bahan p3 jefri

9
I. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel- sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T. Insidensi LLA 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA: radiasi ionik, paparan dengan benzene kadar tinggi, merokok, obat kemoterapi, infeksi EBV, pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya “gugus” (clone) abnormal.

Upload: jefri-kurniawan

Post on 24-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

I. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUTLeukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T.Insidensi LLA 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan.Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA: radiasi ionik, paparan dengan benzene kadar tinggi, merokok, obat kemoterapi, infeksi EBV, pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich.Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus (clone) abnormal.Akibat terbentuknya populasi leukemia yang makin lama makin banyak akan menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ.

1.1 Patofisiologi gejala pada LLA

1.2 Klasifikasi LLA 1) Klasifikasi Imunologia) Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (70%): common ALL (50%), null ALL, pre-B ALLb) T-ALL (25%)c) B-ALL (5%)2) Klasifikasi Morfologi FABa) L1: sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas.b) L2: sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah.c) L3: sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik. Kliegman (2007) memberikan bagan untuk diagnosis LLA, yaitu sebagai berikut.

1.3 Gambaran Laboratorium1) Hitung Darah Lengkap. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3).Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%.2) Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang. Pemeriksaan ini penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi.Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik, dan imunofenotip. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, >90% sel berinti pada LLA dewasa.3) Sitokimia. Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase memberikan hasil negatif. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL.Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid schiff (PAS).4) Imunofenotip. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:a) untuk sel prekursor B: CD10, Cd19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.b) untuk sel T: Cd1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8, dan TdT c) untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22 5) SitogenetikAnalisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostic.6) Biologi MolekulerTeknik ini dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) dan yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.7) Pemeriksaan LainnyaParameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata jarang terjadi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan SSP adalah ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.1.4 Penanganan LLA 1) Induksi remisi Dilakukan dengan pemberian sitostatika. Tujuannya adalah untuk memusnahkan semua atau sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi.Berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason, vinkristin, L-asparaginase, dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal. Remisi berhasil bila:a) Secara klinis penderita membaikb) Keadaan hematologis kembali normalc) Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan keadaan normoseluler dengan sel blas < 5%.2) Konsolidasi atau intensifikasi Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia pada SSP. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Jika tidak dilanjutkan denngan konsolidasi atau intensifikasi, pasien dapat mengalami relaps. Tujuannya adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem cell) leukemia.Obat yang dipakai adalah sitadarabin, metotreksat dosis tinggi dengan leukovorin, asparaginase siklofosfamid, epipodofillotoksin, merkaptopurin, tioguanin, vinkristin, glukokortikoid, doksorubisin.3) Pengobatan sistem saraf pusat Dalam hal ini yang diutamakan adalah pada pencegahan.Namun, apabila sistem saraf pusat telah terlibat, maka pengobatan yang digunakan adalah pengobatan intrateksi, obat sistemik dengan dosis tinggi atau sedang, radiasi kraniospinal. Pemberian melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2). Di beberapa pasien resiko tinggi dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi kranial (18-24 Gy) di samping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.4) Penanganan suportif Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotika, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial.

1.5 KomplikasiA. InfeksiKomplikasi ini yang sering ditemukan dalam terapi kanker masa anak-anak adalah infeksi berat sebagai akibat sekunder karena neutropenia. Anak paling rentan terhadap infeksi berat selama tiga fase penyakit berikut:1. Padasaat diagnosis ditegakkan dan saat relaps (kambuh) ketika proses leukemia telah menggantikan leukosit normal.2. Selama terapi imunosupresi3. Sesudah pelaksanaan terapi antibiotik yang lama sehingga mempredisposisi pertumbuhan mikroorganisme yang resisten.Walau demikian , penggunaan faktor yang menstimulasi-koloni granulosit telah mengurangi insidensi dan durasi infeksi pada anak-anak yang mendapat terapi kanker. Pertahanan pertama melawan infeksi adalah pencegahan.B. PerdarahanSebelum penggunaan terapi transfuse trombosit, perdarahan merupakan penyebab kematian yang utama pada pasien leukemia. Kini sebagaian besar episode perdarahan dapat dicegah atau dikendalikan dengan pemberian konsentrat trombosit atau plasma kaya trombosit.Karena infeksi meningkat kecenderungan perdarahan dan karena lokasi perdarahan lebih mudah terinfeksi, maka tindakan pungsi kulit sedapat mungkin harus dihindari. Jika harus dilakukan penusukan jari tangan, pungsi vena dan penyuntikan IM dan aspirasi sumsum tulang, prosedur pelaksanaannya harus menggunakan teknik aseptic, dan lakukan pemantauan kontinu untuk mendeteksi perdarahan.Umumnya transfusi trombosit hanya dilakukan pada episode perdarahan aktif yang tidak bereaksi terhadap terapi lokal dan yang terjadi selama terapi induksi atau relaps. Epistaksis dan perdarahan gusi merupakan kejadian yang paling sering ditemukan.C. AnemiaPada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total sumsum tulang oleh sel-sel leukemia. Selama terapi induksi, transfusi darah mungkin diperlukan. Tindakan kewaspadaan yang biasa dilakukan dalam perawatan anak yang menderita anemia harus dilaksanakan.

SUMBER :1. Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Leukemia Akut; Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak 2010 : 236 3251. Kurnianda J. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2.Edisi 4.FKUI: Jakarta 2007..Hlm:706-09.