bab_iv_sambalado.docx
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1. Hasil Percobaan untuk Sampel Fruktosa (C6H12O6) dengan Pelarut
Aquadest (H2O)
Tabel 4.1 Data Percobaan Fruktosa (C6H12O6) dengan Pelarut Aquadest (H2O)
Sampel Run
Berat Zat
terlarut
(gr)
Volume
pelarut
(ml)
Temperatur % Berat
Zat
Terlarut
Jernih
( C)⁰
Keruh
( C)⁰
Fruktosa
(C6H12O6)
I 1,5
8
10
12
70
69
68
32
31
30
15,789
13,043
11,111
II 2
8
10
12
72
70
69
33
32
30
20,000
16,667
14,286
III 8
8
10
12
79
78
77,5
34
32
30
23,810
20,000
17,241
2. Hasil Percobaan untuk Sampel Fruktosa (C6H12O6) dengan Pelarut
Super O2
Tabel 4.2 Data Percobaan Fruktosa (C6H12O6) dengan Pelarut Super O2
Sampel Run
Berat
Zat
terlarut
(gr)
Volume
pelarut
(ml)
Temperatur% Berat
Zat
Terlarut
Jernih
( C)⁰
Keruh
( C)⁰
Fruktosa
(C6H12O6)II 2
8
10
12
68
67
66
33
32
30
20,000
16,667
14,286
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Temperatur Jernih terhadap Volume Larutan
7 9 11 1362
64
66
68
70
72
74
76
78
80Fruktosa 1,5 gramFruktosa 2 gramFruktosa 2,5 gramregresi Fruktosa 1,5 gramregresi Fruktosa 2 gramregresi Fruktosa 2,5 gram
Volume Larutan (ml)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.1 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Volume Larutan untuk
Pelarut Aquadest
Gambar 4.1 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap volume
larutan yang diperoleh dari hasil percobaan. Untuk fruktosa (C6H12O6) pada run I, II
dan III dengan massa 1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram grafik mengalami penurunan
pada setiap penambahan volume pelarut berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa
semakin banyak volume pelarut yang ditambahkan pada sampel, maka temperatur
jernih akan menurun.
Pada run I diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan 8 ml, 10 ml,
12 ml sebesar 70oC, 69oC dan 68°C dengan regresi sebesar 70,470 oC, 68,885 oC dan
68,067 °C. Pada run II diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan 8 ml,
10 ml, 12 ml sebesar 72 oC, 70 oC dan 69 °C dengan regresi sebesar 71,931 oC,
70,165 oC dan 68,904 °C. Pada run III diperoleh data temperatur jernih untuk volume
larutan 8 ml, 10 ml, 12 ml sebesar 79 oC, 78 oC dan 77,5 °C dengan regresi sebesar
78,964 oC, 78,086 oC dan 77,450 oC.
Menurut teori, semakin tinggi temperatur semakin cepat kelarutannya, dan
sebaliknya semakin rendah tempetur semakin kecil kelarutannya. Dan dari hubungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur berbanding terbalik dengan
Fruktosa Run I
Fruktosa Run II
Fruktosa Run III
Regresi Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run III
volume larutan, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan kelarutan
(Krisnariansyah, 2012).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori dimana semakin besar volume pelarut, maka semakin kecil temperatur
jernihnya.
4.2.2 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Volume Larutan
29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33 33.5 34 34.526
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Fruktosa 1,5 gram
Fruktosa 2 gram
Fruktosa 2,5 gr
Regresi Fruktosa 1,5 gram
Regresi Fruktosa 2 gram
Regresi Fruktosa 2,5 gram
Volume Larutan (ml)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.2 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Volume Larutan untuk
Pelarut Aquadest
Gambar 4.2 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap volume
larutan yang diperoleh dari hasil percobaan. Untuk Fruktosa (C6H12O6) run I 1,5
gram, run II 2 gram, danrun III 2,5 gram grafik mengalami penurunan. Dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak volume pelarut yang ditambahkan pada sampel,
maka temperatur keruh akan menurun.
Pada run I diperoleh data temperatur keruh untuk volume larutan 8, 10, 12 ml
sebesar 32 oC, 31 oC dan 30°C dengan regresi sebesar 32,047 oC, 30,885 oC dan
30,067 °C. Pada run II diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan 8 ml,
10 ml, 12 ml sebesar 33 oC, 32 oC dan 30°C dengan regresi sebesar 33,206 oC, 31,505 oC dan 30,289 °C. Pada run III diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan
gram
Fruktosa Run I
Fruktosa Run II
Fruktosa Run III
Regresi Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run III
8 ml, 10 ml, 12 ml sebesar 34 oC, 32 oC dan 30 °C dengan regresi sebesar 34,089 oC,
31,788 oC dan 30,123 oC.
Menurut teori, semakin tinggi temperatur semakin cepat kelarutannya, dan
sebaliknya semakin rendah tempetur semakin kecil kelarutannya. Dan dari hubungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur berbanding terbalik dengan
volume larutan, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan kelarutan
(Krisnariansyah, 2012).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori dimana semakin besar suatu volume larutan, semakin rendah
temperaturnya.
.
4.2.3 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Berat Sampel (%)
10 12 14 16 18 20 22 24 2662
64
66
68
70
72
74
76
78
80
Fruktosa Run I
Fruktosa Run II
Fruktosa Run III
Regresi Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run III
Berat Sampel (%)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.3 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Berat Sampel (%) Pelarut
Aquadest
Gambar 4.3 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap berat sampel
(%), yang diperoleh dari hasil percobaan. Untuk fruktosa pada run I 1,5 gram
didapatkan temperatur jernih sebesar 70oC, 69 oC, dan 68 oC pada saat berat sampel
(%) 15,789 %; 13,043 %, dan 11,111 %. Pada volume larutan tersebut juga
didapatkan temperatur regresi jernihnya sebesar 70,047 oC; 68,885 oC; 68,067 oC.
Untuk fruktosa pada run II 2 gram didapatkan temperatur jernih sebesar 72 oC, 70 oC,
dan 69 oC pada saat persen berat sampel 20,000 %; 16,667 %, dan 14,286 %. Pada
volume larutan tersebut juga didapatkan temperatur regresi jernihnya sebesar 70,047 oC; 68,885 oC; 68,067 oC. Untuk fruktosa pada run III 2,5 gram didapatkan
temperatur jernih sebesar 79oC, 78 oC, dan 77,5 oC pada saat persen berat sampel
23,810 %; 20,000 %, dan 17,241 %. Pada volume larutan tersebut juga didapatkan
temperatur regresi jernihnya sebesar 70,047 oC; 68,885 oC; 68,067 oC. Pada grafik
4.3 dapat disimpulkan bahwa semua grafik, baik pada sampel maupun regresi
fruktosa (C6H12O6) 1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram mengalami peningkatan.
Menurut teori, kelarutan biasanya dinyatakan dalam konsentrasi baik itu massa
zat pelarut, molaritas, molalitas, fraksi mol, atau istilah lain yang sama dengan
konsentrasi. Kelarutan zat terlarut dalam zat pelarut tergantung pada temperatur atau
suhu. Pada banyak padatan yang terlarut dalam cairan, kelarutan meningkat dengan
temperatur (Sisodiya, dkk., 2012).
Dari hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur sebanding
dengan jumlah massa zat, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan
kelarutan. Maka didapatkan hasil percobaan sesuai dengan teori dimana semakin
besar berat sampelnya (%), semakin besar pula temperaturnya.
4.2.4 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Berat Sampel (%)
10 15 20 2527
28
29
30
31
32
33
34
35
Fruktosa Run IFruktosa Run IIFruktosa Run IIIRegresi Fruktosa Run IRegresi Fruktosa Run IIRegresi Fruktosa Run III
Berat Sampel (%)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.4 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Berat Sampel (%) Pelarut
Aquadest
Gambar 4.4 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap berat sampel
(%) yang diperoleh dari hasil percobaan. Dari gambar 4.4 dapat dilihat grafik
mengalami peningkatan.
Menurut teori, kelarutan biasanya dinyatakan dalam konsentrasi baik itu
massa zat pelarut, molaritas, molalitas, fraksi mol, atau istilah lain yang sama dengan
konsentrasi. Kelarutan zat terlarut dalam zat pelarut tergantung pada temperatur atau
suhu. Pada banyak padatan yang terlarut dalam cairan, kelarutan meningkat dengan
temperatur (Sisodiya, dkk., 2012).
Dari hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur
sebanding dengan jumlah massa zat, karena naiknya temperatur berbanding lurus
dengan kelarutan. Maka didapatkan hasil percobaan sesuai dengan teori dimana
semakin besar berat sampelnya (%), semakin besar pula temperaturnya.
4.2.5 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Kelarutan
0.5 0.7 0.9 1.1 1.3 1.5 1.762
64
66
68
70
72
74
76
78
80
Fruktosa Run I
Fruktosa Run II
Fruktosa Run III
Regresi Run I
Regresi Run II
Regresi Run III
Kelarutan (M)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.5 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Kelarutan untuk Pelarut
Aquadest
Gambar 4.5 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap kelarutan, yang
diperoleh dari hasil percobaan. Grafik 4.5 memperlihatkan bahwa grafik mengalami
peningkatan pada semua sampel, baik pada fruktosa (C6H12O6) 1,5 gram, 2 gram, dan
2,5 gram, dan regresi fruktosa (C6H12O6) 1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram.
Pada run I diperoleh data temperatur jernih untuk nilai kelarutan 0,937, 0,765,
dan 0,646 sebesar 70°C, 69°C dan 68 °C dengan regresi sebesar 70,047°C;
68,885°C; 68,067 °C. Pada run II diperoleh data temperatur untuk nilai kelarutan
1,209, 0,993, 0,842 sebesar 72°C, 70°C, dan 69 oC dengan regresi sebesar 70,047°C;
68,885°C; 68,067 oC. Pada run III diperoleh data temperatur jernih untuk nilai
kelarutan 1,464, 1,209, dan 1,030 sebesar 79°C, 78°C, 77,5 °C dengan regresi
sebesar 34,089°C, 31,788°C dan 30,123 oC.
Menurut teori, kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada
temperatur, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan
suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikkan. Adanya panas
(kalor) menyebabkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat
menjadikan kekuatan gaya antar molekul menjadi lemah sehingga mudah terlepas
oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adanya pengaruh
kenaikan suhu menyebabkan kelarutan gas berkurang. Hal ini disebabkan karena gas
yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air apabila suhu meningkat
(Komala, 2013).
Suhu akan mempengaruhi kelarutan. Jika proses pelarutan menyerap energi
maka suhu meningkat seiring dengan kelarutan yang juga akan meningkat. Jika
proses pelarutan melepaskan energi maka kelarutan akan menurun jika temperatur
meningkat. Umumnya, sebuah peningkatan suhu dari larutan meningkatkan kelarutan
dari zat terlarut padat. Beberapa larutan padat sedikit kurang larut dalam larutan
hangat. Untuk semua gas, kelarutan menurun jika suhu larutan meningkat (Patil,
dkk., 2011).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori di mana terjadi kenaikan kelarutan ketika temperatur semakin besar.
4.2.6 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Kelarutan
0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.627
28
29
30
31
32
33
34
35Fruktosa Run I
Fruktosa Run II
Fruktosa Run III
Regresi Run I
Regresi Run II
Regresi Run III
Kelarutan (M)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.6 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Kelarutan untuk Pelarut
Aquadest
Gambar 4.6 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap kelarutan zat
yang diperoleh dari hasil percobaan. Dari gambar 4.6 dapat dilihat untuk fruktosa
(C6H12O6) 1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram, mengalami peningkatan. Secara
keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa semakin besar kelarutan suatu zat, maka
temperatur keruh cenderung naik.
Pada run I diperoleh data temperatur jernih untuk nilai kelarutan 0,937, 0,765,
dan 0,646 sebesar 32°C, 31°C dan 30 °C dengan regresi sebesar 32,047°C, 30,885°C
dan 30,067 °C. Pada run II diperoleh data temperatur untuk nilai kelarutan 1,209,
0,993, 0,842 sebesar 33°C, 32°C dan 30 °C dengan regresi sebesar 33,206°C,
31,505°C dan 30,289°C. Pada run III diperoleh data temperatur jernih untuk nilai
kelarutan 1,464, 1,209, dan 1,030 sebesar 34°C, 32°C dan 30 °C dengan regresi
sebesar 34,089°C, 31,788°C dan 30,123 oC.
Menurut teori, kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada
temperatur, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan
suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikkan. Adanya panas
(kalor) menyebabkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat
menjadikan kekuatan gaya antar molekul menjadi lemah sehingga mudah terlepas
oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adanya pengaruh
kenaikan suhu menyebabkan kelarutan gas berkurang. Hal ini disebabkan karena gas
yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air apabila suhu meningkat
(Komala, 2013).
Menurut teori, suhu akan mempengaruhi kelarutan. Jika proses pelarutan
menyerap energi maka suhu meningkat seiring dengan kelarutan yang juga akan
meningkat. Jika proses pelarutan melepaskan energi maka kelarutan akan menurun
jika temperatur meningkat. Umumnya, sebuah peningkatan suhu dari larutan
meningkatkan kelarutan dari zat terlarut padat. Beberapa larutan padat sedikit kurang
larut dalam larutan hangat. Untuk semua gas, kelarutan menurun jika suhu larutan
meningkat (Patil, dkk., 2011).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori di mana terjadi kenaikan kelarutan ketika temperatur semakin besar.
4.3 Pembahasan untuk Fruktosa dalam Pelarut Super O2
4.3.1 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Volume Larutan
8 10 12
65
65.5
66
66.5
67
67.5
68
68.5
69
69.5
70
Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Gambar 4.7 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Volume Larutan untuk
Pelarut Super O2
Gambar 4.7 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap volume
larutan yang diperoleh dari hasil percobaan. Untuk fruktosa (C6H12O6) pada run II
dengan massa 2 gram, grafik mengalami penurunan pada setiap penambahan volume
pelarut berikutnya.
Pada run II diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan 8 ml, 10
ml, 12 ml sebesar 68 oC, 67 dan 66°C dengan regresi sebesar 68,046°C, 66,890°C
dan 66,064 °C.
Menurut teori, semakin tinggi temperatur semakin cepat kelarutannya, dan
sebaliknya semakin rendah tempetur semakin kecil kelarutannya. Dan dari hubungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur berbanding terbalik dengan
volume larutan, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan kelarutan
(Krisnariansyah, 2012).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori dimana semakin besar suatu volume larutan, semakin rendah
temperaturnya
4.3.2 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Volume Larutan
7 9 11 13 1565
66
67
68
69
70
Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Kelarutan (M)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.7 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Volume Larutan untuk
Pelarut Super O2
Gambar 4.7 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap volume
larutan yang diperoleh dari hasil percobaan. Untuk fruktosa (C6H12O6) pada run II
dengan massa 2 gram grafik mengalami penurunan pada setiap penambahan volume
pelarut berikutnya.
Pada run II diperoleh data temperatur jernih untuk volume larutan 8 ml, 10
ml, 12 ml sebesar 68 oC, 67 dan 66°C dengan regresi sebesar 68,046°C, 66,890°C
dan 66,064 °C.
Menurut teori, semakin tinggi temperatur semakin cepat kelarutannya, dan
sebaliknya semakin rendah tempetur semakin kecil kelarutannya. Dan dari hubungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur berbanding terbalik dengan
volume larutan, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan kelarutan
(Krisnariansyah, 2012).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori dimana semakin besar suatu volume larutan, semakin rendah
temperaturnya.
.
4.3.3 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Berat Sampel (%)
20,000 16,667 14,28650
55
60
65
70
Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run II
Gambar 4.8 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Berat Sampel (%) untuk
Pelarut Super O2
Gambar 4.8 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap berat sampel
(%), yang diperoleh dari hasil percobaan. Pada grafik 4.8 dapat disimpulkan bahwa
semua grafik, baik pada sampel maupun regresi fruktosa (C6H12O6) 2 gram
mengalami peningkatan.
Untuk fruktosa pada run II 2 gram didapatkan temperatur jernih sebesar 68oC,
67oC, dan 66 oC pada saat berat sampel (%) 20,000%; 16,667%, dan 14,286%. Pada
volume larutan tersebut juga didapatkan temperatur regresi jernihnya sebesar 68,046 oC; 66,890 oC; 66,064 oC.
Menurut teori, kelarutan biasanya dinyatakan dalam konsentrasi baik itu massa
zat pelarut, molaritas, molalitas, fraksi mol, atau istilah lain yang sama dengan
konsentrasi. Kelarutan zat terlarut dalam zat pelarut tergantung pada temperatur atau
suhu. Pada banyak padatan yang terlarut dalam cairan, kelarutan meningkat dengan
temperatur (Sisodiya, dkk., 2012).
Dari hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur sebanding
dengan jumlah massa zat, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan
kelarutan. Maka didapatkan hasil percobaan sesuai dengan teori dimana semakin
besar berat sampelnya (%), semakin besar pula temperaturnya.
4.3.4 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Berat Sampel (%)
7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 12.525
27
29
31
33
35
Fruktosa Run I
Regresi Fruktosa Run II
Kelarutan (M)
Tem
per
atu
r (
C
)
Gambar 4.9 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Berat Sampel (%) untuk
Pelarut Super O2
Gambar 4.9 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap berat sampel
(%), yang diperoleh dari hasil percobaan. Pada grafik 4.9 dapat disimpulkan bahwa
semua grafik, baik pada sampel maupun regresi fruktosa (C6H12O6) 2 gram
mengalami peningkatan.
Untuk fruktosa pada run II 2 gram didapatkan temperatur keruh sebesar 33oC,
32oC, dan 30 oC pada saat berat sampel (%) 20,000%; 16,667%, dan 14,286%. Pada
volume larutan tersebut juga didapatkan temperatur regresi keruhnya sebesar 33,206 oC; 31,505 oC; 30,289 oC.
Menurut teori, kelarutan biasanya dinyatakan dalam konsentrasi baik itu massa
zat pelarut, molaritas, molalitas, fraksi mol, atau istilah lain yang sama dengan
konsentrasi. Kelarutan zat terlarut dalam zat pelarut tergantung pada temperatur atau
suhu. Pada banyak padatan yang terlarut dalam cairan, kelarutan meningkat dengan
temperatur (Sisodiya, dkk., 2012).
Dari hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa naiknya temperatur sebanding
dengan jumlah massa zat, karena naiknya temperatur berbanding lurus dengan
kelarutan. Maka didapatkan hasil percobaan sesuai dengan teori dimana semakin
besar berat sampelnya (%), semakin besar pula temperaturnya.
4.3.5 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Kelarutan
0.7 0.9 1.1 1.3 1.565
65.5
66
66.5
67
67.5
68
68.5
69
69.5
70
Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run II
Kelarutan (mol/L)
Tem
per
atu
r (o
C)
Gambar 4.11 Hubungan Temperatur Jernih Terhadap Kelarutan untuk Pelarut
Super O2
Gambar 4.11 menunjukkan hubungan temperatur jernih terhadap kelarutan,
yang diperoleh dari hasil percobaan. Grafik 4.11 memperlihatkan bahwa grafik
mengalami peningkatan pada semua sampel pada fruktosa (C6H12O6) 2 gram, dan
regresi fruktosa (C6H12O6) 2 gram.
Pada run II diperoleh data temperatur jernih untuk nilai kelarutan 1,209,
0,993, dan 0,842 sebesar 68°C, 67°C dan 66 °C dengan regresi sebesar 68,046°C;
66,890°C; 66,064 °C.
Menurut teori, kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada
temperatur, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan
suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikkan. Adanya panas
(kalor) menyebabkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat
menjadikan kekuatan gaya antar molekul menjadi lemah sehingga mudah terlepas
oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adanya pengaruh
kenaikan suhu menyebabkan kelarutan gas berkurang. Hal ini disebabkan karena gas
yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air apabila suhu meningkat
(Komala, 2013).
Suhu akan mempengaruhi kelarutan. Jika proses pelarutan menyerap energi
maka suhu meningkat seiring dengan kelarutan yang juga akan meningkat. Jika
proses pelarutan melepaskan energi maka kelarutan akan menurun jika temperatur
meningkat. Umumnya, sebuah peningkatan suhu dari larutan meningkatkan kelarutan
dari zat terlarut padat. Beberapa larutan padat sedikit kurang larut dalam larutan
hangat. Untuk semua gas, kelarutan menurun jika suhu larutan meningkat (Patil,
dkk., 2011).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori di mana terjadi kenaikan kelarutan ketika temperatur semakin besar.
4.3.5 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Kelarutan
0.8 0.85 0.9 0.95 1 1.05 1.1 1.15 1.2 1.2528
29
30
31
32
33
34
Fruktosa Run II
Regresi Fruktosa Run II
Kelarutan (mol/L)
Tem
per
atu
r (o
C)
Gambar 4.12 Hubungan Temperatur Keruh Terhadap Kelarutan untuk Pelarut
Super O2
Gambar 4.12 menunjukkan hubungan temperatur keruh terhadap kelarutan,
yang diperoleh dari hasil percobaan. Grafik 4.12 memperlihatkan bahwa grafik
mengalami peningkatan pada semua sampel pada fruktosa (C6H12O6) 2 gram, dan
regresi fruktosa (C6H12O6) 2 gram.
Pada run II diperoleh data temperatur keruh untuk nilai kelarutan 1,209, 0,993,
dan 0,842 sebesar 33°C, 32°C dan 30 °C dengan regresi sebesar 33,206°C;
31,505°C; 30,289 °C.
Menurut teori, kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada
temperatur, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan
suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikkan. Adanya panas
(kalor) menyebabkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat
menjadikan kekuatan gaya antar molekul menjadi lemah sehingga mudah terlepas
oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adanya pengaruh
kenaikan suhu menyebabkan kelarutan gas berkurang. Hal ini disebabkan karena gas
yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air apabila suhu meningkat
(Komala, 2013).
Suhu akan mempengaruhi kelarutan. Jika proses pelarutan menyerap energi
maka suhu meningkat seiring dengan kelarutan yang juga akan meningkat. Jika
proses pelarutan melepaskan energi maka kelarutan akan menurun jika temperatur
meningkat. Umumnya, sebuah peningkatan suhu dari larutan meningkatkan kelarutan
dari zat terlarut padat. Beberapa larutan padat sedikit kurang larut dalam larutan
hangat. Untuk semua gas, kelarutan menurun jika suhu larutan meningkat (Patil,
dkk., 2011).
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori di mana terjadi kenaikan kelarutan ketika temperatur semakin besar.