bagian kesatu naskah akademik rancangan … · harus didasarkan dalam mekanismenya yang efektif dan...

84
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA -------- BAGIAN KESATU NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH PPUU, 2013

Upload: phamkiet

Post on 16-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

--------

BAGIAN KESATU

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

PPUU, 2013

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara

Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat

yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan perlu diwujudkan lembaga

permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan

lembaga perwakilan daerah.

Keberadaan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah diatur

dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Kewenangan DPD

sebagai lembaga perwakilan daerah diatur dalam Pasal 22D

UUD 1945. Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 menentukan:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah.”

Dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 selanjutnya ditentukan:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”

Selain kewenangan di bidang legislatif yang dikemukakan

diatas, DPD memiliki kewenangan di bidang pengawasan.

Kewenangan DPD di bidang pengawasan diatur dalam Pasal

22D ayat (3) UUD 1945 yang menentukan:

2

“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan

atas pelaksaanan undang-undang mengenai: otonomi

daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan

daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

anggaran dan pendapatan dan belanja negara, pajak,

pendidikan, dan agama serta menyanpaikan hasil

pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”

Akar masalah DPD selama ini adalah kewenangannya yang

lemah sebagai sebuah lembaga representasi Daerah.

Permasalahan menjadi kompleks karena Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD sehingga

DPD tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga

perwakilan secara maksimal. Tidak mengherankan, bila bicara

tentang relasi DPR dan DPD, tidak akan lepas dari

permasalahan kewenangan DPD yang lemah dibandingkan

DPR.

Keberadaan DPD adalah untuk mewakili kepentingan rakyat

dalam konteks kedaerahan dan dengan orientasi kepentingan

daerah. 1 Menurut Sri Soemantri DPD merupakan lembaga

negara yang anggotanya mewakili rakyat di masing-masing

provinsi.

Jika melihat pada susunan dan kedudukan DPD sebagimana

diatur dalam UUD 1945, kedudukan DPD tidak sejajar dengan

DPR. DPD tidak sepenuhnya memegang kekuasaan legislasi,

pengawasan, dan anggaran sebagaimana yang dimiliki oleh

DPR sebagai lembaga legislatif atau parlemen.

Konstruksi susunan parlemen jika dikaitkan dengan MPR

menimbulkan pertanyaan apakah dapat dikatakan bahwa

kekuasaan legislatif yang diwakili oleh MPR sama halnya

dengan kongres di Amerika Serikat? Atau justru MPR, DPR,

1 Jimly Asshidiqie “Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar.”makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan National Democratic Institute,” Medan, 2 Juni 2012

3

DPD merupakan lembaga-lembaga perwakilan yang berdiri

sendiri sehingga konsttuksinya menjadi 3 kamar (trikameral).2

Berdasarkan norma Pasal 22D UUD 1945 dan ditambah

dengan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock (2005)

memberikan penilaian menarik. Bagi peneliti Australian

National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak

lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem

bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan

kewenagan yang amat terbatas dan legitimacy tinggi (represents

the odd combination of limited powers and high legitimacy).

Kombinasi ini, tambah Sherlock, merupakan contoh yang tidak

lazim dalam praktik sistem bikameral manapun di dunia.3

Kondisi yang demikian mendorong DPD untuk mengajukan

permohonan uji materi ke MK terkait dengan norma-norma

dalam UU Nomor 27 Tahuh 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pementukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang

terkait dengan fungsi legislasi DPD.

MK pun menafsirkan konstitusi mengenai kedudukan dan

kewenangan konstitusional DPD dalam fungsi legislasi.

Pertama, DPD berposisi sama dengan DPR dan Presiden dalam

mengajukan RUU berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Menempatkan RUU dari DPD

sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas Badan legislasi

DPR, dan menjadi RUU dari DPR, mereduksi kewenangan DPD

mengajukan RUU.

Kedua, DPD sebagai lembaga negara berhak dan/atau memiliki

wewenang yang sama dengan DPR dan Presiden dalam

membahas RUU terkait daerah. Menurut MK, DPD berhak

ikut membahas RUU berkaitan daerah, bersama DPR dan

presiden. pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak

memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia

khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar

2 Muhammad Ali Syafa’at,”Parlemen Bikameral Studi Perbandingan di Argentina, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia”, UB Press, 2010, hlm.5.

3Ibid

4

musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar inventaris

Masalah (DiM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai

tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD

menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam

rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap

persetujuan.

Ketiga, terkait apakah DPD berwenang menyetujui RUU,MK

menegaskan konstitusi menentukan jelas bahwa DPD hanya

berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah,

tidak ikut serta pada pemberian persetujuan akhir yang

lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan

Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan

memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang

membahas RUU pada Tingkat II tetapi tidak memiliki hak

memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan.

persetujuan terhadap RUU untuk menjadi UU, menurut

konstitusi hanya DPR dan Presiden.

Kempat, penyusunan prolegnas sebagai instrumen

perencanaan program pembentukan UU merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan

untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Apabila DPD tidak

terlibat atau tidak ikut serta menentukan prolegnas, maka

sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya

untuk mengajukan RUU. Undang-Undang yang tidak

melibatkan DPD dalam penyusunan prolegnas telah mereduksi

kewenangan DPD.

Kelima, memberikan pertimbangan tidak sama dengan bobot

kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD

namun memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam

pembahasan. Merupakan kewenangan DPR dan Presiden

untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD

sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah adanya

kewajiban dari DPR dan presiden untuk meminta pertimbangan

DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama.

Dengan putusan ini, segala bentuk reduksi kewenangan DPD,

baik dalam norma maupun praktik, tak dibolehkan lagi.

Umpama DPR masih „menganulir‟ keberadaan DPD, maka DPR

5

dapat digolongkan telah melakukan perbuatan melawan

hukum. Dan demi hukum, produk legislasi terkait yang

dihasilkan dari perbuatan melawan hukum tersebut harus

dinyatakan batal sejak semula (ab initio).

Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam rangka penataan

kelembagaan parlemen Indonesia terutama sekali untuk

mendorong sistem keparlemenan Indonesia ka arah yang lebih

baik perlu peraturan dan penyempurnaan UU MD3. Undang-

Undang tersebut diharapkan dapat meningkatkan peran dan

tanggungjawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga

perwakilan rakyat, dan lenmba perwakilan daerah dalam tugas

dan wewenangnya serta mengembangkan mekanisme check

and balances atar lembaga legislatif dan eksekutif serta

meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota

lembaga permusyawatan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,

lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan

kesejahteraan rakyat.

Selasa, 27 Maret 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) memutus

perkara pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan (UU

P3) terhadap UUD 1945. Dalam putusan Nomor 92/PUU-

X/2012 tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan DPD

selaku pemohon untuk membatalkan beberapa ketentuan

dalam kedua UU yang dinilai mereduksi kewenangan Dewan

perwakilan Daerah (DPD) dalam proses legislasi. putusan

tersebut mencatatkan sejarah baru. bagi DPR, Presiden, dan

DPD dalam proses legislasi.

B. Identifikasi Masalah

1. Putusan MK perkara Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap

pengujian beberapa pasal dalam UU MD3 dan UU P3 pada

dasarnya merupakan bagian dari penataan kehidupan

politik dan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam

rangka pencapaian sistem politik yang demokratis dan

sistem politik yang efektif.

Secara Konstitusional dengan pola legislasi baru yang

ditawarkan oleh Mahkamah konstitusi tidak hanya sebatas

6

menjelaskan fungsi Legislasi DPD, juga mengembalikan

norma pembahasan bersama yang diatur oleh Konstitusi.

Dengan pola tersebut diharapkan hubungan pusat dan

daerah dapat lebih dinamis, kehadiran DPD seharusnya

memberikan solusi terhadap sitem politik yang sentralistik.

UU MD3 (UU Nomor 27 Tahun 2009) masih sangat

diskriminatif terhadap kelembagaan DPD serta pelaksaan

wewenangnya. Padahal ekspetasi masyarakat untuk

berpartisipasi secara luas dan kompetitif melalui DPD

sangat tinggi.

Rangkaian implikasii negatif pengelolaan hubungan

kewenangan pusat dan daerah sangat jelas menghambat

proses otonomisasi. Munculnya konflik kepentingan

didaerah juga menunjukkan kurang memadainya

pengelolaan kewenangan daerah dan antar daerah. Elit

lokal ditingkat provinsi dan kabupaten/kota tak membuat

program saling selaras dan sinergi untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat.

Kondisi tersebut, sebenarnya tidak perlu terjadi bila DPD

sebagai institusi perwakilan daerah dimaksimalkan sebagai

bridgingmaupun sebagai perwakilan daerah. Peran penting

DPD dalam konteks otonomi daerah sangat jelas, yaitu

merepresentasikan aspirasi daerah. Sebagai wakil daerah

DPD tidak hanya ditantang untuk merespon dan

memperbaiki carut marut yang di hadapi daerah tersebut,

tetapi juga harus ikut bertanggung jawab mengatasinya.

DPD harus terus mendorong rasionalisasi hubungan pusat

dan daerah melalui penyempurnaan atau tata ulang sistem

kelembagaan di Indonesia, termasuk menghadapi dilema

dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi yang

sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik.

Keberadaan DPD sebagai vertical balanceseharusnya

dirasionalkansehingga aspirasi masyarakat dan daerah

tidak mandeg. Dalam konteks tersebut,DPD memerlukan

payung hukum untuk memperjelas kedudukannya untuk

melaksanakan fungsi dan perannya secara maksimal.

Fungsi representasi DPD dalam rangka mengartikulasi dan

melakukanagregasi kepentingan masyrakat dan daerah

harus dirinci dalam undang-undang.

7

Fungsi legislasi DPD yang telah dikembalikan oleh MK

harus didasarkan dalam mekanismenya yang efektif dan

efisien untuk mendukung sistem cheks and balancedalam

intra parlemen.

2. Kedudukan DPD pada realitanya tidak jelaskarena hak-hak

dan kewenangan yang sangat terbatas. Demi tegaknya

prinsip checks and balances maka amandemen kembali

konstitusi dalm jangka menengah atau panjang bersifat

mutlak Karena menjadi salah satu fungsi utama bagi

stabilitas dan efektivitas sistem pemerintahan presidensil.

Urgensi prinsip saling mengawasi secara imbang itu

diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam

relasi DPR sebagai reperensi rakyat dan DPD sebagai

reperensi daerah.

DPD harus dipandang sebagai “senat” ataupun “majelis

tinggi” yang juga memiliki kewenangan legislasi. Putusan

MK Nomor 12/PUU-X/2012 menguatkan kedudukan

legislasi DPD dalam sistem perwakilan Indonesia. Dengan

demikian harus dibuat pengaturan dalam UU karena

menyangkut hubungannya antar lembaga negara yang

memungkinkan untuk membuat kejasama dan sinergitas

antar DPR dan DPD.

RUU ini sebagai RUU pergantian dimaksudkan untuk

menempatkan seluruh sistem pemerintahan yang efektif,

dimana Presiden harus didukung oleh bekerjanya suatu

sistem perwakilan yang efektif. Dalam banyak pemikiran

dan teori tentang perancangan konstitusi dan kelembagaan

(constitutional and institutional design) baik yang klasik

maupun kontempoter, parapakar melihat keterkaitan yang

erat antara upaya perubahan sistem politik yang demokrasi

dengan sitem pemerintah dan efektif.

3. Pembentukan RUU ini didasarkan 3 (tiga) pertibangan yaitu

filosofis, sosiologis, dam yuridis.

a. Landasan Filosofis:

Secara filosofis pembentukan UU tentang MPR,DPR, DPD

dan DPRD diwujudkan sebagai upaya pengaktualisasian

nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan

bernegara dan pemerintahan.

8

Kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk

lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan

rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sesungguhnya

adalah cerminan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan

bernegara dan pemerintahan.

Melalui lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan

penyaluran aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan

tata kelola kenegaraan dan pemerintahan diharapkan

dapat berlangsungdengan baik.

b. Landasan Sosiologis:

Terbentuknya UU tentang MD3 pada dasarnya memiliki

makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga

permusyawaratan/perwakilan di Indonesia seharusnya

memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara

maksimal dalam tata pengelolaan negara dan

pemerintahan sebagai sebuah kebutuhan.

Realitas sosial mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan

dan kebutuhan publik senantiasa mengandalkan

pentingnya kehadiran lembaga-lembaga

permusyawaratan dan perwakilan politik dalam

menangani masalah-masalah sosial.

Secara sosiologis, ketidakadilan yang terjadi di

masyarakat justru sering terjadi dalam sistem sosial yang

dikelola tanpa perwakilan politik.

c. Landasan Hukum:

Pembentukan UU tentang MD3 didasarkan pada mandat

konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai dasar

dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan UU

maupun sebagai dasar hukum dasar dalam kaitan

dengan materi muatan UU. Khususnya yang terkait

dengan materi muatan UU, pembentukan UU tentang

MD3 didasarkan pasa pasal-pasal dalam UUD 1945,

khusunya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR,

Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 9

ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C

ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan

DPD, dan Pasal 22E yang menetapkan tentang Pemilu

9

sebagai proses pengisian keanggotaan DPR,DPD, dan

DPRD.

4. Dalam kerangka melakukan identifikasi masalah, naskah

akademik ini menguraikan bebrapa hal sebagai berikut:

a. Sasaran yang akan diwujudkan

1) Pemerintahan yang efektif sebagai aktivitas

pemerintah menjadi responsif.

2) Peningkatan peran DPD sebagai lembaga

perwakilan daerah.

3) Hubungn kerja DPR, DPD yang lebih dinamis dalam

kerangka prinsip check and balance.

4) Akuntabilitas lembaga perwakilan di Indonesia.

b. Ruang lingkup pengaturan jangkauan dan arah

pengaturan.

1) Membangun sistem perwakilan yang konsisten

dengan pilihan sistem Pemerintahan Presidensiil.

- Hubungan kerja yang jelas berdasarkan sebuah

sistem parlemen.

- Mekanisme kerja yang mencerminkan fungsi-

fungsi lembaga perwakilan.

2) Akuntabilitas lembaga perwakilan

Akuntabilitas adalah konsep yang tidak terpisah

dari kelembagaan setiap lembaga perwakilan. DPR

sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPD yang

mewakili wilayah(provinsi)dan para anggota yang

memperoleh mandat tersebut dapat dikatakan

akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,

kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada

kepentingan rakyat selalu memberi mandat.

3) Penyempurnaan sistem perwakilan

- Efektifitas pelaksanaan tugas DPR;

- Efektifitas pelaksanaan tugas DPD;

- Peraturan hubungna kerja DPR-DPD;dan

- Peningkatan efektifitas fungsi MPR.

10

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah

Akademik.

Sesusai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang

dikemukakan diatas, tujuan penyusunan Naskah Akademik

RUU tentang MD3 dirumuskan sebagai berikuk;

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kerangka

sistem perwakilan Indonesia serta cara-caramengatasi

permasalahan tersebut.

2. Merumuskan permsalahan hukum yang dihadapi sebagai

alasan pembentukan RUU tentang MD3 sebagai

penyelesaian atau solusi permasalahan keperluan

Indonesia.

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan RUU tentang MD3.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU

tentang MD3.

D. Metode

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan

suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode

penyusunan Naskah Akademik yang berbasis metode penelitian

hukum penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif

dengan tahapan sebagai berikut:

a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 27 Tahun 2009

tntang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

b. Pengkajian terhadap passl-pasal dalam UU Nomor 27

Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang

dinilai mengandung kelemahan dan/atau bermasalah;

c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang sistem

perwakilan yang ideal;

d. Penyesuaian dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah;dan

e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan

yang baru;

f. Tahapan Penelitian diatas dilengkapi dengan:

11

1) FGD yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada,

Universitas Hasanudin, dan Universitas Andalas pada

tanggal 28 Februari 2013.

2) Rapat dengar pendapat dengan mengundang:

- Zain Badjeber, pada tanggal 8 Mei 2013

- Moh. Fajrul Falaakh, SH., MA., M.Sc pada tanggal 8

Mei 2013

- Indonesian Parliamentary Center, pada tanggal 15 Mei

2013

- Komisi Perempuan Indonesia, pada tanggal 15 Mei

2013

- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, pada

tanggal 15 Mei 2013.

- A. A. G. N Ari Dwipayana S. IP., M. Si, pada tanggal 5

Juni 2013

- Prof. DR. Yuliandri , S.H., MH, pada tanggal 5 Juni

2013

- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pada

tanggal 5 Juni 2013

12

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori pemisahan kekuasaan digunakan untuk mengkaji dan

menganalisa kedudukan lembaga-lembaga negara terutama

kedudukan lembaga perwakilan setelah amandemen UUD

1945.Sebagaimana diketahui bersama dalam konsep utama

sistem politik modern adalah adanya mekanisme saling

kontrol dan mengimbangi antar lembaga negara.Prinsip ini

sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan

mendorong konstitusi untuk mengatur dan

menyeimbangkan lembaga-lembaga negara sesuai dengan

fungsinya.4

Demokrasi modern mengajarkan bahwa sarana artikulasi

dan agregasi paling tepat direpresentasikan melalui

lembaga perwakilan.Oleh sebab itu, kedudukan lembaga

perwakilan ini sangat signifikan dalam sistem politik karena

lembaga inilah yang mempunyai legitimasi dan hubungan

dengan konstituennya.

Legitimasi inilah yang memunculkan kewajiban ganda bagi

lembaga perwakilan, pertama sebagai agen dari

konstituennya dan kedua, secara prinsip melakukan

kontrol terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). 5

Sebagai lembaga negara kedudukan lembaga perwakilan ini

akan selalu berhubungan dengan lembaga lainnya terutama

eksekutif. Hal ini dikarenakan dalam prinsip-prinsip

pemisahan kekusasaan yang pertama kali dikemukakan

oleh John Locke dalam bukunya “Two Trieties of

Government”, dalam buku tersebut Locke membagi

kekuasaan menjadi tiga cabang kekeuasaan yaitu,

kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif),

4 Lihat bagaimana kontruksi Robert A. Dahl mengkontruksikannya dalam

persepsi “demokrasi aktual” yang menjelaskan bahwa dalam demokrasi yang

berskala luas diperlukan lembaga-lembaga negara yang dapat menampung hal

tersebut. Robert A. Dahl, “Perihal Demokrasi”, Yayasan Obor Indonesia, 2001. 5Daniele Cramani, “Comparative Politics”, Oxford University Press, New York, 2008, hlm. 164,

13

kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan

kekuasaan melakukan hubungan internasional dengan

negara lain (federatif). 6 Pemikiran Locke tersebut

dikembangkan lebih lanjut oleh Monsetesquie dalam

bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Law) yang membagi

kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu

kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan

menyelenggarakan undang-undang yang oleh Monstesquie

diutamakan tindakan bidang politik luar negeri (eksekutif),

dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-

undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah

satu sama lain, baik mengenai tugas maupun perlengkapan

(lembaga) yang menyelenggarakannya.7

Apabila membandingkan konsep pembagian kekuasaan

yang dirumuskan oleh John Locke dengan konsep yang

dikembangkan oleh Montesquie, sebenarnya ada perbedaan

mendasar dari ke dua pemikiran tersebut.Locke

memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan

eksekutif sedangkan Monstesquie sangat menekankan

kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan

perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang

pada waktu itu menjadi korban Raja Louis XIV.8 Sementara

pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan

Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di

lembaga legislatif, yaitu House Of Lord.9

Pemikiran kedua tokoh ini secara teoritis merupakan

peletak dasar dari kajian tentang hubungan antarcabang

kekusaan yang menghendaki agar fungsi satu cabang

kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan

yang lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan yang

lain.10

Kritikan terbesar dari konsepsi Trias Politica ini adalah

menyangkut perkembangan politik dan ketatanegaraan

6William Ebenstein. “The Great Political Thinkers, Plato To The Present”, Third

Edition, Holt, Rinehart and Winston, New York, hlm. 406-409. 7 Miriam Budiardjo, “ Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 152. 8 Ahmad Suhelmi,”Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan

Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan”, PT. Gramedia Pustaka Utama,

2004, hlm. 222. 9Ibid, hlm.201. 10Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi..”, op.cit, hlm. 77.

14

sehingga tidak mungkin suatu cabang kekuasaan negara

benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain.

Menyitir pendapat dari John A. Garvey dan T Alexander

Aleinikoff, Saldi Isra 11 mengemukakan bahwa tidak

mungkin pemisahakan kekuasaan negara tersebut

dilakukan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan

negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak

mempunyai hubungan sama sekali.

Dalam konsep negara demokrasi modern, prinsip-prinsip

dan hubungan kerja antar lembaga negara itu tersusun

dalam konstitusinya. Pergulatan demokratisasi di beberapa

negara kerap melahirkan sejumlah transformasi dari

lembaga-lembaga politiknya, sebagai akibat dari pergulatan

dan proses akhir dari konflik-konflik yang telah tercipta.

Adam Przeworski mengungkapkan bahwa demokrasi adalah

sebuah sistem tertentu pemrosesan dan pengakhiran

konflik-konflik antar-kelompok.12

Konsep pemisahan kekuasaan ini dapat digunakan dalam

konteks sistem politik modern adalah adanya mekanisme

saling kontrol dan mengimbangi antar lembaga

negara.Prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi

dengan mendorong konstitusi untuk mengatur dan

menyeimbangkan lembaga-lembaga negara sesuai dengan

fungsinya.

Legitimasi inilah yang memunculkan kewajiban ganda bagi

lembaga perwakilan, pertama sebagai agen dari

konstituennya dan kedua, secara prinsip melakukan

kontrol terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). 13

Konsepsi pembagian kekuasaan tersebut apabila dikaitkan

dengan proses yang terjadi di Indonesia maka kelemahan

proses yang terjadi di Indonesia tidak merumuskan

bagaimana lembaga perwakilan di Indonesia itu dibentuk

dan diberdayakan.

11 Ibid. 12 Adam Przeworski, “Sejumlah Masalah Dalam Studi Transisi Menuju

Demokrasi”, dalam Guilermo O. Donnell (eds), “ Transisi Menuju Demokrasi,

Tinjauan Berbagai Perspektif” terjemahan, LP3ES, 1993, hlm. 89. 13 DanieleCramani, “Comparative Politics”, Oxford University Press, New York, 2008, hlm. 164,

15

Munculnya DPD dapat dipahami karena adanya perubahan

paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan negara

menuju desentralisasi kekuasaan untuk meningkatkan

peranan daerah terhadap proses perumusan, maupun

penentuan kebijakan nasional.

2. Lembaga Perwakilan

Kontruksi teoritis dari lembaga perwakilan diperlukan

untuk mengkaji dan menganalisa bagaimana desain

lembaga perwakilan di Indonesia pasca amademen UUD

1945. Kontruksi teoritis ini juga akan digunakan dalam

kerangka melihat kedudukan DPD dalam sistem politik

Indonesia.

Dalam literatur ilmu politik, ada berbagai istilah untuk

mengidentifikasi lembaga legislatif.Beberapa negara

mengistilahkan sebagai assembly, conggress atau

parlemen.Istilah-istilah tersebut dapat dipergunakan dalam

kerangka mengidentifikasi peran dan kekuasaan lembaga

legislatif tersebut.

Assembly jika didefinisikan secara luas maka merupakan

sekumpulan orang yang berkelompok untuk mencapai

tujuan tertentu.Assembly biasanya untuk penyebutan

majelis rendah.Seperti yang berlaku di beberapa negara

Afrika yaitu Chad, 14 Mesir, 15 dan Guyana. 16 Sistem dari

negara-negara tersebut, terpengaruh dengan sistem yang

ada di Perancis.17

Parlemen (Parliaments) sering menjadi sebutan yang umum

untuk menggambarkan keseluruhan sistem parlementer

dimana eksekutif termasuk di dalamnya dimana

pemerintah ikut bertanggung jawab atas jalannya

pembuatan undang-undang sepanjang masa jabatannya.18

Tipe Conggress adalah tipe “parlemen” yang sering

dgunakan dalam konteks sistem presidensiil yang

menggunakan model pemisahan kekuasaan (separation of

14Sebutan untuk Majelis Rendah di Chad adalah National Assembly. 15Sebutan untuk Majelis Rendah di Mesir adalah People‟s Assembly. 16Sebutan untuk Majelis Rendah di Guyana adalah National Assembly. 17 Daniele Caramani, “Comparative Politics”, Oxford University Press, New York,

2008, hlm. 160-175. 18Ibid, hlm.161.

16

power).Tipe ini sering dipersamakan dengan sistem yang

berlaku di Amerika Serikat.19

Secara umum, meski terdapat empat model yakni

unicameral, bicameral, tricameral dan tetracameral, namun

struktur organisasi lembaga perwakilan rakyat pada

umumnya terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan

rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan

rakyat dua kamar (bicameral). 20 Model trikameral atau

tetrakameral lebih banyak terkait pada masalah penafsiran

bentuk ataupun keterjebakan pada pola representasi.

Praktik unikameral dan bikameral tidak terkait dengan

landasan bernegara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,

atau sistem pemerintahan tertentu.Kedua bentuk itu

merupakan hasil proses panjang praktik ketatanegaraan di

berbagai belahan dunia. Penerapan sistem bikameral,

misalnya, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi,

kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang

bersangkutan. 21 Perbedaan latar belakang sejarah atau

tujuan yang hendak dicapai menjadi salah satu faktor

penting yang mempengaruhi sistem perwakilan rakyat pada

suatu negara.

2.1. Sistem Unikameral

Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar

ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah

seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi

dan Majelis Rendah. Menurut The International

Parliamentary Union mencatat terdapat 115 negara

menggunakan sistem unikameral.22

Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai

untuk memilih satu kamar daripada dua kamar,

seperti masalah keseimbangan kekuatan politik adalah

sangat kecil kesulitannya untuk memecahkannya

daripada dalam suatu negara besar. Di negara-negara

kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang

19 Ibid. 20 Amie Kreppel, “Legislatures” dalam Daniele Caramani (eds), “Comparative

Politics”, Oxford University Press, New York, 2008, hlm. 170-173. 21 Ibid. 22Muchammad Ali Safa‟at, “op.cit, hlm 30.

17

membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-

penundaan dan biaya-biaya, dengan sedikit

kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20,

negara-negara Skandinavia mengganti sistem

bikameral dengan unikameral, misalnya ; Konstitusi

Norwegia, pada awalnya disusun pada tahun 1814,

terdapat contoh tentang parlemen yang mempunyai

karakteristik yang jelas dari parlemen dua kamar.

Parlemen-parlemen unikameral mendominasi sejumlah

negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya

baru-baru ini, dan dengan perkembangan politik dalam

lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di

eropa pada saat pemerintahan parlemen dilahirkan.23

Dahlan Thaib menyampaikan bahwa dalam praktek

ketatanegaraan, sistem unikameral ini mempunyai

kelebihan yaitu,24

1) Kemungkinan untuk dengan lebih cepat

meloloskan undang-undang (karena hanya satu

badan yang diperlukan untuk mengadopsi

Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu

lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-

beda);

2) Tanggung Jawab lebih besar (karena anggota

legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya

apabila suatu undang-undang tidak lolos atau bila

kepentingan warga negara terabaikan);

3) Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah

bagi mayarakat untuk memantau mereka; dan

4) Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar

pajak.

2.2. Sistem Bikameral

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari

lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara

yang terdiri atas dua kamar (majelis).Majelis yang

anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang

23Amie Kreppel, “ Legislatures”, op.cit. 24Muchammad Ali Safa‟at, op.cit. hlm. 31-32.

18

berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut

majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga

sebagai House of Representatives. Majelis yang

anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain

(bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis

kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar

negara disebut sebagai Senate.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai

penolakan terhadap sistem bikameral, adalah efisiensi

dalam proses legislasi; karena harus melalui dua

kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem

bikameral akan menganggu atau menghambat

kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal

memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat

yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti

tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus

dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan

undang-undang. Maka negara-negara yang menganut

sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah

berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara

lain dengan membentuk conference committee untuk

menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis

tersebut.

Dua kamar dari legislatif bikameral cenderung berbeda

dalam beberapa cara. Semula, fungsi yang paling

penting dari second chamber/kamar kedua, atau upper

house/majelis tinggi, memilih dengan dasar dari suatu

hak suara yang terbatas, sebagai rem konservatif

terhadap „lower house‟ yang dipilih secara lebih

demokratis. Menurut Arend Lijphart ada enam

perbedaan antara kamar pertama dan kamar kedua,

tiga hal yang secara khusus penting dalam

membedakan apakah bikameralisme adalah suatu

institusi yang signifikan.Pertama kita membedakannya

dengan melihat tiga perbedaan yang kurangpenting,

yaitu: pertama, kamar kedua cenderung lebih kecil dari

kamar pertama; kedua, masa jabatan legislatiff kedua

cenderung lebih lama daripada kamar pertama; ketiga,

19

ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih

dengan cara pemilihan umum bertahap (staggered

election). Ketiga perbedaan inimempengaruhi

bagaimana dua kamar beberapa legislatif bekerja.

Sebagian, kamar kedua yang lebih kecil dapat

mempengaruhi urusan mereka dalam suatu cara yang

lebih formal dan santai daripada yang biasanya

terdapat pada kamar pertama yang lebih besar. Tetapi,

dengan satu pengecualian disebutkan secara ringkas,

mereka tidak mempengaruhi suatu pertanyaan apakah

suatu negara yang mempunyai parlemen bikameral

adalah suatu institusi yang benar-benar kuat atau

berarti.

Antara parlemen bikameral kuat dan lemah Arend

Lijphart membedakan menjadi tiga ciri-ciri: Pertama,

kekuasaan yang diberikan secara formal oleh

konstitusi terhadap kedua kamar tersebut; kedua,

bagaimana metode seleksi mereka, biasanya

memepengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-

kamar tersebut; ketiga; perbedaan yang krusial antara

dua kamar dalam legislative bicameral adalah kamar

kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang

berbeda juga sebagai perwakilan (overrepresent)

minoritas tertentu/khusus.25Jika dalam kasus ini, dua

kamar berbeda dalam komposisi mereka. Dapat

disebut incongruent, contoh yang paling menyolok

adalah paling banyak kamar kedua dipergunakan

sebagai kamar federal pada suatu federasi.

Perbedaan antara bikameral dan unikameral, antara

bikameral simetris dan asimetris, dan antara bikameral

congruent dan incongruent, dikontruksikan oleh Arend

Lijphart dengan suatu klasifikasi struktur kamar.

Ada 4 katagori pokok: strong, medium–strength, dan

weak bicameralism, dan unicameralism. Strong

bicameralism (bikameralisme kuat) digolongkan

25Lihat lebih lanjut dalam Lijphart, Arend, Democracies Pattern of Majoritarian and ConsensusGovernment in Twenty-One Countries. New Haven and London:

Yale University Press, 1984.

20

simetris dan incongruence. Pada Medium-strength

bicameralisme, satu dari dua elemen tersebut hilang;

katagori ini dibagi dalam dua subklas apakah ciri-ciri

simetris dan incongruence yang hilang, tetapi keduanya

diperingkatkan sama yaitu peringkat medium-strength

bicameralism. Katagori ketiga adalah weak

bicameralism, yang mana kedua kamarnya asimetris

dan congruent. Dan katagori keempat adalah legilatif

unikameral.

Andrew S Ellis26 juga membedakan sistem bikameral

sebagai „kuat‟ atau „lunak‟ oleh digolongkan sebagai

berikut: Dalam sistem yang „kuat‟ pembuatan undang-

undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan

harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam

forum yang sama sebelum bisa disahkan. Dalam

sistem „lunak‟, majelis yang satu memiliki status yang

lebih tinggi dari yang lain. Misalnya, majelis pertama

mungkin dapat mengesampingkan penolakan atau

amandemen RUU yang diajukan oleh majelis kedua.

Hal ini mensyaratkan tingkat dukungan yang lebih

tinggi, seperti mayoritas absolut dari anggota-

anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota

yang hadir dan memberikan. Majelis Kedua, juga bisa

dilarang atau dibatasi secara ketat dalam menolak

atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money

bills). Bila majelis kedua merupakan perwakilan dari

daerah-daerah, kekuatan dari majelis kedua bisa saja,

bervariasi tergantung dari apakah RUU yang

diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-

daerah tersebut. Dan sebuah sesi bersama (joint

session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai

mekanisme untuk menyelesaikan konflik, sehungga

sebagian besar anggota dari majelis kedua memiliki

timbangan/porsi yang lebih besar dalam pengambilan

keputusan akhir. Sistem-sistem bikameral yang ada di

dunia terbagi secara merata antara yang kuat dan

26Ellis, Andrew S., Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa

Pertanyaan, Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Bikameralisme dan

Perubahan Konstitusi di Jakarta, 8 Juni 2001.

21

lunak. Banyak sistem yang kuat ditemukan dalam

sistem presidensiil: Tidak ada sistem presidensiil yang

juga memakai sistem bikameral lunak.

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma

Kedudukan DPD ini terkait dengan status DPD, status DPD

tersebut terbentuk berdasarkan kewenangan tugas, dan hak-

hak DPD. Kewenangan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal

22D UUD 1945 memberikan hak kepada DPD untuk

mengajukan rancangan undang-undang dan ikut membahas

RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan

daerah keapda DPR.

Permasalahannya adalah bagaimana cara DPD mengajukan

rancangan undang-undang kepada DPR dan bagaimana

pembahasan rancangan undang-undang itu dilakukan dan

dalam tahapan mana keikutsertaan DPD dalam pembahasan

rancangan undang-undang?

Kewenangan DPD dalam legislasi diatur dalam Pasal 22D ayat

(1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang ang

berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubugan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran

serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan

daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan

22

Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang

anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan

undang-undang yang berkaitan pajak, pendidikan, dan

agama.

Pasal 22D ayat (1) diatas memberikan hak kepada DPD untuk

mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah,pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, dan perimbangangn keuangan pusat dan

daerah kepada DPR.

Kewenangan DPD tersebut, memberi kesan DPD memiliki

fungsi legislasi namun keterbatasan peran pengajuan RUU

yang berarti DPD tidak dapat mengajukan rancangan undang-

undang selain yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut.

Kewenangan diatas dalam kaitan relasi antarlembaga

perwakilan memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana

mekanisme kerja DPD dan DPR pada waktu DPD mengajukan

rancangan undang-undang kepada DPR?Bagaimana DPR

menindaklanjuti usulan DPD tersebut?

Sebagai lembaga legislatif “kedua” keberadaan DPD penting

dalam menjalankan artikulasi kepentingan perwakilan

ruang.Menurut Anthony Mughan dan Samuel C. Patterson

bahwa suatu upper houses (kamar kedua atau majelis tinggi)

dibutuhkan karena suatu alasan dan penerapan sistem dua

kamar menjadi penting penting dalam pemerintahan yang

demokraris. Karena kepentingan lembaga parlemen

bermacam-macam dan secara potensial meliputi alat

pertimbangan, seperti mempengaruhi pada proses legislasi,

dan sebagai simbol untuk mempertinggi legitimasi demokratis

dengan memeriksa gerakan mayoritas dari pemerintahan

berpartai tunggal. Dan juga senat (kamar kedua atau mejelis

tinggi) cenderung mempunyai pengaruh yang penting dalam

mempertajam output dari kebijakan yang dikeluarkan oleh

legislatif.27

27 Samuel C. Patterson & Anthony Mughan, “Senates: Bicameralism In The Contemporary World”, ; Ohio State University, Ohio,1999, hlm. 342.

23

UUD 1945 juga tidak memberikan wewenang kepada DPD

untuk melakukan tindakan maupun tuntutan tertentu kepada

DPR karena hak veto maupun delay juga tidak dipunyai oleh

DPD sebagaimana praktek di Amerika Serikat maupun di

Inggris.

Problem mendasar tersebut, menyebabkan pada waktu

pembahasan UU MD3, DPD mendesak untuk dilakukan

perubahan mekanisme, paling tidak mekanisme pembahasan

antara DPR dan DPD dapat lebih dirinci.UU MD3 kemudian

merinci mekanisme kerja antara DPR dan DPD dalam kaitan

usul RUU dari DPD.ketika usul RUU dari DPD disampaikan,

maka apa yang selanjutnya dilakukan oleh DPR.

Pasal 146 ayat (1) UU MD3 menegaskan bahwa “Rancangan

undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau

naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara

tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR”.Ketentuan

dalam UU MD3 lebih maju dibandingkan dengan ketentuan

Pasal 42 UU Susduk.Bila dalam UU Susduk tidak dijelaskan

bagaimana mekanisme penyampaian RUU dari DPD kepada

DPR, UU MD3 merumuskan bagaimana mekanisme

penyampaian RUU dari DPD ini kepada DPR.

Pada Pasal selanjutnya, UU MD3 merumuskan mekanisme

lebih lanjut penanganan RUU dari DPD tersebut oleh

DPR.Ketentuan Pasal 147 UU MD3 ini tidak secara bulat

merumuskan bagaimana konstruksi ruang pembahasan dan

ruang interaksi antara DPR dan DPD.Adanya ketentuan DPR

memutuskan usul RUU dari DPD menandakan bahwa dalam

konteks interaksi atara DPR dan DPD.DPD masih dianggap

sebagai bagian dari DPR. Dengan konstruksi konstitusi yang

menyatakan bahwa seluruh hasil kerja DPD harus ke DPR

menandakan bahwa DPD merupakan bagian DPR sehingga

status RUU-nyapun harus “berganti baju” menjadi RUU dari

DPR setelah rapat paripurna DPR melakukan persetujuan?

Seharusnya posisi pengajuan RUU DPD kepada DPR dianggap

sebagai bagian dari legislature process, dimana harus ada

mekanisme internal lembaga legislatif dalam merumuskan

RUU bersama sebelum dilakukan pembahasan dengan

Pemerintah.Usulan DPD awal dengan mengetengahkan

24

adanya DIM bersama sebenarnya merupakan solusi efektif

yang dapat dilakukan sehingga tanpa melukai kedudukan dan

kewenangan dua lembaga ini.Mekanisme internal seperti

adanya conference committe ini penting untuk mendudukkan

kewenangan kedua lembaga dalam bidang legislasi.

Meskipun demikian, apa yang telah dirumuskan oleh UU MD3

telah memberikan arah bagi penanganan RUU dari DPD.

perbedaan antara UU Susduk dengan UU MD3 dalam kaitan

rancangan undang-undang dari DPD dapat dilihat dari tabel

dibawah ini.

UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang

Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk)

UU Nomor 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR,DPD, dan

DPRD (UU MD3)

Pasal 42

(1) DPD dapat mengajukan

kepada DPR rancangan

undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan

daerah,pembentukan dan

pemekaran, dan

penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya

ekonomi lainnya serta

yangberkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat

dan daerah.

(2) DPD mengusulkan

rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) kepada DPR dan DPR

mengundang DPD untuk

membahas sesuai tata tertib

DPR.

(3) Pembahasan rancangan

undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (2)

dilakukan sebelum DPR

membahas rancangan

undang-undang dimaksud

pada ayat (1) dengan

pemerintah.

Pasal 146

(1) Rancangan undang-undang

beserta penjelasan atau

keterangan dan/atau naskah

akademik yang berasal dari DPD

disampaikan secara tertulis oleh

pimpinan DPD kepada pimpinan

DPR.

(2) Penyebarluasan rancangan

undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Sekretariat

Jenderal DPD.

Pasal 147

(1) Pimpinan DPR setelah

menerima rancangan undang-

undang dari DPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 146

25

UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang

Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk)

UU Nomor 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR,DPD, dan

DPRD (UU MD3)

ayat (1) memberitahukan

adanya usul rancangan

undang-undang tersebut

kepada anggota DPR dan

membagikannya kepada

seluruh anggota DPR dalam

rapat paripurna.

(2) DPR memutuskan usul

rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam rapat paripurna

berikutnya, berupa:

a. persetujuan;

b. persetujuan dengan

pengubahan; atau

c. penolakan.

(3) Dalam hal rapat paripurna

memutuskan memberi

persetujuan terhadap usul

rancangan undang-undang

yang berasal dari DPD

sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf a, rancangan

undang-undang tersebut

menjadi rancangan undang-

undang usul dari DPR.

(4) Dalam hal rapat paripurna

memutuskan memberi

persetujuan dengan

pengubahan terhadap usul

rancangan undang-undang

yang berasal dari DPD

sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf b, rancangan

undang-undang tersebut

menjadi rancangan undang-

undang usul dari DPR dan

untuk selanjutnya DPR

menugaskan penyempurnaan

rancangan undang-undang

tersebut kepada komisi,

gabungan komisi, Badan

Legislasi, atau panitia khusus.

(5) Dalam hal rapat paripurna

memutuskan menolak usul

rancangan undang-undang

yang berasal dari DPD

sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf c, pimpinan

26

UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang

Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk)

UU Nomor 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR,DPD, dan

DPRD (UU MD3)

DPR menyampaikan

keputusan mengenai

penolakan tersebut kepada

pimpinan DPD.

(6) Pimpinan DPR menyampaikan

rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) atau rancangan

undang-undang yang telah

disempurnakan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) kepada

Presiden dan Pimpinan DPD,

dengan permintaan kepada

Presiden untuk menunjuk

menteri yang akan mewakili

Presiden dalam melakukan

pembahasan rancangan

undang-undang serta kepada

DPD untuk menunjuk alat

kelengkapan DPD yang akan

membahas rancangan undang-

undang tersebut.

(7) Apabila dalam waktu 60

(enam puluh) hari DPD belum

menunjuk alat kelengkapan

DPD sebagaimana dimaksud

pada ayat (6), pembahasan

rancangan undang-undang

tetap dilaksanakan.

Pasal 148

Tindak lanjut pembahasan

rancangan undang-undang yang

berasal dari DPR, Presiden, dan

DPD dilakukan melalui 2 (dua)

tingkat pembicaraan.

Sebenarnya posisi RUU dari DPD tidak mengalami perubahan

yang siginifikan dalam UU MD3. RUU dari DPD masih

dianggap sebagai RUU dari DPR, meskipun secara mekanisme

UU MD3 lebih menjelaskan proses penanganan RUU dari DPD

di DPR.

Di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 255 UU 27/2009

diatur tentang pelaksanaan tugas DPR dalam pembentukan

undang-undang.Rancangan undang-undang dapat berasal

dari DPR, Presiden, atau DPD.Rancangan undang-undang

yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai penjelasan

27

atau keterangan dan/atau naskah akademik.Usul rancangan

undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi,

gabungan komisi, atau Badan Legislasi. Usul rancangan

undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota

DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau

pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai

daftar nama dan tanda tangan pengusul. DPR memutuskan

usul rancangan undang-undang dalam rapat paripurna,

berupa: persetujuan persetujuan dengan pengubahan atau

penolakan. Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR

menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau

panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-

undang tersebut.

Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR

disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden

diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.

Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau

keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD

disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada

pimpinan DPR.Penyebarluasan rancangan undang-undang

tersebut dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD.

Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang

dari DPD memberitahukan adanya usul rancangan undang-

undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya

kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. DPR

memutuskan usul rancangan undang-undang itu dalam rapat

paripurna berikutnya, berupa: persetujuan persetujuan

dengan pengubahan atau penolakan. Dalam hal rapat

paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul

rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, rancangan

undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang

usul dari DPR. Dalam hal rapat paripurna memutuskan

memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul

rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, rancangan

undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang

usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan

penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada

28

komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia

khusus.

Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul

rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, pimpinan

DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut

kepada pimpinan DPD. Pimpinan DPR menyampaikan

rancangan undang-undang atau rancangan undang-undang

yang telah disempurnakan kepada Presiden dan Pimpinan

DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk

menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan

pembahasan rancangan undang-undang serta kepada DPD

untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan membahas

rancangan undang-undang tersebut. Apabila dalam waktu 60

(enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan

DPD, pembahasan rancangan undang-undang tetap

dilaksanakan.

Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang

berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua)

tingkat pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan sebagaimana

dimaksud adalah:

a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,

rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat

panitia khusus.

b. Tingkat II dalam rapat paripurna.

Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai

berikut:

a. pengantar musyawarah:

1. DPR memberikan penjelasan dan Presiden

menyampaikan pandangan apabila rancangan

undang-undang berasal dari DPR

2. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan

DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan

kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 huruf e UU 27/2009 berasal dari DPR

29

3. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi

memberikan pandangan apabila rancangan

undang-undang berasal dari Presiden atau

4. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan

DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan

kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 huruf e UU 27/2009 berasal dari Presiden.

b. pembahasan daftar inventarisasi masalah:

1. Presiden, apabila rancangan undang-undang

berasal dari DPR.

2. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal

dari Presiden.

c. penyampaian pendapat mini yang disampaikan pada

akhir Pembicaraan Tingkat I oleh:

1. fraksi

2. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan

dengan kewenangan DPD dan

3. Presiden.

Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan, dan/atau

pendapat mini, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan.

Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan

lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan

undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau

lembaga lain.

Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan

dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini

fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat

I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap

fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh

pimpinan rapat paripurna; dan

c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri

yang mewakilinya.

30

Dalam hal persetujuan tersebut tidak dapat dicapai secara

musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan

dilakukan berdasarkan suara terbanyak.Apabila rancangan

undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara

DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak

boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 147 UU MD3 menegaskan jika RUU usulan DPD

diterima atau disetujui DPR selanjutnya RUU tersebut

menjadi RUU dari DPR. Dalam pembahasan anara DPR dan

pemerintah berbagai macam hal bisa terjadi terhadap RUU

tersebut jika ada titik temu antara DPR dan pemerintah sama

dengan konsepsi awal DPD, maka secara substansi RUU

sesuai dengan keinginan DPD yang notabene adalah

keinginan daerah. Namun jika tidak sesuai maka kepentingan

daerah menjadi tereliminir dalam hal ini.Apalagi jika RUU

tersebut ditolak oleh DPR, hal ini berati RUU usulan DPD

menjadi kandas. Dengan demikkian, kepentingan dan aspirasi

daerah yang diatur oleh RUU usulan DPD tersebut menjadi

diabaikan dalam legislasi, sehingga kepentingnan daerah

menjadi tersisihkan dalam proses politik. Dengan demikian,

keputusan akhir yang menentukan asib RUU yang diajukan

DPD yang sekaligus menentukan kepentingan-kepentingan

daerah yang hendak diatur dalam RUU tersebut ada di tangan

DPR.Kontruksi ini selain melemahkan DPD juga

memperuncing konflik antara DPR dan DPD.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang

Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi

Akar masalah DPD selama ini adalah kewenangannya yang

lemah sebagai sebuah lembaga representasi

rakyat.Permasalahan menjadi kompleks karena Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD sehingga

DPD tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga

perwakilan secara maksimal. Tidak mengherankan, bila bicara

tentang relasi DPR dan DPD, tidak akan lepas dari

permasalahan kewenangan DPD yang lemah dibandingkan

DPR.

31

Seperti tahun-tahun sebelumnya, relasi DPD-DPR dipenuhi

dengan upaya-upaya DPD yang konsisten meningkatkan

kewenangan dan posisi tawarnya terhadap DPR.Bahkan, pada

2009, dapat dikatakan sebagai titik eskalasi usaha-usaha itu.

Alasannya adalah terdapat momen-momen politik yang

penting, utamanya perubahan aturan main dalam

berdemokrasi melalui proses legislasi paket undang-undang

politik.

Ketika usaha amandemen UUD 1945 tidak berhasil

dilakukan, DPD tetap memanfaatkan segala peluang yang ada

untuk menaikkan posisi tawarnya terhadap DPR sebagai

lembaga representasi.Usaha itu membuahkan hasil, meski

masih jauh dari yang diharapkan. DPD diberi kewenangan

dan peran yang lebih besar dalam proses pembahasan

undang-undang di tingkat satu. Lalu, anggota DPD mendapat

kesempatan yang setara dengan anggota DPR untuk menjabat

sebagai pimpinan MPR.Kemudian, keberhasilan usaha DPD

untuk memperoleh eksistensi dan usahanya dalam sebuah

naskah undang-undang.

Selain itu,DPD juga menjalin hubungan yang positif dengan

pemerintah dan menunjukkan kinerja dan prestasi yang

baik.Namun, poin-poin positif tersebut tidak mampu

menguatkan posisi DPD secara substansial untuk

menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Upaya

penguatan itu berusaha dilakukan di UU MPR, DPR, DPD, dan

DPRD (UU MD3) dengan melibatkan DPD dalam proses

pembahasan di DPR. Akan tetapi, penguatan yang dilakukan

belum cukup. Peran DPD masih dipinggirkan dalam proses

legislasi. Meski DPD diberi ruang untuk “berpartisipasi”,

posisinya masih belum diperhitungkan dalam pengambilan

kebijakan.

UU MD3yang sebelumnya diberi nama UU Susdukmengatur

perubahanaturan main dalam parlemen yang salah satunya

adalah menguatkan fungsi DPD. Dalam bidang legislasi, DPD

diberi kesempatan menyampaikan pandangan awal dan akhir

di Pembicaraan Tingkat I serta Pembicaraan Tingkat II. Dari

segi penguatan kelembagaan, lebih maju dari UU Susduk,

Pasal 234 UU MD3 mengatur alat kelengkapan DPD sesuai

2

5

32

Peraturan Tata Tertib DPD yang terdiri dari pimpinan, Panitia

Musyawarah (Panmus), Pantia Kerja (Panker), Panitia

Perancang Undang-undang (PPUU), Panitia Urusan Rumah

Tangga (PURT), Badan Kehormatan (BK), dan alat kelengkapan

lain yang diperlukan dan dibentuk Sidang Paripurna DPD.

UU MD3 mengatur bagaimana Sidang Paripurna DPR

memperlakukan usul RUU yang berasal dari DPD, yaitu

berupa persetujuan, persetujuan dengan pengubahan, atau

penolakan. Mekanisme itu sama bila RUU itu diajukan oleh

anggota, komisi, gabungan komisi, atau Baleg DPR.

Masalahnya adalah jika Rapat Paripurna DPR memutuskan

memberi persetujuan terhadap usul RUU yang berasal dari

DPD, usulan DPD tadi “bertransformasi” menjadi RUU usul

DPR. Jika keputusan Rapat Paripurna “persetujuan dengan

pengubahan”, RUU usulan DPD itu juga bertransformasi

menjadi RUU usulan DPR yang selanjutnya disempurnakan

komisi, gabungan komisi, Baleg, atau Pansus DPR.

Lebih lanjut, Pasal 144 UU MD3 juga mengatur perlakuan

yang berbeda antara RUU usulan DPD dan RUU usulan

presiden. Dalam hal itu, DPD mempertanyakan keseimbangan

implementasi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 22 D ayat

(1) UUD 1945 dalam pengajuan RUU usulan DPD dan

presiden yang sama-sama disampaikan kepada DPR.

Selain itu, meskipun DPD dilibatkan dalam pembahasan,

tetapi tidak disertakan dalam pembahasan Daftar

Inventarisasi Masalah (DIM) dalam Pembicaraan Tingkat I.

Dengan demikian, dapat dikatakan penguatan DPD dalam UU

MD3 masih berupa pernyataan politik semu yang tidak diikuti

dengan ketentuan yang secara nyata mampu memberdayakan

dan memperbesar peran DPD sebagai lembaga perwakilan.

Sebenarnya, DPD telah memberikan alternatif jalan keluar

terbatasnya ruang penguatan DPD karena aturan UUD

1945.UU MD3 seharusnya dapat merinci rumusan fungsi,

tugas, dan wewenang DPD di bidang legislasi, anggaran, serta

pengawasan atas pelaksanaannya, meskipun

terbatas.Alternatifnya, DPD diposisikan sebagai bagian alat

kelengkapan DPRseperti komisi atau kepanjangan tangan

partai seperti fraksi.

2

7

33

Masalah lain dalam UU MD3 adalah persidangan dan

pengambilan keputusan. Pasal 227 ayat (4) UU MD3

menyatakan anggota DPD dalam menjalankan perannya

berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di

ibukota provinsi daerah pemilihannya.

Pasal 268 ayat (4) menyatakan kegiatan DPD meliputi sidang

di ibukota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai

dengan penugasan DPD. Dua pasal itu tentunya akan

berdampak pada persoalan mekanisme kerja DPD, terutama

mengenai pembentukan kantor-kantor di daerah pemilihan

anggota DPD, alur kerja, pelaporan, dan lainnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 92/PUU-

X/2012 mengembalikan kewenangan legislasi DPD

sebagaimana amanat UUD 1945.

Dalam hal keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas

yang berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD, MK menilai

bahwa UU P3 yang selama ini tidak melibatkan DPD dalam

penyusunan Prolegnas adalah mereduksi kewenangan DPD

yang ditentukan oleh UUD 1945. Keikutsertaan dan

keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas merupakan

konsekuensi dari norma Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945

yangmenyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat

mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran

serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan

program pembentukan undang-undang merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk

mengajukan RUU yang dimiliki DPD.

Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah ditetapkan

mekanisme baru dalam penyusunan Prolegnas yaitu

dilakukan bersama tiga lembaga yaitu DPR, Presiden, dan

DPD (tripartit). Dalam mekanisme ini, pembahasan Prolegnas

di internal DPR diselesaikan terlebih dahulu oleh fraksi-fraksi

dan komisi DPR.

34

Pembahasan Prolegnas pasca putusan MK apabila dijabarkan

dalam bagan sebagai berikut:

Sementara dalam konsep mengajukan RUU, menurut MK,

kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD1945 tersebut

merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau

“tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat”

tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau

kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak

dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5

ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak

mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat”.

MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU

usul DPD, kemudian dibahas oleh BalegDPR, dan menjadi

RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan

DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam

Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini MK berpendapat

bahwa DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama

35

dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang

berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD. Berdasarkan hal

tersebut MK memutuskan:

a. DPD dapat mengajukan RUU sesuai dengan bidang tugas

[Pasal 22D ayat (1) UUD 1945].

b. RUU yang diajukan DPD tidak berubah menjadi usul RUU

DPR.

c. DPD dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Pola pengajuan RUU dari DPD sebagaimana putusan MK

dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini:

Dalam kerangka keikutsertaan DPD dalam pembahasan

RUU dari Presiden atau RUU dari DPR, kewenangan

DPDuntuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam

Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan

Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;

hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,

dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta

memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan

36

belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan dan agama”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara

mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan

DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang dengan

daerah. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D

ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah

menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh

DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama.Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar

karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan

Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, sedangkan Pasal 22D

UUD 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada

tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus

dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan

otonomi daerah; hubungan pusatdan daerah;

pembentukan,pemekaran, dan penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,

bersama DPR dan Presiden.

Dalam proses pembahasan sebuah RUU, RUU dari DPD harus

diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.

Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan

memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD

memberikan pandangan.Begitu pula terhadap RUU dari DPR,

DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan,

sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan.Dengan

demikian, pembahasan RUU yang terkait dengan bidang tugas

DPD harus melibatkan DPR, DPD, dan Presiden secara

kelembagaan sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh

komisi atau panitia khusus DPR sampai dengan DPD

menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam

rapat paripurna DPR sebelum tahap persetujuan.

Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD

sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau

panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar

musyawarah, mengajukan, dan membahas DIM serta

menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam

37

pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan

pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna

DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

MK memutuskan bahwa dalam pembahasan RUU harus

melibatkan DPD:

a. Pembahasan Tingkat I:

DPD ikut serta sejak awal sampai dengan akhir

pembahasan Tingkat I, pada rapat-rapat komisi atau

panitia khusus DPR, yaitu dimulai dengan penyampaian

pengantar musyawarah/ penjelasan/pandangan,

mengajukan dan membahas DIM, serta menyampaikan

pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di

Tingkat I;

Dalam hal penyampaian penjelasan/pandangan dalam

pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan

RUU dari Presiden dan DPR:

a) Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan

kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan

DPD memberikan pandangan.

b) Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan

memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD

memberikan pandangan.

c) Terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan

memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden

memberikan pandangan.

d) DIM diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam

hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR,

bukan DIM diajukan oleh fraksi.

e) DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh alat

kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.

Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah terbentuk

mekanisme legislasi baru dalam penyusunan dan

pembahasan RUU yang dilakukan oleh tiga lembaga yaitu

DPR, Presiden, dan DPD (tripartit). Dalam mekanisme ini

pembahasan RUU secara internal diselesaikan di masing-

masing lembaga sehingga pada saat pembahasan tripartit,

38

DPD dan Presiden tidak melakukan pembahasan dengan

fraksi-fraksi DPR.

Dalam pembahasan Tingkat I pada saat penyampaian

Pengantar Musyawarah, DPD, DPR, dan Presiden dapat

menolak RUU di luar Prolegnas sehingga pembahasan RUU

tidak dapat dilanjutkan serta tidak dapat diajukan kembali

dalam tahun sidang yang sama.

b. Pembahasan Tingkat II:

Pada Pembahasan Tingkat II, DPD menyampaikan

pendapat akhir dalam pembahasan pada rapat paripurna

DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

Proses pengajuan dan pembahasan RUU dari DPR pasca

putusan MK dapat digambarkan sebagai berikut:

Konsekuensi dari konstruksi UUD 1945 mengenai

pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam

hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara,

sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara,

dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR,

bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian, MK

39

dapat memahami sebagaimana dituangkan dalam putusannya

bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM

yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU

sebelum perubahan UUD 1945.Selanjutnya pembahasan pada

tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah mengundang

Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR

dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan

DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU

D.1. Hubungan dengan DPR

Terkait hubungan DPD dan DPR untuk efetifitas

hubungan kerja perlu ada beberapa perubahan penting

yang terkait dengan hal tersebut, seperti:

a. Penyusunan Prolegnas

Ketentuan Pasal 224 ayat (1) huruf i UU MD3

menyatakan bahwa DPD ikut serta dalam penyusunan

Prolegnas.Keikutsertaan DPD ini masih belum

maksimal karena dianggap sebagai salah satu bagian

dari alat kelengkapan DPR. Oleh karena itu untuk

rumusan Pasal 224 ayat (1) hurufi tersebut kami

usulkan untuk diubah sebagai berikut:

UU MD3 Usul Perubahan

Pasal 224 ayat (1) huruf i

ikut serta dalam penyusunan

program legislasi nasional yang

berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan

pusat dan daerah.

Pasal 224 ayat (1) huruf i

Ikut menyusun dan

membahas program legislasi

nasional yang berkaitan

dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan

pemekaran serta

penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan

perimbangan keuangan

pusat dan daerah.

40

b. Tindak lanjut RUU dari DPD

Meskipun dalam ketentuan Pasal 142 ayat (1) UU MD3

merumuskan ketentuan bahwa RUU dapat berasal dari

DPR, Pemerintah, atau DPD namun sampai saat ini

RUU dari DPD tidak jelas nasibnya. Periode 2004-

2009, DPD menyampaikan sebanyak 20 RUU kepada

DPR, sedangkan sampai pada akhir tahun 2010 ada 3

RUU dan tidak ada satupun dari RUU tersebut yang

ditindaklanjuti oleh DPR sesuai dengan ketentuan

UUD 1945 maupun UU Susduk (waktu itu). Kendala

utamanya adalah mekanisme kerja antara DPR dan

DPD yang belum selesai, karena banyaknya materi

muatan dalam UU Susduk yang dilimpahkan kepada

tata tertib DPR.Padahal, Pasal 134 ayat (2) Tata Tertib

DPR (2004-2009) mengamanatkan kepada Pimpinan

DPR untuk menyampaikan kepada rapat paripurna

setalah rancangan undang-undang dari DPD

diterima.Padahal dalam mekanisme internal DPR,

setelah penyampaian RUU oleh Pimpinan DPR dalam

rapat paripurna, Badan Musyawah seharusnya

menjadwalkannya untuk dilakukan pembahasan oleh

alat kelengkapan DPR.Namun tidak ada tindak lanjut

terhadap hal itu, demikian juga pertanggungjawaban

kepada publik terhadap hal tersebut.Bicara tentang

efektifitas, tentu tidak efektif karena RUU dari DPD

juga mempergunakan mekanisme yang panjang

melalui sejumlah kajian dan aspirasi dari masyarakat

dan daerah, jika tidak ada tindak lanjutnya bagaimana

dengan pertanggungjawaban DPD kepada daerah?

Dalam kerangka tindak lanjut RUU dari DPD kepada

DPR, ketua DPD waktu itu (periode 2004-2009)

Ginandjar Kartasasmita dalam pidato Sidang

Paripurna Khusus, 19 Desember 2009 mengemukakan

“Demikian pula dalam bidang legislasi. Misalnya, RUU-

RUU inisiatif DPD tidak ada yang jelas

kelanjutannya.Kami tidak bermaksud menyampaikan

hal itu dalam forum ini sebagai wujud sengketa

antarlembaga negara, atau untuk menutupi

kekuarangan DPD, karena sebagai lembaga negara

41

baru kami sendiri mengakui masih banyak

kelemahan.”

Oleh karena sandarannya ada pada ketentuan Pasal 20

ayat (1) sampai aya (5) UUD 1945, maka dalam UU

MD3-pun RUU dari DPD akhirnya “berganti baju”

menjadi RUU dari DPR.Jika dicermati 147 UU MD3,

jelas melanggar hak-hak DPD secara konstitusional

karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat

(1) UUD 1945.

c. Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan RUU

Ketentuan Pasal 149 UU MD3 menyebutkan bahwa

dalam rangka pembahasan RUU dilakukan dengan 2

tahapan, yaitu tahap pembahasan tingkat I yang terdiri

atas:

a. Pengantar musyawarah;

b. Pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan

c. Penyampaian pendapat mini.

Keterlibatan DPD menurut ketentuan Pasal 150 UU

MD3 dalam pembahasan tingkat I ini adalah

menyampaikan pandangan dan menyampaikan

pendapat mini pada akhir pembahasan tingkat I.

Berbicara aturan, tentunya ketentuan UU MD3 diatas

telah membuka kesempatan kepada DPD untuk lebih

terlibat dalam proses pembahasan. Dalam prakteknya

ketentuan Pasal 149 dan ketentuan Pasal 150 UU MD3

ini tidak pernah dilaksanakan oleh DPR.

Dalam prakteknya, acara pemberian pendapat DPD

masih seperti sambutan dan pesan-pesan yang

disampaikan DPD menjelang dimulainya

pembahasan suatu rancangan undang-undang. Lebih

buruk lagi, ternyata peran DPD dalam proses

pembahasan undang-undang di DPR dimulai dan

berakhir di forum pemberian pendapat tersebut. Tidak

ada yang dapat mengontrol atau mengawal sejauh mana

pendapat DPD tersebut dipakai dalam pembahasan

lebih lanjut suatu RUU yang terkait fungsi-fungsi DPD.

42

Beberapa RUU yang pada tahun 2010 disahkan oleh

DPR seperti UU tentang Hortikultura, UU tentang

Gerakan Pramuka, dan Cagar Budaya tidak

memberikan kesempatan kepada DPD untuk terlibat

lebih jauh. Apabila mengacu kepada UUD 1945 ketiga

UU ini cacat materiil dalam pembahasannya karena

tidak melibatkan DPD.

Jika berbicara efektifitas maka harus dikembalikan

kepada makna dasar pembentukan DPD ini yaitu

memberikan kesempatan kepada aspirasi daerah

dalam tataran pengambilan kebijakan di tingkat

nasional. Apabila belum terakmodasi dalam proses

politik di DPR, pertanyaannya diletakkan dimana

aspirasi daerah itu, pada kondisi pasca reformasi yang

menjunjung demokrasi dan desentralisasi?

Pada umumnya disepakati bahwa keberadaan kamar

kedua dalam parlemen secara prinsip ingin

mengaokomodasi dua alasan penting yaitu: Pertama,

untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan

dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk

pembahasan sekali lagi (second review) dalam bidang

legislatif. Kedua, untuk membentuk perwakilan yang

menampung kepentingan tertentu yang biasanya

tidak cukup terwakili oleh majelis pertama atau

memperkuat mekanisme perwakilan dengan

beragam pemilih.Dalam konteks legislasi, urgensi

yang pertama mengandung makna bahwa setiap

produk legislatif harus dikeluarkan setelah terlebih

dahulu melaui sebuah mekanisme yang cermat, teliti

dan tidak tergesa-gesa.Kamar kedua berperan sebagai

tempat pembahasan tambahan dan kontrol (checks and

balances) untuk memastikan kualitas produk

parlemen.Pembahasan tambahan (second review) dan

saling kontrol (check and balances) dalam setiap produk

legislasi parlemen sangat penting karena hasil legislasi

parlemen bersifat umum, abstrak dan terus menerus

(dauerhaftig) yaitu mengikat rakyat secara

keseluruhan, mengikat perilaku secara luas dan

43

berlaku terus menerus.Dengan demikian, dampak

dari suatu putusan parlemen memang sangat

besar.Apalagi, bagi rakyat tidak ada pilihan kecuali

melaksanakan putusan parlemen

tersebut.Ketidakmengertian rakyat terhadap produk

yang dibuat legislatif tidak membuat rakyat dapat

terbebas untuk melaksanakannya.

Urgensi yang kedua bermakna bahwa setiap

pengambilan putusan legislasi harus memiliki

mekanisme penyerapan aspirasi yang

memadai.Keberadaan perwakilan daerah (regional

representation) membawa pesan bahwa kepentingan

daerah harus menjadi pertimbangan signifikan dalam

pengambilan putusan di tingkat pusat.Oleh karena itu

mekanismekomunikasi dan penyerapan aspirasi

parlemen terhadap kepentingan daerah seharusnya

menjadi lebih kuat dengan keberadaan DPD sebagai

kamar kedua yang mewakili daerah.

Jika kedua urgensi kamar kedua, seperti disebut di

atas, efektif dapat berlaku dalam parlemen Indonesia

saat ini maka konsekuensi keberadaan DPD seharusnya

berdampak pada meningkatnya kualitas hasil proses

legislasi dan semakin terakomodasinya kepentingan

daerah dalam setiap produk legislasi di tingkat pusat.

Namun, ironisnya, keberadaan DPD nampak tidak akan

ada hubungannya dengan hasil produk legislasi karena

sejauh ini semua peraturan yang mengatur keterlibatan

DPD dalam proses legislasi, mulai dari konstitusi

hingga peraturan tata tertib DPR, hanya memberikan

porsi yang sangat minim bagi DPD untuk

berkontribusi. Artinya, jikapun terjadi peningkatan

kualitas produk legislasi dan semakin

terakomodasinya kepentingan daerah dalam produk

legislasi tidak dapat dihubungkan dengan keberadaan

DPD.

d. Pertimbangan DPD

UU MD3 mangatur pertimbangan DPD dalam dua

substansi.Pertama, pertimbangan terhadap RUU yang

44

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta

prtimbangan terhadap RUU APBN.Kedua,

pertimbangan atas calon anggota BPK.

Untuk pertimbangan ini, perlu ada mekanisme lebih

lanjut agar pertimbangan DPD ini diperhatikan.

Pasal 256

DPD memberikan pertimbangan

terhadap rancangan undang-

undang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 224 ayat (1) huruf

d kepada pimpinan DPR.

Pasal 256

DPD memberikan

pertimbangan terhadap

rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 224 ayat (1) huruf d

kepada DPR dalam Sidang

Paripurna DPR.

Pasal 258

(1) DPD memberikan

pertimbangan kepada DPR

mengenai calon anggota

BPK.

Tetap.

(2) Pertimbangan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diputuskan

dalam sidang paripurna

DPD.

Tetap.

(3) Pertimbangan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) disampaikan

secara tertulis oleh

pimpinan DPD kepada

pimpinan DPR paling

lambat 3 (tiga) hari

sebelum pelaksanaan

pemilihan anggota BPK.

Tetap.

(4) Dalam pemberian

pertimbangan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) berlaku ketentuan

Pasal 171.

(4) Pemberian pertimbangan

DPD sebagaimana

dimaksud pada ayat (3)

disampaikan DPD dalam

Rapat Paripurna DPR

yang khusus dilakukan

untuk itu.

(5) Ketentuan lebih lanjut

mengenai pemberian

pertimbangan diatur

dengan peraturan DPD

tentang tata tertib.

Tetap.

e. Pengawasan DPD

Untuk memperkuat fungsi pengawasan DPD, maka

perlu ada pengaturan lain tentang pengunaan hak DPD

45

dan adanya mekanisme tindak lanjut hasil pengawasan

DPD yang telah disampaikan kepada DPR.

Penggunaan hak sandera perlu diberlakukan untuk

memperkuat fungsi pengawasan DPD.

Pasal 259

(1) DPD menyampaikan hasil

pengawasan atas

pelaksanaan undang-

undang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 224

ayat (1) huruf f kepada DPR

sebagai bahan

pertimbangan.

Tetap.

(2)hasil pengawasan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disampaikan

DPD kepada DPR untuk

ditindaklanjuti.

(2) Hasil pengawasan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diputuskan

dalam sidang paripurna

DPD.

(3) Ketentuan lebih lanjut

mengenai penyampaian

hasil pengawasan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan

peraturan DPD tentang tata

tertib.

Tambahan pasal

(1) DPD dapat meminta

keterangan kepada

pejabat negara,pejabat

pemerintah pusat,

pejabat pemerinah

daerah, badan hukum

atau warga masyarakat

dalam pelaksanaan tugas

dan wewenangnya.

(2) Setiap pejabat negara,

pejabat pemerintah

daerah, badan hukum

atau warga masyarakat

dalam pelaksanaan tugas

dan wewenangnya.

(3) Setiap pejabat negaa,

pejabat pemerintah,

badan ukum, atau warga

masyarakat wajib

memenuhi permintaan

DPD sebagaimana

46

dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal panggilan

paksa sebagaimana

dimaksud pada ayat (3)

tidak memenuhi tanpa

alasan yang sah, yang

bersangkutan dapat

disandera paling lama 15

(lima) belas hari sesuai

dengan peraturan

perundang-undangan.

D.2. Kedudukan DPD sebagai Lembaga Perwakilan Daerah

Menurut Pasal 22D UUD 1945, fungsi dan kedudukan

DPD diantaranya mengajukan RUU yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,

pemekaran daerah dan masalah yang berkaitan dengan

sumber alam daerah.

Selanjutnya juga dinormakan bahwa DPD memiliki peran

untuk mem bahas bersama-sama DPR rancangan

undang-undang. Peluang-peluang konstitusional tersebut

merupakan peran strategis yang dapat dilakukan DPD

dalam proses politik nasional sebagai wujud intermediate

power yang mengemban amanat suara pemilih. Namun

dalam imple mentasinya, muncul sejumlah kekecewaan

dari kalangan anggota DPD mengingat peran

konstitusional yang strategis di atas belum dapat

diwujudkan sebagai bentuk kekuatan politik nyata

DPD.Anggota DPD menilai kedudukan DPD secara politik

riil di bawah DPR.DPR merasa lebih dominan dan

superior dibanding dengan posisi DPD.

Dalam proses politik riil, seperti pembahasan RUU di

DPR, dirasakan peran DPD kurang maksimal atau

acapkali tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU

bersama DPR. Terdapat situasi politik, DPR tak harus

wajib mengundang atau mengajak DPD untuk

melakukan pembahasan suatu rancangan undang-

undang.Peran-peran konstitusional DPD dilihat hanya

pada aspek konsultatif dengan DPR namun tidak harus

mengikat secara politik. Dalam Undang -Undang No 22

tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

47

DPD dan DPRD, Pasal 44 dan Pasal 45, fungsi dan tugas

DPD nampak lebih sebagai lembaga konsultatif yang

hanya memberikan sekedar pertimbangan dan

pengusulan kepada DPR. Posisi demikian hanya memberi

suatu legitimasi bahwa peran politik DPD memang tidak

sejajar dengan DPR. Perdebatan politik lantas berlanjut

menuju perdebatan konstitusio-nal bahwa terdapat

kesalahan substansi dalam amandemen undang-undang

dasar sehingga mendesak diadakan amandemen UUD

1945 kelima guna mengembalikan naskah UUD 1945 ke

naskah sebelum diadakan amandemen pertama sampai

ke empat. Termasuk di dalam konteks perdebatan

tersebut adalah keinginan sejumlah anggota DPD untuk

mengajukan usul amandemen Pasal 22C UUD 1945 hasil

amandemen keempat ya ng menyangkut fungsi dan

kedudukan DPD yang dianggap telah mengeliminasi

peran strategik DPD sebagai mitra politik sejajar dengan

DPR.

Sebetulnya, peluang untuk memaksimalkan fungsi dan

peran politik DPD terletak pada pengembangan kerangka

kerja DPD dalam memfasilitasi aspek-aspek pelaksanaan

undang-undang otonomi daerah yang mampu membawa

perbaikkan kondisi daerah.Misalnya, memperjuangkan

masalah anggaran, DAU daerah, pemekaran daerah dan

maksimalisasi hubungan pusat dan daerah.Namun

dengan realitas politik bahwa anggota DPD bukanlah

orang partai dan tidak memiliki ikatan/basis konstituen

yang jelas sebagaimana anggota DPR yang mewakili

daerah pemilihannya, anggota DPD menghadapi kendala

dalam membentuk kepercayaan politik dengan daerah

yang menjadi wilayah yang diwakilinya.DPRD dan

kalangan politisi partai belum tentu mau menerima ide-

ide anggota DPD yang mewakili daerah tertentu.

Dalam realitas politiknya, yang bermain adalah kepen -

tingan partai atau elite yang memiliki jalinan dengan

partai politik. Investasi politik jangka panjang akan lebih

menjanjikan jika seseorang berkawan baik dengan partai

48

dari pada dengan anggota DPD yang basis politiknya

tidak mengakar.

DPD harus diadvokasi dan “diberdayakan” di dalam

tubuh parlemen.Pada awal pembentukannya, DPD

dirancang agar daerah tidak hanya terwakili oleh lembaga

yang mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat,

tetapi lebih dari itu, untuk meningkatkan peran daerah

dalam penyelenggaraan negara.Peran politik DPD harus

lebih diorientasikan untuk melibatkan suara dan

kepentingan daerah dalam menentukan politik dan

pengelolaan negara.Karenanya, keberadaan DPD saat ini

harus dimampukan sehingga bisa berperan sebagaimana

rancangan ideal pada awalnya.Tumpulnya fungsi dan

wewenang DPD hari ini sesungguhnya merupakan

sebuah realitas politik yang terjadi di dalam tubuh

parlemen sendiri. Justru karena persoalan tersebut

bermula dari hal ihwal politik, maka harus ada advokasi

dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian

terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan

kepada publik bahwa realitas politik ini jangan sampai

dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan taken for

granted.

Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara

kuat terjadinya perubahan di level perundangan yang

mengatur fungsi dan kewenangan DPD dalam kerangka

penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh akan berarti

memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan

publik.

Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal,

bahkan suatu kelaziman agar lembaga perwakilan kita

bisa sesuai dengan napas dan gerak demokrasi di negeri

ini.Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus

diperkuat.Pertama, persoalan fundamental dalam

berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa.Hampir

semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan

jumlah penduduk besar, serta di dalamnya terdapat

dinamika dari aneka suku dan agama, lembaga

perwakilannya menganut sistem dua kamar.Apakah

49

Negara tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan

sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, itu

bukan soal utama.Bikameralisme tidak melulu dipakai

oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan

yang menerapkan desentralisasi, seperti Indonesia, juga

sangat penting menerapkannya.Bikameralisme harus

dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat

kesatuan negara.

Alasan inilah yang harus pertama kali dikemukakan

ketika memperkuat lembaga DPD.Daerah-daerah harus

diberi ruang gerak yang lebih luas untuk terlibat dalam

penyelenggaraan pemerintah.Dan ini berarti para

“senator”nya harus dimampukan secara politik untuk

bisa berperan lebih dari sekedar umbul-umbul politik di

senayan.

Alasan selanjutnya adalah mempertegas bangunan

sistem perwakilan Indonesia.Keberadaan DPR dan DPD

secara formal memperlihatkan bahwa lembaga

perwakilan menganut sistem bikameral.Namun,

keberadaan MPR yang secara struktural organisasional

memayungi kedua lembaga tersebut menjadikan lembaga

parlemen terlihat berbentuk trikameral.Celakanya,

dengan peran legislasi yang begitu luas di tangan DPR,

secara politis parlemen Indonesia bersifat

unikameral.Ketidakjelasan bentuk parlemen ini harus

segera dibongkar.Memperkuat DPD adalah pilihan logis

untuk segera keluar dari ketidakjelasan ini.Memperkuat

DPD secara otomatis berarti mendorong sistem parlemen

kita ke arah bikameralisme murni.

Terakhir, tentu saja memperkokoh sistem checks and

balances,mulai dari tubuh parlemen sendiri dan

selanjutnya bagi antar lembaga kekuasaan Negara

(eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Untuk menunjang

mekanisme checks and balances ini, hak veto dalam

proses legislasi harus dimiliki oleh DPD juga. Merujuk

pasal 20 ayat (5) UUD 1945, hanyalah DPR yang memiliki

“semacam” hak veto itu. Berbekal hal veto tersebut,

terbuka kemungkinan berjalannya sistem double checks,

50

yaitu pembahasan berlapis terhadap setiap produk

legislatif. DPD, dalam hal ini, berfungsi sebagai “revising

chamber,” yakni mengoreksi segala keputusan DPR

dengan harapan adanya kemungkinan setiap produk

legislative bisa diperiksa kembali.Dengan itu, proses

pengambilan keputusan politik bisa lebih mantab dan

matang, sehingga undang-undang yang dihasilkan lebih

mengakar dan tepat sasaran dan, tentu saja, terhindar

dari bias partisan anggota DPR.

51

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Sistem pemerintahan yang terkonstruksi dalam UUD 1945

adalah sistem pemerintahan presidensiil, yang bercirikan

keberlakuan dan penegakan prinsip pemisahan kekuasaan di

antara tiga cabang kekuasaan utama yakni legislatif, eksekutif,

dan yudikatif, dan secara khusus antara lembaga eksekutif dan

legislative. Melalui pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan

dapat ditegakkan prinsip check and balances diantara cabang-

cabang kekuasaan pemerintahan.

Penguatan system pemerintahan presidensiil pada dasarnya

tidak bisa dipisahkan dari kontribusi system legislative atau

keparlemenan yang sinergis dan efektif pula. Paling tidak ada

empat argument kesaling-keterkaitan antara sistem

pemerintahan disatu pihak dan system perwakilan dipihak

lain. Pertama, berbeda dengan system parlementer di mana

focus segenap proses politik berpusat pada parlemen, maka

didalam sistem presidensiil, lembaga eksekutif berbagi peranan

dan fungsi secara relatif tegas dan jelas dengan lembaga

legislatif. Kedua, konsisten dengan argument pertama,

presiden dan parlemen masing-masing memiliki

tanggungjawab secara terpisah sekaligus secara bersama-sama

dalam penguatan dan pengefektifan system pemerintahan

presidensiil. Ketiga, konsisten dengan dua argumen

sebelumnya, tanggung jawab secara terpisah dalam

fungsinya masing-masing hanya dapat ditegakkan apabila

relasi antara presiden dan parlemen dibangun di atas prinsip

checks and balances. Keempat, sistem legislatif yang dapat

melembagakan tanggung jawab secara bersama-sama,

sinergis dan efektif hanya dapat diwujudkan apabila terbangun

pola relasi dan kerjasama yang sinergis diantara bagian-bagian

parlemen.

Dalam kaitan ini, penguatan sistem perwakilan dimaksudkan

sebagai upaya membangun system perwakilan yang tidak

hanya koheren dan konsisten dengan pilihan system

pemerintahan presidensiil, melainkan juga mendukung dan

52

memperkuatnya. Tampak disini bahwa terdapat empat konsep

utama yang saling terkait satu sama lain untuk membangun

sistem perwakilan dimaksud, yaitu sinergitas, efektifitas,

akuntabilitas, dan produktifitas. Sistem perwakilan yang

sinergis diperlukan bukan saja dalam rangka efektifitas fungsi

setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga

untuk meningkatkan kualitas

akuntabilitasdisatupihakdanproduktifitasdipihaklain.

Akuntabilitasadalahkonsepyangtakterpisahkandarikeberadaans

etiap lembagaperwakilan.DPRsebagaiparlemenyang

mewakilirakyat,DPDyang mewakili wilayah (propinsi), dan para

anggotanya yang memperoleh mandat tersebut dapat

dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,

kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan

rakyat selaku pemberi mandat melalui pemilihan umum.

Produktifitas berhubungan dengan tingkat pencapaian kinerja

keparlemenan dalam hitungan produk kebijakan yang

dihasilkan selama masa kerja parlemen.

Dewasa ini, sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR

dan DPD cenderung bekerja sendiri-sendiri. Konstitusi memang

membatasi kewenangan DPD, namun peran dan kontribusi

DPD sebenarnya dapat dioptimalkan melalui mekanisme relasi

dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD.

Efektifitas DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen

nasional relatif belum optimal karena struktur alat

kelengkapan kedua Dewan belum mendukung efektifitas

kerja keparlemenan.

Sementara itu, peranan DPRD provinsi sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan DPRD

kabupaten kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

kabupaten/kota juga dirasakan masih memerlukan

peningkatan. Rumusan ketentuan yang menyangkut kedua

lembaga perwakilan rakyat daerah tersebut, baik yang terkait

dengan kelembagaan maupun yang terkait dengan

keanggotaan masih perlu disempurnakan.

Dari sisi kebutuhan penyempurnaan sistem

permusyawaratan/perwakilan, maka dalam jangka pendek,

khususnya dalam rangka penyempurnaan UU Nomor 22

53

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

DPD, dan DPRD, terdapat paling sedikit enam arah sekaligus

tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat system

perwakilan yang berlaku dewasa ini, yaitu:

1. peningkatan efektifitas persidangan MPR;

2. peningkatan efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan

kewajiban DPR;

3. penguatan fungsi dan hak, serta efektifitas pelaksanaan

tugas, wewenang, dan kewajibanDPD;

4. penataan hubungan kerja DPR dan DPD;

5. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPR dan

DPD;

6. pemantapan kedudukan dan fungsi DPRD sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah;dan

7. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPRD.

Sesuai dengan Pasal 2 UUD1945, MPR sebagai institusi Negara

yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD memiliki tugas

dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 dan

Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD1945. Dari sudut

kelembagaan, MPR mempunyai kedudukan dan kewenangan

tersendiri, yang berbeda sama sekali dengan kedudukan dan

kewenangan DPR dan DPD. MPR bukan hanya merupakan

persidangan gabungan anggota DPR dan anggota DPD, tetapi

juga adalah lembaga sendiri.

Oleh karena itu, keberadaan MPR sebagai lembaga Negara yang

oleh konstitutisi diberi tugas dan wewenang kenegaraan yang

secara tegas berbeda dengan tugas dan wewenang DPD dan

DPD tetap perlu ditingkatkan efektititasnya, terutama

efektifitas persidangan MPR.

Efektifitas lembaga perwakilan menunjuk pada kapasitas

lembaga tersebut dalam mengoptimalkan peranan fraksi,

komisi dan alat kelengkapan lainnya dalam mendukung

kinerja parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat/daerah

dan mitra eksekutif. Dalam konteks system pemerintahan

presidensiil, prinsip checks and balances tidak akan tegak

apabila kinerja keparlemenan tidak efektif.

54

Agenda penguatan akuntabilitas parlemen, baik secara institusi

maupun anggota secara individual, perlu dilakukan dalam

rangka mendukung penguatan system presidensiil.

Akuntabilitas institusi makin kuat apabila pelaksanaan fungsi

legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR berorientasi pada

penguatan sistem presidensiil. Di sisi lain, akuntabilitas

anggota secara individual makin kuat apabila kinerja para

anggota DPR berorientasi pada penguatan akuntabilitas Dewan

secara institusi.

Penguatan kapasitas parlemen dalam fungsi legislasi juga

perlu dilakukan melalui pengadaan staf ahli yang profesional

dan bersifat permanen. Beban kerja DPR yang sangat berat

sebagai akibat tekanan fungsi legislasi yang berada di

pundaknya, mengharuskan Dewan memiliki staf ahli permanen

yang dibiayai oleh negara. Penataan ulang pengaturan hak

recall bagi Pimpinan dan anggota DPR dengan perluasan

kewenangan dan optimalisasi fungsi Badan Kehormatan adalah

juga penting. Satu hal yang dapat dijadikan pertimbangan

adalah bahwa perubahan sistem pemilu legislatif menuju

sistem proporsional terbuka penuh meniscayakan

dikuranginya peranan partai dalam recalling terhadap anggota

Dewan. Hal yang sama secara proporsional juga berlaku bagi

lembaga dan anggota DPD dan DPRD sesuai dengan

kedudukan dan fungsi masing- masing.

Penataan kembali kunjungan anggota parlemen (DPR, DPD,

dan DPRD) pada waktu reses supaya berkunjung langsung ke

daerah pemilihannya dan berkomunikasi intensif dengan

konstituennya juga sangat penting.

Terkait dengan keberadaan DPD, masih terdapat ruang yang

memadai bagi pengaturan dan penataan relasi kerja antara

DPR dan DPD. Arahnya adalah penguatan DPD sebagai mitra

DPR dalam kerangka system perwakilan. Melalui penataan

kembali hubungan kerja DPR-DPD diharapkan kinerja kedua

Dewan secara sinergis disatu pihak dan efektifitas sistem

pemerintahan presidensiil di pihak lain dapat meningkat.

55

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Secara filosofis, pembentukan UU tentang MPR, DPR,

DPD,dan DPRD diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian

nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan

bernegara dan berpemerintahan. Kehadiran lembaga-

lembaga negara dalam bentuk lembaga permusyawaratan

rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan

daerah sesungguhnya adalah cerminan nilai-nilai demokrasi

dalam hidup bernegara dan berpemerintahan. Melalui

lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan penyaluran

aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan tata kelola

kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan dapat

berlangsung dengan baik.

B. Landasan Sosiologis

Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam

rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan

pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks

and balances dalam pengelolaan kekuasaan. Sebagaimana

telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandate pengelolaan

kekuasaan Negara secara institusional telah diberikan

kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan, yang

pada domain perwakilan politik berada pada lembaga

permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan

lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat

daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan

suatu keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya

proses pengelolaan kekuasaan yang akuntabel, terkontrol,

dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan

penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang

berwatak demokratis, jauh dari watak otoriterian, dan tidak

terpusat pada eksekutif, terutama pada Presiden ditingkat

56

nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat

daerah.

Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada

dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi

juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga

permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan

lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat

daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan

peran secara maksimal dalam tata pengelolaan Negara dan

pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas social

mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan

publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran

lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik

dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan

pemerintahan Negara dan daerah yang bertumpu pada

eksekutif, secara factual tidak selalu dapat dijadikan

andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan

kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara

sosiologis,ketidakadilan justeru sering terjadi dalam system

social yang dikelola tanpa perwakilan politik.

C. Landasan Yuridis

Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar,

baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan

pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum

dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.

Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang,

pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945

(HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang

mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur

tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan

DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan

kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang

pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan

DPR, DPD, dan DPRD.

57

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Ketentuan Umum

Untuk mengantarkan subtansi RUU ini,ketentuan umum yang

dicantumkan sebagai beikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat MPR,

adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah

Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah

Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD,

adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

5. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi,

dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya

disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang mengenai penyelenggara

pemilihan umum.

6. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK, adalah

lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya

disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan

pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya

disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan

58

pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan

daerah.

9. Hari adalah hari kerja.

B. Materi Yang Akan Diatur

1. Persidangan dan pengambilan keputusan MPR

Seiring dengan perkembangan dan dinamika politik bangsa dan

negara dewasa ini, maka patut diperkirakan bahwa

persidangan dan pengambilan keputusan di MPR tidak selalu

akan berlangsung dengan mulus. Kemungkinan terjadinya

kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan sangatlah

besar. Oleh karena itu, pengaturan tentang persidangan dan

pengambilan keputusan MPR disempurnakan dengan memberi

kemungkinan dilakukannya pengambilan keputusan dengan

pemungutan suara ulang.

Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin

dicapai keputusan dengan mempergunakan pemungutan suara

sekali jalan, dilakukan pemungutan suara ulang. Apabila

dalam pemungutan suara ulang diperoleh hasil sama dengan

hasil pemungutan suara sebelumnya, maka pengambilan

keputusan ditangguhkan sampai rapat berikutnya, atau usul

yang bersangkutan ditolak.

2. Fungsi DPR

Dalam rangka pemantapan sistem penyelenggaraan

pemerintahan Negara berdasarkan UUD1945, khususnya

dalam relasi kenegaraan antara DPR, DPD, dan Presiden, perlu

penegasan makna fungsi DPR dalam kerangka kebersamaan

penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam RUU ini

dirumuskan pengaturan tentang fungsi DPR sebagai berikut:

a. Fungsi legislasi dilaksanakan dalam pembentukan undang-

undang dengan persetujuan bersama Presiden;

b. Fungsi anggaran dilaksanakan dalam bentuk pemberian

persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas

undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja

Negara dengan persetujuan bersama Presiden;

c. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan

atas pelaksanaan undang-undang dan anggaran

59

pendapatan dan belanja negara.

3. Tugas dan Wewenang DPR

Dalam rangka pemantapan sistem perwakilan berdasarkan

UUD 1945 Hasil Amandemen, dan Putusan MK perkara Nomor

92/PUU-X/2012 khususnya yang terkait dengan keberadaan

DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, maka perlu

dilakukan penyesuaian tugas dan wewenang DPR, terutama

yang terkait langsung dengan DPD. Dalam RUU ini,

direkomendasikan rumusan tambahan tugas dan wewenang

DPR sebagai berikut:

a. menerima rancangan undang-undang yang diusulkan oleh

DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat

dan daerah;

b. membahas rancangan undang-undang sebagaimana

dimaksud pada huruf c bersama DPD sebelum dimulainya

pembahasan oleh DPR bersama Presiden sesuai tata tertib

DPR;

c. membahas pertimbangan DPD atas rancangan

undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan

belanja negara dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

d. membahas bersama DPD rancangan undang-undang

yang diusulkan oleh Presiden dan/atau DPR, berkaitan

dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,

sebelum dimulainya pembahasan oleh DPR dengan

Presiden sesuai tata tertib DPR.

4. Hak DPR

DPR sebagai lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai

lembaga Negara memiliki hak konstitusional berupa hak

interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Penggunaan

hak tersebut penting diatur dalam undang-undang dengan

pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat bagi DPR

60

dalam menggunakan haknya, sehingga didalam RUU

dirumuskan sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta

keterangan kepada Presiden mengenai kebijakan

Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak

luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 15 (lima

belas) orang anggota DPR kepada pimpinan DPR dan

mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR

yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)

dari jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah anggota DPR yang hadir.

b. Penggunaan hak angket:

1) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan

penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah yang

penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas)

orang anggota DPR kepada pimpinan DPR dan

mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR

yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)

dari jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah anggota DPR yang hadir.

3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia

angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan

keputusan DPR.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya

kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam

puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPR dapat

memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan

hukum, atau warga masyarakat yang dianggap

mengetahui atau patut mengetahui masalah yang

61

diselidiki untuk memberikan keterangan serta

untukmeminta menunjukkan surat atau dokumen yang

berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau

warga masyarakat yang dipanggil wajib memenuhi

panggilan DPR kecuali ada alasan yang sah menurut

peraturan perundang-undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara

berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPR

dapat memanggil secara paksa dengan bantuan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk

menyatakan pendapat terhadap kebijakan Pemerintah

yang penting dan strategis atau mengenai kejadian luar

biasa yang terjadi ditanah air atau situasi dunia

internasional disertai dengan rekomendasi

penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan

hak interpelasi dan hak angket.

2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit

15 (lima belas) orang anggota DPR kepada pimpinan

DPR dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna

DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga

perempat) dari jumlah anggota DPR dan putusan

diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

5. Kewajiban Anggota DPR

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja

lembaga dan anggota DPR, dipandang perlu merumuskan

aturan yang menyangkut kewajiban anggota DPR untuk dapat

memenuhi kewajibannya dalam menegaskan "menyerap,

menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat”. Sehingga didalam RUU dirumuskan bahwa

disamping kewajiban-kewajiban yang lain, anggota DPR juga

mempunyai kewajiban:

a. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

62

kunjungan kerja secara berkala;

b. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan

masyarakat.

6. Tugas dan Wewenang DPD

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-

Undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya; dan

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil

Keputusan Sidang Paripurna DPD.

(3) RUU yang telah disampaikan oleh DPD diajukan dengan

surat Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR dan Presiden.

(4) Dalam surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditegaskan antara lain alat kelengkapan yang ditugasi

mewakili DPD dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.

7. Hak DPD

DPD mempunyai hak:

a. inisiatif, mengajukan rancangan undang-undang mengenai

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah

kepada DPR;

b. ikut membahas rancangan undang-undang mengenai

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah

bersama DPR;

c. hak budget (terbatas) dengan memberikan pertimbangan

kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang

mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara dan

63

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama;

d. hak angket dan hak melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya

alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,

pendidikan, dan agama.

8. Kewajiban Anggota DPD

Anggota DPD mempunyai kewajiban:

a. mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan

perundang-undangan;

c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan;

d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan

keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;

e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;

f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti

aspirasi masyarakat dan daerah;

g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan

pribadi, kelompok, dan golongan;

h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis

kepada pemilih dan daerah pemilihannya;

i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan

j. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

9. Pimpinan DPD

a. DPD dipimpin oleh seorang Ketua dan paling banyak 2 (dua)

orang Wakil Ketua.

b. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Anggota DPD

dalam Sidang Paripurna.

c. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua DPD terpilih, Sidang DPD

dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPD.

d. Pimpinan Sementara DPD terdiri atas seorang Ketua dan

seorang Wakil Ketua yang diangkat dari Anggota DPD tertua

dan Anggota DPD termuda usianya.

64

e. Dalam hal Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) berhalangan, sebagai penggantinya adalah Anggota DPD

tertua dan/atau termuda usianya berikutnya.

f. Ketua dan Wakil Ketua DPD diresmikan dengan Keputusan

DPD.

g. Tata cara pemilihan Pimpinan DPD diatur dalam Peraturan

DPD tentang Tata Tertib

Pengaturan tentang pemberhentian Pimpinan DPD dipandang

perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan dengan

akuntabilitas dan kinerjanya. Oleh karena itu, pengaturan

tentang pemberhentian Pimpinan DPD dirumuskan sebagai

berikut:

a. Pimpinan DPD berhenti dari jabatannya karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPD, selain karena alasan

sebagaimana telah ditentukan dalam UU MD3,juga apabila:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan

atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPD selama 3

(tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD

berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPD.

10. Sanksi bagi anggota DPD

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPD yang terbukti

tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai sanksi,

dengan pengaturan sebagai berikut:

a. Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajibannya dapat

dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota

DPD atau pemberhentian sementara sebagai anggota DPD;

b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan

pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal

memiliki bukti-bukti yang cukup bahwa terdapat anggota

DPD yang tidak melaksanakan salah satu atau lebih

kewajibannya;

c. Badan Kehormatan DPD berwenang memeriksa,

65

memverifikasi dan memutuskan pengaduan sebagaimana

dimaksud pada huruf b;

d. Dalam hal Badan Kehormatan DPD memutuskan anggota

DPD tidak melaksanakan kewajibannya, keputusan Badan

Kehormatan disampaikan kepada pimpinan DPD.

e. Pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan

Kehormatan DPD tentang pemberhentian anggota DPD atau

pemberhentian sementara anggota DPD kepada Presiden

untuk memperoleh pengesahan pemberhentian atau

pemberhentian sementaranya.

f. Dalam hal keputusan Badan Kehormatan DPD

menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPD

tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPD

direhabilitasi namanya.

11. Susunan dan Kedudukan DPRD Provinsi

Sesuai dengan system pemilihan yang akan digunakan dalam

pemilihan umum anggota DPR dan DPRD,yaitu system

proporsional dengan daftar terbuka penuh dengan penetapan

calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak maka.

RUU ini menegaskan bahwa “DPRD provinsi terdiri atas

anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih

melalui pemilihan umum”.

Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, rumusan kedudukan DPRD provinsi

perlu disesuaikan dari “lembaga pemerintahan daerah provinsi

”menjadi“ unsur penyelenggara pemerintahan daerah

provinsi”.

12. Fungsi DPRD Provinsi

Untuk menegaskan dan memberi makna bagi kedudukan

DPRD Provinsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah provinsi, maka rumusan fungsi DPRD provinsi dari

fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, dipandang perlu

disesuaikan dan dirubah menjadi:

a. Fungsi pembentukan peraturan daerah provinsi;

b. Fungsi pembahasan dan persetujuan anggaran pendapatan

dan belanja daerah provinsi bersama dengan gubernur ;dan

c. fungsi pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan

pemerintahan daerah provinsi.

66

13. Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi

Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi,

DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang yang secara

langsung terkait dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Oleh karena itu, rumusan tugas dan wewenang DPRD

provinsi perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan

konstruksi penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU

Nomor 32 Tahun 2004, dengan tambahan sebagai berikut:

a. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan

jabatan wakil gubernur;

b. memberikanpersetujuanterhadap rencana kerjasama

internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah

provinsi;

c. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar

daerahdan dengan pihak ketiga yang membebani

masyarakat dan daerah;

d. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

14. Hak DPRD Provinsi

DPRD provinsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah provinsi memiliki hak konstitusional berupa hak

interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Penggunaan

hak tersebut penting diatur dalam undang-undang dengan

pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat bagi DPRD

provinsi dalam menggunakan haknya, sehingga didalam RUU

dirumuskan sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPRD provinsi untuk

meminta keterangan kepada gubernur mengenai

kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan

masyarakat, daerah, dan negara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)

orang anggota DPRD provinsi kepada pimpinan DPRD

provinsi dan mendapatkan persetujuan dari rapat

paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-

67

kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota

DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan

sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah

anggota DPRD provinsi yang hadir.

3) Hak angket adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan

penyelidikan terhadap kebijakan gubernur yang penting

dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan

masyarakat, daerah, dan Negara yang diduga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak angket diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)

orang anggota DPRD provinsi kepada pimpinan DPRD

provinsi dan mendapatkan persetujuan dari rapat

paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-

kurangnya 3/4 (tiga perempat)dari jumlah anggota

DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan

sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah

anggota DPRD provinsi yang hadir. Dalam menggunakan

hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas

semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan

DPRD provinsi.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya

kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama

60(enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPRD provinsi

dapat memanggil pejabat Negara tingkat provinsi,

pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga

masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau

patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk

memberikan keterangan serta untuk meminta

menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan

dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat Negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah

provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat

diprovinsi yang wajib memenuhi panggilan DPRD

provinsi kecuali ada alas an yang sah menurut

peraturan perundang- undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara

68

berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPRD

provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

b. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD provinsi

untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan

gubernur yang penting dan strategis atau mengenai

kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai

dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai

tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak

angket.

2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit

10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi kepada

pimpinan DPRD provinsi dan mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri

sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah

anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

15. Kewajiban anggota DPRD Provinsi

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga

dan anggota DPRD provinsi, dipandang perlu merumuskan

aturan yang menyangkut kewajiban anggota DPRD provinsi

untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menegaskan

"menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti

aspirasi masyarakat”. Sehingga,di dalam RUU dirumuskan

bahwa disamping kewajiban-kewajiban yang lain, anggota

DPRD provinsi juga mempunyai kewajiban:

a. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

kunjungan kerja secara berkala;

b. menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan

masyarakat;

c. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas bagi anggota

DPRD provinsi.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD

provinsi, anggota DPRD provinsi mengikuti orientasi dan

69

pendalaman tugas, yang dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

16. Pimpinan DPRD Provinsi

Prinsip pemberian reward secara politik bagi partai politik yang

berhasil memperoleh hasil pemilihan umum yang lebih baik

dari partai politik lainnya dalam pengisian Pimpinan DPR juga

perlu digunakan dalam pengisian Pimpinan DPRD provinsi,

sehingga ketentuan dalam pengisian Pimpinan DPRD provinsi

dirumuskan sebagai berikut:

a Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan

paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang berasal dari

partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak

di DPRD provinsi;

b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang

memperoleh kursi sama, ketua dan wakil ketua DPRD

provinsi ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan

suara terbanyak dalam pemilu;

c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang

memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua DPRD

provinsi ditentukan berdasarkan persebaran perolehan

suara.

Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian pimpinan

DPRD provinsi juga dipandang perlu disempurnakan,

khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas dan kinerjanya,

serta dengan mempertimbangkan keberadaan mereka sebagai

kader partai politik. Oleh karena itu, pengaturan tentang

pemberhentian pimpinan DPRD provinsi dirumuskan sebagai

berikut:

a. Pimpinan DPRD provinsi berhenti dari jabatannya karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri;atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian pimpinan DPRD provinsi, adalah:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan

atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPRD provinsi

70

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD

provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan badan

kehormatan DPRD provinsi;

3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan

undang-undang; atau

4) diberhentikan sebagai anggota partai politik.

c. Dalam hal salah satu pimpinan DPRD provinsi diberhentikan

dari jabatannya, penggantinya berasal dari fraksi yang sama

dengan fraksi pimpinan yang diberhentikan.

17. Sanksi bagi anggota DPRD Provinsi

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPRD provinsi yang

terbukti tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai

sanksi, dengan pengaturan sebagai berikut:

a. Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban

dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagai

anggota DPRD provinsi atau pemberhentian sementara

sebagai anggota DPRD provinsi;

b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan

pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam

hal memiliki bukti-bukti yang cukup bahwa terdapat

anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu

atau lebih kewajibannya;

c. Badan kehormatan DPRD provinsi berwenang memeriksa,

memverifikasidan memutuskan pengaduan sebagaimana;

d. Dalam hal badan kehormatan DPRD provinsi memutuskan

anggota DPRD provinsi tidak melaksanakan kewajibannya,

keputusan badan kehormatan disampaikan kepada

pimpinan DPRD provinsi;

e. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan

kehormatan DPRD provinsi tentang pemberhentian anggota

DPRD provinsi atau pemberhentian sementara anggota

DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri untuk

memperoleh pengesahan pemberhentian atau

pemberhentian sementaranya;

f. Dalam hal keputusan badan kehormatan DPRD provinsi

71

menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPRD

provinsi tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPRD

provinsi direhabilitasi namanya.

18. Fungsi DPRD Kabupaten/Kota

Untuk menegaskan dan memberi makna bagi kedudukan

DPRD kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka rumusan fungsi

DPRD kabupaten/kota dari fungsi legislasi, anggaran, dan

pengawasan, dipandang perlu disesuaikan dan dirubah

menjadi:

a. Fungsi pembentukan peraturan daerah kabupaten/kota;

b. Fungsi pembahasan dan persetujuan anggaran pendapatan

dan belanja daerah provinsi bersama dengan

bupati/walikota; dan

c. Fungsi pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kabupaten/kota.

19. Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten/Kota

Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah

kabupaten/kota, DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan

wewenang yang secara langsung terkait dengan tujuan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu,

rumusan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota perlu

disempurnakan dan disesuaikan dengan konstruksi

penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 32

Tahun 2004, dengan tambahan sebagai berikut:

a. memilih wakil bupati/wakil wali kota dalam hal terjadi

kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;

b. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama

internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah

kabupaten/kota;

c. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar

daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani

masyarakat dan daerah;

d. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

72

20. Hak DPRD Kabupaten/Kota

DPRD kabupaten/kota sebagai lembaga perwakilan rakyat

daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah kabupaten/kota memiliki hak

konstitusional berupa hak interpelasi, angket, dan

menyatakan pendapat. Penggunaan hak tersebut penting

diatur dalam undang-undang dengan pertimbangan perlunya

dasar legitimasi yang kuat bagi DPRD kabupaten/kota dalam

menggunakan haknya, sehingga didalam RUU dirumuskan

sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk

meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai

kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan

masyarakat, daerah, dan negara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)

orang anggota DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan

DPRD kabupaten/kota dan mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri

sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah

anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil

dengan persetujuan sekurang- kurangnya 2/3(dua

pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang

hadir.

b. Penggunaan hak angket:

1) Hak angket adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk

melakukan penyelidikan terhadap kebijakan

bupati/walikota yang penting dan strategis serta

berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah,dan

negara yang diduga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)

orang anggota DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan

DPRD kabupaten/kota dan mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang

dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari

73

jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan

diambil dengan persetujuan sekurang- kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota

yang hadir.

3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia angket

yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD

kabupaten/kota dengan keputusan DPRD

kabupaten/kota.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada

rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60

(enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPRD

kabupaten/kota dapat memanggil pejabat Negara tingkat

kabupaten/kota,pejabat pemerintah kabupaten/kota,

badan hukum, atau warga masyarakat dikabupaten/kota

yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui

masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan

serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen

yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat Negara tingkat kabupaten/kota, pejabat

pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga

masyarakat di kabupaten/kota yang wajib memenuhi

panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alas an

yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-

turut tidak memenuhi panggilan, DPRD kabupaten/kota

dapat memanggil secara paksa dengan bantuan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD

kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap

kebijakan bupati/walikota yang penting dan strategis

atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi didaerah

disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau

sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan

hak angket.

74

2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit

10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota

kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan

mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRD

kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾

(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD

kabupaten/kota dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga)

dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

21. Kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga

dan anggota DPRD kabupaten/kota, dipandang perlu

merumuskan aturan yang menyangkut kewajiban anggota

DPRD kabupaten/kota untuk dapat memenuhi kewajibannya

dalam menegaskan "menyerap, menghimpun, menampung, dan

menindaklanjuti aspirasi masyarakat”. Sehingga, di dalam RUU

dirumuskan bahwa disamping kewajiban-kewajiban yang lain,

anggota DPRD kabupaten/kota juga mempunyai kewajiban:

a. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

kunjungan kerja secara berkala;

b. Menampung dan menindaklanjuti aspires dan pengaduan

masyarakat;

c. Mengikuti orientasi dan pendalaman tugas bagi anggota

DPRD kabupaten/kota.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD

kabupaten/kota, anggota DPRD kabupaten/kota mengikuti

orientasi dan pendalaman tugas, yang dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang- undangan, khususnya UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

22. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

Prinsip pemberian reward secara politik bagi partai politik yang

berhasil memperoleh hasil pemilihan umum yang lebih baik

dari partai politik lainnya dalam pengisian Pimpinan DPR dan

DPRD provinsi juga perlu digunakan dalam pengisian

pimpinan DPRD kabupaten/kota, sehingga ketentuan dalam

pengisian pimpinan DPRD kabupaten/kota dirumuskan

sebagai berikut:

75

a. Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan

paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang berasal dari

partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi

terbanyak di DPRD kabupaten/kota;

b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang

memperoleh kursi sama, ketua dan wakil ketua DPRD

kabupaten/kota ditentukan berdasarkan urutan hasil

perolehan suara terbanyak dalam pemilu;

c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang

memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua DPRD

kabupaten/kota ditentukan berdasarkan persebaran

perolehan suara.

Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian pimpinan

DPRD kabupaten/kota juga dipandang perlu disempurnakan,

khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas dan

kinerjanya,serta dengan mempertimbangkan keberadaan

mereka sebagai kader partai politik. Oleh Karena itu,

pengaturan tentang pemberhentian pimpinan DPRD

kabupaten/kota dirumuskan sebagai berikut:

a. Pimpinan DPRD kabupaten/kota berhenti dari jabatannya

karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri;atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPRD kabupaten/kota,

apabila:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan

atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPRD

kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD

kabupaten/kota berdasarkan hasil pemeriksaan badan

kehormatan DPRD kabupaten/kota;

3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan

undang-undang; atau

4) diberhentikan sebagai anggota partai politik.

c. Dalam hal salah satu pimpinan DPRD kabupaten/kota

76

diberhentikan dari jabatannya, penggantinya berasal dari

fraksi yang sama dengan fraksi pimpinan yang

diberhentikan.

23. Sanksi bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPRD

kabupaten/kota yang terbukti tidak melaksanakan

kewajibannya dapat dikenai sanksi, dengan pengaturan

sebagai berikut:

a. Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan

kewajiban dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian

sebagai anggota DPRD kabupaten/kota atau pemberhentian

sementara sebagai anggota DPRD kabupaten/kota;

b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan

pengaduan kepada badan kehormatan DPRD

kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti-bukti yang cukup

bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak

melaksanakan salah satu atau lebih kewajibannya;

c. Badan kehormatan DPRD kabupaten/kota berwenang

memeriksa, memverifikasi dan memutuskan pengaduan;

d. Dalam hal badan kehormatan DPRD kabupaten/kota

memutuskan anggota DPRD kabupaten/kota tidak

melaksanakan kewajibannya,keputusan badan kehormatan

disampaikan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota;

e. Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan

badan kehormatan DPRD kabupaten/kota tentang

pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota atau

pemberhentian sementara anggota DPRD kabupaten/kota

kepada gubernur untuk memperoleh pengesahan

pemberhentian atau pemberhentian sementaranya;

f. Dalam hal keputusan badan kehormatan DPRD

kabupaten/kota menyatakan tidak terdapat cukup bukti

anggota DPRD kabupaten/kota tidak melaksanakan

kewajibannya, anggota DPRD kabupaten/kota

direhabilitasi namanya.

24. Penggantian Antar waktu Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

77

Sejalan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan kinerja

lembaga dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota, maka pengaturan tentang penggantian antar

waktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota juga perlu disempurnakan.

25. Penggantian antar waktu anggota DPR:

Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

26. Penggantian antar waktu anggota DPD:

Anggota DPD berhenti antar waktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

27. Penggantian antar waktu anggota DPRD provinsi:

Anggota DPRD provinsi berhenti antar waktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

28. Penggantian antar waktu anggota DPRD kabupaten/kota:

Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antar waktu karena:

1)meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3)diberhentikan.

29. Calon Pengganti Antar Waktu Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPR,

dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti adalah:

a. calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan

berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari

partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal

78

dunia, atau diberhentikan, diajukan calon anggota DPR yang

memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai

politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPD,

dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti adalah:

a. calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak

urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara

calon anggota DPD dari provinsi yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal

dunia, atau diberhentikan, diajukan calon anggota DPD

yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam

peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi

yang sama.

Dalam rangka penggantian antar waktu anggota DPRD

provinsi, dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti

adalah:

a. calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara

terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat

perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah

pemilihan yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal

dunia, atau diberhentikan, diajukan calon pengganti pada

urutan peringkat perolehan suara berikutnya dari partai

politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Dalam rangka penggantian antar waktu anggota DPRD

kabupaten/kota, dirumuskan ketentuan bahwa calon

pengganti adalah:

a. calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh

suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat

perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah

pemilihan yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal

dunia, atau diberhentikan diajukan calon pengganti pada

urutan peringkat perolehan suara berikutnya dari partai

politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Tata cara pengajuan penggantian antar waktu, verifikasi

79

terhadap persyaratan calon pengganti antar waktu, dan

pengesahan calon pengganti antarwaktu anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan

peraturan pemerintah.

30. Pemberhentian Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Untuk mengantisipasi kemungkinan selama masa jabatannya

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

tersangkut masalah hukum, khususnya sebagai akibat dari

perbuatan melawan hokum berupa perkara tindak pidana

umum dan perkara tindak pidana khusus, maka dipandang

perlu adanya pengaturan tentang pemberhentian sementara

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota.

Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

diberhentikan sementara karena:

a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang

diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.

Beberapa rumusan ketentuan yang menyangkut

pemberhentian sementara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota adalah:

a. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena

melakukan tindak pidana dan/atau huruf b di atas

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, anggota yang bersangkutan

diberhentikan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi

dan DPRD kabupaten/kota;

b. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada huruf a

dan/atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota yang

bersangkutan diaktifkan kembali sampai dengan

berakhirnya masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

80

c. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota diberhentikan sementara, hak

keuangannya tidak dibayarkan kecuali uang representasi;

d. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota diberhentikan, pemberhentiannya berlaku

terhitung mulai tanggal putusan pengadilan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

31. Pengelolaan Keuangan MPR, DPR, dan DPD

Pengelolaan keuangan MPR, DPR, dan DPD dilaksanakan oleh

Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan

Sekretariat Jenderal DPD sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, yang menunjuk Kepala

Satuan Kerja sebagai Pengguna Anggaran. Oleh karena itu,

Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan

Sekretaris Jenderal DPD sebagai Kepala Satuan Kerja

Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD adalah Pengguna

Anggaran. Sesuai dengan rumusan dalam RUU ini, maka

Pimpinan MPR, Pimpinan DPR, dan Pimpinan DPD mempunyai

tugas menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR,

DPR, dan DPD.

81

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pembentukan tipe sistem lembaga ketatanegaraan yang di

pilih oleh suatu negara, terutama tergantung pada

keadaan politik, sosial, ekonomi, tetnik, serta faktor-faktor

lainnya. Demikian pula dengan pembentukan kamar

kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper house

parlemen, institusi ini mempunyai haknya sendiri, yang

melekat dalamlingkungan nsionalnya sendiri, status

konstitusionalnya sendiri, keadaan lingkuangan ekonomi,

sosial dan politik masing-masing negara dan konteks

kelembagaan.

2. Kamar kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper

house dibentuk sebagai tempat untuk menampung

perwakilan lain, selain perwakilan politik yang

ditempatkan pada kamar pertama/firs chamber atau

majelis tingi/upper house untuk menampung perwakilan

yang berbeda dari kamar pertama, yaitu untuk

kepentingan kelas sosial, kepentingan ekonomi, atau

perbedaaan teritorial. Pada umumnya terhadap kamar

kedua secara konstitusional diberikan untuk perwakilan

teritorial.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut

konstitusi Indonesia saat ini, merupakan lembaga yang

tidak jelas kedudukan kelembagaannya; apakah hanya

sebagai lembaga ataukah hanyajoint session. Hal ini dapat

dilihat dari fungsinya, dengan argumentasi sebagai

berikut.

a. MPR bukan pemegang kedaulatan rakyat lagi karena

menurut Pasal 1 Perubahan Ketiga UUD 1945,

kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar.

b. Menurut Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD1945,

yaitu MPR berwenang mengubah dan menetapkan

Undang-Undang Dasar walaupun pasal ini terlihat

penting karena mengubah dan menetapkan UUD,

tetapi hanya dialakukan secara insidental, bukan

82

tugas yang setiap hari harus dilakukan karena

mengubah konstitusi bukanlah mengubah undang-

undang yang bisa secara cepat diubah.

c. MPR sudah tidak mempunyai kewenangan yang

penting dalam sistem ketatanegaraan, yaitu MPR tidak

memilih Presiden lagi. Ini dapat kita lihat pada pasal

6A Perubahan Ketiga UUD 1945 dan Pasal 22E

Perubahan Ketiga UUD 1945.

d. Dalam hal impeachment, menurut Pasal 7A dan 7B

Perubahan Ketiga UUD 1945, ini juga merupakan

kejadian yang tidak selalu terjadi. Dalam sejarah

ketatanegaraan dan politik di berbagai negara, tidak

setiap tahun Presiden di-impeach oleh parlemennya

(dalam konteks Indonesia MPR). Dan dalam hal iniada

Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan

memutuskan dari gugatan yang diajukan oleh DPR.

Jadi untuk memberi kepastian hukum dan

kewibawaan dari lembaga hukum (Mahkamah

Konstitusi). MPR sebaiknya hanya mengeksekusi

putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah

Konstitusi.

Fungai–fungsi tersebut merupakan fungsi yang bukan

rutinitas dan seadainya rutinitas hanya dilakukan

minimal lima tahun sekali sehingga tidak tepat untuk

mengatakan MPR sebagai sebuah lembaga.

4. Dewan Perwakilan Daerah dalam proses legislatif hanya

mempunyai hak. Itu pun hanya yang berkaitan dengan

daerah (Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga).

DPD dapat ikut membahas dan melakukan pengawasan

undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan

dan pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan

pendapatan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama

(Pasal 22D aayt (30 UUD 1945 Perubahan Ketiga). Hak

legislatif tersebut sangat tergantung seakali pada DPR,

yang mau menyetujui atau tidak usul, pembahasan dan

pengawasan yang dilakukan oleh DPD.

83

B. Saran

Ada 2 (dua) cara penggantian yang dapat di tempuh dari UU

MD3 yaitu.

1. Membuat UU tersendiri untuk DPD yang tidak digabung

dengan pengaturan lembaga lainnya seperti yang ada

sekarang mejadi satu dalam UU MD3. Hak ini sesuai

dengan maksud dalam UUD 1945 yang menggunakan kata-

kata “idatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” untuk

Pasal 2 ayat (1) mengenai MPR, Pasal 19 ayat (2) mengenani

DPR, Pasal 22C ayat (4) mengenai DPD, tetapi tidak untuk

DPRD. Sebab seharusnya menegenai DPRD diatiur dalam

UU tentang Pemerintah Daerah seperti dimaksud dalam

pasal 18 ayat (1) UUD 1945.

2. Mengubah/mengganti UU MD3 seperti

Perubahan/Pengaturan yang dilakukan pada tahun 2009,

namun esensi masing-masing lembaga dan pendukungnya

harus lebih diperjelas Hubungan dan mekanisme kerja

antar lembaga juga harus diperjelas terlebih dengan adanya

Putusan MK perkara Nomor 92/PUU-X/2012.