skenario jatuh
TRANSCRIPT
SKENARIO 2
Laki-laki 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut keluarganya tiba-tiba
terpeleset dan jatuh terduduk di depan kamar mandi tadi pagi. Setelah itu kedua
tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau dicubit masih dirasakan oleh
penderita. Sejak seminggu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak napas
serta nafsu makan sangat berkurang, tetapi tidak demam. Penderita selama ini
mengidap dan minum obat penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi, kedua
mata dianjurkan untuk operasi tetapi penderita selalu menolak.
KATA SULIT
1. Jatuh : suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat
kejadian sehingga penderita mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau
ditempat yang rendah dengan atau tanpa hilangnya kesadaran.
KATA KUNCI
1. Laki-laki 68 tahune
2. Keluhan tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk tadi pagi
3. Kedua tungkai tidak dapat digerakkan.
4. Kedua tungkai kalau diraba atau dicubit masih dirasakan
5. Sejak seminggu penderita batuk-batuk dan agak sesak napas, nafsu makan
berkurang, tidak demam.
6. Riwayat penyakit terdahulu DM, hipertensi.
7. Riwayat pengobatan DM, hipertensi.
8. Kedua mata dianjurkan untuk dioperasi.
PERTANYAAN
1. Apa penyebab jatuh pada skenario?
2. Apa faktor resiko jatuh pada lansia?
3. Bagaimana hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan keadaan yang dialami
sekarang?
4. Apa yang menyebabkan tungkai tidak bisa digerakkan tetapi masih terasa bila
diraba dan dicubit?
5. Bagaimana pengaruh obat terhadap jatuh yang dialami pasien pada skenario?
6. Bagaimana pendekatan diagnostic pada scenario?
7. Apa komplikasi yang dapat terjadi akibat jatuh?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada skenario?
JAWABAN
1. Penyebab jatuh pada scenario :
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,
antara lain:1(Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992; Campbell, 1987,
Brocklehurst, 1987).
a. Kecelakaan (merupakan penyebab utama)
- Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.
- Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat
proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang ada
di rumah tertabrak, lalu jatuh.
b. Nyeri kepala dan/atau vertigo
c. Hipotensi orthostatic
- Hipovolemia / curah jantung rendah
- Disfungsi otonom terlalu lama berbaring
- Pengaruh obat-obat hipotensi
d. Obat-obatan
- Diuretik / antihipertensi
- Antidepresan trisiklik
- Sedativa
- Antipsikotik
- Obat-obat hipoglikemik
- alkohol
e. Proses penyakit yang spesifik, misalnya:
- Aritmia
- Stenosis
- Stroke
- Parkinson
- Spondilosis
- Serangan kejang
f. Idiopatik (tidak jelas sebabnya)
g. Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba):
- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
- Terbakar matahari
h. Faktor lingkungan :
1) Alat-alat atau perabot rumah tangga yang sudah tidak layak pakai karena
sudah tua, tidak stabil, atau tergeletak di sembarang tempat.
2) Tempat tidur atau jamban yang rendah (jongkok) sehingga menyulitkan
lansia ketika akan berdiri.
3) Tempat berpegangan yang tidak kuat / susah dipegang :
a. Lantai yang tidak datar, baik ada trapnya atau menurun
b. Karpet yang kurang baik, sehingga bisa membuat jatuh, keset yang
tebal,/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin
dan mudah tergeser.
c. Lantai yang licin dan basah yang tidak diperhatikan
d. Penerangan yang kurang baik (kurang terang atau terlalu
menyilaukan)
e. Alat bantu jalan yang ukuran, berat, maupun penggunaannya yang
tidak tepat.
i. Faktor situasional :
1) Aktivitas
Sebagian besar lansia jatuh saat melakukan aktivitas biasa seperti
berjalan, naik atau turun tangga, dan mengganti posisi. Hanya sedikit
(sekitar 5 %) yang jatuh saat melakukan aktivitas berbahaya seperti
olahraga berat bahkan mendaki gunung. Sering juga jatuh pada lansia
disebabkan karena aktivitas yang berlebihan, mungkin karena kelelahan
atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Dapat juga terjadi jatuh pada
lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika lansia tersebut ingin pindah
tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
2) Lingkungan
Sekitar 70 % jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10 % terjadi di tangga,
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik,
yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda (perabot rumah)
yang tergelatak sembarangan, lantai yang licin atau tidak rata, penerangan
yang kurang.
3) Penyakit akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari
penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh,
misalnya sesak napas akut pada penderita penyakit paru obstruktif
menahun, nyeri dada tiba-tiba pada penderita penyakit jantung iskemik,
dan lain-lain.
2. Faktor resiko jatuh pada lansia :
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa
stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh : 2
a. Sistem Sensorik
Yang berperan di dalam adalah visus (penglihatan), pendengaran, fungsi
vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan perubahan pada mata akan
menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada
lansi yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses
menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan menganggu
fungsi proprioseptif.
b. Sistem Saraf Pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuj mengantisipasi input sensorik
untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson,
hydrocephalus, tekanan normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik.
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia disosiasikan dengan meningkatnya resiko
jatuh
d. Muskuloskeletal
Faktor ini disebabkan oleh beberapa penelitian merupakan fakta yang benar-
benar murni milik lansia yang beperan besar terhadap terjadinya jatuh.
Gangguan muskuloskeletal meyebabkan gaya berjalan (gait I dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang
terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :
- Kekakuan jaringan penghubung
- Berkurangnya massa otot
- Perlambatan konduksi saraf
- Penurunan visus / lapangan pandang
- Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan :
- Penurunan range of motion (ROM) sendi
- Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas
bawah
- Perpanjangan waktu reaksi
- Kerusakan persepsi dalam
- Peningkatan postural sway (goyangan badan)
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah
pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal, kaki tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderun gampah goyah. Perlambatan reaksi
mengakibatkan lansia susah /terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan
sepetrti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tina, sehingga mudah jatuh.
Secara singkat faktor resiko jatuh pada lansia dibagi dalam 2 golongan besar
yaitu:
1. Faktor-faktor intrinsik (factor dari dalam)
- Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
- Penurunan visus dan pendengaran
- Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan reflex postural karena
proses menua
2. Faktor-faktor ektrinsik (factor dari luar)
- Obat-obatan yang diminum
- Alat-alat bantu berjalan
- Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)
3. Hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan riwayat penyakit
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah
jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi
dan payah jantung. Payah jantung diperparah oleh hiperglikemia yang dialami,
karena miokardium kekurangan ATP untuk melakukan kontraksi. Selain itu, terja
dikerusakan pada pembuluh darah akibat hipertensi (khususnya arteri dan
arteriole) yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah progresif. Bila
pembuluh darah menyempit dan kontraksi miokardium ventrikel menurun maka
aliran arteri terganggu dan dapat menyebabkan mikro infark jaringan, yang
ditandai dengan keluhan lelah dan mengantuk pada pasien.3
Pada hipertensi, terjadi perubahan pembuluh darah retina. Selain itu, timbul
mikroangipati (lesi-lesi yang ditandai dengan peningkatan penimbunan
glikoprotein), karena senyawa kimia ini dari membrane dasar dapat berasal dari
glukosa. Maka hiperglikemia pada DM dapat menyebabkan bertambahnya
kecepatan pembentukan sel-sel membrane dasar.3
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriole retina.
Akibatnya perdarahan,neovaskularisasi, dan jaringanparut retina dapat
mengakibatkanb kebutaan.3
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol
(glukosa→sorbitol→fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan
sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan
kebutaan.3
Berdasarkan skenario, jika dihubungkan dengan penyakitnya, pasien terjatuh
akibat mikro infark pada jaringan dan komplikasi DM (neuropati diabetik dan
katarak senilis).3
4. Mengapa tungkai tidak bias digerakkan tetapi masih terasa bila diraba atau
dicubit:
Masukan sensorik yang dihasilkan oleh stimulus akan ditangkap oleh reseptor
dimana reseptor akan mengubah stimulus tersebut menjadi potensial aksi yang
disebut sebagai proses transduksi. Kejadian ini terjadi pada tingkat perifer.
Potensial aksi ini akan disalurkan melalui neuron aferen menuju chorda spinalis
yang terjadi pada tingkat spinal dari proses transmisi. Stimulus ini akan
diteruskan ke nucleus batang otak atau nucleus vestibularis melalui jalur
spinothalamicus menuju ke thalamus. Thalamus berfungsi sebagai stasiun
penyambung yang menghubungkan antara chorda spinalis dan korteks
somatosensorik di tingkat korteks. Proses ini terjadi pada tingkat subkorteks,
dimana thalamus akan menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan
mengarahkan impuls-impuls sensorik penting ke daerah somatosensorik dan
bagian otak daerah lain. Thalamus, korteks somatosensorik dan daerah asosiasi
korteks berperan dalam mengarahkan kita pada sesuatu yang menarik. Thalamus
juga berperan penting dalam kontrol motorik dengan cara positif memperkuat
perilaku motorik volunteer motorik yang dihasilkan oleh korteks. Dari
thalamus,stimulus dilanjutkan ke daerah sensoris korteks. Di tingkat korteks
stimulus akan diolah didalam korteks somatosensorik di lobus parietalis. Setelah
diolah stimulus akan diarahkan ke daerah asosiasi motorik suplementer dan
daerah asosiasi prafrontalis. Setelah itu stimulus berlanjut ke korteks motorik
primer, kemudian informasi perintah motorik akan dimasukkan keempat tempat
yaitu ke thalamus untuk memperkuat informasi perintah motorik yang dihasilkan
oleh korteks motorik primer. Yang kedua, Nukleus batang otak yang selanjutnya
akan disalurkan ke neuron motorik. Yang ketiga, informasi motorik akan
dimasukkan kedalam cerebelum dimana daerah ini akan menerima reseptor dari
perifer yang memberitahu apa yang sebenarnya terjadi berkaitan dengan gerakan
dan posisi tubuh, cerebelum pada dasarnya bertindak sebagai manajemen
menengah, membandingkan keinginan atau perintah dari pusat-pusat yang lebih
tinggi dengan mengoreksi setiap kesalahan atau penyimpangan dari gerakan yang
di inginkan. Penyesuaian-penyesuaian ini memastikan agar gerakan dapat terarah
tepat dan mulus. Yang keempat, melalui jalur kortikospinalis informasi motorik
akan diteruskan langsung ke neuron motorik, setelah sampai di neuron motorik,
neuron motorik akan mengirimkan informasi gerakan motorik ke efektor melalui
saraf eferen untuk menghasilkan suatu gerakan yang di inginkan.4
Nukleus basal atau basal ganglia memiliki peran kompleks dalam mengontrol
gerakan selain memiliki fungsi-fungsi non motorik yang masih belum diketahui,
secara khusus nukleus basal penting dalam :
1) Menghambat tonus otot diseluruh tubuh (tonus otot yang sesuai biasanya
dipertahankan oleh keseimbangan antara masukan inhibitorik dan eksetatorik
ke neuron-neuron yang mempersarafi otot rangka)
2) Memilih dan mempertahankan aktifitas motorik bertujuan sementara
menekan pola gerakan yang tidak berguna atau tidak diinginkan
3) membantu memantau kontraksi-kontraksi yang menetap atau yang
menghambat.
Nukleus basal tidak secara langsung mempengaruhi neuron motorik eferen yang
menyebabkan kontraksi otot, tetapi bertindak dengan memodifikasi aktifitas-
aktifitas yang sedang berlangsung dijalur jalur motorik, diperkirakan bahwa
thalamus secara positif memperkuat perilaku motorik volunter yang dimulai oleh
korteks serebrum sedangkan nukleus basal memodulasikan aktifitas ini dengan
menggunakan efek inhibisi terhadap thalamus untuk menghilangkan gerakan-
gerakan antagonistik atau tidak diperlukan. Nukleus basal juga menggunakan
efek inhibisi pada neuron motorik dengan bekerja melalui neuron-neuron batang
otak.4
Gerakan terkoordinasi bergantung pada keseimbangan yang sesuai dengan
aktifitas kedua masukan tersebut, jika sistem inhibitorik yang berasal dari batang
otak terganggu, otot-otot menjadi hiperaktif karena aktifitas masukan eksitatorik
ke neuron motorik tidak dilawan. Keadaan ini dikenal sebagai paralisis spastik,
sebaliknya hilangnya masukan eksitatorik seperti yang menyertai kerusakan
jalur-jalur eksitatorik descedens yang keluar dari korteks motorik primer
menimbulkan paralisis flaksid, contoh kerusakan salah satu motorik primer
disalah satu sisi otak seperti yang terjadi pada stroke menyebabkan paralisis
flaksid diseparuh badan yang berlawanan. Kerusakan serebelum atau nukleus
basal tidak menimbulkan paralisis tapi menyebabkan aktifitas yang tidak
terkoordinasi dan canggung, serta pola gerakan yang tidak sesuai sedangkan
kerusakan didaerah korteks yang lebih tinggi dan berperan dalam perancangan
aktifitas motorik menyebabkan ketidakmampuan membuat perintah motorik
yang sesuai dengan gerakan-gerakan yang diinginkan.4
5. Hubungan riwayat minum obat dengan jatuh:
Obat hipertensi dan diabetes mellitus dapat menyebabkan hipotensi postural,
hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan.
Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh:5
1) Diuretik menyebabkan peningkatan ekskresi natrium, klorida dan air
sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi
perifer yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer
terhadap pengurangan volume plasma terus menerus.
2) β-blocker menyebabkan pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas
miokard menyebabkan curah jantung berkurang.
3) α-blocker menghambat reseptor α1 di pembuluh darah terhadap efek
vasokonstriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi vena dan arteriol.
4) Adrenolitik sentral (klonidin, guanabenz dan guanfasin, metildopa)
menyebabkan penurunan denyut jantung dan curah jantung.
5) penghambat enzim angiotensin menyebabkan penurunan pembentukan
angiotensinogen II sehingga menimbulkan vasodilatasi
Obat hipoglikemi oral dapat menyebabkan hipoglikemi akut. Contoh:
sulfonilurea. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pancreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada
pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Efek hipoglikemia sulfonilurea
adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pancreas. Bila sulfonylurea terikat pada sel reseptor (SUR) channel tersebut
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan permeabilitas K pada membrane sel beta, terjadi depolarisasi
membrane dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan
peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan
eksositosis granul yang mengandung insulin.5
6. Pendekatan diagnostik pada scenario:
Direkomendasikan untuk melakukan asesmen pada lansia sebagai bagian dari
pemeriksaan rutin yang meliputi:6
1) Semua lansia yang control rutin di puskesmas atau dokter atau tenaga
kesehatan lain wajib untuk ditanya tentang jatuh minimal setahun sekali.
2) Semua lansia yang pernah dilaporkan jatuh satu kali wajib diobservasi
dengan meminta untuk melakukan the get and go tes. Apabila pasien dapat
melakukan tanpa kesulitan tidak memerlukan asesmen lanjutan.
3) Pasien yang mengalami kesulitan untuk melakukan tes itu memerlukan kajian
lebih lanjut.
Assessment dan pengelolaan jatuh secara lebih mendalam dapat dilihat pada
appendik E. Asesmen jatuh komprehensif dilakukan pada lansia yang
memerlukan perhatian medis karena jatuh yang baru saja terjadi, lansia yang
jatuh berulang, atau lansia menunjukkan abnormalitas gaya berjalan /
keseimbangan, dan lansia yang takut untuk jatuh. Asesmen dilakukan secara
individual (satu pasien berbeda dengan pasien yang lain) dan dilaksanakan oleh
klinisi yang mempunyai pengalaman dan keahlian yang tepat, bila
memungkinkan dirujuk ke getriatrician.6
Asesmen jauh merupakan bagian dari assesmen geriatric. Assesmen jatuh
meliputi: 6
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini:
(Kane, 1994; Fischer, 1982)
A. Riwayat Penyakit (Jatuh)
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya. Anamnesis ini meliputi:6
1. Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,
berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok,
sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau
bersin, sedang menoleh tiba-yiba atau aktivitas lain
2. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-
tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
3. Kondisi komorbid yang relevan :pernah stroke,Parkinsonism,
osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit
sensorik.
4. Review obat-obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik
bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
5. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat-tempat
kegiatannya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas/hipotermi)
2. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,
gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising
3. Jantung : aritmia, kelainan katup
4. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
5. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki
(podiatrik), deformitas.
C. Assesmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangku dari
duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan,
ketika mau duduk dibawah.
2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,
memakai kursi roda atau dibantu
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, bepergian,
kontinens.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah rutin, GDS, elektrolit,
urin, albumin, SGOT dan SGPT, fraksi lipid, fungsi tiroid, dll.
2. Foto radiologi : foto X-ray tulang untuk melihat adanya fraktur tulang,
foto thoraks untuk menilai ada tidaknya pneumonia.
E. Pemeriksaan Fungsi
1. Penapisan depresi dengan menggunakan Geriatric Depresion Scale ( skor
GDS 15) untuk menilai ada tidaknya gangguan depresi pada pasien
lansia.
2. Pemeriksaan kemampuan mental dan kognitif dengan menggunakan
Abbreviated Mental Test (AMT) atau Mini Mental State Examination
(MMSE) untuk menilai ada tidaknya gangguan kognitif atau demensia
pada pasien lansia.
3. Penilaian status fungsional dengan menggunakan Indeks ADL’s Barthel
(Activity Daily living) untuk menilai kemampuan seseorang
melaksanakan aktivitas hidupnya setiap hari apakah pasien lansia tersebut
beraktifitas dengan mandiri atau ketergantungan.
F. Assesmen Lingkungan
Assesmen lingkungan untuk menilai secara objektif keadaan lingkungan
hidup pasien , menilai hambatan, halangan bagi pasien dalam mobilitas,
penerangan, dll.
G. Daftar Masalah
Daftar masalah disusun berdasar skala prioritas, keluhan utama, dan penyakit
yang saling berkaitan juga harus diperhatikan. Jadi pada psien ditemukan
beberapa keluhan tetapi yang menjadi prioritas utama adalah komplikasi
yang terjadi akibat jatuhnya pasien dimana pasien tidak dapat menggerakan
kedua tungkainya. Selain itu perlu diingat bahwa jatuh merupakan salah satu
geriatric giant yang merupakan masalah utama pada geriatrik yang
memerlukan penanganan.
7. Komplikasi yang dapat terjadi:
a. Perlukaan (injury)7
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,
robeknya arteri/vena.
Patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus,
lengan bawah, tungkai bawah, kista, hematom subdural.
b. Perawatan RS7
Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
Resiko penyakit-penyakit iatrogenik
c. Disabilitas7
Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
Penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri
dan pembatasan gerak.
d. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)
e. Kematian8
Salah satu komplikasi yg dapat dialami oleh pasien ini dari jatuh adalah
fraktur vertebra lumbo-sakral. Dimana dari segmen vertebra T12-L4
membentuk pleksus lumbalis(mempersarafi otot-otot,kulit, dan
ekstremitas bawah. Saraf utamya adalh N. femoralis). Sedangkan segmen
vertebra L4-S4 membentuk pleksus sakralis, cabangnya mempersarafi
otot-otot paha posterior, tungkai, dan kaki).
Pada pasien ini yang mengalami fraktur inkomplit dimana hanya saraf
motorik yg mengalami cedera sedangkan sensoriknya tidak mengalami
cedera. Untuk penilaian letak fraktur yang lebih tepat dibutuhkan foto
radiologi.
8. Penatalaksanaan pada scenario:
Penatalaksanaan :9
Mengobati trauma fisik akibat jatuh
Mengobati terhadap kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh
Memberikan terapi fisik agar bisa berjalan bila perlu berikan alat bantu.
Operasi mata: visus baik kembali
Analisis Masalah pada scenario
a) Tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk Masalah Utama
b) Hipertensi
c) Diabetes Melitus
d) Gangguan Pengihatan
e) Pneumonia
PE NATALAKSANAAN BERDASARKAN SKALA PRIORITAS
Sesak Suspect Pneumoni
Pengobatan ISPA/pneumoni dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan
pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi
merupakan kunci utama pengobatan pneumoni. Tujuannya ialah untuk
membasmi kuman penyebab pneumoni. Pemberian kemoterapi harus
berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya
(hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibiotik). Berhubung
satu dan hal lain, misalnya : penyakit penderita sangat serius dan perlu
pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti
menjelang terapi, sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik.
Pengobatan ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan
cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum kuman
penyebabnya, sehingga AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya
dapat diandalkan.9
Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan bila
berat diberikan secara parenteral. Pengobatan umumnya diberikan selama 7-10
hari pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas panas.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus
diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.9
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang ringan
rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat,
rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit.9
Pada pneumoni usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita perlu tirah
baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya
pneumoni hipostatik, kelemahan dan dekubitus. 9
Fraktur 9
Tindakan terhadap fraktur :
Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu
sebab tidak bisa dioperasi dan hanya akan dilakukan tindakan konvensional.
Untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dengan bagian ortopedi. Dengan
makin meningkatnya populasi usia lanjut dan dengan sendirinya kasus
fraktur, dalam disiplin ilmu bedah timbul suatu subdisiplin orto-geriatri
Tindakan terhadap jatuh
Mengapa penderita sampai jatuh, apa penyebabnya, bagaimana agar tidak
terjatuh yang berulang dan lain sebagainya.
Tindakan terhadap kerapuhan tulang
Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang sudah
terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang
seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat
penyembuhan fraktur
Keperawatan dan rehabilitasi saat penderita immobile
Pencegahan komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, confusio), upaya agar
penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi.
Katarak 9
Obat – obat katarak berupa obat tetes mata, vitamin atau anti oksidan hanya
menghambat proses bertambah matangnya katarak, tetapi tidak dapat
mengurangi atau menghilangkan katarak. Opersi katarak dilakukan jika
penglihatan sudah mengganggu pasien, tidak harus menunggu sampai katarak
matang. Katarak tidak dapat diatasi dengan laser, akan tetapi harus dengan
pembedahan untuk mengeluarkan lensa yang keruh tersebut, kemudian diganti
dengan lensa tanam buatan. Operasi katarak dapat dilakukan dengan mikroskop
dan mesin fakoemulsifikasi, yang memafaatkan getaran ultrasonik untuk
menghancurkan katarak. Tindakan laser dapat digunakan setelah operasi katarak,
apabila kapsul lensa mengalami kekeruhan.
Pemilihan teknik operasi ini tergantung kekerasan lensa mata. Setelah lensa
katarak diambil, penderita hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter,
kecuali penderita diganti lensanya.
Penggantian lensa ada dua cara yaitu:9
Penderita setelah dioperasi diberi kacamata atau lensa kontak positif kurang
lebih 10 dioptri.
Penderita dipasang lensa tanam bersamaan waktu dilakukan operasi,
keuntungannya adalah penderita setelah operasi penderita langsung dapat
melihat jelas, tidak perlu memakai kacamata sangat tebal, lapang pandang
penderita tetap luas dan distorsi sinar dapat dihilangkan
Diabetes Melitus
Langkah I:
Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:9
1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5. Membuat berat badan menjadi ideal
6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi
Langkah II:
Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik,
psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara
interdisiplin dan terpadu.
Langkah III:
Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang
ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini
sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti:
- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua
- Adanya penyakit komorbid
- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik
- Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi
- Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain
dengan obat-obat antihiperglikemik.
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau sering
disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:
Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai
penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi
normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak.
Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca,
selenium, zinc dan besi.9
Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian
makanan pada lansia dengan diabetes:9
Akses terhadap makanan:
- Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan
makanan
- Sumber daya keuangan yang terbatas
- Asupan makanan:
o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
o Gigi yang buruk dan atau xerostomia
- Kebiasaan makan yang sudah berakar
- Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh
berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa
dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi
olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula
darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi
makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau
terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat
antihiperglikemik.
Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi
efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam
memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama
bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau
insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti
penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih
adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione,
karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan
berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide
atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus
sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan.
Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide)
lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM
tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut
berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit
komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang
lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat,
koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis
laktat) dan perempuan hamil.
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan
langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi,
evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.
Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan
terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen
antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang
diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah
komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang
dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk:
evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial
serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan
hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita
diabetes untuk terus berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap
penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan
penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan
secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai
dengan keadaan penderita saat itu.
Hipertensi
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan
penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan
sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat
ini meliputi :
Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
- Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
- Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
- Penurunan berat badan
- Penurunan asupan etanol
- Menghentikan merokok
Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-
87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan
berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan
sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
1. Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada
subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh
subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai
untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga
untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
2. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita
untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
3. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien
dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja
tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar
penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu
dilakukan seumur hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi
( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION
AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 )
menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau
penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan. Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama.
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca
antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh obat ke-2 diganti dengan obat ke-3
jenis lain
Step 4 : Alternatif pemberian obat ditambah obat ke-3 dan ke-4. Re-evaluasi
dan konsultasi follow up untuk mempertahankan terapi jangka panjang
memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas
kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:
FKUI, 2009; 178-180
2. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:
FKUI, 2009; 174-197
3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 vol.2. 2005. Jakarta: EGC
4. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. 2011. Jakarta :
EGC hal. 124-125, 134-135, 239-241
5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Farmakologi dan Terapi. 2005.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hal. 329-342
6. Darmojo, Boedhi. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.2010. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesian Hal: 186-187
7. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:
FKUI, 2011; 180
8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 vol.2 .
9. Darmojo Boedhi R.H Hadi Martono, Ed. Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:
FKUI, 2009; 174-197