bab2
TRANSCRIPT
Halaman | 15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Database
Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan
dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari
jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada
banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur
database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang
umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah
yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling
berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang
sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini,
hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar
tabel. Secara umum Pengertian database adalah :
1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan
disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada
suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula.
3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu
organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara
terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu
memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna.
4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara
tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem
Halaman | 16
tersebut data yang terhimpun dalam suatu database dapat
menghasilkan informasi yang berguna.
Sedangkan manfaat dari penyusunan database adalah :
1) Sebagai komponen utama atau penting dalam sistem informasi, karena
merupakan dasar dalam menyediakan informasi.
2) Menentukan kualitas informasi yaitu cepat, akurat, dan relevan,
sehingga infromasi yang disajikan tidak basi. Informasi dapat dikatakan
bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya
mendapatkanya.
3) Mengatasi kerangkapan data (redundancy data).
4) Menghindari terjadinya inkonsistensi data.
5) Mengatasi kesulitan dalam mengakses data.
6) Menyusun format yang standar dari sebuah data.
7) Penggunaan oleh banyak pemakai (multiple user). Sebuah database bisa
dimanfaatkan sekaligus secara bersama oleh banyak pengguna
(multiuser).
8) Melakukan perlindungan dan pengamanan data. Setiap data hanya bisa
diakses atau dimanipulasi oleh pihak yang diberi otoritas dengan
memberikan login dan password terhadap masing-masing data.
9) Agar pemakai mampu menyusun suatu pandangan (view) abstraksi dari
data. Hal ini bertujuan menyederhanakan interaksi antara pengguna
dengan sistemnya dan database dapat mempresentasikan pandangan
yang berbeda kepada para pengguna, programmer dan
administratornya.
Halaman | 17
2.2. Konsep Permukiman
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun
2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan. Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah
terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.
Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri
kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan
lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat
bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan
suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada
penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses
seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).
Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan
tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan
fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
2.3. Bentuk-Bentuk Permukiman
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar
yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah
dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan
rumah (Gambar 2.1). Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah
Halaman | 18
biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi
bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih
kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek. Bentuk dari
permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan
tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-
komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun
dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi,
ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok
dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman
dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah.
Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-
komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
Halaman | 19
2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di
wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari
pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan
mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan.
Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah
perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian
besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada
dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok
dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata
secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan
lingkungan atau lokal.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai
terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya
cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak
Halaman | 20
jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih
sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai
disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai
jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat
dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada
saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman
cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.
Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak
mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya
permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian
kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang
terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti
sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen.
2.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Permukiman
Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Permasalahan yang dihadapi sesungguhnya tidak terlepas dari aspek yang
berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat maupun kebijakan
pemerintah dalam mengelola persoalan yang ada. Dalam mengatasi
permasalahan perumahan dan permukiman, setiap prosesnya dilaksanakan
secara bertahap yakni melalui tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan. Pembangunan
perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi
sektor, Hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar
masyarakat , juga pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sejak
Halaman | 21
awal, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah
diselenggarakan berdasarkan prinsip:
a. Pemenuhan kebutuhan akan rumah layak merupakan tugas dan
tanggung jawab masyarakat sendiri.
b. Pemerintah mendukung melalui penciptaan iklim yang memungkinkan
masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah layak.
Dukungan diberikan melalui penyediaan prasarana dan sarana,
perbaikan lingkungan permukiman, peraturan, perundangan yang
bersifat memayungi, layanan kemudahan dalam perijinan bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah dll.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, Kawasan
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan
wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana,
menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.
Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilaksanakan melalui:
1) Pengembangan pada permukiman yang telah ada;
2) Pembangunan permukiman baru; dan
3) Pembangunan kembali pada permukiman yang telah menurun
kualitasnya.
Halaman | 22
Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman
ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik
perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di
dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta
utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal
ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara
pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang
terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan
keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang
permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya
migrasi penduduk.
Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota
yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian
bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan
jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai
keuntungan.
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan
ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,
merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan
pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa
memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat
pembangunan tersebut.
Adapun kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia antara
lain :
1) Pengembangan Permukiman Baru :
Perkotaan : Kasiba & Lisiba BS dan kawasan permukiman baru lainnya
Halaman | 23
Perdesaan : KTM, Agropolitan, kawasan perbatasan
2) Peningkatan Kualitas Permukiman :
Perkotaan : peremajaan, pemugaran, pemeliharaan berkelanjutan
Perdesaan : desa tertinggal, terisolir, terpencil, dll
3) Penanggulangan Bencana Alam, Rehabiltasi dan Rekrontuksi Pasca
Bencana Alam
4) Pembangunan Rusunawa :
Pembangunan Rusunawa merupakan bagian dari penanganan kawasan
permukiman kumuh perkotaan dengan peremajaan.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab didalam pemanfaatan,
pengelolaan dan penghunian.
5) Penyediaan Prasarana Dan Sarana Agropolitan :
Meningkatkan pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan
untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di
kawasan agropolitan dengan sekala pembangunan di 32 Propinsi.
6) Pembinaan Teknis Penataan Lingkungan Permukiman (NUSSP).
Sedangkan strategi pengembangan kawasan permukiman di
Indonesia meliputi :
1) Pengembangan dan implementasi produk pengaturan tentang
pengembangan permukiman perkotaan.
2) Pemantapan dan peningkatan pemahaman dan kemampuan aparat
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengembangan permukiman
perkotaan (pembangunan baru dan peningkatan kualitas permukiman
kumuh).
3) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan (permukiman baru
dan esksiting) yang berwawasan lingkungan dan mengutamakan
keberpihakan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam
mendapatkan pelayanan infrastruktur.
4) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan social dan ekonomi
masyarakat perdesaan.
5)
Halaman | 24
2.6. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang
saling terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya
adalah suatu proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban
growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan
masyarakat kota. Sedangkan perkembangan kota (urban development)
adalah perubahan dalam masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial
politik, sosial budaya dan fisik (Hendarto, 2001).
Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai
dari nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga
yang secara fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang
mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur
yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan
unsur itu sendiri. Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur
tersebut dipandang secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai
organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia.
Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan
penduduk dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi
perkembangan kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan
karena karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata
guna lahan menjadi suatu konsekwensi logis dalam pertumbuhan dan
perkembangan kota.
Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan
kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial
ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan
Halaman | 25
kata lain, kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alami dan non alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala
pemusatan penduduk yang cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang
beraneka ragam dan perilaku yang mengarah pada peningkatan
kesejahteraan perekonomian.
Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan
oleh adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit,
pendidikan, pasar, industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang
luas dan jalanan beraspal yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor.
Dari segi fisik, suatu kota banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur
buatan manusia ( artificial), misalnya pola jalan, landmark, bangunan-
bangunan permanen dan monumental, utilitas, pertamanan dan traffic.
Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan
fungsinya sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif
pemerintahan, pusat militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual
dalam satu kelembagaan, selain itu heterogenitas dan pembedaan yang
bersifat hirarkis pada masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller
mengartikan kota dari sudut pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara
dan penyedia jasa bagi wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya,
sehingga kota disebut sebagai pusat pelayanan (Daldjoeni, 1997).
Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat
kekotaan adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya
prasarana-sarana serta keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin
banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa
lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota (Tarigan, 2004).
Halaman | 26
2.7. Isu Strategis dan Permasalahan perumahan dan permukiman
Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di
Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana
Wilayah Nomor : 217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) sesungguhnya tidak
terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat,
dan kondisi kebijakan pemerintah di dalam mengelola persoalan
perumahan dan permukiman yang ada, antara lain:
a. Isu kesenjangan pelayanan
Isu kesenjangan pelayanan muncul karena terbatasnya peluang
untuk memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang
perumahan dan permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat
miskin dan berpendapatan rendah. Di samping itu juga dapat
dikarenakan adanya konflik kepentingan akibat implementasi kebijakan
yang relatif masih belum sepenuhnya dapat memberikan perhatian dan
keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
b. Isu lingkungan
Isu lingkungan pada kawasan perumahan dan permukiman
umumnya muncul karena dipicu oleh tingkat urbanisasi dan
industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya
dan teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan
sarana dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki
lingkungan permukiman yang ada, dan masih rendahnya kualitas
permukiman baik secara fungsional, lingkungan, maupun visual wujud
Halaman | 27
lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan
permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan.
c. Isu manajemen pembangunan
Isu manajemen pembangunan muncul umumnya karena
dipengaruhi oleh keterbatasan kinerja tata pemerintahan di seluruh
tingkatan, sehingga berdampak pada lemahnya implementasi
kebijakan yang telah ditetapkan, inkonsistensi di dalam pemanfaatan
lahan untuk perumahan dan permukiman, dan munculnya dampak
negatif terhadap lingkungan. Disamping itu terjadinya proses
marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global juga
berdampak potensial terhadap meningkatnya kemiskinan serta
tersisihnya komunitas informal setempat berikut terbatasnya peluang
usaha.
Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat juga merupakan
tantangan bagi pemerintah, baik nasional maupun lokal, untuk
menjaga agar pertumbuhannya lebih merata, termasuk dalam upaya
pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman. Dengan
demikian, pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman
harus memungkinkan berkembangnya prakarsa masyarakat melalui
mekanisme yang dipilihnya sendiri.
Di pihak lain kemampuan membangun perumahan dan
permukiman oleh komunitas harus direspon secara lebih tepat oleh
pemerintah di dalam kerangka tata pemerintahan yang baik, sehingga
kebutuhan akan identitas lokal masih tetap dapat terjaga di dalam
Halaman | 28
kerangka pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih
menyeluruh.
2.8. Permasalahan Perumahan dan Permukiman
Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di
Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut menurut Kirmanto
(2002) sebagai berikut:
a. perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh
ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan,
perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha;
b. konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak
pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan
permukiman;
c. alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan
perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga
berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang
bersangkutan;
d. terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami
tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber
daya alam;
e. komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus
pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi
ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan
menguntungkan.
Halaman | 29
Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih,
sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata
bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta
pencemaran air, udara, dan tanah.
Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah
perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan
material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal,
serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini
mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali
menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman, 2005).
Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini
adalah tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan
dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya.
Tetapi apa bila kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan
dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah (Yudohusodo,
1991):
a. Kependudukan
Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor
utama yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman
ini selalu menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka
pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan
sarana perumahan menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan
serius. Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang
Halaman | 30
pemisah antara kota dan desa merupakan salah satu pemicu
permasalahan kependudukan ini.
b. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah
Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan
wilayah yang seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang
berkepentingan dalam hal pembangunan ini, khususnya pembangunan
perumahan dan permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk
melaksanakan pemerataan dalam pembangunan antar keduanya. Tetapi
yang kita temui dilapangan sekarang adalah semakin pesatnya
pembangunan yang dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan
semakin tertinggal. Pesatnya pembangunan perumahan diperkotaan
banyak yang tidak sesuai dengan rencana umum tata ruang kota, inilah
yang menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas
arah pengembangannya.
c. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masihbelum optimal.
Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah
mata, dengan perencanaan yang matang, sinergis dan integral dalam
setiap sektor akan menghasilakn keluaran pengembangan perumahan
dan pemukiman. Belum optimalnya perencanaan berakibat pada
lemahnya arah kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana
aksi pengembangan antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan
prioritas pengembangan perumahan dan pemukiman.
Halaman | 31
d. Pertanahan dan Prasarana
Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar
akan selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang didaerah perkotaan
menjadi semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita
jumpai areal pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal
ini terjadi karena ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan
permintaan akan sarana hunian selalu meningkat setiap saatnya.
Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian sebagai
kawasan perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi
pangan serta rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih
lanjut merupakan awal dari permasalahan lingkungan diperkotaan,
seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.
Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus
diikuti dengan penyediaan prasarana dasar seperti penyediaan air
bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air
limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya
kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai.
e. Pembiayaan
Permasalahan biaya merupakan salah satu point penting dalam
pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara
mikro, hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk
menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah
sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat
dengan tingkat perekonomian menengah kebawah.
Halaman | 32
Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan
pembiayaan ini adalah adanya kecenderungan meningkatnya biaya
pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang tidak sebanding
dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar
untuk memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi.
f. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi
Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut
menentukan sukses atau tidaknya program pembangunan perumahan
rakyat ini adalah produksi bahan bangunan dan distribusinya yang erat
kaitannya dengan harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan
teknologi pembangunan perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan
kepada tulisan dalam buku Rumah Untuk Seluruh Rakyat, mengatakan
bahwa teknologi dan industri jasa konstruksi, khususnya untuk
pembangunan perumahan sederhana belum banyak kemajuan yang
ada.
g. Kelembagaan
Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu
kesatuan sistem kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan
perumahan secara berencana, terarah dan perpadu, baik itu yang
berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan
pada berbagai tingkat pemerintahan, maupun lembaga-lembaga
pelaksana pembangunan di sektor pemerintah dan swasta. Hal lain yang
juga berhubungan dengan kelembagaan ini adalah pengembangan
unsur-unsur pelaksana pembangunan yang harus lebih dikembangkan
lagi, khususnya kelembagaan pada tingkat daerah, baik itu yang bersifat
Halaman | 33
formal maupun non-formal yang dapat mendukung swadaya masyarakat
dalam bidang perumahan dan permukiman.
h. Peran Serta Masyarakat
Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas
perumahan yang layak, tetapi juga mempunyai peran serta dalam
pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa
pemenuhan pembangunan perumahan adalah tanggung jawab
masyarakat sendiri, baik itu secara perorangan maupun secara bersama-
sama, pada point ini peran pemerintah hanyalah sebagai pengatur,
pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar
masyarakat dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan
mereka.
Peran serta masyarakat akan dapat berlangsung lebih baik apabila
sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar hasilnya sesuai
dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan
kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian
perumahan dan pemukiman dapat menciptakan suatu proses kemajuan
sosial secara lebih nyata.
i. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum
bagi penerapan berbagai kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan
pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun bidang pembangunan.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah
mulai digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode pra-
Halaman | 34
PELITA hingga saat sekarang. Namun hal ini belum dapat memberikan
dampak yang cukup berarti dalam pembangunan perumahan, bahkan
dalam banyak hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
kenyataan sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan
dan tuntutan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang,
sehingga pembaharuan dan penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan
penting.
j. Permasalahan lainnya
Menurut hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat
bahwa kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumah-
rumah yang belum memenuhi syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan
rumahnya maupun kepadatan huniannya. Kebutuhan akan hunian yang
selalu meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan masyarakat
dalam pemenuhannya, sehingga hal ini telah menyebabkan
kecenderungan sarana hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh
yang tidak mudah untuk dikendalikan. Hal lain yang juga masih
berhubungan dengan permasalahan ini adalah faktor sebaran penduduk
Indonesia yang masih belum merata.
Berbagai perkembangan, isu strategis, dan permasalahan perumahan
dan permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan kemajemukan
perubahan-perubahan di dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan
sosial, dan pembangunan lingkungan, yang tidak saja mengikuti perubahan
berdimensi ruang dan waktu, tetapi juga perubahan kondisi khususnya
bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Halaman | 35
Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan realistik, dengan
mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro, sosial, demografi,
lingkungan, dan kebudayaan. Disamping itu, implementasinya dapat
mendorong pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,
pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan dan permukiman di perkotaan
dan perdesaan, serta telah mengadopsi dan melaksanakan pendekatan
lintas sektoral dan desentralisasi.
2.9. Pola Ruang Kota
Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,
pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk budidaya. Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan
ruang dalam wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten
berfungsi:
1) Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;
2) Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
3) Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan
4) Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah
kabupaten.
Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan:
1) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
2) Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;
Halaman | 36
3) Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan
lingkungan;
4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:
1. Teori Konsentrik
Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang
meneliti kota Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di kota
mengikuti zone-zone lingkaran konsentris (melingkar). Struktur
penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:
1) Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)
Wilayah PDK atau Central Business District (CBD) merupakan
pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung,
pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.
2) Zone transisi (peralihan)
Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-pabrik
ringan dan tempat tinggal masyarakat terpandang.
3) Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah
Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.
4) Zone pemukiman masyarakat menengah
Zone ini merupakan kawasan pemukiman masyarakat
berpenghasilan menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.
5) Zone pemukiman masyarakat elite
Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh
orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.
6) Zone penglaju (suburban)
Halaman | 37
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang
siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di
pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan
dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Halaman | 37
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang
siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di
pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan
dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Halaman | 37
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang
siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di
pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan
dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Halaman | 38
Gambar 2.4. Teori Sektoral Hoyt
Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt:
Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.
Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.
Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
3. Teori Inti Berganda
Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori ini
sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori
sektoral. Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang
seperti teori konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota terdapat
tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota seperti
wilayah industri, pelabuhan dan jaringan jalan, kompleks perguruan
tinggi, dsb. Dalam arti bahwa pusat kegiatan bukan satu melainkan
ganda C.D. Harris dan E.L. Ullman dalam Daldjoeni (1992).
Halaman | 39
Gambar 2.5. Teori Inti Berganda C.D. Harris dan E.L. Ullman
2.10. Pertumbuhan Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya
tidak terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan
permukiman. Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan
permukiman, sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan
sejak Pelita V dalam bentuk Kebijaksanaan dan Strategi Nasional
Perumahan, namun penekanannya masih terbatas kepada aspek
perumahan saja. Dalam perjalanannya, acuan tersebut dirasakan kurang
sesuai lagi dengan berbagai perkembangan permasalahan yang semakin
kompleks, sehingga diperlukan pengaturan dan penanganan perumahan
dan permukiman yang lebih terintegrasi. Sehingga untuk itu perlu disusun
suatu kebijakan dan strategi baru yang cakupannya dapat meliputi bidang
perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sampai menjelang berakhirnya abad dua puluh, pembangunan
perumahan dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan
Halaman | 40
melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai
pola pasokan. Pola pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada
Perum Perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun
1974, dan kemudian juga dikembangkan oleh para pengembang swasta
yang juga melayani masyarakat golongan berpenghasilan menengah
keatas. Namun demikian, dapat diakui bahwa masih terdapat sekitar 85%
perumahan yang diupayakan sendiri oleh masyarakat secara informal.
Pada akhir abad dua puluh keterpurukan perekonomian yang terjadi
di Indonesia tidak dapat terelakkan, dan hal ini kemudian berdampak pada
merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat termasuk di dalam menyelenggarakan perumahan dan
permukiman, serta yang sekaligus juga berdampak pada kinerja sektor
perumahan dan permukiman, yang sebenarnya dapat berperan sebagai
salah satu lokomotif kebangkitan ekonomi nasional.
Tata guna lahan perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan
peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja,
kawasan pertokoan dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999).
Sedangkan pemanfaatan lahan dengan melihat aspek aksesbilitas menurut
Chapin (1995), pemanfaatan lahan untuk fasilitas pelayanan kota
cenderung mendekati akses barang dan orang sehingga dekat dengan
jaringan transportasi serta dapat dijangkau dari kawasan permukiman dan
tempat berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi,
terutama untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan dengan
potensi alam seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau
flora dan fauna tertentu.
Halaman | 41
Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota
yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian
bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan
jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai
keuntungan.
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan
ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,
merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan
pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa
memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat
pembangunan tersebut.
Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun
penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara
berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan
permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya
dukung lingkungannya harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran
tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan,
pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya,
agar arah perkembangannya tetap selaras dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman
ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik
perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di
dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta
utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal
Halaman | 42
ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara
pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang
terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan
keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang
permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya
migrasi penduduk.
2.11. Perubahan Guna Lahan
Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih
fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam
pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan
lain (Tjahjati, 1997). Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land
economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses
dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke
penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan
meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).
Catanese dan Snyder (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan
penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi,
dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap
sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.
Halaman | 43
Gambar 2.6. Siklus Perubahan Fungsi Lahan
Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan
lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:
a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang
terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan,
mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat.
b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada
suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk
aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena
daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul dengan
sumber dan swadaya yang ada.
Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku
penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi
dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.