bagan pemikiran filsafat barat modern
TRANSCRIPT
BAGAN PEMIKIRAN FILSAFAT BARAT MODERNOleh : ROOY JOHN SALAMONY
RASIONALISMERENE DESCARTES (1596-1650)BARUCH SPINOZA (1632-1677)GOTTFRIED W.LEIBNIZ (1646-1716)
ANTI RASIONALISMEBLAISE PASCAL (1623-1662)
EMPIRISMEJOHN LOCKE (1623-1704)DAVID HUME (1711-1776)J.J. ROUSSEAU (1646-1716)
SPIRITUALISMEGEORGE BERKELEY (1685-1753)
FILSAFAT KRITISIMMANUEL KANT (1724-1804)
JOHANN G.FICHTE (1762-1814)FRIEDRICH W.J. VON SCHELLING (1775-
1854)
IDEALISMEGEORGE W.F.HEGEL (1770-1831)
ZAMAN
BAROK
ZAMAN
FAJAR BUD
I ZAM
AN RO
MAN
TIK
POSITIFISMEAUGUSTE COMTE (1798-1857)
IDEALISMEA. SCHOPENKAUER (1788-1860)
MATERIALISMELUDWIG A.REURBACH (1804-1872)KARL MARX (1818-1883)
EKSISTENSIALISMESØREN KIERKEGAARD (1838-1855)FRIEDRICH NIETZSCHE (1844-1900)
POSITIVISME INGGRISHERBERT SPENCER (1820-1903)
PRAGMATISMEWILLIAM JAMES (1842-1990)
FILSAFAT PERANCISHENRI L.BERGSON (1859-1941)
FILSAFAT JERMANEDMUND HUSSERL (1859-
1938) - FENOMENOLOGI
FILSAFAT ANGLO SAXONHERBERT SPENCER (1820-1903)WILLIAM JAMES (1842-1910)A.N.WHITEHEAD (1861-1947)B.RUSSEL (1872-1970)LUDWIG WITTGENSTEIN (1889-
1951)EKSISTENSIALISMEJEAN P.SARTRE (1905-1980)
EKSISTENSIALISMEKARL JASPERS (1883-1969)MARTIN HEIDEGGER (1889-
1976)
FILSAFAT ABAD 19
FILSAFAT ABAD 20
SEJARAH SINGKAT FILSAFAT BARAT MODERN
Sejarah filsafat modern barat, sebagaimana diungkapkan Hamersma (1983:3) adalah buah
dari bersemainya benih pemikiran di zaman abad pertengahan dan memuncak pada renaissance.
Ciri utama pemikiran modern dilambangkan dengan “subjek” sebagai pusat pemikiran. Subjek
yang dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap sebagai pusat dari segala sesuatu.
Manusia, dalam filsafat modern, memaknai dirinya tidak lagi sebagai orang yang bersiarah di
dunia (viator mundi), tetapi sebagai pribadi yang menciptakan dunia (faber mundi).
Penemuan mesiu, seni cetak dan kompas telah membawa dunia barat saat itu pada
keyakinan yang teguh akan peran mereka sebagai pencipta dunia. Alam pemikiran abad
pertengahan yang didominasi otoritas gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan.
Substansi pemikiran yang berpusat pada manusia menjadikan manusia sebagai dia yang memikul
seluruh kenyataan hidup.
Dalam suasana semacam itulah, lahir filsuf rasionalis Rene Descartes. Descartes
mengajukan metode baru dalam pendekatan filsafat yaitu “kesangsian metodis”. Dalam
kesangsian metodis, Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada kenyataan disekitarnya.
Ragu pada pengetahuannya. Juga ragu pada pengalamannya. Ketika ia ragu pada segala sesuatu,
ada satu hal yang tidak dapat diragukan. Hal itu adalah dirinya yang sedang ragu. Dengan
demikian jelas bagi Descartes bahwa satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah dia
yang meragu. Descartes yang ragu adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia ragu, ia
berpikir. Ia berpikir, maka ia ada. Adanya dia karena ia berpikir dan sangsi. Descartes
menegaskannya dalam kalimat “Cogito, ergo sum”. Je pense, done je suis. Saya berpikir, maka
saya ada.
Dalam konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio dapat mencapai kepastian
akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk ini, ada tiga hal yang jelas dan tegas
(clare et distincte) yaitu Allah, pemikiran (cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan
bagian dari bidang psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia, kedua
hal itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai pemikir dualisme. Jiwa
dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu sebagai akibat kerja kelenjar kecil
dibawah otak.
Serumpun dengan pemikiran Descartes adalah Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm
Leibniz, dan Blaise Pascal. Zaman dimana keempat filsuf ini hidup disebut zaman Barok. Baruch
Spinoza memandang substansi alam dan Allah sebagai satu-kesatuan yang tak terpisahkan.
Pengetahuan manusia adalah kontemplasi yang memberi persesuaian dengan keseluruhan, dan
sebagai hasilnya, kebebasan dan kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi
tunggal. Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade. Monade-monade itu
seperti jiwa. Ia dapat berpikir dan memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu
harmonia praestabilita yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya.
Mengambil keberjarakan dengan para pemikir sebelumnya, Blaise Pascal berada pada
posisi anti rasionalisme. Bagi Pascal, hati memiliki alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat
diketahui akal. Bagi Pascal, keputusan-keputusan yang dibuat manusia lebih banyak adalah
penyangkalan atas akal sehat, daripada sebaliknya.
Zaman fajar budi lahir diujung zaman Barok. Para pemikir era fajar budi memandang
bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia kini bertumpu pada rasio. Kata
kunci zaman Barok antara lain rasio, empiri, toleransi, dan kebebasan. Dalam sejarah filsafat
prancis, pada masa ini lahir filsuf besar seperti Voltaire, d’Alembert, Diderot, dan Rousseau.
Jerman melahirkan nama-nama Wolff, Lessing dan Immanuel Kant. Sementara emiprisme
Inggris memunculkan tokohnya seperti Locke, Berkeley dan Hume.
Pemikiran empirisme menjadi penanda paling menonjol di zaman fajar budi. Jika
rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka
empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dicapai oleh hasil kerja panca indera. Dan karena
terbatasnya panca indera manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Lock menjadikan
paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi otak saya, kata Lock terdiri dari ide-ide.
Ada ide-ide tunggal (simple idea) dan ada ide-ide jamak (complex idea). Ide yang peertama
berhubungan langsung dengan pengalaman inderawi. Ide yang kedua merupakan hubungan dari
ide-ide yang pertama. Misalnya sebab, akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat diamati
melalui kombinasi ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume mengikuti pemikiran
Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi agak mustahil. Bagi Hume,
pendapat Berkeley tentang subjek yang sedang mengamati dicoret oleh Hume. Bagi Hume, aku
sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran hanyalah kesan (impression) semata-mata.
Kesan merupakan bahan darimana pengetahuan tersusun. Karena itu, kesadaran manusia
bukanlah suatu jiwa. Kesadaran hanyalah deretan kontinyu dari kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724- 1804). Bagi Kant empirisme
benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta dibuang. Karenanya, Kant berupa membuat
sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil
perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan pikiran. Ia membagi tiga tingkatan
pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang disebutnya
Sinneswahrnehmung. Kedua, pengetahuan yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand.
Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu segala sesuatu yang ada kemudian.
Sementara akal budi merupakan unsur a-priori yang datang sebelum adanya pengalaman
inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel
Kant, pengetahuan tidaklah berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk
menciptakan ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas
objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa ke hadapan manusia untuk
diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut « revolusi Copernican ke arah subjek ».
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant bertanya : ‘apa yang harus
saya lakukan ?’ Bagi Kant, ada bermacam kaidah tindakan manusia. Kaidahitu antara lain : (1)
maksim-maksim yaitu kaidah yang bersifat subjektif, (2) undang-undang yaitu kaidah yang
berlaku secara umum objektif, (3) imperatif hipotetis yaitu syarat untuk mencapai sesuatu yang
bersifat umum, untuk mendapatkan x orang harus melakukan y terlebih dahulu, (4) imperatif
kategoris, berlaku umum, selalu, ada dimana-mana. Tujuan etika bagi Kant adalah kebaikan, dan
kebaikan menghasilkan kebahagiaan sempurna.
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman
romantik dimana para filsuf Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan Friedrich
Wilhem Joseph von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran Kant. Bagi Fitche,
idealisme Kant tidak cukup konsekuen. Menurut Fitche bidang an sich filsafat Kant, bidang
dimana benda ada pada dirinya sendiri, sama sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada pikiran
yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat memikirkan dirinya sendiri. Maka dengan
demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek yang bukan aku ini disebut anti tesis. Jadi subjek
yang berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya subjek dan objek
merupakan proses sintesis.
Pemikiran idealisme Jerman memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-
1831). Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal gejala-gejala diatasi Hegel dengan
konsep pemberian struktur oleh kategori-kategori dari akal. Jadi dalam filsafat Hegel, tidak ada
yang tidak bisa dikenal. Seluruh system filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu rangkaian
dialektis tiga tahap yaitu tesis, anti tesis dan sistesis. Disini Hegel menggunakan terminologi
Fitche. Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem filsafat yang terdiri atas ilmu logika,
filsafat alam dan filsafat roh. Di dalam ketiga cabang filsafat ini, hamper semua penyelidikan
filasat dirangkum. Bagian paling menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa
seluruh kenyataan adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian roh. Roh ini adalah
Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali lain (transendensi), melainkan
Allah yang imanen. Sistem Allah hegel hamper mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern. Ada bermacam pemikiran filsafat
pasca Hegel. Namun yang paling mudah diidentifikasi adalah terpisahnya filsafat menurut
teritori negara. Paling tidak ada tiga wilayah. Filsafat Jerman. Filsafat Perancis. Filsafat Anglo-
Saxon. Filsafat Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat di negeri
yang berbahasa Inggris (Anglo –Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume. Filsafat Perancis
hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte. Namun beberapa filsuf Prancis di
era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil sebagai filsuf eksistensialisme yang melanjutkan
pekerjaan para filsuf di negeri berbahasa Jerman seperti SǾren Kierkegaard (1838-1855) dan
Friedrich Nietszche (1844-1900).