skenario jatuh

40
SKENARIO 2 Laki-laki 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut keluarganya tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk di depan kamar mandi tadi pagi. Setelah itu kedua tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau dicubit masih dirasakan oleh penderita. Sejak seminggu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak napas serta nafsu makan sangat berkurang, tetapi tidak demam. Penderita selama ini mengidap dan minum obat penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi, kedua mata dianjurkan untuk operasi tetapi penderita selalu menolak. KATA SULIT 1. Jatuh : suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian sehingga penderita mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau ditempat yang rendah dengan atau tanpa hilangnya kesadaran. KATA KUNCI 1. Laki-laki 68 tahune 2. Keluhan tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk tadi pagi

Upload: ikasptr3

Post on 27-Dec-2015

514 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: skenario jatuh

SKENARIO 2

Laki-laki 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut keluarganya tiba-tiba

terpeleset dan jatuh terduduk di depan kamar mandi tadi pagi. Setelah itu kedua

tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau dicubit masih dirasakan oleh

penderita. Sejak seminggu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak napas

serta nafsu makan sangat berkurang, tetapi tidak demam. Penderita selama ini

mengidap dan minum obat penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi, kedua

mata dianjurkan untuk operasi tetapi penderita selalu menolak.

KATA SULIT

1. Jatuh : suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat

kejadian sehingga penderita mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau

ditempat yang rendah dengan atau tanpa hilangnya kesadaran.

KATA KUNCI

1. Laki-laki 68 tahune

2. Keluhan tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk tadi pagi

3. Kedua tungkai tidak dapat digerakkan.

4. Kedua tungkai kalau diraba atau dicubit masih dirasakan

5. Sejak seminggu penderita batuk-batuk dan agak sesak napas, nafsu makan

berkurang, tidak demam.

6. Riwayat penyakit terdahulu DM, hipertensi.

7. Riwayat pengobatan DM, hipertensi.

8. Kedua mata dianjurkan untuk dioperasi.

Page 2: skenario jatuh

PERTANYAAN

1. Apa penyebab jatuh pada skenario?

2. Apa faktor resiko jatuh pada lansia?

3. Bagaimana hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan keadaan yang dialami

sekarang?

4. Apa yang menyebabkan tungkai tidak bisa digerakkan tetapi masih terasa bila

diraba dan dicubit?

5. Bagaimana pengaruh obat terhadap jatuh yang dialami pasien pada skenario?

6. Bagaimana pendekatan diagnostic pada scenario?

7. Apa komplikasi yang dapat terjadi akibat jatuh?

8. Bagaimana penatalaksanaan pada skenario?

JAWABAN

1. Penyebab jatuh pada scenario :

Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,

antara lain:1(Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992; Campbell, 1987,

Brocklehurst, 1987).

a.   Kecelakaan (merupakan penyebab utama)

- Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.

- Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat

proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang ada

di rumah tertabrak, lalu jatuh.

b.   Nyeri kepala dan/atau vertigo

c.   Hipotensi orthostatic

- Hipovolemia / curah jantung rendah

- Disfungsi otonom terlalu lama berbaring

- Pengaruh obat-obat hipotensi

Page 3: skenario jatuh

d.   Obat-obatan

- Diuretik / antihipertensi

- Antidepresan trisiklik

- Sedativa

- Antipsikotik

- Obat-obat hipoglikemik

- alkohol

e.   Proses penyakit yang spesifik, misalnya:

- Aritmia

- Stenosis

- Stroke

- Parkinson

- Spondilosis

- Serangan kejang

f.    Idiopatik (tidak jelas sebabnya)

g.   Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba):

- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba

- Terbakar matahari

h. Faktor lingkungan :

1) Alat-alat atau perabot rumah tangga yang sudah tidak layak pakai karena

sudah tua, tidak stabil, atau tergeletak di sembarang tempat.

2) Tempat tidur atau jamban yang rendah (jongkok) sehingga menyulitkan

lansia ketika akan berdiri.

3) Tempat berpegangan yang tidak kuat / susah dipegang :

a. Lantai yang tidak datar, baik ada trapnya atau menurun

b. Karpet yang kurang baik, sehingga bisa membuat jatuh, keset yang

tebal,/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin

dan mudah tergeser.

c. Lantai yang licin dan basah yang tidak diperhatikan

Page 4: skenario jatuh

d. Penerangan yang kurang baik (kurang terang atau terlalu

menyilaukan)

e. Alat bantu jalan yang ukuran, berat, maupun penggunaannya yang

tidak tepat.

i. Faktor situasional :

1) Aktivitas

Sebagian besar lansia jatuh saat melakukan aktivitas biasa seperti

berjalan, naik atau turun tangga, dan mengganti posisi. Hanya sedikit

(sekitar 5 %) yang jatuh saat melakukan aktivitas berbahaya seperti

olahraga berat bahkan mendaki gunung. Sering juga jatuh pada lansia

disebabkan karena aktivitas yang berlebihan, mungkin karena kelelahan

atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Dapat juga terjadi jatuh pada

lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika lansia tersebut ingin pindah

tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.

2) Lingkungan

Sekitar 70 % jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10 % terjadi di tangga,

dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik,

yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda (perabot rumah)

yang tergelatak sembarangan, lantai yang licin atau tidak rata, penerangan

yang kurang.

3) Penyakit akut

Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari

penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh,

misalnya sesak napas akut pada penderita penyakit paru obstruktif

menahun, nyeri dada tiba-tiba pada penderita penyakit jantung iskemik,

dan lain-lain.

Page 5: skenario jatuh

2. Faktor resiko jatuh pada lansia :

Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa

stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh : 2

a. Sistem Sensorik

Yang berperan di dalam adalah visus (penglihatan), pendengaran, fungsi

vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan perubahan pada mata akan

menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan

menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada

lansi yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses

menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan menganggu

fungsi proprioseptif.

b. Sistem Saraf Pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuj mengantisipasi input sensorik

untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson,

hydrocephalus, tekanan normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan

gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik.

c. Kognitif

Pada beberapa penelitian, dementia disosiasikan dengan meningkatnya resiko

jatuh

d. Muskuloskeletal

Faktor ini disebabkan oleh beberapa penelitian merupakan fakta yang benar-

benar murni milik lansia yang beperan besar terhadap terjadinya jatuh.

Gangguan muskuloskeletal meyebabkan gaya berjalan (gait I dan ini

berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang

terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :

- Kekakuan jaringan penghubung

- Berkurangnya massa otot

- Perlambatan konduksi saraf

Page 6: skenario jatuh

- Penurunan visus / lapangan pandang

- Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan :

- Penurunan range of motion (ROM) sendi

- Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas

bawah

- Perpanjangan waktu reaksi

- Kerusakan persepsi dalam

- Peningkatan postural sway (goyangan badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah

pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal, kaki tidak dapat

menapak dengan kuat dan lebih cenderun gampah goyah. Perlambatan reaksi

mengakibatkan lansia susah /terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan

sepetrti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tina, sehingga mudah jatuh.

Secara singkat faktor resiko jatuh pada lansia dibagi dalam 2 golongan besar

yaitu:

1. Faktor-faktor intrinsik (factor dari dalam)

- Kondisi fisik dan neuropsikiatrik

- Penurunan visus dan pendengaran

- Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan reflex postural karena

proses menua

2. Faktor-faktor ektrinsik (factor dari luar)

- Obat-obatan yang diminum

- Alat-alat bantu berjalan

- Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)

Page 7: skenario jatuh

3. Hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan riwayat penyakit

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah.

Sebagai akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan

kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah

jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi

dan payah jantung. Payah jantung diperparah oleh hiperglikemia yang dialami,

karena miokardium kekurangan ATP untuk melakukan kontraksi. Selain itu, terja

dikerusakan pada pembuluh darah akibat hipertensi (khususnya arteri dan

arteriole) yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah progresif. Bila

pembuluh darah menyempit dan kontraksi miokardium ventrikel menurun maka

aliran arteri terganggu dan dapat menyebabkan mikro infark jaringan, yang

ditandai dengan keluhan lelah dan mengantuk pada pasien.3

Pada hipertensi, terjadi perubahan pembuluh darah retina. Selain itu, timbul

mikroangipati (lesi-lesi yang ditandai dengan peningkatan penimbunan

glikoprotein), karena senyawa kimia ini dari membrane dasar dapat berasal dari

glukosa. Maka hiperglikemia pada DM dapat menyebabkan bertambahnya

kecepatan pembentukan sel-sel membrane dasar.3

Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriole retina.

Akibatnya perdarahan,neovaskularisasi, dan jaringanparut retina dapat

mengakibatkanb kebutaan.3

Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol

(glukosa→sorbitol→fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan

sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan

kebutaan.3

Berdasarkan skenario, jika dihubungkan dengan penyakitnya, pasien terjatuh

akibat mikro infark pada jaringan dan komplikasi DM (neuropati diabetik dan

katarak senilis).3

Page 8: skenario jatuh

4. Mengapa tungkai tidak bias digerakkan tetapi masih terasa bila diraba atau

dicubit:

Masukan sensorik yang dihasilkan oleh stimulus akan ditangkap oleh reseptor

dimana reseptor akan mengubah stimulus tersebut menjadi potensial aksi yang

disebut sebagai proses transduksi. Kejadian ini terjadi pada tingkat perifer.

Potensial aksi ini akan disalurkan melalui neuron aferen menuju chorda spinalis

yang terjadi pada tingkat spinal dari proses transmisi. Stimulus ini akan

diteruskan ke nucleus batang otak atau nucleus vestibularis melalui jalur

spinothalamicus menuju ke thalamus. Thalamus berfungsi sebagai stasiun

penyambung yang menghubungkan antara chorda spinalis dan korteks

somatosensorik di tingkat korteks. Proses ini terjadi pada tingkat subkorteks,

dimana thalamus akan menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan

mengarahkan impuls-impuls sensorik penting ke daerah somatosensorik dan

bagian otak daerah lain. Thalamus, korteks somatosensorik dan daerah asosiasi

korteks berperan dalam mengarahkan kita pada sesuatu yang menarik. Thalamus

juga berperan penting dalam kontrol motorik dengan cara positif memperkuat

perilaku motorik volunteer motorik yang dihasilkan oleh korteks. Dari

thalamus,stimulus dilanjutkan ke daerah sensoris korteks. Di tingkat korteks

stimulus akan diolah didalam korteks somatosensorik di lobus parietalis. Setelah

diolah stimulus akan diarahkan ke daerah asosiasi motorik suplementer dan

daerah asosiasi prafrontalis. Setelah itu stimulus berlanjut ke korteks motorik

primer, kemudian informasi perintah motorik akan dimasukkan keempat tempat

yaitu ke thalamus untuk memperkuat informasi perintah motorik yang dihasilkan

oleh korteks motorik primer. Yang kedua, Nukleus batang otak yang selanjutnya

akan disalurkan ke neuron motorik. Yang ketiga, informasi motorik akan

dimasukkan kedalam cerebelum dimana daerah ini akan menerima reseptor dari

perifer yang memberitahu apa yang sebenarnya terjadi berkaitan dengan gerakan

dan posisi tubuh, cerebelum pada dasarnya bertindak sebagai manajemen

menengah, membandingkan keinginan atau perintah dari pusat-pusat yang lebih

Page 9: skenario jatuh

tinggi dengan mengoreksi setiap kesalahan atau penyimpangan dari gerakan yang

di inginkan. Penyesuaian-penyesuaian ini memastikan agar gerakan dapat terarah

tepat dan mulus. Yang keempat, melalui jalur kortikospinalis informasi motorik

akan diteruskan langsung ke neuron motorik, setelah sampai di neuron motorik,

neuron motorik akan mengirimkan informasi gerakan motorik ke efektor melalui

saraf eferen untuk menghasilkan suatu gerakan yang di inginkan.4

Nukleus basal atau basal ganglia memiliki peran kompleks dalam mengontrol

gerakan selain memiliki fungsi-fungsi non motorik yang masih belum diketahui,

secara khusus nukleus basal penting dalam :

1) Menghambat tonus otot diseluruh tubuh (tonus otot yang sesuai biasanya

dipertahankan oleh keseimbangan antara masukan inhibitorik dan eksetatorik

ke neuron-neuron yang mempersarafi otot rangka)

2) Memilih dan mempertahankan aktifitas motorik bertujuan sementara

menekan pola gerakan yang tidak berguna atau tidak diinginkan

3) membantu memantau kontraksi-kontraksi yang menetap atau yang

menghambat.

Nukleus basal tidak secara langsung mempengaruhi neuron motorik eferen yang

menyebabkan kontraksi otot, tetapi bertindak dengan memodifikasi aktifitas-

aktifitas yang sedang berlangsung dijalur jalur motorik, diperkirakan bahwa

thalamus secara positif memperkuat perilaku motorik volunter yang dimulai oleh

korteks serebrum sedangkan nukleus basal memodulasikan aktifitas ini dengan

menggunakan efek inhibisi terhadap thalamus untuk menghilangkan gerakan-

gerakan antagonistik atau tidak diperlukan. Nukleus basal juga menggunakan

efek inhibisi pada neuron motorik dengan bekerja melalui neuron-neuron batang

otak.4

Gerakan terkoordinasi bergantung pada keseimbangan yang sesuai dengan

aktifitas kedua masukan tersebut, jika sistem inhibitorik yang berasal dari batang

otak terganggu, otot-otot menjadi hiperaktif karena aktifitas masukan eksitatorik

ke neuron motorik tidak dilawan. Keadaan ini dikenal sebagai paralisis spastik,

Page 10: skenario jatuh

sebaliknya hilangnya masukan eksitatorik seperti yang menyertai kerusakan

jalur-jalur eksitatorik descedens yang keluar dari korteks motorik primer

menimbulkan paralisis flaksid, contoh kerusakan salah satu motorik primer

disalah satu sisi otak seperti yang terjadi pada stroke menyebabkan paralisis

flaksid diseparuh badan yang berlawanan. Kerusakan serebelum atau nukleus

basal tidak menimbulkan paralisis tapi menyebabkan aktifitas yang tidak

terkoordinasi dan canggung, serta pola gerakan yang tidak sesuai sedangkan

kerusakan didaerah korteks yang lebih tinggi dan berperan dalam perancangan

aktifitas motorik menyebabkan ketidakmampuan membuat perintah motorik

yang sesuai dengan gerakan-gerakan yang diinginkan.4

5. Hubungan riwayat minum obat dengan jatuh:

Obat hipertensi dan diabetes mellitus dapat menyebabkan hipotensi postural,

hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan.

Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat

menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh:5

1) Diuretik menyebabkan peningkatan ekskresi natrium, klorida dan air

sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi

perifer yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer

terhadap pengurangan volume plasma terus menerus.

2) β-blocker menyebabkan pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas

miokard menyebabkan curah jantung berkurang.

3) α-blocker menghambat reseptor α1 di pembuluh darah terhadap efek

vasokonstriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi vena dan arteriol.

4) Adrenolitik sentral (klonidin, guanabenz dan guanfasin, metildopa)

menyebabkan penurunan denyut jantung dan curah jantung.

5) penghambat enzim angiotensin menyebabkan penurunan pembentukan

angiotensinogen II sehingga menimbulkan vasodilatasi

Page 11: skenario jatuh

Obat hipoglikemi oral dapat menyebabkan hipoglikemi akut. Contoh:

sulfonilurea. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pancreas

untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada

pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Efek hipoglikemia sulfonilurea

adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta

pancreas. Bila sulfonylurea terikat pada sel reseptor (SUR) channel tersebut

maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya

penurunan permeabilitas K pada membrane sel beta, terjadi depolarisasi

membrane dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan

peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan

eksositosis granul yang mengandung insulin.5

6. Pendekatan diagnostik pada scenario:

Direkomendasikan untuk melakukan asesmen pada lansia sebagai bagian dari

pemeriksaan rutin yang meliputi:6

1) Semua lansia yang control rutin di puskesmas atau dokter atau tenaga

kesehatan lain wajib untuk ditanya tentang jatuh minimal setahun sekali.

2) Semua lansia yang pernah dilaporkan jatuh satu kali wajib diobservasi

dengan meminta untuk melakukan the get and go tes. Apabila pasien dapat

melakukan tanpa kesulitan tidak memerlukan asesmen lanjutan.

3) Pasien yang mengalami kesulitan untuk melakukan tes itu memerlukan kajian

lebih lanjut.

Assessment dan pengelolaan jatuh secara lebih mendalam dapat dilihat pada

appendik E. Asesmen jatuh komprehensif dilakukan pada lansia yang

memerlukan perhatian medis karena jatuh yang baru saja terjadi, lansia yang

jatuh berulang, atau lansia menunjukkan abnormalitas gaya berjalan /

keseimbangan, dan lansia yang takut untuk jatuh. Asesmen dilakukan secara

individual (satu pasien berbeda dengan pasien yang lain) dan dilaksanakan oleh

Page 12: skenario jatuh

klinisi yang mempunyai pengalaman dan keahlian yang tepat, bila

memungkinkan dirujuk ke getriatrician.6

Asesmen jauh merupakan bagian dari assesmen geriatric. Assesmen jatuh

meliputi: 6

Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini:

(Kane, 1994; Fischer, 1982)

A. Riwayat Penyakit (Jatuh)

Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau

keluarganya. Anamnesis ini meliputi:6

1. Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,

berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok,

sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau

bersin, sedang menoleh tiba-yiba atau aktivitas lain

2. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-

tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.

3. Kondisi komorbid yang relevan :pernah stroke,Parkinsonism,

osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit

sensorik.

4. Review obat-obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik

bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.

5. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat-tempat

kegiatannya.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas/hipotermi)

2. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,

gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising

3. Jantung : aritmia, kelainan katup

4. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,

kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.

Page 13: skenario jatuh

5. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki

(podiatrik), deformitas.

C. Assesmen Fungsional

Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :

1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangku dari

duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan,

ketika mau duduk dibawah.

2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,

memakai kursi roda atau dibantu

3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, bepergian,

kontinens.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah rutin, GDS, elektrolit,

urin, albumin, SGOT dan SGPT, fraksi lipid, fungsi tiroid, dll.

2. Foto radiologi : foto X-ray tulang untuk melihat adanya fraktur tulang,

foto thoraks untuk menilai ada tidaknya pneumonia.

E. Pemeriksaan Fungsi

1. Penapisan depresi dengan menggunakan Geriatric Depresion Scale ( skor

GDS 15) untuk menilai ada tidaknya gangguan depresi pada pasien

lansia.

2. Pemeriksaan kemampuan mental dan kognitif dengan menggunakan

Abbreviated Mental Test (AMT) atau Mini Mental State Examination

(MMSE) untuk menilai ada tidaknya gangguan kognitif atau demensia

pada pasien lansia.

3. Penilaian status fungsional dengan menggunakan Indeks ADL’s Barthel

(Activity Daily living) untuk menilai kemampuan seseorang

melaksanakan aktivitas hidupnya setiap hari apakah pasien lansia tersebut

beraktifitas dengan mandiri atau ketergantungan.

Page 14: skenario jatuh

F. Assesmen Lingkungan

Assesmen lingkungan untuk menilai secara objektif keadaan lingkungan

hidup pasien , menilai hambatan, halangan bagi pasien dalam mobilitas,

penerangan, dll.

G. Daftar Masalah

Daftar masalah disusun berdasar skala prioritas, keluhan utama, dan penyakit

yang saling berkaitan juga harus diperhatikan. Jadi pada psien ditemukan

beberapa keluhan tetapi yang menjadi prioritas utama adalah komplikasi

yang terjadi akibat jatuhnya pasien dimana pasien tidak dapat menggerakan

kedua tungkainya. Selain itu perlu diingat bahwa jatuh merupakan salah satu

geriatric giant yang merupakan masalah utama pada geriatrik yang

memerlukan penanganan.

7. Komplikasi yang dapat terjadi:

a. Perlukaan (injury)7

Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang

terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,

robeknya arteri/vena.

Patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus,

lengan bawah, tungkai bawah, kista, hematom subdural.

b. Perawatan RS7

Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)

Resiko penyakit-penyakit iatrogenik

c. Disabilitas7

Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik

Penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri

dan pembatasan gerak.

d. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)

e. Kematian8

Page 15: skenario jatuh

Salah satu komplikasi yg dapat dialami oleh pasien ini dari jatuh adalah

fraktur vertebra lumbo-sakral. Dimana dari segmen vertebra T12-L4

membentuk pleksus lumbalis(mempersarafi otot-otot,kulit, dan

ekstremitas bawah. Saraf utamya adalh N. femoralis). Sedangkan segmen

vertebra L4-S4 membentuk pleksus sakralis, cabangnya mempersarafi

otot-otot paha posterior, tungkai, dan kaki).

Pada pasien ini yang mengalami fraktur inkomplit dimana hanya saraf

motorik yg mengalami cedera sedangkan sensoriknya tidak mengalami

cedera. Untuk penilaian letak fraktur yang lebih tepat dibutuhkan foto

radiologi.

8. Penatalaksanaan pada scenario:

Penatalaksanaan :9

Mengobati trauma fisik akibat jatuh

Mengobati terhadap kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh

Memberikan terapi fisik agar bisa berjalan bila perlu berikan alat bantu.

Operasi mata: visus baik kembali

Analisis Masalah pada scenario

a) Tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk Masalah Utama

b) Hipertensi

c) Diabetes Melitus

d) Gangguan Pengihatan

e) Pneumonia

PE NATALAKSANAAN BERDASARKAN SKALA PRIORITAS

Sesak Suspect Pneumoni

Page 16: skenario jatuh

Pengobatan ISPA/pneumoni dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan

pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi

merupakan kunci utama pengobatan pneumoni. Tujuannya ialah untuk

membasmi kuman penyebab pneumoni. Pemberian kemoterapi harus

berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya

(hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibiotik). Berhubung

satu dan hal lain, misalnya : penyakit penderita sangat serius dan perlu

pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti

menjelang terapi, sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik.

Pengobatan ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan

cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum kuman

penyebabnya, sehingga AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya

dapat diandalkan.9

Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan bila

berat diberikan secara parenteral. Pengobatan umumnya diberikan selama 7-10

hari pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas panas.

Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus

diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.9

Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang ringan

rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat,

rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit.9

Pada pneumoni usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita perlu tirah

baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya

pneumoni hipostatik, kelemahan dan dekubitus. 9

Fraktur 9

Tindakan terhadap fraktur :

Page 17: skenario jatuh

Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu

sebab tidak bisa dioperasi dan hanya akan dilakukan tindakan konvensional.

Untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dengan bagian ortopedi. Dengan

makin meningkatnya populasi usia lanjut dan dengan sendirinya kasus

fraktur, dalam disiplin ilmu bedah timbul suatu subdisiplin orto-geriatri

Tindakan terhadap jatuh

Mengapa penderita sampai jatuh, apa penyebabnya, bagaimana agar tidak

terjatuh yang berulang dan lain sebagainya.

Tindakan terhadap kerapuhan tulang

Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang sudah

terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang

seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat

penyembuhan fraktur

Keperawatan dan rehabilitasi saat penderita immobile

Pencegahan komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, confusio), upaya agar

penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi.

Katarak 9

Obat – obat katarak berupa obat tetes mata, vitamin atau anti oksidan hanya

menghambat proses bertambah matangnya katarak, tetapi tidak dapat

mengurangi atau menghilangkan katarak. Opersi katarak dilakukan jika

penglihatan sudah mengganggu pasien, tidak harus menunggu sampai katarak

matang. Katarak tidak dapat diatasi dengan laser, akan tetapi harus dengan

pembedahan untuk mengeluarkan lensa yang keruh tersebut, kemudian diganti

dengan lensa tanam buatan. Operasi katarak dapat dilakukan dengan mikroskop

dan mesin fakoemulsifikasi, yang memafaatkan getaran ultrasonik untuk

menghancurkan katarak. Tindakan laser dapat digunakan setelah operasi katarak,

apabila kapsul lensa mengalami kekeruhan.

Page 18: skenario jatuh

Pemilihan teknik operasi ini tergantung kekerasan lensa mata. Setelah lensa

katarak diambil, penderita hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter,

kecuali penderita diganti lensanya.

Penggantian lensa ada dua cara yaitu:9

Penderita setelah dioperasi diberi kacamata atau lensa kontak positif kurang

lebih 10 dioptri.

Penderita dipasang lensa tanam bersamaan waktu dilakukan operasi,

keuntungannya adalah penderita setelah operasi penderita langsung dapat

melihat jelas, tidak perlu memakai kacamata sangat tebal, lapang pandang

penderita tetap luas dan distorsi sinar dapat dihilangkan

Diabetes Melitus

Langkah I:

Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:9

1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup

2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya

3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit

kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain

4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi

5. Membuat berat badan menjadi ideal

6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi

7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

Langkah II:

Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik,

psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang

sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara

interdisiplin dan terpadu.

Langkah III:

Page 19: skenario jatuh

Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang

ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini

sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti:

- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua

- Adanya penyakit komorbid

- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik

- Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi

- Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain

dengan obat-obat antihiperglikemik.

Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau sering

disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:

Diet

Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai

penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi

normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak.

Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca,

selenium, zinc dan besi.9

Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian

makanan pada lansia dengan diabetes:9

Akses terhadap makanan:

- Disabilitas fungsional

o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek

o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan

makanan

- Sumber daya keuangan yang terbatas

- Asupan makanan:

o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun

Page 20: skenario jatuh

o Gigi yang buruk dan atau xerostomia

- Kebiasaan makan yang sudah berakar

- Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional

Olahraga

Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh

berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa

dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi

olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula

darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi

makrovaskuler diabetes.

Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau

terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat

antihiperglikemik.

Obat

Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,

mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi

efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam

memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama

bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau

insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti

penyakit komorbid atau BMI nya.

Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih

adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione,

karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan

berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide

atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus

Page 21: skenario jatuh

sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan.

Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide)

lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.

Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM

tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut

berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit

komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang

lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat,

koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis

laktat) dan perempuan hamil.

Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan

langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi,

evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.

Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan

terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen

antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang

diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah

komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang

dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.

Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk:

evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial

serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan

hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita

diabetes untuk terus berobat.

Page 22: skenario jatuh

Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap

penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan

penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan

secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai

dengan keadaan penderita saat itu.

Hipertensi

Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas

akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan

pemeliharaan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan

penyakit hipertensi meliputi :

1. Terapi tanpa Obat

Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan

sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat

ini meliputi :

Diet

Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :

- Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr

- Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh

- Penurunan berat badan

- Penurunan asupan etanol

- Menghentikan merokok

Latihan Fisik

Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk

penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :

Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,

berenang dan lain-lain

Page 23: skenario jatuh

Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-

87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan

berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan

sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu

Edukasi Psikologis

Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :

1. Tehnik Biofeedback

Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada

subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh

subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai

untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga

untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.

2. Tehnik relaksasi

Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk

mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita

untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks

3. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )

Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan

pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien

dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

2. Terapi dengan Obat

Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja

tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar

penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu

dilakukan seumur hidup penderita.

Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi

( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION

AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 )

menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau

Page 24: skenario jatuh

penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan

memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.

Pengobatannya meliputi :

Step 1

Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor

Step 2

Alternatif yang bisa diberikan :

Dosis obat pertama dinaikkan. Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama.

Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca

antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator

Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh obat ke-2 diganti dengan obat ke-3

jenis lain

Step 4 : Alternatif pemberian obat ditambah obat ke-3 dan ke-4. Re-evaluasi

dan konsultasi follow up untuk mempertahankan terapi jangka panjang

memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas

kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.

Page 25: skenario jatuh

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:

FKUI, 2009; 178-180

2. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:

FKUI, 2009; 174-197

3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses-

Proses Penyakit Edisi 6 vol.2. 2005. Jakarta: EGC

4. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. 2011. Jakarta :

EGC hal. 124-125, 134-135, 239-241

5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Farmakologi dan Terapi. 2005.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hal. 329-342

6. Darmojo, Boedhi. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.2010. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesian Hal: 186-187

7. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:

FKUI, 2011; 180

8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses-

Proses Penyakit Edisi 6 vol.2 .

9. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:

FKUI, 2009; 174-197