bab x pkl minggir, modal sosial tidak hilang...

36
425 BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG Dalam bab ini dijelaskan tentang kondisi perjuangan pedagang kaki lima (PKL) yang demikian solid dengan modal sosial yang mereka miliki, baik yang bersumber dari bonding social capital maupun bridging social capital, tidak lagi diteruskan, karena proyek pembangunan fisik berupa normalisasi sungai Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh APBD Provinsi Jateng, APBN pemerintah pusat, dan bantuan JICA Jepang, telah menghancurluluhkan tempat yang mereka jadikan untuk tumpuan hidup. Perpecahan di kalangan PKL, membuat PKL tidak berdaya menghadapi proyek pembangunan. Bertahan dengan tetap berada di bangunan atau lapak, tidak mungkin mereka lakukan, karena semua bangunan, jalan di tepi sungai, dan bahkan pohon-pohon besar pun ditumbangkan demi menata sungai Banjir Kanal Barat yang kelak akan dijadikan sebagai sarana wisata air, selain untuk mengendalikan banjir di kota Semarang. Kepentingan yang lebih besar itulah yang menjadi alasan Pemkot Semarang memaksa PKL harus pindah ke tempat relokasi yang sudah disediakan pemerintah. Untuk memahami bagaimana akhirnya PKL sebagai komunitas ekonomi rakyat kecil tergusur dan harus pindah ke tempat lain, dalam uraian berikut secara berturut-turut dikemukakan kekerasan simbolik dan represi yang dilakukan pemerintah, kemudian dampak proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, serta masih menguatnya modal sosial yang dimiliki PKL, meskipun PKL yang berada di tepi sungai terpaksa menyingkir dari lokasi berdagang.

Upload: dangdat

Post on 01-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

425 425

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Dalam bab ini dijelaskan tentang kondisi perjuangan

pedagang kaki lima (PKL) yang demikian solid dengan modal

sosial yang mereka miliki, baik yang bersumber dari bonding social capital maupun bridging social capital, tidak lagi

diteruskan, karena proyek pembangunan fisik berupa

normalisasi sungai Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh APBD

Provinsi Jateng, APBN pemerintah pusat, dan bantuan JICA

Jepang, telah menghancurluluhkan tempat yang mereka

jadikan untuk tumpuan hidup.

Perpecahan di kalangan PKL, membuat PKL tidak berdaya

menghadapi proyek pembangunan. Bertahan dengan tetap

berada di bangunan atau lapak, tidak mungkin mereka lakukan,

karena semua bangunan, jalan di tepi sungai, dan bahkan

pohon-pohon besar pun ditumbangkan demi menata sungai

Banjir Kanal Barat yang kelak akan dijadikan sebagai sarana

wisata air, selain untuk mengendalikan banjir di kota

Semarang. Kepentingan yang lebih besar itulah yang menjadi

alasan Pemkot Semarang memaksa PKL harus pindah ke tempat

relokasi yang sudah disediakan pemerintah.

Untuk memahami bagaimana akhirnya PKL sebagai

komunitas ekonomi rakyat kecil tergusur dan harus pindah ke

tempat lain, dalam uraian berikut secara berturut-turut

dikemukakan kekerasan simbolik dan represi yang dilakukan

pemerintah, kemudian dampak proyek pembangunan waduk

Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal

Barat, serta masih menguatnya modal sosial yang dimiliki PKL,

meskipun PKL yang berada di tepi sungai terpaksa menyingkir

dari lokasi berdagang.

Page 2: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

426

A. Dari Kekerasan Simbolik hingga Kekerasan Langsung

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Asosiasi

Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI),

Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan

Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), telah

menyepakati sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik

(Fahmal 2006:66-67). Sepuluh prinsip itu adalah sebagai

berikut.

Pertama, partisipasi, dalam arti bahwa setiap warga

didorong untuk menggunakan hak dalam menyampaikan

pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang

menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Kedua, penegakan hukum, yaitu menegakkan hukum secara

adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi

HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.

Ketiga, transparansi, yakni menciptakan kepercayaan

timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui

pelayanan penyediaan informasi dan menjamin kemudahan

dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Keempat, kesetaraan, yakni memberi peluang yang sama

bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan

kesejahteraan.

Kelima, daya tangkap, yakni meningkatkan kepekaan para

penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat

tanpa kecuali.

Keenam, wawasan ke depan, yaitu membangun daerah

berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan

warga masyarakat dalam seluruh proses pembangunan,

Page 3: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

427

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

sehingga warga masyarakat memiliki dan ikut bertanggung

jawab terhadap kemajuan daerahnya.

Ketujuh, akuntabilitas, yaitu meningkatkan akuntabilitas

para pengambil keputusan dalam bidang yang menyangkut

kepentingan masyarakat luas.

Kedelapan, pengawasan, yaitu meningkatkan upaya

pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan

masyarakat luas.

Kesembilan, efisiensi dan efektivitas, yaitu menjamin

terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan

menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan

bertanggung jawab.

Kesepuluh, profesionalisme, yaitu meningkatkan

kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar

mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dan

biaya yang terjangkau.

Pemerintah daerah sudah seharusnya melakukan fungsinya

dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang

baik. Beberapa pemerintah daerah ada yang telah dapat

menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam

mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan yang prima kepada

masyarakat. Kabupaten Sragen, kabupaten Jembrana, kabupaten

Bantul, kota Yogyakarta, dan kota Surakarta merupakan sekian

dari kota dan kabupaten di Indonesia yang berhasil

memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah yang sadar akan dirinya sebagai agen

masyarakat memang dapat menjalankan fungsinya dengan baik,

tetapi tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang

memiliki kinerja seperti itu. Apalagi jika walikota atau bupati

yang terpilih terlibat money politic dan bersekongkol dengan

Page 4: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

428

pihak pengusaha, sehingga dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan sudah dapat dipastikan bahwa

mereka akan lebih berpihak kepada kelas atas seperti birokrat

daerah dan pengusaha, sementara keberpihakannya kepada

rakyat kecil tidaklah begitu besar atau bahkan dalam beberapa

kebijakan yang diambil bisa saja pemerintah daerah yang

dikelola pemimpin seperti itu lebih banyak memusuhi rakyat

kecil yang sumbangan ekonominya tidak signifikan bagi

daerah. Itulah sebabnya, cukup banyak kepala daerah yang

bertindak halus dan penuh rasa cinta kepada pihak-pihak yang

memuluskan jalannya menuju pemimpin nomor satu di daerah

dan bertindak kasar penuh rasa benci kepada rakyat kecil yang

dipandang mengotori, membuat tidak indah dan asri, serta

merusak citra daerah, seperti halnya pedagang kaki lima (PKL)

liar.

Pemerintah dapat saja memiliki kebijakan yang berbeda

dalam mengelola kehidupan masyarakat dan menyelenggarakan

pembangunan. Apa yang dilakukan atau tidak dilakukan

pemerintah tersebut bisa berdampak positif maupun negatif

bagi warga atau kelompok masyarakat. Ada kelompok

masyarakat yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah,

tetapi ada juga kelompok masyarakat lainnya yang dirugikan

atau setidaknya merasa dirugikan karena kebijakan yang telah

ditempuh oleh pemerintah.

Secara teoretik sudah banyak konsep mengenai

pemerintahan yang baik berikut azas-azas dan prinsip-

prinsipnya. Semua azas dan prinsip tersebut dijadikan sebagai

acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada

masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam

realitasnya, pemerintah kota Semarang (terutama pada masa

kepemimpinan Soekawi Soetarip) tidak mampu menghasilkan

kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial

serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat

kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan,

Page 5: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

429

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

dan para pedagang kecil, termasuk PKL liar atau yang tidak

terorganisasi.

Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap,

wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta

profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman

bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-

baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi

dalam kenyataannya tidak digunakan.

Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi

Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan

kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya ada juga

lapisan masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil-hasil

pembangunan, seperti kelompok marginal di jalanan (pengemis,

gelandangan, anak jalanan, dan PKL). Pengemis, gelandangan,

dan anak jalanan dalam perspektif pemerintah kota,

digolongkan dalam kelompok penyandang tuna sosial,

sedangkan PKL meskipun tidak termasuk penyandang tuna

sosial, tetapi mereka tergolong kelompok marginal atau

terpinggirkan, karena dianggap kelompok masyarakat yang sulit

diatur dan sulit dikendalikan.

Pemerintah merupakan representasi negara, yang memiliki

kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Dalam relasi

negara-rakyat, Pemkot Semarang termasuk dalam posisi negara

yang memiliki sumber daya kekuasaan, sedangkan PKL berada

dalam status rakyat yang tidak memiliki sumber daya

kekuasaan. Dalam relasi ini, Pemkot (representasi dari negara)

dalam posisi dominan dan superordinat, sementara PKL

(representasi rakyat) sebagai pihak yang terdominasi dan

subordinat. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Pemkot

harus dipatuhi dan diikuti PKL, termasuk ketika mereka harus

dipindahkan karena telah menempati ruang publik.

Page 6: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

430

Pihak dominan dengan segala kekuasaan yang dimiliki

acapkali menggunakan kekerasan meskipun kadang mereka

tidak menyadari atau pun telah disadarinya dengan tujuan

untuk menaklukkan pihak yang didominasi atau terdominasi.

Dominannya kekerasan sebagai cara untuk menyelenggarakan

kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah dirasakan sejak

pemerintahan Orde Baru (Gultom 2003). Kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan senantiasa bersifat koersi, dibarengi tindak

kekerasan dan pemaksaan.

Dalam kaitannya dengan PKL, Pemkot Semarang telah

melakukan apa yang disebut dengan kekerasan simbolik.

Menurut Bourdieu, kekerasan simbolis adalah pemaksaan

sistem simbolisme dan makna (kebudayaan) terhadap kelompok

atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai

sesuatu yang sah (Jenkins 2004:157). Legitimasinya

meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan

tersebut berhasil.

Selama hal tersebut diterima sebagai sesuatu yang sah,

kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan dan

memberinya kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka.

Hal ini diraih melalui proses salah mengenali (misrecognition),

yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara

objektif, namun dalam bentuk yang menjadikan mereka absah

di mata pemeluknya.

Dalam memaksakan kekerasan simbolik ini, pihak dominan

menggunakan instrumen pengetahuan, sebagai wujud dari

terbentuknya relasi dominasi, sehingga membuat relasi itu

tampak alamiah (natural) di mata pihak yang terdominasi

(Bourdieu 2010:50). Kekerasan simbolik ini dilembagakan

melalui perantaraan kesepakatan yang tidak bisa diberikan oleh

pihak terdominasi kepada si dominan ketika skema-skema

yang digunakan oleh pihak terdominasi untuk memahami dan

menilai diri atau yang digunakan untuk menilai pihak

Page 7: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

431

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

dominan. Kekerasan negara dalam bentuk simbolik ini

menciptakan kebutuhan akan perlunya peraturan perundangan

dan lembaga peradilan sebagai instrumen pembenar tindakan

negara (Gultom 2003).

Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang

tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda

nomor 11 tahun 2000. Sebagaimana disampaikan Bourdieu,

kata-kata dapat digunakan sebagai (1) alat melakukan kekerasan

dan paksaan, (2) alat intimidasi dan penyelewengan, (3) tanda

dan keadaban, sikap merendahkan diri dan jijik (Thompson

2003).

Dalam Perda tersebut terdapat kata-kata atau kalimat yang

menandakan Pemkot melakukan kekerasan dan paksaan

terhadap pedagang kaki lima. Judul dari Perda tersebut sudah

menunjukkan tanda kekerasan simbolis, yaitu Peraturan

Daerah kota Semarang tentang Pengaturan dan Pembinaan

Pedagang Kaki Lima. Kata “pengaturan” dan “pembinaan”

menunjukkan relasi kuasa yang timpang, di mana Pemkot

berada pada posisi dominan dan sangat berkuasa melakukan apa

saja terhadap PKL. Pedagang pun dibuat seakan-akan apa yang

dilakukan Pemkot terhadapnya memang absah dilakukan,

termasuk membongkar tempat usaha, menyita barang dagangan

atau peralatan, dan mencabut izin tempat usaha, sebagaimana

diatur dalam pasal 13 Perda ini.

Kalimat yang mencerminkan kekerasan dan paksaan

terhadap PKL tidak hanya dapat dicermati dalam pasal 13,

tetapi hampir semua pasal, kecuali pasal 6 yang mengatur

tentang hak PKL, mencerminkan kekerasan simbolik tersebut.

Kekerasan simbolik tersebut tampak pula dalam stigma

negatif yang dilontarkan pihak Pemkot dengan menggunakan

media massa lokal ketika mereka melakukan penertiban dan

penggusuran terhadap PKL Basudewo. Harian Suara Merdeka

yang terbit tanggal 29 Mei 2010 dalam headline-nya menulis

Page 8: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

432

judul besar “PKL Basudewo Langgar Peraturan”. Penulisan

headline ini jelas atas permintaan Pemkot Semarang

menanggapi demonstrasi PKL Basudewo yang menolak

penggusuran dan relokasi. Pihak Pemkot menganggap PKL

Basudewo telah melanggar ketentuan SK Walikota Nomor

511.3/16/2001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi PKL di

Kota Semarang, karena menempati lahan yang tidak ditunjuk

dan ditetapkan berdasarkan SK Walikota tersebut.

Stigma negatif juga ditunjukkan terhadap PKL Kokrosono,

sebagaimana ditulis Harian Semarang tanggal 10 Juni 2010.

“PKL liar Kokrosono segera ditertibkan”, inilah bunyi headline

dari Harian Semarang, yang memberi penilaian negatif

sekaligus memaksakan ideologi Pemkot bahwa PKL Kokrosono

memang liar dan harus menerima penertiban. Stigma negatif

yang diberikan Pemkot terhadap PKL Basudewo dan

Kokrosono memberikan bukti bahwa permainan kata-kata yang

disampaikan Pemkot memberikan suatu legitimasi kepada

Pemkot bahwa Pemkot memang berhak mengendalikan,

mengatur, dan menertibkan PKL yang mereka pandang liar,

sulit diatur, dan melanggar peraturan.

Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut

dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik

terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang

fisik atau psikologis seseorang secara langsung (Salmi 2003:31).

Termasuk dalam aktivitas kekerasan langsung adalah

pemusnahan etnis (genocide), pembunuhan massal, penculikan,

penyiksaan, perkosaan, dan pengusiran secara paksa.

Penertiban dan penggusuran merupakan bagian dari kekerasan

langsung berupa pengusiran secara paksa.

Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di

kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung

merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk

Page 9: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

433

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas

penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang,

sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada

tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011,

meskipun di sisi lain Pemkot menyediakan ratusan shelter

untuk tempat berdagang bagi PKL, sebagaimana yang dialami

para PKL yang melakukan aktivitas ekonomi di bundaran

Simpang Lima dan di jalan Menteri Soepeno.

Pemkot Semarang tidak hanya menertibkan dan menggusur

PKL di tiga lokasi yang diteliti, tetapi juga menertibkan dan

menggusur PKL lainnya yang ada di Kota Semarang. Petugas

Satpol PP pada hari Kamis tanggal 21 Oktrober 2010 melakukan

penertiban dan pembongkaran lapak terhadap pedagang kaki

lima yang berdagang di jalan Anton Sujarwo Srondol Semarang

(Wawasan, Sabtu Wage, 23 Oktober 2010, Halaman 13).

Pada tanggal 10 April 2011 petugas Satpol PP Kota

Semarang membongkar lapak-lapak PKL yang berada di atas

saluran di Perumnas Tlogosari Semarang (Semarang Metro,

Senin, 11 April 2011, Halaman C). Seluruh pedagang kaki lima

(PKL) “tiban” di sepanjang kawasan Simpang Lima hingga

bundaran Taman Soepeno ditertibkan dan sejak 23 Juli 2011

dipindahkan ke Stadion Diponegoro (Semarang Metro, Jumat,

22 Juli 2011, Halaman A).

Demikian pula, untuk menertibkan PKL yang berdagang di

ruang publik, Satpol PP kota Semarang melakukan razia PKL di

sejumlah tempat di kota Semarang, seperti di daerah Kampung

Kali, Taman KB, Jalan dr. Kariadi, di depan Kantor DPD Golkar

Jateng, dan Jalan Tamrin (Semarang Metro, Kamis, 17

November 2011, Halaman C).

Aktivitas penertiban dan penggusuran terhadap PKL

beberapa di antaranya dapat dipahami, karena ada PKL yang

menempati wilayah atau daerah larangan yang dapat

menyebabkan banjir, seperti halnya pembongkaran lapak di

Page 10: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

434

Tlogosari, karena menempati saluran sungai. Namun terlepas

dari semua itu, aktivitas penertiban yang disertai dengan

tindakan fisik, yakni dengan membongkar paksa bangunan,

lapak, dan terkadang barang dagangan PKL, merupakan

representasi dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh Pemkot

Semarang. Kekerasan fisik ini, meskipun kadang tidak disadari

oleh petugas Satpol PP, dilakukan Pemkot sebagai kelanjutan

dari kekerasan simbolik, yakni untuk menegakkan Perda

nomor 11 hahun 2000.

Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau negara,

seperti yang diperlihatkan Pemkot Semarang terhadap

pedagang kaki lima (PKL), yang oleh mereka dianggap

melanggar Perda, merupakan cara yang efektif untuk membuat

rakyat, dalam hal ini PKL mematuhi peraturan atau kebijakan

Pemkot. Kekerasan yang dilakukan Pemkot tersebut, menurut

Douglas dan Waksler menggambarkan perilaku, baik yang

bersifat terbuka, menyerang atau bertahan yang disertai dengan

penggunaan kekuatan terhadap orang lain (Pitaloka 2004:10).

Kekerasan negara dapat memengaruhi individu-individu

yang ada dalam kekuasaannya untuk melakukan kekerasan

serupa. Individu-individu tersebut akan kehilangan

kemampuan berpikir dan menilai secara kritis. Eichmann

melihat ada perasaan tidak bersalah pada diri pelaku kekerasan

atau kejahatan (Pitaloka 2004:17). Bagi petugas Satpol PP yang

menjalankan tugas Pemkot, apa yang mereka lakukan, dalam

bahasa Eichmann, tidak lebih dari sekadar tanggung jawab

terhadap tugas dan sikap patuh serta loyal kepada penguasa,

bukan sebuah kejahatan meskipun mereka tahu tindakannya

menimbulkan banyak korban.

Kekerasan atau kejahatan seperti itu, merupakan wujud

dari banalitas kejahatan (Pitaloka 2004). Kekerasan yang

dilakukan pedagang kaki lima (PKL) dengan cara beradu mulut,

menghalang-halangi petugas, mendorong petugas, menyandera

Page 11: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

435

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

kendaraan petugas, sebagaimana diperlihatkan PKL Sampangan

dan Basudewo, tidak muncul dengan sendirinya, tetapi

merupakan akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan

negara, dalam hal ini adalah pemerintah kota Semarang melalui

aparatnya, yaitu petugas Satpol PP.

B. Dampak Proyek Jatibarang dan Normalisasi Sungai Banjir

Kanal Barat

Waduk Jatibarang dibangun di sungai Kreo kota Semarang

bagian barat daya, sekitar 13 kilometer sebelah hulu dari muara

Kali Garang, mencakupi kelurahan Kedungpane, Jatibarang,

Kandri, dan Jatirejo.

Pembangunan waduk serbaguna Jatibarang dilakukan

dengan tujuan:

1. untuk mengendalikan banjir di kota Semarang, dengan

menampung debit banjir Kali Garang periode 50 tahun,

2. menyediakan suplai air sebesar 2.40 m³ per detik untuk

penyediaan air baku kota Semarang dan mempertahankan

aliran Banjir Kanal Barat,

3. optimalisasi fungsi bendung Simongan sebagai prasarana

pensuplai air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) kota Semarang sebesar 2.40 m³ per detik mengaliri

daerah irigasi dan mempertahankan limpasan Banjir Kanal

Barat,

4. untuk konservasi sumber daya air, mencakupi pengawetan

air melalui tampungan sebesar 20.4 juta m³ dan konservasi

daerah aliran sungai (DAS) Kali Garang,

5. penyediaan tenaga listrik sebesar 1.500 KW (Balai Besar

Wilayah Sungai Pemali Juana 2009).

Pembangunan waduk Jatibarang dengan tipe Rockfill Dam

setinggi 77 meter, diharapkan dapat diselesaikan pada tahun

Page 12: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

436

2014. Selesainya pembangunan waduk Jatibarang ini

diharapkan dapat mengurangi potensi banjir, mengatasi

masalah rob di kota Semarang, mengurangi penggunaan air

tanah, mengurangi permasalahan amblesan (land subsidence)

dan menyediakan air baku untuk air minum.

Waduk ini juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit

listrik mini hidro sebesar 1,5 MW. Selain itu, juga dapat

dikembangkan untuki tujuan wisata, apalagi lokasi waduk

sebelumnya juga merupakan objek wisata terkenal di kota

Semarang, yaitu objek wisata gua Kreo.

Pembangunan waduk ini diresmikan Menteri Pekerjaan

Umum, Djoko Kirmanto di Semarang pada tanggal 15 Oktober

2009. Pembangunan waduk didanai oleh dana pinjaman dari

pemerintah Jepang melalui program Loan IP-534 Integrated Water Resources and Flood Management for Semarang.

Program IP-534 ini merupakan program terintegrasi, yang

terbagi atas tiga komponen, yaitu komponen A normalisasi Kali

Garang dan Banjir Kanal Barat, komponen B pembangunan

bendungan Jatibarang, dan komponen C penataan dan

peningkatan sistem jaringan drainase Kali Semarang, Kali Asin,

dan Kali Baru.

Kegiatan lintas sektor ini ditangani bersama antara

pemerintah pusat, melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air

dan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan

Umum, pemerintah provinsi Jawa Tengah dan pemerintah kota

Semarang.

Pembangunan waduk Jatibarang sesungguhnya bukan

program tiba-tiba, tetapi sudah lama direncanakan oleh

pemerintah. Tahap studi pengembangan sudah dimulai sejak

tahun 1969, yaitu dengan mengkaji pengembangan wilayah

sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana (Jratunseluna).

Kajian ini dilakukan oleh PT. Indah Karya bekerjasama dengan

JICA.

Page 13: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

437

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Kedua konsultan ini merekomendasikan perlunya

membangun waduk serbaguna untuk mendukung

pengembangan wilayah dan mengurangi potensi banjir di kota

Semarang. Dalam rangka pembangunan waduk, pemerintah

membuat terowongan pengelak, yang dimaksudkan untuk

mengelakkan air sungai di sekitar atau yang melintasi lokasi

bendungan selama masa pembangunan bendungan. Bendungan

pengelak sendiri, terdiri dari bendungan pengelak (coffer dam)

utama, portal inflet dan outlet serta terowongan pengelak

sepanjang 441 m. Terowongan tersebut didesain untuk dapat

mengatasi banjir selama 25 tahun dengan besaran 280 m³ per

detik.

Sebelum waduk Jatibarang dibangun, Gubernur Jawa

Tengah telah mengajukan permohonan penetapan lokasi

kepada pemerintah kota Semarang berdasarkan nomor surat

593/13/69 tertanggal 11 Juli 2006. Setelah diteliti oleh Tim

Koordinasi dan Tata Cara Pemberian Izin Lokasi kota

Semarang, walikota menyetujuinya dan menerbitkan surat

keputusan nomor 593/224 tanggal 29 Agustus 2006 tentang

Penetapan Lokasi Pembangunan Waduk Jatibarang,

Normalisasi Banjir Kanal Barat, dan Drainase Perkotaan seluas

223,58 hektar.

Lokasi tersebut terletak di Kelurahan Kandri dan Kelurahan

Jatirejo Kecamatan Gunungpati serta Kelurahan Kedungpane

dan Kelurahan Jatibarang Kecamatan Mijen Kota Semarang.

Luas tanah yang dimohonkan dalam penetapan lokasi

pembangunan waduk seluas 223,58 hektar ternyata lebih besar

daripada luas lahan yang akan dibebaskan, yaitu 189,35 hektar

(Dahlan 2007). Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika

lahan yang akan dibebaskan berkembang dari rencana awal,

sehingga tidak perlu lagi harus mengajukan permohonan

penetapan lokasi tambahan.

Page 14: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

438

Pembangunan waduk Jatibarang meliputi lokasi di mana

waduk dibangun (dam axis), areal genangan, sabuk hijau (green belt) dan jalan penghubung (acces road) yang terletak di empat

kelurahan dalam dua kecamatan, yaitu Kedungpane dan

Jatibarang di Kecamatan Mijen serta Kandri dan Jatirejo di

Kecamatan Gunungpati.

Dalam areal waduk yang letaknya persis berada di kawasan

wisata goa Kreo, kelurahan Kandri, berdasarkan studi ahli

genangan tertinggi, tidak akan menggenangi objek utama

kawasan wisata tersebut. Sungai utama yang dibendung untuk

keperluan pembangunan waduk Jatibarang adalah Kali Kreo.

Waduk membendung Kali Kreo di Dusun Talun Kacang

Kelurahan Kandri Kecamatan Gunungpati atau tepatnya di

sebelah utara lokasi wisata Goa Kreo.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 60. Objek wisata Goa Kreo yang terkena dampak

pembangunan waduk Jatibarang

Page 15: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

439

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 61. Lahan yang digunakan untuk pembangunan

waduk Jatibarang

Lokasi pembangunan waduk, selain melintasi area sungai,

juga mencakupi lahan milik warga masyarakat. Luas lahan

milik warga masyarakat yang terkena dampak pembangunan

waduk adalah 189,35 hektar (Dahlan 2007). Lahan sawah byang

dibebaskan seluas 47,01 ha atau 24,83%, sedangkan lahan

tegalan yang dibebaskan seluas 142,21 ha atau 75,17%. Lahan

yang terkena pembebasan terluas adalah kelurahan

Kedungpane, yaitu 77,61 ha atau 40,99%, sedangkan yang

paling sempit adalah berada di Kelurahan Jatibarang, seluas

15,91 ha atau 8,40%. Luas lahan yang terkena dampak

pembangunan waduk Jatibarang dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Page 16: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

440

Tabel 17. Jumlah Warga dan Luas Lahan yang terkena Dampak Pembangunan Waduk

Kelurahan Lahan Sawah Tegalan Total WTD

Total Luas

Lahan (ha)

WTD Luas (ha)

WTD Luas (ha)

Kedungpane 25 9,15 40 68,46 65 77,61 Jatibarang 8 2,72 8 13,19 16 15,91 Kandri 71 22,08 67 39,86 138 61,94 Jatirejo 32 32 46 20,73 78 33,89 Jumlah 136 47,01 161 142,21 297 189,35

Sumber: Dahlan (2007)

Dalam rangka pembangunan waduk Jatibarang, pemerintah

juga telah melakukan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat

sebagai bagian dari mega proyek waduk Jatibarang. Proyek

normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat menelan

biaya Rp317.763.468.673,20 dibiayai oleh dana APBN, APBD

Jateng, dan JICA Jepang. Proyek normalisasi tersebut dimulai

bulan Oktober 2009 dan direncanakan selesai pada bulan

November 2012. Proyek ini dalam pelaksanaannya dikerjakan

oleh PT WASKITA, BAP, dan PT WIKA.

Untuk keperluan pengerjaan proyek, ketiga pelaksana

proyek membangun perkantoran dan gudang alat-alat berat di

sempadan sungai Kaligarang dan sungai Sampangan, yaitu

sungai kecil yang mengalir dari perumahan Sampangan.

Pedagang kaki lima (PKL) Sampangan yang lokasinya terletak

persis di pinggir sungai Sampangan mau tidak mau harus

digusur, karena lokasinya menjadi tempat perlintasan

kendaraan proyek.

Untuk keperluan pembangunan atau normalisasi sungai

Kaligarang (terletak dari kantor proyek ke arah utara hingga

bendung Simongan) dan sungai Banjir Kanal Barat (terletak dari

bendung Simongan ke arah utara menuju laut Jawa), semua

bangunan dan aktivitas penduduk yang berada di pinggir sungai

harus dipindahkan ke lokasi lain, agar tidak mengganggu

pekerjaan proyek dan rencananya memang daerah pinggir

Page 17: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

441

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

sungai akan dijadikan sebagai salah satu dari tempat wisata air

yang dapat dinikmati oleh masyarakat kota Semarang

khususnya dan masyarakat lainnya.

PKL Basudewo yang menempati tepi sungai Banjir Kanal

Barat mulai dari pojok selatan jembatan Lemah Gempal hingga

ke ujung utara jembatan Banjir Kanal Barat juga direlokasi ke

tempat lain. Demikian pula, PKL liar Kokrosono yang berjualan

di tepi sungai Banjir Kanal Barat mulai dari jembatan Banjir

Kanal Barat hingga ke arah utara berbatasan dengan rel kereta

api diminta untuk tidak berjualan di dekat proyek.

Gambar berikut mengilustrasikan bagaimana proyek

pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir

Kanal Barat harus dijalankan dan karena pekerjaan fisik

penggalian tanah di dalam sungai, pemotongan pohon dan

perataan tanah yang ada di pinggir sungai baik sisi kanan

maupun kiri, dengan truk-truk dan begu lalu lalang melewati

tepi sungai, hingga menyebabkan para PKL yang berada di tepi

sungai tidak bisa beraktivitas lagi.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 62. Kantor Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang

dan Banjir Kanal Barat

Page 18: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

442

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 63. Kondisi Sungai Kaligarang yang belum

dinormalisasi

Aktivitas proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir

Kanal Barat, yang dimulai dari pengerukan tanah dan lumpur

sebagaimana terendap di sungai selama puluhan tahun

berlangsung terus, pagi, siang maupun malam. Alat-alat berat,

truk pengangkut, begu, dan beton-beton pelapis pinggiran

sungai ditempatkan di sisi kiri dan kanan sungai. Praktis

kondisi ini membuat para pedagang tidak bisa lagi berjualan,

karena tempat mereka berdagang selama ini sudah tidak bisa

dipakai lagi. Di Basudewo misalnya, tepi jalan di kanan maupun

di kiri sungai telah rata, tidak ada bangunan yang tersisa.

Demikian pula, di Kokrosono, pengerukan sungai, pembuatan

talut, dan perapian jalan di tepi sungai, menyebabkan para

pedagang tidak leluasa lagi melakukan aktivitas perdagangan.

Page 19: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

443

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 64. Perataan Tanah Lokasi PKL Basudewo untuk

normalisasi sungai

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 65. Pembangunan talut tepi sungai Kaligarang

Page 20: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

444

Untuk memperkokoh sungai, maka di tepi kiri kanan sungai

dibuat talut memanjang dari arah selatan ke utara. Talut

tersebut selain untuk memperkuat sungai agar tidak mudah

menggerus tanah di sisi kiri dan kanan, juga untuk merapikan

sungai agar indah dipandang mata.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 66. Pengerjaan Talut Sungai Banjir Kanal Barat

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 67. Talut Sungai Banjir Kanal Barat dekat PKL

Kokrosono

Page 21: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

445

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

C. PKL Terpinggirkan, Modal Sosial Tidak Hilang

Daya tahan, sikap resisten, dan ketidakpatuhan PKL

terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemkot Semarang,

sebagaimana ditunjukkan PKL Sampangan, Basudewo, dan

Kokrosono adalah karena adanya modal sosial yang mereka

miliki, terutama kohesi sosial dan jaringan sosial yang mereka

miliki. Proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan

Banjir Kanal Barat yang dikerjakan dengan dibantu aparat

Satpol PP untuk membersihkan lokasi dari para pedagang,

menyebabkan para pedagang pergi secara perlahan, pindah ke

tempat yang telah disediakan, atau berpindah ke tempat lain

yang tidak diketahui, membuat PKL tidak berdaya dan seperti

halnya relasi kuasa antara negara dan rakyat, yang

memposisikan rakyat pada pihak yang lemah dan tak berdaya,

maka PKL sebagai representasi rakyat tak berdaya menghadapi

kekuatan negara tersebut.

Negara dengan aparatur represifnya, seperti halnya

pemerintah kota Semarang dengan Satuan Tugas Polisi Pamong

Praja (Satpol PP) atas nama Peraturan Daerah memiliki

legitimasi untuk menata, mengatur, menertibkan, bahkan

menggusur pedagang kaki lima (PKL). Bagi PKL yang tidak

patuh terhadap Peraturan Daerah, Pemkot dapat mengusirnya

ke luar dari tempat PKL berdagang, seperti yang selama ini

dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan,

Basudewo, dan Kokrosono, serta beberapa PKL lainnya yang

menempati ruang publik.

Pedagang Kaki Lima (PKL) di Semarang memiliki organisasi

yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Kaki Lima

Semarang (PPKLS). Organisasi ini eksis karena didukung oleh

sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang

hukum, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kota Semarang.

Sinergi kedua lembaga ini mampu memberikan bantuan,

Page 22: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

446

pendampingan, dan fasilitasi kepada para PKL yang bermasalah

dengan Pemkot Semarang.

Selain organisasi supra (karena dua lembaga ini cakupannya

meliputi seluruh kota Semarang), di kalangan masing-masing

PKL juga memiliki organisasi. PKL Sampangan sudah sejak

lama mempunyai organisasi atau paguyuban PKL, hanya

aktivitasnya telah berhenti sejak terjadinya penggusuran.

Memang ada ketua baru, yaitu Satrio yang menggantikan ketua

lama, tetapi karena ketua baru tersebut kurang peka terhadap

kebutuhan anggota PKL, maka anggota PKL pun tidak aktif dan

tidak peduli terhadap eksistensi organisasi. Arisan yang selama

ini dilakukan secara rutin (tiap bulan), tidak lagi dilakukan,

meskipun beberapa anggota menginginkan diadakannya arisan.

Di Sampangan, organisasi PKL ada, namun seperti tidak ada

organisasi, karena sejak penggusuran, para anggota tetap

berdagang di sekitar lokasi proyek, tetapi tidak ada tindakan

bersama (kolektif) yang berkaitan dengan masa depan mereka.

Mereka menggantungkan nasibnya kepada PPKLS yang

diketuai Rini. Perlindungan dan pendampingan yang dilakukan

oleh PPKLS menyebabkan mereka masih mampu bertahan di

tengah pembangunan dan penataan sungai oleh proyek.

PKL Basudewo sudah lama memiliki paguyuban PKL,

tetapi juga tidak eksis. Baru setelah PKL dikoordinasi pak

Achmad, mereka memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu

Persatuan Pedagang Lestari Makmur (PPLM). Paguyuban PKL

Basudewo ini telah didaftarkan pada Kantor Kesatuan

Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas)

Kota Semarang. Mereka memiliki AD-ART organisasi dan

aktivitas paguyuban ini selama dalam masa-masa penertiban

dan penggusuran cukup aktif mengadakan pertemuan dengan

para anggotanya. Sampai mereka pindah ke Kokrosono, hingga

kini mereka masih melakukan pertemuan dengan anggota

Page 23: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

447

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

meskipun junlahnya tidak sebanyak ketika mereka masih

berada di Basudewo.

Kehidupan sosial dalam arti interaksi sosial yang telah

berlangsung lama di Basudewo tidak lagi terjadi, karena anggota

PKL telah bercerai berai. Pertemuan intensif yang dahulu ada

guna membahas nasib PKL, tidak ada lagi. Iuran untuk rapat

dan mengadakan aksi bersama, juga tidak ada. Perjuangan

mempertahankan lokasi berdagang tidak tampak lagi, karena

anggota PKL telah terpecah pandangannya mengenai perlunya

bertahan di lokasi atau bersedia pindah ke lokasi baru.

Sebagian PKL sudah pindah ke lokasi baru, karena takut

akan intimidasi dari pihak pemerintah, sebagian lagi pindah

tetapi tidak diketahui kemana mereka pindah, sebagian kecil

bertahan di lokasi, dan akhirnya karena lokasi PKL sudah tidak

dapat lagi digunakan untuk berdagang, maka anggota PKL yang

tersisa bersedia pindah ke Kokrosono. Namun demikian, di

tempatnya yang baru, pak Achmad selaku ketua PKL Basudewo

(sekarang bernama PPLM) masih menjalankan aktivitas

organisasi meskipun tidak seaktif dahulu.

PKL Kokrosono yang letaknya berada di tepi sungai Banjir

Kanal Barat, sesungguhnya juga telah menjadi anggota

organisasi dari paguyuban PKL yang dilegalisasi oleh

pemerintah kota. Mereka sejatinya sudah diberi tempat berupa

kios di sebelah utara rel kereta api, tetapi kios tersebut tidak

dimanfaatkan untuk berdagang. Ada beberapa PKL yang

bersedia pindah dan menjalankan aktivitas ekonomi di gedung

PKL Kokrosono tersebut, tetapi sebagian besar PKL kembali

berjualan di tepi jalan dekat sungai Banjir Kanal Barat.

Kios di gedung PKL diterima, tetapi hanya digunakan untuk

menempatkan dan menyimpan barang dagangan. Konon

menurut pedagang yang bersedia diwawancarai, kios tersebut

sempit dan sepi dari pembeli. Meskipun sebagian PKL memiliki

kartu anggota paguyuban PKL, tetapi karena mereka

Page 24: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

448

membandel tetap beraktivitas di pinggir jalan dekat tepian

sungai Banjir Kanal Barat, maka mereka tidak mendapatkan

fasilitas dari Pemkot. Bahkan mereka juga tidak ditarik

retribusi. Mereka tergolong ke dalam PKL liar. Selain PKL

Kokrosono, di mata Pemkot, PKL Sampangan dan PKL

Basudewo juga termasuk dalam kategori PKL liar.

Pemkot Semarang menyadari bahwa PKL memiliki modal

organisasi yang cukup kuat, sehingga dalam melakukan

penertiban, banyak cara atau strategi yang ditempuh Pemkot.

Cara yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari cara

persuasif hingga cara kekerasan telah mereka lakukan. Cara

persuasif, misalnya dengan membujuk PKL agar pindah dari

tempatnya telah dilakukan. Camat dan Kepala Kelurahan

melakukan berbagai pendekatan, termasuk memberi surat

peringatan kepada PKL, namun tidak diindahkan oleh PKL.

Cara-cara kekerasan akhirnya ditempuh Pemkot, mulai dari

menakut-nakuti, memberikan ancaman, memecah belah PKL,

hingga merobohkan secara paksa bangunan dan lapak yang

digunakan PKL untuk berdagang.

Pembangunan waduk Jatibarang yang berskala nasional dan

normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang

dibiayai oleh Pemerintah pusat, Provinsi, Kota dan dibantu

oleh JICA Jepang, dengan alat-alat berat, seperti begu dan

buldoser telah meratakan tanah di kanan kiri sungai. Perataan

tanah dan penggalian lumpur di dalam sungai yang dilakukan

pihak proyek, tidak dapat dicegah oleh PKL, karena memang

apa yang dilakukan oleh pelaksana proyek sudah sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, sehingga para pedagang yang

jumlahnya tinggal sedikit menyingkir dari lokasi. Hanya

beberapa PKL yang masih bertahan di lokasi. Cara yang

terakhir inilah yang membuat nyali sebagian besar PKL runtuh

dan banyak di antara mereka yang pindah ke tempat lain.

Page 25: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

449

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Modal sosial yang telah dibangun para PKL, seperti

organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk

sarana perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang tidak

runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi

ini masih ada, baik di Sampangan maupun di Basudewo (yang

sekarang sudah pindah ke Kokrosono). Mega proyek

pembangunan waduk dan normalisasi sungai secara fisik telah

memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega

proyek tersebut tidak mampu menghancurkan modal sosial

yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan

(sacrifice of social capital) yang telah melekat pada komunitas

PKL Basudewo yang diketuai oleh Achmad, menjadi identitas

dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono.

PKL Sampangan nyatanya masih bertahan dan bisa

beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL

Basudewo, yang sekarang telah pindah ke gedung PKL

Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya

yang baru. Interaksi antar pedagang juga masih terjalin hingga

kini. Hampir tiap malam, mereka bertemu di gedung H tempat

mereka beraktivitas ekonomi.

PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi,

meskipun di tengah-tengah keterbatasan lahan yang kini sudah

diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih

berlangsung antar anggota paguyuban PKL. Norma reprositas

masih nampak. Hal ini terlihat, ketika ada pedagang yang sakit

atau keluarganya meninggal dunia, mereka beramai-ramai

menengok dan menjenguknya. Masih berlangsungnya interaksi

antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL yang didasarkan

atas trust di antara mereka, menandakan bahwa modal sosial

PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat

diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur sosial dan

anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak

mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya tahan PKL

Page 26: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

450

di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi

lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.

D. Modal Sosial memperkuat Daya Tawar

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan segmen masyarakat

yang berada pada lapisan menengah bawah. Mereka tidak

memiliki sumber daya kekuasaan seperti halnya kelompok

lapisan atas atau elit. Pendidikan mereka rata-rata rendah.

Jikalau ada yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas,

jumlahnya tidak banyak. Berbeda dengan lapisan elit, baik elit

politik maupun ekonomi, rata-rata berpendidikan lebih tinggi,

minimal sarjana. Keterampilan yang dimiliki para PKL juga

tidak memadai, baik keterampilan yang menunjang usaha,

seperti manajemen, keuangan, dan pemasaran maupun

keterampilan hidup lainnya. Akses terhadap sumber daya

politik dan ekonomi yang dimiliki PKL juga relatif terbatas,

bahkan boleh dikata tidak ada. Kapital yang dipunyai PKL pun

tidak sebanding dengan modal yang dimiliki elit ekonomi dan

politik.

Bagi PKL, lahan untuk beraktivitas ekonomi merupakan

persoalan rumit, tetapi bagi elit ekonomi atau pengusaha besar

bukan menjadi persoalan yang berarti, karena dengan uang

yang dimiliki serta koneksi dengan para pejabat daerah, mereka

bisa menyewa atau membeli lahan tanpa ada hambatan.

Jaringan sosial yang dimiliki para elit ekonomi dan politik

cukup luas dan bisa digunakan untuk memperkokoh status dan

kedudukan mereka, sementara PKL hanya memiliki jaringan

sosial terbatas, yakni dengan para PKL lainnya. Itulah

sebabnya, dalam relasi kuasa antara PKL (yang mewakili

golongan menengah bawah) dan elit ekonomi dan politik (yang

merupakan representasi golongan atas), tidak seimbang. PKL

berada pada posisi subordinat, yakni sebagai pihak yang

Page 27: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

451

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

dikuasai, sedangkan elit ekonomi dan politik berada posisi

superordinat, yaitu sebagai pihak yang menguasai.

Adanya kepentingan yang lebih besar dalam bingkai

pembangunan ekonomi yang berbasis ideologi neoliberal,

menjadikan banyak pemerintah daerah (kabupaten dan kota)

lebih mengutamakan pembangunan yang menguntungkan

pihak investor (Morrell 2008). Tidak heran kiranya jika hotel-

hotel berbintang berdiri menjulang langit di tengah kota dan

bahkan ada pula yang berada di dekat pusat pemerintahan.

Demikian pula, banyak gedung mall berdiri di tengah

hingga pinggiran kota. Perumahan mewah dan perumahan

dengan harga cukup tinggi banyak dibangun tidak hanya yang

berdekatan dengan pusat kota, tetapi juga di pinggiran kota

hingga memasuki wilayah pedesaan. Alfamart dan Indomart,

toko kecil serba swalayan banyak dijumpai di kampung-

kampung. Tidak sedikit toko Alfamart berdiri berhadapan atau

berdampingan dengan toko Indomart dalam jarak yang sangat

dekat, di tengah-tengah toko atau warung warga masyarakat

setempat. Izin-izin untuk mendirikan bangunan serba modern

tersebut tampaknya mudah diperoleh pengusaha besar.

Sementara itu, pelaku ekonomi sektor informal, khususnya

pedagang kaki lima (PKL), tidak mudah mencari rezeki di kota.

Pendidikan mereka rendah. Keterampilan yang dibutuhkan

oleh sektor formal, tidak mereka punyai. Lahan tidak punya.

Akses terhadap fasilitas kota juga tidak ada. Mereka tergolong

orang yang tidak berdaya. Mereka yang paling terpinggirkan

dalam level ekonomi ini cenderung relatif tidak berdaya ketika

dihadapkan pada beberapa pengaruh utama yang memengaruhi

kehidupan mereka (Giddens 2003). Pengaruh itu misalnya

kemauan politik pemerintah yang berpihak kepada investor.

Itulah sebabnya, wajar kiranya jika mereka rentan ditertibkan

dan digusur oleh aparat represif kota. Ini menunjukkan

Page 28: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

452

perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap

golongan masyarakat bawah atau pinggiran.

Kota Semarang dalam waktu ke depan hendak dibangun

sebagai kota metropolitan yang sejajar dengan perkembangan

kota metropolitan lainnya di Indonesia. Hal ini merupakan

ungkapan dari visi SETARA atau Semarang Kota Sejahtera dari

walikota Semarang, Soemarmo HS. Visi SETARA walikota

Soemarmo HS dengan sapta programnya, yang meliputi

penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, rob dan banjir,

pelayanan publik, tata ruang dan infrastruktur, kesetaraan dan

keadilan gender, pendidikan serta kesehatan, mengarahkan

program fisik pemerintah kota Semarang yang memengaruhi

keberadaan pedagang kaki lima (PKL), khususnya mereka yang

melakukan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan

Kokrosono.

Program besar Pemkot, yang didukung oleh anggaran

APBD provinsi Jawa Tengah dan APBN pemerintah pusat, yaitu

berupa pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai

Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, membuat Pemkot lebih

banyak memusatkan perhatian pada proyek-proyek besar

penataan fisik kota Semarang sebagai upaya mewujudkan

Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang Berbudaya

menuju Masyarakat Sejahtera. Pembangunan waduk Jatibarang

dan normalisasi sungai Kaligarang dan banjir Kanal Barat yang

telah diprogramkan sejak lama oleh Pemkot, untuk

mengendalikan banjir di kota Semarang, membawa

konsekuensi kepada relokasi PKL yang selama ini melakukan

aktivitas ekonomi di tepi sungai tersebut.

Upaya menata kota Semarang tidak hanya melulu pada

program pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi

sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, sebagai upaya untuk

mengendalikan banjir dan rob di Kota Semarang, tetapi juga

penataan fisik ruang Kota Semarang secara keseluruhan yang

Page 29: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

453

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

didasarkan pada RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031.

Penataan fisik, seperti penataan infrastruktur jalan-jalan

protokol, pembuatan taman-taman kota, dan penciptaan ruang

terbuka hijau, semua itu dimaksudkan untuk meraih perhatian

investor agar bersedia menanamkan sahamnya untuk

pengembangan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan

jasa.

Tujuan besar Pemerintah kota Semarang, yakni menjadikan

kota Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa,

membutuhkan dana besar untuk mewujudkan cita-cita

tersebut. Hanya para pemodal (investor) yang mampu

memenuhi keinginan Pemkot Semarang, bukan pedagang kaki

lima (PKL). Tidak heran jika, kebijakan Pemkot Semarang lebih

berpihak kepada investor ketimbang PKL, demi tujuan

menjadikan kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa.

Dalam beberapa hal, sikap Pemkot tersebut tidak semuanya

salah. Alasannya adalah, pembangunan membutuhkan biaya

yang tidak kecil.

Keberpihakan Pemkot Semarang kepada investor, salah

satunya tampak dari izin yang diberikan kepada investor untuk

membuka usaha perhotelan dan apartemen di kota Semarang.

Dalam 15 tahun terakhir, berdiri banyak hotel di kota

Semarang, beberapa di antaranya berada di pusat kota. Hotel

yang sudah berdiri lama adalah hotel Graha Santika, hotel

Santika, hotel Plaza, hotel Grand Candi, hotel Grasia, hotel

Muria, hotel Jelita, hotel Patimura, dan hotel Patrajasa.

Sementara itu, hotel baru yang telah berdiri, yaitu hotel Ibis,

hotel Novotel, hotel Gumaya, hotel Dafam, hotel Olimpic,

hotel Pandanaran, hotel Horison, hotel Ciputra, hotel

Siliwangi, hotel Amaris, hotel Quest, hotel Belle View, hotel

Wizz, dan beberapa hotel kecil lainnya.

Pada akhir tahun 2011, Pemkot memberikan izin kepada

pemodal besar untuk mendirikan apartemen Mutiara Garden

Page 30: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

454

dan Star di dekat pusat kota. Demikian pula, Pemkot Semarang

mengizinkan berdirinya mall dan pasar modern, seperti

Matahari Mall, Citraland Mall, Java Super Mall, E-Plaza,

Pasaraya Sri Ratu, Pusat Grosir Makro, ACE Mall, dan “ritel”

lainnya, seperti Alfamart dan Indomart yang menyebar hampir

di semua kecamatan yang ada di kota Semarang.

Kebutuhan akan investasi dan obsesi menjadikan Semarang

sebagai Kota Perdagangan dan Jasa juga melatarbelakangi

Pemkot Semarang memberi izin kepada pengusaha untuk

membuka usaha kuliner, seperti MacDonald, Kentucky Fred

Chicken (KFC), rumah makan Cianjur, rumah makan Nglaras

Roso, rumah makan Lombok Ijo, rumah makan Tan Goei,

rumah makan Borobudur, rumah makan Padang Nusantara,

rumah makan Sederhana, rumah makan Mak Engking, Festifal

Makanan Manggala, Pujasera GAPURA, Kedai Beringin, dan

rumah makan besar lainnya.

Dunia hiburan pun berkembang pesat seiring dengan upaya

Pemkot dalam menggenjot investasi. Pusat-pusat karaoke

berdiri dan menjadi tempat melepas penat bagi warga Kota

Semarang pada malam hari. Vina House, Star Quin, Family Fun

Karaoke, Happy Puppy, dan tempat-tempat hiburan lainnya,

menjanjikan kegembiraan bagi warga kota yang ingin melepas

lelah setelah seharian bekerja di kantor. Perkembangan hotel,

rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan,

menjadikan kota Semarang seakan tak pernah tidur, karena

sepanjang hari hingga malam selalu hidup dan beraktivitas.

Semua itu karena didasarkan pada upaya pemrintah kota

Semarang untuk menarik investor agar menanamkan sahamnya

di kota Semarang guna mengakselerasi terwujudnya visi

Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita Semarang sebagai kota

perdagangan dan jasa, para investor diuntungkan oleh Pemkot

karena karena kebijakan pro-investasi Pemkot; sedangkan

Page 31: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

455

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

kelompok masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima

(PKL), menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang pro-

neoliberal.

Kebijakan Pemkot Semarang terhadap eksistensi kelompok

masyarakat kecil tidak semuanya merugikan mereka. Sebagai

upaya mempercantik wilayah Simpang Lima dan memberikan

pelayanan terbaik kepada masyarakat, Pemkot membuat

shelter-shelter yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki

lima. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para pedagang

yang telah lama berjualan di tepi bundaran Simpang Lima,

seperti pedagang nasi dan minuman. Pedagang lain tentu tidak

bisa menempati shelter di Simpang Lima, karena selain

tempatnya terbatas, juga hanya diberikan kepada pedagang nasi

dan minuman yang lama menjalankan aktivitas ekonomi di

sekitar bundaran Simpang Lima.

Demikian juga, shelter-shelter yang dibangun di sekitar

Taman KB atau jalan Menteri Soepeno, hanya diperuntukkan

bagi para pedagang makanan dan minuman yang telah lama

berdagang di jalan Menteri Soepeno, termasuk pedagang jagung

bakar dan pedagang nasi dan minuman, pindahan dari jalan

Pahlawan (yang memang harus bersih dari pedagang, demi

menciptakan citra bersih, rapi, dan indah kota Semarang).

Fasilitas yang diterima para pedagang di bundaran Simpang

Lima dan jalan Menteri Soepeno tidak gratis, tanpa adanya

usaha dan negosiasi. Mereka mendapatkan fasilitas dan

diperbolehkan berdagang berkat dukungan dan bantuan dari

PPKLS dan organisasi mereka yang hingga kini masih aktif.

Perlakuan Pemkot terhadap PKL Simpang Lima dan

Menteri Soepeno tidak sama terhadap PKL liar yang

beraktivitas di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di sekitar

bundaran Simpang Lima, di jalan Pahlawan, dan di jalan

Menteri Soepeno bernasib baik, karena masih bisa berdagang,

Page 32: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

456

bahkan mendapatkan fasilitas yang memadai dari Pemkot, tidak

demikian halnya bagi PKL liar yang menempati lokasi di tepi

sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang berdagang di pinggir

jalan dekat tepian sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ini

dipandang sebagai komunitas yang mengganggu pelaksanaan

program-program pembangunan dan peraihan Adipura. Jika

PKL yang beraktivitas ekonomi di pinggir jalan dekat tepian

sungai tersebut tidak ditertibkan dan digusur, maka akan

mengganggu pelaksanaan proyek normalisasi sungai Kaligarang

dan Banjir Kanal Barat.

Di Sampangan dan Basudewo, sebagian PKL mendirikan

bangunan semi permanen, seperti rumah-rumah kios yang

berlantaikan keramik atau plester dan dindingnya juga tembok

beton, sehingga menyulitkan kendaraan dan alat-alat proyek

masuk untuk mengeruk tanah endapan yang ada di sungai.

Mereka sudah diperingatkan Pemkot, tetapi PKL tidak

menggubrisnya, sehingga untuk memudahkan pengerjaan

proyek normalisasi sungai, Pemkot melakukan penertiban dan

penggusuran, termasuk meratakan bangunan dan lapak-lapak

PKL yang ada di Sampangan dan Basudewo.

Tidak seperti halnya PKL Sampangan dan PKL Basudewo

yang memberikan perlawanan disertai kekerasan ketika

ditertibkan, Pemkot Semarang lebih mudah melakukan

penertiban terhadap PKL Kokrosono karena di Kokrosono tidak

ada lagi bangunan permanen dan semi permanen yang

digunakan PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun

demikian, PKL Kokrosono tetap nekat berdagang, meskipun

berkali-kali mereka diperingatkan dan ditertibkan Pemkot.

Akibat dari penggusuran terhadap PKL Sampangan dan

PKL Basudewo, maka PKL Sampangan menepi dan mengalah

berdagang di sebelah selatan proyek atau tepatnya di sebelah

selatan kantor PSDA dan Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang

Page 33: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

457

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

dan Banjir Kanal Barat. Itu pun atas negosiasi yang dilakukan

oleh PPKLS. Pihak PSDA percaya kepada para pedagang dan

membiarkan pedagang berjualan di sekitar proyek, karena

sudah ada kesepakatan ketika nanti lahan sudah dirapikan PKL

bersedia pindah ke tempat lain. Kepercayaan (trust) inilah yang

menjadikan PKL Sampangan masih dapat berjualan di lokasi

dekat kantor PSDA. PKL Basudewo yang sudah tidak memiliki

alat-alat produksi di Basudewo, karena lokasi mereka sudah rata

dengan tanah, akhirnya pindah ke tempat lain. Sebagian pindah

ke gedung PKL Kokrosono yang telah disediakan Pemkot, dan

sebagian lagi pindah kemana tidak diketahui lagi nasibnya.

Tidak seperti PKL Sampangan dan PKL Basudewo, PKL

Kokrosono liar masih tetap menjalankan aktivitasnya,

meskipun lokasinya digunakan untuk keluar masuk kendaraan

dan alat-alat berat proyek normalisasi sungai. Komunikasi yang

baik antara pedagang dengan pihak proyek membuat mereka

masih diizinkan berdagang di tengah pengerjaan bangunan

talut dan perapian jalan di sisi kiri dan kanan sungai Banjir

Kanal Barat. Para PKL pun menyadari, ketika proyek

normalisasi sungai selesai, mereka juga akan pindah ke tempat

lain atau berdagang di gedung PKL Kokrosono.

Interaksi yang masih berlangsung dengan baik di antara

para pedagang, maupun komunikasi yang mereka bangun

dengan pihak proyek, merupakan modal sosial yang menjadi

daya tawar sekaligus memberikan kekuatan kepada pedagang

kaki lima untuk bertahan di lokasi guna menjalankan aktivitas

ekonomi yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan

ekonomi PKL dan keluarganya.

E. Rangkuman

Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

memiliki landasan, di antaranya adalah prinsip-prinsip atau

Page 34: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

458

asas-asas pemerintahan yang baik. Semua azas dan prinsip

tersebut dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk

mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan

kesejahteraannya. Dalam realitasnya, pemerintah kota

Semarang (terutama pada masa kepemimpinan Soekawi

Soetarip) tidak mampu menghasilkan kebijakan yang

memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta

peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat kelas

bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan, dan

para pedagang kecil, termasuk pedagang kaki lima liar atau

yang tidak terorganisasi.

Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap,

wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta

profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman

bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-

baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam

realitasnya tidak digunkan dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Banyak upaya dan program

yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, baik yang dipayungi Perda maupun yang dinaungi

Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi

dalam realitasnya, tidak banyak dinikmati oleh kelompok

marginal di jalanan seperti pengemis, gelandangan, anak

jalanan, dan PKL.

Dalam rangka mengejar visi Semarang sebagai Kota

Perdagangan dan Jasa, disadari atau tidak Pemkot telah

melakukan kekerasan simbolik dan langsung kepada PKL.

Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang

tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda

Nomor 11 Tahun 2000, yang lebih banyak mengedepankan

pengaturan kepada PKL ketimbang pemberdayaan terhadap

PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut

dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik

terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.

Page 35: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

459

BAB X

PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang

fisik atau psikologis seseorang secara langsung.

Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di

kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung

merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk

memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas

penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang

terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, sebagai

wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun

2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011.

Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai

Kaligarang dan Banjir Kanal Barat tidak akan terlaksana dengan

baik jika Pemkot tidak melakukan kekerasan langsung, berupa

penggusuran dan pengusiran secara paksa kepada PKL yang

berlokasi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut. Mesin-

mesin penggusur milik kapitalis didukung oleh aparatus represif

pro-kapitalis neoliberalis, telah menghancurkan bangunan dan

lapak yang digunakan PKL untuk berdagang.

Tidak adanya alat-alat produksi untuk berdagang membuat

individu-individu PKL terpecah kesatuannya, terutama mereka

yang berjualan di Basudewo. Sebagian, karena telah diberi uang

tali asih bersedia pindah, lainnya pindah ke gedung PKL

Kokrosono, dan lainnya lagi pindah entah ke mana tidak

diketahui nasibnya. Demikian pula, PKL Sampangan tidak

berdaya menghadapi kekuatan kapitalis, sehingga mereka

menepi berjualan di sebelah selatan proyek. Meskipun para

PKL telah tercerai berai, namun kekuatan mereka yaitu modal

sosial yang mereka miliki tidaklah runtuh. Bonding social capital masih ada meskipun kadarnya tidak sekuat ketika PKL

masih bersatu di lokasi masing-masing. Demikian pula bridging social capital masih tetap dibangun, meskipun anggota jejaring

berkurang junmlahnya. Pindahnya PKL ke tempat lain, seperti

halnya yang diperlihatkan PKL Basudewo di gedung PKL

Page 36: BAB X PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/11/D... · mampu memberi pelayanan yang mudah, ... seperti pengemis, gelandangan, anak-anak

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

460

Kokrosono, hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi

dan sosial, bahkan pak Achmad dan teman-teman mendapat

kawan-kawan baru di lokasinya yang baru. Demikian pula, PKL

Sampangan hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi

dan sosial, meskipun lokasi lama telah digusur dan

berpindahnya pasar Sampangan ke lokasi baru juga tidak

memengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial mereka.

Modal sosial PKL, seperti trust, norma reprositas, dan

jaringan sosial masih ada meskipun mereka telah ditertibkan

dan digusur. Sepanjang masih ada interaksi sosial di antara PKL,

modal sosial tersebut tidak akan hilang.