bab xi penutup a. dari hasil penelitian dan temuan...
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/1.jpg)
461 461
BAB XI
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pedagang kaki lima (PKL) sebagai bagian dari
entitas ekonomi sektor informal tidak bisa dipandang remeh,
karena keberadaannya memiliki kontribusi positif bagi
kelangsungan hidup (survival strategy) mereka. Kontribusi
ekonomi PKL di Semarang cukup signifikan dalam menopang
pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pedagang, bahkan
keberadaan PKL juga menjadi kontributor bagi kelangsungan
hidup kelompok masyarakat marginal lainnya, seperti tukang
parkir dan pengemis. Meskipun tidak memiliki kontribusi yang
signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD) bila dibandingkan
besarnya kontribusi sektor ekonomi formal, namun keberadaan
sektor ekonomi informal, utamanya PKL menjadi tempat
menampung pengangguran dari para urban nonterampil
(unskill) dan kurang berpendidikan (unliterated). Eksistensi
PKL di Semarang juga tidak membebani anggaran pemerintah
kota, sebab dengan jiwa kewirausahaan dan sikap pantang
menyerahnya, mereka dapat berusaha sendiri tidak tergantung
pada belas kasihan dari pihak lain, sehingga mampu menopang
hidup dan kehidupannya. Tanpa intervensi apa pun dari
pemerintah mereka bisa hidup dan dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya, apalagi jika pemerintah memiliki kepedulian
dalam membina usaha mereka.
Kedua, menjadi pedagang kaki lima (PKL) pada umumnya
merupakan cara termudah untuk menggantungkan hidup. Para
PKL di kota Semarang adalah tenaga kerja yang tidak terampil,
kurang berpendidikan, tidak memiliki akses bantuan dari
![Page 2: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/2.jpg)
462
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pemerintah dan tidak memiliki akses kredit kepada Bank.
Mereka butuh makan dan menghidupi keluarganya. Lapangan
kerja (formal) yang disediakan Pemkot tidak memadai dan
tidak mampu menampung seluruh angkatan kerja yang ada di
Semarang. Keterbatasan yang dimiliki, menjadikan banyak
tenaga kerja unskill dan uneducated yang tidak bisa diserap
oleh lapangan kerja sektor formal. Salah satu cara agar
kelompok masyarakat yang serba kurang ini bisa hidup, maka
mereka harus bekerja. Sektor yang dapat mereka masuki sesuai
dengan karakteristik mereka adalah sektor informal, khususnya
perdagangan kaki lima. Dengan bekerja sebagai PKL, kelompok
masyarakat marginal ini dapat menjaga kelangsungan hidupnya
(survival), memberi makan keluarganya, dan memberi
penghidupan keluarganya selagi mereka masih mampu dan
kuat berdagang di jalanan. Dengan demikian, menjalani hidup
sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu cara atau
strategi survival kelompok masyarakat marginal.
Ketiga, kebijakan Pemkot Semarang yang berkaitan dengan
eksistensi pedagang kaki lima adalah RTRW kota Semarang
tahun 2000-2010 (ditetapkan berdasarkan Perda nomor 5 tahun
2004), RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 (ditetapkan
berdasarkan Perda nomor 14 Tahun 2011), RPJPD kota
Semarang (ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2010),
dan Perda nomor 11 tahun 2000 tentang PKL. Kebijakan
Pemkot tersebut, utamanya Perda RTRW dan RPJPD diarahkan
untuk mewujudkan visi Kota Semarang sebagai pusat
Perdagangan dan Jasa yang berskala internasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perda-perda tersebut
substansinya juga dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam dua Perda yang mengatur
penataan ruang tersebut, tidak mengatur secara komprehensif
bagaimana PKL ditata sedemikian rupa, termasuk
penempatannya, yang memungkinkan mereka dapat
menjalankan aktivitas ekonomi secara bebas, sehingga
![Page 3: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/3.jpg)
463
BAB XI
PENUTUP
kesejahteraan mereka terjamin. Perda-perda tersebut lebih
berorientasi kepada kepentingan pemodal dan terbukti dalam
berbagai kebijakan Pemkot, para pengusaha perhotelan, pasar
swalayan, ritel, perumahan, pusat-pusat hiburan, dan pusat-
pusat kuliner berskala besar dapat dengan mudah memperoleh
izin dan menjalankan usahanya. Tanah-tanah yang diminati
pemodal dapat dengan mudah diperoleh. Sementara itu, PKL
yang tidak memiliki modal sebesar para kapitalis, tidak dengan
mudah mengakses tanah yang dapat mereka manfaatkan untuk
berdagang. Akibatnya, mereka berdagang di tempat-tempat
kosong yang ramai atau dekat dengan konsumen, meskipun
tanah-tanah tersebut tidak boleh digunakan untuk kegiatan
ekonomi. Perda Nomor 11 Tahun 2000 yang mengatur PKL
pun, tidak memberi jaminan kepada PKL untuk bebas
menjalankan aktivitas ekonominya. Perda tersebut justru
memberangus eksistensi PKL, karena yang diatur lebih banyak
menyangkut kewajiban dan larangan, daripada hak-hak yang
dipunyai PKL. Hal ini berbeda dengan kebijakan Pemkot
Surakarta, di mana dalam Perda yang mengatur tentang PKL,
Pemkot memiliki kewajiban untuk mengembangkan usaha
PKL. Dalam kaitan ini, walikota berkewajiban memberikan
pemberdayaan, berupa: (1) bimbingan dan penyuluhan
manajemen usaha, (2) pengembangan usaha melalui kemitraan
dengan pelaku ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk
memperoleh peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan
sarana dan prasarana PKL. Itulah sebabnya, ketika terjadi
relokasi PKL Monjari ke lokasi PKL Notoharjo Semanggi
Surakarta, tidak terjadi gejolak, bahkan PKL secara sukarela
bersedia pindah.
Keempat, kebijakan penataan PKL di Semarang yang lebih
ditekankan pada relokasi, yang disertai dengan kekerasan, baik
simbolik maupun langsung (fisik) menimbulkan perlawanan
(resistensi) dari para pedagang di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono. Perlawanan PKL terhadap Pemkot dilandasi oleh
![Page 4: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/4.jpg)
464
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
alasan atau faktor-faktor yang membuat PKL menolak
direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan
dipindah yaitu (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL
dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone)
di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang
buruk antara pihak Pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat
secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri
mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap self interest, meskipun
tidak semuanya seperti itu, (6) PKL khawatir di tempat baru
akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7)
PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL
merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi
tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di
tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika
masih berada di lokasi semula. Respon-respon yang
ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,
semuanya adalah untuk kepentingan bertahan hidup (survival),
utamanya adalah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari
(kebutuhan fisiologis).
Kelima, resistensi yang ditunjukkan PKL terhadap Pemkot
Semarang bermacam-macam. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa resistensi PKL mengambil dua bentuk, yaitu perlawanan
fisik (kekerasan) dan perlawanan nonkekerasan. Perlawanan
kekerasan (violence resistance) ditunjukkan PKL dengan adu
mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan
lapak yang akan dibongkar, menaiki begu, menghalangi
pengemudi untuk menjalankan begu, memblokade jalan, serta
menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan
lapak PKL. Perlawanan nonkekerasan diperlihatkan dalam
bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan
kembali (run and back), membuat pamflet atau poster,
membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran.
Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan
terorganisasi. Tindakan PKL ini bukan merupakan tindakan
![Page 5: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/5.jpg)
465
BAB XI
PENUTUP
spontanitas dan bersifat individual, tetapi merupakan tindakan
yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah
naungan organisasi atau paguyuban internal atau organisasi
yang menaungi aktivitas mereka.
Keenam, perlawanan (resistensi) PKL bukan merupakan
tindakan individu, tetapi tindakan kolektif yang dipicu oleh
adanya diskrepansi antara harapan, yakni keinginan untuk
tetap dapat berdagang di lokasi yang ditempati selama ini dan
adanya kenyataan, berupa kebijakan Pemkot yang merelokasi
PKL ke tempat lain. Kepemimpinan yang disertai semangat
pengorbanan dari ketua PKL, penasihat PKL, dan ketua PPKLS
menjadi modal personal yang menjadi titik masuk bagi
kepercayaan (trust) yang diberikan oleh anggota kelompok PKL
kepada ketua PKL. Norma, seperti membayar iuran untuk rapat
dan kegiatan-kegiatan paguyuban yang lain serta kehadiran
dalam rapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota paguyuban
PKL. Norma inilah yang memberi suntikan motivasi bagi
pengurus paguyuban PKL berjuang menegosiasi Pemkot agar
PKL diizinkan atau setidaknya dibiarkan bekerja di tepi sungai
Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat. Kekompakan,
perasaan saling memiliki dan berbagi dalam tubuh organisasi
internal mereka, membuat PKL memiliki bonding social capital yang dapat diandalkan, dan menjadi penguat bagi sikap resisten
mereka terhadap Pemkot. Jaringan sosial yang dibangun oleh
ketua PKL dengan asosiasi PKL yang lebih besar; sejumlah
lembaga swadaya masyarakat, seperti LBH, Pattiro; lembaga
kemahasiswaan di Kota Semarang; personil Kepolisian, Dinas
Pasar, dan Satpol PP, memberikan tambahan kekuatan bagi
pedagang kaki lima untuk melakukan perlawanan kepada
Pemkot Semarang. Bridging social capital inilah yang memberi
kekuatan mengapa PKL mampu bertahan di lokasi yang sudah
digusur oleh Pemkot. Hal lain yang membuat PKL bertahan di
lokasi, membangkang terhadap perintah Pemkot serta melawan
petugas ketika ditertibkan dan digusur adalah kondisi
![Page 6: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/6.jpg)
466
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kemiskinan, kerentanan, dan ketidakberdayaan secara ekonomi
yang jalin-menjalin menjadi satu dengan kebijakan Pemkot
yang tidak akomodatif, seperti penertiban dan penggusuran
yang dilakukan terhadap PKL, membuat PKL memiliki alasan
kuat untuk bertahan di lokasi. Hanya dengan bekerja sebagai
PKL di tempat yang sudah lama memberi makan tanpa ada
usikan, mereka dapat bertahan hidup di tengah pembangunan
kota yang tidak berpihak kepada mereka. Mencari rezeki di
pinggir jalan yang banyak dipadati orang, meskipun PKL tahu
hal itu melanggar peraturan, terpaksa mereka lakukan, sebab
hanya dengan bekerja di tempat tersebut mereka dapat uang
untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan keluarga.
berian dan semangat pengorbanan yang ditunjukkan ketua
PKL, yang kemudian menjalar kepada pengurus lainnya,
merupakan modal sosial yang tak terhingga yang memperkokoh
tekad anggota PKL untuk melakukan tindakan bersama
(kolektif) melawan kebijakan Pemkot yang tidak aspiratif dan
akomodatif terhadap kepentingan mereka. Modal sosial inilah
yang disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan atau
sacrifice of social capital.
Modal sosial pengorbanan ini secara teoritis dapat
memperkaya konsep modal sosial yang selama ini
dikembangkan oleh para teorisi, apalagi modal sosial jenis ini
tidak pernah disinggung sama sekali oleh para konseptor modal
sosial sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Fukuyama, maupun
Bourdieu. Modal sosial pengorbanan dapat digunakan secara
positif maupun negatif dalam pembangunan. Secara positif,
jenis modal sosial ini dapat menggerakkan tindakan individu
maupun kelompok untuk meraih suatu tujuan atau sasaran
tertentu tanpa memikirkan apa yang dapat diperoleh oleh
aktor. Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pelaksana
kebijakan dapat menggunakan modal sosial pengorbanan untuk
memacu pembangunan guna mewujudkan tujuan
pembangunan daerah. Merujuk pada konsep subsidiary dari
![Page 7: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/7.jpg)
467
BAB XI
PENUTUP
Etzioni, pemerintah atau para pendamping pembangunan dapat
meraih tujuan pembangunan lebih baik lagi, apabila masyarakat
diberi keleluasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri.
Dengan demikian, proses pembangunan akan dapat
berlangsung secara berkelanjutan dan hasil-hasilnya dapat
dinikmati oleh masyarakat yang paling miskin sekalipun.
Ketujuh, pembangunan fisik normalisasi sungai Kaligarang
dan sungai Banjir Kanal Barat, yang sudah dirancang matang
dalam RTRW ota Semarang dan RPJPD kota Semarang dalam
implementasinya harus menata ulang wilayah di sekitar sungai,
yang selama ini digunakan oleh PKL untuk berdagang.
Pembangunan dan normalisasi sungai yang didanai oleh APBD
dan APBN serta didukung oleh JICA Jepang tersebut, membuat
PKL yang selama ini bersikukuh tetap berdagang di lokasi
tersebut, harus minggir, karena bangunan dan lapak yang
mereka gunakan untuk berdagang dihancurkan oleh aparat
demi melaksanakan pembangunan yang lebih besar. Proyek
pembangunan, yang secara fisik mengubah lahan di tepi sungai,
tidak mampu dilawan PKL.
Meskipun sebagian besar PKL terpinggirkan oleh
pembangunan proyek normalisasi sungai, tetapi modal sosial
yang dipunyai selama ini tidak hilang sama sekali. Trust, norma
reprositas, dan jaringan sosial masih nampak. Modal sosial yang
telah dibangun para PKL, seperti organisasi atau paguyuban
internal yang telah digunakan untuk sarana perlawanan
terhadap pemerintah kota Semarang tidak runtuh, meskipun
sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi ini masih ada, baik
di Sampangan maupun di Basudewo (yang sekarang sudah
pindah ke Kokrosono). Mega proyek pembangunan waduk dan
normalisasi sungai secara fisik telah memporakporandakan
lokasi para pedagang, tetapi mega proyek tersebut tidak mampu
menghancurkan modal sosial yang dimiliki oleh PKL. Apalagi
modal sosial pengorbanan (sacrifice of social capital) yang telah
melekat pada komunitas PKL Basudewo yang diketuai oleh
![Page 8: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/8.jpg)
468
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Achmad, menjadi identitas dari PKL Basudewo yang kini
pindah ke Kokrosono. Demikian pula komitmen Rini, ketua
PPKLS untuk membantu memperjuangkan nasib PKL
Sampangan, juga menunjukkan adanya modal sosial
pengorbanan yang belum hilang. PKL Sampangan nyatanya
masih bertahan dan bisa beraktivitas di dekat proyek
normalisasi sungai. PKL Basudewo, yang sekarang telah
pindah ke gedung PKL Kokrosono masih menjalankan aktivitas
ekonomi di tempatnya yang baru. Interaksi antar pedagang
juga masih terjalin hingga kini. PKL Kokrosono liar masih
menjalankan aktivitas ekonomi, meskipun di tengah-tengah
keterbatasan lahan yang kini sudah diratakan oleh mesin-mesin
proyek. Interaksi yang masih berlangsung antar anggota
paguyuban PKL dan masih berlangsungnya interaksi antara
penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL, menandakan bahwa
modal sosial PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok,
yang dapat diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur
sosial dan anggota struktur yang berinteraksi secara intensif.
Bukan tidak mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya
tahan PKL di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL
di lokasi lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.
B. Implikasi Teoritis
Pada umumnya para teoretisi ekonomi memandang sektor
informal sebagai sektor tradisional. Pelaku sektor informal
tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat rasional. Mereka
umumnya memandang ekonomi sektor informal berada pada
masa transisi dalam suatu ekonomi dualis (dualisme ekonomi)
sebagaimana pernah diungkapkan Boeke dalam penelitiannya
di negara dunia ketiga. Dalam sistem dualis ini, terdapat dua
sistem ekonomi yang hidup berdampingan, yaitu ekonomi
sektor formal, yang didominasi oleh kekuatan kapitalis dan
sektor informal, yang sebagian besar dijalankan oleh kelompok
![Page 9: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/9.jpg)
469
BAB XI
PENUTUP
miskin dan kaum urban yang tidak lagi mendapatkan
kesempatan kerja di daerah asalnya.
Sektor informal selalu dipahami sebagai sektor tidak resmi,
ilegal, dan tidak terdaftar; sedangkan sektor formal bersifat
resmi, legal, dan didaftar oleh pemerintah. Banyak yang
berpandangan bahwa kegiatan ekonomi yang tidak resmi, tidak
dipajaki, tidak terorganisasi dengan baik, teknologinya
sederhana, banyak di antaranya pekerja tidak dibayar, skala
usahanya kecil, dan memiliki dinamika usaha yang luar biasa,
semuanya digolongkan ke dalam sektor informal.
Tidak ada pembedaan atau penggolongan lebih lanjut,
apakah sektor informal bisa dirinci berdasarkan
karakteristiknya. Padahal berdasarkan kenyataan di lapangan,
utamanya dari hasil penelitian tentang resistensi PKL di kota
Semarang, terdapat PKL yang terorganisasi, yang oleh Pemkot
dipajaki seperti halnya sektor formal, dan ia disebut pula
sebagai sektor informal (PKL) yang resmi atau tertata; dan di
tempat lainnya terdapat PKL liar yang jumlahnya seimbang
dengan jumah PKL tertata, menempati hampir semua pelosok
kota, yang jauh dari jangkauan pemerintah kota.
Hampir semua kepala daerah menginginkan daerahnya
bersih, asri, tertib, nyaman, dan aman, dan mereka umumnya
menginginkan semua sektor informal, termasuk di dalamnya
PKL beralih menjadi pengusaha sektor formal. Hal ini
dilakukan agar semua aktivitas ekonomi di wilayah kotanya
dapat dikendalikan untuk mendukung pembangunan kota.
Harapannya, kota bersih dan asri serta pendapatan dari semua
sektor ekonomi dapat diperoleh secara maksimal. Apa yang
diinginkan pemerintah kota dan kabupaten tersebut tidak
mungkin terjadi, kecuali semua fasilitas kota dapat diakses oleh
semua penduduk, termasuk mereka yang tergolong kelompok
miskin. Dalam realitasnya, hal ini tidak mungkin terjadi.
Terbatasnya kemampuan dan jangkauan pelayanan pemerintah,
![Page 10: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/10.jpg)
470
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menyebabkan tidak seluruh kebutuhan penduduk dapat
dipenuhi secara maksimal, apalagi pertumbuhan penduduk
sering tidak dapat diimbangi oleh fasilitas (berupa barang dan
jasa) yang disediakan oleh pemerintah. Namun sayangnya,
dalam kebijakan pemerintah acapkali berakibat pada
pemutusan rantai kehidupan PKL. Mereka dikejar-kejar,
digusur, dipindahkan sesuka hati seperti halnya barang yang
gampang dipindah, padahal mereka adalah manusia yang juga
memiliki harkat dan martabat seperti layaknya manusia
lainnya. Mereka butuh hidup dan penghidupan. Untuk itulah,
mereka bekerja. Satu-satunya cara menyambung hidup sesuai
dengan keterbatasan yang mereka miliki adalah bekerja sebagai
PKL. Adalah tidak etis dan tidak bermoral jika kelompok
masyarakat yang tidak berdaya ini diputus hidup dan
harapannya, hanya karena pemerintah ingin memperoleh
keuntungan jangka pendek.
Dalam kaitan dengan PKL liar, jikalau mereka tidak mampu
ditata dan dijangkau oleh pemerintah, maka tindakan yang
paling baik adalah membiarkannya untuk dapat bekerja di
tempat-tempat strategis seraya memberinya kebebasan untuk
mengelola usaha dan mengatur lingkungannya agar tetap bersih
dan nyaman bagi warga kota. Ketidakhadiran (absent) negara
dalam keadaan tertentu, kadang sangat dibutuhkan demi
kelangsungan hidup suatu kelompok atau komunitas tertentu,
meskipun hal ini tidak selamanya harus terjadi. Jikalau negara
atau pemerintah terpaksa harus hadir dalam kehidupan
kelompok masyarakat miskin, maka kehadirannya harus
memiliki keberpihakan kepada golongan masyarakat yang
kurang beruntung ini. Keberpihakan kepada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah ini harus diwujudkan dalam
bentuk kebijakan konkrit, berani, dan tidak sekadar bersifat
inkremental (Kameo 2011:22).
Resistensi atau tindakan melawan yang ditunjukkan PKL
liar terhadap kebijakan yang ditempuh oleh Pemkot Semarang,
![Page 11: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/11.jpg)
471
BAB XI
PENUTUP
salah satu sebabnya adalah menjadi PKL merupakan sarana
yang paling mudah untuk mencari penghasilan, sekaligus
sebagai satu-satunya cara bertahan hidup (survive) bagi
kelompok miskin. Kepemimpinan walikota Semarang yang
lebih mengedepankan kekuasaan, kurang akomodatif terhadap
kehidupan rakyat kecil, lebih responsif dan berpihak kepada
pemodal, menyebabkan PKL liar menjadi tidak percaya kepada
kepemimpinan walikota. Hal ini menyebabkan kelompok
marginal tersebut menjadi tidak patuh terhadap ketentuan dan
perintah yang dikeluarkan walikota berkaitan dengan penataan
PKL. Hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah
dengan PKL ini menyebabkan terjadinya ketegangan, gesekan,
dan konflik antarmereka ketika pihak pemerintah melakukan
tindakan penataan dan penertiban terhadap PKL. Gambaran
mengenai dampak kepemimpinan yang tidak berpihak kepada
kelompok masyarakat marginal dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 68. Kepemimpinan yang tidak berpihak kepada rakyat menciptakan konflik
Kepemimpinan yang tidak berpihak kepada
rakyat
Hubungan antara Pemimpin
dan Rakyat tidak harmonis
Konflik antara Pemimpin dan
Rakyat
Masyarakat tidak patuh dan tidak
tertib
![Page 12: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/12.jpg)
472
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Perlawanan atau resistensi ini sesungguhnya tidak akan
terjadi jika Pemkot Semarang memiliki panduan kebijakan yang
jelas, seperti halnya yang diperlihatkan Pemkot Surakarta
ketika merelokasi PKL Monjari ke Pasar Notoharjo Semanggi
Surakarta. Fasilitas yang diberikan oleh Pemkot Surakarta,
berupa gerobak dan shelter-shelter untuk tempat berdagang
merupakan modal institusional yang berharga, yang
menumbuhkan kepercayaan dan kecintaan masyarakat kepada
Pemkot Surakarta. Dalam realitasnya, masyarakat miskin atau
kurang beruntung yang diberi kebebasan dan kepercayaan dan
difasilitasi pemerintah yang mengutamakan kepemimpinan
yang berpihak kepada mereka, akan menumbuhkan tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap peraturan atau pun kebijakan
yang diambil pemerintah. Masyarakat kelas bawah cenderung
hidupnya tertib jika diberi peluang dan kebebasan untuk
mengatur dirinya sendiri.
Kelompok masyarakat yang diberi kebebasan, otonomi, dan
kepercayaan untuk melakukan apa yang terbaik bagi
kehidupannya, akan dapat mengatur dan mengelola kehidupan
termasuk usaha mencukupi kebutuhan sendiri. Masyarakat
yang mampu mengelola hidup, mengatur diri dan mempunyai
banyak pilihan tentang cara-cara mengembangkan kehidupan,
pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan
mencapai kebahagiaan yang sejati. Ilustrasi mengenai kaitan
antara kepemimpinan yang berpihak, rasa percaya masyarakat,
kepatuhan dan ketertiban masyarakat, kemampuan masyarakat
mengelola diri, dan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada
gambar berikut.
![Page 13: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/13.jpg)
473
BAB XI
PENUTUP
Gambar 69. Peran Kepemimpinan yang berpihak kepada Rakyat
terhadap Survival Kelompok Masyarakat Miskin
Resistensi PKL merupakan tindakan rasional bertujuan.
Rasional dalam arti bahwa apa yang dilakukan oleh pedagang
kelas bawah ini betul-betul dipertimbangkan untung ruginya.
Bertujuan, dalam pengertian bahwa apa yang dilakukan
pedagang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tindakan
perlawanan merupakan tindakan kolektif, maka tujuan yang
dikejar juga tujuan kolektif. Perlawanan dan pembangkangan
yang dilakukan pedagang tujuannya adalah untuk
mempertahankan lokasi berdagang, tidak dipindah ke tempat
lain yang belum tentu memiliki prospek yang sama di tempat
lama, bahkan harapan lebih jauh mereka adalah memperoleh
izin resmi untuk berdagang di tempat yang selama ini telah
mereka gunakan.
Para PKL berani melakukan perlawanan terhadap Pemkot,
karena tiga hal.
Pertama, alasan melawan adalah demi menyambung hidup
(survival) di tengah sulitnya hidup di kota besar.
Kepemimpinan Yang Berpihak kepada Rakyat
Masyarakat percaya
Masyarakat patuh dan
tertib
Masyarakat survive dan sejahtera
Masyarakat dapat mengelola
diri sendiri
![Page 14: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/14.jpg)
474
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kedua, mereka melawan karena diperlakukan secara kasar
dan tidak manusiawi oleh aparat pemerintah. Kekerasan aparat
dibalas juga dengan kekerasan oleh pedagang. Inilah yang oleh
Arendt disebut dengan banalitas kejahatan atau kekerasan.
Kekerasan negara akan memengaruhi individu warga negara
untuk berbuat yang sama ketika mereka juga mengalami
kekerasan (Pitaloka 2004).
Ketiga, PKL melakukan perlawanan karena adanya
kekuatan pendorong, yaitu modal sosial.
Kepercayaan (trust) yang diberikan anggota PKL kepada
ketua PKL dan jaringan sosial yang dijalin oleh ketua PKL,
merupakan unsur modal sosial yang menjadi penguat bagi PKL
melakukan perlawanan kepada Pemkot. Norma berupa
kesepakatan untuk menghadiri rapat, ikut demonstrasi, dan
membayar iuran untuk membiayai perjuangan dalam rangka
mempertahankan lokasi merupakan bagian dari modal sosial
yang signifikan bagi upaya perlawanan PKL. Demikian pula,
jaringan sosial yang dibangun dengan PPKLS, LBH, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga kemahasiswaan (intra dan ekstra
universiter), dan lembaga lainnya, meneguhkan kekuatan PKL
melawan kebijakan relokasi yang ditempuh Pemkot Semarang.
Pengorbanan yang diberikan oleh ketua, penasihat PKL,
dan ketua PPKLS baik berupa uang, pikiran, dan tenaga
menjadi semen bagi perlawanan PKL. Jiwa kepemimpinan yang
disertai semangat pengorbanan ketua PKL menjadi mesin
pelumas bagi gerak tindakan kolektif anggota PKL. Modal sosial
yang memperlancar (lubricant) dan mempererat (glue) ikatan
sosial anggota PKL, dalam penelitian ini disebut dengan modal
sosial dengan pengorbanan (sacrifice of social capital). Dalam
teori modal sosial yang dikembangkan para teoretisi selama ini
belum pernah disinggung tentang modal sosial dengan
pengorbanan, yang hanya ditemukan pada komunitas kaum
pinggiran, seperti halnya di komunitas PKL Basudewo. Bukan
![Page 15: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/15.jpg)
475
BAB XI
PENUTUP
tidak mungkin jenis modal sosial ini ada pada komunitas
marginal lainnya atau lahir dari orang-orang yang dengan
tindakan pengorbanannya berhasil menggerakkan aksi anggota
komunitasnya.
Modal sosial pengorbanan ini seperti modal sosial lainnya
dapat ditambah, diperbanyak dan diperlakukan sebagai stok
barang. Modal sosial pengorbanan akan bernilai positif ketika
bertemu dengan kebijakan pemerintah yang akomodatif
terhadap kepentingan pedagang. Pemerintah dapat
mengembangkan modal kelembagaan (institutional capital), berupa tata kelola kelembagaan dan struktur pemerintahan
yang berfungsi mereduksi ketidakpastian, merangsang efisiensi
adaptif (termasuk kemampuan sistem untuk mengubah kondisi-
kondisi), serta mendorong alokasi sistem dan pola produksi dan
konsumsi (Platje 2008:145). Tata kelola pemerintahan yang
fleksibel dengan sebanyak mungkin memberikan kebebasan
dan otonomi kepada warga masyarakat untuk menjalankan
aktivitas apa pun berdasarkan prinsip subsidiary akan memberi
peluang bagi berkembangnya usaha dan bisnis sektor informal,
khususnya pedagang kaki lima.
Dalam penelitian ini ditemukan suatu dalil bahwa
“semakin banyak orang berkorban untuk bertindak kolektif
(modal sosial pengorbanan meningkat) dan didukung oleh
kebijakan pemerintah yang fleksibel, akomodatif, dan berpihak
kepada rakyat (modal institusional), maka pembangunan akan
dapat berlangsung sesuai yang diharapkan dan masyarakat akan
dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara optimal”.
Ilustrasi bertemunya modal sosial pengorbanan dari komunitas
(masyarakat) pinggiran dengan modal institusional pemerintah
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
![Page 16: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/16.jpg)
476
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Modal Sosial Kolektif
(masyarakat dan pemerintah) yang bermanfaat bagi Pembangunan
Gambar 70. Pertemuan Modal Sosial Pengorbanan dari Masyarakat
dan Modal Institusional Pemerintah yang memberikan energi positif bagi Pembangunan
C. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian, temuan penelitian, dan
implikasi teoritis, maka dalam penelitian disertasi diajukan
saran-saran sebagai berikut.
Pertama, Perda nomor 11 tahun 2000 perlu direvisi, karena
substansi pasal-pasal dan ayat-ayatnya bersifat government oriented, dalam arti kepentingan pemerintah lebih diutamakan
daripada kepentingan dan kebutuhan pedagang kaki lima
(PKL). Ketentuan yang ada di dalam Perda lebih banyak
mengatur kewajiban dan larangan bagi PKL, sedangkan
Modal Sosial
Pengorbanan
dari
Masyarakat
MIP ideal
Modal Institusional Pemerintah (MIP) riil
![Page 17: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/17.jpg)
477
BAB XI
PENUTUP
pengaturan tentang hak-hak dan pemberdayaan terhadap PKL
tidak banyak.
Kedua, pembukaan lahan baru untuk menampung PKL
yang dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat. Lahan
baru bagi PKL dipandang penting, karena rasio antara luas
lahan yang tersedia bagi PKL dengan jumlah PKL tidak
seimbang. Keterbatasan lahan untuk berdagang, menyebabkan
PKL melakukan pelanggaran dengan menempati tempat-tempat
strategis yang terlarang demi menyambung hidup.
Ketiga, merelokasi PKL yang menjalankan usaha di tepi
jalan dekat bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat
dan tempat-tempat terlarang lainnya ke tempat usaha yang
tidak mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan,
keindahan, dan kesehatan kota, tetapi yang lokasinya mudah
diakses oleh konsumen.
Keempat, pendirian sentra-sentra PKL berbasis tempat dan
jenis dagang atau usaha, seperti yang sudah berdiri (di Kalisari
sebagai sentra PKL bunga hias, di Barito sebagai sentra PKL
barang-barang onderdil mobil dan sepeda motor, di Kokrosono
sebagai sentra PKL barang-barang klitikan, seperti onderdil
sepeda bekas dan barang-barang elektronik lainnya). Pusat-
pusat kuliner yang menampung para pedagang makanan dan
minuman, sebagai ciri khas kota Semarang, dapat diperbanyak
distribusinya di berbagai sudut kota, sehingga dapat
menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru.
Kelima, peningkatan kualitas sumber daya PKL, melalui
kegiatan pelatihan dan keterampilan sesuai dengan
karakteristik jenis usaha dan dagang mereka. Hal ini penting,
karena dapat meningkatkan pendapatan PKL dan menciptakan
stabilitas ekonomi perkotaan.
Keenam, pemberian fasilitas kredit kepada PKL. Selama ini
PKL yang sebagian besar termasuk golongan masyarakat
![Page 18: BAB XI PENUTUP A. Dari hasil penelitian dan temuan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/12/D... · parkir dan pengemis. ... (survival), memberi makan keluarganya, ... kuat](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5a72df467f8b9aac538e051c/html5/thumbnails/18.jpg)
478
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
miskin, tidak memiliki akses kredit baik ke lembaga perbankan
maupun lembaga keuangan lainnya. Dengan kemudahan akses
kredit ke lembaga keuangan dan perbankan, akan mendorong
kemampuan PKL untuk bertahan hidup dan mengembangkan
usaha mereka, sehingga ke depan mereka akan dapat menjadi
titik masuk bagi lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru.
Ketujuh, pengembangan institusionalisasi PKL, yakni
melakukan pemberdayaan organisasi PKL yang sudah ada dan
mengorganisasikan PKL yang saat ini belum memiliki wadah
pengembangan usaha PKL.
Kedelapan, perlu dibentuk forum bersama antara
pemerintah, pengusaha dan PKL. Forum imi penting, tidak
hanya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul
berkaitan dengan interaksi antara ketiga pihak tersebut,
sehingga dapat mengeliminasi konflik-konflik yang muncul di
antara mereka, tetapi juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk
mengembangkan kemampuan PKL dalam mengelola usaha dan
kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup.