini kepada Wajib Pajak telah diberikan fasilitas-fasilitas antara lain berupa :Pajak Penghasilan :1. Pengurangan tarif PPh Badan sebesar 50 persen dari tarif umum bagi Wajib Pajak Badan yang mempunyai peredaran bruto sampai dengan Rp 50 milyar.2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) yakni Wajib Pajak Orang Prbadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer melalui tempat kegiatan usaha. Terhadap WP OPPT ditetapkan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75 persen dari peredaran bruto setiap bulan.3. Fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008.Pajak Pertambahan Nilai :1. Penggunaan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan :2. 90 persen dari Pajak Keluaran, bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.3. 80 persen dari Pajak Keluaran, bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran.4. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 milyar :5. 60 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau6. 70 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.Kemudahan yang Dapat Dinikmati Wajib PajakDJP melakukan pengembangan prosedur penerimaan SPT melalui beberapa cara yaitu melalui: (i) Drop Box (sudah dilaksanakan saat ini); (ii) Media internet/e-Filing (dalam tahap pengembangan); (iii) Media telepon/telefiling (dalam tahap pengkajian).Prosedur penyampaian SPT melalui e-Filing (menyampaikan SPT melalui media internet) saat ini sudah ada, namun masih sangat sedikit Wajib Pajak yang menggunakannya dikarenakan prosedur yang ada agak rumit. Untuk itu akan dilakukan perbaikan prosedur yang lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat agar jumlah Wajib Pajak yang dapat memanfaatkannya meningkat. Secara mendasar perubahan penyampaian SPT secara e-Filing adalah sebagai berikut :

Kelebihan penyampaian SPT melalui e-filing tersebut diharapkan akan menarik Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT dengan praktis, dapat dilakukan di rumah atau di tempat bekerja dan tidak perlu mengantre. Dengan berbagai alternatif cara untuk penyampaian SPT, Wajib Pajak akan semakin mudah dalam melakukan kewajiban perpajakan sehingga kepatuhan Wajib Pajak akan semakin meningkat pula.Di samping kemudahan-kemudahan di dalam penyampaian Surat Pemberitahuan, kemudahan-kemudahan lain yang telah dan akan terus ditingkatkan untuk memberi kenyamanan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya adalah Modul Penerimaan Negara (MPN), yaitu memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk dapat langsung membayar kewajiban perpajakannya ke bank persepsi, dan khusus untuk masa PPh Pasal 25, Wajib Pajak tidak perlu melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak .Kemudian ada pula e-Registration, yaitu Sistem Pendaftaran Wajib Pajak secara online adalah sistem aplikasi sebagai bagian dari Sistem Informasi Perpajakan di lingkungan kantor DJP dengan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran Wajib Pajak. Sistem ini terbagi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak secara online dan sistem yang dipergunakan oleh petugas pajak yang berfungsi untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.Selain itu adanya Call Center (Kring Pajak 500200), yaitu pusat layanan untuk memudahkan komunikasi dan interaksi antara Wajib Pajak yang ingin menanyakan hak dan kewajibannya dapat dengan mudah terlayani.Dokumen yang Harus Dipersiapkan untuk Keperluan SPNUntuk subyek sensus Badan, antara lain :1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)2. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), jika subyek sensus Badan adalah PKP3. Akte Pendirian4. Nomor Pelanggan PLN5. SPPT PBB6. KTP/Paspor/KITAS Penanggung jawab/PengurusUntuk subyek sensus Orang Pribadi, antara lain :1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)2. Surat Pengukuhan PKP, jika subyek sensus Orang Pribadi adalah PKP 3. KTP/Paspor/KITAS4. Nomor Pelanggan PLN5. SPPT PBBPenutupDengan adanya program SPN kiranya seluruh masyarakat dapat memberikan dukungan agarpelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan lancar. AYO PEDULI PAJAK! Informasi Lebih LanjutApabila Wajib Pajak masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang pelaksanaan SPN, dapat mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau menghubungi Kring Pajak 500200. Informasi perpajakan juga dapat diperoleh dengan mengunjungi situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id.Harap diingat : Semua Kegiatan Sensus Pajak Nasional (SPN) tidak dipungut biaya.