bab vii. jatuh

30
BAB VII JATUH TUJUAN BELAJAR TUJUAN KOGNITIF Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat : 1. Mengetahui faktor risiko jatuh pada lansia 1.1. Menyebutkan faktor intrinsik dan ekstrinsik jatuh pada lansia 1.2. Menjelaskan perubahan pola berjalan pada lansia 1.3. Menyebutkan gangguan gaya berjalan yang sering terjadi pada lansia 2. Mengetahui komplikasi jatuh 3. Mengetahui pencegahan jatuh 3.1. Mengidentifikasi faktor penyebab jatuh 3.2. Menilai keseimbangan dan pola berjalan lansia 4. Mengetahui pendekatan diagnostik dan penatalaksanaan jatuh TUJUAN AFEKTIF Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat : 1. Mencegah terjadinya jatuh pada lansia 2. Mencegah komplikasi jatuh agar tidak bertambah parah 3. Menunjukkan perhatian yang lebih dalam penatalaksanaan jatuh pada lansia

Upload: susantilingga

Post on 24-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB VII

JATUH

TUJUAN BELAJARTUJUAN KOGNITIFSetelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat :1. Mengetahui faktor risiko jatuh pada lansia

1.1. Menyebutkan faktor intrinsik dan ekstrinsik jatuh pada lansia1.2. Menjelaskan perubahan pola berjalan pada lansia1.3. Menyebutkan gangguan gaya berjalan yang sering terjadi pada lansia

2. Mengetahui komplikasi jatuh3. Mengetahui pencegahan jatuh

3.1. Mengidentifikasi faktor penyebab jatuh3.2. Menilai keseimbangan dan pola berjalan lansia

4. Mengetahui pendekatan diagnostik dan penatalaksanaan jatuh

TUJUAN AFEKTIFSetelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat :

1. Mencegah terjadinya jatuh pada lansia2. Mencegah komplikasi jatuh agar tidak bertambah parah3. Menunjukkan perhatian yang lebih dalam penatalaksanaan jatuh pada lansia

I. PENDAHULUAN

Definisi Jatuh didefinisikan sebagai “a person coming to rest on the ground or another lower

level” or “to become no longer supported and drop suddenly“ atau dengan kata lain suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melibatkan suatu kejadian yang dapat menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben, 1996).

Sebaliknya, gangguan berjalan (gait disorders) adalah “A slowing of gait speed or a deviation in smoothness, symmetry, or synchrony of body movement”, penurunan kecepatan berjalan atau berkurangnya kehalusan gerakan, simetris dan kesatuan gerakan tubuh.

Jadi, dapat dikatakan berjalan, berdiri dari kursi, berputar dan mencondongkan badan sangat penting untuk pergerakan tubuh seseorang. Kecepatan berjalan, waktu bangkit dari kursi dan kemampuan untuk melakukan tandem stance (satu kaki di depan kaki lainnya) merupakan cerminan kemampuan pasien untuk melakukan fungsi hariannya, seperti belanja, jalan-jalan dan memasak, juga bisa digunakan sebagai prediktor di rumah keperawatan dan kematian dari pasien itu sendiri.

InsidensMenurut hasil survei ang dilakukan di masyarakat AS, Tinetti (1992), terdapat sekitar 30% lansia berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang kali. Pada tahun 2003, 1.8 juta lansia berusia diatas 65 tahun dilarikan ke UGD karena jatuh dan lebih dari 421.000 dari jumlah tersebut harus dirawat di rumah sakit (CDC 2005).

Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umur lebih dari 65 tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0,6/orang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak (Tinetti, 1992). Lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit. Jumlah lansia yang dirawat di rumah sakit karena luka akibat jatuh berjumlah 5 kali lebih besar dibandingkan luka lainnya.

Pada tahun 2002, 13.000 lansia berusia diatas 65 tahun meninggal karena komplikasi jatuh (CDC 2004). 20-30% dari lansia yang jatuh di AS mengalami luka sedang sampai berat seperti fraktur collum femoris dan trauma kepala. Jatuh pada lansia menyebabkan meningkatnya insidens Traumatic Brain Injury (TBI) yang fatal. Antara 1989 – 1998, insidens jatuh yang menyebabkan kematian karena TBI pada lansia dengan umur rata – rata 80 tahun meningkat sebanyak 60%.

Kane dkk (1994) menyimpulkan dari survei masyarakat AS bahwa 1/3 lansia umur lebih dari 65 tahun menderita jatuh tiap tahunnya dan sekitar 1/40 memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan di rumah-rumah perawatan berkisar 50% penghuninya mengalami jatuh dengan akibat antara 10-25% -nya memerlukan perawatan di rumah sakit. Juga didapati 50% pasien jatuh tidak bisa bangkit sendiri, sehingga meningkatkan resiko dehidrasi, peptic ulcerasi, rhabdomyolisis, pneumonia

dan hipotermia. Pada tahun 1997, 1.5 juta lansia berumur 65 tinggal di rumah – rumah perawatan, sekitar 75% dari jumlah ini mengalami jatuh. 10 – 20% dari jumlah ini mengalami cedera berat dan 2 – 6% mengalami fraktur. Sekitar 1800 insidens jatuh yang fatal dialami oleh para lansia di AS setiap tahun (Rubenstein 1998).

Para lansia yang pernah jatuh mempunyai kecenderungan untuk mengalami jatuh berulang 2 – 3 kali (Englander 1996). Rata – rata insidens jatuh berkisar 2.6 kali per lansia setiap tahun (Rubenstein 1990).

3-5% dari jumlah lansia yang jatuh mengalami fraktur, berdasarkan sensus 2000 di AS maka terjadi 360.000 – 480.000 kasus fraktur yang disebabkan jatuh. Fraktur collum femoris merupakan komplikasi utama akibat jatuh pada lansia, sebagian besar wanita. Jumlah lansia diatas umur 65 tahun yang dirawat di Rumah Sakit meningkat dari 230.000 pada tahun 1988 menjadi 338.000 pada tahun 1999. Jumlah ini diperkirakan akan menjadi 500.000 pada tahun 2040. Diestimasikan 5% lansia yang jatuh akan mengalami fraktur collum femoris, 1% akan mengalami fraktur tulang lain seperti iga, humerus, pelvis dan lain-lain, 5% akan mengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan lunak yang serius seperti subdural hematom, hemartroses, memar dan keseleo juga sering merupakan komplikasi akibat jatuh (Kane et al, 1994).

Jatuh sendiri dilaporkan berada di posisi puncak untuk kematian yang bersifat tiba-tiba dan menempati posisi ke 7 resiko kematian pada lansia berusia di atas 65 tahun. Pada tahun 1994, ongkos perawatan paska jatuh mencapai $27,3 milyar, dan diproyeksikan mencapai $43.8 milyar pada tahun 2020 (Englander 1996). Sebuah penelitian tahun 1994 di AS menyatakan ongkos perawatan fraktur karena osteoporosis akan meningkat menjadi $61.2 milyar dalam 10 tahun.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lansia wanita lebih sering jatuh dan disertai dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding lansia laki-laki. Hal ini disebabkan lansia wanita cenderung menderita osteoporosis dan lebih menyukai hidup sendiri.

Lansia yang sehat juga mempunyai resiko lebih tinggi dibanding lansia yang lemah atau cacat untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh. Risiko untuk terjadinya perlukaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari penurunan respon perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya (Reuben, 1996). Kematian akibat jatuh sangat sulit diidentifikasi karena sering tidak disadari oleh keluarga atau dokter pemeriksanya, sebaliknya jatuh juga bisa merupakan akibat penyakit lain misalnya serangan jantung mendadak (Tinetti, 1992).

II. FAKTOR RISIKO

Seiring dengan peningkatan usia, jenis kelamin, dan jenis penyakit yang berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian gangguan berjalan dan jatuh. Interaksi kompleks dari faktor pribadi (personal) dan lingkungan (environmental) menyebabkan resiko jatuh pada lansia, sebagai contoh, sebuah penelitian di AS menunjukkan lansia dengan satu faktor resiko mempunyai kecenderungan jatuh 27%, sedangkan lansia dengan empat faktor resiko atau lebih mempunyai kecenderungan jatuh 78%.

Agar kita dapat lebih memahami faktor penyebab gangguan berjalan dan jatuh, harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan oleh :

1. Sistem Sensorik Yang berperan di dalamnya adalah visus (tajam penglihatan), pendengaran, fungsi

vestibuler dan propioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu fungsi propioseptif (Tinetti, 1992).

2. Sistem Saraf Pusat SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.

Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, normotensif hidrocephalus sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik (Tinetti, 1992).

3. Sistem Muskuloskeletal Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar

murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan sistem muskuloskeletal menyebabkan gangguan berjalan dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis maupun penyakit tertentu.

Pembagian faktor resiko jatuh dibagi menjadi empat, yaitu : biologis dan medis, tingkah laku (behaviour), lingkungan dan sosial ekonomi (Cochrane 2005).

Namun pembagian lain faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu: (Kane, 1994)

1. Faktor Intrinsik

1.1 Gangguan Sistem Saraf Pusat (SSP)Stroke dan TIA yang mengakibatkan hemiparese sering menyebabkan jatuh pada lansia. Insufisiensi arteri vertebral juga menyebabkan syncope dan jatuh. Syncope dan jatuh pada insufisiensi arteri vertebral terjadi ketika lansia melihat ke atas dan ke salah satu sisi atau mengambil suatu benda yang lebih tinggi. Kondisi ini cenderung terjadi pada lansia dengan servikal spondilosis.

Epilepsi merupakan kasus yang jarang menyebabkan jatuh pada lansia. Karena epilepsi juga merupakan salah satu faktor penyebab jatuh, maka kemungkinan jatuh akibat epilepsi harus diperhatikan. Namun sebuah penelitian di UK menunjukkan jumlah kasus epilepsi pada lansia meningkat dibandingkan pada anak – anak (The Lancet 1998) Jatuh juga merupakan hal yang umum pada lansia yang menderita penyakit Parkinson. Penyakit Parkinson adalah penyakit neurologis kronis yang mengenai ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamin dari substansia nigra ke globus pallidus.

Gejala khas penyakit Parkinson antara lain :1. Tremor sewaktu istirahat (resting tremor).2. Rigiditas.3. Bradikinesia atau kelambanan pergerakan.4. Instabilitas postural.

Gejala lain yang mungkin didapat :1. Suara atau cara berbicara menjadi monoton, volumenya rendah dan

terputus-putus.2. Sekresi air liur yang berlebihan (sialorrhea).3. Disfungsi otonom seperti berkeringat berlebihan, inkontinensia,

hipotensi ortostatik. Hal ini mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di ganglia simpatik.

4. Tulisan tangan menjadi kecil dan rapat.5. Tanda Meyerson positif, yaitu kedua mata berkedip-kedip bila

dilakukan pengetukan di atas pangkal hidung.

Normotensif hidrocephalus menyebabkan ataxia dini dan terlihat dalam trias khusus yaitu gangguan berjalan, demensia, dan inkotinensia. Gangguan berjalan tersebut berbentuk gangguan berjalan magnetik dengan langkah yang pendek, kontrol keseimbangan berkurang dan kesulitan untuk berputar, sehingga menyebabkan jatuh pada lansia.

1.2.Gangguan Sistem SensorikKatarak, glaukoma, degenerasi makular, gangguan visus pasca stroke dan retinopati diabetika meningkat sesuai dengan umur. Entropion, ektropion atau epifora yang menyebabkan gangguan penglihatan juga meningkatkan insiden jatuh. Walaupun gangguan penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak meningkatkan insiden tersebut.

Walaupun vertigo sering ditemukan pada lansia tetapi tidak sering menyebabkan jatuh pada lansia. Vertigo sering terjadi bersamaan dengan nistagmus. Berdasarkan etiologinya vertigo dibagi menjadi vertigo tipe perifer dan vertigo tipe sentral. Vertigo tipe perifer terjadi akibat gangguan pada sistem vestibuler atau auditorius seperti pada penyakit positional vertigo, labyrintitis dan Meniere’s disease. Vertigo tipe sentral dihubungkan dengan gangguan pada otak. Untuk mengetahui vertigo tipe sentral diperlukan CT-Scan kepala untuk mendiagnosa pasti.

1.3 Gangguan Sistem MuskuloskeletalKelemahan otot dan penurunan aktivitas fisik terutama pada bagian bawah tubuh meningkatkan insidens jatuh 4 – 5 kali pada lansia. Demikian hasil penelitian American Geriatrics Society, British Geriatrics Society annd American Academy of Orthopaedic Surgeons. Penyakit kronis seperti osteoarthritis juga meningkatkan insidens jatuh 2,4 kali (CCHS 2003). Kelainan pada kaki seperti kuku yang tebal, kalus, bunion dan deformitas kaki merupakan penyebab jatuh yang kurang diperhatikan.

1.4.Gangguan Sistem KardiovaskularInsiden gagal jantung kongestif dan infark miokard meningkat sesuai dengan umur. Hipertensi dan kardia aritmia juga sering ditemukan pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope, syncope–lah yang sering menyebabkan jatuh pada lansia.

Menurut penelitian Gordon dkk, 12 dari 37 lansia yang menderita kardia aritmia mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk jatuh. Postural hypotension yang harus dicurigai ketika lansia pusing bila melakukan perubahan posisi secara mendadak seperti mendadak bangun dari tempat tidur atau kursi. Postprandial syncope yang berhubungan dengan transient hypotension, sering dijumpai lansia setelah makan atau buang air besar. Dalam hal ini meningkatkan risiko jatuh lansia di kamar mandi.

1.5.Gangguan MetabolismeYang paling sering menyebabkan jatuh akibat gangguan metabolisme adalah dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang berlebihan. Manifestasi klinis yang tampak adalah syncope atau postural hypotension walaupun kadang drop attacks dan vertigo dapat terjadi.

1.6 Demensia dan DepresiPrevalensi demensia meningkat pada populasi lansia dengan umur 65 tahun ke atas dan meningkat tajam setelah umur 75 tahun. Lansia dengan demensia menunjukkan persepsi yang salah terhadap bahaya lingkungan, terganggunya keseimbangan tubuh dan apraxia, sehingga insiden jatuh meningkat.

Depresi atau keadaan pseudodemensia juga umum terdapat pada lansia dengan prevalensi 10% pada lansia di kota besar. Peningkatan insiden jatuh pada lansia dengan depresi disebabkan kurangnya kewaspadaan terhadap faktor lingkungan, keinginan untuk melukai diri dan gangguan kesehatan secara umum. Lansia dengan gangguan kognitif karena demensia dan depresi mempunyai kecenderungan jatuh 1,8 kali lebih besar (The Rand).

1.7.Pola Pikir dan KonsentrasiRiwayat jatuh dahulu pada lansia dapat meramalkan kemungkinan berulangnya kembali insidens jatuh. Perasaan takut dan ketidakberdayaan akan menyebabkan lansia membatasi aktivitasnya, hal ini menurunkan kualitas hidup lansia dan menyebabkan penurunan fisik yang lebih hebat sehingga meningkatkan resiko jatuh (Kleinfield 2003). Rasa takut jatuh (fear of falling) adalah rasa takut paling besar pada lansia. Beberapa perasaan lainnya seperti, rasa malu, takut dimasukkan ke panti werdha, ketidaksanggupan untuk berdiri setelah jatuh, kehilangan kebebasan. Sebuah penelitian di Yale University AS, menyatakan bahwa lansia yang berhenti untuk berbicara ketika sedang berjalan mempunyai resiko lebih besar untuk jatuh. Hal ini berhubungan dengan terbaginya konsentrasi lansia ketika sedang berjalan (Tinetti 2002).

1.8.Gangguan Gaya BerjalanSalah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.

Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Hal yang perlu diperhatikan dalam pergerakan normal adalah :

1. Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan pergerakan melangkah ke depan.

2. Tegak : pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2 anterosuperior3. Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga keseimbangan saat

berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi yang melewati dasar penyangga di antara kedua kaki.

Figure 1

The Normal Gait Cycle.  Figure taken from NEJM, 1990.

Mekanisme pergerakan maju antara lain :1. Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis oleh otot abduktor paha.2. Badan dimiringkan ke depan.3. Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut fleksi

dan kaki dorso fleksi.4. Tumit menyentuh lantai.5. Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi di

depan.6. Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan

ekstremitas bawah.

Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut :

1. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam tiap dekade menurun, kecepatannya menurun 15% untuk kecepatan berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan maksimal. Uniknya, dari penelitian tidak didapati adanya perubahan cadence (ritme berjalan) walaupun menurun kecepatan iramanya.

2. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase) sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan berakibat langkah menjadi lebih pendek.

3. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%. Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas melakukan rotasi interna.

4. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya Ankle plantar fleksor yang menurun walaupun kemampuan maksimal dari ankle plantar dorsofleksi tidak berubah.

5. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan karena berkurangnya keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek pada fase single stance. Bisa juga karena rasa aman yang didapat ketika berjalan dengan langkah pendek.

6. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak.

7. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang, seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.

8. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi.9. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.10. Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan lemahnya

fleksibilitas plantar fleksor.

Gangguan gaya berjalan yang terjadi akibat proses menua dapat disebabkan antara lain :1. Kekakuan jaringan penghubung.2. Berkurangnya massa otot.3. Perlambatan konduksi saraf.4. Penurunan visus atau lapang pandang.5. Kerusakan propioseptif

2. Faktor Ekstrinsik

2.1.Faktor Lingkungan

Faktor-faktor dari lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain :

1. Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah.

2. Tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan licin.3. Tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang.4. Lantai tidak datar, licin atau menurun.5. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan

benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser.6. Lantai licin atau basah.7. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan).8. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

Sekitar 10 % lansia jatuh di tangga, dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang kurang.

Pada rumah – rumah perawatan dan rumah sakit, insidens jatuh paling sering disebabkan tempat tidur dan tempat duduk yang terlalu tinggi, lantai yang licin dan kurangnya penerangan yang baik. Banyak lansia jatuh ketika ingin bangun dari tempat

tidur. Hal ini selain disebabkan faktor intrinsik, juga disebabkan karena struktur dari tempat tidur tersebut, contoh : lansia kesulitan untuk memijak tanah apabila hendak bangun dari tempat tidur. Hal ini dapat menjelaskan mengapa banyak sekali insidens jatuh di sekitar tempat tidur (Englander 1996).

2.2.Faktor SituasionalSebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga dan mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang immobile (jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.

2.3.Obat-obatanLansia tidak hanya rentan terhadap penyakit tetapi rentan juga terhadap penggunaan obat-obatan, intoksikasi obat dan interaksi obat yang sering terjadi pada lansia dengan umur di atas 65 tahun. Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering menyebabkan intoksikasi obat pada lansia.

Obat-obatan juga meningkatkan insiden jatuh terutama obat-obatan yang menyebabkan somnolen (obat hipnotik), postural hypotension (diuretik, nitrat, obat antihipertensi dan antidepresan trisiklik) dan kebingungan (simetidine dan digitalis). Lansia juga sering melakukan kesalahan dalam penggunaan obat. Hal ini terutama terjadi pada lansia dengan 3 atau lebih obat-obatan yang diberikan oleh dokter.

2.4.Nutrisi dan AlkoholWalaupun belum banyak penelitian tentang hubungan langsung nutrisi dan jatuh, namun diet yang inadekuat akan menyebabkan berkurangnya massa otot, berkurangnya densitas tulang dan gangguan keseimbangan. Hal ini menyebabkan kelemahan, sehingga lansia makin rentan terhadap jatuh. Defisiensi vitamin D dan Calcium akan menyebabkan peningkatan insidens fraktur yang timbul sesudah jatuh (Cochrane 2005). Intake alkohol yang berlebihan – lebih dari 14 gelas per minggu – akan meningkatkan insidens jatuh pada lansia. Alkohol juga berinteraksi dengan obat – obatan tertentu yang akan menurunkan kewaspadaan dan gangguan keseimbangan.

III. KOMPLIKASI

Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti di bawah ini : (Kane, 1994)

1. Perlukaan (injury) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau

tertariknya jaringan otot. Patah tulang (fraktur) seperti fraktur pelvis, collum femoris, humerus,

lengan bawah, tungkai bawah dan lain-lain. Hematom subdural.

2. Perawatan rumah sakit Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi).

3. Disabilitas Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik. Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan

pembatasan gerak.4. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home).5. Trauma berupa rasa takut jatuh lagi (fear of falling)6. Mati.

IV. PENCEGAHAN

Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan. Usaha untuk pencegahan jatuh antara lain :

A. Identifikasi dan Edukasi faktor penyebabMenemui-kenali faktor risiko baik intrinsik maupun ekstrinsik merupakan target pengelolaan atau target intervensi. Identifikasi faktor tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk anamnesis sistem. Faktor risiko yang ditemukan diinformasikan kepada pasien dan keluarganya sebaik-baiknya, untuk kemudian diupayakan dimodifikasi dan intervensi spesifik, misalnya melarang langsung berdiri atau berjalan segera setelah makan untuk mencegah hipotensi setelah makan; pasien dengan hipotensi persisten sebaiknya tidur dengan elevasi kepala; tinggi kursi sedemikian rupa sehingga kaki menyentuh lantai dengan lutut membentuk sudut 90°. Pasien harus mengenakan sepatu yang pas, tidak licin dan tidak menimbulkan friksi.

Para lansia dan keluarga mereka haruslah mempunyai pengetahuan dan penjelasan yang memadai mengenai penyebab jatuh, faktor – faktor resiko jatuh dan cara – cara pencegahan apa saja yang dapat mereka lakukan. Di AS digunakan suatu daftar untuk mengidentifikasi faktor resiko (Falls Screening Tool) apa saja yang bisa menyebabkan jatuh sehingga hal tersebut bisa dimodifikasi.

Para staf di rumah – rumah perawatan dan rumah sakit haruslah terlatih untuk memberi latihan – latihan untuk memperbaiki keseimbangan dan kekuatan para lansia. Mereka juga harus dibekali cara – cara memindahkan lansia (transferring).

Ada beberapa macam test untuk pencegahan jatuh, seperti : Computerized Dynamic Posturography (CDP) untuk mengukur keseimbangan dan stabilitas badan, ENG (Electronystagmography) dan audiogram untuk mengidentifikasi gangguan keseimbangan yang disebabkan kerusakan telinga dalam.

Hal yang penting adalah opposing effect seperti dilema antara pemakaian anti depresan bagi pasien depresi, karena keduanya merupakan faktor risiko jatuh, selain itu opposing goals seperti dalam rangka mempertahankan kemandirian tanpa harus terpajan pada lingkungan yang membahayakan.

B. Penilaian Keseimbangan dan Gaya BerjalanSetiap lansia harus dievaluasi keseimbangan dan gaya berjalannya dengan tujuan menemui dan mengenali faktor resiko intrinsik. Penilaian postural sway (goyangan badan) sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah pasien menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah, apakah pasien mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah pasien cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan. Secara singkat, panjang langkah, irama berjalan, gerakan batang tubuh, pergelangan kaki, lutut, pinggang dan panggul semuanya harus diperiksa kekuatan dan keseimbangan sisi kanan dan kirinya. Tujuan pemeriksaan pola berjalan :

Mengetahui ada tidaknya gangguan keseimbangan saat berjalan. Mengetahui ada tidaknya gangguan koordinasi gerakan saat berjalan.

Syarat pemeriksaan pola berjalan : Lansia sebaiknya menggunakan celana pendek serta tidak menggunakan alas

kaki sehingga tungkai dapat diobservasi dengan jelas. Observasi dilakukan dari berbagai sudut pandang yaitu depan, belakang,

samping kanan dan samping kiri. Saat berjalan, lansia diusahakan bersikap wajar, berjalan sesuai kemampuannya. Pemeriksa memperhatikan dengan seksama masing-masing peristiwa dari fase

jalan lansia. Cara yang dapat digunakan untuk menilai keseimbangan dan gaya berjalan pada

lansia yaitu Time “Up and Go” Test antara lain : Lansia disuruh berdiri dari duduk di kursi (tinggi kursi ± 46 cm), jalan 3 meter,

jalan balik ke kursi dan duduk.

Latihan percobaan 1 kali, kemudian test sesungguhnya 3 kali dan dicari rata-ratanya

< 10 detik : freely mobile

< 20 detik : mostly independent

20 – 29 detik : variable mobility

> 30 detik : impaired mobility

Lansia didudukan di kursi dengan jarak 3 meter dari tembok kemudian pasien disuruh berdiri dan berjalan menuju tembok. Balik badan tanpa menyentuh tembok, jalan kembali ke kursi, balik badan dan duduk. Tidak perlu dihitung waktunya tapi cukup diobservasi jika ada gangguan keseimbangan dan gaya berjalan. (Interpretasi umum dari pola jalan pada lansia dapat dilihat pada lampiran)

Secara umum pelaksanaan pemeriksaan pola jalan pada lansia adalah sebagai berikut : Lansia diminta untuk berjalan biasa, pemeriksa mengamati dengan seksama

berganti dari arah samping, depan dan belakang. Selanjutnya dicatat, adakah ayunan lengan; adakah rotasi badan; apakah irama dan kecepatan gerakan berlangsung dengan baik dan sinkron; apakah saat menumpu atau mengayun, tungkai kanan dan kiri seimbang; apakah terjadi perubahan ekspresi wajah lansia.

Lansia diminta untuk berjalan biasa, pengamatan ditujukan untuk fase menumpu (heel strike, mid stance, push off) dan fase mengayun berlangsung lengkap dan sempurna, luas gerak sendi panggul, serta sendi lutut dan pergelangan kaki tungkai kanan dan kiri, untuk masing-masing fase menumpu dan fase mengayun apakah sama.

Pemeriksaan dengan komputer. Pemeriksaan pola jalan juga dapat menggunakan komputer. Data-data seperti pada point-point di atas serta besarnya penumpuan berat badan dapat direkam melalui komputer kemudian dianalisis.

C. Olahraga TeraturOlahraga teratur terutama yang meningkatkan kekuatan bagian bawah tubuh menurunkan resiko jatuh. Penelitian menunjukkan bahwa yoga dan taichi sangat baik untuk mencegah jatuh pada lansia (Wolf 1996). Program olahraga teratur dan bervariasi meningkatkan kekuatan otot, fleksibilitas sendi, memperbaiki keseimbangan dan meningkatkan densitas tulang. Olahraga hendaknya dimulai perlahan – lahan secara bertahap. Bagi lansia yang menderita osteoporosis dan pernah mengalami fraktur harus menghindari pengangkatan beban berlebih. Para lansia yang melakukan olahraga teratur seperti berjalan mempunyai resiko lebih rendah terhadap demensia (BMJ 2004).

D. Intervensi Medis dan Proteksi KhususPara lansia umumnya minum lebih dari satu macam obat per hari. Interaksi obat – obat tersebut dapat meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Para lansia harus berkonsultasi dengan praktisi medis untuk menganalisa obat apa saja yang benar – benar mereka butuhkan serta penjelasan efek samping dari obat – obat tersebut. Apabila

memungkinkan maka dosis obat tersebut harus dikurangi terutama obat – obat psikoaktif.

Preparat Calcium dan vitamin D yang adekuat dapat mengurangi resiko terjadinya fraktur karena jatuh. Dosis Calcium 1500 mg dan vitamin D 800 unit (20 micrograms) mengurangi insidens fraktur sebanyak 5 kali. Bagi lansia yang jarang berjemur di bawah matahari, harus diberikan vitamin D tambahan 400 unit (10 micrograms)

Untuk mencegah terjadinya jatuh pada orang tua, dapat digunakan alat bantu jalan bagi yang membutuhkan maupun suatu alarm khusus yang bisa dibunyikan bila lansia ingin berpindah tempat sehingga dapat ditolong orang lain. Dahulu sering digunakan physical restraints untuk membatasi gerakan lansia, namun hal ini tidak menurunkan resiko jatuh (Capezuti 1996)

Selain itu untuk mencegah terjadinya fraktur pelvis pada lansia yang jatuh, dapat dipakai alat hips pad, yaitu semacam bantalan proteksi. Para mahasiswa di Stanford University, AS, mengembangkan semacam gelang kaki yang dilengkapi microchip yang mengirim impuls mengenai posisi badan terus menerus ke otak. Chip ini akan bekerja dengan cepat bila ada perubahan dalam keseimbangan dan gaya berjalan sehingga akan mengirim impuls ke otak dan kemudian otak memberi perintah agar badan kembali ke posisi normal (CNN, 18 Juli 2005).

V. PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan perawatan luka dan dilakukan pemeriksaan seperti dibawah ini :

A. Riwayat Penyakit (Jatuh)

Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita maupun saksi mata jatuh atau keluarga. Anamnesis ini meliputi :

Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu berdiri dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang menoleh tiba-tiba atau aktifitas lain.

Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, kebingungan, inkontinensia, sesak nafas.

Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, penyakit Parkinson, osteoporosis, kejang, penyakit jantung, rematik, depresi dan defisit sensorik.

Riwayat obat-obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, beta bloker, antidepresan, hipnotik, ansiolitik, analgetik dan psikotropik.

Keadaan lingkungan : tempat terjadinya jatuh, rumah maupun tempat-tempat kegiatannya.

B. Pemeriksaan Fisik Tanda vital : nadi, tensi, respirasi dan suhu badan. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus dan

gerakan yang mencetuskan ketidakseimbangan. Jantung : aritmia dan bunyi jantung.

Neurologi : perubahan status mental, neuropati perifer, kelemahan otot, kekakuan dan tremor.

Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi dan deformitas kaki.

C. Pemeriksaan FungsionalDilakukan observasi terhadap :

Gaya berjalan dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dari duduk di kursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk di bawah.

Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu, memakai kursi roda.

Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, berpergian, kontinens.

Secara singkat, langkah menuju diagnosa bisa diringkas dalam 4 langkah :1. Diskusikan dengan pasien, keluhan yang berhubungan dengan fungsi mobilitas

pasien.2. Observasi gaya berjalan dengan atau tanpa alat bantu jalan.3. Nilai semua komponen sistem lokomotor pasien.4. Observasi sekali lagi dengan pengetahuan yang kita dapat dari keluhan pasien

VI. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menterapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi dan mengembalikan kepercayaan diri penderita.

Penatalaksanaan pasien jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor penyebab dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik, arsitek dan keluarga pasien. Para lansia dan keluarga mereka haruslah mempunyai pengetahuan dan penjelasan yang memadai mengenai penyebab jatuh, faktor – faktor resiko jatuh dan cara – cara pencegahan apa saja yang dapat mereka lakukan.

Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bekerja sama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhana dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia tersebut. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan berpergian atau aktifitas fisik.

Untuk pasien dengan kelemahan otot ekstremitas bawah (otot quadriceps femoris) dan penurunan fungsional, terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya dengan cara melakukan fleksi penuh pada lutut. Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu pasien mengalami jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus-menerus sampai

terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional. Penelitian yang dilakukan dalam waktu 1 tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun, didapatkan peningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah menjalani terapi rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik kekuatannya.

Pasien dengan penyakit jantung, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler yang mendasarinya, menghentikan obat-obat yang menyebabkan postural hypotension seperti beta-bloker, diuretik, antidepresan dan lain-lain. Tetapi tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah atau tempat kegiatan lansia.

Kita bisa nilai adanya penurunan keseimbangan jika kita dapati pasien gagal berdiri dengan satu kaki atau posisi tandem stance (satu kaki berada di depan kaki lainnya) selama kurang dari 5 detik. Penilaian kekuatan otot proksimal dengan meminta pasien berdiri dari posisi duduk tanpa menggunakan lengannya. Kecepatan berjalan bisa kita nilai dengan stopwatch, normalnya 1,5-1,1m/detik. Irama berjalan normal sekitar 125-90 langkah/menit, bergantung pada tinggi badan pasien.

Bagi lansia yang pernah jatuh, perasaan takut dan ketidakberdayaan akan menyebabkan lansia membatasi aktivitasnya, hal ini menurunkan kualitas hidup lansia. Post-fall counseling sangat diperlukan untuk meningkatkan kembali kepercayaan diri sehingga dapat kembali melakukan kegiatan sehari – hari mereka.Physiotherapy terbukti sangat efektif pada lansia untuk memperbaiki mobilitas mereka.

Menurut rekomendasi ANAES 2005, beberapa langkah – langkah physiotherapy yang harus diawasi secara benar adalah :

1. Memperbaiki pergerakan sendi terutama sendi tibiotarsal2. Memperbaiki kekuatan otot terutama tungkai bawah, contoh : menggunakan

pemberat ringan bila berjalan, melakukan wall push-up untuk menguatkan otot lengan.

3. Latihan kemampuan untuk berpindah sendiri, baik dari posisi berdiri ke duduk ataupun sebaliknya.

4. Latihan keseimbangan, misalnya : berdiri pada satu kaki, menutup mata saat berdiri.

5. Latihan berjalan6. Latihan untuk bangun dari posisi jatuh secara perlahan – lahan.

Terapi terbaik pada pasien dengan gangguan berjalan yang sudah disingkirkan penyebab utamanya adalah latihan berjalan. Cukup dengan 30 menit sehari kita bisa menjaga kemampuan mobilitas pasien. Pasien harus diinstruksikan untuk meningkatkan kecepatan dan durasi berjalannya setelah 4 bulan. Pasien yang pada akhirnya memang terpaksa menggunakan alat bantu sebaiknya dilatih oleh terapis. Bisa juga dengan yoga dan taichi, walaupun belum ditemukan bukti nyata, tapi ditemukan fakta dari statistik pada lansia yang aktif bertai-chi atau yoga didapati kejadian jatuh yang sangat sedikit dibanding pada pasien biasa. Pada prinsipnya dilakukan terapi yang memperkuat ekstremitas bawah dan latihan keseimbangan.

Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya.Untuk mencegah terjadinya jatuh pada orang tua, dapat digunakan alat bantu jalan bagi yang

membutuhkan. Selain itu untuk mencegah terjadinya fraktur pelvis pada lansia yang jatuh, dapat dipakai alat hips pad, yaitu semacam bantalan proteksi.

Pada penggunaannya, alat bantu jalan memang membantu meningkatkan keseimbangan, namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda., karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane (tongkat), crutch (tongkat ketiak) dan walker. Sebelum pemilihan alat, terlebih dahulu ditentukan apakah pasien memerlukan 1 atau 2 ekstremitas atas untuk mencapai keseimbangan atau menunjang berat badan. Pasien yang hanya memerlukan 1 ekstremitas atas untuk mencapai keseimbangan dapat mengunakan cane, sedangkan pasien yang memerlukan 2 ekstremitas atas dapat memilih crutch atau walker sebagai alat bantu jalan.

Ketika memilih alat bantu jalan, anatomi tubuh dan sudut siku harus diperhatikan. Banyak pasien tidak mendapatkan bantuan profesional dalam memilih alat bantu jalan. Pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan bertambah buruknya gaya berjalan sehingga dapat meningkatkan resiko untuk jatuh.

Macam-macam alat bantu jalan, antara lain :

A. CaneCane memperluas area untuk menunjang berat badan sehingga meningkatkan keseimbangan tubuh. Cane tradisional yang hanya digunakan untuk keseimbangan tidak dapat menunjang berat badan. Cane sekarang dapat digunakan untuk menunjang berat badan dan biasanya digunakan bila memerlukan salah satu ekstremitas atas untuk mencapai keseimbangan dan menunjang berat badan. Pasien

menggunakan cane dengan tangan yang berlawanan dengan kaki yang defisit.

Gambar 1 Gambar 2

Standard Wooden Cane Standard Aluminum Cane

Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Walk cane Offset cane Multiple legged cane

B. CrutchCrutch memperluas area dasar, dengan demikian juga meningkatkan keseimbangan. Berbeda dengan cane, crutch dapat menunjang seluruh berat badan.

Gambar 6 Gambar 7 Axillary Crutch Forearm Crutch

C. WalkerWalker memperbaiki keseimbangan dengan meningkatkan area dasar penunjang berat badan dan meningkatkan keseimbangan lateral. Walker mempunyai beberapa kelemahan yaitu sulit digunakan bila melewati pintu dan tempat yang sempit, mengurangi ayunan lengan dan terjadi abnormal fleksi punggung ketika berjalan. Secara umum, walker tidak dapat digunakan di tangga.

Ga mb ar 8 Gambar 9 Gambar 10

Standar Walker Front-Wheeled Walker Four-Wheeled Walker

Memilih Alat Bantu Jalan yang BenarLangkah pertama adalah menentukan apakah pasien menggunakan hanya 1 atau ke-2 ekstremitas atas untuk mempertahankan keseimbangan atau menunjang berat badan. Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan frekuensi menunjang berat badan.

Jika ke-2 ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang diperlukan dalam menunjang berat badan.

Mencocokkan Alat Bantu JalanSemua alat bantu jalan harus dibuat dalam ukuran tertentu. Untuk memilih cane atau walker yang paling cocok adalah panjang alat sama dengan jarak antara trokanter major dan lantai, diukur saat pasien memakai sepatu, sepatu tersebut setiap hari dipakai pasien untuk jalan-jalan. Siku pasien dalam keadaan fleksi dengan sudut 15 – 30° ketika memegang alat tersebut yang disentuhkan ke lantai.

Cara untuk mencocokkan forearm crutch yaitu dengan meletakkan ujung distal tongkat 2 inci lateral dan 6 inci anterior dari kaki, dengan siku fleksi 15-30°. Manset (cuff) dari forearm crutch terletak di 1/3 proksimal dari forearm, kira-kira 1 – 1,5 inci di bawah siku.

VII. KESIMPULAN

Jatuh merupakan salah satu masalah di bidang geriatri dan sering terjadi pada lansia. Jatuh bagi warga usia lanjut bukan merupakan peristiwa biasa karena dapat menimbulkan berbagai macam penyakit mulai dari rasa takut akan akibat jatuh, cedera otot atau jaringan ikat, fraktur hingga pneumonia berbagai hendaya dan kematian. Penyebab tersering adalah faktor intrinsik (gangguan sistem saraf pusat, demensia dan depresi, sistem sensorik, sistem kardiovaskuler, metabolisme dan gaya berjalan) dan didukung oleh keadaan lingkungan rumahnya yang berbahaya (alat rumah tangga yang tua atau tidak stabil, lantai yang licin dan tidak rata dan lain-lain).

Menemukan dan pengendalian faktor resiko adalah suatu keharusan yang diikuti dengan tindakan pencegahan maupun intervensi, opposing effect dan opposing goals harus dipertimbangkan betul-betul sebelum memberikan intervensi atau pengobatan. Penatalaksanaan pasien jatuh memerlukan kerjasama tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik, arsitek dan keluarga pasien. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Untuk menangani pasien dengan gangguan jalan dapat digunakan cane, crutch atau walker.

Pencegahan terhadap faktor resiko mencakup stretching, latihan ketahanan tubuh (stamina) dan keseimbangan untuk jangkauan dari persendian, kekuatan otot dan kontrol motorik. Terapi psikoterapi suportif sulit untuk dinilai maknanya tapi mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan peningkatan kualitas hidup pasien yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, R. (1999). “Buku Ajar Geriatri”, Jatuh, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal : 140 – 150.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001

Butler, R. & Lewis, M. (1988). “Aging and Mental Health”, The New American Library, Canada, pp : 227 – 8.

Calkins, E. & Wieman, H. (1986). “The Practice of Geriatrics”, Falls, W. B. Saunders Company, Philadelphia, pp : 272 – 8.

Gait Abnormal, Avaiable at : http://www-medlib.med.utah.edu/neurologicexam/html/ gait_abnormal.html

Gait Disorders in Older Adults, Neil B. Alexander, M.D. Available at; http://www.mmhc.com/cg/displayArticle.cfm?articleID=cgac1231

http://sprojects.mmi.mcgill.ca/gait/normal/intro.asp

http://www.jeffmann.net/NeuroGuidemaps/gait.html

Harrison’s, Principles of Internal Medicine 16th edition.

Kallman, H. and Kallman, S. ( 1989). “Clinical Aspects of Aging”, Accidents in the Elderly Population, Williams & Wilkins, USA, pp : 547 – 556.

Sri surini Pudjiastuti, SMPh, S. Pd; Budi Utomo, AMF, Fisioterapi Pada Lansia, 2002, Penerbit EGC

Studenski, S. (1992). “Practice of Geriatrics”, Falls, 2nd edn, W. B. Saunders Company, Philadelphia, pp : 213 – 8.

Physiotherapy in Elderly, ANAES, Available at, http://www.anaes.fr/anaes/Publications.nsf/nPDFFile/

Tinetti, Mary, M.D, Behaviour Predicts Elderly Falling, Available at, http://www.osteopathy.org

The Costs of Fall Injuries Among Older Adults, NCIPC, Available at,http://www.cdc.gov/ncipc/request2.htm