bab vi islam & ekonomi
DESCRIPTION
dibacaa yaaTRANSCRIPT
ISLAM DAN PESOALAN EKONOMI
Oleh : Azhar Muttaqin, M.Ag.
A. Pendahuluan
Ekonomi Islam saat ini tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia yang
sangat diperhitungkan. Pada saat dua sistem ekonomi dunia, kapitalisme dan sosialisme
terevaluasi secara tajam, ekonomi Islam perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan
berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan dan kemajuan praktik keuangan
Islam yang fantastis, telah mengubah peta pemikiran dan praktik keuangan dunia secara
signifikan.
Meski baru lahir pada 1975 (merujuk pendirian Islamic Development Bank/IDB di
Jeddah), diskursus dan praktik keuangan Islam telah merambah negara maju dan
berkembang di lima benua. Padahal, sebelum IDB berdiri, format ekonomi dan keuangan
Islam masih kabur. Perkembangan itu tidak hanya menghapuskan keraguan sebagian umat
Islam akan kemampuannya mengatasi persoalan-persoalan internal yang berat, melainkan
juga mempertebal keyakinan mereka bahwa sistem keuangan Islam jauh lebih adil, fair,
dan stabil dibanding sistem keuangan yang ada.
Di beberapa universitas di Saudi Arabia, mulai diajarkan Dirâsah Fî al-Iqtishâd al-Islâmi,
seperti di Universitas Imam di Riyadh dan Ummul Quro di Makkah. Di Pakistan didirikan
International Institute of Islamic Economics pada 1980 dan di Malaysia didirikan Kulliyah
of Islamic Economics pada 1983. Di Indonesia, walaupun isu tentang ekonomi Islam
relatif terlambat masuk, namun ada antusiasme yang kuat untuk mempelajarinya, seolah
hendak mengejar ketertinggalan. Di Indonesia, perkembagan kajian ilmiah ini sangat
beragam dan dinamis, karena telah melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta, baik
yang dimiliki umat Islam maupun non-Muslim. Hampir setiap perguruan tinggi sudah
mulai membuka program khusus Ekonomi Islam atau dikenal juga dengan Ekonomi
Syari’ah.
Sistem Keuangan Ekonomi Islam -kemudian makin mendunia setelah Inggris
mengadopsinya- telah berkembang pesat selama dekade terakhir. Sistem ekonomi ini
telah menarik semua pemain internasional kunci, meninggalkan Amerika Serikat dalam
industri global yang semakin menguntungkan itu. Inggris telah menjadi penggerak
pertama bagi pengembangan perbankan syariah di Eropa, meskipun penduduk Muslimnya
1
(1,8 juta orang) relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan Prancis (6 juta orang) dan
Jerman (3,3 juta orang). Indikator tersebut bisa dilihat dari posisi aset perbankan dan
keuangan syariah negara tersebut yang bertengger di posisi 8 dunia. Kinerja perbankan
Islam di Inggris sampai akhir 2010 ini masih terlihat mendominasi. Kemajuan pesat ini
disebabkan oleh kebijakan peraturan yang lebih kondusif dan mampu menyedot perhatian
investor, khususnya Timur Tengah. Hal yang sama juga berusaha dilakukan oleh negara-
negara Eropa lainnya, seperti Belanda yang berambisi mengejar ketertinggalannya sebagai
pemain di industri keuangan syariah.
Tidak hanya Inggris dan Belanda, kinerja perbankan dan keuangan Islam mengalami
kemajuan yang sangat pesat di beberapa Negara Eropa lainnya. Mereka berlomba-lomba
menyiapkan berbagai fasilitas baik regulasi, kebijakan dan infrastruktur untuk bisa
menangkap peluang pasar yang ada. Regulasi perbankan yang ada di Eropa
memungkinkan pendatang pasar baru untuk mengembangkan dan menembus pasar Eropa
tanpa harus membentuk kantor cabang di setiap negara anggota Uni Eropa. Prancis baru-
baru ini mengumumkan telah menghilangkan pajak bagi investor dan meningkatkan
kerangka regulasi yang kondusif untuk mendirikan lembaga keuangan Islam di negara ini.
Sedangkan Jerman telah menerbitkan sukuk, sebagai pintu investasinya. Di sisi lain, Italia
dan Belgia tengah melakukan kajian untuk menerbitkan sukuk, mengikuti jejak Jerman.
Karena tingginya tingkat pertumbuhan perbankan syariah, pasar keuangan syariah ini
menjadi sangat menarik bagi perbankan konvensional yang ada di Eropa. Bank-bank
internasional besar seperti HSBC, UBS atau Deutsche Bank telah menyiapkan diri untuk
memenuhi kebutuhan, khususnya para nasabah.
Perkembangan ini menunjukkan posisi strategis ekonomi Islam dalam ranah empiris
sangatlah strategis. Hal ini juga menjadi bukti (burhan) yang sangat jelas, bahwa Islam
sebagai sebuah ajaran Agama tidak terlepas dari isu-isu penting dan strategis dalam
kehidupan manusia di muka bumi. Monzer Kahf1 menegaskan ada hubungan yang sangat
kuat antara agama dan ekonomi. Ia Menjelaskan bahwa jika agama sebagaimana
didefinisikan oleh beberapa tokoh seperti Michel Mayor dan Muhammad Abdullah Draz
mencakup perilaku manusia dalam semua tahap dan aspeknya, tentu ekonomi juga
merupakan masalah yang diperhatikan dalam kajian agama. Karena ekonomi pada
umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya 1 Monzer Kahf, Ekonomi Islam, Telaah Analitik Terhadap Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995, h. 1-2.
2
dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-
barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Jelas ekonomi
merupakan salah satu aspek yang diperhatikan dalam agama, bahkan setiap agama
memiliki ajaran sendiri mengenai cara manusia mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
ekonominya.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh jelas mengenai ajaran para Rasul di masa lalu
yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama.
Contoh pernyataan Nabi Syu’aib berikut merupakan pesan ekonomik.
Ketika Syu'aib Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak
bertakwa?, Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan 'taatlah
kepadaku; Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan
itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang
yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusaka.(QS. asy-
Syuara : 177-183)
Ini merupakan salah satu contoh bahwa di Makah, bahkan sebelum
terbentukanya masyarakat Muslim di Madinah, ayat-ayat al-Qur`an
sudah menampilkan pandangan Islam mengenai hubungan antara
agama dan keimanan terhad apa adanya Allah dan Hari Kiamat, di satu
pihak, dan perilaku ekonomi dan sistem ekonomi, di pihak lain2.
B. Pengertian Ekonomi Islam
2 Op.cit., h. 3.
3
Dawam Rahardjo3, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan
pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang
berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem.
Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu
masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan
ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam.
Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah dikemukakan oleh para pakar yang
mengembangkan keilmuan ini. Dapat disebutkan di sini antara lain para pakar ekonomi
Islam kontemporer seperti: 1) Umar Chapra4, Ilmu ekonomi Islam menurutnya adalah
suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui
suatu alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid,
tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi
dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan
moral masyarakat; 2) S.M. Hasanuzzaman5: “Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan
dan aplikasi dari ajaran dan aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan
memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.; 3) M. Nejatullah
Siddiqi6 mendefisinisikan: “Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim
terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan
Sunnah, akal dan pengalaman.”; 4) Syed Nawab Haider Naqvi7: “ Ilmu ekonomi Islam
adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dala suatu masyarakat muslim tipikal”. Tidak
jauh berbeda dengan pemikir lainnya, Muhammad Abdul Manan8 berpendapat bahwa
ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Bagi Mannan ekonomi Islam
merupakan studi tentang masalah-masalah ekonomi dari setiap individu dalam masyarakat
yang memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai kehidupan Islam atau Homo
Islamicus. Secara keseluruhan gagasan ekonomi M.A Mannan dapat
3 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4 4 M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001 5 Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic Economics, Vol
1 No. 2, 1984. 6 Muhammad N. Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature. Jeddah and
The Islamic Foundation, 1981. 7 Syed Nawab Haider naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung : Mizan, 1985 8 Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt Wakaf: 1997.
4
dikategorikan sebagai gagasan Islamisasi ekonomi konvensional. Lebih lanjut Ia
mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,
berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan
Qiyas.
C. Prinsip-prinsip dalam Ekonomi Islam
Menurut Metwally9, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga
pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Implikasinya
adalah manusia harus menggunakannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya
dan orang lain.
2. Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak
sah.
3. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam. Islam mendorong
manusia untuk bekerja dan berjuang mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara,
asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Hal ini dijamin oleh Allah bahwa
Allah telah menetapkan rizki setiap makhluk yang diciptakan-Nya.
4. Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-orang kaya,
dan harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran
produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya dialokasikan untuk
kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh sunnah Rasulullah yang
menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama atas air, padang rumput,
dan api.
6. Seorang muslim harus tunduk pada Allah dan hari pertanggungjawaban di akherat
(QS. 2:281). Kondisi ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-
9 Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. 1995, h. 25
5
hal yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan berusaha dengan cara yang bathil,
melampaui batas dan sebagainya.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab). Zakat ini
merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang ditujukan untuk orang
miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat
dikenakan 2,5% untuk semua kekayaan yang tidak produktif, termasuk di dalamnya
adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, dan 10% dari pendapatan bersih
investasi.
8. Islam melarang riba dalam segala bentuknya. Secara tegas dan jelas hal ini tercantum
dalam QS 30:39, 4:160-161, 3:130, dan 2:278-279.
Adapun yang terkait dengan transaksi, Abdul Ghafur10 menegaskan bahwa Islam secara
prinisip melarangnya apabila mengandung unsur perjudian (maisyir), unsur ketidakjelasan
(gharar), unsur riba, dan unsure bathil.
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi11, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar
yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama dipastikan tidak ada
dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip keseimbangan pun, dalam
praktiknya, justru yang membuat ekonomi konvensional semakin dikritik. Ekonomi Islam
dikatakan memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan
dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.
Sistem ekonomi konvensional yang didominasi oleh sistem kapitalis maupun sosialis jelas
tidak sesuai dengan sistem nilai dan prinsip Ekonomi Islam. Keduanya bersifat eksploitatif
dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu
juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman
sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan
kerangka sosial politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis
duniawi, perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat
ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.
Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi oleh
kakrakteristik unik dan spesifik, juga dipengaruhi oleh nilai dan infra struktur sosial
politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas tidak dapat diterapkan persis di negara-negara
10 Abdul Ghafur, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2007, h. 3
11 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta, 2004, h. 10.
6
Islam. Terlebih lagi, sebagian teori pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena
kelemahan mendasar inilah, maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan
pembangunan di berbagai negara berkembang.
Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-evaluasi. Ia
menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan perencana pembangunan
yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi pembangunan kontemporer. Menurut
Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman
pembangunan Barat kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai
dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri12.
C. Beberapa Persoalan Ekonomi dalam Islam
1. Perbankan Syari’ah
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk
menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa
Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah
resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam
jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank
konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah
dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-
up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain13:
Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat
mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak
12 Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam Etika Ekonomi Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977, h. 9
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah, diakses tgl. 6/02/2012
7
berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank
Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang
tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan
dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau
joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati
sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-
masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada
campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur
tangan
Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap
keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko
kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak
dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah
hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai
imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan
membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke
pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang
ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya
angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah
margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank
100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama
waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan
ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan
8
yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka
waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung,
cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam
kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain
misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang
direkomendasikan penjual.
Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa
dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank
mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti
As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan
demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada
nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi
tersebut.
2. Asuransi (Takâful)
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’mîn yang berasal dari kata amanah yang berarti
memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah
menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang
ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian
pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’mîn, takâful’ atau tadhâmun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian
untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan
syariah14.
Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk dalam asuransi
atau yang lazim disebut dengan polis juga harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip
syari’ah, Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat menerapkan akad-akad
tradisional Islam. Berdasarkan fatwa DSN-MUI, jenis-jenis akad yang dapat diterapkan
14 Abdul Ghafur, Log.cit. , h. 4
9
dalam asuransi syari’ah adalah : akad mudhârabah, akad mudhârabah musytarakah, akad
wakâlahbil-ujrah, dan akad tabarru’15.
Konsep asuransi syari’ah adalah risk sharing (pembagian resiko) berdasarkan prinsip
tolong menolong. Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang menekankan pada
pengalihan resiko (risk transfering). Prinsip tolong menolong ini dalam Islam dikenal
dengan prinsip ta’âwuniyah. Hal ini didasarkan pada ketentuan al-Qur `an surat al-
Maidah ayat 2 berikut :
”..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”
3. Penggadaian (Rahn)
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu
kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan
barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Dalam istilah bahasa Arab, gadai
diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al- habsu . Secara etimologis, pengertian
rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang
tersebut.
Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW., dan Rasulullah sendiri pernah
melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara
sukarela atas dasar tolong-menolong. Sesuai dengan PP 103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum
Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan
jasa titipan, sertifikasi logam mulia, dan lainnya.
Adapun boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah
dan Ijtihad. Dari ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai
adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat tersebut adalah: “Apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu
15 Ibid, h. 22
10
menuliskan, yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki
dan dua orang saksi perempuan”.
2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad
SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang, sebagai
tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR.
Bukhari).
Secara umum lembaga pegadaian mempunyai produk jasa berupa16 :
a. Gadai
Gadai merupakan kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang harus dipenuhi
pada saat itu juga, dengan barang jaminan berupa barang bergerak berwujud seperti perhiasan,
kendaraan roda dua, barang elektronik dan barang rumah tangga.
b. Jasa taksir
Jasa taksir diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas barang miliknya seperti
emas, perak dan berlian.
c. Jasa titipan
Jasa titipan merupakan cara pemecahan masalah yang paling tepat bagi masyarakat yang
menghendaki keamanan yang baik atyas barang berharga miliknya. Barang-barang yang dapat
dititipkan di pegadaian adalah perhiasan, surat-surat berharga, sepeda motor dan sebagainya.
Sistem operasional produk Pegadaian syari’ah dilakukan melalui prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1) Prinsip Wadi’ah (Simpanan);
2) Prinsip Tijarah (Jual Beli atau Pengembalian Bagi Hasil);
3) Prinsip Ijarah (Sewa);
4) Prinsip al-Ajr wa al-Umulah (Pengembalian Fee);
5) Prinsip al-Qard (Biaya Administrasi)17.
4. Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)
Istilah BMT sebenarnya dapat dipilah sebagai Baitul Mâl (BM) dan Baitul Tamwîl (BT).
Menurut fungsinya, BM bertugas menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana ZIS
(Zakat, Infak, Sedekah) sebagai bagian yang menitikberatkan pada aspek sosial.
16 Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005, h. 158-159
17 Ibid. h.6
11
Sementara, BT merupakan lembaga komersial dengan pendanaan dari pihak ke tiga, bisa
berupa pinjaman atau investasi18.
Arti kata Baitul Tamwîl (BT) dari sudut etimologi adalah tempat pengembangan
harta/kekayaan. Dari sudut ekonomi Baitul Tamwîl (BT) adalah Lembaga Keuangan
Islam yang usaha pokoknya menghimpun dana dari pihak lain (anggota/deposan) dan
menyalurkannya kepada yang memerlukan melalui pembiayaan (kredit/pinjaman) untuk
usaha produktif dan investasi dengan sistem syariah.
Dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan istilah BMT diambil dari kata-kata Baitul Mâl
dan Baitul Tamwîl, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Baitul Mâl Wa
Baitul Tamwîl yang disingkat menjadi BMT. Ada dua bagian dari BMT yang keduanya
memiliki fungsi dan pengertian yang berbeda.
Pertama, Baitul Mâl merupakan lembaga penerima zakat, infak, sedekah dan sekaligus
menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwîl
adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat
terutama masyarakat dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga
diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT.
Dengan mengetahui nama dan membaca pengertian diatas sudah sedikit tergambar
apa itu BMT, namun akan lebih jelas lagi bila kita lihat lebih jauh beberapa ciri dari BMT.
Adapun ciri dari BMT adalah :
1. Berorientasi bisnis dan mencari laba bersama
2. Bukan lembaga sosial tapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan
zakat, infak dan sadaqoh.
3. Ditumbuhkan dari bawah dan berlandaskan pada peran serta masyarakat.
4. Milik masyarakat secara bersama, bukan milik perorangan.
5. Dalam melakukan kegiatannya para pengelola BMT bertindak aktif, dinamis,
berpandangan proaktif.
6. Melakukan upaya peningkatan wawasan dan pengamalan nilai-nilai Islam kepada
semua personil dan nasabah BMT. Biasanya dilakukan dengan pengajian-pengajian
atau diskusi-diskusi dengan topik-topik yang terencana.
18 Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Dompet Duafa Republika, 1999, h. :36
12
7. Manajemen BMT dikelola secara profesional dan Islami.
5. Pasar Modal Syariah
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal mendefinisikan pasar
modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran umum dan perdagangan
efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga
dan profesi yang berkaitan dengan efek 19.
Menurut Kepres No. 60 Tahun1988, pasar modal adalah bursa yang merupakan sarana
untuk mempertemukan penawar dan peminta dana jangka panjang dalam bentuk efek20.
Sedangkan pasar modal syari’ah sendiri dapat diartikan sebagai pasar modal yang
menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari
hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain21. Dari pengertian
tersebut tampak jelas sekali ada yang berbeda antara pasar modal konvensional dengan
pasar modal syari’ah.
Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang dijalankan dengan konsep syari’ah, di mana
setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan transaksi sesuai dengan ketentuan
syari’ah. Pasar modal syari’ah tidak hanya ada dan berkembang di Indonesia tetapi jugadi
negara-negara lain, seperti negara Malaysia. Lembaga keuangan yang pertama kali
menaruh perhatian di dalam mengoperasikan portofolionya dengan manajemen portofolio
syri’ah di pasar syari’ah adalah Amanah Income Fund yang didirikan pada bulan Juni
1986 oleh para anggota The North American Islamic Trust yang bermarkas di Indiana
Amerika Serikat.
Pasar modal syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-
prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang
seperti riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain.
Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan, karena
dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan juga mendatangkan
manfaat bagi orang lain. Al-Quran dengan tegas melarang aktivitas penimbunan (iktinaz)
terhadap harta yang dimiliki (9:33). Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw
bersabda,”Ketahuilah, Siapa yang memelihara anak yatim, sedangkan anak yatim itu
19 Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press, 2010, h. 3320 Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: Andi, 1996, h. 221 Op. Ci.t, hal. 45
13
memiliki harta, maka hendaklah ia menginvestasikannya (membisniskannya), janganlah ia
membiarkan harta itu idle, sehingga harta itu terus berkurang lantaran zakat”
D. Bekerja Sebagai Kewajiban dan Ibadah
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah.
Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.
Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap ridha
Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap
seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja
berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah
mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul
bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan
Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari.
Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti
terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan
cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu
beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang
tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat
Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para
sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu
dapat digolongkan jihad fî sabilillâh, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun
menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah
fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia,
itu adalah fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak
meminta-minta, itu juga fî sabilillâh.” (HR Ath-Thabrani).
14
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu,
sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat
penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain
memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak;
apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal
lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan
sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi
mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak.
Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan
pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas
yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam
setiap bidang yang ditekuninya. Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar
prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah.
Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai
keikhlasan akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu
keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala diraih. Sesuai dengan doa
yang seringkali dibaca ‘fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah…”Dan katakanlah :
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan
yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)
Kedua, Kerja keras dan cerdas. Ukuran kerja keras adalah kesempatan berbuat, tanpa
pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi pekerjaan membatasi
seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme
15
biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam
mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah.
Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap
seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja
berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah
apa yang ada pada dirinya. (Q.S. Ar-Ra’du ayat 11).
“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”. (Q.S. Al-Najm ayat 39).
E. Akhlak (Etos) Bekerja dalam Islam
Pembahasan Akhlak bekerja, dikenal juga dengan istilah Etos kerja (work ethic). Etos
kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan pengamalan atas
doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut. Agama atau ideologi merupakan
pembentuk etika yang paling dasar yang dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan
tuntutan aktual masyarakat.
Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan Peradaban22
mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan peningkatan kualitas etos
kerja umat, antara lain :
1. Niat dan Tauhidullah
Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam setiap praktek
ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya suatu pekerjaan tergantung
pada niat pelakunya. Rasulullah bersabda :
إنما األعمال بالنية وإنما لكل امرئ ما نوى"Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung pada apa
yang ia niatkan".
22 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta: Pramadina, 1992, h. 104
16
Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk dengan
konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh kuat kepada
pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara umum ajaran yang ditekankan
lebih mengarah kepada materialisme. Dimana kepemilikan seseorang akan materi akan
sangat menentukan tingkatan kastanya baik waktu di dunia maupun ketika sesudah mati.
Itulah karenanya dalam sistem ekonomi negara yang menganut paham kongfusianisme
lebih mengarah kepada sistem yang menjunjung tinggi materi sebagai pusat perbaikan
suatu bangsa.
Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan umatnya.
Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan qalbunya syahadat Lâ
ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu
bisa berarti benda yang dicenderungi maupun disembah (paganisme), ideologi seperti
materialisme, hedonisme, atau sistem kepercayaan yang diikuti yang lebih diutamakan
dari pada Allah. Maka ketika seseorang bekerja dengan didasarkan pada tauhid, hal itu
menjadikanya merdeka untuk melakukan apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan
dengan kehendak Allah Swt.
2. Ihsan dan Itqan
Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk mengucapkan
nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara filosofis ikrar kepada sesuatu
berarti pengakuan atas apa yang dimiliki olehnya. Allah dalam pandangan umat Islam
adalah Tuhan yang maha segala-galanya, tidak ada yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini
melahirkan kesadaran bahwa sesuatu yang didasarkan kepada derajat tertinggi akan
memberi motivasi kuat untuk menyamakannya. Itulah Ihsan. Ihsan merupakan bentuk
kerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik. Rasulullah bersabda :
عن أبي يعلى شداد بن عوص رضي الله عنه، عن رسول قال: "إن الله كتب اإلحسان على كل شئ: فإذا الله
قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة، وليحدأحدكم شفرته وليرح ذبيحته" رواه مسلم
"Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika kamu membunuh
hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka
sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah menajamkan pisau dan
menyenangkan hewan sembelihan itu (mempecepat proses matinya)".
17
Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban tidak saja dilihat
dari sudut pandang "kehewanan" tetapi juga menunjukkan kerja yang efektif dan efisien.
Dalam sistem kerja masyarakat modern, efektifitas dan efisiensi merupakan tuntutan
utama yang harus dimiliki semua orang jika ingin berhasil.
Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu terbaik. Seorang
muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi berorientasi pada karya terbaik, indah
dan memiliki kualitas yang diperhitungkan semua orang. Rasulullah bersabda :
إن الله يحب أحدكم إذا عمل عمال أن يتقنه"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja dengan ber-itqan"
3. Pentingya bekerja dalam Islam
Kerja merupkan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of existence). Jika bapak
filsafat modern Rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku
ada (cogito ergo sum), maka dalam tema ini menjadi "aku bekerja maka aku ada".
Sesorang akan dikenal dan diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan. Selain kerja
sebagai usaha memenuhi kebutuhan, juga sebagai penunjukkan jati diri masyarakat dengan
ideologi yang diyakininya. Masyarakat di beberapa negara maju asia seperti Jepang, Korea
Selatan dan Hongkong dikenal sebagai masyarakat pekerja. Satu dengan yang lain saling
berlomba untuk bisa menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang disebut dengan fighting
Spirit (semangan bersaing) dalam rangka mencapai idealisme ideologi yang mereka anut.
Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam. Dianjurkan kepada pemeluknya
untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Allah berfirman :
eِتg hأ g ي iوا iون hك gنh مhا ت hي اِتe أ hرg ي hَخg g ال eقiوا hِب ت gاسhا فhيَهm َهhةo ُهiوh مiوhل gْجeو qلi eك وhلoيرeدhق rٍءgي hش mلi tهh عhلhى ك eنu الل tهi ْجhمeيعvا إ iمi الل eك ب
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 148)
Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri, agama dan bangsa
merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena merupakan semangat utama yang
bisa menjadikan pemeluk agama ini berada pada tingkatan tertinggi dalam peradaban
manusia. Dan itu pernah terjadi pada masa sahabat dan daulah Islamiyah.
18
4. Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah
Kebanggaan sebagai suatu bangsa secara nyata telah menjadikan bangsa tersebut sebagai
bangsa pesaing. Masyarakat Inggris pernah mengklaim dirinya sebagai manusia terdepan
dalam sistem evolusi manusia ketika ditemukannya fosil manusia Fieltdown, yang
kemudian berlanjut dengan penjajahan kepada bangsa-bangsa diberbagai tempat di dunia.
Islam tidak mengajarkan rasisme seperti itu, tetapi menanamkan keberanian dan
kepercayaan diri untuk melakukan banyak hal sebagai seorang muslim yang mukmin
kepadaNya. Allah berfirman :
eنhع hنgوhَهg hن وِفe وhت iرgعhمg eال ونh ب iرiمg hأ uاِسe ت eلن iْخgرeْجhْتg ل مuةr أ
i gرh أ ي hْخ gمi iنت كeهt eالل iونh ب iْؤgمeن hرe وhت gمiنك ال
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…." (QS. Ali-
Imran : 110)
Atau sabda Rasulullah saw. :
المْؤمن القوي ْخير وأحب إلى الله من المْؤمن الضعيف وفيكل ْخير
"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang
lemah, dan dalam berbagai hal (nyata) lebih baik"
Juga sabdanya saw. :
اإلسالم يعلو وال يعلى عليه"Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya"
Kebanggaan sebagai seoarang muslim ini nyata telah menjadikan para sahabat dulu
memiliki jiwa dan semangat yang membara dalam rangka menyebarkan Islam ke berbagai
pelosok bumi. Semangat seperti ini seharusnya ditumbuhkan kembali dalam rangka
menjadikan umat Islam saat ini bangkit dari perasaan terkucilkan, lemah, malas dan takut
bersaing dengan negara atau bangsa lain.
19
Daftar Pustaka
Ahmad, Kursyid, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam Etika Ekonomi
Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977.
An-Nabhani, Taqyiddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya,
Risalah Gusti : 1996.
Chapra, M. Umar, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Surabaya, Risalah Gusti : 1999.
Ghafur, Abdul, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam
Kerangka Hukum Positif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2007
Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic
Economics, Vol 1 No. 2, 1984.
Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press, 2010
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta: Pramadina, 1992
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt Wakaf: 1997.
Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005
Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. 1995
Naqvi, Syed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung :
Mizan, 1985
Rahman, Azalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, Yogyakarta, 1995
Siddiqi, Muhammad N., Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature.
Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.
Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: Andi,
1996
Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Dompet
Duafa Republika, 1999
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta : Robbani Press,
2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah,
20