baceman tugas tbc (dinkes)

181
Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim Lampiran 10 TUGAS MAKALAH PRAKTEK KERJA PROFESI PEMERINTAHAN DINAS KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR BIDANG PENGENDALIAN PENYAKIT DAN MASALAH KESEHATAN RENCANA PENANGGULANGAN RESISTENSI OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PASIEN TB DISUSUN OLEH : Arsyida Izza, S.Farm 050513230 Angreni Ayuhastuti, S.Farm 050513235 Rahmani Arisadita, S.Farm 050513362 Muhammad Cursor R., S.Farm 050513367 Rafi Jikrona, S.Farm 050513374 Elva Rahma Hayani, S.Farm 050513381 Lidya Rahmah, S.Farm 050513387 Diana Winarita, S.Farm 050513389 Riski Disi K., S.Farm 050513392 Azwar Farid, S.Farm 050513402 Selvia Eko Mei Romalasari, S.Farm 050513412 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PERIODE 90 Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 1

Upload: evrasia-lely

Post on 01-Jul-2015

638 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimLampiran 10

TUGAS MAKALAHPRAKTEK KERJA PROFESI PEMERINTAHAN DINAS KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR BIDANG PENGENDALIAN PENYAKIT DAN MASALAH KESEHATAN

RENCANA PENANGGULANGAN RESISTENSI OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PASIEN TB

DISUSUN OLEH : Arsyida Izza, S.Farm Angreni Ayuhastuti, S.Farm Rahmani Arisadita, S.Farm Muhammad Cursor R., S.Farm Rafi Jikrona, S.Farm Elva Rahma Hayani, S.Farm Lidya Rahmah, S.Farm Diana Winarita, S.Farm Riski Disi K., S.Farm Azwar Farid, S.Farm Selvia Eko Mei Romalasari, S.Farm 050513230 050513235 050513362 050513367 050513374 050513381 050513387 050513389 050513392 050513402 050513412

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PERIODE 90 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2009

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB I PENDAHULUAN Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 - 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi. Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia, Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti. Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua bagian penjuru dunia. Dibeberapa negara telah terjadi penurunan angka kesakitan dan kematiannya, Angka kematian berkisar dari kurang 5 -

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

3

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim100 kematian per 100.000 penduduk pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat menurut umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1974 dilaporkan angka insidensi sebesar 14,2 per 100.000 penduduk. Di Sumatera Utara saat ini diperkirakn ada sekitar 1279 penderita dengan BTA positif. Dari hasil evaluasi kegiatan Program Pemberantasan Tuberkulosis paru, kota Medan tahun 1999/2000 ditemukan 359 orang penderita dengan insiden penderita tuberkulosis paru 0,18 per 1000 jumlah penduduk. Dengan catatan dari balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4), di Medan dijumpai 545 kasus tuberkulosis pada setiap tahun.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

4

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang tidak efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi penyakit yang kronik dan berakhir dengan kematian (Harrison, 1995).

2.2.1 Definisi Tuberkulosis

Gambar 2.2 Paru yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis ( http://library.med.utah.edu) 2.2.2 Epidemiologi Tuberkulosis merupakan penyakit yang ada dari jaman dahulu kala, tingkat perkembangan penyakit ini tetap dari tahun ke tahun dan menunjukan peningkatan pada akhir tahun ini (Dipiro, 2005). Angka insiden kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi. Namun dari tahun 1985-1992 jumlah kasus TB meningkat hingga 20%. Pada tahun 1998, terdapat 18.361 kasus baru TB yang dilaporkan ke Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit. Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 10 hingga 15 juta orang terinfeksi TB. Kira-kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi (Wilson, 2005).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

5

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimSepertiga populasi di dunia terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis, terdapat 30 juta kasus TB aktif di dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap tahun dan bahwa 3 juta orang meninggal akibat TB setiap tahun. TB menyebabkan kematian 6% dari seluruh kematian di dunia (Harrison, 1995). Di Indonesia penyakit ini cukup banyak ditemukan. Indonesia tercatat sebagai negara yang memberikan kontribusi TB nomor 3 terbesar di dunia. Di RSUD Dr. Saiful Anwar selama periode Januari-Agustus 2006 terdapat 111 pasien laki-laki dan 100 pasien perempuan yang menderita TB. 2.2.3 Etiologi Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman famili Mycobacteriaceae dan mempunyai ordo Actinomycetales. Kuman penyebab TB tidak hanya Mycobacterium tuberculosis tapi juga disebabkan oleh Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanus dan Mycobacterium microti. Yang paling sering menginfeksi manusia adalah Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium bovis menginfeksi manusia pada negara yang sedang berkembang biasanya karena susu yang tidak mengalami pasteurisasi (Braunwald., et al, 2005) Di dalam jaringan, Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula mengfagositas malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Soeparman & Waspadji, 1990). Kuman dari penyakit ini menular melalui udara dalam bentuk droplet (percikan dahak) dari penderita yang telah terinfeksi disaat mereka berbicara, batuk atau bersin. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan (Depkes, 2002). Basilus turbekel di sekret pernafasan membentuk nuklei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk, bersin dan berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari mulut dan sesudah itu basilus yang ada tetap berada di udara untuk waktu yang lama (Harrison, 1995). 2.2.4 Mycobacterium tuberculosis

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

6

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimMycobacterium tuberculosis merupakan kuman penyebab Tuberkulosis. Kuman ini merupakan kuman batang aerobik dan tahan asam, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Wilson & Price, 2005). Basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kirakira 0,4 x 3 m. Pada pembenihan buatan, terlihat bentuk kokus dan filamen (Jawetz.,et al, 1995). Mikobakteria tidak dapat diklasifisikan sebagai gram positif atau gram negatif. Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil turbekel yang sebenarnya ditandai oleh sifat tahan asam misalnya 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asam-alkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria (Jawetz.,et al, 1995). Sifat tahan asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin. Pada dahak atau irisan jaringan, mikobakteria dapat diperlihatkan karena memberi fluorosensi kuning jingga setelah diwarnai dengan zat warna fluorokrom (misalnya auramin, rodamin) (Jawetz.,et al, 1995). Gambar kuman TB dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Mycobacterium tuberculosis (www.abc.net.au) Komponen penyusun dinding sel dari Mycobacterium tuberculosis adalah sebagai berikut:

1.

Lipid Kuman TB kaya akan lipid yang sebagian besar terikat pada protein dan polisakarida. Lipid bertanggung jawab untuk sebagian besar reaksi-reaksi seluler jaringan. Lipid dalam batasbatas tertentu bertanggung jawab terhadap sifat tahan asam kuman. Bila lemak dihilangkan dari basil dengan eter maka sifat pewarnaannya akan hilang.

2.

Protein

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

7

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimTiap kuman TB mengandung beberapa protein yang dapat mengakibatkan reaksi tuberkulin. Protein yang terikat pada fraksi lilin, pada penyuntikan dapat merangsang kepekaan terhadap tuberkulin. Zat tersebut dapat pula menimbulkan pembentukan beberapa antibodi. 3. Polisakarida Mycobacterium tuberculosis mengandung berbagai polisakarida. Zat ini dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe cepat dan berlaku sebagai antigen bila bereaksi dengan serum orang yang terinfeksi. (Jawets et al, 1995). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi (Soeparman & Waspadji, 1990). 2.2.5 Patogenesis Tempat masuk kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakkan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil turbekel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Kanai, 1991). Apabila partikel ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolus bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Bahar,2001).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

8

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

Gambar 2.4 Rute Respirasi infeksi tuberkulosis (Kanai, 1991) Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau tempat lainnya pada individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala (Harrison, 1995). Bila kuman menetap di jaringan paru, ia tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai pleura, maka dapat terjadi efusi pleura. Bila masuk arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier (Bahar, 2001).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

9

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal dan limfadenitisnregional disebut sebagai kompleks regional. Pada perkembangan selanjutnya kompleks primer akan mengalami salah satu dari hal berikut yaitu : Penderita sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Penderita sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitas lagi karena kuman yang dormant. Penyakit akan mengalami komplikasi dan menyebar dengan cara per kontinuitatum (menyebar ke sekitarnya), secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya (kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus), secara limfogen ke organ tubuh lainnya, secara hematogen ke organ tubuh lainnya (Bahar, 2001). Tuberkulosis sebagai penyakit klinis timbul pada sebagian kecil individu yang tidak mengalami infeksi primer. Pada beberapa individu, TB timbul dalam beberapa minggu setelah infeksi primer. Pada kebanyakan orang, organisme tetap dormant selama bertahun-tahun sebelum memasuki fase multiplikasi eksponensial yang menyebabkan penyakit. Di antara banyak keadaan, usia dapat dianggap sebagai faktor bermakna yang menentukan jalannya penyakit TB. Pada bayi, infeksi TB seringkali cepat berkembang menjadi penyakit dan beresiko tinggi menderita penyakit diseminata, antara lain meningitis dan tuberkulosis miliaris. Pada anak di atas usia 1 atau 2 tahun sampai sekitar usia pubertas, lesi TB primer hampir selalu menyembuh, sebagian besar akan menjadi TB pada dewasa muda. Individu yang terinfeksi pada masa dewasa memiliki resiko terbesar untuk terjadinya TB dalam waktu 3 tahun setelah infeksi. Penyakit TB lebih sering pada perempuan dewasa muda, sementara pada laki-laki lebih sering pada usia lebih tua (Harrison, 1995).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

10

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim2.2.6 Klasifikasi penyakit dan Tipe penderita TB Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan waktu setiap klasifikasi dan tipe penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus yaitu (Depkes, 2002) : Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru; Hasil pemeriksaan dahak secara makroskopi langsung : BTA (Batang Tahan Asam) positif atau BTA (Batang Tahan Asam) negatif; 2.1.20.1 Tingkat keparahan penyakit : ringan dan berat Klasifikasi penyakit Tabel II.1 Klasifikasi TB (Porth, 1991) Kelas Tipe 0 Tidak pernah terpapar Tidak terinfeksi 1 2 Keterangan Tidak ada riwayat terpapar Reaksi terhadap tes tuberkulin negatif Riwayat terpapar ada Reaksi tes tuberkulin negatif

Sistem klasifikasi TB dapat dilihat di Tabel II.1

Terpapar TB Tidak terbukti infeksi Ada infeksi TB Tidak timbul penyakit

3

4

5

Reaksi tes tuberkulin positif Pemeriksaan bakteri negatif (bila dilakukan) Tidak ada bukti klinis, bakteriologik atau radiografik TB aktif TB, aktif secara klinis Biakan M.tuberculosis (bila dilakukan) Terdapat bukti klinis, bakteriologik atau radiografik penyakit TB, tidak aktif secara Riwayat episode TB klinik Ditemukan radiografi yang abnormal atau tidak berubah; reaksi tes tuberkulin positif dan tidak ada bukti klinis atau radiografik penyakit sekarang Tersangka TB Diagnosis tertunda

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

11

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDi Indonesia klasifikasi yang dipakai adalah : 1. TB paru, yaitu TB yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam : 1) TB Paru BTA positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran TB aktif. 2) TB Paru BTA negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran TB aktif. TB paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced atau millier), dan atau keadaan umum penderita buruk.2. TB ekstra paru, yaitu TB yang menyerang organ tubuh lain seperti paru, misalnya pleura,

selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : 1) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya : TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) TB Ekstra Paru Berat Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

12

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim2.1.20.2 Tipe penderita Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : 1. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).2. Kambuh (relaps)

Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.3. Pindahan (Transfer in)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.4. Setelah lalai (Pengobatan setelah default/drop out)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5. Lain-lain a. Gagal Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih dan penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. b. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori ke 2 (Depkes, 2002). 2.2.7 Manifestasi klinik Keluhan yang dirasakan penderita TB dapat bermacam-macam atau malah tanpa keluhan sama sekali (Soeparman & Waspadji, 1990). Gejala utama yang sering terjadi pada penderita TB adalah batuk terus-menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih (Depkes, 2002). Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus yang diperlukan untuk membuang produk-produk

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

13

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimradang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah (hemoptoe). Karena terdapat pembuluh darah yang pecah (Soeparman & Waspadji, 1990). Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (mallaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes, 2002). Demam pada tuberkulosis menyerupai demam influenza. Tapi kadangkadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Demam ini sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Sesak nafas pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, di mana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis (Soeparman & Waspadji, 1990). 2.2.8 Data pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik penderita sering tidak menunjukan suatu kelainan, terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik (Soeparman & Waspadji, 1990). Data pemeriksaan fisik dapat diperoleh dari melihat kondisi fisik penderita, bila terdapat gejala umum yang biasa terjadi pada penyakit paru baik itu TB ataupun penyakit paru selain TB, batuk terus dan berdahak yang tidak sembuh dalam jangka waktu panjang, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemah dan berat badan menurun, maka dianggap sebagai suspek tuberkulosis atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopi langsung (Depkes, 2002).

2.2.9 Pemeriksaan laboratorium Untuk menegakkan diagnosis TB, menentukan klasifikasi dan tipe penyakit TB maka diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti : 1. Darah

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

14

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimPemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan. Pada saat TB baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan diferensiasi pergeseran ke kiri, jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endapan darah meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tetap tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Pemeriksaan serologis yang kadang-kadang dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukan proses TB masih aktif atau tidak. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar (Soeparman & Waspadji, 1990). 2. Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Selain itu pemeriksaan ini mudah dilakukan, cepat dan akurat. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama penderita yang tidak batuk atau ada batuk tapi non produktif (Soeparman & Waspadji, 1990). 3. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai cara Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purifered Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength). Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen maupun tidak (Mycobacterim tuberculosis atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekan antibodi selular. Bila pembentukan antibodi selular kurang cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman yang sangat besar atau pada keadaan di mana pembentukan antibodi humoral amat berkurang (pada hipo gama globulinemia),

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

15

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimmaka akan dengan mudah terjadi penyakit sesudah penularan (Soeparman & Waspadji, 1990). 2.2.10 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB dan membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti : tuberkulosis pada anak-anak dan tuberkulosis millier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Gambaran radiologis yang sering menyertai TB adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks) (Soeparman & Waspadji, 1990). Berikut adalah gambar tuberkulosis paru pada pemeriksaan rontgen.

Gambar 2.5 Beberapa bentuk dari tuberkulosis paru pada pemeriksaan rontgen (Crofton, 1999). Keterangan gambar 2.5a) Tuberkuloma bayangan bulat atau coin lesion (lesi uang logam) di bagian atas paru

kiri. b) Pembesaran kelenjar getah bening hilus dan paratrakeal kanan pada kompleks primer (dapat disertai atau tanpa disertai unsur paru yang jelas) c) Titik-titik lesi kecil yang difus tersebar merata pada tuberkulosis milier (Crofton, 1999).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

16

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim2.2.11 Riwayat terjadinya Tuberkulosis 2.1.11.1 Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes, 2002). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisiter atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman TB, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB (Depkes, 2002). Berikut adalah gambar rontgen lesi primer pada orang dewasa.

Gambar 2.6 Gambaran rontgen dari progesi (memburuknya) lesi primer pada orang dewasa (Crofton, 1999). Keterangan Gambar 2.6 a) Lesi primer paru pada orang dewasa.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

17

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimLesi ering terjadi pada bagian atas paru, pada kelenjar primer sering kali tidak tampak dalam sinar X. Lesi pada paru dan kelenjar limfe sering kali sembuh dan kemudian mengapur. b) Pembesaran lesi paru secara perlahan-lahan. c) Perkijuan lesi. Bahan serupa kiju yang mencair mungkin dibatukkan sehingga berakibat terbentuknya lubang (kavitas). Penyebaran TB dari lubang itu menghasilkan kerusakan yang lain di paru yang sama atau di paru lainnya (dengan pembentukan lubang baru di paru tersebut). d) Sesudah satu atau dua tahun (bila pasien bertahan hidup) berkembangnya fibrosis (jaringan ikat) akan menarik hilus kanan ke atas dan menarik trakea kanan (Crofton, 1999).2.1.11.2

Tuberkulosis pasca primer (Post Primary TB) TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi

primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes, 2002). Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB post primer/TB sekunder). Tuberkulosis post primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. TB post primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis) (Bahar, 2001) 2.2.12 Cara Penularan Sumber penularan TB adalah penderita TB BTA positif. Mycobacterium Tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan pernafasan. Basil tuberkel di saluran pernafasan membentuk nuklei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk, bersin dan bicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari mulut dan sesudah itu basilus yang ada tetap berada di udara untuk waktu yang lama. Infeksi pada penderita yang rentan terjadi bila terhirup sedikit basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan oleh kebanyakan penderita yang terinfeksi tidak banyak. Infeksi berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang dibatukkan, luasnya penyakit paru dan frekuensi batuk (Harrison, 1995).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

18

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

2.2.13 Komplikasi pada penderita Tuberkulosis Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB stadium lanjut diantaranya adalah 1. Hemoptisis (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.3. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada

proses pemulihan atau reaktif) pada paru.4. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan karena

kerusakan jaringan paru 5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti tulang, otak, persendian, ginjal dan sebagainya.6. Insulfisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

2.2.14 Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati Tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% dari penderita TB akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Depkes, 2002).2.2.15 Pengaruh infeksi TB pada Manula

Prevalensi infeksi TB pada penderita lanjut usia meningkat, hal ini disebabkan karena proses penuaan. Umur tua dapat menyebabkan perubahan pada sistem pernafasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru dan mempermudah terjadinya penyakit kardiopulmonar serta penurunan kemampuan paru menghadapi stres dan aktivitas. Gejala-gejala seperti penurunan berat badan, keringat dingin malam, demam dan nyeri dada lebih sering dijumpai pada dewasa muda daripada manula. Foto dada posterior anterior biasanya menunjukan gambaran fibrotik, infiltrat dan kavitas pada puncak paru-paru. Penderita manula mempunyai resiko lebih besar untuk terjadinya efek samping obat, sebab kadar obat umumnya lebih tinggi pada reseptor dan mungkin ada peningkatan kepekaan jaringan. Oleh karena itu pengobatan untuk manula harus diperhatikan dosis dan frekuensi pemakaiannya (Soeparman & Waspadji, 1990). 2.2.16 Diagnosis Tuberkulosis

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

19

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDiagnosis TB Paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikrokopis. Hasil pemeriksan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Jika diulang hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Jika hasil positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Jika hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB (Depkes, 2002). 2.2.17 Prinsip Pengobatan Tujuan pengobatan pada penderita TB bukan hanya sekedar memberikan obat tetapi juga menjamin obat yang diterima penderita akan diminum sesuai dengan ketentuan yang ada dan juga menjamin bahwa penderita tersebut akan meneruskan terapi. Dengan srategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotheraphy) maka tujuan pengobatan yang sesungguhnya dapat dipenuhi meliputi menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan (Depkes, 2002). Prinsip pengobatan TB didasarkan pada (Soeparman&Waspadji, 1990) : a. Aktivitas obat Terdapat 2 macam aktivitas /sifat obat terhadap TB yakni : Aktivitas bakterisid Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivasi sterilisasi

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

20

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDi sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. b. Faktor kuman TB Penelitian Mitchison membagi kuman M.tuberkulosis dalam beberapa populasi dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni : Populasi A Dalam kelompok ini kuman dapt tumbuh berkembang biak terus menerus dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pHnya netral. INH dapat bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisin dan streptomisin juga dapat bekerja pada populasi ini tapi efeknya lebih kecil daripada INH. Populasi B Dalam kelompok ini kuman bertumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap OAT tertentu. Hanya pirazinamid yang bisa bekerja di sini. Populasi C Pada kelompok ini kuman berada dalam keadaan dormant (tidak ada aktivitas metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat dalam dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja karena obat ini dapat segera bekerja bila bergabung dengan kuman selama 20 menit. Populasi D Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh OAT. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahann tubuh manusia itu sendiri (Soeparman & Waspadji, 1990). Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis , dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

21

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimpengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2002). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. a. Tahap intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap itensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderi ta menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan. b. Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2002). 2.2.18 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dalam riwayat pengobatan terhadap TB dulunya dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian besar kuman TB memang dapat dibinasakan tapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi TB dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resisitensi awal dapat diabaikan karena : Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih. Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH (Soeparman & Waspadji, 1990). Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

22

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimdemikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. Antituberkulosis sekunder adalah etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin dan kanamisin (Yusuf, 2005). OAT sekunder digunakan apabila terdapat resistensi terhadap OAT primer. Dari semua OAT baik primer maupun sekunder dapat menghambat pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis (Porth, 1991). Berikut ini adalah Tabel OAT primer dan mekanisme aksinya. Tabel II.2 Tabel OAT Primer dan mekanisme aksinya (Nelson, 2001). OAT Primer Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Etambutol (E) bakteriostatik Mekanisme aksi bakterisidal bakterisidal bakterisidal bakteriostatik Efek Membunuh metabolit aktif dari mycobacteria Membunuh metabolit aktif dan semi dormant dari mycobacteria Membunuh mycobacteria pada pH asam Menghentikan pertumbuhan dan reproduksi tapi tidak membunuh Mycobacteria Menghentikan pertumbuhan dan reproduksi tapi tidak membunuh Mycobacteria OAT primer/ OAT essensial yang direkomendasikan oleh WHO untuk mengobati penderita TB yaitu : a. Isoniazid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang (Depkes, 2002). Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya adalah menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

23

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimIsoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikobakterium. Hanya kuman yang peka menyerap obat ke dalam sel (Yusuf, 2005). Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemakaian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral (Yusuf, 2005). Waktu paruh plasma berkisar antara 1-3 jam. Absorbsi dihambat bila ada makanan dan menurun jika digunakan bersama antasida. Dibandingkan dengan streptomisin dan p-aminosalisilat, isoniazid lebih mudah masuk cairan cerebrospinal, oleh karena itu sangat bermanfaat untuk profilaksis dan terapi TB meningitis. Sekitar 75% akan mengalami asetilasi dalam tubuh dan ekskresi utama melalui filtrasi glomerulus (Zeind et al., 2000). Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB (Depkes, 2002). Dosis untuk manula 300 mg dosis tunggal. Efek non terapi yaitu reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular dan urtikaria. Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti agranulositisis, trombositopenia dan anemia. Vaskulisitis yang berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang bila pemberian obat dihentikan. Gejala artritis seperti sakit sendi juga dapat terjadi. Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 6 mg/kgBB/hari. Bila penderita tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Isoniazid memperkuat kerja hidantoion dan disulfiram, serta menurunkan toleransi terhadap alkohol (Yusuf, 2002). Isoniasid apabila dikombinasikan dengan rifampisin akan menyebabkan hepatotoksik karena rifampisin dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme isoniasid (Tatro, 2001). b. Rifampisin (R) Merupakan derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik makrosilik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranel. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh dengan menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain yaitu menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

24

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimberbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi daripada kadar yang lebih tinggi daripada kadar untuk penghambatan pada kuman (Yusuf, 2005). Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam. Dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 g/ml. Asam para amino salisilat dapat memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin harus digunakan bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua sediaan harus berjarak waktu 8-12 jam. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dengan warna jingga merah pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat (Yusuf, 2005). Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu (Depkes, 2002). Efek samping ringan pada pemakaian rifampisin adalah gangguan kulit, demam, mual dan muntah. Pada pemberian berselang dengan dosis lebih besar sering terjadi flu like sindrome, nefritis interstisial, nekrosis tubular akut, dan trombositopenia. Kontraindikasi terhadap penderita gangguan fungsi hati yang parahdan wanita yang sedang hamil karena diduga dapat menyebabkan kecacatan pada janin (Yusuf, 2005). c. Pirasinamid (Z) Parasinamid atau PZA adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini bersifat bakterizid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Pirazinamid dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazimidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Mekanisme obat ini belum diketahui (Yusuf, 2005). PZA mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 2 g menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya utamanya melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat antara 10-16 jam (Yusuf, 2005).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

25

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDosis harian yang dianjurkan adalah 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB (Depkes, 2002). Efek samping dalam pemakaiannya adalah hepatitis, peningkatan asam urat (karena menghambat ekskresi asam urat di tubulus ginjal), nyeri sendi dan reaksi hipersensitivitas, seperti mual, demam, kemerahan kulit. Kontraindikasi terhadap penderita dengan kerusakan hati yang berat dan pada pirai (Zeind et al., 2000). d. Streptomizin (S) Merupakan antibiotik amonoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB. Kadar serendah 0,4 g/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Absorbsi buruk secara per oral maka diberikan secara injeksi intramuskular. Ekskresi utama melalui ginjal dalam bentuk utuh. Masa paruh obat ini pada penderita dewasa adalah 2-3 jam dan dapat memanjang pada penderita gagal ginjal (Yusuf, 2005). Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (Depkes, 2002). Efek samping utama adalah kerusakan saraf yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran, yang berkembang mengikuti peningkatan dosis penggunaan (Yusuf, 2005).

e. Etambutol (E) Merupakan antimikroba sintetik yang bersifat bakteriostatik. Obat ini menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit1-2 kali kadar dalam plasma. Sebagian besar obat diekskresi melalui ginjal bersama urin dan sebagiannya lagi dimetabolisme di hati dan diekskresikan bersama feses (Yusuf, 2005) Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB (Depkes, 2002). Efek samping penggunaan etambutol antara lain penurunan ketajaman penglihatan, gangguan kulit, dan

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

26

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimdemam. Selain itu terjadi gangguan saluran cerna dan reaksi alergi. Kontraindikasi pada penderita dengan kerusakan ginjal yang parah dan penyakit saraf mata (Yusuf, 2005). Selain OAT essensial/primer sediaan tunggal di atas, untuk pengobatan TB dapat menggunakan kombinasi OAT essensial yang telah ditentukan dosisnya. Selain itu dapat juga menggunakan OAT sekunder ataupun kombinasi OAT primer dengan OAT sekunder yang telah ditentukan dosisnya. 2.2.19 Paduan OAT di Indonesia (Depkes, 2002) WHO dan IUATLD (International Againts Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standart yaitu : a. Kategori 1 2HRZE/4H3R3 2HRZE/4HR 2HRZE/6HE 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2HRZES/HRZE/5HRE 2HRZ/4H3R3 2HRZ/4HR 2HRZ/6HE

b. Kategori 2

c. Kategori 3

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT yang sedikit berbeda daripada paduan OAT rekomendasi WHO dan IUATLD. Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT yaitu : a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA Positif, penderita TB Paru BTA nehatif Rontgen Positif yang sakit berat dan penderita TB Ekstra Paru berat.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

27

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimb. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan, penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. d. Kategori sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Untuk lebih jelas, paduan OAT di Indonesia dapat dilihat pada Tabel II.3 Tabel II.3 Paduan OAT di Indonesia (Depkes, 2002)Kate gori penya kit Tipe penderita TB paru +, TB paru BTA berat, TB ekstra paru berat Kambuh, gagal, pengobat an setelah Tahap pengobatan Lama pengo batan (bln) Tablet Isoniasid @ 300 mg 1 Dosis per hari/kali Tablet Tablet Rifampisin Pirasinamid @ 450 mg @ 500 mg Tablet Etambutol @ 250 mg Streptomisin Injeksi Jumlah hari/kali menelan obat

Kateg ori 1

Intensif (dosis harian) Lanjutan (dosis 3x seminggu) Intensif

2

1

3

3

-

60

4

2

1

-

-

-

54

Kateg ori 2

2 1

1 1

1 1

3 3

3 3

0,75 g -

60 30

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

28

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimlalai TB Paru BTA ringan, TB Ekstra Paru ringan Kategori 1&2 BTA tetap + Lanjutan Intensif 5 2 2 1 1 1 3 1+ 2@500mg 66 60

Kateg ori 3

Lanjutan

4

2

1

-

-

-

54

OAT sisipa n

Intensif

2

1

1

3

3

-

60

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan berat badan antara 33-50 kg. 2.2.20 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan2.1.20.1

Pengobatan Kemajuan Hasil Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak

secara mikroskopi. Pemeriksaan dahak secara mikroskopi lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : 1. Akhir tahap intensif Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi konversi dahak, yaitu perubahan dari BTA positif menjadi negatif. 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. 3. Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif, dengan kategori 2. pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

29

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimpengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil pengobatan (sembuh atau gagal). Tindak lanjut hasil pemeriksaan dahak setiap tahap ini disajikan dalam tabel II.4 (Depkes, 2002) Tabel II.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak (Depkes, 2002)Tipe Penderita TB Penderita baru BTA positif Uraian Akhir tahap intensif Sebulan sebelum akhir pengobatan atau akhir pengobatan (AP) Hasil BTA Negatif Positif Tindak Lanjut Tahap lanjutan dimulai. Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan. Sembuh. Gagal, ganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal. Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat. Sembuh Belum ada pengobatan, disebut kasus kronik, jika mungkin rujuk kepada unit pelayanan spesialistik. Bila tidak mungkin, beri INH seumur hidup. Terus ke tahap lanjutan. Ganti dengan kategori 2 mulai dari awal.

Negatif keduanya Positif Penderita BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2 Akhir itensif Negatif Positif

Sebulan sebelum akhir pengobatan atau akhir pengobatan

Negatif keduanya Positif

Penderita BTA (-) & Ro (+) dengan pengobatan kategori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat)

Akhir intensif

Negatif Positif

2.1.20.2

Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut Hasil pengobatan seseorang penderita dapat dikategorikan sebagai :

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

30

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatima. Sembuh Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP (akhir pengobatan) dan/atau sebelum AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya). Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap. b. Pengobatan lengkap Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap. c. Meninggal Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. d. Pindah (Transfer Out) Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain. Tindak lanjut : penderita yang ingin pindah, dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke UPK baru. e. Defaulter (lalai)/DO Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut : lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. f. Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan/pada akhir pengobatan. Tindak lanjut : penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal.

Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi positif. Tindak lanjut : berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal (Depkes, 2002).

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

31

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim2.1.20.3 Tatalaksana Penderita yang Berobat Tidak Teratur Seseorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum mememahami bahwa obat harus ditelan cseluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus obat dan bagaimana hasil dahak sewaktu penderita kembali berobat.untuk lebih jelasnya lihat pada Tabel II.5 dan Tabel II.6 berikut. Tabel II.5 Pengobatan Penderita Baru BTA Positif Yang Berobat Tidak Teratur (Depkes, 2002)Lama pengobatan sebelumnya Kurang dari 1 bulan Lamanya pengobatan terputus < 2 minggu 2-8 minggu > 8 minggu < 2 minggu 2-8 minggu 1-2 bulan > 8 minggu < 2 minggu > 2 bulan 2-8 minggu > 8 minggu Ya Negatif Tidak Ya Ya --Positif Negatif Positif Negatif Perlu tidaknya pemeriksaan dahak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Hasil pemeriksaan dahak ----Positif Negatif --Positif Negatif Positif Dicatat kembali sebagai --------------Pengobatan setelah default Pengobatan setelah default ------Pengobatan setelah default Pengobatan setelah default Tindakan pengobatan Lanjutkan Kat-1 Mulai lagi Kat-1 dari awal Mulai lagi Kat-1 dari awal Lanjutkan Kat-1 Lanjutkan Kat-1 Tambahkan 1 bulan sisipan Lanjutkan Kat-1 Mulai dengan Kat-2 dari awal Lanjutkan Kat-1 Lanjutkan Kat-1 Mulai dengan Kat-2 dari awal Lanjutkan Kat-1 Mulai dengan Kat-2 dari awal Lanjutkan Kat-1

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

32

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimTabel II.6 Pengobatan Penderita dengan Kategori 2 yang Berobat Tidak Teratur (Depkes, 2002)Lama pengobatan sebelumnya Kurang dari b1 bulan Lamanya pengobatan terputus < 2 minggu 2-8 minggu > 8 minggu < 2 minggu 2-8 minggu 1-2 bulan > 8 minggu < 2 minggu 2-8 minggu > 2 bulan > 8 minggu Ya Negatif Ya Negatif Tidak Ya --Positif Negatif Positif Perlu tidaknya pemeriksaan dahak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Hasil pemeriksaan dahak ----Positif Negatif --Positif Negatif Positif Dicatat kembali sebagai --------------Pengobatan setelah default Pengobatan setelah default ------Pengobatan setelah default Pengobatan setelah default Tindakan pengobatan Lanjutkan Kat-2 Mulai lagi Kat-2 dari awal Mulai lagi Kat-2 dari awal Lanjutkan Kat-2 Lanjutkan Kat-2 Tambahkan 1 bulan sisipan Lanjutkan Kat-2 Mulai dengan Kat2 dari awal Lanjutkan Kat-2 Lanjutkan Kat-2 Mulai dengan Kat2 dari awal Lanjutkan Kat-2 Mulai dengan Kat2 dari awal Lanjutkan Kat-2

2.1.20.4

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan yanpa efek samping.

Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT. Efek samping OAT diantaranya adalah :

Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik.

Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejalagejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik atau obat sederhana tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat diteruskan.

Tabel II.7 dan II.8 menjelaskan efek samping OAT dengan pendekatan gejala dan penanganannya.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

33

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

Tabel II.7 Efek samping ringan dari OAT (Depkes, 2002) Efek samping Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urine) Penyebab Rifampisin Pirasinamid INH Rifampisin Penanganan Obat diminum malam sebelum tidur Beri aspirin Beri vitamin B6 (pireidoxin) 100 mg per hari Tidak perlu diberi apa-apa tapi perlu penjelasan kepada penderita

Tabel II.8 Efek samping berat dari OAT (Depkes, 2002) Penatalaksaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan di bawah*). Tuli Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol. Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol. Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT OAT sampai ikterus menghilang. Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT, (permulaan ikterus karena obat) OAT segera lakukan tes fungsi hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol. Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifampisin. *) penatalaksanan penderita dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit` :-

Efek samping Gatal dan kemerahan pada kulit

Penyebab Semua jenis OAT Streptomisin

Jika seseorang penderita dalam pengobatan dengan OAT mulai mengeluh gatal-gatal, singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian penderita hilang, namun pada sebagian penderita malahan terjadi sesuatau kemerahan kulit. Bila keadaan semacam ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, kepada penderita tersebut perlu diberikan kortikosteroid dan/atau tindakan suportif lainnya (infus) di UPK perawatan.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

34

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

2.2

Upaya Penanggulangan TB Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi

penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (DEPKES, 2007). WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (DEPKES, 2007). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1. Komitmen politis 2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut : 1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

35

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan 4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan riset (DEPKES, 2007) 2.2.1 Penanggulangan TB di Indonesia Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. 2.2.2 Tujuan dan Targeta. Tujuan: Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai

penularan, serta mencegah terjadinya MDR TB.b. Target: Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien

baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015. 2.2.3 Kerangka Kerja Strategi Penanggulangan TB di Indonesia 2006-2010

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

36

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimRencana strategi 2001-2005 berfokus pada penguatan sumber daya, baik sarana dan prasaran maupun tenaga, selain meningkatkan pelaksanaan strategi DOTS di seluruh UPK untuk mencapai tujuan Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, yaitu Angka Penemuan Kasus minimal 70% dan Angka Kesembuhan minimal 85%. Sehingga dalam jangka waktu 5 tahun kedepan angka prevalensi TB di Indonesia dapat diturunkan sebesar 50%. Rencana kerja strategi 2006-2010, merupakan kelanjutan dari Renstra sebelumnya, yang mulai difokuskan pada perluasan jangkauan pelayanan dan kualitas DOTS. Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan, yang dituangkan pada tujuh strategi utama pengendalian TB, yang meliputi: Ekspansi Quality DOTS 1. Perluasan dan Peningkatan pelayanan DOTS berkualitas 2. Menghadapi tantangan baru, TB-HIV, MDR-TB dll3. Melibatkan Seluruh Penyedia Pelayanan

4. Melibatkan Penderita dan Masyarakat Didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan5. Penguatan kebijakan dan kepemilikan Daerah 6. Kontribusi terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan

7. Penelitian Operasional. 2.2.4 Kegiatan a. Tatalaksana Pasien TB:

Penemuan tersangka TB Diagnosis Pengobatan

b. Manajemen Program: Perencanaan Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan Pelatihan Bimbingan teknis

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

37

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim Pemantapan mutu laboratorium Pengelolaan logistik Pemantauan dan Evaluasi

c. Kegiatan penunjang: Promosi Kemitraan Penelitian d. Kolaborasi TB/HIV di Indonesia, meliputi: Membentuk mekanisme kolaborasi, Menurunkan beban TB pada ODHA dan Menurunkan beban HIV pada pasien TB. 2.2.5 Organisasi Pelaksanaan a. Tingkat Pusat Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB. Dalam pelaksanaan program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis. b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi. c. Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

38

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

d. Unit Pelayanan Kesehatan. Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Praktek Dokter Swasta. Puskesmas. Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas

Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA. Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Paru (RSP) dan Balai Pengobatan Penyakit

Paru-Paru (BP4). Rumah Sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB. Balai Pengobatan, Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS). Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan BP4. 2.2.6 Pengawasan Minum Obat (PMO) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien b. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak

Persyaratan PMO

ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. c. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

39

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim selesai pengobatan.

Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

40

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB III KASUS Tn. XX sebagai dokter jaga di sebuah rumah sakit, menjadi khawatir setelah membaca berita tentang kehebohan di Amerika, akibat seorang pengacara yang sakit TB paru resisten sehingga tidak mempan diobati dengan obat TB yang biasa diberikan. Pasien TBC tersebut melakukan perjalanan ke negara lain, dan sekarang semua penumpang pesawat yang pernah ia tumpangi, sedang diteliti apakah tertular TB yang resisten. Tn. XX sebagai dokter, dia juga mengobati banyak pasien TB paru, dan beberapa di antaranya tidak sembuh, tidak responsif dengan obat yang dia berikan. Kalau pasien tersebut sudah resisten terhadap OAT yg umumnya digunakan sebagai terapi. Maka kemungkinan penderita tersebut secara tidak langsung sudah menularkan penyakitnya kepada orang-orang disekitarnya termasuk Tn. XX. Begitu besarnya resiko yang bisa ditimbulkan akibat terjadinya resistensi OAT pada penderita TB, untuk itu diperlukan suatu sistem atau strategi untuk mencegah dan menurunkan angka resistensi terhadap OAT

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

41

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL Penderita tidak patuh minum OAT

Mikroba kebal terhadap OAT tertentu

Terjadi resistensi OAT

Rencana Proses Penanggulangan

Program pemerintah

Peran aktif tenaga kesehatan

Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)

Dokter, Perawat, dan tenaga kesehatan lain

Apoteker

KIE

Monitoring

Menambah jumlah tenaga PMO (Pengawas Minum Obat)

PMR, Home Care

Puskesmas

Apotek Gambar 4.1 Kerangka Konseptual

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

42

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB V PEMBAHASAN Konsumsi OAT tidak teratur menyebabkan OAT tidak bekerja secara optimal dalam membunuh bakteri penyebab tuberculosis. OAT yang dikonsumsi secara tidak rasional (tidak tepat dosis, waktu, indikasi, tepat pasien) menyebabkan masih terdapat bakteri yang tidak terbunuh dan bila konsumsi obat dihentikan, akan dapat berkembang biak dengan leluasa dan memodifikasi diri untuk dapat menahan serangan OAT yang dikonsumsi selanjutnya, atau disebut dengan kekebalan (resistensi). Resistensi terhadap OAT terdiri dari dua macam, yaitu mono drug resisten dan multi drug resisten tehadap OAT. Mono drug resisten adalah suatu kondisi resistensi kuman M. Tuberculosis terhadap salah satu jenis OAT yang dikonsumsi pasien, sedangkan multi drug resisten merupakan suatu kondisi resistensi kuman M. Tuberculosis terhadap kombinasi OAT yang diberikan kepada pasien. Resistensi kuman M. Tuberculosis terhadap OAT dapat diidentifikasi melaui tes kepekaan OAT karena melibatkan obat anti TB dalam kultur LJ (Lowenstein Jensen) untuk mendeteksi strain mikobakteria yang di tes, apakah masih sensitif ataukah sudah terdapat strain yang resisten terhadap OAT. Mengacu pada kasus tersebut diatas, maka diperlukan suatu sistem atau strategi untuk mencegah dan menurunkan angka resistensi terhadap OAT. Terdapat beberapa sistem/strategi yang bisa digunakan untuk menurunkan atau mencegah terjadinya resistensi OAT, diantaranya yang telah direkomendasikan oleh WHO yaitu berupa program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi lain yang bisa dilakukan untuk pencegahan resistensi adalah melalui KIE penggunaan OAT serta monitoring kepatuhan pasien, yang bisa diimplementasikan melalui program Home Care dan PMR. Selanjutnya juga dilakukan tujuh strategi utama dalam pengendalian TB, yaitu meliputi expansi Quality DOTS antara lain perluasan dan peningkatan pelayanan DOTS berkualitas, menghadapi tantangan baru, TB-HIV, MDR-TB dll, melibatkan seluruh penyedia pelayanan, melibatkan penderita dan masyarakat. Strategi ini juga didukung dengan penguatan sistem kesehatan, yaitu penguatan kebijakan dan kepemilikan daerah, pemberian kontribusi terhadap sistem pelayanan kesehatan,

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

43

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimdan penelitian operasional. Kegiatan yang dilakukan adalah Tatalaksana Pasien TB, dengan penemuan tersangka TB, diagnosis dan pengobatan. Manajemen Program, yaitu perencanaan, pelaksanaan yang terdiri dari pencatatan dan pelaporan, pelatihan, bimbingan teknis, dan pemantapan mutu laboratorium; pengelolaan logistik, dan pemantauan dan evaluasi. Kegiatan penunjang terdiri dari promosi, kemitraan, dan penelitian. Kolaborasi TB/HIV di Indonesia, meliputi pembentukan mekanisme kolaborasi, penurunan beban TB pada ODHA dan penurunan beban HIV pada pasien TB.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

44

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimBAB VI KESIMPULAN Peran apoteker dalam menunjang program rencana penanggulangan resistensi OAT pada pasien TB melalui kegiatan KIE dan Monitoring kepatuhan pasien minum obat yang bisa dilakukan di puskesmas dan apotek. Apoteker juga dapat memberikan pelatihan pada kader-kader puskesmas untuk menjadi petugas PMO ( Pengawasan Minum Obat)

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

45

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimDAFTAR PUSTAKA Bahar Asril, 2001. Tuberkulosis Paru. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-3 , Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p.821-823. Coberly, J.S. and Chaisson, R.E., 2001. Tuberculosis. In: Nelson, K.E., Williams, C.M., Graham, N.M.H., Infectious Disease Epidemiology Theory and Practice, USA: An Aspen Publication, p 419-418. Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 1999. Clinical Tuberculosis, Ed 2nd, London: Macmillan Education LTD. Daniel, T.M., 1995. Tuberculosis. In : Isselbacher, K.J. (Eds.). Harrisons Principles of Internal Medicine, ED 13st, New York: Mc. Graw Hill, p 799-808. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Enarson, D.A., Chiang, C.Y., Murray, J.F., 2004. Global Epidemiology of Tuberculosis. In (Rom WN, Garay SM,2nd eds) Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Ganong, W.F., 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology), edisi 20, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Glover, M. L., Reed, M.D. Lower Respiratory Tract Infection, In : Dipiro, J.T. and Talbert, R. L., (Eds), 2002, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 5th edition, New York : McGraw Hill, Inc. Harries A, Maher D, 1997. TB a Clinical Manual For South East Asia. Geneva: TB Research ang Surveillance Unit. Global TB Programme WHO.http://library.med.utah.edu, 6 Desember 2009.

Jawetz Ernest, Melnick, J.L. and Adelberg, E.A., 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, p 302-305. Kanai Komi, 1991. Introduction to Tuberculosis and Mycobacteria, Tokyo: SEAMIC/IMFJ Publishing, p 40-41. Koda-Kimble, M.A., Young, L.Y., 1995. Applied Therapeutics. The Clinical Use of Drugs. 6th Edition. Vancouver : Applied Therapeutics. Inc Kumala Poppy, Komala Sugiarto, Santoso, A.H., Sulaiman, J.R., dan Reinita Yuliasari, 1995. Kamus Saku Kedokteran Dorland.Edisi ke-25, Jakarta: Penerbit buku kedokteran Marieb, E.N., 2001. Human Anatomy and Physiology. Edisi ke 5, USA: The Benjamin / Cummings Publising Company.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

46

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimMcEvoy, G.K., 2002. AHFS Drug Information, Book 1, United States of America : American sosiety of Health System Pharmacist. Murray, Robert K, et al,1999., Biokimia Harper. Edisi 24, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Peloquin, C.A., 2005. Tuberculosis. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G., Posey, L.M (Eds). Pharmacotherapy A Pathophisiologic Approach, Ed 6th, New York : The McGraw- Hill Co., Inc., p 1917-1919. Porth, C.M., 1991. Pathophysiology Concept of Altered Health States, Ed 2nd, Philadeldelphia: J.B. Lippincott, p 367-368 Prince, S.A., Wilson, L.M., 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed 6th, Volume 1, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC., p.852-857. Prince, S.A., Wilson, L.M., 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed 6th, Volume 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC., p.737-743. Raviglione,M.C., OBrien,R.J. Tuberculosis. In : Braunwald,E., Fauci,A.S., Kasper,D.L., Hauser,S.L., Longo,D.L., Jameson,J.L, 2001. Harrisons Principles of Internal Medicine., Ed 15th, New York:The Mc-Graw Hill Co., Inc. Reese, R.E., Betts, R.F., Gumustop, B., 2000, Handbook of Antibiotik. Edisi ke 3, USA : Lippincott Williams and Wilkins. Skorecky, K., Green, J., Brenner, B.M., 2005. Chronic Renal Failure. In : Kasper, et al,Harrisons Principle of Internal Medicines Volume II. 16th Edition, USA: The McGraw-Hill Companies Inc Soeparman, Waspadji, S., 1990. Ilmu Penyakit Dalam, jilid 2, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tatro, S.D., 2001. Drugs Interaction facts I, United States of America: Facts and Compairaons. Tatro, S.D., 2001. Drugs Interaction facts I, United States of America: Facts and Compairaons. Underwood, 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Ed 2th, Volume 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC., p.380-417.www.abc.net.au, 6 Desember 2009. www.utmen.edu, 6 Desember 2009.

Zubaidi Yusuf, 1995. Tuberkulostatik dan leprostatik. In: Ganiswara, S.G., (Eds.). Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-4, Jakarta: Gaya Baru, p 606-610. Zeind, C.S., Gourley, G.K., Chandler-Toufreli, D.M., 2000, Tuberculosis, In: Herfindal, E.T., Gourley, D.R., (Eds), Textbook of Theraupetics, Drug and Disease Management, 7th edition, USA : Lippincott William & Wilkins.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

47

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan JatimLampiran 11

TUGAS MAKALAHPRAKTEK KERJA PROFESI PEMERINTAHAN DINAS KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR BIDANG PENGENDALIAN PENYAKIT DAN MASALAH KESEHATAN

PENGADAAN SAMPAI DENGAN PEMUSNAHAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

DISUSUN OLEH : Meliessa Endy R, S.Farm Wida Rukmajanti, S.Farm Niniet Pebrianty, S.Farm Widiyanti Afifah, S.Farm Abitya Nalasafa, S.Farm Dwi Putri R, S.Farm Erlina A, S.Farm Cinthya R.Y. , S.Farm Lestriana Kusumasari, S.Farm Yusi Widya, S.Farm Mohammad Sihabuddin, S.Farm Siska Herwinda, S.Farm Dwi Mulyaningsih, S.Farm Ulva Rosyana, S.Farm 050210166 E 050513167 050513164 050513177 050513183 050513188 050513198 050513203 050413092 050513147 050513349 050513156 050513340 050513345

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PERIODE 90 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2009 Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 48

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

49

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatim

BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah salah satu jenis penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia, dan yang paling sering terkena adalah organ paru (90%). Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paruparu kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP). Di negara-negara maju penyakit TB yang semula sudah dianggap tidak ada, kini mulai timbul dan semarak, justru karena timbulnya penyakit HIV/AIDS. Karena kondisi pertahanan tubuh penderita HIV/AIDS sangat lemah, maka keadaan ini mempermudah terserang penyakit TB. TB banyak terdapat di kalangan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi lemah dan menyerang golongan usia produktif (15-54 tahun). Sekitar 3/4 pasien TB adalah golongan usia produktif. TB membunuh lebih banyak kaum muda dan wanita dibanding dengan penyakit menular lainnya. Di seluruh dunia terdapat sekitar 2-3 juta orang meninggal akibat TB setiap tahunnya. Sesungguhnya kematian akibat TB dapat dihindari. Setiap tahun sebesar 1% dari seluruh penduduk dunia sudah tertular oleh kuman TB (walaupun belum terjangkit oleh penyakitnya). Asia termasuk kawasan dengan penyebaran tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Setiap 30 detik, ada satu pasien di Asia meninggal dunia akibat penyakit ini. Sebelas dari 22 negara dengan angka kasus TB tertinggi berada di Asia, di antaranya India, China, Indonesia, Banglades, dan Pakistan. Di Indonesia, TB adalah penyebab kematian ke-2 setelah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Jika diobati dengan benar tuberkulosis dapat disembuhkan. Akan tetapi pengobatan ini memerlukan kedisiplinan. Pasien harus berobat selama 6 bulan dan tidak boleh putus. TB mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus, jika tak diobati. Tujuan pengobatan TB ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya pengobatan dengan obat TB dapat menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada pemeriksaan dahak mikroskopis maupun biakan kuman dan hasil ini

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

50

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimtetap negatif selamanya. Sejak tahun 1995, program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas (tbfactsheetindonesia, 2009). Strategi ini diartikan sebagai "Pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1. 2. 3. 4. 5. Komitmen politis Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Memberdayakan pasien dan masyarakat Melaksanakan dan mengembangkan riset Diantara faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan adalah tersedianya obat yang kontinyu, selain dedikasi petugas pelayanan yang baik, pemberian regimen OAT yang adekuat, serta faktor-faktor penderita lainnya. Baru-baru ini departemen Kesehatan (Depkes)

kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Program Profesi Apoteker 90 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

51

Laporan Praktek Kerja Profesi Bidang Pemerintahan-Dinas Kesehatan Jatimmengeluarkan obat baru Tuberkolusis (TB) bernama Fixed Dose Combination (FDC). Obat tersebut gabungan dari empat jenis obat yang dikemas dalam satu pil (4FDC). Adapun keempat obat yang digabung dalam Fixed Dose Combination adalah rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambuthol. Dengan penggabungan obat tersebut, pasien TB dapat mudah minum obat selama enam bulan tanpa putus. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 mewajibkan