bab2

29
Halaman | 15 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Dasar Database Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini, hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar tabel. Secara umum Pengertian database adalah : 1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan. 2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula. 3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna. 4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem

Upload: kamushal142

Post on 07-Apr-2017

164 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab2

Halaman | 15

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Database

Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan

dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari

jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada

banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur

database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang

umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah

yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling

berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang

sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini,

hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar

tabel. Secara umum Pengertian database adalah :

1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan

disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada

suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula.

3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu

organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara

terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu

memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna.

4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara

tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem

Page 2: Bab2

Halaman | 16

tersebut data yang terhimpun dalam suatu database dapat

menghasilkan informasi yang berguna.

Sedangkan manfaat dari penyusunan database adalah :

1) Sebagai komponen utama atau penting dalam sistem informasi, karena

merupakan dasar dalam menyediakan informasi.

2) Menentukan kualitas informasi yaitu cepat, akurat, dan relevan,

sehingga infromasi yang disajikan tidak basi. Informasi dapat dikatakan

bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya

mendapatkanya.

3) Mengatasi kerangkapan data (redundancy data).

4) Menghindari terjadinya inkonsistensi data.

5) Mengatasi kesulitan dalam mengakses data.

6) Menyusun format yang standar dari sebuah data.

7) Penggunaan oleh banyak pemakai (multiple user). Sebuah database bisa

dimanfaatkan sekaligus secara bersama oleh banyak pengguna

(multiuser).

8) Melakukan perlindungan dan pengamanan data. Setiap data hanya bisa

diakses atau dimanipulasi oleh pihak yang diberi otoritas dengan

memberikan login dan password terhadap masing-masing data.

9) Agar pemakai mampu menyusun suatu pandangan (view) abstraksi dari

data. Hal ini bertujuan menyederhanakan interaksi antara pengguna

dengan sistemnya dan database dapat mempresentasikan pandangan

yang berbeda kepada para pengguna, programmer dan

administratornya.

Page 3: Bab2

Halaman | 17

2.2. Konsep Permukiman

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun

2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu

satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,

serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau

kawasan perdesaan. Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah

terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.

Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat

tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri

kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan

lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.

Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat

bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan

suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada

penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses

seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).

Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan

tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan

fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.

2.3. Bentuk-Bentuk Permukiman

Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar

yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah

dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan

rumah (Gambar 2.1). Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah

Page 4: Bab2

Halaman | 18

biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi

bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih

kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek. Bentuk dari

permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan

tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-

komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun

dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi,

ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok

dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman

dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah.

Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-

komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

Page 5: Bab2

Halaman | 19

2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di

wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari

pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan

mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan.

Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah

perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian

besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada

dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok

dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata

secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan

lingkungan atau lokal.

Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai

terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya

cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak

Page 6: Bab2

Halaman | 20

jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih

sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai

disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai

jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat

dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada

saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman

cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.

Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak

mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya

permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian

kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang

terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti

sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen.

2.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Permukiman

Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Permasalahan yang dihadapi sesungguhnya tidak terlepas dari aspek yang

berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat maupun kebijakan

pemerintah dalam mengelola persoalan yang ada. Dalam mengatasi

permasalahan perumahan dan permukiman, setiap prosesnya dilaksanakan

secara bertahap yakni melalui tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan,

pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan. Pembangunan

perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi

sektor, Hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar

masyarakat , juga pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sejak

Page 7: Bab2

Halaman | 21

awal, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah

diselenggarakan berdasarkan prinsip:

a. Pemenuhan kebutuhan akan rumah layak merupakan tugas dan

tanggung jawab masyarakat sendiri.

b. Pemerintah mendukung melalui penciptaan iklim yang memungkinkan

masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah layak.

Dukungan diberikan melalui penyediaan prasarana dan sarana,

perbaikan lingkungan permukiman, peraturan, perundangan yang

bersifat memayungi, layanan kemudahan dalam perijinan bagi kelompok

masyarakat berpenghasilan rendah dll.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, Kawasan

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,

baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan

wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan

yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana,

menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilaksanakan melalui:

1) Pengembangan pada permukiman yang telah ada;

2) Pembangunan permukiman baru; dan

3) Pembangunan kembali pada permukiman yang telah menurun

kualitasnya.

Page 8: Bab2

Halaman | 22

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman

ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik

perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di

dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta

utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal

ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara

pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang

terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan

keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang

permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya

migrasi penduduk.

Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota

yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian

bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan

jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai

keuntungan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan

ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,

merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan

pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa

memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat

pembangunan tersebut.

Adapun kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia antara

lain :

1) Pengembangan Permukiman Baru :

Perkotaan : Kasiba & Lisiba BS dan kawasan permukiman baru lainnya

Page 9: Bab2

Halaman | 23

Perdesaan : KTM, Agropolitan, kawasan perbatasan

2) Peningkatan Kualitas Permukiman :

Perkotaan : peremajaan, pemugaran, pemeliharaan berkelanjutan

Perdesaan : desa tertinggal, terisolir, terpencil, dll

3) Penanggulangan Bencana Alam, Rehabiltasi dan Rekrontuksi Pasca

Bencana Alam

4) Pembangunan Rusunawa :

Pembangunan Rusunawa merupakan bagian dari penanganan kawasan

permukiman kumuh perkotaan dengan peremajaan.

Pemerintah Daerah bertanggung jawab didalam pemanfaatan,

pengelolaan dan penghunian.

5) Penyediaan Prasarana Dan Sarana Agropolitan :

Meningkatkan pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan

untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di

kawasan agropolitan dengan sekala pembangunan di 32 Propinsi.

6) Pembinaan Teknis Penataan Lingkungan Permukiman (NUSSP).

Sedangkan strategi pengembangan kawasan permukiman di

Indonesia meliputi :

1) Pengembangan dan implementasi produk pengaturan tentang

pengembangan permukiman perkotaan.

2) Pemantapan dan peningkatan pemahaman dan kemampuan aparat

pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengembangan permukiman

perkotaan (pembangunan baru dan peningkatan kualitas permukiman

kumuh).

3) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan (permukiman baru

dan esksiting) yang berwawasan lingkungan dan mengutamakan

keberpihakan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam

mendapatkan pelayanan infrastruktur.

4) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan yang dapat

meningkatkan kesejahteraan kehidupan social dan ekonomi

masyarakat perdesaan.

5)

Page 10: Bab2

Halaman | 24

2.6. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan

Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang

saling terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya

adalah suatu proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban

growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan

masyarakat kota. Sedangkan perkembangan kota (urban development)

adalah perubahan dalam masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial

politik, sosial budaya dan fisik (Hendarto, 2001).

Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai

dari nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga

yang secara fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang

mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur

yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan

unsur itu sendiri. Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur

tersebut dipandang secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai

organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia.

Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan

penduduk dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi

perkembangan kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan

karena karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata

guna lahan menjadi suatu konsekwensi logis dalam pertumbuhan dan

perkembangan kota.

Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan

kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial

ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan

Page 11: Bab2

Halaman | 25

kata lain, kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-

unsur alami dan non alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala

pemusatan penduduk yang cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang

beraneka ragam dan perilaku yang mengarah pada peningkatan

kesejahteraan perekonomian.

Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan

oleh adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit,

pendidikan, pasar, industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang

luas dan jalanan beraspal yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor.

Dari segi fisik, suatu kota banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur

buatan manusia ( artificial), misalnya pola jalan, landmark, bangunan-

bangunan permanen dan monumental, utilitas, pertamanan dan traffic.

Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan

fungsinya sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif

pemerintahan, pusat militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual

dalam satu kelembagaan, selain itu heterogenitas dan pembedaan yang

bersifat hirarkis pada masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller

mengartikan kota dari sudut pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara

dan penyedia jasa bagi wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya,

sehingga kota disebut sebagai pusat pelayanan (Daldjoeni, 1997).

Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat

kekotaan adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya

prasarana-sarana serta keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin

banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa

lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota (Tarigan, 2004).

Page 12: Bab2

Halaman | 26

2.7. Isu Strategis dan Permasalahan perumahan dan permukiman

Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di

Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana

Wilayah Nomor : 217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi

Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) sesungguhnya tidak

terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat,

dan kondisi kebijakan pemerintah di dalam mengelola persoalan

perumahan dan permukiman yang ada, antara lain:

a. Isu kesenjangan pelayanan

Isu kesenjangan pelayanan muncul karena terbatasnya peluang

untuk memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang

perumahan dan permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat

miskin dan berpendapatan rendah. Di samping itu juga dapat

dikarenakan adanya konflik kepentingan akibat implementasi kebijakan

yang relatif masih belum sepenuhnya dapat memberikan perhatian dan

keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

b. Isu lingkungan

Isu lingkungan pada kawasan perumahan dan permukiman

umumnya muncul karena dipicu oleh tingkat urbanisasi dan

industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya

dan teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan

sarana dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki

lingkungan permukiman yang ada, dan masih rendahnya kualitas

permukiman baik secara fungsional, lingkungan, maupun visual wujud

Page 13: Bab2

Halaman | 27

lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan

permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan.

c. Isu manajemen pembangunan

Isu manajemen pembangunan muncul umumnya karena

dipengaruhi oleh keterbatasan kinerja tata pemerintahan di seluruh

tingkatan, sehingga berdampak pada lemahnya implementasi

kebijakan yang telah ditetapkan, inkonsistensi di dalam pemanfaatan

lahan untuk perumahan dan permukiman, dan munculnya dampak

negatif terhadap lingkungan. Disamping itu terjadinya proses

marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global juga

berdampak potensial terhadap meningkatnya kemiskinan serta

tersisihnya komunitas informal setempat berikut terbatasnya peluang

usaha.

Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat juga merupakan

tantangan bagi pemerintah, baik nasional maupun lokal, untuk

menjaga agar pertumbuhannya lebih merata, termasuk dalam upaya

pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman. Dengan

demikian, pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman

harus memungkinkan berkembangnya prakarsa masyarakat melalui

mekanisme yang dipilihnya sendiri.

Di pihak lain kemampuan membangun perumahan dan

permukiman oleh komunitas harus direspon secara lebih tepat oleh

pemerintah di dalam kerangka tata pemerintahan yang baik, sehingga

kebutuhan akan identitas lokal masih tetap dapat terjaga di dalam

Page 14: Bab2

Halaman | 28

kerangka pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih

menyeluruh.

2.8. Permasalahan Perumahan dan Permukiman

Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di

Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut menurut Kirmanto

(2002) sebagai berikut:

a. perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh

ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan,

perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha;

b. konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak

pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan

permukiman;

c. alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan

perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga

berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan

tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang

bersangkutan;

d. terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami

tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber

daya alam;

e. komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus

pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi

ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan

menguntungkan.

Page 15: Bab2

Halaman | 29

Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan

menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih,

sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata

bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta

pencemaran air, udara, dan tanah.

Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah

perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan

material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal,

serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini

mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali

menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman, 2005).

Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini

adalah tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan

dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya.

Tetapi apa bila kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan

dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah (Yudohusodo,

1991):

a. Kependudukan

Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor

utama yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman

ini selalu menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka

pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan

sarana perumahan menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan

serius. Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang

Page 16: Bab2

Halaman | 30

pemisah antara kota dan desa merupakan salah satu pemicu

permasalahan kependudukan ini.

b. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah

Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan

wilayah yang seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang

berkepentingan dalam hal pembangunan ini, khususnya pembangunan

perumahan dan permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk

melaksanakan pemerataan dalam pembangunan antar keduanya. Tetapi

yang kita temui dilapangan sekarang adalah semakin pesatnya

pembangunan yang dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan

semakin tertinggal. Pesatnya pembangunan perumahan diperkotaan

banyak yang tidak sesuai dengan rencana umum tata ruang kota, inilah

yang menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas

arah pengembangannya.

c. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masihbelum optimal.

Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah

mata, dengan perencanaan yang matang, sinergis dan integral dalam

setiap sektor akan menghasilakn keluaran pengembangan perumahan

dan pemukiman. Belum optimalnya perencanaan berakibat pada

lemahnya arah kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana

aksi pengembangan antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan

prioritas pengembangan perumahan dan pemukiman.

Page 17: Bab2

Halaman | 31

d. Pertanahan dan Prasarana

Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar

akan selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang didaerah perkotaan

menjadi semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita

jumpai areal pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal

ini terjadi karena ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan

permintaan akan sarana hunian selalu meningkat setiap saatnya.

Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian sebagai

kawasan perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi

pangan serta rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih

lanjut merupakan awal dari permasalahan lingkungan diperkotaan,

seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.

Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus

diikuti dengan penyediaan prasarana dasar seperti penyediaan air

bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air

limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya

kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai.

e. Pembiayaan

Permasalahan biaya merupakan salah satu point penting dalam

pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara

mikro, hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk

menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah

sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat

dengan tingkat perekonomian menengah kebawah.

Page 18: Bab2

Halaman | 32

Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan

pembiayaan ini adalah adanya kecenderungan meningkatnya biaya

pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang tidak sebanding

dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar

untuk memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi.

f. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi

Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut

menentukan sukses atau tidaknya program pembangunan perumahan

rakyat ini adalah produksi bahan bangunan dan distribusinya yang erat

kaitannya dengan harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan

teknologi pembangunan perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan

kepada tulisan dalam buku Rumah Untuk Seluruh Rakyat, mengatakan

bahwa teknologi dan industri jasa konstruksi, khususnya untuk

pembangunan perumahan sederhana belum banyak kemajuan yang

ada.

g. Kelembagaan

Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu

kesatuan sistem kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan

perumahan secara berencana, terarah dan perpadu, baik itu yang

berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan

pada berbagai tingkat pemerintahan, maupun lembaga-lembaga

pelaksana pembangunan di sektor pemerintah dan swasta. Hal lain yang

juga berhubungan dengan kelembagaan ini adalah pengembangan

unsur-unsur pelaksana pembangunan yang harus lebih dikembangkan

lagi, khususnya kelembagaan pada tingkat daerah, baik itu yang bersifat

Page 19: Bab2

Halaman | 33

formal maupun non-formal yang dapat mendukung swadaya masyarakat

dalam bidang perumahan dan permukiman.

h. Peran Serta Masyarakat

Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang

menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas

perumahan yang layak, tetapi juga mempunyai peran serta dalam

pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa

pemenuhan pembangunan perumahan adalah tanggung jawab

masyarakat sendiri, baik itu secara perorangan maupun secara bersama-

sama, pada point ini peran pemerintah hanyalah sebagai pengatur,

pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar

masyarakat dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan

mereka.

Peran serta masyarakat akan dapat berlangsung lebih baik apabila

sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar hasilnya sesuai

dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan

kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian

perumahan dan pemukiman dapat menciptakan suatu proses kemajuan

sosial secara lebih nyata.

i. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum

bagi penerapan berbagai kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan

pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun bidang pembangunan.

Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah

mulai digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode pra-

Page 20: Bab2

Halaman | 34

PELITA hingga saat sekarang. Namun hal ini belum dapat memberikan

dampak yang cukup berarti dalam pembangunan perumahan, bahkan

dalam banyak hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan

kenyataan sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan

dan tuntutan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang,

sehingga pembaharuan dan penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan

penting.

j. Permasalahan lainnya

Menurut hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat

bahwa kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumah-

rumah yang belum memenuhi syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan

rumahnya maupun kepadatan huniannya. Kebutuhan akan hunian yang

selalu meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan masyarakat

dalam pemenuhannya, sehingga hal ini telah menyebabkan

kecenderungan sarana hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh

yang tidak mudah untuk dikendalikan. Hal lain yang juga masih

berhubungan dengan permasalahan ini adalah faktor sebaran penduduk

Indonesia yang masih belum merata.

Berbagai perkembangan, isu strategis, dan permasalahan perumahan

dan permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan kemajemukan

perubahan-perubahan di dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan

sosial, dan pembangunan lingkungan, yang tidak saja mengikuti perubahan

berdimensi ruang dan waktu, tetapi juga perubahan kondisi khususnya

bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Page 21: Bab2

Halaman | 35

Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan realistik, dengan

mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro, sosial, demografi,

lingkungan, dan kebudayaan. Disamping itu, implementasinya dapat

mendorong pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,

pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan dan permukiman di perkotaan

dan perdesaan, serta telah mengadopsi dan melaksanakan pendekatan

lintas sektoral dan desentralisasi.

2.9. Pola Ruang Kota

Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,

pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang

meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang

untuk budidaya. Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan

ruang dalam wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang

untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten

berfungsi:

1) Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan

kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;

2) Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;

3) Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan

4) Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah

kabupaten.

Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan:

1) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;

2) Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;

Page 22: Bab2

Halaman | 36

3) Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan

lingkungan;

4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:

1. Teori Konsentrik

Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang

meneliti kota Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di kota

mengikuti zone-zone lingkaran konsentris (melingkar). Struktur

penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:

1) Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)

Wilayah PDK atau Central Business District (CBD) merupakan

pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung,

pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.

2) Zone transisi (peralihan)

Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-pabrik

ringan dan tempat tinggal masyarakat terpandang.

3) Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah

Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.

4) Zone pemukiman masyarakat menengah

Zone ini merupakan kawasan pemukiman masyarakat

berpenghasilan menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.

5) Zone pemukiman masyarakat elite

Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh

orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.

6) Zone penglaju (suburban)

Page 23: Bab2

Halaman | 37

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang

siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di

pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan

dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Halaman | 37

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang

siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di

pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan

dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Halaman | 37

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang

siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di

pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan

dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Page 24: Bab2

Halaman | 38

Gambar 2.4. Teori Sektoral Hoyt

Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt:

Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.

Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.

Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.

Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.

Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.

3. Teori Inti Berganda

Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori ini

sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori

sektoral. Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang

seperti teori konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota terdapat

tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota seperti

wilayah industri, pelabuhan dan jaringan jalan, kompleks perguruan

tinggi, dsb. Dalam arti bahwa pusat kegiatan bukan satu melainkan

ganda C.D. Harris dan E.L. Ullman dalam Daldjoeni (1992).

Page 25: Bab2

Halaman | 39

Gambar 2.5. Teori Inti Berganda C.D. Harris dan E.L. Ullman

2.10. Pertumbuhan Perumahan dan Permukiman di Indonesia

Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya

tidak terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan

permukiman. Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan

permukiman, sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan

sejak Pelita V dalam bentuk Kebijaksanaan dan Strategi Nasional

Perumahan, namun penekanannya masih terbatas kepada aspek

perumahan saja. Dalam perjalanannya, acuan tersebut dirasakan kurang

sesuai lagi dengan berbagai perkembangan permasalahan yang semakin

kompleks, sehingga diperlukan pengaturan dan penanganan perumahan

dan permukiman yang lebih terintegrasi. Sehingga untuk itu perlu disusun

suatu kebijakan dan strategi baru yang cakupannya dapat meliputi bidang

perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Sampai menjelang berakhirnya abad dua puluh, pembangunan

perumahan dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan

Page 26: Bab2

Halaman | 40

melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai

pola pasokan. Pola pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada

Perum Perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun

1974, dan kemudian juga dikembangkan oleh para pengembang swasta

yang juga melayani masyarakat golongan berpenghasilan menengah

keatas. Namun demikian, dapat diakui bahwa masih terdapat sekitar 85%

perumahan yang diupayakan sendiri oleh masyarakat secara informal.

Pada akhir abad dua puluh keterpurukan perekonomian yang terjadi

di Indonesia tidak dapat terelakkan, dan hal ini kemudian berdampak pada

merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan

masyarakat termasuk di dalam menyelenggarakan perumahan dan

permukiman, serta yang sekaligus juga berdampak pada kinerja sektor

perumahan dan permukiman, yang sebenarnya dapat berperan sebagai

salah satu lokomotif kebangkitan ekonomi nasional.

Tata guna lahan perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan

peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja,

kawasan pertokoan dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999).

Sedangkan pemanfaatan lahan dengan melihat aspek aksesbilitas menurut

Chapin (1995), pemanfaatan lahan untuk fasilitas pelayanan kota

cenderung mendekati akses barang dan orang sehingga dekat dengan

jaringan transportasi serta dapat dijangkau dari kawasan permukiman dan

tempat berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi,

terutama untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan dengan

potensi alam seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau

flora dan fauna tertentu.

Page 27: Bab2

Halaman | 41

Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota

yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian

bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan

jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai

keuntungan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan

ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,

merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan

pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa

memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat

pembangunan tersebut.

Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun

penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara

berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan

permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya

dukung lingkungannya harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran

tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan,

pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya,

agar arah perkembangannya tetap selaras dengan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman

ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik

perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di

dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta

utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal

Page 28: Bab2

Halaman | 42

ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara

pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang

terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan

keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang

permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya

migrasi penduduk.

2.11. Perubahan Guna Lahan

Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih

fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam

pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan

lain (Tjahjati, 1997). Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land

economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses

dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke

penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan

meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).

Catanese dan Snyder (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan

penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi,

dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap

sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.

Page 29: Bab2

Halaman | 43

Gambar 2.6. Siklus Perubahan Fungsi Lahan

Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan

lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:

a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang

terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan,

mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat.

b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada

suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk

aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena

daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul dengan

sumber dan swadaya yang ada.

Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku

penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi

dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.